Anda di halaman 1dari 20

1

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indera penglihatan sangat penting dalam menentukan kualitas hidup manusia.
Penurunan penglihatan dan kebutaan menjadi masalah kesehatan yang utama. WHO
1972, mendefinisikan kebutaan sebagai tajam penglihatan dibawah 3/60. Kebutaan
adalah masalah kesehatan masyarakat yang serius bagi setiap negara. Berdasarkan WHO
(1979), prevalensi kebutaan lebih besar pada negara berkembang. Kebutaan ini sendiri
akan berdampak secara sosial dan ekonomi bagi orang yang menderitanya. Ironisnya,
75% dari kebutaan yang terjadi dapat dicegah atau diobati.
Menurut data WHO 2011, katarak masih menjadi penyebab utama kebutaan di negara
berkembang. Katarak senilis adalah penyebab kebutaan di dunia sebesar 48% atau sekitar
18 juta orang. Tingkat kebutaan di Indonesia pada tahun 2003 mencapai urutan tertinggi
di Asia Tenggara yaitu sebesar 1,47% dari jumlah penduduk di Indonesia. Sekitar 1% dari
kebutaan tersebut disebabkan oleh katarak (Zuhri, 2006).
Katarak adalah kekeruhan pada lensa. Baik itu kekeruhan lensa yang kecil, lokal atau
seluruhnya. Kekeruhan lensa mata dapat diakibatkan adanya gangguan metabolisme pada
lensa akibat denaturasi protein lensa, hidrasi (penambahan cairan) lensa, perubahan
struktur jaringan pada serabut lensa, dan deposit kalsium orthofosfat dan kalsium oksalat
yang mengakibatkan gangguan penglihatan sampai kebutaan. (Hutasoit, 2009; Friedman
et al., 2004; Leske et al., 2002). Fakto-faktor lain yang menyebabkan katarak, yaitu
kelainan genetik atau kongenital, penyakit sistemik, obat-obatan, dan trauma (Vaughan,
2009). Pada umumnya katarak terjadi karena proses penuaan. Berbagai studi crosssectional melaporkan prevalensi katarak pada individu berusia 65-74 tahun adalah
sebanyak 50%; prevalensi ini meningkat hingga 70% pada individu diatas 75 tahun.
Lebih dari 90% kejadian katarak merupakan katarak senilis. 20-40% orang usia 60 tahun

ke atas mengalami penurunan ketajaman penglihatan akibat kekeruhan lensa. Sedangkan


pada usia 80 tahun ketas insidensinya mencapai 60-80% (Vaughan, 2009).
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 melaporkan bahwa proporsi penduduk
usia 30 tahun ke atas yang pernah didiagnosis katarak oleh tenaga kesehatan adalah
sebesar 1,8%. Proporsi penduduk dengan gejala utama katarak (penglihatan berkabut dan
silau) dan pernah didiagnosis dalam 12 bulan terakhir secara nasional adalah sebesar
17,3% (Riskesdas, 2007).

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Definisi

Katarak adalah suatu keadaan dimana lensa mata yang biasanya jernih dan bening
menjadi keruh, kekeruhan lensa ini terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa,
denaturasi protein, atau keduanya. Kekeruhan biasanya mengenai satu atau kedua mata
dan dapat berjalan progresif. Kekeruhan tersebut menyebabkan terganggunya fungsi lensa
sebagai media refrakta sehingga menyebabkan gangguan penglihatan sampai kebutaan
(Ilyas, 2009).

Gambar 1. Perbandingan penglihatan normal dan katarak

B. Anatomi dan Fisiologi


2.1 Anatomi Lensa
Lensa adalah struktur bikonveks yang transparan, avaskuler dan dibungkus oleh
capsula. Memiliki tebal sekitar 4 mm dan diameter 9 mm Letak lensa dibelakang iris,
didepan corpus vitreous. Lensa digantung oleh Zonula Zinii yang menghubungkanya
dengan corpus siliaris (Snell, 2006).

Gambar 2. Anatomi Lensa Mata (James, 2003).


Bagian- bagian lensa, yaitu:
a. Kapsula elastis, yang membungkus struktur.
b. Epithelium cuboideum, yang terbatas pada permukaan anterior lensa
c. Fibrae lentis, yang terbentuk dari epithelium cuboideum pada equator lentis. Fibrae
lentis menyusun bagian terbesar lensa
d. Korteks sebagai penyusun utama struktur lensa
e. Nukleus terdapat di bagian sentral lensa.
f. Serat lensa ; merupakan hasil dari proliferasi epitel anterior. Serat lensa yang matur
adalah serat lensa yang telah keihlangan nucleus, dan membentuk korteks dari lensa.
Serat-serat yang sudah tua akan terdesak oleh serat lensa yang baru dibentuk ke tengah
lensa. (James, 2003; Snell, 2006).
2.2 Fisiologi Lensa
1. Transparansi lensa
Lensa tidak memiliki pembuluh darah maupun sistem saraf. Untuk mempertahankan
kejernihannya, lensa harus menggunakan aqueous humour sebagai penyedia nutrisi dan
sebagai tempat pembuangan produknya. Namun hanya sisi anterior lensa saja yang terkena
aqueous humour. Oleh karena itu, sel-sel yang berada ditengah lensa membangun jalur
komunikasi terhadap lingkungan luar lensa dengan membangun low resistance gap
junction antar sel (Scanlon, 2007).
2. Akomodasi lensa

Akomodasi lensa merupakan mekanisme yang dilakukan oleh mata untuk mengubah
fokus dari benda jauh ke benda dekat yang bertujuan untuk menempatkan bayangan yang
terbentuk tepat jatuh di retina. Akomodasi terjadi akubat perubahan lensa oleh badan
silluar terhadap serat zonula. Saat m. cilliaris berkontraksi, serat zonular akan mengalami
relaksasi sehingga lensa menjadi lebih cembung dan mengakibatkan daya akomodasi
semakin kuat. Terjadinya akomodasi dipersarafi ole saraf simpatik cabang nervus III. Pada
penuaan, kemampuan akomodasi akan berkurang secara klinis oleh karena terjadinya
kekakuan pada nukelus (Scanlon, 2007).

Gambar 3. Akomodasi pada mata normal


Perubahan yang terjadi pada saat akomodasi sebagai berikut:
Pada saat berkas cahaya datang dari udara melewati bangunan yang bening pada mata
yang disebut dengan media refrakta, maka cahaya yang datang akan dibelokkan. Media
refrakta meliputi kornea, aqueous humor, lensa dan vitreous humor. Fungsi lensa yaitu
untuk memfokuskan cahaya ke makula lutea pada retina. Dari retina, cahaya diubah ke
dalam impuls listrik yang dihantarkan melewati nervus opticus ke pusat penglihatan di
lobus Occipital (Khurana, 2007).

C. Etiologi
a. Katarak terkait usia

Hampir 90 % kasus katarak disebabkan karena proses degenerasi/ penuaan. 50%


individu berusia 65-74 tahun, 70% individu berusia lebih dari 75 tahun. Penyebab
tersering dari katarak adalah proses degenerasi, dipercepat oleh faktor risiko seperti
merokok, paparan sinar UV yang tinggi, alkohol, defisiensi vit E, radang menahun
dalam bola mata, dan polusi asap motor/pabrik yang mengandung timbale (Scanlon,
2007).
b. Katarak traumatik
Katarak traumatik sering disebabkan karena trauma benda asing pada lensa atau
trauma tumpul pada bola mata. Lensa akan menjadi putih segera setelah masuknya
benda asing karena gangguan (lubang) dari kapsul lensa menyebabkan aqeuous humor
dan vitreus humor menembus ke dalam struktur lensa (Harper, 2008).

Gambar 4. Katarak traumatik


c. Katarak yang berkaitan dengan penyakit sistemik
Diabetes melitus dapat mempengaruhi kejernihan lensa,dan indeks refraksi.
Seiring dengan meningkatnya kadar gula darah, maka meningkat pula kadar glukosa
dalam aqueous humor. Glukosa dari aqueous humor masuk ke dalam lensa dengan cara
difusi, sehingga kadar glukosa dalam lensa juga meningkat. Sebagian glukosa tersebut
dirubah oleh enzim aldose reduktase menjadi sorbitol yang dapat menyebabkan
pembengkakan serabut lensa. Timbunan sorbitol lensa akan meningkatkan tekanan
osmotik yang menyebabkan masuknya air ke dalam lensa sehingga terjadi
pembengkakan serabut lensa (Sperduto, 2004).
d. Katarak yang diinduksi obat

Kortikosteroid yang diberikan dalam jangka panjang baik sistemik atau topikal
seperti prednison, prednisolon, deksametason, dan lain-lain dapat menyebabkan
kekeruhan lensa. Patofisiologi katarak akibat kortikosteroid antara lain melalui
pembentukan ikatan kovalen antara kortikosteroid dengan residu lisin pada lensa dan
penurunan kadar anti-oksidan asam askorbat dalam cairan aqueous humor. Ikatan
kovalen tersebut mengakibatkan terjadinya kekeruhan lensa pada katarak. Selain itu,
kortikosteroid menghambat pompa Na-K pada lensa sehingga terjadi akumulasi cairan
dan koagulasi protein lensa yang menyebabkan kekeruhan lensa (Samadi, 2010;
Poetker, 2010).
e. Katarak komplikata
Katarak ini dapat berkembang sebagai efek langsung dari penyakit intraokuler
yang mempengaruhi fisiologi lensa. Penyakit intraokuler yang terkait dengan
pembentukan katarak adalah uveitis kronis, dan glaucoma (Harper, 2008). Perubahan
lensa sering terjadi sebagai akibat sekunder dari uveitis kronis. Biasanya muncul
katarak subkapsular posterior. Pembentukan sinekia posterior sering berhubungan
dengan penebalan kapsul lensa anterior dan perkembangan fibrovaskular. Kekeruhan
juga dapat terjadi pada tempat iris melekat dengan lensa (sinekia posterior) yang dapat
berkembang mengenai seluruh lensa. Perubahan lensa pada katarak komplikata karena
uveitis dapat berkembang menjadi katarak matur (Zorab et al., 2005).
f. Katarak akibat paparan sinar ultraviolet
Lensa manusia dapat terkena radiasi sinar matahari yang mengandung sinar
ultraviolet A (320-400 nm) dan sinar ultraviolet B (295-320 nm). Kerusakan lensa pada
manusia diproteksi oleh sistem antioksidan dan pigmen kinurenin kuning lensa.
Semakin bertambahnya usia akan terjadi penurunan produksi antioksidan tersebut.
Sinar ultraviolet juga dapat meningkatkan fotooksidasi dan polimerisasi protein lensa
(Robert et al., 2000).

Sinar ultraviolet dari matahari dapat mempercepat kekeruhan lensa. Sinar


ultraviolet akan diserap oleh protein lensa terutama asam amino aromatik yaitu
triptofan, fenil alanin, dan tirosin sehingga menimbulkan reaksi foto kimia dan
menghasilkan fragmen molekul yang disebut radikal bebas, seperti anion superoksida,
hidroksil dan spesies oksigen reaktif seperti hidrogen peroksida yang semuanya bersifat
toksik. Radikal bebas ini akan menimbulkan reaksi patologis dalam jaringan lensa dan
senyawa toksik lainnya sehingga terjadi reaksi oksidatif pada gugus sulfhidril protein.
Reaksi oksidatif akan mengganggu struktur protein lensa sehingga terjadi cross link
antar dan intra protein dan manambah jumlah high molecular weight protein sehingga
terjadi agregasi protein dan menimbulkan kekeruhan lensa (Hollow, 2000).
D. Patogenesis
Stres Oksidasi adalah patogenesis utama pada sebagian besar katarak. Kadar
oksigen (O2) yang rendah sangat penting untuk menjaga kejernihan lensa. Terdapat
perbedaan gradien oksigen dari bagian luar lensa sampai ke bagian tengah. Mitokondria
pada korteks lensa akan membuang sebagian besar oksigen, dan menjaga kadar O2 di
nukleus tetap rendah, namun pada usia lanjut fungsi mitokondria berkurang dan produksi
superoksida oleh mitokondria meningkat. Peningkatan superoksida akan meningkatkan
kadar oksigen dan superoksida (H2O2) di nukleus. Molekul nukleus H2O2 tersebut dapat
menembus barrier, menyebabkan terjadinya peningkatan oksidasi protein (Wevill, 2008).
Mekanisme denaturasi protein berperan penting dalam timbulnya katarak terkait
usia. Kehilangan protein pada katarak kortikal terjadi akibat proses proteolitik oleh
protease. Fenomena proteolitik menjadi meningkat ketika terjadi kelebihan kadar kalsium.
Contohnya pada katarak Morgagnian, terjadi proteolitik secara keseluruhan pada korteks
dan terdapat deposit kalsium orthophosphate, sedangkan pada katarak nuklear, kehilangan

protein terjadi lebih sedikit. Proses utama yang terjadi adalah agregasi dan perubahan
warna pada molekul protein (Calabria, 1985).
Kristalisasi protein lensa adalah perubahan yang terjadi akibat modifikasi protein
dan agregasi protein menjadi high-molecular-weight-protein. Modifikasi protein
menyebabkan

perubahan

formasi

(unfolding)

berupa

pembukaan

lipatan

yang

menampakkan kelompok thiol yang biasanya tertutup oleh lipatan protein. Kelompok ini
teroksidasi dan membentuk ikatan disulfida seperti oxidized glutathione (GSSG) yang
menyebabkan agregasi protein. Perubahan formasi dan agregasi lebih lanjut akan
menyebabkan penghamburan dan penyerapan cahaya dimana dalam kondisi normal
cahaya akan diteruskan melewati lensa (Truscott and Michael, 2009).
E. Klasifikasi
Berdasarkan usia katarak dapat diklasifikasikan dalam :
1. Katarak Kongenital
Katarak yang terjadi pada bayi kurang dari usia 1 tahun.

Gambar 5. Katarak Kongenital

Penyebab :
a. Metabolik
b. Infeksi Intrauterine
Infeksi yang sering terjadi yaitu TORCH (Toxoplasma, Rubela, Cytomegalovirus,
Herpes) saat kehamilan. Infeksi yang paling sering terjadi yaitu rubela. Trias
sindrom rubela adalah mata (katarak, mikroftalmus, retinopati berpigmen), telinga

10

(tuli) dan jantung (VSD). Pada pupil mata bayi akan terlihat bercak putih atau
leukokoria (Ilyas, 2009).
c. Herediter
2. Katarak Juvenil
Katarak yang terjadi lebih dari usia 1 tahun, biasanya kelanjutan dari katarak
kongenital.
3. Katarak Senilis
Katarak yang terjadi akibat proses penuaan/degeneratif, dimana didapatkan pada usia
diatas 50 tahun.
Klasifikasi katarak senilis berdasarkan stadium dibagi menjadi stadium insipien,
stadium imatur, stadium matur dan stadium hipermature :
insipien

imatur

matur

hipermatur

Kekeruhan

Ringan

Sebagian

Seluruh

Masif

Cairan lensa

Normal

Bertambah (air

Normal

Berkurang (air+masa

masuk)

lensa keluar)

Iris

Normal

Terdorong

Normal

Tremulans

Bilik mata depan

Normal

Dangkal

Normal

Dalam

Sudut bilik mata

Normal

Sempit

Normal

Terbuka

Shadow test

Normal

Positif

Normal

Pseudopos

Penyulit

Negatif

Glaukoma

Negatif

Uveitis+glaukoma

a) Katarak insipien
Kekeruhan ringan pada lensa. Kekeruhan mulai dari tepi ekuator berbentuk jeriji
menuju korteks anterior atau posterior (katarak kortikal).
b) Katarak intumesen
Kekeruhan lensa disertai pembengkakan lensa akibat lensa yang degeneratif
menyerap air. Masuknya air kedalam celah lensa mengakibatkan lensa menjadi
cembung yang akan mendorong iris sehingga bilik mata depan menjadi dangkal.
c) Katarak Imatur

11

Gambar 6. Katarak Imatur


Sebagian lensa keruh, belum mengenai seluruh lapis lensa. Volume lensa dapat
bertambah akibat meningkatknya tekanan osmotik lensa yang degeneratif. Pada
keadaan lensa mencembung akan dapat menimbulkan hambatan pupil, sehingga
terjadi glaukoma sekunder.
Lensa mengalami hidrasi

Lensa menyerap cairan aqueous humor (higroskopis)

Lensa cembung

Lensa mendorong iris ke depan

Hambatan pupil

Aliran aqueous humor dari COP ke COA lewat pupil terhambat

Glaukoma sudut tertutup

Ciri-ciri :
- Sebagian lensa keruh.
- Visus 1/60.
- Iris shadow test +
- Fundus refleks suram/gelap
- Komplikasi : Glaucoma
d) Katarak Matur
Kekeruhan pada katarak matur sudah mengenai seluruh bagian lensa. Deposisi ion Ca
dapat menyebabkan kekeruhan menyeluruh pada derajat maturasi ini. Bila terus
berlanjut, dapat menyebabkan kalsifikasi lensa.

Gambar 7. Katarak Matur


Kekeruhan sudah mengenai seluruh masa lensa.
Ciri-ciri :

12

Kekeruhan lensa merata.


Visus 1/300 -1/~.
Iris shadow test Fundus refleks

e) Katarak Hypermature

Gambar 8. Katarak Hypermature


Katarak yang mengalami proses degenerasi lanjut, dapat menjadi keras, lembek
dan mencair. Masa lensa yang berdegenerasi keluar dari kapsul lensa, sehingga
lensa mengecil, berwarna kuning, dan kering
Protein dalam lensa mengalami denaturasi (protein menjadi cair)

Pori-pori kapsul lensa membesar

Protein keluar dari kapsul lensa

Protein ikut aliran aqueous humor dan masuk ke Trabekula Meshwork

Trabekula Meshwork tersumbat

Glaukoma sudut terbuka

Protein keluar dari kapsul lensa

Protein dianggap sebagai benda asing

Inflamasi Uveitis

Sel-sel radang makin banyak di aqueous humor

Terkumpul di TM dan TM semakin tersumbat

13
Glaukoma sudut terbuka

Bila proses katarak berlajut disertai dengan penebalan kapsul, maka korteks yang
berdegenerasi dan cair tidak dapat keluar, maka korteks akan memperlihatkan
bentuk sebagai sekantong susu disertai dengan nukleus yang terbenam didalam
korteks lensa karena lebih berat, keadaan tersebut dinamakan katarak morgagni
(Ilyas, 2009).
Kapsul menebal

Korteks mencair

Nukleus jatuh

Katarak Morgagni

Berdasarkan letak kekeruhan :

Gambar 9. Letak kekeruhan lensa


a) Katarak nuklear

Gambar 10. Katarak nuklear


-

Biasanya berjalan lambat

14

bisa terjadi miopisasi (lensa menjadi cembung)


warna kekuningan
cahaya masih bisa menembus
terjadi perbedaan indeks bias aberasi sferis bayangan tidak jatuh pada

tempat seharusnya kabur.


- Bila melihat lampu gambaran pelangi aberasi kromatik
- Perubahan sensitivitas pada warna semua warna kuning
- Fundus refleks : Fundus reflek + suram, menetap pada segala arah lirikan
b) Katarak cortikal

Gambar 11. Katarak cortikal


- Visus masih 1,0 karena daerah sentral masih bening.
- dimulai dari pinggir makin ke tengah, berwarna putih
- Cahaya tidak bisa nembus
- Pada malam hari penglihatan buram. Terang(pagi/siang) jelas
c) Katarak subcapsular posterior

Gambar 12. Subcapsular posterior


Dimulai dari tengah
Diruangan terang tidak kelihatan, ruang gelap kelihatan
Fundus refleks : fundus refleks + suram dengan bercak kesuraman didaerah

sentral yang bergerak berlawanan dengan lirikan mata


d) Katarak subcapsular anterior
- Fundus refleks + suram dengan bercak kesuraman didaerah perifer, bergerak
sesuai dengan arah lirikn mata.
F. Diagnosis
1. Anamnesis
a. Penurunan tajam penglihatan / penglihatan kabur, pada umumnya perlahan-lahan
seperti ada yang menghalangi (kabut, air terjun). Bila katarak terjadi pada bagian
tepi lensa, maka tajam penglihatan tidak akan mengalami perubahan, tetapi apabila
kekeruhan di tengah lensa maka penglihatan tidak akan menjadi jernih.

15

b. Silau akibat dari kekeruhan lensa sinar yang melalui bagian keruh diteruskan
tidak beraturan.
c. Miopisasi akibat hidrasi lensa menyerap aqueous humor lensa mencembung
daya refraksi meningkat bayangan akan jatuh didepan retina tidak bisa
melihat obyek yang letaknya jauh.
d. Diplopia monocular
e. Halo berwarna dan bintik hitam di depan mata
2. Pemeriksaan Mata
a. Pemeriksaan Visus : berkisar 6/9 s/d persepsi cahaya
b. Iris Shadow Test
- Katarak imatur iris Shadow +
- Katarak Matur iris Shadow
c. Fundus refleks
Normal : media refrakta jernih warna merah jingga cemerlang
Ada kekeruhan pada lensa fundus refleks d. Lampu senter/ slit-lamp
Harus diberi midriatikum terlebih dahulu pupil dilatasi
Derajat kekerasan nukleus dapat dilihat pada slit lamp sebagai berikut:

G. Penatalaksanaan
Medikamentosa
Vitamin C (mencegah radikal bebas sebagai anti oksidan) berguna untuk menghambat
perkembangan katarak (Schlote,2006). Contoh : Retivit plus
Operatif
Indikasi Operasi katarak :
1. Visual : Untuk memperbaiki tajam /fungsi penglihatan
2. Medis : Untuk mencegah komplikasi penyakit lain (Glaukoma, uveitis)
3. Kosmetik : Untuk atas dasar penampilan

16

H. Teknik operasi katarak


1. Intracapsular cataract extraction (ICCE)
Tindakan pembedahan dengan mengeluarkan seluruh lensa bersama kapsul. Seluruh
lensa dibekukan di dalam kapsulnya dengan cryophake dan depindahkan dari mata
melalui incisi korneal superior yang lebar. Sekarang metode ini hanya dilakukan hanya
pada keadaan lensa subluksatio dan dislokasi. Pada ICCE tidak akan terjadi katarak
sekunder dan merupakan tindakan pembedahan yang sangat lama populer.ICCE tidak
boleh dilakukan atau kontraindikasi pada pasien berusia kurang dari 40 tahun yang
masih mempunyai ligamen hialoidea kapsular. Penyulit yang dapat terjadi pada
pembedahan ini astigmatisme, glukoma, uveitis, endoftalmitis, dan perdarahan.
Teknik :
Lakukan sayatan pada daerah korneosklera, ekstraksi lensa dilakukan dengan cara
melepaskan lensa beserta kapsulnya dari Zonulla Zinii, Zonula Zinii harus dipotong.
Lensa diambil jadi afakia (visus 1/60) diberi lensa afakia + 10 Dioptri.
Kekurangan penyembuhan lama karena besarnya irisan.
2. Extracapsular cataract extraction (ECCE)
Tindakan pembedahan pada lensa katarak dimana dilakukan pengeluaran isi lensa
dengan memecah atau merobek kapsul lensa anterior sehingga massa lensa dan kortek
lensa dapat keluar melalui robekan. Pembedahan ini dilakukan pada pasien katarak
muda, pasien dengan kelainan endotel, implantasi lensa intra ocular posterior,
perencanaan implantasi sekunder lensa intra ocular, kemungkinan akan dilakukan
bedah glukoma, mata dengan prediposisi untuk terjadinya prolaps badan kaca, mata
sebelahnya telah mengalami prolap badan kaca, ada riwayat mengalami ablasi retina,
mata dengan sitoid macular edema, pasca bedah ablasi, untuk mencegah penyulit pada
saat melakukan pembedahan katarak seperti prolaps badan kaca. Penyulit yang dapat
timbul pada pembedahan ini yaitu dapat terjadinya katarak sekunder.

17

Teknik:
Lakukan sayatan pada korneosklera ekstraksi lensa melalui (kapsulektomi anterior)
nukleus dan korteks dilepas dan dibersihkan tanpa mengikutsertakan kapsul (kapsul
ditinggal) pasang lensa tanam IOL (Intra Ocular lens).
Keuntungan irisan lebih kecil lebih cepat sembuh

3.Small Incision Cataract Surgery (SICS)


Perbedaan dengan ECCE adalah irisan lebih kecil ( three step incision) sehingga
terkadang tidak membutuhkan jahitan pada luka insisi. Insisi dari sklera sesrek ke
atas sampai ketemu kornea.
4. Phacoemulsification
Phakoemulsifikasi (phaco) adalah teknik untuk membongkar dan memindahkan
kristal lensa. Pada teknik ini diperlukan irisan yang sangat kecil (sekitar 2-3mm) di
kornea. Getaran ultrasonic akan digunakan untuk menghancurkan katarak, selanjutnya
mesin PHACO akan menyedot massa katarak yang telah hancur sampai bersih. Sebuah
lensa Intra Okular yang dapat dilipat dimasukkan melalui irisan tersebut. Incisi yang
kecil maka tidak diperlukan jahitan, akan pulih dengan sendirinya. Tehnik ini
bermanfaat pada katarak kongenital, traumatik, dan kebanyakan katarak senilis

Gambar 13.
Keuntungan : luka operasi

Teknik phaco
lebih
ringan

sehingga penyembuhan luka

lebih

perbaikan penglihatan lebih


Kerugian : biaya mahal

baik.

cepat,

18

III.

A.

PENUTUP

Kesimpulan
Katarak senilis adalah penyebab kebutaan di dunia sebesar 48% atau sekitar 18
juta orang. Tingkat kebutaan di Indonesia pada tahun 2003 mencapai urutan tertinggi di
Asia Tenggara yaitu sebesar 1,47% dari jumlah penduduk di Indonesia. Sekitar 1% dari
kebutaan tersebut disebabkan oleh katarak. Katarak merupakan kekeruhan lensa mata
yang timbul karena adanya gangguan metabolisme pada lensa akibat denaturasi protein
lensa, hidrasi (penambahan cairan) lensa, perubahan struktur jaringan pada serabut
lensa, dan deposit kalsium orthofosfat dan kalsium oksalat yang mengakibatkan
gangguan penglihatan sampai kebutaan.

19

DAFTAR PUSTAKA
Calabria, G. 1985. Cataract and Other Disease of the Crystalline Lens. Genoa: Anggelini.
Eva PR, Whitcher JP. Vaughan & Asburys General Ophthalmology. 17th ed. USA : Mc Graw-Hill; 2007.
Friedman, D.S., Congdon., Kempen, J.H. 2004. Prevalence of Cataract and
Pseudophakia/Aphakia Among Adults in the United States. Arch Ophthalmology. 122:
487-94.
Harper, R. Lensa. Dalam: Riordan, Paul. 2008. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Edisi
17. Jakarta: EGC
Hollow F, Moran D.2000. Cataract, The Ultraviolet Risk Factor, The Lancet 1249-50.
Hutasoit, H. 2009. Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak di Kabupaten Tapanuli Selatan.
Bagian Ilmu Penyakit Mata FK USU, hal 6-16.
Ilyas, S. 2008. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
James, B. 2003. Lecture Notes On Opthalmology. 9th Edition. Massachusetts : Blackwell
Publishing
Khurana, A.K. 2007. Comprehensive Ophthalmology. 4thedition. New Delhi: New Age
International Limited Publishers.
Leske, M.C., et al. 1995. Biochemical Factors in the Lens Opacities: Case Control Study.
Arch Ophthalmology. 113 (9): 1113-9.
Scanlon VC, Sanders T. Indra. In. : Komalasari R, Subekti NB, Hani A, editors. Buku Ajar Anatomi dan
Fisiologi. 3rd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.
Snell, R.S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Samadi, A. 2010. Steroid-induced cataract. In: Ocular disease: mechanisms and
management. USA: Saunders, pp. 250-7.
Sperduto, R.D. 2004. Epidemiologic Aspects of Age-Related Cataract in Duanes. Clinical of
Ophthalmology. Volume 1, Chapter 73 (A): 3-4.
Truscott, Roger, J.W., Friedrich, M.G. 2009. Membrane Association of Proteins in the Aging
Human Lens: Profound Changes Take Place in the Fifth Decadeof Life. Investigative
Ophthalmology and Visual Science, 50 (10): 4786-93.

20

Poetker, D.M. 2010. A Comprehensive Review of the Adverse Effects of Systemic


Corticosteroid. Otolaryngolology Clinical. 43: 753-68.
Robert, J.E., Schey, K., Wang. 2000. Photooxidation of Lens Proteins with Xanthurenic Acidthe Putative Chromophore for Cataractogenesis. Proccedings of the 12th Afr0-Asian
Congress of Ophthalmology in Guangzhou, China. 12: 226-31.
Wevill, M. 2008. Epidemiology, Pathophysiology, Causes, Morphology, and Visual Effects of
Cataract. dalam: Yanoff, M., Duker, J. 2008. Ophthalmology. 3rd edition. New York:
Elsevier
Zorab, et al. 2005. Lens and Cataract. Chapter 5. Section 11. San Fransisco: American
Academy of Oftalmology, pp 45-69.
Zuhri, A. 2006. Angka Kebutaan di Indonesia Tertinggi di Asia Tenggara. Available from:
http://www.gizi.net. [Accesed 27 Desember 2011].

Anda mungkin juga menyukai