Anda di halaman 1dari 3

Review / Kritikan : Film Rayya (Cahaya diatas Cahaya)

Nama : Sigit Adi Pamungkas


NIM : 13660029

Seorang kawan pernah berkata kepada saya, enak ya kalau punya duit
segunung, bisa ngapa-ngapain. Pasti aku bahagia banget. Dari pandangan dia, tolak
ukur kebahagiaan seseorang dapat dilihat berdasarkan berapa banyak jumlah uang
yang dia miliki saat ini. Itu berarti, dia menentang pernyataan money cant buy
happiness. Hmmm... jika dipikir-pikir, apakah memang uang bisa membeli
kebahagiaan? Bagi saya, ini kembali ke definisi bahagia bagi masing-masing orang.
Pernyataan ini pun bersifat relatif, sebagian kalangan mengiyakan, sebagian
kalangan menolak untuk meyakininya. Saya pribadi cenderung netral, tidak
memihak keduanya. Namun saya pun tidak munafik bahwa hidup memang lebih
terasa nyaman saat ada uang di sisi kita. Tapi tentu saja, pernyataan tersebut tidak
memiliki makna sedangkal itu. Ada semacam bahan untuk perenungan dari sebuah
kalimat yang terdiri dari tidak lebih dari lima kata ini. Apabila Anda ingin
merenunginya, menelusurinya lebih dalam, dan memelajarinya, ada baiknya Anda
menyaksikan film terbaru besutan Viva Westi, Rayya Cahaya di Atas Cahaya.
Sebuah film Indonesia yang sangat indah yang mengulik perjalanan seseorang yang
mempertemukannya dengan jati dirinya yang sebenarnya serta menemukan makna
lain dari kebahagiaan.
Sang tokoh utama adalah Rayya (Titi Sjuman), aktris nomor satu di Indonesia
yang labil, menyebalkan, dan senantiasa ingin dipahami. Benar-benar merasa perlu
untuk menunjukkan kepada dunia bahwa dia adalah seorang diva. Sapto (Sapto
Soetarjo) dari manajemen Rayya merencanakan sebuah proyek pembuatan biografi
sang diva. Dia mengutus Kemal (Alex Abbad) untuk memotret Rayya di berbagai
lokasi. Baru juga perjalanan dimulai, muncul konflik diantara mereka berdua yang
berujung pada pemecatan Kemal. Rayya sendiri tengah dirundung kemalangan
setelah dia dicampakkan oleh kekasihnya, Bram (Rico Marpaung), yang ternyata
diam-diam telah menikahi perempuan lain. Kegalauan inilah yang mengubah Rayya
dari seorang diva labil biasa menjadi seorang drama queen sejati. Tidak ada yang
mampu mengatasinya kecuali Arya (Tio Pakusadewo), seorang fotografer kawakan
yang menggantikan posisi Kemal. Perjalanan yang awalnya tidak lebih dari sekadar
sesi foto ini menjadi terasa lebih berharga setelah Arya berhasil membuat Rayya
perlahan-lahan membuka diri. Keakraban dengan cepat tumbuh setelah Rayya
mengetahui bahwa Arya juga mengalami problematika pelik terkait urusan asmara.
Sosok Arya serta wong-wong cilik yang dijumpai selama perjalanan membuka mata
Rayya dan memberinya pembelajaran hidup. Berkat mereka, Rayya tersadar bahwa
kebahagiaan tidak melulu dari hal-hal yang besar yang seringkali penuh dengan
kepalsuan. Hal-hal kecil yang seringkali kita anggap sepele pun mampu memberikan
kebahagiaan. Intinya, bahagia itu sederhana.
Alih-alih menuturkan kisah menggunakan bahasa informal lo, gue yang
santai, Rayya Cahaya di Atas Cahaya memilih jalan untuk memakai bahasa formal,

setidaknya dalam 40 menit pertama. Tidak hanya formal, tak jarang dialog-dialog
olahan Emha Ainun Najib pun sangat puitis bernilai sastra tinggi. Sarat makna, dan
juga sarat estetika. Lumayan membuat frustrasi memang, terutama bagi penonton
yang terbiasa mendengarkan percakapan dengan bahasa yang lugas serta to the
point. Cak Nun dan Viva Westi kerap berbasa-basi, bermain-main dengan kata. Saya
pun sempat mengalami masa-masa dimana saya membutuhkan waktu yang cukup
lama untuk mencerna ujaran para tokoh. Ada makna yang cukup dalam yang
terkandung di dalamnya. Penonton diminta untuk berkontemplasi, atau
menjadikannya sebagai bahan diskusi yang menyenangkan bersama teman seraya
menyeruput secangkir teh hangat. Apabila hanya bergantung pada kekuatan naskah
semata, Rayya Cahaya di Atas Cahaya berpotensi terjemurus ke jurang kebosanan.
Disinilah para pemain memegang peranan penting untuk menghidupkan film.
Titi Sjuman dan Tio Pakusadewo memberikan performa yang gemilang, terang
bersinar sepanjang film, serta memberikan chemistry yang kokoh. Hebatnya, tidak
hanya mereka berdua yang berakting apik. Para bintang pendukung yang hanya
kebagian jatah satu dua adegan, bermain total seolah-olah mereka menanggung
beban berat layaknya pemain utama. Tim kasting terbukti jeli memilih pemain. Tapi
tentu saja, siapapun sulit untuk menyangkal bahwa kekuatan utama dari film ini
terletak pada sinematografinya. Ipung Rachmat Syaiful berhasil mengabadikan
gambar-gambar cantik di sepanjang pantura, Jogja, hingga Bali. Bidikan gambarnya
membuat saya spontan mengucap Subhanallah berulang kali sepanjang film. Benarbenar memanjakan mata. Viva Westi patut bersyukur memiliki jajaran pemain dan
kru seperti ini. Rayya Cahaya di Atas Cahaya menjadi sebuah comeback yang
sempurna bagi Viva Westi setelah mengalami masa-masa suram dengan film
berkualitas cetek. Dia berhasil menghadirkan sebuah film yang istimewa dengan
isian berupa pembelajaran hidup serta sentilan-sentilan mengenai masalah sosial
kehidupan.

Review/ Kritikan : Film Beth


Beth (Ine Febriyanti) yang merupakan putri seorang jenderal
(El Manik) yang memiliki gangguan jiwa (psikopat). Hidupnya
terasa tidak berarti baginya dan segala sesuatu disekelilingnya
tidak dapat menyenangkan hatinya. Namun, ia memiliki seorang
pemuda yang ia cintai yakni Bucek Depp, kemudian kisah
percintaan mereka diketahui oleh ayah Beth yang membuat ayah
Beth memaksa beth untuk dipindahkan ke Rumah Sakit Jiwa. Di
Rumah Sakit jiwa beth diperlakukan istimewa karena ia adalah
putri seorang jendral. Kemudian disana ia bertemu dengan
bertemu kembali dengan Bucek Depp. Bucek Depp adalah
seorang tahanan yang bergantung kepada narkotika,kemudian
Bucek Depp dipindahkan ke Rumah Sakit Jiwa akibat
ketergantungan dia pada obat narkotia. Film ini juga
menggambarkan sebuah potret tentang betapa sulitnya untuk
merawat pasien yang sakit jiwa.

Anda mungkin juga menyukai