CEDERA KEPALA
Pembimbing :
Dr. Ibnu Benhadi, SpBS
Disusun oleh :
Bena Miralda
030.08.056
LEMBAR PENGESAHAN
Referat yang berjudul Cedera Kepala telah diterima dan disetujui pada Juli
2013 oleh pembimbing sebagai salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik
Ilmu Bedah di RSUD Budhi Asih
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT saya panjatkan karena dengan rahmatNya saya dapat
menyelesaikan tugas referat Kepaniteraan klinik Ilmu Bedah RSUD Budhi Asih
dengan judul cedera kepala ini dengan sebaik-baiknya.
Adapun tujuan dari penyusunan referat ini adalah untuk memenuhi tugas
kepaniteraan klinik di RSUD Budhi Asih. Selain itu, penyusunan referat ini juga
bertujuan agar penyusun lebih memahami Cedera kepala.
Dalam penyusunan referat ini, penyusun banyak mendapat bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan rasa
hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr.Ibnu Benhadi,SpBS selaku
pembimbing atas segala kesabarannya dalam mengarahkan, memberikan bimbingan
dan membagi pengalaman yang berharga dalam penyusunan referat ini. Ucapan
terima kasih juga saya tujukan kepada rekan-rekan di kepaniteraan klinik ini yang
banyak sekali membantu penyusun dalam proses kepaniteraan ini.
Akhir kata, penyusun menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna,
baik dari pemikiran, pengetahuan, penyusunan bahasa, maupun sistematika. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifata membangun dari semua pihak yang
membaca referat ini sangat diharapkan guna menjadi pelajaran bagi penyusun dalam
menyusun referat di waktu yang akan datang. Dan semoga referat ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Penulis,
Bena Miralda
030.08.056
3
BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa
tumpul / tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara.
Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia
produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan
karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk
menjaga keselamatan di jalan masih rendah, disamping penanganan pertama yang
belum benar - benar , serta rujukan yang terlambat.
Di Indonesia kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah
sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai cedera
kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang, dan 10 % termasuk cedera kepala
berat.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para
dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada
penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan
darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak
sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan
kesembuhan penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary
survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan
pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan kepala.
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang
memerlukan tindakan operasi dan sisanya dirawat secara konservatif. Pragnosis
pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat
dan cepat.
Adapun pembagian trauma kapitis adalah: Simple head injury, Commutio
cerebri, Contusion cerebri, Laceratio cerebri, Basis cranii fracture. Simple
head injury dan Commutio cerebri sekarang digolongkan sebagai cedera kepala
cerebri
digolongkan
sebagai
resusitasi,
anamnesa
dan
Tingkat
keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat pasien tiba di Rumah
Sakit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.
atau
tidak
langsung
yang
b. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri
dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria
khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian
dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis,
fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah
batang otak dan serebelum (American college of surgeon, 1997).
c. Meninges
Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu :
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang
keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada
permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput
arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang
subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural(Japardi, 2004)
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena
ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus
ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat(Japardi,2004)
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah
arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa
media).
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut
spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang
terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya
disebabkan akibat cedera kepala (American college of surgeon,1997)
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater
adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak,
9
meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana
ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya.
Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia
mater (japardi, 2004).
d. Otak
bertanggung
jawab
dalam
fungsi
koordinasi
dan
11
f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior) (japardi,2004)
g. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan
membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan
otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup.
Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus
cranialis(japardi,2004).
12
13
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan sekunder. Cedera primer merupakan cedera akibat langsung
dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu
benda keras maupun proses akselerasi deselerasi dari gerakan kepala. Dalam
mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera
primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah
sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat
benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi
karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi
trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak
(substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur
14
nilai ai
4
3
2
1
5
4
3
15
2
1
risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan
20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura
tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk
pengamatan (Davidh, 2009)
2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa,
walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal
termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau
hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa,
secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan
perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis(Bernath,
2009)
1. Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di
ruang potensial antara tabula interna dan duramater dengan ciri
berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling sering
terletak diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat
robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap
berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada
sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya
sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior.
Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu
diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak
segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang
terjadi tidak berlangsungg lama. Keberhasilan pada penderita
pendarahan epidural berkaitan langsung dengan status neurologis
penderita sebelum pembedahan. Gejala yang sangat menonjol ialah
kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini
seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga.
17
Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau
telinga. Pasien seperti ini harus di observasi dengan teliti. Setiap
orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari
cedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi
cedera kepala.
Gejala yang sering tampak :
Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
Bingung
Penglihatan kabur
Susah bicara
Nyeri kepala yang hebat
Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala.
Mual
Pusing
Berkeringat
Pucat
Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.
adanya
disfungsi
rostrocaudal
batang
otak.
ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling
sering akibat robeknya vena bridging vein antara kortek cerebral dan sinus
draining. Namun ia juga dapat
substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. (American college
of surgeon, 1997).
Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta
biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma
epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan
operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif. Subdural hematom
terbagi menjadi akut, subakut, dan kronis:
a.Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai
48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat.
Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak
dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya
menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadaan ini dengan cepat
menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut
nadi dan tekanan darah.
b. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48
jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma
subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam
ruangansubdural.
Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma
kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan
status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu
penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk.
Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa
jam.Dengan
meningkatnya
tekanan
intrakranial
seiring
pembesaran
4. Cedera difus
Cedara otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada
cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana
kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang
bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun
karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari
komosio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia.
Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera komosio
yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde
dan amnesia antegrad (American college of surgeon, 1997).
22
Komosio
cerebri
klasik
adalah
cedera
yang
mengakibatkan
Faktur maxilaris
Fraktur maxilla merupakan cedera wajah yang paling berat, dan dicirikan oleh:
-
Mobilitas palatum
Epistaksis
Lefort II
Fraktur ini dicirikan mobilitas palatum dan hidung end-block, juga epistaksis yang
jelas. Biasanya maloklusi gigi dan pergeseran pllatum kebelakang. Fraktur end-block
pada palatum dan sepertiga tengah wajah tremasuk hidung(Boies, 2002)
Lefort III
Merupakan cedera paling berat, dimana perlekatan seluruh rangka wajah
terputus.seluruh komplek zigomatikus menjadi mobile dan tergeser (Boies, 2002)
24
2. Fraktur mandibula
Pada palpasi teraba garis fraktur dan mungkin terdapat mati rasa bibir bawah akibat
kerusakan pada nervus mandibularis. Fraktur pada umumnya akan disertai dislokasi fragmen
tulang sesuai dengan tonus otot yang berinsersi di tempat tersebut. Pada fraktur daerah dagu, otot
akan menarik fragmen tulang kearah dorsokaudal, sedangkan pada fraktur bagian lateral tulang
akan tertarik kearah cranial (Boies,2002).
3. Fraktur gigi
Merupakan fraktur tersendiri atau bersama- sama dengan fraktur maksila maupun mandibula,
dimana gigi yang hancur perlu dicabut, sementara yang patah dibiarkan(Boies, 2002)
4. Fraktur os nasal
Biasanya disebabkan oleh trauma langsung, dimana pada pemeriksaan didapatkan
pembengkakan, epistaksis nyeri tekan dan teraba garis fraktur. Foto radiologi diperlukan dalam
membantu diagnosis yakni, proyeksi foto PA dan lateral, sedangkan tindakan yang perlu
dilakukan adalah reposisi atau septoplasty (Boies, 2002)
5. Fraktur orbita
Biasanya didapatkan gejala klinis berupa hematom monokel yang dapat disertai diplopia,
hemomaksila dan mati rasa pipi karena cedera nervus infraorbitalis atau mati rasa dahi karena
kerusakan nervus supraorbitalis. Fraktur juga dapat menyebabkan enoftalmus dan sering disertai
terjepitnya muskulus rectus inferior di dalam patahan sehingga gerakan bola mata sangat
terganggu dan penderita mengalami diplopia(Boies, 2002)
6. Fraktur os zygoma
Fraktur ini sering terbatas pada arcus dan pinggir orbita sehingga tidak disertai hematom
orbita, tetapi terlihat sebagai pembengkakan pipi di daerah arcus zygomaticus. Diagnosis
ditegakan secara klinis atau dengan foto rontgen proyeksi waters, yaitu temporooksipital(Boies,
2002)
6.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Foto polos kepala
Tidak semua penderita dengan cedera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan kepala
karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi
meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka tembus (tembak/tajam), adanya corpus alineum,
deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala fokal
neurologis, gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan
mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan
adanya fraktur depresi maka dilakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique.
b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Indikasi CT Scan adalah :
1) Nyeri kepala menetap atau muntah muntah yang tidak menghilang setelah pemberian
obatobatan analgesia/anti muntah.
2) Adanya kejang kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi intrakranial
dibandingkan dengan kejang general.
3) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor faktor ekstracranial telah disingkirkan
(karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock, febris, dll).
4) Adanya lateralisasi.
5) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi
temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
6) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
7) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
8) Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).
9) Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan
pada 24 - 72 jam setelah injuri.
c. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
Mendeteksi
perubahan
struktur
tulang
(fraktur),
perubahan
struktur
8. PROGNOSIS
Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah mendapat terapi yang
agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya pemulihan yang baik. Penderita
yang berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan
dari cedera kepala (American college of surgeon,1997).
Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma juga sangat
mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.
BAB III
KESIMPULAN
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian tetapi juga penderita bisa mengalami
penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya
kerusakan otak yang terjadi.
Terjadinya cedera kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu cedera primer
yang merupakan akibat yang langsung dari suatu ruda paksa dan cedera sekunder yang terjadi
akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahapmlanjutan dari kerusakan otak primer.
Aspek-aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan menjadi beberapa klasifikasi yaitu
berdasarkan mekanisme cedera kepala, beratnya cedera kepala, dan morfologinya. Tetapi dari
beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan cedeera kepala, yang
walaupun bukan merupakan penyebab kematian namun merupakan penyebab kecacatan yang
akan menetap seumur hidup yang perlu dipertimbangkan.
Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap, yang bervariasi
tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas (terlokalisir) atau lebih menyebar
(difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga tergantung kepada bagian otak mana yang terkena.
Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi, berbicara,
penglihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa mempengaruhi ingatan dan
pola tidur penderita, dan bisa menyebabkan kebingungan dan koma.
Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehingga area yang tidak
mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan.
Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama
lainnya, semakin berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
1. American College of Surgeons, 1997, Advance Trauma Life Suport. United States of
America: Firs Impression
2. Ariwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta: Pustaka
Cendekia Press of Yogyakarta
3. Bernath David, 2009, Head Injury, www.e-medicine.com
4. Boies adam., 2002, Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.
5. Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: penerbit buku
kedokteran EGC
6. Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka Cendekia.
7. Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif. Sumatra Utara:
USU Press.
8. Kluwer wolters, 2009, Trauma and acute care surgery, Philadelphia: Lippicott Williams and
Wilkins