Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH PENGAWASAN MUTU DAN UNDANG-UNDANG PANGAN

Undang-undang pangan no. 18 tahun 2012


Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengawasan Mutu dan Undangundang Pangan

Oleh
Kelompok 2
Qisthy Adillah

240210120006

Mashita Andhani

240210120012

Fineri Dwi Tami

240210120017

Tania Amalina A

240210120024

Hilmi Harosilia

240210120030

Hafizha M Putri

240210120037

Vania Deborauli S

240210120044

Florin Kosalim

240210120050

Syeira Afuza

240210120057

Desrizal Ahmad

240210120064

UNIVERSITAS PADJAJARAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PANGAN
JATINANGOR
2014

BAB I
PENDAHULUAN
Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang tidak dapat
ditinggalkan dalam kehidupan sehari - hari. Tanpa makan dan minum yang cukup
jumlah dan mutunya, manusia tidak akan produktif dalam melakukan
aktivitasnya. Masalah pangan menyangkut pula keamanan, keselamatan dan
kesehatan baik jasmani maupun rohani. Keamanan pangan merupakan salah satu
faktor penting yang harus diperhatikan dalam konsumsi sehari - hari. Dengan
demikian, sesungguhnya pangan selain harus tersedia dalam jumlah yang cukup,
harga terjangkau, juga harus memenuhi persyaratan lain, yaitu sehat, aman, dan
halal.
Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia,
sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam Deklarasi Roma
(1996). Pertimbangan tersebut mendasari terbitnya UU No. 7/1996 tentang
Pangan. Ketahanan pangan dan keamanan pasokan pangan bagi Indonesia yang
antara lain dapat dicapainya swasembada pangan pokok seperti beras, jagung, dan
kedelai. Selain itu ketahanan pangan dapat dicirikan juga dengan berkurangnya
ketergantungan terhadap impor. Berbagai kebijakan pangan telah diupayakan
pemerintah untuk mengatasi permasalahan pangan di Indonesia. Namun,
kebijakan tersebut belum dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia
khususnya rakyat kecil seperti petani, dan lain-lain.
Pengawasan pangan merupakan kegiatan pengaturan wajib baik oleh
pemerintah pusat maupun daerah untuk member perlindungan kepada konsumen
dan menjamin bahwa semua produk pangan sejak produksi, penanganan,
penyimpanan, pengolahan, dan distribusi adalah aman, layak dan sesuai untuk
konsumsi manusia, memenuhi persyaratan keamanan dan mutu pangan, dan telah
diberi label dengan jujur dan tepat sesuai hokum yang berlaku (FAO/WHO,
2003).
Menurut UU No 7 tahun 1996 pasal 3, tujuan pengaturan, pembinaan, dan
pengawasan pangan adalah :
1. Tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi
bagi kepentingan kesehatan manusia;

2. Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab; dan


3. Terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan
terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

BAB II
ISI
2.1

Pasal 67 76 ; Keamanan Pangan

2.1.1

Pasal 67 69 UU No. 18 Tahun 2012


Pasal ini berkaitan dengan kemanan pangan. Pasal ini berisi tentang tujuan

adanya keamanan pangan dan definisi keamanan pangan menurut UndangUndang. Berikut adalah isi dari pasal tersebut :
1) Keamanan Pangan diselenggarakan untuk menjaga Pangan tetap aman,
higienis, bermutu, bergizi, dan tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat.
2) Keamanan Pangan dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan cemaran
biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan
membahayakan kesehatan manusia.
Keamanan pangan adalah sebuah tanggung jawab yang mengikat semua
pihak, dari petani hingga konsumen yang menyiapkan makanan. Jika tanggung
jawab ini diabaikan maka resiko yang akan dihadapi adalah keracunan yang dapat
menyebabkan kematian (Dwiari, 2008).
Bahaya kemanan pangan, seperti yang disebutkan dalam pasal tersebut,
terdiri dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu
kesehatan manusia. Menurut Dewanti dan Hariyadi (2011), yang termasuk ke
dalam cemaran biologis adalah virus, bakteri, protozoa, dan parasit; cemaran
kimia termasuk mikotoksin yang berasal dari kapang, pestisida yang menempel
pada bahan pangan, dan bahan kimia terlarut yang dilarang digunakan dalam
bahan pangan; sedangkan yang termasuk dalam cemaran benda lain yang dapat
mengganggu berarti benda asing seperti kaca, kayu, batu, logam, serangga, tulang,
plastik, dan lainnya.
Pasal 68 dan Pasal 69 UU No. 18 Tahun 2012 masih berkaitan dengan
kemanan pangan, dimana kedua pasal tersebut berisi tentang bagaimana
penyelenggaraan keamanan pangan menurut Undang-Undang. Berikut adalah isi
dari Pasal 68 :
1) Pemerintah

dan

Pemerintah

Daerah

menjamin

terwujudnya

penyelenggaraan Keamanan Pangan di setiap rantai Pangan secara terpadu.

2) Pemerintah menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan


Pangan.
3) Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan wajib
menerapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
4) Penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara bertahap
berdasarkan jenis Pangan dan skala usaha Pangan.
5) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah wajib membina dan mengawasi
pelaksanaan penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan
Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
Berikut adalah isi dari Pasal 69 :
Penyelenggaraan Keamanan Pangan dilakukan melalui :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Sanitasi Pangan;
Pengaturan terhadap bahan tambahan pangan;
Pengaturan terhadap Pangan Produk Rekayasa Genetik;
Pengaturan terhadap Iradiasi Pangan;
Pengaturan standar Kemasan Pangan;
Pemberian jaminan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan; dan
Jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan.
Pasal 68 menyebutkan bahwa dalam penerapan keamanan pangan harus

diawasi oleh pemerintah terkait, dan penerapan ini berdasarkan syarat-syarat yang
telah ditetapkan dalam Undang-Undang. Penerapan keamanan pangan di industri
pangan Indonesia dilakukan sesuai dengan poin-poin yang telah disebutkan dalam
Pasal 69 UU No.18 Tahun 2012, dimana setiap poin dalam Pasal 69 akan
dijelaskan dalam pasal-pasal selanjutnya.

2.1.2

Pasal 70 72 UU No. 18 Tahun 2012


Pasal ini berisi tentang poin (a) dalam Pasal 69, yaitu tentang Sanitasi

Pangan. Pasal ini menyebutkan tentang tujuan adanya sanitasi pangan dan
penerapan sanitasi pangan tersebut. Berikut adalah isi dari Pasal 70 :
1) Sanitasi Pangan dilakukan agar Pangan aman untuk dikonsumsi.

2) Sanitasi Pangan dilakukan dalam kegiatan atau proses produksi,


penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran Pangan.
3) Sanitasi Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi
persyaratan standar Keamanan Pangan.
Menurut Sofiah dan Sukarminah (2011), pengertian sanitasi dalam industri
pangan mencakup kebiasaan, sikap hidup dan tindak aseptik dan bersih terhadap
benda termasuk manusia yang akan kontak langsung dan tidak langsung dengan
produk pangan. Keadaan aseptik yaitu kondisi yang tidak menghendaki adanya
mikroba, sedangkan keadaan bersih yaitu kondisi tidak adanya kotoran.
Proses produksi pangan secara garis besar meliputi tahapan pencucian,
perlakuan pendahuluan (pengupasan, pemotongan, perendaman, dan lainnya),
perlakuan lanjutan (pengeringan, pembekuan, pengalengan, dan lainnya), dan
pengemasan. Tahapan sanitasi pangan dalam setiap proses produksi pangan dapat
dilakukan dengan sanitasi terhadap ruangan dan lingkungan produksi, peralatan
pengolahan, bahan baku, air, dan pekerja yang menangani produksi pangan
tersebut. Salah satu tindakan dalam melakukan sanitasi pangan adalah dengan
menggunakan alat-alat yang telah dibersihkan dengan desinfektan, air yang
digunakan bebas dari mikroorganisme, pekerja yang menggunakan kelengkapan
seperti sarung tangan, penutup rambut dan baju yang bersih agar mikroorganisme
dari pekerja tidak mencemari pangan tersebut.
Sama halnya dalam penyimpanan pangan, tahapan sanitasi diterapkan
dengan memperhatikan kebersihan dari kemasan yang digunakan untuk
menyimpan pangan, kebersihan ruangan tempat penyimpanan pangan tersebut.
Hal ini juga berlaku dalam pengangkutan dan peredaran pangan, yang pada
intinya adalah agar pangan tersebut tetap terjaga kualitasnya dan bebas dari
mikroorganisme kontaminan.
Pasal 71 72 UU No. 18 Tahun 2012 berisi tentang peraturan terhadap
penyelenggara sanitasi pangan dan sanksi yang dikenakan jika peraturan tersebut
tidak dilakukan sesuai dengan Undang-Undang. Berikut adalah isi dari Pasal 71 :
1) Setiap Orang yang terlibat dalam rantai Pangan wajib mengendalikan
risiko bahaya pada Pangan, baik yang berasal dari bahan, peralatan, sarana
produksi, maupun dari perseorangan sehingga Keamanan Pangan terjamin.

2) Setiap Orang yang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi,


penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran Pangan wajib: a.
memenuhi Persyaratan Sanitasi; dan b. menjamin Keamanan Pangan
dan/atau keselamatan manusia.
3) Ketentuan mengenai Persyaratan Sanitasi dan jaminan Keamanan Pangan
dan/atau keselamatan manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Berikut adalah isi dari Pasal 72 :
1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71 ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi administratif.
2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. Denda;
b. Penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
c. Penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
d. Ganti rugi; dan/atau
e. Pencabutan izin.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan
mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
2.1.3

Pasal 73 76 UU No. 18 Tahun 2012


Pasal 73 dan Pasal 74 berkaitan dengan pengaturan bahan tambahan

pangan yang digunakan dalam proses produksi pangan. Pasal 73 berisi tentang
definisi dari bahan tambahan pangan, yaitu bahan yang ditambahkan ke dalam
pangan untuk mempengaruhi dan/atau bentuk pangan. Beberapa jenis bahan
tambahan pangan adalah sebagai berikut (Dwiari, 2008) :

Pemanis buatan sakarin, siklamat.


Pengatur keasaman asam sitrat, asam malat.
Pewarna pewarna alami dan pewarna sintetik.
Penyedap rasa dan aroma serta penguat rasa Monosodium glutamat.
Pengawet asam sorbat, asam benzoat.
Antioksidan BHA (butilhidroksianisol)
Antikempal, dan lainnya.
Bahan tambahan pangan dalam penggunaannya harus diperhatikan, oleh

karena itu, dalam Pasal 74 disebutkan sebagai berikut :

1) Pemerintah berkewajiban memeriksa keamanan bahan yang akan


digunakan sebagai bahan tambahan Pangan yang belum diketahui
dampaknya bagi kesehatan manusia dalam kegiatan atau proses Produksi
Pangan untuk diedarkan.
2) Pemeriksaan keamanan bahan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan untuk mendapatkan izin peredaran.
Bahan tambahan pangan hanya dibenarkan penggunaannya jika diperlukan
untuk mempertahankan nilai gizi makanan, mempertahankan mutu atau kestabilan
makanan, untuk keperluan proses produksi makanan dan membuat makanan
menjadi lebih menarik. Bahan tambahan pangan tidak dibenarkan jika digunakan
untuk maksud menyembunyikan cara pengolahan yang tidak baik, menipu
konsumen dengan memberi kesan baik pada makanan yang dibuat dari bahan
yang kurang baik mutunya, dan mengakibatkan penurunan nilai gizi pada
makanan (Dwiari, 2008).
Oleh karena itu, penggunaan bahan tambahan pangan diatur dalam Pasal
75 sebagai berikut :
1) Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan untuk diedarkan dilarang

menggunakan :
a. Bahan tambahan pangan yang melampaui ambang batas maksimal
yang ditetapkan; dan/atau
b. Bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan Pangan.
2) Ketentuan mengenai ambang batas maksimal dan bahan yang dilarang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 76 berisi tentang sanksi yang dikenakan kepada pihak-pihak yang
melanggar peraturan tentang bahan tambahan pangan tersebut :
1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 75 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :
a. Denda;
b. Penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
c. Penarikan pangan dari peredaran oleh produsen;
d. Ganti rugi; dan/atau
e. Pencabutan izin.

Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan
mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
2.2

Pasal 86-94 ; Jaminan Keamanan dan Mutu Pangan


Jaminan mutu adalah seluruh perencanaan dan kegiatan sistematik yang

diperlukan untuk memberikan suatu keyakinan yang memadai bahwa suatu


barang/jasa akan memenuhi persyaratan mutu. Pada pasal 86 berisi tentang
penetapan standar keamanan pangan dan mutu pangan yang dibuat oleh
pemerintah. Setiap orang yang memproduksi dan memperdagangkan pangan
wajib memenuhi standar keamanan pangan dan mutu pangan melalui penerapan
system jaminan keamanan pangan dan mutu pangan. Pemerintah dan/atau
lembaga akan memberikan sertifikat kepada pengusaha yang dilakukan secara
bertahap sesuai dengan jenis pangan dan/atau skala usaha yang dibuat. Ketentuan
mengenai standar keamanan pangan dan mutu pangan sudah diatur dalam
peraturan pemerintah.
Pada pasal 87 berisi tentang sebelum pangan diedarkan ke konsumen,
Pemerintah mengharuskan produsen untuk menguji produknya di laboratorium
yang sudah ditunjuk oleh dan/atau yang memperoleh akreditasi dari Pemerintah.
Pengujian tersebut untuk mengetahui apakah pangan tersebut mengandung zat
berbahaya atau tidak. Ketentuan mengenai persyaratan pengujian laboratorium
sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pada pasal 88 berisi tentang petani, nelayan, pembudi daya ikan, dan
pelaku pangan di bidang pangan segar harus memenuhi persyaratan keamanan
pangan dan mutu pangan segar. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
membina, mengawasi, dan memfasilitasi pengembangan usaha pangan segar
untuk memenuhi persyaratan teknis minimal keamanan pangan dan mutu pangan
dilakukan secara bertahap sesuai dengan jenis pangan segar serta jenis dan/atau
skala usaha dan ketentuan ini sudah diatur dalam Peraturan Pemerintahan.
Pada pasal 89 berisi tentang setiap orang dilarang memperdagangkan
pangan yang tidak sesuai dengan keamanan pangan dan mutu pangan yang

tercantum dalam label kemasan pangan. Ketidaksesuaian isi produk dengan label
kemasannya dapat dinamakan penipuan konsumen.
Pada pasal 90 berisi tentang setiap orang dilarang mengedarkan pangan
tercemar berupa mengandung bahan beracun, berbahaya, atau yang dapat
membahayakan kesehatan atau jiwa manusia, mengandung cemaran yang
melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan, mengandung bahan yang
dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan, mengandung
bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai, atau mengandung bahan nabati atau
hewani yang berpenyakit atau berasal dari bangkai, diproduksi dengan cara yang
dilarang dan/atau sudah kadaluwarsa. Larangan-larang tersebut dibuat agar tidak
membahayakan konsumen ketika mengkonsumsi pangan tersebut.
Pada pasal 91 berisi tentang setiap pangan olahan yang dibuat di dalam
negeri atau yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran, pelaku
usaha pangan wajib memiliki izin edar dikecualikan terhadap pangan olahan
tertentu yang diproduksi oleh industri rumah tangga.
Pada pasal 92 berisi tentang perlakuan pengawasan dan pencegahan secara
berkala terhadap kadar atau kandungan cemaran pada pangan oleh Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah. Pengawasan tersebut dilakukan agar konsumen tidak
tertipu dan sakit. Pengawasan tersebut sudah ada dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pada pasal 93 berisi tentang setiap orang yang mengimpor pangan untuk
diperdagangkan wajib memenuhi standar keamanan pangan dan mutu pangan.
Pada pasal 94 berisi tentang terkena sanksi akibat melanggar pemenuhan standar
mutu pangan, label kemasan pangan, pangan tercemar, dan impor pangan. Sanksi
yang diberikan pada pelanggaran diatas yaitu berupa sanksi administratif. Sanksi
administratif berupa denda, penghentian sementara dari kegiatan, produksi,
dan/atau pengedaran, penarikan pangan dari peredaran oleh produsen, ganti rugi
dan/atau pencabutan izin.
2.3

Pasal 108 ; Pengawasan Pangan Oleh Lembaga Pemerintah


Pengawasan pangan merupakan kegiatan pengaturan wajib baik oleh

pemerintah pusat maupun daerah untuk memberi perlindungan kepada konsumen

dan menjamin bahwa semua produk pangan sejak produksi, penanganan,


penyimpanan, pengolahan, dan distribusi adalah aman, layak dan sesuai untuk
konsumsi manusia, memenuhi persyaratan keamanan dan mutu pangan, serta telah
diberi label dengan jujur dan tepat sesuai hukum yang berlaku.
Berdasarkan UU no.18 tahun 2012 pasal 108 ayat 2, pemerintah
berkewajiban untuk memenuhi ketersedian makanan pokok yang aman, bergizi,
dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Akan tetapi, masih terdapat masyarakat
di Indonesia yang sulit untuk mendapatkan makanan pokok. Kesulitan untuk
mendapatkan makanan pokok umumnya disebabkan oleh masalah ekonomi
sehingga masyarakat tidak mampu untuk membeli makanan pokok tersebut.
Masyarakat

yang

tidak

mampu

untuk

membeli

makanan

pokok

menyiasatinya dengan mengganti makanan pokok tersebut dengan bahan pangan


lain. Contohnya, umumnya masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras sebagai
makanan pokok, akan tetapi bagi masyarakat yang tidak mampu membeli beras
akan mengganti beras tersebut dengan singkong. Kandungan gizi pada beras
berbeda dengan kandungan gizi pada singkong. Perbedaan kandungan gizi
tersebut akan berdamapk pada kecukupan gizi yang diperoleh masyarakat.
Pemerintah telah mengadakan program Beras Miskin (Raskin) bagi
masyarakat yang tidak mampu membeli beras. Pada kenyataannya, kualitas beras
Raskin tersebut berbeda dengan kualitas beras yang berada di pasaran. Kualitas
beras Raskin dapat dikatakan lebih buruk daripada beras biasa. Perbedaan kualitas
tersebut tidak sesuai dengan UU no.18 tahun 2012 pasal 108 ayat 2, dimana
pemerintah harus memenuhi persyaratan mutu pangan. Oleh karena itu,
pemerintah sehasrusnya dapat menyediakan beras Raskin dengan mutu yang baik.
Indonesia dapat dikatakan menganut sistem Multiple Agency System (sistem
berbagai

lembaga)

dalam

pengorganisasian

pengawasan

mutu

pangan.

Pengawasan dilakukan secara sektoral dan terpecah-pecah oleh lembaga-lembaga


nasional, provinsi, dan daerah/lokal seperti Departemen Kesehatan (Depkes),
Departemen Pertanian (Deptan), Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan
dan Perikanan (DKP), Departemen Perdagangan dan Perindustrian (Deperin),
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan Pemerintah Daerah (Pemda).

Undang-undang nomor 18 tahun 2012 Pasal 108 ayat 3 menyatakan pelaku


pengawasan terhadap pangan olahan dan pangan segar dibedakan. Pengawasan
terhadap kemanan, mutu, dan gizi pangan olahan dilakukan oleh lembaga
pemerintah yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat
dan makanan, yaitu Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pengawasan
terhadap kemanan, mutu, dan gizi pangan segar dilakukan oleh lembaga
pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pangan.
Multiple Agency System ini memiliki banyak kelemahan. Kelemahan dari
sistem ini antara lain:
a. Ketidakjelasan tentang ranah wewenang lembaga pengawas, sehingga dapat
menimbulkan kebingungan dan kinerja yang tidak efisisen.
b. Perbedaan tingkat keahlian dan sumber daya yang dapat menimbulkan
perbedaan implementasi yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga pengawasan.
c. Tidak konsinstennya lembaga pengawasdan dapat menimbulkan pengaturan
yang berlebihan (over regulation) dan duplikasi pengaturan.
Kekurangan dari multiple agency system tersebut dapat menyebabkan
penurunan keyakinan konsumen akan kredibilitas sistem yang ada.
Lembaga pemerintah juga berkewajiban unuk mengadakan pemantauan,
evaluasi, dan pengawasan terhadap proses produksi pangan sampai produk
tersebut diterima oleh konsumen. Hal ini juga diatur dalam UU no. 18 tahun 2012
pasal 108 ayat 4. Akan tetapi, pada kenyataannya masih terdapat produsenprodusen yang melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Pelanggaran tersebut dapat disebabkan oleh lembaga pemerintah yang belum
maksimal dalam melaksanakan tugas pengawasannya yang telah diatur dalam
undang-undang tersebut. Seharusnya lembaga pengawasan pemerintah dapat
melakasanakan tugasnya dengan baik, sehingga produk pangan yang diterima oleh
masyarakat aman untuk dikonsumsi.
2.4

Studi Kasus
Zat Kimia masih Ditemukan dalam Makanan Anak
MASALAH keracunan makanan tampaknya sudah langganan di Indonesia.

Hampir setiap tahun kasus keracunan selalu ada dan angka kejadiannya pun cukup

tinggi. Dan, dari seluruh kasus keracunan makanan yang ada, semua bersumber
pada pengolahan makanan tidak higienis. Ironisnya makanan tidak higienis ini
banyak dijual di kantin sekolah.
Masalah keamanan pangan, menurut Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) Sampurno, menjadi isu strategis saat ini.
"Industri rumah tangga di bidang pangan (IRTP) berjumlah lebih dari 500
ribu unit yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun, pada saat yang sama IRTP
juga mempunyai potensi kerawanan keamanan pangan terutama dalam kebersihan
sarana, pemilihan bahan, proses pengolahan, dan monitoring mutu produk di
peredaran," jelasnya.
Demikian juga makanan jajanan (street food) dan jajanan anak sekolah, kata
Sampurno, perlu mendapat perhatian serius dan konsisten dari semua pihak.
"Terutama adanya fenomena penggunaan bahan-bahan kimia yang dilarang
dalam makanan. Perlu dilakukan pembinaan yang lebih intensif kepada IRTP dan
pembuat makanan jajanan terhadap pemasok bahan kimia."
Menurutnya, sumber terbesar keracunan makanan yang terjadi di Indonesia
berada pada usaha jasa boga atau katering untuk karyawan maupun jajanan anak
sekolah.
"Pembinaan dan pengawasan usaha jasa boga dan jajanan anak sekolah ini
ada pada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Meski demikian, lanjutnya, Badan
POM tetap melakukan proaktif menjalin kerja sama dengan mitra terkait.
"Berdasarkan hasil pengujian laboratorium Badan POM sebagian besar
kasus keracunan makanan akibat makanan telah terkontaminasi mikroba patogen
Staphyllococcus areus."
Hal ini mengindikasikan adanya masalah kebersihan dan proses memasak
makanan yang tidak higienis. Sedangkan dari uji sampling jajanan sekolah dari
Banda Aceh sampai Jayapura ditemukan makanan mengandung formalin dan
boraks pada bakso dan mi untuk pengenyal dan pengawet serta Rhodamin B pada
sirup es mambo atau pewarna merah pada es.
Penyuluhan

Sementara itu, anggota Komisi IX DPR RI Tuti Lukman Sutrisno


mengemukakan belum semua sekolah mendapat penyuluhan dari Dinas Kesehatan
setempat. "Sebab, saya pernah menanyakan kepada penjaga kantin sekolah,
mereka belum pernah didatangi petugas kesehatan untuk mendapatkan
penyuluhan tentang makanan yang aman untuk anak-anak."
Bahkan, kata Tuti, beberapa kantin sekolah yang menyediakan jajanan anak
sekolah sama sekali tidak layak dan tidak aman untuk dikonsumsi anak-anak.
"Pihak sekolah pun harus ikut bertanggung jawab dalam pengadaan jajanan
anak sekolah. Karena sekolah yang mengizinkan penjual itu berjualan di sekitar
sekolah."
Seperti diketahui, Rhodamin B biasa digunakan untuk pewarna tekstil dan
masuk ke dalam golongan pewarna yang dilarang digunakan untuk makanan.
Demikian

juga

produk

jajanan

mengandung

mikroba

salmonela

yang

menyebabkan tifus.
Menurut Sampurno, penanganan makanan jajanan anak sekolah ini harus
melibatkan pihak sekolah untuk melakukan pembinaan kepada para penjaja
makanan yang ada di sekitar sekolah maupun kantin.
Sampurno meminta pihak sekolah harus mewaspadai donasi dan promosi
makanan yang dilakukan di sekolah-sekolah. "Makanan yang didonasikan ke
sekolah bila tidak diatur dan dilakukan pengawasan dengan baik dapat
menimbulkan masalah dan risiko pada anak-anak sekolah."
Sehubungan dengan hal itu Badan POM telah menyampaikan pedoman
pemberian pangan untuk konsumsi anak sekolah kepada gubernur di seluruh
Indonesia.
Sedangkan industri makanan di dalam negeri dengan teknologi modern juga
tumbuh pesat dengan dukungan basis sumber daya nasional. "Untuk bersaing di
pasar ekspor, aspek mutu dan keamanan produk harus dijaga konsisten untuk
selalu memenuhi standar internasional terkini."
Anggota DPR dari Komisi IX Achmad Affandy menilai bahwa pemantauan
terhadap makanan yang ditambah dengan zat kimia tidak tuntas. "Dulu pernah ada
pemeriksaan terhadap bahan pembuat tahu Kediri. Hasil pemeriksaan POM
mengandung formalin. Pengusaha tahu Kediri jera dan tidak lagi menambahkan

formalin. Akan tetapi, setelah beberapa bulan kemudian dilakukan lagi dengan
alasan usahanya bisa rugi."
Menurut Sampurno, perbuatan pengusaha itu jelas merugikan masyarakat
apalagi menambahkan zat kimia terlarang pada makanan yang cukup khas di
kotanya.
Sampurno menjelaskan program pengawasan keamanan pangan Badan
POM pada tahun mendatang difokuskan untuk menyelesaikan dan menyusun
berbagai standar bekerja sama dengan Badan Standardisasi Nasional (BSN).
"Terutama menyangkut bahan tambahan pangan pengemulsi, pemantap,
pengatur keasaman, pengental, antioksidan, pemutih, pematang tepung dan
sebagainya."
Demikian pula berbagai peraturan pangan yang saat ini sudah dalam proses,
lanjutnya, perlu diselesaikan segera. Misalnya, peraturan persyaratan penggunaan
pengawet dalam produk pangan, persyaratan penggunaan pewarna, persyaratan
penggunaan bahan baku, persyaratan penggunaan cemaran logam, dan batas
maksimum aflatoksin dalam produk pangan.
Sering kali anak-anak tertarik dengan jajanan sekolah karena warnanya yang
menarik, rasanya yang menggugah selera, dan harganya terjangkau. Makanan
ringan, sirup, bakso, mi ayam dan sebagainya menjadi makanan jajanan seharihari di sekolah. Bahkan tak terbendung lagi berapa uang jajan dihabiskan untuk
membeli makanan yang kurang memenuhi standar gizi ini.
Bahan tambahan
Menurut Ketua Patpi (Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia)
Cabang DKI Jaya DR Ir RD Esti Widjajanti, makanan semakin enak biasanya
ditambah dengan bahan tambahan makanan (BTM). "Produsen makanan rumah
tangga akan berusaha menampilkan makanan semenarik mungkin baik dari
penampakan, aroma, dan tekstur. Akan tetapi, acap kali faktor gizi, higienis dan
keamanan pangan justru diabaikan."
Faktanya produksi pangan olahan untuk tujuan komersial penggunaan bahan
tambahan kimia sebagai bahan pengawet tidak mungkin dihindari, terutama
industri makanan rumah tangga.

Tujuan penggunaan bahan pengawet ini adalah untuk menghambat atau


menghentikan aktivitas mikroba (bakteri, kapang, khamir). "Akhir tujuannya
dapat meningkatkan daya simpan suatu produk olahan, meningkatkan cita rasa,
warna, menstabilkan, memperbaiki tekstur, sebagai zat pengental/penstabil,
antilengket, mencegah perubahan warna, memperkaya vitamin, mineral, dan
sebagainya."
Menurutnya, pemberian bahan tambahan tersebut tidak merusak nilai gizi
makanan itu, asalkan tidak kedaluwarsa. Biasanya kalau masa kedaluwarsanya
sudah ditentukan, maka empat bulan menjelang kedaluwarsa makanan itu
mengalami perubahan.
Penggunaan zat pengawet sebaiknya dengan dosis di bawah ambang batas
yang telah ditentukan. Jenis zat pengawet ada dua, yaitu GRAS (Generally
Recognized as Safe), zat ini aman dan tidak berefek toksik, misalnya garam, gula,
lada, dan asam cuka.
Sedangkan jenis lainnya yaitu ADI (Acceptable Daily Intake), jenis
pengawet yang diizinkan dalam buah-buahan olahan demi menjaga kesehatan
konsumen.
Menurut Esti, pewarna, pengawet, atau penguat rasa alamiah sangat sulit
dilakukan di Indonesia karena harganya cukup mahal. "Apalagi dijual untuk
konsumsi anak sekolah, industri rumah tangga lebih menyukai bahan kimia. Kalau
zat pewarna jelas warnanya lebih ngejreng dibandingkan dengan pewarna dari
Angkak. Warnanya kurang menarik dan mahal harganya."
Demikian juga dengan pemanis buatan, seperti aspartam jauh lebih disukai
produsen karena hanya satu tetes saja, kata Esti, sudah cukup manis dibandingkan
gula asli dari tebu.
Sedangkan penguat rasa MSG, lanjutnya, kalau di luar negeri dipakai
penguat rasa dari tumbuhan. Harganya memang mahal dibandingkan MSG hasil
fermentasi, seperti yang dipakai di Indonesia. "Tentu saja masyarakat harus hatihati mengonsumsi makanan dan minuman yang masih rendah keamanannya.
Jangankan jajanan sekolah, pembuatan tempe saja sekarang ini masih kurang
higienis, khususnya sanitasinya. Bagaimana tempe kita bisa diekspor," kata Esti
yang juga Kepala Bidang Teknologi Pangan dan Nutrisi BPPT ini.

Untuk mengantisipasi dampak keracunan dan meningkatkan keamanan


pangan, rencana Badan POM ke depan, menurut Sampurno, akan membentuk
Pusat Kewaspadaan dan Penanggulangan Keamanan Pangan di Indonesia
(National Center Food Safety Alert and Respons). Pada 2005 nanti Badan POM
akan menerapkan sistem Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP)
pada industri pangan dan system food star pada industri rumah tangga pangan.
"Rencana ke depan Badan POM akan melaksanakan sistem standardisasi
produk pangan dan bahan berbahaya, membangun networking dengan berbagai
instansi berkaitan dengan mutu dan keamanan jajanan anak sekolah."
Dan tak kalah penting, lanjut Sampurno, Badan POM perlu meningkatkan
koordinasi lintas sektor tentang pengelolaan dan pengamanan bahan kimia.
Sumber : Media Indonesia (8 Desember 2004)
Keamanan pangan dan pengawasan mutu pangan di Indnesia masih belum
diterapkan oleh masyarakat Indonesia. Masih banyak sekali produsen makanan,
prngimpor, maupun produsen kecil yang menjual makanan yang masih belum
peduli terhadap keamanan pangan, hal ini disebabkan karena kurang tegasnya
penegakan hukum tentang pengawasan mutu dan keamanan pangan di Indonesia,
serta kepedulian terhadap kesehatan konsumen. Kasus kasus mengenai
pelanggaran terhadap undang undang pangan masih terus terjadi.
Kasus yang paling sering terjadi adalah mengenai penambahan bahan
kimia berbahaya dalam makanan. Beberapa contoh kasus pelanggaran terhadap
undang undang pangan adalah penggunkaan pengawet berlebih di atas ambang
batas pada pembuatan baso, penambahan boraks untuk membantu mengentalkan
baso, penambahan melamin pada susu balita, pedagang es menambahkan pewarna
tekstil pada produk dagangannya, dan lain lain. Hal ini dapat terjadi karena
pengawasan pemerintah terhadap pangan masih sangat rendah dan kesadaran
masyarakat akan keamanan pangan masih sangat rendah.
Hal yang harus dilakukan untuk meningkatkan keamanan pangan di
Indonesia adalah dengan meningkatkan taraf ekonomi penduduk Indonesia,
memberikan penyuluhan mengenai keamanan pangan dan cara memproduksi
produk yang aman, pembelian bahan bahan kimia berbahaya yang biasa

ditambahkan ke pangan harus menggunakan surat dari lembaga tertentu,


pemerintah melakukan pengawasan mutu terhadap produsen pangan dan penjual
bahan pangan secara berkala untuk menjaga mutu pangan yang dihasilkan, dan
memberikan sanksi yang berat bagi pelanggar undang undang pangan.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pasal 67 69 UU No. 18 Tahun 2012 berkaitan dengan kemanan pangan.
Pasal ini berisi tentang tujuan adanya keamanan pangan dan definisi

keamanan pangan menurut Undang-Undang.


Pasal 68 dan Pasal 69 UU No. 18 Tahun 2012 masih berkaitan dengan
kemanan pangan, dimana kedua pasal tersebut berisi tentang bagaimana

penyelenggaraan keamanan pangan menurut Undang-Undang.


Pasal 70 72 UU No. 18 Tahun 2012 berisi tentang Sanitasi Pangan. Pasal ini
menyebutkan tentang tujuan adanya sanitasi pangan dan penerapan sanitasi

pangan tersebut.
Pasal 71 72 UU No. 18 Tahun 2012 berisi tentang peraturan terhadap
penyelenggara sanitasi pangan dan sanksi yang dikenakan jika peraturan

tersebut tidak dilakukan sesuai dengan Undang-Undang.


Pasal 73 dan Pasal 74 berkaitan dengan pengaturan bahan tambahan pangan

yang digunakan dalam proses produksi pangan.


Pasal 73 berisi tentang definisi dari bahan tambahan pangan, yaitu bahan yang

ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi dan/atau bentuk pangan.


Pasal 86 berisi tentang penetapan standar keamanan pangan dan mutu pangan

yang dibuat oleh pemerintah.


Pasal 87 berisi tentang sebelum pangan diedarkan ke konsumen.
Pasal 88 berisi tentang petani, nelayan, pembudi daya ikan, dan pelaku pangan
di bidang pangan segar harus memenuhi persyaratan keamanan pangan dan

mutu pangan segar.


Pasal 89 berisi tentang setiap orang dilarang memperdagangkan pangan yang
tidak sesuai dengan keamanan pangan dan mutu pangan yang tercantum dalam

label kemasan pangan.


Pasal 90 berisi tentang setiap orang dilarang mengedarkan pangan tercemar
berupa

mengandung

bahan

beracun,

berbahaya,

atau

yang

dapat

membahayakan kesehatan atau jiwa manusia, mengandung cemaran yang


melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan, mengandung bahan yang
dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan, mengandung
bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai, atau mengandung bahan nabati atau

hewani yang berpenyakit atau berasal dari bangkai, diproduksi dengan cara

yang dilarang dan/atau sudah kadaluwarsa.


Pasal 91 berisi tentang setiap pangan olahan yang dibuat di dalam negeri atau
yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran, pelaku usaha
pangan wajib memiliki izin edar dikecualikan terhadap pangan olahan tertentu

yang diproduksi oleh industri rumah tangga.


Pasal 92 berisi tentang perlakuan pengawasan dan pencegahan secara berkala
terhadap kadar atau kandungan cemaran pada pangan oleh Pemerintah

dan/atau Pemerintah Daerah.


Pasal 93 berisi tentang setiap orang yang mengimpor pangan untuk

diperdagangkan wajib memenuhi standar keamanan pangan dan mutu pangan.


Pasal 94 berisi tentang terkena sanksi akibat melanggar pemenuhan standar

mutu pangan, label kemasan pangan, pangan tercemar, dan impor pangan.
Undang-undang nomor18 tahun 2012 Pasal 108 ayat 2 menyatakan
pemerintah berkewajiban untuk memenuhi ketersedian makanan pokok yang

aman, bergizi, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.


Undang-undang nomor 18 tahun 2012 Pasal 108 ayat 3 menyatakan pelaku
pengawasan terhadap pangan olahan dan pangan segar dibedakan.

3.2 Saran
Pengawasan terhadap kemanan, mutu, dan gizi pangan segar dilakukan oleh
lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pangan. Multiple Agency System ini memiliki banyak kelemahan. Kelemahan dari
multiple agency system tersebut dapat menyebabkan penurunan keyakinan
konsumen akan kredibilitas sistem yang ada. Lembaga pemerintah juga
berkewajiban unuk mengadakan pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap
proses produksi pangan sampai produk tersebut diterima oleh konsumen. Akan
tetapi, pada kenyataannya masih terdapat produsen-produsen yang melanggar
aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pelanggaran tersebut dapat
disebabkan oleh lembaga pemerintah yang belum maksimal dalam melaksanakan
tugas pengawasannya yang telah diatur dalam undang-undang tersebut.
Seharusnya lembaga pengawasan pemerintah dapat melakasanakan tugasnya
dengan baik, sehingga produk pangan yang diterima oleh masyarakat aman untuk
dikonsumsi.

DAFTAR PUSTAKA
Dwiari, S., dkk. 2008. Teknologi Pangan Jilid I untuk SMK. Departemen
Pendidikan Nasional, Jakarta.
Dewanti, R. dan Hariyadi. 2011. Sistem Manajemen Keamanan Pangan Industri
Jasa Boga. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 Pasal 67 76.
Sofiah, B.D., dan E. Sukarminah. 2011. Sanitasi dan Keamanan Pangan.
Departemen
Jatinangor.

Teknologi

Industri

Pangan,

Universitas

Padjadjaran,

Anda mungkin juga menyukai