Anda di halaman 1dari 6

HUSNUZAN

A.PENGERTIAN PERILAKU HUSNUZAN


Husnuzan artinya berbaik sangka, lawan katanya adalah suuzan yang artinya berburuk
sangka. Berbaik sangka dan berburuk sangka merupakan bisikan jiwa, yang dapat
diwujudkan melalui perilaku yakni ucapan dan perbuatan. Perilaku husnuzan termasuk
akhlak terpuji karena akan mendatangkan manfaat. Sedangkan perilaku suuzan
termasuk akhlak tercela karena akan mendatangkan kerugian.
Sungguh tepat jika Allah SWT dan rasul-Nya melarang perilaku buruk sangka. Sesuai
dengan firman-Nya pada surat Al-Hujurat ayat 49 yang artinya:
Jauhkanlah dirimu dari berprasangka buruk, karena berprasangka buruk itu sedustadusta pembicaraan (yakni jaukan dirimu dari sesorang berdasarkan sangkaan saja).
(H.R BUKHARI DAN MUSLIM)

B. CONTOH-CONTOH PERILAKU HUSNUZAN


1. Husnuzan tehadap Allah SWT
Husnuzan terhadap Allah SWT artinya berbaik sangka pada Allah SWT, Tuhan Yang Maha
Esa, pencipta alam semesta dan segala isinya yang bersifat dengan segala sifat
kesempurnaan serta bersih dari segala sifat kekurangan.
Husnuzan terhadap Allah SWT merupakan sikap mental dan termasuk salah satu tanda
beriman kepada-Nya.
Di antara sikap perlaku terpuji, yang akan dilakukan oleh orang yang berbaik sangka
pada Allah SWT ialah syukur dan sabar.
a. Syukur
Menurut pengertian bahasa, kata syukur berasal bahasa Arab, yang artinya terima
kasih. Menurut istilah, syukur adalah berterima kasih kepada Allah SWTdan pengakuan
yang tulus atas nikmat dan karunia-Nya, melalui ucapan, sikap, dan perbuatan.
Nikmat karunia Allah SWT sangat banyak dan bermacam-macam. Ada nikmat yang
terdapat dalam diri manusia itu sendiri, dan ada pula yang berasal dai luar diri
manusia, ada nkmat yang besifat jasmani dan ada pula yang bersifat rohani.
o Nikmat karunia Allah yang bersifat jasmani dan terdapat dalam diri manusia,
seperti pancaindra, bentuk, dan susunan tubuh manusia yang lebih sempuna
dari hewan sehingga manusia bisa berlari cepat seperti kijang, memanjat

seperti kera, dan berenang seperti ikan. Sungguh tepat apa yang telah
difirmankan Allah SWT dalam Al-Quran:
o Nikmat Allah yang bersifat rohani, sebagai anugerah Allah SWT yang tidak
ternilai harganya, antara lain roh, akal, kalbu, dan nafsu.
o Demikian juga nikmat-nikmat karunia Allah SWT yang terdapat di luar diri
manusia sungguh sangat banyak dan tidak ternilai harganya. Nikmat-nikmat
misalnya air, api, berbagai jenis makanan dan buah-buahan, aneka macam
barang tambang, daratan, lautan, dan angkasa raya. Itu semua memang
disediakan Allah SWT untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia.
o Jika umat manusia menghitung-hitung nikmat karunia Allah SWT, tentu tidak
akan mampu menghitungnya (lihat dan pelajari Q.S Ibrahim, 14: 34 dan Q.S
Al-Baqarah, 2: 152).
o Cara bersyukur kepada Allah SWT ialah dengan menggunakan segala nikmat
karunia Allah SWT untuk hal-hal yang diridai-Nya, yaitu:
o Bersyukur dengan hati ialah mengakui dan menyadar bahwa segala nikmat
yang diperoleh manusia, merupakan karuni Allah SWT semata dan tidak ada
selain Allah SWT yang dapat memberikan nikmat-nkmat itu.
o Bersyukur dengan lidah seperti membaca Alhamdulillah (segala puji bagi
Allah), mengucapkan lafal-lafal zkir lannya, membaca Al-Quran, dan
melaksanakan akmar makuf nahi mungkar.
o Bersyukur dengan amal perbuatan, misalnya mengerjakan salat, menunaikan
ibadah haji jika mampu, berbakti kepada kedua orang tua, dan berbuat baik
pada sesama manusia.
o Bersyukur dengan harta benda, misalnya dengan jalan membelanjakan harta
benda itu untuk hal-hal yang bemanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat.
b. Sabar
Manusia dalam hidupnya di dunia ini silih berganti berada dalam dua situasi, yaitu
situasi yang senang karena memperoleh nikmat dan situasi sedih atau susah karena
mengalami musibah. Apabila manusia itu berada dalam situasi senang hendaknya ia
bersyukur, dan bila berada dalam situasi susah hendaklah ia bersabar.
Setiap Muslim/Muslimah yang beprasangka baik pada Allah SWT, apabila dikenai suatu
musibah seperti sakit, bencana alam dan gagal dalam suatu usaha, tentu akan
bersabar. Ia tidak akan gelisah dan berkeluh kesah apalagi beputus asa, karena ia

menyadari bahwa musibah-musibah itu merupakan ujian dari Allah SWT. (Lihat dan
pelajari Q.S. Al-Baqarah, 2: 155-157 dan Q.S. Yusuf, 12: 87!)
Seseorang dianggap suuzan terhadap Allah SWT, misalnya tatkala ia mengalami
kegagalan dalam suatu usaha, ia menduga Allahlah penyebab kegagalannya, Allah
mendengar doanya, Allah itu kikir, Allah tidak adil, dan lain-lain dugaan yang negatif
terhadap Allah SWT. Padahal Allah SWT itu Maha Mendengar, Mahadermawan,
Mahaadil. Allah SWT tidak menyuruh hamba-Nya untu gagal dalam suatu usaha. Oleh
karena itu, jika seseorang gagal dalam suatu usaha, ia tidak boleh menyalahkan Allah
SWT. Ia harus mengntrospeksi diri, mungkin kegagalan itu karena usahanya belum
dilakukan secara sungguh-sungguh. Kegagalan dalam suatu usaha, hendaknya
dijadikan pelajaran, agar pada masa mendatang tidak mengalami hal serupa.
2. Husnuzan terhadap Diri Sendiri
Perilaku terpuji terhadap diri sendiri yaitu percaya diri, gigih dan
berinisiatif.
a. Percaya Diri
Percaya diri termasuk sikap dan perilaku terpuji yang harus dimiliki oleh setiap
Muslim/Muslimah karena seseorang yang percaya diri tentu akan yakin terhadap
kemampuan dirinya, sehingga ia berani mengeluarkan pendapat dan berani pula
melakukan suatu tindakan. Muslim/Muslimah yang berilmu pengetahuan tinggi dan
memiliki keterampilan yang bermanfaat apabila ia percaya diri, tentu ia akan
memperoleh keberhasilan dalam hidup.
Seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan apabila tidak percaya
diri tentu akan memperoleh kerugian dan mungkin bencana. Muslim/Muslimah yang
percaya diri akan melaksanakan kewajiban terhadap dirinya sendiri, misalnya menjaga
kesehatan jasmani dan rohani serta memelihara diri agar tidak dikenai suatu bencana.
b. Gigih
Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata gigih bahasa Minangkabau yang
artinya berkeras hati, tabah, dan rajin. Gigih juga dapat diartikan bersungguhsungguh dalam meraih sesuatu. Sikap dan perilaku gigih dalam meraih yang positif
termasuk sikap mahmudah (sikap terpuji) dan akhlakul karimah. Setiap muslim dan
muslimah wajib memiliki sikap gigih. Sikap gigih hendaknya diterapkan dalam
kehidupan antara lain dalam hal berikut:
1) Ibadah
2) Menuntut ilmu
Ilmu pengetahuan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu ilmu pengetahuan
tentang agama Islam (ilm hal) dan ilmu pengetahuan umum (ilm gairu hal). Ilmu
pengetahuan tentang agama Islam memberikan pedoman hidup kepada umat manusia.
Ilmu pengetahuan umum bertujuan agar umat manusia dapat memanfaatkan,
menggali, dan mengolah kekayaan alam, baik yang ada di darat dan di laut maupun
yang ada di angkasa raya.

Rasulullah SAW bersabda:


Artinya: Kebaikan/kebahagiaan di dunia dan di akhirat beserta ilmu dan
keburukan/bencana di dunia dan di akhirat beserta kebodohan.
(H.R Bukhari)
3) Bekerja mencari rezeki yang halal
Bekerja mencari rezeki yang halal dapat dilakukan melalui berbagai bidang usaha,
misalnya pertanian, peternakan, dan perdagangan. Bekerja dalam bidang apa pun
hendaknya dilakukan dengan gigih dan sungguh-sungguh dengan dilandasi niat ikhlas
karena Allah SWT, untuk memperoleh rida dan rahmat-Nya. Dengan cara seperti itu
maka akan diperoleh hasil kerja yang optimal. Islam melarang umat-Nya bermalasmalasan dan menjadi beban orang lain.
Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: Bekerja mencari rezeki yang halal itu wajib bagi setiap Muslim.
(H.R. Tabrani)
4) Berinisiatif
Kata inisiatif berasal dari bahasa Belanda yang berarti prakarsa atau langkah
pertama. Inisiatif juga berarti berbuat yang sifatnya produktif ( memiliki etos kerja
yang tinggi) dan tidak tergantung kepada orang lain. Islam mengajarkan umatnya
untuk memiliki etos kerja yang tingi. Seseorang yang memiliki inisiatif disebut
inisiator.
Inisiatif dalam hal positif merupakan sifat terpuji yang harus dimiliki oleh setiap orang
muslim dan muslimah. Muslim/Muslimah yang berprasangka baik terhadap dirinya,
tentu akan berkeyakinan bahwa dirinya mampu berinisiatif yang positif dalam bidang
yang ditekuninya dan sesuai dengan keahliannya.
Firman Allah swt:
Artinya: Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya.
(Q.S. An Najm[53]: 39
3. Husnuzan terhadap sesama Manusia
Husnuzan merupakan sikap mental terpuji, yang mendiring pemiliknya untuk bersikap,
bertutur kata, dan berbuat yang baik dan bermanfaat.
Perwujudan dari husnuzan itu hendaknya diterapkan dalam kehidupan berkeluarga,
bertetangga dan bermasyarakat.
a. Kehidupan berkeluarga

Untuk mewujudkan rumah tangga yang memperoleh rida dan rahmat Allah swt ,
bahagia dan sejahtera, baik di dunia maupun di akhirat.
Pasangan suami-istri hendaknya saling berprasangka baik dan tidak saling curiga,
saling memenuhi hak dan melaksanakan kewajiban masing-masing dengan
sebaik-baiknya.
Hubungan anak-anak dan orang tua dilandasi dengan prasangka baik dan saling
pengertian.
Anak-anak berbakti dan menyenangkan hati orang tua.
Orang tua memberi kepercayaan diri pada anak agar anak bisa mengembangkan
diri dan melakukan hal-hal yang bermanfaat.
b. Kehidupan bertetangga
Saling menghormati dan menghargai, baik secara sikap, ucapan lisan dan
perbuatan. Menghormati tetangga merupakan tanda-tanda dari manusia
beriman:
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya
menghormati tetangganya. (H.R. Muslim)
Berbuat baik pada tetangga dengan cara melakukan kewajiban terhadap
tetangga dan perbuatan lainnya yang bermanfaat.
Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari
gangguan-gangguannya. (H.R. Muslim)
c. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
Tujuan dari berkehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ialah terwujudnya
kehidupan yang aman, tenteram, adil dan makmur, dibawah ampunan dari ridha Allah
SWT. Hal ini bisa ditempuh dengan saling berprasangka baik dan berperilaku terpuji.
1) Generasi tua menyayangi generasi muda, yaitu dengan membimbing mereka
agar kualitas hidupnya dalam berbagai bidang positif melebihi generasi tua.
Generasi muda hendaknya menghormati yang tua dengan bersikap, berkata dan
berperilaku yang bermanfaat.
Bukan dari golongan kami (umat Islam) orang yang tidak menyayangi yang
muda dan tidak menghormati yang tua. (H.R. Ahmad, Tirmidzi, dan Hakim)
2) Saling tolong-menolong dalam kebaikan serta ketakwaan dan jangan saling
menolong dalam dosa serta pelanggaran. (lihat Q.S. Al-Maidah, 5: 2)

Pemerintah dan rakyat dari golongan mampu saling bekerja sama untuk
mengetaskan kemiskinan.
Pemerintah dan masyarakat bekerja sama dalam memberantas kejahatan
dan kemungkaran yang terjadi di lingkungan masyarakat.

C.MEMBIASAKAN DIRI BERLAKU HUSNUZAN


Setiap Muslim/Muslimah, hendaknya membiasakn diri dengan berperilaku husnuzan
terhadap Allah SWT, terhadap diri sendiri maupun terhadap sesama manusia.
Seorang Muslim/Muslimah yang berperilaku husnuzan terhadap Allah SWT, tentu akan
senantiasa bertakwa kepadanya, di mana pun dan kapan pun dia berada.Ia akan selalu
bersyukur pada Allah SWT bila berada dalam situasi yang menyenangkan dan akan
senantiasa bersabar bila berada dalam keadaan yang menyusahkan.
Seorang Muslim/Muslimah yang berperilaku husnuzan terhadap dirinya sendiri, tentu
akan membiasakan diri dengan bersikap dan berperilaku terpuji yang bermanfaat bagi
dirinya, seperti percaya diri, gigih, dan banyak berinisiatif yang positif.
Demikian juga, setiap Muslim/Muslimah hendaknya membiasakan diri untuk
berperilaku husnuzan terhadap manusia,baik dalam kehidupan berkeluarga dan
bertetangga, maupun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Insya Allah, jika setiap Muslim/Muslimah dan setiap anggota masyarakat, telag
membiasakan diri untuk berperilaku husnuzan dalam kehidupan sehari-hari, mereka
akan memperoleh kebaikan-kebaikan yang banyak.

Anda mungkin juga menyukai