Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

CEDERA KEPALA

Pembimbing :
Dr. Ibnu Benhadi, SpBS

Disusun oleh :
Bena Miralda
030.08.056

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih
Periode 10 Juni 17 Agustus 2013
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

LEMBAR PENGESAHAN

Referat yang berjudul Cedera Kepala telah diterima dan disetujui pada Juli
2013 oleh pembimbing sebagai salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik
Ilmu Bedah di RSUD Budhi Asih

Jakarta, Juli 2013

Dr. Ibnu Benhadi, SpBS

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT saya panjatkan karena dengan rahmatNya saya dapat
menyelesaikan tugas referat Kepaniteraan klinik Ilmu Bedah RSUD Budhi Asih
dengan judul cedera kepala ini dengan sebaik-baiknya.
Adapun tujuan dari penyusunan referat ini adalah untuk memenuhi tugas
kepaniteraan klinik di RSUD Budhi Asih. Selain itu, penyusunan referat ini juga
bertujuan agar penyusun lebih memahami Cedera kepala.
Dalam penyusunan referat ini, penyusun banyak mendapat bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan rasa
hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr.Ibnu Benhadi,SpBS selaku
pembimbing atas segala kesabarannya dalam mengarahkan, memberikan bimbingan
dan membagi pengalaman yang berharga dalam penyusunan referat ini. Ucapan
terima kasih juga saya tujukan kepada rekan-rekan di kepaniteraan klinik ini yang
banyak sekali membantu penyusun dalam proses kepaniteraan ini.
Akhir kata, penyusun menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna,
baik dari pemikiran, pengetahuan, penyusunan bahasa, maupun sistematika. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifata membangun dari semua pihak yang
membaca referat ini sangat diharapkan guna menjadi pelajaran bagi penyusun dalam
menyusun referat di waktu yang akan datang. Dan semoga referat ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Penulis,

Bena Miralda
030.08.056
3

BAB I
PENDAHULUAN

I.

Latar Belakang
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa
tumpul / tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara.
Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia
produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan
karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk
menjaga keselamatan di jalan masih rendah, disamping penanganan pertama yang
belum benar - benar , serta rujukan yang terlambat.
Di Indonesia kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah
sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai cedera
kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang, dan 10 % termasuk cedera kepala
berat.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para
dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada
penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan
darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak
sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan
kesembuhan penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary
survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan
pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan kepala.
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang
memerlukan tindakan operasi dan sisanya dirawat secara konservatif. Pragnosis
pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat
dan cepat.
Adapun pembagian trauma kapitis adalah: Simple head injury, Commutio
cerebri, Contusion cerebri, Laceratio cerebri, Basis cranii fracture. Simple
head injury dan Commutio cerebri sekarang digolongkan sebagai cedera kepala

ringan, sedangkan Contusio cerebri dan


Laceratio

cerebri

digolongkan

sebagai

cedera kepala berat.


Pada penderita korban cedera kepala,
yang harus diperhatikan adalah pernafasan,
peredaran darah dan kesadaran, sedangkan
tindakan

resusitasi,

anamnesa

dan

pemeriksaan fisik umum dan neurologist


harus dilakukan secara serentak.

Tingkat

keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat pasien tiba di Rumah
Sakit.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.

DEFINISI CEDERA KEPALA


Cedera kepala adalah trauma mekanik
pada kepala yang terjadi baik secara
langsung

atau

tidak

langsung

yang

kemudian dapat berakibat pada gangguan


fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer
ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif,
tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi
atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
dan fungsi fisik (Japardi, 2004).
2. ANATOMI KEPALA
a. Kulit kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:
Skin atau kulit
Connective tissue atau jaringan penyambung
Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang
berhubungan langsung dengan tengkorak
Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar.
Perikranium
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari
perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan
subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga
bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan

banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita


dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu
Lama untuk mengeluarkannya (American college of surgeon, 1997)

b. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri
dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria
khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian
dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis,
fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah
batang otak dan serebelum (American college of surgeon, 1997).

c. Meninges
Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu :
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang
keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada
permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput
arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang
subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural(Japardi, 2004)
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena
ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus
ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat(Japardi,2004)
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah
arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa
media).
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut
spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang
terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya
disebabkan akibat cedera kepala (American college of surgeon,1997)
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater
adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak,
9

meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana
ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya.
Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia
mater (japardi, 2004).

d. Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang


dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu
10

proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon,


mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri
dari pons, medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus
parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus
temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung
jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas
berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan
kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik.
Serebellum

bertanggung

jawab

dalam

fungsi

koordinasi

dan

keseimbangan (American college of surgeon, 1997).


e. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus
dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari
ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari
akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus
sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio
arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan
kenaikan tekanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi
dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS
per hari(Hafidh, 2007).

11

f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior) (japardi,2004)

g. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan
membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan
otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup.
Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus
cranialis(japardi,2004).

12

3. ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALA


a. Tekanan intracranial
Berbagai proses patologi pada otak dapat meningkatkan tekanan
intracranial yang selanjutnya dapat mengganggu fungsi otak yang
akhirnya berdampak buruk terhadap penderita. Tekanan intracranial yang
tinggi dapat menimbulkan konsekwensi yang mengganggu fungsi otak.
TIK Normal kira-kira sebesar 10 mmHg, TIK lebih tinggi dari 20mmHg
dianggap tidak normal. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala,
semakin buruk prognosisnya (American college of surgeon,1997)
b. Hukum Monroe-Kellie
Konsep utama Volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat
dasar dari tulang tengkorak yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic)
adalah sama dengan jumlah total volume komponen-komponennya yaitu
volume jaringan otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf) dan
volume darah (Vbl).
Vic = V br+ V csf + V bl (American college of surgeon,1997)
c. Tekanan Perfusi otak
Tekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-rata
(mean arterial presure) dengan tekanan intrakranial. Apabila nilai TPO

13

kurang dari 70mmHg akan memberikan prognosa yang buruk bagi


penderita.(American college of surgeon,1997)
d. Aliran darah otak (ADO)
ADO normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit. Bila ADO
menurun sampai 20-25ml/100 gr/menit maka aktivitas EEG akan
menghilang. Apabila ADO sebesar 5ml/100 gr/menit maka sel-sel otak
akan mengalami kematian dan kerusakan yang menetap (American
college of surgeon, 1997).
4. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan sekunder. Cedera primer merupakan cedera akibat langsung
dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu
benda keras maupun proses akselerasi deselerasi dari gerakan kepala. Dalam
mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera
primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah
sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat
benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi
karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi
trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak
(substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur

14

permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan


(contrecoup) (japardi, 2004)
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa
perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan
tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.(japardi, 2004)
5. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3
deskripsi kalsifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan
morfologinya.
a. Mekanisme cedera kepala
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul
dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan
kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul.
Sedang cedera kepala tembuus disebabkan oleh peluru atau tusukan (Bernath,
2009).
b. Beratnya cedera
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale
adalah sebagai berikut :
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.
Glasgow Glasgow Coma Scale
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara
Buka mata bila dirangsang nyeri
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
Respon verbal (V)
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang
Kata-kata tidak teratur

nilai ai
4
3
2
1

5
4
3
15

Suara tidak jelas


Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

2
1

Respon motorik (M)


Mengikuti perintah
6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan
4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal
3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal
2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi
1(Kluwer, 2009)
c. Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan
lesiintrakranial.
1. Fraktur cranium
Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat
berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.
Fracture dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan
dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk
kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda
tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis
retroauikular (battle sign), kebocoran CSS(Rhinorrhea, otorrhea) dan
paresis nervus fasialis (Bernath, 2009)
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya
hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena
robeknya selaput duramater. Keadaan ini membutuhkan tindakan dengan
segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan
yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya tulang
tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura
ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak
mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko
hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20
kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi
16

risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan
20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura
tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk
pengamatan (Davidh, 2009)
2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa,
walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal
termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau
hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa,
secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan
perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis(Bernath,
2009)
1. Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di
ruang potensial antara tabula interna dan duramater dengan ciri
berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling sering
terletak diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat
robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap
berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada
sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya
sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior.
Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu
diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak
segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang
terjadi tidak berlangsungg lama. Keberhasilan pada penderita
pendarahan epidural berkaitan langsung dengan status neurologis
penderita sebelum pembedahan. Gejala yang sangat menonjol ialah
kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini
seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga.
17

Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau
telinga. Pasien seperti ini harus di observasi dengan teliti. Setiap
orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari
cedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi
cedera kepala.
Gejala yang sering tampak :
Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
Bingung
Penglihatan kabur
Susah bicara
Nyeri kepala yang hebat
Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala.
Mual
Pusing
Berkeringat
Pucat
Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.

Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai


hemiparese atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalanannya,
pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya pada
18

permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi


herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi.
Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil
kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil
tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda
kematian. Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya,
mencerminkan

adanya

disfungsi

rostrocaudal

batang

otak.

Jika Epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar


otak, interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda
lainnya menjadi kabur.
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak
selalu homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat
pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral
( tanda space occupying lesion ). Batas dengan corteks licin, densitas
duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi
media kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas (Gazali,
2007).
2. Hematoma subdural

Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi diantra


duramater dan aracnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH,
19

ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling
sering akibat robeknya vena bridging vein antara kortek cerebral dan sinus
draining. Namun ia juga dapat

berkaitan dengan laserasi permukaan atau

substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. (American college
of surgeon, 1997).
Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta
biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma
epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan
operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif. Subdural hematom
terbagi menjadi akut, subakut, dan kronis:
a.Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai
48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat.
Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak
dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya
menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadaan ini dengan cepat
menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut
nadi dan tekanan darah.
b. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48
jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma
subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam
ruangansubdural.
Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma
kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan
status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu
penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk.
Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa
jam.Dengan

meningkatnya

tekanan

intrakranial

seiring

pembesaran

hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak


memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran
20

isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi


darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tandatanda neurologik dari kompresi batang otak.
c.Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan
bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek
salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara
lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan
terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih
tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi
kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini
yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau
pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering
terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada
kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu
gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa
menunjukkan adanya genangan darah. Hematoma subdural pada bayi bisa
menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih
lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali
diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan
gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.
3. Kontusi dan hematoma intraserebral
Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi
otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas
terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi
pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara
kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya.
Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat
laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
21

Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan


(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio
jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di
dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus
frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan
(coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang
didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan
(Hafidh, 2007).

4. Cedera difus
Cedara otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada
cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana
kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang
bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun
karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari
komosio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia.
Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera komosio
yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde
dan amnesia antegrad (American college of surgeon, 1997).

22

Komosio

cerebri

klasik

adalah

cedera

yang

mengakibatkan

menurunnya atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan


amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya
cidera. Dalam beberapa penderita dapat timbul defisit neurologis untuk
beberapa waktu. Defisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing,
mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal
sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan
dimana penderita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan
tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemik. Biasanya
penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa
waktu. Penderita sering menuunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan
bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup.
Penderita sering menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi,
hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera aksonal difus
dan cedeera otak kerena hipoksia secara klinis tidak mudah, dan memang
dua keadaan tersebut sering terjadi bersamaan (American college of
surgeon,1997)
Dalam beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan cedera kepala.
Karenanya akan dibahas juga mengenai trauma wajah ini, yang meski bukan penyebab
kematian namun kecacatan yang akan menetap seumur hidup perlu menjadi pertimbangan.
CEDERA MAXILLOFACIAL
1.

Faktur maxilaris
Fraktur maxilla merupakan cedera wajah yang paling berat, dan dicirikan oleh:
-

Mobilitas palatum

Mobilitas hidung yang menyertai palatum

Epistaksis

Mobilitas 1/3 wajah bag tengah.

Klasifikasi menurut le fort


Lefort 1
23

Fraktur melintang rendah pada maxila


yang hanya melibatkan palatum,
dicirikan oleh pergeseran arcus
dentalis
maxila
dan
palatum,
maloklusi gigi biasanya bisa terjadi
(Boies, 2002).

Lefort II

Fraktur ini dicirikan mobilitas palatum dan hidung end-block, juga epistaksis yang
jelas. Biasanya maloklusi gigi dan pergeseran pllatum kebelakang. Fraktur end-block
pada palatum dan sepertiga tengah wajah tremasuk hidung(Boies, 2002)
Lefort III
Merupakan cedera paling berat, dimana perlekatan seluruh rangka wajah
terputus.seluruh komplek zigomatikus menjadi mobile dan tergeser (Boies, 2002)

24

2. Fraktur mandibula
Pada palpasi teraba garis fraktur dan mungkin terdapat mati rasa bibir bawah akibat
kerusakan pada nervus mandibularis. Fraktur pada umumnya akan disertai dislokasi fragmen
tulang sesuai dengan tonus otot yang berinsersi di tempat tersebut. Pada fraktur daerah dagu, otot
akan menarik fragmen tulang kearah dorsokaudal, sedangkan pada fraktur bagian lateral tulang
akan tertarik kearah cranial (Boies,2002).
3. Fraktur gigi
Merupakan fraktur tersendiri atau bersama- sama dengan fraktur maksila maupun mandibula,
dimana gigi yang hancur perlu dicabut, sementara yang patah dibiarkan(Boies, 2002)
4. Fraktur os nasal
Biasanya disebabkan oleh trauma langsung, dimana pada pemeriksaan didapatkan
pembengkakan, epistaksis nyeri tekan dan teraba garis fraktur. Foto radiologi diperlukan dalam
membantu diagnosis yakni, proyeksi foto PA dan lateral, sedangkan tindakan yang perlu
dilakukan adalah reposisi atau septoplasty (Boies, 2002)
5. Fraktur orbita
Biasanya didapatkan gejala klinis berupa hematom monokel yang dapat disertai diplopia,
hemomaksila dan mati rasa pipi karena cedera nervus infraorbitalis atau mati rasa dahi karena
kerusakan nervus supraorbitalis. Fraktur juga dapat menyebabkan enoftalmus dan sering disertai
terjepitnya muskulus rectus inferior di dalam patahan sehingga gerakan bola mata sangat
terganggu dan penderita mengalami diplopia(Boies, 2002)
6. Fraktur os zygoma
Fraktur ini sering terbatas pada arcus dan pinggir orbita sehingga tidak disertai hematom
orbita, tetapi terlihat sebagai pembengkakan pipi di daerah arcus zygomaticus. Diagnosis
ditegakan secara klinis atau dengan foto rontgen proyeksi waters, yaitu temporooksipital(Boies,
2002)

6.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Foto polos kepala
Tidak semua penderita dengan cedera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan kepala
karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi
meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka tembus (tembak/tajam), adanya corpus alineum,
deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala fokal
neurologis, gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan
mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan
adanya fraktur depresi maka dilakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique.
b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Indikasi CT Scan adalah :
1) Nyeri kepala menetap atau muntah muntah yang tidak menghilang setelah pemberian
obatobatan analgesia/anti muntah.
2) Adanya kejang kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi intrakranial
dibandingkan dengan kejang general.
3) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor faktor ekstracranial telah disingkirkan
(karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock, febris, dll).
4) Adanya lateralisasi.
5) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi
temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
6) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
7) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
8) Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).
9) Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan
pada 24 - 72 jam setelah injuri.
c. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.

d. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan


jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
e. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
f. X-Ray:

Mendeteksi

perubahan

struktur

tulang

(fraktur),

perubahan

struktur

garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.


g. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
h. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
i. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
j. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intracranial
k. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial
l. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
m. Kesadaran (Haryo, 2008)
7. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memiliki tujuan untuk
memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan
umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.
Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala
ringan, sedang, atau berat(ariwibowo, 2008).
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam
penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing,
circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada
penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah
penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak(ariwibowo,
2008).
Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat
antara lain:
a. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
b. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
c. Penurunan tingkat kesadaran

d. Nyeri kepala sedang hingga berat


e. Intoksikasi alkohol atau obat
f. Fraktura tengkorak
g. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
h. Cedera penyerta yang jelas
i. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan
j. CT scan abnormal(Ghazali, 2007)
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan
suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat
berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid,
barbiturat dan antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan
tindakan operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien,
temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai
berikut:
a. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih
dari 20 cc di daerah infratentorial
b. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
c. tanda fokal neurologis semakin berat
d. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
e. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
f. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
g. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
h. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
i. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis (Bernath, 2009)

8. PROGNOSIS
Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah mendapat terapi yang
agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya pemulihan yang baik. Penderita
yang berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan
dari cedera kepala (American college of surgeon,1997).

Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma juga sangat
mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.

BAB III
KESIMPULAN

Cedera kepala bisa menyebabkan kematian tetapi juga penderita bisa mengalami
penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya
kerusakan otak yang terjadi.
Terjadinya cedera kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu cedera primer
yang merupakan akibat yang langsung dari suatu ruda paksa dan cedera sekunder yang terjadi
akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahapmlanjutan dari kerusakan otak primer.
Aspek-aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan menjadi beberapa klasifikasi yaitu
berdasarkan mekanisme cedera kepala, beratnya cedera kepala, dan morfologinya. Tetapi dari
beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan cedeera kepala, yang
walaupun bukan merupakan penyebab kematian namun merupakan penyebab kecacatan yang
akan menetap seumur hidup yang perlu dipertimbangkan.
Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap, yang bervariasi
tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas (terlokalisir) atau lebih menyebar
(difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga tergantung kepada bagian otak mana yang terkena.
Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi, berbicara,
penglihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa mempengaruhi ingatan dan
pola tidur penderita, dan bisa menyebabkan kebingungan dan koma.
Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehingga area yang tidak
mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan.
Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama
lainnya, semakin berkurang.

DAFTAR PUSTAKA

1. American College of Surgeons, 1997, Advance Trauma Life Suport. United States of
America: Firs Impression
2. Ariwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta: Pustaka
Cendekia Press of Yogyakarta
3. Bernath David, 2009, Head Injury, www.e-medicine.com
4. Boies adam., 2002, Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.
5. Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: penerbit buku
kedokteran EGC
6. Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka Cendekia.
7. Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif. Sumatra Utara:
USU Press.
8. Kluwer wolters, 2009, Trauma and acute care surgery, Philadelphia: Lippicott Williams and
Wilkins

Anda mungkin juga menyukai