Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

AQIDAH AKHLAK

KELAS X IPS 2
Disusun Oleh :

KELOMPOK 3

JULIA BENING

RAFI PAMUNCAK

KHAIRATUL JANNAH

JULI SUFRI

RAHUL RAHMAN

RAKIA SALMA

MAN 1 SIJUNJUNG

2020
HUSNUZAN

A. PENGERTIAN PERILAKU HUSNUZAN
Husnuzan artinya berbaik sangka, lawan katanya adalah suuzan yang artinya
berburuk sangka. Berbaik sangka dan berburuk sangka merupakan bisikan jiwa, yang
dapat diwujudkan melalui perilaku yakni ucapan dan perbuatan. Perilaku husnuzan
termasuk akhlak terpuji karena akan mendatangkan manfaat. Sedangkan perilaku suuzan
termasuk akhlak tercela karena akan mendatangkan kerugian.
Sungguh tepat jika Allah SWT dan rasul-Nya melarang perilaku buruk sangka.
Sesuai dengan firman-Nya padasurat Al-Hujurat ayat 49 yang artinya:
“Jauhkanlah dirimu dari berprasangka buruk, karena berprasangka buruk itu sedusta-
dusta pembicaraan (yakni jaukan dirimu dari sesorang berdasarkan sangkaan saja).”
(H.R BUKHARI DAN MUSLIM)

B. CONTOH-CONTOH PERILAKU HUSNUZAN
1. Husnuzan tehadap Allah SWT
Husnuzan terhadap Allah SWT artinya berbaik sangka pada Allah SWT,
Tuhan Yang Maha Esa, pencipta alam semesta dan segala isinya yang bersifat dengan
segala sifat kesempurnaan serta bersih dari segala sifat kekurangan.
Husnuzan terhadap Allah SWT merupakan sikap mental dan termasuk salah satu
tanda beriman kepada-Nya.
Di antara sikap perlaku terpuji, yang akan dilakukan oleh orang yang berbaik sangka
pada Allah SWT ialah syukur dan sabar.

2. Syukur
Menurut pengertian bahasa, kata syukur berasal bahasa Arab, yang artinya
terima kasih. Menurut istilah, syukur adalah berterima kasih kepada Allah SWTdan
pengakuan yang tulus atas nikmat dan karunia-Nya, melalui ucapan, sikap, dan
perbuatan.
Nikmat karunia Allah SWT sangat banyak dan bermacam-macam. Ada nikmat
yang terdapat dalam diri manusia itu sendiri, dan ada pula yang berasal dai luar diri
manusia, ada nkmat yang besifat jasmani dan ada pula yang bersifat rohani.
·         Nikmat karunia Allah yang bersifat jasmani dan terdapat dalam diri
manusia, seperti pancaindra, bentuk, dan susunan tubuh manusia yang lebih sempuna
dari hewan sehingga manusia bisa berlari cepat seperti kijang, memanjat seperti kera,
dan berenang seperti ikan. Sungguh tepat apa yang telah difirmankan Allah SWT
dalam Al-Qur’an:
Nikmat Allah yang bersifat rohani, sebagai anugerah Allah SWT yang tidak
ternilai harganya, antara lain roh, akal, kalbu, dan nafsu.
Demikian juga nikmat-nikmat karunia Allah SWT yang terdapat di luar diri
manusia sungguh sangat banyak dan tidak ternilai harganya. Nikmat-nikmat misalnya
air, api, berbagai jenis makanan dan buah-buahan, aneka macam barang tambang,
daratan, lautan, dan angkasa raya. Itu semua memang disediakan Allah SWT untuk
kepentingan dan kesejahteraan umat manusia.
Jika umat manusia menghitung-hitung nikmat karunia Allah SWT, tentu tidak
akan mampu menghitungnya (lihat dan pelajari Q.S Ibrahim, 14: 34 dan Q.S Al-
Baqarah, 2: 152).
Cara bersyukur kepada Allah SWT ialah dengan menggunakan segala nikmat
karunia Allah SWT untuk hal-hal yang diridai-Nya, yaitu:
Bersyukur dengan hati ialah mengakui dan menyadar bahwa segala nikmat
yang diperoleh manusia, merupakan karuni Allah SWT semata dan tidak ada selain
Allah SWT yang dapat memberikan nikmat-nkmat itu.
Bersyukur dengan lidah seperti membacaAlhamdulillah (segala puji bagi
Allah), mengucapkan lafal-lafal zkir lannya, membaca Al-Qur’an, dan melaksanakan
akmar makuf nahi mungkar.
Bersyukur dengan amal perbuatan, misalnya mengerjakan salat, menunaikan
ibadah haji jika mampu, berbakti kepada kedua orang tua, dan berbuat baik pada
sesama manusia.
Bersyukur dengan harta benda, misalnya dengan jalan membelanjakan harta
benda itu untuk hal-hal yang bemanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat.

3. Sabar
Manusia dalam hidupnya di dunia ini silih berganti berada dalam dua situasi,
yaitu situasi yang senang karena memperoleh nikmat dan situasi sedih atau susah
karena mengalami musibah. Apabila manusia itu berada dalam situasi senang
hendaknya ia bersyukur, dan bila berada dalam situasi susah hendaklah ia bersabar.
Setiap Muslim/Muslimah yang beprasangka baik pada Allah SWT, apabila
dikenai suatu musibah seperti sakit, bencana alam dan gagal dalam suatu usaha, tentu
akan bersabar. Ia tidak akan gelisah dan berkeluh kesah apalagi beputus asa, karena ia
menyadari bahwa musibah-musibah itu merupakan ujian dari Allah SWT. (Lihat dan
pelajari Q.S. Al-Baqarah, 2: 155-157 dan Q.S. Yusuf, 12: 87!)
Seseorang dianggap suuzan terhadap Allah SWT, misalnya tatkala ia
mengalami kegagalan dalam suatu usaha, ia menduga Allahlah penyebab
kegagalannya, Allah mendengar doanya, Allah itu kikir, Allah tidak adil, dan lain-lain
dugaan yang negatif terhadap Allah SWT. Padahal Allah SWT itu Maha Mendengar,
Mahadermawan, Mahaadil. Allah SWT tidak menyuruh hamba-Nya untu gagal dalam
suatu usaha. Oleh karena itu, jika seseorang gagal dalam suatu usaha, ia tidak boleh
menyalahkan Allah SWT. Ia harus mengntrospeksi diri, mungkin kegagalan itu
karena usahanya belum dilakukan secara sungguh-sungguh. Kegagalan dalam suatu
usaha, hendaknya dijadikan pelajaran, agar pada masa mendatang tidak mengalami
hal serupa.

4. Husnuzan terhadap Diri Sendiri


Perilaku terpuji terhadap diri sendiri yaitu percaya diri, gigih dan berinisiatif.

a. Percaya Diri
Percaya diri termasuk sikap dan perilaku terpuji yang harus dimiliki oleh setiap
Muslim/Muslimah karena seseorang yang percaya diri tentu akan yakin terhadap
kemampuan dirinya, sehingga ia berani mengeluarkan pendapat dan berani pula
melakukan suatu tindakan. Muslim/Muslimah yang berilmu pengetahuan tinggi
dan memiliki keterampilan yang bermanfaat apabila ia percaya diri, tentu ia akan
memperoleh keberhasilan dalam hidup.
Seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan apabila tidak percaya
diri tentu akan memperoleh kerugian dan mungkin bencana. Muslim/Muslimah
yang percaya diri akan melaksanakan kewajiban terhadap dirinya sendiri, misalnya
menjaga kesehatan jasmani dan rohani serta memelihara diri agar tidak dikenai
suatu bencana.

b. Gigih
Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa katagigih bahasa Minangkabau
yang artinya berkeras hati, tabah, dan rajin. Gigih juga dapat diartikan bersungguh-
sungguh dalam meraih sesuatu. Sikap dan perilaku gigihdalam meraih yang
positif termasuk sikap mahmudah (sikap terpuji) dan akhlakul karimah. Setiap
muslim dan muslimah wajib memiliki sikap gigih. Sikap gigih hendaknya
diterapkan dalam kehidupan antara lain dalam hal berikut:
1) Ibadah
2) Menuntut ilmu
Ilmu pengetahuan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu ilmu pengetahuan
tentang agama Islam (‘ilm hal) dan ilmu pengetahuan umum (‘ilm gairu hal). Ilmu
pengetahuan tentang agama Islam memberikan pedoman hidup kepada umat
manusia.
Ilmu pengetahuan umum bertujuan agar umat manusia dapat memanfaatkan,
menggali, dan mengolah kekayaan alam, baik yang ada di darat dan di laut maupun
yang ada di angkasa raya.
Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: “Kebaikan/kebahagiaan di dunia dan di akhirat beserta ilmu dan
keburukan/bencana di dunia dan di akhirat beserta kebodohan.” (H.R Bukhari)

c. Bekerja mencari rezeki yang halal


Bekerja mencari rezeki yang halal dapat dilakukan melalui berbagai bidang usaha,
misalnya pertanian, peternakan, dan perdagangan. Bekerja dalam bidang apa pun
hendaknya dilakukan dengan gigih dan sungguh-sungguh dengan dilandasi niat
ikhlas karena Allah SWT, untuk memperoleh rida dan rahmat-Nya. Dengan cara
seperti itu maka akan diperoleh hasil kerja yang optimal. Islam melarang umat-Nya
bermalas-malasan dan menjadi beban orang lain.
Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: “Bekerja mencari rezeki yang halal itu wajib bagi setiap Muslim.”
(H.R. Tabrani)

d. Berinisiatif
Kata inisiatif berasal dari bahasa Belanda yang berarti prakarsa atau langkah
pertama. Inisiatif juga berarti berbuat yang sifatnya produktif ( memiliki etos kerja
yang tinggi) dan tidak tergantung kepada orang lain. Islam mengajarkan umatnya
untuk memiliki etos kerja yang tingi. Seseorang yang
memiliki inisiatif disebut inisiator.
Inisiatif dalam hal positif merupakan sifat terpuji yang harus dimiliki oleh setiap
orang muslim dan muslimah. Muslim/Muslimah yang berprasangka baik terhadap
dirinya, tentu akan berkeyakinan bahwa dirinya mampu berinisiatif yang positif
dalam bidang yang ditekuninya dan sesuai dengan keahliannya.
Firman Allah swt:
Artinya: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya.” (Q.S. An Najm[53]: 39

5. Husnuzan terhadap sesama Manusia


Husnuzan merupakan sikap mental terpuji, yang mendiring pemiliknya untuk
bersikap, bertutur kata, dan berbuat yang baik dan bermanfaat.
Perwujudan dari husnuzan itu hendaknya diterapkan dalam kehidupan
berkeluarga, bertetangga dan bermasyarakat.

a. Kehidupan berkeluarga
Untuk mewujudkan rumah tangga yang memperoleh rida dan rahmat Allah
swt , bahagia dan sejahtera, baik di dunia maupun di akhirat.
 Pasangan suami-istri hendaknya saling berprasangka baik dan tidak saling
curiga, saling memenuhi hak dan melaksanakan kewajiban masing-masing
dengan sebaik-baiknya.
 Hubungan anak-anak dan orang tua dilandasi dengan prasangka baik dan
saling pengertian.
 Anak-anak berbakti dan menyenangkan hati orang tua.
 Orang tua memberi kepercayaan diri pada anak agar anak bisa
mengembangkan diri dan melakukan hal-hal yang bermanfaat.

b. Kehidupan bertetangga
 Saling menghormati dan menghargai, baik secara sikap, ucapan lisan dan
perbuatan. Menghormati tetangga merupakan tanda-tanda dari manusia
beriman: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka
hendaknya menghormati tetangganya.” (H.R. Muslim)
 Berbuat baik pada tetangga dengan cara melakukan kewajiban terhadap
tetangga dan perbuatan lainnya yang bermanfaat. “Tidak akan masuk surga
orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguan-
gangguannya.”(H.R. Muslim)
c. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
Tujuan dari berkehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ialah
terwujudnya kehidupan yang aman, tenteram, adil dan makmur, dibawah ampunan
dari ridha Allah SWT. Hal ini bisa ditempuh dengan saling berprasangka baik dan
berperilaku terpuji.
 Generasi tua menyayangi generasi muda, yaitu dengan membimbing mereka
agar kualitas hidupnya dalam berbagai bidang positif melebihi generasi tua.
Generasi muda hendaknya menghormati yang tua dengan bersikap, berkata
dan berperilaku yang bermanfaat. “Bukan dari golongan kami (umat Islam)
orang yang tidak menyayangi yang muda dan tidak menghormati yang
tua.” (H.R. Ahmad, Tirmidzi, dan Hakim)
 Saling tolong-menolong dalam kebaikan serta ketakwaan dan jangan saling
menolong dalam dosa serta pelanggaran. (lihat Q.S. Al-Maidah, 5: 2)
 Pemerintah dan rakyat dari golongan mampu saling bekerja sama untuk
mengetaskan kemiskinan.
 Pemerintah dan masyarakat bekerja sama dalam memberantas kejahatan dan
kemungkaran yang terjadi di lingkungan masyarakat.

C. MEMBIASAKAN DIRI BERLAKU HUSNUZAN


Setiap Muslim/Muslimah, hendaknya membiasakn diri dengan berperilaku
husnuzan terhadap Allah SWT, terhadap diri sendiri maupun terhadap sesama manusia.
Seorang Muslim/Muslimah yang berperilaku husnuzan terhadap Allah SWT, tentu akan
senantiasa bertakwa kepadanya, di mana pun dan kapan pun dia berada.Ia akan selalu
bersyukur pada Allah SWT bila berada dalam situasi yang menyenangkan dan akan
senantiasa bersabar bila berada dalam keadaan yang menyusahkan.
Seorang Muslim/Muslimah yang berperilaku husnuzan terhadap dirinya sendiri,
tentu akan membiasakan diri dengan bersikap dan berperilaku terpuji yang bermanfaat
bagi dirinya, seperti percaya diri, gigih, dan banyak berinisiatif yang positif.
Demikian juga, setiap Muslim/Muslimah hendaknya membiasakan diri untuk
berperilaku husnuzan terhadap manusia,baik dalam kehidupan berkeluarga dan
bertetangga, maupun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Insya Allah, jika setiap Muslim/Muslimah dan setiap anggota masyarakat, telah
membiasakan diri untuk berperilaku husnuzan dalam kehidupan sehari-hari, mereka akan
memperoleh kebaikan-kebaikan yang banyak.
RAJA’

A. Pengertian
Raja’ secara bahasa berasal dari bahasa arab, yaitu “Rojaun” yang berarti harapan
atau berharap. Kata Raja’ (‫ )ﺮﺟﺎﺀ‬berarti mengharapkan keridhaan Allah Swt dan rahmat
darinya.
Sedangkan rahmat itu sendiri adalah segala karunia yang diberikan oleh Allah Swt
kepada umatnya yang mendatangkan manfaat dan nikmat. Raja’ yang dikehendaki oleh
islam adalah mempunyai harapan kepada Allah untuk :
1. Mendapatkan ampunannya
2. Memperoleh kesejahteraan
3. Memperoleh kebahagiaan di duna dan di akhirat
4. Mengharap rahmat serta keridhaan Allah
Dari keempat harapan yang dianjurkan di dalam islam, anjuran keempat atau
mengharapkan rahmat serta keridhaan Allah Swt-lah yang paling penting dan yang paling
utama.
Raja’ termasuk akhlakul karimah (perbuatan terpuji) terhadap Allah Swt, yang
manfaatnya dapat mempertebal iman dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Maksudnya
:
1. Ketika seorang muslim/muslimah mengharapkan ampunan Allah Swt. Berarti ia
telah mengakui bahwa Allah Swt itu maha pengampun
2. Ketika seorang muslim/muslimah mengharapkan agar Allah melimpahkan
kebahagiaan di dunia dan diakhirat. Berarti ia telah meyakini bahwa Allah maha
pengasih dan maha penyayang.
Oleh karena itu, sudah seharusnya setiap muslim/muslimah senantiasa memperoleh
ridha dan rahmat Allah Swt, sebagai bukti penghambaan kepada Allah. Allah swt
berfirman:
     “.......berdoalah kepadaku, niscaya akan kuperkenankan bagimu....” (Q.S Al-
mu’min/40:60)

B. Macam-macam Raja’
1. Raja’ yang terpuji
Syaikh Al 'Utsaimin berkata:
"Ketahuilah, roja' yang terpuji hanya ada pada diri orang yang beramal taat
kepada Allah dan berharap pahala-Nya atau bertaubat dari kemaksiatannya dan
berharap taubatnya diterima, adapun roja' tanpa disertai amalan adalah roja' yang
palsu, angan-angan belaka dan tercela." (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 58)

2. Raja’ sebagai ibadah


Allah Swt berfirman yang artinya:
 "Orang-orang yang diseru oleh mereka itu justru mencari jalan perantara
menuju Rabb mereka siapakah di antara mereka yang bisa menjadi orang paling
dekat kepada-Nya, mereka mengharapkan rahmat-Nya dan merasa takut dari siksa-
Nya." (QS. al-Israa': 57)
3. Raja’ yang disertai dengan ketundukan dan perendahan diri
Syaikh Al 'Utsaimin rahimahullah berkata:
"Roja' yang disertai dengan perendahan diri dan ketundukan tidak boleh
ditujukan kecuali kepada Allah 'azza wa jalla. Memalingkan roja' semacam ini
kepada selain Allah adalah kesyirikan, bisa jadi syirik ashghar dan bisa jadi syirik
akbar tergantung pada isi hati orang yang berharap itu..." (Syarh Tsalatsatu Ushul,
hal. 58)

C. Faktor munculnya sikap Raja’


1. Berpegang teguh kepada tali Agama Allah swt.
Dalilnya terletak pada Quran Surat Ali Imran ayat 103 :
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika
kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan
hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara;
dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu
daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar
kamu mendapat petunjuk.” (Q.S Ali Imran:103)

Mengharap kepada Allah swt agar dalam usaha atau kegiatannya dapat berjalan
lancar, mendapatkan berkah serta mendapatkan ridha dari Allah swt.
Allah swt berfirman dalam Q.S. Al-Kahfi ayat 110 :
“Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu,
yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan
Yang Esa". Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya". (Q.S Al-kahfi:110)

2. Merasa takut kepada Allah swt


Sikap takut ini disebut dengan Khauf.

3. Cinta kepada Allah Swt Yang Maha Penyanyang.


Sikap cinta ini disebut dengan Mahabbah. Dalam Q.S. Ali Imran ayat 31 Allah swt
berfirman :
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (Q.S Ali Imran:31)

D. Ciri-ciri sikap Raja’


1. Dalam berusaha (ikhtiar) seseorang akan mengawali dengan niat yang baik, yaitu
karena Allah swt
2. Senantiasa berpikir positif dan dinamis, memiliki pengharapan yang baik bahwa
usahanya akan berhasil, serta berani menghadapi resiko yang menghadang
3. Munculnya sifat ulet, pantang menyerah dalam menghadapi cobaan sehingga akan
menjadikannya mampu berpikir kritis
4. Selalu bertawakal kepada Allah setelah usaha yang dilakukan. Ia sadar bahwa
kewajiban manusia hanya berusaha dari Allah yang menentukan
5. Tidak lekas merasa puas atas apa yang diraih dan selalu berusaha meningkatkan diri
6. Jika ia menjadi orang yang berhasil, akan menyadari bahwa segala keberhasilannya
berkat karunia Allah, ia tidak lupa untuk menafkahkan sebagian hasil jerih payahnya
untuk beramal dan membantu mereka yang membutuhkan.

E. Manfaat dan hikmah sikap Raja’


1. Memperoleh keridaan Allah
2. Terhindar dari perbuatan dosa
3. Mendapatkan kepuasan hidup
4. Mendekatkan diri kita pada Allah SWT
5. Sarana penyelesaian persoalan hidup
6. Memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat
TAUBAT

Sesungguhnya ini adalah sebuah peringatan: Barangsiapa yang menghendaki, biarlah ia


mengambil jalan menuju Rabb-nya. Dan tiadalah kamu akan berkehendak (menempuh jalan
itu), kecuali jika itu dikehendaki oleh Allah. Sungguh, Allah itu Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.
– Q.S. Al-Insaan [76]: 29-30

Bagaikan dua sisi mata uang, kehidupan mempunyai dua wajah. Sisi kelam hadir saat
kesedihan dan kesulitan terasa tak tertanggungkan. Beberapa episode kelam itu cukup akrab
di keseharian kita: pekerjaan tak terselesaikan menumpuk, anak sakit, huru-hara rumah
tangga, patah hati. Semua menenggelamkan kita pada pusaran kesulitan yang seakan tak
habis-habisnya.

Beratnya masalah kehidupan kadang membuat kita terpuruk. Kita melihat, apa yang
kita lakukan ternyata hanya serentetan kegagalan dan ketidaksempurnaan. Kita merasa berat
dengan segala tanggung jawab kehidupan ini. Kita tak mampu menjalankan tugas-tugas
dengan baik semuanya.

Kekelaman kerap hadir saat kita sengaja mengabaikan nurani. Saat mengejar sesuatu
yang tampak gemerlap, kita melakukan segala cara. Kita abaikan suara lirih yang
memperingatkan kita jauh dari dalam hati, demi kehormatan di antara manusia,
keberlimpahan materi atau kesenangan duniawi. Setelah itu, kita merasa lelah dengan apa
yang tadinya begitu menyenangkan. Tak jarang pilihan-pilihan sesaat kita itu memerosokkan
kita jauh ke dalam kerendahan—penghormatan manusia pada kita tak juga mengalahkan rasa
hina yang merembes keluar dari batin kita.

Namun, dunia ini juga mengenalkan sisinya yang cerah pada kita. Kita kenal sisi itu,
saat kita bahagia dan berada di atas awan. Ketika bonus dari kantor bertambah banyak, anak-
anak sehat, pasangan cukup baik dan setia, atau hasil kerja di atas rata-rata. Semua terasa
mudah ketika kita dapat melakukan apa saja, membeli apa saja.

Meski begitu, sisi cerah ini pun selalu menyisakan kekosongan. Seperti Musa muda,
seorang pangeran Mesir yang bebas dari kesedihan dunia, memiliki ketampanan dan
kekayaan berlimpah, kekuasaan yang nyaris penuh dan tiadanya kesulitan hidup—itu tidak
pernah menghentikan pertanyaan yang muncul dari batinnya: siapa aku sebenarnya? Apa
kehidupan ini sebenarnya? Ke mana aku akan melangkah?

Pada satu titik, kehidupan pasti akan membuat kita merasa lelah. Di sisi mana pun kita
ditempatkan, jika kita jujur pada diri sendiri, kedua sisi itu selalu akan menyisakan
kegamangan—berbagai rupa bentuknya. Mungkin berupa ucapan batin yang lirih di tengah
malam, saat semua terasa buntu, dan kita pun mulai meminta pertolongan. Mungkin saat kita
berbaring, dan menyadari bahwa kesuksesan yang kita raih ini terasa begitu kering. Atau,
pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang bermunculan dan tak kunjung terjawab. Atau
sekadar mata yang basah, penyesalan yang diam atas suara nurani kita yang kerap diabaikan.

Panggilan untuk Kembali Pulang

Saat kegelisahan itu datang, kita kembali menoleh pada berbagai macam bentuk
jawaban. Menyibukkan diri dengan kiat-kiat hidup bahagia, metode NLP atau yoga training.
Berkutat di buku-buku agama, menghadiri berbagai pengajian, menenggelamkan diri dalam
hobi agar kegelisahan itu berhenti. Atau menemui psikiater dan psikolog—kita mencari
jawaban atas kebingungan dan kegelisahan yang disisakan oleh kehidupan kita sendiri,
menemukan apa yang salah dalam kehidupan yang kita jalani.

Sebenarnya, Allah kerap memanggil kita untuk kembali kepada-Nya, dengan cara apa
saja. Dia, dengan kasih sayang-Nya, terkadang membuat suasana kehidupan seorang anak
manusia sedemikian rupa sehingga kalbunya dibuat-Nya menoleh kepada Allah. Hanya saja,
teramat sedikit orang yang mau mendengarkan—atau berusaha mencermati—panggilan-Nya
ini.

Dalam hal ini, Allah amatlah pengasih. Apakah seseorang percaya kepada-Nya atau
tidak, beragama atau tidak, Dia tidak pandang bulu. Apakah seseorang membaca kitab-Nya
atau tidak, percaya pada para utusan-Nya ataupun tidak, semua orang pernah dipanggil-Nya
dengan cara seperti ini. Setiap orang pasti dipanggil-Nya seperti ini untuk mencari kesejatian,
untuk mencari hakikat kehidupan.

Apakah seseorang membaca kitab-Nya atau tidak, percaya pada para utusan-Nya ataupun
tidak, semua orang pernah dipanggil-Nya dengan cara seperti ini. Setiap orang pasti
dipanggil-Nya seperti ini untuk mencari kesejatian, untuk mencari hakikat kehidupan.

Kita sering tidak menyadari bahwa berbagai sisi kehidupan yang kita telusuri sepanjang
waktu itu, akan melontarkan kita pada satu gerbang, yang bukan untuk sembarang orang. Tak
semua orang bisa sampai ke sana. Sebuah gerbang yang sebenar-benarnya akan
mengantarkan kita pada sebuah perjalanan panjang untuk kembali kepada-Nya. Sebuah
gerbang yang hanya bisa kita buka dengan satu kunci: taubat.

Taubat berasal dari kata dalam bahasa Arab “taaba” yang berarti kembali. Sebuah
respons penyikapan atas adanya keinginan untuk kembali kepada Allah, yaitu bagi siapa saja
yang menghendaki. Dan siapa pun yang menghendaki untuk menempuh jalan menuju Allah,
sesungguhnya Allah telah memanggilnya lebih dahulu (Q.S. Al-Insaan [76]: 29-30).

‫إِ َّن هَ ٰـ ِذ ِه ت َْذ ِك َ‌رةٌ ۖ فَ َمن َشا َء اتَّ َخ َذ إِلَ ٰى َ‌ربِّ ِه َسبِياًل‬
‫َو َما تَ َشاءُونَ إِاَّل أَن يَ َشا َء اللَّـهُ ۚ ِإ َّن اللَّـهَ َكانَ َعلِي ًما َح ِكي ًما‬
Sesungguhnya ini adalah sebuah peringatan: Barangsiapa yang menghendaki, biarlah ia
mengambil jalan menuju Rabb-nya. Dan tiadalah kamu akan berkehendak (menempuh jalan
itu), kecuali jika itu dikehendaki oleh Allah. Sungguh, Allah itu Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana. – Q.S. Al-Insaan [76]: 29-30

Kita sering merasa bahwa kita lah yang memilih untuk kembali pada Allah, dan kita
lah yang mencari kebenaran. Namun sebenarnya tidak. Dia lah yang memilih. Dia yang
mencari hamba-Nya yang ingin kembali dan memilihnya.

َ ‫ثُ َّم اجْ تَبَاهُ َ‌ربُّهُ فَت‬


‫َاب َعلَ ْي ِه َوهَد َٰى‬
Kemudian Tuhan memilihnya, maka Dia menerima taubatnya, dan memberinya petunjuk. –
Q.S. Thaahaa [20]: 122
 

َ‫إِ ْن هُ َو ِإاَّل ِذ ْك ٌر لِّ ْل َعـلَ ِمين‬


‫لِ َمن َشا َء ِمن ُك ْم أَن يَ ْستَقِي َم‬
َ‫َو َما تَ َشاءُونَ إِاَّل أَن يَ َشا َء اللَّـهُ َر‌بُّ ْال َعالَ ِمين‬
Ini tidak lain, melainkan peringatan bagi alam semesta, bagi siapa di antara kamu yang
ingin menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan
itu), kecuali apabila dikendaki Allah, Tuhan Semesta Alam. – Q.S. At-Takwiir [81]: 27-29

Anda mungkin juga menyukai