Laporan Kasus - CLM
Laporan Kasus - CLM
OLEH :
Nadhira Anindita
01.209.5960
M.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
disebabkan oleh invasi larva cacing tambang yang berasal dari anjing atau kucing [1].
Kelainan ini dapat ditemukan di seluruh dunia, terutama di daerah yang beriklim
tropis, udara yang hangat dan lembab sangat cocok untuk kelangsungan hidup cacing
tambang. Kejadian cutaneous larva migrans di Indonesia cukup tinggi, terutama di
daerah pedesaan, sekitar 40% pada tahun 2010[7]. Umumnya terjadi pada anak-anak
sekitar 2/3 dari anak berusia 1-15 tahun[4].
Penyebab utama cutaneous larva migrans adalah larva cacing tambang, yang
paling sering ditemukan adalah Ancylostoma brazilinse, Ancylostoma caninum,
Uncinaria stenochphala, Bunostonum phlebotomum, namun dapat juga ditemukan
jenis larva lain[1]. Jenis nematoda tesebut memiliki siklus hidup untuk berkembang
biak di dalam dinding mukosa anjing dan karnivora lainnya dan pada fase larva akan
dikeluarkan melalui feses. Untuk dapat menjadi cacing dewasa larva harus
menginvasi hostnya kembali[6]. Larva cacing ini sering menginvasi manusia yang
memiliki faktor resiko berupa pekerjaan yang kontak langsung dengan tanah yang
telah terkontaminasi. Anak-anak yang sering bermain tanah tanpa menggunakan alas
kaki, para pekerja bangunan yang kontak dengan pasir atau tanah, para pemburu
hewan di hutan, dan peternak hewan merupakan kelompok yang paling sering
menderita cutaneous larva migrans[2].
Saat mengalami kontak langsung dengan lapisan terluar kulit manusia, larva ini
dapat langsung menginvasi masuk ke dalam epidermis. Pada saat telah menembus
epidermis akan timbul gambaran papul pada lokasi invasi namun umumnya jarang
dicurigai. Gambaran inflamasi yang berkelok baru akan muncul tergantung seberapa
cepat cacing dapat menembus stratum korneum kulit. Larva cacing ini tidak dapat
menembus membran basal kulit sehingga tidak dapat melanjutkan siklus hidupnya
dan hanya berjalan-jalan tanpa tujuan di dalam epidermis dan menimbulkan
gambaran klinis peradangan yang berkelok-kelok sesuai dengan perjalanannnya.
Karena tidak dapat menembus membran basal dan melanjutkan hidup, maka larva ini
lama-kelamaan akan mati, sehingga penyakit ini termasuk jenis self limitting
disease. Namun waktu yang diperlukan untuk sembuh bervariasi, ada yang mencapai
bulanan, rasa gatal dan panas pada kulit dapat sangat mengganggu[1].
Pengobatan
cutaneous
larva
migrans
dapat
diberikan
anti-helmintes
berspektrum luas seperti tiabendazol dengan dosis 50 mg/kgBB 2 kali sehari selama
2 hari berturut-turut. Namun obat ini sulit didapatkan, sehingga di Indonesia lebih
sering menggunakan Albendazole untuk terapi cutaneous larva migrans dengan
dosis 400 mg sehari selama 3 hari berturut-turut [1]. Larva yang bergerak-gerak
menimbulkan rasa gatal dan panas yang sangat mengganggu sehingga pengobatan
untuk mematikan larva terlebih dahulu menjadi pilihan utama, yaitu dengan
menggunakan dry ice berupa kloretil yang disemprotkan di daerah lesi dengan
penekanan selama 45 60 detik[8].
BAB II
KASUS CUTANEOUS LARVA MIGRAN
1. Anamnesis
Anamnesis yang dilakukan pada pasien dengan cutaneous larva migrans pada
tanggal 4 Juli 2013 adalah sebagai berikut :
a. Identitas Pasien
Nama
: Tn. A
Umur
: 34 tahun
Alamat
: Pegandon
Pekerjaaan
: Buruh bangunan
b. Keluhan utama
- Keluhan utama
: timbul kulit yang berkelok-kelok dan gatal
- Lokasi
: di tangan kiri pada jari I bagian proksimal dan di
-
sarung tangan.
Teman-teman kerja ada juga yang menderita penyakit yang sama.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada Tn. A adalah dengan inspeksi langsung
pada lesi, didapatkan status dermatologi sebagai berikut :
Lokasi
polex sinistra)
UKK
: lesi berkelok dan menimbul membentuk terowongan + 3 cm
dengan dasar eritem, dan di ujungnya terdapat 2 buah papul dengan krusta
di bagian tengahnya, berbatas tegas dan soliter
Lokasi
UKK
dengan dasar eritem, dan di ujung medial terdapat 2 buah papul dengan
krusta di tengah dan di ujung lateral terdapat 1 buah papul dengan krusta
dan skuama, lesi berbatas tegas dan soliter
3. Pemeriksaan Penunjang
BAB III
PEMBAHASAN
Dari lampiran kasus Tn. A di atas yang didiagnosa sebagai cutaneous larva
migrans. Diagnosis ini ditegakkan dengan ditemukannya ujud kelainan kulit yang
khas berupa lesi peradangan berkelok-kelok yang panjang menimbul membentuk
terowongan dengan dasar eritem terdapat papul di atasnya, berbatas tegas, dan
bersifat progresif. Diagnosis serupa juga dijelaskan dalam buku Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin FK UI yaitu berupa bentuk khas, seperti benang yang lurus atau
berkelok, menimbul dan terdapat papul atau vesikel di atasnya[1].
Diagnosis ini didukung dengan pekerjaan Tn. A sebagai buruh bangunan yang
sehari-hari kontak dengan pasir dan tanah tanpa menggunakan proteksi lengkap.
Pekerjaan Tn. A merupakan salah satu faktor resiko menderita penyakit cutaneous
larva migrans akibat seringnya kontak dengan tanah, pekerjaan dengan faktor resiko
tinggi lainnya adalah peternak, petani, pemburu, tukang kayu, anak-anak yang sering
bermain tanah dan pekerjaan lainnya yang sering kontak dengan tanah tanpa
menggunakan alat proteksi[7].
Bentuk hidup yang menginvasi ke dalam kulit umumnya adalah larva dari
Ancylostoma brazilines dan Ancylostoma caninum atau bisa juga dalam bentuk telur.
Larva ini akan menembus epidermis dan masuk ke bagian dalam namun tidak dapat
menembus membran basal. Gambaran berupa lesi seperti benang yang lurus atau
berkelok baru akan timbul setelah larva berhasil menembus stratum korneum [2].
Pasien biasanya belum akan mengeluhkan gejala pada fase ini karena hanya berupa
gatal saja tanpa timbulnya lesi. Setelah beberapa hari larva akan bermigrasi tanpa
tujuan sehingga akan menimbulkan rasa panas dan gatal yang meningkat. Pada saat
bermigrasi inilah gambaran klinis berupa lesi berkelok dan menimbul membentuk
terowongan terlihat. Biasanya pada fase seperti ini pasien datang untuk berobat ke
dokter.
Pemeriksaan penunjang biasanya jarang dilakukan karena gambaran klinis dari
cutaneous larva migrans sangat khas. Untuk menentukan diagnosis biasanya dilihat
dari gambaran klinis lesi berkelok yang khas membentuk terowongan, berisi cairan
serosan, lesi terasa sangat gatal dan panas, dapat juga timbul gejala sistemik yang
tidak khas. Selain itu predileksi cutaneous larva migrans juga khas biasanya di
daerah kaki dan tungkai mencapai 50 %, di daeran tangan, dan pantat. Lesi juga bisa
terdapat di daerah perut. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan
laboratorium dari sampel lesi dapat ditemukan larva atau telur nematoda[7].
Diagnosis banding dari cutaneous larva migrans salah satunya adalah Scabies,
karena gambaran klinis yang sama-sama membentuk terowongan, dengan gatal yang
menghebat dimalam hari, dan lesi pada Tn. A terdapat di sela-sela jari juga di kaki.
Namun, yang membedakannya dari Scabies, terowongan yg terbentuk pada Scabies
relatif pendek dan kecil, rasa gatal yang hebat pada malam hari juga tidak disertai
rasa panas, dan predileksi khas dari scabies yang terdapat pada sela-sela jari, pantat,
daerah lipat paha, perut dan dada[1] [6]. Dermatofitosis jenis Tinea Manus juga bisa
menjadi diagnosis banding jika berbentuk polisiklik dengan gambaran central
healing yang tampak. Namun pada Tn. A tidak didapatkan gambaran tersebut.
Terapi yang diberikan terdiri dari topikal dan sistemik peroral. Terapi
topikal yang langsung dilakukan terhadap pasien di ruang tindakan adalah
cryotherapy dengan menggunakan kloretil yang disemprotkan pada sepanjang lesi
berkelok yang dilebihkan beberapa sentimeter untuk mengantisipasi letak larva.
Sebelum disemprotkan kloretil, kulit disekitar lesi dioleskan krim Fuson yang
mengandung asam fusidat untuk melindungi dari kerusakan atau nekrosis jaringan
saat disemprotkan kloretil yang dapat membekukan kulit. Kloretil disemprotkan
dengan penekanan selama 45-60 detik sepanjang lesi. Penyemprotan kloretil ini
bertujuan untuk mematikan larva dengan menurunkan suhu jaringan di sekitarnya
secara drastis[8].
Pilihan terapi sistemik yang dapat diberikan adalah antihelmintes seperti
ivermectin, tiabendazol, mebendazol, dan albendazol. Ivermectin dengan dosis
tunggal 20 mg / kg BB per hari lebih efektif dibandingkan antihelmintes lainnya
karena langsung mematikan larva yang diam ataupun yang sedang bermigrasi.
Namun, obat ini hanya terdapat di negara-negara tertentu saja [2]. Terapi oral yang
diberikan kepada Tn. A adalah albendazol sirup suspensi 10 ml yang mengandung
400mg albendazol single dose 1 kali sehari selama 3 hari berturut-turut.
Albendazol mudah didapatkan di negara-negara di Asia tersedia dalam bentuk
tablet dan suspensi 10 ml / botol dengan dosis 400 mg. Obat ini bekerja dengan
cara menghambat pengambilan glukosa oleh larva cacing sehingga produksi ATP
sebagai sumber energi untuk mempertahankan hidup lambat laun berkurang dan
menyebabkan kematian larva. Efek samping obat dapat menyebabkan gatal-gatal
dan mulut kering[3].
Prognosis dari kasus ini yaitu dubia ad bonam untuk ad vitam, ad sanam,
maupun ad kosmetikam[7].
[1]
DAFTAR PUSTAKA
Aisah, Siti dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, editor Djuanda, Adhi.,
Hamzah, Mochtar., Aisah, Siti., Edisi Keenam. 2009. Jakarta : FK UI. Hal.,
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
125-126
Feldmeier, H., dalam Microbiol Infectsious Disease Journal : Hookwormrelated Cutaneous Larva Migrans. 2010. USA : Springer. Hal., 915-918
Goodman dalam Pharmacological Basic Therapeutics. 2009. Mc Graw Hill :
USA.
Heryantoro, Lutvi., dalam Thesis : Analisis Kejadian Creeping Eruption di
Kabupaten Kulonprogo Yogyakarta. 2012. Yogyakarta : UGM. Hal., 1
Mukherjee, A., dalam Journal of Medical Microbilogy: A rare case of
Cutaneous Larva Migrans. 2012. India. Hal., 357
Palgunadi, Bagus., dalam Clinical Review: Cutaneous Larva Migrans. 2010.