Anda di halaman 1dari 211

KONVERSI SAMPAH ORGANIK MENJADI KOMARASCA

(Kompos-Arang Aktif-Asap Cair) DAN APLIKASINYA


PADA TANAMAN DAUN DEWA

Abdul Gani

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


BOGOR
2007

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN


SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Konversi Sampah Organik


Menjadi Komarasca (Kompos-Arang Aktif-Asap Cair) dan Aplikasinya pada
Tanaman Daun Dewa adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan
dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka
di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Pebruari 2007
Abdul Gani
NRP. P062020271

ABSTRAK
ABDUL GANI. Konversi Sampah Organik Menjadi Komarasca (Kompos-Arang
Aktif-Asap Cair) dan Aplikasinya pada Tanaman Daun Dewa di bawah bimbingan
ZAINAL ALIM MASUD, BIBIANA WIDIYATI LAY, SURJONO HADI
SUTJAHJO, dan GUSTAN PARI.
Sampah organik hingga saat ini masih menjadi permasalahan yang belum
terpecahkan di sebahagian besar Kota di Indonesia. Sampah ini baru sebahagian
kecil yang mampu diolah menjadi kompos dan sebahagian besarnya terutama
sampah padat masih dibakar dengan incinerator, walaupun cara ini sudah dilarang
di beberapa kota di dunia karena mencemari udara. Penelitian ini bertujuan
mendapatkan teknologi pengolahan sampah organik menjadi kompos, arang, arang
aktif dan asap cair serta aplikasi produknya pada tanaman daun dewa. Sampah
organik lunak dikonversi menjadi kompos dengan biodekomposer EM-4, Orgadec,
Biodek atau kombinasinya. Sampah organik padat dikonversi menjadi arang dan
asap cair dengan menggunakan reaktor pirolisis. Arang ditingkatkan mutunya
dengan cara aktivasi menjadi arang aktif. Asap cair difraksinasi dan diuji aktivitas
antifeedantnya terhadap larva Spodoptera litura. Selanjutnya, komarasca hasil
konversi sampah tersebut diaplikasikan pada tanaman daun dewa. Hasil
pengomposan sampah organik lunak dengan biodekomposer EM-4, campuran
Orgadec-EM-4-Arang-Asap cair atau campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap cair,
selain mempercepat proses pengomposan juga dihasilkan kompos yang relatif
mendekati persyaratan SNI-19-7030-2004. Hasil pirolisis sampah organik padat
pada suhu 350-510 oC diperoleh 22,36-41,12% arang dan 30,33-37,83% asap cair.
Arang yang dihasilkan pada suhu 505 oC relatif mendekati persyaratan SNI-011682-1996, dan asap cair yang dihasilkan pada proses tersebut menunjukkan kadar
total fenol tertinggi. Kualitas arang aktif hasil aktivasi arang sampah organik
dengan uap H2O pada suhu 800 oC selama 120 menit relatif mendekati persyaratan
SNI-06-3730-1995, terutama dalam hal daya jerapnya terhadap iodin. Fraksi
metanol dan air dari asap cair berpotensi sebagai antifeedant, karena aktivitasnya
terhadap larva S. litura melebihi 50%, yaitu secara berturut 80,65 dan 62,07% pada
konsentrasinya 1% dan nilai Effective Inhibitor (EI50)-nya sama-sama 0,71%.
Penggunaan komarasca berpengaruh sangat nyata baik terhadap pertambahan
tinggi batang, jumlah daun, dan anakan maupun terhadap bobot biomassa tanaman
daun dewa terutama ditunjukkan oleh perlakuan campuran tanah-abu-kompos yang
diberi arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O dan antifeedant fraksi metanol
dari asap cair sampah organik.
Kata kunci: kompos, arang aktif, asap cair, sampah organik

ABSTRACT
ABDUL GANI. Conversion of Organic Waste into Komarasca (Compost-Active
Charcoal-Liquid Smoke) and Its Application on Gynura pseudochina (Lour) DC.
Under supervision of ZAINAL ALIM MASUD, BIBIANA WIDIYATI LAY,
SURJONO HADI SUTJAHJO, and GUSTAN PARI.
Untill recently, organic waste has been unsolvable problem in most cities in
Indonesia. Only little amount of them has been processed into compost and the rest
of them has been burnt by incinerator, even this way has been forbidden in some
countries in the world because its smoke has polluted the air. The objectives of this
research were to develop technology to process organic waste into compost,
charcoal, active charcoal and liquid smoke, and to observe their effect on Gynura
pseudochina (Lour) DC. The soft organic waste was converted into compost by
biodecomposers of EM-4, Orgadec, Biodek or their combination. The solid organic
waste was converted into charcoal and liquid smoke by a pyrolysis reactor. Then,
the charcoal was activated to be active charcoal to improve its quality. The liquid
smoke was fractionated and its antifeedant activity was tested on Spodoptera litura
larvae. The komarasca was applied on G. pseudochina (Lour) DC. The composting
of soft organic waste by biodecomposers EM-4, mixture of Orgadec EM-4
charcoal liquid smoke or mixture of Orgadec Biodek charcoal liquid
smoke, beside accelerating composting process, they could also produce relatively
resemble the requirement of SNI 19-7030-2004. Pyrolysis of solid organic waste
at 350 510oC produced 22.36 41.12% charcoal and 30.33 37.83% liquid
smoke. The pyrolysis process at 505oC produced charcoal which was relatively
resemble the requirement of SNI 01-1682-1996, and the liquid smoke showed the
highest total phenol. The active charcoal that was obtained by activation with
water vapour in 800oC for 120 minutes had the relatively resemble the requirement
of SNI 06-3730-1995, especially in its iodine adsorbance. Methanol and water
fraction from liquid smoke were potential to be antifeedant because their activity
on the larvae of S. litura were more than 50%, and at the concentration of 1% were
80.65% and 62.07%, respectively. Their Effective Inhibitor (EI50) value was
0.71%. The utilization of komarasca significantly increased steam height, leaves
number and young plant as well as biomass weight of G. pseudochina (Lour) DC.,
especially observed at the utilization of soil - ash - compost mixtures added with
active charcoal produced by activation with H2O steam and methanol fraction
antifeedant from liquid smoke of organic waste.
Keyword : compost, active charcoal, liquid smoke, organic waste

KONVERSI SAMPAH ORGANIK MENJADI KOMARASCA


(Kompos-Arang Aktif-Asap Cair) DAN APLIKASINYA
PADA TANAMAN DAUN DEWA

Abdul Gani

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


BOGOR
2007

Judul Penelitian

: Konversi Sampah Organik Menjadi Komarasca (Kompos-Arang


Aktif-Asap Cair) dan Aplikasinya pada Tanaman Daun Dewa

Nama

: Abdul Gani

NIM

: P062020271

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Zainal Alim Masud, DEA.


Ketua

Prof. Dr. drh. Bibiana Widiyati Lay, M.Sc.


Anggota

Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S.


Anggota

Dr. Gustan Pari, M.Si., APU.


Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi


Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan

Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S.

Tanggal Ujian : 23 Pebruari 2007

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 5 Desember 1966 di Gampoeng Sukon


Kemukiman Meemeuaneuk Kecamatan Grong-Grong Kabupaten Pidie Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), merupakan putra ke dua dari enam bersaudara
dari Ayah bernama Haji bin Ibrahim dan Ibu bernama Hamdiah binti Cut Mad.
Penulis menamatkan Pendidikan Dasar tahun 1979 di Madrasah Ibtidayah
Negeri (MIN) Grong-Grong; Pendidikan Menengah Tingkat Pertama tahun 1982 di
SMP Negeri Blangkula Pidie, dan Pendidikan Menengah Tingkat Atas tahun 1985
di SMA Adidarma Banda Aceh. Pada tahun yang sama, penulis diterima menjadi
Mahasiswa Program Studi Kimia Jurusan Pendidikan MIPA Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh melalui jalur Penelusuran
Minat dan Kemampuan (PMDK) oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan
lulus menjadi Sarjana Pendidikan Kimia tahun 1990. Pada tahun 1992, penulis
mendapat kepercayaan mengikuti Pendidikan Pascasarjana strata dua (S2) di
Program Studi Kimia Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung dan
meraih gelar Magister Sains (M.Si.) dalam bidang Kimia Organik tahun 1995.
Selanjutnya pada tahun 2002 hingga sekarang, penulis terdaftar sebagai mahasiswa
Pendidikan Pascasarjana strata tiga (S3) di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Pada tahun 1987-1990 penulis diangkat menjadi Asisten Dosen di
Laboratorium Ilmu Pengetahuan Alam (LIPA) Universitas Syiah Kuala Darussalam,
Banda Aceh. Sejak tahun 1991 hingga sekarang, penulis bekerja sebagai pegawai
negeri sipil (PNS) dengan jabatan dosen di Program Studi Kimia Jurusan Pendidikan
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Syiah Kuala Darussalam, Banda Aceh.
Penulis menikah dengan Dra. Ramlah Zaini, M.Si. pada tahun 1992, dan
hasilnya telah dikaruniai seorang putri (almarhumah, yang lahir dan meninggal pada
saat proses kelahirannya tahun 1994), dan dua orang putra, yaitu Fakhri Ramadhan
(lahir tahun 1995 di Kuala Simpang Aceh Timur), dan Fauzan Rabbani (lahir tahun
1997 di Banda Aceh).

xi

Selama mengikuti program pendidikan doktor (S3), penulis aktif mengikuti


berbagai seminar maupun workshop berskala internasional, antara lain: Seminar
Internasional tentang Strengthening Nations Competitiveness throuhg Mutual
Partneship Between University and Industry tahun 2003, Seminar Internasional
tentang Sensor and Biosensor tahun 2004, Workshop Internasional tentang
Bioinformatics tahun 2005, dan pada tahun yang sama juga mengikuti Konferensi
Internasional tentang Visi Bangun Kembali Aceh Pasca Tsunami. Selain itu
penulis juga terdaftar sebagai anggota Himpunan Kimia Indonesia (HKI) cabang
Aceh, sejak tahun 1992 s.d. sekarang, sebagai anggota Kelompok Peneliti
Tumbuhan Obat Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, sejak tahun 1996 s.d.
sekarang. Penulis juga terdaftar sebagai anggota Ikatan Keluaga Mahasiswa
Pascasarjana (IKAMAPA) Aceh di Bogor, sejak tahun 2002 s.d. sekarang.
Artikel yang ditulis selama mengikuti pendidikan program doktor (S3) antara
lain 1) Pembuatan Arang dari Sampah Organik Padat dengan Reaktor Pirolisis yang
sedang dalam proses penerbitan di Jurnal PURIFIKASI Volume 7 No.2 Edisi
Desember 2006, Departemen Teknik Lingkungan ITS Surabaya, 2) Karakterisasi
Kompos Hasil Dekomposisi Sampah Organik Perkotaan dengan Biodekomposer
EM-4, Orgadec dan Biodek yang sedang dalam proses penerbitan di Jurnal ENVIRO
Volume 8 No.2 Edisi September 2006, Pusat Penelitian Lingkungan Hidup UNS
Solo, dan 3) Karakterisasi Asap Cair Hasil Pirolisis Sampah Organik Padat yang
sedang dalam proses penerbitan di Jurnal Teknologi Industri Pertanian Volume 16
No.3 Edisi Maret 2007, Departemen Teknologi Industri Pertanian FATETA Institut
Pertanian Bogor.

xii

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T., karena atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan untuk
memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Doktor pada Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.

Penelitian ini berjudul Konversi Sampah Organik Menjadi

Komarasca (Kompos-Arang Aktif-Asap Cair) dan Aplikasinya pada Tanaman Daun


Dewa yang dilaksanakan mulai bulan Juli 2005 sampai Oktober 2006.
Selama melaksanakan penelitian dan penulisan disertasi ini, penulis banyak
mendapat bantuan baik moril maupun materil serta bimbingan dari berbagai pihak,
sehingga pada kesempatan ini disampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada:
1. Dr. Zainal Alim Masud, DEA. sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. drh.
Bibiana Widiyati Lay, M.Sc., Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S., dan Dr. Gustan
Pari, M.Si., APU. selaku anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan
waktunya untuk membimbing dan mengarahkan serta memberi saran demi
kemajuan penulis dan lebih sempurnanya tulisan ini.
2. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S. selaku Ketua Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
yang selalu memacu, memberi semangat dan solusi bagi setiap masalah yang
penulis hadapi serta meluangkan waktu hingga larut malam, agar penulis cepat
selesai dalam studi ini dan segera kembali untuk membangun Aceh.
3. Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta staf dan
jajaran administrasinya yang telah berkenan menerima dan mengasuh serta selalu
mendukung penulis untuk kelancaran dan kesuksesan studi ini.
4. Rektor dan Pimpinan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah
Kuala beserta staf administrasinya yang telah berkenan memberi izin dan bantuan
kepada penulis untuk mengikuti tugas belajar ini.
5. Pimpinan DIKTI dan penanggung jawab Program Beasiswa BPPS yang telah
membiayai pelaksanaan tugas belajar ini.
6. Dr. Adi Santoso, M.Si., APU. dan Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti, M.S. yang telah
meluangkan waktunya untuk menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka.
viii

7. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S., Prof. Dr. drh. Bibiana Widiyati Lay, M.Sc.,
Dr. Ir. Catur Herison, M.Sc., dan Dr. Ir. Rustikawati, M.Si. selaku penanggung
jawab dan pengelola Dana Hibah Pascasarjana dari Direktur P2M DIKTI yang
telah membantu sebahagian dana penelitian dan kelancaran penulis baik dalam
penulisan disertasi maupun publikasinya.
8. Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Kabupaten
Aceh Besar serta Pimpinan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NADNias yang turut memberi dukungan dana bantuan pelaksanaan penelitian ini.
9. Pemerintah Jerman dan Pimpinan Institut Pertanian Bogor yang telah berusaha
menggalang, mengelola dan mendistribusikan bantuan beasiswa secara transparan
bagi mahasiswa IPB asal NAD yang mengalami musibah gempa bumi dan
tsunami pada tanggal 26 Desember 2004.
10. Dr. Gustan Pari, M.Si., APU selaku Ketua Kelti pada Laboratorium Kimia Kayu
dan Energi Biomassa Puslitbang Hasil Hutan Bogor beserta stafnya yang telah
memberi izin pemakaian ruangan, penggunaan sarana/peralatan, membantu
tenaga, pikiran, dan memberi suasana yang aman, nyaman serta dukungan
lingkungan yang sangat kondusif sehingga penulis dapat bekerja optimal dalam
pelaksanaan penelitian ini.
11. Saudari Heny yang selalu memotivasi dan telah memperkenalkan penulis dengan
Dr. Adi Santoso, M.Si., APU. selaku pembimbingnya untuk membantu
memecahkan persoalan rencana penelitian yang telah penulis rumuskan. Oleh
karenanya, Bapak Adi telah meluangkan waktunya untuk tekun mendengarkan
curahan pikiran penulis tentang rencana penelitian ini, dan akhirnya penulis
dipertemukan dengan Dr. Gustan Pari, M.Si., APU sebagai salah seorang ahli
peneliti yang mendalami bidang tersebut.
12. Staf Laboratorium Servis Seameo Biotrob Bogor yang telah membantu analisis
kompos dan asap cair.
13. Staf Laboratorium Teknologi Mineral ITB Bandung yang telah membantu analisis
bahan baku, arang dan arang aktif dengan XRD.
14. Staf Laboratorium Kimia Instrumen Jurusan Kimia FPMIPA UPI Bandung yang
telah membantu analisis bahan baku, arang dan arang aktif dengan FTIR.
15. Staf Laboratorium Kuarter Puslit Geologi Bandung yang telah membantu analisis
bahan baku, arang dan arang aktif dengan SEM.
ix

16. Staf Laboratorium Kesehatan Daerah Dinas Kesehatan Pemda DKI Jakarta yang
telah membantu analisis kimia asap cair dengan teknik GCMS.
17. Staf Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia FMIPA IPB yang telah
membantu analisis fitokimia tanaman hasil panen.
18. Staf Laboratorium Biologi Tanah Departemen Tanah FAPERTA IPB yang telah
membantu analisis total mikroba dan fungi dari media campuran sisa panen.
19. Ibu Alfa sebagai salah seorang tetangga yang sangat baik, telah membantu dan
merelakan perkarangannya penulis gunakan untuk penelitian lapangan.
20. Teman-teman seperjuangan, terutama Tim Peneliti Sampah yang secara berkala
bertemu, berdiskusi dan bertukar informasi serta literatur yang bermanfaat dan
sangat membantu penulis dalam menyelesaikan tugas ini.
21. Semua pihak yang telah membantu penulis dan tidak dapat disebutkan satu
persatu namanya, baik secara moril maupun materil.
Ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya juga penulis sampaikan kepada
Ayah dan Ibu yang telah mengasuh, membimbing, membiayai dan setiap saat
mendoakan agar penulis diberi kemudahan dalam setiap langkah dan selalu mendapat
ridha dari Allah S.W.T. Demikian juga halnya kepada Istri dan Anak-anakku
tersayang yang selalu mendampingi, membantu dalam suka maupun duka dan
mendoakan penulis sehingga selalu tabah, sabar dan diberi kekuatan terutama dalam
menerima musibah gempa bumi dan tsunami yang telah meluluhlantakkan sebagian
anggota keluarga dan harta benda penulis di Banda Aceh serta penulis diberi
kemampuan dalam menjalani tugas belajar ini hingga sukses.
Akhir kata, semoga semua bantuan yang telah diberikan, penulis hanya dapat
berdoa agar diberi ganjaran yang setimpal oleh Allah S.W.T. dan dinilai sebagai amal
shaleh. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih belum sempurna dan dengan
segala kerendahan hati menerima masukan, kritikan, dan saran agar tulisan ini dapat
disempurnakan sesuai dengan yang diharapkan. Selanjutnya penulis berharap semoga
karya ini dapat bermanfaat bagi Pemerintah terutama yang diberi kewenangan
menangani sampah baik di tingkat kota hingga rukun tetangga, masyarakat,
pengusaha yang berminat berinvestasi mengolah sampah, dunia ilmu pengetahuan dan
pihak lain yang membutuhkannya.
Bogor, Pebruari 2007
Abdul Gani
x

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR ...

DAFTAR LAMPIRAN ....

xi

I. PENDAHULUAN.....
1.1 Latar Belakang..
1.2 Kerangka Pemikiran.
1.3 Perumusan Masalah......
1.4 Tujuan Penelitian..............
1.5 Manfaat Penelitian........
1.6 Novelty..........

1
1
5
8
9
10
10

II. TINJAUAN PUSTAKA...


2.1 Sampah Organik....
2.2 Kompos..
2.2.1 Karakteristik Kompos.......................................................................
2.2.2 Prinsip Pengomposan........................................................................
2.2.3 Proses Pengomposan.........................................................................
2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Proses Pengomposan...........................
2.2.5 Biodekomposer.................................................................................
2.3 Arang ......... ...
2.4 Arang Aktif.. .....
2.4.1 Pembuatan Arang Aktif....................................................................
2.4.2 Sifat-sifat Arang Aktif......................................................................
2.4.3 Struktur Arang Aktif.........................................................................
2.4.4 Daya Jerap Arang Aktif....................................................................
2.4.5 Kegunaan Arang Aktif.....................................................................
2.5 Asap Cair...................................................................................................
2.5.1 Komposisi Asap Cair........................................................................
2.5.2 Kegunaan Asap Cair.........................................................................
2.6 Tanaman Daun Dewa................................................................................

11
11
13
13
14
15
17
18
19
20
21
25
26
27
27
31
32
33
34

III. METODE PENELITIAN....


3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ......
3.2 Bahan dan Alat .....
3.2.1 Bahan................................................................................................
3.2.2 Alat...................................................................................................
3.3 Prosedur Penelitian........
3.3.1 Konversi Sampah Organik Menjadi Kompos...................................
3.3.2 Konversi Sampah Organik Menjadi Arang dan Asap Cair..............
3.3.3 Pembuatan Arang Aktif....................................................................

37
37
38
38
39
42
42
45
49
xiii

3.3.4 Fraksinasi dan Bioassay Asap Cair...................................................


3.3.5 Aplikasi Komarasca pada Tanaman Daun Dewa.............................
3.3.6 Bagan Alir Penelitian........................................................................
3.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data..................................................
3.4.1 Rancangan Percobaan dan Analisis Data Pembuatan Arang Aktif..
3.4.2 Rancangan Percobaan dan Analisis Data Aplikasi Komarasca.......

54
55
57
59
58
59

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................................


4.1 Konversi Sampah Organik Menjadi Kompos............................................
4.1.1 Karakteristik Bahan Baku.................................................................
4.1.2 Proses Pengomposan........................................................................
4.1.3 Mutu Kompos...................................................................................
4.2 Konversi Sampah Organik Menjadi Arang dan Asap Cair.......................
4.2.1 Karakteristik Bahan Baku.................................................................
4.2.2 Hasil Pirolisis....................................................................................
4.2.3 Arang................................................................................................
4.2.4 Asap Cair..........................................................................................
4.3 Pembuatan Arang Aktif.............................................................................
4.3.1 Karakteristik Bahan Baku.................................................................
4.3.2 Identifikasi Struktur Arang Aktif.....................................................
4.3.3 Mutu Arang Aktif.............................................................................
4.4 Fraksinasi dan Bioassay Asap Cair............................................................
4.4.1 Fraksinasi Asap Cair.........................................................................
4.4.2 Bioassay Asap Cair...........................................................................
4.5 Aplikasi Komarasca pada Tanaman Daun Dewa......................................
4.5.1 Pertumbuhan Tanaman Daun Dewa.................................................
4.5.2 Biomassa Tanaman Daun Dewa.......................................................
4.5.3 Kandungan Total Mikroba dan Fungi...............................................
4.5.4 Kandungan Metabolit Sekunder Tanaman Daun Dewa ...................

61
61
61
63
71
76
76
76
77
85
92
92
92
117
130
130
130
135
136
141
143
143

V. KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................


5.1 Kesimpulan................................................................................................
5.2 Saran..........................................................................................................

146
146
147

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................

148

LAMPIRAN..........................................................................................................

162

xiv

DAFTAR TABEL
Halaman
1. Sifat arang aktif dari beberapa jenis bahan baku.... 21
2. Karakteristik beberapa material kasar yang digunakan pada pembuatan
karbon aktif secara pirolisis...............

22

3. Penggunaan arang aktif secara umum....

28

4. Kandungan hara arang dan arang aktif beberapa bahan baku........

31

5. Hasil analisis senyawa kimia fraksi cair dari partikel pohon kayu (0,425 mm)
melalui pirolisis dalam larutan alkali (30% Na2CO3) dan non alkali...............

33

6. Kombinasi perlakuan pengomposan sampah organik pasar.............

43

7. Kombinasi perlakuan pembuatan arang aktif....................................................

50

8. Kadar air dan nisbah C/N sampah organik pasar................................................ 61


9. Rataan perubahan suhu kompos seminggu pertama pengomposan..................

64

10. Rataan perubahan suhu kompos selama minggu ke dua pengomposan..........

65

11. Rataan perubahan suhu kompos setelah minggu ke dua pengomposan..........

67

12. Karakteristik kompos sampah organik pasar pada hari ke-30 pengomposan.

72

13. Kadar unsur hara makro kompos pada hari ke-30 pengomposan...................

73

14. Kadar unsur hara mikro dan logam berat kompos sampah organik pasar......

74

15. Hasil pirolisis sampah organik dengan reaktor listrik.....................................

76

16. Hasil pirolisis sampah organik dengan reaktor drum......................................

76

17. Karakteristik arang hasil pirolisis dengan reaktor listrik................................

77

18. Karakteristik arang hasil pirolisis dengan reaktor drum.................................

78

19. Data bilangan gelombang serapan IR dari bahan baku dan arang hasil
pirolisisnya.....................................................................................................

81

20. Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (), jarak antar lapisan (d),
tinggi (Lc), dan lebar (La) antar lapisan serta jumlah (N) lapisan aromatik
dari bahan baku dan arang hasil pirolisisnya.................................................

83
xv

21. Diameter permukaan pori bahan baku dan arang hasil pirolisisnya................

84

22. Data rendemen dan warna asap cair hasil pirolisis dengan reaktor listrik......

85

23. Data rendemen dan warna asap cair hasil pirolisis dengan reaktor drum.......

86

24. Data total fenol asap cair hasil pirolisis dengan reaktor listrik.......................

87

25. Data total fenol asap cair hasil pirolisis dengan reaktor drum........................

87

26. Rataan nilai pH asap cair hasil pirolisis dengan reaktor listrik.......................

89

27. Rataan nilai pH asap cair hasil pirolisis dengan reaktor drum........................

89

28. Bilangan gelombang serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi panas............

93

29. Bilangan gelombang serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi uap H2O.......

94

30. Bilangan gelombang serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M...

96

31. Bilangan gelombang serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi KOH 1M......

97

32. Bilangan gelombang serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M.

98

33. Bilangan gelombang serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M....

100

34. Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (), jarak antar lapisan (d),
tinggi (Lc), dan lebar (La), antar lapisan serta jumlah (N), lapisan aromatik
pada arang aktif hasil aktivasi panas..............................................................

101

35. Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (), jarak antar lapisan (d),
tinggi (Lc), dan lebar (La), antar lapisan serta jumlah (N), lapisan aromatik
pada arang aktif hasil aktivasi uap H2O........................................................

103

36. Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (), jarak antar lapisan (d),
tinggi (Lc), dan lebar (La), antar lapisan serta jumlah (N), lapisan aromatik
pada arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M.....................................................

104

37. Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (), jarak antar lapisan (d),
tinggi (Lc), dan lebar (La), antar lapisan serta jumlah (N), lapisan aromatik
pada arang aktif hasil aktivasi KOH 1M........................................................

106

38. Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (), jarak antar lapisan (d),
tinggi (Lc), dan lebar (La), antar lapisan serta jumlah (N), lapisan aromatik
pada arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M..................................................

107

xvi

39. Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (), jarak antar lapisan (d),
tinggi (Lc), dan lebar (La), antar lapisan serta jumlah (N), lapisan aromatik
pada arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M.....................................................

109

40. Diameter permukaan pori arang aktif hasil aktivasi panas.............................

110

41. Diameter permukaan pori arang aktif hasil aktivasi uap H2O........................

111

42. Diameter permukaan pori arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M....................

113

43. Diameter permukaan pori arang aktif hasil aktivasi KOH 1M........................

114

44. Diameter permukaan pori arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M..................

115

45. Diameter permukaan pori arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M.....................

116

46. Rendemen arang aktif pada perbagai perlakuan aktivasi................................

117

47. Karakteristik arang aktif hasil aktivasi arang sampah organik pasar..............

120

48. Residu hasil fraksinasi asap cair hasil pirolisis sampah organik.....................

130

49. Persentase aktivitas antifeedant asap cair dan fraksi-fraksinya.......................

131

50. Kandungan kimia fraksi metanol asap cair ....................................................

132

51. Pertumbuhan tinggi batang, jumlah daun dan anakan tanaman daun dewa
sebelum pemberian pengendali hama............................................................

137

52. Pertumbuhan tinggi batang, jumlah daun dan anakan tanaman daun dewa
setelah pemberian pengendali hama..............................................................

139

53. Biomassa tanaman daun dewa pada perlakuan komarasca............................

141

54. Kandungan total mikroba dan fungi pada campuran media sisa panen
Tanaman daun dewa......................................................................................

144

55. Kandungan senyawa metabolit sekunder tanaman daun dewa......................

145

xvii

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Bagan alur pikir penelitian..............

2. Mekanisme pengomposan secara umum........................................................

15

3. Reaksi biokimiawi pada pengomposan anaerobik.........................................

16

4. Reaksi biokimiawi pada pengomposan aerobik.............................................

16

5. Beberapa gugus fungsional yang terikat pada permukaan arang aktif.......

25

6. Orientasi pelat-pelat karbon heksagonal pada (a) struktur arang aktif dan
(b) struktur grafit...................

26

7. Reaksi hidrogenasi orto-nitroklorobenzena yang berlangsung dengan


bantuan katalis arang aktif dan platina......

29

8. Tempat pengomposan........................................................................

39

9. Reaktor pirolisis (a) Reaktor listrik, (b) Reaktor drum..................

40

10. Retort pembuatan arang aktif........................................................................

41

11. Bagan alir penelitian.....................................................................................

58

12. Grafik perubahan pH kompos seminggu pertama pengomposan..................

68

13. Grafik perubahan pH kompos hari ke-9 hingga ke-30 pengomposan...........

69

14. Histaogram persentase penyusutan bobot bahan baku kompos....................

70

15. Histogram daya jerap arang terhadap larutan iodin.......................................

79

16. Histogram daya jerap arang terhadap uap benzena.......................................

80

17. Spektrum serapan IR bahan baku dan arang hasil pirolisisnya......................

81

18. Difraktogram bahan baku dan arang hasil pirolisisnya..................................

83

19. Topografi permukaan pori bahan baku dan arang hasil pirolisisnya.............

84

20. Kromatogram asap cair hasil pirolisis sampah organik pasar........................

90

21. Spektrum serapan IR arang aktif hasil aktivasi dengan panas........................

92
xviii

22. Spektrum serapan IR arang aktif hasil aktivasi uap H2O...............................

94

23. Spektrum serapan IR arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M...........................

95

24. Spektrum serapan IR arang aktif hasil aktivasi KOH 1M..............................

97

25. Spektrum serapan IR arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M........................

98

26. Spektrum serapan IR arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M...........................

99

27. Difraktogram arang aktif hasil aktivasi panas................................................

101

28. Difraktogram arang aktif hasil aktivasi uap H2O...........................................

102

29. Difraktogram arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M.......................................

104

30. Difraktogram arang aktif hasil aktivasi KOH 1M..........................................

105

31. Difraktogram arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M.....................................

107

32. Difraktogram arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M........................................

108

33. Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi panas....................................

110

34. Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi uap H2O...............................

111

35. Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M...........................

112

36. Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi KOH 1M..............................

113

37. Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M.........................

114

38. Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M............................

115

39. Kromatogram fraksi metanol asap cair hasil pirolisis sampah organik..........

132

40. Struktur senyawa gamma-butirolakton............................................................

134

41. Daur karbon di alam.........................................................................................

135

xix

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Sidik Ragam Aktivator, Waktu, Suhu dan Interaksinya pada Pembuatan
Arang Aktif......................................................................................................

163

2. Uji BNT Cara Duncan Rendemen Arang Aktif................................................

165

3. Uji BNT Cara Duncan Kadar Air Arang Aktif................................................

167

4. Uji BNT Cara Duncan Kadar Zat Terbang Arang Aktif.................................

169

5. Uji BNT Cara Duncan Kadar Abu Arang Aktif...............................................

171

6. Uji BNT Cara Duncan Kadar Karbon Terikat Arang Aktif............................

173

7. Uji BNT Cara Duncan Daya Jerap Iodin Arang Aktif....................................

175

8. Uji BNT Cara Duncan Daya Jerap Benzena Arang Aktif...............................

177

9. Hasil Analisis Probit Asap Cair dan Fraksi-fraksinya.....................................

178

10. Kandungan Kimia Asap Cair yang Teridentifikasi dengan teknik GCMS....

183

11. Sidik Ragam Media, Pestisida dan Interaksinya pada Tanaman Daun Dewa.

185

12. Uji BNT Cara Duncan Tinggi Batang Tanaman Daun Dewa.......................

186

13. Uji BNT Cara Duncan Jumlah Daun Tanaman Daun Dewa..........................

187

14. Uji BNT Cara Duncan Jumlah Anakan Tanaman Daun Dewa.......................

188

15. Uji BNT Cara Duncan Bobot Basah Tanaman Daun Dewa...........................

189

16. Uji BNT Cara Duncan Bobot Kering Tanaman Daun Dewa..........................

190

17. Baku Mutu Kompos Sampah Domestik.........................................................

191

18. Baku Mutu Arang Aktif..................................................................................

192

19. Baku Mutu Arang Kayu..................................................................................

193

xx

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah sampah perkotaan merupakan masalah yang selalu hangat dibicarakan,
baik di Indonesia maupun di kota-kota lain di dunia, karena hampir semua kota
menghadapi masalah persampahan. Meningkatnya aktivitas pembangunan kota,
pertambahan penduduk, tingkat aktivitas dan tingkat sosial ekonomi masyarakat,
menimbulkan terjadinya peningkatan jumlah (volume) timbunan sampah dari hari ke
hari. Di pihak lain, sarana dan prasarana pemerintah yang terbatas akan menambah
permasalahan sampah yang semakin luas dan kompleks. Menurut Wahyono (2004),
sampah telah menjadi masalah besar di Indonesia. Hingga tahun 2020 mendatang,
volume sampah perkotaan diperkirakan akan meningkat lima kali lipat. Pada tahun
1995 saja, setiap penduduk Indonesia menghasilkan sampah rata-rata sebanyak 0,8 kg
per kapita per hari, dan meningkat menjadi 1 kg per kapita per hari pada tahun 2000.
Maka pada tahun 2020, diperkirakan produk sampah mencapai 2,1 kg per kapita per
hari. Jumlah timbunan sampah yang semakin lama semakin meningkat seiring dengan
pertambahan jumlah penduduk memerlukan penanganan yang terpadu.
Penanganan sampah di Indonesia hingga saat ini belum memberikan hasil yang
memuaskan. Hampir semua kota masih menerapkan pola konvensional dalam
penanganan sampah, yaitu pewadahan, pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan.
Di samping itu, ada juga yang sudah mengusahakan penanganan sebagian sampah
secara pengomposan di tempat pembuangan akhir (TPA) dan sebagian lainnya dibakar
dengan incinerator. Sistem penanganan tersebut ternyata bukan solusi yang tepat untuk
menangani sampah yang kian hari volumenya terus meningkat. Hal ini disebabkan
antara lain, 1) tingginya biaya angkut/transportasi dari sumber sampah ke lokasi
pembuangan di TPA; 2) TPA akan cepat penuh dan kesulitan mencari lahan
penggantinya di perkotaan; 3) TPA menyebabkan pencemaran lingkungan (air, udara,
tanah) dan tempat berkembangbiaknya hama penyakit; dan 4) kebersihan dan
keindahan di sekitar lingkungan TPA akan menjadi berkurang.
Pengelolaan sampah yang dapat menjadi solusi terbaik saat ini adalah
menerapkan sistem pengelolaan sampah secara terpadu berbasis zero waste dengan
melibatkan masyarakat (BPPT 1999; Wibowo & Djajawinata 2003). Sistem ini

2
merupakan kombinasi pengolahan dan/atau penanganan dengan cara daur ulang,
pengomposan, pengarangan, dan pembuangan produk akhir yang aman bagi
lingkungan. Pendekatan ini merupakan salah satu upaya minimisasi sampah dengan
menerapkan prinsip mengurangi (reduce), memanfaatkan kembali (reuse), dan mendaur
ulang (recycle), yang dimulai dari sumbernya (Setiawan 2001).
Di Indonesia, sampah pada umumnya berupa sampah anorganik dan organik.
Sampah anorganik antara lain logam-logam, dan kaca. Sampah ini umumnya tidak
menjadi bahagian dari sampah pasar lagi, karena diambil oleh pemulung untuk dijual
kepada lapak. Sedangkan sebagian besar sampah organik belum dimanfaatkan secara
optimal atau dibiarkan begitu saja. Sampah organik terdiri atas bahan penyusun
tumbuhan dan hewan, baik yang diambil dari alam ataupun dihasilkan dari kegiatan
pertanian, perikanan dan lain-lain (Murtadho & Said 1988). Hingga saat ini, sampah
organik masih menimbulkan permasalahan yang sangat serius dalam pengelolaan
sampah di perkotaan. Penanganan sampah organik yang diperkirakan dapat menjadi
alternatif solusi terbaik, yaitu dengan cara konversinya menjadi kompos dengan cara
pengomposan, dan sampah organik yang sukar dikomposkan dikonversi menjadi arang
dan asap cair dengan cara pirolisis.
Sebahagian besar komponen sampah organik dapat ditangani dengan cara
pengomposan. Menurut Indriani (2005), pengomposan merupakan penguraian bahan
organik secara biologi dalam temperatur termofilik dengan hasil akhir berupa kompos
yang cukup bagus untuk menyuburkan tanaman dan tidak merugikan lingkungan.
Pengomposan sangat tepat dan efektif dilakukan pada sampah organik lunak, seperti
sayur-sayuran, dedaunan dan buangan warung-warung/restoran. Cara pengomposan
yang tepat dapat mengurangi volume timbunan sampah organik di perkotaan, sehingga
dapat menghemat lahan TPA sampah. Di samping itu, jika produk kompos yang
dihasilkan berkualitas baik, secara ekonomi akan memberi nilai tambah.
Proses pengomposan dapat dipercepat dengan menambahkan bahan aktif yang
mengandung berbagai mikroorganisme yang disebut biodekomposer. Menurut Yuwono
(2006) biodekomposer adalah bahan bioaktif yang mampu mendegradasi bahan organik
secara cepat. Beberapa biodekomposer yang sudah beredar, yaitu EM-4, Starbio,
Orgadec, Fix plus, Harmony, dan lain-lain. Biodekomposer yang sudah terbukti mampu

3
mendegradasi bahan organik secara cepat, yaitu cairan EM-4 dan serbuk Orgadec
(Komarayati & Indrawati 2003; Indriani 2005), dan cairan Biodek (Saraswati 2005).
Dewasa ini, berkembangnya sistem pertanian organik memberi peluang pasar
bagi produk kompos. Sistem pertanian organik menggunakan pupuk organik seperti
pupuk kandang dan kompos sebagai substitusi pupuk anorganik (pupuk buatan). Oleh
karena itu, usaha pengomposan sangat berpotensi untuk dikembangkan, terutama jika
dilihat dari tersedianya bahan baku yang melimpah dan teknologi pengomposannyapun
relatif sederhana, serta biaya produksi yang diperlukan tergolong murah karena tidak
membutuhkan jumlah tenaga yang banyak. Dengan demikian, kegiatan ini akan
mendatangkan keuntungan yang memadai.
Di pihak lain, komponen sampah organik padat seperti kayu, bambu, dedaunan,
kertas, dan kulit buah-buahan termasuk bahan organik yang sukar dikomposkan,
sehingga penanganan jenis sampah ini akan efektif dan tepat bila ditangani dengan cara
pirolisis (pengarangan). Pirolisis merupakan proses dekomposisi bahan yang
mengandung karbon, baik yang berasal dari tumbuhan, hewan maupun barang tambang
menghasilkan arang (karbon) dan asap yang dapat dikondensasi menjadi destilat (asap
cair) (Paris et al. 2005). Menurut Demirbas (2005), umumnya proses pirolisis dapat
berlangsung pada suhu di atas 300 oC dalam waktu 4-7 jam. Namun keadaan ini sangat
bergantung pada bahan baku dan cara pembuatannya (Qadeer & Akhtar 2005; Machida
et al. 2005). Pirolisis sampah menjadi arang sangat menguntungkan, terutama dalam
rangka menekan volume timbunannya di perkotaan. Arang yang dihasilkan sangat
bermanfaat sebagai sumber energi/bahan bakar (Matsuzawa et al 2007), selain itu juga
dapat dimanfaatkan sebagai pembangun kesuburan tanah (Gusmailina & Pari 2002).
Arang dapat ditingkatkan mutu dan nilainya dengan cara aktivasi menjadi arang
aktif. Arang aktif mempunyai spektrum penggunaan yang cukup luas dalam kehidupan
manusia, antara lain sebagai adsorben (Guo et al. 2007; Figueroa-Torres et al. 2007;
Klose & Rincon 2007), katalis (Gheek et al. 2007; Zawadzki & Wisniewski 2007), dan
produk ini juga tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Pemanfaatan
arang aktif selain sebagai adsorben dan katalis, saat ini juga sedang dikembangkan
sebagai soil conditioner pada budidaya tanaman holtikultura (Gusmailina et al. 2001;
Smith et al. 2004).

4
Akhir-akhir ini, beberapa peneliti melaporkan pemanfaatan arang/arang aktif
pada tanaman akan memberikan hasil yang cukup baik, apabila penggunaannya
dicampur dengan kompos. Hasil penelitian tersebut, antara lain meningkatkan
pertambahan tinggi tanaman sebesar 4,8 kali pada penggunaan media arang aktif
bambu yang dicampur dengan kompos, sedangkan jika tidak dicampur dengan kompos
hanya meningkat sebesar 1,7 kali (Gusmailina et al. 2001), pemberian arang kompos
sebesar 30% dari berat total media dapat meningkatkan pertambahan tinggi 1 kali,
diameter 2 kali, panjang akar 1,5-2,6 kali dan berat kering anakan Pinus merkusii 4,66,0 kali lebih besar dari kontrol (Komarayati et al. 2003). Selanjutnya HernandezApaolaza et al. (2005), melaporkan beberapa material sampah, seperti campuran kulit
kayu cemara, serabut kelapa dan kompos dapat meningkatkan produksi tanaman hias.
Penggunaan arang kompos juga dapat mencegah pembusukan akar tanaman melon
(Nischwitz et al. 2002).
Pada proses pengarangan sampah organik, selain menghasilkan arang juga
dihasilkan asap yang dapat dikondensasi menjadi asap cair (destilat). Kondensasi asap
bertujuan untuk mencegah pencemaran udara akibat proses tersebut. Beberapa peneliti
telah melaporkan bahwa asap cair mengandung sejumlah senyawa kimia yang
berpotensi antara lain sebagai zat pengawet (Chacha et al. 2005; Nurhayati 2000),
flavour (Morales et al. 2004), antioksidan (Su & Silva 2006; Davalos et al. 2005),
desinfektan dan pestisida (Nurhayati 2000), fuel oil (Shen & Zhang 2005), dan bio-oil
(Demirbas et al. 2006).
Berdasarkan hasil penelusuran literatur yang telah penulis laksanakan, belum
ditemukan publikasi tentang pembuatan arang dan/atau arang aktif serta asap cair dari
bahan baku sampah organik. Literatur tentang metode pengomposan yang dapat
menghasilkan kompos matang dalam waktu relatif cepat juga masih terbatas. Demikian
juga halnya tentang penggunaan produk komarasca berupa campuran kompos dan
arang aktif sebagai soil conditioner serta asap cair sebagai antifeedant yang aman bagi
keanekaragaman hayati dan kelestarian lingkungan, yang bersumber dari bahan baku
sampah organik belum banyak diteliti atau dipublikasi.
Pemanfaatan komarasca dalam bidang pertanian untuk meningkatkan
kesuburan dan kesehatan tanaman sangat menguntungkan. Hal ini disebabkan karena
komarasca selain mengandung komponen unsur hara yang dibutuhkan tanaman, juga

5
mengandung karbon aktif yang dapat menyimpan air lebih lama dan menyerap
berbagai macam komponen larut air. Di samping itu, asap cair yang dikandungnya
diharapkan bermanfaat sebagai antifeedant terhadap hama. Jadi penggunaan komarasca
pada budidaya tanaman akan memberi banyak manfaat terutama untuk mendapatkan
tanaman yang aman dikonsumsi. Penggunaan komarasca sangat baik diterapkan pada
budidaya tanaman obat-obatan. Hal ini didasari atas pertimbangan bahwa tanaman obat
saat ini berkembang cukup pesat, seiring meningkatnya penggunaan obat bahan alami
oleh sebagian masyarakat, dan untuk itu tanaman ini harus tumbuh subur serta bebas
dari pestisida sintetik.
Salah satu tanaman obat yang cukup populer saat ini adalah tanaman daun
dewa. Tanaman ini mempunyai nama ilmiah Gynura pseudochina (Lour) DC. yang
diketahui mempunyai beberapa aktivitas biologi, antara lain sebagai antialergi,
bronkhitis, batu ginjal, antitumor, kencing manis (Zhang & Tang 2000), dan ekstrak
etanolnya dapat melawan infeksi virus herpes (Jiratchariyakul et al. 2001). Beberapa
senyawa aktif yang dikandung tanaman ini antara lain flavonoid, saponin, terpenoid,
tanin, dan alkaloid (Wijayakusumah et al. 1992; Siregar & Utami 2002). Di samping
itu, tanaman ini juga termasuk salah satu jenis tanaman yang rentan terhadap serangan
hama, baik pada umbi maupun daunnya (Winarto et al. 2003). Oleh karena itu, untuk
meningkatkan kesuburan dan kesehatan tanaman ini, perlu diberi pupuk dan pengendali
hama yang aman. Salah satu alternatifnya adalah dengan menggunakan komarasca
hasil konversi sampah organik.
Untuk menjawab permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka serangkaian
penelitian ilmiah dilakukan yang berjudul Konversi Sampah Organik Menjadi
Komarasca (Kompos-Arang Aktif-Asap Cair) dan Aplikasinya pada Tanaman
Daun Dewa.

1.2 Kerangka Pemikiran


Laju pertambahan penduduk dan urbanisasi telah menyebabkan peningkatan
produksi sampah di perkotaan yang sangat tajam dari tahun ke tahun. Hal ini akan
menjadi masalah besar apabila dibiarkan, sementara upaya penanganannya masih
banyak mengalami hambatan, terutama lahan yang tersedia untuk pembangunan TPA
sangat terbatas dan harganyapun relatif mahal. Di samping itu, saat ini sudah banyak

6
kasus konflik masyarakat di sekitar TPA sampah yang mencuat ke permukaan. Di
pihak lain, timbulan sampah baik yang ada di TPS maupun di TPA, apabila tidak
ditangani secara baik dan optimal akan menimbulkan dampak pencemaran lingkungan
(udara, air, tanah), sumber bibit penyakit, dan mengurangi estetika kota.
Berdasarkan sifatnya, sampah di perkotaan terdiri atas 20% sampah anorganik
dan 80% sampah organik (Engelhardt 1995). Sampah anorganik dengan mudah dapat
dipilah untuk diperoleh bahan yang masih terpakai atau dapat didaur ulang, sedangkan
bahan yang tidak terpakai lagi, dapat dimusnahkan dengan cara membakarnya dalam
incinerator. Di samping itu, sampah organik hingga saat ini belum dimanfaatkan secara
optimal, dan umumnya dibiarkan begitu saja di TPA, hanya baru sebahagian kecil saja
yang mampu diolah menjadi kompos dan sebahagian besar sampah padatnya ditangani
dengan cara pembakaran dengan incinerator. Padahal, berdasarkan kandungan
kimianya, sampah ini dapat dikonversi menjadi bahan yang berguna dan ramah
lingkungan, baik melalui cara pengomposan maupun pengarangan.
Sebahagian besar sampah organik dapat dikonversi menjadi kompos. Proses ini
dapat dipercepat dengan menggunakan biodekomposer terutama yang sudah terbukti
kehandalannya seperti EM-4, Orgadec dan Biodek. Di samping itu, pada proses
pengomposan ini juga dicoba dengan kombinasi antar biodekomposer tersebut untuk
menghasilkan produk kompos dengan kematangan yang cepat dan berkualitas terbaik.
Produk kompos yang dihasilkan dapat digunakan sebagai pupuk yang sangat
bermanfaat bagi kesuburan tanah dan tanaman. Walaupun sebagai produk sampingan
pada proses pengomposan dihasilkan licit, namun masalah ini relatif sudah dapat
ditangani menjadi produk berguna berupa pupuk cair. Sampah organik yang sukar
dikomposkan, dapat dikonversi menjadi arang dan asap cair dengan reaktor pirolisis.
Arang yang diperoleh dapat ditingkatkan mutunya dengan cara aktivasi menjadi arang
aktif dengan menggunakan berbagai aktivator seperti panas, uap H2O, KOH dan
H3PO4. Arang aktif yang dihasilkan pada proses tersebut diharapkan dapat
dimanfaatkan sebagai adsorben, dan katalis, di samping sebagai soil conditioner untuk
meningkatkan pertumbuhan dan bobot biomassa tanaman. Asap cair yang diperoleh
sebagai produk sampingan hasil pirolisis sampah tersebut diharapkan berguna sebagai
pengendali hama yang aman.

7
Produk komarasca hasil konversi sampah organik dapat diketahui manfaatnya
secara pasti setelah diaplikasikan pada tanaman. Salah satu jenis tanaman yang
diperkirakan cocok untuk aplikasi produk tersebut adalah tanaman daun dewa. Salah
satu alasan pemilihan tanaman ini karena ia termasuk salah satu jenis tanaman obat
yang diduga berpotensi untuk digunakan sebagai obat antikanker (Soetarno et al.
2000). Pada saat ini, tanaman tersebut juga mulai populer di kalangan masyarakat
pencinta obat-obatan dari bahan alam. Di samping itu, tanaman ini mudah tumbuh dan
tidak memerlukan kondisi yang spesifik untuk pertumbuhannya, akan tetapi daun dan
umbi tanaman ini rentan terhadap serangan hama (Winarto et al. 2003).
Uraian di atas, dapat disistematisasikan dalam bentuk bagan alur pikir
penelitian sebagaimana tertera pada Gambar 1.
Kelestarian Lingkungan Hidup

Pertambahan Penduduk

Sampah Organik

Lunak

Padat/Keras

Pengomposan

Pengarangan

Biodekomposer

Licit

Kompos

Reaktor Pirolisis

Arang
Aktivator
Arang Aktif

Komarasca

Tanaman
Gambar 1 Bagan alur pikir penelitian

Asap Cair

1.3 Perumusan Masalah


Pemanfaatan sampah organik untuk menghasilkan produk yang berguna dan
bernilai komersial, sebenarnya telah sejak lama diupayakan para ahli. Di antaranya
ialah pemanfaatannya untuk produksi kompos (Sahwan 1999; Noike 2005), produksi
biogas (Dahuri 2003), produksi pakan ternak (BPTP 2004) dan produksi sirup glukosa
dan etanol (Murtadho & Said 1988). Namun upaya tersebut, hingga saat ini belum
menunjukkan solusi yang efektif dan efisien dalam pemecahan masalah sampah di
hampir semua kota-kota di Indonesia. Hal ini disebabkan karena perhatian pemerintah
dalam hal penanganan dan/atau pemanfaatan sampah hingga saat ini masih kurang, dan
peran serta masyarakatpun belum menggembirakan. Di samping itu, teknologi
pemusnahan atau pengolahan sampah yang ada, masih tergolong mahal. Oleh karena
itu, agar penanganan dan/atau pemanfaatan sampah organik lebih optimal, perlu
diupayakan teknologi yang lebih sederhana dan harganya yang relatif murah.
Penanganan sampah organik menjadi kompos selain mengalami kendala
teknologi, juga belum didapat metode pengomposannya yang dapat menghasilkan
kompos bermutu terbaik dan waktu pematangannya relatif cepat. Di samping itu, tidak
semua sampah organik dapat dikomposkan, terutama sampah organik padat yang sukar
diurai oleh mikroorganisme. Salah satu cara untuk menangani jenis sampah ini, yaitu
dengan proses pengarangan menggunakan reaktor pirolisis. Reaktor pirolisis dapat
dibuat secara sederhana dari bahan-bahan drum bekas. Penggunaan alat ini untuk
menangani sampah tersebut dapat diperoleh arang dan asap cair. Arang dapat
digunakan sebagai bahan baku arang aktif. Asap cair dapat dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan terutama sebagai pengendali hama yang alami.
Hambatan lain dalam penanganan dan/atau pemanfaatan sampah organik adalah
produk yang dihasilkan belum standar dan pemasarannya masih terbatas. Di samping
itu, pemanfaatan produk ini baik kompos, arang aktif maupun asap cair pada budidaya
tanaman juga belum populer, terlebih lagi penggunaannya dalam bentuk komarasca
belum pernah dilakukan. Untuk itu, perlu dikaji sejauh mana penggunaan komarasca
mampu meningkatkan pertumbuhan dan bobot biomassa tanaman. Sehubungan dengan
hal di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini sebagai berikut:

9
1. Apakah perbedaan jenis biodekomposer berpengaruh terhadap proses pengomposan
dan mutu kompos terbaik dari sampah organik?
2. Apakah sampah organik yang sukar dikomposkan dapat dikonversi menjadi arang
dan asap cair menggunakan reaktor pirolisis? Dan bagaimanakah karakteristik
produknya?
3. Bagaimanakah karakteristik dan mutu arang aktif hasil aktivasi arang sampah
organik dengan aktivator panas, uap H2O, KOH, atau H3PO4, dengan suhu 700 dan
800 oC dan waktu selama 60 dan 120 menit?
4. Apakah asap cair dan/atau fraksi-fraksinya berpotensi sebagai pengendali hama
tanaman yang bersifat antifeedant (anti/menolak makan)?
5. Apakah penggunaan komarasca hasil konversi sampah organik berpengaruh pada
pertumbuhan dan bobot biomassa tanaman daun dewa?

1.4 Tujuan Penelitian


Penelitian ini secara umum bertujuan mendapatkan teknologi pengolahan
sampah organik menjadi kompos, arang, arang aktif dan asap cair serta aplikasi
produknya pada tanaman daun dewa. Secara spesifik, penelitian ini betujuan:
1. Mendapatkan jenis biodekomposer yang mampu mempercepat proses pengomposan
sampah organik menghasilkan kompos bermutu terbaik;
2. Mendapatkan teknologi tepat guna berupa model reaktor pirolisis yang mampu
mengkonversi sampah organik menjadi arang dan asap cair;
3. Mendapatkan metode aktivasi terbaik untuk pembuatan arang aktif dari arang hasil
pirolisis sampah organik;
4. Mengetahui karakteristik asap cair hasil pirolisis sampah organik dan potensinya
sebagai antifeedant bagi hama tanaman; dan
5. Mengetahui pengaruh penggunaan komarasca hasil konversi sampah organik pada
tanaman dengan studi kasus tanaman daun dewa.

10
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memecahkan persoalan sampah
organik dengan cara:
1. Mereduksi volume sampah organik secara cepat;
2.

Menghasilkan produk yang bermanfaat dan bernilai ekonomi, berupa kompos,


arang, arang aktif dan asap cair;

3. Memberi informasi kepada masyarakat terutama pengusaha kecil/menengah


tentang peluang usaha/bisnis baru dengan cara memanfaatkan sampah organik
sebagai bahan baku pembuatan arang, arang aktif dan asap cair.

1.6 Novelty
Novelti (kebaruan) pada penelitian ini yang belum pernah ditemukan/
dipublikasikan sebelumnya, yaitu metode penanganan sampah organik padat
menggunakan reaktor pirolisis menghasilkan produk bermanfaat berupa arang dan asap
cair. Di samping itu, juga akan diperoleh produk komarasca hasil konversi sampah
organik yang berpotensi untuk meningkatkan kesuburan dan kesehatan tanaman.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Sampah Organik
Sampah organik telah menjadi permasalahan bagi masyarakat dan pemerintah,
diantaranya terjadi akibat timbulnya pencemaran lingkungan. Murtadho & Said (1988)
menyatakan sampah organik dapat dibedakan atas dua macam, yaitu sampah organik
yang mudah membusuk (garbage) dan sampah organik yang tidak mudah membusuk
(rubbish). Garbage adalah limbah padat agak basah, berupa bahan-bahan organik yang
umumnya berasal dari sektor pertanian dan makanan. Limbah ini mudah terurai oleh
mikroorganisme karena mempunyai rantai kimia yang relatif pendek. Sedangkan
rubbish merupakan sampah organik padat yang sukar terurai oleh mikroorganisme
karena mempunyai rantai kimia yang relatif panjang dan kompleks. Laju dekomposisi
sampah jenis ini sangat bergantung pada struktur molekul penyusunnya. Jadi sampah
organik padat ada yang dapat terurai secara cepat dan ada yang lebih lama.
Sumber, komposisi dan karakteristik sampah merupakan hal yang terpenting
dalam memilih teknologi pengolahan sampah. Salah satu contoh kasus di Kota Bogor,
pada tahun 2004 rata-rata volume sampah mencapai 2124 m3/hari. Sampah yang
berasal dari pasar tradisional rata-rata sekitar 350 m3/hari, dengan 88% diantaranya
berupa sayuran, buah-buahan dan sisa-sisa makanan (Anonim 2004). Apabila sampah
tersebut dibiarkan menumpuk atau tidak diolah menjadi produk yang bermanfaat, akan
timbul berbagai permasalahan pencemaran lingkungan, di antaranya menyebar bau
busuk yang disebabkan oleh adanya kegiatan mikroorganisme. Di sisi lain, sampah
organik yang membusuk juga dapat mengakibatkan timbul atau berkembangnya
berbagai macam bibit penyakit (Setiawan 2001).
Menurut Satori (2002), persoalan pencemaran lingkungan tidak saja
menyangkut sampah yang tidak terangkut, tetapi juga sampah yang terangkut ke TPA.
Di daerah perkotaan sulit untuk mencari lahan yang dapat digunakan untuk
membangun TPA. Hal ini selain harganya yang cenderung sangat mahal, juga selalu
berhadapan dengan reaksi masyarakat yang cenderung negatif. Sikap resistensi
masyarakat yang paling utama disebabkan oleh persoalan pencemaran lingkungan yang
disebabkan oleh penumpukan sampah secara open dumping di TPA, baik menyangkut
pencemaran udara, air, maupun tanah. Pola penanganan sampah dengan sistem kumpul,
angkut dan buang ternyata tidak dapat menyelesaikan permasalahan sampah. Untuk itu,

12
perlu dikaji sistem penanganan sampah yang mengarah pada upaya minimisasi sampah,
terutama yang ada di TPA.
Beberapa kegiatan yang perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut
di atas, diantaranya: 1) melakukan pengenalan karakteristik sampah dan metode
penanganannya; 2) merencanakan dan menerapkan pengelolaan persampahan secara
terpadu; 3) menggalakkan program reduce, reuse, dan recycle atau lebih dikenal
dengan program 3R, berorientasi untuk dapat tercapainya program zero waste; 4)
mengembangkan teknologi pengelolaan sampah yang lebih bersahabat dengan
lingkungan dan memberi nilai tambah secara ekonomi (Wibowo & Djajawinata 2003).
Pemikiran tersebut selaras dengan beberapa pemikiran yang berkembang dewasa ini, di
mana pengelolaan sampah mengarah kepada upaya menekan segala sesuatu yang
menyebabkan timbulnya sampah (reduce), memanfaatkan kembali sampah yang masih
dapat dimanfaatkan (reuse), dan melakukan pendaurulangan (recycling).
Hasil kajian Satori (2002) menunjukkan bahwa belum signifikannya proses
pendaurulangan sampah pasar, baik sampah organik maupun anorganik saat ini, antara
lain: 1) belum adanya rancangan usaha (business plan) sistem daur ulang sebagai
sebuah industri dengan memperhitungkan berbagai aspek keindustrian; 2) belum
adanya sistem jaringan pemasaran produk-produk daur ulang sehingga tidak adanya
koneksitas (linkage) baik antara produsen-konsumen, produsen-produsen, dan
konsumen-konsumen; 3) kegiatan daur ulang masih dianggap sebagai usaha sampingan
dan alternatif usaha terakhir karena tidak ada peluang lain; 4) masih terbatasnya
anggaran yang disediakan terutama oleh pemerintah untuk menerapkan berbagai
pemikiran yang mengarah pada kegiatan daur ulang sampah; 5) kurangnya sosialisasi
sehingga pemahaman masyarakat tentang manfaat kegiatan tersebut baik dari segi
lingkungan maupun ekonomi sangat minim; dan 6) kegiatan tersebut tidak sinergi dan
terintegrasi dalam sistem manajemen sampah.
Pengolahan sampah organik menjadi produk yang bernilai ekonomi dan ramah
lingkungan yang telah dilaksanakan saat ini antara lain pengolahannya menjadi kompos
(Sahwan 1999), biogas (Dahuri 2003), bioenergi, pakan ternak (BPTP 2004),
pembuatan sirup glukosa dan etanol (Murtadho & Said 1988). Kegiatan
pengkomposan dan produksi biogas dari sampah organik sebenarnya sudah mulai
dikembangkan di hampir semua TPA sampah. Namun kegiatan tersebut tidak berjalan
secara optimal karena berbagai hambatan, dan kenyataannya hingga kini kegiatan

13
tersebut belum mampu menekan laju produksi sampah di perkotaan yang kian hari
volumenya makin meningkat. Oleh karena itu, perlu dipikirkan sistem pengolahan
sampah organik pasar yang dapat menghasilkan produk bermanfaat dan ramah
lingkungan. Alternatifnya yang tepat yaitu melalui pengomposan dan pengarangan.

2.2 Kompos
2.2.1 Karakteristik Kompos
Kompos adalah bahan-bahan organik yang telah mengalami proses pembusukan
karena adanya interaksi antara mikroorganisme yang bekerja di dalamnya. Bahanbahan organik tersebut antara lain dedaunan, rumput, jerami, sisa-sisa ranting dan
dahan, kotoran hewan, dan lain-lain (Murbandono 2005). Menurut Djuarnani et al.
(2005), kompos merupakan hasil fermentasi atau hasil dekomposisi bahan organik
seperti tanaman, hewan, atau sampah organik. Secara ilmiah kompos dapat diartikan
sebagai partikel tanah yang bermuatan negatif sehingga dapat dikoagulasikan oleh
kation dan partikel tanah untuk membentuk granula tanah.
Indriani (2005) menyatakan kompos mempunyai beberapa sifat antara lain:
1. Memperbaiki struktur tanah berlempung sehingga menjadi ringan;
2. Memperbesar daya ikat tanah berpasir sehingga tanah tidak berderai;
3. Menambah daya ikat air pada tanah;
4. Memperbaiki drainase dan tata udara dalam tanah;
5. Mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara;
6. Mengandung hara yang lengkap, walaupun jumlahnya sedikit (jumlah hara ini
tergantung dari bahan baku kompos);
7. Membantu proses pelapukan bahan mineral;
8. Memberi ketersediaan bahan makanan bagi mikroba; dan
9. Menurunkan aktivitas mikroorganisme yang merugikan.
Kandungan utama kompos adalah bahan organik. Selain itu, kompos juga
memiliki unsur hara seperti nitrogen, fosfat, kalium, kalsium, belerang dan magnesium.
Hanya saja unsur hara yang dikandung oleh kompos tidak tetap. Hal ini dipengaruhi
oleh bahan baku yang dikomposkan, cara pengomposan, dan cara penyimpanannya
(Tim Redaksi Trubus 1999). Harada et al. (1993) menyatakan bahan organik yang
dikomposkan untuk penggunaannya pada tanah pertanian sebaiknya terdekomposisi

14
dengan baik dan tidak menimbulkan efek yang merugikan terhadap pertumbuhan dan
produksi tanaman. Umumnya kompos dicirikan oleh sifat-sifat berikut:
1. Berwarna cokelat tua hingga hitam;
2. Tidak larut dalam air meskipun sebagian dari kompos dapat membentuk suspensi;
3. Sangat larut dalam pelarut alkali, sodium pirofosfat, atau larutan amonium oksalat
dengan menghasilkan ekstrak yang berwarna gelap dan dapat difraksinasi lebih
lanjut menjadi fraksi-fraksi humic, fulfvic, dan humin;
4. Memiliki nilai nisbah C/N sebesar 10-20, tergantung bahan bakunya dan derajat
humifikasinya;
5. Secara biokimiawi tidak stabil, tetapi komposisinya berubah melalui aktivitasaktivitas mikroorganisme, sepanjang kondisi lingkungannya sesuai;
6. Menunjukkan kapasitas pemindahan kation dan absorpsi yang tinggi; dan
7. Jika digunakan pada tanah, kompos memberi efek-efek yang menguntungkan bagi
tanah dan pertumbuhan tanaman. Nilai pupuknya ditentukan oleh N, P, K, Ca, S,
dan Mg. Selain itu, kompos mengandung trace element untuk pertumbuhan
tanaman.

Pengaruhnya

terhadap

tanah

sangat

tinggi

jika

digabungkan

penggunaannya dengan pupuk mineral (Delgado & Follent 2002).

2.2.2 Prinsip Pengomposan


Prinsip pengomposan adalah menurunkan nilai nisbah C/N bahan organik
menjadi sama dengan nisbah C/N tanah. Nisbah C/N adalah hasil perbandingan antara
karbon dan nitrogen yang terkandung pada suatu bahan. Nilai nisbah C/N tanah adalah
10-12. Bahan organik yang memiliki nisbah C/N sama dengan tanah memungkinkan
bahan tersebut dapat diserap oleh tanaman (Talashilkar et al. 1999). Agar diperoleh
hasil optimal perlu diperhatikan beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh karena
proses ini merupakan proses biologi. Faktor yang mempengaruhi laju pengomposan di
antaranya ukuran bahan, nisbah C/N, kelembapan dan aerasi, temperatur, derajat
keasaman, dan mekanismenya.
Dalam proses pengomposan terjadi perubahan seperti 1) karbohidrat, selulosa,
hemiselulosa, lemak dan lilin menjadi CO2 dan air; 2) zat putih telur menjadi amonia,
CO2 dan air; dan 3) penguraian senyawa organik menjadi senyawa yang dapat diserap
tanaman. Dengan perubahan tersebut, kadar karbohidrat akan hilang atau turun dan
senyawa N yang larut (amonia) meningkat. Dengan demikian, nisbah C/N semakin

15
rendah dan relatif stabil mendekati nisbah C/N tanah (Sahwan 1999). Mekanisme
pengomposan secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.
Panas

Karbondioksida

Air

Energi

Mikroorganisme baru

Humus (Kompos)

Sampah Organik

Oksigen

Air

Mikroorganisme

Gambar 2 Mekanisme pengomposan secara umum (Djuarnani et al. 2005)

Proses dekomposisi bahan organik secara biologis (oleh mikroorganisme) di


bawah kondisi lingkungan yang tertentu disebut pengomposan. Tujuan pengomposan
adalah merubah bahan organik menjadi produk yang mudah dan aman untuk ditangani,
disimpan, dan diaplikasikan ke lahan pertanian tanpa menimbulkan efek negatif pada
lingkungan (Tuomela et al. 2000).

2.2.3 Proses Pengomposan


Proses pengomposan dapat berlangsung baik secara aerobik maupun anaerobik.
Menurut Indriani (2005), pengomposan aerobik terjadi dengan bantuan O2 dan
menghasilkan CO2, air dan panas, sedangkan pengomposan anaerobik berlangsung
dalam keadaan tanpa O2 menghasilkan metana atau alkohol, CO2 dan senyawa antara
seperti asam organik. Menurut Haug (1980), pada proses pengomposan anaerobik
timbul bau busuk karena adanya H2S dan sulfur organik. Energi yang dihasilkan pada
proses ini sebesar 26 kkal per mol glukosa. Reaksinya dapat dilihat pada Gambar 3.

2(CH2O)x (s)

Bakteri penghasil asam

xCH3COOH (aq)

xCH3COOH (aq)

Methanomon as

xCH4 (g) + xCO2 (g)

16
N-organik (s)


NH3 (g)

2xH2S (g) + xCO2 (g)

Cahaya
(CH2O)x (s) + 2xS (s) + xH2O (l)

Gambar 3 Reaksi biokimiawi pada pengomposan anaerobik (Haug 1980)

Pada pengomposan aerobik organisme hidup memanfaatkan oksigen untuk


mendekomposisi bahan organik dan mengasimilasi beberapa karbon, nitrogen,
belerang, fosfor, dan unsur-unsur lainnya untuk fotosintesis plasma sel (Gaur 1983;
Jeong & Hwang 2005). Hasil akhir pengomposan aerobik adalah karbondioksida, air,
unsur hara, humus, dan energi sebesar 484-674 kkal/mol glukosa. Reaksi yang terjadi
selama proses ini dapat dilihat pada Gambar 4.

1. Gula, selulosa dan hemiselulosa:


(CH2O)x (s) + xO2 (g) xCO2 (g) + xH2O (l) + Energi

2. Protein (Senyawa N-organik):


N-organik (s) NH4+ (aq)
NO2- (aq)
NO3- (aq) + Energi

3. Sulfur organik
S-organik (s) SO42- (aq) + Energi

4. Fosfor organik, Kitin, Lesitin


P-organik (s) H3PO4 (aq)
Ca(H2PO4)2 (aq)
Gambar 4 Reaksi biokimiawi pada pengomposan aerobik (Gaur 1983)

Diketahui bahwa sebenarnya bahan baku kompos adalah sampah. Sampah


merupakan limbah padat yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dibuang atau
dikelola agar tidak mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan. Oleh
karenanya, sampah harus ditanggulangi sebaik-baiknya. Pengolahan sampah organik
menjadi kompos itu dapat mengatasi masalah lingkungan, sebab dapat mengubah
lingkungan yang semula kotor, berbau, dan dikerumuni lalat menjadi lingkungan yang
bersih. Segala timbunan sampah yang semula tak berguna dapat dimanfaatkan lagi
(didaur ulang) (Gusmailina et al. 2004; Murbandono 2005).

17
2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Proses Pengomposan
Menurut Indriani (2005), faktor-faktor yang perlu diperhatikan agar proses
pengomposan dapat berlangsung lebih cepat antara lain:
1. Nilai nisbah C/N bahan. Semakin rendah nilai nisbah C/N bahan, waktu yang
diperlukan untuk pengomposan semakin singkat.
2. Ukuran bahan. Bahan yang berukuran lebih kecil akan lebih cepat proses
pengomposannya, karena semakin luas bahan yang tersentuh dengan mikroba.
Untuk itu, bahan organik perlu dicacah sehingga berukuran lebih kecil. Bahan yang
keras sebaiknya dicacah hingga berukuran 0,5-1 cm, sedangkan bahan yang tidak
keras dicacah dengan ukuran yang agak besar, sekitar 5 cm.
3. Komposisi bahan. Pengomposan dari beberapa macam bahan akan lebih baik dan
lebih cepat. Pengomposan bahan organik dari tanaman akan lebih cepat bila
ditambah dengan kotoran hewan. Ada juga yang menambah bahan makanan dan zat
pertumbuhan yang dibutuhkan mikroorganisme sehingga selain dari bahan organik,
mikroorganisme juga mendapatkan bahan tersebut dari luar.
4. Jumlah mikroorganisme. Biasanya dalam proses ini bekerja bakteri, fungi,
Actinomycetes, dan protozoa. Sering ditambahkan pula mikroorganisme ke dalam
bahan yang akan dikomposkan. Dengan bertambahnya mikroorganisme, diharapkan
proses pengomposan akan lebih cepat. Beberapa aktivator yang tersedia di pasaran
antara lain EM-4, Orgadec, Stardec, Starbio, Fix-Up Plus, dan Harmony.
5. Kelembapan dan aerasi. Umumnya mikroorganisme tersebut dapat bekerja dengan
kelembapan sekitar 40-70%. Kondisi tersebut perlu dijaga agar mikroorganisme
dapat bekerja secara optimal. Kelembapan yang lebih rendah atau lebih tinggi dapat
menyebabkan mikroorganisme tidak berkembang atau mati. Adapun kebutuhan
aerasi tergantung dari proses berlangsungnya pengomposan tersebut, aerobik atau
anaerobik.
6. Temperatur. Pengomposan berlangsung secara optimal pada temperatur sekitar 3050 oC (hangat). Bila temperatur terlalu tinggi mikroorganisme akan mati, sedangkan
bila temperatur rendah menyebabkan mikroorganisme belum dapat bekerja dengan
baik. Aktivitas mikroorganisme dalam proses pengomposan tersebut juga
menghasilkan panas sehingga untuk menjaga temperatur tetap optimal sering
dilakukan pembalikan. Namun, ada mikroorganisme yang bekerja pada temperatur
yang relatif tinggi (mencapai 80 oC), seperti Trichoderma pseudokoningii dan

18
Cytophaga sp. Kedua jenis mikroorganisme ini digunakan sebagai aktivator dalam
proses pengomposan skala besar atau skala industri (Suler & Finstein 1977).
7. Keasaman (pH). Nilai pH dalam tumpukan kompos mempengaruhi aktivitas
mikroorganisme. Kisaran pH yang baik, yaitu sekitar 6,5-7,5 (netral). Oleh karena
itu, dalam proses pengomposan sering diberi tambahan kapur untuk menaikkan pH.

2.2.5 Biodekomposer
Biodekomposer merupakan bahan bioaktif yang mampu mendegradasi bahanbahan organik secara lebih cepat. Beberapa jenis bahan ini yang telah beredar di
pasaran antara lain:
1. EM-4. EM-4 dibuat dari bahan yang mengandung beberapa mikroorganisme yang
sangat bermanfaat dalam proses pengomposan. Larutan EM-4 ini ditemukan
pertama kali oleh Prof. Dr. Teruo Higa dari Universitas Ryukyus, Jepang.
Mikroorganisme yang terdapat dalam larutan EM-4 terdiri atas bakteri fotosintetik,
Lactobacillus (bakteri asam laktat), Actinomycetes, Streptomyces sp., dan ragi
(yeast). EM-4 dapat meningkatkan fermentasi limbah dan sampah organik,
meningkatkan ketersediaan unsur hara untuk tanaman, serta menekan aktivitas
serangga, hama, dan mikro-organisme patogen (Sukmadi & Hardianto 2000).
2. Orgadec. Menurut Goenadi & Away (2000), Orgadec diformulasikan dengan bahan
aktif mikroba asli Indonesia yang memiliki kemampuan menurunkan C/N secara
cepat dan bersifat antagonis terhadap beberapa jenis penyakit akar. Mikroba yang
digunakan adalah Trichoderma pseudokoningii dan Cytophaga sp. Kedua jenis
mikroba tersebut memiliki kemampuan yang tinggi dalam menghasilkan enzim
penghancur lignin dan selulosa secara bersamaan. Beberapa keunggulan Orgadec,
yaitu 1) sesuai untuk kondisi tropis; 2) menurunkan rasio C/N secara cepat; 3) tidak
membutuhkan tambahan nutrisi; 4) mudah dan tahan disimpan; 4) antagonis
terhadap penyakit jamur akar; dan 5) penggunaannya dapat mengurangi
pertumbuhan gulma.
3. Biodek. Biodek merupakan perombak bahan organik biologis yang diracik khusus
untuk meningkatkan efisiensi dekomposisi residu tanaman, mengurangi penyebab
penyakit, dan mengatasi masalah lingkungan pada sistem penumpukan sampah.
Biodek dibuat dari campuran kapang Aspergillus niger dan Trichoderma sp. dan
jamur Trametes versicolour. Penggunaan Biodek pada residu bahan organik

19
pertanian mampu mengubah lingkungan mikro tanah dan komunitas mikroba
menuju peningkatan kualitas tanah dan produktivitas tanaman. Biodek memiliki
kualitas yang konstan dalam merombak bahan organik. Bahan pembawa dilengkapi
dengan bahan aktif yang mampu menjamin lamanya penyimpanan produk
(Saraswati 2005).

2.3 Arang
Arang dapat dibuat dari bahan-bahan yang mengandung karbon (C) baik
organik maupun anorganik, baik yang berasal dari tumbuhan, hewan maupun barang
tambang. Menurut Kinoshita (2001), arang adalah suatu elemen (bahan) padat berporipori yang dihasilkan melalui proses pirolisis dari bahan-bahan yang mengandung
karbon. Pirolisis merupakan proses pembakaran tidak sempurna suatu bahan yang
mengandung senyawa karbon kompleks tidak teroksidasi menjadi karbon dioksida.
Demirbas (2005) menyatakan bahwa pada saat pirolisis, energi panas
mendorong terjadinya oksidasi sehingga senyawa karbon yang kompleks sebagian
besar terurai menjadi karbon atau arang. Pirolisis mulai terjadi pada suhu 150-300 oC
yang berlangsung secara lambat (pirolisis primer lambat) dan pada suhu 300-400 oC
berlangsung lebih cepat (pirolisis primer cepat). Hasil proses pirolisis lambat adalah
arang, H2O, CO, dan CO2, sedangkan hasil pirolisis primer cepat adalah arang, gas-gas
hidrokarbon, H2 dan H2O. Pirolisis pada suhu di atas 600 oC disebut pirolisis sekunder,
dan hasilnya adalah gas CO, H2, dan gas-gas hidrokarbon. Proses pirolisis sekunder
umumnya digunakan untuk gasifikasi (Paris et al. 2005).
Sebagai bahan bakar, arang lebih menguntungkan dibanding kayu bakar. Arang
memberi kalor pembakaran yang lebih tinggi, dan asap yang lebih sedikit. Manocha
(2003) mengatakan umumnya struktur arang berupa karbon amorf dan sebahagian
besar terdiri atas karbon bebas. Arang tersusun dari atom-atom karbon bebas yang
berikatan secara kovalen membentuk struktur heksagonal datar. Sebahagian besar poripori arang masih tertutup oleh hidrokarbon, ter, dan komponen lain, seperti abu, air,
nitrogen, dan sulfur (Puziy et al. 2002; Concheso et al. 2005).
Byrne & Nagle (1997) mengatakan bahwa penguapan, penguraian atau
dekomposisi komponen kimia kayu pada proses pirolisis terdiri atas empat tahap, yaitu:
1. Pada suhu 100-150 oC terjadi penguapan air;

20
2. Pada suhu 200-240 oC, terjadi penguraian hemiselulosa dan selulosa menjadi larutan
pirolignat (asam organik dengan titik didih rendah, seperti asam asetat, formiat, dan
metanol), gas kayu (CO dan CO2), dan sedikit ter;
3. Pada suhu 240-400 oC, terjadi proses depolimerisasi dan pemutusan ikatan C-O dan
C-C. Pada kisaran suhu ini selulosa sudah terdegradasi, lignin mulai terurai
menghasilkan ter, larutan pirolignat dan gas CO2 menurun, sedangkan gas CO,
CH4, dan H2 meningkat;
4. Pada suhu lebih dari 400 oC, terjadi pembentukan lapisan aromatik dan lignin masih
terurai sampai suhu 500 oC. Di atas suhu 600 oC mulai terjadi proses pembesaran
luas permukaan karbon.
Menurut Djatmiko et al. (1985), standar mutu arang, yaitu kadar air 6%, kadar
abu 4%, kadar zat mudah menguap 30% dengan titik bakar 300 oC menghasilkan
ukuran partikel 95%, dan sifat kekerasan 90%. Arang yang baik mutunya adalah arang
yang mempunyai kadar karbon tinggi dan kadar abu yang rendah. Manfaat dari arang
antara lain untuk adsorpsi bahan asing pada pemurnian pelarut, minyak jelantah
(goreng), bahan katalis dalam proses gasifikasi, dan pemupukan tanaman.

2.4 Arang Aktif


Arang aktif adalah suatu karbon yang mampu mengadsorpsi anion, kation, dan
molekul dalam bentuk senyawa organik dan anorganik, baik berupa larutan maupun gas
(Pari 1996). Menurut Sartamtomo et al. (1997), arang aktif merupakan suatu bahan
yang berupa karbon amorf yang sebahagian besar terdiri atas atom karbon bebas dan
mempunyai permukaan dalam (internal surface) sehingga mempunyai kemampuan
daya jerap (adsorption) yang baik. Arang aktif tergolong bahan yang mempunyai poripori terbuka, dan luas permukaannya besar.
Arang aktif mengandung kadar karbon dan keaktifan yang bervariasi,
tergantung pada suhu dan lamanya waktu aktivasi yang diberikan pada bahan baku
arang. Arang aktif dapat dibedakan dari arang berdasarkan sifat pada permukaannya.
Permukaan pada arang masih ditutupi oleh deposit hidrokarbon yang menghambat
keaktifannya, sedangkan pada arang aktif permukaannya relatif telah bebas dari deposit
dan mampu mengadsorpsi karena permukaannya luas dan pori-porinya telah terbuka
(Gomez-Serrano et al. 2003).

21
2.4.1 Pembuatan Arang Aktif
Arang aktif yang biasa beredar di pasaran umumnya dibuat dari tempurung
kelapa, kayu dan batubara. Beberapa publikasi menyatakan bahwa arang aktif dapat
dibuat dari semua bahan yang mengandung karbon, seperti kayu atau serbuk gergajian
kayu, bambu, sekam padi, gambut, batu bara, tempurung kelapa, bagase, resin, dan
serat akrilonitril (Concheso et al. 2005; Paris 2005). Perbedaan bahan baku dapat
menyebabkan sifat dan mutu arang aktif yang berbeda pula. Sifat-sifat arang aktif dari
beberapa jenis bahan baku ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Sifat arang aktif dari beberapa jenis bahan baku
Sifat

Tempurung kelapa

Batubara

Lignit

Kayu

Mikropori

Tinggi

Tinggi

Sedang

Rendah

Makropori

Rendah

Sedang

Tinggi

Tinggi

Kekerasan

Tinggi

Tinggi

Rendah

Sedang

10

20

Rendah

Sedang

Tinggi

Sedang

Regenerasi

Baik

Baik

Jelek

Cukup

Iodin (mg/g)

1100

1000

600

800

Kerapatan (g/cc)

0,48

0,48

0,3

0,35

Abu (%)
Debu

(Sumber: Actech 2002 dalam Pari 2004)


Berdasarkan data Tabel 1 di atas, terlihat bahwa masing-masing bahan baku
dari arang aktif tersebut mempunyai karakter yang berbeda-beda, dan sifat ini sangat
mempengaruhi proses penerapannya. Mutu suatu arang aktif sangat bergantung dari
bahan baku yang digunakan, bahan pengaktif, suhu dan cara mengaktifkannya
(Jaguaribe et al. 2005).
Arang aktif dapat dibuat melalui proses pirolisis material yang mengandung
karbon, baik bahan tumbuhan seperti kayu, batubara, lumut, biji-bijian, dan tempurung
buah-buahan, serta sampah biji sawit, maupun bahan-bahan polimer sintetik, seperti
rayon, poliakrilonitril (PAN), dan polivinil klorida (PVC). Pada proses pirolisis
berbagai material karbon melalui dekomposisi molekul organik tanpa udara dihasilkan
ter, gas-gas ringan dan arang padat berpori (Guo & Lua 2000; Manocha 2003).
Karakteristik beberapa material kasar yang digunakan pada pembuatan karbon aktif
secara pirolisis ditunjukkan pada Tabel 2.

22
Tabel 2 Karakteristik beberapa material kasar yang digunakan pada pembuatan karbon
aktif secara pirolisis

55-60

Massa
jenis
(kg/m3)
0,4-0,5

0,3-1,1

40-42

55-60

0,55-0,8

0,3-1,2

Lignin

35-40

58-60

0,3-0,4

Kulit bijibijian
Lignit

40-45

55-60

1,4

0,5-6,0

55-75

35-40

1,0-1,35

5-6

Batu bara
lunak

65-80

25-30

1,25-1,50

2,12

Petroleum
kokas

70-85

15-20

1,35

0,5-0,7

Batu bara
semi keras
Batu bara
keras

70-75

1-15

1,45

5-15

85-95

5-10

1,5-2,0

2,15

Karbon
(%)

Volatil
(%)

Kayu lunak

40-45

Kayu keras

Material

Abu
(%)

Tekstur
karbon aktif

Aplikasi
karbon aktif

Lunak, volume
pori besar
Lunak, volume
pori besar
Lunak, volume
pori besar
Keras, volume
pori beragam
Keras, volume
pori kecil
Semi keras,
volume
mikropori
sedang
Semi keras,
volume
mikropori
sedang
Keras, volume
pori besar
Keras, volume
pori besar

Adsorpsi fase
larutan
Adsorpsi fase
larutan
Adsorpsi fase
larutan
Adsorpsi fase
uap/asap
Perlakuan
limbah cair
Adsorpsi fase
cair dan uap

Adsorpsi gasuap

Adsorpsi gasuap
Adsorpsi gasuap

(Sumber: Manocha 2003)


Data Tabel 2 menunjukkan karakteristik karbon, komponen volatil, abu, dan
tekstur serta ukuran pori-pori dari arang yang diproses secara pirolisis sangat beragam.
Hasil tersebut sangat bergantung dari bahan baku yang digunakan, sehingga mutu dari
arang aktif yang dihasilkanpun sangat beragam. Hal ini juga akan berpengaruh pada
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Hasil penelitian Nurhayati et al. (2002) menunjukkan bahwa produksi arang
aktif dari bahan baku kayu bakau akan diperoleh rendemen yang lebih tinggi pada
perlakuan sampel dengan cara dipotong-potong secara manual menggunakan pisau,
dibandingkan dengan yang ditumbuk menggunakan lesung. Rendemen arang aktif yang
paling tinggi yaitu 77,39% terdapat pada bakau, kemudian tempurung kelapa 72,93%,
diikuti akasia mangium 66,28%, dan tusam 57,89%. Di samping itu, teknik produksi
arang aktif dengan cara aktivasi udara lebih baik bila dibandingkan dengan uji
perendaman menggunakan larutan asam fosfat 5%.
Menurut Manocha (2003), proses pembuatan arang aktif dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu: aktivasi cara kimia dan cara fisika.

23
2.4.1.1 Aktivasi cara kimia
Aktivasi arang secara kimia dilakukan melalui proses pirolisis pada suhu tinggi
dan tanpa udara. Prinsip aktivasi ini dimulai dengan merendam arang dalam suatu
larutan pengaktif dengan konsentrasi tertentu, selama beberapa jam sebelum
dipanaskan, biasanya antara 12 sampai 24 jam. Kemudian hasil rendaman tersebut
disaring dan ditiriskan, lalu dipanaskan pada suhu berkisar antara 400-600 oC selama 12 jam. Pada keadaan ini, komponen pengaktif akan masuk di antara kisi-kisi lapisan
heksagonal dan akan berperan untuk membuka lapisan pada permukaan arang yang
tertutup, sehingga permukaan menjadi lebih besar dan arang akan lebih aktif. Setelah
selesai pemanasan, retort yang berisi arang didinginkan di udara terbuka selama 1
jam. Setelah dingin, hasil tersebut dikeluarkan, dicuci dengan air sampai filtratnya
netral dengan cara mengujinya menggunakan kertas lakmus, lalu dikeringkan dalam
oven sampai suhu 105 oC, dan selanjutnya diperoleh hasil arang aktif (Manocha 2003).
Bahan kimia yang sudah dilaporkan dapat mengaktivasi arang menjadi arang
aktif, antara lain H3PO4, ZnCl2, H2SO4, K2S, atau KOH (Muzammel et al. 2002 dalam
Smisek & Cerny 2002). Di samping itu, juga NaOH, CaCO3, MgCO3, Fe2(CO3)3,
CaCl2, MgCl2, atau FeCl3 (Derbyshier 1995 dalam Manocha 2003). Beberapa literatur
lain melaporkan NaOH (Figueroa-Torres et al. 2007), KOH (Stavropoulos &
Zabaniotou 2005; Robau-Sanchez et al. 2005), H3PO4 (Gomez-Serrano et al. 2005),
H2SO4 (Guo et al. 2007; Maroto-Valer et al. 2005), HCl (Zhang et al. 2005), HNO3
(El-Hendawy 2003), ZnCl2 (Namane et al. 2005), MgCl2 atau CaCl2 (Sudradjat &
Soleh 1994), Na2CO3 (Hartoyo & Pari 1993), K2CO3 (Hayashi et al. 2005), NH4HCO3
(Pari 2004), Pt(NH3)4(NO3)2 (Shih & Chang 2005), SO2 atau H2S (Nguyen-Thanh &
Bandosz 2005), asam sitrat (Chen et al. 2003), dan amonia (Boudou et al. 2003).
Hasil penelitian Pari (2004) menunjukkan pemakaian bahan kimia sebagai
bahan pengaktif sering kali mengakibatkan pengotoran pada arang aktif yang
dihasilkan. Umumnya aktivator meninggalkan sisa-sisa yang tidak diinginkan, misal
oksida yang tidak larut dalam air pada waktu pencucian. Oleh karena itu, dalam
beberapa proses sering dilakukan pelarutan kembali arang aktif dengan HCl untuk
mengikat kembali sisa-sisa bahan kimia yang menempel pada permukaan arang dan
kandungan abu yang terdapat dalam arang aktif.

24
2.4.1.2 Aktivasi cara fisika
Aktivasi arang secara fisika menggunakan oksidator lemah, misalnya gas CO2,
uap air, nitrogen, dan lain-lain. Oleh karena itu, pada proses ini tidak terjadi oksidasi
terhadap atom-atom karbon penyusun arang, akan tetapi oksidator tersebut hanya
mengoksidasi komponen yang menutupi permukaan pori arang. Prinsip aktivasi ini
berbeda dengan aktivasi kimia, yaitu dimulai dengan mengaliri gas-gas ringan, seperti
uap air, CO2, atau udara ke dalam retort yang berisi arang dan dipanaskan pada suhu
800-1000 oC. Pada suhu di bawah 800 oC, proses aktivasi dengan uap air atau gas CO2
berlangsung sangat lambat, sedangkan pada suhu di atas 1000 oC, akan menyebabkan
kerusakan struktur kisi-kisi heksagonal arang. Oleh karena itu, proses gasifikasi
terhadap material yang diarangkan dengan uap dan CO2 akan berlangsung melalui
reaksi endoterm (Manocha 2003). Reaksi-reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
C(s) + H2O(g)

CO(g) + H2(g)

H = + 29 kkal

C(s) + CO2(g)

2CO(g)

H = + 39 kkal

CO(g) + H2O(g) CO2(g) + H2(g)

H = + 10 kkal

Molekul H2O lebih kecil dibandingkan molekul CO2, sehingga ia lebih cepat
berdifusi ke dalam pori karbon. Akibatnya reaksi dengan uap lebih cepat dibanding
dengan CO2. Aktivasi dengan CO2 meningkatkan oksidasi eksternal dan mengembangkan perluasan pori arang sebanding dengan aktivasi uap, sehingga aktivasi yang terjadi
menjadi kurang efektif, akibat panas yang terbentuk menjadi berkurang. Menurut
Manocha (2003), salah satu cara menangani kasus ini, ialah dengan membakar gas-gas
yang terbentuk, seperti reaksi di bawah ini.
CO(g) + 1/2O2(g) CO2(g)
H2(g) + 1/2O2(g)

H2O(g)

H = - 1192,44 kkal
H = - 995,79 kkal

Akan tetapi kehadiran gas O2 dalam retort aktivasi akan menimbulkan masalah
terutama karena sangat sulit dikontrol, sehingga menyebabkan terjadi reaksi eksoterm
terhadap karbon.
CO2 (g)

H = - 92,40 kkal

2 C(s) + O2(g) 2 CO(g)

H = - 53,96 kkal

C(s) + O2(g)

25
Beberapa gas pengoksidasi yang dapat digunakan untuk aktivasi arang secara fisika,
antara lain uap air (H2O) (Basumatary et al. 2005), gas CO2 atau N2 (Machnikowski et
al. 2005), H2 (Takagi et al. 2004), Br2 (Gaier et al. 2005), O3 (Sanchez-Polo et al.
2005), argon (Nguyen & Bhatia 2005), atau CH4 (Rangel-Mendez & Cannon 2005).

2.4.2 Sifat-sifat Arang Aktif


2.4.2.1 Sifat-sifat kimia
Arang aktif tidak hanya mengandung atom karbon saja, tetapi juga mengandung
sejumlah kecil oksigen dan hidrogen yang terikat secara kimia dalam bentuk gugusgugus fungsi yang bervariasi, misalnya gugus karbonil (C=O), karboksil (COO), fenol,
lakton, dan beberapa gugus eter. Oksigen pada permukaan arang, kadang-kadang
berasal dari bahan baku atau dapat juga terjadi pada proses aktivasi dengan uap (H2O)
atau udara. Keadaan ini biasanya dapat menyebabkan arang bersifat asam atau basa
(Brennan et al. 2001; Laszlo et al. 2001). Gugus-gugus fungsional dari berbagai
komponen yang terikat pada permukaan arang aktif ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5 Beberapa gugus fungsional yang terikat pada permukaan arang aktif
(Laszlo et al. 2001).
Pada umumnya bahan baku arang aktif mengandung komponen mineral.
Komponen ini menjadi lebih pekat selama proses aktivasi arang. Di samping itu,
bahan-bahan kimia yang digunakan pada proses aktivasi sering kali menyebabkan
perubahan sifat kimia arang yang dihasilkan.

26
2.4.2.2 Sifat-sifat fisika
Berdasarkan sifat fisika, arang aktif mempunyai beberapa karakteristik, antara
lain berupa padatan yang berwarna hitam, tidak berasa, tidak berbau, bersifat
higroskopis, tidak larut dalam air, asam, basa ataupun pelarut-pelarut organik. Di
samping itu, arang aktif juga tidak rusak akibat pengaruh suhu maupun perubahan pH
selama proses aktivasi.

2.4.3 Struktur Arang Aktif


Arang aktif mempunyai struktur berupa jaringan berpilin dari lapisan-lapisan
karbon yang tidak sempurna, yang dihubungsilangkan oleh suatu jembatan alifatik.
Menurut Kyotani (2000), luas permukaan, dimensi dan distribusi atom-atom karbon
penyusun struktur arang aktif sangat tergantung pada bahan baku, kondisi karbonasi
dan proses aktivasinya. Susunan atom-atom karbon pada arang aktif mirip susunan
atom-atom karbon dalam grafit, yang terdiri atas pelat-pelat datar. Atom-atom karbon
penyusun struktur grafit terikat secara kovalen di dalam suatu kisi heksagonal dengan
susunan paralel (Hirose et al. 2002). Orientasi struktur arang aktif dan grafit
ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6 Orientasi pelat-pelat karbon heksagonal pada (a) struktur arang aktif, dan
(b) struktur grafit (Wigman 1986 dalam Pari 2004).
Penelitian dengan sinar X memperlihatkan bahwa cincin-cincin enam atom
karbon dengan susunan karbon yang teratur dan membentuk pelat-pelat. Pelat-pelat
karbon heksagonal dalam struktur grafit terorientasi tegak lurus terhadap sumbunya.
Sedangkan struktur arang aktif berbeda dengan struktur grafit, karena pelat-pelat

27
karbon heksagonal dalam struktur arang aktif tidak terorientasi sempurna terhadap
sumbunya (Solovyov et al. 2002). Perbedaan ini berpengaruh pada besar kecilnya
derajat kristalinitas, sehingga pelat-pelat tersebut bertumpuk satu sama lain secara tidak
beraturan membentuk kristalit (Wigman 1986 dalam Pari 2004).

2.4.4 Daya Jerap Arang Aktif


Daya jerap arang aktif merupakan suatu akumulasi atau terkonsentrasinya
komponen dipermukaan/antarmuka dalam dua fasa. Bila ke dua fasa saling berinteraksi, maka akan terbentuk suatu fasa baru yang berbeda dengan masing-masing fasa
sebelumnya. Hal ini disebabkan karena adanya gaya tarik menarik antar molekul, ion
atau atom dalam ke dua fasa tersebut. Gaya tarik menarik ini dikenal sebagai gaya Van
der Walls. Pada kondisi tertentu, atom, ion atau molekul dalam daerah antarmuka
mengalami ketidakseimbangan gaya, sehingga mampu menarik molekul lain sampai
keseimbangan gaya tercapai (Manocha 2003).
Menurut Agustina (2004), ada beberapa faktor yang mempengaruhi daya jerap
arang aktif, yaitu: 1) sifat arang aktif; 2) sifat komponen yang dijerapnya; 3) sifat
larutan; dan 4) sistem kontak. Daya jerap arang aktif terhadap komponen-komponen
yang berada dalam larutan atau gas disebabkan oleh kondisi permukaan dan struktur
porinya (Guo et al. 2007). Beberapa literatur lain melaporkan bahwa pada umumnya
penjerapan oleh arang aktif tergolong penjerapan secara fisik. Hal ini disebabkan oleh
pori yang banyak dan permukaannya luas. Faktor lain yang mempengaruhi daya jerap
arang, yaitu sifat polaritas dari permukaan arang. Sifat ini sangat bervariasi untuk setiap
jenis arang aktif, karena hal ini sangat bergantung pada bahan baku, cara pembuatan
arang dan bahan pengaktif yang digunakannya (Lee & Radovic 2003).

2.4.5 Kegunaan Arang Aktif


Arang aktif umumnya dapat digunakan sebagai bahan penjerap, pembersih atau
pemurni, dan juga sebahagian kecil sering digunakan sebagai katalisator (Gheek et al.
2007; Zawadzki & Wisniewski 2007). Menurut Sartamtomo et al. (1997), arang aktif
dapat digunakan sebagai bahan pemucat (penghilang zat warna), penyerap logam, gas
dan juga untuk pemurnian pada industri, seperti minyak, asam sitrat, gula, monosodium
glutamat, dan lain-lain. Manocha (2003) menyatakan arang aktif digunakan untuk
pengembangan teknologi, misalnya sebagai adsorben, katalis, penyerap gas alam,

28
kontrol fasa gas dan cair di lingkungan, penjernihan air dan sumber energi. Beberapa
tujuan penggunaan arang aktif untuk berbagai keperluan ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Penggunaan arang aktif secara umum
No.
1.

2.

3.

Maksud/Tujuan
Untuk Gas:
Pemurnian gas
Pengolahan LNG
Katalisator
Lain-lain
Untuk Zat Cair:
Industri obat dan
makanan
Minuman ringan,
minuman keras
Kimia perminyakan
Penjernih air
Pembersih air
buangan
Penambakan udang
dan benur
Pelarut yang
digunakan kembali
Lain-lain:
Pengolahan pulp
Pengolahan pupuk
Pengolahan emas
Penyaringan minyak
makan dan glukosa

Pemakaian
Desulfurisasi, menghilangkan gas beracun, bau busuk, asap
Desulfurisasi dan penyaringan berbagai bahan mentah dan
reaksi gas
Reaksi katalisator atau pengangkut vinil klorida dan asetat
Menghilangkan bau dalam kamar pendingin dan mobil
Menyaring dan menghilangkan warna, bau, rasa yang tidak
enak pada makanan
Menghilangkan warna, bau pada arak/minuman keras dan
minuman ringan
Penyulingan bahan mentah, zat perantara
Menyaring/menghilangkan bau, warna, zat pencemar dalam
air, sebagai penukaran resin dalam alat/ penyulingan air
Mengatur dan membersihkan air buangan dan pencemar,
warna, bau, logam berat
Pemurnian, menghilangkan bau dan warna
Penarikan kembali berbagai pelarut, sisa metanol, etil asetat,
dan lain-lain
Pemurnian dan menghilangkan bau
Pemurnian
Pemurnian
Menghilangkan bau, warna, dan rasa tidak enak

(Sumber: LIPI 1999)


Produk arang aktif lebih 70% digunakan di sektor industri, seperti industri gula,
sirop, minyak, air minum, kimia dan farmasi. Di samping juga digunakan untuk
keperluan kenderaan bermotor untuk menyerap bau sebagai pengganti pewangi yang
menggunakan bahan-bahan kimia. Penggunaan arang aktif sebagai adsorben fasa gas
dalam suatu industri kimia berfungsi untuk mengikat kembali uap pelarut dengan jalan
mengalirkannya ke dalam suatu wadah yang berisi arang aktif. Uap pelarut yang sudah
terikat dapat dilepas lagi dengan cara mengalirkan uap air pada tekanan tinggi.

29
Umumnya adsorpsi uap pelarut dilakukan pada suhu normal, dan jumlah uap air yang
dialirkan sebanyak 3 kali jumlah uap pelarut yang diserap (Fuertes et al. 2003).
Harris (1999) menyatakan arang aktif sangat penting dalam penjernihan air dan
udara. Beberapa publikasi lain melaporkan arang aktif sangat efektif sebagai adsorben
dalam pengolahan air guna menghilangkan kontaminan, seperti ion-ion Co2+ dan Sr2+;
mikropolutan organik seperti trihalometana, trinitrotoluena, p-klorofenol, dan klorin
(Marinovic et al. 2005), 4), fenol (Srivastava et al. 2006; Daifullah & Girgis 1998).
Arang aktif merupakan adsorben yang cukup potensial dalam mengadsorpsi ion-ion
logam berat, misalnya ion Cu2+ (Sayan 2006), Pb2+ (Machida et al. 2005), dan Hg2+
(Maroto-Valer et al. 2005). Di samping itu, arang aktif dapat mengadsorpsi anion
surfaktan, seperti alkil benzena sulfonat (ABS), dan dodekil benzena sulfonat (DBS)
yang biasanya mencemari air (Sibelzor 2004), dan kation dari campuran surfaktan
resorsinol/formaldehida (Nishiyama et al. 2005).
Penggunaan arang aktif sebagai katalis pada berbagai macam reaksi kimia dapat
dilakukan melalui pengembangannya dengan logam-logam, antara lain Pt, Pd, Ag, Au,
dan Co (Yang et al. 2005; Yu et al. 2005). Salah satu reaksi hidrogenasi penting yang
berlangsung dengan bantuan katalis arang aktif dan platina ialah reaksi hidrogenasi
orto-nitroklorobenzena seperti digambarkan pada Gambar 7.

Gambar 7 Reaksi hidrogensasi orto-nitroklorobenzena yang berlangsung dengan


bantuan katalis arang aktif dan platina (Cheng-Juri et al. 2005).

Hasil penelitian Poage et al. (2000) yang mencampurkan arang aktif ke dalam
makanan tambahan domba, ternyata dapat mencegah domba tersebut dari keracunan
rumput liar yang pahit (Hymenoxys odorata) yang diketahui mengandung senyawa
seskuiterpen lakton himenokon. Selanjutnya Villalba et al. (2002) melaporkan

30
campuran makronutrien dan arang aktif pada tumbuhan semak-semak (Artemisia
tridentate Nutt) merupakan makanan tambahan yang kaya energi dan dapat menangkal
racun bagi domba dan kambing. Penambahan arang aktif dan antibiotik dapat menyerap
racun yang dikeluarkan E. coli dari anak sapi (Bali et al. 2000). Di samping itu, arang
aktif yang ditambah logam perak atau perak klorida mempunyai kemampuan sebagai
antibakteri terhadap E. coli atau S. aureus (Shuixia et al. 2001).
Penambahan arang aktif ke dalam kultur media mikrospora Brassica oleracea,
Brassica juncea, dan Brassica napus dapat meningkatkan produksi embrio (Prem et al.
2004; Zhang et al. 2004). Arang aktif dapat mendeaktivasi kontaminan pestisida yang
terdapat di dalam tanah dengan dosis antara 100-400 kg/ha (Miller & McCarty 2002).
Manfaat lain pada penambahan arang aktif ke dalam tanah adalah dapat meningkatkan
total organik karbon dan mengurangi biomassa mikroba, respirasi, dan agregasi serta
pengaruh pembekuan cahaya pada tanah, karena arang aktif dapat menjerap dan
menyimpan panas (Weil et al. 2003). Gerard & Barthelemy (2003) melaporkan arang
aktif telah digunakan di beberapa negara untuk menjerap residu pestisida pada proses
penjernihan air untuk mendapatkan air minum yang bebas pestisida.
Hasil penelitian Gusmailina et al. (2001) dan Gusmailina & Pari (2002),
menunjukkan bahwa arang dan arang aktif dapat digunakan untuk membangun kembali
kesuburan lahan kritis yang miskin hara. Keuntungan pemberian arang, antara lain
memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah, sehingga dapat merangsang
pertumbuhan akar dan memberikan habitat untuk pertumbuhan semai tanaman. Lebih
lanjut, Gusmailina et al. (2000) mengatakan bahwa penambahan arang dan arang aktif
bambu meningkatkan pertumbuhan tinggi anakan Eucalyptus urophylla lebih baik
dibandingkan kontrol, namun pertumbuhannya akan lebih baik lagi, bila pada waktu
penanaman arang dicampur dengan kompos.
Pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan anakan Pinus merkusii yaitu pada
pemberian kompos dan arang kompos masing-masing 30% (Komarayati et al. 2003).
Pemberian arang kompos serasah tusam dan arang kompos campuran dengan
konsentrasi 40% dapat meningkatkan panjang akar dan berat total anakan mahoni
(Komarayati 2004). Kandungan hara arang dan arang aktif dari beberapa bahan baku
disajikan pada Tabel 4.

31
Tabel 4 Kandungan hara arang dan arang aktif beberapa bahan baku

Komponen

Arang

Kandungan Unsur Hara (ppm)


Arang Aktif
200

Serbuk
Gergaji
600

400

400

9800

1200

2100

2100

2800

6070

1600

500

500

1200

1370

1500

900

900

3100

300

Tempurung
Kemiri
100

140

300

960

Ca
Mg

Tempurung
Kemiri
200

Bambu

Bambu

(Sumber: Gusmailina et al. 2000)


Menurut Hernandez-Apaolaza et al. (2005), beberapa material sampah, seperti
campuran kulit kayu cemara, serabut kelapa, dan kompos dapat digunakan sebagai
substrat untuk meningkatkan produksi tanaman hias. Penggunaan arang aktif juga
menunjukkan pengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan akar dan bobot biomassa
tanaman pule landak, serta pengembangan stek tanaman Capsicum annuum (Ciner &
Tipirdamaz 2002), juga mencegah pembusukan akar pada tanaman melon (Nischwitz et
al. 2002). Di samping itu, arang dapat merangsang aktivitas dan merupakan tempat
berkembang biak mikroorganisme (Komarayati & Indrawati 2003).

2.5 Asap Cair


Asap cair pertama kali diproduksi pada tahun 1880 oleh sebuah pabrik farmasi
di Kansas City, yang dikembangkan dengan metode kasar destilasi kering dari bahan
kayu (Pszczola 1995). Asap cair adalah asap yang terbentuk melalui proses
pembakaran yang terkondensasi pada suhu dingin. Menurut Darmadji (1995), asap
merupakan sistem yang kompleks, yang terdiri dari fase cairan terdispersi dalam
medium gas sebagai pendispersi. Asap terbentuk karena pembakaran yang tidak
sempurna, yaitu pembakaran dengan jumlah oksigen terbatas yang melibatkan reaksi
dekomposisi bahan polimer menjadi komponen organik dengan bobot yang lebih
rendah, karena pengaruh panas (Tranggono et al. 1997). Jika oksigen tersedia cukup,
maka pembakaran menjadi lebih sempurna dengan menghasilkan gas CO2, uap air, dan
abu, sedangkan asap tidak terbentuk.

32
2.5.1 Komposisi Asap Cair
Girard (1992) menyatakan komposisi asap telah diteliti oleh Pettet dan Lane
pada tahun 1940, di mana pada asap kayu ditemukan hampir 1000 senyawa kimia.
Beberapa senyawa yang telah berhasil diidentifikasi, yaitu fenolik 85 macam, karbonil
45 macam, asam 35 macam, furan 11 macam, alkohol dan ester 15 macam, lakton 13
macam, dan hidrokarbon alifatik 21 macam. Menurut Maga (1998) dalam Firmansyah
(2004), komposisi rata-rata asap cair dari bahan kayu terdiri atas 11-92% air, 0,2-2,9%
senyawaan fenolik, 2,8-4,5% asam, 2,6-4,6% karbonil, dan 1-17% ter, sedangkan
menurut Bratzler et al. (1969) komponen utama kondensat asap kayu, yaitu karbonil
(24,6%), asam karboksilat (39,9%), dan senyawaan fenolik (15,7%).
Tranggono et al. (1997) mendapatkan tujuh macam komponen kimia utama
dalam asap cair tempurung kelapa, yaitu senyawaan fenolik, 2-metoksifenol, 2metoksi-4-metilfenol, 4-etil-2-metoksifenol, 2,6-dimetoksifenol, 2,5-dimetoksifenol,
dan 3-metil-1,2-siklopentadion, yang larut dalam eter. Sementara Yulistiani (1997)
mendapatkan kandungan senyawaan fenolik dalam asap cair tempurung kelapa sebesar
1,28%. Menurut Nurhayati (2000), hasil destilasi kering 4 jenis kayu menunjukkan
bahwa kadar asap cair tertinggi terdapat pada kayu karet (98,60%), sedangkan yang
terendah pada kayu bakau (59,33%). Komponen fenol tertinggi (3,24%) terdapat pada
asap cair kayu tusam, kadar asam asetat tertinggi (6,33%) kayu bakau, dan kadar
alkohol tertinggi (2,94%) pada kayu jati.
Asap cair dari akar kayu Erythrina latissima dilaporkan oleh Wanjala et al.
(2002) dalam Chacha et al. (2005) mengandung beberapa senyawa alkaloid, stilbenoid,
lignan, dan flavonoid. Asap cair dari kayu Erythrina latissima mengandung beberapa
flavonoid yang bersifat antimikrobial (Chacha et al. 2005). Menurut Demirbas (2005),
kandungan kimia fraksi cair dari partikel pohon kayu (0,425 mm) melalui proses
pirolisis dengan larutan alkali (30% Na2CO3) dan non-alkali, tertera pada Tabel 5.

33
Tabel 5 Hasil analisis senyawa kimia fraksi cair dari partikel pohon kayu (0,425 mm)
melalui pirolisis dalam larutan alkali (30% Na2CO3) dan non-alkali
Senyawa
Asetaldehida
Metanol
Aseton
Metil asetat
Guaiakol
4-Metil-guaiakol
2-Butanon
Asam asetat
1-Hidroksi-2-propanon
1-Hidroksi-2-butanon
Furfural
Furfuralik alkohol
2,6-Dimetoksifenol
3-Metil-2,6-dimetoksifenol
Tidak teridentifikasi

Larutan Non-alkali
(suhu 735 oK)

Larutan Alkali
(suhu 800 oK)

0,95
0,44
0,71
0,46
0,42
0,44
0,27
14,26
12,63
5,72
1,73
1,69
0,74
0,62
52,92

1,42
8,65
1,18
0,55
0,34
0,32
0,68
18,37
13,88
5,98
1,95
2,06
1,08
0,86
42,28

(Sumber: Demirbas 2005)


Berdasarkan data Tabel 5, ditunjukkan bahwa pada proses pirolisis kayu baik
dengan larutan alkali maupun non alkali diperoleh komponen kimia utama yang sama
dalam fraksi cairnya, yaitu asam asetat dan 1-hidroksi-2-propanon.

2.5.2 Kegunaan Asap Cair


Produk asap cair telah lama dikenal dan digunakan untuk mengawetkan daging
babi dan babi asin serta untuk memberi cita rasa pada beberapa bahan makanan, karena
memiliki kelebihan antara lain: 1) flavor yang khas; 2) kehilangan flavor lebih mudah
dideteksi; 3) dapat diaplikasikan pada berbagai jenis bahan pangan; 4) dapat digunakan
oleh konsumen pada level komersial; dan 5) polusi lingkungan dapat diperkecil (Maga
1998 dalam Firmansyah 2004). Menurut Girard (1992), asap cair dapat digunakan
sebagai antimikroba, antioksidan, pembentuk aroma, flavor, dan warna pada ikan kayu.
Pszczola (1995) menyatakan asap cair mempunyai beberapa sifat fungsional,
antara lain: 1) untuk memberikan flavor dan warna yang diinginkan pada produk asap
karena kandungan senyawan fenolik, dan karbonil; dan 2) sebagai pengawet karena
mengandung senyawaan fenolik dan asam yang berperan sebagai antibakteri dan
antioksidan. Menurut Bukle et al. (1985), asap cair mengandung senyawaan kimia,
seperti aseton, formaldehida, dan fenolik mempunyai sifat antibakteri dan antifungi,

34
sedangkan asam dapat berfungsi menurunkan pH, sehingga dapat menghambat
pertumbuhan mikroorganisme. Senyawa fenolik sudah diidentifikasi dan sebahagian
besar digunakan dalam industri farmasi, kosmetik, dan makanan, karena aktivitas
biologi yang dimilikinya, yaitu sebagai antimikroba, antioksidan, antimetanogenesis
dan antimutagenesis (Ahmad et al. 1980).
Senyawa yang sangat berperan sebagai antimikrobial adalah senyawa fenolik
dan asam asetat, dan peranannya akan semakin meningkat apabila kedua senyawa
tersebut ada bersama-sama (Darmadji 1995). Di samping itu, beberapa senyawaan
fenolik yang diisolasi dari berbagai jenis tumbuhan, seperti Pisum sativum L., Ocimum
basilicum L., dan dari sampah kulit buah-buahan pada industri juice anggur, ternyata
mempunyai sifat aktivitas antioksidan yang cukup potensial (Javanmardi et al. 2003).
Nurhayati (2000) menyatakan bahwa di samping sebagai bahan pengawet, asap
cair juga dapat digunakan sebagai pestisida karena mengandung berbagai senyawa
toksik terutama golongan lakton. Hal ini juga didukung beberapa penelitian antara lain,
yang dilaporkan oleh Narasimhan et al. (2005) bahwa senyawa salanobutirolakton
aktifb sebagai antifeedant, sedangkan senyawa desasetilsalanobutirolakton aktif sebagai
insektisida dan pertumbuhan regulasinya. Senyawa gamma lakton berperan sebagai
antifeedant bagi serangga (Frackowiak et al. 2006).

2.6 Tanaman Daun Dewa


Tanaman daun dewa mempunyai nama latin Gynura pseudochina (Lour) DC.
Tanaman ini mempunyai beberapa sinonim, yaitu Gynura segetum (Lour) Merr, dan
Gynura sarmentosa BI. Menurut Heyne (1987), tanaman ini berasal dari Birma dan
Cina. Di Indonesia tanaman ini dikenal dengan nama daerah beluntas cina (Sumatera),
daun dewa (Melayu), tigel kio (Jawa). Menurut Winarto et al. (2003), tanaman ini
merupakan terna impor dengan tinggi mencapai 45 cm dan memiliki umbi akar.
Tanaman ini dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada ketinggian sekitar 200800 meter di atas permukaan laut. Tanaman ini sangat ideal dibudidayakan di daerah
dengan curah hujan kurang lebih 1.500-2.500 mm/tahun dan suhu udara 25-32 oC,
kelembapan berkisar 70-90% dengan penyinaran agak tinggi. Daun dan umbi tanaman
ini sangat rentan terhadap terserang hama. Hal ini terbukti, umumnya tanaman ini yang
ditanam di Kebun Percobaan Sukamantri dan Kebun Cikabayang IPB rata-rata daunnya

35
terserang hama. Demikian juga halnya, dengan tanaman yang dibudidayakan oleh
masyarakat di Bantar Kambing, Kecamatan Ranca Bungur, Bogor.
Tanaman daun dewa dapat dikembangbiakkan melalui umbi atau setek batang.
Bagian tanaman ini yang paling banyak dimanfaatkan untuk bahan baku obat-obatan
adalah daun dan umbi, baik dalam keadaan segar maupun kering. Menurut Winarto et
al. (2003), efek farmakologi yang menonjol pada tanaman ini adalah efek antikoagulan,
gangguan pada peredaran darah, dan mengurangi pembengkakan. Manfaat lainnya,
yaitu sebagai antialergi, bronchitis, batu ginjal, antitumor, penawar racun, kencing
manis (Zhang & Tang 2000), dan ekstrak etanol tanaman ini dapat melawan infeksi
virus herpes (Jiratchariyakul et al. 2001).
Daun dan umbi tanaman daun dewa mengandung bahan aktif seperti flavonoid,
saponin, terpenoid, tanin, dan alkaloid, (Ratnaningsih et al. 1985; Wijayakusuma 1992;
Siregar & Utami 2000). Hasil penelitian Agusta et al. (1998) menunjukkan daun dewa
mengandung 0,05% minyak atsiri dari bagian daunnya yang terdiri atas 22 komponen
dan didominasi oleh senyawa seskuiterpena. Menurut Soetarno et al. (2000), senyawa
flavonoid yang terkandung dalam daun dewa termasuk golongan glikosida kuersetin
yang diduga mempunyai kemampuan sebagai obat antikanker. Selain itu, juga
ditemukan ada delapan asam fenolat, diantaranya asam klorogenat, asam kafeat, asam
p-kumarat, asam p-hidroksi benzoat dan asam vanilat, sedangkan tiga asam fenolat
lainnya belum teridentifikasi.
Santoso & Gunawan (1999) melaporkan tanaman daun dewa mengandung
alkaloid, tanin, saponin, polifenol, minyak atsiri dan flavonoid. Sedangkan Winarto et
al. (2003) melaporkan kandungan kimia yang terdapat pada tanaman ini antara lain
berupa flavonoid, asam fenolat, asam klorogenat, asam kafeat, asam p-kumarat, dan
asam vanilat. Kandungan kimia tanaman daun dewa telah diketahui bermanfaat sebagai
antikanker, daun dan umbinya mengandung flavonoid, saponin, terpenoid, tanin, dan
alkaloid golongan pirolizidin yang bersifat hepatotoksik. Hasil uji fitokimia yang telah
penulis lakukan terhadap ekstrak daun dan umbi tanaman ini juga positif menunjukkan
kandungan kimia alkaloid, terpenoid, flavonoid, antosianin, dan saponin. Berbagai
literatur mempublikasikan kandungan dan manfaat flavonoid, alkaloid, saponin, dan
minyak atsiri diindikasikan dapat menurunkan kolesterol darah, merangsang sirkulasi
darah, juga bersifat antiseptik, analgetik, dan antiinflamasi.

36
Winarto et al. (2003), menyatakan hasil panen dari budidaya tanaman daun
dewa yaitu daun dan umbi. Pemanenan daun dapat dilakukan setelah daun tanaman
terbentuk dengan sempurna, ukuran daun cukup besar, dan warnanya sudah hijau tua,
sedangkan umbinya baru dapat dipanen pada umur kira-kira 6-8 bulan, namun sangat
tergantung pada cara pengelolaan dan kondisi tanah. Pemanenan yang terlalu cepat atau
terlalu lama, akan berpengaruh pada kesempurnaan pembentukan atau kehilangan zatzat yang terkandung di dalam umbi dan daun.

III. METODE PENELITIAN


3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Serangkaian penelitian ini telah dilaksanakan sejak bulan Juli 2005 sampai
Oktober 2006, yang dibagi ke dalam dua fase. Fase pertama adalah kegiatan di
laboratorium yang meliputi proses pengomposan, pengarangan, pembuatan arang aktif
dan analisis produk-produk yang dihasilkan serta bioassay asap cair yang diselesaikan
dalam waktu sebelas bulan. Fase kedua adalah kegiatan di lapangan untuk
mengaplikasikan produk komarasca yang dihasilkan pada percobaan di laboratorium
pada tanaman daun dewa yang membutuhkan waktu selama lima bulan.
Kegiatan di laboratorium dilaksanakan di beberapa laboratorium yang terdiri
atas: 1) Laboratorium Kimia Kayu dan Energi Biomasa Puslitbang Hasil Hutan, Bogor
dilakukan proses pengomposan, pengarangan dan analisis sifat-sifat dasar arang, asap
cair dan arang aktif serta bioassay asap cair; 2) Laboratorium Servis Seameo Biotrob,
Bogor dilakukan analisis kadar total fenol asap cair dan pengukuran nisbah C/N
kompos serta analisis kandungan unsur makro, mikro dan logam beratnya dengan
Atomic Absorbtion Spectrophotometer (AAS); 3) Laboratorium Teknologi Mineral
Departemen Teknik Pertambangan ITB, Bandung dilakukan analisis arang dan arang
aktif dengan X-Ray Diffraction (XRD); 4) Laboratorium Kimia Instrumen Jurusan
Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung dilakukan analisis arang
dan arang aktif dengan spektrofotometer Fourier Transform Infra Red (FTIR); 5)
Laboratorium Kuarter Pusat Penelitian Geologi, Bandung dilakukan analisis arang dan
arang aktif dengan Scanning Electron Microscopy (SEM); 6) Laboratorium Kesehatan
Daerah (d/h. laboratorium Doping) Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi DKI, Jakarta
dilakukan analisis komponen asap cair dengan spektrometer Gas ChromatographyMass Spectrometri (GCMS); 7) Laboratorium Biologi Tanah Departemen Ilmu Tanah
dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB, Bogor dilakukan analisis mikrobiologi
tanah dan unsur hara campuran media tanam; dan 8) Laboratorium Kimia Analitik
Departemen Kimia Fakultas MIPA IPB, Bogor dilakukan analisis kandungan fitokimia
tanaman daun dewa hasil panen. Kegiatan di lapangan dilaksanakan di perkarangan
rumah Ibu Alfa Blok A7 No.1 Perumahan Griya Melati Kelurahan Bubulak Kecamatan
Bogor Barat, Kota Bogor.

38
3.2 Bahan dan Alat
3.2.1 Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini dirinci menurut tahapan pelaksanaan
masing-masing percobaan sebagai berikut:

3.2.1.1 Bahan pengomposan


Bahan baku kompos adalah sampah organik lunak yang diperoleh dari Pasar
Anyar, Warung Jambu dan Pasar Bogor. Biodekomposer yang digunakan adalah cairan
EM-4 dari pasar komersial, serbuk Orgadec dari Badan Penelitian Bioteknologi
Perkebunan Indonesia, Bogor dan cairan Biodek dari Laboratorium Mikrobiologi Tanah
Puslitbang Tanah dan Agroklimat Cimanggu, Bogor. Bahan-bahan lain yang digunakan
adalah arang dan asap cair hasil pirolisis sampah organik. Bahan kimia yang digunakan
antara lain aquades, urea, gula, dan bahan untuk karakterisasinya yang meliputi kadar
air, N, C, P, K, Ca, Mg, Zn, Cu, Mn, Fe, Cr, Cd, dan Pb.

3.2.1.2 Bahan pengarangan


Bahan baku arang dan asap cair adalah sampah organik padat yang sukar
dikomposkan terdiri atas 30% kayu, 30% bambu, 20% pepohonan/ranting, dan 20%
dedaunan yang diperoleh dari Pasar Anyar, Warung Jambu dan Pasar Bogor. Sebagai
bahan bakar digunakan serbuk gergaji dari limbah Perusahaan Pengolahan Kayu
Gunung Batu, Bogor. Untuk proses kondensasi asap digunakan air dari instalasi PDAM
Tirta Pakuan, Bogor. Bahan karakterisasi arang digunakan KBr, dan pelet emas. Bahan
untuk fraksinasi dan karakterisasi asap cair antara lain digunakan pelarut metanol, nheksan, etil asetat, larutan Na2S2O3 0,1 N, NaOH 0,2 N, KBr 0,2 N, KI 15%, kanji 1%,
HCl pekat, dan aquades.

3.2.1.3 Bahan pembuatan arang aktif


Bahan utama yang digunakan adalah arang hasil pengarangan sampah organik
padat. Bahan kimia yang digunakan sebagai aktivator antara lain uap H2O, larutan KOH
0,5 dan 1 M, dan larutan H3PO4 0,5 dan 1 M. Bahan karakterisasinya digunakan KBr,
pelet emas, larutan iodin 0,1 N, larutan Na2S2O3 0,1 N, larutan kanji 1%, benzena,
aluminium foil dan aquades.

39
3.2.1.4 Bahan bioassay
Bahan utama adalah asap cair hasil sampingan proses pengarangan sampah
organik padat. Sebagai bioindikator digunakan larva ulat S. litura Linn yang diperoleh
dari Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga Departemen Proteksi Tanaman
Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Daun uji digunakan merupakan pakan utama ulat
tersebut, yaitu daun kubis yang masih muda. Bahan lain yang digunakan antara lain
aquades, kain kasa, dan pelarut aseton untuk melarutkan asap cair dan fraksi-fraksinya.

3.2.1.5 Bahan aplikasi komarasca pada tanaman daun dewa


Bahan utama yang digunakan adalah kompos, arang, arang aktif dan asap cair
hasil percobaan di atas. Bahan tanaman yang digunakan adalah umbi tanaman daun
dewa hasil panen dari Kebun Cikabayang Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB, Bogor.
Bahan penunjang lainnya adalah pupuk kandang, tanah kebun bekas tanaman singkong,
dan abu hasil samping pada proses pengarangan. Sebagai pengendali hama pembanding
digunakan pestisida merk sidamethin dari pasar komersial.

3.2.2 Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini dirinci menurut tahapan
percobaan sebagai berikut:

3.2.2.1 Peralatan pengomposan


Pengomposan sampah organik lunak digunakan peralatan seperti Gambar 8,
yang terbuat dari drum plastik bertutup dengan ukuran tinggi 53 cm dan diameter 28
cm. Peralatan lain yang digunakan antara lain, timbangan, pH meter merk Waterproof,
termometer, mesin chopper, sekop, dan ember plastik.

Gambar 8 Tempat pengomposan

40
Peralatan untuk karakterisasi kompos antara lain digunakan cawan porselin,
oven, desikator, timbangan analitik, labu Kjeldahl, labu destilasi, wadah teflon,
microwave, dan peralatan gelas yang umum terdapat di laboratorium kimia, sedangkan
peralatan utama yang digunakan adalah AAS seri SL-AAS-01 nov-300.

3.2.2.2 Peralatan pengarangan


Pada proses pengarangan sampah organik padat digunakan peralatan seperti
ditunjukkan pada Gambar 9. Komponen peralatan tersebut terdiri atas:
1. Reaktor pirolisis (I) dibuat dari bahan drum bekas (tebal 1,5 mm) dengan ukuran
tinggi 48 cm dan diameter 60 cm;
2. Pipa penyalur asap terbuat dari besi berdiameter 2 inci dengan panjang 120 cm, yang
terhubung antara reaktor pirolisis dengan tabung pendingin;
3. Tabung pendingin (II) dibuat dari bahan yang sama dengan reaktor pirolisis, dengan
ukuran tinggi 88 cm dan diameter 60 cm. Melalui tabung ini disambungkan pipa
penyalur asap dari reaktor pirolisis untuk proses kondensasi asap;
4. Tungku pembakaran (III) dibuat dari bahan yang sama dengan reaktor pirolisis,
dengan ukuran tinggi 40 cm dan diameter 60 cm; dan
5. Ember plastik (IV) untuk menampung asap cair.

I
II
III
IV

Gambar 9 Reaktor pirolisis: (a) Reaktor listrik, (b) Reaktor drum


Peralatan untuk karakterisasi arang antara lain timbangan analitik, oven, cawan
porselin, desikator, tanur listrik, perangkat titrasi, dan peralatan gelas yang umum
terdapat di laboratorium kimia, sedangkan peralatan utama yang digunakan adalah
spektrofotometer FTIR merk Shimadzu 8400, SEM merk JEOL JSM-6360LA, dan

41
XRD merk Philips PW-1835. Peralatan untuk karakterisasi dan fraksinasi asap cair
antara lain pH meter merk Waterproof, Erlenmeyer bertutup, termometer, botol pisah,
perangkat titrasi, dan peralatan gelas yang umum terdapat di laboratorium kimia,
sedangkan peralatan utama yang digunakan adalah GCMS merk Hewlett Packard seri
GC 6890 MSD 5973.

3.2.2.3 Peralatan pembuatan arang aktif


Peralatan utama untuk pembuatan arang aktif digunakan retort listrik seperti
terlihat pada Gambar 10. Komponen pelaratan tersebut terdiri atas:
1. Retort yang terbuat dari baja antikarat dengan ukuran panjang 100 cm dan diameter 5
cm, yang dililit dengan elemen kawat nikel sebagai pemanas;
2. Termokopel disediakan dua buah untuk mengendalikan suhu aktivasi;
3. Ketel yang juga terbuat dari baja antikarat sebagai pemasok uap yang berasal dari
bahan pengaktif yang digunakan;
4. Kondensor yang terbuat dari kaca sebagai pendingin; dan
5. Labu boiler yang terbuat dari kaca pyrex untuk menampung destilat.

Gambar 10 Retort pembuatan arang aktif


Peralatan untuk karakterisasi arang aktif sama dengan peralatan yang digunakan
pada karakterisasi arang dan bahan bakunya.

3.2.2.4 Peralatan bioassay


Peralatan yang digunakan pada bioassay asap cair terhadap larva S. litura Linn
antara lain, berupa alat-alat gelas yang umum terdapat di laboratorium kimia,

42
timbangan analitik, pipet mikro, gelas ukur, pinset, spidol, gunting dan petri dish yang
berlubang (diameter lubang 5 x 5 cm), kain kasa dan selotip.

3.2.2.5 Peralatan aplikasi komarasca pada tanaman daun dewa


Peralatan yang digunakan antara lain, timbangan, pacul, sekop, terpal, wadah
plastik, timba plastik, plastik poliback, golok, tali plastik, spidol, pisau, alat penyiram,
dan botol penyemprot.

3.3 Prosedur Penelitian


Dalam rangka menangani sampah organik pasar menjadi produk-produk yang
bermanfaat terutama bagi kelestarian lingkungan, maka penelitian ini dibagi atas
beberapa sub kegiatan penelitian sebagai berikut:

3.3.1 Konversi Sampah Organik Menjadi Kompos


3.3.1.1 Prosedur pengomposan
Pengomposan sampah organik yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan
prosedur yang dimodifikasi dari metode yang dikembangkan Indriani (2005), dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Sampah yang masih segar dikumpulkan dan dipilih bahan-bahan yang mudah
dikomposkan seperti sayur-sayuran dan sisa makanan;
2. Kemudian sampah tersebut dicacah dengan mesin chopper. Diambil contoh sampah
yang sudah dicacah untuk dianalisis kadar air dan nisbah C/N-nya. Disiapkan 10
karung contoh dan masing-masing ditimbang sebanyak 20 kg. Selanjutnya masingmasing contoh ditebar di atas terpal plastik;
3. Ke dalam masing-masing contoh, dicampurkan dengan larutan/campuran sesuai
kombinasi perlakuan pada Tabel 6;
4. Campuran diaduk secara merata, lalu dimasukkan ke dalam tempat pengomposan
(Gambar 8), ditutup dan ditimbang kembali;
5. Untuk mengontrol proses pengomposan diukur suhu, pH, dan kelembapan setiap hari
sampai kondisi mencapai keadaan stabil. Apabila suhunya tinggi, bahan dibalik,
didiamkan sebentar agar suhunya turun, lalu ditutup kembali. Demikian seterusnya;
6. Untuk mengetahui tingkat dekomposisi selama pengomposan dilakukan pengukuran
nisbah C/N dan penimbangan bobotnya pada hari ke-0, 10, 20, dan 30;

43
7. Dibiarkan proses ini berlangsung sampai terbentuk kompos matang. Kompos yang
telah matang dicirikan dengan warna hitam, gembur, tidak panas, dan tidak berbau;
8. Masing-masing perlakuan pengomposan dibuat triplo (3 unit percobaan).
Tabel 6 Kombinasi perlakuan pengomposan 20 kg sampah organik pasar
Kode
Perlakuan
B0
B1
B2
B3
B4
B5
B6
B7
B8
B9

Biodekomposer
(gram)
Orgadec EM-4 Biodek
0
200
0
0
100
100
100
100
100
100

0
0
200
0
100
100
100
0
0
0

0
0
0
200
0
0
0
100
100
100

Arang
0
0
0
0
200
200
0
200
200
0

Ket.: B0 = tanpa biodekomposer (kontrol)


B2 = biodekomposer EM4
B4 = campuran Orgadec-EM4-Arang-Asap cair
B6 = campuran Orgadec-EM4-Asap cair
B7 = campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap cair

Bahan Tambahan
(gram)
Asap cair Gula
0
0
0
0
200
0
200
200
0
200

Urea

40
40
40
40
40
40
40
40
40
40

40
40
40
40
40
40
40
40
40
40

Pelarut
Air
(mL)
1000
1000
1000
1000
1000
1000
1000
1000
1000
1000

B1 = biodekomposer Orgadec
B3 = biodekomposer Biodek
B5 = campuran Orgadec-EM4-Arang
B8 = campuran Orgadec-Biodek-Arang
B9 = campuran Orgadec-Biodek-Asap cair

3.3.1.2 Prosedur penetapan mutu kompos (BSN 2004)


1. Kadar air
Cawan porselin dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam,
kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Selanjutnya contoh ditimbang
sebanyak 10 gram dan dimasukkan ke dalam cawan porselin yang sudah ditimbang, lalu
dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 24 jam. Setelah didinginkan dalam
desikator ditimbang.
Kadar air (%) =

bobot contoh awal bobot contoh akhir


bobot contoh awal

x 100

2. Kadar nitrogen
Contoh ditimbang sebanyak 0,25 gram, lalu dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl
dan ditambahkan 2,5 ml H2SO4 pekat dan 0,25 gram selen. Larutan tersebut kemudian
didestruksi hingga jernih. Selanjutnya ke dalam larutan hasil destruksi yang dingin
ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 15 ml. Dipihak lain, disiapkan penampung
yaitu 25 ml HCl pekat dan 2 tetes indikator nitrogen dalam labu Erlenmeyer 125 ml.

44
Kemudian larutan contoh dimasukkan ke dalam labu destilasi. Destilasi dihentikan
apabila larutan HCl dalam labu Erlenmeyer menjadi 2 kali lipat. Selanjutnya hasil
destilasi dititrasi dengan larutan NaOH.
%N=

(ml titrasi blanko ml titrasi contoh) x N NaOH x 14


x fk x 100
mg contoh

3. Kadar karbon
Contoh kering udara ditimbang sebanyak 0,25 gram dimasukkan ke dalam
tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 5 ml larutan K2Cr2O7 1 N dan 2,5 ml H2SO4
pekat secara perlahan-lahan. Larutan tersebut dikocok hingga bereaksi sempurna.
Selanjutnya sebanyak 1 ml larutan tersebut dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 125
ml dan ditambah 9 ml aquades. Campran dititrasi dengan larutan Fe2(SO4)3 0,1 N
dengan indikator diphenilalanin sebanyak 2 tetes. Titrasi dihentikan jika warna larutan
berubah menjadi warna hijau.
%C =

(ml titrasi blanko ml titrasi contoh) x N Fe2(SO4)3 x 3 x 10


x 100
mg contoh

4. Kadar fosfor (metode Bray I)


Contoh kompos ditimbang sebanyak 2,5 gram dan dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer 100 ml, lalu ditambah 25 ml larutan Bray dan Kurt I, kemudian dikocok
selama 5 menit, lalu disaring. Dipipet 2 ml filtrat jernih ke dalam tabung, lalu diukur
dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 693 nm. Hasil pengukuran
dibandingkan dengan kurva standar.
Kadar P (ppm) =

(Absorbansi contoh Absorbansi blanko)


x ppm standar x 10 x fk
Absorbansi standar

5. Kadar unsur makro, mikro dan logam berat (metode Morgan-Wolf)


Contoh kompos ditimbang sebanyak 20 gram, lalu dimasukkan dalam botol
pisah 100 ml, ditambah 1 ml karbon aktif dan 40 ml pereaksi Morgan-Wolf. Kocok
selama 5 menit dengan mesin pengocok pada minimum 180 goyangan/menit. Saring
dengan kertas saring Whatman No.1 untuk mendapatkan filtrat jernih.

45
Pengukuran K, Ca, dan Mg. Dipipet 1 ml filtrat contoh dan deretan standar
masing-masing ke dalam tabung kimia dan ditambahkan 9 ml larutan La 0,25%. Kocok
menggunakan pengocok tabung sampai homogen. Ca dan Mg diukur dengan AAS dan
K diukur dengan alat Flamephotometer dengan deret standar sebagai pembanding.
Pengukuran Fe, Cu, Zn, dan Mn. Dipipet masing-masing 1 ml filtrat contoh
dan deret standar campuran Fe, Cu, Zn, dan Mn ke dalam tabung kimia. Ditambahkan 9
mL air bebas ion dan dikocok (pengenceran 10x). Selanjutnya filtrat contoh diukur
langsung menggunakan AAS.
Pengukuran Cd, Cr, dan Pb. Dipipet masing-masing 1 ml filtrat contoh dan
deret standar campuran Cd, Cr, dan Pb ke dalam tabung kimia. Ditambahkan 9 ml air
bebas ion dan dikocok (pengenceran 10x). Selanjutnya filtrat contoh diukur langsung
menggunakan AAS.
Unsur (ppm) =

(Absorbansi contoh Absorbansi blanko)


x ppm standar x 2 x fk
Absorbansi standar

3.3.2 Konversi Sampah Organik Menjadi Arang dan Asap Cair


3.3.2.1 Prosedur pengarangan
Bahan baku sampah organik padat yang akan digunakan terlebih dahulu
dikarakterisasi dengan prosedur yang meliputi penentuan kadar air, abu, zat terbang,
karbon terikat, nilai kalori, daya jerap terhadap iodin dan benzena serta dianalisis
strukturnya dengan FTIR, XRD, dan SEM. Proses pengarangan dimulai dengan
menggunakan reaktor listrik kapasitas 1 kg (Gambar 9a) pada suhu 150, 250, 350, 450,
dan 550 oC dalam waktu 5 jam. Pengarangan ini bertujuan untuk mendapatkan suhu
proses yang optimum. Selanjutnya pengarangan dilanjutkan dengan peralatan reaktor
drum (Gambar 9b) dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Sampah organik padat sisa karakterisasi ditimbang sebanyak 12,8 kg, lalu
dimasukkan ke dalam reaktor drum, dan selanjutnya reaktor diletakkan di atas
tungku pembakaran yang berisi serbuk gergaji sebagai bahan bakar;
2. Tungku pembakaran yang dilengkapi besi penghubung thermostat ke dalam reaktor
dinyalakan dan diamati peningkatan suhu dan keluarnya cairan;
3. Jika asap yang keluar ke udara masih banyak, maka diberi bambu penghubung yang
relatif basah dimulut cerobong agar kondensasi lebih sempurna. Kondensasi ini
bertujuan mengurangi pencemaran udara;

46
4. Asap cair hasil kondensasi ditampung dalam ember plastik;
5. Proses pirolisis berlangsung selama 5 jam;
6. Reaktor pirolisis dibiarkan dingin sampai 24 jam;
7. Arang yang dihasilkan ditimbang dengan teliti untuk menghitung rendemennya dan
dikarakterisasi seperti yang dilakukan terhadap bahan bakunya. Selanjutnya hasil
yang diperoleh dibandingkan dengan SNI-01-1682-1996;
8. Asap cair yang diperoleh dihitung rendemennya dan dikarakterisasi yang meliputi
pengukuran pH, total fenol dan diidentifikasi kandungan kimianya dengan teknik
GCMS menggunakan kolom kapiler HP Ultra-2, suhu injektor 250 oC, gas
pembawa helium dengan kecepatan alir 0,6 l/menit dan volume injeksi 1 l; dan
9. Diulangi percobaan ini sampai diperoleh arang yang cukup untuk pembuatan arang
aktif dan untuk berbagai keperluan analisis lainnya.

3.3.3.2 Prosedur karakterisasi arang dan bahan bakunya (BSN 1996)


Baik arang maupun bahan bakunya ditumbuk dengan menggunakan lumpang
dan alu. Kemudian serbuk diayak dengan ayakan berukuran 100 mesh. Selanjutnya
dikarakterisasi yang meliputi rendemen, kadar air, zat terbang, abu, karbon terikat, daya
jerap terhadap iodin, dan benzena.
1. Rendemen arang
Rendemen arang ditetapkan dengan menghitung perbandingan bobot arang
terhadap bobot bahan baku.
Rendemen arang (%) =

bobot arang
x 100
bobot bahan baku

2. Kadar air
Contoh ditimbang sebanyak 2 gram dan dimasukkan ke dalam cawan porselin,
lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 24 jam. Setelah didinginkan
dalam desikator ditimbang sampai bobotnya tetap.
Kadar air contoh (%) =

bobot contoh awal bobot contoh akhir


x 100
bobot contoh awal

47
3. Kadar zat terbang
Contoh kering oven ditimbang sebanyak 1 gram dan dimasukkan ke dalam
cawan porselin yang telah diketahui bobotnya, lalu dimasukkan ke dalam tanur listrik
pada suhu 950 oC selama 10 menit. Setelah didinginkan dalam desikator ditimbang
sampai bobotnya tetap.
Kadar zat terbang contoh (%) =

bobot contoh awal bobot contoh sisa


x 100
bobot contoh awal

4. Kadar abu
Contoh kering oven ditimbang sebanyak 1 gram dan dimasukkan ke dalam
cawan porselin yang telah diketahui bobotnya, lalu dimasukkan ke dalam tanur listrik
pada suhu 700 oC selama 5 jam. Setelah didinginkan dalam desikator ditimbang sampai
bobotnya tetap.
Kadar abu arang (%) =

bobot contoh sisa


x 100
bobot contoh awal

5. Kadar karbon terikat


Kadar karbon terikat dalam contoh dihitung dengan jalan pengurangan dari
kadar abu dan zat terbangnya.
Kadar karbon contoh (%) = 100% - (% kadar abu + % kadar zat terbang)
6. Nilai kalor
Contoh kering oven ditimbang 1 gram, lalu diikat dengan kawat halus.
Kemudian dimasukkan ke dalam tempat pembakaran pada alat kalorimeter dan ditutup
dengan rapat supaya tidak ada udara yang masuk. Dicatat perubahan kalor yang terjadi.
Diulang percobaan ini sebanyak tiga kali.
7. Daya jerap contoh terhadap larutan iodin
Contoh kering oven ditimbang sebanyak 0,2 gram dan dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer bertutup dan ditambahkan 25 ml larutan iodin 0,1 N serta dikocok selama
15 menit. Larutan disaring dan dipipet 10 ml, dan dititer dengan larutan Na2S2O3 0,1 N

48
sampai berwarna kuning, lalu ditambahkan larutan kanji 1% sebagai indikator sehingga
larutan berwarna biru. Selanjutnya larutan dititer kembali sampai warna biru hilang.

Daya jerap iod (mg/g) =

{10 ( vol.contoh x N Na 2S 2 O 3 )}
bobot contoh (g)

x 126,93 x fp

8. Daya jerap contoh terhadap uap benzena


Contoh kering oven ditimbang 1 gram dan dimasukkan ke dalam petri dish, lalu
ditimbang lagi dengan teliti. Kemudian di letakkan di dalam eksikator yang berisi uap
benzena. Diamati pada jam ke-24 dan 48 dengan cara mengangkat pedri dish, lalu
dibiarkan 15 menit, dan selanjutnya ditimbang.
Daya jerap uap benzena (%) =

bobot contoh akhir bobot contoh awal


x 100
bobot contoh awal

3.3.2.3 Prosedur karakterisasi asap cair (LTP 1974)


Asap cair yang digunakan pada penelitian ini merupakan hasil sampingan dari
proses pirolisis sampah organik pasar. Asap cair hasil kondensasi ditampung dalam
ember plastik. Selanjutnya dikarakterisasi yang meliputi rendemen, nilai pH dan kadar
total fenolnya.
1. Rendemen
Botol berwarna gelap yang bersih ditimbang dengan teliti, lalu diisi asap cair.
Kemudian botol yang berisi asap cair ditimbang lagi. Selanjutnya ditentukan
rendemennya dengan formula berikut:
Rendemen asap cair (%b/b) =

bobot asap cair


x 100
bobot bahan baku

2. Nilai pH
Untuk mengetahui nilai pH asap cair yang dihasilkan, maka pada penelitian ini
dilakukan penetapan pH menggunakan pH meter digital Waterproof Hanna dengan cara
mencelupkan elektroda ke dalam aquades terlebih dahulu, lalu dilap dengan tissue.
Selanjutnya elektroda di masukkan ke dalam contoh asap cair. Dicatat nilai pH yang
muncul dilayar monitor.

49
3. Kadar total fenol
Kandungan asap cair yang dilaporkan di beberapa literatur pada umumnya
mengandung senyawaan fenolik, maka pada penelitian ini dilakukan analisis kadar total
fenol untuk mengetahui karakteristik dari asap cair berdasarkan metoda LTP (1974)
dengan prosedur, yaitu: 1) asap cair diuapkan pelarutnya dalam evaporator. Kemudian
residu asap cair ditimbang sebanyak 0,5 gram dan dimasukkan ke dalam labu takar 250
ml, lalu ditambah 30 ml aquades; 2) campuran ditambah lagi 5 ml larutan NaOH 0,2 N
dan diencerkan sampai tanda garis; 3) larutan dipipet sebanyak 25 ml dan dimasukkan
ke dalam Erlenmeyer 500 ml, lalu ditambah 25 ml larutan kromat bromida 0,2 N, 50 ml
aquades dan 5 ml HCl pekat. Erlenmeyer ditutup dan digoyang-goyang selama 1 menit
agar campuran homogen; 4) ke dalam campuran ditambahkan 5 ml larutan KI 15% dan
digoyang-goyang lagi selama 1 menit; 5) campuran dititer dengan larutan standar
Na2S2O3 0,1 N yang diberi larutan kanji 1% sebagai indikator sampai warna larutan
berubah menjadi bening; 6) diulangi prosedur yang sama untuk blanko. Kadar total
fenol dihitung dengan formula berikut:

Kadar fenol (%) =

{( v. blanko v. contoh) x N N 2 S 2 O 3 x Mr fenol/6 x 1000}


x 100
0,1 x bobot contoh

3.3.3 Pembuatan Arang Aktif


3.3.3.1 Prosedur pembuatan arang aktif
Prosedur pembuatan arang aktif dari bahan baku arang hasil pirolisis sampah
organik padat digunakan peralatan retort listrik (Gambar 10) dengan aktivator seperti
ditunjukkan pada Tabel 7.
1. Aktivasi dengan panas
Arang ditimbang sebanyak 200 g, lalu dibagi dua bagian dan masing-masing
dibungkus dengan kawat kasa nikel. Kemudian dimasukkan ke dalam retort dan
dipanaskan sesuai perlakuan Tabel 7. Percobaan ini diulangi dua kali.
2. Aktivasi dengan uap H2O
Arang ditimbang sebanyak 200 g, lalu dibagi dua bagian dan masing-masing
dibungkus dengan kawat kasa nikel. Kemudian dimasukkan ke dalam retort dan dialiri

50
uap H2O secara kontinyu sambil dipanaskan sesuai perlakuan Tabel 7. Percobaan ini
diulangi dua kali.
Tabel 7 Kombinasi perlakuan pembuatan arang aktif
Perlakuan
Kode Perlakuan
A1W1S1
A1W1S2
A1W2S1
A1W2S2
A2W1S1
A2W1S2
A2W2S1
A2W2S2
A3W1S1
A3W1S2
A3W2S1
A3W2S2
A4W1S1
A4W1S2
A4W2S1
A4W2S2
A5W1S1
A5W1S2
A5W2S1
A5W2S2
A6W1S1
A6W1S2
A6W2S1
A6W2S2
Keterangan: A1
A2
A3
A4
A5
A6

Aktivator
Panas
Sda
Sda
Sda
Uap H2O
Sda
Sda
Sda
KOH 0,5 M
Sda
Sda
Sda
KOH 1 M
Sda
Sda
Sda
H3PO4 0,5 M
Sda
Sda
Sda
H3PO4 1 M
Sda
Sda
Sda

= aktivasi dengan panas


= aktivasi dengan uap H2O
= aktivasi dengan basa KOH 0,5 M
= aktivasi dengan basa KOH 1 M
= aktivasi dengan asam H3PO4 0,5 M
= aktivasi dengan asam H3PO4 1 M

Waktu
(menit)
60
60
120
120
60
60
120
120
60
60
120
120
60
60
120
120
60
60
120
120
60
60
120
120
W1
W2
S1
S2

Suhu
(oC)
700
800
700
800
700
800
700
800
700
800
700
800
700
800
700
800
700
800
700
800
700
800
700
800

= waktu aktivasi 60 menit


= waktu aktivasi 120 menit
= suhu aktivasi 700 oC
= suhu aktivasi 800 oC

3. Aktivasi dengan larutan KOH


Arang ditimbang sebanyak 200 g, lalu dibagi dua bagian. Satu bagian direndam
selama 24 jam dengan larutan KOH 0,5 M dan satu bagian lain dengan larutan KOH 1
M dengan volume masing-masing 370 ml. Kemudian arang ditiriskan selama 24 jam.
Masing-masing contoh dibungkus dengan kawat kasa nikel dan dimasukkan ke dalam
retort, lalu dilakukan sesuai perlakuan Tabel 7. Percobaan ini diulangi dua kali.

51
4. Aktivasi dengan larutan H3PO4
Arang ditimbang sebanyak 200 g, lalu dibagi dua bagian. Satu bagian direndam
selama 24 jam dengan larutan H3PO4 0,5 M dan satu bagian lain dengan larutan H3PO4
1 M dengan volume masing-masing 370 ml. Kemudian arang ditiriskan selama 24 jam.
Masing-masing contoh dibungkus dengan kawat kasa nikel dan dimasukkan ke dalam
retort, lalu dilakukan sesuai perlakuan Tabel 7. Percobaan ini diulangi dua kali.

3.3.3.2 Prosedur penetapan mutu arang aktif (BSN 1995)


Arang aktif yang dihasilkan pada setiap perlakuan di atas, ditumbuk dengan
menggunakan lumpang dan alu. Kemudian serbuk arang aktif diayak dengan ayakan
berukuran 100 mesh. Selanjutnya serbuk arang aktif dikarakterisasi sesuai parameter
mutu yang meliputi rendemen, kadar air, abu, zat terbang, karbon terikat, dan daya
jerap terhadap iodin, benzena dan kloroform.
1. Rendemen arang aktif
Rendemen arang aktif yang dihasilkan pada semua perlakuan aktivasi ditetapkan
dengan menghitung perbandingan bobot arang hasil aktivasi terhadap bobot arang
sebelum aktivasi.
Rendemen arang aktif (%) =

bobot arang hasil aktivasi


x 100
bobot arang sebelum aktivasi

2. Kadar air arang aktif


Serbuk arang aktif ditimbang sebanyak 2 gram dan dimasukkan ke dalam cawan
porselin, lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 24 jam. Setelah
didinginkan dalam desikator ditimbang sampai bobotnya tetap.
Kadar air (%) =

bobot arang aktif awal bobot arang aktif akhir


x 100
bobot arang aktif awal

3. Kadar zat terbang arang aktif


Serbuk arang aktif kering oven ditimbang sebanyak 1 gram dan dimasukkan ke
dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya, lalu dimasukkan ke dalam tanur
listrik pada suhu 950 oC selama 10 menit. Setelah didinginkan dalam desikator
ditimbang sampai bobotnya tetap.

52
Kadar zat terbang (%) =

bobot arang aktif yang hilang


x 100
bobot arang aktif awal

4. Kadar abu arang aktif


Serbuk arang aktif kering oven ditimbang sebanyak 1 gram dan dimasukkan ke
dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya, lalu dimasukkan ke dalam tanur
listrik pada suhu 700 oC selama 5 jam. Setelah didinginkan dalam desikator ditimbang
sampai bobotnya tetap.
Kadar abu (%) =

bobot arang aktif sisa


x 100
bobot arang aktif awal

5. Kadar karbon arang aktif


Kadar karbon yang dikandung arang aktif dihitung dengan jalan pengurangan
dari kadar abu dan zat terbangnya.
Kadar karbon (%) = 100% - (% kadar abu + % kadar zat terbang)
6. Daya jerap arang aktif terhadap larutan iodin
Serbuk arang aktif ditimbang sebanyak 0,2 gram dan dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer bertutup dan ditambahkan 25 ml larutan iodin 0,1 N serta dikocok selama
15 menit. Larutan disaring dan dipipet 10 ml, dan dititer dengan larutan Na2S2O3 0,1 N
sampai berwarna kuning, lalu ditambahkan larutan kanji 1% sebagai indikator sehingga
larutan berwarna biru. Selanjutnya larutan dititer kembali sampai warna biru hilang.

Daya jerap iodin (mg/g) =

{10 ( vol.contoh x N Na 2S 2 O 3 )}
bobot contoh (g)

x 126,93 x fp

7. Daya jerap arang aktif terhadap uap benzena


Serbuk arang aktif kering oven ditimbang 1 gram dan dimasukkan ke dalam
petri dish, lalu ditimbang lagi dengan teliti. Kemudian diletakkan di dalam eksikator
yang berisi uap benzena. Diamati pada jam ke-24 dan 48 dengan cara mengangkat petri
dish, lalu dibiarkan 15 menit, dan selanjutnya ditimbang.

53
Daya jerap benzena (%) =

bobot arang aktif akhir bobot arang aktif awal


x 100
bobot arang aktif awal

3.3.3.3 Karakterisasi pola struktur arang aktif, arang dan bahan bakunya
Untuk mengetahui pola struktur arang aktif, arang dan bahan bakunya
dikarakterisasi dengan menggunakan peralatan sebagai berikut:
1. FTIR
Analisis dengan FTIR untuk mengetahui perubahan gugus fungsi contoh akibat
kenaikan suhu pada proses pirolisis dan/atau aktivasi. Analisis ini dilakuan dengan cara
mencampurkan serbuk contoh dengan KBr menjadi bentuk pelet. Selanjutnya diukur
serapannya pada bilangan gelombang 600-4000 cm-1.
2. SEM
Analisis dengan SEM untuk mengetahui topografi permukaan dan ukuran pori
contoh. Pengukuran ini mengikuti metode Smisek & Cerny (1970) dalam Pari (2004)
dan Kim et al. (2001) yang dilakukan dengan cara melapisi contoh dengan platina.
3. XRD
Analisis dengan XRD untuk mengetahui derajat kristalinitas, tinggi, lebar, jarak
dan jumlah lapisan aromatik pada contoh. Analisis ini dilakukan dengan cara
menginterpretasi pola difraksi dari hamburan sinar X pada contoh. Penetapan derajat
kristalinitas, tinggi (Lc), lebar (La), jarak (d) dan jumlah lapisan aromatik (N) pada
contoh dilakukan sesuai dengan prosedur yang dikembangkan Kercher & Nagle (2003);
Han et al. (2003); Yusa & Watanuki (2005) dengan perhitungan sebagai berikut:
Derajat kristalinitas (X) =

bagian kristalin
bagian kristalin + bagian amorf

x 100%

Jarak antar lapisan aromatik d(002) : = 2 d sin dan d =

Tingi lapisan aromatik (Lc) pada 24-25 : Lc(002) =

K
cos

2 sin

54
Lebar lapisan aromatik (La) pada 43 : La(100) =

Jumlah lapisan aromatik (N) : N =

K
cos

Lc
d

= 0,15406 nm (panjang gelombang dari radiasi sinar Cu)

= intensitas tinggi dan lebar intensitas difraksi (radian)

K = Tetapan untuk lembaran graphene (0,89)

= sudut difraksi
X = derajat kristalinitas

3.3.4 Fraksinasi dan Bioassay Asap Cair


3.3.4.1 Fraksinasi asap cair
Fraksinasi bertujuan untuk mendapatkan fraksi-fraksi asap cair dari segi
kepolarannya. Fraksinasi dilakukan dengan cara mengukur 1 liter contoh asap cair hasil
pirolisis sampah organik padat pada suhu 505 oC. Selanjutnya contoh asap cair
diekstraksi secara berturut-turut dengan pelarut n-heksan, etil asetat, metanol dan air
menggunakan botol pisah. Fraksi-fraksi yang didapat dipekatkan dengan evaporator
dan residunya ditimbang.

3.3.4.2 Bioassay
Prosedur bioassay untuk menelusuri aktivitas biologi asap cair dan fraksifraksinya sebagai antifeedant bagi hama tanaman dimodifikasi dari metode Narasimhan
et al. (2005) dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Contoh asap cair dan fraksi-fraksinya dibuat konsentrasi 0,0; 0,125; 0,25; 0,5 dan 1,0
(%b/v) dalam pelarut aseton-air(1:10);
5. Daun kubis digunakan sebagai pakan dan dipotong dengan ukuran 3x4 cm;
6. Potongan daun ini dicelupkan secara terpisah ke dalam masing-masing larutan sesuai
konsentrasinya selama 20 detik, lalu dikeringudarakan;

55
7. Dua potongan daun (satu potongan diberi perlakuan dan satu lagi sebagai kontrol)
dimasukkan ke dalam petri dish berlubang yang ditutup kain kasa;
8. Larva ulat S. litura Linn instar 3 sebanyak 8 ekor dimasukkan ke dalam masingmasing petri dish, lalu ditutup;
9. Pengamatan dilakukan pada jam ke-24 dengan menghitung bagian daun yang tidak
dikonsumsi larva pada perlakuan dan kontrol. Tiap perlakuan diulangi 5 kali;
10. Persentase aktivitas antifeedantnya dihitung dengan rumus Narasimhan et al.
(2005) sebagai berikut:
% bagian daun yang tidak dikonsumsi (kontrol perlakuan)
x 100%
% bagian daun yang tidak dikonsumsi (kontrol + perlakuan)
11. Untuk mengetahui tingkat aktivitas antifeedant dari contoh dihitung nilai Effective
Inhibitor (EI50) secara analisis probit menggunakan software SPSS versi 12; dan
12. Asap cair dan/atau fraksi-fraksinya yang berpotensi sebagai antifeedant bagi larva
dianalisis komponen kimianya dengan teknik GCMS.

3.3.5 Aplikasi Komarasca pada Tanaman Daun Dewa


Prosedur aplikasi komarasca hasil konversi sampah organik pasar dilakukan
dengan mengacu pada metode budidaya tanaman daun dewa yang dikembangkan
Winarto et al. (2003) melalui beberapa tahapan sebagai berikut:

3.3.5.1 Persiapan bahan dan perlengkapan


Bahan wadah tempat menanam tanaman daun dewa pada percobaan ini
digunakan plastik poliback kecil (10x5 cm). Perlengkapan peralatan disiapkan untuk
pengolahan dan pencampuran media. Tanah yang digunakan sebagai media tanam
diambil dari kebun bekas tanaman singkong.

56
3.3.5.2 Pemilihan umbi untuk pembibitan
Umbi tanaman daun dewa yang akan digunakan sebagai bibit diambil dari
tanaman yang mempunyai pertumbuhan baik dan sehat, serta dipanen pada umur 6
bulan. Seleksi umbi dilakukan dengan memilih umbi yang besar, tidak terserang hama,
dan mempunyai banyak tunas. Pembibitan dilakukan dengan cara memotong umbi
kecil-kecil kira-kira 1,5-2 cm. Selanjutnya potongan tersebut diletakkan di atas wadah
pembibitan yang berisi media Tanah-abu dan ditutup dengan tisu basah. Apabila
potongan-potongan tersebut sudah bertunas, lalu dipindahkan ke dalam plastik poliback
yang berisi 100 gram Tanah-abu dan dibenamkan kira-kira 2-3 cm dari permukaan
media. Bibit yang telah berdaun kira-kira 3-4 helai siap ditanami.

3.3.5.3 Penanaman dan perawatan tanaman daun dewa


Bibit tanaman daun dewa. ditanam di dalam plastik poliback yang berisi 3.000
gram campuran media sesuai perlakuan. Waktu penanaman bibit dipilih pada sore hari
untuk menghindari terkena sinar matahari, sehingga tidak terjadi dehidrasi yang bisa
menyebabkan kematian pada bibit. Bibit untuk setiap perlakuan dipilih secara acak.
Pada saat penanaman, bibit dibenamkan kira-kira 5 cm ke dalam media. Perawatan
tanaman tersebut dilakukan dengan cara menyiang, menyiramnya sesuai kebutuhan,
dan menanggulanginya dari serangan hama dan penyakit. Pengendalian hama dan
penyakit pada tanaman ini digunakan asap cair dan sidamethin sebagai pembandingnya
yang disemprotkan pada saat tanaman berumur 30 hari.

3.3.5.4 Pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman daun dewa


Untuk mengetahui pengaruh kompos dan arang aktif dilakukan pengukuran
terhadap parameter pertumbuhan, yaitu: 1) jumlah daun (dihitung jumlah helainya); 2)
tinggi batang (diukur dengan menggunakan mistar stanless); 3) jumlah anakan
(dihitung jumlah batang anakan). Ketiga parameter tersebut diamati pada hari ke-0, 10,
20, dan 30. Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh perlakuan kompos dan arang aktif
serta asap cair dilakukan pengukuran lagi terhadap pertumbuhan jumlah daun, tinggi
batang, dan jumlah anakan tanaman tersebut pada hari ke-40, 60, dan 80.

57
3.3.5.5 Pemanenan tanaman
Pada penelitian ini pemanenan tanaman ini dilakukan pada umur tanaman 90
hari. Tanaman hasil panen diukur tebal daun, jumlah akar dan dianalisis kandungan
fitokimianya serta dihitung biomassanya dengan cara menimbang bobot basah semua
bagian tanaman. Selanjutnya tanaman dipotong akarnya, lalu dikeringkan dalam oven
secara bertahap pada suhu 65

C selama 24 jam, didinginkan dan ditimbang.

Pengeringan dilanjutkan lagi pada suhu 105 oC selama 24 jam, didinginkan dan
ditimbang kembali bobotnya masing-masing.

3.3.5.6 Analisis kandungan fitokimia tanaman daun dewa


Daun dan akar tanaman daun dewa hasil panen dipilih yang masih bagus dan
dianalisis kandungan fitokimiannya yang meliputi alkaloid, flavonoid, fenilhidrokuinon, triterpenoid, steroid, tanin, dan saponin. Analisis ini dilakukan
menggunakan prosedur baku yang dikembangkan Harborne (1988).

3.3.5.7 Analisis tanah dan campuran media bekas tanaman daun dewa
Tanah dan campuran media bekas tanaman daun dewa yang memberi respon
terbaik bagi pertumbuhan dan bobot biomassa tanaman dianalisis kandungannya yang
meliputi kadar unsur C, N, P, K, Ca, Mg, Zn, Cu, Mn, Fe, Cr, Pb, dan Cd. Selanjutnya,
dianalisis juga kandungan total mikroorganisme dan funginya.

3.3.6 Bagan Alir Penelitian


Kegiatan penelitian tersebut di atas dapat digambarkan secara sistematis pada
bagan alir seperti tertera pada Gambar 11. Bahan baku sampah organik diambil pada
pukul 5 pagi agar tidak terlalu sukar pemisahannya. Sampah lunak langsung dicacah
untuk memperkecil ukurannya sedangkan sampah padat dapat disimpan terlebih dahulu
sebelum diproses. Proses penanganan sampah dengan langkah-langkah di atas, lebih
efektif dan efisien serta tidak menjijikkan karena sampah yang terkumpul masih segar.

58
Sampah Organik
Pemilahan secara manual

Sampah lunak
(dicacah dengan chopper)

Sampah padat
(dicacah dengan golok)

Pengomposan
Biodekomposer
(Orgadec, EM-4 dan Biodek)

Kompos

Pengarangan
Reaktor Pirolisis
(Reaktor Listrik dan Drum)

Arang

Karakterisasi

Karakterisasi
Aktivator
- panas
- uap H2O
- larutan KOH
- larutan H3PO4

Asap Cair

Karakterisasi
Fraksinasi
- n-heksan
- etilasetat
- metanol
- air

Arang Aktif

Bioassay
(larva S. litura)

Karakterisasi

Fraksi Aktif

Komarasca
Aplikasi

Tanaman Daun Dewa

Gambar 11 Bagan alir penelitian

59
3.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data
3.4.1 Rancangan Percobaan dan Analisis Data Pembuatan Arang Aktif
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan aktivator, waktu dan suhu aktivasi
terhadap rendemen, kadar air, abu, zat terbang, karbon terikat dan daya jerap terhadap
iodin, benzena dan kloroform dari arang aktif yang dihasilkan, dilakukan perhitungan
statistik dengan menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan tiga kali
ulangan. Faktor-faktor perlakuan yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Aktivator, yaitu panas (A1), uap H2O (A2), KOH 0,5 M (A3), KOH 1 M (A4),
H3PO4 0,5 M (A5), dan H3PO4 1 M (A6);
2. Waktu, yaitu 60 menit (W1), dan 120 menit (W2); dan
3. Suhu, yaitu 700 oC (S1), dan 800 oC (S2).
Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut:
Yijkl = + Ai + Wj + (AW)ij + Sk + (AS)ik + (WS)jk + (AWS)ijk + ijkl
Yijkl

Ai
Wi
Si
(AW)ij
(AS)ik
(WS)jk
(AWS)ijk
ijkl

= Pengamatan karena pengaruh bersama taraf ke-i faktor A, taraf ke-j


faktor W, dan taraf ke-k faktor S, yang terdapat pada ulangan ke-k
= Nilai rata-rata umum
= Pengaruh perlakuan A pada taraf ke-i
= Pengaruh perlakuan W pada taraf ke-i
= Pengaruh perlakuan S pada taraf ke-i
= Pengaruh sebenarnya dari interaksi antara taraf ke-i faktor A dan taraf
ke-j faktor W
= Pengaruh sebenarnya dari interaksi antara taraf ke-i faktor A dan taraf
ke-k faktor S
= Pengaruh sebenarnya dari interaksi antara taraf ke-j faktor W dan
taraf ke-k faktor S
= Pengaruh sebenarnya dari interaksi antara taraf ke-i faktor A, taraf
ke-j faktor W dan taraf ke-k faktor S
= Pengaruh galat dari taraf ke-i faktor, ke-j faktor W dan ke-k faktor S
pada ulangan ke-l

Data yang diperoleh berdasarkan rancangan percobaan di atas dianalisis secara


sidik ragam. Jika hasilnya menunjukkan signifikansi pada taraf =

0,05, maka

dilakukan uji lanjut beda nyata terkecil (BNT) dengan cara Duncan untuk mengetahui
pengaruh masing-masing perlakuan dan interaksinya (Mattjik & Sumertajaya 2000;
Sudjana 1985).

60
3.4.2 Rancangan Percobaan dan Analisis Data Aplikasi Komarasca
Untuk mengetahui pengaruh penggunaan komarasca pada pertumbuhan dan
bobot biomassa tanaman daun dewa dilakukan perhitungan statistik dengan
menggunakan rancangan acak lengkap faktorial. Faktor-faktor perlakuan yang
digunakan adalah sebagai berikut:
1. Campuran media, yaitu: 100% tanabu (M0); 90% tanabu ditambah 10% pupuk
kandang (M1);

90% tanabu ditambah 10% kompos (M2); 86,67% tanabu

ditambah 10% kompos ditambah 3,33% arang (M3); 86,67% tanabu ditambah 10%
kompos ditambah 3,33% arang aktif hasil aktivasi dengan panas (M4); 86,67%
tanabu ditambah 10% kompos ditambah 3,33% arang aktif hasil aktivasi dengan
dengan uap H2O (M5); 86,67% tanabu ditambah 10% kompos ditambah 3,33%
arang aktif hasil aktivasi dengan KOH 1M (M6); dan 86,67% tanabu ditambah 10%
kompos ditambah 3,33% arang aktif hasil aktivasi dengan H3PO4 1M (M7).
2. Pengendali hama yaitu: kontrol (air) (P0); asap cair (larutan 0,5% fraksi metanol)
(P1); dan pestisida sintetik (larutan 0,5% sidamethin) (P2).
Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut:
Yijk = + Mi + Pj + (MP)ij + ijk
Yijk

= Pengamatan karena pengaruh bersama taraf ke-i faktor M dan taraf ke-j
faktor P pada ulangan ke-k

= Nilai rata-rata umum


Mi = Pengaruh sebenarnya dari taraf-i faktor M
Pj
= Pengaruh sebenarnya dari taraf ke-j faktor P
(MP)ij= Pengaruh sebenarnya dari interaksi antara taraf ke-i faktor M dan taraf ke-j
faktor P
ijk = Pengaruh galat dari taraf ke-i faktor M dan ke-j faktor P pada ulangan ke-k
Data yang diperoleh berdasarkan rancangan percobaan di atas dianalisis secara
sidik ragam. Jika hasilnya menunjukkan signifikansi pada taraf =

0,05, maka

dilakukan uji lanjut beda nyata terkecil (BNT) dengan cara Duncan untuk mengetahui
pengaruh masing-masing perlakuan dan interaksinya (Mattjik & Sumertajaya 2000;
Sudjana 1985).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Konversi Sampah Organik Menjadi Kompos


Konversi sampah organik pasar menjadi kompos difokuskan untuk jenis sampah
lunak, seperti sayur-sayuran, dedaunan dan kulit buah-buahan. Langkah ini bertujuan
untuk mempercepat proses penanganan atau minimisasi jumlah timbunan sampah di
pasar yang kian hari terus meningkat dan juga untuk sampah yang sudah menumpuk di
TPA. Proses ini akan optimal, bila sampah yang akan diolah, diambil langsung dari
sumbernya di pasar pada waktu pagi, sebelum sampah dicampur dan dibuang ke TPS.
Jika hal itu dapat dilakukan, maka proses pemilahannya tidak sukar dan tidak
membutuhkan waktu yang lama sehingga dapat menghemat biaya dan tenaga.

4.1.1 Karakteristik Bahan Baku


Hasil karakterisasi bahan baku sampah organik pasar yang digunakan dalam
penelitian ini disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Kadar air dan nisbah C/N sampah organik pasar
Contoh

Sampah
Organik
Pasar

Ulangan

Kadar (%)
Air

Karbon

Nitrogen

Nisbah C/N

60,76

34,98

1,82

19,22

55,63

39,14

1,74

22,49

Rataan

58,20

37,06

1,78

20,86

Dari data Tabel 8 diketahui bahwa rata-rata kadar air sampah organik pasar,
yaitu 58,20%, hasil ini masih dalam batas yang dikemukakan oleh Djuarnani et al.
(2005) bahwa pada umumnya sampah pasar mengandung air berkisar 30-60%. Proses
pengomposan suatu bahan secara aerobik akan berlangsung cepat dan optimal, jika
bahan baku yang digunakan mengandung 40-50% air, sedangkan secara anaerobik
lebih baik mengandung kadar air 50% ke atas (Yuwono 2006). Menurut Sahwan
(1997), pengomposan sampah lunak akan berlangsung lebih cepat jika kandungan
airnya berkisar 50-55%.
Jika bahan baku mengandung kadar air terlalu rendah pada proses pengomposan
secara aerobik, maka bahan cepat kering sehingga pengomposan berjalan lambat,

62
sedangkan jika kandungan airnya terlalu tinggi dapat menyebabkan aerasi akan
berkurang sehingga proses pengomposannya juga akan berjalan lambat karena
perkembangbiakan mikroorganisme pengurai membutuhkan oksigen yang cukup. Hal
ini akan berbeda, jika proses pengomposan berlangsung secara anaerobik
membutuhkan kadar air yang tinggi, yaitu lebih 50%, karena untuk membentuk
senyawa-senyawa gas dan asam-asam organik, mikroorganisme membutuhkan air yang
cukup sehingga pengendapan kompos akan lebih cepat. Kadar air yang tinggi juga
diperlukan untuk memudahkan penghancuran bahan organik dan mengurangi bau.
Nisbah C/N merupakan faktor paling penting dalam proses pengomposan. Hal
ini disebabkan proses pengomposan tergantung dari kegiatan mikroorganisme yang
membutuhkan karbon dan nitrogen sebagai sumber energi dan pembentukan selnya.
Dari data Tabel 8 ditunjukkan rata-rata nisbah C/N sampah organik pasar, yaitu 20,86.
Menurut Yuwono (2006), proses pengomposan secara aerobik akan optimal, jika bahan
baku mengandung nisbah C/N berkisar 25-30, sedangkan pada proses secara anaerobik
membutuhkan nisbah C/N lebih 30. Proses pengomposan yang baik, idealnya suatu
bahan mengandung nisbah C/N berkisar 20-40, tetapi nisbah C/N yang paling baik,
yaitu 30 (Djuarnani et al. 2005). Jika nisbah C/N terlalu tinggi, aktivitas biologi
mikroorganisme akan berkurang. Selain itu, mikroorganisme memerlukan beberapa
siklus untuk menyelesaikan proses degradasi bahan organik sehingga waktu untuk
pembentukan kompos akan lebih lama dan mutu kompos yang dihasilkan juga relatif
rendah. Jika nisbah C/N terlalu rendah, maka kadar amoniak yang dihasilkan terlalu
banyak sehingga dapat meracuni mikroorganisme yang berdampak pada penurunan
aktivitasnya (Fricke et al. 2007). Di samping itu, Su & Puls (2007) menyatakan
kelebihan kandungan nitrogen yang tidak dipakai oleh mikroorganisme tidak dapat
diasimilasi dan akan hilang melalui volatisasi sebagai amoniak atau terdenitrifikasi.
Proses pengomposan akan lebih cepat jika bahan bakunya memiliki ukuran
yang kecil. Untuk itu, bahan baku yang terlalu kasar perlu dicacah sehingga ukurannya
menjadi lebih kecil. Bahan yang berukuran kecil akan terdekomposisi secara lebih
cepat karena mempunyai luas permukaan yang besar sehingga kontak dengan
mikroorganisme akan lebih maksimal. Namun, ukuran bahan yang terlalu kecil akan
menyebabkan aerasi ke dalam timbunannya akan berkurang dan kelembapannya juga
sangat tinggi sehingga mikroorganisme yang ada di dalamnya tidak dapat bekerja
secara optimal. Dengan demikian, agar proses pengomposan bahan baku seperti di atas

63
dapat berlangsung secara lebih cepat, perlu dibantu dengan bahan aktif yang berasal
dari biodekomposer.
4.1.2 Proses Pengomposan
Pada awal proses pengomposan, campuran bahan mengeluarkan bau busuk
yang menyengat dan air licit yang keluar melalui lubang pada bagian bawah tempat
pengomposan, maka di sekitar tempat tersebut dihinggapi banyak lalat. Setelah proses
berlangsung lebih dari satu minggu, jumlah lalat jadi berkurang seiring dengan
menghilangnya bau busuk dari campuran kompos. Menurut Haug (1980), bau busuk
yang dihasilkan pada proses pengomposan terjadi karena timbulnya gas NH3, H2S, dan
sulfur organik akibat proses berlangsung secara anaerobik (Gambar 3).
Pengomposan sampah organik pasar pada penelitian ini secara umum
berlangsung selama 30 hari, dan selama proses tersebut terjadi perubahan sifat-sifat
bahan, antara lain perubahan warna, suhu, pH dan kelembapan. Pada pengamatan
perubahan warna ditunjukkan warna bahan baku yang semula coklat kekuningan
berubah menjadi coklat kehitaman pada saat dihasilkan kompos, yang diikuti juga
dengan perubahan bentuknya dari kasar menjadi remah/gembur.
4.1.2.1 Perubahan suhu selama proses pengomposan
Perubahan suhu pada proses pengomposan merupakan salah satu faktor penting
sebagai penentu apakah proses dekomposisi berjalan dengan baik atau tidak. Faktor
suhu berhubungan erat dengan proses dekomposisi atau perombakan bahan organik,
aktivitas mikroorganisme dan kadar air bahan yang dikomposkan. Data perubahan suhu
kompos selama proses pengomposan dapat dilihat pada Tabel 9, 10 dan 11.
Data Tabel 9 menunjukkan bahwa perubahan suhu selama seminggu proses
pengomposan rata-rata berkisar antara 31,41-45,02 oC. Semua perlakuan pengomposan
mengalami peningkatan suhu pada hari ke-1, dan peningkatan suhunya yang paling
mencolok ditunjukkan oleh perlakuan pengomposan dengan biodekomposer campuran
Orgadec-Biodek-Arang (B8) dan EM-4 (B2) yang secara berturut rata-rata suhunya
mencapai 51,25 dan 49,17 oC. Peningkatan suhu yang cepat dan tertinggi pada proses
pengomposan dengan campuran biodekomposer Orgadec-Biodek-Arang kemungkinan
disebabkan karena pada perlakuan ini mengandung jenis dan jumlah mikroba lebih
beragam yang terdiri atas Trichoderma pseudokoningii dan Cytophaga sp. dari serbuk
Orgadec dan campuran kapang Aspergillus niger, Trichoderma sp. dan jamur Trametes

64
versicolor dari cairan Biodek mampu bekerjasama secara cepat dan intensif sehingga
menghasilkan kalor yang relatif tinggi dalam waktu relatif cepat. Trichoderma sp
mengandung enzim sellulose yang berperan memecahkan ikatan -glikosidik pada
struktur sellulosa (Wang et al. 2003), dan Trametes versicolor mengandung enzim yang
mempunyai aktivitas memecahkan struktur molekul lignin (Hossain & Anantharaman
2006). Pada proses pengomposan ini suhu meningkat tajam dan mencapai optimum
pada hari ke-1, sedangkan pada hari ke-2 dan seterusnya suhu proses menurun secara
perlahan-lahan seiring dengan semakin berkurangnya bahan nutrisi yang tersedia.
Tabel 9 Rataan perubahan suhu kompos seminggu pertama pengomposan
Perubahan suhu (oC) pada hari ke-

Perlakuan
B0
B1
B2
B3
B4
B5
B6
B7
B8
B9

0
30,33
30,83
32,17
31,50
30,75
31,75
31,75
31,25
31,50
32,25

1
33,50
34,67
49,17
46,83
46,75
46,00
47,50
47,75
51,25
46,75

Suhu Lingkungan

29,00

31,00

Ket.: B0 = tanpa biodekomposer (kontrol)


B1 = Orgadec
B2 = EM4
B3 = Biodek

2
36,17
37,50
47,67
45,83
45,50
45,50
46,75
46,25
49,25
46,50

3
35,67
42,83
46,00
43,50
43,25
42,75
42,00
44,00
45,75
43,75

4
33,83
38,73
44,50
38,73
40,25
41,25
39,75
41,25
43,50
41,00

5
33,67
37,50
42,83
39,00
39,25
38,75
37,25
40,25
42,25
39,75

6
34,33
36,40
41,33
37,50
39,00
37,50
37,00
38,00
40,75
38,00

7
33,17
33,50
40,00
36,50
38,25
37,25
37,25
36,75
40,00
34,75

30,50

30,00

29,00

28,00

29,00

29,00

B4 = campuran Orgadec-EM4-Arang-Asap cair


B5 = campuran Orgadec-EM4-Arang
B6 = campuran Orgadec-EM4-Asap cair
B7 = campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap cair
B8 = campuran Orgadec-Biodek-Arang
B9 = campuran Orgadec-Biodek-Asap cair

Biodekomposer EM-4 juga mengandung mikroorganisme yang beragam yakni


Lactobacillus, Actinomycetes, Streptomyces sp. dan ragi yang bekerja secara cepat dan
efektif dalam mendekomposisi bahan-bahan organik. Mikroorganisme yang terdapat
dalam biodekomposer EM-4 mengandung enzim yang mampu memecah ikatan dalam
struktur polisakarida dan protein (Mahendra & Alvarez-Cohen 2005; Nakashima et al.
2005 dan Srivibool et al. 2004). Di samping itu, juga karena EM-4 yang digunakan
adalah berupa cairan yang relatif dapat bercampur secara lebih homogen dengan bahan
baku yang dikomposkan sehingga terjadi interaksi lebih baik antar komponen. Hasil ini
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Djuarnani et al. (2005) bahwa cairan EM-4

65
sangat potensial untuk melangsungkan proses dekomposisi bahan-bahan organik
melalui fermentasi yang berlangsung secara cepat dan eksoterm.
Pada hari ke-1 proses pengomposan semua perlakuan menunjukkan
peningkatan suhu yang maksimum, kecuali kontrol dan perlakuan yang menggunakan
biodekomposer Orgadec. Perlakuan dengan biodekomposer ini menunjukkan
peningkatan suhu yang relatif lambat, pada hari ke-1, suhunya hanya mampu mencapai
34,67 oC, jauh dibanding suhu rata-rata yang mencapai 45,02 oC. Proses pengomposan
dengan perlakuan ini baru dapat mencapai peningkatan suhu yang maksimum pada hari
ke-3, yaitu sebesar 42,83 oC. Namun, suhunya juga masih di bawah rata-rata hari ke-3,
yaitu 42,95 oC. Hal ini kemungkinan disebabkan karena biodekomposer Orgadec yang
hanya mengandung mikroba Trichoderma pseudokoningii dan Cytophaga sp. tidak
mampu bekerja optimal dalam mendekomposisi jenis sampah organik pasar yang
kandungan airnya lebih 50%. Di samping itu, juga disebabkan karena biodekomposer
ini berbentuk serbuk berwarna coklat kehitaman yang mempunyai sifat sukar larut
dalam air. Oleh karena bentuk biodekomposer ini berupa serbuk, akibatnya tidak dapat
bercampur secara homogen dengan bahan-bahan yang dikomposkan, sehingga interaksi
yang terjadi antar komponen dalam tempat pengomposan kurang sempurna dan reaksi
eksoterm berjalan lambat.
Tabel 10 Rataan perubahan suhu kompos selama minggu ke dua pengomposan
Perlakuan
B0
B1
B2
B3
B4
B5
B6
B7
B8
B9

8
32,17
33,17
37,50
35,17
34,75
34,00
34,75
35,75
39,25
34,00

9
31,00
32,00
33,17
34,83
34,00
33,25
32,75
35,25
38,00
32,25

Suhu Lingkungan

29,00

28,50

Perubahan suhu (oC) pada hari ke10


11
12
13
30,67
30,33
29,83
29,83
31,33
30,67
29,83
29,50
30,83
30,17
30,33
29,50
34,17
32,00
30,83
30,33
33,75
33,00
31,75
31,00
32,25
30,75
30,25
29,75
32,50
32,25
30,75
30,50
33,25
32,00
31,75
30,25
37,00
33,50
32,75
31,75
31,75
31,50
30,75
29,25

Ket.: B0 = tanpa biodekomposer (kontrol)


B1 = Orgadec
B2 = EM4
B3 = Biodek

28,50

29,00

28,50

27,50

14
29,00
29,17
29,00
28,83
30,75
29,75
31,00
30,00
30,50
28,75
27,50

B4 = campuran Orgadec-EM4-Arang-Asap cair


B5 = campuran Orgadec-EM4-Arang
B6 = campuran Orgadec-EM4-Asap cair
B7 = campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap cair
B8 = campuran Orgadec-Biodek-Arang
B9 = campuran Orgadec-Biodek-Asap cair

66
Dari data Tabel 10, diketahui bahwa proses pengomposan selama minggu ke
dua masih berlangsung secara intensif. Hal ini ditunjukkan oleh perbedaan suhu di
dalam tempat pengomposan yang rata-rata berkisar 29,68-35,05

C dari semua

perlakuan masih jauh di atas suhu lingkungannya yang berkisar 27,50-29,00 oC.
Keadaan tersebut menunjukkan bahwa bahan organik masih tercukupi untuk kebutuhan
mikroorganisme dalam melakukan aktivitasnya. Secara umum perubahan suhu selama
minggu pertama dan ke dua proses pengomposan dapat disimpulkan bahwa proses yang
terjadi berlangsung dalam suasana semianaerobik. Rata-rata kisaran suhu pada minggu
pertama 31,41-45,02 oC dan minggu ke dua 29,68-35,05 oC. Keadaan ini sesuai dengan
yang dikemukan Suler & Finstein (1977) bahwa proses pengomposan berlangsung
optimal pada kondisi dengan suhu berkisar 30-50 oC. Namun, kondisi ini masih lebih
rendah dibandingkan dengan rentang suhu optimum yang umumnya dibutuhkan oleh
mikroorganisme untuk merombak bahan-bahan organik, yaitu berkisar antara 35-55 oC
(Djuarnani et al. 2005).
Perombakan bahan organik mengakibatkan pelepasan sejumlah energi ke
lingkungannya melalui perubahan dalam bentuk panas, sehingga terjadi kenaikan suhu
dalam tempat pengomposan. Jika proses dekomposisi berlangsung dalam suhu yang
agak tinggi, misalnya mencapai 60-70 oC, kondisi ini memungkinkan semua bakteri
termofilik bekerja secara lebih optimal. Suhu yang tinggi akan mempercepat proses
dekomposisi bahan baku, karena bakteri patogen tidak dapat hidup pada kondisi
tersebut (Strom 1985). Di pihak lain, bila suhu di dalam tempat pengomposan terlalu
tinggi, akan mengakibatkan sejumlah mikroorganisme mati, sedangkan bila suhunya
rendah dapat mengakibatkan mikroorganisme tidak mampu bekerja secara cepat dan
baik. Namun ada mikroorganisme yang bekerja pada suhu mencapai 80 oC, seperti
Trichoderma pseudokoningii dan Cyptophaga sp. Ke dua jenis mikroorganisme
tersebut cocok digunakan sebagai biodekomposer dalam proses pengomposan skala
besar atau industri (Suler & Finstein 1977). Peningkatan suhu pada setiap perlakuan
pengomposan terjadi karena bahan nutrisi yang tersedia untuk mikroorganisme dari
bahan organik masih cukup banyak, sehingga pertumbuhan dan aktivitasnya masih
berlangsung sangat intensif.

67
Tabel 11 Rataan perubahan suhu kompos setelah minggu ke dua pengomposan
Perubahan suhu (oC) pada hari ke-

Perlakuan
B0
B1
B2
B3
B4
B5
B6
B7
B8
B9
Suhu Lingkungan

16
28,48
29,31
28,76
28,79
29,92
29,90
30,45
29,40
30,07
28,95
27,00

18
28,41
29,30
28,72
28,74
30,02
29,78
30,37
29,32
30,04
28,91
27,00

20
28,33
29,27
28,67
28,67
30,25
29,50
30,25
29,25
30,00
28,75
27,00

Ket.: B0 = tanpa biodekomposer (kontrol)


B1 = Orgadec
B2 = EM4
B3 = Biodek

22
28,30
29,21
28,16
28,50
30,04
29,33
29,93
29,19
29,69
28,68
26,50

24
28,26
29,13
27,83
28,33
29,75
29,25
29,50
29,00
29,25
28,50
26,50

26
28,25
28,92
27,79
28,21
29,70
29,20
29,28
28,63
29,17
28,21
27,00

28
28,20
28,73
27,62
28,14
29,66
29,08
29,01
28,47
29,12
27,57
27,00

30
28,17
28,67
27,67
28,00
29,50
29,00
28,75
28,25
29,00
27,25
27,50

B4 = campuran Orgadec-EM4-Arang-Asap cair


B5 = campuran Orgadec-EM4-Arang
B6 = campuran Orgadec-EM4-Asap cair
B7 = campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap cair
B8 = campuran Orgadec-Biodek-Arang
B9 = campuran Orgadec-Biodek-Asap cair

Berdasarkan data Tabel 11 diperlihatkan bahwa pada semua perlakuan


pengomposan tidak terjadi perbedaan suhu yang jauh dengan suhu lingkungannya
selama pengomposan hari ke-16 hingga hari ke-30. Pada hari ke-30 proses
pengomposan, sebahagian perlakuan telah menunjukkan suhu yang mendekati suhu
lingkungannya. Hal ini dapat diamati pada perlakuan pengomposan yang menggunakan
biodekomposer campuran Orgadec-Biodek-Asap Cair (B9), EM-4 (B2), dan Biodek
(B3). Kondisi ini menurut Komilis (2006), merupakan penurunan suhu proses
pengomposan yang mendekati suhu lingkungan sebagai indikasi bahwa kompos yang
dihasilkan telah sempurna terdekomposisi. Pendapat ini juga sesuai dengan yang
dikemukan oleh Harada et al. (1993) bahwa pematangan kompos dapat ditentukan
berdasarkan sifat fisik, biologis dan kimia, yaitu menurunnya suhu mendekati suhu
lingkungan, sehingga bentuknya stabil dan menurunnya kandungan karbon.
4.1.2.2 Perubahan derajat keasaman
Derajat

keasaman

(pH)

merupakan salah satu faktor penting yang

mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam merombak bahan-bahan organik


selama proses pengomposan. Aktivitas mikroorganisme secara umum meningkat pada
pH 5,5-8, terutama untuk fungi (jamur), sedangkan kebanyakan bakteri beraktivitas

68
pada pH 6-7,5 (Strom 1985). Pengukuran nilai pH dilakukan setiap hari selama 1
minggu dan selanjutnya diukur dalam waktu selang 5 hari. Perubahan nilai pH kompos
pada minggu pertama pengomposan dapat dilihat pada Gambar 12.

pH

8.8
8.4
8.0
7.6
7.2
6.8
6.4
6.0
0

Hari ke-

Kontrol
Orgadec
EM-4
Biodek
Campuran Orgadec-EM-4-Arang-Asap Cair
Campuran Orgadec-EM-4-Arang
Campuran Orgadec-EM-4-Asap Cair
Campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap Cair
Campuran Orgadec-Biodek-Arang
Campuran Orgadec-Biodec-Asap Cair
Air

Gambar 12 Grafik perubahan pH kompos seminggu pertama pengomposan


Pada minggu pertama pengomposan hampir semua perlakuan menunjukkan
nilai pH cenderung meningkat pada awal proses hingga hari ke-3, dengan kisaran pH
rata-rata antara 7,0-8,5 dan selanjutnya cenderung menurun dengan rata-rata pH pada
hari ke-7 pengomposan, yaitu 7,6. Perlakuan yang hingga hari ke-7 masih
menunjukkan peningkatan nilai pH ditunjukkan oleh perlakuan dengan menggunakan
biodekomposer campuran Orgadec-EM-4-Asap cair dan campuran Orgadec-BiodekAsap cair. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena pada campuran tersebut
terdapat Asap cair yang mempunyai pH di bawah 7 sehingga pH awal dari proses ini
lebih rendah dari pH air. Penurunan nilai pH setelah hari ke-3 hingga hari ke-7 proses
pengomposan yang cukup signifikan diamati pada perlakuan dengan menggunakan
biodekomposer EM-4. Hal ini disebabkan karena biodekomposer EM-4 mengandung
mikroorganisme yang lengkap sehingga proses pengomposannya berlangsung lebih
cepat. Kondisi ini sesuai dengan yang pernyataan Djuarnani et al. (2005), bahwa cairan
EM-4 mengandung sejumlah mikroba yang bekerja efektif dan cepat dalam
mendekomposisi bahan organik, juga mengandung mikroba Lactobacillus sp. yang

69
mampu merombak gula atau karbohidrat menjadi asam laktat, sehingga proses
penurunan pH semakin cepat dibanding pengomposan dengan perlakuan lain.
Secara umum rata-rata perubahan nilai pH pada setiap perlakuan masih
tergolong sangat baik bagi kesempurnaan proses pengomposan. Nilai pH optimum bagi
perkembangbiakan mikroorganisme berkisar antara 6,0 sampai 8,0 (Murbandono
2005). Nilai ini hampir tidak berbeda dengan yang dikemukakan oleh Edwards (1990),
bahwa pH optimum yang dapat meningkatkan perkembangan mikroorganisme berkisar
antara 5,5 sampai 8,0. Selanjutnya perubahan pH kompos hari ke-9 hingga ke-30 proses
pengomposan dapat dilihat pada Gambar 13.
8.6
8.2
7.8
7.4
pH
7.0
6.6
6.2
5.8
9

12

15

18

21

24

27

30

Hari keKontrol
Orgadec
EM-4
Biodek
Campuran Orgadec-EM-4-Arang-Asap Cair
Campuran Orgadec-EM-4-Arang
Campuran Orgadec-EM-4-Asap Cair
Campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap Cair
Campuran Orgadec-Biodek-Arang
Campuran Orgadec-Biodec-Asap Cair
Air

Gambar 13 Grafik perubahan pH kompos hari ke-9 hingga ke-30 pengomposan


Gambar 13 memperlihatkan bahwa perubahan nilai pH pada semua perlakuan
pengomposan cenderung terjadi fluktuasi secara lambat dengan kisaran pH rata-rata
antara 7,2-7,4. Pada awal proses pengomposan, aktivitas mikroorganisme sangat
intensif menyebabkan terjadinya proses mineralisasi sehingga banyak ion-ion logam,
seperti K+, Mg2+, Ca2+, dan lain-lain dilepas dan mengikat senyawaan asam yang
terbentuk, sehingga terjadi peningkatan nilai pH (Yang 1997). Penurunan nilai pH
suatu proses pengomposan disebabkan oleh menurunnya aktivitas mikroorganisme,
sehingga jumlah ion-ion logam yang dilepas relatif kecil, sedangkan produksi
senyawaan asam semakin meningkat. Kondisi yang demikian menunjukkan penurunan
nilai pH mendekati netral. Keadaan tersebut sesuai dengan pernyataan Djuarnani et al.

70
(2005) dan Komilis & Ham (2006), bahwa jika pH terlalu tinggi (kondisi basa),
konsumsi oksigen akan meningkat, sehingga memberi kondisi buruk bagi lingkungan
dan akan menyebabkan sebahagian unsur nitrogen dalam bahan dirombak menjadi
amonia (NH3), sebaliknya jika pH terlalu rendah (kondisi asam) akan menyebabkan
sebagian mikroorganisme mati.
4.1.2.3 Penyusutan bobot bahan baku kompos
Salah satu parameter yang juga menentukan tingkat kualitas kompos yang
dihasilkan, yaitu terjadinya penyusutan bobot bahan baku kompos yang digunakan
selama proses pengomposan. Persentase penyusutan bobot bahan baku kompos dapat

% susut bobot kompos

dilihat pada Gambar 14.

33.13

35
30
25
20

28.38 29.48 29.50

26.68

31.09 31.48 30.01 30.85

22.10

0 hari
10 hari
20 hari
30 hari

15
10
5
0
B0

B1

B2

B3

B4

B5

B6

B7

B8

B9

Perlakuan

Ket.: B0 = tanpa biodekomposer (kontrol)


B1 = Orgadec
B2 = EM4
B3 = Biodek

B4 = campuran Orgadec-EM4-Arang-Asap cair


B5 = campuran Orgadec-EM4-Arang
B6 = campuran Orgadec-EM4-Asap cair
B7 = campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap cair
B8 = campuran Orgadec-Biodek-Arang
B9 = campuran Orgadec-Biodek-Asap cair

Gambar 14 Histogram persentase penyusutan bobot bahan baku kompos


Pada Gambar 14 diperlihatkan bahwa semua perlakuan pengomposan terjadi
penyusutan bobot bahan baku kompos rata-rata 29,22% pada hari ke-30. Penyusutan
bobot yang melebihi 30% ditunjukkan oleh perlakuan pengomposan dengan
menggunakan biodekomposer EM-4 (B2), campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap cair
(B7), campuran Orgadec-EM-4-Arang (B6), campuran Orgadec-Biodek-Asap cair
(B9), dan campuran Orgadec-Biodek-Arang (B8). Hal ini memberi gambaran bahwa
perlakuan pengomposan dengan menggunakan kombinasi biodekomposer baik

71
Orgadec-EM-4 maupun Orgadec-Biodek dapat mengimbangi keunggulan penggunaan
biodekomposer EM-4 secara tunggal. Dari Gambar 14 juga ditunjukkan bahwa
penggunaan campuran Orgadec-Biodek yang ditambah dengan arang dan asap cair
menghasilkan penyusutan bobot nomor dua tertinggi setelah EM-4, yaitu 31,48%.
Kondisi ini kemungkinan dapat meningkatkan perkembangan mikroorganisme
sehingga aktivitasnya lebih meningkat.
Penyusutan bobot bahan baku kompos terjadi karena pelepasan molekul air
(H2O) dan karbon dioksida (CO2) yang cukup besar selama proses pengomposan. Hal
ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Komilis (2006) bahwa kehilangan H2O dan
CO2 yang cukup banyak selama proses dekomposisi bahan-bahan organik dapat
menyebabkan penyusutan bobot bahan mencapai 20-40% dari bobot awal, namun hal
ini bergantung pada jenis bahan baku yang digunakan. Penyusutan ini disebabkan
karena terjadinya aktivitas perombakan bahan-bahan organik oleh mikroorganisme,
sehingga kadar air bahan berkurang, dan juga akibat panas yang timbul menyebabkan
terjadinya penguapan. Perlakuan pengomposan yang menunjukkan persentase
penyusutan bobot bahan baku yang tinggi akan menghasilkan persentase bobot kompos
yang rendah, demikian juga sebaliknya.
4.1.3 Mutu Kompos
Mutu suatu kompos ditentukan oleh karakteristiknya, di samping kandungan
unsur hara dan logam beratnya. Tingkat kesempurnaan kompos dapat diketahui dengan
memperhatikan beberapa parameter antara lain nisbah C/N yang relatif rendah (sesuai
dengan nisbah C/N tanah), penampakan fisik yang berwarna cokelat tua hingga hitam
dan remah/gembur, serta suhunya mendekati suhu lingkungan. Kompos yang
berkualitas baik harus memenuhi persyaratan sebagai penyedia unsur hara bagi
tanaman. Jika kompos kurang matang akan menimbulkan efek yang merugikan bagi
tanaman, karena dapat terjadi persaingan penggunaan bahan nutrien antara
mikroorganisme dan tanaman. Data hasil karakterisasi kompos pada hari ke-30 proses
pengomposan disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Karakteristik kompos sampah organik pasar pada hari ke-30 pengomposan
Perlakuan

Kadar
air
(%)

Nisbah
C/N

Suhu
(oC)

pH

Rendemen

(%)

Warna

Waktu
pematangan
kompos

72
(hari)

B0
B1
B2
B3
B4
B5
B6
B7
B8
B9

67,84
59,13
51,72
53,44
60,73
58,49
59,61
62,38
54,46
57,15

14,73
12,82
10,76
12,47
9,93
9,08
9,97
12,09
11,14
13,05

SNI

50

10-20

28,17
28,67
27,67
28,00
29,50
29,00
28,75
28,25
29,00
27,25
Air
tanah

Ket.: B0 = tanpa biodekomposer (kontrol)


B1 = Orgadec
B2 = EM4
B3 = Biodek

7,70
7,26
6,97
7,18
6,56
7,66
6,97
7,23
7,97
7,10

77,00
66,27
66,83
72,16
70,52
70,50
68,91
68,52
69,99
69,15

Coklat tua
Coklat tua
Kehitaman
Kehitaman
Kehitaman
Kehitaman
Kehitaman
Kehitaman
Kehitaman
Kehitaman

56-60
41-45
21-25
26-30
21-25
26-30
26-30
21-25
26-30
26-30

6,8-7,5

Kehitaman

B4 = campuran Orgadec-EM4-Arang-Asap cair


B5 = campuran Orgadec-EM4-Arang
B6 = campuran Orgadec-EM4-Asap cair
B7 = campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap cair
B8 = campuran Orgadec-Biodek-Arang
B9 = campuran Orgadec-Biodek-Asap cair

Dari data Tabel 12 diketahui bahwa sebahagian besar perlakuan pengomposan


sudah menghasilkan kompos dalam waktu berkisar 21-30 hari, kecuali pada B0
(kontrol) berkisar 56-60 hari dan perlakuan B1 (biodekomposer Orgadec) berkisar 4145 hari. Hal ini dapat diamati dan ditentukan berdasarkan karakteristik kompos yang
dihasilkan telah menunjukkan ciri-ciri sebagai kompos yang berkualitas. Hasil ini
sesuai dengan yang dikemukakan Gaur (1983) bahwa kompos yang baik berwarna
cokelat tua hingga kehitaman dan berbau tanah. Selanjutnya, kompos mempunyai
nisbah C/N berkisar antara 10-20, dan suhunya sudah mendekati suhu lingkungan
(Indriani 2005; Komilis 2006).
Mutu kompos yang dihasilkan pada semua perlakuan pengomposan di atas,
secara umum relatif mendekati persyaratan SNI-19-7030-2004 untuk kompos dari
sampah domestik (BSN 2004). Menurut Indriani (2005), semakin rendah nisbah C/N
bahan baku, waktu yang diperlukan untuk proses pematangan kompos semakin singkat.
Hal ini terbukti bahwa sebagian besar perlakuan pengomposan sudah menghasilkan
kompos yang matang dalam waktu berkisar 21-30 hari. Di samping itu, nisbah C/N
bahan baku yang digunakan untuk pengomposan juga menentukan variasi dari nisbah
C/N kompos yang dihasilkan. Penurunan nisbah C/N selama proses dekomposisi bahan
organik berkaitan erat dengan aktivitas biodekomposer yang membebaskan gas CO2
dan CH4, sehingga kadar unsur karbon yang terdapat pada bahan pengomposan
cenderung menurun, sedangkan unsur nitrogennya cenderung meningkat. Di samping
itu, aktivitas biodekomposer yang bekerja lebih intensif menyebabkan pengambilan

73
unsur P dan K dari bahan tersebut lebih tinggi untuk pembentukan tubuhnya. Akan
tetapi pada saat mikroorganisme tersebut mati, maka unsur tersebut akan dilepas
kembali, sehingga kandungan unsur haranya meningkat.
Kandungan unsur hara merupakan persyaratan utama sebagai kualitas suatu
kompos, karena tinggi rendahnya kandungan unsur akan berpengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman. Rataan kadar unsur hara makro, mikro dan logam berat pada
kompos pada hari ke-30 proses pengomposan disajikan pada Tabel 13, dan 14.
Tabel 13 Kadar unsur hara makro kompos pada hari ke-30 pengomposan
Perlakuan
B0
B1
B2
B3
B4
B5
B6
B7
B8
B9
SNI

N
1,98
2,16
2,36
2,15
2,39
2,30
2,30
2,20
2,14
2,00
0,40

Ket.: B0 = tanpa biodekomposer (kontrol)


B1 = Orgadec
B2 = EM4
B3 = Biodek

P
0,76
0,86
0,89
0,87
1,02
0,92
0,94
0,85
0,99
1,08
0,10

Kadar unsur (%)


K
Ca
0,29
2,78
0,58
0,35
2,04
0,48
1,22
1,03
1,22
1,55
1,44
2,51
1,53
1,75
1,90
1,38
1,35
1,04
1,65
1,52
0,20
25,50

Mg
0,32
0,25
0,24
0,25
0,26
0,28
0,41
0,34
0,26
0,22
0,60

B4 = campuran Orgadec-EM4-Arang-Asap cair


B5 = campuran Orgadec-EM4-Arang
B6 = campuran Orgadec-EM4-Asap cair
B7 = campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap cair
B8 = campuran Orgadec-Biodek-Arang
B9 = campuran Orgadec-Biodek-Asap cair

Dari data Tabel 13 dapat diketahui bahwa semua perlakuan pengomposan


mengandung unsur hara makro yang memenuhi persyaratan SNI-19-7030-2004 (BSN
2004). Ditinjau dari aspek kandungan unsur hara makronya dapat dikatakan bahwa
kompos yang dihasilkan pada semua perlakuan pengomposan sampah organik pasar
bermutu cukup baik. Semakin lengkap kandungan unsur haranya maka semakin tinggi
pula mutu kompos yang dihasilkan (Harada et al. 1993). Kandungan unsur hara
kompos sangat menentukan kemampuannya untuk menaikkan kadar unsur hara dalam
tanah sehingga dapat menyuburkan tanaman.
Kehadiran unsur hara makro dalam kompos sangat penting bagi kesuburan
tanah dan tanaman. Menurut Agustina (2004), unsur N, P, dan K tergolong unsur hara
primer, karena diperlukan dalam jumlah besar, sedangkan unsur Ca, Mg dan S
tergolong unsur hara sekunder, karena relatif banyak terdapat dalam tanah. Unsur N
dan P sangat dibutuhkan pada pembentukan protein dan asam nukleat, sedangkan unsur

74
K, Ca, dan Mg diperlukan sebagai antagonis yang berinteraksi dengan efek racun dari
elemen mineral yang lain dengan cara mengatur keseimbangan ion (Agustina 2004). Di
samping itu, mineral Ca dan Mg juga merupakan unsur-unsur yang biasa dihubungkan
dengan kemasaman tanah dan pengapuran, karena keduanya tergolong kation yang
cocok untuk mengurangi kemasaman atau menaikkan nilai pH tanah.
Tabel 14 Kadar unsur hara mikro dan logam berat kompos sampah organik pasar
Perlakuan
B0
B1
B2
B3
B4
B5
B6
B7
B8
B9
SNI

(%)
Fe
0,48
0,75
0,64
0,31
0,47
0,28
0,25
0,33
0,29
0,41
2

Kadar unsur hara mikro


(--------------ppm------------)
Mn
Cu
Zn
473,28
23,10
411,25
514,26
19,14
140,76
520,22
18,28
249,83
364,90
16,90
248,60
377,50
17,20
343,10
404,30
10,30
237,40
434,80
13,50
414,30
490,80
13,30
403,60
393,00
14,60
238,80
432,50
10,50
327,20
1000
100
500

Ket.: B0 = tanpa biodekomposer (kontrol)


B1 = Orgadec
B2 = EM4
B3 = Biodek

Kadar logam berat


(------------ppm--------------)
Cd
Pb
Cr
41,37
206,20
165,40
21,04
141,79
146,79
16,44
120,70
139,21
16,80
198,30
123,60
23,60
180,30
141,70
16,30
178,30
127,90
46,30
163,80
161,20
33,30
127,30
158,80
28,40
132,70
153,70
40,40
189,00
146,60
30
150
210

B4 = campuran Orgadec-EM4-Arang-Asap cair


B5 = campuran Orgadec-EM4-Arang
B6 = campuran Orgadec-EM4-Asap cair
B7 = campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap cair
B8 = campuran Orgadec-Biodek-Arang
B9 = campuran Orgadec-Biodek-Asap cair

Dari data Tabel 14 dapat diamati bahwa kandungan unsur hara mikro pada
semua kompos yang dihasilkan pada proses pengomposan sampah organik pasar
dengan berbagai perlakuan biodekomposer memenuhi persyaratan SNI-19-7030-2004
(BSN 2004), untuk kadar logam beratnya hanya Cr yang memenuhi, sedangkan Pb dan
Cd hanya sebahagian perlakuan saja yang memenuhi persyaratan tersebut. Hasil ini
juga menunjukkan semua perlakuan pengomposan menghasilkan kompos yang relatif
berkualitas baik, terutama dari aspek ketersediaan unsur hara mikronya. Namun
ditinjau dari kandungan logam beratnya, maka kualitasnya tergolong masih rendah.
Unsur hara Fe, Mn, Cu, dan Zn merupakan zat yang diperlukan oleh tanaman
dalam jumlah sedikit, oleh karena itu disebut sebagai unsur hara mikro. Hal ini bukan
berarti unsur hara mikro kurang essensial dibanding unsur hara makro, karena
meskipun tanaman mengambilnya dalam jumlah sedikit, akibatnya dapat mengurangi
jumlah yang tersedia. Hal ini seperti dikemukakan oleh Salisbury & Ross (1995), unsur
hara sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan sel, misalnya Fe berguna
sebagai komponen struktural porfirin, sitokhrom, hemes, hematin, dan hemoglobin. Di

75
samping itu, unsur Fe juga ikut dalam proses oksidasi-reduksi di dalam fotosintesis dan
respirasi serta sebagai kofaktor beberapa enzim. Menurut Gardner et al. (1991), unsur
Mn berperan dalam transport elektron pada fotosistem II, sebagai elemen struktural
membran kloroplast, dan ikut berperan dalam beberapa fungsi enzim. Unsur Cu
berperan dalam transport elektron pada fotosintesis, pembentukan klorofil, dan secara
tidak langsung berperan di dalam pembentukan nodul akar. Unsur Zn sangat berguna
untuk pembentukan asam amino triptofan sebagai prekursor asam indol asetat (IAA),
dan metabolisme triptamin. Di samping itu, Zn juga berperan sebagai kofaktor
beberapa enzim dan merangsang sintesa sitokhrom C (Agustina 2004). Akan tetapi,
keberadaan sebagian unsur logam berat di dalam tanah belum diketahui secara pasti
peranannya baik terhadap tanaman maupun mikroba.
Ada tiga unsur logam berat yang dianalisis pada penelitian ini, yaitu Cd, Pb, dan
Cr, karena ke tiga unsur ini sering dijumpai di dalam komposisi sampah organik pasar.
Kandungan logam berat pada kompos merupakan faktor penting untuk menilai kualitas
suatu kompos, di samping kandungan unsur hara lainnya. Penggunaan kompos yang
mengandung logam berat lebih tinggi secara terus menerus akan mengakibatkan unsur
tersebut terakumulasi di dalam tanah dan menjadi bahan pencemar yang berbahaya
karena logam berat bersifat tidak dapat terurai, artinya tidak dapat terdekomposisi oleh
mikroorganisme. Hal ini akan meracuni tanaman, bahkan hewan dan manusia yang
memakan tanaman tersebut.
Beberapa negara telah membuat standar untuk menjamin mutu kompos,
terutama untuk logam berat. Standar untuk logam berat dibuat untuk melindungi
lingkungan dan mempertahankan mutu kompos yang dihasilkan. Tingginya kandungan
logam berat pada kompos sangat dipengaruhi oleh jenis bahan baku kompos sampah
pasar, terutama jika sampah pasar jenis sayur-sayuran atau buah-buahan yang sudah
terakumulasi logam berat atau mengandung residu pestisida. Oleh karena itu, untuk
mengurangi kandungan logam berat, sebelum dilakukan proses pengomposan penting
sekali dilakukan pemilihan terhadap bahan bakunya.

76
4.2 Konversi Sampah Organik Menjadi Arang dan Asap Cair
4.2.1 Karakteristik Bahan Baku
Bahan baku sampah organik yang digunakan pada percobaan ini merupakan
sampah organik yang sukar dikomposkan dengan komposisi 30% kayu, 30% bambu,
20% pepohonan/ranting, dan 20% dedaunan. Sampah bambu dan kayu merupakan
bekas tempat buah-buahan, sedangkan pepohonan dan ranting serta dedaunan
merupakan sampah dari tanaman perkarangan dan/atau tanaman pelindung jalan. Hasil
analisis sifat-sifat dasar bahan baku sampah padat dengan komposisi tersebut
menunjukkan rata-rata 7,45% air, 77,06% zat terbang, 6,32% abu, 16,62% karbon
terikat, dan 4444 kalori nilai kalor.
4.2.2 Hasil Pirolisis
Untuk mempelajari karakteristik proses pirolisis bahan baku sampah organik
pasar pada penelitian ini diawali dengan menggunakan reaktor listrik skala
laboratorium dengan kapasitas 1 kg bahan. Selanjutnya pendekatan tersebut
diterapkan pada reaktor drum dengan kapasitas 13 kg bahan. Data hasil pirolisis
sampah organik pasar disajikan pada Tabel 15 dan 16.
Tabel 15 Hasil pirolisis sampah organik dengan reaktor listrik
Percobaan
1
2
3
4
5

Kadar Air
Contoh
(%b/b)
14,25
13,88
13,70
13,33
13,14

Suhu
Pirolisis
(oC)
150
250
350
450
550

Residu Arang
(%b/b)
80,03
45,55
41,50
37,17
31,91

Rendemen
Asap Cair
(%b/b)
18,51
37,01
42,09
45,33
51,14

Ter
(%b/b)
0
2,62
4,55
5,67
6,12

Tabel 16 Hasil pirolisis sampah organik dengan reaktor drum


Percobaan
1
2
3
4
5
6

Kadar Air
Contoh
(%b/b)
20,76
28,00
29,32
25,40
23,59
25,41

Suhu
Pirolisis (oC)

Residu Arang
(%b/b)

350
355
375
405
505
510

41,12
32,51
30,65
26,76
22,36
27,38

Rendemen
Asap Cair
(%b/b)
33,15
34,67
32,87
37,83
31,24
30,33

Pada proses pirolisis sampah organik padat dengan menggunakan reaktor listrik
(Tabel 15), selain dihasilkan residu arang dan asap cair, juga diperoleh ter, sedangkan

77
pada proses pirolisis dengan reaktor drum (Tabel 16) hanya menghasilkan residu arang
dan asap cair saja. Di samping itu, hasil pirolisis sampah dengan reaktor listrik juga
menunjukkan makin tinggi suhu pirolisis makin rendah perolehan residu arang dan
makin tinggi perolehan asap cair dan ter, sedangkan hasil pirolisis dengan reaktor drum
tidak mengikuti pola di atas. Hal ini disebabkan karena model reaktor drum yang
digunakan (Gambar 9b) mempunyai tutup atas yang rata sehingga ter tidak teruapkan,
melainkan terkarbonisasi menjadi arang.
4.2.3 Arang
Arang yang dihasilkan umumnya memiliki penampilan fisik dengan bentuk
yang beragam dan berwarna hitam. Arang ini kemudian dihaluskan hingga berbentuk
serbuk untuk keperluan analisis sifat-sifat dasar dan strukturnya. Serbuk arang ini
memiliki warna hitam, tidak berbau dan tidak larut dalam air. Residu (rendemen)
merupakan nilai yang penting untuk mengetahui hasil yang diperoleh dari suatu proses.
Tinggi rendahnya rendemen arang yang dihasilkan sangat bergantung pada kadar air
bahan baku dan suhu pirolisisnya. Bervariasinya rendemen arang yang dihasilkan juga
disebabkan komposisi bahan baku yang digunakan relatif kurang homogen. Akibat
suhu tinggi sebahagian arang berubah menjadi abu dan gas-gas yang mudah menguap,
sehingga rendemennya rendah. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Paris et al.
(2005) bahwa akibat peningkatan suhu yang tinggi pada proses pirolisis, sebahagian
arang dapat berubah menjadi abu, gas CO, H2, dan gas-gas hidrokarbon.
4.2.3.1 Karakteristik sifat-sifat dasar arang
Data hasil karakterisasi sifat-sifat dasar arang hasil pirolisis sampah organik
pasar disajikan pada Tabel 17 dan 18.
Tabel 17 Karakteristik arang hasil pirolisis dengan reaktor listrik
Kadar (%)
Air
Zat terbang
Abu
Karbon terikat
7,45
77,06
6,32
16,62
0,61
72,90
3,34
23,76
0,95
44,55
5,91
49,54
0,79
32,40
6,29
61,31
1,72
27,32
7,26
65,42
0,48
14,72
8,80
76,48
6,00
30,00
4,00
66,00
L0 = tanpa pirolisis (kontrol)
L3 = suhu 350 oC
o
L4 = suhu 450 oC
L1 = suhu 150 C
o
L5 = suhu 550 oC
L2 = suhu 250 C

Perlakuan
L0
L1
L2
L3
L4
L5
SNI
Keterangan:

Nilai kalor
(kalori)
4444
4625
5841
5986
6419
6835
-

78
Tabel 18. Karakteristik arang hasil pirolisis dengan reaktor drum
Kadar (%)
Nilai kalor
(kalori)
Air
Zat terbang
Abu
Karbon terikat
7,45
77,06
6,32
16,62
4444
4,33
31,47
12,82
55,71
6151
4,00
28,96
14,91
56,13
6337
3,03
25,85
15,68
58,47
6479
3,06
23,19
17,53
59,28
6633
2,46
18,30
12,22
69,48
6634
3,09
19,99
13,00
67,01
6640
6,00
30,00
4,00
66,00
D0 = tanpa pirolisis (kontrol)
D3 = suhu 375 oC
D5 = suhu 505 oC
D4 = suhu 405 oC
D6 = suhu 510 oC
D1 = suhu 350 oC
o
D2 = suhu 355 C

Perlakuan
D0
D1
D2
D3
D4
D5
D6
SNI
Keterangan:

Karakteristik arang hasil pirolisis sampah dengan reaktor listrik (Tabel 17)
menunjukkan bahwa makin tinggi suhu pirolisis makin rendah kadar zat terbang dan
makin tinggi kadar abu, karbon terikat dan nilai kalor, sedangkan arang hasil pirolisis
dengan reaktor drum (Tabel 18) menunjukkan hal yang sama untuk kadar zat terbang,
karbon terikat dan nilai kalor. Sebahagian besar sifat-sifat dasar arang hasil pirolisis
dengan reaktor listrik tidak memenuhi persyaratan SNI-01-1682-1996 (BSN 1996),
kecuali pirolisis pada suhu 550 oC, sedangkan pada arang hasil pirolisis dengan reaktor
drum sebahagian besar sifat-sifat dasarnya terutama hasil pirolisis pada suhu 505 oC
memenuhi persyaratan tersebut kecuali untuk kadar abu. Berdasarkan data tersebut
dapat disimpulkan bahwa arang hasil pirolisis sampah organik pasar dengan reaktor
drum relatif lebih berkualitas dibandingkan dengan hasil pirolisis dengan reaktor listrik.
Maka oleh karena itu, pembuatan arang untuk kebutuhan penelitian ini dilanjutkan
dengan menggunakan reaktor drum.

4.2.3.2 Daya jerap arang


1. Daya jerap terhadap iodin
Secara umum ukuran daya jerap arang terhadap iodin, sering dijadikan sebagai
dasar menilai kualitas suatu bahan dalam hal kemampuan jerapannya, terutama dalam
menyerap larutan berwarna. Nilai daya jerap arang terhadap larutan iodin pada
penelitian ini berkisar 176,46379,76 mg/g (Gambar 15).

79
379.76

Daya jerap iodin (mg/g)

400
350

281.08

300
225.87

250
200

176.46

150
100
50
0

28

405

505

510

Suhu Pirolisis (o C)

Gambar 15 Histogram daya jerap arang terhadap larutan iodin


Arang yang mempunyai daya jerap tertinggi terhadap larutan iodin ditunjukkan
oleh perlakuan pirolisis pada suhu 505 oC dan daya jerap yang terendah terdapat pada
perlakuan kontrol/tanpa pirolisis (28 oC). Tingginya daya jerap arang hasil pirolisis ini
terhadap iodin menggambarkan meningkatnya permukaan aktif arang akibat perlakuan
suhu pada pirolisis. Pergeseran pelat-pelat karbon akibat suhu tinggi mendorong
senyawa hidrokarbon, ter, dan senyawa organik lainnya untuk keluar pada saat pirolisis
(Gambar 19). Hal ini sesuai dengan pernyataan Agustina (2004) dan Concheso et al.
(2005) bahwa rendahnya daya jerap suatu bahan bisa disebabkan karena masih
banyaknya senyawa hidrokarbon dan komponen lain seperti ter, abu, air, nitrogen, dan
sulfur yang terdapat pada permukaan arang. Akan tetapi pada suhu yang lebih tinggi
dapat menyebabkan daya jerap arang berkurang. Menurut Tansel & Nagarajan (2004)
berkurangnya daya jerap arang akibat terjadi kerusakan atau erosi pada dinding pori
arang yang menyusun struktur mikropori pada saat proses pirolisis berlangsung. Dalam
hal daya jerap untuk arang belum ada persyaratan SNI-nya, karena arang jarang
digunakan secara langsung sebagai adsorben, akan tetapi lazimnya diaktivasi terlebih
dahulu menjadi arang aktif.
2. Daya jerap arang terhadap benzena
Penetapan daya jerap arang terhadap uap benzena (C6H6) bertujuan untuk
mengetahui kemampuan arang dalam menjerap berbagai macam gas yang bersifat
nonpolar. Nilai daya jerap arang terhadap uap benzena dalam waktu 24 jam berkisar
8,0012,37 % dan dalam waktu 48 jam berkisar 6,21-11,72 % (Gambar 16). Daya jerap

80
arang yang tertinggi terhadap uap benzena ditunjukkan pada waktu 24 jam dari
perlakuan pirolisis pada suhu 505 oC. Daya jerap arang dalam waktu 24 jam lebih
tinggi dibanding dengan daya jerap dalam waktu 48 jam. Hal ini disebabkan tingkat
kejenuhan uap benzena dalam chember berkurang akibat dibuka tutupnya pada waktu
pengukuran 24 jam. Di samping itu, waktu 24 jam sudah menggambarkan kemampuan
jerapan arang terhadap uap atau gas yang bersifat non polar.

Daya jerap benzena (%)

14.00

12.37

12.00
10.00
8.00

11.72
9.85

9.53

8.61

8.00

7.23

24 jam

6.21

48 jam

6.00
4.00
2.00
0.00

28

405

505

510

Suhu Pirolisis (o C)

Gambar 16 Histogram daya jerap arang terhadap uap benzena


Rendahnya daya jerap arang terhadap uap benzena disebabkan oleh pori yang
terbentuk pada permukaannya masih banyak mengandung senyawaan non polar,
sehingga gas atau uap yang dapat dijerap menjadi lebih sedikit (Pari 1996). Dengan
kata lain, permukaan arang masih ditutupi oleh berbagai senyawaan yang bersifat polar
seperti golongan fenolik, aldehid dan asam-asam karboksilat dari hasil karbonisasi
yang tidak sempurna, sehingga penjerapan terhadap uap benzena menjadi rendah.

4.2.3.3 Identifikasi Struktur Arang


1. Identifikasi gugus fungsi
Gugus fungsi dari bahan baku dan arang hasil pirolisisnya diidentifikasi dengan
spektrofotometer FTIR. Hasil analisis spektrum absorpsi IR dapat memberi petunjuk
tentang perubahan gugus fungsi senyawa akibat perubahan suhu pirolisisnya. Hasil
serapan arang terhadap spektrum IR ditunjukkan pada Gambar 17 dan Tabel 19.

81

Transmisi (%)

28 oC
405 oC
505 oC

Bilangan gelombang (cm-1)


Gambar 17 Spektrum serapan IR bahan baku dan arang hasil pirolisisnya
Tabel 19 Data bilangan gelombang serapan IR dari bahan baku dan arang hasil
pirolisisnya
Suhu Pirolisis
(oC)

Bilangan gelombang
(cm-1)

28

3421,5 2920,0 2854,5 1635,5 1508,2 1056,9 617,2

405

3425,3 2923,9 1585,4 1438,8 1091,6 875,6

505

3409,9 2923,9 1577,7 1438,8 1103,2 875,6

Pola spektrum serapan IR dari bahan baku dan arang hasil pirolisisnya
mengalami perubahan sesuai dengan perubahan suhunya. Selama proses pirolisis
terjadi penguraian struktur kimia yang diperlihatkan oleh adanya perubahan pola
spektrum, yaitu dengan menurunnya persentase serapan di daerah bilangan gelombang
3425,3-3409,9 dan 2923,9-2920,0 cm-1, serapan yang hilang ditunjukkan di daerah
bilangan gelombang 1635,5; 1508,2 dan 617,2 cm-1. Di samping itu, pada arang yang
dihasilkan terdapat serapan baru di daerah bilangan gelombang 1585,4-1577,7; 1438,8;
1103,2-1091,6 dan 875,6 cm-1. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan suhu pirolisis
mengakibatkan perubahan gugus fungsi, yang diikuti terbentuknya senyawa baru
melalui mekanisme radikal. Hasil ini sesuai dengan yang dikemukan Demirbas (2005)
bahwa makin tinggi suhu pirolisis suatu bahan makin banyak gugus-gugus fungsi yang
teroksidasi atau terurai sehingga menjadi hilang atau tingkat serapannya berkurang atau
menyebabkan pergeseran bilangan gelombang serapannya.

82
Gugus-gugus fungsi yang teridentifikasi pada bahan baku tanpa pirolisis (28 oC)
antara lain adanya regang OH dengan serapan kuat di daerah bilangan gelombang
3421,5 cm-1, regang C-H dengan serapan lemah di daerah 2920,0 dan 2854,5 cm-1,
regang C=C dengan serapan sedang di daerah 1635,5 cm-1, ikatan C-O dari gugus eter
alifatik ditunjukkan di daerah 1056,9 cm-1 dengan serapan sedang, dan adanya struktur
polisiklik diindikasikan di daerah 617,2 cm-1 dengan serapan lemah. Gugus-gugus
fungsi yang teridentifikasi pada arang hasil pirolisis dengan suhu 405 oC antara lain
adanya regang OH dengan serapan kuat di daerah 3425,3 cm-1, regang C-H dengan
serapan lemah di daerah 2923,9 cm-1, regang C=C dengan serapan sedang di daerah
1585,4 cm-1, ikatan C-H dari senyawa alifatik juga diindikasikan di daerah 1438,8 cm-1
dengan serapan sedang, ikatan C-O dari gugus eter alifatik ditunjukkan di daerah
1091,6 cm-1 dengan serapan sedang, dan adanya struktur polisiklik diindikasikan di
daerah 875,6 cm-1 dengan serapan lemah. Pada arang hasil pirolisis dengan suhu 505 oC
teridentifikasi gugus-gugus fungsi antara lain adanya regang OH dengan serapan kuat
di daerah 3409,9 cm-1, regang C-H dengan serapan lemah di daerah 2923,9 cm-1,
regang C=C dengan serapan sedang di daerah 1577,7 cm-1, ikatan C-H dari senyawa
alifatik juga diindikasikan di daerah 1438,8 cm-1 dengan serapan sedang, ikatan C-O
dari gugus eter alifatik ditunjukkan di daerah 1103,2 cm-1 dengan serapan lemah, dan
adanya struktur polisiklik diindikasikan di daerah 875,6 cm-1 dengan serapan lemah.
Berdasarkan data di atas dapat dikemukakan bahwa gugus-gugus fungsi yang
teridentifikasi baik pada bahan baku tanpa pirolisis maupun arang hasil pirolisis pada
suhu 405 dan 505 oC secara umum relatif sama, akan tetapi tingkat serapannya yang
cenderung menurun dan bilangan gelombangnya sedikit bergeser dengan semakin
meningkatnya suhu pirolisis. Hasil ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Menendez et al. (1999) bahwa pada proses pirolisis suatu bahan pada suhu tinggi, maka
akan terjadi pergeseran serapan bilangan gelombang antara produk dengan bakunya.

2. Identifikasi pola struktur kristal


Pola struktur dari bahan baku dan arang hasil pirolisisnya pada berbagai
tingkatan suhu ditelusuri dengan difraktometri XRD. Analisis ini bertujuan mengetahui

83
struktur kristal suatu bahan, dan perubahan strukturnya akibat perubahan suhu pirolisis.
Hasil analisis dengan XRD ditunjukkan pada Gambar 18 dan Tabel 20.

Intensitas

28 oC

405 oC

505 oC

Sudut difraksi (derajat)


Gambar 18 Difraktogram bahan baku dan arang hasil pirolisisnya
Tabel 20 Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (), jarak antar lapisan (d), tinggi
(Lc), dan lebar (La) antar lapisan serta jumlah (N) lapisan aromatik dari
bahan baku dan arang hasil pirolisisnya
Suhu
pirolisis
(oC)

X
(%)

d1
(nm)

d2
(nm)

Lc
(nm)

La
(nm)

28

47,72

21

0,423

3,996

9,453

405

43,45

22

0,404

40

0,225

4,031

9,978

8,357

505

43,50

22

0,404

42

0,215

4,031

9,978

8,405

Data Tabel 20 menunjukkan bahwa derajat kristalinitas dan jarak antar lapisan
aromatik makin sempit dengan meningkatnya suhu. Namun pada proses pirolisis
dengan suhu 405 sampai 505 oC tidak menunjukkan perbedaan jarak antar lapisan
kristal. Hal ini berarti bahwa makin tinggi suhu pirolisis makin banyak struktur kristal
arang yang menyusut, sehingga derajat kristalinitasnya menurun. Hasil ini bertolak
belakang dengan yang diperoleh Schukin et al. (2002) bahwa derajat kristalinitas suatu
bahan meningkat seiring terjadi peningkatan suhu pirolisisnya.

84
3. Identifikasi pola struktur
Pola struktur permukaan pori dari suatu bahan digambarkan dengan fotograph
SEM. Analisis ini bertujuan mengetahui topografi permukaan struktur akibat perubahan
suhu pirolisisnya. Data hasil analisis SEM ditunjukkan pada Gambar 19.

28 oC

405 oC

505 oC

Gambar 19 Topografi permukaan bahan baku dan arang hasil pirolisisnya


Tabel 21 Diameter permukaan pori bahan baku dan arang hasil pirolisisnya
Suhu pirolisis
(oC)

Diameter pori
(m)

28

405

0,4-1,3

505

0,5-1,7

Pada Gambar 19 dan Tabel 21 diperlihatkan pola topografi permukaan bahan


baku dan arang hasil pirolisisnya mengalami perubahan sesuai dengan kenaikan suhu.
Bahan baku tanpa pirolisis (28 oC), memperlihatkan topografi permukaannya belum
terbentuk pori-pori, sedangkan pada arang hasil pirolisisnya, baik pada suhu 405 oC
maupun pada suhu 505 oC, topografi permukaannya memperlihatkan pembentukan pori
yang makin besar sesuai kenaikan suhu. Pori-pori yang terbentuk diperkirakan berasal
dari adanya zat yang menguap (zat terbang) dari struktur yang terdegradasi akibat
panas yang tinggi pada proses tersebut. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Novicio et al. (1998) bahwa proses terbentuknya pori-pori pada arang
disebabkan oleh karena menguapnya sejumlah zat yang dikandung oleh bahan baku
tersebut akibat terjadinya pirolisis.
Semakin besar atau lebarnya ukuran pori yang terbentuk pada suatu bahan yang
disebabkan oleh peningkatan suhu pirolisis, ada kemungkinan semakin banyak pula

85
jumlah komponen bahan baku yang terdegradasi akan menguap. Penguapan komponenkomponen tersebut dapat mengakibatkan pergeseran antara lapisan kristal dan
mengubah struktur kristal arang, sehingga terbentuk kristal baru yang berbeda dengan
struktur bahan asalnya. Di samping itu, dengan menguapnya produk dekomposisi pada
proses pirolisis semakin menguntungkan karena bila tidak menguap, komponen
tersebut akan menutupi celah di antara lembaran kristal arang, sehingga kinerja arang
akan berkurang (Villegas & Valle 2001). Oleh karena itu, proses pirolisis suatu bahan
dapat mengubah pola struktur permukaannya.
4.2.4 Asap Cair
4.2.4.1 Rendemen
Rendemen merupakan salah satu parameter yang penting untuk mengetahui
hasil dari suatu proses. Asap cair pada penelitian ini dihasilkan melalui proses
kondensasi asap yang dikeluarkan dari reaktor pirolisis. Selama proses pirolisis terjadi
penguapan berbagai macam senyawa kimia. Data asap cair yang dihasilkan pada proses
pirolisis sampah organik disajikan pada Tabel 22 dan 23.
Rendemen asap cair yang dihasilkan pada proses pirolisis sampah organik padat
selama 5 jam dengan reaktor listrik berkisar 18,51-51,14% (Tabel 22), sedangkan yang
dihasilkan pada pirolisis dengan reaktor drum berkisar 30,33-37,83% (Tabel 23).
Rendemen asap cair yang dihasilkan pada ke dua jenis reaktor di atas lebih rendah
dibanding hasil asap cair yang diperoleh Tranggono et al. (1996) pada pirolisis
beberapa jenis kayu dengan kisaran suhu 350-400 oC yang menghasilkan asap cair
dengan rendemen rata-rata 49,10%.
Tabel 22 Data rendemen dan warna asap cair hasil pirolisis dengen reaktor listrik

Suhu pirolisis
(oC)
150

Rendemen
(%b/b)
18,51

250

37,01

Coklat tua

350

42,09

Coklat tua

450

45,33

Merah kecoklatan

550

51,14

Merah kecoklatan

Percobaan

Warna
Coklat kekuningan

86
Tabel 23 Data rendemen dan warna asap cair hasil pirolisis dengen reaktor drum

Suhu pirolisis
(oC)
350

Rendemen
(%b/b)
33,15

Coklat kekuningan

355

34,67

Coklat kekuningan

375

32,87

Coklat kekuningan

405

37,83

Merah kecoklatan

505

31,24

Merah kecoklatan

510

30,33

Merah kecoklatan

Percobaan

Warna

Jumlah rendemen asap cair yang dihasilkan pada proses pirolisis sangat
bergantung pada jenis bahan baku yang digunakan. Persentase rendemen yang
diperoleh juga sangat bergantung pada sistim kondensasi yang dipakai. Kondisi ini
sesuai dengan yang dikemukakan Tranggono et al (1996), bahwa untuk pembentukan
asap cair digunakan air sebagai medium pendingin agar proses pertukaran panas dapat
terjadi dengan cepat. Pirolisis pada suhu yang terlalu tinggi dan waktu yang terlalu
lama akan menyebabkan pembentukan asap cair berkurang karena suhu dalam air
pendingin semakin meningkat sehingga asap yang dihasilkan tidak terkonsensasi secara
optimal (sempurna). Proses kondensasi akan berlangsung optimal apabila air di dalam
sistim pendingin dialiri secara kontinyu sehingga suhu dalam sistim pendingin tidak
meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Demirbas (2005) bahwa asap cair hasil
proses pirolisis bahan kayu dapat dihasilkan secara maksimum jika proses
kondensasinya berlangsung secara sempurna.

4.2.4.2 Kualitas asap cair


Kualitas asap cair sangat bergantung pada komposisi senyawa-senyawa yang
dikandungnya. Kriteria mutu asap cair baik cita rasa maupun aroma sebagai ciri khas
yang dimiliki asap ditentukan oleh golongan senyawa yang dikandungnya. Senyawa
yang terdapat di dalam asap cair sangat bergantung pada kondisi pirolisis dan bahan
baku yang digunakan (Nakai et al. 2006). Di samping itu, proses pirolisis bahan yang
tidak sempurna dapat menyebabkan komponen-komponen kimia yang dihasilkan dalam
asap cair kurang lengkap. Komponen kimia yang telah diidentifikasi pada asap cair

87
antara lain dijumpai senyawa-senyawa golongan fenol, karbonil, asam-asam
karboksilat, furan, hidrokarbon, alkohol, dan lakton (Girard 1992).

1. Kadar Fenol
Identifikasi senyawaan fenolik dalam asap cair hasil pirolisis sampah organik
padat diharapkan dapat mewakili kriteria mutunya, sehingga sasaran penggunaannya
akan lebih tepat. Data hasil analisis rata-rata kadar total fenol asap cair disajikan pada
Tabel 24 dan 25.
Tabel 24 Data total fenol asap cair hasil pirolisis dengan reaktor listrik
Percobaan
1
2
3
4
5

Suhu pirolisis
(oC)
150
250
350
450

Kadar total fenol


(mg/l)
46,80
143,00
152,39
158,70

550

124,60

Tabel 25 Data total fenol asap cair hasil pirolisis dengan reaktor drum
Percobaan
1
2
3
4
5
6

Suhu pirolisis
(oC)
350
355
375
405
505
510

Kadar total fenol


(mg/l)
61,50
70,20
82,50
128,27
223,95
129,19

Kadar total fenol dalam asap cair hasil pirolisis sampah organik pasar dengan
reaktor listrik berkisar 46,80-158,70 mg/l dan kadar yang paling tinggi diperoleh pada
pirolisis dengan suhu 450 oC (Tabel 24), sedangkan hasil pirolisis dengan reaktor drum
berkisar 61,50-223,95 mg/l dan kadar yang paling tinggi diperoleh pada pirolisis
dengan suhu 505 oC (Tabel 25). Faktor utama yang menentukan kadar total fenol dalam
asap cair adalah banyaknya asap yang dihasilkan selama proses pirolisis berlangsung.
Jumlah asap yang dihasilkan sangat bergantung pada bahan baku yang
digunakan dan suhu yang dicapai selama proses. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan Djatmiko et al. (1985) bahwa keberadaan senyawa-senyawa kimia dalam
asap cair dipengaruhi oleh kandungan kimia dari bahan baku yang digunakan dan suhu

88
yang dicapai pada proses pirolisis. Berkaitan dengan hal tersebut, Byrne & Nagle
(1997) mengatakan penguapan, penguraian atau dekomposisi komponen kimia kayu
pada proses pirolisis terjadi secara bertahap, yaitu pada suhu 100-150 oC hanya terjadi
penguapan molekul air; pada suhu 200 oC mulai terjadi penguraian hemiselulosa; pada
suhu 240 oC mulai terdekomposisi selulosa menjadi larutan pirolignat, gas CO, CO2,
dan sedikit ter; pada suhu 240-400 oC, terjadi proses dekomposisi selulosa dan lignin
menjadi larutan pirolignat, gas CO, CH4, H2 dan ter lebih banyak; dan pada suhu di atas
400 oC terjadi pembentukan lapisan aromatik.
Kadar total fenol asap cair dalam kondisi terbaik pada penelitian ini, yaitu
2,24x10-2 %. Nilai ini sangat jauh berbeda dengan kadar total fenol yang diperoleh
Tranggono, et al. (1996) pada proses pirolisis berbagai jenis kayu pada suhu 350-400
o

C dengan menghasilkan total fenol rata-rata 2,90%. Kadar senyawa fenolik yang

didapat Yulistiani (1997) dalam asap cair hasil pirolisis tempurung kelapa adalah
1,28%, sedangkan Nurhayati (2000) berhasil memperoleh kadar fenol 3,24% dalam
asap cair hasil pirolisis kayu tusam. Kadar total fenol yang lebih tinggi didapat oleh
Darmadji (1995), yaitu berkisar 2,10-5,13%. Demirbas (2005) telah berhasil
mengidentifikasi 2 macam senyawa fenol dalam asap cair hasil pirolisis bahan kayu
pada suhu 735 oK, yaitu 2,6-dimetoksifenol dan 3-metil-2,6-dimetoksifenol dengan
kadar kadar berturut-turut 0,74 dan 0,62%, sedangkan Tranggono et al. (1997) telah
mengidentifikasi 5 macam senyawa-senyawa golongan fenol dalam asap cair hasil
pirolisis berbagai jenis kayu pada suhu 350-400 oC, yaitu 2-metoksifenol, 4-metil-2metoksifenol, 4-etil-2-metoksifenol, 2,6-dimetoksifenol, dan 2,5-dimetoksifenol.
2. Nilai pH
Nilai pH merupakan salah satu parameter kualitas dari asap cair yang
dihasilkan. Pengukuran nilai pH dalam asap cair yang dihasilkan bertujuan untuk
mengetahui tingkat proses penguraian bahan baku secara pirolisis, juga untuk
menghasilkan asam alami berupa asap. Hasil pengukuran nilai pH rata-rata dalam asap
cair hasil pirolisis sampah organik pasar ditunjukkan pada Tabel 26 dan 27. Asap cair
yang dihasilkan pada proses pirolisis sampah organik padat baik dengan menggunakan
reaktor listrik (Tabel 26) maupun reaktor drum (Tabel 27) ditinjau dari nilai pH-nya
tergolong asam. Akan tetapi tingkat keasaman asap cair yang dihasilkan pada proses
pirolisis dengan reaktor listrik lebih tinggi dibandingkan hasil pirolisis dengan reaktor
drum. Hasil ini disebabkan karena penguraian atau dekomposisi komponen kimia

89
dalam masing-masing bahan baku semakin sempurna dengan meningkatnya suhu. Nilai
pH yang terendah pada pirolisis dengan reaktor listrik ditunjukkan pada suhu pirolisis
150 oC, yaitu 3,02, sedangkan hasil pirolisis dengan reaktor drum ditunjukkan pada
suhu pirolisis 405 oC, yaitu 3,80.
Tabel 26 Rataan nilai pH asap cair hasil pirolisis dengan reaktor listrik
Percobaan
1
2
3
4
5

Suhu pirolisis
(oC)
150
250
350
450
550

pH
3,02
3,13
3,23
3,36
3,19

Tabel 27 Rataan nilai pH asap cair hasil pirolisis dengan reaktor drum
Percobaan
1
2
3
4
5
6

Suhu pirolisis
(oC)
350
355
375
405
505
510

pH
4,25
4,09
4,78
3,80
4,10
3,84

Jika nilai pH rendah berarti asap yang dihasilkan berkualitas tinggi terutama
dalam hal penggunaannya sebagai bahan pengawet makanan (Nurhayati 2000). Nilai
pH yang rendah secara keseluruhan berpengaruh terhadap nilai awet dan daya simpan
produk asap ataupun sifat organoleptiknya. Ditinjau dari tingkat keasaman untuk
penggunaannya sebagai pengawet, maka asap cair hasil pirolisis dengan reaktor listrik
relatif berkualitas lebih baik dibandingkan dengan reaktor drum karena bersifat lebih
asam sehingga nilai awetnya lebih lama. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Pszczola (1995) bahwa asap cair dapat digunakan sebagai bahan pengawet apabila
mengandung senyawaan fenolik dan asam yang berperan sebagai antibakteri dan
antioksidan. Lebih lanjut, Bukle et al. (1985) menyatakan asap cair yang bersifat asam
dapat digunakan sebagai pengawet karena asam berfungsi menurunkan nilai pH,
sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme.

90
4.2.4.3 Komponen kimia asap cair
Asap cair yang dihasilkan pada proses pirolisis sampah organik pasar terlebih
dahulu dilarutkan dalam pelarut metanol untuk selanjutnya diidentifikasi kandungan
kimianya dengan teknik GCMS menggunakan kolom kapiler HP Ultra-2 dengan suhu
injektor 250 oC, gas pembawa helium dan kecepatan alir 0,6 l/menit serta volume
injeksinya 1 l. Kromatogram GCMS dari asap cair yang dihasilkan pada penelitian ini

Kelimpahan

ditunjukkan pada Gambar 20.

Waktu retensi (menit)


Gambar 20 Kromatogram asap cair hasil pirolisis sampah organik pasar
Gambar 20 memperlihatkan bahwa asap cair yang dihasilkan pada proses
pirolisis sampah organik pasar menunjukkan pemisahan komponen kimianya melalui
puncak-puncak kromatogram yang muncul pada GC. Puncak-puncak tersebut mulai
muncul pada waktu retensi 3,04 hingga 47,44 menit dan berdasarkan chemstation data
system yang dipunyai alat tersebut teridentifikasi sebanyak 61 senyawa penyusun asap
cair hasil pirolisis sampah organik pasar (Lampiran 10). Dari data tersebut terdapat dua
senyawa dengan konsentrasi tertinggi, yaitu 1,1-dimetil hidrazin (8,98%), dan 2,6dimetoksi fenol (8,68%). Di antara ke-61 senyawa yang teridentifikasi pada asap cair
terdapat 17 senyawa (27,9%) golongan keton, 14 senyawa (23%) yang merupakan
golongan fenolik, 8 senyawa (13%) golongan asam karboksilat, 7 senyawa (11,5%)
golongan alkohol, 4 senyawa (6,6%) golongan ester, 3 senyawa (4,9%) golongan
aldehid dan lain-lain rata-rata 1 senyawa (1,6%).

91
Hasil ini dari sisi komponen penyusun asap cair tidak jauh berbeda dengan yang
diperoleh Maga (1998) dalam Firmansyah (2004), yang melakukan pirolisis bahan kayu
memperoleh air (11-92%), senyawa fenolik (0,2-2,9%), asam-asam organik (2,8-4,5%),
dan karbonil (2,6-4,6%). Demikian juga halnya dengan hasil penelitian Bratzler et al.
(1969), bahwa komponen utama kondensat asap kayu, yaitu karbonil (24,6%), asam
karboksilat (39,9%), dan senyawaan fenolik (15,7%). Lebih lanjut, Tranggono et al.
(1997) sudah mendapatkan tujuh macam komponen kimia utama dalam asap cair
tempurung kelapa, yaitu senyawaan fenolik, 2-metoksifenol, 2-metoksi-4-metilfenol, 4etil-2-metoksi-fenol, 2,6-dimetoksifenol, 2,5-dimetoksifenol, dan 3-metil-1,2-siklopentadion, yang larut dalam eter.
Sementara Yulistiani (1997) mendapatkan kandungan senyawaan fenolik
sebesar 1,28% dalam asap cair tempurung kelapa. Komponen fenol tertinggi (3,24%)
terdapat pada asap cair kayu tusam, kadar asam asetat tertinggi (6,33%) kayu bakau,
dan kadar alkohol tertinggi (2,94%) pada kayu jati. Hasil penelitian lain dilaporkan
oleh Wanjala et al. (2002) dalam Chacha et al. (2005) bahwa asap cair dari akar kayu
Erythrina latissima mengandung beberapa senyawa alkaloid, stilbenoid, lignan, dan
flavonoid. Berdasarkan hasil tersebut, dapat diyakini bahwa pada hampir semua asap
cair dari berbagai jenis kayu dijumpai adanya senyawa golongan fenolik. Oleh karena
itu, asap cair dapat digunakan sebagai salah satu bahan pengawet alami. Hal ini sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Pszczola (1995) bahwa asap cair yang mengandung
sejumlah komponen fenolik dan asam dapat digunakan sebagai bahan pengawet.
Pada asap cair yang dihasilkan pada penelitian ini, selain diidentifikasi terdapat
senyawaan fenolik, juga diketahui adanya senyawa golongan lakton. Oleh karena itu,
asap cair selain dapat digunakan sebagai pengawet juga mempunyai potensi sebagai
pengendali hama. Menurut Nurhayati (2000), asap cair juga dapat digunakan sebagai
pestisida karena umumnya mengandung senyawa toksik terutama golongan lakton.
Narasimhan et al. (2005) telah menemukan dua senyawa turunan lakton, yaitu
salanobutirolakton dan desasetilsalanobutirolakton yang aktif sebagai antifeedant bagi
serangga. Di samping itu, Frackowiak et al. (2006), juga melaporkan senyawa turunan
lakton, yaitu gamma butirolakton berperan sebagai antifeedant bagi serangga.

92
4.3 Pembuatan Arang Aktif
4.3.1 Karakteristik Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan pada percobaan ini adalah arang hasil pirolisis
sampah organik pasar dengan menggunakan reaktor drum (Gambar 9b) dengan suhu
pirolisis 500 oC dalam waktu 5 jam. Arang yang diperoleh pada kondisi ini
merupakan arang berkualitas terbaik dari bahan baku sampah organik pasar yang
mendekati persyaratan SNI-01-1682-1996 kecuali untuk parameter kadar abu. Arang
yang akan digunakan pada setiap perlakuan aktivasi terlebih dahulu dicacah secara
manual agar ukurannya lebih kecil, sehingga kontak dengan panas pada saat diaktivasi
akan lebih merata dan cepat.
4.3.2 Identifikasi Struktur Arang Aktif
4.3.2.1 Identifikasi gugus fungsi arang aktif
Hasil analisis spektrum serapan IR pada arang aktif dapat memberi petunjuk
tentang perubahan gugus fungsi senyawa akibat perlakuan akitivasi baik pengaruh
aktivator, waktu, suhu maupun interaksi antar faktor tersebut.
1. Aktivasi arang dengan aktivator panas
Spektrum serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi dengan menggunakan
aktivator panas ditunjukkan pada Gambar 21.
W1S1

Transmisi (%)

W2S1
W1S2
W2S2

Bilangan gelombang (cm-1)


W1 = waktu aktivasi 60 menit
S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Gambar 21 Spektrum serapan IR arang aktif hasil aktivasi panas

93
Tabel 28 Bilangan gelombang serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi panas
Bilangan gelombang
(cm-1)

Perlakuan
W1S1

3429,2 2858,3 1423,4 1053,1 875,6

W2S1

3394,5 2923,9 2854,5 1743,5 1454,2 1033,8 - 879,5

W1S2

3425,3 2854,5 1419,5 1045,3 875,6

W2S2

3417,6 2923,9 2854,5 1743,5 1427,2 1045,3 875,6

Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit


S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Berdasarkan Gambar 21 dan data Tabel 28 diperlihatkan bahwa arang aktif hasil
aktivasi dengan panas cenderung makin bertambah daerah serapannya dengan semakin
lamanya waktu aktivasi, sedangkan dengan semakin meningkatnya suhu aktivasi hanya
terjadi pergeseran daerah serapannya. Gugus-gugus fungsi yang teridentifikasi pada
perlakuan aktivasi arang dengan aktivator panas secara umum tidak jauh berbeda
dengan gugus-gugus fungsi dari bahan bakunya (Gambar 17 dan Tabel 19), kecuali
pada perlakuan waktu aktivasi selama 120 menit baik pada suhu 700 maupun 800 oC
munculnya serapan IR di daerah bilangan gelombang 1743,5 cm-1 yang berarti
terbentuknya gugus karbonil (C=O). Hal ini dapat terjadi akibat panas yang diberikan
dalam waktu lebih lama menyebabkan sebagian senyawa selulosa dan/atau lignin
terdekomposisi menjadi senyawa karbonil, terutama golongan aldehid dan asam-asam
karboksilat. Hasil ini sesuai dengan yang dikemukakan Pastorova et al. (1994), bahwa
akibat panas dalam waktu yang lama sebagian molekul selulosa dan lignin akan terurai
melalui mekanisme radikal membentuk senyawa baru yang lebih stabil.

2. Aktivasi arang dengan aktivator uap H2O


Spektrum serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi dengan menggunakan
aktivator uap H2O ditunjukkan pada Gambar 22.

94

Transmisi (%)

W1S1
W2S1
W1S2
W2S2

Bilangan gelombang (cm-1)


W1 = waktu aktivasi 60 menit
S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Gambar 22 Spektrum serapan IR arang aktif hasil aktivasi uap H2O


Tabel 29 Bilangan gelombang serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi uap H2O
Bilangan gelombang
(cm-1)

Perlakuan
W1S1

3417,6 2850,6 1450,4 1126,4 875,6

W2S1

3425,3 2923,9 1427,2 1161,1 875,6

W1S2

3444,6 2854,5 1442,7 1164,9 875,9

W2S2

3409,9 2920,0 1427,2 1060,8 875,6

Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit


S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Dari Gambar 22 dan data Tabel 29 dapat diketahui bahwa arang aktif hasil
aktivasi dengan uap H2O hampir semua perlakuan waktu dan suhu aktivasi cenderung
mempunyai daerah serapan yang sama. Akan tetapi dibandingkan dengan serapan IR
pada bahan bakunya (Gambar 17 dan Tabel 19) terdapat daerah serapan yang hilang di
sekitar bilangan gelombang 1577,7 cm-1 pada arang aktif ini. Namun serapan IR arang
aktif pada semua perlakuan ini menunjukkan pita serapan yang lebih kuat di daerah
sekitar 1450,4-1427,2 cm-1, yang berarti perlakuan ini meningkatkan konsentrasi C-H
dari senyawa alifatik. Di samping itu, semua perlakuan ini juga memperkuat

95
keberadaan gugus hidroksil (OH) yang ditunjukkan dengan tidak berubahnya secara
berarti pita serapan di daerah 3444,6-3409,9 cm-1. Hal ini dapat terjadi karena uap H2O
pada suhu aktivasi yang tinggi dengan waktu lebih lama akan terurai menjadi radikal
hidrogen (oH) dan hidroksil (oOH) sehingga memungkinkan terjadi reaksi dengan atom
karbon yang dapat meningkatkan konsentrasi OH. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan Ercin & Yurum (2003), bahwa selama proses karbonisasi terjadi
perubahan gugus fungsi yang diikuti oleh pembentukan reaksi baru. Arang aktif hasil
aktivasi dengan uap H2O menunjukkan separan di daerah bilangan gelombang 40003000 cm-1 lebih kuat dibandingkan dengan arang aktif hasil aktivasi panas sehingga
tingkat kepolarannya relatif lebih besar.

3. Aktivasi arang dengan aktivator larutan KOH 0,5M


Spektrum serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi dengan menggunakan
aktivator larutan KOH 0,5M ditunjukkan pada Gambar 23.

Transmisi (%)

W1S1
W2S1
W1S2
W2S2

Bilangan gelombang (cm-1)


W1 = waktu aktivasi 60 menit
S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Gambar 23 Spektrum serapan IR arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M


Tabel 30 Bilangan gelombang serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M

96
Bilangan gelombang
(cm-1)

Perlakuan
W1S1

3436,9 2854,5 1639,4 1427,2 1130,2 875,6

W2S1

3448,5 2923,9 1639,4 1423,4 1083,9 875,6

W1S2

3444,6 2923,9 1639,4 1461,9 1049,2 867,9

W2S2

3448,5 2923,9 1639,4 1404,1 1060,8 875,6

Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit


S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Berdasarkan Gambar 23 dan data Tabel 30 diperlihatkan bahwa arang aktif hasil
aktivasi dengan larutan KOH 0,5M cenderung mempunyai serapan di daerah bilangan
gelombang yang sama artinya gugus-gugus fungsi pada arang aktif ini tidak berbeda
akibat perbedaan waktu dan suhu aktivasi. Akan tetapi pita serapan IR arang aktif pada
semua perlakuan ini ada yang bertambah, yaitu di daerah 1639,4 cm-1 dibandingkan
dengan pita serapan IR pada bahan bakunya (Gambar 17 dan Tabel 19), sehingga
akibat perlakuan tersebut mengindikasikan terbentukan gugus C=O pada arang aktif
yang dihasilkan. Namun daerah serapan lainnya cenderung sama dengan bahan
bakunya. Di samping itu, akibat perlakuan ini, pita serapan di daerah 3448,5 - 3436,9
cm-1 semakin kuat, sehingga arang aktif yang dihasilkan mengandung konsentrasi OH
yang besar, akibatnya arang aktif lebih bersifat polar.

4. Aktivasi arang dengan aktivator larutan KOH 1M


Spektrum serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi dengan menggunakan
aktivator larutan KOH 1M ditunjukkan pada Gambar 24.

97

Transmisi (%)

W1S1
W2S1
W1S2
W2S2

Bilangan gelombang (cm-1)


W1 = waktu aktivasi 60 menit
S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Gambar 24 Spektrum serapan IR arang aktif hasil aktivasi KOH 1M


Tabel 31 Bilangan gelombang serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi KOH 1M
Bilangan gelombang
(cm-1)

Perlakuan
W1S1

3429,2 2923,9 1631,7 1384,8 1053,1 867,9

W2S1

3448,5 2923,9 1639,4 1461,9 1064,6 867,9

W1S2

3433,1 2923,9 1627,8 1388,7 1114,8 875,6

W2S2

3448,5 2923,9 1639,4 1404,1 1083,9 867,9

Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit


S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Dari Gambar 24 dan data Tabel 31 ditunjukkan bahwa arang aktif hasil aktivasi
dengan larutan KOH 1M relatif tidak berbeda dengan arang aktif hasil aktivasi dengan
larutan KOH 0,5M, kecuali tingkat serapan IR-nya pada beberapa daerah. Hal ini
berarti tingkat konsentrasi larutan KOH cenderung tidak memberi pengaruh terhadap
perubahan gugus-gugus fungsi pada arang aktif yang dihasilkan. Arang aktif hasil
aktivasi dengan KOH mengandung lebih banyak gugus OH dan juga residu kalium

98
oksida di dalam strukturnya sehingga tingkat kepolarannya lebih tinggi dibandingkan
dengan arang aktif hasil aktivasi uap H2O (Gambar 22) dan panas (Gambar 21)
terutama di daerah bilangan gelombang 4000-3000 cm-1. Arang aktif ini bersifat basa.

5. Aktivasi arang dengan aktivator larutan H3PO4 0,5M


Spektrum serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi dengan menggunakan
aktivator l larutan H3PO4 0,5M ditunjukkan pada Gambar 25.

Transmisi (%)

W1S1
W2S1
W1S2
W2S2

Bilangan gelombang (cm-1)


W1 = waktu aktivasi 60 menit
S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Gambar 25 Spektrum serapan IR arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M


Tabel 32 Bilangan gelombang serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M
Bilangan gelombang
(cm-1)

Perlakuan
W1S1

3433,1 2854,5 1627,8 1527,5 1083,9

W2S1

3433,1 2854,5 1627,8 1407,9 1083,9

W1S2

3436,9 2854,5 1627,8 1404,1 1083,9

W2S2

3433,1 2854,5 1735,8 1438,8 1118,6

Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit


S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

99
Berdasarkan Gambar 25 dan data Tabel 32 diperlihatkan bahwa arang aktif hasil
aktivasi dengan larutan H3PO4 0,5M cenderung mempunyai serapan di daerah bilangan
gelombang yang sama dengan arang aktif hasil aktivasi dengan larutan KOH 0,5 atau
1M. Namun, yang berbeda hanyalah tingkatan serapannya dan terjadinya sedikit
pergeseran serapan ke arah bilangan gelombang yang lebih rendah pada arang aktif ini.
Dengan demikian gugus-gugus fungsi pada arang aktif ini relatif tidak berbeda
dibandingkan hasil aktivasi larutan KOH baik pada konsentrasi 0,1 maupun 1M, namun
cenderung berbeda dibandingkan dengan arang aktif hasil aktivasi uap H2O dan panas
terutama serapan pada daerah bilangan gelombang 4000-3000 cm-1. maupun akibat
pengaruh waktu dan suhu aktivasinya. Arang aktif ini mengandung residu P2O3 atau
P2O5 pada strukturnya sehingga tingkat kepolarannya relatif tinggi dan bersifat asam.

6. Aktivasi arang dengan aktivator larutan H3PO4 1M


Spektrum serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi dengan menggunakan
aktivator larutan H3PO4 1M ditunjukkan pada Gambar 26.

Transmisi (%)

W1S1
W2S1
W1S2
W2S2

Bilangan gelombang (cm-1)


W1 = waktu aktivasi 60 menit
S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Gambar 26 Spektrum serapan IR arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M

100
Tabel 33 Bilangan gelombang serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M
Bilangan gelombang
(cm-1)

Perlakuan
W1S1

3433,1 2854,5 1627,8 1407,9 1083,9

W2S1

3448,5 2854,5 1639,4 1400,2 1110,9

W1S2

3433,1 2854,5 1627,8 1400,2 1083,9

W2S2

3444,6 2854,5 1635,5 1407,9 1083,9

Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit


S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Dari Gambar 26 dan data Tabel 33 ditunjukkan bahwa gugus-gugus fungsi


arang aktif hasil aktivasi larutan H3PO4 1M relatif tidak berbeda dengan arang aktif
hasil aktivasi larutan H3PO4 0,5M, kecuali tingkat serapan IR-nya pada beberapa
daerah. Hal ini berarti tingkat konsentrasi larutan H3PO4 cenderung tidak memberi
pengaruh terhadap gugus-gugus fungsi pada arang aktif yang dihasilkan. H3PO4
merupakan asam lemah yang sering digunakan sebagai salah satu aktivator pada
pembuatan arang aktif untuk menghasilkan arang aktif yang bersifat asam dengan
tingkat kepolaran lebih tinggi sehingga penggunaannya sebagai adsorben lebih optimal.

4.3.2.2 Identifikasi pola struktur kristalit arang aktif


Pola struktur kristalit dari arang aktif dapat ditelusuri dengan difraktometri
XRD. Analisis ini bertujuan mengetahui struktur kristalit suatu bahan, dan perubahan
strukturnya akibat perlakuan yang diberikan. Dengan analisis ini dapat diketahui
perubahan bentuk kristalit sebagai akibat dari perlakuan aktivator yang diikuti dengan
perubahan suhu dan waktu aktivasi.

1. Pola struktur arang aktif hasil aktivasi dengan panas


Hasil analisis dengan XRD arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi
arang dengan panas ditunjukkan pada Gambar 27 dan Tabel 34.

101

Intensitas

W1S1

W2S1

W1S2

W2S2

Sudut difraksi (derajat)


W1 = waktu aktivasi 60 menit
S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Gambar 27 Difraktogram arang aktif hasil aktivasi panas


Tabel 34 Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (), jarak antar lapisan (d), tinggi
(Lc), dan lebar (La) antar lapisan serta jumlah (N) lapisan aromatik arang
aktif hasil aktivasi panas pada berbagai suhu dan waktu
Perlakuan

X
(%)

d1
(nm)

d2
(nm)

Lc
(nm)

La
(nm)

W1S1

51,57

22

0,404

43

0,210

4,031

9,978

8,461

W2S1

43,46

23

0,386

43

0,210

2,677

6,935

5,664

W1S2

45,21

24

0,370

43

0,210

4,031

10,895

8,566

W2S2

23,12

24

0,370

43

0,210

3,214

8,677

8,409

Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit


S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Berdasarkan Gambar 27 dan data Tabel 34 ditunjukkan bahwa jarak antar


lapisan aromatik arang aktif cenderung semakin menyempit baik akibat pengaruh
peningkatan suhu maupun lamanya waktu aktivasi. Semakin lama waktu aktivasi arang
dengan aktivator panas menyebabkan tinggi dan lebar antar lapisan aromatiknya
semakin rendah, sedangkan semakin tinggi suhunya cenderung menyebabkan semakin
tinggi pula tinggi dan lebar antar lapisan aromatik. Di samping itu, jumlah lapisan

102
aromatik cenderung meningkat dengan meningkatnya suhu aktivasi, dan sebaliknya
dengan semakin lama waktu aktivasi. Hal tersebut menggambarkan bahwa terjadi
penyusutan struktur kristalit arang aktif yang semakin teratur sehingga derajat
kristalinitasnya cenderung menurun. Hasil ini bertolak belakang dengan penelitian yang
dilakukan oleh Saito & Arima (2002, 2007) dan Schukin et al. (2002) yang
mendapatkan derajat kristalinitas semakin meningkat akibat terjadinya peningkatan
suhu aktivasi. Pada aktivasi arang dengan aktivator panas yang menunjukkan
peningkatan derajat kristalinias maksimum ditunjukkan pada waktu aktivasi selama 60
menit dan suhu aktivasinya 700 oC.

2. Pola struktur arang aktif hasil aktivasi uap H2O


Hasil analisis dengan XRD arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi
arang dengan uap H2O ditunjukkan pada Gambar 28 dan Tabel 35.

Intensitas

W1S1

W2S1

W1S2
W2S2

Sudut difraksi (derajat)


W1 = waktu aktivasi 60 menit
S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Gambar 28 Difraktogram arang aktif hasil aktivasi uap H2O

103
Tabel 35 Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (), jarak antar lapisan (d), tinggi
(Lc), dan lebar (La) antar lapisan serta jumlah (N) lapisan aromatik arang
aktif hasil aktivasi uap H2O pada berbagai suhu dan waktu
Perlakuan

X
(%)

d1
(nm)

d2
(nm)

Lc
(nm)

La
(nm)

W1S1

39,87

24

0,370

43

0,210

3,212

8,681

12,703

W2S1

45,06

24

0,370

43

0,210

3,212

8,681

8,566

W1S2

44,67

23

0,386

43

0,210

4,031

10,443

6,316

W2S2

46,16

24

0,370

43

0,210

2,677

7,229

8,409

Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit


S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Dari Gambar 28 dan data Tabel 35 ditunjukkan bahwa jarak antar lapisan
aromatik arang aktif hasil aktivasi dengan aktivator uap H2O cenderung tidak berbeda
walaupun ditingkatkan suhu maupun waktu aktivasinya. Semakin tinggi suhu dan
lamanya waktu aktivasi cenderung menyebabkan tinggi dan lebar antar lapisan
aromatik semakin rendah. Di samping itu, jumlah lapisan aromatik cenderung
meningkat dengan meningkatnya suhu aktivasi selama 60 menit. Hal tersebut
menggambarkan bahwa terjadi penyusutan struktur kristalit arang aktif ke arah yang
semakin teratur sehingga derajat kristalinitasnya cenderung meningkat. Hasil ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Saito & Arima (2002, 2007) dan Schukin et al.
(2002) yang mendapatkan derajat kristalinitas semakin meningkat akibat terjadinya
peningkatan suhu aktivasi. Pada aktivasi arang dengan aktivator uap H2O yang
menunjukkan peningkatan derajat kristalinitas maksimum ditunjukkan pada waktu
aktivasi selama 120 menit dan suhunya 800 oC.

3. Pola struktur arang aktif hasil aktivasi larutan KOH 0,5M


Hasil analisis dengan XRD arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi
arang dengan larutan KOH 0,5M ditunjukkan pada Gambar 29 dan Tabel 36.

104

Intensitas

W1S1

W1S2

W2S1

W2S2

Sudut difraksi (derajat)


W1 = waktu aktivasi 60 menit
S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Gambar 29 Difraktogram arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M


Tabel 36 Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (), jarak antar lapisan (d), tinggi
(Lc), dan lebar (La) antar lapisan serta jumlah (N) lapisan aromatik arang
aktif hasil aktivasi KOH 0,5M pada berbagai suhu dan waktu
Perlakuan

X
(%)

d1
(nm)

d2
(nm)

Lc
(nm)

La
(nm)

W1S1

41,50

20

0,444

43

0,210

3,068

6,909

8,445

W2S1

41,17

20

0,444

43

0,210

3,068

6,909

8,445

W1S2

44,83

22

0,404

43

0,210

2,667

6,602

7,036

W2S2

36,48

22

0,404

43

0,210

2,667

6,602

7,036

Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit


S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Berdasarkan Gambar 29 dan data Tabel 36 ditunjukkan bahwa jarak antar


lapisan aromatik arang aktif cenderung semakin menyempit dengan semakin
meningkatnya suhu aktivasi, sedangkan lamanya waktu aktivasi tidak berpengaruh.
Semakin tinggi suhu aktivasi arang dengan aktivator larutan KOH 0,5M menyebabkan

105
baik tinggi maupun lebar antar lapisan aromatiknya semakin rendah, sedangkan
lamanya waktu aktivasi tidak berpengaruh. Demikian juga halnya dengan jumlah
lapisan aromatik cenderung berkurang dengan semakin meningkatnya suhu aktivasi.
Hal tersebut menggambarkan bahwa terjadi penyusutan struktur kristalit arang aktif
yang semakin teratur sehingga derajat kristalinitasnya cenderung menurun. Hasil ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Saito & Arima (2002, 2007) dan Schukin
et al. (2002) yang mendapatkan derajat kristalinitas semakin meningkat akibat
terjadinya peningkatan suhu aktivasi. Pada aktivasi arang dengan aktivator larutan
KOH 0,5M yang menunjukkan peningkatan derajat kristalinitas secara maksimum
ditunjukkan pada waktu aktivasi selama 60 menit dan suhu aktivasinya 800 oC.

4. Pola struktur arang aktif hasil aktivasi larutan KOH 1M


Hasil analisis dengan XRD arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi
arang dengan larutan KOH 1M ditunjukkan pada Gambar 30 dan Tabel 37.

Intensitas

W1S1

W1S2

W2S1

W2S2

Sudut difraksi (derajat)


W1 = waktu aktivasi 60 menit
S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Gambar 30 Difraktogram arang aktif hasil aktivasi KOH 1M


Tabel 37 Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (), jarak antar lapisan (d), tinggi

106
(Lc), dan lebar (La) antar lapisan serta jumlah (N) lapisan aromatik arang
aktif hasil aktivasi KOH 1M pada berbagai suhu dan waktu
Perlakuan

X
(%)

d1
(nm)

d2
(nm)

Lc
(nm)

La
(nm)

W1S1

40,95

20

0,444

43

0,210

3,068

6,909

8,445

W2S1

30,40

23

0,386

43

0,210

3,645

9,443

10,132

W1S2

39,38

22

0,404

43

0,210

2,667

6,601

7,036

W2S2

44,42

22

0,404

43

0,210

2,667

6,601

7,036

Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit


S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Berdasarkan Gambar 30 dan data Tabel 37 ditunjukkan bahwa jarak antar


lapisan aromatik arang aktif cenderung semakin menyempit dengan semakin lamanya
waktu aktivasi pada suhu 700 oC, sedangkan lamanya waktu aktivasi pada suhu 800 oC
tidak berpengaruh. Semakin tinggi suhu aktivasi arang dengan aktivator larutan KOH
1M menyebabkan baik tinggi maupun lebar antar lapisan aromatiknya semakin rendah,
sedangkan lamanya waktu aktivasi pada suhu 700 oC cenderung meningkat dan pada
suhu 800 oC tidak berpengaruh. Demikian juga halnya dengan jumlah lapisan aromatik
cenderung meningkat dengan semakin lamanya waktu aktivasi pada suhu 700 oC dan
menurun pada suhu 800 oC. Hal tersebut menggambarkan bahwa terjadi penyusutan
struktur kristalit arang aktif yang semakin teratur sehingga derajat kristalinitasnya
cenderung menurun. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Saito &
Arima (2002, 2007) dan Schukin et al. (2002) yang mendapatkan derajat kristalinitas
semakin tinggi akibat terjadinya peningkatan suhu aktivasi. Pada aktivasi arang dengan
larutan KOH 1M yang menunjukkan peningkatan derajat kristalinitas secara maksimum
ditunjukkan pada waktu aktivasi selama 120 menit dan suhu aktivasinya 800 oC.

5. Pola struktur arang aktif hasil aktivasi larutan H3PO4 0,5M


Hasil analisis dengan XRD arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi
arang dengan larutan H3PO4 0,5M ditunjukkan pada Gambar 31 dan Tabel 38.

107

Intensitas

W1S1

W1S2

W2S1

W2S2

Sudut difraksi (derajat)


W1 = waktu aktivasi 60 menit
S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Gambar 31 Difraktogram arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M


Tabel 38 Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (), jarak antar lapisan (d), tinggi
(Lc), dan lebar (La) antar lapisan serta jumlah (N) lapisan aromatik arang
aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M pada berbagai suhu dan waktu
Perlakuan

X
(%)

d1
(nm)

d2
(nm)

Lc
(nm)

La
(nm)

W1S1

39,60

24

0,370

43

0,210

3,569

9,646

10,132

W2S1

38,79

23

0,386

43

0,210

3,563

9,231

9,286

W1S2

54,00

24

0,370

43

0,210

3,650

9,857

8,460

W2S2

44,99

24

0,370

43

0,210

3,650

9,857

8,460

Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit


S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Berdasarkan Gambar 31 dan data Tabel 38 ditunjukkan bahwa jarak antar


lapisan aromatik arang aktif cenderung tidak berubah baik pada peningkatan suhu
maupun lamanya waktu aktivasi. Semakin tinggi suhu maupun lamanya waktu aktivasi
arang dengan aktivator larutan H3PO4 0,5M menyebabkan lebar antar lapisan
aromatiknya semakin kecil, sedangkan tingginya cenderung tidak berbeda. Jumlah
lapisan aromatik cenderung meningkat akibat semakin meningkatnya suhu aktivasi. Hal

108
tersebut menggambarkan bahwa terjadi penyusutan struktur kristalit arang aktif yang
semakin teratur sehingga derajat kristalinitasnya cenderung meningkat. Hasil ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Saito & Arima (2002, 2007) dan Schukin et al.
(2002) yang mendapatkan derajat kristalinitas semakin meningkat akibat terjadinya
peningkatan suhu aktivasi. Pada aktivasi arang dengan larutan H3PO4 0,5M yang
menunjukkan peningkatan derajat kristalinitas secara maksimum ditunjukkan pada
waktu aktivasi selama 60 menit dan suhu aktivasinya 800 oC.

6. Pola struktur arang aktif hasil aktivasi larutan H3PO4 1M


Hasil analisis dengan XRD arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi
arang dengan larutan H3PO4 1M ditunjukkan pada Gambar 32 dan Tabel 39.

Intensitas

W1S1

W2S1
W1S2

W2S2

Sudut difraksi (derajat)


W1 = waktu aktivasi 60 menit
S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Gambar 32 Difraktogram arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M

109
Tabel 39 Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (), jarak antar lapisan (d), tinggi
(Lc), dan lebar (La) antar lapisan serta jumlah (N) lapisan aromatik arang
aktif hasil aktivasi H3PO4 1M pada berbagai suhu dan waktu
Perlakuan

X
(%)

d1
(nm)

d2
(nm)

Lc
(nm)

La
(nm)

W1S1

40,48

23

0,386

43

0,210

3,563

9,231

10,132

W2S1

41,14

23

0,386

43

0,210

3,563

9,231

10,132

W1S2

39,27

24

0,370

43

0,210

3,650

9,857

8,460

W2S2

33,51

24

0,370

43

0,210

3,650

9,857

8,460

Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit


S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Berdasarkan Gambar 32 dan data Tabel 39 ditunjukkan bahwa jarak antar


lapisan aromatik arang aktif cenderung menurun dengan semakin meningkatnya suhu
maupun lamanya waktu aktivasi. Semakin tinggi suhu aktivasi arang dengan aktivator
larutan H3PO4 1M menyebabkan tinggi antar lapisan aromatik semakin meningkat dan
lebarnya semakin mengecil. Jumlah lapisan aromatik cenderung meningkat akibat
semakin meningkatnya suhu aktivasi. Hal tersebut menggambarkan bahwa terjadi
penyusutan struktur kristalit arang aktif yang semakin teratur sehingga derajat
kristalinitasnya cenderung menurun. Hasil ini bertolak belakang dengan penelitian yang
dilakukan oleh Saito & Arima (2002, 2007) dan Schukin et al. (2002) yang
mendapatkan derajat kristalinitas semakin meningkat akibat terjadinya peningkatan
suhu aktivasi. Pada aktivasi arang dengan larutan H3PO4 1M yang menunjukkan
peningkatan derajat kristalinitas secara maksimum ditunjukkan pada waktu aktivasi
selama 120 menit dan suhu aktivasinya 700 oC.
4.3.2.2 Identifikasi pola struktur permukaan pori arang aktif
Pola struktur permukaan pori dari suatu bahan digambarkan dengan fotograph
SEM. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui topografi permukaan struktur suatu
bahan akibat perubahan suhu aktivasinya.
1. Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi panas
Hasil analisis dengan SEM arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi
arang dengan panas ditunjukkan pada Gambar 33 dan Tabel 40.

110

W1S1

W2S1

W1S2

W2S2

W1 = waktu aktivasi 60 menit


S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Gambar 33 Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi panas


Tabel 40 Diameter permukaan pori arang aktif hasil aktivasi panas
Perlakuan

Diameter pori
(m)

W1S1

2,6-5,8

W2S1

3,1-6,3

W1S2

1,8-4,7

W2S2

2,0-5,2

Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit


S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Berdasarkan Gambar 33 dan data Tabel 40 dapat diketahui bahwa topografi


permukaan arang aktif hasil aktivasi dengan panas menunjukkan kecenderungan
peningkatan jumlah dan diameter pori baik akibat peningkatan suhu maupun lamanya
waktu aktivasi. Diameter pori tertinggi terdapat pada perlakuan dengan suhu 700 oC
dan waktu aktivasi selama 120 menit. Pola ini sesuai dengan yang dilakukan oleh
Brasquet et al. (2000) yang membuat arang aktif dari serat rayon. Hal ini disebabkan
pada perlakuan tersebut suhu idealnya adalah 700 oC, akan tetapi pada suhu 800 oC
cenderung pori-pori tertutupi oleh debu akibat dekomposisi permukaannya sehingga
kualitasnya menjadi lebih rendah.

111

2. Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi uap H2O


Hasil analisis dengan SEM arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi
arang dengan uap H2O ditunjukkan pada Gambar 34 dan Tabel 41.

W1S1

W2S1

W1S2

W2S2

W1 = waktu aktivasi 60 menit


S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Gambar 34 Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi uap H2O


Tabel 41 Diameter permukaan pori arang aktif hasil aktivasi uap H2O
Perlakuan

Diameter pori
(m)

W1S1

3,5-7,1

W2S1

2,6-6,5

W1S2

3,8-7,7

W2S2

3,7-10,2

Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit


S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Berdasarkan Gambar 34 dan data Tabel 41 dapat diketahui bahwa topografi


permukaan arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O menunjukkan kecenderungan
peningkatan jumlah dan diameter pori, baik akibat peningkatan suhu maupun lamanya
waktu aktivasi. Hasil ini cenderung berbeda dengan arang aktif hasil aktivasi dengan

112
panas, yaitu diameter pori tertinggi terdapat pada perlakuan dengan suhu 800 oC dan
waktu aktivasi selama 120 menit. Pada aktivasi ini kadar abu meningkat akibat
dekomposisi permukaannya, kemungkinan disebabkan oleh pemberian uap air secara
kontinyu pada suhu 800oC cenderung molekul-molekul air terurai menjadi radikal
hidrogen dan hidroksil yang sangat reaktif dan bereaksi dengan gugus-gugus fungsi
pada arang sehingga menyebabkan pergeseran serapan IR-nya (Gambar 22).

3. Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M


Hasil analisis dengan SEM arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi
arang dengan larutan KOH 0,5M ditunjukkan pada Gambar 35 dan Tabel 42.

W1S1

W2S1

W1S2

W2S2

W1 = waktu aktivasi 60 menit


S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Gambar 35 Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M

Tabel 42 Diameter permukaan pori arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M
Perlakuan

Diameter pori
(m)

113
W1S1

2,3-6,2

W2S1

2,1-5,6

W1S2

3,5-8,9

W2S2

2,6-6,8

Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit


S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Dari Gambar 35 dan data Tabel 42 dapat diketahui bahwa topografi permukaan
arang aktif hasil aktivasi dengan larutan KOH 0,5M menunjukkan kecenderungan
peningkatan jumlah dan diameter pori akibat peningkatan suhu aktivasi, sedangkan
lamanya waktu aktivasi menyebabkan terjadi penurunan jumlah dan diameter pori.
Diameter pori tertinggi terdapat pada perlakuan dengan suhu 800 oC dan waktu aktivasi
selama 60 menit. Pola ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Brasquet et al. (2000)
yang membuat arang aktif dari serat rayon.

4. Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi KOH 1M


Hasil analisis dengan SEM arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi
arang dengan larutan KOH 1M ditunjukkan pada Gambar 36 dan Tabel 43.

W1S1

W2S1

W1S2

W2S2

W1 = waktu aktivasi 60 menit


S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Gambar 36 Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi KOH 1M


Tabel 43 Diameter permukaan pori arang aktif hasil aktivasi KOH 1M
Perlakuan

Diameter pori
(m)

114
W1S1

1,2-3,4

W2S1

2,2-4,9

W1S2

2,3-5,1

W2S2

2,4-5,3

Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit


S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Dari Gambar 36 dan data Tabel 43 dapat diketahui bahwa topografi permukaan
arang aktif hasil aktivasi dengan larutan KOH 1M menunjukkan kecenderungan
peningkatan jumlah dan diameter pori baik akibat peningkatan suhu maupun lamanya
waktu aktivasi. Diameter pori tertinggi terdapat pada perlakuan dengan suhu 800 oC
dan waktu aktivasi selama 120 menit. Pola ini sesuai dengan yang dilakukan oleh
Brasquet et al. (2000) yang membuat arang aktif dari serat rayon.
5. Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M
Hasil analisis dengan SEM arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi
arang dengan larutan H3PO4 0,5M ditunjukkan pada Gambar 37 dan Tabel 44.

W1S1

W2S1

W1S2

W2S2

W1 = waktu aktivasi 60 menit


S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Gambar 37 Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M


Tabel 44 Diameter permukaan pori arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M
Perlakuan

Diameter pori
(m)

115
W1S1
W2S1
W1S2
W2S2

2,7-7,1
2,9-7,4
3,1-7,9
4,2-12,2

Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit


S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Dari Gambar 37 dan data Tabel 44 dapat diketahui bahwa topografi permukaan
arang aktif hasil aktivasi dengan larutan H3PO4 0,5M menunjukkan kecenderungan
peningkatan jumlah dan diameter pori baik akibat peningkatan suhu maupun lamanya
waktu aktivasi. Diameter pori tertinggi terdapat pada perlakuan dengan suhu aktivasi
800 oC dan waktu aktivasinya selama 120 menit, yaitu berkisar 4,2-12,2 m. Hasil ini
sesuai dengan pola topografi permukaan pori arang aktif dari serat rayon yang
dilakukan oleh Brasquet et al. (2000).
6. Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M
Hasil analisis dengan SEM arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi
arang dengan larutan H3PO4 1M ditunjukkan pada Gambar 38 dan Tabel 45.

W1S1

W2S1

W1S2

W2S2

W1 = waktu aktivasi 60 menit


S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Gambar 38 Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M


Tabel 45 Diameter permukaan pori arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M
Perlakuan

Diameter pori

116
W1S1

(m)
2,1-7,8

W2S1

2,5-8,3

W1S2

3,6-9,4

W2S2

4,0-11,5

Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit


S1 = suhu aktivasi 700 oC

W2 = waktu aktivasi 120 menit


S2 = suhu aktivasi 800 oC

Berdasarkan Gambar 38 dan data Tabel 45 dapat diketahui bahwa topografi


permukaan arang aktif hasil aktivasi dengan larutan H3PO4 1M menunjukkan
kecenderungan yang sama dengan pola struktur arang aktif hasil aktivasi dengan
larutan H3PO4 0,5M, yaitu peningkatan jumlah dan diameter pori baik akibat
peningkatan suhu maupun lamanya waktu aktivasi. Diameter pori tertinggi terdapat
pada perlakuan dengan suhu 800 oC dan waktu aktivasi selama 120 menit, yaitu
berkisar 4,0-11,5 m. Hasil ini sesuai dengan pola topografi permukaan pori arang aktif
dari serat rayon yang diperoleh Brasquet et al. (2000). Menurut Novicio et al. (1998)
bahwa proses terbentuknya pori-pori pada arang aktif disebabkan oleh menguapnya
sejumlah zat terbang bahan baku akibat proses pirolisis.
Semakin besar atau lebarnya ukuran pori yang terbentuk pada suatu bahan yang
disebabkan oleh peningkatan suhu aktivasi, ada kemungkinan semakin banyak pula
jumlah komponen bahan baku yang terdegradasi akan menguap. Penguapan komponenkomponen tersebut dapat mengakibatkan pergeseran antara lapisan kristal dan
mengubah struktur kristal arang, sehingga terbentuk kristal baru yang berbeda dengan
struktur bahan asalnya. Di samping itu, dengan menguapnya produk dekomposisi pada
proses karbonisasi semakin menguntungkan karena bila tidak menguap, komponen
tersebut akan menutupi celah di antara lembaran kristal arang, sehingga kinerja arang
akan berkurang (Villegas & Valle 2001). Oleh karena itu, proses karbonisasi suatu
bahan dapat mengubah pola struktur permukaannya.

4.3.3 Mutu Arang Aktif

117
Arang aktif yang diperoleh dari proses aktivasi arang hasil pirolisis sampah
organik pasar secara umum memiliki penampakkan fisik berupa warna dan bentuk yang
sama dengan arang sebagai bahan bakunya. Mutu arang aktif sangat bergantung pada
rendemen, sifat-sifat dasar, daya jerap dan strukturnya.

4.3.3.1 Rendemen
Rendemen merupakan salah satu aspek penting untuk menilai produktivitas
suatu proses sehingga dapat diketahui prospeknya. Data hasil perhitungan rata-rata
rendemen arang aktif yang dihasilkan pada berbagai perlakuan aktivator, suhu dan
waktu disajikan pada Tabel 46.
Tabel 46 Rendemen arang aktif pada berbagai perlakuan aktivasi
Percobaan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24

Aktivator
Panas
Panas
Panas
Panas
Uap H2O
Uap H2O
Uap H2O
Uap H2O
KOH 0,5 M
KOH 0,5 M
KOH 0,5 M
KOH 0,5 M
KOH 1 M
KOH 1 M
KOH 1 M
KOH 1 M
H3PO4 0,5 M
H3PO4 0,5 M
H3PO4 0,5 M
H3PO4 0,5 M
H3PO4 1 M
H3PO4 1 M
H3PO4 1 M
H3PO4 1 M

Perlakuan aktivasi
Suhu (oC)
Waktu (menit)
700
60
700
120
800
60
800
120
700
60
700
120
800
60
800
120
700
60
700
120
800
60
800
120
700
60
700
120
800
60
800
120
700
60
700
120
800
60
800
120
700
60
700
120
800
60
800
120

Rendemen
(%b/b)
78,25
82,20
79,50
84,25
55,88
57,35
52,75
57,60
62,55
62,75
63,21
65,50
72,04
80,00
81,03
82,75
75,43
77,15
77,25
78,95
79,00
81,15
83,50
84,15

118
Dari Tabel 46 diketahui bahwa rendemen arang aktif yang dihasilkan pada
percobaan ini secara umum berkisar 52,75-84,25%. Rendemen arang aktif hasil aktivasi
dengan panas cenderung meningkat seiring meningkatnya suhu dan lama aktivasi.
Demikian juga halnya dengan rendemen arang aktif hasil aktivasi dengan larutan KOH
dan H3PO4, cenderung meningkat seiring meningkatnya konsentrasi, suhu dan lama
aktivasi. Akan tetapi berbeda halnya dengan arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O
bahwa makin tinggi suhu dan lama aktivasi cenderung rendemennya semakin menurun.
Rendemen arang aktif tertinggi terdapat pada perlakuan aktivasi dengan panas
pada suhu 800 oC dan waktu 120 menit, yaitu 84,25%, sedangkan yang terendah
terdapat pada perlakuan aktivasi dengan uap H2O pada suhu 800 oC dan waktu 60
menit, yaitu 52,75%. Hasil ini lebih rendah apabila dibandingkan dengan rendemen
arang aktif yang diperoleh dari kulit kayu Acasia mangium, yaitu 67,40-99,40% (Pari et
al. 2006). Rendahnya rendemen arang aktif yang dihasilkan secara umum disebabkan
oleh reaksi kimia yang terjadi antara karbon yang terbentuk dengan uap H2O makin
meningkat seiring dengan makin meningkatnya suhu dan lamanya waktu aktivasi,
sehingga karbon yang bereaksi menjadi gas CO2 dan H2O dalam satuan waktu makin
banyak, sebaliknya kadar karbon yang dihasilkan makin rendah (Lee et al. 2003). Hasil
ini relatif sama dengan yang dilakukan oleh Hartoyo et al. (1990) yang membuat arang
aktif dari bahan baku tempurung kelapa dan kayu bakau dengan perlakuan aktivasi
menggunakan uap H2O pada suhu 500-900 oC dan waktu 10-50 menit.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa baik faktor
aktivator, waktu, maupun interaksi aktivator-waktu, aktivator-suhu, waktu-suhu dan
interaksi aktivator-waktu-suhu memberi pengaruh yang nyata terhadap rendemen arang
aktif (Lampiran 1). Selanjutnya hasil uji BNT faktor tunggal (Lampiran 2a)
menunjukkan bahwa faktor aktivator larutan H3PO4 1M dapat menghasilkan rendemen
tertinggi yang berbeda nyata dengan aktivator lain. Faktor waktu aktivasi selama 120
menit menghasilkan rendemen tertinggi yang nyata dibandingkan aktivasi selama 60
menit. Faktor interaksi antara aktivator larutan H3PO4 1M dengan waktu 60 atau 120

119
menit, atau antara aktivator panas dengan waktu aktivasi selama 60 atau 120 menit
dapat menghasilkan arang aktif dengan rendemen tertinggi yang berbeda tidak nyata
(Lampiran 2b). Faktor interaksi antara aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M dengan
suhu 700 atau 800 oC, atau antara aktivator larutan KOH 1M dengan suhu 800 oC, atau
antara aktivator panas dengan suhu 700 atau 800 oC menghasilkan rendemen arang
aktif tertinggi yang berbeda tidak nyata (Lampiran 2c). Faktor interaksi antara waktu
aktivasi selama 60 atau 120 menit dengan suhu 700 atau 800 oC menghasilkan
rendemen arang aktif yang berbeda tidak nyata (Lampiran 2d). Faktor interaksi antara
aktivator larutan H3PO4 1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 120 menit, atau
antara aktivator larutan H3PO4 0,5M dengan suhu 800 oC selama 60 menit, atau antara
aktivator panas dengan suhu 800 oC selama 60 atau 120 menit, atau antara aktivator
larutan KOH 1M dengan suhu 800 oC selama 60 menit dapat menghasilkan arang aktif
dengan rendemen tertinggi berbeda tidak nyata (Lampiran 2e). Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa perlakuan terbaik pembuatan arang aktif dengan rendemen tertinggi,
yaitu dengan cara aktivasi arang menggunakan aktivator larutan H3PO4 1M dengan
suhu 700 atau 800 oC selama 120 menit, atau aktivator larutan H3PO4 0,5M dengan
suhu 800 oC selama 60 menit, atau aktivator panas dengan suhu 800 oC selama 60 atau
120 menit, atau aktivator larutan KOH 1M dengan suhu 800 oC selama 60 menit.

4.3.3.2 Karakteristik sifat-sifat dasar arang aktif


Mutu arang aktif yang dihasilkan pada suatu proses, antara lain dapat diketahui
melalui analisis sifat-sifat dasarnya yang meliputi parameter kadar air, zat terbang, abu,
karbon terikat, daya jerap terhadap iodin, benzena dan kloroform. Data hasil
karakterisasi sifat-sifat dasar arang aktif disajikan pada Tabel 47. Dari data Tabel 47
ditunjukkan bahwa arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan dengan aktivator panas
pada waktu 120 menit dan suhu 800 oC merupakan arang aktif yang sebahagian besar
karakteristiknya memenuhi persyaratan SNI-06-3730-1995 (BSN 1995), terutama
dalam hal daya jerapnya terhadap larutan iodin. Kemampuan daya jerap arang aktif

120
terhadap larutan iodin sering kali dijadikan sebagai patokan utama untuk menilai
kualitas suatu arang aktif terutama untuk penggunaannya sebagai adsorben.
Tabel 47 Karakteristik arang aktif hasil aktivasi arang sampah organik pasar

Perlakuan

Kadar (%)

Daya jerap
Iodin
Benzena
(mg/g)
(%)
546,76
8,75
700,16
8,55
339,56
8,12
209,63
7,88
616,94
14,99
757,82
16,70
504,82
15,87
873,53
22,51
459,73
5,05
479,55
4,44
306,04
5,87
313,02
6,12
323,25
5,46
327,17
8,17
309,32
11,87
409,52
14,03
308,49
7,99
284,92
7,12
324,76
5,98
243,52
7,26
338,28
9,75
373,59
11,20
438,74
8,97

Air

Zat terbang

Abu

A1W1S1
A1W1S2
A1W2S1
A1W2S2
A2W1S1
A2W1S2
A2W2S1
A2W2S2
A3W1S1
A3W1S2
A3W2S1
A3W2S2
A4W1S1
A4W1S2
A4W2S1
A4W2S2
A5W1S1
A5W1S2
A5W2S1
A5W2S2
A6W1S1
A6W1S2
A6W2S1

2,36
1,02
1,28
2,23
0,98
0,92
1,19
1,36
1,53
3,83
1,76
4,70
1,45
1,11
4,82
5,41
2,46
3,22
3,34
2,58
3,22
2,65
1,71

19,32
18,66
17,82
20,00
12,77
10,87
10,49
8,87
14,43
14,33
13,74
20,06
16,13
13,68
17,34
17,27
7,08
7,29
8,30
6,61
8,66
8,42
6,30

15,56
17,38
12,55
14,44
14,86
16,87
14,95
12,27
21,81
22,52
19,02
23,98
26,25
26,53
20,36
26,59
9,78
10,41
9,89
10,44
9,84
9,55
12,61

Karbon
terikat
65,12
63,97
69,63
65,56
72,38
72,26
74,56
78,86
63,76
63,14
67,24
55,96
57,62
59,79
62,31
56,14
83,14
82,30
81,81
82,94
81,50
82,03
81,09

A6W2S2

1,20

6,55

11,45

81,99

268,03

8,76

SNI

15

25

10

65

750

25

Keterangan: A1 = aktivator panas


A2 = aktivator steam (uap H2O)
A3 = aktivator basa KOH 0,5 M
A4 = aktivator basa KOH 1 M
A5 = aktivator asam H3PO4 0,5 M
A6 = aktivator asam H3PO4 1 M

W1
W2
S1
S2

= waktu aktivasi 60 menit


= waktu aktivasi 120 menit
= suhu aktivasi 700 oC
= suhu aktivasi 800 oC

121
1. Kadar air
Kadar air arang sebelum diaktivasi berkisar 2,46-3,09%. Kadar air arang aktif
yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar 0,92-5,41% (Tabel 47), nilai ini memenuhi
persyaratan SNI-06-3730-1995 (BSN 1995). Hasil ini masih lebih baik bila dibanding
dengan kadar air arang aktif kulit kayu A. mangium, yaitu 8,39-15,19% (Pari et al.
2006). Kadar air tertinggi terdapat pada arang aktif yang diaktivasi dengan aktivator
larutan KOH 1M pada suhu 800 oC selama 120 menit dan yang terendah terdapat pada
arang aktif yang diaktivasi dengan aktivator uap air pada suhu 800 oC selama 60 menit.
Kadar air arang aktif yang dikehendaki harus bernilai sekecil-kecilnya karena akan
mempengaruhi daya jerapnya terhadap gas ataupun cairan (Pari 1996). Kadar air yang
terkandung dalam arang aktif dipengaruhi oleh jumlah uap air di udara, lama proses
pendinginan, penggilingan dan pengayakan (Hendaway 2003). Arang aktif yang
bersifat higroskopis mudah sekali menyerap uap air di udara karena strukturnya terdiri
atas 6 atom karbon pada sudut heksagonal, memungkinkan uap air terperangkap di
dalamnya dan tidak dapat dilepas pada kondisi pengeringan oven 105 oC.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa baik faktor
aktivator, waktu, suhu, maupun interaksi aktivator-waktu, aktivator-suhu, dan interaksi
aktivator-waktu-suhu memberi pengaruh yang nyata terhadap kadar air arang aktif,
sedangkan interaksi faktor waktu dan suhu tidak nyata (Lampiran 1). Selanjutnya hasil
uji BNT faktor tunggal (Lampiran 3a) menunjukkan bahwa faktor aktivator uap H2O
menghasilkan kadar air terendah yang nyata dibanding perlakuan lain. Faktor waktu
aktivasi selama 60 menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kadar air terendah
dibanding aktivasi selama 120 menit. Demikian juga halnya dengan aktivasi pada suhu
700 oC menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kadar air terendah dibanding
aktivasi pada suhu 800 oC. Faktor interaksi antara aktivator panas dengan waktu selama
60 atau 120 menit, atau antara aktivator uap H2O dengan waktu selama 60 atau 120
menit, atau antara aktivator larutan KOH 1M dengan waktu selama 60 menit, atau
antara aktivator larutan H3PO4 1M dengan waktu selama 120 menit menghasilkan
arang aktif dengan kadar air terendah yang berbeda tidak nyata (Lampiran 3b). Faktor
interaksi antara aktivator uap H2O dengan suhu 700 atau 800 oC, atau antara aktivator

122
panas dengan suhu 700 atau 800 oC, atau antara aktivator larutan KOH 0,5M dengan
suhu 700 oC, atau antara aktivator larutan H3PO4 1M menghasilkan arang aktif dengan
kadar air terendah yang berbeda tidak nyata (Lampiran 3c). Faktor interaksi antara
aktivator uap H2O dengan suhu 700 atau 800 oC selama 60 atau 120 menit, atau antara
aktivator panas dengan suhu 800 oC selama 60 menit, atau antara aktivator panas
dengan suhu 700 oC selama 120 menit, atau antara aktivator larutan KOH 0,5M dengan
suhu 700 oC selama 60 menit, atau antara aktivator larutan KOH 1M dengan suhu 700
atau 800 oC selama 60 menit, atau antara aktivator larutan H3PO4 1M dengan suhu 700
atau 800 oC selama 120 menit menghasilkan arang aktif dengan kadar air terendah yang
tidak nyata (Lampiran 3d). Oleh karena itu, dapat dikemukakan bahwa perlakuan
pembuatan arang aktif terbaik dengan kadar air terendah, yaitu menggunakan aktivator
uap H2O dengan suhu 700 atau 800 oC selama 60 atau 120 menit, atau aktivator panas
dengan suhu 800 oC selama 60 menit, atau aktivator panas dengan suhu 700 oC selama
120 menit, atau aktivator larutan KOH 0,5M dengan suhu 700 oC selama 60 menit, atau
aktivator larutan KOH 1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 60 menit, atau
aktivator larutan H3PO4 1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 120 menit.

2. Kadar zat terbang


Kadar zat terbang arang sebelum diaktivasi berkisar 18,30-19,99%. Kadar zat
terbang arang aktif yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar 6,30-20,06% (Tabel
47). Nilai kadar zat terbang arang aktif yang dihasilkan pada semua perlakuan
memenuhi persyaratan SNI-06-3730-1995 (BSN 1995) karena kadarnya kurang dari
25,00%. Arang aktif yang mengandung kadar zat terbang terendah terdapat pada
aktivasi dengan aktivator larutan H3PO4 1M pada suhu 700 oC selama 120 menit, dan
yang tertinggi terdapat pada aktivasi dengan aktivator larutan KOH 0,5M pada suhu
800 oC selama 120 menit. Secara umum kadar zat terbang yang dihasilkan cenderung
meningkat seiring meningkat suhu dan waktu aktivasi. Tingginya kadar zat terbang ini
menunjukkan bahwa permukaan arang aktif yang dihasilkan masih menempel
senyawaan non karbon dan juga zat terbang yang berasal dari hasil interaksi antara
karbon dengan uap air sebagaimana terbukti dari hasil identifikasi gugus fungsi dengan

123
FTIR (Gambar 25) dan dengan SEM (Gambar 35). Kadar zat terbang yang tinggi pada
arang aktif tidak diinginkan karena senyawaan yang menempel pada permukaannya
dapat mengurangi daya jerapnya baik terhadap larutan maupun gas-gas.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa faktor aktivator
maupun interaksi aktivator-waktu, aktivator-suhu, dan interaksi aktivator-waktu-suhu
memberi pengaruh yang nyata terhadap kadar zat terbang arang aktif, sedangkan faktor
waktu dan suhu tidak nyata (Lampiran 1). Selanjutnya hasil uji BNT faktor tunggal
(Lampiran 4a) menunjukkan bahwa faktor aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M
berpengaruh tidak nyata terhadap kadar zat terbang terendah yang dihasilkan,
sedangkan faktor lain berpengaruh nyata. Pada interaksi faktor aktivator larutan KOH
0,5 atau 1M dengan waktu 60 atau 120 menit dan antara aktivator larutan larutan
H3PO4 1M dengan waktu 60 menit menunjukkan perbedaan yang tidak nyata terhadap
kadar zat terbang terendah yang dihasilkan, sedangkan perlakuan lain berbeda nyata
(Lampiran 4b). Pada interaksi faktor aktivator larutan KOH 0,5 atau 1M dengan suhu
700 atau 800 oC, atau antara aktivator larutan larutan H3PO4 0,5 atau 1M dengan waktu
60 atau 120 menit menunjukkan perbedaan yang tidak nyata terhadap kadar zat terbang
terendah yang dihasilkan, sedangkan perlakuan lain berbeda nyata (Lampiran 4c).
Pada interaksi faktor waktu-suhu menunjukkan perbedaan yang tidak nyata terhadap
kadar zat terbang (Lampiran 4d). Pada interaksi faktor aktivator larutan H3PO4 0,5 atau
1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 120 menit, antara aktivator larutan KOH 0,5
atau 1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 60 atau 120 menit

menunjukkan

perbedaan yang tidak nyata terhadap kadar zat terbang terendah, sedangkan perlakuan
lain berbeda nyata (Lampiran 4e). Oleh karena itu, dapat dikemukakan bahwa untuk
membuat arang aktif dengan kadar zat terbang terendah dapat dilakukan dengan
aktivasi arang menggunakan aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M dengan suhu 700
atau 800 oC selama 120 menit, antara aktivator larutan KOH 0,5 atau 1M dengan suhu
700 atau 800 oC selama 60 atau 120 menit.

3. Kadar abu

124
Kadar abu dari arang sebelum diaktivasi berkisar 12,22-13,00%. Kadar abu
arang aktif yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar 9,55-26,59% (Tabel 47). Nilai
tersebut umumnya tidak memenuhi persyaratan SNI-06-3730-1995 (BSN 1995) karena
kadar abu yang dihasilkan jauh di atas batas maksimum, yaitu kurang dari 10,00%,
kecuali arang aktif hasil aktivasi dengan larutan H3PO4 0,5M pada suhu 700 oC selama
60 dan 120 menit atau larutan H3PO4 1M pada suhu 700 atau 800 oC selama 60 menit.
Kandungan kadar abu yang terdapat pada arang hasil pirolisis pada berbagai perlakuan
cenderung fluktuatif. Hal ini disebabkan karena komposisi bahan baku sampah organik
pasar yang digunakan relatif tidak homogen. Kadar abu tinggi terdapat pada perlakuan
aktivasi dengan larutan KOH 1M pada suhu 800 oC selama 120 menit dan yang
terendah terdapat pada perlakuan aktivasi dengan larutan H3PO4 1M pada suhu 800 oC
selama 60 menit. Tingginya kadar abu pada suatu arang aktif disebabkan oleh
terjadinya reaksi oksidasi. Menurut Pari (2004), kadar abu yang besar dapat
mengurangi daya jerap arang aktif baik terhadap larutan maupun gas-gas, karena
kandungan mineral yang terdapat dalam abu seperti kalium, natrium, kalsium, dan
magnesium akan menyebar dalam kisi-kisi arang aktif, sehingga mengakibatkan kinerja
arang aktif berkurang (Tanaike & Inagaki 1999; Benaddi et al. 2000).
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa faktor aktivator,
suhu, waktu maupun interaksi aktivator-waktu, aktivator-suhu, dan interaksi aktivatorwaktu-suhu memberi pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap kadar abu arang
aktif, akan tetapi berbeda nyata dengan perlakuan interaksi faktor waktu dan suhu
(Lampiran 1). Selanjutnya hasil uji BNT faktor tunggal (Lampiran 5a) menunjukkan
bahwa faktor aktivator larutan KOH 1M berpengaruh nyata terhadap kadar abu arang
aktif yang dihasilkan. Faktor waktu aktivasi selama 60 menit berbeda nyata terhadap
kadar abu arang aktif yang dihasilkan. Demikian juga halnya dengan faktor suhu
aktivasi 800 oC berbeda nyata terhadap kadar abu arang aktif. Pada interaksi antara
faktor aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M dengan waktu 60 atau 120 menit
menunjukkan perbedaan yang tidak nyata dalam menghasilkan kadar abu arang aktif
yang relatif lebih rendah, sedangkan dengan perlakuan lain berbeda nyata (Lampiran
5b). Pada interaksi antara faktor aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M dengan suhu 700
atau 800 oC tidak menunjukkan perbedaan yang tidak nyata terhadap kadar abu arang

125
aktif terendah yang dihasilkan, sedangkan dengan perlakuan lain berbeda nyata
(Lampiran 5c). Pada interaksi antara faktor aktivator larutan KOH 0,5 atau 1M dengan
suhu 700 atau 800 oC selama 60 atau 120 menit, antara aktivator larutan H3PO4 0,5 atau
1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 60 atau 120 menit, antara aktivator panas
dengan suhu 700 oC selama 120 menit, dan antara aktivator uap H2O dengan suhu 800
o

C selama 120 menit menunjukkan perbedaan yang tidak nyata terhadap kadar abu

arang aktif terendah yang dihasilkan, sedangkan dengan perlakuan lain berbeda nyata
(Lampiran 5d). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa untuk menghasilkan arang aktif
dengan kadar abu relatif rendah dapat dilakukan dengan aktivasi arang menggunakan
aktivator larutan KOH 0,5 atau 1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 60 atau 120
menit, atau antara aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M dengan suhu 700 atau 800 oC
selama 60 atau 120 menit, atau antara aktivator panas dengan suhu 700 oC selama 120
menit, atau antara aktivator uap H2O dengan suhu 800 oC selama 120 menit.

4. Kadar karbon terikat


Kadar karbon terikat bahan baku arang sebelum diaktivasi berkisar 67,0169,48%. Kadar karbon terikat yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara
55,9683,14% (Tabel 47). Nilai tersebut lebih separuh perlakuan memenuhi
persyaratan SNI-06-3730-1995 (BSN 1995) karena kadarnya melebihi 65,00%, kecuali
arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivator larutan KOH. Kadar karbon
tertinggi terdapat pada aktivasi dengan aktivator larutan H3PO4 0,5M dengan suhu 700
o

C selama 60 menit dan yang terendah terdapat pada aktivasi dengan aktivator larutan

KOH 0,5M dengan suhu 800 oC selama 120 menit. Rendahnya kadar karbon terikat
menunjukkan sebagian atom-atom karbon teroksidasi menghasilkan gas CO dan/atau
CO2 sehingga atom karbon yang tertata kembali membentuk struktur heksagonal
berkurang. Arang aktif tersusun atas atom-atom karbon bebas yang berikatan secara
kovalen membentuk struktur heksagonal datar (Puziy et al. 2003). Pada aktivasi dengan
aktivator uap H2O dan KOH, menunjukkan kecenderungan dengan semakin lamanya
waktu aktivasi semakin berkurang kadar karbon yang dihasilkan. Hal tersebut
disebabkan oleh meningkatnya kadar abu yang dihasilkan. Akan tetapi kebalikannya
pada perlakuan aktivasi dengan panas dan/atau larutan H3PO4 menunjukkan

126
kecenderungan peningkatan kadar karbon dengan semakin meningkatnya waktu
aktivasi. Hal ini disebabkan kadar abu yang terbentuk pada arang aktif hasil aktivasi
dengan kedua aktivator tersebut relatif lebih rendah berkisar 12,55-17,38% untuk
aktivator panas dan 9,55-11,45% untuk aktivator H3PO4 (Tabel 47) dibandingkan
dengan hasil aktivasi uap H2O dan KOH. Hasil ini berbeda dengan perlakuan aktivasi
yang dilakukan oleh Williams & Reed (2003) bahwa kadar karbon semakin menurun
akibat semakin meingkatnya waktu aktivasi.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa baik faktor
aktivator, suhu maupun interaksi aktivator-waktu, aktivator-suhu, waktu-suhu dan
interaksi aktivator-waktu-suhu memberi pengaruh yang nyata terhadap kadar korbon
terikat arang aktif (Lampiran 1). Selanjutnya hasil uji BNT faktor tunggal (Lampiran
6a) menunjukkan bahwa faktor aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M dapat
menghasilkan arang aktif dengan kadar karbon tertinggi yang berbeda nyata dengan
aktivator lain. Faktor suhu aktivasi 700 oC menghasilkan arang aktif dengan kadar
karbon tertinggi yang berbeda nyata dibandingkan aktivasi dengan suhu 800 oC. Faktor
interaksi antara aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M dengan waktu aktivasi selama 60
atau 120 menit menghasilkan arang aktif dengan kadar karbon tertinggi yang berbeda
tidak nyata (Lampiran 6b). Faktor interaksi antara aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M
dengan suhu 700 atau 800 oC menghasilkan arang aktif dengan kadar karbon tertinggi
yang berbeda tidak nyata (Lampiran 6c). Faktor interaksi antara waktu aktivasi baik
selama 60 maupun 120 menit dengan suhu 700 atau 800 oC menghasilkan arang aktif
dengan kadar karbon tertinggi yang berbeda tidak nyata (Lampiran 6d). Faktor interaksi
antara aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 60
atau 120 menit, atau antara aktivator KOH 1M dengan suhu 800 oC selama 120 menit
menghasilkan arang aktif dengan kadar karbon tertinggi yang berbeda tidak nyata
(Lampiran 6e). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa perlakuan terbaik pembuatan
arang aktif dengan kadar karbon tertinggi, yaitu dengan cara aktivasi menggunakan
aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 60 atau 120
menit, atau aktivator KOH 1M dengan suhu 800 oC selama 120 menit.

5. Daya jerap iodin

127
Daya jerap arang aktif terhadap larutan iodin merupakan indikator penting
dalam menilai kualitas suatu arang aktif. Daya jerap arang aktif terhadap larutan iodin
mempunyai arti bahwa arang tersebut mampu menyerap zat dengan ukuran molekul
yang < 10 Ao atau memberikan indikasi bahwa arang tersebut memiliki jumlah pori >
10 Ao. Semakin tinggi daya jerap arang aktif terhadap larutan iodin maka semakin baik
kualias arang aktif tersebut.
Daya jerap arang aktif yang dihasilkan pada penelitian ini terhadap larutan iodin
berkisar 209,63-873,53 mg/g (Tabel 47). Nilai tersebut pada umumnya tidak memenuhi
persyaratan SNI-06-3730-1995 (BSN 1995), kecuali arang aktif hasil aktivasi dengan
uap H2O pada suhu 800 oC selama 60 atau 120 menit, karena batas minimal daya jerap
arang aktif terhadap larutan iodin adalah 750,00 mg/g. Secara umum hasil penelitian ini
menunjukkan adanya kecenderungan daya jerap arang aktif terhadap larutan iodin
semakin menurun sesuai dengan meningkatnya waktu aktivasi. Hasil ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Hendra & Pari (1995) yang memperoleh daya jerap
arang aktif terhadap larutan iodin yang terendah ditunjukkan pada arang hasil aktivasi
selama 30 menit dibandingkan dengan aktivasi selama 90 menit yang mempunyai daya
jerap lebih tinggi. Di samping itu, apabila hasil ini dibandingkan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Pari et al. (2006) yang memperoleh daya jerap arang
aktif terhadap larutan iodin berkisar antara 369-607 mg/g, maka kualitas arang aktif
hasil penelitian ini relatif lebih baik.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa semua faktor baik
tunggal maupun interaksinya memberi pengaruh yang nyata terhadap daya jerap arang
aktif terhadap larutan iodin (Lampiran 1). Selanjutnya hasil uji BNT faktor tunggal
(Lampiran 7a) menunjukkan bahwa aktivasi dengan uap H2O berbeda nyata dalam hal
menghasilkan arang aktif yang mempunyai daya jerap lebih tinggi terhadap larutan
iodin. Faktor waktu aktivasi selama 60 menit menghasilkan arang aktif dengan daya
jerap terhadap larutan iodin lebih tinggi yang berbeda nyata dibandingkan dengan
waktu aktivasi selama 120 menit. Faktor suhu aktivasi 800 oC menghasilkan arang aktif
dengan daya jerap terhadap larutan iodin lebih tinggi yang berbeda nyata dibandingkan
aktivasi dengan suhu 700 oC. Faktor interaksi antara aktivator panas dengan waktu

128
aktivasi selama 60 menit, atau antara aktivator uap H2O dengan waktu aktivasi selama
120 menit menghasilkan arang aktif dengan daya jerap terhadap larutan iodin tertinggi
yang berbeda nyata (Lampiran 7b). Faktor interaksi antara antara aktivator uap H2O
dengan suhu aktivasi 800 oC menghasilkan arang aktif dengan daya jerap terhadap
larutan iodin tertinggi yang berbeda nyata (Lampiran 7c). Faktor interaksi antara waktu
aktivasi baik selama 60 menit dengan suhu 700 atau 800 oC, atau antara waktu aktivasi
selama 120 menit dengan suhu 800 oC menghasilkan arang aktif dengan daya jerap
terhadap larutan iodin tertinggi yang berbeda nyata (Lampiran 7d). Faktor interaksi
antara aktivator uap H2O dengan suhu 800 oC selama 120 menit menghasilkan arang
aktif dengan daya jerap terhadap larutan iodin tertinggi yang berbeda nyata (Lampiran
7e). Oleh karena itu, dapat dikemukakan bahwa perlakuan terbaik pembuatan arang
aktif yang mempunyai daya jerap terhadap larutan iodin tertinggi, yaitu dengan cara
aktivasi arang menggunakan aktivator uap H2O dengan suhu 800 oC selama 120 menit.

6. Daya jerap benzena


Benzena merupakan senyawa aromatis sederhana yang bersifat nonpolar.
Senyawa ini memiliki titik didih yang lebih rendah dari pada air, yaitu 80 oC, tidak
berwarna, tidak larut dalam air, larut baik dalam kebanyakan pelarut organik, mudah
terbakar dengan nyala yang berjelaga. Karakteristik daya jerap arang aktif terhadap
benzena memberi indikasi akan kemampuan arang aktif dalam menjerap gas-gas yang
bersifat nonpolar dengan ukuran molekul < 6 Ao.
Daya jerap arang aktif terhadap uap benzena yang dihasilkan pada pengamatan
jam ke-24 berkisar 4,44-22,51% (Tabel 47). Nilai daya jerap arang aktif terhadap uap
benzena tidak ada yang memenuhi persyaratan SNI-06-3730-1995 (BSN 1995), karena
batas ambangnya minimal 25,00%. Nilai daya jerap arang aktif terhadap benzena
tertinggi terdapat pada perlakuan aktivasi uap H2O dengan suhu 800 oC selama 120
menit dan yang terendah terdapat pada perlakuan aktivasi larutan KOH 0,5M dengan
suhu 800 oC selama 60 menit. Rendahnya daya jerap arang aktif terhadap uap benzena
menunjukkan bahwa masih terdapatnya senyawaan nonkarbon yang menempel pada
permukaan arang aktif terutama atom hidrogen dan oksigen sehingga permukaan arang

129
aktifnya lebih bersifat nonpolar. Apabila hal ini dibandingkan dengan hasil penelitian
yang dilakukan Pari et al. (2006) yang memperoleh daya jerap arang aktif dari A.
mangium terhadap uap benzena berkisar antara 9,22-16,20%, maka arang aktif yang
dihasilkan pada penelitian ini relatif berkualitas sama.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa faktor aktivator,
suhu, waktu maupun interaksi aktivator-waktu dan aktivator-suhu memberi pengaruh
yang nyata terhadap daya jerap arang aktif terhadap uap benzena (Lampiran 1).
Selanjutnya hasil uji BNT faktor tunggal (Lampiran 8a) menunjukkan bahwa aktivasi
dengan uap H2O berbeda nyata dalam hal menghasilkan arang aktif yang mempunyai
daya jerap lebih tinggi terhadap uap benzena. Faktor waktu aktivasi selama 120 menit
menghasilkan arang aktif dengan daya jerap terhadap uap benzena lebih tinggi yang
berbeda nyata dibandingkan dengan waktu aktivasi selama 60 menit. Faktor suhu
aktivasi 800 oC menghasilkan arang aktif dengan daya jerap terhadap uap benzena lebih
tinggi yang berbeda nyata dibandingkan aktivasi dengan suhu 700 oC. Faktor interaksi
antara aktivator uap H2O dengan waktu aktivasi selama 120 menit menghasilkan arang
aktif dengan daya jerap terhadap uap benzena tertinggi yang berbeda nyata (Lampiran
8b). Faktor interaksi antara antara aktivator uap H2O dengan suhu aktivasi 800 oC
menghasilkan arang aktif dengan daya jerap terhadap uap benzena tertinggi yang
berbeda nyata (Lampiran 8c). Oleh karena itu, dapat dikemukakan bahwa perlakuan
terbaik untuk pembuatan arang aktif dari sampah organik pasar yang mempunyai daya
jerap terhadap uap benzena tertinggi, yaitu dengan cara aktivasi arang menggunakan
aktivator uap H2O pada suhu 800 oC selama 120 menit.

130
4.4 Fraksinasi dan Bioassay Asap Cair
4.4.1 Fraksinasi Asap Cair
Asap cair yang digunakan pada penelitian ini adalah hasil pirolisis pada suhu
o

505 C dari bahan baku sampah organik pasar yang sukar dikomposkan. Fraksinasi
asap cair bertujuan untuk mencari fraksi-fraksi dari asap cair yang berpotensi terutama
sebagai antifeedant bagi hama tanaman. Fraksinasi dilakukan secara berturut yang
diawali dengan pelarut n-heksan (nonpolar), lalu diikuti dengan etil asetat (semipolar),
dan selanjutnya dengan metanol (polar), sedangkan sisanya merupakan fraksi air
(pelarut universal yang bersifat polar). Residu hasil evaporasi dari fraksi-fraksi yang
diperoleh disajikan pada Tabel 48.
Tabel 48 Residu hasil fraksinasi asap cair hasil pirolisis sampah organik
Bahan

Asap Cair

Pelarut

Filtrat
(ml)

Residu
(g/l)

n-Heksan

722

3,47

Etil asetat

3155

23,74

Metanol

1350

8,78

Air

2804

3,68

Berdasarkan data Tabel 48 diperoleh informasi bahwa residu hasil fraksinasi


asap cair dengan kadar tertinggi terdapat pada fraksi etil asetat, yaitu 23,74 g/l, dan
yang paling rendah terdapat pada fraksi n-heksan, yaitu 3,47 g/l. Hasil ini menunjukkan
bahwa pada asap cair hasil pirolisis sampah organik pasar dengan suhu 505 oC selama 5
jam mengandung lebih banyak komponen senyawa yang bersifat semipolar. Hal ini
relatif sesuai dengan komponen kimia yang teridentifikasi pada analisis dengan teknik
GCMS (Lampiran 10).

4.4.2 Bioassay Asap Cair


Bioassay antifeedant merupakan salah satu teknik pencarian senyawa atau
komponen aktif dari suatu bahan yang bersifat tidak membunuh dan tidak mengusir,
melainkan hanya bersifat anti/menolak makan saja bagi hama pengganggu tanaman.
Data hasil bioassay asap cair dan fraksi-fraksinya terhadap larva S. litura disajikan
pada Tabel 49.

131
Tabel 49 Persentase aktivitas antifeedant asap cair dan fraksi-fraksinya
Contoh

% Aktivitas antifeedant pada konsentrasi contoh


0,125%

0,250%

0,500%

1,00%

Asap Cair

17,39

29,41

30,61

44,68

Fraksi Air

18,18

30,77

41,18

62,07

Fraksi Metanol

26,83

48,00

65,38

80,65

Fraksi Etil asetat

19,15

20,83

22,45

28,57

Fraksi n-Heksan

10,45

12,12

17,65

23,40

Dari data Tabel 49 diketahui bahwa persentase aktivitas antifeedant dari asap
cair dan/atau fraksi-fraksinya cenderung meningkat seiring meningkatnya konsentrasi
yang diberikan. Pada konsentrasi contoh 1% (v/v) aktivitas antifeedant yang melebihi
50,00% ditunjukkan oleh fraksi metanol dan air, yaitu secara berturut 80,65 dan
62,07%, sedangkan aktivitas terendah ditunjukkan fraksi n-heksan, yaitu 23,40%. Hasil
ini memberi petunjuk bahwa baik fraksi metanol maupun air yang berasal dari asap cair
hasil pirolisis sampah organik pasar berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai pengendali
hama tanaman yang bersifat antifeedant terutama dalam menggulangi larva S. litura.
Hasil ini juga diperkuat data analisis probit yang menunjukkan ke dua fraksi
tersebut mempunyai nilai EI50 yang sama-sama terendah, yaitu 0,71% (Lampiran 11).
Nilai ini berarti ke dua fraksi tersebut pada konsentrasi 0,71% saja mampu
menyebabkan 50% sasarannya bersifat antifeedant. Hasil ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Han et al. (2006) bahwa ekstrak metanol dari akar Angelica
dahurica, keseluruhan tanaman Lysimachia davurica, dan umbi Nardostachys
chinensis sangat potensial sebagai insektisidal atau antifeedant terhadap larva
Attagenus unicolor japonicus. Pada penelitian yang dilakukan oleh Narasimhan et al.
(2005), juga diperoleh hal yang sama, yaitu ekstrak metanol dari biji Momordica dioica
yang mempunyai aktivitas antifeedant tertinggi terhadap larva S. litura.
Komponen kimia penyusun fraksi metanol dari asap cair hasil pirolisis sampah
organik pasar diidentifikasi dengan teknik GCMS menggunakan kolom kapiler HP
Ultra-2 dengan suhu injektor 250 oC, gas pembawa helium dan kecepatan alir 0,6
l/menit serta volume injeksinya 1 l. Kromatogram GC yang diperoleh dari hasil
analisis fraksi metanol asap cair ditunjukkan pada Gambar 39.

Kelimpahan

132

Waktu retensi (menit)


Gambar 39 Kromatogram fraksi metanol asap cair hasil pirolisis sampah organik
Hasil identifikasi kromatogram pada Gambar 39 dengan chemstation data
system yang ada pada alat tersebut diketahui senyawa-senyawa penyusun fraksi
metanol seperti yang tersajikan pada Tabel 50.
Tabel 50. Kandungan kimia fraksi metanol asap cair
Nomor
Peak
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Waktu
Retensi
(menit)
2,19
2,53
3,07
3,22
3,78
3,93
4,05
4,65
5,34
6,36
6,90
10,39
12,21
19,33

Nama Senyawa
Asam butanoat
Gamma-butirolakton
2-furan metanol
2-hidroksi-3-metil-2-siklopenten-1-one
fenol
Trans-4-siklopenten-1,3-diol
2-metil-3-buten-2-ol
2,6-dimetoksi fenol
Asam 2-metil-2-propenoat
3-metoksi-1,2-benzenadiol
2-metoksi-4-propil fenol
3-metil-1,2-benzenadiol
2-metil-1,4-benzenadiol
1,4-benzenadiol

Konsentrasi
(%)
6,59
21,75
3,50
13,71
15,54
6,60
7,68
11,71
3,66
3,43
7,11
1,21
6,33
2,19

Dari data Tabel 51 diketahui bahwa kandungan kimia fraksi metanol dari asap
cair hasil pirolisis sampah organik pasar menunjukkan 50% dari total 14 senyawa

133
yang teridentifikasi pada fraksi tersebut dengan teknik GCMS merupakan senyawa
golongan fenolik. Hasil ini menunjukkan bahwa senyawa fenolik dapat dijumpai baik
pada tumbuhan berbunga, pakisan, lumut, lumut hati, maupun pada jasad renik
(Harborne 1988). Menurut Salisbury & Ross 1995, fungsi senyawa fenolik pada
tumbuhan sangat beragam, misalnya asam protokatekuat berfungsi mencegah
corengan pada varietas bawang berwarna tertentu yang disebabkan oleh fungi
Colletotrichum circinans. Asam klorogenat berfungsi mencegah penyakit tertentu
pada kultivar yang resisten dan asam ini tidak beracun bagi manusia. Asam galat
penting karena diubah menjadi galotanin, merupakan polimer heterogen yang
mengandung berbagai molekul asam galat yang saling terkait dengan asam galat lain
serta sukrosan dan gula-gula lain. Galotanin umumnya berperan sebagai alelopati dan
sangat menghambat pertumbuhan tanaman terutama spesies lain yang tumbuh di
sekitar tumbuhan yang mengandung dan melepaskannya (Rice 1984). Senyawa tanin
tersebar luas di dalam jaringan tumbuhan dan mempunyai fungsi melindungi
tumbuhan terhadap serangan bakteri dan fungi (Swain 1979). Selanjutnya,
Hemingway & Karchesy (1989) menyatakan tanin juga bertindak sebagai senyawa
aktif yang menyebabkan herbivora menolak makan/antifeedant tumbuhan yang
mengandungnya, sebagian karena sifat astringensinya (kemampuan mengkerutkan
mulut) dan sebagian karena menghambat pencernaan dan penggunaan makanan.
Kelompok senyawa yang berhubungan erat dengan asam fenol dan juga berasal dari
lintasan asam sikimat adalah kumarin. Kumarin merupakan salah satu senyawa atsiri
yang terbentuk terutama dari turunan glikosida tak atsiri saat penuaan atau perlukaan.
Hal ini penting terutama pada tumbuhan alfafa dan semanggi, yaitu kumarin
menyebabkan timbulnya aroma yang khas sesaat setelah kedua jenis tumbuhan
tersebut dibabat. Skopoletin merupakan salah satu senyawa golongan kumarin yang
berperan menghambat perkecambahan biji.
Hasil analisis dengan teknik GCMS pada asap cair juga menunjukkan bahwa
senyawa yang teridentifikasi dengan konsentrasi tertinggi adalah gamma-butirolakton

134
(21,75%). Berdasarkan hasil bioassay (Tabel 49), di samping senyawa golongan
fenolik, senyawa ini juga diduga berfungsi sebagai pestisida antifeedant terhadap larva
S. litura. Senyawa ini mempunyai rumus struktur seperti Gambar 40.

Gambar 40 Struktur senyawa gamma-butirolakton

Aktivitas antifeedant dari senyawa yang mengandung inti lakton sudah banyak
publikasi antara lain seperti dilaporkan oleh Frackowiak et al. (2006) bahwa golongan
gamma-lakton dapat digunakan untuk aktivitas antifeedant terhadap berbagai macam
serangga, sedangkan Narasimhan et al. (2005) melaporkan salannobutirolakton sangat
potensial sebagai antifeedant terhadap larva S. litura dan desasetilsalannobutirolakton
bersifat insektisidal terhadap larva tersebut. Selanjutnya, Thoison et al. (2004)
menemukan senyawa 12-hidroksioleanolat lakton dan pektolinarigenin dari ekstrak
Nothofagus dombeyi yang memberi antivitas antifeedant sangat signifikan. Senyawa
linearolakton dan 4-(3-furil)-gamma-butirolakton sangat potensial sebagai antifeedant
(Gebbinck et al. 2002). Di samping itu, beberapa golongan keton lain seperti 12ketoepoksi-azadiradion dan turunannya juga mempunyai kemampuan sebagai
insektisida dan antifeedant (Fernandez-Mateos et al. (2005). Senyawa-senyawa asam 3hidroksi alkanoat yang merupakan golongan asam alkanoat juga mempunyai aktivitas
yang signifikan sebagai antifeedant terhadap larva S. litura (Jannet et al. 2001).

135
4.5 Aplikasi Komarasca pada Tanaman Daun Dewa
Aplikasi produk komarasca (kompos-arang aktif-asap cair) hasil konversi
sampah organik pasar pada tanaman sangat penting dilakukan untuk mendapatkan bukti
secara nyata akan fungsi atau manfaat dari masing-masing komponen yang dihasilkan.
Di samping itu, juga untuk kebutuhan informasi tentang tingkat pertumbuhan dan bobot
biomassa tanaman serta kemampuan komponen asap cair yang terkandung di dalam
komarasca yang berperan mencegah atau menanggulangi hama pengganggu.
Penggunaan produk komarasca sebagai pupuk organik yang mengandung komponen
berpori dan pengendali hama alami pada tanaman, terutama tanaman obat-obatan
sangat menguntungkan bagi manusia karena dapat mengkonsumsi tanaman tersebut
secara aman dan terhindar dari dampak residu pestisida sintetik yang sangat merugikan
dan membahayakan kesehatan. Di samping itu, pemanfaatan komarasca hasil konversi
sampah organik pasar sangat menguntungkan bagi daur karbon seperti ditunjukkan
pada Gambar 41.

Gambar 41. Daur karbon di alam (Salisbury & Ross 1995)

136
Hal ini disebabkan karena berdasarkan perhitungan kandungan karbon di dalam
produk komarasca yang dihasilkan melalui proses yang terbaik didapat 33,78% karbon
di dalam kompos pada perlakuan B2 (Tabel 12), 30,29% karbon di dalam arang hasil
pirolisis pada suhu 505 oC (Tabel 16 dan 18), dan sebahagian karbon juga dikandung
oleh asap cair hasil pirolisis 505 oC dengan rendemen 31,24% (Tabel 23). Di samping
itu, penggunaan produk komarasca hasil konversi sampah organik pasar pada tanaman,
selain menjaga keseimbangan daur karbon, juga sangat penting bagi menjaga
kelestarian keanekaragaman hayati, karena fraksi metanol dari asap cair (Tabel 48 dan
49) yang digunakan tidak bersifat membunuh hama pengganggu, melainkan hanya
bersifat antifeedant saja. Oleh karena itu, penelitian semacam ini perlu digiatkan atau
dikembangkan agar kelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati tetap terjaga, di
samping mendapatkan keuntungan ekonomi dan kesehatan bagi manusia.

4.5.1 Pertumbuhan Tanaman Daun Dewa


4.5.1.1 Pertumbuhan tanaman sebelum pemberian pengendali hama
Pertumbuhan tanaman merupakan salah satu indikator yang menjadi ukuran
dampak atau akibat dari pemberian suatu perlakuan. Pertumbuhan dan perkembangan
tanaman berlangsung secara terus-menerus sepanjang daur hidupnya dan bergantung
pada tersedianya meristem, hasil asimilasi, hormon serta substansi pertumbuhan
lainnya dan kondisi lingkungan yang mendukung (Gardner et al. 1991). Data hasil
pengukuran pertumbuhan tanaman daun dewa sebelum pemberian pengendali hama
disajikan pada Tabel 51.
Berdasarkan data Tabel 51 dapat diketahui bahwa secara umum ditunjukkan

pertumbuhan tinggi batang, jumlah daun dan anakan tanaman daun dewa mengalami
peningkatan seiring bertambahnya umur tanaman. Peningkatan tinggi batang tanaman
daun dewa yang paling tinggi yaitu sebesar 1,8 cm ditunjukkan oleh perlakuan dengan
campuran media tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan uap
H2O pada suhu 800 oC selama 120 menit.

137
Tabel 51 Pertumbuhan tinggi batang, jumlah daun dan anakan tanaman daun dewa
sebelum pemberian pengendali hama
Tingkat Pertumbuhan pada Hari keTinggi batang
(cm)

Perlakuan

M0
M1
M2
M3
M4
M5
M6
M7

Jumlah daun
(helai)

Jumlah anakan
(batang)

10

20

30

10

20

30

10

20

30

3,2
4,1
3,6
3,6
3,7
4,0
3,5
3,7

3,3
4,3
3,7
3,7
3,8
4,1
3,7
3,8

3,5
4,6
4,0
4,2
4,3
4,7
4,2
4,3

3,8
5,2
4,6
4,8
5,1
5,8
5,0
5,1

5
6
7
7
7
6
8
7

6
7
8
8
8
7
9
8

8
8
10
9
10
9
10
10

9
9
11
11
11
11
12
12

1
1
1
1
1
1
2
2

2
1
2
2
2
1
2
2

2
2
3
3
2
2
5
3

2
3
4
4
3
3
6
4

Ket.: M0 = 100% tanabu (tanah-abu)(kontrol);


M1 = pupuk kandang;
M2 = kompos;
M3 = kompos-arang;

M4 = kompos-arang aktivasi panas;


M5 = kompos-arang aktivasi uap H2O;
M6 = kompos-arang aktivasi KOH 1M;
M7 = kompos-arang aktivasi H3PO4 1M

Hal ini kemungkinan disebabkan penggunaan kompos yang mengandung


sejumlah unsur hara yang sangat diperlukan (Tabel 13 dan 14) dan arang aktif hasil
aktivasi uap H2O yang mempunyai daya jerap lebih tinggi (Tabel 47) terutama unsurunsur hara yang bermanfaat bagi menunjang peningkatan tinggi batang. Pertambahan
jumlah daun terbanyak, yaitu 6 helai ditunjukkan oleh perlakuan dengan campuran
media tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan larutan H3PO4
1M. Hal ini kemungkinan selain disebabkan oleh unsur hara yang dikandung oleh
komposnya, juga penggunaan arang aktif hasil aktivasi larutan H3PO4 1M yang
mengandung residu fosfor yang sangat dibutuhkan untuk pertambahan jumlah daun.
Pertambahan jumlah anakan terbanyak, yaitu 4 batang ditunjukkan oleh perlakuan
dengan campuran media tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi
dengan larutan KOH 1M. Hal ini kemungkinan besar juga disebabkan oleh penggunaan
arang aktif hasil aktivasi larutan KOH 1M yang mengandung residu kalium sangat
berpengaruh dalam menyumbang unsur hara kalium yang melengkapi unsur hara pada
kompos yang digunakan.
Dari hasil analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa pengaruh campuran
media memberi pengaruh yang sangat nyata baik terhadap pertumbuhan tinggi batang

138
maupun pertambahan jumlah daun dan anakan tanaman daun dewa (Lampiran 12).
Selanjutnya dari hasil uji BNT ditunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi batang yang
sangat nyata dipengaruhi oleh penggunaan campuran media tanah-abu-kompos yang
diberi arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O (Lampiran 13). Pertambahan jumlah
daun yang sangat nyata dipengaruhi oleh penggunaan campuran media tanah-abukompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O (Lampiran 14).
Pertambahan jumlah anakan yang sangat nyata dipengaruhi oleh penggunaan campuran
media tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O
(Lampiran 15). Selanjutnya, berdasarkan lampiran 13 sampai 15, juga diketahui
penggunaan campuran media tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi
dengan uap H2O dan fraksi metanol asap cair memberi pengaruh sangat nyata pada
pertumbuhan tanaman daun dewa, baik tinggi batang, jumlah daun, maupun anakannya.
Hasil yang didapat pada penelitian ini, ternyata sesuai dengan hasil penelitian
yang dilakukan Gusmailina et al. (2000) yang mendapatkan peningkatan tinggi batang
sangat nyata pada tanaman Eucalyptus urophylla akibat penggunaan media tanam yang
diberi arang dan arang aktif dari bambu. Demikian juga halnya dengan hasil penelitian
Komarayati et al. (2003) yang mengamati pertumbuhan anakan Pinus merkusii cukup
baik pada pemberian arang kompos sebanyak 30%. Keuntungan pemberian arang
dan/atau arang aktif antara lain untuk memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam
tanah, sehingga dapat merangsang dan memberi habitat yang baik untuk pertumbuhan
dan perkembangan tanaman.

4.5.1.2 Pertumbuhan tanaman setelah pemberian pengendali hama


Pemberian pengendali hama pada penelitian ini dilakukan pada umur tanaman
daun dewa berumur 30 hari, karena pada umur tersebut pertumbuhannya sudah kuat
dan menunjukkan pertumbuhan yang baik sehingga waktu yang tepat untuk mencegah
dan mengendali hama pengganggu. Pemberian pengendali hama yang terlalu cepat
dikhawatirkan dapat mengganggu pertumbuhan tanaman, sedangkan jika diberikan

139
pada umur yang relatif tua akan berdampak pada hasil panennya. Pengendali hama
yang diberikan pada penelitian ini terdiri atas pestisida nabati fraksi metanol yang
berasal dari asap cair hasil pirolisis sampah organik pasar. Sebagai pembanding
digunakan pestisida sintetik jenis serbuk merk sidamethin dan air sebagai kontrol.
Masing-masing pengendali hama tersebut dibuat larutan dengan konsentrasi 0,5% dan
diaplikasikan dengan cara menyemprotkan-nya secara merata pada tanaman. Data hasil
pengukuran pertumbuhan tanaman daun dewa setelah pemberian pengendali hama
disajikan pada Tabel 52.
Tabel 52 Pertumbuhan tinggi batang, jumlah daun dan anakan tanaman daun dewa
setelah pemberian pengendali hama

Perlakuan
M0P0
M0P1
M0P2
M1P0
M1P1
M1P2
M2P0
M2P1
M2P2
M3P0
M3P1
M3P2
M4P0
M4P1
M4P2
M5P0
M5P1
M5P2
M6P0
M6P1
M6P2
M7P0
M7P1
M7P2
Ket.:

Tingkat Pertumbuhan pada Hari keTinggi batang


Jumlah daun
Jumlah anakan
(cm)
(helai)
(batang)
40
60
80
40
60
80
40
60
80
3,7
4,5
5,1
10
13
17
3
5
7
5,4
6,9
7,8
11
15
20
2
3
5
3,3
3,9
4,4
9
11
13
3
4
5
5,1
6,4
7,4
12
16
22
4
8
10
6,2
8,0
9,2
11
15
21
4
10
12
5,8
7,4
8,5
11
15
21
4
7
9
4,7
6,1
7,0
12
16
21
7
10
13
5,3
6,8
7,9
12
17
23
6
10
13
5,6
7,4
8,7
13
17
23
5
10
13
5,4
7,0
8,0
12
16
21
5
11
15
5,3
7,1
8,3
13
16
22
5
10
14
6,1
8,2
9,5
13
17
26
3
8
12
5,7
8,2
9,8
12
16
23
5
15
17
6,3
9,1
10,8
14
19
28
3
11
14
6,4
8,8
10,2
13
17
26
3
9
14
7,0
9,9
11,7
12
19
28
5
14
19
7,4
10,9
13,0
17
27
35
15
21
26
7,3
10,4
12,3
14
20
34
6
15
18
6,1
8,7
10,3
13
17
23
7
21
24
6,1
8,7
10,4
14
20
34
11
22
25
5,9
8,6
10,1
13
18
31
7
14
19
6,2
8,8
10,5
16
21
32
6
14
19
5,7
7,7
9,0
13
18
25
5
15
21
6,2
8,7
10,4
14
20
30
6
15
20

M0 = kontrol (100% tanabu)


M6 = kompos-arang aktif hasil aktivasi KOH 1M
M1 = pupuk kandang
M7 = kompos-arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M
M2 = kompos
M3 = kompos-arang
P0 = kontrol (air)
M4 = kompos-arang aktif hasil aktivasi panas
P1 = fraksi metanol (asap cair)
M5 = kompos-arang aktif hasil aktivasi uap H2O
P2 = sidamethin (pestisida sintetik)

140
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 12) dapat diketahui bahwa
penggunaan campuran media memberi pengaruh yang sangat nyata baik terhadap
pertumbuhan tinggi batang maupun pertambahan jumlah daun dan anakan tanaman
daun dewa. Penggunaan pengendali hama memberi pengaruh sangat nyata terhadap
pertambahan jumlah anakan, sedangkan untuk pertambahan jumlah daun hanya
berpengaruh nyata. Pada interaksi antara penggunaan campuran media dan pengendali
hama memberi pengaruh sangat nyata baik terhadap pertumbuhan tinggi batang
maupun terhadap pertambahan jumlah daun dan anakan. Selanjutnya dari hasil uji BNT
diketahui bahwa pertumbuhan tinggi batang dan jumlah daun yang sangat nyata
dipengaruhi oleh penggunaan campuran media tanah-abu-kompos yang diberi arang
aktif hasil aktivasi dengan uap H2O (Lampiran 13 dan 14). Pertambahan jumlah anakan
yang sangat nyata dipengaruhi oleh penggunaan campuran media tanah-abu-kompos
yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan larutan KOH 1M (Lampiran 15).
Pertumbuhan tinggi batang dan pertambahan jumlah daun serta anakan yang sangat
nyata dipengaruhi oleh penggunaan fraksi metanol dari asap cair (Lampiran 13 dan 14).
Pada interaksi antara penggunaan campuran media tanah-abu-kompos yang diberi
arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O dan fraksi metanol dari asap cair
menunjukkan pengaruh sangat nyata baik terhadap pertumbuhan tinggi batang maupun
jumlah daun dan anakan tanaman daun dewa (Lampiran 13, 14, dan 15).
Berdasarkan data Tabel 53 dan hasil analisis sidik ragam serta uji BNT dapat
disimpulkan bahwa peranan fraksi metanol dari asap cair baik sebagai faktor tunggal
maupun dalam bentuk kombinasinya dengan media campuran tanah-abu-kompos yang
diberi arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O sangat nyata pada pertumbuhan dan
perkembangan tanaman daun dewa terutama terhadap pertumbuhan tinggi batang,
jumlah daun dan anakannya. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh berbagai senyawa
yang terkandung dalam fraksi metanol dari asap cair, yang sebahagian besarnya
merupakan golongan fenolik (Tabel 50) yang memacu kerja hormon pertumbuhan
seperti auksin, giberelin, dan sitokinin. Di samping itu, juga dipengaruhi oleh
ketersediaan unsur hara yang mencukupi sehingga kandungan unsur hara pada sisa
campuran media relatif masih banyak (Lampiran 18).

141
4.5.2 Biomassa Tanaman Daun Dewa
Biomassa tanaman uji merupakan salah satu parameter penting untuk
mengetahui pengaruh atau respon dari perlakuan yang diberikan. Data hasil aplikasi
komarasca hasil konversi sampah organik pasar disajikan pada Tabel 53.
Tabel 53 Data rataan hasil penentuan jumlah akar, daun dan bobot biomassa tanaman
daun dewa hasil panen pada perlakuan komarasca
Perlakuan

Jumlah
akar
(potong)

Tebal
daun (cm)

Bobot
basah total
(g)

M0P0

75

0,10

M0P1

41

M0P2

Ket.:

Bobot kering (g)


akar

daun

89

15

14

0,15

99

43

0,10

64

M1P0

64

0,11

145

10

M1P1

68

0,15

104

M1P2

66

0,11

127

10

15

M2P0

95

0,10

191

18

15

M2P1

63

0,14

149

14

10

M2P2

75

0,10

148

18

M3P0

114

0,13

233

28

16

M3P1

119

0,15

176

19

13

M3P2

118

0,11

176

19

19

M4P0

104

0,12

179

22

32

M4P1

58

0,15

141

12

M4P2

44

0,10

117

10

16

M5P0

116

0,11

190

46

28

M5P1

119

0,15

236

44

38

M5P2

105

0,11

157

17

11

M6P0

112

0,11

208

42

26

M6P1

95

0,15

224

41

38

M6P2

62

0,12

177

22

21

M7P0

92

0,11

209

27

30

M7P1

114

0,14

113

14

M7P2

89

0,11

140

24

31

M0 = kontrol (100% tanabu)


M6 = kompos-arang aktif hasil aktivasi KOH 1M
M1 = pupuk kandang
M7 = kompos-arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M
M2 = kompos
M3 = kompos-arang
P0 = kontrol (air)
M4 = kompos-arang aktif hasil aktivasi panas
P1 = fraksi methanol (asap cair)
M5 = kompos-arang aktif hasil aktivasi uap H2O
P2 = sidamethin (pestisida sintetik)

142

Dari Tabel 53 diperoleh informasi bahwa hasil aplikasi komarasca secara


umum menunjukkan respon positif baik terhadap pertumbuhan akar maupun bobot
biomassanya. Perlakuan yang memberi respon terbaik terhadap bobot biomassa
tersebut terdapat pada penggunaan kompos hasil pengomposan terbaik sampah organik
pasar dengan biodekomposer EM-4 dan arang aktif hasil aktivasi dengan menggunakan
aktivator uap H2O pada suhu 800 oC selama 120 menit serta fraksi metanol dari asap
cair hasil pirolisis sampah organik pasar pada suhu 505 oC. Hasil ini kemungkinan
disebabkan kompos yang digunakan mengandung unsur hara yang mencukupi
kebutuhan tanaman tersebut yang ditandai dengan banyak unsur hara yang diserap oleh
akar dan masih bersisanya unsur hara pada campuran media sisa panen (Lampiran 18).
Di samping itu, juga disebabkan penggunaan arang aktif yang mempunyai pori relatif
besar (Gambar 35 dan Tabel 41) sehingga dapat menyerap air dan komponen unsur
hara lebih banyak. Demikian juga halnya, akibat penggunaan fraksi metanol yang
mengandung sejumlah senyawa (Tabel 50), selain sebagai antifeedant bagi serangga,
juga mengaktifkan hormon pertumbuhan.
Berdasarkan hasil analisis secara sidik ragam (Lampiran 12) dapat diketahui
bahwa penggunaan campuran media, pengendali hama maupun interaksinya memberi
pengaruh yang sangat nyata baik terhadap bobot basah maupun kering tanaman daun
dewa. Selanjutnya dari hasil uji BNT diketahui bahwa baik bobot basah maupun
kering tanaman daun dewa berpengaruh sangat nyata pada penggunaan campuran
media tanah-abu-kompos yang dicampur dengan arang aktif hasil aktivasi uap H2O
dengan fraksi metanol dari asap cair sampah organik pasar (Lampiran 16 dan 17).
Hasil ini sesuai dengan yang dilakukan Gusmailina et al. (2000) yang mendapatkan
peningkatan bobot biomassa sangat nyata pada tanaman Eucalyptus urophylla akibat
penggunaan media tanam yang diberi arang dan arang aktif dari bambu.

143
4.5.3 Kandungan Total Mikroba dan Fungi
Data hasil analisis total mikroba dan fungi pada campuran media sisa panen
tanaman daun dewa disajikan pada Tabel 54.
Tabel 54 Kandungan total mikroba dan fungi pada campuran media sisa panen tanaman
daun dewa
Total Mikroba

Total Fungi

(SPK/g 107)

(SPK/g 104)

M0P0

1,74

2,00

M5P1

3,40

5,28

Perlakuan

Dari data Tabel 54 diketahui bahwa total mikroba pada campuran media tanahabu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O dan fraksi metanol
dari asap cair menunjukkan nilai lebih tinggi dibanding kontrol yang hanya berisi
tanah-abu, yaitu secara berturut 3,40 dan 1,74 SPK/g x 107. Demikian juga halnya,
dengan kandungan total fungi. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan campuran
media yang terdiri atas kompos hasil pengomposan dengan biodekomposer EM-4
mengandung

sejumlah

mikroba

seperti Lactobacillus

(bakteri

asam laktat),

Actinomycetes, Streptomyces sp. Di samping itu, arang aktif yang mempunyi pori-pori
relatif besar (Gambar 35 dan Tabel 41) dan memungkinkan sejumlah mikroba
berkembangbiak secara baik dan cepat sehingga hasilnya jauh lebih meningkat
dibandingkan dengan kontrol. Demikian juga halnya dengan penggunaan fraksi
metanol asap cair yang mengandung sejumlah senyawa (Gambar 50) tidak menghalangi
mikroba dan fungi untuk berkembangbiak. Kandungan mikroba dan fungi pada
campuran media tersebut kemungkinan memberi dampak positif bagi pertumbuhan dan
bobot biomassa tanaman daun dewa.

4.5.4 Kandungan Metabolit Sekunder Tanaman Daun Dewa


Kandungan metabolit sekunder dari tanaman sering kali dijadikan dasar
pemanfaatan tanaman tersebut sebagai tanaman berkhasiat obat atau untuk keperluan

144
lainnya dalam kehidupan manusia. Biasanya untuk menelusuri kandungan komponen
metabolit sekunder dari suatu tanaman terlebih dahulu dilakukan penapisan awal
sebelum dilanjutkan dengan isolasi dan penentuan struktur molekulnya. Data hasil
penapisan fitokimia pada tanaman daun dewa yang memberi respon pertumbuhan dan
bobot biomassa tertinggi disajikan pada Tabel 55.
Tabel 55 Kandungan senyawa metabolit sekunder tanaman daun dewa
Respon pada perlakuan komarasca
Golongan

M0P0

M5P1

Daun

Akar

Daun

Akar

Alkaloid

Flavonoid

++

++

Fenilhidrokuinon

Terpenoid

++

Steroid

++

Saponin

++

++

++

Tanin

++

++

Keterangan: M0P0 = Campuran media tanah-abu tanpa pestisida


M5P1 = Campuran media tanah-abu-kompos-arang aktif hasil aktivasi uap H2O
dan pestisida fraksi metanol asap cair
- = tidak ada senyawa
+ = cenderung terdapat senyawa
++ = positif terdapat senyawa

Berdasarkan data Tabel 55 diketahui bahwa penggunaan komarasca hasil


konversi sampah organik pasar cenderung berpengaruh terhadap kandungan beberapa
senyawa metabolit sekunder pada tanaman daun dewa, karena hasil responnya
menunjukkan jenis senyawa dan tingkat keberadaannya relatif berbeda baik pada
perlakuan penggunaan campuran media tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil
aktivasi dengan uap H2O dengan fraksi metanol dari asap cair maupun pada kontrol
yang hanya berisi campuran tanah-abu. Hasil ini menunjukkan bahwa baik kandungan
senyawa alkaloid, fenilhidokuinon, maupun tanin tidak berpengaruh sama sekali, baik
pada penggunaan campuran media tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil
aktivasi dengan uap H2O dengan fraksi metanol dari asap cair maupun pada kontrol.

145
Penggunaan campuran media tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi
dengan uap H2O dengan fraksi metanol dari asap cair berpengaruh positif terhadap
kandungan flavonoid pada bagian akar, terpenoid pada bagian daun, steroid pada
bagian daun dan saponin pada bagian akar. Hal ini kemungkinan besar disebabkan
penggunaan campuran media yang terdiri atas kompos yang mengandung unsur hara
yang sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan dan perkembangan serta biosintesis berbagai
senyawa metabolit sekunder pada tanaman daun dewa. Demikian juga halnya dengan
kandungan arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O yang mempunyai pori relatif
besar (Gambar 35 dan Tabel 41) diperkirakan mampu menyimpan air maupun sinar
yang mencukupi untuk dapat berlangsungnya proses fotosintesis pada tanaman
tersebut, dan fraksi metanol dari asap cair mengandung senyawa antifeedant (Tabel 50)
yang berperan melindungi tanaman dari serangan hama sehingga proses biosintesis
senyawa metabolit primer maupun sekunder dapat berlangsung secara sempurna.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitan yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Penggunaan teknologi pirolisis pada proses pengolahan sampah organik padat dapat
menghasilkan produk bermanfaat berupa arang dan asap cair, sedangkan teknologi
biodekomposer

sangat

efektif

untuk

menangani

sampah

organik

lunak

menghasilkan kompos berkualitas.


2. Biodekomposer yang dapat mempercepat proses pengomposan sampah organik
menghasilkan kompos bermutu terbaik adalah EM-4, campuran Orgadec-EM-4Arang-Asap cair dan campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap cair.
3. Teknologi pirolisis dapat mengkonversikan sampah organik yang sukar
dikomposkan menjadi arang dan asap cair. Arang hasil pirolisis pada suhu 505oC
bermutu terbaik dan asap cair yang dihasilkan pada proses tersebut menunjukkan
kadar total fenol tertinggi.
4. Metode aktivasi arang sampah organik pasar menjadi arang aktif bermutu terbaik,
terutama dalam hal daya jerapnya terhadap iodin, ialah dengan cara aktivasi
menggunakan uap H2O pada suhu 800oC selama 120 menit.
5. Asap cair hasil pirolisis sampah organik pada suhu 505oC menghasilkan rendemen
31,24%, kadar total fenol 223,95 mg/l, dan pH 4,1. Fraksi metanol dan air dari asap
cair tersebut berpotensi sebagai antifeedant, karena aktivitasnya melebihi 50%
terhadap larva S. litura, dan nilai EI50-nya sama-sama 0,71%.
6. Penggunaan komarasca hasil konversi sampah organik berpengaruh sangat nyata
baik terhadap pertambahan tinggi batang, jumlah daun, dan anakan maupun
terhadap bobot biomassa tanaman daun dewa terutama ditunjukkan oleh perlakuan
campuran tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O
pada suhu 800oC selama 120 menit, dan fraksi metanol dari asap cair.

147
5.2 Saran
Agar proses pengomposan sampah dapat diterapkan di lingkungan permukiman,
maka disarankan untuk dilakukan penelitian lanjutan tentang proses pengomposan
yang mampu mendapatkan metode minimisasi bau secara lebih optimal. Di samping
itu, juga perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengisolasi senyawa aktif
antifeedant dari fraksi metanol hasil fraksinasi asap cair sampah organik guna
mengetahui rumus strukturnya.

DAFTAR PUSTAKA
Agusta, A., Jamal, Y., dan M. Harapini.1998. Komponen minyak atsiri daun dewa (Gynura
procumbens) dan kirinyu (Tithonia diversifolia). Laporan Teknik. Proyek Penelitian,
Pengembangan dan Pendayagunaan Biota Darat 1997/1998. Puslitbang Biologi-LIPI.
p:328-333.
Agustina, S. 2004. Kajian Proses Aktivasi Ulang Arang Aktif Bekas Adsorpsi Gliserin
Dengan Metode Pemanasan [Tesis Program Magister]. Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ahmad, S.A., A. Tochidi, dan S. Efendi. 1980. Ilmu Kimia Organik. Angkasa. Bandung.
Anonim. 2004. Mekanisme pelayanan kebersihan di Kota Bogor. Dinas Kebersihan dan
Pertamanan Kota Bogor. Bogor.
Bali, R.M., S.G. Mode, A.Y. Kolte, R.D. Sadekar, and S.D. Harne. 2000. Efficacy of
pefloxacin in enteric colibacillosis in calves. Journal of Indian Veterineer 77: 981983.
Basumatary, B., P. Dutta, M. Prasad and K. Srinivasan. 2005. Thermal modeling of active
carbon based adsorptive natural gas storage system. Carbon 43(3):541-549.
Benaddi, H., T.J. Bandosz, J. Jagiello, J.A. Schwarz, J.N. Rouzaud, D. Legras, and F.
Beguin. 2000. Surface functionality and porosity of activated carbons obtained
from chemical activation of wood. Carbon 38:669-674.
Boudou, J.P., M. Chehimi, E. Broniek, T. Siemieniewska, and J. Bimer. 2003. Adsorption
of H2S or SO2 on an activated carbon cloth modified by ammonia treatment.
Carbon 41(10):1999-2007.
[BPPT] Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi. 1999. Penerapan Konsep Zero
Waste Sampah Perkotaan di Indonesia. Kelompok Teknologi Pengelolaan Sampah
dan Limbah Padat. BPPT. Jakarta.
[BPTP] Balai Penelitian Teknologi Perkebunan. 2004. Sampah ternyata efektif untuk
pakan ternak. http://www.balipos.go.id. [8 Mei 2005].
Brasquet, C., B, Rousseau, H.E. Szwarckopf., and O.L. Cloirec. 2000. Observation of
activated carbon fibres with SEM and AFM correlation with adsorption data in
aqueous solution. Carbon 38:407-422
Bratzler, L.J., M.E. Spooner, J.B. Weathspoon, and J.A. Maxey. 1969. Smoke flavours as
related to phenol, carbonil, and acid content of Bologna. Journal of Food Science
34:146-153.
Brennan, J.K., T.J. Bandosz, K.T. Thomson, and K.E. Gubbins. 2001. Water in porous
carbons. Colloids and Surfaces A: Phycicochem. Eng. Aspects 187-188:539-568.

149
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2004. Spesifikasi kompos dari sampah organik
domestik. Jakarta: BSN; (SNI 19-7030-2004).
[BSN] Badan Standarisari Nasional. 1996. Arang kayu. Jakarta: BSN; (SNI 01-16821996).
[BSN] Badan Standarisari Nasional. 1995. Arang aktif teknis. Jakarta: BSN; (SNI 063730-95)
Bukle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, and M. Wooton. 1985. Ilmu Pangan. H. Purnomo
dan Adiono [Penerjemah]. Terjemahan dari: Food Science. UI Press. Jakarta.
Byrne, C.E., and D.C. Nagle. 1997. Carbonization of wood for advanced materials
applications. Carbon 35(2):259-266
Chacha, M., G. Bojase-Moleta, and R.R.T Majinda. 2005. Antimicrobial and radical
scavenging flavonoids from the steam wood of Erythrina latissima. Phytochemistry
66:99-104.
Chen, J.P., S. Wu, and K.H. Chong. 2003. Surface modification of a granular activated
carbon by citric acid for enhancement of copper solution. Carbon 41:1979-1986.
Cheng-Juri, J., Y. Hong, and C. Zhi-Rong. 2005. Hydrogenation of ortho-nitrochlorobenzene on activated carbon supported platinum catalysts. Jounal of Zhejiang
University Science 6B(5):378-381.
Ciner, D.O., and R. Tipirdamaz. 2002. The effects of cold treatment and charcoal on the in
vitro androgenesis of Pepper (Capsicum annuum L.). Turk Journal of Botany
26:131-139.
Concheso, A., R. Santamaria, M. Granda, R. Menendez, J.M. Jimenez-Mateos, R.
Alcantara, P. Lavela, and J.L. Tirado. 2005. Influence of oxidative stabilization on
the electrochemical behaviour of coal tar pitch deriveds carbons in lithium
batteries. Electrochemica Acta 50:1225-1232.
Dahuri, D. 2 Juni 2003. Sampah organik dan kotoran kerbau sebagai energi alternatif.
Media Indonesia: 7 (kolom 2-5).
Daifullah, A.A.M., and B.S. Girgis. 1998. Removal of some substituted phenols by
activated carbon obtained from agricultural waste. Water Research 32(4):11691177
Darmadji, P. 1995. Produksi asap cair dan sifat fungsionalnya [Laporan Penelitian].
Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Davalos, A., B. Bartolome, and C. Gomez-Cordoves. 2005. Antioxidant properties of
commercial grape juices and vinegar. Food Chemistry 93:325-330
Delgado, J.A., and R.F. Follent. 2002. Carbon and nutrient cycles. Journal of Soil and
Water Conservation 57(6):455-458

150

Demirbas, A., E. Pehlivan, and T. Altun. 2006. Potential evolution of Turkish agricultural
residues as bio-gas, bio-char and bio-oil sources. International Journal of Hidrogen
Energy 31:613-620
Demirbas, A. 2005. Pyrolysis of ground beech wood in irregular heating rate conditions.
Journal of Analytical and Applied Pyrolysis 73:39-43.
Djatmiko, B., S. Ketaren, dan S. Setyahartini. 1985. Pengolahan arang dan kegunaannya.
Agro Industri Press. Bogor
Djuarnani, N., Kristian, dan B.S. Setiawan. 2005. Cara Cepat Membuat Kompos.
AgroMedia Pustaka. Jakarta.
Edwards, C. 1990. Microbiology of Extreme Environment. McGraw-Hill Publishing
Company. New York.
El-Hendawy, A.N. 2003. Influence of HNO3 oxidation on the structure and adsorptive
properties of corncob-based activated carbon. Carbon 41(4):713-722.
Engelhardt, J. 1995. Industrial derivatives and commercial aplication of cellulose. Journal
Carbohydrate in Europe 12:5-13.
Ercin, D. and Y. Yurum. 2003. Carbonisation of Fir (Abies bornmulleriana) wood in an
open pyrolysis system at 50-300 oC. Journal of Analytical and Applied Pyrolysis
67:11-22
Fernandez-Mateos, A., E.M. Martin, R.R. Clemente, R.R. Gonzalez, and M.S.J.
Simmonds. 2005. Synthesis of the insect antifeedant CDE molecular fragment of
12-ketoepoxyiazadiradione and related compounds. Tetrahedron 61:12264-12274.
Figueroa-Torres, M.Z., A. Robau-Sanchez, L.D.I. Torre-Saenz, and A. AguilarElguezabal. 2007. Hydrogen adsorption by nanostructured carbons synthesized by
chemical activation. Microporous and Mesoporous Materials 98:89-93
Firmansyah. 2004. Penggunaan Kombinasi Serbuk Kayu Jati dan Cangkang Telur Ayam
pada Produksi Asap Cair [Skripsi]. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Frackowiak, B., K. Ochalik, A. Bialonska, Z. Ciunik, C. Wawrzenczyk, and S. Lochynski.
2006. Stereochemistry of terpene derivates. Part 5: Synthesis of chiral lactones
fused to a carane system-insect feeding deterrents. Tetrahedron: Asymmetry 17:
124-129
Fricke, K., H. Santen, R. Wallmann, A. Huttner, and N. Dichtl. 2007. Operating problems
in anaerobic digestion plants resulting from nitrogen in MSW. Waste Management
27:30-43
Fuertes, A.B., G. Marban, and D.M. Nevskaia. 2003. Adsorption of volatil organic
compound by means of active carbon fibre-based monoliths. Carbon 41(1):87-96.

151

Gaier, J.R., N.F. Ditmars, and A.R. Dillon. 2005. Aqueous electrochemical intercalation of
bromine into graphite fibers. Carbon 43:189-193.
Gardner, F.P., R.B. Pearce, and R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. UIPress. Jakarta
Gaur, A.C. 1983. A Manual Rural of Composting. Project Field Document. Food and
Agricultural Organization United Nations. Rome.
Gebbinck, E.A.K., B.J.M. Jansen, and A.D. Groot. 2002. Review: Insect antifeedant
activity of clerodane diterpenes and related model compounds. Phytochemistry 61:
737-770
Gerard, M.C., and J.P. Barthelemy. 2003. An assessment methodology for determining
pesticides adsorption on granulated activated carbon. Biotechnology Agron. Soc.
Environ. 7(2):79-85.
Gheek, P., S. Suppan, J. Trawczynski, A. Hynaux, C. Sayag, and G.D. Mariadssou. 2007.
Carbon black composites-supports of HDS catalysts. Catalysis Today 119:19-22
Girard, J.P. 1992. Smoking in Technology of Meat Products. Clermont Ferrand. Ellis
Horwood. New York.
Goenadi, D.H. dan Y. Away [penemu]; Balai Penelitian Bioteknologi Perkebnan
Indonesia. 5 Des 2000. Orgadec. Paten No.: ID 0 000264 S
Gomez-Serrano, V., M.C. Fernandez-Gonzales, M.L. Rojas-Cervantes, M.F. AlexandreFranco, and A. Macias-Garcia. 2003. Carbonization and demineralization of coals:
a study by means of FT-IR spectroscopy. Bulletin Material Science 26(7):721-732.
Gomez-Serrano, V., E.M. Cuerda-Correa, M.C. Fernandez-Gonzalez, M.F. AlexandreFranco, and A. Macias-Garcia. 2005. Preparation of activated carbons from
chestnut wood by phosphoric acid chemical activation. Study of microporosity and
fractal dimension. Material Letters 59(7):846-853.
Guo, J., Y. Luo, A.C. Lua, R.A. Chi, Y.L. Chen, X.T. Bao, and S.X. Xiang. 2007.
Adsorption of hydrogen sulphide (H2S) by activated carbons derived from oil-palm
shell. Carbon 45:330-336
Guo, J., and A.C. Lua. 2000. Preparation and characterization of adsorbents from oil palm
fruit solid wastes. Journal of Oil Palm Research 12(1):64-70.
Gusmailina, G. Pari, S. Komarayati, dan Rostiwati S. 2001. Alternatif arang aktif sebagai
soil conditioning pada tanaman. Buletin Penelitian Hasil Hutan 19(3):185-199.
Gusmailina, dan G. Pari. 2002. Pengaruh pemberian arang terhadap pertumbuhan tanaman
cabai merah (Capsicum annum). Buletin Penelitian Hasil Hutan 20(3):217-229.

152
Gusmailina, G. Pari, dan S. Komarayati. 2004. Teknologi produksi dan pemanfaatan arang
kompos dari limbah pembalakan dan industri kayu skala kecil. Laporan Hasil
Penelitian. Puslitbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.
Gusmailina, G. Pari, dan S. Komarayati. 2000. The Utilization Technology on Charcoal as
a Soil Conditioning [Project Report]. Forest Products Research Centre. Bogor.
Han, M-K., S-I. Kim, and Y-J. Ahn. 2006. Insecticidal and antifeedant activities of
medicinal plant extracts against Attagenus unicolor japonicus (Coleoptera:
Dermestidae). Journal of Stored Production Research 42: 15-22.
Han, M.S., B.G. Lee, B.S. Ahn, D.J. Moon, and S.I. Hong. 2003. Surface properties of
CuCl2/AC catalysts with various Cu contents: XRD, SEM, TG/DSC and CO-TPD
analyses. Applied Surface Science 211(1-4):76-81.
Harada, Y., K. Haga, Tosada, and M. Koshino. 1993. Quality of compost produced from
animal waste. Japan Agriculture Research Quarterly. 26(4):238-246.
Harborne, J. B. 1988. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan (Terjemahan Kosasih Padmawinata). Terbitan ke-2, ITB Press. Bandung.
Harris, P. 1999. On charcoal. Interdisciplinary Science Review 24(4):301-306.
Hartoyo, dan G. Pari. 1993. Peningkatan rendemen dan daya serap arang aktif dengan cara
kimia dosis rendah dan gasifikasi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 11(5):205-208.
Haug, R.T. 1980. Compost Engineering Principles and Practices. Ann Arbor Science.
Michigan.
Hayashi, J., N. Yamamoto, T. Horikawa, K. Muroyama, and V.G. Gomes. 2005.
Preparation and characterization of high-specific-surface-area activated carbons
from K2CO3-treated waste polyurethane. Journal of Colloids Interface Science
281(2):437-443.
Hemingway, R.W., and J.J.Karchesy. 1989. Chemistry and significance of condensed
tannins. Plenum. New York.
Hendaway, A.N.A. 2003. Influence of HNO3 oxidation on the structure and adsorptive
properties of corncorb-based activated carbon. Carbon 41:713-722
Hendra, D., dan G. Pari. 1995. Pembuatan arang aktif dari kayu Acacia managium dengan
gasifikasi Fluidized bed. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 13(6):252-257
Hernandez-Apaolaza, L., A.M. Gasco, J.M. Gasco, and F. Guerrero. 2005. Reuse of waste
materials as growing media for ornamental plants. Bioresource. Technology.
96:125-131.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Balai Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta

153
Hirose, T., T. Fujino, T. Fan, H. Endo, T. Okabe, and M. Yoshimura. 2002. Effect of
carbonization temperature on the structural changes of woogceramics impregnated
with liquefied wood. Carbon 40(5): 761-765.
Hossain, S.H. and N. Anantharaman. 2006. Activity enhancement of lignolytic enzymes of
Trametes versicolor with bagasse powder. African Journal Biotechnology 5(1):
189-194
Indriani, Y.H. 2005. Membuat Kompos Secara Kilat. Cetakan VII. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Jaguaribe, E.F., L.L. Medeiros, M.C.S. Barreto, and L.P. Araujo. 2005. The performance
of activated carbons from sugarcane bagasse, babassu, and coconut shells in
removing residual chlorine. Brazilian Journal Chemical Enggineering
22(01):41-47.
Jannet, H.B., F.H. Skhiri, Z. Mighri, M.S.J. Simmonds, and W.M. Blaney. 2001.
Antifeedant activity of plant extracts and of new natural diglyceride compounds
isolated from Ajuga pseudoiva leaves against Spodoptera littoralis larvae.
Industrial Crops Production 14: 213-222
Javanmardi, J., C. Stushnoff, E. Locke, and J.M. Vivanco. 2003. Antioxidant activity and
total phenolic content of Iranian O. accessions. Food Chemistry 83:547-550.
Jeong, Y-K. and S-J Hwang. 2005. Optimum doses of Mg and P salts for precipitating
ammonia into struvite crystals in aerobic composting. Bioresource Technology
96:1-6.
Jiratchariyakul, W.S, A. Jarikasem, Somanbandhu, and A.W. Frahm. 2001. Atiherpes
simplex viral compounds from G. procumbens. http://www.ppp. upsi.Edu.my/
pi.2.htm. [4 Juni 2005]
Kercher, A. and D.C. Nagle. 2003. Microstructural evolution during charcoal
carbonization by X-Ray diffraction analysis. Carbon 41:15-27.
Kim, Y.A., T. Matusita, T. Hayashi, M. Endo, and M.S. Dresselhaus. 2001. Topological
changes of vapor grown carbon fibers during heat treatment. Carbon 39(11):17471752.
Kinoshita K. 2001. Electrochemical uses of carbon. Di dalam Electrochemistry
Encyclopedia. http://electrochem.cwru.edu/ed/encycl/htm [10 Mei 2005]
Klose, W., and S. Rincon. 2007. Adsorption and reaction of NO on activated carbon in the
presence of oxygen and water vapour. Fuel 86:203-209
Komarayati, S., Gusmailina, dan G. Pari. 2003. Aplikasi arang kompos pada anakan tusam
(Pinus merkusii). Buletin Penelitian Hasil Hutan 21(1):15-21.
Komarayati, S., dan I. Indrawati. 2003. Isolasi dan identifikasi mikroorganisme dalam
arang kompos. Buletin Penelitian Hasil Hutan 21(3):251-258.

154

Komarayati, S. 2004. Penggunaan arang kompos pada media tumbuh anakan mahoni.
Jurnal Penelitian Hasil Hutan 22(4):193-203.
Komilis, D.P. 2006. A Kinetic analysis of solid waste composting at optimal conditions.
Waste Management 26:82-91
Komilis, D.P., and R.K. Ham. 2006. Carbon dioxide and ammonia emissions during
composting of mixed paper, yard waste and food waste. Waste Management
26:62-70
Kyotani, T. 2000. Control of pore structure in carbon. Carbon 38:269-286
Laszlo, K., K. Josepovits, and E. Tombacz. 2001. Analysis of active sites on synthetic
carbon surfaces by various methods. Analytical Science 17:41-44
Lee, Y.J. and L.R. Radovic. 2003. Oxidation inhibition effects of phosphorus and boron in
different carbon fabrics. Carbon 41:1987-1997.
Lillo-Rodenas, M., D. Cazorla-Amoros, and A. Linares-Solano. 2003. Understanding
chemical reactions between carbons and NaOH and KOH: An insight into the
chemical activation mechanism. Carbon 41(2):267-275.
[LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 1999. Arang aktif dari tempurung kelapa.
http://www.pdii.lipi.go.id/arang_aktif_ tempurung_kelapa.htm. [10 Mei 2005].
[LTP] Lembaga Teknologi Pertanian. 1974. Metode dan Prosedur Pemeriksaan Kimiawi
Hasil Perikanan. Dirjen Perikanan Departemen Pertanian. Jakarta: LTP.
Machida, M., M. Aikawa, and H. Tatsumoto. 2005. Prediction of simultaneous adsorption
of Cu(II) and Pb(II) onto activated carbon by conventional Langmuir type
aquations. Journal of Hazardous Materials 120(1-3):271-275.
Machnikowski, J., B. Grzyb, H. Machnikowska, and J.V. Weber. 2005. Surface chemistry
of porous carbons from N-polymers and their blends with pitch. Microporous and
Mesoporous Materials. in press.
Mahendra, S. and L. Alvarez-Cohen. 2005. Pseudonocardia dioxanivorans sp. Nov., a
novel actinomycete that grows on 1,4-dioxane. Internatioan Journal of Systematic
and Evolutionary Microbiology 55: 593-598
Manocha, S. 2003. Porous carbon. Sadhana 28(1-2):335-348.
Marinovic, V., M. Ristic, and M. Dostanic. 2005. Dynamic adsorption of trinitro-toluene
on granular activated carbon. Journal of Hazardous Materials 117(2-3):121-128.
Maroto-Valer, M.M., Y. Zhang, E.J. Granite, Z. Tang, and H.W. Pennline. 2005. Effect of
porous structure and surface functionality on the mercury capacity of a fly ash
carbon and its activated sample. Fuel 84:105-108.

155
Matsuzawa, Y., K. Mae, I. Hasegawa, K. Suzuki, H. Fujiyoshi, M. Ito, and M. Ayabe.
2007. Characterization of carbonized municipal waste as substitute for coal fuel.
Fuel 86:264-272
Mattjik, A.A., dan M. Sumertajaya. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS
dan Minitab. IPB Press. Bogor
Menendez, J.A., E.M. Menendez, M.J. Iglesias, A. Garcia, and J.J. Pis. 1999. Modification
of the surface chemistry of active carbons by means of microwave induced
treatments. Carbon 37:1115-1121
Miller, L.C., and L.B. McCarty. 2002. Activated charcoal for pesticide deactivation.
http://www.sodsolutions.com/turffmgt/charcoal.htm. [10 Mei 2005].
Morales, M.L., B. Benitez, and A.M. Troncoso. 2004. Accelerated aging of wine vinegars
with oak chips: evaluation of wood flavour compounds. Food Chemistry
88:305-315
Murbandono, L. 2005. Membuat Kompos. Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Jakarta
Murtadho, D., dan E.G. Said. 1988. Penanganan dan Pemanfaatan Limbah Padat.
Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.
Nakai, T., S.N. Kartal., T. Hata, and Y. Imamura. 2006. Chemical characterization of
pyrolysis liquids of wood-based composities and evaluation of their bio-efficiency.
Building and Environment. In press.
Nakashima, N., Y. Mitani, and T. Tamura. 2005. Actinomycetes as host cells for production
of recombinant proteins. Microb. Cell Factories 4(7): 1-5
Namane, A., A. Mekarzia, K. Brenrachedi, N. Belhaneche-Bensemra, and A. Hellal. 2005.
Determination of the adsorption capacity of activated carbon made from coffee
grounds by chemical activation with ZnCl2 and H3PO4. Journal of Hazardous
Materials 119(1-3):189-194.
Narasimhan, S., S. Kannan, K. Ilango, and G. Maharajan. 2005. Antifeedant activity of
Momordica dioica fruit pulp extracts on Spodoptera litura. Fitoterapia 76: 715-717
Narasimhan, S., S. Kannan, V.P. Santhanakrishnan, and R. Mohankumar. 2005. Insect
antifeedant and growth regulating activities of salannobutyrolactone and
desacetylsalannobutyrolactone. Fitoterapia 76: 740-743
Nguyen-Thanh, D., and T.J. Bandosz. 2005. Activated carbon with metal containing
bentonite binders as adsorbents of hydrogen sulfide. Carbon 43(2):359-367.
Nguyen, T.X., and S.K. Bhatia. 2005. Characterization of activated carbon fibers using
argon adsorption. Carbon 43(4):775-785.

156
Nischwitz, C., M. Olsen, and S. Rasmussen. 2002. Influence of salinity and root rot
nematode asa stress factors in charcoal rot on melon. http://ag.arizona.edu/pubs/
crops/az. 292.pdf. [23 Juni 2005].
Nishiyama, N., T. Zheng, Y. Yamane, Y. Egashira, and K. Ueyama. 2005. Microporous
carbons prepared from cationic surfactant-reasorcinol/formaldehyde composites.
Carbon 43(9):269-274.
Noike, T. 2005. Present status of Biowaste recycling in Japan. http://www.jora.jp/anor/
eng/img/noike.pdf. [6 Juni 200].
Novicio, L.P., T. Hata, T. Kajimoto, Y. Imamura, and S. Ishihara. 1998. Removal of
mercury from aqueous solutions of mercuric chloride using wood powder
carbonized at high temperature. Journal of Wood Research 85:48-55
Nurhayati, T., Saepuloh, dan Sylviani. 2002. Analisis teknis dan ekonomis produksi arang
aktif industri pedesaan. Buletin Penelitian Hasil Hutan 20(5):353-366.
Nurhayati, T. 2000. Sifat destilat hasil destilasi kering 4 jenis kayu dan kemungkinan
pemanfaatannya sebagai pestisida. Buletin Penelitian Hasil Hutan 17:160-168.
Pari, G. 1996. Pembuatan arang aktif dari serbuk gergajian sengon dengan cara kimia.
Bulletin Penelitian Hasil Hutan 14(8):308-320.
Pari, G. 2004. Kajian Struktur Arang Aktif dari Serbuk Gergaji Kayu sebagai Adsorben
Emisi Formaldehida Kayu Lapis [Disertasi Program Doktor]. Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Pari, G., D. Hendra, dan R.A. Pasaribu. 2006. Pengaruh lama waktu aktivasi dan
konsentrasi asam fosfat terhadap mutu arang aktif kulit kayu Acacia mangium.
Jurnal Penelitian Hasil Hutan 24(1):33-46
Paris, O., C. Zollfrank, and G.A. Zickler. 2005. Decomposition and carbonization of wood
biopolymer microstructural study of softwood pyrolisis. Carbon 43:53-66.
Pastorova, I., R.E. Botto, P.W. Arisz, and J.J. Boon. 1994. Cellulose char structure: A
combined analytical Py-GC-MS, FTIR, and NMR study. Carbohydrate Research
262:27-47
Poage, G.W., C.B. Scott, M.G. Bisson, and F.S. Hartmann. 2000. Activated charcoal
attenuates bitterweed toxicosis in sheep. Journal of Range Management 53(1):73-78.
Prem, D., K. Gupta, and A. Agnihotri. 2004. Development of an efficient high frequency
microspore embryo induction and doubled haploid generation system for Indian
mustard (Brassica juncea). Proceeding of the 4th International Crop Science
Congress. Brisbane. Australia. 26 Sep 1 Oct 2004.

157
Pszczola, D.E. 1995. Tour highlights production and uses of smoke-based flavors. Liquid
smoke a natural aqueous condensate of wood smoke provides various advantages in
addition to flavors and aroma. Journal of Food Technology 1:70-74.
Puziy, A.M., O.I. Poddubnaya, A.M. Alonso, F.S. Garcia, and J.M.D. Tascon. 2003.
Synthetic carbons activated with phosphoric acid III. Carbons prepared in air.
Carbon 41:1181-1191
Qadeer, R., and S. Akhtar . 2005. Kinetics study of lead ion adsorption on activated
carbon. Turk Journal Chemistry 29:95-99.
Rangel-Mendez, J.R., and F.S. Cannon. 2005. Improved activated carbon by thermal
treatment in methane and steam: Physicochemical influences on MIB sorption
capacity. Carbon 43(3):467-479.
Ratnaningsih, I., Dyatmiko, W., dan I.G.P. Santa. 1985. Studi Pendahuluan Fitokimia
Gynura procumbens Back. Prosiding I Seminar Pembudidayaan Tanaman Obat.
Poerwokerto.
Rice, E.L. 1984. Allelopathy, Second Edition. Academic Press. New York.
Robau-Sanchez, A., A. Aguilar-Elguezabal, and J. Aguilar-Pliego. 2005. Chemical
activation of Quercus agrifolia char using KOH: Evidence of cyanide presence.
Microporous and Mesoporous Materials 85:331-339
Sahwan, L.F. 1999. Karakteristik kompos dari sampah kota di plant pengomposan
Tambakboyo, Kabupaten Dati II Sleman, Yogyakarta. Jurnal Sains dan Teknologi
Indonesia 1(4): 75-79.
Saito, Y., and T. Arima. 2007. Features of vapor-grown cone-chaped graphitic whiskers
deposited in the cavities of wood cells. Carbon 45:248-255
Saito, Y., and T. Arima. 2002. Growth of cone-chaped carbon material inside the cell
lumen by heat treatment of wood charcoal. Journal of Wood Science 48(5):451-454
Salisbury, F.B., and. C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid I. Terjemahan D.R.
Lukman dan Sumaryono. ITB Press. Bandung.
Sanchez-Polo, M., R. Leyva-Ramos, and J. Rivera-Utrilla. 2005. Kinetics of 1,3,6naphthalene-trisulphonic acid ozonation in presenc of activated carbons. Carbon
43(5):962-969.
Santoso, D., dan D. Gunawan. 1999. Ramuan Tradisional untuk Penyakit Kulit. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Saraswati, R. 6 November 2005. Komunikasi Pribadi. Bogor
Sartamtomo, I. Fauzi, M. Rifai, D. Maniaryadi, I. Setyaningsih, S. Haryati, dan Saifuddin.
1997. Teknologi adsorpsi karbon aktif untuk mengolah air limbah industri.

158
Balitbang Industri. Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia. Semarang.
Satori, M. 24 Januari 2002. Daur ulang, solusi atasi sampah kota. Harian Pikiran Rakyat: 5
(kolom 2-4).
Sayan, E. 2006. Ultrasound-assisted preparation of activated carbon from alkaline
impregnated hazelnut shell: An optimization study on removal of Cu2+ from
aqueous solution. Chemical Engineering Journal 115:213-218
Schukin, L.I., M.V. Konnievich, R.S. Vartapetjan, and S.I. Beznisko. 2002. Low
temperature plasma oxidation of activated carbons. Carbon 40:2021-2040
Setiawan, M.D. 2001. Penerapan konsep zero waste dalam pengelolaan sampah perkotaan.
http//.www.geocities.com.0-zero.waste.doc. [10 Mei 2005].
Shen, L., and D.K. Zhang. 2005. Low-temperature pyrolysis of sewage sludge and
putrescible garbage for fuel oil production. Fuel 84:809-815
Shih, C.C., and J.R. Chang. 2005. Genesis and growth of platinum subnano-particles on
activated carbon characterized by X-ray absorption spectroscopy: effects of
preparation conditions. Materials Chemistry and Physics 92(1):89-97.
Shuixia, C., L. Ying, X. Ruimei, and Z. Hanmin. 2001. Preparation and their antibacterial
acitivity of activated carbon fiber loading silver compounds. http://acs.omni-booksonline.com/papers/2001_P1.45.pdf. [4 Juni 2005].
Sibelzor. 2004. Investigation of the adsorption of anionic surfactants different pH values
by means of activated carbon and the kinetics of adsorption. Journal of Serbia
Chemical Society 69(1):25-32.
Siregar H.M. dan N.W. Utami. 2002 Usaha Untuk Meningkatkan Produktivitas Umbi
Daun Dewa {Gynura pseudochina (L.)DC.}. Di dalam: Naiola B.P et al., editor.
Prosiding Simposium Nasional II Tumbuhan Obat dan Aromatik APINMAP;
Bogor, 8-10 Agustus 2001. Bogor: Pusat Penelitian Biologi LIPI bekerja sama
dengan KEHATI, APINMAP, UNESCO, JICA. 310-315.
Smith, R.S.J., C.S Hodges CS & Cordell CE. 2004. Charcoal root rot and black root rot.
http:www.forestpests.org/ver.2/X1.1.html. [23 Juni 2005].
Smisek, M., and S. Cerny. 2002. Active carbon: manufacture, properties, and application.
Elsevier Publishing Co. New York. http://www.ams.usda.gov/nop/ NationalList/
TAPReviews/activecarbon.pdf. [10 Mei 2005].
Soetarno, S., Suganda, A.G., Sugihartina, G. dan Sukrasno. 2000. Flavonoid dan asamasam fenolat dari daun dewa (Gynura procumbens). Warta Tumbuhan Obat
Indonesia 6:6-7.
Solovyov, L.A., A.N. Shmakov, V.I. Zaikovskii, S.H. Joo, and R. Ryoo. 2002. Detailed
structure of the hexagonally packed mesostructured carbon material CMK-3.
Carbon 40:2477-2481

159

Srivastava, V.C., M.M. Swamy, I.D. Mall, B. Prasad, and I.M. Mishra. 2006. Adsorptive
removal of phenol by baggase fly ash and activated carbon: equilibrium, kinetics,
and thermodynamics. Colloids and Surfaces A: Physicochemical Enggineering
Aspects 272:89-104
Srivibool, R., K. Kurakami, M. Sukchotiratana, and S. Tokuyama. Coastal soil
actinomycetes: thermotolerant strains producing N-acylamino acid racemase.
Science Asia 30: 123-126
Stavropoulos, G.G., and A.A. Zabaniotou. 2005. Production and characterization of
activated carbons from olive-seed waste residue. Microporous and Mesoporous
Materials 82:79-85
Strom, P.F. 1985. Effects of temperature on bacterial species diversity in thermophilic
solid-waste composting. Applied and environmental microbiology 50(4):899-905
Strom, P.F. 1985. Identification of thermophilic bacteria in solid-waste composting.
Applied and environmental microbiology 50(4):906-913
Su, C., and R.W. Puls. 2007. Removal of added nitrate in cotton burr compost, mulch
compost, and peat: Mecanisms and potential use for groundwater nitrate
remediation. Chemosphere 66:91-98
Su, M-S., and J.L. Silva. 2006. Antioxidant activity, anthocyanins, and phenolicc of
rabbiteye blueberry (Vaccinium ashei) by products as affected by fermentation.
Food Chemistry 97:447-451
Sudjana. 1985. Desain dan Analisis Eksperimen. Tarsito. Bandung.
Sudradjat, R., dan S. Soleh. 1994. Petunjuk teknis pembuatan arang aktif. Bagian Proyek
Litbang Pemanfaatan Hasil HTI Pusat Litbang Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi
Kehutanan. Bogor.
Suler, D.J., and M.S. Finstein. 1977. Effect of temperature, aeration, and moisture on CO2
formation in Bench-scale, continuously thermophilic composting of solid waste.
Applied and Environental Microbiology 33(2):345-350
Sukmadi, B., dan D. Hardianto. 2000. Pengujian aktivitas formulasi mikroorganisme
dekomposisi pada proses pengomposan bahan organik. Makalah disampaikan pada
Pertemuan Ilmiah Tahunan Mikrobiologi Indonesia di Denpasar, 27-28 Juni 2000.
Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia. Denpasar, pp. 23-28.
Swain, T. 1979. Tannins and lignin: Their interaction with secondary metabolites.
Academic Press. New York.
Takagi, H., H. Hatori, Y. Yamada, S. Matsuo, and M. Shiraishi. 2004. Hydrogen
adsorption properties of activated carbons with modified surfaces. Journal of
Alloys and Compounds 385(1-2):257-263.

160
Talashilkar, S.C., P.P. Bhangarath, and V.B. Metha. 1999. Changes in chemical properties
during composting of organic residues as influenced by earthworm activity. Journal
of the Indian Society of Soil Science 47(1):50-53.
Tanaike, O., and M. Inagaki. 1999. Degradation of carbon materials by intercalation.
Carbon 37:1759-1769
Tansel, B., and P. Nagarajan. 2004. SEM study of phenolphthalein adsorption on granular
activated carbon. Advances in Environmental Research 8:411-415
Thoison, O., T. Sevenet, H.M. Niemeyer, and G.B. Russell. 2004. Insect antifeedant
compounds from Nothofagus dombeyi and Nothofagus pumilio. Phytochemistry 65:
2173-2176
Tim Redaksi Trubus. 1999. Pupuk Akar. Penebar Swadaya. Jakarta.
Tranggono, S., B. Setiadji, P. Darmadji, Supranto, dan Sudarmanto. 1997. Identifikasi asap
cair dari berbagai jenis kayu dan tempurung kelapa. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Pangan 1(2):15-24.
Tuomela, M., M. Vikman, A. Hatakka, and M. Itavaara. 2000. Biodegradation of lignin in
a compost environment: a review. Bioresource Technology 72:169-183.
Villalba, J.J., F.D. Provenda, and R.E. Banner. 2002. Influence of macronutrients and
activated charcoal on intake of sagebrush by sheep and goats. Journal Animal
Science 80:2099-2109.
Villegas, J.P., and C.J.D. Valle. 2001. Pore structure of chars and activated carbon
prepared using carbon dioxide at different temperatures from extracted rockrose.
Carbon 57:1-13
Wahyono, S. 12 Januari 2004. Teknologi pengomposan untuk atasi sampah. Kompas:11
(kolom 6-8).
Wang, L-S., J. Liu, Y-Z. Zang, Y. Zhao, and P-J. Gao. 2003. Comparison of domains
function between cellobiohydrolase I and endoglucanase I from Trichoderma
pseudokoningii S-38 by limited proteolysis. Journal Molecular Catalysis. B:
Enzimatic 24-25: 27-38.
Weil, R.R., K.R. Islam, M.A. Stine, J.B. Gruver, and S.E. Susan-Liebeg. 2003. Estimating
active carbon for soil quality assessment: a simplified method for laboratory and
field use. American Journal of Alternative Agriculture 18(1):3-17.
Wibowo, A., dan D. Djajawinata. 2003. Penanganan sampah perkotaan terpadu. http://
kkppi.go.id/papbook/pananganan%20sampah%20perkotaan%20terpadu.pdf.
[10 Mei 2005].
Wijayakusuma, H.M.H., Wirian, A.S., Yaputra, T., Dalimartha, dan S.B. Wibowo. 1992.
Tanaman Berkhasiat Obat Di Indonesia. Jilid 1. Pustaka Kartini. Jakarta.

161
Williams, P.T., and A.R. Reed. 2003. Pre-formed activated carbon matting derived from the
pyrolysis of biomass natural fibre textile waste. Journal of Analytical and Applied
Pyrolysis 70:563-577
Winarto, W.P., A. Permadi, dan B. Mahendra. 2003. Daun Dewa: Dudi Daya &
Pemanfaatan untuk Obat. Penebar Swadaya. Jakarta.
Yang, R., X. Qiu, H. Zhang, J. Li, W. Zhu, Z. Wang, X. Huang, and L. Chen. 2005.
Monodispersed hard carbon spherules as a catalyst support for the electrooxidation
of methanol. Carbon 43:11-16.
Yang, S. 1997. Preparation of Compost, and Evaluating Its Maturity. Extension Bulletin
445. Food and Fertilizer Technology Center.
Yu, G., F. Wang, Z. Dai, and Z. Yu. 2005. Porous catalyst intraparticle status of paralel,
equilibrium-restrained reactions. Chemical Engineering and Processing 44:33-39
Yulistiani, R. 1997. Kemapuan penghambatan asap cair terhadap pertumbuhan bakteri
pathogen dan perusak pada lidah sapi [Tesis Program Magister]. Program
Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Yusa, H., and T. Watanuki. 2005. XRD of multiwalled carbon nanotube under high
pressure structural durability on static compression. Carbon 43(3):519-523.
Yuwono D. 2006. Kompos. Penebar Swadaya. Jakarta.
Zhang, F.S., J.O. Nriagu, and H. Itoh. 2005. Mercuri removal from water using activated
carbons derived from organic sewage sludge. Water Research 39(2-3):389-395.
Zhang, G.Q., G.X. Tang, W.J. Song, and W.J. Zhou. 2004. Resynthesizing Brassica napus
from interspecific hybridization between Brassica rapa and Brassica oleracea
through ovary culture. Euphytica 30:1-7.
Zang, X.F, and B.K.H. Tang. 2000. Effects of an ethanolic extract og Gynura procumbens
on serum glucose, cholesterol ang triglyceride levels in normal and streptozotocininduced diabetic rats. http://www.singaporemedj2000,vol 41(1) [4 Juni 2005].
Zawadzki, J., and M. Wisniewski. 2007. An infrared study of the behavior of SO2 and NOx
over carbon and carbon-supported catalysts. Catalysis Today 119:213-218

LAMPIRAN

163
Lampiran 1. Sidik Ragam Aktivator, Waktu dan Suhu dan Interaksinya pada
Pembuatan Arang Aktif
A. Faktor Tunggal
Sifat

JK

KT

Fhitung

Aktivator
1. Rendemen, %
2. Kadar air, %
3. Kadar zat terbang, %
4. Kadar abu, %
5. Kadar karbon, %
6. Daya jerap iodin, mg/g
7. Daya jerap benzena, %

12447,80
53,21
1908,60
2830,25
8003,70
1613252,60
1417,66

2489,56
10,64
381,72
566,05
1600,74
322650,52
283,53

503,83**
28,34**
277,82**
142,17**
248,38**
200,03**
59,62**

32,03
7,75
0,48
27,21
20,45
158817,16
37,78

32.03
7,75
0,48
27,21
20,45
158817,16
37,78

6,48**
20,63**
0,35
6,83**
3,17
98,46**
7,94**

7,01
2,84
0,01
37,34
38,62
29931,93
33,02

7,01
2,84
0,01
37,34
38,62
29931,93
33,02

1,42
7,56**
0,01
9,38**
5,99*
18,56**
6,94**

Waktu
1. Rendemen, %
2. Kadar air, %
3. Kadar zat terbang, %
4. Kadar abu, %
5. Kadar karbon, %
6. Daya jerap iodin, mg/g
7. Daya jerap benzena, %
Suhu
1. Rendemen, %
2. Kadar air, %
3. Kadar zat terbang, %
4. Kadar abu, %
5. Kadar karbon, %
6. Daya jerap iodin, mg/g
7. Daya jerap benzena, %

Keterangan: ** = sangat nyata


* = nyata

B. Interaksi Dua Faktor

164
Sifat

JK

KT

Fhitung

Aktivator-Waktu
1. Rendemen, %
2. Kadar air, %
3. Kadar zat terbang, %
4. Kadar abu, %
5. Kadar karbon, %
6. Daya jerap iodin, mg/g
7. Daya jerap benzena, %

681,37
61,47
84,30
85,97
109,37
435902,48
179,53

136,27
12,29
16,86
17,19
21,87
87180,50
35,91

27,58**
32,74**
12,27**
4,32**
3,39**
54,05**
7,55**

259,72
26,02
61,95
55,09
165,97
271171,45
62,60

51,94
5,20
12,39
11,02
33,19
54234,29
12,52

10,51**
13,86**
9,02**
2,77*
5,15**
33,62**
2,63*

57,27
1,12
18,49
3,58
38,27
9264,78
5,42

57,27
1,12
18,49
3,58
38,27
9264,78
5,42

11,59**
2,98
13,46**
0,90
5,94*
5,74*
1,14

Aktivator-Suhu
1. Rendemen, %
2. Kadar air, %
3. Kadar zat terbang, %
4. Kadar abu, %
5. Kadar karbon, %
6. Daya jerap iodin, mg/g
7. Daya jerap benzena, %
Waktu-Suhu
1. Rendemen, %
2. Kadar air, %
3. Kadar zat terbang, %
4. Kadar abu, %
5. Kadar karbon, %
6. Daya jerap iodin, mg/g
7. Daya jerap benzena, %

C. Interaksi Tiga Faktor


Sifat

JK

KT

Fhitung

Aktivator-Waktu-Suhu
1. Rendemen, %
2. Kadar air, %
3. Kadar zat terbang, %
4. Kadar abu, %
5. Kadar karbon, %
6. Daya jerap iodin, mg/g
7. Daya jerap benzena, %

407,79
7,74
40,56
72,59
177,22
178128,11
27,37

81,56
1,55
8,11
14,52
35,44
35625,62
5,47

Lampiran 2. Uji BNT Cara Duncan Rendemen Arang Aktif

16,51**
4,12**
5,90**
3,65*
5,50**
22,09**
1,15

165

A. Faktor Tunggal
Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

A1
A2
A3
A4
A5
A6

81,05
51,85
63,45
78,96
77,20
81,95

AB
E
D
C
B
A

W1
W2

71,58
73,23

B
A

Keterangan:
A1= aktivasi panas
A2= aktivasi uap H2O
A3= aktivasi KOH 0,5M
A4= aktivasi KOH 1M
A5= aktivasi H3PO4 0,5M
A6= aktivasi H3PO4 1M
W1= waktu 60 menit
W2= waktu 120 menit

B. Interaksi Dua Faktor (Aktivator-Waktu)


Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

A1W1
A2W1
A3W1
A4W1
A5W1
A6W1
A1W2
A2W2
A3W2
A4W2
A5W2
A6W2

80,45
56,54
62,55
76,01
79,49
81,55
81,00
50,45
63,73
79,24
77,11
83,48

ABC
F
E
D
BCD
AB
ABC
G
E
BCD
CD
A

C. Interaksi Dua Faktor (Aktivator-Suhu)


Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

A1S1
A1S2
A2S1
A2S2
A3S1
A3S2
A4S1
A4S2
A5S1
A5S2
A6S1
A6S2

78.79
82.66
54.04
49.61
62.35
63.93
76.44
78.81
79.11
79.55
80.78
82.19

AB
A
D
E
C
C
B
AB
AB
AB
AB
A

D. Interaksi Dua Faktor (Waktu-Suhu)


Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

166
W1S1
W1S2
W2S1
W2S2

71.72
73.81
71.11
72.11

A
A
A
A

E. Interaksi Tiga Faktor (Aktivator-Waktu-Suhu)


Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

A1W1S1
A1W1S2
A2W1S1
A2W1S2
A3W1S1
A3W1S2
A4W1S1
A4W1S2
A5W1S1
A5W1S2
A6W1S1
A6W1S2
A1W2S1
A1W2S2
A2W2S1
A2W2S2
A3W2S1
A3W2S2
A4W2S1
A4W2S2
A5W2S1
A5W2S2
A6W2S1
A6W2S2

78.70
82.20
55.59
57.50
62.75
62.35
71.95
80.08
82.85
80.25
78.50
80.48
78.88
83.13
52.50
49.73
61.95
65.50
80.93
77.55
75.38
78.85
83.05
83.90

CDE
ABC
IJ
I
GH
GH
F
BCD
AB
BCD
DE
ABC
CDE
AB
J
K
H
G
ABCD
DE
E
CDE
AB
A

Keterangan:
A1= aktivasi panas
A2= aktivasi uap H2O
A3= aktivasi KOH 0,5M
A4= aktivasi KOH 1M
A5= aktivasi H3PO4 0,5M
A6= aktivasi H3PO4 1M

W1 = waktu 60 menit
W2 = waktu 120 menit
S1 = suhu 700 oC
S2 = suhu 800 oC

Lampiran 3. Uji BNT Cara Duncan Kadar Air Arang Aktif

167
A. Faktor Tunggal
Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

A1
A2
A3
A4
A5
A6

1.72
1.12
2.95
3.20
2.90
2.19

C
D
A
A
A
B

Keterangan:
A1= aktivasi panas
A2= aktivasi uap H2O
A3= aktivasi KOH 0,5M
A4= aktivasi KOH 1M
A5= aktivasi H3PO4 0,5M
A6= aktivasi H3PO4 1M

W1
W2

2.06
2.63

B
A

W1= waktu 60 menit


W2= waktu 120 menit

S1
S2

2.17
2.52

B
A

S1= suhu 700 oC


S2= suhu 800 oC

B. Interaksi Dua Faktor (Aktivator-Waktu)


Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

A1W1
A2W1
A3W1
A4W1
A5W1
A6W1
A1W2
A2W2
A3W2
A4W2
A5W2
A6W2

1.69
0.95
2.68
1.28
2.84
2.93
1.75
1.28
3.23
5.11
2.96
1.46

C
C
B
C
B
B
C
C
B
A
B
C

C. Interaksi Dua Faktor (Aktivator-Suhu)


Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

A1S1
A1S2
A2S1
A2S2
A3S1
A3S2
A4S1
A4S2
A5S1
A5S2
A6S1
A6S2

1.82
1.62
1.09
1.14
1.64
4.26
3.13
3.26
2.90
2.90
2.47
1.92

DEF
EF
F
F
DEF
A
ABC
AB
BCD
BCD
BCDE
CDEF

C. Interaksi Tiga Faktor (Aktivator-Waktu-Suhu)


Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

A1W1S1
A1W1S2

2.36
1.02

CDEF
H

168
A2W1S1
A2W1S2
A3W1S1
A3W1S2
A4W1S1
A4W1S2
A5W1S1
A5W1S2
A6W1S1
A6W1S2
A1W2S1
A1W2S2
A2W2S1
A2W2S2
A3W2S1
A3W2S2
A4W2S1
A4W2S2
A5W2S1
A5W2S2
A6W2S1
A6W2S2

0.98
0.93
1.53
3.83
1.45
1.11
2.46
3.23
3.22
2.65
1.28
2.23
1.20
1.36
1.76
4.70
4.82
5.41
3.34
2.58
1.71
1.20

Keterangan:
A1= aktivasi panas
A2= aktivasi uap H2O
A3= aktivasi KOH 0,5M
A4= aktivasi KOH 1M
A5= aktivasi H3PO4 0,5M
A6= aktivasi H3PO4 1M

H
H
EFGH
B
FGH
H
CDE
BC
BC
CD
GH
DEFG
H
GH
EFGH
A
A
A
BC
CD
EFGH
H

W1 = waktu 60 menit
W2 = waktu 120 menit
S1 = suhu 700 oC
S2 = suhu 800 oC

Lampiran 4. Uji BNT Cara Duncan Kadar Zat Terbang Arang Aktif
A. Faktor Aktivator
Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

Keterangan:

169
A1
A2
A3
A4
A5
A6

18.95
10.75
15.64
16.11
7.32
7.48

A
C
B
B
D
D

A1= aktivasi panas


A2= aktivasi uap H2O
A3= aktivasi KOH 0,5M
A4= aktivasi KOH 1M
A5= aktivasi H3PO4 0,5M
A6= aktivasi H3PO4 1M

B. Interaksi Dua Faktor (Aktivator-Waktu)


Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

A1W1
A2W1
A3W1
A4W1
A5W1
A6W1
A1W2
A2W2
A3W2
A4W2
A5W2
A6W2

18.99
11.82
14.39
14.91
7.19
8.54
18.91
9.68
16.90
17.31
7.46
6.43

A
D
C
C
FG
EF
A
E
B
AB
FG
G

C. Interaksi Dua Faktor (Aktivator-Suhu)


Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

A1S1
A1S2
A2S1
A2S2
A3S1
A3S2
A4S1
A4S2
A5S1
A5S2
A6S1
A6S2

18.57
19.33
11.63
9.87
14.09
17.20
16.74
15.48
7.69
6.95
7.48
7.49

AB
A
E
F
D
BC
C
CD
G
G
G
G

D. Interaksi Dua Faktor (Waktu-Suhu)


Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

W1S1
W1S2
W2S1
W2S2

13.07
12.21
12.33
13.23

A
A
A
A

170

E. Interaksi Tiga Faktor (Aktivator-Waktu-Suhu)


Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

A1W1S1
A1W1S2
A2W1S1
A2W1S2
A3W1S1
A3W1S2
A4W1S1
A4W1S2
A5W1S1
A5W1S2
A6W1S1
A6W1S2
A1W2S1
A1W2S2
A2W2S1
A2W2S2
A3W2S1
A3W2S2
A4W2S1
A4W2S2
A5W2S1
A5W2S2
A6W2S1
A6W2S2

19.32
18.66
12.77
10.88
14.44
14.34
16.13
13.68
7.09
7.29
8.66
8.42
17.82
20.01
10.49
8.87
13.74
20.07
17.34
17.27
8.30
6.61
6.30
6.55

AB
ABC
E
F
E
E
D
E
HIJK
HIJK
H
HI
BCD
A
FG
GH
E
A
CD
CD
HIJ
IJK
K
JK

Keterangan:
A1= aktivasi panas
A2= aktivasi uap H2O
A3= aktivasi KOH 0,5M
A4= aktivasi KOH 1M
A5= aktivasi H3PO4 0,5M
A6= aktivasi H3PO4 1M

W1 = waktu 60 menit
W2 = waktu 120 menit
S1 = suhu 700 oC
S2 = suhu 800 oC

Lampiran 5. Uji BNT Cara Duncan Kadar Abu Arang Aktif


A. Faktor Tunggal
Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

A1

14.98

Keterangan:
A1= aktivasi panas

171
A2
A3
A4
A5
A6

14.73
21.83
24.93
10.13
10.87

C
B
A
D
D

A2= aktivasi uap H2O


A3= aktivasi KOH 0,5M
A4= aktivasi KOH 1M
A5= aktivasi H3PO4 0,5M
A6= aktivasi H3PO4 1M

W1
W2

16.78
15.71

A
B

W1= waktu 60 menit


W2= waktu 120 menit

S1
S2

15.62
16.87

B
A

S1= suhu 700 oC


S2= suhu 800 oC

B. Interaksi Dua Faktor (Aktivator-Waktu)


Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

A1W1
A2W1
A3W1
A4W1
A5W1
A6W1
A1W2
A2W2
A3W2
A4W2
A5W2
A6W2

16.47
15.86
22.17
26.39
10.10
9.70
13.50
13.61
21.50
23.48
10.17
12.04

C
CD
B
A
F
F
DE
DE
B
B
F
EF

C. Interaksi Dua Faktor (Aktivator-Suhu)


Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

A1S1
A1S2
A2S1
A2S2
A3S1
A3S2
A4S1
A4S2
A5S1
A5S2
A6S1
A6S2

14.06
15.91
14.90
14.57
20.42
23.25
23.30
26.56
9.83
10.43
11.23
10.50

D
D
D
D
C
B
B
A
E
E
E
E

D. Interaksi Tiga Faktor (Aktivator-Waktu-Suhu)


Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

A1W1S1
A1W1S2
A2W1S1
A2W1S2
A3W1S1

15.56
17.38
14.86
16.86
21.81

FG
EF
FGH
EF
BCD

172
A3W1S2
A4W1S1
A4W1S2
A5W1S1
A5W1S2
A6W1S1
A6W1S2
A1W2S1
A1W2S2
A2W2S1
A2W2S2
A3W2S1
A3W2S2
A4W2S1
A4W2S2
A5W2S1
A5W2S2
A6W2S1
A6W2S2

22.52
26.25
26.53
9.78
10.42
9.85
9.55
12.55
14.44
14.95
12.27
19.02
23.98
20.36
26.59
9.89
10.44
12.62
11.46

Keterangan:
A1= aktivasi panas
A2= aktivasi uap H2O
A3= aktivasi KOH 0,5M
A4= aktivasi KOH 1M
A5= aktivasi H3PO4 0,5M
A6= aktivasi H3PO4 1M

BC
A
A
J
J
J
J
GHIJ
FGHI
FGH
HIJ
DE
AB
CD
A
J
J
GHIJ
IJ

W1 = waktu 60 menit
W2 = waktu 120 menit
S1 = suhu 700 oC
S2 = suhu 800 oC

Lampiran 6. Uji BNT Cara Duncan Kadar Karbon Terikat Arang Aktif
A. Faktor Tunggal
Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

A1
A2
A3

66.07
74.52
62.52

C
B
D

Keterangan:
A1= aktivasi panas
A2= aktivasi uap H2O
A3= aktivasi KOH 0,5M

173
A4
A5
A6

58.96
82.55
81.65

E
A
A

A4= aktivasi KOH 1M


A5= aktivasi H3PO4 0,5M
A6= aktivasi H3PO4 1M

S1
S2

71.68
70.41

A
B

S1= suhu 700 oC


S2= suhu 800 oC

B. Interaksi Dua Faktor (Aktivator-Waktu)


Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

A1W1
A2W1
A3W1
A4W1
A5W1
A6W1
A1W2
A2W2
A3W2
A4W2
A5W2
A6W2

64.54
72.32
63.45
58.71
82.72
81.77
67.60
76.71
61.60
59.22
82.38
81.54

DE
C
E
F
A
A
D
B
EF
F
A
A

C. Interaksi Dua Faktor (Aktivator-Suhu)


Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

A1S1
A1S2
A2S1
A2S2
A3S1
A3S2
A4S1
A4S2
A5S1
A5S2
A6S1
A6S2

67.38
64.76
73.47
75.56
65.50
59.55
59.97
57.96
82.48
82.62
81.29
82.01

C
C
C
B
C
D
D
D
A
A
A
A

D. Interaksi Dua Faktor (Waktu-Suhu)


Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

W1S1
W1S2
W2S1
W2S2

70.59
70.58
72.77
70.24

A
A
A
A

174
E. Interaksi Tiga Faktor (Aktivator-Waktu-Suhu)
Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

A1W1S1
A1W1S2
A2W1S1
A2W1S2
A3W1S1
A3W1S2
A4W1S1
A4W1S2
A5W1S1
A5W1S2
A6W1S1
A6W1S2
A1W2S1
A1W2S2
A2W2S1
A2W2S2
A3W2S1
A3W2S2
A4W2S1
A4W2S2
A5W2S1
A5W2S2
A6W2S1
A6W2S2

65.12
63.97
72.38
72.26
63.76
63.14
57.63
59.79
83.14
82.30
81.50
82.03
69.63
74.56
78.86
67.24
55.96
62.31
56.14
81.81
82.95
81.09
82.00
83.27

FG
FG
CD
CD
FG
GH
I
HI
A
AB
AB
AB
DE
C
B
EF
I
GH
I
AB
AB
AB
AB
A

Keterangan:
A1= aktivasi panas
A2= aktivasi uap H2O
A3= aktivasi KOH 0,5M
A4= aktivasi KOH 1M
A5= aktivasi H3PO4 0,5M
A6= aktivasi H3PO4 1M

W1 = waktu 60 menit
W2 = waktu 120 menit
S1 = suhu 700 oC
S2 = suhu 800 oC

Lampiran 7. Uji BNT Cara Duncan Daya Jerap Iodin Arang Aktif
A. Faktor Tunggal
Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

A1
A2
A3
A4
A5

449.03
688.28
389.59
342.31
290.42

B
A
C
D
E

Keterangan:
A1= aktivasi panas
A2= aktivasi uap H2O
A3= aktivasi KOH 0,5M
A4= aktivasi KOH 1M
A5= aktivasi H3PO4 0,5M

175
A6

354.66

A6= aktivasi H3PO4 1M

W1
W2

459.72
378.37

A
B

W1= waktu 60 menit


W2= waktu 120 menit

S1
S2

401.39
436.71

B
A

S1= suhu 700 oC


S2= suhu 800 oC

B. Interaksi Dua Faktor (Aktivator-Waktu)


Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

A1W1
A2W1
A3W1
A4W1
A5W1
A6W1
A1W2
A2W2
A3W2
A4W2
A5W2
A6W2

623.46
687.38
469.64
325.21
296.70
355.94
274.59
689.17
309.53
359.42
284.14
353.38

A
A
B
C
C
C
C
A
C
C
C
C

C. Interaksi Dua Faktor (Aktivator-Suhu)


Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

A1S1
A1S2
A2S1
A2S2
A3S1
A3S2
A4S1
A4S2
A5S1
A5S2
A6S1
A6S2

443.16
454.90
560.88
815.67
382.88
396.29
316.28
368.35
316.63
264.22
388.51
320.81

C
C
B
A
CD
CD
DE
CDE
DE
E
CD
DE

D. Interaksi Dua Faktor (Waktu-Suhu)


Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

W1S1
W1S2
W2S1
W2S2

432.24
487.20
370.54
386.21

AB
A
B
AB

E. Interaksi Tiga Faktor (Aktivator-Waktu-Suhu)

176
Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

A1W1S1
A1W1S2
A2W1S1
A2W1S2
A3W1S1
A3W1S2
A4W1S1
A4W1S2
A5W1S1
A5W1S2
A6W1S1
A6W1S2
A1W2S1
A1W2S2
A2W2S1
A2W2S2
A3W2S1
A3W2S2
A4W2S1
A4W2S2
A5W2S1
A5W2S2
A6W2S1
A6W2S2

546.76
700.16
616.94
757.82
459.73
479.56
323.25
327.17
308.49
284.92
338.28
373.60
339.56
209.63
504.82
873.53
306.04
313.02
309.32
409.52
324.77
243.52
438.74
268.03

E
C
D
B
FGH
FG
JKL
JKL
JKL
KLM
JK
IJ
JK
N
EF
A
KL
JKL
JKL
HI
JKL
LMN
GH
LMN

Keterangan:
A1= aktivasi panas
A2= aktivasi uap H2O
A3= aktivasi KOH 0,5M
A4= aktivasi KOH 1M
A5= aktivasi H3PO4 0,5M
A6= aktivasi H3PO4 1M

W1 = waktu 60 menit
W2 = waktu 120 menit
S1 = suhu 700 oC
S2 = suhu 800 oC

Lampiran 8. Uji BNT Cara Duncan Daya Jerap Benzena Arang Aktif
A. Faktor Tunggal
Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

A1
A2
A3
A4
A5
A6

8.33
17.52
5.37
9.88
7.09
9.67

BC
A
D
B
C
B

Keterangan:
A1= aktivasi panas
A2= aktivasi uap H2O
A3= aktivasi KOH 0,5M
A4= aktivasi KOH 1M
A5= aktivasi H3PO4 0,5M
A6= aktivasi H3PO4 1M

177
W1
W2

9.01
10.27

B
A

W1= waktu 60 menit


W2= waktu 120 menit

S1
S2

9.06
10.23

B
A

S1= suhu 700 oC


S2= suhu 800 oC

B. Interaksi Dua Faktor (Aktivator-Waktu)


Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

A1W1
A2W1
A3W1
A4W1
A5W1
A6W1
A1W2
A2W2
A3W2
A4W2
A5W2
A6W2

8.65
15.85
4.74
6.81
7.56
10.48
8.00
19.19
6.00
12.95
6.62
8.86

DEF
B
G
EFG
EF
D
DEF
A
FG
C
EFG
DE

C. Interaksi Dua Faktor (Aktivator-Suhu)


Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

A1S1
A1S2
A2S1
A2S2
A3S1
A3S2
A4S1
A4S2
A5S1
A5S2
A6S1
A6S2

8.44
8.21
15.43
19.61
5.46
5.28
8.67
11.10
6.98
7.19
9.36
9.98

CD
CDE
B
A
E
E
CD
C
DE
DE
CD
CD

Lampiran 9. Hasil Analisis Probit Asap Cair dan Fraksi-fraksinya


a. Asap Cair
Confidence Limits for Effective Inhibitor (EI50)
Prob

konsentr

95% Confidence Limits


Lower
Upper

,01
,02
,03

-2,29821
-1,89201
-1,63429

.
.
.

.
.
.

178
,04
,05
,06
,07
,08
,09
,10
,15
,20
,25
,30
,35
,40
,45
,50
,55
,60
,65
,70
,75
,80
,85
,90
,91
,92
,93
,94
,95
,96
,97
,98
,99

-1,44041
-1,28271
-1,14848
-1,03078
-,92540
-,82957
-,74135
-,37609
-,08580
,16325
,38690
,59414
,79080
,98106
1,16831
1,35556
1,54583
1,74248
1,94973
2,17338
2,42242
2,71272
3,07797
3,16619
3,26203
3,36741
3,48510
3,61933
3,77704
3,97091
4,22863
4,63484

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

b. Fraksi Air
Confidence Limits for Effective Inhibitor (EI50)
Prob

konsentr

,01
,02
,03
,04
,05
,06

-1,39662
-1,14965
-,99296
-,87509
-,77921
-,69760

95% Confidence Limits


Lower
Upper
-5,53087
-4,75102
-4,25673
-3,88524
-3,58335
-3,32665

-,60607
-,45649
-,36108
-,28896
-,23002
-,17959

179
,07
,08
,09
,10
,15
,20
,25
,30
,35
,40
,45
,50
,55
,60
,65
,70
,75
,80
,85
,90
,91
,92
,93
,94
,95
,96
,97
,98
,99

-,62604
-,56197
-,50370
-,45007
-,22799
-,05150
,09992
,23589
,36190
,48146
,59714
,71098
,82483
,94051
1,06007
1,18608
1,32205
1,47347
1,64996
1,87203
1,92567
1,98394
2,04801
2,11957
2,20118
2,29706
2,41493
2,57162
2,81859

-3,10179
-2,90068
-2,71799
-2,55002
-1,85763
-1,31328
-,85512
-,45872
-,11958
,15123
,34551
,48221
,58841
,68060
,76722
,85321
,94245
1,03916
1,14971
1,28676
1,31962
1,35524
1,39432
1,43786
1,48742
1,54552
1,61678
1,71129
1,85984

-,13516
-,09515
-,05856
-,02466
,11867
,23854
,35021
,46554
,60060
,77976
1,02082
1,31257
1,63481
1,97797
2,34131
2,72951
3,15201
3,62513
4,17880
4,87749
5,04648
5,23015
5,43219
5,65793
5,91550
6,21824
6,59058
7,08577
7,86665

c. Fraksi Metanol
Confidence Limits for Effective Inhibitor (EI50)
Prob

konsentr

,01
,02
,03
,04
,05
,06

-1,39662
-1,14965
-,99296
-,87509
-,77921
-,69760

95% Confidence Limits


Lower
Upper
-5,53087
-4,75102
-4,25673
-3,88524
-3,58335
-3,32665

-,60607
-,45649
-,36108
-,28896
-,23002
-,17959

180
,07
,08
,09
,10
,15
,20
,25
,30
,35
,40
,45
,50
,55
,60
,65
,70
,75
,80
,85
,90
,91
,92
,93
,94
,95
,96
,97
,98
,99

-,62604
-,56197
-,50370
-,45007
-,22799
-,05150
,09992
,23589
,36190
,48146
,59714
,71098
,82483
,94051
1,06007
1,18608
1,32205
1,47347
1,64996
1,87203
1,92567
1,98394
2,04801
2,11957
2,20118
2,29706
2,41493
2,57162
2,81859

-3,10179
-2,90068
-2,71799
-2,55002
-1,85763
-1,31328
-,85512
-,45872
-,11958
,15123
,34551
,48221
,58841
,68060
,76722
,85321
,94245
1,03916
1,14971
1,28676
1,31962
1,35524
1,39432
1,43786
1,48742
1,54552
1,61678
1,71129
1,85984

-,13516
-,09515
-,05856
-,02466
,11867
,23854
,35021
,46554
,60060
,77976
1,02082
1,31257
1,63481
1,97797
2,34131
2,72951
3,15201
3,62513
4,17880
4,87749
5,04648
5,23015
5,43219
5,65793
5,91550
6,21824
6,59058
7,08577
7,86665

d. Fraksi Etil Asetat


Confidence Limits for Effective Inhibitor (EI50)
Prob

konsentr

95% Confidence Limits


Lower
Upper

,01
,02
,03
,04
,05
,06

-4,83381
-4,10877
-3,64876
-3,30270
-3,02122
-2,78163

.
.
.
.
.
.

.
.
.
.
.
.

181
,07
,08
,09
,10
,15
,20
,25
,30
,35
,40
,45
,50
,55
,60
,65
,70
,75
,80
,85
,90
,91
,92
,93
,94
,95
,96
,97
,98
,99

-2,57156
-2,38346
-2,21240
-2,05493
-1,40298
-,88483
-,44031
-,04111
,32881
,67982
1,01943
1,35366
1,68788
2,02749
2,37851
2,74842
3,14762
3,59215
4,11030
4,76225
4,91971
5,09078
5,27887
5,48894
5,72853
6,01002
6,35607
6,81609
7,54113

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

e. Fraksi n-Heksan
Confidence Limits for Effective Inhibitor (EI50)
Prob

konsentr

95% Confidence Limits


Lower
Upper

,01
,02
,03
,04
,05
,06
,07

-1,73890
-1,41287
-1,20601
-1,05040
-,92382
-,81608
-,72162

.
.
.
.
.
.
.

.
.
.
.
.
.
.

182
,08
,09
,10
,15
,20
,25
,30
,35
,40
,45
,50
,55
,60
,65
,70
,75
,80
,85
,90
,91
,92
,93
,94
,95
,96
,97
,98
,99

-,63704
-,56011
-,48930
-,19613
,03687
,23676
,41627
,58261
,74046
,89317
1,04346
1,19376
1,34647
1,50432
1,67066
1,85017
2,05006
2,28306
2,57623
2,64704
2,72396
2,80855
2,90301
3,01075
3,13733
3,29294
3,49980
3,82583

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Lampiran 10. Kandungan Kimia Asap Cair yang Teridentifikasi dengan Teknik
GCMS

Nomor
Peak
1
2
3
4
5
6
7

Waktu
Retensi
(menit)
3,04
3,09
3,62
4,21
4,48
4,57
5,00

Nama senyawa
2,2-dimetil propanoat
1,1-dimetil hidrazin
2-Furan karboksaldehid
1-(2-furanil)-etanon
Metil butirat
Asam propanoat
2,3-dimetil siklopent-2-en-1-on

Konsentrasi
(%)
0,71
8,98
1,44
0,70
1,90
2,55
0,47

183
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58

5,26
5,67
6,15
6,38
6,75
8,66
9,12
9,96
10,70
10,98
11,53
12,50
14,08
14,27
15,53
16,61
17,57
17,87
18,10
19,84
20,46
21,15
22,02
22,80
23,81
24,50
24,57
25,02
25,24
26,12
26,51
27,01
27,41
27,59
27,90
28,15
28,39
29,01
29,46
29,98
31,01
31,43
31,82
32,10
32,26
32,48
33,97
37,37
37,74
38,24
39,15

5-metil furfural
3-metoksi piridin
Asam butanoat
Gamma-butirolakton
2-furan metanol
2 (5H)-furanon
2-hidroksi-2-siklopenten-1-on
2,2,5-trimetilsiklopentanon
2-hidroksi-3-metil-2-siklopenten-1-on
3-metilsikloheksanon
2-metoksi fenol
3-etil-2-hidroksi-2-siklopenten-1-on
3-hidroksi-2-metil-4H-piran-2-on
2-metoksi-2-metil fenol
fenol
4-etil-2-metoksi fenol
Trans-4-siklopenten-1,3-diol
3-metil fenol
4-metil fenol
2-propen-1-ol
2-metil-3-buten-2-ol
4-etil fenol
Asam 3,3-dideuterio-DL-Glutamanat
2,6-dimetil-1,7-oktadien-1-ol
2,6-dimetoksi fenol
Iso amil butirat
1,2,3-propantriol
Asam siklamat
5-dodekanon
5-asetil-2-metilthiopirimidin
Asam 2-metil-2-propenoat
Koumaran
4(1H)-piridinon
2,3,5-trimetoksitoluena
4-metil-2-pirrolidinon
2 (3H)-Furanon
Isobutil alkohol
3-metoksi-1,2-benzenadiol
2,5-dietil-thiofen
4-hidroksi-3-metoksi benzaldehida
siklodekanon
1-(4-hidroksi-3-metoksifenil)-etanon
2-metoksi-4-propil-fenol
1-(2,3,4-trihidroksifenil)-etanon
3-metil-1,2-benzenadiol
1,2-benzenadiol
4-metil katekol
(Z)-Asam-9-oktadekenoat
2-metil 1,4-benzenadiol
1,4-benzenadiol
2-metilamino-6,7-dihidroimidazol

0,50
1,01
0,85
1,53
2,78
0,98
0,62
0,76
4,01
0,47
3,83
1,61
1,60
1,26
4,19
1,47
4,91
1,17
1, 05
0,78
4,66
1,20
0,61
0,56
8,68
0,35
0,31
0,75
0,47
2,60
1,79
0,25
2,48
1,93
0,38
1,14
0,25
3,19
0,29
0,26
0,32
0,41
1,29
0,44
1,12
5,65
0,70
0,32
1,39
2,53
0,57

184
59
60
61

45,05
45,09
47,44

Asam oleat
Metil-dihidromalvalat
Asam heptanoat

0,14
0,02
0,82

Lampiran 11. Sidik Ragam Media, Pengendali hama dan Interaksinya pada
Tanaman Daun Dewa
A. Faktor Tunggal
Sifat

JK

KT

464,20
2780,85
4086,64
33950,00
0,002
97119,76
16209,27

66,03
397,26
583,81
4850,00
0,0003
13874,25
2315,61

Fhitung

Media
1. Tinggi batang, cm
2. Jumlah daun, helai
3. Jumlah anakan, batang
4. Jumlah akar, potong
5. Tebal daun, cm
6. Bobot basah total, gram
7. Bobot kering total, gram

25,52**
19,09**
70,56**
10,42**
1,95
7,18**
5,16**

185
8. Bobot kering akar, gram

6456,22

922,32

6,74**

16,44
84,41
118,25
6173,86
0,024
22334,36
3059,69
1491,44

8,22
42,40
59,12
3086,93
0,012
11167,18
1529,84
745,72

3,18
2,03
7,15**
6,63**
84,07**
5,78**
5,16**
5,45**

JK

KT

Pengendali hama
1. Tinggi batang, cm
2. Jumlah daun, helai
3. Jumlah anakan, batang
4. Jumlah akar, potong
5. Tebal daun, cm
6. Bobot basah total, gram
7. Bobot kering total, gram
8. Bobot kering akar, gram

B. Interaksi Dua Faktor


Sifat

Fhitung

Media-Pengendali hama
1. Tinggi batang, cm
2. Jumlah daun, helai
3. Jumlah anakan, batang
4. Jumlah akar, potong
5. Tebal daun, cm
6. Bobot basah total, gram
7. Bobot kering total, gram
8. Bobot kering akar, gram

545,78
4204,15
4697,30
50565,78
0,028
150671,94
27021,28
10513,78

23,73
182,80
204,23
2198,51
0,001
6550,95
1174,84
457,12

9,17**
8,97**
25,24**
4,72**
8,55**
3,05**
2,62**
3,44**

Keterangan: ** = sangat nyata


* = nyata

Lampiran 12. Uji BNT Cara Duncan Tinggi Batang Tanaman Daun Dewa
A. Faktor Tunggal
Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

M5
M4
M6
M7
M3
M1
M2
M0

12,33
10,26
10,26
9,94
8,58
8,36
7,86
5,75

A
B
B
B
C
C
D
D

P1
P2
P0

9,53
9,06
8,71

A
AB
B

Keterangan:

186
M0 = kontrol (100% tanabu)
M1 = pupuk kandang
M2 = kompos
M3 = kompos-arang
M4 = kompos-arang aktif hasil aktivasi panas
M5 = kompos-arang aktif hasil aktivasi uap H2O
M6 = kompos-arang aktif hasil aktivasi KOH 1M
M7 = kompos-arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M

P0 = kontrol (air)
P1 = fraksi methanol (asap cair)
P2 = sidamethin (pestisida sintetik)

B. Interaksi Dua Faktor (Media-Pengendali hama)


Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

M5P1
M5P2
M5P0
M4P1
M7P0
M6P1
M7P2
M6P0
M4P2
M6P2
M4P0
M3P2
M1P1
M7P1
M2P2
M1P2
M3P1
M3P0
M2P1
M0P1
M1P0
M2P0
M0P0
M0P2

12,97
12,27
11,72
10,80
10,48
10,42
10,38
10,25
10,20
10,12
9,78
9,52
9,15
8,97
8,70
8,53
8,25
7,98
7,87
7,83
7,38
7,00
5,05
4,37

A
AB
ABC
BCD
BCDE
BCDE
BCDE
BCDE
BCDEF
BCDEF
CDEFG
CDEFGH
DEFGHI
DEFGHI
DEFGHI
EFGHI
EFGHI
FGHI
GHI
GHI
HI
I
J
J

Lampiran 13. Uji BNT Cara Duncan Jumlah Daun Tanaman Daun Dewa
A. Faktor Tunggal
Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

M5
M6
M7
M4
M3
M2
M1
M0

30,33
29,17
28,78
25,94
23,00
22,22
21,22
16,39

A
A
AB
B
C
D
D
E

P1
P2
P0

25,25
24,84
23,46

A
A
A

Keterangan:

187
M0 = kontrol (100% tanabu)
M1 = pupuk kandang
M2 = kompos
M3 = kompos-arang
M4 = kompos-arang aktif hasil aktivasi panas
M5 = kompos-arang aktif hasil aktivasi uap H2O
M6 = kompos-arang aktif hasil aktivasi KOH 1M
M7 = kompos-arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M

P0 = kontrol (air)
P1 = fraksi methanol (asap cair)
P2 = sidamethin (pestisida sintetik)

B. Interaksi Dua Faktor (Media-Pengendali hama)


Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

M5P1
M5P2
M6P1
M7P0
M6P2
M7P2
M5P0
M4P1
M4P2
M3P2
M7P1
M4P0
M2P2
M6P0
M2P1
M3P1
M1P0
M3P0
M2P0
M1P1
M1P2
M0P1
M0P0
M0P2

35,33
34,00
33,83
32,17
30,83
29,67
28,33
28,17
26,33
25,83
24,50
23,33
23,00
22,83
22,50
21,83
21,67
21,33
21,17
21,00
21,00
19,67
16,83
12,67

A
AB
AB
ABC
ABCD
ABCDE
BCDEF
BCDEF
CDEFG
CDEFGH
EFGH
FGH
FGHI
FGHI
FGHI
GHI
GHI
GHI
GHI
GHI
GHI
HI
IJ
J

Lampiran 14. Uji BNT Cara Duncan Jumlah Anakan Tanaman Daun Dewa
A. Faktor Tunggal
Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

M6
M5
M7
M4
M3
M2
M1
M0

22,56
20,40
19,94
14,89
13,72
12,89
10,22
5,39

A
B
B
C
C
C
D
E

P1
P0
P2

15,73
15,27
13,58

A
A
B

Keterangan:

188
M0 = kontrol (100% tanabu)
M1 = pupuk kandang
M2 = kompos
M3 = kompos-arang
M4 = kompos-arang aktif hasil aktivasi panas
M5 = kompos-arang aktif hasil aktivasi uap H2O
M6 = kompos-arang aktif hasil aktivasi KOH 1M
M7 = kompos-arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M

P0 = kontrol (air)
P1 = fraksi methanol (asap cair)
P2 = sidamethin (pestisida sintetik)

B. Interaksi Dua Faktor (Media-Pengendali)


Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

M5P1
M6P1
M6P0
M7P1
M7P2
M7P0
M6P2
M5P0
M5P2
M4P0
M3P0
M4P2
M3P1
M4P1
M2P2
M2P0
M2P1
M3P2
M1P1
M1P0
M1P2
M0P0
M0P2
M0P1

26,00
25,00
23,67
20,50
20,33
19,00
19,00
18,50
17,67
17,00
15,00
14,00
13,83
13,67
13,18
12,83
12,67
12,33
11,83
9,67
9,18
6,50
5,00
4,67

A
A
AB
BC
BC
C
C
CD
CD
CDE
DEF
EF
EF
EF
FG
FGH
FGH
FGH
FGH
GHI
HI
IJ
J
J

Lampiran 15. Uji BNT Cara Duncan Bobot Basah Tanaman Daun Dewa
A. Faktor Tunggal
Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

M6
M3
M5
M2
M7
M4
M1
M0

202,67
195,00
184,44
162,78
154,11
145,67
125,22
84,00

A
AB
ABC
ABCD
BCD
CD
DE
E

P0
P1
P2

180,42
151,58
138,21

Ket.: M0 = kontrol (100% tanabu)


M1 = pupuk kandang

A
B
B
P0 = kontrol (air)
P1 = fraksi methanol (asap cair)

189
M2 = kompos
M3 = kompos-arang
M4 = kompos-arang aktif hasil aktivasi panas
M5 = kompos-arang aktif hasil aktivasi uap H2O
M6 = kompos-arang aktif hasil aktivasi KOH 1M
M7 = kompos-arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M

P2 = sidamethin (pestisida sintetik)

B. Interaksi Dua Faktor (Media-Pengendali hama)


Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

M5P1
M3P0
M6P1
M7P0
M6P0
M2P0
M5P0
M4P0
M6P2
M3P1
M3P2
M5P2
M2P1
M2P2
M1P0
M4P1
M7P2
M1P2
M4P2
M7P1
M1P1
M0P1
M0P0
M0P2

236,00
232,67
223,67
209,00
207,67
191,00
190,33
179,00
176,67
176,33
176,00
156,67
149,00
148,33
144,67
141,00
140,33
126,67
117,00
113,00
104,33
99,00
89,00
64,00

A
AB
ABC
ABCD
ABCD
ABCDE
ABCDE
ABCDEF
ABCDEF
ABCDEF
ABCDEF
ABCDEFG
BCDEFG
BCDEFG
CDEFGH
CDEFGH
CDEFGH
DEFGH
EFGH
EFGH
FGH
FGH
GH
H

Lampiran 16. Uji BNT Cara Duncan Bobot Kering Total Tanaman Daun Dewa
A. Faktor Tunggal
Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

M6
M5
M7
M3
M4
M2
M0
M1

63,56
54,56
44,11
38,00
36,78
27,56
19,00
18,89

A
AB
ABC
BCD
BCD
CD
D
D

P0
P1
P2

47,00
33,79
32,63

Ket.: M0 = kontrol (100% tanabu)


M1 = pupuk kandang

A
B
B
P0 = kontrol (air)
P1 = fraksi methanol (asap cair)

190
M2 = kompos
M3 = kompos-arang
M4 = kompos-arang aktif hasil aktivasi panas
M5 = kompos-arang aktif hasil aktivasi uap H2O
M6 = kompos-arang aktif hasil aktivasi KOH 1M
M7 = kompos-arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M

P2 = sidamethin (pestisida sintetik)

B. Interaksi Dua Faktor (Media-Pengendali hama)


Faktor

Rata-rata

Klasifikasi

M5P1
M3P0
M6P1
M7P0
M6P0
M2P0
M5P0
M4P0
M6P2
M3P1
M3P2
M5P2
M2P1
M2P2
M1P0
M4P1
M7P2
M1P2
M4P2
M7P1
M1P1
M0P1
M0P0
M0P2

79,00
74,00
68,33
62,00
57,33
54,67
54,33
43,67
43,33
38,00
35,67
33,33
32,33
29,00
27,67
25,33
25,33
24,00
20,33
20,33
17,00
16,00
15,33
11,00

A
AB
ABC
ABCD
ABCDE
ABCDE
ABCDE
ABCDEF
ABCDEF
BCDEF
BCDEF
BCDEF
CDEF
CDEF
CDEF
DEF
DEF
DEF
DEF
DEF
EF
EF
EF
F

Lampiran 17. Baku Mutu Kompos Sampah Domestik (SNI-01-1683-2004)


No.

Satuan

Minimum

Maksimum

Kadar air

50

Temperatur

Warna

Bau

Ukuran partikel

Kemampuan ikat air

pH

Bahan asing

Parameter

Suhu air tanah


Kehitaman
Berbau tanah

mm

0,55

25

58

6,80

7,49

1,50

27

58

Unsur Makro
9

Bahan organik

191
10

Nitrogen

0,40

11

Karbon

9,80

32

12

Phosfor (P2O5)

0,10

13

Nisbah C/N

10

20

14

Kalium (K2O)

0,20

Unsur Mikro
15

Arsen (As)

mg/kg

13

16

Kadmium (Cd)

mg/kg

17

Kobalt (Co)

mg/kg

34

18

Kromium (Cr)

mg/kg

210

19

Tembaga (Cu)

mg/kg

100

20

Merkuri (Hg)

mg/kg

0,80

21

Nikel (Ni)

mg/kg

62

22

Timbal (Pb)

mg/kg

150

23

Selenium (Se)

mg/kg

12

24

Seng (Zn)

mg/kg

500

Unsur lain
25

Kalsium (Ca)

25,50

26

Magnesium (Mg)

0,60

27

Besi (Fe)

2,00

28

Aluminium (Al)

2,20

29

Mangan (Mn)

0,10

Bakteri
30

Fecal coli

31

Saalmonella sp

MPN/g

1000

MPN/4 g

Keterangan: * Nilainya lebih besar dari minimum atau lebih kecil dari maksimum

Lampiran 18. Baku Mutu Arang Aktif (SNI-06-3730-1995)

Uraian

Satuan

Persyaratan
Butiran

Serbuk

Kadar zat terbang

maks. 15

maks. 25

Kadar air

maks. 4,4

maks. 15

Kadar abu

maks. 2,5

maks. 10

Bagian tak mengarang

Karbon aktif murni

min. 80

min. 65

mg/g

min. 750

min. 750

Daya serap terhadap Iodium (I2)

192
Daya serap terhadap benzene

min. 25

Daya serap terhadap biru metilen

ml/g

min. 60

min. 120

Bobot jenis curah

g/ml

0,45-0,55

0,3-0,35

Lolos mesh

min. 90

Jarak mesh

90

Kekerasan

80

Lampiran 19. Baku Mutu Arang Kayu (SNI-01-1682-1996)


Karakteristik

Satuan

Persyaratan

Kadar air

% b/b

maks. 6

Kadar zat terbang

% b/b

maks. 30

Kadar abu

% b/b

maks. 4

Kadar karbon

% b/b

min. 60

Benda asing

% b/b

maks. 1

Tertahan ayakan berlobang 6,35 cm

% b/b

min. 90

Lolos ayakan berlobang 3,18 cm

% b/b

maks. 2

Anda mungkin juga menyukai