Anda di halaman 1dari 24

PENETAPAN DAN PENATAAN BATAS WILAYAH

NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

LAUT

Oleh
Dina Sunyowati,S.H.,M.Hum & Enny Narwati,S.H.,M.H. *) ABSTRACT
State borders are the manivestation of souvereignty. They have important role
in determining souvereignty, the utilizationof natural resources, security and territory.
The determination of state borders, mostly depends on the history of a state (from
empire to colonilization period its politic and national law / international law) The
development of state territory is an integral part of national state building. State
territory also has a stategic value in supporting the succeed of the national
development. It has been shown by the importance of state borders for souvereignty,
the significant factor for the wealthy of the people, the intercorelation with the
sourounding area/ states, the peace, good order and security of state regionally or
internationally.
Territory resistance should have to have more appreciation from the
government because it will support national resistance far NKRI ( the unity of
Indonesia). The security in state border is even more significant for a state that has
immediate land area with neighbouring states. The consciousness among states about
the difference of perception on state borders has prompted their to develop an system
of state borders that suit to each state. This is important because it has corelation
with the nations state building processes in order to prevent internal and bilateral
conflicts

LATAR BELAKANG
Jatuhnya Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi bagian dari negara Malaysia
dengan putusan legal dari Mahkamah Internasional, yang kemudian disusul dengan
sengketa di Perairan Ambalat, memberikan hikmah positif bagi bangsa Indonesia
untuk meningkatkan kepedulian nasional mengenai urgensi pengelolaan dan
pengawasan terhadap batas wilayah serta pembangunan di daerah-daerah di kawasan
perbatasan. Haruslah diakui bahwa selama ini perhatian dan kepedulian pemerintah
pusat terhadap pembangunan di kawasan perbatasan juga pengawasan terhadap
pulau-pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga masih
sangat rendah. Dikarenakan oleh kendala keterbatasan anggaran serta lebih riuh
rendahnya gemuruh perpolitikan di tingkat pusat membuat daerah-daerah perbatasan
seolah wilayah tak bertuan. Penduduk di wilayah-wilayah perbatasan lalu menjadi
terasing dari negerinya*) sendiri dan memang secara politis maupun juga ekonomis
dari komunikasi menjadi terisolir.
Realitas faktual ini terutama kasus Ambalat seharusnya mendorong dan
menggerakkan kemauan politik (politicalwill) yang lebih kuat dan terarah dari
Pemerintah RI untuk secara riil, koordinatif dan terfokus semakin memberikan
aksentuasi pada pembangunan dan pengawasan di wilayah perbatasan, termasuk dan
terutama di kawasan yang oleh karena suatu faktor atau beberapa faktor tertentu dapat
menjadi lahan perebutan antar negara. Sebutlah, misalnya karena di wilayah tersebut
terkandung deposit minyak atau sumber daya alam lainnya yang melimpah namun
belum sempat tersentuh serta belum dapat digali dan dikelola. Kurangnya kemampuan
pemerintah pusat membangun dan mengawasi wilayah perbatasan RI menjadi salah
satu kelemahan fundamental yang mengakibatkan mudahnya terjadi tindak pencurian

ikan (illegal fishing) ataupun pencurian dan penyelundupan kayu (illegal logging)
serta berbagai kekayaan Indonesia lainnya.
Dari perspektif sosial-politik, hal ini sesungguhnya mencerminkan bahwa
kedaulatan kita atas negara/wilayah sendiri masih sangat rapuh dan rentan, sehingga
memungkinkan terjadinya pelanggaran perbatasan bahkan yang lebih merugikan
lagipencaplokan wilayah perbatasan sebagaimana yang nyaris terjadi di Ambalat.
Dari perspektif sosial, sebenarnya pemerintah (dan kita semua) hendaknya
menginsyafi bahwa konstruksi sosial dan kultural masyarakat di daerah perbatasan
(terutama yang terisolir dari berbagai dimensi: sosial, politik, ekonomi, komunikasi
dan sebagainya) sangat berbeda dengan masyarakat didekat sentrum
kekuasaan/pemerintahan. Gradasi kesadaran sosial-politik masyarakat di Ambalat atau
di daerah perbatasan lainnya belum tentu, bahkan mungkin dapat dipastikan tidak
sama kuat dengan masyarakat di Pulau Jawa misalnya. Perasaan termajinalisasi dari
proses pembangunan nasional yang begitu deras di Jakarta atau Pulau Jawa (yang
mungkin dapat mereka ketahui dari televisi dan sebagainya) dapat mengubah haluan
berpikir mereka dari sekedar rasa diperlakukan tidak adil (yang menimbulkan
ketidakpuasan dan kecemburuan sosialpolitis dan ekonomis) menjadi lebih ekstrim
lagi, lebih baik bergabung dengan negara tetangga yang lebih makmur dan jaya secara
ekonomis.
Oleh karena itu, sebagai bagian integral dari wilayah kedaulatan NKRI ,
pembangunan masyarakat dan pengelolaan segala sumber daya di wilayah-wilayah
perbatasan memerlukan kerangka penanganan yang menyeluruh (komprehensif)
dengan mencakup berbagai sektor pembangunan secara terkoordinasi, baik dan efektif
mulai dari tataran pemerintah pusat hingga level pemerintah daerah. Implementasi
kebijakan dan peraturan mengenai masalah ini hendaknya ditindaklanjuti dengan
program dan kegiatan yang secara spesifik mampu menampung atau mengakomodasi
nilainilai lokal dan kecenderungan pengaruh dari wilayah negara tetangganya yang
berbatasan langsung.
Dengan demikian pengelolaan perbatasan bukan hanya sekadar menegaskan
garis batas atau wilayah batas, melainkan juga harus dipikirkan bagaimana cara
mengelola penduduk di wilayah perbatasan tersebut agar bersifat kondusif dan
positifkonstruktif bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia mempunyai perbatasan darat dengan 3
(tiga) negara tetangga yaitu Malaysia (Sabah dan Serawak), Papua Nugini, dan Timor
Leste. Sedangkan di laut Indonesia mempunyai batas maritim dengan 10 (sepuluh)
negara tetangga yaitu Malaysia, Singapura, Thailand, India, Filipina, Vietnam, Papua
Nugini, Australia, Palau dan Timor Leste. Posisi strategis Indonesia yang dikelilingi
oleh banyak negara seharusnya menjadi perhatian penting pemerintah, meningkat
secara positif hal ini berarti Indonesia berpotensi dapat berperan sebagai pusat
kerjasama regional.Namun dari segi politik, posisi strategis Indonesia inipun
mengandung kerawanan karena akan sangat mudah terimbas atau mendapat
hempasan gelombangnya manakala terjadi konflik internasional. Justru karena
itulah pemerintah pusat dengan didukung pemerintah provinsi dan kabupaten juga
semua komponen bangsa- harus terus waspada dan meningkatkan kepedulian dalam
menjaga dan membangun wilayah perbatasan kita.
Banyak traktat mengenai batas-batas maritim telah dibuat Indonesia dengan
negara tetangga, namun demikian beberapa permasalahan berkenaan aspek geodesi
dan geologi perlu pemahaman yang benar oleh segenap komponen masyarakat
disekitas
perbatasan
agar
tidak
terjadi
penafsiran
keliru
dalam
mengimplementasikannya. 1 Kawasan perbatasan selama ini lebih menampakkan

simbol tertinggal, terisolasi, sehingga perlu terobosan dengan berbagai kebijakan


khusus yang bersifat nasional. Dalam konteks ini, pemerintah harus mengubah
paradigma kebijakan dan sudut pandangnya terhadap pembangunan kawasan
perbatasan dengan memandang dan memperlakukan kawasan perbatasan bukan lagi
sebagai daerah terisolir melainkan sebagai halaman depan, teras atau beranda
sekaligus pagar serta pengawal kedaulatan dari rumah NKRI. 2 Oleh karena itu,
konsep
pemberdayaan
ekonomi
masyarakat
harus
sungguh-sungguh
diimplementasikan dan terus dipacu atau ditingkatkan , karena untuk mengembang
tugas ini dan merealisasikan misi tersebut, maka masyarakat wilayah perbatasan harus
diperkuat dan menjadi tangguh baik secara ekonomi maupun politik.
Permasalahan perbatasan di wilayah laut seringkali banyak menimbulkan
konflik atau sengketa, karena pada umumnya perbatasan laut yang kurang jelas akan
berakibat pada konflik pengelolaan sumber daya alam. Sengketa dalam pemanfaatan
laut dan sumberdaya alamnya bukanlah suatu hal baru dalam hubungan antar negara.
Untuk itulah diperlukan kejelasan batas wilayah suatu negara yang berbatasan dengan
negara lain, tidak saja pada batas darat tapi juga di laut. Penetapan batas wilayah
Indonesia akan berakibat yuridis bagi negara lain untuk menghormati NKRI ,
sementara itu bagi negara Indonesia akan berakibat pada tanggung jawab untuk
melakukan pengelolaan sumberdaya alam dan penataan ruang wilayah daerah
perbatasan, agar masyarakat daerah perbatasan tidak terisolir dan terasing dibanding
wilayah-wilayah lain di Indonesia lainnya.

RumusanMasalah
Dari uraian latar belakang tersebut dapat dirumuskan 2 permasalahan, yaitu:
1. Aspek apa yang terkait dalam penetapan dan penataan batas wilayah laut dan
2. Konflik-konflik apa saja yang muncul pada wilayah perbatasan dan upaya
penanggulangannya.
3.

Tinjauan Pustaka
Berdasarkan Hukum Internasional, suatu negara mempunyai beberapa macam
perbatasan nasional, yaitu: udara, darat, laut dan perbatasan dasar laut. Penetapan
garis batas wilayah suatu negara menjadi hal penting karena berakibat pada batas
kedaulatan wilayah negara.
Pada dasarnya garis batas memiliki fungsi untuk memisahkan beberapa hak
dan kewajiban masyarakat, anggota masyarakat ataupun negara atas suatu wilayah.
Setiap negara yang merdeka berwenang untuk menetapkan batas negaranya sendiri
atau sesuai dengan kesepakatan atau perjanjian dengan negara lain.
Garis batas dibuat berdasarkan landasan hukum yang jelas (Hukum
Internasional), dan sebaliknya pembuatan garis batas tersebut senantiasa akan
menimbulkan akibat hukum, yaitu hak dan kewajiban sehingga batas wilayah tersebut
menimbulkan status hukum wilayah negara, baik darat, laut atau udara. Pelanggaran
terhadap hak dan kewajiban tersebut (bukan pelanggaran batas an sich) dapat dikenai
sanksi, mulai dari sanksi yang ringan sampai kepada sanksi yang berat, sesuai dengan
kedudukan garis batas tersebut serta bentuk pelanggaran yang dibuatnya.
Dalam hubungan antar negara selama ini diakui bahwa yang disebut wilayah
negara adalah suatu bagian darat termasuk laut yang berbatasan dengannya di mana
negara tersebut dapat melaksanakan kedaulatannya. Wilayah negara tersebut harus
memiliki batas-batas yang jelas, karena wilayah negara merupakan salah satu unsur
kenegaraan (elements of statehood) yang sangat penting, di mana peraturan
perundang-undangan nasional dapat dilaksanakan. Pasal 2 Konvensi Hukum Laut

1982, memberikan suatu ketentuan yang lebih rinci mengenai wilayah dan kedaulatan
negara, sebagai berikut: (1). Kedaulatan suatu negara pantai selain wilayah daratan
dan perairan pedalamannya dan dalam hal suatu negara kepulauan, perairan
kepulauannya, meliputi suatu jalur laut yang berbatasan dengannya dinamakan laut
teritorial. (2). Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut teritorial serta dasar laut
dan tanah dibawahnya. Ketentuan tersebut merinci secara jelas apa yang dapat
dianggap sebagai wilayah negara, yaitu terdiri dari:
1. Wilayah daratan
2. Perairan pedalaman
3. Khusus untuk suatu negara kepulauan: perairan kepulauan, dan
4. Laut teritorial
Dengan demikian kedaulatan suatu negara kepulauan akan meliputi empat
bagian wilayah yang disebutkan diatas, ditambah dengan ruang udara diatasnya serta
dasar laut dan tanah dibawah laut teritorialnya. Khusus mengenai laut teritorial, Pasal
3 konvensi 1982 menetapkan bahwa: Setiap negara berhak menetapkan lebar laut
teritorialnya hingga suatu batas yang tidakmelebihi 12 mil, diukur dari garis pangkal
yang ditentukan sesuai dengan Konvensi ini.
Dalam setiap sengketa antar negara mengenai wilayah negara di laut,
tampaknya wilayah daratan bukan dan jarang menjadi permasalahan utama, demikian
juga dengan perairan pedalaman. Namun apabila negara-negara yang terlibat sengketa
memiliki wilayah daratan yang berbatasan (berdampingan), maka persoalannnya akan
menjadi berbeda. Garis batas wilayah negara di daratan akan mempengaruhi garis
batas wilayah negara di laut, termasuk perairan pedalaman dan laut teritorialnya.
Kemungkinan timbulnya permasalahan garis batas laut teritorial antara negaranegara sudah diantisipasi pada Konvensi 1982, dengan dimasukkannya ketentuan
Pasal 15 tentang penetapan garis batas laut teritorial baik bagi negara-negara yang
pantainya berdampingan maupun berhadapan yang berbunyi sebagai berikut: Dalam
hal pantai dua negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan satu sama lain,
tidak satupun diantaranya berhak, kecuali ada persetujuan yang sebaliknya antar
mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi garis tengah yang titiktitiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis-garis pangkal darimana lebar
laut teritorial masing-masing negara diukur. Tetapi ketentuan di atas tidak berlaku
apabila terdapat alasan hak historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan
perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua negara menurut suatu cara
yang berlainan dengan ketentuan di atas. Konvensi Hukum Laut 1982 menempatkan
hak dan kewajiban negara dalam memanfaatkan laut disesuaikan dengan status hukum
dari bagian-bagian laut yang berbeda yang dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Berada di bawah kedaulatan penuh negara (souvereignty)
2. Negara memiliki yurisdiksi khusus (control)
3. Negara memiliki hak-hak eksklusif (souvereign rights)
4. Tunduk pada prinsip kebebasan di laut lepas (freedom of the high seas)
5. Dinyatakan sebagai milik bersama umat manusia (common heritage of
mankind), dasar laut samudera dalam di luar yurisdiksi nasional (kawasan).
Untuk setiap zona maritim Konvensi (UNCLOS) 1982 memuat berbagai
ketentuan yang mengatur tentang penetapan batas-batas terluarnya (outer limit)
dengan batas-batas maksimum yang ditetapkan sebagai berikut:
1. Laut teritorial sebagai bagian dari wilayah negara:12 mil-laut;
2. Zona tambahan dimana negara memiliki yurisdiksi khusus: 24 mil-laut;
3. Zona ekonomi eksklusif:200 mil-laut;

4. Landas kontinen: antara 200350 mil laut atau sampai dengan 100 mil laut
dari isobath (kedalaman) 2.500 meter. Di samping itu Konvensi 1982 juga
menetapkan bahwa suatu negara kepulauan juga berhak untuk menetapkan:
5. Perairan kepulauan pada sisi dalam dari garis-garis pangkal kepulauannya;
6. Perairan pedalaman pada perairan kepulauannya;
Pelbagai zona maritim tersebut harus diukur dari garis pangkal atau garis-garis
dasar.
Pengaturan tentang garis-garis dasar
Pada dasarnya garis batas memiliki fungsi untuk memisahkan beberapa hak
dan kewajiban masyarakat, anggota masyarakat ataupun negara atas suatu wilayah.
Garis batas merupakan identifikasi adanya hak
dan kewajiban itu. Hak dan kewajiban tersebut dapat timbul berdasarkan hubungan
hukum kelompok sosial masyarakat (adat) dengan wilayahnya, seperti misalnya
lingkungan masyarakat hukum adat (di laut tidak dikenal batas hak-hak adat) atau
dalam skala yang besar seperti hubungan masyarakat bangsa dengan wilayahnya
dalam suatu negara, hubungan perdata (perjanjian) ataupun hubungan di bidang
hukum publik lainnya.
Garis batas dibuat menurut landasan hukum yang jelas, dan sebaliknya
pembuatan garis batas senantiasa akan menimbulkan akibat hukum, yaitu hak dan
kewajiban. Pelanggaran terhadap hak dan kewajiban tersebut (bukan pelanggaran
batas itu an sich) dapat dikenai sanksi,mulai
dari sanksi yang ringan sampai kepada sanksi yang berat, sesuai dengan kedudukan
garis batas tersebut serta bentuk pelanggaran yang dibuatnya. Setiap negara
berwenang untuk menetapkan sendiri batas-batasnya, akan tetapi karena batas terluar
wilayah negara senantiasa berbatasan dengan wilayah atau perairan di bawah
kedaulatan atau yurisdiksi otoritas negara atau badan hukumlain,maka penetapan
batas tersebut wajib memperhatikan kewenangan otoritas/badan hukum lainnya
tersebu.
Setiap wilayah di dunia selalu ada pemiliknya, tetapi garis batas mempunyai
kedudukan sebagai hak bersama atau res communis . Bagaimana tata cara
menetapkan batas wilayah antara dua kesatuan hukum di laut, antara lain telah diatur
secara garis besar dalam hukum internasional, khususnya hukum laut. Prosedurprosedur tehnis lebih detail terdapat dalam praktik negara-negara. Prosedur umum
penetapan garis batas laut teritorial antara dua negara yang berhadapan atau
berdampingan, misalnya terdapat
dalam pasal 15 Konvensi Hukum Laut (UNCLOS ) 1982.
Meskipun setiap negara memiliki wewenang untuk menetapkan sendiri batas
negaranya, akan tetapi selalu harus diperhatikan ketentuan hukum internasional.
Dalam memutuskan sengketa perbatasan atau konflik yang diajukan ke
Mahkamah Internasional (International Court of Justice) selalu menggunakan
sumber-sumber hukum internasional, yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta
Mahkamah Internasional (ICJ) yaitu konvensi/treaty, kebiasaan internasional, prinsipprinsip hukum umum, keputusankeputusan pengadilan/organisasi internasional yang
kompeten. Seperti yang terdapat dalam keputusan sidang International Court of
Justice menyangkut sengketa perikanan antara Norwegia dan Inggris 1951,
berpendapat: The delimitation of sea areas has always an international aspect, it
cannot be dependent merely upon the will of the coastal States as expressed in its
munipical law. Although it is truethat the act of delimitation is necessanly a unilateral

act, because only the coastal States is competen to undertake it, the validity of the
delimitation with regard to other States depends upon international law.
Res Communis merupakan prinsip yang dikemukakan oleh Hugo Grotius
yang menganggap bahwa laut adalah milik bersama umat manusia, sehingga tidak
dapat dibagi-bagi. Prinsip hukum internasional yang mengatur perbatasan antar
negara berfungsi memberikan jaminan hukum bagi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
sumber hayati dan non hayati negara pantai.
Di samping itu hukum juga memberikan kewenangan bagi negara pantai
untukmenegakkan kedaulatan yang bertalian dengan pencegahan dan penegakan
hukum atas laut. Arti strategis dan potensi wilayah perairan nasional dibatasi oleh
perjanjian-perjanjian antar negara dan ketentuan-ketentuan internasional lainnya,
terkait dengan potensi kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, hak serta
kewajiban negara.
Pengakuan internasional terhadap suatu negara biasanya didasarkan pada
terpenuhinya tidaknya syarat-syarat berdirinya suatu negara yang antara lain adalah
menyangkut wilayah negara, terutama dalam pengertian wilayah daratan (land
territory), dan karenanya, tidak ada negara yang diakui tanpa wilayah negara. Dengan
kenyataan ini, maka suatu negara selalu memiliki suatu wilayah dengan batas-batas
tertentu secara internasional, walaupun batas-batas itu mungkin masih belum
ditentukan atau diperselisihkan. Kemungkinan ketidakjelasan atau perselisihan yang
terjadi berkaitan dengan wilayah perbatasan merupakan aspek khas pengelolaan
wilayah perbatasan. Dalam hal ini, aspek yang umumnya selalu menjadi perhatian
adalah aspek pertahanan dan keamanan. Selain itu, dengan tetap memperhatikan
bingkai bersifat nasional dalam pengelolaannya, wilayah perbatasan juga memerlukan
perlakuan tertentu yang bersifat lokal dan konseptual. Sifat yang terakhir ini antara
lain akan dipengaruhi oleh dinamika perkembangan wilayah negara tetangga yang
berbatasan. Oleh karena itu, pembenahan terhadap aspek-aspek pengelolaan
pembangunan dan pemerintahan wilayah perbatasan perlu terus menerus dilakukan.
Sebagai bagian dari wilayah negara, pengelolaan wilayah perbatasan tidak
terlepas dan kebijakan dan peraturan nasional. Namun dalam penerapannya, kebijakan
dan peraturan tersebut perlu ditindaklanjuti dengan program dan kegiatan yang secara
spesifik mengakomodasikan nilai-nilai lokal dan kecenderungan pengaruh yang
berasal dan wilayah negara tetangga yang berbatasan.
Pernyataan ini sekaligus merupakan arahan bahwa persoalan wilayah
perbatasan bukan hanya sekedar menegaskan garis batas atau wilayah batas, tetapi
yang jauh lebih penting adalah bagaimana mengelola wilayah perbatasan, termasuk
penduduknya, agar bersifat kondusif bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan
negara. Potensi kelautan yang dimiliki suatu negara (Indonesia) tidak akan berarti
bilamana wilayah perairan suatu negara tidak memiliki batas wilayah laut (open sea).
Batas wilayah laut suatu negara tidak hanya terbatas pada batas antarnegara tapi juga
pengaturan batas wilayah antar provinsi, kota dan desa. Perlunya penetapan batas
wilayah ini akan berpengaruh pada penataan ruang wilayah suatu daerah. Sesuai
dengan
Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 18 ayat (1) dan
(3) harus segera diikuti dengan penetapan batas wilayah laut dari masing-masing
Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Aspek yang Terkait dengan Penetapan dan Penataan Masalah


Perbatasan
a. Kewenangan Negara Menetapkan Batas Wilayah Negara

Dalam hukum internasional, setiap negara mempunyai kewenangan untuk


menetapkan sendiri batas-batas wilayahnya. Akan tetapi, karena semua negara di
dunia ini secara geografis saling berhubungan dan berbatasan wilayahnya satu dengan
yang lain, terutama untuk wilayah daratan, maka dalam menetapkan wilayah
perbatasan tidak bisa melakukannya secara sepihak tanpa perjanjian dengan negara
lain. Untuk itu perlu kesepakatan diantara negara-negara dalam penetapan batas
wilayahnya.
Setelah jelas batas wilayah suatu negara, maka selanjutnya negara mempunyai
kedaulatan atas wilayah tersebut. Kedaulatan tersebut meliputi wilayah udara, darat
dan laut. Di dalam kedaulatan terkandung di dalamnya kewenangan untuk
melaksakan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi seluruh wilayah.
Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia pertama kali dituangkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945. Di dalam butir 2, Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang
Dasar 1945, ketentuan mengenai wilayah negara dikatakan bahwa: Daerah Indonesia
akan dibagi dalam daerah provinsi........ dan ketentuan Dalam teritorial negara
Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende landschappen dan
volkgemeenschappen.... .
Wilayah negara tersebut menunjuk kepada wilayah negara proklamasi, yaitu
wilayah negara sebagaimana dimaksud dalam praktik-praktik bernegara oleh
masyarakat internasional, yaitu wilayah negara ex kekuasaan Hindia Belanda yang
telah diambil alih. Wilayah tersebut meliputi daratan dan perairan pedalaman sampai
dengan garis air terendah, dengan wilayah udara di atasnya, sebagaimana yang telah
diatur dalam Territoriale Zee-en Maritime Kringen Ordonantie ( TZMKO) tahun
1933, tercantum dalam Staatsbad 1933 Nomor 422 dan berlaku mulai tanggal 25
September 1933. Berlakunya TZMKO ini berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar 1945.
Ketentuan mengenai batas wilayah Indonesia diperbarui dengan
dikeluarkannya Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia. Perubahan batas wilayah tersebut tidak merubah merubah prinsip
pembagian wilayah negara sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Dasar
1945.
Pembagian wilayah negara sejak kemerdekaan, pertama kali dilakukan melalui
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1984 tentang Pemerintah Daerah. Undangundang
ini kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, dan
terakhir diperbarui lagi Undang-undang Nomor 32 Tahuin 2004. Undang-undang ini
membagi wilayah negara atas daerah propinsi, kabupaten dan kota, yang
masingmasing dibentuk dengan Undang-undang. Batas laut antardaerah
yangmerupakan penerapan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
harus segera diikuti dengan penetapan batas wilayah laut dari masing-masing
Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk menghindari konflik batas
wilayah laut, terutama daerah laut yang memiliki potensi sumber daya alam. Untuk itu
RPP Penentuan Batas Wilayah agar dapat lebih cepat diimplementasikan.
Belum tuntasnya penetapan batas wilayah laut antara Indonesia dengan negara
tetangga, mengakibatkan pemanfaatan wilayah laut di daerah yang masih
dipersengketakan belum dapat dieksploitasi secara maksimum. Dengan
dimasukkannya Pasal 18 dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 bertujuan agar daerah
mempunyai tanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan dan pengembangan
potensi sumber daya kelautan di wilayah tersebut, karena selama ini Daerah hanya
menerima dampak yang terjadi di wilayah laut. Adanya kewenangan daerah untuk
mengelola wilayah laut sampai batas yang ditentukan tersebut, daerah memiliki

peluang lebih besar meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir pada khususnya


dan pendapatan asli daerah pada umumnya, termasuk konservasinya.
Pada Pasal 18 ayat (5) penetapan batas pengelolaan wilayah laut 12 mil untuk
Daerah Provinsi dan sepertiganya (1/3) untuk Daerah Kabupaten/Kota bukan berarti
adanya pengkaplingan wilayah laut bagi daerah, akan tetapi lebih menitikberatkan
kepada pengaturan batas administrasi kewenangan daerah dalam mengelola wilayah
laut hingga batas yang telah ditetapkan dapat untuk mempercepat pembangunan di
wilayah pesisir pada khususnya dan daerah pada umumnya.
b. Batas Wilayah Negara di Udara
Dalam hukum Romawi terdapat suatu giuadam yang berbunyi: cujus est
solum, ejus est usque ad coelum yang berarti bahwa barang siapa yang menguasai
sebidang tanah, maka dia berhak atas segala sesuatu yang terdapat di tanah tersebut
sampai suatu ketinggian yang tidak terbatas.Adagium ini kemudian diadaptasi oleh
hukum internasional berkaitan dengan kedaulatan negara yang meliputi darat, udara
dan laut. Kedaulatan suatu Negara atas wilayah udara mengikuti wilayah darat dan
laut sampai suatu ketinggian yang disebut dengan ruang angkasa. Sampai saat ini
belum ada kesepakatan dalam hukum internasional mengenai batas wilayah udara
suatu Negara. Yang dipakai sebagai pedoman adalah sampai suatu batas di mana
pesawat udara masih bisa terbang di ruang udara. Pemerintah Indonesia pernah
mengklain GSO (geo-stationary orbit) yang letaknya kira-kira 36.000 km di atas
permukaan bumi sebagai wilayahnya, namun hal tersebut tidak mendapat pengakuan
dari dunia dan hukum internasional, terutama karena Indonesia tidak melaksanakan
effective occupation and control atas GSO tersebut. Di samping itu, di wilayah ruang
angkasa saat ini berlaku prinsip common heritage of mankind, yang berarti bahwa
ruang angkasa dijadikan sebagai warisan bersama umat manusia, di mana tidak ada
satu negarapun di dunia ini yang bisa melaksanakan yurisdiksinya di wilayah tersebut.
Yang kini diakui sebagai wilayah udara Indonesia adalah ruang udara diatas wilayah
daratan, perairan kepulauan dan laut territorial Indonesia, yang keseluruhannya lebih
kurang 5.000.000 km persegi, suatu perluasan yang sangat berarti sekali dibandingkan
dengan luas ruang udara Indonesia pada saat baru merdeka hanya sekitar 2.000.000
km persegi. Secara horizontal batas wilayah udara tersebut mengikuti batas-batas laut
teritorial Indonesia, baik yang ditetapkan secara sepihak maupun dengan perjanjian
dengan Negara tetangga.
Menentukan Batas Negara Guna Meningkatkan Pengawasan, Penegakan
Hukum dan Kedaulatan NKRI,Makalah pada Kuliah Umum Hukum Laut di Fakultas
Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Semester Genap 2005/2006, hal 3.
c. Batas Wilayah Negara di Darat
Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum internasional tidak mengenal
adanya aturan khusus yang berlaku dalam rangka pengaturan penetapan wilayah
perbatasan darat antarnegara. Hal ini dapat terkesan menimbulkan sejumlah prinsip
hukum dan metode yang ada berkaitan dengan penetapan batas laut antar negara.
Wilayah perbatasan darat antarnegara pada umumnya ditentukan berdasarkan
2 (dua) metode, yakni, secara alamiah dan penetapan secara artifisial. Penetapan
perbatasan secara alamiah dapat dilihat dalam hubungan antara RI denganMalaysia di
Borneo/Kalimantan dimana perbatasan tersebut telah ditetapkan oleh penguasa
kolonial terdahulu dalam Konvensi 1891 dan Konvensi 1915. Pada prinsipnya
penetapan batas wilayah itu mempertimbangkan faktor pengelompokan berdasarkan
kesatuan etnis yang tinggal di wilayah perbatasan.
Metode lain yang digunakan adalah dengan mengikuti kontur alamiah daerah
perbatasan tersebut. Hukum internasional mengenal pendekatan ini sebagai

pendekatan watershed, yaitu mengikuti aliran turunnya air dari tempat yang lebih
tinggi. Dalam praktiknya, cara ini menimbulkan banyak permasalahan dalam
hubungan antara dua negara. Permasalahan akan timbul karena perbedaan penafsiran
kedua belah pihak akibat fakta di lapangan yang berbeda dengan isi naskah perjanjian.
Dalam kaitan ini, hukum internasional menekankan perlunya good faith kedua
pihak untuk menyingkirkan pendekatan kekerasan dan sebaliknya mengedepankan
cara penyelesaian secara damai. Kesepakatan yang dicapai kedua belah pihak
berkaitan dengan hasil penetapan di lapangan berdasarkan penerapan metode ii
umumnya dituangkan ke dalam field plan dan berfungsi sebagai salah satu referansi
hukum dalam penetapan perbatasan darat.
Sebaliknya perbatasan darat yang ditentukan secara artifisial sebagaimana
dalam hubungan RI dengan Papua Nugini membawa keuntungan praktis di mana
garis batas lebih mudah ditetapkan di lapangan. Metode yang digunakan Belanda dan
Inggris dalam penentuan perbatasan wilayah kolonial kedua negara di Papua adalah
dengan cara menarik garis batas yang menghubungkan 2 (dua) titik koordinat yang
masing-masing terletak di sebelah utara dan di sebelah selatan daerah perbatasan. Jika
penarikan garis batas secara lurus tersebut menyinggung sungai maka berlaku prinsip
thalweg yang mengenal beberapa variasi. Inti prinsip thalweg ini adalah
menggunakan dasar sungai yang dapat dilayani sebagai acuan bagi penentuan
perbatasan antarnegara. Meskipun secara praktis perbatasan darat artifisial ini
menguntungkan, metode ini cenderung mengabaikan faktor upaya pemeliharaan
kesatuan etnis yang mendiami suatu kawasan perbatasan.
Tak jarang hal ini dapat menimbulkan potensi gangguan pula dalam hubungan
bilateral utamanya jika terdapat kesenjangan sosial ekonomi yang mencolok
diantara daerah perbatasan. Perbatasan wilayah Negara Indonesia di darat pada
prinsipnya mengikuti batas-batas yang telah disepakati oleh Pemerintah Hindia
Belanda pada saat Indonesia belum memperoleh kemerdekaannya. Batas wilayah di
darat meliputi Kalimantan dengan Serawak dan Sabah, yang merupakan wilayah
Malaysia, sepanjang
lebih kurang 2.000 km; Papua Barat dengan Papua New Guinea, sepanjang lebih
kurang 800 km; dan Timor Barat dengan Timor Leste, sepanjang lebih kurang 260
km. Jika dilihat secara menyeluruh, maka dalam praktik/perjanjian yang dilakukan
Indonesia dengan negara tetangga, terdapat beberapa cara yang digunakan, meliputi:
a. Watersheds (punggung gunung) yang memisahkan aliarn air, seperti di
Serawak dan sebagian Sabah;
b. Garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik dengan koordinat tertentu,
seperti di Kalimantan Timur dan sebagian Papua;
c. Sungai-sungai, yang umumnya adalah di bagian alur terdalam yang
digunakan buat pelayaran (thalweg);
d. Batas-batas lainnya sesuai perjanjian seperti di Timor.
Yang sering kali jadi masalah adalah menentukan batas tersebut secara pasti di
lokasi, khususnya di tempat-tempat di mana belum ada tanda tanda perbatasan, atau
perbatasan tersebut berubah karena bergesernya aliran sungai, seperti yang terjadi di
mulut sungai Bensbash di perbatasan Indonesia PNG, atau tanda perbatasan yang
hilang/rusak.
Perbatasan antara Indonesia dengan negara-negara tetangga yang telah
ditetapkan adalah:
a. Perbatasan darat antara Indonesia dan Malaysia di Kalimantan, termasuk laut
teritorial (di Laut Sulawesi) disahkan dengan Wet No. 53 Tahun 1892;

b. Perbatasan darat antara Indonesia dengan Timor Leste sampai garis air rendah,
mengikuti perjanjian yang telah dilakukan sebelum Timor Leste bergabung
dengan Indonesia, disahkan dengan Wet No. 38 Tahun 1905;
c. Perbatasan darat yang berdampingan dengan Papua New Guinea (di pantai
Utara dan pantai selatan sampai dengan garis air rendah), disahkan dengan UU
Nomor 6 Tahun 1973.
d. Batas Wilayah Negara di Laut
Kedaulatan negara pada perairan kepulauan selain wilayah daratan dan
perairan pedalamannya dan, juga meliputi suatu jalur laut yang berbatasan yang
disebut dengan laut teritorial.15 Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut
teritorial serta dasar laut dan tanah dibawahnya. Kedaulatan di atas laut teritorial ini
dilaksanakan dengan tunduk pada ketentuan-ketentuan Konvensi HukumLaut
Internasional dan peraturan hukum internasional lainnya.
Perbatasan laut Indonesia, mencakup beberapa kawasan laut:
1. Perairan Pedalaman Indonesia
Konvensi Hukum laut (UNCLOS) 1982 memungkinkan Indonesia
menetapkan perairan pedalaman tersebut yang status hukumnya sangat
bersamaan dengan wilayah darat sesuatu negara, dalam arti kapal-kapal
asingpun tidak mempunyai hak lewat secara damai (innocent pasage) melalui
perairan pedalaman tersebut. Sampai sekarang Indonesia belum lagi
menetapkan batas-batas dari perairan pedalaman tersebut.
2. Perairan Kepualauan atau Perairan Nusantara
Perairan kepulauan atau perairan nusantara (archipelagic waters)
adalah perairan yang dikelilingi oleh garis-garis lurus yang menguhubungkan
titik-titik terluar dari pulau terluar Indonesia yang cara-cara penentuannya
ditetapkan dalam UNCLOS 1982.
Dengan diumumkannya wawasan nusantara Indonesia (Deklarasi
Juanda) tanggal 13 Desember 1957 yang kemudian dikaitkan dengan UU NO.
4/PRP/1960, maka batas-batas terluar perairan Indonesia tersebut telah
diumumkan dan telah didepositkan di PBB. Tetapi dengan berlakunya
UNCLOS 1982 pada tanggal 16 November 1994 (Indonesia sudah
meratifikasi dengan UU Nomor 17/1984), maka UU NO. 4/PRP/1960 tersebut
telah digantikan oleh UU NO.6/ 1996 yang lebih sesuai dengan UNCLOS
1982. Tetapi tanpa disertai dengan daftar koordinat titik-titik terluar Indonesia.
Daftar koordinat titik terluar Indonesia baru diatur pada tahun 2002
dengan PP Nomor 38/2002, tetapi belum didepositkan di Sekretariat PBB.
Dalam Perairan Nusantara ini kapal asing mempunyai hak lewat, baik (a)
berdasarkan prinsip innocent passage (PP Nomor 36/2002), maupun (b)
melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) tertentu (PP Nomor 37/2002)
yang cara-cara penetapannya serta hak dan kewajiban kapal-kapal yang lewat
ditetapkan berdasarkan UNCLOS 1982.
Di bagian tertentu Peraiaran Nusantara ini, negara lain pun mempunyai
hak-hak tertentu, seperti hak memperbaiki kabel-kabel bawah laut milik
mereka yang rusak, ataupun hak-hak penangkapan ikan tradisional negaranegara tetangga di bagian tertentu Perairan Nusantara yang pelaksanaannya
harus diatur dalam perjanjian bilateral tersendiri, seperti perjanjian IndonesiaMalaysia bulan Februari 1982 yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan
UU Nomor 7/ 1983 yang mencakup hak penangkapan ikan tradisional
Malaysia di perairan sekitar kepulauan Anambas.
3. Laut Teritorial/Laut Wilayah

Pada waktu awal kemerdekaan RI, wilayah perairan Indonesia diatur


berdasarkan TZMKO (Territoriale ZeeenMaritime Kringen Ordonantie) tahun
1933, tercantum dalam Staatsbad 1933 Nomor 422, berlaku mulai tanggal 25
September 1933, yang merupakan warisan pemerintah Hindia Belanda.
Pasal 1 Ordonansi tersebut menyatakan bahwa lebar laut wilayah
Indonesia adalah 3 mil laut diukur dari garis air rendah dari pulau-pulau yang
termasuk dalam daerah Indonesia.
Seiring dengan perkembangan, ketentuan Pasal 1 tersebut dirasa tidak
sesuai lagi kepentingan Negara Indonesia. Hal ini karena sifat khusus Negara
kita yang merupakan Negara kepulauan serta letaknya yang strategis. Dengan
menggunakan pasal tersebut untuk mengukur lebar laut territorial, maka
sebagian besar dari pulau-pulau atau kelompok pulau-pulau akan mempunyai
laut territorial sendiri dan sebagai akibatnya di antara laut-laut tersebut akan
terdapat bagian-bagian dari laut bebas.Dengan demikian, jika ditinjau dari segi
keamanan, sosial dan politik akan menimbulkan banyak persoalan dan bahkan
dapat membahayakan keutuhan wilayah NKRI.
Untuk mengantisipasi kekhawatiran di atas,maka pada tanggal 13
Desember 1957, Pemerintah RI mengeluarkan Pengumuman Pemerintah yang
kemudian dikenal dengan Deklarasi Juanda, yang mengatakan: Bahwa
perairan disekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau
bagian-bagian pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia
dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar
daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian
merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan
mutlak dari Negara Republik Indonesia.
Lalu lintas damai di perairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin
selama dan sekadar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan
Negara Indonesia.Penentuan batas laut territorial yang lebarnya 12mil laut
yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik terluar pada
pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan undangundang.
Jadi berdasarkan Pengumuman Pemerintah tersebut, kantong-kantong
laut bebas yang semula ada di antara pulau-pulau di Indonesia berubah
menjadi perairan kepulauan yang berada di bawah kedaulatan Negara
Indonesia. Di samping itu, lebar laut territorial Indonesia yang semula 3 mil
laut, menjadi 12 mil laut yang diukur dari garis-garis pangkal yang
menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar.
Hal
inilah
yang
kemudian
dikenal
dengan
Wawasan
Nusantara/Konsepsi Nusantara yang bertujuan untuk menjamin kepentingankepentingan nasional dan keuntungan wilayah Indonesia. Konsepsi baru ini
kemudian dipertkuat dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 4 Prp.
Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.
Dengan ketentuan baru ini, seluruh kepulauan dan perairan Indonesia
merupakan satu kesatuan di mana dasar laut, lapisan tanah di bawahnya serta
seluruh kekayaan alamyang terkandung didalamnya berada di bawah
kedaulatan Negara Indonesia, serta menjadikan wilayah nasional Indonesia
yang dulunya sebesar 2.027.087 km persegi menjadi 5.193.025 km persegi.
Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia ini
kemudian dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1962
tentang Lalu Lintas damai Kendaraan Air Asing dalam Perairan Indonesia dan

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1971 tentang


Pemberian Ijin Berlayar bagi segala Kendaraan Air Asing dalam Wilayah
Perairan Indonesia.
Kebijakan Pemerintah Indonesia menerbitkan Deklarasi Juanda tahun
1957 yang disusul dengan Undangundang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang
Perairan Indonesia, mendapat kecaman yang cukup keras dari negara-negara
di dunia karena mereka menganggap hal tersebut melanggar hukum
internasional yang berlaku saat itu. Tetapi setelah melalui perjalanan panjang
dan berat, akhirnya konsepsi Wawasan Nusantara/Negara Kepulauan dapat
diterima oleh dunia internasional dengan dimasukkannya dalam UNCLOS
1982. UNCLOS 1982 ditandatangani di Montego Bay, Jamaika, pada tanggal
10 Desember 1982, dan berlaku secara universal pada Juni 1994.
Setelah Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 pada tahun 1985 dan
menyesuaikan dengan perkembangan yang ada, Undang-undang Nomor 4 Prp.
Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia kemudian diperbaiki dengan
Undangundang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
Pasal 2 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia mengatakan bahwa Negara RI adalah Negara Kepulauan, yang
berarti bahwa segala perairan disekitar, di antara, dan yangmenghubungkan
pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia dengan tidak
memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah
RI sehingga merupakan bagian dari perairan Indonesia yang berada di bawah
kedaulatan Negara RI.
Selanjutnya Pasal 3 mengatakan bahwa wilayah perairan Indonesia
terdiri dari 3 bagian, yaitu laut teritorial, perairan kepulauan dan perairan
pedalaman. Yang dimaksud dengan laut teritorial adalah jalur laut selebar 12
mil laut yang diukur dari garis pangkal lurus kepulauan, yaitu garis-garis lurus
yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rewndah pulau-pulau dan
karang-karang kering terluar dari kepulausan Indonesia. Juga dinyatakan
apabila garis pangkal lurus kepulauan tidak dapat digunakan maka dipakai
garis pangkal normal atau garis pangkal lurus.
4. Zona Tambahan
Kedaulatan suatu Negara berhenti di laut teritorial. Setelah laut
teritorial, terdapat suatu zona yang bernama zona tambahan. Di zona ini, suatu
negara sudah tidak bisa lagi melaksanakan kedaulatannya, tetapi negara yang
bersangkutan masih diperbolehkan untuk melaksanakan pengawasan di bidang
bea cukai, fiskal, saniter dan imigrasi, serta melaksanakan peraturan
perundang-perundangannya di wilayah tersebut.
Berdasarkan Pasal 33 UNCLOS 1982, lebar zona tambahan suatu
negara tidak bolehmelebihi 24 mil laut yang diukur dari garis pangkal. Untuk
Indonesia, apabila laut territorial sejauh 12 mil laut, maka zona tambahan yang
bisa dimiliki adalah 12 mil laut diluar laut teritorial. Sampai sekarang
pemerintah Indonesia belum mengeluarkan peraturan perundang-undangannya
yang mengatur tentang zona tambahan tersebut. Apabila Indonesia sudah
menetapkan zona tambahan, maka untuk bagian-bagian laut yang berhadapan
dengan negara tetangga di mana lebar laut tersebut kurang dari 48 mil laut,
sudah tentu memerlukan perundinganperundingan untuk penetapannya,
terutama dengan Malaysia di Selat Malaka dan dengan Philipina di Sulawesi
Utara.
5. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

Sebelum Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982, dan bahkan sebelum


UNCLOS 1982 berlaku secara universal, Indonesia telah mengeluarkan
Pengumuman Pemerintah tanggal 21 Maret 1980. Isi pokok Pengumuman
Pemerintah tersebut adalah bahwa Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah
jalur laut di luar laut teritorial Indonesia sebagaimana di atur dalam
Undangundang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia, dengan
lebar 200 mil laut diukur dari garis-garis pangkal.
Agar Pengumuman Pemerintah tersebut mempunyai kekuatan
mengikat secara hukum maka Pemerintah bersama-sama dengan DPR
mengukuhkannya menjadi Undangundang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia. Secara garis besar isi Undang-undang tersebut
sama dengan Pengumuman Pemerintah yang mangatur hal yang sama
sebelumnya. Pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia mengatakan bahwa ZEE Indonesia terletak di
luar laut teritorial tetapimasih berdampingan, dan lebarnya tidakmelebihi 200
mil laut dari garis pangkal.
Selanjutnya Pasal 3 mengatakan bahwa perlunya persetujuan dengan
Negara tetangga dalam menentukan batas ZEE dalam hal ZEE saling
berhadapan dan lebarnya kurang dari 200 mil laut. Persetujuan yang dimaksud
dibuat dengan mengacu pada pasal 74 UNCLOS 1982.
6. Landas Kontinen
Pada awal tahun 1969 pemerintah Indonesia memberikan konsesi
kepada maskapai perminyakan Agip dari Italia untuk melakukan eksplorasi
minyak bumi di landas kontinen lepas pantai Pulau Natuna.
Ternyata tindakan Indonesia tersebut menimbulkan pertanyaan dari
berbagai pihak karena pada saat itu pemerintah belum melakukan pengaturan
hukum apapun yang berkaitan dengan landas kontinen. Untuk menjawab
pertanyaan tersebut maka Negara RI kemudian melakukan klaim pertama kali
atas landas kontinen dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah tanggal 17
Pebruari 1960 tentang Landas Kontinen Indonesia. Agar Peraturan Pemerintah
tersebut mempunyai kekuatan hukum yang pasti maka selanjutnya dikukuhkan
menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen
Indonesia. Yang perlu menjadi perhatian adalah Undang-undang Nomor 1
Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia tersebut dibuat berdasarkan
Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen, sedangkan yang berlaku
pada saat ini UNCLOS 1982.
Pengaturan mengenai landas kontinen diantara kedua konvensi tersebut
sangat berbeda sekali dalam prinsip penetapannya. Konvensi Jenewa 1958
menetapkan bahwa suatu Negara dapat mengklaim landas kontinen sampai
kedalaman 200 meter atau lebih, di mana masih dimungkinkan dilakukannya
eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber daya alam. Ketentuan ini
menimbulkan ketidakpastian hukum dan menjadi salah satu sumber sengketa
di antara negaranegara. Ketentuan ini kemudian diperbaiki dengan
dikeluarkannya UNCLOS 1982. Menurut Pasal 76 UNCLOS 1982, suatu
Negara dapat mengklaim landas kontinennya sampai batas pinggiran kaki
benua, atau sampai jarak 200 mil laut apabila pinggiran kaki benua tidak
mencapai jarak tersebut. Sebagai Negara yang telah meratifikasi UNCLOS
1982, dan juga berdasarkan perbedaan prinsip itulah seharusnya pemerintah
Indonesia menyesuaikan peraturan perundang-undangannya, khususnya yang
mengatur tentang landas kontinen.

Perjanjian Garis Batas Laut yang telah dibuat oleh Indonesia dengan
Negara-negara Tetangga:
Antara Indonesia Malaysia
Perjanjian tentang Landas Kontinen, ditandatangani pada tanggal 27 Otober
1969, telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor
89 Tahun 1969. (25 titik koordinat)
Perjanjian tentang Laut Teritorial di Selat Malaka, ditandatangani pada tanggal
17 Maret 1970, telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1970 (8 titik koordinat)
Antara Indonesia Singapura
Perjanjian tentang Laut Teritorial di Selat Singapura, ditandatangani pada
tanggal 25 Mei 1973, telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Undangundang Nomor 7 Tahun 1973. (6 titik koordinat)
Antara Indonesia Australia
Perjanjian tentang Dasar Laut Tertentu, ditandatangani pada tanggal 18 Mei
1971, telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor
42 Tahun 1971
Perjanjian tentang Dasar Laut Tertentu di Wilayah Laut Timor dan Arafura,
Tambahan terhadap Persetujuan tanggal 18 Mei 1971, telah diratifikasi oleh
Pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 66 Tahun 1972
Perjanjian tentang Garis-garis Batas Tertentu antara Indonesia dan Papua
Nugini, ditandatangani pada tanggal 12 Februari 1973, telah diratifikasi oleh
Pemerintah Indonesia dengan Undangundang Nomor 6 Tahun 1973
Perjanjian tentang Zona Ekonomi Eksklusif dan Dasar Laut Tertentu,
ditandatangani pada tanggal 14 Maret 1997, Pemerintah Indonesia belum Meratifikasi
Antara Indonesia Malaysia Thailand
Perjanjian tentang Landas Kontinen di Bagian Utara Selat Malaka,
ditandatangani pada tanggal 21 Desember 1971, telah diratifikasi oleh Pemerintah
Indonesia de nga n Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1972
Antara Indonesia Thailand
Perjanjian tentang Landas Kontinen di Bagian Utara Selat Malaka dan di Laut
Andaman, ditandatangani pada tanggal 17 Desember 1971, telah diratifikasi oleh
Pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1972
Perjanjian tentang Dasar Laut di Laut Andaman, ditandatangani pada tanggal
11 Desember 1975, telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Keputusan
Presiden Nomor 1 Tahun 1977
Antara Indonesia India
Perjanjian tentang Garis Batas Landas Kontinen, ditandatangani pada tanggal
8 Agustus 1974, telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan
Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 1974
Perjanjian tentang Perpanjangan Garis Batas Landas Kontinen, ditandatangani
pada tanggal 14 Januari 1977, telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan
Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1977
Antara Indonesia India Thailand
Perjanjian tentang Trijunction Point dan Garis Batas dari Garis-garis Batas
Tertentu di Laut Andama n, ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1978, telah
diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun
1978

Antara Indonesia Vietnam


Perjanjian tentang Garis Batas Landas Kontinen di Utara P. Natuna, telah
ditandatangani pada tahun 2004, Indonesia belum meratifikasi.
Batas wilayah laut yang belum terselesaikan dengan Negara tetangga, antara
lain sebagai berikut:
Antara Indonesia Malaysia
Terdapat beberapa bagian wilayah laut yang belum ditetapkan batasnya, antara
lain:
a. Batas laut teritorial di bagian utara Selat Malaka. Malaysia bukan Negara
kepulauan, tetapi menggunakan garis pangkal lurus kepulauan antara Pulau
Jara dan Pulau Perak yang berjarak 123 mil laut. Garis pangkal tersebut
digunakan untuk menetukan lebar laut teritoriaslnya selebar 12 mil laut, yang
mengakibatkan sebagian ZEE Indonesia masuk menjadi laut teritorial
Malaysia.
b. Batas laut teritorial di Selat Singapura, yaitu antara Pulau Bintan (Indonesia)
dengan Johor Timur (Malaysia) yang jaraknya sekitar 11 mil laut.
c. Batas landas kontinen di Laut Cina Selatan
d. Batas laut territorial dan landas kontinen sebelah timur Pulau Sebatik
e. Batas laut teritorial dan landas kontinen di Laut Sulawesi setelah Sipadan
Ligitan jatuh dalam kedaulatan Malaysia
Antara Indonesia Singapura
Masih ada perbedaan perbedaan persepsi tentang batas wilayah laut antara
Indonesia Singapura di Selat Malaka dan Pulau Nipa.
Antara Indonesia Philipina
Masih terdapat perbedaan persepsi mengenai batas ZEE dan landas kontinen
di Laut Sulawesi, yaitu antar Pulau Mianggas dan daratan Philipina
Antara Indonesia RRC
Masih terdapat klaim tumpang tindih wilayah ZEE di laut China Selatan
Antara Indonesia Palau
Penetapan batas ZEE antara kedua Negara belum dapat ditetapkan, yaitu antara
PP Mapia (Palau) dengan PP Mapia (Indonesia), atau antara Selatan Samudera Oasifik
dengan perairan di sebelah utara Papua. Penentuan ZEE di kawasan ini juga harus
melibatkan Philipina karena perpanjangan batas ZEE melalui perairan PulauMianggas
dan Laut Philipina.
Antara Indonesia Australia
Dengan terpisahnya Timor Timur dari Indonesia, penentuan batas wilayah laut
di Celah Timor perlu dirundingkan kembali antara Indonesia Timor Leste
Australia. Batas landas kontinen di sekitar perairan Pulau Christmas. Belum ada
kesepakatan tentang status Karang Ashmore.

Konflik yang Muncul pada Wilayah Perbatasan dan Upaya


Penanggulangannya
a. Konflik-konflik Perbatasan.
Sistem analisis penanganan sengketadibagi dalam dua kategori pokok
yaitusengketa batas dan sengketa di wilayah perbatasan. Sedangkan sengketa
batasdibagi lagi dalam 2 macam sengketa, yaitu sengketa non fisik dan
sengketa fisik.
Sengketa non fisik meliputi 5 aspek, yaitu: aspek yuridis, administratif,
geografis, historis dan sosial budaya. Dari ke lima aspek tersebut, menurut
analisis yang dilakukan kiranya aspek yuridis dan administratif dapat

ditempatkan sebagai aspek yang paling dominan dan menentukan. Hal ini
didasari pada pemikiran bahwa sumber dari sengketa perbatasan antar daerah
atau negara bermula dari sengketa batas wilayah, yang selanjutnya diperlukan
adalah penguatan dan pengesahan batas wilayah tersebut secara legal formal
dengan menuangkannya dalam ketentuan perundang-undangan.
Secara yuridis ketentuan perundang-undangan tersebut berlaku
mengikat dan harus ditaati oleh semua pihak utamanya pihak yang
bersengketa. Apabila terjadi kasus persengketaan, hal utama yang terlebih
dahulu harus ditelusuri secara mendalam adalah aspek yuridis karena pijakan
aspek ini berlaku umum dan sesuai dengan semangat penegakan hukum yang
sedang digalakkan di NKRI. Analisis aspek ini juga didasarkan pada kaidahkaidah hukum yang berlaku seperti masalah hirarkhi ketentuan perundangundangan.
Sengketa di wilayah perbatasan menimbulkan kerawanan-kerawanan di wilayah
perbatasan Indonesia yang mempunyai potensi untuk terjadinya konflik.
Pertama, tidak jelasnya perbatasan di lapangan termasuk di darat, walaupun
telah ada perjanjian perbatasan mengenai hal itu. Di darat hal ini telah menimbulkan
masalah lintas batas antara penduduk perbatasan, yang kemudian diperhebat dengan
masalah penyelundupan, illegal entry, penyusupan unsur-unsur teroris, perpindahan
patokpatok perbatsan, pencurian kekayaan alam, dan lain-lain. Untuk mengatasi hal
ini kiranya diperlukan hubungan dan kerja sama yang baik antara petugas perbatasan
di kedua negara, sampai meningkatkan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
serta peralatan, sumber daya manusia, dan organisasi/koordinasi kegiatan di daerah
perbatasan antara pejabat-pejabat perbatasan yang bersangkutan.
Kedua, perbatasan di laut mengenai masalah lintas transit dan hak kapal-kapal
asing melalui laut-laut Indonesia yang begitu luas, sangat rawan karena kurangnya
kemampuan monitoring dan pengawasan terhadap kapal-kapal perang maupun kapal
terbang militer asing melalui ALKI Indonesia
Ketiga, kekayaan alam Indonesia di laut terutama perikanan banyak yang
dijarah, dan dirusak, baik melalui pencurian-pencurian ikan ataupun praktik-praktik
penangkapan ikan yang bertentangan dengan hukum seperti penggunaan bom ataupun
sianida. Di samping itu berbagai kejahatan di laut semakin marak seperti pencurian
benda-benada sejarah dan kultural (harta karun) di kapal-kapal yang karam,
penyelundupan, termasuk penyelundupan bahan bakar minyak (BBM), imigrasi gelap,
terorisme, bajak laut dan perompakan, illegal logging dan lain-lain yang semuanya
memerlukan peningkatan penegakan hukum dan pertahanan negara.
Keempat, perlu kiranya disadari bahwa perbatasan Indonesia baik di darat, laut
maupun udara termasuk yang sangat rawan dan sensitif di dunia, yang memerlukan
perhatian yang lebih besar dari Pemerintah baik Pusat dan Daerah, DPR dan DPRD,
maupun dari segenap lapisan masyarakat, terutama karena letak Indonesia yang secara
geografis berada di antara samudra, sehingga banyak dilewati oleh kapal-kapal asing,
struktur negerinya yang berbentuk kepulauan dengan garis pantai terpanjang di dunia,
dari segi ekonomi terlihat dari kekayaan sumber daya alamlaut baik hayati dan
nonhayati, serta kondisi masyarakatnya yang majemuk.
Kelima, usaha-usaha mengamankan pulau-pulau terluar Indonesia lebih
banyak ditujukan kepada usaha simbolis seperti pemberian nama, daripada usahausaha membangun daerah dan pulau-pulau perbatasan dan memasukkan mereka ke
dalam main stream kehidupan ekonomi dan politik Indonesia secara keseluruhan.
Beberapa contoh konflik perbatasan yang masih dalam proses negosiasi:

Perbatasan Laut

a. Timor Gap
Timor Gap atau disebut juga Celah Timor, adalah suatu keadaan di dasar laut
yang spesifik, terletak antara sebelah selatan Pulau Timor dan sebelah utara Pantai
Northern Australia. Kasus ini terjadi pada saat Timor Timur masih menjadi bagian
dari NKRI dan pengaturan hukum laut internasional yang berlaku pada saat itu adalah
Konvensi Jenewa 1958. Sengketa berawal dari adanya keinginan kedua negara untuk
menetapkan batas landas kontinen di sebelah selatan Timor Timur.
Dalam perundingan, terdapat perbedaan pendapat antara Indonesia dan
Australia mengenai status Celah Timor. Indonesia mengatakan bahwa keadaan
tersebut hanya merupakan celah/lekukan, bukan batas kaki benua (continental
margin). Tetapi sebaliknya Australia berpendapat bahwa hal tersebut adalah
continental margin dari benua Australia. Australia mengklaim batas landas
kontinennya berdasarkan Konvensi Jenewa 1958 dan teori natural prolongation.
Berdasarkan teori ini, Australia mengatakan bahwa landas kontinen Australia
merupakan kepanjangan alami benua Australia sampai Palung Timor. Dengan kata
lain, Australia berpendapat bahwa Palung Timor merupakan pertemuan 2 (dua) landas
kontinen, yaitu landas kontinen Australia dan Pulau Timor. Jadi Australia
menghendaki penetapan batas landas kontinen berdasar poros Palung Timor.
Padahal, menurut ahli geologi Indonesia, letak continental margin Australia
justru berada di sebelah utara Pulau Timor. Sebaliknya, Indonesia menghendaki
penetapan landas kontinen dua Negara berdasarkan median line. Klaim ini sesuai
dengan Pasal 6 Konvensi Jenewa 1958. Pasal tersbut mengatakan bahwa jika ada dua
landas kontinen yang saling berhadapan maka batas landas kontinen kedua Negara
ditetapkan berdasarkan garis tengah (median line), kecuali jika ditetapkan lain dengan
suatu perjanjian atau jika asa keadaan khusus. Di samping itu, prinsip median line ini
juga telah dianut oleh Indonesia sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah tentang
Landas Kontinen Indonesia tahun 1969.
Karena tidak ada kata sepakat antara kedua pihak, maka untuk sementara
sambil menunggu perundingan yang tengah berlangsung, jalan tengah yang ditempuh
adalah membentuk Joint Development Zone pada tahun 1984. Selanjutnya pada tahun
1988 disepakati untuk membentuk Zone of Cooperation di Celah Timor dan berlaku
selama 40 tahun. Pembentukan kerja sama ini bukan merupakan perjanjian tapal batas
landas kontinen kedua Negara, tetapi hanya perjanjian kerja sama untuk melakukan
eksplorasi di daerah yang disengketakan agar bermanfaat bagi kedua belah pihak.
Model perjanjian antara Indonesia-Australia ini merupakan model perjanjian
yang ideal, tanpa mementingkan diri sendiri. Model perjanjian ini merupakan model
penyelesaian sengketa yang baru sama sekali. Sebelumnya belum pernah ada Negara
yang menerapkan cara penyelesaian sengketa seperti yang dipakai oleh Indonesia
Australia. Tetapi yang perlu menjadi perhatian bahwa model penyelesaian sengketa
ini tidak menciptakan hukum laut yang baru.
Dalam perkembangan selanjutnya, pada saat Indonesia Australia sudah
mencapai kata sepakat dalam penetapan batas landas kontinen di Celah Timor, Timor
Timur melepaskan diri dari NKRI dan menjadi sebuah Negara yang merdeka,
sehingga terasa sia-sialah perundingan yang telah dilakukan selama bertahun-tahun.
Saat ini Pemerintah Indonesia, Australia dan Timor Leste sedang mempersiapkan
perjanjian ulang (reschedule) untuk Timor Gap
b. Natuna
Sengketa di perairan Natuna juga mengenai sengketa landas kontinen, antara
Indonesia dan Vietnam. Sengketa berawal pada tahun 1969 pada saat Indonesia
memberikan konsesi kepada maskapai perminyakan Agip dari Italia untuk melakukan

eksplorasi di landas kontinen pantai Pulau Natuna. Tindakan tersebut mendapat protes
dari Negara-negara tetangga, terutama Vietnam, karena sebelumnya Indonesia belum
pernah mengeluarkan pengaturan tentang landas kontinennya. Sebagai reaksi atas
tindakan Indonesia, pada tahun 1971 Vietnam mengeluarkan Dekrit Saigon yang
mengatakan bahwa Vietnam mengklaim landas kontinen bagian tertentu arah selatan,
menyentuh dan overlapping dengan bagian utara wilayah Kuasa Pertambangan
Pertamina yang dilakukan oleh Agip. Wilayah tumpang tindih tersebut seluas lebih
kurang 37.600 km persegi.
Kendala yang paling mendasar untuk menyelesaikan masalah batas landas
kontinen dua Negara ini adalah adanya perbedaan prinsipmengenai sistem atau cara
penarikan garis batas. Vietnam menggunakan prinsip thalweg, sementara Indonesia
menggunakan cara median line. Thalweg merupakan kaidah hukum perbatasan di
wilayah daratan, dalam hal ini adalah sungai. Sarat agar dapat diterapkan prinsip
thalweg adalah yang pertama sungai tersebut dapat dilayari dan batas kedua Negara
adalah titik-titik terdalam yang ada di dasar sungai. Jadi berdasarkan hukum
internasional, tuntutan Vientam tersebut tidak lazim digunakan, karena prinsip
thalweg ini adalah cara penentuan perbatasan dua Negara pada sungai yang dapat
dilayari (navigatable river), dan tidak dapat digunakan pada perbatasan di laut.
Indonesia menghendaki diterapkannya
equitable principle untuk menetapkan batas landas kontinen kedua Negara seperti
yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Landas Kontinen Indonesia tanggal
17 Pebruari 1969, yaitu dengan diterapkannya median line. Bagi Indonesia, apabila
menerima prinsip thalweg yang diajukan oleh Vietnam maka dikhawatirkan akan
menimbulkan preseden yang buruk dalam dunia internasional.
Vietnam mempertahankan prinsip thalweg ini sampai tahun 1978. Selanjutnya
Vietnam tidak keberatan mundur dari penggunaan prinsip thalweg, kemudian
mengusulkan suatu harmonized line yang membagi wilayah sengketa sedemikian rupa
sehingga Indonesia mendapatkan 55% dan Vietnam 45% dari wilayah yang
disengketakan. Namun Indonesia masih keberatan dengan usul tersebut, dan tatap
menginginkan diterapkannya prinsip median line. Pada bulan Oktober 1991, Perdana
Menteri Vietnam, Von Van Kiet melakukan kunjungan ke Indonesia. Kunjungan
tersebut memiliki arti yang sangat penting bagi perkembangan hubungan kedua
Negara, terutama sekali pernyataan Perdana MenteriVietnam yang menghormati
hukum laut Indonesia dan peraturan-peraturan internasional yang ada, dan sudah
barang tentu menyangkut batas landas kontinen kedua Negara. Setelah melalui
perjalanan panjang dan serangkaian perundingan maka saat ini sudah terbentuk
perjanjian internasional antara Indonesia Vietnam mengenai batas landas kontinen
antara dua Negara. Vietnam sudah meratifikasi perjanjian tersebut, tetapi Indonesia
belum melakukannya.
c. Sipadan Ligitan
Kasus Sipadan Ligitan merupakan kasus yang bersifat khusus dan unik. Kedua
pulau menjadi objek sengketa kepemilikan antara Indonesia dan Malaysia pada waktu
kedua Negara merundingkan perbatasan landas kontinen di Laut Sulawesi pada tahun
1969. Perundingan menemui jalan buntu karena baik Indonesia maupun Malaysia
sama-sama mangklaim kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Guna
menghindari tindakan-tindakan yang akan mengubah posisi hukum para pihak, kedua
Negara sepakat untuk menetapkan status quo atas kedua pulau sengketa tersebut.
Hal inilah yang kemudian menjadi pokok permasalahan yang dicoba untuk
diselesaikan melalui perundingan kedua belah pihak. Pada bulan Juni 1988 isu status
kepemilikan kedua pulau tersebut mulai dibicarakan dalam pertemuan tingkat tinggi

antara Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir Mohammad di Yogyakarta.


Setelah itu dilakukanlah serangkaian prundingan yang dilakukan secara bertahap.
Karena tidak berhasil mencapai kata sepakat, akhirnya pada tahun 1997, kedua
Negara mengajukan kasus tersebut ke Mahkamah Internasional. Keputusan membawa
masalah ke Mahkamah Internasional disepakati oleh Indonesia dan Malaysia setelah
mencermati bahwa seluruh proses penyelesaian politis yang dijajagi kedua Negara
menemui jalan buntu.
Pada tahun 2002, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan berada dalam kedaulatan Negara Malaysia. Yang perlu mendapat
perhatian, bahwa putusan Mahkamah Internasional tersebut selayaknya tidak dapat
ditafsirkan sebagai suatu kegagalan diplomasi mengingat penyelesaian damai melalui
Mahkamah sepenuhnya merupakan penyelesaian masalah secara hukum, yang fair,
transparan dan berwibawa.
d. Ambalat
Setelah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan jatuh ke tangan Malaysia
berdasarkan putusan Mahkamah Internasional, saat ini muncul lagi perebutan wilayah
laut antara Indonesia danMalaysia. Kali ini yang diperebutkan adalah landas kontinen
di dasar Laut Sulawesi yang memang belum ditetapkan batas-batasnya oleh kedua
belah pihak. Dalam putusan Mahkamah Internasional tentang kepemilikan SipadanLigitan dikatakan bahwa dengan jatuhnya Sipadan Ligitan dalam kedaulatan
Malaysia, maka hal itu tidak secara otomatis dapat dipakai sebagai patokan untuk
menetapkan batas wilayah laut kedua Negara.
Kasus ini mengenai perebutan daerah cadangan minyak Ambalat Timur
(Indonesia) atau blok minyak XYZ (Malaysia). Kedua Negara telah memberi konsesi
eksplorasi blok tersebut kepada perusahaan yang berbeda. Indonesia telah memberi
ijin kepada ENI dari Italia dan Unocal dari Amerika Serikat, sementara Malaysia juga
telah memberi ijin eksplorasi di tempat yang sama kepada Shell. Maka terjadilah dua
klaim yang saling tumpang tindih antara kedua Negara (overlapping claim area). Saat
ini kasus tersebut sedang dalam penyelesaian melalui perundingan kedua belah pihak.
e. Karang Unarang
Kasus Karang Unarang juga terjadi antara Indonesia dan Malaysia.
Kemenangan Malaysia atas kasus Sipadan- Ligitan rupanya telah membuat Malaysia
merasa mempunyai kekuatan untuk merebut pulau-pulau yang lain. Tetapi, status
hukum Ambalat dan Karang Unarang berbeda. Jika Ambalat merupakan daerah landas
kontinen yang memang belum ditetapkan batas-batasnya antara kedua pihak, karang
Unarang adalah low tide elevation (pulau timbul tenggelam) yang menjadi milik
Indonesia. Didalam Pasal 13 UNCLOS 1982 dikatakan bahwa low tide elevation yang
berada di dalam jarak 12 mil laut dan sudah dipasang mercu suar dapat digunakan
sebagai titik point untuk menentukan garis pangkal. Bagi Negara kepuluan, seperti
Indonesia, ketentuan serupa terdapat dalam Pasal 47 ayat (4) UNCLOS 1982.
Karang Unarang terletak dalam batas 12 mil laut dari garis pangkal Indonesia
di pantai Timur Kalimantan atau sekitar 8 mil laut dari Pulau Sebatik dan jauh di luar
12 mil laut dari pantai Sabah ataupun dari Pulau Sipadan. Karena itu, Karang Unarang
memang jelas terletak di dalam wilayah Indonesia dan berada dalam kedaulatan
Indonesia. Saat ini kasus tersebut juga sedang dalam penyelesaian melalui
perundingan kedua belah pihak.

Perbatasan Darat
Masalah perbatasan antara Negara RI dengan Negara-negara tetangga di
perbatasan darat, meliputi antara Indonesia dan Malysia, Indonesia dan Papua New

Guinea serta Indonesia dan Timor Leste. Konflik yang terjadi mengandung banyak
keterkaitan dengan berbagai masalah lainnya dan bersumber dari masalah yang
hampir sama di semua wilayah perbatasan, seperti antara lain yang berkaitan dengan
bentuk fisik garis perbatasan itu sendiri, berkaitan dengan masalah bidang
pembangunan social, dan lain sebagainya.
Di Kalimantan, yang merupakan daerah perbatasan dengan Malaysia,
pencurian kayu dan sumber daya alam lainnya oleh pihak yang tidak bertanggung
jawab dan juga penyelundupan, mengakibatkan beberapa patok perbatasan mengalami
kerusakan atau dipindahkan secara sengaja. Bahkan untuk mengecoh pemerintah
Indonesia, mereka menggunakan peralatan alat ukur sudut dan jarak, untuk dapat
memasang kembali
patok-patok ke tempat semula. Akibat kerusakan kawasan hutan, maka batas alamiah
watershed menjadi rusak. Pencurian kayu yang dilakukan oleh pihak swasta Malaysia,
tidak saja merugikan secara finansial, tetapi hal tersebut sudah dapat dikategorikan
sebagai pelanggaran wilayah kedaulatan NKRI, dan hal ini dapat merusak hubungan
bilateral yang akhirakhir ini sudah mengalami pasang surut.
Sedangkan permasalahan dengan Papua New Guinea, selain permasalahan
yang berkaitan tidak jelasnya pilar batas kedua negara, baik yang disebabkan oleh
pengrusakan, pemindahan, juga karena dibeberapa titik perbatasan sangat susah
dijangkau karena medan yang berat. Selain masalah perbatasan di darat, di Papua
New Guinea juga ditemukan kasus-kasus pelanggaran batas oleh nelayan.
Pelanggaran tersebut antara lain disebabkan oleh belum adanya lampu suar di PNG,
sehingga lampu suar/Beacon di perbatasan selatan kurang berfungsi yang
mengakibatkan banyak nelayan RI melewati batas negara dan ditangkap dan dihukum
oleh negara tetangga, dalam hal ini PNG dan Australia. Perlakuan terhadap nelayan
tradisional, berupa hukuman badan, peralatan tradisional disita/dirusak, awak kapal
didenda, dipulangkan tetapi ditaruh di sembarang tempat antara lain Jakarta,
Denpasar, Kupang dan lain-lain tanpa diberi penjelasan terlebih dahulu.
f. Upaya Penanggulangan Konflik di Wilayah Perbatasan
Desakan-desakan yang sangat kuat dan cepat dalam masyarakat, baik karena
pengaruh perkembangan dalam negeri ataupun karena pengaruh luar, seperti
demokratisasi, perlindungan HAM, kebebasan pers danmengeluarkan pendapat,
perkembangan iptek, ekonomi dan perdagangan, serta komunikasi ikut mendorong
kerawanan-kerawanan di perbatasan.
Di antara faktor-faktor yang sangat berpengaruh dalam sistem pertahanan
keamanan perbatasan antara lain adalah sebagai berikut:
a. Adanya batas-batas yang jelas yang diakui secara regional dan iternasional dan
diketahui oleh rakyat dan penegak hukum baik di darat, maupun di laut.
b. Adanya hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah dan bekerja
sama dengan negara-negara tetangga
c. Berkembangnya kerja sama ekonomi dan perdagangan yang tertata baik dan
saling menguntungkan di daerah perbatasan
d. Terpeliharanya hubungan etnis dan kebudayaan yang serasi di daerah
perbatasan
e. Tegaknya hukum di dalam negara, termasuk di perbatasan serta
berkembangnya sistem good governance.
Oleh karena itu, maka dalam membangun sistem keamanan perbatasan, baik di darat,
laut maupun udara, harus ada:17
a. Line of communication and coordination yang mantap antara pos-pos
perbatasan dengan pemerintah daerah dan pusat.

b. Adanya pengaturan yang rapi antara pejabat-pejabat perbatasan (POLRI dan


Pemda) antara kedua negara yang berbatasan, terutama di bidang pertukaran
intelligence dan informasi, saling memahami persyaratan dan prosedur lintas
batas masing-masing, dan kerja sama joint patrol, hot pursuit dan joint
exercises
c. Meningkatkan penegakan hukum di masing-masing negara terutama di daerah
perbatasan.
Di antara hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam menjaga keamanan perbatasan
adalah:
1. Perlunya pemerintah se ger a menuntaskan berbagai perbatasan maritim
Indonesia dan perjanjianperjanjian perbatasan berbagai kawasan maritim
dengan negara tetangga,
2. Perbaikan kehidupan masyarakat khususnya di daerah perbatasan, serta
perbatasan alat-alat negara untuk membantu mengurangi korupsi dan
penyelewengan,
3. Sosialisasi yang luas dikalangan masyarakat perbatasan tentang batasbatas
negara dan perlunya masyarakat menghormati batas-batas tersebut serta
membantu aparat negara mengamankan daerah perbatasan, yang di samping
untuk negara secara keseluruhan, juga penting bagi masyarakat perbatasan
sendiri,
4. Perlunya Pemerintah menghormati dan mengatur lintas batas antaretmik di
daerah perbatasan sehingga dia lebih berpotensi kerjasama dari pada konflik,
5. Perlunya aparat Pemerintah, baik pusat maupun daerah, memahami ketentuan
hukum internasional mengenai kelautan dan berbagai perjanjian perbatasan
serta kerja sama bilateral, regional, maupun internasional, yang berkaitan
dengan pengamanan perbatasan, baik di darat, laut maupun udara.
17 Hasjim Djalal, Menentukan Batas Negara Guna Meningkatkan Pengawasan,
Penegakan Hukum dan
Kedaulatan NKRI, Kuliah Umum, FH Unair, 2005, hal. 11

Kesimpulan
1. Aspek yang terkait dengan masalah perbatasan adalah mengenai kewenangan
dari negara untuk membuat suatu kebijakan dan peraturan perundangundangan tentang batas wilayah. Perjanjian perbatasan laut antara Indonesia
dengan negara lain telah banyak yang dilakukan dan diratifikasi dalam bentuk
Undangundang atau Keppres. Tetapi masih banyak juga wilayah perbatasan
Indonesia dengan negara lain yang memerlukan penanganan secepatnya,
terutama mengenai wilayah yang rawan konflik karena potensi sumber daya
alamnya , baik hayati ataupun non hayati. Peningkatan kerja sama dengan
negara tetangga dalam menentukan batas negara dapat dilakukan pertamatama
dengan mengusahakan dan merundingkan batas-batas negara secara jelas,
Sepanjang perbatasan darat, mengingat sudah ada perjanjian di zaman
kolonial, maka usaha yang perlu dilakukan adalah mensurvei, memetakan dan
menetapkan batas-batas dengan patok-patok perbatasan yang jelas di daerah
perbatasan darat melalui perundingan dan kerja sama dengan negara-negara
tetangga yang bersngkutan. Sepanjang yang bersangkutan dengan batas laut,
maka batas laut tersebut harus ditetapkan berdasarkan persetujuan dengan
negara tetangga yang bersangkutan, khususnya batas-batas laut wilayah, zona
tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen. Batas-batas maritim
Indonesia ke laut bebas dapat dilakukan sendiri oleh Indonesia dengan
memperhatikan ketentuan-ketentuan Hukum Internasional dan ketentuanketentuan Hukum Laut Internasional.
2. Berbagai konflik yang muncul mengenai perbatasan suatu negara berpengaruh
pada kondisi politik, pertahanan keamanan, ekonomi dan sosial budaya pada
masyarakat secara keseluruhan maupun pada masyarakat di perbatasan.
Konflik di perbatasan dapat terjadi karena sengketa batas dan sengketa di
wilayah perbatasan. Sengketa batas dibagi dalam 2 macam sengketa, yaitu
sengketa nonfisik dan sengketa fisik. Sengketa fisik meliputi aspek yuridis,
administratif, geografis, historis dan sosial.

Saran
1. Peningkatan kerja sama dengan negara tetangga dalam menentukan batas
negara dapat dilakukan dengan mengusahakan dan merundingkan batas-batas
negara secara jelas.
2. Menyempurnakan sistem pemanfaatan kelautan dan perundang-undangan
yang menyangkut kelautan, seperti pengadilan kelautan, peningkatan
penegakan hukum dan pengaman laut, konservasi dan pengelolaan kekayaan
alam, serta hubungan pusat dan daerah.

DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Hasanudin Z., Aspek Geodesi Pada Kesepakatan Delimitasi Batas-batas
Maritim Indonesia: Status dan Permasalahannya, Seminar, Bandung, 23 April 2005.
A.Garner, Bryan, Blacks Law Dictionary, Seventh Edition. West Group ,St.Paul,
Minn, 1999.
Anwar, Donillo, Potensi Nilai Strategis Batas antar Negara Ditinjau dari Aspek
Hukum Perjanjian Internasional, dalam Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia,
Bakorsurtanal, 2004.
Agoes, Etty R.,Perspektif UNCLOS 1982 Dalam Konflik Perbatasan di Laut, Seminar
Nasional Strategi Penyelesaian Konflik PerbatasanWilayah Perairan,Unair, 2005,
Djalal, Hasjim, Menentukan Batas Negara Guna Meningkatkan Pengawasan,
Penegakan
Hukum dan Kedaulatan NKRI, Ceramah Umum Hukum Laut, Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, 2005
, Sistem Keamanan Perbatasan Indonesia, Majalah Berita Perbatasan,
Departemen Dalam Negeri, Edisis 02/Th1, Des 2002/Jan 2003.
Hamdi, Muchlis, Pengelolaan Wilayah Perbatasan, Perbatasan, Departemen Dalam
Negeri Republik Indonesia, Desember, 2002/Januari 2003.
Hartono, Sunaryati, C.F.G. , Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20,
Alumni, Bandung, 1994.
J.J.H. Bruggink., Arief Sidharta (terj) Refleksi tentang Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996.
Hadjon, Philipus M., Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Yuridika,
Fakultas HukumUnair, Nomor 6 Tahun IX November Desember, 1994.
, Merancang dan Menulis Penelitian Hukum Normatif, tanpa tahun.
Simbolon, EffendiM.S.,Masalah BatasWilayah NKRI: Kasus Ambalat Ditinjau dari
Aspek Sosial Politik, Seminar, Bandung, 23 April 2005.
Konvensi Hukum Laut 1982 (terjemahan), Departemen Luar Negeri RI, diterbitkan
oleh Pusat Studi Hukum Internasional dan Perjanjian Internasional, tahun 2000.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Yuridika, Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, Vol 16, No. 1, Maret-April 2001.
Meuwissen, D.H.M. ,Pengembanan Hukum, Pro Justitia, Universitas Parahiyangan,
Th. XII, Nomor.1, Januari 1994
Montevideo Convention on the Rights and Duties of States, 1933
Simbolon, EffendiM.S., Masalah Batas Wilayah NKRI: Kasus Ambalat Ditinjau dari
Aspek Sosial Politik, Seminar, Bandung, 23 April 2005.
Sumardiman, Adi ,Aspek Yuridis dalam penataan Batas Negara, Pusat Pemetaan
Batas Wilayah, Bakorsurtanal, 2004.
Perbatasan, Berita Departemen dalam Negeri, Edisi 02/Th.1 Desember 2002/Januari
2003
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
Undang-undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Perairan Indonesia
Undang-undang Nomor 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat

Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2002) tentang Lintas Damai Bagi Kapal-kapal
Asing
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 tentang Alur Laut Kepulauan Indonesia
(ALKI).

Anda mungkin juga menyukai