Anda di halaman 1dari 24

TENTANG INFO SINGKAT 2016

Info Singkat terbit sejak tahun 2009 dan


hadir dua kali sebulan. Majalah ini
memuat artikel dari 5 bidang penelitian
di Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR
RI. Topik yang diangkat bersifat aktual
dan dikaji secara praktis untuk menjadi
perhatian DPR RI.

PENANGGUNG JAWAB

Segala opini/pandangan yang tertuang di


dalam majalah ini adalah murni milik
penulis dan tidak mewakili opini/pandangan DPR RI atau Pusat Penelitian
Badan Keahlian DPR RI.

Dr.Lili Romli, M.Si


Novianto Murti Hantoro, S.H., M.H.

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi tulisan
ini tanpa izin penerbit.

Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI


Gedung Nusantara I Lt. 2
Jl. Jenderal Gatot Subroto
Jakarta Pusat - 10270
5715409
5715245
infosingkat2014@gmail.com

Dr. Indra Pahlevi, S.I.P., M.Si.


Kepala Pusat Penelitian - Badan Keahlian DPR RI

PEMIMPIN REDAKSI
Sulasi Rongiyati, S.H., M.H.

PENYUNTING/EDITOR

REDAKTUR PELAKSANA
Achmad Sani Alhusain, S.E., M.A.
Dewi Sendhikasari D., S.I.P., M.P.A
Edmira Rivani, S.Si., M.Stat.
Elga Andina, S.Psi., M.Psi.
Handrini Ardiyanti,S.Sos.,M.Si.
Marfuatul Latifah, S.H.I., L.L.M.
Rizki Roza, S.I.P., M.Si.
Sita Hidriyah, S.Pd., M.Si.
Sri Nurhayati Qodriyatun, S.Sos., M.Si.
Sulasi Rongiyati, S.H., M.H.

TATA LETAK
Teddy Prasetiawan, S.T., M.T.
T. Ade Surya S.T., M.M.

http://pengkajian.dpr.go.id/



http://scribd.com/InfoSingkat

@inf o s ing kat 2015

Majalah

Vol. VIII, No. 18/II/P3DI/September/2016

Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

MODEL KODIFIKASI DALAM RUU KUHP


Prianter Jaya Hairi*)

Abstrak
Mengodifikasi RUU KUHP hakikatnya ialah mengharmonisasi secara masif peraturanperaturan hukum pidana yang ada. Namun demikian, kompleksitas perkembangan
hukum pidana nasional di luar KUHP saat ini membuat kebijakan kodifikasi secara
total sangat sulit untuk diwujudkan. Oleh sebab itu, pilihan kodifikasi dengan model
terbuka menjadi pilihan yang realistis. Pemikiran untuk mengatur sepenuhnya
tindak pidana khusus di luar KUHP perlu ditindaklanjuti oleh Panja RUU KUHP
dengan mengatur ulang Sistematika Buku Kedua RUU KUHP tersebut. Begitu pula
mengenai pengaturan tindak pidana administratif, pendekatan komplementer
dalam pengaturannya perlu diiringi dengan pemetaan ulang dan identifikasi secara
komprehensif, baik mengenai tindak pidana administratif yang ada di dalam maupun
di luar KUHP. Pendekatan ini juga menuntut perumus dan pembentuk undang-undang
di masa yang akan datang untuk dapat memahami dan membedakan mana tindak
pidana yang harus diatur dalam kodifikasi dan mana yang diatur di luar kodifikasi.

Pendahuluan

yang akan menjadi acuan Hukum Pidana


Nasional dalam waktu relatif lama.
Pada
awal
pembahasan
Buku
Kedua RUU KUHP, Panja RUU KUHP
langsung membahas persoalan sistem atau
model kodifikasi yang akan dianut oleh
RUU KUHP. Persoalan yang sejak awal
pengajuan RUU telah menjadi pertanyaan
besar bagi banyak kalangan, terutama
para aparat penegak hukum yang akan
menjadi user KUHP. Kejelasan mengenai
sistem atau model kodifikasi RUU KUHP
sangat penting dan dimaksudkan untuk
memudahkan Panja dalam membahas
sistematika dan lingkup materi muatan
pengaturan tindak pidana.

Pembahasan Rancangan UndangUndang Kitab Undang-Undang Hukum


Pidana (RUU KUHP) kini memasuki babak
baru. Pada tanggal 15 September 2016,
Panitia Kerja (Panja) RUU KUHP memulai
pembahasan Buku Kedua RUU KUHP yang
mengatur bentuk-bentuk tindak pidana dan
ancaman pidananya. Materi muatan yang
diatur dalam Buku Kedua RUU KUHP sama
penting dengan Buku Kesatu RUU KUHP
yang mengatur mengenai asas-asas hukum
pidana. Oleh sebab itu, pembahasan Buku
Kedua RUU KUHP penting untuk dicermati
dan pembahasannya harus dilaksanakan
secara hati-hati. RUU KUHP diharapkan
dapat menjadi karya agung anak bangsa

*) Peneliti Muda Hukum pada Bidang Hukum, Pusat Penelitian, Badan Keahlian DPR RI.
Email: prianter.hairi@dpr.go.id
Info Singkat
2009, Pusat Penelitian
Badan Keahlian DPR RI
www.pengkajian.dpr.go.id
ISSN 2088-2351

-1-

Penyatuan seluruh tindak pidana


dalam satu buku kodifikasi menimbulkan
pertanyaan
mengenai
kemungkinan
tereduksinya sejumlah ketentuan pidana
di luar KUHP atau sebaliknya, bahwa RUU
KUHP membuka kemungkinan pengaturan
ketentuan pidana di luar KUHP. Tulisan ini
akan mengkaji apa model kodifikasi yang
dianut dalam RUU KUHP dan apa saja
konsekuensi dari pemilihan model tersebut.

KUHP, baik yang bersifat umum maupun


khusus, yang menyebabkan terjadinya
duplikasi norma hukum pidana.
Di satu sisi, kodifikasi total sangat baik
untuk mengharmoniskan peraturan hukum
pidana. Di sisi lain, model kodifikasi total
mengharuskan semua ketentuan pidana
di luar KUHP dimasukkan dalam KUHP
yang kemudian dapat memicu timbulnya
dualisme (ambiguity), ketidakjelasan serta
konflik antara KUHP dengan instrumen
hukum yang memuat ketentuan pidana di
luar KUHP.
Pada konsep kodifikasi secara terbuka,
pintu pembentukan dan pengembangan
hukum pidana dalam undang-undang
di luar kodifikasi (KUHP) terbuka lebar.
Artinya, hukum pidana dapat diperbarui
secara fleksibel untuk menyesuaikan dengan
perkembangan kejahatan dalam kehidupan
masyarakat, namun di sisi lain kodifikasi
terbuka dapat memperlemah kedudukan
hukum pidana dan keberlakuan hukum
pidana terkodifikasi itu sendiri.
Terkait dengan pemilihan model
kodifikasi, sebenarnya model kodifikasi total
merupakan pilihan yang ideal, namun hal
itu tentu cukup sulit untuk direalisasikan,
karena perkembangan tindak pidana khusus
di luar KUHP yang selama ini telah jauh
berkembang. Menggabungkan berbagai
sistem hukum pidana yang sudah terlanjur
berkembang di luar KUHP bukanlah
pekerjaan mudah. Oleh sebab itu, pilihan
yang lebih rasional untuk dianut dalam RUU
KUHP ialah model kodifikasi terbuka.
Sebagai perbandingan, KUHP yang
berlaku saat ini menganut model kodifikasi
terbuka, yang membuka kemungkinan
pembentukan dan pengembangan hukum
pidana
dalam
undang-undang
selain
KUHP. Hal ini didasarkan pada Pasal 103
KUHP yang berbunyi ketentuan-ketentuan
dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga
berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh
ketentuan perundang-undangan lainnya
diancam dengan pidana, kecuali jika oleh
undang-undang ditentukan lain. Pasal ini
merupakan pintu masuk adanya tindak
pidana di luar KUHP yang berbeda secara
materiil maupun di luar KUHAP yang
berbeda secara formil.
Jika dilihat dari ketentuan tersebut
maka RUU KUHP yang sedang dibahas dapat
dikatakan menggunakan model kodifikasi

Rekodifikasi Hukum Pidana Nasional


Tujuan kodifikasi menurut Satjipto
Rahardjo, untuk membuat kumpulan
perundang-undangan menjadi sederhana
dan mudah dikuasai, disusun secara logis,
serasi, dan pasti. Kebijakan kodifikasi
diharapkan dapat mencegah diterbitkannya
norma hukum pidana dalam peraturan
perundang-undangan pidana di luar KUHP
yang menyimpang dari prinsip-prinsip umum
hukum pidana yang diatur dalam KUHP.
Nilai dari tujuan kodifikasi hukum
pidana intinya adalah untuk membenahi
tatanan hukum pidana nasional Indonesia.
Muladi, sebagai ketua Tim Perumus RUU
KUHP bersama pemerintah, menyampaikan
pada Panja RUU KUHP tanggal 15
September 2016 bahwa rekodifikasi RUU
KUHP mengandung berbagai misi. Salah
satu misi utamanya adalah konsolidasi,
yakni proses untuk mempersatukan kembali
berbagai perbedaan, pertumbuhan hukum
pidana yang berkembang secara luas melalui
berbagai peraturan hukum pidana di luar
KUHP yang berkaitan dengan permasalahan
pokok hukum pidana.
Dalam hal ini, terdapat beberapa
model kodifikasi hukum yang dapat dipilih
oleh pembentuk undang-undang RUU
KUHP, yaitu model kodifikasi total dan
model kodifikasi terbuka. Model kodifikasi
mana yang paling cocok untuk diterapkan,
bergantung
pada
keinginan
politik
pembentuk RUU KUHP. Tiap model memiliki
kelebihan dan kekurangan tersendiri dan
pengaturannya sangat berbeda.
Konsep kodifikasi total berupaya untuk
mencegah munculnya pengaturan asasasas hukum pidana baru dalam undangundang di luar KUHP, terutama yang
tidak terintegrasi dalam Ketentuan Umum
Buku Kesatu KUHP. Selain itu, kodifikasi
total dapat mencegah kriminalisasi yang
terbentuk dalam undangundang di luar
-2-

terbuka. Pasal 218 RUU KUHP pada Bab VI


mengenai Aturan Penutup, berbunyi: Pasal
Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab
V Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan
yang dapat dipidana menurut peraturan
perundang undangan lain, kecuali ditentukan
lain menurut Undang-Undang. Bunyi pasal
ini identik dengan apa yang diatur dalam
Pasal 103 KUHP.
Namun
demikian,
penggunaan
kodifikasi terbuka yang diatur dalam Pasal
218 RUU KUHP masih belum diaplikasikan
secara konsisten oleh perumus undangundang. Sebagai contoh, Buku Kedua RUU
KUHP juga mengatur berbagai tindak
pidana khusus seperti tindak pidana korupsi,
tindak pidana narkotika, tindak pidana
hak asasi manusia yang berat, serta tindak
pidana terorisme. Selain jenis tindak pidana
khusus, RUU KUHP juga memasukkan
perbuatan-perbuatan pidana yang bersifat
administratif atau yang selama ini dikenal
dengan administrative penal law, seperti
tindak pidana lingkungan hidup, tindak
pidana pemilihan umum, tindak pidana hak
cipta, paten, merek, dan lain-lain. Lingkup
pengaturan tindak pidana yang sedemikian
kompleks ini menunjukkan bahwa pada
dasarnya
perumus
undang-undang
menginginkan RUU KUHP menganut model
kodifikasi total.
Ironisnya, baik tindak pidana khusus
maupun tindak pidana administratif, norma
pengaturannya tidak diatur secara lengkap
di dalam RUU KUHP. Dengan kata lain,
aturan hukum tindak pidana yang selama ini
telah diatur secara khusus di dalam undangundang tersendiri ternyata jauh lebih
lengkap dan kompleks dibandingkan dengan
apa yang dirumuskan dalam RUU KUHP,
terutama untuk tindak pidana khusus seperti
Tindak Pidana Korupsi atau Tindak Pidana
Terorisme.
Perumus RUU KUHP dalam rapat
Panja RUU KUHP di Komisi III menegaskan
bahwa model kodifikasi yang dianut RUU
KUHP yang baru adalah model kodifikasi
terbuka atas dasar paradigma baru, yaitu
menyusun kembali dan reformasi hukum
pidana yang sistematis (rearranging and
systemic criminal reform). Oleh sebab itu
pemilihan kodifikasi terbuka membawa
konsekuensi
terbukanya
kemungkinan
perkembangan hukum pidana di luar KUHP
mendatang dan hukum pidana administratif

(Mala Prohibita, Dependent Crime/Specific


Crimes). Buku Kesatu berfungsi menjaga
agar hukum pidana Indonesia di dalam dan
di luar kodifikasi tetap merupakan suatu
kesatuan sistem (purposive behaviour,
wholism, interrelatedness, opennes, value
transformation and control mechanism).
Mengenai persoalan mengapa RUU
KUHP masih mengatur secara terbatas
norma tindak pidana yang bersifat khusus,
perumus RUU KUHP menjelaskan bahwa
RUU KUHP bermaksud untuk mengatur
core crimes-nya saja, artinya hanya
mengatur norma tindak pidana yang bersifat
tindak pidana murni, sementara pengaturan
lainnya terkait extraordinary crimes dapat
tetap diatur di luar KUHP.
Namun demikian, perumus tidak
memaksakan pengaturan core crimes
tindak pidana khusus dalam RUU KUHP.
Dalam Panja RUU KUHP tanggal 20
September 2016 perumus menyatakan
bahwa karakter istimewa dari tindak pidana
khusus dapat diatur sepenuhnya di luar
KUHP dan hal tersebut tidak bertentangan
dengan prinsip pada Civil Law System.
Contohnya di Belanda, di samping KUHP
(Wetboek van Strafrecht), terdapat
peraturan-peraturan hukum pidana di luar
KUHP, baik yang bersifat murni hukum
pidana (independent crimes) maupun
yang berupa hukum pidana administratif
(dependent crimes). Syaratnya, ketentuan
umum KUHP juga berlaku terhadap
perundang-undangan hukum pidana di luar
KUHP tersebut, kecuali dengan alasan kuat
harus mengatur secara khusus, namun harus
tetap dalam rambu asas Buku Kesatu KUHP.
Pengaturan core crimes dari tindak
pidana khusus di dalam RUU KUHP
tersebut semestinya tidak dipertahankan,
selain tidak konsisten dengan pilihan model
kodifikasi terbuka, pengaturan semacam itu
dapat menyebabkan terjadinya duplikasi
pengaturan tindak pidana yang akan
menyulitkan aparat penegak hukum dalam
penerapannya. Jika Panja RUU KUHP
sepakat untuk mengeluarkan tindak pidana
khusus dari RUU KUHP maka yang harus
dilakukan selanjutnya ialah menyusun
kembali sistematika Buku Kedua seiring
pembahasan Buku Kedua RUU tersebut.
Sementara itu, untuk tindak pidana
administratif
(administrative
penal
law), model kodifikasi terbuka RUU
-3-

KUHP dilakukan dengan pendekatan


komplementer,
yakni
tindak
pidana
administratif yang sifatnya mala prohibita
mengalami perubahan menjadi tindak
pidana murni/delik materiil (mala per se/
generic crimes/independent crimes) diatur
dalam kodifikasi, seperti tindak pidana
ekonomi, tindak pidana lingkungan hidup,
perlindungan konsumen, persaingan usaha,
dan lainnya. Sedangkan tindak pidana
administratif yang sifatnya mala prohibita/
spesific crimes/dependent crimes yakni
perbuatan yang baru dirasakan tercela
setelah dilarang oleh undang-undang atau
delik formil, tetap diatur di luar kodifikasi,
misalnya tindak pidana dalam peraturan
daerah dan tindak pidana mengenai
perizinan.
Pendekatan komplementer dalam
pengaturan tindak pidana administratif
sebenarnya sangat bagus, namun perlu
diiringi dengan pemetaan ulang dan
identifikasi secara komprehensif. Pengaturan
tindak pidana yang sifatnya administratif
seperti perizinan atau peraturan-peraturan
daerah provinsi, kabupaten/kota tidak perlu
dikompilasi untuk dimasukkan ke dalam
RUU KUHP, namun nantinya tetap mengacu
pada Buku Kesatu KUHP baru. Dalam RUU
KUHP sendiri masih ditemukan beberapa
tindak pidana sejenis ini, misal Pasal 510
RUU KUHP tentang Penyelenggaraan Pesta,
Pasal 321 RUU KUHP tentang Keramaian
Tanpa Ijin, dan tindak pidana lainnya.

menggunakan pendekatan komplementer


dalam pengaturannya perlu diiringi dengan
pemetaan ulang dan identifikasi secara
komprehensif terhadap tindak pidana
administratif yang ada di dalam maupun di
luar KUHP. Pendekatan ini juga menuntut
para Perumus RUU KUHP untuk dapat
memahami dan membedakan mana tindak
pidana yang harus diatur dalam KUHP dan
mana yang diatur di luar KUHP.

Referensi
Bidang Studi Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, RUU
KUHP: Kodifikasi atau Kompilasi,
Position Paper, disampaikan pada
Seminar Nasional RUU KUHP di
Fakultas Hukum UI Depok Jawa Barat
tanggal 12 Juni 2014.
Elsam,
Beberapa
Tulisan
Terkait
Kebijakan
Kriminal
Dalam
RUU
KUHP,
http://advokasi.elsam.or.id/
assets/2015/09/20060928_Diskusi_
Tulisan-kebijakan-kriminal-RKUHP.pdf
, diakses pada 21 September 2016.
ICJR, Kodifikasi RKUHP dan Implikasi
Terhadap Tatanan Hukum Pidana
Indonesia, ICJR, Jakarta, 2015.
Mudzakkir, Kebijakan Kodifikasi (Total)
Hukum Pidana Melalui RUU KUHP
dan Antisipasi Terhadap Problem
Perumusan
Hukum
Pidana
dan
Penegakan Hukum Pidana di Masa
Datang, makalah disampaikan pada
lokakarya Perencanaan Pembangunan
Hukum Nasional Perkembangan Hukum
Pidana yang diselenggarakan oleh
BPHN tanggal 3 s/d 5 November 2010 di
Semarang.
Muladi, Analisis Tentang Kemungkinan
Pengaturan Tindak Pidana Khusus dan
Tindak Pidana Administratif di Luar
KUHP, makalah disampaikan pada
Rapat Panja RUU KUHP tanggal 20
September 2016 di Komisi III DPR RI.
Muladi, Hal-Hal Sebelum Memasuki
Pembahasan Buku II RUU KUHP
Tentang Tindak Pidana, makalah
disampaikan pada Rapat Panja RUU
KUHP tanggal 15 September 2016 di
Komisi III DPR RI.

Penutup
Kodifikasi RUU KUHP pada hakikatnya
merupakan
upaya
mengharmonisasi
secara masif peraturan hukum pidana.
Namun demikian, dapat dipahami bahwa
kompleksitas dan perkembangan hukum
pidana nasional yang selama ini sudah terbagi
menjadi hukum pidana di dalam dan di luar
kodifikasi akan menyulitkan tim penyusun
RUU KUHP untuk melakukan kodifikasi
secara total. Oleh sebab itulah, pilihan
kodifikasi dengan model terbuka menjadi
pilihan yang realistis.
Sikap
perumus
RUU
KUHP
melalui tim Pemerintah yang membuka
kemungkinan pengaturan tindak pidana
khusus di luar KUHP, perlu ditindak lanjuti
dengan penyusunan ulang sistematika
Buku Kedua RUU KUHP. Demikian pula
pengaturan tindak pidana administratif yang
-4-

Majalah

HUBUNGAN INTERNASIONAL

Vol. VIII, No. 18/II/P3DI/September/2016

Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

UJI COBA NUKLIR KOREA UTARA:


ANCAMAN BAGI KAWASAN?
Rizki Roza*)

Abstrak
Kawasan Semenanjung Korea kembali mengalami peningkatan ketegangan akibat uji
coba nuklir dan roket yang dilakukan Korea Utara (Korut). Tindakan tersebut mendapat
kecaman masyarakat internasional, tidak terkecuali dari Rusia dan China yang
selama ini dikenal sering membela Korut. Dari uji coba tersebut, Korut dikhawatirkan
memiliki kemampuan untuk meluncurkan hulu ledak nuklir yang didukung misil balistik
antarbenua. Indonesia harus turut berkontribusi dalam upaya internasional meredakan
ketegangan di Semenanjung Korea dan dalam mencegah proliferasi senjata nuklir, baik
melalui forum-forum multilateral antarpemerintah maupun antarparlemen.

Pendahuluan

Kecaman terhadap tindakan Korut


tersebut datang dari berbagai pihak,
tidak hanya negara-negara yang selama
ini memang bermusuhan dengan Korut,
tetapi juga dari Rusia dan China yang
sering kali membela Korut di hadapan
masyarakat internasional. Meskipun memiliki
hubungan diplomatik yang cukup baik
dengan Korut, Indonesia perlu mencermati
perkembangan
ini
dengan
seksama.
Bagaimana kemampuan senjata nuklir
yang dikuasai Korut saat ini? Bagaimana
ancaman yang dapat ditimbulkannya? Dan,
apa yang dapat dilakukan Indonesia untuk
turut berkontribusi menjaga stabililitas dan
keamanan kawasan, khususnya Semenanjung
Korea?

Kawasan Semenanjung Korea kembali


menjadi
pusat
perhatian
masyarakat
internasional dalam beberapa pekan terakhir.
Kekhawatiran akan memburuknya stabilitas
kawasan tersebut meningkat, terutama
setelah Korut melakukan uji coba peledakan
nuklir pada 9 September lalu. Sementara
ketegangan belum mereda, Korut dilaporkan
kembali melakukan kegiatan yang dianggap
banyak pihak sebagai tindakan yang dapat
memperburuk
ketegangan.
Disaksikan
langsung oleh Presiden Kim Jong Un, Korut
melakukan uji coba mesin roket baru yang
diklaim untuk meluncurkan satelit. Penguasaan
teknologi roket tidak dapat dipisahkan dengan
kekhawatiran
pemanfaatannya
sebagai
peluncur hulu ledak nuklir.

*) Peneliti Muda Masalah-Masalah Hubungan Internasional pada Bidang Hubungan Internasional, Pusat Penelitian,
Badan Keahlian DPR RI. Email: rizki.roza@dpr.go.id
Info Singkat
2009, Pusat Penelitian
Badan Keahlian DPR RI
www.pengkajian.dpr.go.id
ISSN 2088-2351

-5-

Program Senjata Nuklir Korea Utara

kawasan tentunya tidak dapat dipisahkan


dengan upaya Korut dalam mengembangkan
teknologi misil. Tingkat ancaman yang
ditimbulkan hulu ledak nuklir bergantung
pada sistem peluncurnya. Semakin akurat dan
jauh jangkauan misil sebagai sistem peluncur
hulu ledak nuklir, maka akan semakin tinggi
ancaman yang dapat ditimbulkannya.
Korut memulai upayanya untuk
memperoleh kapabilitas misil balistik sejak
awal 1960an. Diawali dengan penguasaan
misil dan transfer teknologi misil dari Uni
Soviet dan China selama periode 1960-1989,
Korut memulai pengembangan misil Nodong
pada 1988. Melakukan pengembangan
berbagai tipe misil dan disertai dengan
sejumlah uji coba, kini Korut diduga sudah
menguasai teknologi misil balistik antara
benua. Pada 20 September lalu, kantor
berita Korut Korean Central News Agency/
KCNA memberitakan bahwa Korut berhasil
melakukan uji coba mesin roket bertenaga
tinggi. Dengan daya jelajah yang dimiliki
mesin roket barunya, jika difungsikan
sebagai misil jarak jauh, Korut akan mampu
menjangkau hingga ke wilayah timur AS
yang berjarak sekitar 12.000 kilometer. Ini
merupakan kemampuan rudal balistik
benua yang mampu mengancam hingga
daratan AS.

Program
pengembangan
nuklir
Korut telah dimulai sejak tahun 1950an.
Bekerjasama
dengan
Uni
Soviet,
Korut membangun fasilitas nuklir dan
meningkatkan
penguasaan
teknologi
nuklir. Diketahui mulai menguasai sistem
pengembangan senjata nuklir dan adanya
laporan bahwa Korut memiliki reaktor nuklir
rahasia, Korut mendapat tekanan masyarakat
internasional. Tekanan tersebut berhasil
memaksa Korut pada 1985 untuk menyetujui
Traktat Non-Proliferasi Nuklir (Treaty on the
Non-Proliferation of Nuclear Weapons/NPT).
Sebuah kesepakatan dicapai antara
Korut dan AS pada 1994 yang berisi Korut
bersedia menghentikan program nuklirnya
jika AS dan negara lainnya membantu
memenuhi
kebutuhan
energi
Korut.
Namun pada 2003, Korut mengumumkan
bahwa mereka mundur dari NPT dan telah
mengaktifkan kembali fasilitas nuklirnya
dan mengusir pengawas dari International
Atomic Energy Agency (IAEA). Korut
juga menyatakan bahwa mereka telah
mengolah 8.000 batang bahan bakar nuklir
yang telah disimpan sejak 1994 menjadi
nuclear weapons-grade plutonium. Sejak
itu beberapa kali kesepakatan internasional
berhasil dicapai untuk menghentikan
program nuklir Korut, namun berulangkali
pula Korut melanggar dan mengaktifkan
kembali fasilitas nuklirnya.
Sejak mundur dari NPT dan kembali
melakukan pengembangan nuklir selama
beberapa tahun, Korut berusaha menunjukkan
kapabilitas senjata nuklir yang telah
dikuasainya. Korut untuk pertama kalinya
melakukan uji coba peledakan nuklir pada
Oktober 2006. Uji coba nuklir yang dilakukan
pada 9 September lalu merupakan uji coba
kelima. Sesaat setelah melakukan uji coba
dan mencatat gerakan seismik berkekuatan
5,3 pada skala Richter di wilayah dekat
lokasi uji coba, Pyongyang mengumumkan
keberhasilannya. Badan cuaca Korea Selatan
(Korsel) menyatakan kekuatan ledakan nuklir
tersebut diperkirakan mencapai 10-12 kiloton.
Kekuatan ini 70 persen dari bom atom AS yang
dijatuhkan ke Hiroshima, Jepang pada 1945,
dan lebih besar dari uji coba keempat yang
kekuatannya berkisar 6 kiloton.
Kekhawatiran masyarakat internasional
atas pengembangan nuklir Korut yang dapat
mengancaman keamanan dan stabilitas

Ancaman terhadap Kawasan?


Penguasaan hulu ledak nuklir dan rudal
balistik oleh Korut merupakan ancaman yang
serius bagi stabilitas dan keamanan kawasan.
Kegiatan uji coba itu sendiri sudah menjadi
ancaman bagi negara-negara tetangganya
karena dikhawatirkan terjadi kebocoran bahan
radioaktif. Pyongyang sendiri menyatakan
tidak terjadi kebocoran, namun Kementerian
Perlindungan Lingkungan China langsung
memonitor radiasi nuklir di provinsi yang
berbatasan dengan Korut. Demikian pula
Jepang, mengirimkan dua pesawat latih
T-4 untuk mengambil sampel udara dan
menganalisis kemungkinan bocornya material
radioaktif. Ancaman lainnya terkait dengan
proliferasi nuklir dan misil oleh Korut, baik
penyebarannya ke negara-negara lain maupun
peningkatan kepemilikannya. Intensitas uji
coba misil oleh Korut dalam beberapa tahun
terakhir juga menjadi kekhawatiran tersendiri.
Sejak Kim Jong Un berkuasa pada 2011,
Korut telah menembakkan 33 misil balistik.
Sementara pemerintahan sebelumnya, Kim
-6-

Jong-il selama 17 tahun hanya menembakkan


16 misil balistik.
Kapabilitas senjata nuklir yang dikuasai
Korut merupakan ancaman langsung bagi
Korsel dan AS. Perang saudara antara Korut
dan Korsel yang berlangsung antara 1950
hingga 1953 menempatkan kedua negara
tersebut dalam posisi yang saling mencurigai
dan bermusuhan. Perang tersebut diakhiri
pada 27 Juli 1953 dengan penandatanganan
persetujuan gencatan senjata. Hingga saat
ini, secara resmi perang belum berakhir.
Untuk melindungi dirinya, Korsel menekan
AS untuk menandatangani Mutual Security
Agreement pada 1 Oktober 1953, yang
memberi jaminan bahwa AS akan membantu
Korsel jika sewaktu-waktu terjadi lagi invasi
dari Korut. Di sisi lain, kondisi ini pula
yang mendorong Korut untuk menjalankan
program nuklirnya untuk menghadapi Korsel
yang berlindung di bawah payung militer AS.
Merespon uji coba nuklir yang
dilakukan Korut, Presiden Korsel, Park
Geun-Hye menyebutnya sebagai tindakan
penghancuran diri sendiri dan kecerobohan
yang gila dari pemimpin Korea Utara. PM
Korsel, Hwang Kyo-ahn menyampaikan
bahwa Korsel menginginkan sanksi-sanksi
PBB yang sudah ada untuk diperketat dengan
menghilangkan celah-celah yang dapat
disalahgunakan Korut. Dalam sebuah kabar
yang disampaikan kantor berita Yonhap,
seorang petinggi militer Korsel menyatakan
bahwa Pemerintahnya telah mengembangkan
sebuah rencana serangan antisipasi untuk
menghancurkan ibu kota Korut, Pyongyang
jika mereka mencanangkan perang nuklir.
Korsel akan menggunakan rudal buatan
sendiri Hyumoo yang memiliki daya jelajah
hingga 1.000 kilometer untuk mengincar
posisi di mana para pemimpin Korut
bersembunyi. Kabar semacam ini tentunya
meningkatkan ketegangan di Semenanjung
Korea.
Sementara itu, Presiden AS Barack
Obama juga menyatakan sikap kerasnya. Ia
menyatakan bahwa komunitas internasional
harus menjamin setiap tindakan provokasi
yang dilakukan oleh Korut akan menghadapi
konsekuensi serius. Merespon tindakan
Korut, AS sudah dua kali mengirimkan
pesawat pembom supersonik-nya B-1B
Lancer terbang melintasi Korea Selatan.
Bahkan salah satu pesawat pembom tersebut
mendarat di landasan udara yang berjarak

40 km sisi selatan dari ibu kota. Pengerahan


pesawat strategis yang berbasis di Guam
tersebut merupakan upaya AS untuk
menunjukkan kekuatan dan komitmennya
dalam menjaga keamanan dan stabilitas
Semenanjung Korea dan kawasan. Ini
merupakan
pendaratan
pertama
di
Korea sejak 20 tahun, serta merupakan
penerbangan yang paling mendekati wilayah
Korut. Sebaliknya Korut mengecam tindakan
tersebut sebagai tindakan provokasi.
Tindakan uji coba nuklir yang
dilakukan Korut tersebut tidak hanya
memicu kecaman dari negara-negara yang
merasa terancam secara langsung, tetapi
juga membuat marah China dan Rusia yang
dikenal sering membela Pyongyang. China
bahkan berjanji akan meningkatan kerjasama
dengan PBB dan menerapkan sanksi. AS dan
China telah memulai pembicaraan mengenai
kemungkinan resolusi PBB untuk merespon
uji coba nuklir Korut. Namun China juga
menghimbau semua pihak untuk menahan
diri dan menghindari segala tindakan yang
dapat meningkatkan ketegangan.

Posisi Indonesia
Indonesia
secara
konsisten
memperjuangkan agar hak setiap negara
untuk memanfaatkan energi nuklir untuk
maksud damai sebagaimana diatur dalam
Artikel IV (NPT) tetap dihormati. Di sisi
lain, Indonesia juga senantiasa mendukung
upaya masyarakat internasional dalam
upaya non-proliferasi dan perlucutan
senjata nuklir. Indonesia telah menjadi
negara pihak pada NPT, Convention on the
Physical Protection of Nuclear Material
(CPPNM), Convention on Nuclear Safety,
Compehensive Nuclear Test Ban Treaty
(CTBT), dan IAEA Additional Protocol.
Merespon tindakan uji coba nuklir
yang dilakukan Korut, pemerintah Indonesia
telah menyampaikan sikapnya, antara lain
mendesak Korut untuk mematuhi kewajiban
internasionalnya, termasuk resolusi-resolusi
Dewan Keamanan PBB. Selain itu Indonesia
menghimbau semua pihak untuk menahan
diri serta mengedepankan diplomasi dan
dialog untuk menciptakan situasi kondusif
bagi perdamaian dan stabilitas kawasan.
Indonesia sendiri memiliki hubungan
diplomatik yang cukup baik dengan
Korut yang sudah terjalin sejak Januari
1964. Indonesia senantiasa mendukung
-7-

proses reunifikasi Korea secara damai.


Bagi Indonesia, penyatuan dua Korea
adalah masalah bangsa Korea yang apabila
terwujud akan mempunyai arti penting bagi
terciptanya perdamaian dan keamanan di
wilayah Asia Timur, khususnya Semenanjung
Korea.
Salah satu upaya internasional untuk
mencegah proliferasi senjata nuklir adalah
melalui Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji
Coba Senjata Nuklir (CTBT). CTBT melarang
semua jenis uji coba nuklir yang menggunakan
metode ledakan. Dibuka untuk ditandatangani
sejak September 1996, hingga Januari 2016
tercatat 183 negara telah menandatangani
dan 164 negara telah meratifikasinya. Namun,
CTBT masih belum berlaku hingga saat ini
karena masih terdapat 8 negara dari Annex II
yang belum meratifikasi, salah satunya adalah
Korea Utara.
Indonesia selama ini dipandang
mampu menjembatani berbagai kelompokkelompok
yang
berbeda
pandangan
dalam isu-isu perlucutan senjata dan nonproliferasi. Peran ini dapat dijalankan
karena Indonesia dipandang moderat serta
berkomitmen tinggi terhadap prinsipprinsip multilateralisme. Peran ini, yang
juga didukung konsistensi Indonesia dalam
mendukung upaya internasional dalam
upaya non-proliferasi dan perlucutan senjata
nuklir merupakan modal terbesar bangsa
Indonesia untuk turut mendorong peredaan
ketegangan di kawasan Semenanjung Korea.
Indonesia secara unilateral tidak memiliki
kekuatan penekan, baik secara politik,
ekonomi, ataupun militer yang memadai
untuk mendesak Korut menghentikan
progam nuklirnya. Selain itu Indonesia
juga menentang pendekatan-pendekatan
unilateral, dan lebih mengutamakan prinsip
multilateralisme.

Keseimbangan kekuatan di kawasan menjadi


terganggu, dan dapat memicu terjadinya
perang. Kekhawatiran ini cukup beralasan jika
melihat respon AS yang mulai mengerahkan
pesawat pembomnya ke Semenanjung Korea.
Indonesia
melalui
pernyataan
pemerintah telah menyampaikan kecaman
terhadap tindakan Korut. Namun Indonesia
juga mengingatkan agar semua pihak menahan
diri dan menghindari tindakan-tindakan yang
dapat meningkatkan ketegangan. Sebagai upaya
jangka panjang, Indonesia dengan menekankan
pentingnya
prinsip
multilateralisme
harus memanfaatkan segala sumber daya
diplomatik untuk mendorong seluruh pihak
yang berkepentingan untuk kembali ke
meja perundingan dalam rangka mencari
penyelesaian persoalan di Semenanjung
Korea. Tidak hanya oleh pemerintah, parlemen
Indonesia juga dapat berkontribusi dengan
mengangkat isu ini di forum-forum kerjasama
antarparlemen. Upaya-upaya ini menjadi
penting mengingat suasana kondusif di
Semenanjung Korea turut mempengaruhi
pembangunan dan kemajuan kawasan,
termasuk Indonesia.

Referensi
Mesin Roket Baru untuk Rudal Jarak Jauh,
Kompas, 21 September 2016, h. 9.
Pernyataan Pemerintah Indonesia Mengenai
Uji Coba Nuklir oleh Pemerintah Republik
Demokratik Rakyat Korea, http://www.
kemlu.go.id/id/berita/Pages/pernyataanindonesia-uji-coba-nuklir-korea-utara.
aspx, diakses 21 September 2016.
Perlucutan Senjata dan Non-Proliferasi
Senjata Pemusnah Massal, http://
kemlu.go.id/id/kebijakan/isu-khusus/
Pages/pengaturan-perlucutan-senjatadan-non-proliferasi-di-bidang-senjatapemusnah-massal.aspx,
diakses
21
September 2016.
Sikap Pemerintah RI Atas Uji Coba Nuklir
Kelima Korea Utara, https://m.tempo.
co/read/news/2016/09/11/118803385/
sikap-pemerintah-ri-atas-uji-cobanuklir-kelima-korea-utara, diakses 21
September 2016.
U.S. bombers fly over South Korea for second
time since Norths nuclear test, http://
www.reuters.com/article/us-northkoreanuclear-flight-idUSKCN11R0C6, diakses
21 September 2016.

Penutup
Kemampuan membangun hulu ledak
nuklir dan misil balistik antarbenua yang
dikuasai Korut saat ini merupakan ancaman
serius bagi stabilitas dan keamanan kawasan
Asia
Timur,
khususnya
Semenanjung
Korea. Kekuatan militer AS yang selama
ini dipandang memadai untuk mencegah
terjadinya perang di kawasan tersebut,
menjadi
rentan
akibat
kemungkinan
kemampuan senjata nuklir Korut yang dapat
menjangkau hingga wilayah teritori AS.
-8-

Majalah

KESEJAHTERAAN SOSIAL

Vol. VIII, No. 18/II/P3DI/September/2016

Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

UPAYA PENGUATAN PENGAWASAN OBAT


Rahmi Yuningsih*)

Abstrak
Peredaran vaksin palsu dan obat ilegal masih terjadi dan intensitasnya meningkat dari
tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sistem dan sinergi pengawasan obat di
Indonesia yang masih lemah. Seharusnya pengawasan dilakukan oleh Badan Pengawas
Obat dan Makanan (Badan POM), baik pada fase pre-market maupun post-market.
Namun, pengawasan post-market belum optimal dilakukan oleh Badan POM mengingat
belum adanya regulasi yang memberikan kewenangan penuh kepada Badan POM
untuk melakukan upaya pengawasan hingga penindakan pelaku beserta barang bukti.
Terbatasnya jumlah dan kapasitas SDM, dan luasnya wilayah kerja Balai Besar dan
Balai POM juga menjadi penghambat upaya pengawasan. Untuk mewujudkan regulasi
penguatan kewenangan dan kelembagaan Badan POM, DPR melalui fungsi legislasi
penting untuk mendorong RUU Pengawasan Obat dan Makanan serta Pemanfaatan
Obat Asli Indonesia masuk ke dalam daftar perubahan prolegnas tahun 2016 dan segera
menyusun RUU tersebut.

Pendahuluan

Salah satu praktik peredaran vaksin


palsu yang berhasil diungkap polisi pada 21
Juni 2016 sudah berjalan sejak tahun 2003.
Vaksin yang dipalsukan merupakan vaksin
yang menjadi program wajib pemerintah,
namun diimpor dari luar negeri karena
vaksin impor dinilai memiliki keunggulan
dibandingkan produksi dalam negeri milik
PT Biofarma.
Sedangkan kasus obat ilegal terbongkar
dalam sidak yang dilakukan di apotek
rakyat di Pasar Pramuka, Jakarta tanggal 7
September 2016. Di pasar tersebut terdapat
400 apotek rakyat, tujuh di antaranya

Dalam waktu tiga bulan terakhir,


pemberitaan mengenai obat palsu (termasuk
vaksin palsu) dan obat ilegal merebak di media
massa dan menjadi isu yang meresahkan
masyarakat. Obat palsu adalah obat yang
memiliki penanda yang secara sengaja
dipalsukan seperti pemalsuan identitas obat
dan bahan baku obat. Sedangkan obat ilegal
adalah obat yang diproduksi dan diedarkan
tanpa memenuhi standar mutu, keamanan,
dan khasiat; dilakukan oleh orang yang tidak
memiliki keahlian dan kewenangan untuk
melakukan praktik kefarmasian; dan obat yang
tidak memiliki izin edar.

*) Peneliti Muda Kesehatan Masyarakat pada Bidang Kesejahteraan Sosial, Pusat Penelitian, Badan Keahlian DPR RI.
Email: rahmi.yuningsih@dpr.go.id
Info Singkat
2009, Pusat Penelitian
Badan Keahlian DPR RI
www.pengkajian.dpr.go.id
ISSN 2088-2351

-9-

yang diperlukan untuk mendukung upaya


pengawasan.

melakukan praktik penjualan obat ilegal


dengan keuntungan mencapai Rp96 juta per
bulan. Praktik tersebut menyalahi Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 284/Menkes/
Per/III/2007 tentang Apotek Rakyat, di
antaranya: tidak memakai jasa apoteker
sebagai penanggung jawab; menjual obat
kedaluwarsa dan obat ilegal; bebas menjual
obat yang seharusnya memakai resep dokter;
dan menjual obat dalam jumlah besar.
Selain kasus penjualan vaksin dan
obat ilegal, Bareskrim POLRI dan Badan
Pengawas Obat dan Makanan (Badan
POM) juga menemukan 42,48 juta butir
obat yang diproduksi dan didistribusikan
secara ilegal di kawasan pergudangan
Surya, Balaraja Tangerang pada tanggal
2 September 2016. Obat yang ditemukan
antara lain Trihexyphenidyl, Hexymer,
Tramadol, Dextromethorphan, Carnophen,
dan Somadril. Nilai barang yang ada dalam
gudang itu diperkirakan mencapai Rp30
miliar. Semua merupakan obat keras
dan berbahaya yang pembeliannya wajib
menggunakan
resep
dokter.
Padahal,
pemerintah telah menarik obat tersebut sejak
tahun 2013 karena sering disalahgunakan
oleh remaja untuk menimbulkan efek
halusinasi yang mengakibatkan terjadinya
perkelahian dan aksi kekerasan lainnya.

Upaya Pengawasan Obat


Pengawasan
obat
merupakan
tanggung jawab Badan POM sesuai dengan
Keppres Nomor 103 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja
Lembaga Pemerintah Non Departemen
yang telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Presiden Nomor 3
Tahun 2013. Pengawasan juga dilakukan
oleh Kementerian Kesehatan dalam hal
pengawasan penggunaan obat di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan (fasyankes) dan
pemerintah daerah melalui dinas kesehatan
dalam hal pemberian izin praktik apoteker,
izin pendirian apotek, dan pengawasan
distribusi obat di fasyankes.
Pengawasan Badan POM berpedoman
pada Peraturan Kepala BPOM No.
HK.03.1.33.12.12.8195
Tahun
2012
tentang Cara Pembuatan Obat yang Baik
(CPOB) dan Peraturan Kepala BPOM No.
HK.03.1.34.11.12.7542 Tahun 2012 tentang
Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB).
Pengawasan yang dilakukan oleh Badan
POM terbagi menjadi dua yaitu pengawasan
pre-market dan post-market. Pengawasan
pre-market merupakan pengawasan yang
dilakukan sebelum obat beredar, antara
lain standardisasi, pembinaan, audit CPOB,
penilaian, dan pengujian mutu keamanan.
Standardisasi dilakukan terpusat guna
menghindari perbedaan standar yang
mungkin terjadi akibat setiap provinsi
membuat standar tersendiri. Pengawasan
pre-market dilakukan untuk memperoleh
nomor izin edar agar produk dapat
diproduksi dan diedarkan. Badan POM telah
mengeluarkan izin edar sejak tahun 1972.
Sedangkan pengawasan post-market
dilakukan setelah obat beredar di masyarakat,
seperti inspeksi sarana produksi dan
distribusi, sampling dan uji laboratorium,
pengawasan iklan, pengawasan efek samping
obat, penyebaran informasi melalui edukasi
masyarakat, dan public warning. Pengawasan
post-market bertujuan untuk mengetahui
konsistensi mutu produk, keamanan, dan
informasi produk. Selama ini, terdapat kendala
dalam pengawasan post-market di antaranya
Badan POM tidak memiliki kewenangan
dalam melakukan inspeksi peredaran obat

Grafik 1. Temuan Obat Ilegal dan Obat Palsu


Tahun 2010-2015

Sumber: Badan POM. 2016.

Menurut data Badan POM kasus


peredaran obat ilegal terus meningkat dari
tahun 2010 hingga 2015, yang digambarkan
dalam grafik di atas. Masih ditemukannya
obat palsu dan obat ilegal membuat kita
perlu mempertanyakan upaya pengawasan
peredaran obat yang menjadi tanggung
jawab pemerintah. Oleh karena itu, tulisan
ini mengulas tentang pengawasan obat
yang berjalan selama ini dan regulasi
- 10 -

di fasyankes seperti di rumah sakit, bidan


praktik mandiri, dan dokter praktik swasta.
Di sisi lain, Kementerian Kesehatan yang
memiliki kewenangan tersebut dinilai kurang
melakukan pengawasan sehingga timbul kasus
vaksin palsu.
Pengawasan pre-market dan postmarket di daerah melibatkan Balai Besar
POM atau Balai POM yang terdapat di 33
provinsi dan Pos Pengawasan Obat dan
Makanan (Pos POM) di wilayah yang sulit
dijangkau atau perbatasan. Akan tetapi, SDM
Badan POM sangat terbatas, yang totalnya
hanya 3.881 orang. Dengan wilayah kerja
Balai Besar POM maupun Balai POM sangat
luas dan terbatasnya jumlah SDM sangat
tidak memungkinkan untuk dilakukannya
pengawasan ke seluruh fasyankes dan
pelayanan kefarmasian yang ada di wilayah
kerja Balai Besar POM maupun Balai POM.
Adapun fasyankes dan sarana pelayanan
kefarmasian yang menjadi objek pengawasan
Badan POM berjumlah 200.000.
Kelanjutan dari upaya pengawasan
pre-market dan post-market, Badan POM
dapat melakukan proses penegakan hukum.
Penegakan hukum didasarkan pada bukti hasil
pengujian, pemeriksaan, maupun investigasi
awal. Proses penegakan hukum sampai dengan
projusticia dapat berakhir dengan pemberian
sanksi administratif seperti dilarang untuk
diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut
izin edar, dan disita untuk dimusnahkan. Jika
pelanggaran masuk pada ranah pidana, maka
terhadap pelanggaran obat dapat diproses
secara hukum pidana. Di bawah ini merupakan
data perkara tindak pidana mengedarkan
sediaan farmasi tanpa izin edar sesuai dengan
Pasal 197 Jo. 106 Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Meski hanya 52,11% yang masuk


ke tahap penyidikan; 32,39% tahap
penuntutan; dan 11,27% proses pengadilan,
namun upaya rekomendasi tindak lanjut
atas temuan Badan POM tetap diberikan
kepada Dinas Kesehatan dan Kepolisian.
Hasil pengawasan obat tahun 2015
menunjukkan bahwa terdapat 19,53%
sarana pelayanan kefarmasian dan instalasi
farmasi kabupaten/kota tidak memenuhi
ketentuan. Dari 5.553 rekomendasi temuan
Badan POM untuk pemerintah daerah hanya
18,10% yang ditindaklanjuti dengan putusan
pengadilan yang dinilai berbagai pihak tidak
menimbulkan efek jera. Berdasarkan UU
Kesehatan, produsen dan distributor obat
ilegal akan dijerat Pasal 196 hingga Pasal 198
diancam sanksi pidana penjara maksimal
15 tahun dan denda paling banyak Rp1,5
miliar. Namun yang selama ini terjadi adalah
putusan pengadilan tertinggi hanya berupa
penjara selama delapan bulan dengan denda
Rp5 juta di Medan.

Regulasi untuk Mendukung


Penguatan Pengawasan Badan POM
Lemahnya
pengawasan
obat
selama ini, memunculkan gagasan untuk
memperkuat kewenangan Badan POM
dalam pengawasan obat, yaitu melalui RUU
tentang Pengawasan Obat dan Makanan
serta Pemanfaatan Obat Asli Indonesia.
RUU yang menjadi usul inisiatif DPR
tersebut masuk ke dalam Prolegnas 20142019 dengan urutan nomor 121 namun
belum menjadi prioritas tahun 2016. Oleh
karena itu, DPR melalui fungsi legislasi
perlu mendorong agar RUU tersebut masuk
ke dalam daftar perubahan prolegnas tahun
2016. Melalui RUU, penguatan Badan POM
perlu dilakukan dalam bentuk:
1. Adanya bagian intelijen, penyelidikan dan
penyidikan, pengejaran dan penindakan
pelaku, pengawasan dan pemusnahan
barang bukti, dan tindak pidana
pencucian uang. Dengan demikian Badan
POM dapat secara otonom melakukan
tugas pemberantasan obat ilegal.
2. Pendirian Balai POM dan Pos POM tidak
hanya pada tingkat provinsi melainkan
sampai ke tingkat kecamatan atau
kelurahan untuk dapat menjangkau
pengawasan di seluruh fasilitas kesehatan
dan fasilitas kefarmasian seiring dengan
peningkatan jumlah, kapasitas, dan

Grafik2. Perkara Tindak Pidana Obat


Ilegal Tahun 2010-2016

Sumber: Kejaksaan dan Badan POM. 2016.

- 11 -

persebaran SDM terutama tenaga


laboratorium, pemeriksa dan penyidik.
3. Peningkatan advokasi kepada pemerintah
daerah untuk dapat menindaklanjuti
rekomendasi temuan Badan POM.

juga peningkatan sarana, prasarana, dan


anggaran Badan POM.

Referensi
Ancaman Kesehatan: Gudang Obat Ilegal
Ditemukan Lagi, Kompas, 5 September
2016.
Bahan Rapat Dengar Pendapat Panja
Pengawasan Peredaran Obat dan Vaksin
Komisi IX DPR RI dengan Badan POM,
Kejaksaan dan Bareskrim POLRI.
Tanggal 13 September 2016.
Food and Drugs Administration. "Disposal
of Unused Medicines: What You
Should Know". http://www.fda.gov/
Drugs/ResourcesForYou/Consumers/
BuyingUsingMedicineSafely/
EnsuringSafeUseofMedicine/
SafeDisposalofMedicines/ucm186187.
htm, diakses 26 September 2016.
Kebijakan Strategis. http://www.pom.go.id/
new/index.php/view/kebijakan diakses
22 September 2016.
Kesehatan Masyarakat: Obat Lawas yang
Beredar Luas, Kompas, 8 September
2016.
Obat Ilegal: Apotek Rakyat Akan Dihapus,
Kompas, 10 September 2016.
Obat Ilegal: Kendali Pemerintah Lemah,
Kompas, 11 Agustus 2016.
Obat Ilegal: Pabrik Obat Keras Favorit
Remaja
Digerebek,
Kompas,
5
September 2016.
Obat Ilegal Picu Gangguan Mental
Masyarakat Bawah dan Remaja Jadi
Sasaran, Kompas, 7 September 2016.
Perkuat Sinergi Pengawasan Obat* Wapres:
BPOM Harus Lebih Tegas, Kompas, 9
September 2016.
Siregar, Charles J.P. 2015. Farmasi Rumah
Sakit: Teori dan Penerapan. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sidak Pasar Pramuka, Badan POM dan
POLRI Tutup 7 Kios Obat, http://
www.pom.go.id/new/index.php/view/
berita/11638/Sidak-Pasar-Pramuka-Badan-POM-dan-POLRI-Tutup-7-KiosObat.html, diakses 26 September 2016
Tajuk Rencana: Menghentikan Obat Ilegal,
Kompas, 8 September 2016.
Tata Ulang Pengawasan Obat, Kompas, 20
Agustus 2016.
Wawancara Kepala BPOM: Ini Bukan
Masalah Tarik-Menarik Kewenangan,
Kompas, 25 Juli 2016.

Selain itu, regulasi diperlukan untuk


menangani obat yang diproduksi tanpa
memenuhi persyaratan yang berlaku,
obat kedaluwarsa, obat yang tidak
memenuhi syarat untuk digunakan dalam
pelayanan kesehatan atau kepentingan
ilmu pengetahuan, obat yang dicabut izin
edarnya, dan obat yang berhubungan
dengan tindak pidana di bidang sediaan
farmasi dan alat kesehatan. Obat-obatan
tersebut dapat dimusnahkan sendiri atau
melalui pihak ketiga. Pemusnahan dapat
dilakukan dengan cara penarikan obat oleh
produsen. Berita acara pemusnahan harus
disampaikan kepada pihak Kementerian
Kesehatan, Badan POM, balai POM
setempat, dinas kesehatan provinsi, dan
dinas kabupaten/kota. Selain itu, perlu
regulasi untuk menumbuhkan komitmen
manajemen fasyankes dan penanggung
jawab fasilitas produksi, fasilitas distribusi,
dan sarana pelayanan kefarmasian untuk
selalu memusnahkan obat sesuai dengan
peraturan.

Penutup
Maraknya kegiatan penggerebekan
vaksin palsu dan obat ilegal yang dilakukan
oleh POLRI dan Badan POM menjadi bukti
keseriusan pemerintah dalam melindungi
kesehatan
masyarakat
dari
bahaya
penggunaan dan penyalahgunaan vaksin
palsu dan obat ilegal. Adanya kasus vaksin
dan obat ilegal juga membuktikan lemahnya
pengawasan yang dilakukan Badan POM
sebagai instansi yang dibentuk oleh Presiden
untuk melaksanakan tugas pemerintahan
di bidang pengawasan obat dan makanan.
Untuk
mengoptimalkan
pengawasan,
dibutuhkan
peningkatan
kewenangan
dan struktur kelembagaan Badan POM
melalui undang-undang. DPR dengan
fungsi legislasi perlu mengusulkan RUU
tentang Pengawasan Obat dan Makanan
serta Pemanfaatan Obat Asli Indonesia
agar menjadi prioritas tahun 2016 dan
segera menyusun RUU tersebut. Selain
itu, diperlukan juga peningkatan jumlah,
kapastias penyidik Badan POM. Diperlukan
- 12 -

Majalah

EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK

Vol. VIII, No. 18/II/P3DI/September/2016

Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM


PENGAMPUNAN PAJAK PERIODE PERTAMA
Hilma Meilani*)

Abstrak

Program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) yang dimulai pada tanggal 18 Juli 2016
menargetkan adanya penerimaan negara dari tax amnesty sebesar Rp165 triliun. Program
pengampunan pajak akan memasuki periode krusial, yaitu fasilitas tarif tebusan termurah
sebesar 2% untuk aset di dalam negeri dan 4% untuk aset di luar negeri akan berakhir pada
30 September 2016. Perkembangan pengampunan pajak menjelang berakhirnya periode
pertama tersebut masih belum mencapai hasil seperti yang diharapkan karena uang tebusan
yang masuk ke negara per 21 September 2016 baru mencapai Rp36,3 triliun atau sebesar
22% dari target. Pemerintah perlu melakukan upaya untuk meningkatkan penerimaan
negara dari pajak, dan DPR harus terus mengawal program dan kebijakan pemerintah untuk
mencapai target-target dalam APBN-P 2016.

Pendahuluan

Periode Juli hingga 30 September 2016


ditawarkan tarif tebusan termurah sebesar
2% untuk repatriasi. Selanjutnya untuk
repatriasi dikenakan tarif masing-masing
3% dan 5% untuk periode 1 Oktober-31
Desember 2016 dan 1 Januari-31 Maret
2017. Tarif tersebut juga berlaku bagi
wajib pajak yang hendak melaporkan harta
(deklarasi) di dalam negeri. Sedangkan
wajib pajak yang hendak mendeklarasi
harta di luar negeri, dikenakan tarif
masing-masing 4%, 6%, dan 10% untuk
ketiga periode tersebut. Khusus bagi
UMKM, dikenakan tarif seragam mulai 1
Juli 2016 hingga 31 Maret 2017, yakni 0,5%
untuk aset di bawah Rp10 miliar dan 2%
untuk aset di atas Rp10 miliar.

Program Pengampunan Pajak (Tax


Amnesty) yang dimulai pada tanggal 18
Juli 2016 ditujukan sebagai salah satu cara
menarik dana pengusaha Indonesia yang
ditempatkan di luar negeri. Diperkirakan
terdapat aset Warga Negara Indonesia
(WNI) sebesar Rp4.300 triliun yang
seharusnya dapat digunakan sebagai
modal investasi dalam negeri. Umumnya,
para pengusaha Indonesia lebih memilih
menyimpan uangnya di negara-negara yang
mempunyai pajak rendah (Tax Haven).
Pelaksanaan Program Pengampunan
Pajak berlangsung selama sekitar sembilan
bulan sejak 18 Juli hingga 31 Maret 2017
dan terbagi atas tiga periode, dengan
masing-masing periode selama tiga bulan.

*) Peneliti Muda Ekonomi Terapan pada Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik, Pusat Penelitian, Badan Keahlian DPR RI.
E-mail: hilma.meilani@dpr.go.id
Info Singkat
2009, Pusat Penelitian
Badan Keahlian DPR RI
www.pengkajian.dpr.go.id
ISSN 2088-2351

- 13 -

Tabel 1. Perkembangan Pengampunan


Pajak

Program
pengampunan
pajak
memasuki periode krusial, yaitu fasilitas
tarif tebusan termurah sebesar 2% untuk
aset di dalam negeri dan 4% untuk aset
di luar negeri akan berakhir pada 30
September 2016, sehingga akhir bulan ini
diharapkan penerimaan dari pengampunan
pajak akan masuk lebih besar. Dengan
memperhatikan capaian sampai dengan
sekarang, perlu dilakukan evaluasi terhadap
program pengampunan pajak periode
pertama ini.

Uraian

Jumlah

Komposisi Harta Berdasarkan SPH


Deklarasi luar negeri

350 triliun

Deklarasi dalam negeri

878 triliun

Repatriasi
Total

71,3 triliun
1.300triliun

Komposisi Uang Tebusan


Berdasarkan SPH

Evaluasi Penerimaan Pengampunan


Pajak

Badan UMKM

35,5 miliar

Badan non-UMKM

2,60 triliun

OP non-UMKM

27,4 triliun

OP UMKM

Sampai 31 Agustus 2016 perolehan


uang tebusan dari pengampunan pajak
hanya sebesar Rp3,1 triliun, atau 1,9% dari
target uang tebusan sebesar Rp165 triliun.
Dari total uang tebusan yang telah masuk,
sebanyak Rp2,4 triliun atau sebesar 77,4%
berasal dari wajib pajak pribadi non-UKM,
dari orang pribadi atau pengusaha kecil
dan menengah hanya sebesar Rp179 miliar
atau 6%. Sedangkan uang tebusan dari
perusahaan non UKM atau perusahaan
besar sebesar Rp432 miliar atau sebesar
14%. Salah satu tujuan utama program
pengampunan pajak adalah menarik
dana-dana WNI di luar negeri, namun
proporsi paling besar sampai saat ini
berasal dari deklarasi dalam negeri. Hal
ini dapat disebabkan karena tidak mudah
meyakinkan para pemodal untuk membawa
kembali asetnya dari luar negeri, kendala
psikologis karena akan diketahui sebagai
pelaku yang menyembunyikan hartanya
atau melakukan penunggakan pajak, serta
hambatan dari negara asal yang akan
cenderung menahan repatriasi modal ke
Indonesia.
Berdasarkan
data
statistik
pengampunan pajak yang dilansir dari laman
resmi Direktorat Jenderal Pajak Kementerian
Keuangan, realisasi pengampunan pajak
mengalami
peningkatan
menjelang
berakhirnya periode pertama (September
2016). Total penerimaan uang tebusan
berdasarkan surat pernyataan harta (SPH)
sejak dimulainya pelaksanaan Program
Pengampunan Pajak hingga tanggal 21
September 2016 mencapai Rp36,3 triliun atau
22% dari target Rp165 triliun. Perkembangan
Pengampunan pajak sampai dengan tanggal
21 September 2016 tercantum pada Tabel 1.

Total

1,0 triliun
31,0triliun

Realisasi Berdasarkan SSP


Tebusan pengampunan pajak

32,9 triliun

Pembayaran bukti permulaan

269 miliar

Pembayaran tunggakan pajak

3,06 triliun

Total
36,3triliun
Sumber: Ditjen Pajak, Kementerian Keuangan, per 21
September 2016
Keterangan:
SPH = Surat pernyataan harta
SSP = Surat setoran pajak
OP = orang pribadi

Perolehan komposisi harta telah


mencapai Rp1.300 triliun dengan proporsi
Rp878 triliun dari deklarasi dalam negeri
(67,54%), Rp350 triliun dari deklarasi luar
negeri (26,92%), dan Rp71,3 triliun dari
repatriasi aset dari luar negeri (5,48%). Total
nilai realisasi berdasarkan surat setoran
pajak (SSP) yang diterima mencapai Rp36,3
triliun, mencakup pembayaran tebusan
amnesti pajak, pembayaran tunggakan
pajak,
dan
pembayaran
penghentian
pemeriksaan bukti permulaan.
Per 21 September 2016 sebanyak
111.156 wajib pajak (WP) tercatat telah
mengikuti pengampunan pajak, padahal
akhir bulan Agustus jumlahnya baru
mencapai 22.017 WP. Jumlah penyertaan
harta program pengampunan pajak telah
mencapai Rp1.300 triliun atau 32,5%
dari yang ditargetkan pemerintah sebesar
Rp4.000 triliun.

Kendala Pelaksanaan
Sejumlah kendala yang dihadapi
dalam pelaksanaan Program Pengampunan
Pajak dinilai turut menjadi penyebab belum
tercapainya target menjelang berakhirnya
- 14 -

periode pertama. Di antaranya adalah


program sosialisasi yang berlangsung
dari Juli hingga September dinilai terlalu
singkat untuk implementasi dan sosialisasi,
sementara belum semua wajib pajak
memahami secara detail tentang program
tersebut. Para wajib pajak umumnya ragu
menggunakan fasilitas amnesti pajak dengan
berbagai dalih, antara lain menilai peraturan
pelaksanaannya terlalu rumit dan formulir
pajak yang membingungkan.
Selain persoalan internal dari wajib
pajak, persoalan eksternal yang menghambat
pelaksanaan pengampunan pajak antara
lain adalah kecepatan petugas pajak
melayani peserta pengampunan pajak dinilai
kurang memadai. Selain persoalan teknis
administratif, juga tingkat pemahaman
petugas pajak yang tak seragam dinilai
sebagai faktor penghambat. Pelaksanaan
tiga bulan pertama juga dinilai kurang
efektif karena di bulan pertama dan kedua
lebih banyak kegiatan sosialisasi sehingga
masyarakat belum mengerti betul manfaat
dan prosedur pelaksanaan pengampunan
pajak.
Kendala lain yang timbul adalah
sejumlah perbankan Singapura dikabarkan
harus
mendata
laporan
transaksi
mencurigakan jika klien ikut ambil bagian
dalam skema pengampunan pajak. Dari data
Dirjen Pajak Kemenkeu per 13 September
2016, hampir Rp400 triliun atau 30 miliar
dollar AS aset WNI tertanam di Singapura.
Menkeu Sri Mulyani menegaskan bahwa
pemerintah akan terus bekerja sama dengan
Pemerintah Singapura untuk menutup
seluruh
kemungkinan
menggunakan
berbagai alasan, baik di Indonesia maupun
Pemerintah Singapura, bagi para wajib
pajak Indonesia untuk tidak mengikuti tax
amnesty. OJK juga akan terus menjaga
komunikasi dengan otoritas keuangan di
Singapura.

pada 30 September, dan memberi kelonggaran


penyerahan syarat administrasi pengampunan
pajak menjadi Desember 2016 bagi wajib pajak
yang melakukan deklarasi dan membayar
tebusan 2% paling lambat 30 September 2016.
Pemerintah membuka opsi untuk mengatasi
masalah teknis repatriasi pengampunan pajak
dengan revisi terhadap tiga Peraturan Menteri
keuangan (PMK) yang meliputi tiga aturan,
yaitu terkait dengan tata cara pengalihan
harta dan penempatan pada instrumen
investasi di pasar keuangan, investasi di luar
pasar keuangan, serta pengampunan pajak
untuk wajib pajak yang memiliki perusahaan
cangkang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani
Indrawati menyiapkan dua skenario
cadangan jika implementasi amnesti pajak
pada periode pertama tidak sesuai harapan.
Opsi yang disiapkan adalah mengejar
kepatuhan wajib pajak badan beromzet di
atas Rp5 miliar atau memangkas anggaran
belanja K/L non prioritas. Namun masih
harus menunggu selesainya pelaksanaan
program pengampunan pajak tahap pertama
sebelum
melakukan
kalkulasi
target
realistis dari penerimaan perpajakan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Perubahan 2016 (APBNP 2016).
OJK telah memanggil sejumlah
manajemen bank yang terafiliasi dengan
perbankan Singapura (OCBC, NISP, UOB,
dan DBS) untuk mengklarifikasi informasi
bahwa bank induk di Singapura melaporkan
WNI yang akan merepatriasi dana dalam
rangka pengampunan pajak. Laporan oleh
perbankan Singapura diperlukan dalam
rangka memenuhi standar Financial Action
Task Force (FATF), lembaga yang dibentuk
untuk mencegah pencucian uang. Informasi
mengenai upaya Singapura tersebut harus
dicermati karena sekitar 50% dari total dana
repatriasi berasal dari Singapura.
Untuk memaksimalkan penerimaan
pengampunan pajak pada bulan September,
Pemerintah meminta bantuan Asosiasi
Pengusaha Indonesia (Apindo) untuk
mengumpulkan pengusaha-pengusaha atau
wajib pajak besar. Lebih dari 30 pengusaha
telah mengikuti program pengampunan
pajak dan diharapkan akhir September
seluruh pengusaha yang tergabung dalam
Apindo berperan serta dalam program
ini. Kamar Dagang dan Industri (Kadin)
Indonesia juga mengeluarkan edaran kepada

Upaya yang Perlu Dilakukan


Pemerintah
Periode pertama program pengampunan
pajak hampir berakhir, namun perolehan
dana tebusan hingga pekan ini masih jauh
dari target pemerintah Rp165 triliun. Para
pengusaha
mengusulkan
agar
tenggat
periode pertama dapat diperpanjang, namun
Pemerintah tetap akan berpegang pada tenggat
waktu periode pertama yang akan berakhir
- 15 -

anggota, asosiasi, dan para pengusaha untuk


mengikuti program pengampunan pajak
secara serempak pada 27 September 2016.
Undang-Undang
Nomor 11 Tahun
2016
tentang
Pengampunan
Pajak
yang disahkan pada tanggal 1 Juli 2016
diharapkan menjadi momentum penting
bagi perbaikan ekonomi nasional. Dari sisi
pajak, ada potensi penerimaan yang akan
menambah APBN, sehingga membuat APBN
lebih berkelanjutan. Dari sisi moneter,
pengampunan pajak dapat menyediakan
tambahan likuiditas bagi sistem keuangan
dalam negeri, menambah cadangan devisa
dan membantu memperkuat nilai tukar
rupiah.
Pemerintah
dengan
dukungan
DPR perlu meningkatkan penerimaan
pajak mengingat hingga saat ini tax ratio
penerimaan pajak terhadap PDB baru 12%.
Jauh di bawah rata-rata tax ratio negara
tetangga di ASEAN dan Organisation on
Economic Cooperation and Development
(OECD).
Untuk menggali penerimaan negara
dari sektor perpajakan dibutuhkan upayaupaya nyata, serta diimplementasikan dalam
bentuk kebijakan pemerintah. Upaya-upaya
tersebut dapat berupa intensifikasi maupun
ekstensifikasi
perpajakan.
Intensifikasi
pajak dapat berupa peningkatan jumlah
Wajib Pajak (WP) maupun peningkatan
penerimaan pajak. Upaya ekstensifikasi
dapat berupa perluasan objek pajak yang
selama ini belum tergarap.

pajak. Sementara, DPR perlu mendukung


Pemerintah sesuai dengan fungsinya yaitu
legislasi, pengawasan, dan anggaran, agar
pelaksanaan UU Pengampunan Pajak
dapat mencapai hasil yang optimal dan
memberikan kontribusi yang optimal
bagi perekonomian nasional. DPR harus
terus mengawal program dan kebijakan
Pemerintah untuk mencapai target-target
dalam APBN-P 2016.

Referensi
Amnesti Pajak Bisa Tembus Rp4.000
Triliun, Media Indonesia, 21 September
2016.
Aturan Investasi Repatriasi Semakin
Longgar,
Bisnis
Indonesia,
22
September 2016.
Kepolisian Singapura Abaikan Laporan
Bank, Kompas, 22 September 2016.
Ketimpangan Pajak, Tabloid Kontan No.
49 XX, 2016, 5-11 September 2016.
Menguji Hasil Tax Amnesty, Bisnis
Indonesia, 26 September 2016.
Menkeu Minta Wajib Pajak Tak Khawatir
Soal
Singapura,
Republika,
16
September 2016.
Melesatkan Pertumbuhan Ekonomi via UU
Tax Amnesty, Neraca, 14 September
2016.
Meluruskan Kembali Pemahaman tentang
Amnesti Pajak, Business News No.
8896/Tahun-LIX, 14 September 2016.
Partisipasi
Sangat
Menentukan,
Pengampunan
Pajak
untuk
Menggerakkan Ekonomi Nasional,
Kompas, 21 September 2016.
Pekan Sibuk Amnesti, Bisnis Indonesia, 24
September 2016.
"Pemerintah
Bergeming,
Pengurusan
Administrasi
Pengampunan
Pajak
Diperpanjang", Kompas, 23 September
2016.
Perbaiki Administrasi Bisnis dengan
AmnestiPajak, Media Indonesia, 22
September 2016.

Penutup
Keberhasilan pembangunan nasional
sangat
didukung
oleh
pembiayaan
yang berasal dari masyarakat, yaitu
penerimaan pajak. Agar peran serta ini
dapat terdistribusi dengan merata, perlu
diciptakan sistem perpajakan yang lebih
berkeadilan dan berkepastian hukum. Hal
ini disebabkan masih maraknya aktivitas
ekonomi di dalam negeri yang belum atau
tidak dilaporkan kepada otoritas pajak.
Pemerintah
perlu
menerapkan
langkah dan terobosan kebijakan guna
mendorong pengalihan harta (repatriasi)
ke dalam wilayah Republik Indonesia
sekaligus memberikan jaminan keamanan
bagi warga negara Indonesia yang ingin
mengalihkan dan mengungkapkan harta
yang dimilikinya dalam bentuk amnesti
- 16 -

Majalah

PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

Vol. VIII, No. 18/II/P3DI/September/2016

Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

INTELIJEN PERTAHANAN DAN POLITIK


SUPREMASI SIPIL
Prayudi*)

Abstrak
Gagasan intelijen pertahanan negara meletakkan reposisi Bainstranas yang selama ini
diatur dalam Perpres No. 80 Tahun 2014 diharapkan menjadi substansi revisi terbatas UU
No. 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara. Kekosongan intelijen pertahanan yang memiliki
akses langsung ke Presiden melalui Menhan, dirasa ironis mengingat di beberapa negara
sudah mengadopsi kelembagaannya. Trauma sejarah politik dan distorsi pemahaman atas
intelijen pertahanan meletakkan gagasan intelijen pertahanan mengalami resistensi. Dengan
mencermati tantangan keamanan global dengan segala ancaman yang menyertainya, politik
supremasi sipil dituntut mampu merealisasikan intelijen pertahanan bagi penataan hubungan
sipil-militer dan sinerginya bagi sistem politik yang demokratis.

Pendahuluan

Badan Instalasi Strategis Nasional


(Bainstranas)
Kemhan
direncanakan
ditransformasikan menjadi BIP. Kemhan
menilai rencana ini bukan hal yang baru,
karena sudah diwacanakan sejak tahun
2008. Bainstranas merupakan satuan kerja
di Kemhan yang dibentuk sejak 2014, yang
bertugas memberikan informasi intelijen
kepada Menhan untuk selanjutnya diserahkan
kepada Presiden sebagai bahan pertimbangan.
Keinginan ini menjadi polemik, menurut
mantan Kepala Badan Intelejen Strategis (Ka
Bais) TNI, Soleman B. Ponto, karena tugas
Menhan membuat kebijakan pertahanan,
sedangkan penyelenggaraannya dilakukan
oleh Panglima TNI dan lembaga terkait
menurut bentuk ancamannya. Sehingga,
informasi intelijen yang diperlukan Kemhan

Menteri
Pertahanan
(Menhan)
Ryamizard Ryacudu berkeinginan membentuk
lembaga intelijen baru di Indonesia, yaitu
Badan Intelijen Pertahanan (BIP) yang akan
berada di bawah Kementerian Pertahanan
(Kemhan). Dinilai janggal ketika Kemhan
di beberapa negara memiliki badan intelijen
tersendiri, sedangkan di Indonesia Kemhan
justru tidak memilikinya. Misalnya di Malaysia,
dijalankan oleh Kor Risik DiRaja, sedangkan
di Inggris, terdapat Defence Intelligence
(DI) di bawah Kemhan-nya yang bertugas
menyediakan informasi untuk operasi militer,
rencana kontinjensi (contingency plan), dan
kebijakan pertahanan negara. Contoh lainnya,
Rusia memiliki badan intelijen pertahanan,
Spetsnaz GRU atau Denmark dengan FET
(Forscarets Efterretningstjeneste)-nya.

*) Peneliti Utama Pemerintahan Indonesia pada Bidang Politik Dalam Negeri, Pusat Penelitian, Badan Keahlian DPR RI.
Email: prayudi_pr@yahoo.com
Info Singkat
2009, Pusat Penelitian
Badan Keahlian DPR RI
www.pengkajian.dpr.go.id
ISSN 2088-2351

- 17 -

Gambar 1. Aktivitas Intelijen Petahanan

dapat disuplai dari Bais TNI, BIN, dan


Atase Pertahanan. Di luar itu, Kemhan juga
sudah memiliki Ditjen Strategi Pertahanan
guna menganalisis kebijakan. Berdasarkan
hal tersebut, akan dikaji masalah intelejen
pertahanan
dikaitkan
dengan
politik
supremasi sipil.

Manpower

Firepower

Mobility

Staying Power

Integrating Factors
Leadership & Political Will

Military Power

Distorsi Pemahaman dan Trauma


Sejarah Politik Intelijen

Foreign Military
Capbilities

Intelijen
pertahanan
merupakan
intelijen strategis yang merupakan instrumen
dalam perumusan strategi pertahanan raya
guna menjadi dasar penyusunan kebijakan
umum dan kebijakan penyelenggaraan
pertahanan negara. Rangkaian kegiatan
intelijen pertahanan terdiri dari perkiraan
intelijen (intelligent estimates), pengamatan
terhadap lingkungan untuk mengategorikan
mana negara bersahabat dan yang tidak
bersahabat (net assessment), dan perkiraan
ancaman (threats assessment).
Kebijakan umum di bidang pertahanan
negara (Jakumhaneg) yang ditetapkan
setiap lima tahun sekali dalam bentuk
Keppres, menempatkan Menhan sebagai
kontributor utama. Bahkan karena belum
terbentuknya Dewan Pertahanan Nasional
(DPN) yang diamanatkan UU No. 3 Tahun
2002 tentang Pertahanan Negara, maka
perumusan
Jakumhaneg
sepenuhnya
menjadi tanggung jawab Menhan. Akan
tetapi Jakumhaneg yang ada saat ini belum
sepenuhnya dapat dijadikan pedoman oleh
Kementerian/Lembaga dalam menyusun
strategi operasional masing-masing, karena
rumusannya belum berdasarkan penilaian
ancaman yang realistis. Strategi Pertahanan
yang ditetapkan oleh Kemhan tidak dapat
dijabarkan menjadi Strategi Militer oleh
Mabes TNI (selengkapnya lihat Gambar 1).
Bainstranas mengacu pada Perpres
No. 80 Tahun 2014 yang di Pasal 140
menyebutkan
Bainstranas
bertugas
mengelola kawasan instalasi strategis
nasional. Fungsi Bainstranas di Pasal 140B
Perpres tersebut, yaitu menyusun kebijakan
teknis, rencana dan program pengelolaan
kawasan
instalasi
strategis
nasional;
melaksanakan pengelolaan kawasan instalasi
strategis nasional, dan melaksanakan
administrasinya. Bainstranas menaungi
7 instalasi yang dianggap strategis bagi
kepentingan nasional, yaitu: Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan

Intelligence Estimate

Foregin
MilitaryIntentio
ns

Net Assement

Threat Assesment

Defence Intelligence

Sumber: Elliot CohenT. et.al, (ed) (2002), kutipan dari Hari


Prihatomo, dalam Andi Widjajanto (ed.), Negara,
Intel, dan Ketakutan, Pacifis, Jakarta, 2006, h. 52.

Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB),


Universitas Pertahanan (Unhan), Pusat
Misi Pemeliharaan Perdamaian (PMPP),
Pusat Bahasa Kemendikbud, Standby Forces
Pasukan PBB TNI, dan Pusat Olahraga
Militer (POM Intelijen pertahanan pertama
kali didirikan
oleh Zulkifli Lubis pada
Agustus 1945, semula bernama
Badan
Istimewa (BI), yang kemudian menjadi
Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI).
Setelah Angkatan Perang terbentuk pada
awal 1952 disusul dengan pembentukan
organisasi intelijen untuk militer pada tahun
1952 disingkat BISAP. BISAP merupakan
organisasi intelijen pertama
di bawah
naungan militer. Pada 5 Desember 1958
dibentuk Badan Koordinasi Intelijen (BKI)
yang kemudian menjadi Badan Pusat
Intelijen (BPI) pada 10 November 1959.
Di awal Orde Baru, Departemen
Pertahanan dan Keamanan (Dephankam)
mendirikan
Pusat
Intelijen
Strategis
(Pusintelstrat) dengan anggota-anggota
Pusat Psikologi Angkatan Darat (PSiAD)
sebagian besar dilikuidasi ke dalamnya.
Intelijen militer memiliki badan intelijen
operasional
yang
bernama
Satgas
Intelijen Komando Pemulihan Keamanan
dan
Ketertiban
(Kopkamtib).
Satgas
ini
kewenangannya
sangat
superior.
Pusintelstrat dibentuk untuk menghadapi
berbagai ancaman strategis dan menjalin
komunikasi langsung dengan para atase
pertahanan RI di seluruh dunia. Dalam
situasi
khusus,
Pusintelstrat
dapat
menggunakan satuan Kopasandha (kini
Kopassus) untuk misi operasi khusus. Pada
- 18 -

tahun 1980, Pusintelstrat dan Satgas Intel


Kopkamtib dilebur menjadi Badan Intelejen
ABRI (BIA). Jabatan Kepala BIA dipegang
oleh Panglima ABRI (Pangab), sedangkan
kegiatan operasional BIA dipimpin oleh
Wakil Kepala BIA. Tahun 1986, BIA diubah
menjadi BAIS. Perubahan ini berdampak
kepada restrukturisasi bagi kepentingan
Strategis Hankam dan Pembangunan
Nasional.
Belum
lagi
restrukturisasi
dilaksanakan, terjadi lagi perubahan, yaitu
BAIS dikembalikan menjadi BIA yang
artinya hanya melakukan operasi intelijen
militer.
Muncul resistensi, gagasan Intelijen
pertahanan dapat menciptakan birokrasi
baru komunitas intelijen dan sekedar
alokasi jabatan di kalangan perwira
TNI. Distorsi pemahaman ini diperkuat
trauma sejarah politik intelijen yang
digunakan untuk kepentingan politik rezim.
Penggunaan intelijen yang mengabdi pada
kekuasaan rezim menyebabkan terjadinya
aksi pelanggaran HAM saat Orde Baru.
Pelanggaran ini melibatkan aparat (state
actors), di mana unsur militer yang terlibat
lepas dari jerat hukuman melalui impunitas
yang diterapkan, sementara kepolisian dan
lembaga yudisial adalah lemah.

pejabat di struktur pemerintahan strategis


pun tidak luput dari jangkauan mereka
yang dianggap bertanggungjawab dalam
kasus tersebut dan dapat melanggengkan
impunitas.
Setelah
perombakan
kabinet kerja pada 27 Juli 2016, dunia
intelijen juga ditempati oleh sosok yang
bermasalah serupa. Ini, tidak saja terhadap
pengangkatan Sutiyoso sebagai Kepala
BIN (yang kemudian diganti oleh Budi
Gunawan yang pernah menjabat Wakapolri),
tetapi juga terhadap pengangkatan bekas 4
anggota Koppasus Tim Mawar di Kemhan,
BIN, dan BNPT. Juga pada promosi
Hertomo dari jabatan Gubernur Akmil di
Magelang menjadi Ka Bais. Artinya dirinya
menjadi bintang tiga, sebagai Letjen, yang
sebelumnya sebagai Brigjen. Kontroversinya,
karena pernah dijatuhi hukuman oleh
Mahmilti III Surabaya, di tahun 2003.
Hukuman saat itu terkait kasus pelanggaran
HAM
yang
mengakibatkan
tewasnya
pemimpin PDP, Theys Hiyo Eluay.
DPR era reformasi menghasilkan UU
No. 17 Tahun 2011, kelahirannya sejalan
dengan pembentukan kehidupan demokrasi,
di mana kekuatan intelijen tunduk pada
otoritas sipil hasil Pemilu, yaitu Presiden
terpilih. Pasal 7 UU ini menegaskan bahwa
ruang lingkup intelijen negara meliputi
intelijen dalam negeri, intelijen pertahanan
dan/atau militer, intelijen kepolisian,
intelijen penegakkan hukum, dan intelijen
kementerian/lembaga
pemerintah
non
kementerian. Meskipun demikian, reformasi
intelijen masih menghadapi soal distorsi
pemahaman, di samping trauma sejarah
politik intelijen itu sendiri. Distorsi ini
ditunjukkan saat muncul tuduhan bahwa
gagasan intelijen pertahanan, terkait asumsi
mandeknya mutasi di kalangan perwira
TNI yang berdampak pemekaran birokrasi
Kemhan.
Pola mutasi perwira TNI sejak 1
dasawarsa,
2005-2015,
menunjukkan
kemungkinan tersebut. Proses regenerasi
korps perwira belum berjalan efektif, efisien,
dan tepat guna. Mutasi masih menunjukkan
terjadinya penyumbatan promosi TNI,
terutama bagi perwira angkatan 1987 dan
1988, karena mayoritas mutasi bersifat
literal dan minimnya perwira yang
pensiun. Selain mandeknya gerbongnya
promosi perwira tinggi,
juga terjadi
ketidakpastian proses validasi organisasi

Politik Supremasi Sipil


Di masa menjelang runtuhnya Orde
Baru, jaringan BAIS tersebar hingga
pelosok Koramil di tingkat kecamatan/
kelurahan. Masalah koordinasi merupakan
hal krusial yang memerlukan pembenahan
berkelanjutan
terhadap
kinerja
komunitas intelijen. BAIS TNI misalnya,
bertanggungjawab pada Mabes TNI, BIN
bertanggungjawab pada Presiden, sementara
Polri pada Presiden. Secara struktural,
intelijen yang diproduksi oleh BAIS dapat
diberikan pada Presiden atas diskresi
Panglima TNI, sementara Presiden dapat
memberikan intelijen yang dihasilkan BIN
pada Dephan. Bukan sebaliknya.
Pemerintahan
Jokowi
dan
JK
yang
berjanji
menuntaskan
kasuskasus pelanggaran HAM berat masa
lalu, semula disambut optimis sebagai
bentuk politik supremasi sipil. Namun
dalam perkembangannya, optimisme ini
mulai meredup, ketika upaya penuntasan
itu tidak memperoleh kejelasan arah
penyelesaiannya.
Bahkan,
penempatan
- 19 -

dan arah transformasi pertahanan. Bahkan,


resistensi terjadi dari sekedar dugaan
hubungan Menhan Ryamizard dengan
Panglima TNI. Meskipun dibantah kesan
ini, tetapi ungkapan ada info intelijen
yang tidak utuh diterima Kemhan, masih
muncul di publik. Ide intelijen pertahanan
dianggap mengembalikan posisi Menhan
yang merangkap Panglima TNI. Resistensi
menjadi tantangan bagi politik supremasi
sipil, agar tidak merugikan kepentingan yang
lebih besar daripada sekedar ego sektoral.
Dalam
teori
hubungan
sipilmiliter, Huntington mengatakan bahwa
pengendalian sipil terhadap militer menurut
kenyataan dilakukan melalui dua cara, yaitu:
(1) pengendalian sipil objektif (objective
civilian control); dan (2) pengendalian sipil
subjektif. Kontrol sipil objektif dipandang
Huntington sebagai pengendalian sipil
terhadap militer secara sehat, karena
profesionalisme militer diperbesar porsinya.
Sedangkan pengendalian sipil subjektif akan
membawa hubungan sipil-militer tidak sehat
atau memburuk karena pengendalian ini
dilakukan dengan memperbesar kekuatan
sipil dibandingkan dengan kekuatan militer
(kaum militer diabaikan).
Reformasi intelijen Indonesia tidak
terlepas dari konteks supremasi sipil.
Hal ini kemudian secara riil dimulai
pada
masa
pemerintahan
Presiden
Abdurrahman Wahid di tahun 2001, yaitu
dengan perubahan BAKIN menjadi BIN,
dan pertanggungjawaban intelijen pada
Presiden dan DPR. Sebelum lahir UU No. 17
Tahun 2011, BIN berada di bawah kendali
pemerintahan hasil Pemilu (supremasi sipil),
dengan Kepala BIN yang ditunjuk langsung
dan bertanggungjawab kepada Presiden.
Meskipun kemudian lahir UU No. 17 Tahun
2011, BIN dianggap masih mengadopsi
karakter militeristik yang konservatif.

tugas di bidang pertahanan dengan


segala kemampuan deteksi dan strategi
penanganannya terhadap ancaman yang
muncul. Substansi intelijen pertahanan
perlu menjadi revisi terbatas UU No. 17
Tahun 2011, karena UU ini masih menganut
intelijen pertahanan masih dipegang oleh
TNI dan bukan oleh Menhan sebagai otoritas
sipil yang bertanggungjawab langsung
ke Presiden sebagai pemegang komando
tertinggi.

Referensi
Bainstranas,
Benih
Badan
Intelijen
Pertahanan, http.www.CNN Indonesia.
com, diakses 9 Agutus 2016.
Govt employs former Tim Mawar
members, The Jakarta Post, 31 Agustus
2016.
Intelijen Pertahanan Usulan Komandan,
Tempo 4-10 Juli 2016
Mutasi Jenderal TNI Danjen kopasus,
http.www. merdeka.com, diakses 22
September 2016/.
Evan Laksamana, Pola Mutasi Perwira
TNI, Kompas, 6 Agustus 2016.
Julianto, Arif (2002), Hubungan SipilMiliter di Indonesia Pasca Orde Baru,
Jakarta, Rajagrafindo Persada.
Paryanto, Mayjen TNI, Badan Intelijen
Pertahanan, makalah Diskusi Internal
di Pusat Penelitian DPR RI, Jakarta, 22
Agustus 2016.
Undang-Undang No. 17 Tahun 2011 tentang
Intelijen Negara.
Wibisono, Ali A, Reformasi Intelijen dan
Badan Intelijen Negara, makalah
Diskusi Internal di Pusat Penelitan DPR
RI, 22 Agustus 2016.
Widjajanto, Andi (ed.) (2006), Negara,
Intel, dan Ketakutan, Pacifis, Jakarta.

Penutup
Sebagai konsekuensi atas reformasi
hubungan sipil-militer yang belum tuntas,
intelejen pertahanan Indonesia belum
sejalan dengan upaya penguatan sistem
demokrasi bagi kepentingan nasional.
Seharusnya, kesadaran ini meletakkan
supremasi sipil sebagai pemegang otoritas
tidak perlu ragu lagi untuk merealisasikan
gagasan intelijen pertahanan, agar Kemhan
benar-benar
fokus
bagi
penanganan
- 20 -

Anda mungkin juga menyukai