Oleh
Kelompok 2
Qisthy Adillah
240210120006
Mashita Andhani
240210120012
240210120017
Tania Amalina A
240210120024
Hilmi Harosilia
240210120030
Hafizha M Putri
240210120037
Vania Deborauli S
240210120044
Florin Kosalim
240210120050
Syeira Afuza
240210120057
Desrizal Ahmad
240210120064
UNIVERSITAS PADJAJARAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PANGAN
JATINANGOR
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang tidak dapat
ditinggalkan dalam kehidupan sehari - hari. Tanpa makan dan minum yang cukup
jumlah dan mutunya, manusia tidak akan produktif dalam melakukan
aktivitasnya. Masalah pangan menyangkut pula keamanan, keselamatan dan
kesehatan baik jasmani maupun rohani. Keamanan pangan merupakan salah satu
faktor penting yang harus diperhatikan dalam konsumsi sehari - hari. Dengan
demikian, sesungguhnya pangan selain harus tersedia dalam jumlah yang cukup,
harga terjangkau, juga harus memenuhi persyaratan lain, yaitu sehat, aman, dan
halal.
Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia,
sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam Deklarasi Roma
(1996). Pertimbangan tersebut mendasari terbitnya UU No. 7/1996 tentang
Pangan. Ketahanan pangan dan keamanan pasokan pangan bagi Indonesia yang
antara lain dapat dicapainya swasembada pangan pokok seperti beras, jagung, dan
kedelai. Selain itu ketahanan pangan dapat dicirikan juga dengan berkurangnya
ketergantungan terhadap impor. Berbagai kebijakan pangan telah diupayakan
pemerintah untuk mengatasi permasalahan pangan di Indonesia. Namun,
kebijakan tersebut belum dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia
khususnya rakyat kecil seperti petani, dan lain-lain.
Pengawasan pangan merupakan kegiatan pengaturan wajib baik oleh
pemerintah pusat maupun daerah untuk member perlindungan kepada konsumen
dan menjamin bahwa semua produk pangan sejak produksi, penanganan,
penyimpanan, pengolahan, dan distribusi adalah aman, layak dan sesuai untuk
konsumsi manusia, memenuhi persyaratan keamanan dan mutu pangan, dan telah
diberi label dengan jujur dan tepat sesuai hokum yang berlaku (FAO/WHO,
2003).
Menurut UU No 7 tahun 1996 pasal 3, tujuan pengaturan, pembinaan, dan
pengawasan pangan adalah :
1. Tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi
bagi kepentingan kesehatan manusia;
BAB II
ISI
2.1
2.1.1
adanya keamanan pangan dan definisi keamanan pangan menurut UndangUndang. Berikut adalah isi dari pasal tersebut :
1) Keamanan Pangan diselenggarakan untuk menjaga Pangan tetap aman,
higienis, bermutu, bergizi, dan tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat.
2) Keamanan Pangan dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan cemaran
biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan
membahayakan kesehatan manusia.
Keamanan pangan adalah sebuah tanggung jawab yang mengikat semua
pihak, dari petani hingga konsumen yang menyiapkan makanan. Jika tanggung
jawab ini diabaikan maka resiko yang akan dihadapi adalah keracunan yang dapat
menyebabkan kematian (Dwiari, 2008).
Bahaya kemanan pangan, seperti yang disebutkan dalam pasal tersebut,
terdiri dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu
kesehatan manusia. Menurut Dewanti dan Hariyadi (2011), yang termasuk ke
dalam cemaran biologis adalah virus, bakteri, protozoa, dan parasit; cemaran
kimia termasuk mikotoksin yang berasal dari kapang, pestisida yang menempel
pada bahan pangan, dan bahan kimia terlarut yang dilarang digunakan dalam
bahan pangan; sedangkan yang termasuk dalam cemaran benda lain yang dapat
mengganggu berarti benda asing seperti kaca, kayu, batu, logam, serangga, tulang,
plastik, dan lainnya.
Pasal 68 dan Pasal 69 UU No. 18 Tahun 2012 masih berkaitan dengan
kemanan pangan, dimana kedua pasal tersebut berisi tentang bagaimana
penyelenggaraan keamanan pangan menurut Undang-Undang. Berikut adalah isi
dari Pasal 68 :
1) Pemerintah
dan
Pemerintah
Daerah
menjamin
terwujudnya
Sanitasi Pangan;
Pengaturan terhadap bahan tambahan pangan;
Pengaturan terhadap Pangan Produk Rekayasa Genetik;
Pengaturan terhadap Iradiasi Pangan;
Pengaturan standar Kemasan Pangan;
Pemberian jaminan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan; dan
Jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan.
Pasal 68 menyebutkan bahwa dalam penerapan keamanan pangan harus
diawasi oleh pemerintah terkait, dan penerapan ini berdasarkan syarat-syarat yang
telah ditetapkan dalam Undang-Undang. Penerapan keamanan pangan di industri
pangan Indonesia dilakukan sesuai dengan poin-poin yang telah disebutkan dalam
Pasal 69 UU No.18 Tahun 2012, dimana setiap poin dalam Pasal 69 akan
dijelaskan dalam pasal-pasal selanjutnya.
2.1.2
Pangan. Pasal ini menyebutkan tentang tujuan adanya sanitasi pangan dan
penerapan sanitasi pangan tersebut. Berikut adalah isi dari Pasal 70 :
1) Sanitasi Pangan dilakukan agar Pangan aman untuk dikonsumsi.
pangan yang digunakan dalam proses produksi pangan. Pasal 73 berisi tentang
definisi dari bahan tambahan pangan, yaitu bahan yang ditambahkan ke dalam
pangan untuk mempengaruhi dan/atau bentuk pangan. Beberapa jenis bahan
tambahan pangan adalah sebagai berikut (Dwiari, 2008) :
menggunakan :
a. Bahan tambahan pangan yang melampaui ambang batas maksimal
yang ditetapkan; dan/atau
b. Bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan Pangan.
2) Ketentuan mengenai ambang batas maksimal dan bahan yang dilarang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 76 berisi tentang sanksi yang dikenakan kepada pihak-pihak yang
melanggar peraturan tentang bahan tambahan pangan tersebut :
1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 75 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :
a. Denda;
b. Penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
c. Penarikan pangan dari peredaran oleh produsen;
d. Ganti rugi; dan/atau
e. Pencabutan izin.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan
mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
2.2
tercantum dalam label kemasan pangan. Ketidaksesuaian isi produk dengan label
kemasannya dapat dinamakan penipuan konsumen.
Pada pasal 90 berisi tentang setiap orang dilarang mengedarkan pangan
tercemar berupa mengandung bahan beracun, berbahaya, atau yang dapat
membahayakan kesehatan atau jiwa manusia, mengandung cemaran yang
melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan, mengandung bahan yang
dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan, mengandung
bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai, atau mengandung bahan nabati atau
hewani yang berpenyakit atau berasal dari bangkai, diproduksi dengan cara yang
dilarang dan/atau sudah kadaluwarsa. Larangan-larang tersebut dibuat agar tidak
membahayakan konsumen ketika mengkonsumsi pangan tersebut.
Pada pasal 91 berisi tentang setiap pangan olahan yang dibuat di dalam
negeri atau yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran, pelaku
usaha pangan wajib memiliki izin edar dikecualikan terhadap pangan olahan
tertentu yang diproduksi oleh industri rumah tangga.
Pada pasal 92 berisi tentang perlakuan pengawasan dan pencegahan secara
berkala terhadap kadar atau kandungan cemaran pada pangan oleh Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah. Pengawasan tersebut dilakukan agar konsumen tidak
tertipu dan sakit. Pengawasan tersebut sudah ada dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pada pasal 93 berisi tentang setiap orang yang mengimpor pangan untuk
diperdagangkan wajib memenuhi standar keamanan pangan dan mutu pangan.
Pada pasal 94 berisi tentang terkena sanksi akibat melanggar pemenuhan standar
mutu pangan, label kemasan pangan, pangan tercemar, dan impor pangan. Sanksi
yang diberikan pada pelanggaran diatas yaitu berupa sanksi administratif. Sanksi
administratif berupa denda, penghentian sementara dari kegiatan, produksi,
dan/atau pengedaran, penarikan pangan dari peredaran oleh produsen, ganti rugi
dan/atau pencabutan izin.
2.3
yang
tidak
mampu
untuk
membeli
makanan
pokok
lembaga)
dalam
pengorganisasian
pengawasan
mutu
pangan.
Studi Kasus
Zat Kimia masih Ditemukan dalam Makanan Anak
MASALAH keracunan makanan tampaknya sudah langganan di Indonesia.
Hampir setiap tahun kasus keracunan selalu ada dan angka kejadiannya pun cukup
tinggi. Dan, dari seluruh kasus keracunan makanan yang ada, semua bersumber
pada pengolahan makanan tidak higienis. Ironisnya makanan tidak higienis ini
banyak dijual di kantin sekolah.
Masalah keamanan pangan, menurut Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) Sampurno, menjadi isu strategis saat ini.
"Industri rumah tangga di bidang pangan (IRTP) berjumlah lebih dari 500
ribu unit yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun, pada saat yang sama IRTP
juga mempunyai potensi kerawanan keamanan pangan terutama dalam kebersihan
sarana, pemilihan bahan, proses pengolahan, dan monitoring mutu produk di
peredaran," jelasnya.
Demikian juga makanan jajanan (street food) dan jajanan anak sekolah, kata
Sampurno, perlu mendapat perhatian serius dan konsisten dari semua pihak.
"Terutama adanya fenomena penggunaan bahan-bahan kimia yang dilarang
dalam makanan. Perlu dilakukan pembinaan yang lebih intensif kepada IRTP dan
pembuat makanan jajanan terhadap pemasok bahan kimia."
Menurutnya, sumber terbesar keracunan makanan yang terjadi di Indonesia
berada pada usaha jasa boga atau katering untuk karyawan maupun jajanan anak
sekolah.
"Pembinaan dan pengawasan usaha jasa boga dan jajanan anak sekolah ini
ada pada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Meski demikian, lanjutnya, Badan
POM tetap melakukan proaktif menjalin kerja sama dengan mitra terkait.
"Berdasarkan hasil pengujian laboratorium Badan POM sebagian besar
kasus keracunan makanan akibat makanan telah terkontaminasi mikroba patogen
Staphyllococcus areus."
Hal ini mengindikasikan adanya masalah kebersihan dan proses memasak
makanan yang tidak higienis. Sedangkan dari uji sampling jajanan sekolah dari
Banda Aceh sampai Jayapura ditemukan makanan mengandung formalin dan
boraks pada bakso dan mi untuk pengenyal dan pengawet serta Rhodamin B pada
sirup es mambo atau pewarna merah pada es.
Penyuluhan
juga
produk
jajanan
mengandung
mikroba
salmonela
yang
menyebabkan tifus.
Menurut Sampurno, penanganan makanan jajanan anak sekolah ini harus
melibatkan pihak sekolah untuk melakukan pembinaan kepada para penjaja
makanan yang ada di sekitar sekolah maupun kantin.
Sampurno meminta pihak sekolah harus mewaspadai donasi dan promosi
makanan yang dilakukan di sekolah-sekolah. "Makanan yang didonasikan ke
sekolah bila tidak diatur dan dilakukan pengawasan dengan baik dapat
menimbulkan masalah dan risiko pada anak-anak sekolah."
Sehubungan dengan hal itu Badan POM telah menyampaikan pedoman
pemberian pangan untuk konsumsi anak sekolah kepada gubernur di seluruh
Indonesia.
Sedangkan industri makanan di dalam negeri dengan teknologi modern juga
tumbuh pesat dengan dukungan basis sumber daya nasional. "Untuk bersaing di
pasar ekspor, aspek mutu dan keamanan produk harus dijaga konsisten untuk
selalu memenuhi standar internasional terkini."
Anggota DPR dari Komisi IX Achmad Affandy menilai bahwa pemantauan
terhadap makanan yang ditambah dengan zat kimia tidak tuntas. "Dulu pernah ada
pemeriksaan terhadap bahan pembuat tahu Kediri. Hasil pemeriksaan POM
mengandung formalin. Pengusaha tahu Kediri jera dan tidak lagi menambahkan
formalin. Akan tetapi, setelah beberapa bulan kemudian dilakukan lagi dengan
alasan usahanya bisa rugi."
Menurut Sampurno, perbuatan pengusaha itu jelas merugikan masyarakat
apalagi menambahkan zat kimia terlarang pada makanan yang cukup khas di
kotanya.
Sampurno menjelaskan program pengawasan keamanan pangan Badan
POM pada tahun mendatang difokuskan untuk menyelesaikan dan menyusun
berbagai standar bekerja sama dengan Badan Standardisasi Nasional (BSN).
"Terutama menyangkut bahan tambahan pangan pengemulsi, pemantap,
pengatur keasaman, pengental, antioksidan, pemutih, pematang tepung dan
sebagainya."
Demikian pula berbagai peraturan pangan yang saat ini sudah dalam proses,
lanjutnya, perlu diselesaikan segera. Misalnya, peraturan persyaratan penggunaan
pengawet dalam produk pangan, persyaratan penggunaan pewarna, persyaratan
penggunaan bahan baku, persyaratan penggunaan cemaran logam, dan batas
maksimum aflatoksin dalam produk pangan.
Sering kali anak-anak tertarik dengan jajanan sekolah karena warnanya yang
menarik, rasanya yang menggugah selera, dan harganya terjangkau. Makanan
ringan, sirup, bakso, mi ayam dan sebagainya menjadi makanan jajanan seharihari di sekolah. Bahkan tak terbendung lagi berapa uang jajan dihabiskan untuk
membeli makanan yang kurang memenuhi standar gizi ini.
Bahan tambahan
Menurut Ketua Patpi (Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia)
Cabang DKI Jaya DR Ir RD Esti Widjajanti, makanan semakin enak biasanya
ditambah dengan bahan tambahan makanan (BTM). "Produsen makanan rumah
tangga akan berusaha menampilkan makanan semenarik mungkin baik dari
penampakan, aroma, dan tekstur. Akan tetapi, acap kali faktor gizi, higienis dan
keamanan pangan justru diabaikan."
Faktanya produksi pangan olahan untuk tujuan komersial penggunaan bahan
tambahan kimia sebagai bahan pengawet tidak mungkin dihindari, terutama
industri makanan rumah tangga.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pasal 67 69 UU No. 18 Tahun 2012 berkaitan dengan kemanan pangan.
Pasal ini berisi tentang tujuan adanya keamanan pangan dan definisi
pangan tersebut.
Pasal 71 72 UU No. 18 Tahun 2012 berisi tentang peraturan terhadap
penyelenggara sanitasi pangan dan sanksi yang dikenakan jika peraturan
mengandung
bahan
beracun,
berbahaya,
atau
yang
dapat
hewani yang berpenyakit atau berasal dari bangkai, diproduksi dengan cara
mutu pangan, label kemasan pangan, pangan tercemar, dan impor pangan.
Undang-undang nomor18 tahun 2012 Pasal 108 ayat 2 menyatakan
pemerintah berkewajiban untuk memenuhi ketersedian makanan pokok yang
3.2 Saran
Pengawasan terhadap kemanan, mutu, dan gizi pangan segar dilakukan oleh
lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pangan. Multiple Agency System ini memiliki banyak kelemahan. Kelemahan dari
multiple agency system tersebut dapat menyebabkan penurunan keyakinan
konsumen akan kredibilitas sistem yang ada. Lembaga pemerintah juga
berkewajiban unuk mengadakan pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap
proses produksi pangan sampai produk tersebut diterima oleh konsumen. Akan
tetapi, pada kenyataannya masih terdapat produsen-produsen yang melanggar
aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pelanggaran tersebut dapat
disebabkan oleh lembaga pemerintah yang belum maksimal dalam melaksanakan
tugas pengawasannya yang telah diatur dalam undang-undang tersebut.
Seharusnya lembaga pengawasan pemerintah dapat melakasanakan tugasnya
dengan baik, sehingga produk pangan yang diterima oleh masyarakat aman untuk
dikonsumsi.
DAFTAR PUSTAKA
Dwiari, S., dkk. 2008. Teknologi Pangan Jilid I untuk SMK. Departemen
Pendidikan Nasional, Jakarta.
Dewanti, R. dan Hariyadi. 2011. Sistem Manajemen Keamanan Pangan Industri
Jasa Boga. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 Pasal 67 76.
Sofiah, B.D., dan E. Sukarminah. 2011. Sanitasi dan Keamanan Pangan.
Departemen
Jatinangor.
Teknologi
Industri
Pangan,
Universitas
Padjadjaran,