Anda di halaman 1dari 76

Cultural Studies

Birmingham Centre

Oleh ANTARIKSA

Oleh NURAINI JULIASTUTI

Cultural studies (kajian budaya) memfokuskan diri pada hubungan antara


relasi-relasi sosial dengan makna-makna. Berbeda dengan "kritik
kebudayaan" yang memandang kebudayaan sebagai bidang seni, estetika,
dan nilai-nilai moral/kreatif, kajian budaya berusaha mencari penjelasan
perbedaan kebudayaan dan praktek kebudayaan tidak dengan menunjuk
nilai-nilai intrinsik dan abadi (how good?), tetapi dengan menunjuk seluruh
peta relasi sosial (in whose interest?).
Dengan demikian setiap pemilahan antara masyarakat atau praktek yang
"berkebudayaan" dan yang "tidak berkebudayaan", yang diwarisi dari tradisi
elit kritisisme kebudayaan, sekarang dipandang dalam terminologi klas.
Bentuk kajian budaya dipengaruhi secara langsung oleh perlawanan untuk
mendekolonialisasikan konsep tersebut dan untuk mengkritisi tendensi
yang berusaha mempertahankan aturan-aturan yang mereproduksi kelas
dan ketidaksamaan lainnya. Maka kajian budaya membangun sebuah
kerangka kerja yang berusaha menempatkan dan menemukan kembali
kebudayaan dari kelompok-kelompok yang sampai sekarang dilupakan.
Inilah awal diperhatikannya bentuk-bentuk dan sejarah perkembangan
kebudayaan kelas pekerja, serta analisis bentuk-bentuk kontemporer
kebudayaan populer dan media.
Tidak seperti disiplin akademis tradisional, kajian budaya tidak mempunyai
ranah intelektual atau disiplin yang terdefinisi dengan jelas. Ia tumbuh
subur pada batas-batas dan pertemuan bermacam wacana yang sudah
dilembagakan, terutama dalam susastra, sosiologi, dan sejarah; juga dalam
linguistik, semiotik, antropologi, dan psikoanalisa. Bagian dari hasilnya, dan
bagian dari pergolakan politik dan intelektual tahun 1960-an (yang ditandai
dengan perkembangan yang cepat dan meluasnya strukturalisme, semiotik,
marxisme,dan feminisme) kajian budaya memasuki periode perkembangan
teoritis yang intensif. Tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimana
kebudayaan (produksi sosial makna dan kesadaran) dapat dijelaskan
dalam dirinya sendiri dan dalam hubungannya dengan ekonomi (produksi)
dan politik (relasi sosial).
Termuat di Newsletter KUNCI No. 1, Juli 1999
1

Siapapun yang belajar kajian budaya mesti mengingat nama Birmingham


Centre for Contemporary Cultural Studies baik-baik. Birmingham Centre for
Contemporary Cultural Studies, biasa disingkat Birmingham Centre, berada
di Universitas Birmingham, salah satu universitas tua di Inggris.
Birmingham Centre didirikan pada tahun 1964, sebagai pusat penelitian
universitas, dan dipimpin pertama kali oleh Richard Hoggart. Ketika
Hoggart meninggalkan Birmingham pada tahun 1968, ia digantikan oleh
Stuart Hall. Dibawah Hall, pada tahun 1970-an dan 1980-an, Birmingham
Centre menjadi pusat pemikiran intelektual yang paling penting di dataran
Eropa dan Amerika. Birmingham Centre mengajarkan kajian budaya baik di
tingkat sarjana maupun pasca sarjana dan aktif mempromosikan penelitian
di bidang ini. Hall menerbitkan jurnal khusus yaitu Working Papers in
Cultural Studies yang dipublikasikan bekerjasama dengan Hutchinson.
Selain itu, sejak tahun 1991, Birmingham Centre mempublikasikan jurnal
Cultural Studies from Birmingham, dan yang paling baru adalah The
European Journal of Cultural Studies yang diterbitkan Sage.
Anthony Easthope, sekarang profesor English studies dan cultural studies
(kajian budaya) di Manchester Metropolitan University, menilai seluruh
karya-karya Birmingham Centre sebagai bentuk intervensi yang paling
penting dalam dunia kajian budaya di Inggris. Graeme Turner, editor
Australian Journal of Cultural Studies dan tokoh penting perkembangan
kajian budaya di Australia mengatakan bahwa Birmingham Centre dapat
mengklaim sebagai sebuah institusi kunci dalam sejarah kajian budaya.
Sumbangan penting Birmingham Centre dalam kajian budaya adalah
kepeloporannya dalam studi subkultur, suara-suara yang marjinal dari
budaya dominan. Sangat berbeda dengan yang dilakukan oleh Matthew
Arnold (pelopor English studies) yang terfokus pada konstruksi penyatuan
kebudayaan nasional yang ideologinya sangat borjuis dan eksklusif, serta
bertujuan utama untuk mengkonstruksikan kebudayaan nasional Inggris
yang sesuai dengan kebijakan pemerintah Inggris. Birmingham Centre tidak
seperti itu. Studi yang terkenal dari Birmingham Centre adalah tentang ras,
kelas dan gender. Kobena Mercer mendeskripsikan studi yang dilakukan
Birmingham Centre ini dengan "the all too familiar `race, class, gender'
mantra". Tema-tema yang selalu jadi perhatian utama Hall, termasuk juga
yang mewarnai kajian-kajian Birmingham Centre adalah yang selalu
berkaitan dengan kebudayaan, ideologi dan identitas. Kontribusi pentingnya
2

adalah ia berhasil membuat studi untuk mencari makna ideologis dari


bentuk-bentuk kebudayaan yang ada. Birmingham Centre juga adalah
kelompok yang memelopori pemakaian semiotika dalam cultural studies.
Kajian-kajian Birmingham Centre tentang subkultur dan kebudayaan
marjinal (marginalized studies) sudah dimulai sejak akhir `60-an. Sebagai
contoh, Stuart Hall sudah menulis laporan penelitian "The Hippies: An
Amarican Moment" pada tahun 1968. Peneliti Birmingham lainnya, Dick
Hebdige, menulis penelitian "Reggae, Rastas and Ruddies: Style and the
Subversion of Form" pada tahun 1974, dan John Clarke pada tahun yang
sama sudah membuat penelitian "The Skinheads and the Study of Youth
Culture" (tahun 1973 ia meneliti "Football Holliganism and the Skinheads").
Tema-tema penelitian Birmingham Centre yang lain misalnya: youth
culture, fashion, musik, budaya olah raga, atau karya-karya fiksi. Dengan
tema-tema seperti itu wajar saja kalau Birmingham Centre lantas menjadi
sumber inspirasi dalam kajian budaya di seluruh dunia. Di tahun `90-an
saja tema-tema penelitian Birmingham Centre masih aktual dibicarakan.
Sementara di Indonesia studi kebudayaan masih belum lagi memasuki
tema-tema kebudayaan marjinal dan "hal yang kecil-kecil" seperti dilakukan
Birmingham Centre. Studi kebudayaan di Indonesia masih menekankan
kepada tema-tema besar, semisal hubungan negara-masyarakat dsb.

Raymond Williams
Oleh ANTARIKSA

Tokoh kita kali ini adalah Raymond Williams, salah satu tokoh yang favorit
dikaitkan dengan kelahiran kajian budaya. Ia lahir di daerah perbatasan
Inggris-Wales pada 1921 dan meninggal pada 1988. Dalam sejarah kajian
budaya, Williams dikenal sebagai seorang pemikir yang teguh, yang
berangkat dari tradisi menulis dan membaca sastra, yang kemudian
dipadukannya dengan marxisme untuk diterapkan secara lebih luas dalam
bidang sosial dan kebudayaan.
Pada 1939 Williams mulai belajar bahasa dan sastra di Trinity College,
Cambridge tahun 1939. Di sini ia menjadi salah satu murid F.R. Leavis.
Gurunya ini adalah salah satu tokoh utama kulturalisme Inggris, yang
memahami kebudayaan sebagai kanon sastra dan seni tinggi, karya-karya
besar, dan menganggap film dan karya fiksi populer sebagai candu
peradaban.

Sekarang Birmingham Centre dipimpin oleh Michael Green. Ia memimpin


peneliti-peneliti yang sangat berpengaruh dalam kajian budaya sekarang
ini: Jorge Larain, John Gabriel, Ann Gray, Gargi Bhattacharyya, David
Parker, Jo Van-Every, Malika Mehdid, Mark Erickson, dan Sue Wright.

Di universitas yang sama, pada tahun 1974, Williams diangkat menjadi


Profesor Drama. Dan sungguh ironis, bahwa karya-karya lembaga ini justru
tidak ditandai oleh sumbangan pemikiran Williams. Di Cambridge, ia
berkarya seorang diri (Garnham 1988).

Meskipun gema pengaruh Birmingham Centre masih terasa sampai


sekarang, pusat-pusat kajian budaya yang baru pelan-pelan mulai
menapakkan jejak kakinya. Beberapa yang bisa disebut di sini antara lain
adalah School of Communication Studies di Westminster University yang
menerbitkan seri terbitan Media, Culture and Society, pusat kajian budaya
di Teeside University yang kemudian menerbitkan jurnal dan buku-buku
dengan nama Theory, Culture and Society, bahkan ada juga jurnal
internasional, Cultural Studies, dengan grup editor dari Inggris, Amerika,
dan Australia, yang telah dipublikasikan oleh Methuen, kemudian oleh
Routledge.

Karya-karya Williams mencakup bidang yang luas. Ia menulis tentang


kebudayaan, juga novel dan kritik sastra. Tetapi isu yang selalu
menggelisahkan Williams adalah demokratisasi. Demokratisasi bagi
Williams juga adalah sebuah komitmen moral, dari mana pemikiranpemikirannya berasal dan bertujuan.

Termuat di Newsletter KUNCI No. 2, September 1999

Ketertarikannya pada politik kebudayaan sebenarnya baru dimulai pada


1945, saat ia kembali lagi belajar di Universitas Oxford dan kemudian ke
Cambridge, setelah menjalani tugas kemiliteran pada Perang Dunia II.
Karya-karya politik kebudayaannya pada masa ini secara jelas
menunjukkan usahanya untuk selalu mengaitkan kebudayaan, politik, dan
kondisi-kondisi sosial. Dan baru secara total menunjukkan pandangan
marxisnya yang brilian tentang kebudayaan pada Culture and Society,
1780-1950 (mulai ditulis 1948, terbit 1958) dan The Long Revolution
(selesai 1959, terbit 1961).
4

Kebudayaan sebagai Keseluruhan Cara Hidup

Materialisme Kultural

Baik Culture and Society maupun The Long Revolution mempunyai


pengaruh yang sangat kuat dalam kajian budaya. Sangat berbeda dengan
Leavis, dalam karya-karyanya ini Williams tidak memahami kebudayaan
dalam perspektif estetis dan ia menolak elitisme kebudayaan. Williams
membangun sebuah pemahaman yang lebih menekankan karakter
kehidupan sehari-hari, yaitu kebudayaan sebagai keseluruhan cara hidup.
Baginya kebudayaan sekaligus meliputi seni, nilai, norma-norma, dan
benda-benda simbolik dalam hidup sehari-hari, ia merupakan bagian dari
totalitas relasi-relasi sosial. Teori kebudayan dengan begitu didefinisikan
sebagai studi tentang relasi-relasi antarelemen dalam hidup sosial. Menurut
Williams (1965), kita perlu membedakan tiga tingkat kebudayaan, bahkan
dalam definisi yang paling umum. Ada kebudayaan yang hidup pada waktu
dan tempat tertentu (lived culture) yang hanya bisa dinikmati secara penuh
oleh mereka yang hidup pada waktu dan tempat itu pula. Ada kebudayaan
yang terekam dalam segala bentuknya, mulai dari karya seni hingga faktafakta keseharian: ini disebut kebudayaan suatu periode (culture of the
periode). Ada juga faktor yang menghubungkan kebudayaan yang hidup
pada suatu waktu tertentu dan kebudayaan di suatu periode, ini disebut
kebudayaan tradisi yang terseleksi (culture of the selective tradition).

Pada periode 70-an pemikiran Williams mulai bergeser dari kulturalisme


kiri ke neo-Gramscianisme. Ia menyebut bentuk baru pemikirannya dengan
materialisme kultural. Ada cara pembacaan atas Gramsci yang berbeda
antara Williams dengan Stuart Hall, yang menyangkut pendangan atas
hegemoni sebagai sebagai budaya atau hegemoni sebagai struktur, dan
strategi apa yang harus diambil dalam aksi counter-hegemony.

Secara khusus perhatian Williams dalam Culture and Society dan The Long
Revolution adalah pada pengalaman-pengalaman kelas pekerja dan
aktivitas mereka dalam mengkonstruksi kebudayaan. Di sini, Raymond
William biasanya dikaitkan dengan nama Richard Hoggart dan Edward
Thompson. Ketiganya disebut sebagai trio kulturalisme kiri Inggris.
Thompson menulis The Making of the English Working Class (1963); ia dan
Williams adalah anggota Dewan Editor New Left Review. Sementara
Hoggart menulis tentang budaya kelas pekerja dalam The Uses of Literacy
(1957), dan pada 1964 bersama Stuart Hall ia kemudian mendirikan Centre
for Contemporary Cultural Studies di Universitas Birmingham. Di kemudian
hari, Hall lebih dikenal sebai seorang anti-kulturalis dan cenderung marxisstrukturalis, yang membawa teori-teori Althusser, Derrida, Foucault dan
Lacan ke dalam wacana cultural studies, dan secara intelektual posisinya
berseberangan dengan Williams, Hoggart, dan Thompson (Milner 1994).

Jika hegemoni adalah budaya, maka secara material ia adalah produk dari
agen yang sadar dan bisa dilawan oleh alternatif sebuah aksi counterhegemony. Jika hegemoni adalah struktur ideologi maka, ia akan
menentukan subjektivitas dari subjek dengan cara-cara yang secara radikal
mengurangi kemungkinan sebuah aksi counter-hegemony. Hegemoni
sebagai budaya adalah masalah produksi material, reproduksi, dan
konsumsi. Hegemoni sebagai struktur adalah masalah penafsiran tekstual.
Dengan materialisme kultural Williams sekaligus menegaskan kembali
bahwa kebudayaan haruslah dimengerti dalam representasi dan praktekpraktek sehari-hari dalam konteks kondisi-kondisi material produksinya,
analisis materialisme kultural berarti analisis atas semua bentuk penandaan
dalam kondisi dan makna yang aktual ketia ia diproduksi (Williams 1981). Ia
kemudian menganjurkan agar kebudayaan diselidiki dalam beberapa term.
Pertama, institusi-institusi yang memproduksi kesenian dan kebudayaan.
Kedua, formasi-formasi pendidikan, gerakan, dan faksi-faksi dalam
produksi kebudayaan. Ketiga, bentuk-bentuk produksi, termasuk segala
manifestasinya. Keempat, identifikasi dan bentuk-bentuk kebudayaan,
termasuk kekhususan produk-produk kebudayaan, tujuan-tujuan estetisnya.
Kelima, reproduksinya dalam perjalanan ruang dan waktu. Dan keenam,
cara pengorganisasiannya.
Termuat di Newsletter KUNCI No. 6-7, Mei-Juni 2000

New Left Review


Oleh ANTARIKSA

Williams sendiri sampai akhir hidupnya tetaplah seorang kulturalis yang


teguh, yang tidak terlalu antusias dengan kritisisme teks dari semiotika dan
strukturalisme (Murdock 1997).

Pertengahan 50-an, pemikiran ilmu sosial, kebudayaan, dan politik di


Inggris diwarnai dengan munculnya kekuatan baru para pemikir Marxis
yang disebut sebagai Kulturalisme Kiri (Left Culturalism) atau Kiri Baru
(New Left). Berbeda dengan pemikir-pemikir Marxis sebelumnya, kelompok
baru ini dicirikan dengan independensinya atas Partai Komunis Inggris dan
6

kritiknya atas pemikiran Marxis Komunis. Figur-figur kuncinya antara lain:


Raymond Williams, E.P. Thompson, Perry Anderson, Tom Nairn, dan Terry
Eagleton. Di Inggris, para pemikir ini waktu itu mempelopori penjelajahan
karya-karya Marx Muda dan Hegel untuk menganalisis politik, masyarakat,
dan kebudayaan populer (di Jerman hal yang sama juga dilakukan oleh
Kelompok Franfurt sejak tahun 30-an). Harap dicatat bahwa tulisan-tulisan
Antonio Gramsci tentang hegemoni dan Kelompok Frankfurt tentang seni
dan kebudayaan industri belumlah terlalu populer waktu itu, ketimbang
tulisan-tulisan pemikir Marxisme Komunis Inggris, seperti C. Day Lewis,
W.H. Auden, Stephen Spender, dll.
Titik penting bagi kelahiran cultural studies yang berkaitan dengan
kelompok Kiri Baru ini adalah terbitnya jurnal New Left Review (NLR) pada
tahun 1960. NLR adalah dari hasil merger dua jurnal dari Swiss dan
Hongaria, yaitu Universities and Left Review dan New Reasoner yang
populer sebagai pelopor Campaign for Nuclear Disarmament (CND),
gerakan anti-nuklir pertama.
NLR berpusat di London dan komite editor pertamanya dipimpin oleh Stuart
Hall yang sebelumnya adalah aktifis New Left Club. Anggota komite lainnya
adalah Tariq Ali, Perry Anderson, Gopal Balakrishnan, Robert Brenner,
Alexander Cockburn, Mike Davis, Peter Gowan, dan Julian Stallabrass.
Edisi pertama NLR memuat debat antara E.P. Thompson, Charles Taylor
dan Alastair MacIntyre tentang humanisme Marxis, tulisan Raphael Samuel
dan Isaac Deutscher, dan yang paling penting sumbangan dan
pengaruhnya bagi cultural studies adalah diskusi antara Raymond Williams
dengan Richard Hoggart tentang budaya kelas pekerja.
Pada dua tahun pertama (edisi no. 1-12) NLR langsung menunjukkan
"progresivitasnya" sebagai jurnal berhaluan kiri dengan menampilkan tema
kebudayaan populer dan proposal-proposal yang sangat inovatiif bagi
demokrasi dan industri komunikasi modern. Stuart Hall dan Raymond
Williams melahirkan pemikiran-pemikiran yang paling berpengaruh dalam
dua tema tadi. Artikel C. Wright Mills, "Letter to the New Left", di NLR edisi
no.5 juga berperan penting bagi kelahiran gerakan Kiri Baru di Amerika.
Tahun 1962 Hall menyerahkan jabatannya kepada Perry Anderson.
Kemudian, bersama Richard Hoggart, Hall mendirikan Birmingham Centre
for Contemporary Cultural Studies pada 1964, sebuah lembaga yang juga
pelopor kajian budaya, dan ia lantas menjadi direkturnya sejak 1968.
7

Di bawah Anderson secara jelas orientasi NLR dipusatkan ke Marxisme


strukturalis yang diperkenalkan pemikir Perancis Louis Althusser. Proyek
utama Anderson adalah mengimpor teori-teori Neo-Marxisme Barat (juga
disebut "Western Marxism", tokoh-tokohnya antara lain: Georg Lukacs,
Antonio Gramsci, Louis Althusser, dan Kelompok Franfkfurt) untuk
diterjemahkan dan diadaptasi ke Inggris, dan diseleksi dengan
menitikberatkan orientasi Althusserian. Antara 1962-1963 NLR memuat
tulisan-tulisan R.D. Laing, Ernst Mandel, bahkan strukturalis Perancis
Claude Levi-Strauss.
Pada tahun 1964 hingga awal 70-an tulisan dan terjemahan Hall, Gramsci,
Althuser, Kelompok Frankfurt menjadi alat utama bagi NLR untuk
mengkritisi film, budaya kerja, dan politik (ide Raymond Williams yang
sangat penting tentang "materialisme kultural" juga dimuat NLR pada masa
ini).
Setelah 1975 sebenarnya program Neo-Marxisme Barat NLR sudah
selesai, dan sejak saat itu NLR mulai memperluas wilayah tema-temanya
ke gerakan perdamaian, revolusi di "dunia ketiga", gerakan perempuan,
tetapi NLR tetap juga menampilkan pemikir-pemikir terkini seperi Edward
Said, Habermas, Fredric Jameson (artikel pentingnya tentang
postmodernisme dimuat NLR). Ide-ide mutakhir Williams, Hall, dan
Anderson juga masih terus mengalir dari NLR.
Sejak 1970 NLR mendirikan divisi penerbitan buku yang diberi nama New
Left Books (NLB). Divisi ini terkenal dengan reputasinya dalam
menerjemahkan dan menerbitkan karya figur-figur utama dalam ilmu sosialhumaniora, cultural studies, sejarah, sastra dan kritik sastra, filsafat,
sosiologi, dan politik: Jean-Paul Sartre, Walter Benjamin, Louis Althusser,
Theodor Adorno, Herbert Marcuse, Tariq Ali, Benedict Anderson, Eric
Hobsbawm, Victor Kiernan, Steven Lukes, dll.
Di kemudian hari, dan hingga sekarang, NLB diganti namanya menjadi
Verso. Sejak 80-an, ketika jumlah terbitan Verso per tahunnya sudah
melebihi 40 judul, buku-buku yang diterbitkan tidak lagi sepenuhnya
bersesuaian dengan program-program NLR, melainkan meliputi bidang
yang jauh lebih luas (layaknya penerbit buku lain). Di antara terbitan dan
terjemahan mutakhir Verso yang masih merefleksikan program-program
NLR antara lain adalah Norman Geras, Ellen Meiksins Wood, Tariq Ali,
Giovanni Arrighi, Guy Debord, Giles Deleuze, Che Guevara, Carlo
Ginzburg, Andre Gorz, Jrgen Habermas, Jean Baudrillard, Noam
8

Chomsky, Frederic Jameson, Paul Virilio, Edward Said, Gabriel Garca


Marquez dll.

1960-an dengan judul The Civic Culture sampai sekarang masih menjadi
rujukan utama pembahasan kebudayaan politik

Termuat di Newsletter KUNCI No. 3, November 1999

Politiknya kajian budaya sama sekali berbeda ilmu politik mainstream ini.
Kajian budaya justru ingin menelusuri bagaimana sebuah nilai dan orientasi
terbentuk, operasi kekuasaan seperti apa yang berlangsung, dalam situasi
apa pula ua berlangsung dengan proses hegemoni atau dominasi, atau
bahkan koersi dalam proses produksi nilai tersebut, pengetahuan seperti
apa yang menopang atau tidak menopang nya, dst. Politik dan budaya
menjadi hancur lebur batasnya dalam kajian budaya. Suatu hal yang justru
dipertahankan dalam ilmu politik

Dari Negara ke Coca-Cola: Merintis Kajian Budaya


dalam Ilmu Politik di Indonesia
Oleh AMALINDA SAVIRANI

Politik sesungguhnya sangat dekat dengan Kajian Budaya, bahkan bisa jadi
lebih dekat ketimbang dengan ilmu politik sendiri. Sejarah perkembangan
kajian budaya adalah sejarah perlawanan terhadap dominasi/kekuasaan
sebuah tradisi ilmu pengetahuan. Kajian budaya muncul dari pemikiran
sekelompok orang yang meyakini bahwa bangun teori adalah sebuah
praktek politik sehari-hari manusia (Barker, 2000). Ilmu pengetahuan bagi
kajian budaya selanjutnya adalah sesuatu yang tidak netral, obyektif,
melainkan sesuatu yang berhubungan dengan posisi tempat seseorang
berbicara, kepada siapa sasaran pembicaraannya dan situasi tertentu yang
melingkari.
Politik yang dirujuk oleh kajian budaya bukan politik sebagaimana yang
dipelajari dalam ilmu politik. Operasi kekuasaan dalam Ilmu politik telah
tergumpal dalam persoalan mencapai sistem demokrasi yang ideal. Impian
menuju demokrasi mewujud dalam kajian tentang aktor-aktor politik,
(lembaga dan atau individu), kualitas lembaga kepresidenan, lembaga
perwakilan, partai politik, atau kualitas warganegara seperti elit dan
warganegara biasa. Atau juga dalam bentuk kajian tentang produk-produk
kebijakan, dll. Kekuasaan telah tersistematisasi dalam wilayah-wilayah
yang sangat definitif.
Selanjutnya, pendukung penting bagi keberhasilan demokrasi adalah
sebuah kebudayaan politik, satu kajian khusus dalam ilmu politik.
Kebudayaan bermakna orientasi, nilai dan seperangkat kepercayaan
tertentu yang dimiliki oleh warganegarai. Dari sini tampak jelas bahwa
kebudayaan bagi ilmu politik adalah suatu produk jadi, given. Political
culture sebagai sebuah fokus kajian makin kukuh setelah dua ilmuwan
terkenal dari universitas Chicago melakukan penelitian di lima Negara
(Amerika, Inggris, Jerman, Italia dan Meksiko). Karya yang terbit pada
9

Karakteristik ilmu politik mainstream yang demikian tidak bisa dilepaskan


dari sejarah perkembangan disiplin sebelum perang dunia II. Periode itu
merupakan masa pembentukan identitas politik sebagai sebuah disiplin
keilmuan. Sebagai ilmu yang lahir di tengah-tengah dominasi ilmu ala,
pertanyaan bernada gugatan yang meragukan eksistensi keilmuan sangat
mengganggu dan menggelisahkan. Semangat zaman yang serba naturalis
kala itu menjadi dasar interogasi disiplin ini terhadap keilmuan lainnya. Ilmu
politik dalam pandangan tradisi tersebut, khususnya dari kalangan ilmu
sosial kala itu, dianggap bukanlah ilmu yang sebenar-benarnya dengan
alasan tiadanya subject matter yang jelas. Ilmu politik hanya memakai
disiplin ilmu lain untuk menjelaskan fenomena kekuasaan.
Respon para pengusung ilmu politik kala itu adalah mengikuti logika
keilmiahan saat itu. Jadilah ilmu politik menjadi ilmu salah satunya dengan
meminjam tradisi positivistik dalam melihat fenomena politik sekaligus
untuk membedakan dirinya dengan periode sebelumnya yang dianggap
terlalu di atas langit, yang melihat politik sebagai idealisme-idealisme
kosong. Semua fenomena dikuantifikasikan, terukur dan karenanya
terprediksi semua kemungkinannya, khususnya terhadap perilaku individu.
Tradisi ini dikenal sebagai tradisi behavioralis, atau dikenal juga sebagai
mazhab Chicago, tempat kajian dilakukan. Berbagai kritik terhadap tradisi
ini muncul silih berganti. Kritik ini direspon dengan terus memperbaiki
perangkat metode tanpa melepaskan dasar keinginan menjadikan ilmu
politik sebagai ilmu yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Kritik terhadap cara pandang ilmuwan politik yang melihat seperangkat nilai
hanya sebatas produk adalah Antonio Gramsci. Lewat konsepsi hegemoni,
Gramsci sesungguhnya ingin mengatakan bahwa ada operasi kekuasaan
yang berlangsung baik dalam proses maupun produk sebuah kebudayaan
politik, karenanya membatasi kajian politik hanya sebatas pada produk
10

akhir sangat mereduksi kompleksitas fenomena politik. Kritik Gramsci dan


ilmuwan politik di kampus-kampus di Amerika sendiri mulai wacana-wacana
tandingan dalam bidang ini.
Sampai saat ini kajian politik di Indonesia masih didominasi oleh tradisi
behavioralis. Hal ini bisa dipahami dengan melihat kenyataan puluhan
mahasiswa yang belajar di universitas-universitas bertradisi behavioralis di
Amerika membawa pulang main set behavioralis setidaknya dalam tesis
atau disertasi mereka. Akhirnya studi ilmu politik di kampus-kampus utama
Indonesia terwarnai habis-habisan oleh tradisi ini sampai sekarang.
kurikulum-kurikulum jurusan ilmu politik masih dalam makna politik dalam
kerangka klasik untuk tidak menyebutnya kuno.
Kenyataan ini tidak bisa dipisahkan dari target pendidikan untuk mahasiswa
strata satu di negeri ini. Target bahwa mahasiswa dapat berfikir logis dan
fokus pada bidang yang dikajinya membuat peluang untuk melakukan
perkawinan-perkawinan antara berbagai pendekatan terbuka minim.
Cultural Studies dengan sendirinya keluar dari peluang pilihan. Tujuan
pendidikan seperti ini sesungguhnya telah merugikan kemajuan ilmu politik
di Indonesia hampir separuh abad. Perkembangan studi disiplin yang sama
tidak bisa begitu saja direspon di dalam negeri sendiri, termasuk
perkembangan fenomena politik sangat pesat ditandai dengan kemunculan
studi-studi seperti feminisme. Fenomen politik kontemporer ini bukan tidak
dialami di negeri ini. Perselisihan di daerah berbasis etnis dan mewujud
dalam gerakan etnonasionalisme berlangsung cukup merata di tanah air.
Dan sangat tidak memadai menjelaskan hal ini dari tradisi behavioralis,
mengingat kompleksnya persoalan ini karena menyangkut pula asal-usul
sosial.
Pada saat yang sama karya pekerjaan rejim orde baru yang otoritarian
selama lebih dari 30 tahun telah tidak hanya pembatasan partisipasi warga
negara melainkan juga membelasuknya kekuasaan ke dalam ruang-ruang
yang tak terbayangkan akan sebelumnya. Politik masuk ke tempat tidur
karena program Keluarga Berencana pemerintah Orde Baru tegas
mengatur berapa banyak yang boleh dimiliki oleh pasangan suami-istri.
Politik masuk dapur dan menggelisahkan ibu-ibu muslim karena label halal
sebuah produk bumbu masak yang diragukan keabsahannya, akibat
inkonsistensi dalam lembaga sertifikasi produk halal. Fenomena keseharian
seperti ini sekali lagi tidak memadai kalau masih mau dilihat dengan cara
lama.

11

Kalau yang berlangsung di kampus sedemikian tertinggalnya, kajian ilmu


politik lebih berwarna-warni di luar kampus. karya-karya ahli Indonesia di
luar negeri sejak lama telah melepaskan dari landasan-landasan lama.
Demikian juga dengan lembaga kajian independen. Salah satunya
penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Studi Realino (LSR),
yang dibukukan dalam seri penerbitannya. Karya-karya LSR menulis
fenomena politik dengan cara yang segar dalam cukup kontributif
meramaikan wacana. Salah satu buku tersebut bermaksud menggugat
peran dwifungsi ABRI, sama dengan banyak karya penelitian lembaga
penelitian nomor satu di Indonesia yakni LIPI. Cara kajian ini sangat khas,
ia memanfaatkan kajian semiotik yang menarik dan jelas basis
argumentasinya. Porsi sebagian besar perhatian tidak diberikan pada ABRI
sebagai lembaga an sich yang sama kuatnya dengan negara orde baru,
tapi pada pelacakan masyarakat melihat hal ini, pada bagaimana siasat
massa rakyat terhadap dominasi ini.
Studi politik di Indonesia yang didominasi oleh kajian-kajian klasik Politik
tidak bisa dilepaskan dari hiruk pikuk politik nasional. Jauh lebih menantang
dan laku sebagai komoditas untuk menebak-nebak susunan kabinet
Gotong Royong Megawati ketimbang mengurusi bagaimana siasat massa
rakyat pendukung NU dalam menerima kekalahan Abdurrahman Wahid
yang telah mereka anggap sebagai wakil Tuhan di dunia.
Dalam keterbatasan ini ilmu politik mungkin bisa bertemu dengan kajian
budaya. Ilmu politik di Indonesia perlu insyaf dengan melebarkan makna
kekuasaan di luar pagar-pagar formal kelembagaan. Di sisi lain kajian
budaya bisa lebih berdamai akan keperluan praktis studi politik atas
keperluan perangkat kerja yang terinci. Bukan demi mereproduksi gaya
berfikir positivistik melainkan demi mengikuti semangat kehati-hatian tradisi
ini yang telah teruji. Dan tentu saja demi membuka selebar-lebarnya ruang
pluralitas dalam pendekatan dalam ilmu politik di negeri sendiri.
AMALINDA SAVIRANI, pengajar pada Jurusan Ilmu Pemerintahan, UGM.
Termuat di Newsletter KUNCI No. 10, Januari 2002.

12

ternyata buta huruf dalam wilayah ini: ia tak mengenal dan tak bisa
membayangkan makanan yang terdaftar di menu. Ia juga tak tahu
bagaimana menyesuaikan jenis anggur dengan jenis makanan yang dipilih.
Akhirnya ia memesan makanan dan anggur sekenanya. Semua anggota
kelompok ini, kecuali satu orang saja, sama-sama buta hurufnya dan
memilih hidangan dengan mengikuti pilihan pemimpinnya.

Budaya sebagai Medan Pertarungan Kuasa


Oleh ANTARIKSA

Banyak karya kajian budaya memahami komunikasi sebagai tindakan


produksi makna, dan bagaimana sistem-sistem makna dinegosiasikan oleh
pemakainya dalam kebudayaan. Kebudayaan bisa pula dimengerti sebagai
totalitas tindakan komunikasi dan sistem-sistem makna. Posisi seseorang
dalam kebudayaan akan ditentukan oleh 'kemelek-budaya-an' (cultural
literacy),
yaitu pengetahuan akan sistem-sistem makna dan
kemampuannya untuk menegosiasikan sistem-sistem itu dalam berbagai
konteks budaya.

Pesanan terakhir dari seorang pebisnis muda, sangat berbeda dengan


pesanan lainnya. Pesanannya menunjukkan bahwa ia sangat melek huruf
dalam makanan dan anggur Perancis. Ia tampak tenang mengahadapi
menu, membaca dan menganalisisnya, dan menunjukkan betapa ia sangat
tahu akan semua yang dilakukannya. Ia berbicara sebentar dengan
pelayan, mengajukan beberapa pertanyaan "bermutu", dan akhirnya
menjatuhkan pilihan yang sangat "berselera". Semua koleganya sangat
terkesan dan ini membuka peluang yang lebih baik buat si pebisnis muda
itu meningkatkan posisinya dalam dunia bisnis.

Pandangan yang melihat komunikasi sebagai sebuah tindakan budaya,


yang memerlukan berbagai bentuk kemelek-hurufan budaya, sangat
dipengaruhi oleh pemikiran sosiolog Perancis Pierre Bourdieu. Ide-idenya
sangat berguna karena ia mengatakan bahwa 'tindakan' (practice) atau apa
yang secara aktual dilakukan seseorang, merupakan bentukan dari (dan
sekaligus respon terhadap) aturan-aturan dan konvensi-konvensi budaya.

Lantas bagaimana kemelek-hurufan budaya diterjemahkan ke dalam


tindakan seseorang? Untuk menjelaskannya, kita memerlukan 3 konsep
lagi dari Bourdieu: 'medan budaya' (cultural field), habitus, dan 'modal
budaya' (cultural capital).

Salah satu cara memahami hubungan kebudayaan dengan tindakan adalah


mengikuti pengandaian Bourdieu tentang perjalanan dan peta. Kebudayaan
adalah peta sebuah tempat, sekaligus perjalanan menuju tempat itu. Peta
adalah aturan dan konvensi, sedangkan perjalanan adalah tindakan aktual.
Apa yang disebut dengan kemelek-hurufan budaya adalah "perasaan"
untuk menegosiasikan aturan-aturan budaya itu, yang bertujuan untuk
memilih jalan kita dalam kebudayaan. Tindakan adalah performance dari
kemelek-hurufan budaya.

Bourdieu mendefinisikan medan budaya sebagai institusi, nilai, kategori,


perjanjian, dan penamaan yang menyusun sebuah hierarki objektif, yang
kemudian memproduksi dan memberi "wewenang" pada berbagai bentuk
wacana dan aktivitas; dan konflik antarkelompok atau antarindividu yang
muncul ketika mereka bertarung untuk menentukan apa yang dianggap
sebagai "modal" dan bagaimana ia harus didistribusikan. Yang disebut
modal oleh Bourdieu meliputi benda-benda material (yang bisa mempunyai
nilai simbolis), prestise, status, otoritas, juga selera dan pola konsumsi.

Kemelek-hurufan budaya misalnya dapat dilihat dalam sebuah film Jepang


Tampopo, dalam adegan ketika sekolompok pebisnis Jepang makan
bersama di sebuah restoran Perancis yang mahal. Perilaku kelompok
dalam budaya bisnis Jepang dikenal bersifat sangat hirarkis. Dalam acara
makan bersama macam ini, kebiasaan yang umum berlaku adalah
seseorang yang dianggap superior dalam kelompok akan terlebih dulu
memesan makanan, kemudian orang lain tinggal mengikutinya saja.

Kekuasaan yang dimiliki seseorang dalam sebuah 'medan' (field),


ditentukan oleh posisinya dalam medan itu, yang pada gilirannya akan
menentukan besarnya kepemilikan modal. Kekuasaan itu digunakan untuk
menentukan hal-hal macam mana yang bisa disebut modal (keaslian
modal).

Kebiasaan itu jadi berubah ketika mereka harus "tampil" di sebuah restoran
Perancis, yang tentu saja menuntut kemelek-hurufan dalam makanan dan
anggur Perancis. Seseorang yang dianggap pemimpin dalam kelompok ini
13

Modal selalu tergantung dan terikat pada medan tertentu, ia bersifat


partikular. Dalam medan gaya hidup remaja Indonesia sekarang misalnya,
pengenalan akan film dan musik Amerika, kemampuan berbahasa gaul,
atau berdandan dengan gaya tertentu, bisa disebut sebagai modal.
14

Bagaimanapun, kemampuan-kemampuan ini, bukanlah modal, misalnya


saja, dalam medan pelayanan diplomatik.
Pemahaman seseorang akan modal berlangsung secara tak sadar, karena
menurut Bourdieu dengan cara begitulah ia akan berfungsi efektif.
Seperangkat pengetahuan, aturan, hukum, dan kategori makna yang
ditanamkan secara tak sadar ini oleh Bourdieu disebut habitus. Habitus
bersifat abstrak dan hanya muncul berkaitan dengan putusan tindakan:
ketika seseorang dihadapkan pada masalah, pilihan atau konteks. Dengan
begitu habitus bisa juga dimengerti sebagai " feel of the game ".
Termuat di Newsletter KUNCI No. 11, Februari 2002.

Arus Mimpi Perkotaan di Negara Bekas Jajahan


Oleh PRIMANTO NUGROHO

Karier, gaji, dan masa depan. Bagaimanakah di tengah arus krisis yang
menyapu isi 1 negeri ini dapat diterima akal maupun budi dan bahasa
tentang adanya suatu karier dengan gaji yang dapat menghidupi masa
depan? Kisah seperti apakah yang dapat disusun untuk menyampaikan
kabar perasaan orang yang dari saat ke saat terus terhimpit dalam hidup
kesehariannya namun sekaligus juga dipacu untuk mau percaya bahwa
karier dan masa depan ada dalam genggaman?
Segenap cara bercerita berikut konseptualisasi ide yang di masa sebelum
krisis menerjang dapat diyakini untuk menentramkan hidup bermasyarakat
kini rontok; baik pelembagaan bernegara, berbangsa, berkeluarga,
beragama, bersekolah, berkesenian,... amblas disapu angin, hilang
otoritasnya. Maka yang tinggal adalah igauan, gossip, ceracauan, ramalan,
dan bisik-bisik. Dalam arus itulah mimpi mendapat tempatnya. Inilah cerita
tentang mimpi.
Yang Diimpikan
Tersebutlah di selembar halaman majalah remaja pria tahun 2001 bahwa
ada 3 cara untuk mengawali sukses sebagai sutradara. Pertama, masuk
sekolah film. Kedua, langsung jadi sutradara. Atau terakhir, meniti karir dari
awal. Untuk yang paling bontot ini ada langkahnya, sejak dari asisten
sutradara, penulis skenario, atau director of photography .
15

Kiat sukses berkarir begituan dapat dengan gampang dijumpai di bacaanbacaan untuk orang muda yang diterbitkan dari Jakarta, setidaknya sejak
dekade 1990-an yang lalu.
Bayangan akan sukses itu juga dapat dilacak dari sepenggal kisah debut
seorang penyanyi berusia 15 tahun yang dalam sebuah edisi majalah
remaja putri di bulan Pebruari 2002 diceritakan " baru aja ngerilis album
terbarunya " dan berujar, " Nyanyi itu adalah sesuatu yang paling berarti
dalam hidupku.....Dari kecil, aku memang udah pengen banget jadi
penyanyi. Percaya nggak, waktu masih kelas 1 SD aku pengen banget
kayak Eno Lerian, bisa masuk TV, dan nyanyi di depan orang.....Mmm,
insya Allah kalau aku dikasih kesempatan aku pengen banget belajar di
London, soalnya kan sekolah seni di London itu terkenal bagus banget ".
Orang muda lain dipaparkan dalam liputan utama tentang "pasar remaja"
oleh sebuah majalah bisnis edisi akhir tahun 2000 sebagai seorang pelajar
kelas III SMU dari jurusan IPA yang termasuk 10 besar di kelasnya.
Diceritakan, sejak kecil cowok Jakarta kelahiran tahun 1983 yang -kononpunya IQ 146 ini menyukai semua pelajaran berhitung. Maka, ia pun
bertekad masuk kelas IPA saat SMU. Selanjutnya selepas sekolah
menengah nanti ia ingin sekali kuliah di Fakultas Teknik Kimia ITB. Untuk
itu doi rela mengurangi kegiatan keluar rumah biar bisa drilling pelajaran
buat persiapan EBTA dan UMPTN di waktu favoritnya untuk belajar
......sejak jam 3 pagi !
Pemandangan yang tak jauh berbeda terjadi di kalangan yang disebut
'profesional muda'. Idam-idaman kaum berdasi ini ternyata adalah
"perusahaan yang menyediakan jenjang karier jelas, gaji tinggi, memberi
kesempatan belajar dan dikelola secara profesional". Setidaknya begitulah
yang dilaporkan oleh sebuah majalah ekonomi dari Jakarta pada edisi
Oktober tahun 2001. Ada 12 jago di puncak idam-idaman itu, terdiri dari 5
BUMN, 5 perusahaan multinasional, dan 2 swasta nasional:
"Karier jelas, Gaji Besar, Masa Depan OK. (1) PT Telkom; (2) Pertamina;
(3) PT. Caltex Indonesia; (4) Bank BNI; (5) PT. Astra International; (6)
Citibank (Indonesia); (7) PT Freeport Indonesia; (8) PT Unilever Indonesia;
(9) PT Indosat; (10) PT Bakrie & Brothers; (11) PT. Coca Cola Indonesia;
(12) PT PLN".
Bagaimanakah ragam profesi yang tak terbayangkan bahkan oleh kaum
kohor kelahiran 1950-an itu dapat digambarkan suasana 'perasaan'nya?
16

Ia erat dengan 'sekolah ke luar negeri', atau 'fasih berbahasa asing', serta
keakraban dengan perangkat komputasi. Buah teknologi, dari telepon
genggam sampai kamera, diterima dan digauli sebagai perangkat netral
yang seolah-olah lepas dari gelombang kritik teknokrasi di Eropa dan Amrik
yang sudah memuncak pada tahun 1968.
Dalam arus yang seolah-olah netral tak bergejolak itulah film dan sandiwara
menjadi ibarat paling gamblang tentang mimpi massal. Pemain film (kalau
sebelum 1998 dikenal dengan istilah 'insan perfilman'. Wuih .....insan ! )
adalah hal penting dalam jagad mimpi. Siapa bilang bintang film berakting
di depan kamera? Justru di depan kamera itulah praktek hidup
kesehariannya terjadi. Sedangkan ketika berada di rumah, di jalan, atau di
mall si bintang itu sedang terus-menerus mencocokkan diri dengan yang
dibayangkan dalam arus massal tentang suatu jagad ideal seorang public
figure . Sejak dari menata tebal daging yang melekat di tulang-belulang
tubuhnya sampai ke tentang betapa pentingnya siraman nilai agama untuk
kehidupan rohaninya, semua dirancang dengan sepenuh perasaan.
Keseriusan si bintang dalam mempersiapkan diri untuk tampil dalam relasi
sosial tak kalah keras dengan keseriusan si pelajar kelas III SMU ber-IQ
146 di atas yang sampai bangun jam 3 pagi untuk drilling agar bisa masuk
ITB ! Dengan sepenuh perasaan entah itu drilling agar menjadi orang ITB,
ataukah agar bisa menjadi orang Telkom, orang Freeport, atau dengan
sekolah menyanyi di London untuk berkarier di dunia bintang penyanyi,
maupun berkarier di jalur teknologi informasi, desain pakaian, sampai
aktivis LSM dst. dilakukan. Rancangan hidup dibikin dengan nalar
perasaan. Bahkan kerja intelejensi pun tak lagi melulu berurusan dengan
intellegence qoutient (alias IQ) melainkan sudah dengan nalar perasaan
(yang sama sekali tak terbendung lagi dengan dikurung oleh label
emotional quotient ataupun spiritual quotient ).
Dan panggung sandiwara? Masih bisakah dibedakan lagi dengan gampang
naskah-naskah dan pementasan Teater Koma, Teater Gandrik, atau Teater
Garasi dengan gejolak hidup berpolitik yang terjadi sehari-hari di luar ruang
panggung sandiwara? Politik menjadi panggung sandiwara, sementara
sandiwara dilakoni sebagai politik mempertaruhkan makna hidup.
Yang Bermimpi
Tak disangsikan lagi bahwa 1 lapis warga Republik Indonesia dari kohor
kelahiran paska 1965 telah beranak-pinak sebagai 'keluarga muda'. Anakanak dari kalangan inilah yang lahir sejak dekade 1980-an hingga 1
dasawarsa sesudahnya disapih selaku warga negeri mimpi dan sekaligus
17

dihimpit dalam putaran roda ekonomi yang digerakkan oleh 'hukum


siluman'. Segenap imajinasi yang hidup dalam bawah sadar kolektifnya
ketika menjadi bocah seperti dipicu saat mereka masuk ke alam remaja.
Dekade 1990-an adalah masa puncak pembusukan seluruh sendi
bermasyarakat di Republik Indonesia. Segenap mimpi tentang 'pemurnian
praktek dasar negara dan konstitusi' maupun tentang fase 'tinggal landas'
yang diumbar sejak 20-an tahun sebelumnya menghadapi jalan buntu.
Kolaps terjadi pada bulan Mei 1998, dan tidak cukup kuat ada pertanda
bahwa struktur pembusukan di tingkat negara maupun bangsa itu
menemukan titik terangnya, hingga hari ini.
Paradoks paling fatal justru terjadi pada titik yang paling dipicu habishabisan di seantero kehidupan negeri yakni hasrat untuk menjadi orang
modern. Hasrat beginilah yang menjadi inti suatu 'kultur kota'. Menjadi
modern dengan seluruh atribut identitasnya pada kurun antara 1970 hingga
30 tahunan sesudahnya berarti menemukan diri sendiri berada dalam
lingkungan yang penuh dengan impian akan rasa maju, bangga dengan
kuantifikasi numerik, laju pertumbuhan, prestasi.
Wujud paradoks itu terus terjadi hingga kini tanpa tanda berhenti. Umpama,
selalu diyakin-yakinkan betapa dengan banjir peralatan komunikasi
bernama telepon dan komputer maka kesenjangan informasi bakal sirna.
Namun yang terjadi justru banjir bandang perangkat komunikasi itu tak
berkaitan sama sekali dengan keberadaan informasi, karena jalur
komunikasi secanggih apapun malah menjadi ajang mengedarkan gossip.
Manakala dimasukkan ke media massa maka yang menggerakkan pun
tetap hukum besi dunia industri. Informasi dikalahkan oleh kalkulasi laba
perolehan iklan.
Bersamaan dengan dikosongkannya informasi dari tubuh masyarakat itu,
terjadi kebiadaban tanpa darah melalui pelembagaan sekolah. Jutaan anak
sekolah di seluruh pelosok negeri seperti masuk ke dalam mesin cuci
raksasa untuk dibina kesadaran kolektifnya. Otonomi masyarakat setempat
untuk melakukan pendidikan diambil alih oleh tangan panjang birokrasi
persekolahan. Secara kognitif para pelajar itu dipenuhi hapalan-hapalan
pengetahuan. Sementara pada saat yang sama nalurinya untuk
berimajinasi dipancung menjadi paket-paket lomba dan kejuaraan.
Dua poros pengosongan makna inilah yang menyapih orang muda yang
benaknya kini penuh dengan mimpi untuk menjadi web-designer,
excecutive di MNC dan BUMN, artis film yang juga sekolah filsafat,...
18

Termuat di Newsletter KUNCI No. 12, Juni 2003.

Ruang hampa inilah yang tidak terjadi ketika Tirtoadisuryo,


Tjiptomangunkusumo, maupun Siti Soendari pada perempat pertama abad
20 sebagai orang muda semasa menggerakkan masyarakat melalui badanbadan ekonomi, dengan pendampingan legal, plus memproduksi informasi
sendiri melalui media semacam Medan Prijaji . Pada jaman bergerak itu
simbol modernisasi ditangkap dan dibalikkan untuk melakukan counter atas
birokratisasi oleh gubernemen Hindia Belanda.
Kuasa Mimpi
Pertama, tentang mimpi. Dan mimpi pun yang terjadi secara massal.
Ia sungguh-sungguh menembus batas. Entah batas warna kulit, entah
berasal dari Jakarta Pusat atau Digul, entah kendaraannya saban hari
angkudes atau sedan pribadi, entah cowok, cewek, atau jiwa cowok dalam
tubuh cewek dan kebalikannya, ..... semua sekat itu diterabas. Semua
berpartisipasi dalam menyusun suatu mimpi besar. Berprestasi. Berkarier.
Menjadi juara, pemenang, yang terbaik, yang tercepat aksesnya, yang
paling praktis,...
Otak dan jiwa jadi sangat sibuk, sementara tubuh jarang bergerak. Semakin
aktif seseorang dalam dunia mimpi, semakin tubuhnya bergerak lepas dari
aktivitas batinnya. Acapkali terjadi imajinasi melesat lebih cepat ketimbang
gerak dengkul. Bahasa ungkapnya secara lisan menjadi kedodoran. Yang
diucapkan melalui bibir menjadi terpisah lepas dari yang mengalir deras
dalam batin orang. Bahkan kosakata yang tersedia dalam bahasa yang
diresmikan oleh pusat pembinaan bahasa pun menjadi tidak memadai lagi.
Hiduplah plesetan di Jogja, walikan dari Malang, bahasa prokem, slang ,
dan yang dimediasi habis-habisan saban detik melalui televisi adalah
bahasa Jakarta.
Hal kedua, bahkan untuk bermimpi pun butuh syarat.
Siapa saja yang berani bermimpi untuk masuk ke dalam pusaran arus
pasar tenaga kerja 'terdidik' tak bisa lain berhadapan dengan tuntutan
syarat. Dua syarat pokok masuk ke alam mimpi massal ini ialah akses
kembar ke jalur manipulasi peralatan sektor jasa (ini namanya bisa sekolah,
short-course , long distance learning, on the job training , sampai ke kursus
dari kursus kepribadian sampai kursus bahasa) serta ke modal (bisa uang,
bisa bakat bawaan, maupun relasi sosial). Tanpa akses, kewarganegaraan
dalam jagad mimpi jadi cacat.
19

Anak Kota Punya Gaya


Oleh ALIA SWASTIKA

Banyak orang percaya bahwa anak muda identik dengan aktivitas untuk
mencari kesenangan. Anak muda selalu dikaitkan dengan waktu luang,
kebebasan, dan semangat pemberontakan. Media massa dan industri
menciptakan "kebutuhan" anak muda demi kepentingan pasar, yang
dikampanyekan sebagai cara bagi anak-anak muda untuk keluar dari
identitas yang diinginkan oleh orang tua. Akhirnya budaya anak muda
sangat identik dengan penampilan sebagai representasi identitas. Budaya
anak muda adalah fesyen, musik dan pesta. Dan tentu, anak-anak muda di
kota adalah kelompok yang memiliki akses paling terbuka ke sumber
informasi. Mereka memungut informasi di mana saja, dari televisi, majalah,
radio bahkan sobekan poster di pinggir jalan. Mereka punya kesempatan
untuk memanfaatkan waktu luang di pusat-pusat perbelanjaan, tempat
hiburan dan ruang-ruang publik yang memungkinkan mereka untuk
melakukan interaksi dan pertukaran informasi.
Anak muda di kota selalu punya cara untuk tampil beda. Meski tidak selalu
orisinil, karena banyak mengadopsi gaya selebritis yang mereka lihat di
majalah dan televisi, tapi anak kota selalu berusaha untuk terus
memperbaharui penampilannya. Yang disebut penampilan, bukan saja apa
yang melekat pada tubuh semata, melainkan juga bagaimana keseluruhan
"potensi" dalam diri memungkinkan mereka untuk menampilkan citra diri
tertentu. Dan bahasa, dianggap salah satu hal penting yang akan
memberikan ciri khusus pada anak kota. Cara, logat dan pilihan kata dalam
berbicara, adalah salah satu dari usaha anak kota untuk membentuk citra
tertentu melalui penampilannya. Maka mereka punya istilah "norak" atau
"kampungan" untuk gaya-gaya tertentu, yang mereka anggap ingin tampak
trendi, namun tidak pantas (dalam bahasa mereka: nggak matching ).
Istilah ini sekaligus menunjukkan bagaimana mereka memandang anak
muda di wilayah bukan kota (untuk tidak menyebutnya desa) sebagai
kelompok yang "lebih rendah" dibanding mereka.
Biyan, seorang perancang muda menyatakan bahwa semangat kebebasan,
sikap cuek alias tidak terlalu peduli pada aturan formal, dan berani menjadi
satu karakter khas yang selalu ditampilkan dalam gaya fesyen anak muda.
Gaya anak muda tidak lagi mengacu pada perancang yang dulu
20

legitimasinya sangat besar. Anak muda pasca '50-an dan '60-an masamasa generasi baby boomers yang mulai menikmati kemakmuran setelah
berakhirnya resesi pasca perang dunia- menciptakan modenya sendiri. Kita
bisa menelusurinya dari bagaimana anak muda dicitrakan di media dari
masa ke masa, kemudian bagaimana citra itu merambah ke dalam
kehidupan sehari-hari. Dan menarik juga mencermati bagaimana media
massa telah menciptakan satu ikon anak muda tertentu pada tiap jaman.
Di Awal '80-an, budaya remaja mulai marak di Indonesia setelah
kemunculan tabloid dan majalah khusus remaja, terutama Hai dan Gadis .
Tak lama setelahnya, sekitar pertengahan dekade, muncul tokoh Boy,
melalui film "Catatan Si Boy" garapan sutradara Nasri Cheppy. Tokoh Boy
diperankan oleh Onky Alexander. Boy digambarkan sebagai anak kota dari
kelas atas yang kaya raya, tampan, dandi (penampilannya rapi dan
"berkelas"), jagoan (selalu menang kalau berkelahi dengan "musuhnya"),
playboy dan pintar. Saat itu, Onky memperkenalkan gaya celana jeans,
kaos oblong yang kemudian dibalut kemeja yang tak dikancingkan.
Rambutnya rapi, agak mengkilap (disebut gaya wet-look) karena minyak
rambut. Boy juga identik dengan mobil mewah berwarna cerah, serta kaca
mata hitam yang tak pernah ketinggalan saat ia ada di jalanan. Gaya Boy
inilah yang disebut dengan gaya '80-an ala Indonesia. Karakter tokoh
ceweknya tak jauh beda dengan Boy; populer, cantik, berdandan modis,
cewek baik-baik dan disukai banyak laki-laki. Mereka tampil dengan gaya
'80-an yang kental dengan warna-warna cerah semacam kuning, merah
atau oranye, celana model baggy (paha lebar dan menyempit di bagian
bawah), memakai banyak aksesoris--kalung, gelang dan anting yang
dipakai bersamaan--kemeja longgar yang terkadang ujungnya diikat serta
sepatu olah raga yang santai. Pada saat itu, mulai dikenal juga kebiasaan
mengecat rambut menjadi berwana kemerahan atau sedikit pirang.
Dalam film ini, anak kota masih bicara dengan bahasa Indonesia yang
cukup formal, namun terkesan cukup santai. Mereka menyebut diri dengan
kata "saya" dan menggunakan kata "kamu" untuk menyebut lawan
bicaranya. Sebenarnya cara mereka bicara dalam film tak terlalu berbeda
dengan generasi yang lebih dewasa. Kalimat seperti "Jadi, apa yang akan
kita lakukan selanjutnya?" atau "Tunggu ya, nanti malam saya akan jemput
kamu!" menjadi dialog yang biasa, yang mungkin akan terasa asing bila
didengarkan oleh anak kota sekarang.
"Catatan si Boy" juga memberi kita gambaran bagaimana anak kota
menghabiskan waktu luang: clubbing di tempat umum macam Ancol atau
Blok M, atau membuat pesta dengan breakdance di dalamnya.
21

Setelah Boy, muncul tokoh Lupus di akhir '80-an dan awal '90-an. Tokoh ini
adalah hasil rekaan Hilman, yang muncul pertama kali sebagai serial di
majalah Hai . Lupus muncul sebagai tokoh yang sangat bertolak belakang
dengan Boy. Kalau Boy berdandan rapi, Lupus cenderung slenge'an .
Rambutnya agak gondrong, dan diberi ciri khas jambul, suka memakai
celana jeans, kaos oblong dan kadang kemeja tak dikancingkan, serta
sepatu kets. Lupus juga tampak berseberangan dengan Boy dari kelas
sosial, ia "cuma" anak seorang pengusaha katering kecil-kecilan yang
hidup sederhana. Kalau Boy digambarkan dengan mobil mewah, Lupus
naik sepeda balap. Akhirnya Lupus muncul juga di layar lebar. Diperankan
oleh Ryan Hidayat, ditemani Nike Ardila sebagai Popi (pacarnya) dan Firda
Razak (sebagai Lulu, adiknya). Secara umum, gaya berpakaian Lupus dkk.
dalam film ini tak jauh beda dengan era si Boy. Juga tentang kebiasaan
mereka dalam melewatkan waktu luang.
Yang menarik adalah mulai munculnya bahasa slang dan prokem dalam
buku dan film-film Lupus. Lupus juga sangat identik dengan remaja yang
lucu dan konyol. Jadi jangan heran kalau isi buku ini penuh dengan humor
dan lelucon. Kata "gua" untuk menyebut diri dan "elu" untuk lawan bicara
mulai populer sebagai gaya baru di buku dan film. Mereka juga mulai
menggunakan dialog sehari-hari remaja semacam "Jangan gitu dong!" atau
"Lu jangan ke mana-mana, tunggu aja di sini, ntar gua balik kok!". Bahasa
prokem anak muda juga dicomot dari kelompok-kelompok yang dianggap
terpinggir dan kampungan, misalnya dialog golongan homoseksual atau
dialog dari warga Betawi asli.
Seera dengan Lupus, muncul tokoh Olga yang mewakili remaja perempuan
di masa itu. Boleh dibilang, ia versi cewek dari Lupus. Di sela-sela mereka,
dalam masa yang sama, anak kota punya panutan lain. Namanya si Roy. Ia
memberi alternatif bagi remaja pria, yang saat itu cenderung mengikuti
gaya Boy atau Lupus. Roy, sangat bertolakbelakang dengan keduanya. Ia
memberi gambaran tentang kegagahan yang lain dengan Boy, meskipun
sama-sama digambarkan sebagai jagoan yang suka berkelahi. Roy
digambarkan sebagai pendaki yang suka memakai tas ransel besar dan
sepatu gunung. Baju flanel dan jaket tebal mulai dikenal saat itu.
Menjelang dan di awal abad ke-21, representasi anak kota Indonesia
muncul dalam film-film independen. Kebanyakan film ini digarap oleh para
sineas muda yang sangat "melek" trend terbaru. Dian Sastro, yang muncul
pertama kali di film "Bintang Jatuh", dan kemudian kembali melejit lewat
"Ada Apa dengan Cinta", jadi idola baru remaja. Gang ceweknya di "Ada
Apa dengan Cinta", memberi gambaran tentang gambaran mutakhir anak
kota. Mereka berseragam putih abu-abu, dengan rok yang cukup pendek,
22

dan kaos kaki yang hampir mencapai batas lutut. Atasannya menempel
ketat di tubuh. Saat ini rambut panjang hitam lurus dan rambut pendek
yang tak beraturan jadi "tampilan wajib".
Secara bahasa era ini tak jauh beda dengan Lupus. Tapi makin banyak
kata-kata dalam bahasa prokem yang digunakan. Kebanyakan kata-kata ini
digunakan sebagai ungkapan kaget atau seruan. Misalnya, "Najong deh,
gue!" yang berarti jijik, atau "Garing!" untuk merespon lelucon yang
dianggap tidak lucu. Atau juga "Bete!" untuk menyebut keadaan yang tidak
mengasikkan.
Harus diakui, bahasa anak Jakarta lah yang selama ini mendominasi
penggunaan bahasa lisan anak muda Indonesia. Bagaimana bahasa
prokem Jakarta tersebut tersebar? Jawabannya mudah. Ada media massa-yang secara umum bisa dikatakan berpusat di Jakarta--yang membawa
bahasa lisan ini ke seluruh pelosok melalui perangkat-perangkatnya.
Menurut Dede Oetomo (1986) peran Jakarta sebagai ibukota, tempat
orang-orang Indonesia yang memang atau dianggap paling berkuasa,
paling cantik, paling kaya dan sebagainya berada, penting dalam
menyebarkan bahasa Indonesia. Media dan perangkatnya--terutama
televisi dan radio--telah membuat logat Jakarta menjadi logat yang seolaholah paling keren dan paling enak didengar. Di Indonesia, bukan hal yang
aneh kalau kita mendengar radio-radio di daerah (bukan Jakarta) yang
segmennya anak muda, penyiar-penyiarnya berbicara dengan dialek yang
seragam. Seolah-olah, kalau tidak memakai gaya Jakarta, itu bukan gaya
anak muda.
Termuat di Newsletter KUNCI No. 12, Juni 2003.

Studi Tubuh
By NURAINI JULIASTUTI

Ada 3 pandangan utama tentang tubuh yang berlaku di Yunani Kuno. Yang
pertama, aliran yang didirikan oleh Cyrenaic, percaya bahwa "kebahagiaan
tubuh itu jauh lebih baik daripada kebahagiaan mental". Aliran yang kedua,
didirikan oleh Epicurus, percaya bahwa "kebahagiaan tubuh memang
bagus, tapi masih lebih bagus lagi kebahagiaan mental". Aliran yang
terakhir, sekaligus yang paling tidak populer, didirikan oleh Orpheus,
mengatakan bahwa "tubuh adalah kuburan bagi jiwa" (the body is the tomb
of the soul). Meskipun tak populer, aliran ini sangat mempengruhi filsuffilsuf utama seperti Phytagoras, Socrates, dan Plato.
23

Pemikiran Romawi tidak memandang tubuh dengan negatif. Sebagian


besar orang Romawi sangat percaya dengan astrologi dan memandang
tubuh dan jiwa adalah bagian dari kosmis. Kemudian tibalah jaman
Renaisans yang mengakhiri ide dasar bahwa "tubuh adalah musuh", dan
mulailah bergulir gagasan bahwa tubuh adalah sesuatu yang indah, bagus,
personal, privat, dan sekuler.
Pada abad ke-20, dengan berkembangnya ilmu kedokteran, antropologi,
dan psikologi, tubuh tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan atau yang
dianggap secara potensial berbahaya dan perlu selalu diawasi, tetapi tubuh
dianggap sebagai sesuatu untuk dinikmati, sesekali memang dapat "rusak",
tapi dengan cepat bisa segera disembuhkan atau diperbaiki.
Pada perkembangannya yang terakhir tubuh tidak lagi bisa dianggap
sebagai sekedar pemberian Tuhan, tetapi dianggap sebagai plastik dan
bionik, dengan alat pacu jantung, katup buatan, silikon, transplantasi mata
dan telinga, pendeknya sesuatu yang dapat dibentuk sesuai keinginan
manusia.
Antropologi: Titik Awal Studi Tubuh Modern
Tubuh manusia sudah jadi topik penting dalam kajian antropologi sejak
awal abad ke-19. Ada empat alasan yang bisa menjelaskan kenapa tubuh
menempati posisi penting dalam antropologi: 1) Pembahasan antropologi
filsafat tentang tema ontologi manusia. Tema ini otomatis menempatkan
perwujudan bentuk manusia dalam posisi sentral. 2) Asal-usul manusia
yang berasal dari spesies mamalia adalah pertanyaan penting dalam
antropologi. Apakah yang kemudian membatasi alam dan kebudayaan? 3)
Sejak masa Victoria telah berkembang telaah evolusi dalam antropologi
(darwinisme sosial), yang memberi kontribusi pada studi tubuh. 4) Karena
dalam masyarakat pramodern tubuh adalah penanda penting bagi status
sosial, posisi keluarga, umur, gender, dan hal-hal yang bersifat religius.
Abad baru, dengan pandangan tentang tubuh yang baru, membuat para
antropolog berhenti untuk melihat tubuh secara fisik dan mulai melihat
tubuh sebagai alat untuk menganalisa masyarakat.
Margaret Mead misalnya mengatakan bahwa pembedaan kepribadian dan
aturan-aturan dari 2 jenis seks yang berbeda itu diproduksi secara sosial.
Robert Hertz percaya bahwa pola pikiran masyarakat terefleksikan dalam
tubuh. Persoalan-persoalan kosmologi, gender, dan moralitas mewujud
menjadi persoalan-persoalan yang dialami tubuh. Tubuh fisik adalah juga
24

tubuh sosial (the physical body is also social). Menurut Marcel Mauss cara
untuk mengetahui peradaban manusia lain adalah dengan mengetahui
bagaimana masyarakat itu menggunakan tubuhnya. Tubuh adalah
instrumen yang paling natural dari manusia, yang dapat dipelajari dengan
cara yang berbeda sesuai dengan kultur masing-masing.

dan hubungan denga diri sendiri, yang pada gilirannya membagi tubuh
menjadi 4: the disciplined body, the mirroring body, the dominating body,
dan communicative body.

Studi Tubuh Modern

Bagi Michel Foucault tubuh selalu berarti tubuh yang patuh. Sumbangan
utamanya bagi studi tubuh adalah analisisnya tentang kekuasaan yang
bekerja dalam tubuh. Analisis utamanya adalah adanya kekuatan mekanis
dalam semua sektor masyarakat. Tubuh, waktu, kegiatan, tingkah laku,
seksualitas; semua sektor dan arena dari kehidupan sosial telah
dimekanisasikan. Ia mengatakan: jiwa (psyche, kesadaran, subyektivitas,
personalitas) adalah efek dan instrumen dari anatomi politik; jiwa adalah
penjara bagi tubuh; tapi pada akhirnya tubuh adalah instrumen negara.
Semua kegiatan fisik adalah ideologis: bagaimana seorang tentara berdiri,
gerak tubuh anak sekolah, bahkan model hubungan seksual.

Sebetulnya pada tahun 1970-an sudah mulai bermunculan buku-buku


kajian tentang tubuh, misalnya Touching karya Ashley Montagu (1971) atau
Social Aspects of the Human Body karya Ted Polhemus (1978). Tapi baru
pada tahun 1980-an studi tubuh mulai populer dan berkembang secara
sistematis.
Mary Douglas adalah orang pertama yang melihat tubuh sebagai suatu
sistem simbol. Dalam bukunya Purity and Danger (1966) ia mengatakan,
"Sebagaimana segala sesuatu melambangkan tubuh, demikian tubuh juga
adalah simbol bagi segala sesuatu". Dan dalam Natural Symbols (1970) ia
membagi tubuh menjadi dua: the self (individual body) dan the society (the
body politics). The body politics membentuk bagaimana tubuh itu secara
fisik dirasakan. Pengalaman fisik dari dari tubuh selalu dimodifikasi oleh
kategori-kategori sosial yang sudah diketahui, yang terdiri dari pandangan
tertentu dari masyarakat.
Nancy Scheper-Hughes dan Margaret Lock membedakan tubuh menjadi
tiga: tubuh sebagai suatu pengalaman pribadi, ubuh sebagai suatu simbol
natural yang melambangkan hubungan dengan alam masyarakat dan
kebudayaan, dan tubuh sebagai artefak kontrol sosial dan politik.
Bryan S Turner membuat skema permasalahan tubuh yang disebutnya
sebagai "geometri tubuh" (The Body and Society [1984]). Konsep Ini lebih
merupakan pemetaan persoalan tubuh 4 dimensi: 1) Kesinambungan
dalam waktu: masalah utamanya reproduksi. 2) Kesinambungan dalam
ruang: masalah utamanya adalah regulasi dan kontrol populasi, ini yang
sering disebut sebagi masalah "politik". 3) Ke-mampuan untuk menahan
hasrat: ini adalah persoalan internal tubuh. 4) Kemampuan
merepresentasikan tubuh kepada sesama, ini adalah masalah eksternal
tubuh.
Pemikiran Arthur W. Frank sedikit lebih kompleks ("For a Sociology of the
Body: An Analytical Review" [1991]). Menurutnya ada 4 masalah yang
berkaitan dengan tubuh yaitu: kontrol, hasrat, hubungan dengan sesama,
25

Michel Foucault: Bio-politics dan Bio-power

Foucault membuat 3 kategori analisis: 1) Force relations: kekuasaan dalam


formasinya yang lokal dan global dalam hukum, negara dan ideologi. 2)
The body: anatomi dan perwujudan kekuasaan dalam tingkah laku. 3) The
social body: perwujudan kolektif target kekuasaan, tubuh sebagai "spesies".
Politik tubuh (bio-politics) dijalankan untuk mempertahankan bio-power.
Bio-power dipertahankan dengan 2 metode: pendisiplinan dan kontrol
regulatif. Dalam pendisiplinan tubuh dianggap sebagai mesin yang harus
dioptimalkan kapabilitasnya, dibuat berguna dan patuh. Kontrol regulatif
meliputi politik populasi, kelahiran dan kematian, dan tingkat kesehatan.
Bio-power bertujuan untuk kesehatan, kesejahteraan, dan produktiitas. Dan
ia didukung dengan normalisasi (penciptaan kategori normal - tidak normal,
praktek kekuasaan dalam pengetahuan) oleh wacana ilmu pengetahuan
modern, terutama kedokteran, psikiatri, psikologi, dan kriminologi.
Banyak karya Foucault yang sangat fenomenal bagi studi tubuh: Madness
and Civilization (1961), The Birth of the Clinic (1973), Discipline and Punish
(1975), dan The History of Sexuality (1978), The Use of Pleasure (1985),
dan The Care of The Self (1986).
Tubuh dalam Kebudayaan Konsumen
Mike Featherstone mengelompokkan pembentukan tubuh atas dua
kategori: tubuh dalam dan tubuh luar ("The Body in Consumer Culture"
[1982]). Yang pertama berpusat pada pembentukan tubuh untuk
26

kepentingan kesehatan dan fungsi maksimal tubuh dalam hubungannya


dengan proses penuaan, sementara yang kedua berpusat pada tubuh
dalam hubungannya dengan ruang sosial (termasuk di dalamnya
pendisiplinan tubuh dan dimensi estetik tubuh).
Menurutnya dalam kebudayaan konsumen dua kategori itu berjalan secara
bersama: pembentukan tubuh dalam menjadi alat untuk meningkatkan
penampilan tubuh luar. Dalam kebudayaan konsumen tubuh diproklamirkan
sebagai wahana kesenangan, ia dibentuk berdasarkan hasrat dan
bertujuan untuk mencapai citra ideal: muda, sehat, bugar, dan menarik.
Persepsi tentang tubuh dalam kebudayaan konsumen didominasi oleh
meluasnya dandanan untuk citra visual (logika kebudayaan konsumen
adalah pemujaan pada konsumsi citra). Citra membuat orang lebih sadar
akan penampilan luar dan presentasi tubuh. Iklan dan Industri film adalah
kreator utama citra tersebut.

sangat mungkin berbeda dari mereka yang laki-laki. Laki-laki


membayangkan bahwa dengan merokok maka mereka bisa dianggap
sudah dewasa, tidak lagi anak kecil, dan bisa memasuki kelompok teman
sebaya sekaligus kelompok yang mempunyai ciri gaya tertentu, yaitu
merokok. Lain halnya dengan perempuan. Merokok dianggap bukan
sesuatu yang lumrah dan lazim dilakukan oleh perempuan, karenanya
perempuan yang merokok dianggap sebagai ciri khas yang akan
membedakan mereka dari perempuan-perempuan lain yang tidak merokok.
Pada beberapa kelompok masyarakat, perempuan perokok bahkan kerap
dihubungkan dengan stereotip buruk dan mendiskreditkanbukan
perempuan baik-baik, urakan dsb. Keberanian untuk merokok ini akhirnya
menjadi sesuatu yang membanggakan dan memuaskan, baik bagi laki-laki
maupun perempuan, karena para orang tua biasanya melarang anakanaknya untuk merokok dan memarahi mereka jika ketahuan merokok. Halhal di atas jugalah yang membuat pengalaman pertama merokok selalu
mengandung kesan-kesan heroisme tertentu.

Termuat di Newsletter KUNCI No. 1, Juli 1999

Tubuh yang Mendua


Oleh NURAINI JULIASTUTI

Saat ini tubuh telah memantapkan posisinya sebagai titik pusat diri. Ia
adalah medium yang paling tepat untuk mempromosikan dan
memvisualkan diri sendiri. Tubuh adalah bagian yang melekat pada diri
kita, sekaligus penyedia ruang-ruang tak terbatas untuk memamerkan
segala jenis bentuk identitas diri.
Tubuh juga bisa dikatakan sebagai suatu proyek besar bagi seseorang. Ia
terus menerus dibongkar-bongkar, ditata ulang, dikonstruksi dan
direkonstruksi, dieksplorasi secara besar-besaran: didandani, disakiti,
dibuat menderita atau didisiplinkan, untuk mencapai efek gaya tertentu dan
menciptakan cita rasa individualitas tertentu.
***
Merokok merupakan satu jenis pilihan aktivitas yang populer dilakukan
untuk memanfaatkan waktu senggang. Alasan-alasan yang menyebabkan
seseorang melakukan pilihan merokok dan membuat merokok menjadi
sesuatu yang menggairahkan bisa bermacam-macam dan bersifat pribadi.
Alasan-alasan untuk merokok yang dikemukakan perempuan misalnya,
27

Stephen Wearing dan Betsy Wearing (Leisure Studies 19 [1], 2000) melihat
merokok sebagai sebuah asesori fesyen pada budaya 1990-an dan dipakai
sebagai sumber identitas serta penghargaan diri seseorang, meskipun efek
jangka panjangnya berbahaya karena bisa menyebabkan berbagai
gangguan dan penyakit. Mereka menghubungkan merokok dengan
konsumsi yang menyolok (conspicuous consumption), fesyen, dan identitas
mengingat di masa pascamodern ini, representasi dan gambaran identitas
berdasar pada simbol-simbol yang kita pakai, barang-barang yang kita
kenakan, dan aktivitas-aktivitas yang kita lakukan, terutama aktivitasaktivitas yang sedang populer pada suatu masa tertentu.
Thorsthein Veblen mengajukan istilah conspicuous consumption (konsumsi
yang menyolok) untuk menunjuk barang-barang yang kita beli dan kita
pertontonkan kepada orang lain untuk menegaskan gengsi dan status kita
serta untuk menunjang gaya hidup di waktu senggang. Barang-barang
yang dibeli atau dikonsumsi biasanya berupa sesuatu yang tidak berguna,
yang kadang malah mengurangi gerak dan kenyamanan di tubuh
seseorang. Veblen juga mengajukan istilah pecuniary emulation
(penyamaan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan uang) dimana
golongan yang tidak masuk pada leisure class (lihat KUNCI edisi 4)
berusaha menyamai perolehan atau pemakaian benda-benda tertentu
dengan harapan bahwa mereka akan mencapai keadaan identitas manusia
yang secara intrinsik lebih kaya dari orang-orang lain.

28

Chris Rojek (Society and Leisure 20 [2], 1998) menggunakan teori Veblen
ini untuk menganalisa kegiatan merokok. Rojek mengamati penampilan
para bintang film, artis-artis populer, model, atlet-atlet olahraga, tidak
ketinggalan para bintang iklan rokok, sebagai figur-figur yang berpengaruh
ikut memberikan sumbangan stimulus untuk melakukan pekerjaan
merokok. Bintang-bintang iklan rokok biasanya ditampilkan dengan karakter
yang smooth, sedang berada dalam situasi santai, bermain kartu bersama
teman-teman, minum kopi, atau berada dalam suatu pesta yang ramai.
Produser film Titanic, Rae Sanchini, misalnya mengatakan bahwa
Leonardo DiCaprio digambarkan sebagai seseorang yang senang merokok
untuk mewakili karakter jiwa bebas seorang seniman. Sedangkan Kate
Winslet dalam film itu ditampilkan melakukan kegiatan merokok sebagai
perwujudan aksi pemberontakannya. Dan stimulus untuk merokok sebagian
terbentuk dari hasrat untuk menyamakan tipikal karakter dan pernyataanpernyataan simbolik berupa gambaran atraktif, kesuksesan, kegagahan,
popularitas, serta gaya hidup, yang muncul dari tokoh-tokoh pemimpin
berupa para bintang iklan, artis-artis, atau kaum selebritis yang disenangi.
Sementara itu, Simmel (1978) mengatakan bahwa ada hubungan yang erat
antara waktu senggang, fesyen, dan identitas. Untuk mengejar fesyen dan
gaya serta imej-imej yang mempesona, Simmel menangkap ketegangan
antara pembedaan dan peniruan yang merupakan kebutuhan untuk masuk
dalam satu grup sosial tertentu, sekaligus mengekspresikan individualitas
seseorang. Dengan demikian merokok dapat dianggap sebagai asesori
fesyen yang penuh daya pikat dan terkomodifikasi, dimana seseorang
dapat merasakan penegasan ciri individualitas sekaligus dukungan penuh
dari suatu grup sosial. Merokok adalah sebuah fesyen sekaligus sesuatu
yang fashionable. Menurut Simmel, menjadi fashionable artinya menjadi
seorang yang melebih-lebihkan dirinya dan dengan demikian membuat
identitasnya tampak begitu menonjol.

Safety pins merupakan simbol dari kaum punk. Ia adalah kombinasi dari
etos do-it-yourself dan sikap-sikap yang ekstrem. Anting-anting dikenakan
di telinga, lubang hidung, bibir, atau bisa juga berupa peniti-peniti yang
dipakai untuk menyambung celana atau pakaian yang sobek-sobek. Untuk
lagu single grup musik The Sex Pistol, God Save the Queen, desainer
grafis grup ini, Jamie Reid, membuat karya kolase fotografi Ratu Elizabeth
II yang sedang tersenyum dan mengenakan tindik di lubang hidungnya.
Gambar itu kemudian direproduksi di kaos-kaos dan kartu pos-kartu pos,
dan membuat safety pins menjadi gaya yang terkenal dimana-mana.
Hampir mirip dengan safety pins ini adalah nipple-piercing. Tindik jenis ini
banyak dipraktekkan oleh komunitas kaum gay, para penganut sado
masokisme, para pengikut fesyen pascapunk, dan para pemuja new age.
Film underground tahun 1980-an berjudul Robert Having his Nipple Pierced
ikut membantu publisitas praktek nipple-piercing ini. Pemasangan cincin,
anting-anting, atau semacam peniti di puting susu yang diikuti dengan
pemasangan di organ-organ seks primer dan sekunder ini dipercaya bisa
meningkatkan sensitivitas yang menyenangkan di area-area tersebut.
Tetapi di beberapa kasus, tindik juga dilakukan untuk memuaskan
keberanian dan mencapai kadar eksotisisme tertentu.

***

Tatto atau rajah adalah gambar atau simbol pada kulit tubuh yang diukir
dengan menggunakan alat sejenis jarum. Biasanya gambar dan simbol itu
dihias dengan pigmen berwarna-warni. Dulu, orang-orang masih
menggunakan teknik manual dan dari bahan-bahan tradisional untuk
membuat tato. Orang-orang Eskimo misalnya, memakai jarum dari tulang
binatang. Sekarang, orang-orang sudah memakai jarum dari besi, yang
kadang-kadang digerakkan dengan mesin untuk mengukir sebuah tatto.
Kuil-kuil Shaolin malah memakai gentong tembaga yang panas untuk
mencetak gambar naga pada kulit tubuh. Murid-murid Shaolin yang
dianggap memenuhi syarat untuk mendapatkan simbol itu kemudian
menempelkan kedua lengan mereka pada semacam cetakan gambar naga
yang ada di kedua sisi gentong tembaga panas itu.

Dari uraian di atas, kita bisa menarik sebuah sikap yang mendua terhadap
tubuh. Resiko-resiko merokok yang berbahaya bagi kesehatan tubuh tidak
pernah menjadi dasar pertimbangan utama untuk merokok. Contoh sikapsikap yang mendua terhadap tubuh ini juga tampak dalam aktivitas-aktivitas
dekorasi tubuh seperti tatto, tindik di puting susu (nipple piercing), atau
tindik di bagian-bagian tubuh lain, seperti telinga atau hidung (safety pins).
Semua aktivitas dekorasi tubuh atau penciptaan efek gaya tertentu pada
tubuh itu dilakukan dengan melukai atau menyakiti bagian-bagian tubuh. Di
Indonesia, baik nipple piercing maupun safety pins ini umumnya disebut
dengan tindik saja.

Di Indonesia sendiri pernah ada suatu masa ketika tatto dianggap sebagai
sesuatu yang buruk. Orang-orang yang memakai tatto dianggap identik
dengan penjahat, gali, dan orang nakal. Pokoknya golongan orang-orang
yang hidup di jalan dan selalu dianggap mengacau ketentraman
masyarakat. Anggapan negatif seperti ini secara tidak langsung mendapat
pengesahan ketika pada tahun 1980-an terjadi pembunuhan terhadap
ribuan orang gali dan penjahat kambuhan di berbagai kota di Indonesia.
Pembunuhan ini biasa disebut dengan Petrus, neologisme dari kata
penembak dan misterius. Tanggapan negatif masyarakat tentang tato dan
larangan memakai rajah atau tatto bagi penganut agama tertentu semakin

29

30

menyempurnakan imej tatto sebagai sesuatu yang dilarang, haram, dan


tidak boleh. Maka memakai tatto dianggap sama dengan memberontak.
Tetapi justru term pemberontakan yang melekat pada aktivitas dekorasi
tubuh inilah yang membuat gaya pemberontak ini populer dan dicari-cari
oleh anak muda. Hal ini juga terjadi dalam persoalan merokok. Sesuatu
yang dianggap berbeda, lain, dan serba kontras dari sesuatu yang biasabiasa saja, selalu punya kecenderungan besar untuk dilakukan banyak
orang. Di situ terdapat ambivalensi antara pemberontakan dan gaya.
Sesuatu yang dianggap berbahaya dan menyakitkan akan sekaligus
dianggap sebagai gaya dan ciri fesyen tertentu justru karena sifat-sifatnya
yang khas tersebut. Dan justru di sinilah pengotentikan identitas seseorang
itu berasal. Setiap orang punya kebutuhan untuk mengambil jarak dan
mengkonsumsi dirinya sendiri justru dari sisi-sisi yang dianggap
berseberangan dari orang lain, dan dengan demikian berusaha membuat
seragam diri yang otentik. Diatas semuanya, segala sikap mendua
terhadap tubuh tidak hanya rute untuk menuju status tertentu dimata orang
lain, tetapi juga pernyataan rasa subjektivitas seseorang.

Fesyen dan Identitas


Oleh NURAINI JULIASTUTI

Dalam masyarakat modern, semua manusia adalah performer. Setiap


orang diminta untuk bisa memainkan dan mengontrol peranan mereka
sendiri. Gaya pakaian, dandanan rambut, segala macam asesoris yang
menempel, selera musik, atau pilihan-pilihan kegiatan yang dilakukan,
adalah bagian dari pertunjukan identitas dan kepribadian diri. Kita bisa
memilih tipe-tipe kepribadian yang kita inginkan lewat contoh-contoh
kepribadian yang banyak beredar di sekitar kitabintang film, bintang iklan,
penyanyi, model, bermacam-macam tipe kelompok yang adaatau kita
bisa menciptakan sendiri gaya kepribadian yang unik, yang berbeda,
bahkan jika perlu yang belum pernah digunakan oleh orang lain.
Anthony Synott (1993) berhasil memberikan penjelasan yang bagus
tentang rambut. Dalam beberapa hal, rambut tidak sekedar berarti simbol
seks penanda laki-laki dan perempuan. Ia juga simbol gerakan politik
kebudayaan tertentu. Menurutnya, model rambut yang berbeda
menandakan model ideologi yang berbeda pula. Tahun 50-an yang
membawa iklim pertumbuhan dan kemakmuran di Amerika ikut
menghembuskan kebebasan ekspresi individual baru termasuk jenis model
rambut baru. Model rambut yang dibentuk menyerupai ekor bebek menjadi
sangat populer saat itu. Tokoh-tokoh utama jenis rambut ini adalah Elvis
31

Presley dan Tony Curtis. Setelah itu berlangsunglah era model rambut
beatnik look yang dipelopori oleh James Dean dan Marlon Brando.
Rambut Panjang vs Rambut Pendek
The Hippies yang populer pada tahun 60-an, tidak hanya dikenal berkat
gerakan-gerakan protesnya menentang norma-norma seksual yang puritan,
etika protestan, gerakan-gerakan mahasiswa menentang perang, anti
senjata nuklir, anti masyarakat yang fasis, militeris, birokratis, tidak
manusiawi dan tidak natural, tetapi juga mendunia lewat simbol-simbol
yang dikenakannya. Kalung manik-manik, celana jins, kaftanjubah
longgar sepanjang betisyang pada awalnya merupakan pakaian
tradisional Turki, sandal, jaket dan mantel yang dijahit dan disulam sendiri,
untuk membedakan mereka dengan golongan orang-orang yang memakai
setelan resmi dan berdasi. Kaftan banyak digunakan sebagai pakaian khas
orang-orang hippies karena jenis pakaian ini biasanya berharga murah,
sehingga tidak berkesan borjuis, dan membebaskan pemakainya dari
kungkungan kerah, kancing dan ikat pinggang yang ketat. Dan simbol yang
paling mencolok adalah rambut mereka yang panjang dan lurus. Rambutrambut yang natural, tanpa cat, tanpa alat pengeriting, tanpa dihiasi dengan
pernik-pernik apapun, tanpa wig. Kaum laki-laki hippies juga memelihara
rambut panjang, lengkap dengan janggut dan kumis yang dibiarkan tumbuh
lebat tanpa dipotong. Ini yang membedakan mereka dari golongan orang
tua mereka. Sepuluh tahun kemudian gaya hippies yang pada awalnya
tumbuh untuk menentang kemapanan ini mendapat serangan dari
golongan The Skinheads .
Sama halnya dengan kaum hippies, orang-orang skinheads juga
menentang kemapanan meskipun dengan alasan yang berbeda. Awalnya,
skinheads adalah term slang untuk menunjuk pada orang-orang yang botak
dan gundul. Kaum skinheads biasanya berasal dari kelas pekerja.
Skinheads khususnya ditujukan untuk menentang golongan mahasiswa
kelas menengah yang berambut panjang, orang-orang Asia dan kaum gay.
Skinheads membenci orang-orang hippies, khususnya kaum laki-laki
hippies. Mereka sering mengolok-olok kaum laki-laki hippies sebagai orang
yang keperempuan-perempuanan dan aneh: dengan dandanan rambut
panjang, pakaian bermotif bunga-bunga, manik-manik, dan sandal, sering
membagi-bagikan bunga kepada polisi saat demonstrasi, pasif, malas, dan
lemah. Pada awal kemunculannya di tahun 1968 dan 1969 sampai tahun
1970-an awal, skinheads biasanya memakai celana jins pudar yang
digulung sampai di atas pergelangan kaki, sepatu militer jenis boover boots
atau sepatu boot kulit merek Dr. Marten, t-shirt yang memamerkan slogan
afiliasi gerakan politik atau organisasi sepak bola tertentu, jaket yang
32

bertuliskan skins' di belakangnya, dan rambut yang dicukur sangat pendek.


Beberapa orang skinheads yang mengenakan sepatu boover boot memang
pernah bergabung dengan kesatuan militer, sementara beberapa pemakai
yang lain memakainya dengan alasan supaya bisa menendang lebih kuat.
Dengan ciri sepatu jenis inilah maka mereka juga mendapat julukan boover
boys . Perempuan skinheads juga mengenakan dandanan yang sama,
hanya saja biasanya mereka menyisakan sedikit kuncir rambut di bagian
belakang dan samping.
Pada tahun 1975 muncullah kaum punk . Penampilan kaum punk ini
seringkali dikacaukan dengan kaum skinheads. Term punk sendiri adalah
bahasa slang untuk menyebut penjahat atau perusak. Sama seperti para
pendahulunya, kaum punk juga menyatakan dirinya lewat dandanan
pakaian dan rambut yang berbeda. Orang-orang punk menyatakan dirinya
sebagai golongan yang anti-fashion, dengan semangat dan etos kerja
semuanya dikerjakan sendiri' ( do-it-yourself ) yang tinggi. Ciri khas dari
punk adalah celana jins sobek-sobek, peniti cantel ( safety pins ) yang
dicantelkan atau dikenakan di telinga, pipi, asesoris lain seperti swastika,
salib, kalung anjing, dan model rambut spike-top dan mohican . Model
rambut spike-top atau model rambut yang dibentuk menyerupai paku-paku
berduri adalah model rambut standar kaum punk. Sementara model rambut
mohican atau biasa disebut dengan mohawk yaitu model rambut yang
menggabungkan gaya spike-top dengan cukuran di bagian belakang dan
samping untuk menghasilkan efek bentuk bulu-bulu yang tinggi atau
sekumpulan kerucut, hanya dipakai oleh sedikit penganut punk. Kadangkadang mereka mengecat rambutnya dengan warna-warna cerah seperti
hijau menyala, pink, ungu, dan oranye.
Fesyen dan Kesenangan
Gaya casuals dipelopori oleh kelompok anak muda kalangan atas yang
mempunyai tingkat pekerjaan dan pendidikan lebih tinggi sebagai lawan
dari kalangan skinheads yang biasanya berada dalam posisi sosial kurang
menguntungkan. Mereka biasanya mengenakan setelan pakaian santai
atau pakaian sports yang bermerk mahal. Basis pakaian para
perempuannya adalah pakaian laki-laki seperti cardigans atau celana
pantalon.
Suatu jenis gaya atau kelompok yang juga memainkan peranan penting
dalam kebudayaan anak-anak muda adalah rockers . Kelompok rockers ini
biasanya dijuluki juga sebagai leather boys karena ciri khasnya memakai
jaket kulit, celana jins ketat, rambut panjang, asesoris serba metal, pemuja
33

fanatik musik rock, dan di awal kemunculannya kerap diidentikkan dengan


sepeda motor besar. Penampilan mereka yang tampak liar dan keras ini
tentu saja secara substansial sangat berbeda dengan penampilan para
teddy boy yang sangat dandy dan flamboyan: sepatu kulit mengkilap serta
jas dan blazer yang rapi.
Semua hal yang telah dipertontonkan lewat tubuh: gaya pakaian, gaya
rambut, serta asesoris pelengkapnya, lebih dari sekedar demonstrasi
penampilan, melainkan demonstrasi ideologi. Sekaligus menunjukkan
kepada kita bahwa globalisasi berperanan besar dalam penyebaran gaya
ke seluruh dunia meskipun tidak dalam waktu yang bersamaan. Globalisasi
beserta seluruh perangkat penyebarannya, televisi, majalah, dan bentukbentuk media massa yang lain, juga menyebabkan peniruan gaya yang
sama, tetapi dengan kesadaran yang samasekali berbeda dengan konteks
sejarah awalnya. Jadi, para anak muda yang mengenakan dandanan serba
punk di Indonesia ini sangat mungkin diilhami oleh sesuatu yang sangat
berbeda dengan generasi punk pendahulu mereka di negara asalnya.
Sampai tahap ini, kita bisa melihat adanya hubungan yang kompleks antara
tubuh, fesyen, gaya dan penampilan, serta identitas kepribadian yang ingin
dikukuhkan oleh seseorang. Pembentukan identitas bukan persoalan
sederhana. Ia tidak pernah bergerak secara otonom atau berjalan atas
inisiatif diri sendiri, tapi dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang
beroperasi bersama-sama. Faktor-faktor tersebut bisa diidentifikasi sebagai
kreativitas, bahwa semua orang diwajibkan untuk kreatif supaya tampak
berbeda dan dianggap berbeda pula. Kemudian ada faktor pengaruh
ideologi kelompok dan tekanan teman sepermainan sebaya. Di sini,
persoalan merek sepatu atau jenis pakaian bisa jadi persoalan besar
karena ikut menentukan apakah seseorang dianggap memenuhi syarat
untuk dimasukkan dalam kelompok tertentu atau tidak. Faktor-faktor lainnya
adalah status sosial, bombardir iklan-iklan media, serta unsur kesenangan (
pleasure dan fun ). Unsur kesenangan ini bisa dipakai untuk menjelaskan
dan memahami kelompok anak muda yang mengadopsi, mengkonsumsi
atau mencampurkan berbagai macam gaya dengan tanpa referensi jelas
terhadap makna asalnya. Gaya menjadi kolase-kolase. Hanya penampilan
semata. Hanya fashion. Tetapi hal ini tidak berarti mereduksi gaya menjadi
sesuatu yang tidak bermakna. Berakhirnya otentisitas bukan berarti
kematian makna. Kolase, peniruan-peniruan, kombinasi, ambil sana-ambil
sini, ikut membentuk lahirnya makna-makna baru.
Termuat di Newsletter KUNCI No. 6-7, Mei-Juni 2000

34

Subkultur; Yang Melawan, yang Terkomodifikasi


Oleh: EDNA C PATTISINA

Berbicara tentang musik dan remaja, hampir selalu akan bertemu dengan
apa yang disebut subkul- tursatu istilah, katakanlah sikap untuk
mengambil posisi alternatif dari arus utama. Hanya saja, subkultur ini pada
gilirannya dicaplok industri juga sebagai dagangan.
Apa yang terjadi di Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya (FIB)
Universitas Indonesia, Rabu (12/4), bisa sedikit menyibak hal ini. Awalnya,
acara diskusi berjudul "Music, Words, Images and Identity: Youth Rebellion
and The Politics of Sub-Culture in Rock- Film", yang merupakan kerja sama
dengan British Council, berjalan datar. Dua sutradaraUpi Avianto
(Realita, Cinta, dan Rock n Roll) dan Agung Sentausa (Garasi)bersama
dua pemusik, Jimi Multhazam (The Upstairs) dan Malvin Tambunan (In Ska
We Trust), serta wartawan Junior Eka Putro (Hai) memaparkan sudut
pandang masing-masing tentang tema di atas.
Upi, misalnya, menyebutkan kalau film Realita, Cinta, dan Rock n Roll tidak
bisa dikategorikan film musik seperti film Quadrophenia yang diputar
sebelum diskusi. Film Quadrophenia yang berlatar Inggris di era tahun
1950-an bercerita tentang persaingan dua kelompok anak muda. "Kalau
film saya itu film keluarga, semangat rock hanya saya pakai untuk
menunjukkan betapa dua tokoh remaja dalam film ini sangat menentang
segala aturan yang ada," kata Upi.
Junaidi, dosen Cultural Studies FIB yang menjadi moderator, lalu memandu
diskusi masuk ke acara tanya jawab. Suasana memanas. "Anda tidak
mengerti dengan apa yang Anda filmkan. Yang saya tonton adalah sebuah
hyperreality yang hanya memunculkan mitos-mitos dan sekadar
menggunakan logika kapital saja," seru Arok yang mengaku mewakili
komunitas punk ini.
Setelah Arok, muncul Liga, yang mengatasnamakan kelompok skin head.
Ia mempertanyakan kesahihan diskusi itu karena menurut dia narasumber
yang ada tidak kompeten. "Bagi Anda-anda, ini sekadar joke, tapi bagi
kami, ini jalan hidup, bahkan lebih penting dari agama. Jangan cuma baca
buku tentang skin head dan punk, lalu Anda kira sudah tahu semua," kata
Liga.

35

Arok sendiri menolak untuk diwawancara. Alasannya, kelompoknya punya


bentuk media sendiri. "Maaf, saya tidak mau diwawancara yang semuanya
sudah kapitalistik. Kalau saya mau diwawancara, berarti saya mendukung
kapitalis," kata pemuda yang mengaku mahasiswa Sosiologi UI angkatan
2001 ini.
Secara kasatmata, komunitas ini memakai simbol-simbol yang jelas dari
segi penampilan, seperti busana dan gaya rambut. Liga, misalnya, identitas
skin head-nya terlihat tidak saja dari kepala yang plontos, tetapi juga jaket
jins, celana jins ketat, dan sepatu bot Doc Mart yang harganya lebih dari Rp
1 juta.
Sejatinya, subkultur sarat dengan simbol-simbol, selain ideologi yang
mendasari pergerakannya. Namun, belakangan simbol-simbol ini dengan
sigap diraih industri. Pangsa pasarnya, yang sebagian besar remaja,
berkaitan dengan proses pencarian identitas ini pun dijejali dengan ikonikon subkultur yang sekadar menjadi aksesori belaka. Hal ini sebenarnya
bukan hal yang sama sekali baru. Seperti film Absolute Beginners karya
Julien Temple memotret bahwa pada akhir tahun 1950-an di Inggris,
setelah perang usai beberapa tahun, remaja mulai ingin tampil beda. Sejak
saat itulah mereka dipandang sebagai kelas usia tertentu, yaitu "teenagers"
yang merupakan pangsa pasar yang juga butuh penggarapan khusus.
Contoh paling klasik adalah komunitas punk di Inggris yang hadir sebagai
bentuk dari perlawanan kelas pekerja terhadap kelas pemilik modal. Salah
satu ikonnya, Sex Pistols misalnya, pada era tahun 1970-an kerap
membuat pernyataan politik yang keras dan satir sebagai bentuk
perlawanannya kepada materialisme. Lirik-lirik lagunya kerap membuat
kaget dan merah kuping para kaum konservatif di negara ini.
Walaupun demikian, pada kenyataannya, kelompok ini pun menjadi
penyumbang poundsterling yang cukup besar kepada beberapa label
rekaman besar yang pernah menaunginya. Pengaruh perlawanan mereka
eksis di kelompok-kelompok seperti Rancid, bahkan Oasis, namun pada
kenyataannya kehadiran Sex Pistols yang sarat dengan ideologi punk
akhirnya menjadi sebuah komoditas yang dilahap industri musik juga.
"Nah, kalau di sini ada komunitas yang menyatakan diri di luar mainstream,
pertanyaannya lalu, apa yang mau mereka tuju, atau sekadar fun saja,"
kata Junaidi, sebagai moderator. Ia menilai, kehadiran Arok dan Liga
sebagai bentuk pernyataan bahwa mereka ingin didengar juga.
36

Seiring dengan kemenangan kapitalisme, kehadiran kelompok-kelompok


tersebut malah dipakai dan diadopsi oleh industri. Di tataran produsen,
kelompok ini merupakan salah satu jenis aliran musik yang lalu bisa dijual
beserta segala aksesori yang menyertainya.
Tidak sedikit sesuatu yang dianggap sebagai subkultur kemudian harus
terisap masuk ke dalam industri itu sendiri. Sebut saja musik hip hop
hingga pesta-pesta rave yang sekarang musim, yang tadinya menjadi
kebanggaan kaum muda sebagai identitasnya yang unik dan berbeda,
namun kemudian diambil oleh industri sebagai sesuatu komoditas.
Pasarnya siapa? Ya, yang melawan itu....
https://www.kompas.com/kompas-cetak/0604/16/utama/2587801.htm
Minggu, 16 April 2006

Menjadi Modern dengan Kaos


Oleh ANTARIKSA

Dibanding jenis pakaian lainnya, sejarah kaos oblong [1] sebenarnya


belumlah terlalu panjang. Kemungkinan besar kaos baru muncul antara
akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Kaos berbahan katun biasanya
dipakai oleh tentara Eropa sebagai pakaian dalam (di balik seragam), yang
fleksibel dan bisa dipakai sebagai pakaian luar jika mereka beristirahat di
udara siang yang panas. Istilah "T-Shirt" (metafor yang mungkin diambil
berdasar bentuknya) baru muncul di Merriam-Webster's Dictionary pada
1920, dan baru pada Perang Dunia II ia menjadi perlengkapan standar
dalam pakaian militer di Eropa dan Amerika Serikat (T-Shirt King).
Kaos oblong mulai dikenal di seluruh dunia lewat John Wayne, Marlon
Brando dan James Dean yang memakai pakain dalam tersebut untuk
pakain luar dalam film-film mereka. Dalam A Streetcar Named Desire
(1951) Marlon Brando membuat gadis-gadis histeris dengan kaos
oblongnya yang sobek dan membiarkan bahunya terbuka. Dan puncaknya
adalah ketika James Dean mengenakan kaos oblong sebagai simbol
pemberontakan kaum muda dalam Rebel Without A Cause (1955) (CullumSwan dan Manning, 1990). Teknologi screenprint di atas kaos katun baru
dimulai awal "60-an dan setelah itu barulah bermunculan berbagai bentuk
kaos baru, seperti tank top , muscle shirt , scoop neck , v-neck dsb.
37

Fashion, Kaos, dan Komunikasi


Meski sudah mulai mendunia sejak "50-an, konvensi mode dunia tetap saja
belum memasukkan kaos ke dalam kategori fashion . Kaos tetap saja
dianggap sebagai pakaian dalam yang tidak pantas dikenakan sebagai
pakaian luar. Memakai kaos masih juga dianggap sebagai tindakan yang
unfashion. Karena itu pada masa musik heavy metal mulai digemari
kalangan muda, mereka ini sengaja memilih seragam kaos oblong sebagai
bentuk penolakan terhadap konvensi arus utama mode dunia ( high fashion
) (McRobbie, 1999). Menyobek beberapa bagian dari kaos oblong bahkan
merupakan bagian dari gaya subkultur punk. Bagi mereka ini bentuk
fashion adalah unfashion (Hebdige, 1999).
Perubahan dalam bahan dan teknologi produksi kaos turut berperan dalam
perubahan makna kaos dalam kehidupan sosial. Ditemukannya polyester
dan bahan-bahan fiber artifisial, bersamaan dengan diperkenalkannya
bahan drip-dry untuk pembuatan pakaian, penambahan variasi warna, gaya
dan tekstur, membuat kaos semakin diterima sebagai pakaian luar. Meski
begitu, dalam diferensiasi sistem fashion, hingga sekarang kaos masih
digolongkan dalam kategori low fashion ( unfashion? ). [2] Berbeda dengan
produk high fashion yang didesain dan dibuat secara khusus untuk orangorang khusus, hampir semua kaos merupakan low fashion yang didesain
untuk tujuan diproduksi secara massal. [3]
Variasi kaos sebagai pakaian luar sekarang ini sangat beragam. Kaos
diproduksi baik dalam warna-warna primer maupun dalam kombinasi yang
lebih kompleks, beberapa di antaranya dilengkapi dengan saku untuk
menyimpan alat tulis, rokok, atau benda kecil lainnya. Dengan begitu kaos
tidak hanya dipakai oleh kalangan muda, laki-laki, atau mereka yang
berasal dari golongan bawah saja, tetapi juga dipakai oleh siapa saja. Kita
juga melihat kaos dipakai dalam berbagai aktivitas, dari bekerja hingga
mengisi waktu senggang, seperti jalan-jalan di pusat pertokoan atau
bermain golf.
Kaos oblong sekarang ini juga telah menjadi wahana tanda. Kaos,
sebagaimana pakaian lainnya, membawa pesan dalam sebuah "teks
terbuka" di mana pembaca atau penonton bisa menginterpretasikannya.
Berbagai bentuk, gambar, atau kata-kata dalam kaos merupakan pesan
akan pengalaman, perilaku dan status sosial. Kaos oblong
mengkomunikasikan berbagai lokasi atau identitas sosial: tempat (HRC,
Borobudur, Bali, Yogyakarta), bisnis (Coca Cola, Yamaha, Suzuki), institusi
(UGM, UI, ITB, De Britto). Kaos oblong lainnya mengkomunikasikan
38

kelompok atau kolektivitas (Canissi Seminarium, Pro Iustisia), tim (MU,


Inter Milan), konser atau acara kesenian (Jakjazz, Pameran AWAS!),
komoditas yang dianggap bernilai (VW, Harley Davidson), pengalaman
ceremonial (KKN UGM 2000), sementara banyak juga yang
mengkomunikasikan slogan (Awas Pemilu 97 Curang, kaos-kaos Dagadu,
Joger).
Betapapun klaim atas identitas atau status dalam kaos oblong ini bersifat
ambigu, dalam terminologi Umberto Eco (1979), representasinya selalu
bersifat undercoded , ia berhubungan secara synecdochical (satu bagian
dari kaos mewakili keseluruhan pribadi seseorang) dengan pengalaman,
relasi sosial, nilai, atau status yang diklaim secara eksplisit atau implisit
oleh pemakainya. Pesan yang disampaikan dalam kaos bukanlah sekedar
tentang tempat, kelompok, atau bisnis, tetapi klaim atas status pemakainya.
Seorang pemakai kaos oblong Dagadu misalnya, bukan sekedar
menyampaikan pesan bahwa kaos oblong yang dipakainya adalah buatan
Yogyakarta, melainkan juga mau mengumumkan sebuah pengalaman yang
menurut pemakainya cukup penting (ia seperti mau mengatakan,"Mari saya
beritahu pengalaman saya jalan-jalan di Yogya"). [4]
Tetapi sekarang ini kaos oblong juga dipakai untuk mengkomunikasikan
apa yang bukan bagian dari identitas seseorang. Misalnya, saya pernah
melihat seorang ibu muda yang sedang berjalan mengandeng anaknya. Si
ibu ini memakai kaos dengan tulisan "BITCH" di bagian depannya. Apakah
si ibu ini tidak mengerti bahasa Inggris atau penguasaan bahasa Inggrisnya
pas-pasan, sampai ia tidak mengerti bahwa bitch (anjing betina) adalah
umpatan yang sangat kasar yang biasa dipakai untuk menyebut wanita
jalang? Apalagi waktu itu ia sedang menggandeng anaknya. Bukankah si
anak ini menjadi cocok dengan umpatan lainnya, son of a bitch ?
Seandainya si ibu ini cukup mengerti bahasa Inggris, tentu yang mau
dikomunikasikannya adalah "saya bukan bitch ". Ini semacam pendifinisian
double negative, di mana seseorang mengklaim (secara ragu-ragu)
keanggotaan pada kelompok tertentu yang tidak eksis. Si ibu tadi
mengklaim keanggotannya pada kelompok "perempuan/ibu yang baik"
tanpa menghadirkan kelompok yang diklaimnya ini. Hal yang sama juga
terjadi pada kasus salah satu teman saya yang memakai kaos bergambar
logo Golkar untuk menunjukkan pengejekannya pada Golkar atau untuk
mengatakan bahwa ia bukan simpatisan Golkar.
Dengan semakin tumbuhnya industri periklanan, kaos merupakan bilboards
mini yang cukup efektif untuk mengkomunikasikan sebuah produk,
sebagaimana mengkomunikasikan diri atau identitas. Seringkali kaos
dijadikan iklan berjalan yang oleh pengiklan kadang-kadang dibagikan
39

secara gratis. Di Indonesia, adalah hal yang biasa banyak orang berebut
mendapatkan pembagian kaos dari OPP pada saat Pemilu (tak jarang juga
disertai pembagian "amplop"). Perusahaan-perusahaan sekarang ini juga
membuat kaos dengan nama atau logo perusahaan yang tertera di atasnya
(Coca Cola, Reebok, Nike, Wilson), dan menjualnya di toko-toko sebagai
pakaian produksi massal yang siap pakai. Bagi sejumlah besar
pemakainya, tentu memakai kaos oblong tidak dimaksudkan sebagai iklan,
melainkan sebagai indikasi status dan pendapatan pemakainya, loyalitas
atau kepercayaan pada satu produk. Ia juga merupakan suatu bagian dari
identitas diri, "Saya adalah penggemar Coca Cola", "Seperti Michael
Jordan, saya memakai Nike (bagaimana dengan Anda?)". [5]
Kaos-kaos buatan perusahaan tertentu dianggap mewakili gaya hidup atau
selera yang khas, selain sekaligus si pemakai mengiklankan perusahaan
pembuatnya. Misalnya kaos bermerek Benetton, Ralph Lauren atau Calvin
Klein. Simbol-simbol tertentu pada kaos, seperti buaya kecil atau kuda poni
dan pemain polo kecil (dan berbagai variannya), juga sangat penting.
Simbol-simbol ini bukan hanya menunjukkan status pemakainya yang
mampu mengkonsumsi pakaian buatan desainer mahal, tetapi juga status
dalam sistem fashion itu sendiri (ketika kelompok desainer Parisian juga
memproduksi kaos, apakah kaos menjadi high fashion ?).
Kaos dan Kehidupan Modern
Lebih dari jenis pakaian yang lain, sejarah kaos bukan saja menunjukkan
cepatnya perubahan teknologi dalam industri garmen, melainkan juga
menunjukkan bagaimana fashion bernegosiasi dengan ruang dan waktu.
Kaos semula hanya diakui sebagai pakaian dalam. Dan dalam kaitannya
dengan pola penempatan ruang, sebagai pakaian dalam kaos adalah
pakaian privat . Tetapi kemudian dengan negosiasi lewat media massa dan
penemuan bahan serta model-model baru, kaos perlahan mulai tampil
sebagai pakaian publik. Karena itu, sejalan dengan kecenderungan
kehidupan modern, perjalanan kaos dari ruang privat ke ruang publik ini
merupakan ekspansi ruang privat atas ruang publik (privatisasi ruang
publik). Sementara dalam kaitannya dengan pola pemanfaatan waktu, kaos
menunjukkan bagaimana waktu senggang semakin berhasil mengekspansi
waktu yang lain dalam kehidupan sehari-hari. Kaos bisa dilihat sebagai
bagian dari leisure class , yang menunjukkan statusnya dengan
pemanfaatan waktu senggang sebesar-besarnya (Rojek, 2000). [6]

40

Persis seperti semboyan kaos oblong Dagadu " Smart and Smile ", kaos
oblong mengajarkan bagaimana hidup modern harus dijalani:
berpenampilan cerdas, ringkas, tangkas, sekaligus santai. Hidup dengan
segala tetek-bengeknya yang rumit ternyata tidak harus dijalani dengan
rumit pula, melainkan bisa dijalani dengan "seperlunya dan santai". Dalam
perspektif ini, papan pengumuman di kampus-kampus yang berbunyi
"Dilarang memakai kaos dan sandal" adalah warisan dari kehidupan masa
lalu yang "serius" dan sebentuk "pendisiplinan gaya", yang tidak lagi cocok
dengan semangat smart and smile . Karena itu mahasiswa tetap saja
berkaos oblong di kampus, pertama-tama bukan untuk menunjukkan
perlawanan langsung mereka kepada aturan hidup yang lama, melainkan
untuk menunjukkan bahwa diri mereka sendirilah yang paling berhak atas
penampilannya. Dan bagaimana mereka harus berpenampilan, salah
satunya ditentukan oleh resepsi mereka terhadap media massa, yang juga
mengajarkan smart and smile (misalnya semboyan iklan telepon genggam
Nokia seri 3210, "Begitu kecil, begitu cerdas"). Jadi hidup modern dijalani
dengan semangat mengisi waktu senggang. Inilah yang disebut estetikasi
kehidupan sehari-hari yang mencirikan kehidupan modern (di mana "yang
etis" bergeser menjadi "yang estetis"). Semangat kehidupan modern
sebenarnya adalah semangat kaos oblong.

wahana tanda ( sign vehicle ) pada kaos menyampaikan koherensi dan integritas
representasional yang ambigu.
[5] Rojek (2000) memberikan gambaran yang rinci bagaimana selebritis menjadi kaya raya
karena mengiklankan berbagai produk industri pakaian. Dan mereka ini pada gilirannya akan
menjadi salah satu agen pencipta fashion yang sangat penting.
[6] Sisi lain dari hal ini adalah kaos juga merupakan komoditas dalam budaya konsumen yang
keberadaanya tidak bisa dilepaskan dari leisure class . Ajidarma (2001) mengaitkan kaos
dengan budaya pop yang selalu bergelut dengan pasar.

Referensi

Catatan

[1] Dalam tulisan ini saya memakai kata kaos oblong dan kaos secara bergantian, keduanya
menunjuk pada kata dalam bahasa Inggris t-shirt .
[2] Betsy Cullum-Swan dan P.K. Manning (1990) membuat diferensiasi fashion dengan lebih
rinci, yang terdiri dari high fashion , mass fashion , dan vulgar fashion . Yang termasuk dalam
high fashion adalah pakaian yang didesain secara khusus untuk orang-orang khusus dan
dijual di outlet-outlet khusus. Dalam kecenderungan fashion dunia sekarang ini high fashion
tidak bisa dilepaskan dari keberadaan para desainer profesional, utamanya yang biasa disebut
sebagai desainer Parisian. Mass fashion di sisi lain lebih merupakan sebuah sistem mencipta,
mendistribusikan, dan menjual salinan dari pakain karya para desainer. Sementara vulgar
fashion merupakan pakaian yang diciptakan lewat produksi massal dari salinan mass fashion
"selang beberapa waktu setelah sebuah produk mass fashion beredar di pasaran. Untuk
diskusi ini, saya menyederhanakan diferensiasi ini menjadi dua bentuk saja, high fashion dan
low fashion. Yang terakhir ini merupakan penggabungan dari mass fashion dan vulgar fashion
.
[3] Karena itu pameran "Art on T-Shirt""yang disertai dengan penjualan secara terbatas kaos
yang dipamerkan"bisa dilihat sebagi usaha menaikkan gengsi kaos atau usaha untuk
memasukkan kaos ke dalam high fashion .
[4] Bagaimana pesan dalam kaos sampai ke pembaca/penonton adalah persoalan lain lagi.
Untuk bisa dikatakan berhasil, klaim atas status atau identitas dalam pesan membutuhkan
legitimasi dari pembaca/pentonton. Adalah tidak mungkin membuat interpretasi atasnya hanya
berdasar pada kaos itu sendiri (klaim pemakainya). Setiap pesan dalam kaos sebenarnya
sangat samar-samar ( equivocal ) dan pembaca/penonton mungkin tidak percaya dengan
pesan-pesan itu. Bisa diselidiki lagi, apakah kaos bisa dijadikan alat manipulasi simbol status?
(seperti kaos "Karl Marx, Since 1867" dalam pameran ini atau kaos-kaos bergambar Che
Guevara), apa yang diklaim dan siapa yang mengklaim? Dengan kata lain, tanda ( sign ) dan
41

Ajidarma, Seno Gumira, 2001, "Djokdja Tertawa, Disain Kaos Oblong DAGADU",
Bernas , 12 Januari 2001.
Cullum-Swan, Betsy dan P.K. Manning, 1990, "Codes, Chronotypes and Everyday
Objects", makalah disampaikan dalam konferensi The Socio-semiotics of objects: the
role of artifacts in social symbolic process, 20-22 Juni 1990, University of Toronto.
Tersediadi: http://sun.soci.niu.edu/~sssi/papers/pkm1.txt
Eco, Umberto, 1979, Theory of Semiotics , Indiana: University of Indiana Press.
Hebdige, Dick, 1999 (1979), Subculture, The Meaning of Style , London & New York:
Routledge.
McRobbie, Angela, 1999, In the Culture Society, Art, Fashion and Popular Music ,
London & New York: Routledge.
Rojek, Chris, 2000, "Leisure and rich today: Veblen"s thesis after a century", Leisure
Studies 19 (2000), hal. 1-15.
T-Shirt King, "History of American T-Shirt". Tersedia di: http://www.tshirtking.net/history_of_t-shirts.html

Makalah ini disampaikan sebagai pengantar diskusi "Art on T-Shirt", Bentara Budaya
Yogyakarta, 13 Januari 2001. Versi pendek tulisan initermuat di KOMPAS, 28 Januari 2001.

Remaja, Gaya, Selera


Oleh ANTARIKSA

Dalam ilmu-ilmu sosial, studi atas remaja pertama kali dilakukan oleh
sosiolog Talcott Parsons pada awal 1940-an. Berbeda dengan anggapan
umum bahwa remaja adalah kategori yang bersifat alamiah dan dibatasi
secara biologis oleh usia, menurut Parsons remaja adalah sebuah sebuah
konstruksi sosial yang terus-menerus berubah sesuai dengan waktu dan
tempat (Barker 2000).
Para pemikir kajian budaya juga berpendapat konsep remaja bukanlah
sebuah kategori biologis yang bermakna universal dan tetap. Remaja,
42

sebagai usia dan sebagai masa transisi, tidak mempunyai karakteristikkarakteristik umum. Karena itu pertanyaan-pertanyaan yang akan selalu
muncul adalah: secara biologis, kapan masa remaja dimulai dan berakhir?
Apakah semua orang yang berumur 17 tahun sama secara biologis dan
secara kultural? Kenapa remaja di Jakarta, Singapura, dan London tampak
berbeda? dsb.
Remaja adalah sebuah konsep yang bersifat ambigu. Kadang bersifat legal
dan kadang tidak. Di Indonesia misalnya, ukuran kapan seseorang boleh
mulai melakukan hubungan seks, ukuran kapan seseorang boleh menikah,
dan ukuran kapan seseorang boleh berpartisipasi dalam Pemilihan Umum
sangatlah berbeda. Dalam studinya tentang batas-batas kedewasaan di
Inggris, A. James (1986) mengatakan bahwa batas usia fisik telah diperluas
sebagai batas definisi dan batas kontrol sosial. Sementara bagi Grossberg
(1992) yang menjadi persoalan adalah bagaimana kategori remaja yang
ambigu itu diartikulasikan dalam wacana-wacana lain, misalnya musik,
gaya, kekuasaan, harapan, masa depan dsb. Jika orang-orang dewasa
melihat masa remaja sebagai masa transisi, menurut Grossberg remaja
justru menganggap posisi ini sebagai sebuah keistimewaan dimana mereka
mengalami sebuah perasaan yang berbeda, termasuk di dalamnya hak
untuk menolak melakukan rutinitas keseharian yang dianggap
membosankan.
Hampir sama dengan pendapat itu, Dick Hebdige dalam Hiding in the Light
(1988) menyatakan bahwa remaja telah dikonstruksikan dalam wacana
"masalah" dan "kesenangan" (remaja sebagai pembuat masalah dan
remaja yang hanya gemar bersenang-senang). Misalnya, dalam kelompok
pendukung sepakbola dan geng-geng, remaja selalu diasosiasikan dengan
kejahatan dan kerusuhan. Di pihak lain, remaja juga direpresentasikan
sebagai masa penuh kesenangan, dimana orang bisa bergaya dan
menikmati banyak aktivitas waktu luang.
Remaja sebagai Subkultur
Secara khusus, dalam studinya tentang remaja, kajian budaya membuat
sebuah konsep analisis tentang subkultur. Kata kultur dalam subkultur
menunjuk pada "keseluruhan cara hidup" atau "sebuah peta makna" yang
memungkinkan dunia bisa dimengerti oleh anggota-anggotanya. Kata sub
mengkonotasikan kekhususan dan perbedaan dari kebudayaan yang
dominan atau mainstream. Thornton mengatakan bahwa subkultur bisa
juga dilihat sebagai sebuah ruang dimana "kebudayaan yang menyimpang"
43

menegosiasikan kembali posisinya atau justru merebut dan memenangkan


ruang itu (Barker 2000).
Buku yang sering disebut sebagai pondasi bagi studi remaja sebagai
subkultur yang dikaitkan dengan musik, gaya, dan fesyen adalah kumpulan
karya anggota Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) di
Birmingham, Resistance Through Rituals: Youth Subcultures in Post-War
Britain (Ed. Stuart Hall dan Tony Jefferson 1976). Tema besar karya ini
adalah subkultur remaja yang dilihat sebagai stilisasi bentuk perlawanan
terhadap kebudayaan hegemonis.
Dalam "Subculture, Cultures and Class" (Clarke et al.), ditunjukkan bahwa
remaja terbentuk dalam suatu artikulasi ganda, yaitu dalam perlawanannya
dengan kebudayaan orang tua dan sekaligus dalam perlawanannya
dengan kebudayaan dominan. Ritual-ritual seperti fesyen, musik, atau
bahasa, dilihat sebagai usaha untuk memenangkan ruang kultural dalam
melawan kebudayaan dominan dan kebudayaan orang tua.
Sementara dalam "Style" (Clarke) salah satu konsep penting yang muncul
adalah brikolase (diadopsi dari antropolog Levi-Strauss). Konsep brikolase
dipakai untuk menjelaskan rekontekstualisasi objek-objek untuk
mengkomunikasikan makna-makna baru. Dalam brikolase sebuah objek
yang telah mempunyai endapan makna simbolik tertentu dimaknai kembali
dalam hubungannya dengan artefak lain dan dalam konteks yang baru.
Clarke menunjukkan bahwa gaya Teddy Boy yang dandy , necis, dan
flamboyan dan populer pada tahun '70-an adalah brikolase dari gaya
berpakaian kelas atas pada akhir '40-an. Hal yang sama juga berlaku bagi
para pecinta musik Ska yang bersepatu boot dan berambut cepak, yang
merupakan brikolase dari semangat kerja keras dan maskulinitas kelas
pekerja.
Setelah Resistance Through Rituals , yang patut dicatat adalah karya Paul
Willis (juga dari CCCS) Learning to Labour (1978). Willis mempraktekkan
analisis homologi untuk menyelidiki subkultur motorbike boys . Konsep
homologi berkaitan dengan pemahaman kebudayaan sebagai seperangkat
relasi objek-objek, artefak-artefak, dan institusi-institusi beserta praktekpraktek di sekitarnya. Dengan begitu sebuah analisis homologi berusaha
menangkap dan merekam struktur sosial dan simbol-simbol kulturalnya.
Menurut Willis subkultur hidup dalam hubungannya yang bersifat kritis
dengan budaya kapitalisme. Ia mencontohkan subkultur hippies yang lebih
suka menghabiskan waktu luang sebanyak-banyaknya, dapat dilihat
44

sebagai sebuah subversi atas konsepsi waktu kapitalisme industrial yang


linear, kaku, dan disiplin. Demikian juga motorbike boys bisa dilihat sebagai
respon manusia atas teror teknologi yang dahsyat dari kapitalisme. Ia
mengekspresikan keterasingan dan kerinduan akan hubungan
kemanusiaan. Konsekuensinya, menurut Willis, ekspresi, kreasi, dan
perilaku simbolik subkultur dapat dibaca sebagai sebuah bentuk
perlawanan.
Berbeda dengan Resistance Through Rituals dan tulisan Willis, dimana
gaya direduksi dalam struktur kelas (gaya adalah ekspresi dan derivasi
kelas), dalam Subculture: The Meaning of Style (1979) Dick Hebdige
melihat gaya sebagai sesuatu yang otonom. Ia kembali menyelidiki konsep
brikolase dan perlawanan, tapi kali ini ia memadukan pendekatan Gramsci
dengan semiologi Roland Barthes.
Hebdige menyelidiki gaya dalam tingkat keotonomiannya sebagai penanda.
Gaya adalah sebuah praktek penandaan ( signifying practice ), gaya adalah
sebuah arena penciptaan makna. Di dalam kode-kode pembeda, gaya
merupakan pembentuk identitas kelompok. Dalam subkultur remaja,
barang-barang komoditas--melalui konsumsi brikolase--dijadikan alat
perlawanan terhadap nilai-nilai dominan. Gaya adalah sebuah perang
gerilya semiotik.

mengorganisasi kehidupan kulturalnya? McRobbie dan Gerber mengatakan


bahwa perempuan telah diabaikan oleh peneliti laki-laki, perempuan telah
dipinggirkan dan disubordinasikan dalam subkultur laki-laki, dan bahwa
perempuan bernegosiasi dalam ruang personal dan ruang bersenangsenang yang sangat berbeda dengan laki-laki. Karena itu, model
perlawanan perempuan dalam gaya juga berbeda dengan lakilaki.McRobbie dan Garber berargumen bahwa jika perempuan berada di
posisi pinggiran dalam subkultur tertentu, ini karena mereka berada di
posisi pinggiran dalam dunia kerja laki-laki dan dikecilkan peranannya dari
jalanan.
Pierre Bourdieu, 'Habitus', 'Logic of Practice'
Cara pandang alternatif tentang gaya dan fesyen juga datang dari
sosiolog/antropolog Perancis Pierre Bourdieu. Dalam Outline of a Theory of
Practice (1977) Bourdieu memperkenalkan istilah habitus untuk
mendifinisikan sebuah sistem disposisi, yang mengatur kapasitas individu
untuk bertindak. Habitus tampak jelas dalam pilihan individu tentang
kepantasan dan keabsahan seleranya dalam berdandan, berpakaian, seni,
makanan, hiburan, hobi dll. Menurut Bourdieu ini semua dibentuk melalui
sekolah, dengan internalisasi seperangkat kondisi material tertentu.

Kritik atas Teori-teori Subkultur

Dengan cara pandang Bourdieu, habitus individu dibentuk oleh/dikaitkan


pada keluarga, kelompok, danyang paling penting posisi kelas individu
dalam masyarakat.

Menjawab karya-karya CCCS, Cohen (1980) berargumen bahwa ketika


gaya direduksi ke dalam perlawanan, maka ada aspek lain dari gaya
dilupakan, yaitu kesenangan. Laing (1985) berpendapat bahwa punk
adalah sebuah genre musik, tetapi oleh Hebdige (1979) direduksi ke dalam
praktek-praktek penandaan, dengan asumsi dan tujuan-tujuan yang terlalu
politis. Pemikir lain, seperti Steve Readhead (1990), menyatakan bahwa
punk adalah subkultur remaja otentik yang terakhir dan subkultur remaja
sesudahnya telah mati dan ditelan oleh budaya konsumen kontemporer.

Habitus beroperasi berdasarkan sebuah logika praktek ( logic of practice )


yang diatur berdasar sistem klasifikasi bawah sadar (maskulin/feminin,
baik/buruk, trendi/kuno dll). Penerapan prinsip-prinsip ini dalam bentuk
konsumsi budaya dikenal sebagai selera . Bourdieu mengatakan bahwa
selera, yang kelihatannya sekedar praktek individu, sebetulnya diatur oleh
logika praktek dan selalu merupakan bagian dari praktek kelas.
Termuat di Newsletter KUNCI No. 6-7, Mei-Juni 2000

Kritik keras juga datang dari anggota CCCS sendiri, Angela McRobbie.
Perhatiannya adalah pada tidak adanya perempuan dalam karya-karya
tentang gaya dan remaja. Dalam "Girls and Subculture", yang dimuat dalam
Resistance Through Rituals , ia (dan Jenny Garber) mengeksplorasi
pertanyaan-pertanyaan tentang ketiadaan perempuan ini, apakah subkultur
perempuan itu benar-benar ada, tetapi tidak tampak? Jika ia ada dan
tampak, apakah nilai-nilainya sama, tetapi lebih marjinal dari laki-laki,
ataukah sama sekali berbeda? Dengan cara apa perempuan
45

46

Mcdonaldisasi
Oleh ANTARIKSA

McDonaldisasi adalah istilah yang dikemukakan oleh George Ritzer


(sosiolog dari Universitas Maryland) dalam The McDonaldization of Society
(1993) untuk menunjukkan suatu proses dimana prinsip-prinsip restoran
cepat saji (lebih khusus lagi: McDonald's) mulai mendominasi berbagai
sektor masyarakat di seluruh dunia, mulai dari bisnis restoran, agama,
seks, pendidikan, dunia kerja, biro periklanan, politik, program diet,
keluarga dsb.
Empat Prinsip McDonaldisasi
Ritzer menjelaskan empat prinsip McDonald's (dan model McDonald's)
yang kemudian mendominasi sektor lain (McDonaldisasi). Pertama,
McDonald's menawarkan efisiensi. Sistem McDonald's menawarkan
kepada kita sebuah metode yang optimal untuk mendapatkan satu hal ke
hal yang lain. Secara umum McDonald's menawarkan cara-cara terbaik
untuk mengubah rasa lapar kita menjadi kenyang. Kedua, McDonald's
menawarkan kepada kita makanan dan layanan yang terkuantifikasi dan
terkalkulasi. McDonald's membuktikan nilai budaya yang diyakini banyak
orang, "yang lebih besar adalah yang lebih baik", kuantitas adalah sejajar
dengan kualitas. Karena itu kita memesan Big Mac, karena kita dapat
mengkalkulasi dan merasakan bahwa kita mendapatkan porsi makanan
yang lebih besar dan banyak.
Ada bentuk kalkulasi lain yang ditawarkan McDonald's, yaitu kalkulasi
penghematan waktu. McDonald's menjanjikan, entah benar atau tidak,
bahwa pergi dan makan di McDonald's lebih hemat waktu ketimbang
makan di rumah. Kalkulasi waktu ini juga meruapak kunci sukses sistem
home-delivery (pesanan diantar ke rumah) McDonald's. Beberapa restoran
cepat saji mengkombinasikan kalkulasi waktu ini dengan uang. Misalnya
Pizza Hut (tidak di semua tempat/kota) menjanjikan pesanan pan pizza
akan sampai dalam 5 menit atau pizza itu menjadi milik Anda tanpa perlu
membayar.
Ketiga, McDonald's menawarkan kepada kita keterprediksian. Kita tahu
bahwa Big Mac yang kita makan di Malioboro Mall akan sama isi dan
rasanya dengan apa yang akan kita makan di New York atau Chicago. Kita
47

juga mengetahui bahwa apa yang kita pesan minggu depan atau tahun
depan akan identik dengan apa yang kita makan hari ini. Mengetahui
bahwa McDonald's tidak menawarkan kejutan adalah sebuah kenyaman
besar, bahwa makanan yang kita makan dalam satu waktu atau satu
tempat pasti akan identik dengan yang akan kita makan di waktu dan
tempat yang lain. Kita tahu bahwa Big Mac berikutnya yang kita makan
tidak akan tidak enak, tidak ada pengecualian bagi kelezatan, semuanya
pasti akan lezat dan enak. Kesuksesan McDonald's mengindikasikan
bahwa banyak orang lebih senang dengan sebuah dunia tanpa kejutan.
Keempat, McDonald's menawarkan kontrol, terutama penggantian pekerja
manusia dengan mesin. Orang-orang yang bekerja di restoran cepat saji
dilatih untuk melakukan hal-hal yang sangat terbatas dengan sangat tepat
seperti yang diperintahkan. Manajer harus mendapat kepastian bahwa
semuanya bekerja pada jalurnya. Orang yang makan di di restoran cepat
saji juga terkontrol, meskipun secara tidak langsung. Aturan-aturan, menu
terbatas, pilihan terbatas, kursi yang tidak nyaman, semuanya
mengarahkan acara makan seperti yang diinginkan oleh manajemen:
makan cepat dan pergi.
McDonald's juga mengontrol orang dengan mengganti pekerja manusia
dengan mesin. Pekerja manusia, betapapun terlatihnya mereka, masih
dapat berbuat kesalahan yang akan mengacaukan sistem. Pekerja yang
kurang tangkas juga membuat pemasakan dan pengantaran Big Mac
menjadi tidak efisien. Pekerja yang lainnya juga bisa saja kelupaan
menambahkan saus khusus untuk hamburger, yang membuatnya menjadi
tak terprediksi. Yang lain lagi bisa saja memasukkan kentang terlalu banyak
ke dalam kotak, sehingga sajian kentang menjadi jelek dan kedodoran.
Dengan banyak alasan lain, McDonald's mengganti manusia dengan
mesin, seperti soft-drink dispenser yang akan berhenti secara otomatis
begitu gelas penuh, mesin penggoreng kentang yang akan berbunyi begitu
kentang renyah, mesin pembayaran yang terprogram yang membuat kasir
meminimalkan penjumlahan, dan yang segera menyusul adalah robot
pembuat hamberger. Semua teknologi ini menjanjikan kerja yang lebih
terkontrol di restoran cepat saji.
Irasionalitas Masyarakat Rasional
Prisip-prinsip McDonald's adalah komponen dasar sistem masyarakat
modern yang rasional. Ritzer menunjukkan bagaimana sistem yang
rasional ini sebenarnya penuh dengan irasionalitas.
48

Meningkatnya layanan home-delivery di Jepang misalnya, bukannya


meningkatkan efisiensi, tetapi malah membuat jalan raya dipenuhi mobilmobil pengantar pesanan dan membuat meningkatnya kemacetan. Contoh
lain, karena kantor-kantor dipenuhi dengan mesin-mesin penjawab dan
pengatur lalu-lintas telepon, kini untuk menghubungi seseorang kita harus
melewati banyak sekali nomor.
Penggantian manusia dengan mesin dengan dalih efisiensi juga bisa
dipertanyakan: efisien untuk siapa? Dalam kasus mesin ATM misalnya, kita
bisa melihat dari perspektif pemilik bank bahwa ini berarti mempekerjakan
orang dengan tanpa dibayar (yaitu konsumen yang diposisikan sebagai
pengganti teller). Dari perspektif ini akhirnya konsumenlah yang harus
melakukannya sendiri; melakukan transaksi, mengambil nota, menghitung
uang dsb.
Termuat di Newsletter KUNCI No. 5, April 2000

Glokalisasi
Oleh M. SHOLAHUDDIN

Ide globalisasi ditemukan dalam jurnal-jurnal bisnis pada akhir 1960-an dan
awal 1970-an. Ide ini diyakini akan membawa manusia berada pada era di
mana kehidupan sosial ditentukan oleh proses global, zaman di mana
garis-garis batas budaya nasional, ekonomi nasional dan wilayah nasional
semakin tidak ada. Globalisasi memang sangat erat kaitannya dengan
ekonomi internasional, yang memberi pengaruh besar pada kebudayaan
dan gaya hidup. Salah satu konsep yang turut berkembang bersama
globalisasi adalah glokalisasi.

Di ranah kajian budaya glokalisasi berarti munculnya intepretasi produkproduk global dalam konteks lokal yang dilakukan oleh masyarakat dalam
berbagai wilayah budaya. Interpretasi lokal masyarakat tersebut kemudian
juga membuka kemungkinan adanya pergesaran makna atas nilai budaya
dari satu tempat ke tempat lain. Contoh yang paling gampang adalah,
bagaimana restoran siap saji di Amerika atau Eropa masuk dalam golongan
restoran junk-food yang dikonsumsi oleh kelas pekerja atau pelajar, di
Indonesia hadir sebagai tempat yang elit dan eksklusif. Itu artinya, ada
interpretasi dan cara pandang berbeda dari masyarakar Indonesia dan
Amerika/Eropa dalam mengkonsumsi makanan siap saji.
Salah satu medium yang digunakan dalam proses glokalisasi adalah
bahasa. Bahasa mampu mendekatkan emosi hingga produk global terasa
lokal. Sebuah tayangan telenovela Amerika latin yang membuat ibu-ibu
Indonesia setia menonton tidak berarti para ibu itu tertarik dengan budaya
Amerika Latin. Tetapi sebenarnya sebagian besar telenovela itu
mengandalkan konflik keseharian manusia, dari perebutan warisan,
perselingkuhan, hingga persaingan bisnis.
Tahun 1996 pemerintah Indonesia pernah mengeluarkan peraturan agar
meng-Indonesiakan istilah-istilah asing. Coca-cola, misalnya, harus
mengubah slogan Always, menjadi Selalu. Atau film-film berbahasa asing
harus didubbing ke dalam bahasa Indonesia. Ini justru mempercepat
sosialisasi produk global di pasar Indonesia. McDonald pernah
mengeluarkan produk-produk yang nuansa lokalnya sangat kental,
misalnya McSatay, McRendang atau Bubur Ayam McD.
Termuat di Newsletter KUNCI No. 11, Februari 2002.

Mediasi: Fakta Pasca hegemoni


Oleh R. KRISTIAWAN

Sederhananya, glokalisasi adalah penyesuaian produk global dengan


karakter pasar (lokal). Jadi, glokalisasi menjadi strategi yang muncul
sebagai kritik terhadap konsep perdagangan bebas neoklasik, yang tidak
lagi menspesialisasikan sebuah negara dalam satu produk sesuai dengan
potensinya. Karena itu para produsen mengkondisikan sebuah negara
(pasar) agar berada dalam satu latar belakang sosial-budaya yang sama
dengan negara yang lain. Misalnya, Coca-cola atau McDonald
menggunakan artis lokal seperti Sheila on 7, Padi, Jamrud dan Krisdayanti
sebagai bintang iklan untuk mendekati pasarnya di Indonesia
49

Pada suatu senja cerah di sebuah warung makan tepi selokan Mataram
Yogyakarta, segerombolan anak muda tampak ribut mengobrol. Dandanan
mereka seperti layaknya anak metropolis. Yang cewek berkaos ketat
lengan mepet hingga seluruh ubuhnya tampak penuh sementara para
cowoknya pakai jeans dengan berbagai asesori. Sambil ngobrol, mereka
menikmati ayam goreng. Warung itu secara geografis tidak istimewa.
Namun penampilan warna telah membedakannya dengan warung makan
50

Yogya pada umumnya. Dinding warung itu dicat kuning berbaur merah.
Lampunya juga terang benderang seperti mall. Di depan warung itu
terpampang board cukup mencolok: Kentuku Fried Chicken.
Beberapa waktu terakhir, Yogyakarta disemarakkan dengan hadirnya
rumah makan (tepatnya warung makan) khusus ayam goreng. Namanya
lucu-lucu dan bermacam-macam. Ada Yogya Fried Chicken, Kentuku Fried
Chicken, dll Warung itu bisa hadir di mana-mana. Bisa di tepi jalan besar
atau juga menjorok masuk kampung. Kalau diamati, secara simbolik
perilaku mereka mengacu pada satu tema yaitu franchise ayam goreng
Amerika semacam McDonald atau Kentucky Fried Chicken. Lihat saja
bagaimana mereka memilih nama warung yang cenderung memlesetkan
perusahaan asing sampai bagaimana mereka mendesain tempat dan
memilih warna. Warna warung biasanya warna cerah didominasi merah,
biru cerah dan kuning : warna Amerika. Tampilan ayam gorengnya sepintas
sama dengan ayam goreng impor. Daging ayam itu digoreng garing dengan
selimut tepung.
Kira-kira delapan tahun lalu, saat masyarakat terkena demam sepeda
gunung ala Amerika, orang Yogya malah ramai-ramai berburu sepeda unta
dari Prambanan dan Gunung Kidul kemudian menyulapnya menjadi sepeda
'kota' berwarna metalik cerah seperti sepeda gunung. Biasanya pada
malam Minggu, rombongan sepeda itu akan memenuhi jalanan utama
Yogyakarta. Tak ketinggalan para pengendaranya menyertakan seragam
kain sorjan lurik Pasar Beringharjo dan helm mandor jaman Belanda.
Dengan penuh percaya diri mereka membunyikan bel sepanjang jalan
sambil tertawa ramai-ramai.
Dari dua fakta menarik itu, saya sejenak menjadi tidak mengidolakan
Gramsci dan bertanya: Benarkah hegemoni ada? Saat membaca Selection
from the Prisoner's Notebooks (1979) tiga tahun lalu, saya terkesima pada
halaman 21 saat Antonio Gramsci mengulas dengan terang bagaimana
hegemoni bisa terjadi saat instrumen koersif dan instrumen ideologis sudah
dipegang penguasa. Apalagi saat Joseph V. Femia lewat Gramsci's
Political Thought (1981) semakin memperjelas pikiran Gramsci yang agak
rumit itu, saya menjadi semakin terkesan pada konsep aktivis partai
komunis asal Sardinia itu. Ditambah lagi saat beberapa pemikir cultural
studies mencangkok ide hegemoni dalam konteks kebudayaan modern
dalam relasinya dengan kapitalisme, konsep hegemoni yang semula lebih
condong pada konteks politik militeristis (Italia) menjadi lebih kaya dan
tajam setelah dikontekstualisasikan dengan kuasa modal.

51

Salah satu inti pemikiran Gramsci adalah terciptanya ketaatan moral,


intelektual dan afektif karena dikehendaki oleh kekuatan struktur ekonomi
dan politik. Dalam konteks peradaban modern, kebudayaan dominan
dengan demikian merupakan hasil penaklukan kapitalisme terhadap
aktivitas kebudayaan manusia. Bahkan jika dibandingkan dengan aparat
modernisme yang lain--militer, birokrasi, dan borjuasi lokal--kapitalisme
tetap menjadi ujung tombaknya. Gramsci melihat secara kritis bahwa
kekuatan struktur ekonomi dan politik itu akan semakin meminggirkan
ekspresi yang tidak berada di dalam jaringan penaklukan. The winner takes
all.
Dalam konteks hubungan antar negara, konsep Gramsci itu mempengaruhi
munculnya teori imperialisme budaya seperti yang pernah dilontarkan ahli
komunikasi Belanda Cees Hamelink. Melalui jembatan pembangunanisme,
Barat telah melakukan penetrasi besar-besaran dalam kehidupan ekonomi
negara dunia berkembang hingga berujung pada globalisasi saat ini. Relasi
dalam globalisasi adalah manifestasi ekspansi ekonomi transnasional
dalam semangat dasar kapitalisme. Kepentingannya beragam mulai dari
penaklukan ekonomi sampai ekspanasi pasar. Karena ekspansi ekonomi
dan politik inheren dengan ekspansi kebudayaan, maka tikda bisa tidak
kebudayaan akan cenderung mendukung kebijakan ekonomi dan politik itu.
Ambil contoh bagaimana simbol-simbol kemakmuran seperti handphone
dan McDonald telah menghinggapi sebagian besar kelas perilaku
menengah Asia Tenggara pertengahan 90-an seiring dengan orientasi
pertumbuhan ekonomi mashab neoklasik seperti yang pernah diulas oleh
Richard Robison dalam New Rich in Asia (1994). Selain itu muncul pula
gejala dimana dipakainya secara besar-besaran simbol-simbol kebudayaan
negara maju karena mitos kemakmuran cenderung membuat orang
melakukan aktivitas kebudayaan menurut citra kemakmuran itu. Kadang
tidak rasional secara material. Ayam goreng McDonald menjadi laris manis
dan punya image tinggi bukan karena substansi material yaitu kelezatan
ayamnya tetapi terlebih karena simbol kelas McDonald itu membuat
konsumen mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari golongan kelas atas
pada saat mereka mengkonsumsi ayam itu. Bukan lagi konsumsi material
yang penting namun konsumsi simbol yang berhubungan dengan mitos
identitas dan kenyamanan kelaslah yang menjadi pertimbangan konsumsi.
Padahal, lihat saja betapa tidak kayanya bumbu ayam McDonald dibanding
Ny. Suharti. Paul Ricoeur bilang, selera dan estetika itu ideologis.
Parameter tentang keindahan dan kelezatan cenderung punya sentimen
mendukung kelas dominan.

52

Dalam cara pandang hegemonian, kebudayaan global akan bersifat tunggal


karena watak kapitalisme yang monolitik. Seluruh ekspresi kebudayaan
termasuk ekspresi simboliknya akan mengacu pada ekspresi dominan
dalam nama pasar. Tidak ada celah lagi untuk menjadi independen secara
simbolik karena rekayasa elitis yang terlanjur disepakati oleh moralitas,
kognisi, dan afeksi masyarakat bawah. Padahal ketiga faktor inilah yang
terpenting dalam memproduksi simbol. Kebudayaan lokal yang tidak
marketable akan terpinggirkan karena desakan kultur asing yang sangat
profit oriented. Pertanyaan kritis lalu muncul. Seberapa jauhkah masyarakat
luas ( crowd ) akan menyerahkan identitasnya pada kekuasaan dominan?
Apakah masyarakat dengan begitu mudahnya akan bertindak sangat pasif
sehingga tidak mampu lagi melakukan resistensi? Dalam kaca mata
Gramsci, penguasa adalah sejenis makhluk super jenius yang dengan
segala tipu daya bisa mematikan kesadaran resistensi masyarakat. Dalam
kondisi hegemoni, orang tidak akan punya kekuatan kritis lagi. Semuanya
serba pesimis. Apakah sesederhana itu? Soeharto pada pertengahan masa
orba sampai menjelang ajalnya tampil sebagai penguasa yang ditakuti. Ia-seperti halnya Lee Kuan Yew--punya prinsip lebih baik ditakuti daripada
dicintai. Siapa orang yang berani terang-terangan menentang Soeharto
waktu itu? Dalam tataran politik praktis mungkin tidak ada. Namun dalam
ranah kultur keseharian, apakah Soeharto benar-benar absolut? Jawabnya
tidak. Di tingkat bawah, orang sudah muak dan kemuakan itu muncul dalam
berbagai bentuk resistensi. Resistensi yang paling sederhana adalah
humor. Subversi kecil-kecilan itu paling tidak akan memunculkan rasa
bahwa mereka tidak terkuasai. Kita bisa melihat berapa banyaknya humorhumor politik yang hidup subur di masyarakat dan cepat menyebar.
Semuanya bernada kritis pada penguasa. Kondisi ini mirip Rusia pada
masa Kruschev. Kalau ekspresi politik resmi tidak bisa disalurkan, jalur
kultural siap menampungnya. Dalam banyak kisah sejarah terbukti,
hegemoni tidak pernah ada. Gramsci dan raja Mataram sama gagalnya.
Kekuasaan yang bulat utuh hanyalah ilusi Hamengkubuwono yang hanya
bisa mengatupkan kedua ibu jarinya--saat posisi resmi--membentuk bulatan
kosong sebagai lambang dunia yang bisa ia pegang. Buktinya, Mataram
tidak pernah benar-benar menguasai seluruh dunia. Soeharto pun tidak
pernah menelan Indonesia secara bulat-bulat. Masih ada serpihan resisten
di sana-sini bahkan saat kekuasaan tampil dengan pongah.

dilihat dinamika budaya yang tidak sefrontal itu. Saat musik rap Amerika
menjalar ke seluruh negeri, orang Indonesia khawatir musik domestik akan
hilang. Namun apa yang terjadi. Tidak dalam rangka menentang rap, Iwa K.
malah melakukan terobosan dengan membuat rap dalam lirik bahasa
Indonesia. Begitu juga saat banyak orang Jawa khawatir pada serbuan
musik pop, Jadug Ferianto dan Manthous malah membuat gamelan dalam
tangga nada diatonis, tidak lagi pentatonis. Dalam struktur diatonis, lagu
apapun dari negeri manapun akan bisa dibawakan dalam timbre gamelan
yang khas Jawa. Belakangan kedua tokoh Yogya itu menjadi tersohor
karena mampu mengahdirkan musik pop Jawa yang sinkretik dengan
Barat. Eddy Kempot dari Solo yang punya paradigma serupa bahkan
tersohor di Suriname. Kasus ayam goreng Yogya, sepeda onthel, kaos
oblong Yogya juga ada dalam kerangka alur yang sama. Orang-orang itu
bukanlah tokoh revolusioner dalam impian Gramsci yang akan menentang
segala bentuk ofensi. Mereka hanya memadukan segala unsur, dan itulah
realitas politik kebudayaan pada umumnya. Ekspresi kebudayaan tidak bisa
disederhanakan ke dalam kotak apa pun termasuk kelas. Bahwa perspektif
kelas bisa membantu melakukan analisis itu benar. Namun
menggantungkan analisis hanya pada satu instrumen kelas saja akan
sangat reduksionis dan dangkal. Kadang ekspresi tidak butuh ideologi.
Estetika bisa saja menjadi determinan.
Nah, lalu di manakah posisi media dalam konstelasi ini ? Menurut
paradigma hegemonian, media massa adalah alat penguasa untuk
menciptakan reproduksi ketaatan. Media massa seperti halnya lembaga
sosial lain seperti sekolah dan rumah sakit dipandang sebagai sarana
ampuh dalam mereproduksi dan merawat ketaatan publik. Benarkah media
massa hanya bersifat satu arah melayani kepentingan ekonomi ? Tidak.
Bahkan istilah media mungkin perlu digeser menjadi mediasi karena di
sanalah segala macam simbol dari berbagai latar identitas budaya bisa
saling bertemu. Hasil interaksi antar simbol itu akan bersintesis dan
menemukan bentuk ekspresi baru. Bentuk baru itu ada dalam spektrum
yang amat luas dan tidak melulu hegemonik. Contoh-contoh di atas adalah
buktinya. Mediasi terasa lebih kaya dan jernih dibanding hegemoni. Namun
perlu dicatat, seluruh ekspresi itu tidak bisa lepas dari jual beli.
Termuat di Newsletter KUNCI No. 8, September 2000

Dalam dunia kebudayaan populer perdebatannya semakin ramai. Kalau


diambil asumsi bahwa globalisasi--wajah lain dari kapitalisme internasional-telah melakukan penetrasi kultural ke segala mata angin dunia, maka
seharusnya ekspresi kebudayaan dunia akan bermuka tunggal dalam satu
kontrol. Tapi rumus hegemonian itu tidak sepenuhnya bekerja dengan baik.
Cara padang ofensi versus resistensi terasa terlalu sederhana apabila
53

54

membuat perilaku pembacanya cenderung menjadi apolitis, konsumtif, dan


hedonis.

Inkorporasi/Komodifikasi
Oleh ANTARIKSA

Komodifikasi
Suatu analisis ideologi atas kebudayaan mendasarkan dirinya pada
pengertian ideologi sebagai proses produksi makna. Ideologi tidak dilihat
sebagai seperangkat ide atau cara berpikir, tepi sebagai kekuatan politik
aktif dalam kebudayaan, tapi dilihat sebagai suatu praktek sosial, sebagai
cara
untuk
membuat
sesuatu
bermakna.
Dua konsep utama dalam analisis ideologi yang akan kita bahas kali ini
adalah inkorporasi dan komodifikasi.
Inkorporasi
Inkorporasi merujuk kepada suatu proses sosial dimana kelas yang
dominan mengambil elemen-elemen kebudayaan kelas subordinat dan
menggunakannya untuk memperkuat status quo. Mula-mula kelas yang
dominan menginkorporasikan sifat-sifat perlawanan kelas subordiat ke
dalam ideologi dominan untuk selanjutnuya menghilangkan sifat-sifat
perlawanan itu.
Kembalinya perilaku generasi '60-an (dalam pakaian, musik, makanan, dan
kesadaran sosial) adalah contoh inkorporasi. Gerakan sosial dekade '60an, mulai dari menentang rasisme, menentang perang Vietnam, dan
demonstrasi mahasiswa anti-pemerintah, semuanya direduksi hanya
kedalam fesyen, gaya musik, dan tren kesadaran lingkungan. Tidak ada
kesadaran bahwa, misalnya, bahwa gerakan itu menyebabkan terbunuhnya
4 mahasiswa oleh tentara dalam sebuah demonstrasi di Unversitas Kent
State (John Fiske: 1990). Perlawanan politik dari dekade itu telah
dileburkan dan diinkorporasikan ke dalam ideologi dominan.
Awalnya rock & roll bagi fansnya juga punya makna perlawanan, tetapi
kemudian diinkorporasikan ke dalam gerakan ekologi dan antipolusi.
Dengan begitu inkorporasi telah menopengi fakta bahwa kapitalisme adalah
penyebab
utama
terjadinya
polusi.
Simaklah juga majalah HAI atau tabloid MUMU yang beberapa kali
menampilkan wawancara atau artikel bertema politik tentang Iwan Fals,
Rage Against the Machine, punk, atau The Doors. Ini juga adalah
inkorparasi untuk memanipulasi fakta bahwa mereka adalah media yang
55

Kapitalisme adalah sebuah sistem yang memproduksi komoditaskomoditas, dan secara natural penciptaan komoditas adalah inti dari
praktek ideologi kapitalisme. Kita memahami keinginan-keinginan dalam
kerangka komoditas-komoditas yang diproduksi berkaitan dengannya. Kita
juga belajar untuk memikirkan masalah-masalah kita dalam kerangka
komoditas-komoditas yang dikonstruksikan dapat memecahkan masalah
kita.
Jadi masalah kematangan dan kedewasaan bagi perempuan misalnya,
telah dikerangkakan dalam term rok kerja, buku masakan, potongan
rambut, kosmetik dsb.; masalah efektivitas dan produktivitas juga telah
dikerangkakan ke dalam term hand/mobile phone, laptop, kartu kredit dsb.
Di koran-koran kita juga melihat bagaimana kesadaran keluarga akan
lingkungan telah dikerangkakan ke dalam konsumsi atas rumah-rumah
mewah di pinggiran kota atau di daerah pengunungan, yang berhalaman
luas, dipenuhi tanaman dsb. Sesungguhnya mereka bukanlah keluarga
yang sadar lingkungan, tetapi keluarga yang komsumtif dan
terkomodifikasi.
Contoh: Che, Si Trendi
Nama Ernesto Che Guevara, disingkat Che, dulu identik dengan
perjuangan gerilya, oposisi radikal, dan gerakan sosialisme revolusioner.
Kata dulu perlu diberi penekanan. Sebab sejak kebangkitannya di awal '90an (ia mati tahun 1967), simbol Che cenderung identik dengan simbol
bintang pop.
Ini adalah contoh yang bagus untuk melihat bagaimana inkorporasi bekerja,
dimana makna figur Che secara revolusioner dibalikkan oleh ideologi yang
dominan, dilemahkan dan diambil kekuatan perlawanannya untuk
keuntungan status quo.
Di negara-negara pro-Amerika (tentu termasuk Indonesia), sebelum tahun
'90-an, simbol Che dikonstruksikan sebagai musuh ideologis negara; ia
dilekatkan dengan kekerasan, revolusi yang brutal dan memakan banyak
korban, gerakan kiri dan komunisme, dan dikaitkan dengan kemiskinan dan
56

ketertinggalan ekonomi (sampai kini dalam ekonomi internasional Kuba


masih terisolasi).
Sekarang para pemegang otoritas ekonomi dan budaya mengolah citra
Che menjadi ikon yang bisa diperdagangkan secara internasional. Citra
leftist Che kini diartikulasikan sebagai kegagahan dan ketrendian, Che
diolah menjadi ikon subversif yang digemari anak muda. Pendeknya Che
bisa dipakai untuk menjual apapun, mulai musik, bir, stiker, dan jam, hingga
foto, buku, film, dan materi kuliah. Pendeknya Che yang sekarang telah
dikemas dalam versi butik.
Termuat di Newsletter KUNCI No. 5, April 2000

Perlahan adalah Kecepatan yang Baru


Oleh SULFIKAR AMIR

Pemahaman populer tentang sains selalu berkisar pada cerita-cerita


kejeniusan para saintis serta "temuan-temuan" mereka yang dirangkum
dalam rumus-rumus dan bagaimana "temuan-temuan" tersebut merubah
dunia ekonomi-material dan, pada level tertentu, dunia sosial-simbolik di
mana manusia berada. Cerita-cerita tentang perkembangan sains selalu
berfokus pada individu-individu seolah-olah gagasan-gagasan brilian dari
sang saintis datang begitu saja dari dalam kepala saintis dan keluar
menjadi rumus-rumus matematik yang rumit yang hanya bisa dimengerti
oleh yang memiliki kejeniusan yang setingkat. Tanpa mengurangi peran
individual para saintis yang telah merubah dunia ini, tulisan ini mengajak
untuk melihat sains dan pengetahuan yang dihasilkannya sebagai suatu
proses kultural.
Satu alasan kuat mengapa kita perlu melakukan penelaahan sains secara
kultural adalah untuk melakukan demistifikasi sains yang terlalu ketat oleh
dogma keilmiahannya seakan-akan dia senantiasa bebas nilai. Pernyataan
sains sebagai bebas nilai berimplikasi pada doktrin bahwa sains adalah
netral dan bersifat universal. Netral dalam arti dia tidak berpihak kepada
siapapun dan lepas dari berbagai kepentingan ekonomi dan politik.
Universal dalam arti dia berlaku di mana saja melewati batas geografi,
sosial, budaya, ekonomi, politik. Tetapi dibalik dua doktrin inilah sains
moderen melakukan hegemoni sistem pengetahuan secara global dan
57

mematikan sistem pengetahuan lainnya yang selalu diidentikkan dengan


keterbelakangan, takhyul, irasional, dan kebodohan. Dalam tulisan ini, dua
doktrin sains ini akan dikaji ulang.
Apakah sains itu? Dalam makna generiknya, sains selalu dikaitkan dengan
upaya manusia untuk mencari tahu tentang suatu fenomena. Cara mencari
tahu ini tidak lepas dari proses interpretasi manusia terhadap fenomena
tersebut. Dari pemahaman inilah dibentuk sebuah sistem pengetahuan
yang meliputi obyek pengetahuan, metode, dan model interpretasi. Pada
dasarnya, inti dari suatu sistem pengetahuan adalah aktivitas representasi
di mana pengamat (saintis) menginterpretasi gejala-gejala alam yang
kemudian dimodelkan ke dalam bahasa sains (yang dalam sains moderen
menggunakan model matematik). Satu hal yang perlu dicermati disini.
Suatu obyek pengetahuan hanya dapat eksis melalui representasi. Proses
interpretasi dan representasi ini tidaklah terjadi begitu saja secara obyektif
di mana saintis dengan serta merta "menemukan" sesuatu seakan-akan
obyek pengetahuan itu sudah ada sebelumnya.
Obyek pengetahuan itu adalah hasil konstruksi interpretatif saintis melalui
bahasa sementara bahasa itu sendiri memiliki keterbatasan. Obyek
pengetahuan itu menjadi seakan-akan nyata karena dia berhubungan
langsung dengan sesuatu yang sifatnya konkrit di mana metodologi ilmiah
(logika-empirisme)
memungkinkan
terjadinya
perulangan
realitas
(regularitas) melalui praktek simulasi, manipulasi, dan kontrol.
***
Berangkat dari pemahahaman ini, mari kita menengok ke penjelasan
teoritis tentang konstruksi kultural sains dari Timothy Lenoir yang
merupakan antitesa terhadap sosiologi sains yang dikembangkan oleh
Robert Merton dan Joseph Ben-David. Secara garis besar, sosiologi sains
versi Merton dan Ben-David berlandaskan pada dua gagasan. Pertama
adalah realisme, yakni keyakinan bahwa kita berada pada dunia yang diisi
oleh obyek-obyek riil dan kebenaran yang dibangun oleh sains memiliki
korelasi langsung dengan realitas dunia ini. Kedua adalah obyektivitas,
yakni keyakinan bahwa fakta-fakta obyektif mengenai realitas dunia itu
hadir dan bebas dari interpretasi manusia (independent reality). Dari
pamahaman atas dua gagasan ini, Merton dan Ben-David mengasumsikan
proses sains sebagai proses akumulatif dan tumbuh secara terus menerus
dalam mencari kebenaran secara linear. Selain itu, pengetahuan yang
dihasilkan oleh sains lepas dari konteks produksi dan kondisi reproduksi
dan distribusinya.
58

Bagi Lenoir, ketiadaan kepentingan (disinterestedness) dan otonomi


(autonomy) sains seperti yang dilontarkan Merton dan Ben-David sukar
diterima. Kedua gagasan itu tidak lebih dari idealisasi yang secara artifisial
diberikan kepada individu yang terkait dengan proses konstruksi
pengetahuan. Menentang konsepsi Merton dan Ben-David, menurut Lenoir,
pengetahuan yang dihasilkan oleh sains selalu terkait erat dengan situasi di
mana dia berada, serta bersifat lokal dan parsial. Ini didasarkan pada
kenyataan bahwa proses konstruksi pengetahuan sangat dipengaruhi oleh
relasi yang kuat antara obyek pengetahuan dan pengamat (saintis). Bagi
Lenoir, seperti yang dijelaskan di atas, pengetahuan adalah suatu bentuk
interpretrasi yang melibatkan ikatan terhadap dunia yang bersifat
sementara, bukan proses kontemplatif yang lepas dari berbagai konteks.
Dengan demikian adalah logis jika mengatakan bahwa pengetahuan sudah
tentu sarat dengan berbagai kepentingan.
Untuk menjelaskan bagaimana pengetahuan bermuatan kepentingan,
Lenoir mengajak kita untuk melihat produksi pengetahuan sebagai suatu
praktek kultural. Dalam proses pengetahuan, saintis tidak pernah lepas dari
dua faktor yang melingkupinya, yakni kognitif dan sosial sebagai
konsekuensi dari keberadaanya sebagai manusia berfikir dan berinteraksi.
Faktor kognitif dan faktor sosial inilah yang mempengaruhi secara kuat
proses interpretasi saintis terhadap suatu obyek pengetahuan. Melalui
faktor kognitif, saintis melakukan pengamatan terhadap suatu obyek secara
interpretatif. Sementara dalam faktor sosial, saintis selalu terkoneksi
dengan kerangka sosial ekonomi di mana dia berada. Dari dua faktor ini,
Lenoir berkesimpulan bahwa konstruksi pengetahuan dapat dikatakan
sebagai suatu upaya untuk melegitimasi suatu versi realitas yang diterima
oleh kelompok sosial dimana saintis itu berada.
Dari analisis konstruksi pengetahuan secara mikro, Lenoir melanjutkan
analisisnya ke tingkat makro. Pada tingkat ini, Lenoir menunjukkan
bagaimana perkembangan sains dikelilingi oleh kepentingan-kepentingan
sosial, ekonomi, dan politik secara lebih luas. Dalam analisis ini, sains
mengalami fragmentasi atas berbagai disiplin yang saling berhadapan satu
sama lainnya. Setiap disiplin (fisika partikel, biologi molekuler, kimia
organik, dsb) memiliki sistem logika dan model institusi serta struktur
kekuasaan masing-masing. Di sini Lenoir melihat relasi antara kekuasaan
dan pengetahuan yang berada dalam disiplin tersebut. Tetapi struktur
kekuasaan disiplin-disiplin tersebut tidaklah otonom melainkan tunduk pada
kekuasaan yang lebih besar, yakni kekuasaan ekonomi dan politik. Dan di
sinilah letak seluruh agenda sains dibuat (seolah-olah) atas nama
kebenaran ilmiah.
59

Referensi
Ben-David, J. (1991). Scientific Growth: Essays on the Social Organization and
Ethos of Science, Berkeley: University of California Press.
Lenoir, T. (1997). Instituting Science: The Cultural Production of Scientific
Disciplines, Stanford: Stanford University Press.
Merton, R. (1973) The Sociology of Science, Chicago: The University of Chicago
Press.
SULFIKAR AMIR, Mahasiswa program PhD pada Department of Science and Technology
Studies, Rensselaer Polytechnic Institute Troy, NY Amerika Serikat. Email: amirs3@rpi.edu

Kacamatamu dan Kacamataku:


Menguji Teori Secara Pragmatis
Oleh MARTIN SLAMA

Kebanyakan pembaca KUNCI, saya kira, adalah mahasiswa ilmu-ilmu


sosial-budaya dan orang yang berminat pada perkembangan kebudayaan
secara umum yang sering juga punya pendidikan akademis. Dengan
demikian mereka pernah disentuh oleh apa yang disebut "teori". Entah di
ruang kuliah ketika si dosen memperkenalkan teori ini atau itu, entah pada
waktu membaca buku yang juga "berteori" (apakah secara terbuka atau
tidak) atau memang pada waktu membaca KUNCI sendiri. Apalagi
kebanyakan pembaca Kunci pada suatu saat harus menulis serius tentang
kebudayaan, apakah pada waktu menulis skripsi di bidang ilmu-ilmu sosial
atau, misalnya, untuk mempersiapkan makalah untuk suatu seminar atau
pertemuan ilmiah lain.
Kesulitan yang sering muncul pada titik itu adalah menghubungkan apa
yang ditulis oleh orang lain--biasanya si ilmuwan terkenal--dengan tulisan
diri sendiri. Untuk dapat menangani kesulitan itu perlu kita periksa
bagaimana kita memandang "si teori itu". Maksud saya, apakah kita
cenderung melihat teori sebagai "puncak penciptaan" ilmu-ilmu sosial yang
harus dihafalkan secara kaku atau sebagai sesuatu yang bisa digunakan,
dipakai saja; apakah kita melihat teori sebagai suatu "budaya adiluhung"
yang perlu dipelihara tetapi lebih baik tidak disentuh karena takut
melakukan kesalahan, ataukah sebagai alat yang dapat mengembangkan
pikiran dan tulisan diri sendiri. Seorang sastrawan Perancis, Charles
Baudelaire (kalau saya tidak salah ingat), pernah menggunakan gambar
60

sebagai berikut: dia mengatakan bahwa bukunya sepantasnya dianggap


seperti kacamata yang sebaiknya dilepas saja kalau tidak punya gunaan
lagi untuk sang pembaca; dalam konteks kita itu berarti teori adalah
kacamata yang dapat memperlihatkan dunia dengan pandangan tertentu.
Itu saja.
Saya rasa sudah jelas bahwa dalam tulisan ini saya mau mengusulkan
pengertian yang terakhir ini mengenai teori, yaitu teori sebagai alat atau
kacamata yang ada untuk dipakai secara pragmatis (pragma, kata Yunani
itu, berarti 'aksi' atau 'tindakan') yaitu untuk berbuat sesuatu dengannya.
Apalagi saya--setelah sepuluh bulan tinggal di Yogya--melihat bahwa
pendekatan yang pragmatis itu terhadap teori kurang dipraktekkan di
kalangan terpelajar di kota pelajar ini yang sering, misalnya, mengakibatkan
kemacetan dalam menulis skripsi. Sering juga sang pencipta teori disebut
saja supaya orang (atau dosen) tahu bahwa si penulis "tahu" atau paling
tidak pernah dengar; teori tidak dipakai untuk mengetahui suatu hal
sehingga tidak menghasilkan pengetahuan, melainkan hanya ulangan
(tetap seperti di sekolah dimana "ujian" disebut "ulangan"). Apa yang saya
maksudkan dengan menggunakan teori secara pragmatis, saya mau
menjelaskan lebih mendalam melalui suatu contoh.
Imagined Communities, buku Ben Anderson itu (cetakan kedua dengan
bab-bab baru: 1991), boleh dikategorikan sebagai suatu studi klasik yang
"wajib" dibaca oleh orang yang berminat dalam ilmu-ilmu sosial dan
kebudayaan (yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pula).
Anderson dalam bukunya menawarkan suatu gagasan pokok untuk dapat
menjelaskan apa yang disebut nasionalisme. Dia bertanya mengapa orang
yang belum pernah bertemu bisa merasa sama, merasa bersaudara,
misalnya sebagai orang Indonesia, Inggris atau India dan seterusnya.
Karena itu persaudaraan ini--kalau tidak bisa dialami langsung--harus dapat
dibayangkan dulu. Apa itu yang memungkinkan bayangan yang
menyeberang lingkungan sosial setempat adalah pertanyaan berikut
dengan jawabannya bahwa apa yang memungkinkan "komunitaskomunitas terbayang" itu adalah media cetak dengan koran, majalah dan
buku sastranya yang baru pada akhir abad ke-19 muncul di Hindia-Belanda
dan yang berfungsi menurut logika pasar, yaitu ada proses jual-beli supaya
pihak pemilik media mendapat keuntungan; sehingga bisnis itu dinamakan
oleh Anderson "kapitalisme cetak" atau print capitalism. Memang, Anderson
juga menawarkan faktor-faktor lain (transportasi massal, peta-peta yang
menunjuk pada batasan negara-bangsa, dll.) untuk perkembangan
nasionalisme, tetapi kapitalisme cetak itu mendapat perhatian yang paling
besar darinya.
61

Nah, di sini kita punya suatu teori, suatu kacamata untuk dapat melihat
identitas kolektif utama dalam abad ke-19 dan ke-20 yaitu identitas
nasional. Dengan mengarahkan perhatian kita ke media cetak, Anderson
juga menunjukkan bahwa identitas nasional itu bukan sesuatu yang
alamiah, yang sudah ada selama-lamanya (seperti sering diutamakan oleh
ideologi-ideologi nasionalis), tetapi merupakan sesuatu yang baru dapat
dibayangkan dengan adanya teknologi cetak sebagai pengedar gagasan
bangsa sekaligus bukti untuk kemungkinannya (tidak ada perbedaan antara
pembaca koran tertentu di Yogya dan di Medan, misalnya; mereka adalah
satu komunitas).
Setelah kita sudah memahami inti teori Anderson mengenai nasionalisme,
saya mau menunjukkan bagaimana teori itu digunakan oleh seorang
ilmuwan lain yang bernama Arjun Appadurai dalam bukunya Modernity at
Large. Cultural Dimensions of Globalization (1996). Antropolog asal India
itu--seperti dapat dilihat dari judul bukunya--bukan hanya tertarik pada
fenomena nasionalisme, melainkan dia mencoba mengerti apa yang
dewasa ini disebut dengan globalisasi budaya, yaitu fenomena kebudayaan
yang tidak terikat kepada negara-bangsa lagi. Meskipun demikian, pikiran
Anderson mengenai nasionalisme tetap berperan penting dalam tulisan
Appadurai. Kenapa? Kita baca dulu apa yang dikatakannya: Appadurai
melihat bahwa dewasa ini dunia media dan teknologi informasi sangat
bervariasi. Selain media cetak ada radio, televisi, film, kaset, video, VCD
hingga internet. Kebanyakan dari media/teknologi yang baru atau relatif
baru itu tidak lagi ditujukan kepada pasar dalam negeri, melainkan mengalir
kepada konsumen/penggunanya yang secara geografis dan/atau politis
hidup berjauhan; atau sebaliknya media/teknologi itu ditemukan dan
digunakan oleh orang yang pada awalnya tidak diperkirakan sebagai
pengguna (misalnya di Australia sekarang ada stasiun televisi yang
dikelolah oleh orang Aborigin). Singkat kata: negara tidak lagi merupakan
kerangka utama untuk media.
Setelah pengamatan itu yang sudah "dibimbing" oleh pikiran Anderson,
Appadurai melakukan langkah berikutnya dalam jalur yang sama dengan
bertanya: kalau dulu media cetak mendukung identitas nasional, identitasidentitas apa yang didukung oleh media yang berperan global dewasa ini?
Kemudian Appadurai menunjuk pada beberapa contoh dimana akibat
media global terlihat: teroris berpakaian seperti Silvester Stallone dalam
film Hollywoodnya yang berjudul Rambo; ibu rumah tangga nonton
telenovela yang selalu membahas linkungan sosial utamanya yaitu
"keluarga"; dan dalam pertemuan keluarga Muslim orang mendengarkan
kaset dakwah dari seorang ulama yang tak pernah datang ke negerinya.
Contohnya masih banyak lagi (dan Appadurai bukan hanya tertarik kepada
62

identitas kolektif, melainkan juga kepada identitas perorangan), tapi yang


dapat kita simpulkan adalah bahwa masalah identitas yang didukung oleh
media global muncul di berbagai lapangan, misalnya teknologi informasi
menghubungankan seorang imigran dengan negara asalnya; agama
sebagai identitas kolektif, yang sebenarnya sudah lama ada, baru-baru ini
dapat dialami sebagai sesuatu yang transnasional oleh lebih banyak
pemeluknya; hingga budaya lokal--dimana pertanyaan "Siapakah kita?" jadi
sangat aktual--berhadapan dengan lalu lintas global yang terus menerus
menawarkan petikan-petikan identitas dari bermacam-macam wilayah
dunia ini. Tanpa memperhatikan peran media global serta teknologi
informasi, identitas kebanyakan orang dewasa ini tidak dapat dimengerti-paling tidak itulah tesis Appadurai.
Beginilah contoh yang saya pakai untuk memperlihatkan penggunaan teori
secara pragmatis. Appadurai mengambil saja gagasan Anderson, yaitu
adanya hubungan antara media dan identitas kolektif sekaligus mengubah
dan menerapkannya untuk masa sekarang. Kalau kita juga tertarik pada
globalisasi budaya, kita bisa ikut berjalan dengan Appadurai dengan
menguji pikirannya: di Indonesia makin banyak orang nonton program
televisi yang diproduksi di luar negeri, serta film dan VCD; internet makin
populer; anak kampung main di PlayStation; ada industri keparawisataan
mancanegara; orang Indonesia cari kerja di luar negeri, dll. Apa peran
media dalam kehidupan orang yang disentuh oleh lintas-lintas global itu?
Apa hubungannya dengan pembentukan identitas mereka? Pertanyaan
seperti inilah yang bisa menjadi titik tolak suatu tulisan ilmiah serta
penelitian. Tetapi kalau cara berfikir Appadurai tidak menghasilkan jawaban
yang memuaskan untuk apa yang kita teliti, kita cari saja kacamata yang
lain. Karena ada banyak teori. Dan satu alat tidak cocok untuk semua
pekerjaan...
MARTIN SLAMA adalah mahasiswa Program S3 di Universitas Wina, Austria. Sekarang
menjadi peneliti tamu di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Termuat di Newsletter KUNCI No. 9, Maret 2001

Anak Jalanan dan Subkultur: Sebuah Pemikiran Awal


Oleh KIRIK ERTANTO

Dalam kesempatan ini, kita akan mempercakapkan gagasan mengenai


subkultur. Seperti kita kenali bersama, tema ini salah satu yang diabaikan
dalam perbincangan mengenai masyarakat Indonesia modern. Untuk itu
63

sejak awal saya ingin berterus terang bahwa apa yang saja sajikan masih
menyentuh bagian-bagian pinggirnya saja. Subjek yang saya pilih dalam
percakapan kali ini adalah kehidupan sebagian kalangan anak muda yang
berada di jalanan. Dalam kata lain, melihat kehidupan anak muda di jalan
sebagai satu subkultur.
Sebuah subkultur selalu hadir dalam ruang dan waktu tertentu, ia bukanlah
satu gejala yang lahir begitu saja. Kehadirannya akan saling kait mengkait
dengan peristiwa-peristiwa lain yang menjadi konteksnya. Untuk
memudahkan kita memahami gagAsan mengenai subkultur anak muda
jalanan, maka saya akan memulai dengan satu upaya membuat peta
antara hubungan anak muda dan orang tua serta kultur dominan sebagai
kerangkanya.
Sekurang-kurangnya ada dua pihak yang -berkat dukungan modal yang
melekat pada dirinya- berupaya mengontrol kehidupan kaum muda, yaitu
negara dan industri berskala besar. Di Indonesia, pihak pertama yaitu
negara berupaya mengontrol kehidupan anak muda melalui keluarga.
Keluarga dijadikan agen oleh negara untuk sebagai saluran untuk
melanggengkan kekuasaan.
Melalui UU No. 10/1992 diambil satu keputusan yang menjadikan keluarga
sebagai alat untuk mensukseskan pembangunan. Keluarga tidak hanya
dipandang hanya memiliki fungsi reproduktif dan sosial melainkan juga
fungsi ekonomi produktif. Pengambilan keputusan keluarga dijadikan alat
untuk mensukseskan pembangunan pada gilirannya membawa perubahan
pada posisi anak-anak da.n kaum muda dalam masyarakat.
Anak-anak dan kaum muda dipandang sebagai satu aset nasional yang
berharga. Oleh karena itu investasi untuk menghasilkan peningkatan modal
manusia (human capital) harus sudah disiapkan sejak sedini mungkin.
Dalam hal tugas orang dewasa adalah melakukan penyiapan-peyiapan
agar seorang anak bisa melalui masa transisinya menuju dewasa.
Akibatnya ada pemisahan yang jelas antara masa anak-anak dan masa
muda dengan masa dewasa. Adalah tugas orang tua untuk memberikan
pemenuhan gizi yang dibutuhkan, mengirim ke sekolah sebagai bagian dari
penyiapan masa transisi.
Saya Shiraishi (1995) yang banyak mengamati kehidupan keluasga dan
masa kanak-kanak dalam masyarakat Indonesia mutakhir mengatakan
bahwa implikasi lebih lanjut dari gagasan keluarga modern itu pada
akhirnya menempatkan anak-anak sepenuhnya dibawah kontrol orang tua.
64

Orang tua menjadi kuatir bila anaknya tidak mampu melewati masa transisi
dengan baik, misalnya putus sekolah, dan akan terlempar menjadi kaum
"TUNA" (tuna wisma, tuna susila dan tuna lainnya), kaum yang
kehidupannya ada di jalanan. Kekuatiran ini bisa dilihat secara jelas dengan
streotipe mengenai kehidupanjalanan sebagai kehidupan "liar". Bukanlah
satu hal yang mengada-ada bila kemudian para. orang tua lebih memilih
untuk memperpanjang proteksi anak-anaknya untuk berada di dalam rumah
sebab lingkungan di luar rumah dianggap sebagai"liar" dan mengancam
masa depan anaknya. Pilihan untuk memperpanjang masa proteksi anakanak inilah yang kemudian ditangkap sebagai peluang dagang oleh para
pengusaha. Belakangan ini dengan mudah kita bisa melihat berbagai
produk atau media untuk membantu penyiapan masa transisi anak-anak.
Program televisi yang jelas menggunakan kata (televisi) PENDIDIKAN
INDONESIA adalah salah satu contoh terbaiknya. Selain itu berbagai
media cetak juga mengeluarkan berbagai produk bagaimana menyiapkan
anak secara "baik dan benar" dalam rangka pengembangan sumber daya
pembangunan. Para orang tua pada. gilirannya akan lebih mengacu pada
berbagai media itu sendiri dibandingkan pada peristiwa sehari-hari yang
dialami oleh anaknya.
Cara membesarkan anak yang diimajinasikan oleh negara dan pemilik
modal inilah yang kemudian menjadi wacana penguasa (master discourse)
untuk anak-anak Indonesia. Ia digunakan sebagai alat untuk menilai
kehidupan keseluruhan anak dan kaum muda di Indonesia. Hasilnya seperti
yang ditunjukkan Murray (1994) adalah mitos kaum marjinal: yang dari
sudut pandang orang luar menggambarkan orang-orang ini sebagai massa
marjinal yang melimpah ruah jumlahnya dengan budaya kemiskinan dan
sebagai lingkungan liar, kejam dan kotor ... sumber pelacuran, kejahatan
dan ketidakamanan. Murray tidaklah sendirian dalam memberikan adanya
dikotomi rumah dan jalan. Studi Siegel (1986), Saya Shiraishi (1990) dan
Jerat Budaya (1998) menunjukkan temuan yang sama. Studi Marquez (
1998) mengenai kaum muda jalanan di Caracas menunjukkan bahwa anak
muda itu tidak secara pasif menerima begitu saja pandangan negatif dari
luar. Jalan raya bukanlah sekedar tempat untuk bertahan hidup. Bagi kaum
muda tersebut jalanan juga arena untuk menciptakan satu organisasi
sosial, akumulasi pengetahuan dan rumusan strategi untuk keberadaaan
eksistensinya. Artinya ia juga berupaya melakukan penghindaran atau
melawan pengontrolan dari pihak lain.
Bertolak dari gambaran sekilas di atas, saya akan menempatkan
percakapan mengenai subkultur anak jalanan di Indonesia dalam titik
potong antara dikotomi rumah dan jalan di satu sisi dan orang tua (kaum
dewasa) dengan anak muda di sisi lain. Fokus dari percakapan kali ini
65

untuk sementara saya batasi bagaimana corak mode kehidupan yang


ditampilkan oleh kaum muda yang besar di jalan yang kemudian bertumbuh
menjadi subkultur.
Meninggalkan Rumah, Menanggalkan Masa Lalu
Sebuah sebuah kategori sosial, anak jalanan bukanlah satu kelompok yang
homogen. Sekurang-kurangnya ia bisa dipilah ke dalam dua kelompok yaitu
anak yang bekerja di jalan dan anak yang hidup di jalan. Perbedaan
diantaranya ditentukan berdasarkan kontak dengan keluarganya. Anak
yang bekerja di jalan masih memiliki kontak dengan orang tua sedangkan
anak yang hidup di jalan sudah putus hubungan dengan orang tua. Dalam
tulisan ini, anak jalanan mengacu pada kategori anak yang hidup di jalan.
Seorang anak jalanan yang sudah hampir dua puluh tahun hidup di jalan
menuturkan pengalamannya pergi dari rumah. Katanya waktu kecil ia
banyak ngeluyur dibanding sekolah, lebih banyak bermain dari pada
belajar. Akibatnya, teman-temannya sudah naik ke kelas tiga ia masih saja
duduk dibangku kelas satu. Buat sebagian anak pergi ke sekolah tidaklah
selalu berarti pengalaman yang menyenangkan. Seorang anak lain N bila
mengingat sekolah maka yang muncul adalah gurunya yang galak dan
tubuhnya yang menjadi sasaran sabetan. Katanya: Waktu saya sekolah
saya digebugin karena di sekolah saya goblog. Di bawa ke kantor
karena.sering nonton Th lalu disuruh membaca di papan tulis tidak bisa. Di
sabet badanku. Pak guru saya galak. Lalu saya keluar kelas tiga. Keadan
murid-murid bermasalah seperti itu biasanya dilaporkan oleh guru kepada
orang tua murid. Laporan itu bisa menjadi penyulut kemarahan orang tua.
Seperti yang dituturkan H: dan pak guru saya sering datang menemui
orang tua saya menceritakan keadaan saya. Saya dimarahi bapak tidak
hanya dengan suara tetapi juga digebugi pakai sapu lidi sampai merah kaki
saya Berbagai penyuluhan, berita TV dan radio secara bertubi-tubi telah
mengajar para orang tua memlaui pembatinan bahwa anak yang baik
adalah anak sekolahan. Karena itu wajar saja bila guru tidak mampu lagi
mendidik anaknya, maka orang tualah yang akan meng(H)ajar anaknya.
Hasilnya seperti H dan N lari meninggalkan rumah.
Ketika pertama kali hadir di jalan, seorang anak menjadi anonim. Ia tidak
mengenal dan dikenal oleh siapapun. Selain itu juga ada perasan kuatir bila
orang lain mengetahui siapa dirinya. Tidaklah mengherankan bila strategi
yang kemudian digunakan adalah dengan menganti nama. Hampir semua
anak yang saya kenal mengganti nama. Hal ini dilakukan untuk menjaga
jarak dengan masa lalunya sekaligus masuk dalam masa kekiniannya.
66

Anak-anak mulai memasuki dunia jalanan dengan nama barunya. Anakanak yang berasal dari daerah pedesaan menggganti dengan nama-nama
yang dianggap sebagai nama "modern" yang diambil dari bintang sinotren
atau yang yang biasa didengarnya misalnya dengan anam Andi, Roy dan
semacamnya. Seorang anak yang bernama Mohammad kemudian
mengganti namanya menjadi Roni. Alasan yang diberikan karena
Mohammad adalah nama nabi. Nama itu tidak cocok dengan kehidupan di
jalan. karena yang dilakukan di jalan banyak tindakan haram.
Proses penggantian sebutan itu dengan sendirinya menunjukkan bahwa ia
bukan sekedar pergantian panggilan saja tetapi juga sebagai sarana
menanggalkan masa lalunya. Artinya ia dalah bagian dari proses untuk
memasuki satu dunia (tafsir) baru. Sebuah kehidupan yang merupakan
konstruksi dari pengalaman sehari-hari di jalan.
Corak Mode Kehidupan Menolak Tetap (Anak) Kecil
Anak jalanan menggunakan tubuhnya sendiri sebagai sarana. untuk
ekspresi diri sekaligus sub-versi. Pada tingkat permukaan ditunjukkan
perbedaan-perbedaan oleh mereka sekaligus menegaskan pertentangan
dengan negara dan masyarakat sekitarnya (lihat Hebdige, 1979). Tubuh
dijadikan sumber produksi dan aktivitas komunikasi dan menjadi lokasi
pengetahuan yang krusial bagi komunitas dan hal ini membantu
tewrjadinya produksi makna bagi kelompoknya. Melalui pencarian dan
tingkah laku yang berbeda itu secara sengaja anak jalanan menolak dan
mengejutkan kultur dominannya dengan mensub-versi nilai-nilai utamanya.
Ketika mulai tumbuh lebih besar, menampilkan nilai-nilai kejantanan
merupakan aspek yang vital bagi anak-anak jalanan. Mereka secara teratur
mulai
berpartisipasi
menyusun
konstruksi
kejantanan
dengan
mendiskusikan berbagai peran yang dilakukan oleh anak lain serta
mengomentari penampilarmya. Meski secara sosial mereka dikategorikan
sebagai anak (kecil), hampir semuanya mengadopsi bentuk-bentuk
kedewasaan sebagai tanda pembangkanangan dari harapan-harapan yang
ditentukan oleh masyarakat. Mereka memainkan peran yang selama ini
dijalankan oleh kaum dewasa yang ada di sekitarnya, menenggak minuman
keras, ngepil, judi serta menggemari free sex. Kebiasaan-kebiasaan yang
dianggap tidak cocok untuk dilakukan oleh anak justru dianggap mampu
membuat mereka merasa tumbuh dewasa dan menjadi jantan.
Judi, misalnya, merupakan permainan yang populer, meski dianggap ilegal
dan dimainkan di tempat-tempat tersembunyi. Rata-rata mereka mengaku
67

menikmati permainan judi karena melibatkan resiko dalam pertaruhan,


ketrampilan serta konsentrasi dan bila memenangkan permainan, ada rasa
bangga menempati posisi puncak dari hasil permainan. Selain itujuga
mendapatkan uang yang relatif banyak.
Seorang dewasa yang sering memperhatikan dan bergaul dengan anakanak jalanan mengatakan bahwa jika dilarang untuk melakukan tindakan
tertentu, maka anak-anak jalanan itu seperti disuruh. Apa pun akan
dilakukan untuk menentangnya. Katanya, itu bagian dari indentitas
pembangkangan. Atau dalam kata lain menolak dianggap (anak) kecil
terus.
Gaya Pakaian dan Dandanan Tubuh
Satu kali, H ( 12 tahun) mendapatkan uang cukup banyak dari hasil
nyemirnya. Uang itu dibelikan kaos dan celana. jeans. Dengan pakaian
baru yang bersih itu kemudian pergi menyemir. Ternyata dengan pakaian
bersih semacam itu, tak banyak orang yang mau menyemirkan sepatunya.
Berbeda dengan ketika ia memakai pakaian kotor, justru banyak orang
yang mau menyemirkan sepatunya. Hal ini menunjukkan adanya satu
pertentangan, di satu sisi masyarakat umum menginginkan mereka tampil
secara "bersih", namun bila tampil dengan cara semacam ini maka ia tidak
mendapatkan uang yang cukup. Berbeda dengan bila ia menggunakan
pakaian kumal, orang tidak menyukai tetapi menghasilkan uang yang
cukup.
Situasi
semacam
itu
menyebabkan
anak-anak
kemudian
menggembangkan satu trend cara berpakaian yang cukup khas. Mereka
kemudian lebih banyak mengadopsi cara berpakaian dari pengamen
dewasa, turis asing atau dari film atau majalah yang dilihat. Salah satu
yang cukup populer adalah gaya rasta yang disimbolkan melalui warna
merah kuning dan biro dengan simbol daun ganja. Dan simbol itu
ditampilkan di tato, di pakaian dan lainnya. Kata mereka rasta cocok
dengan anak jalanan. Karena jalanan juga menciptakan orang kaya Bob
Marley. Nongkrong di jalan, menghisap ganja, main gitar. Anak jalanan
pengin seperti dia. Bukanlah satu hal mengherankan beberapa diantara
mereka juga menggunakan model rambut dreadlocks.
Pilihan lain adalah memanjangkan rambutnya. Di Indonesia, rambut
panjang merupakan kebalikan dari model rambut para orang tua. Tidak
banyak orang tua yang berambut gondrong. Gondrong merupakan citra
anak muda. Selain itu dari pihak kemanan gondrong sering diasumsikan
68

sebagai preman. Bila tidak gondrong, sebagian diantaranya justru memilih


melicin tandaskan rambutnya. Artinya dari pilihan atas model rambutnya
mereka tidak pernah sama dengan yang berlaku dalam masyarakat umum,
potongan rambut yang rapi. Dalam kata lain untuk menunjukkan bahwa
merekalah yang mengontrol urusan rambut.
Selain rambut, tatto merupakan satu bentuk lain dari cara menampilkan diri.
Sebagian anak melawankan tubuh yang bertatto dengan tubuh yang
"bersih". Meski dikalangan umum memiliki tatto disamakan dengan preman,
namun dikalangan anak jalanan ia memiliki makna yang berbeda.
Beberapa anak mengatakan bahwa tatto merupakan penanda dari "show of
force" sekaligus lambang "keras" dan jantan. Sebagian dari mereka
membuat tatto sebagai satu tanda untuk menyimpan ingatan tertentu.
Beberapa anak membua,t tatto sebagai satu inggatan atas peristiwa
perginya seorang volunter ke negara asalnya dan juga peristiwa lain.
Dalam beberapa hal bisa dikatakan bahwa kecenderungan berpakaian atau
mentato tubuhnya juga menindik tubuhnya untuk dipasangi anting-anting
baik di telingga, alis mata, pusar atau tempat lain tidak bisa dipisahkan
dengan relasinya dengan cara penampilan yang normatif. Alternatif yang
digunakan oleh anak jalanan tidak bisa tidak berada dalam dikhotomi bersih
dan kumal. Menjadi "bersih" bisa jadi justru akan mengancam survival
mereka di jalan. Artinya masyarakat dan anak-anak jalanan itu sendiri
saling menjaga dengan tegas batas-batas yang mereka inginkan.
(penyalah)Guna(an) Obat dan Minuman Alkohol
Menenggak minuman keras dan pil adalah satu kebiasaan yang dilakukan
selama di jalan. Alasan yang diberikan adalah untuk melupakan masalah.
Beberapa studi mengenai anak jalanan secara gamblang menunjukkan
berbagai tekanan yang dialami oleh anak jalanan. Secara ekonomi mereka
harus bekerja dalam jam kerja yang cukup panjang, secara sosial ia
diletakkan sebagai sampah masyarakat, secara hukum keberadaannya
melanggar pasal 505 KUHP. Bukanlah satu hal yang mengadaada bila
mereka merasa tidak pernah merasa (ny)aman dalam kehidupan
sehariharinya. Tindakan-tindakan yang dipilih ini akan membawa anakanak pada masalah hukum, karena semua tindakan ini dianggap
melanggar hukum. T ( 14) memberikan alasan bahwa sebelum bekerja ia
mabuk dulu untuk menghilangkan rasa malu. Karena sebetulnya ia gengsi
kalau harus jadi pengamen. Dengan demikian selain sebagai strategi
ekonomi, mabuk akhirnya menimbulkan sikap cuek (tidak peduli) dengan
aturan hukum.

Secara umum, tindakan semacam ini sering dikatakan sebagai penyalah


gunaan obat. Namun demikian, bila di tilik dari sisi lain akan terlihat
sebaliknya. Dalam masyarakat modern, dengan mudah dikenali bahwa
salah satu jalan keluar untuk mengatasi situasi-situasi yang menekan
individu adalah dengan penciptaan obat-obatan. Dengan demikian anakanak jalanan itu sungguh melakukan satu cara yang sudah disediakan oleh
sistem dalam masyarakatnya. Dalam hal ini ia betul-betul memanfaatkan
guna obat untuk mengatasi berbagai tekanan yang menimbulkan
ketegangan dalam diri. Alat untuk mencapai satu kondisi nyaman.
Musik
Anak-anak juga menggunakan media musik untuk meciptakan ruang bagi
dirinya untuk bersuara. Musik digunakan sebagai alat untuk
memberdayakan dirinya. Selain untuk mencari makan, bermain musik juga
menjadi alat untuk membangun solidaritas. Dalam kesempatankesempatan tertentu mereka memainkan musik secara bersama-sama.
Dalam kesempatan semacam inilah mereka sering menyuarakan
pandangan-pandangan mereka terhadap masyarakat seperti yang tampak
dalam syair yang dibuat oleh Dd (14) dan Dw (15):
SAKSI MATA
Suara letusan samar-samar terdengar
Ditengah malam yang pekat
Sesosok tubuh penuh tato
Terbujur kaku di lorong gelapnya kota
Reff:
Sejenak jiwanya berteriak
Untuk ungkapkan rasa yang terasa
Dia coba bicara kenyataan
Banyak yang melihat
Tak ada saksi mata...
Garis kuning di lengan baju pun puas
Nyanyikan lagu kekuasaan
dengan bangga dia melangkah pergi
sambil berharap pangkatnya naik lagi
Reff:
Sejenak jiwanya berteriak

69

70

Untuk ungkapkan rasa yang terasa


Dia coba bicara keadilan
Dengan pucuk pistol ... Menempel di keningnya.

Artikel ini dipresentasikan pada Diskusi dan Pemutaran Video "Subkultur Remaja:
Underground, Skuter, PlayStation", KUNCI Cultural Studies Center - Lembaga Indonesia
Perancis, Yogyakarta, 5 Mei 2000.

Secara gamblang syair tersebut merupakan satu kritik terhadap masyarakat


yang mengalami rabun ayam terhadap peristiwa yang ada di sekelilingnya.
Anak-anak ini menjadi saksi mata atas keseluruhan sisitem masyarakat
yang berjalan. Dan untuk bicara seperti itu pun ia sadar ada pistol yang
menempel di keningnya, dianggap mengancam atau malah tidak didengar
sama sekali.
Kata-kata Akhir
Kehidupan anak jalanan di mulai dengan menanggalkan masa lalunya.
Keberadaannya di jalan langsung akan menghadapkan anak-anak ini
pelanggaran hukum pasal 505 KUHP sekaligus akan mendapat stempel
sampah masyarakat. Dengan demikian kita layak menempatkan tindakantindakan yang dipilih anak-anak sebagai satu respon aktif terhadap
peminggiran atas dirinya. Seperti yang secara sangat kasar diapaprkan di
atas tindakan-tindakan tersebut merupakan kombinasi dari kebutuhan
survival, ketetapan hati untuk menentang konformitas kultur dominan,
dorongan untuk mendapatkan ke(ny)amanan dan untuk mencapai tujuantujuan memperkuat kesetiaan dalam kelompok.
Salah satu strategi yang dipilih adalah cuek dalam menghadapi kehidupan
sehari-hari. Dengan menjadi cuek, anak-anak ini berupaya menahan untuk
menahan penyingkiran-penyingkran dari dunia sosial sekaligus mengalih
ubahkan keberadaannya melalui penciptaan-penciptaan makna. yang
spesifik.
Corak moda kehidupan anak jalanan terutama adalah (re)aksi yang
sesungguhnya tidak memiliki kekuatan besar, namun dari posisi di
pinggiran itu tetap berupaya mengekspresikan dan menciptakan makna
bagi dirinya. Dengan menyimpang dari kultur dominannya anak-anak
jalanan dengan sekuat tenaganya mempertahankan kontrol atas dirinya
sendiri dengan ekspresi "kebebasan" dan simbol kreatifitas sekaligus
menjadi ajang dari pertandingan: pemberdayaan atau penaklukan. Pendek
kata, bila bagi banyak pihak menjalani kehidupan di jalan diietakkan
sebagai "masalah", maka bagi anak-anak muda itu memilih kehidupan
jalanan sebagai satu "solusi". Paradoks semacam ini memang akan tetap
memposisikan anak jalanan di pinggiran, tetapi ia sekaligus juga sumber
kekuatan terciptanya satu sub-kultur anak muda perkotaan.
71

Dayang Sumbi Bertemu Cinderella:


Kode Feminitas dalam Seni Visual Indonesia
Oleh NURAINI JULIASTUTI

Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai risalah lengkap tentang seniman


perempuan Indonesia dan karya-karyanya. Akan lebih baik untuk
memandang tulisan ini sebagai tulisan awal saja. Mungkin banyak nama
dan karya yang masih luput saya sebutkan di sini, karena yang ingin saya
tunjukkan adalah peristiwa dan momen tertentu yang saya anggap bisa
merepresentasikan kompleksitas perkembangan wacana perempuan atau
lebih tepatnya mode feminitas dan interkoneksitasnya dengan hal-hal lain
dalam seni visual Indonesia.
Tubuh merupakan garis batas dan pintu masuk yang paling jelas terlihat
untuk membicarakan persoalan identitas. Dari karya-karya yang saya
jelaskan di esai ini dapat tergambar bagaimana para seniman perempuan
tersebut memaknai tubuh, bagaimana tubuh dipakai sebagai menjadi
medan pertarungan, wacana-wacana apa yang muncul di sana, dan hal-hal
apa yang mempengaruhi para seniman tersebut dalam berkarya.
Arahmaiani
Rahmayani atau Arahmaiani. Ia merupakan satu sosok seniman
perempuan paling terkemuka saat ini. Arahmaiani saya pilih sebagai salah
satu fokus dari tulisan ini karena darinya kita bisa menyaksikan perdebatan
dan gumam pribadinya tentang tubuh, norma, agama, tradisi, kapitalisme
dalam karya-karyanya. Sekaligus dari sana kita bisa melihat sedikit
gambaran tentang posisi seniman perempuan dan kompleksitas persoalan
yang melingkupinya.
Banyak hal menarik untuk dibaca dari naskah komik tentang Arahmaiani
yang dimuat oleh seniman komik Arie Dyanto berdasarkan hasil wawancara
editor buku tersebut--Adi Wicaksono et.al--dan diberi judul "Kebudayaan itu
Berkelamin" (Dyanto, 2003: 165-176).
72

Demikian petikannya:
Aku berasal dari kelas menengah kota, terdidik dan keluarga muslim taat.
Keluargaku memahami agama secara kritis. Pemahaman kritis itu
berseberangan dengan konsep agama puritan yang selalu menempatkan
perempuan dalam posisi subordinat.
Ketika kecil aku bercita-cita menjadi nabi. Waktu kecil aku suka sekali
berpakaian laki-laki. Teman mainku sering meledekku,"...pasti perempuan
gak bisa...", tetapi malah itu menjadi tantangan buatku.
Tetapi begitu semakin dewasa ketegangan bahwa perempuan dewasa
harus mengikuti norma semakin ketat, dan sampai sekarang pun
ketegangan itu masih terasa.
Perempuan harus kawin! Norma itu melekat kuat di masyarakat, dan itu
konflik spesifik pada perempuan usia 30-an. Aku selalu ingin menjadi diriku
sendiri, aku sebenarnya tidak ingin membuat lingkunganku resah, tetapi
aku juga harus selalu jujur pada diriku sendiri. Apapun resikonya!
Dan aku tahu ketika memutuskan ikatan dengan norma kultur itu, maka aku
akan sendirian. Dan itu berat.
Lalu aku masuk seni rupa, meskipun orang tuaku tidak setuju, tetapi itu
sudah menjadi jalanku. Di akademi seni rupa pun, aku merasakan kultur
patriarkis, dosennya mayoritas laki-laki. Aku pikir ini adalah cermin dari
masyarakatku.
Aku juga merasakan di ruang kuliah pun ada diskriminasi halus, "Ah...mana
ada sih seniman perempuan yang berhasil...", itu yang membuatku
berambisi untuk mengubah pendapat itu. Mungkin karena itu orang
mengatakan bahwa aku ini perempuan yang ambisius...
Tetapi aku juga sadar, akan sulit menemukan orang-orang yang bisa
kuajak komunikasi. Untuk itulah aku menulis, mengeluarkan apa yang
mendesak yang ada dalam perasaanku. Kemudian aku juga menemukan
berbicara dengan orang asing, orang jalanan ngomongnya lebih enak, lebih
bebas. Itu mungkin karena mereka nggak mriyayi, lebih egaliter. Sedang
pada kelasku lebih banyak aturan yang tidak transparan dan tidak bisa
dipertanyakan secara terbuka.

73

Pada level kelas menengah, wacana perubahan itu lebih cepat tercerap,
tetapi di level bawah lebih cepat mengakomodir. Karena mereka lebih
dinamis, "perasaan aman kelas menengah mapan" tidak ada pada mereka.
Jadi mereka lebih bersifat nothing to loose.
Permasalahan gender, atau katakanlah penyejajaran posisi, baru bisa
dilakukan dengan beberapa syarat: pembongkaran dominasi laki-laki
terhadap perempuan, keterbukaan politik, dan tentu saja perubahan politik.
Aku pikir untuk mensosialisasikan ide-ide perubahan itu harus dimulai dari
kelas bawah. Kelas menengah, seperti apa yang aku katakana tadi,
terlampau konservatif untuk melakukan perubahan. Dan itu bukan terjadi
begitu saja. Sesuatu harus dilakukan!
Persoalan gender dan agama itu terletak antara lain pada monopoli
penafsiran oleh sedikit orang (yang kebanyakan laki-laki). Untuk melakukan
pembongkaran diperlukan usaha untuk melakukan desakralisasi, tidak saja
melalui seni tetapi juga lewat pendekatan sosial.
Kebanyakan pemikir perempuan berasal dari kelas menengah yang di
Indonesia secara kelas masih bermasalah. Kelas menengah punya
kekuatan untuk bergerak, untuk melakukan mobilisasi, tetapi kelas
menengah juga menciptakan hirarki baru, dan ini bisa berasal dari tinggalan
masa lalu cuma dalam bentuk berbeda. Jadi disamping melakukan
penyadaran ke kelas lain, mereka seharusnya melakukan juga penyadaran
pada kelas mereka sendiri. Katakanlah sebagai cara untuk mengurangi
arogansi kelas itu.
Tetapi proses penyadaran, atau kalau aku sebut juga penelanjangan diri
pada kelas menengah jauh lebih sulit, sehingga itu mungkin menyebabkan
mereka melakukan penelanjangan pada kelas lain. Sebagai seniman, aku
menggunakan seniku dengan melihat sasaran yang ingin aku tuju: pada
kelas menengah aku akan banyak menggunaan teori, sedang kelas yang
lain aku menggunakan cara berbeda.
Dalam proses pembuatan karya aku lebih cenderung melihat persoalan
secara riil dan manusiawi. Tetapi aku tetap menjaga kesadaranku bahwa
aku seorang perempuan, karena bagaimanapun kebudayaan itu
"berkelamin".
Secara umum aku mengembangkan sebuah mode of communication, aku
tidak hanya berpikir secara logis dan rasional saja. Aku mengistilahkan
74

komunikasi itu sebagai "hawa". Tetapi bagaimana membuat hawa menjadi


hidup ditengah atmosfir yang telah tercemar oleh pembusukan politik,
bahasa yang maskulin, dan lain-lain adalah dengan cara melihat persoalan
gender bukan semata-mata masalah maskulin-feminin, tetapi lebih melihat
pada aspek-aspek energi yang terkandung didalamnya.
Istilah energi menurutku bisa menetralisir beban-beban yang sifatnya bias
gender. Kalau kita mampu mengaturnya maka terjadilah keseimbangan.
Dalam konteks berkarya dengan tema bias gender aku tetap lebih memilih
untuk "menggedor", tetapi memang sering terjadi ketidaksinkronan antara
karya dengan penonton. Itu berarti aku harus lebih memahami lagi dengan
siapa aku berkomunikasi.
Meskipun ada banyak tema dalam karya-karyaku tetapi ia tetap memiliki
benang merah, yaitu hubungan antara pihak yang lemah dan yang kuat.
Tetapi aku sadar bahwa akan berhadapan dengan sebuah mesin besar
yang bernama kapitalisme, yang mampu memproduksi image, simbol, dan
pencitraan yang lain.
Lewat karya-karyaku aku ingin memaknai tubuh perempuan. Sebuah
subjek yang telah dimanipulasi dan dieksploitasi oleh kebudayaan dan
kapitalisme. Aku ingin membuat koreksi. Dan koreksi itu aku mulai dari titik
bahwa selama ini tubuh perempuan telah menjadi komoditi. Aku pikir setiap
orang boleh memaknai tubuhnya sendiri-sendiri, seperti halnya laki-laki
memaknai dirinya sebagai kekuasaan. Sedangkan pada tubuh perempuan
ia tidak pernah memaknai, tetapi selalu dimaknai. Itu yang ingin aku rebut
kembali.
Tetapi aku dalam berkarya menolak upaya pendiktean dari luar. Tubuh
perempuan(ku) bukan sesuatu yang untuk dijarah dan diperkosa!
Arahmaiani menunjukkan dirinya sebagai seniman yang rajin dan tekun
mengolah pengalaman pribadi yang lahir dari identitas keperempuanannya,
kegelisahannya memandang relasi perempuan-tradisi-norma masyarakatagama-kapitalisme sebagai bahan bakar abadi bagi penciptaan karyakaryanya.
Pada Juni 1999, di auditorium CCF Bandung, Arahmaiani menampilkan
instalasi dan performance berjudul "Dayang Sumbi Menolak Status Quo".
Bagi Arahmaiani, Dayang Sumbi adalah simbol profil perempuan khas
jaman Orde Baru yang pasif, terlalu banyak berkorban dan menanggung
beban--hidup terasing, kawin dengan anjing, melahirkan anak yang
75

kemudian membunuh bapaknya dan jatuh cinta padanya, membuat Dayang


Sumbi harus menarik diri kembali--dan masih tetap tidak pernah dianggap
sebagai figur sentral dalam cerita besar Sangkuriang Sakti. Gugatan
terhadap posisi perempuan dalam konsep madon sebagai bagian dari mo
limo dalam budaya Jawa juga diungkapkannya dalam karya berjudul "Aku
Tak Ingin Menjadi Bagian dari Legendamu". Berikut ini adalah semacam
jawaban Arahmaiani yang sedikit terungkap dalam komik yang saya sebut
di atas.
Aku berhadapan dengan ekstase kapitalisme, dan seni harus berhadapan
dengan itu semua. Aku juga menggunakan medium-medium yang mereka
pakai--semacam subversi simbol--untuk memberi contoh. Selain itu aku
juga berhadapan dengan sebuah persepsi, terutama yang berasal dari
agama Islam, bahwa "tubuh perempuan itu bersalah!" Aku ingin sebuah
keseimbangan antara wilayah material dan spiritual; antara tubuh material
dan tubuh spiritual. Karya Dayang Sumbi Menolak Status Quo adalah
caraku untuk mengkonkretkan sesuatu yang abstrak supaya tidak tinggal
menjadi abstraksi. Ada dua lapis makna di sana, yang pertama
memperlihatkan; lapisan kedua, respon dengan segala kompleksitasnya.
Dalam karya ini aku ingin mengatakan kapitalisme adalah agama
kontemporer. Orang berusaha mempertahankan dengan jiwa, mereka mau
berjihad membentuk tentara untuk menjaganya, dan ia juga menawarkan
surga dan kebahagiaan. Dalam sistem ini, sekali lagi, perempuan hanya
untuk dieksploitasi. Pada konsep agama yang formalis dan skriptualis,
seolah-olah tidak ada tempat bagi kesenian yang kritis. Kalaupun mereka
ada, mereka harus menggunakan cara-cara khusus. Cara-cara khusus itu
adalah dengan membongkar agama pada tingkat tekstualnya, dan bukan
pada tingkat praktiknya.
Ketika tidak mungkin aku melawan suatu system yang besar sekaligus,
kapitalisme misalnya. Yang aku butuhkan adalah sebuah landasan yang
kemudian mampu mengartikulasikan ide-ideku sehingga bentuk akhirnya
tetap terbaca. Pada situasi politik yang berubah sekarang ini, seniman juga
harus mendefinisikan kembali dirinya karena masyarakat dan individu
lainnya telah atau tengah berubah. Akhirnya seniku adalah kehidupan. Aku
ingin melebarkan kanvasku pada kehidupan itu sendiri.
Arahmaiani lahir tahun 1961. Ia bisa dikatakan kenyang pengalaman
berkarya di jaman Orde Baru yang serba menekan, juga telah menyaksikan
bagaimana tragedi demi tragedi terjadi demi sesuatu yang dinamakan
76

perubahan. Saya rasa pengalaman ini membuatnya tidak pernah berhenti


bertanya dan menggugat apa saja.
Pertengahan 2004 lalu Arahmaiani meluncurkan buku kumpulan puisi "Roh
Terasing". Pada puisi "Cita -Cita" kita lihat bagaimana keberaniannya
bertanya ini kembali ditunjukkan:
Waktu kecil aku ditanya
Cita-citaku apa
Kubilang mau jadi nabi
Bapak bilang: tidak bisa
Anak perempuan boleh meraih cita-cita
Mencari ilmu ke Roma atau Cina
Mendapat gelar terhormat
Kemuliaan
Tapi bukan sebagai nabi
Itu hanya untuk anak lelaki
Sesudah dewasa aku ditanya
Kapan akan berkeluarga
Dan aku bilang: kapan-kapan saja
Sebab keinginanku untuk jadi nabi
Dan boleh mendapat wahyu
Belum juga sirna
Kalaupun aku harus punya laki-laki
Mestilah ia seseorang yang
Ingin jadi Tuhan

an. Artinya mereka memasuki perguruan tinggi pada tahun 2000 atau 2001.
Reformasi sudah lama lewat. Gaung gerakan mahasiswa yang dulu pernah
begitu kencang terasa diantara ruang-ruang kuliah dan kota Yogyakarta-dan jadi penanda penting kedudukan kaum muda Indonesia--hanya pada
beberapa tahun sebelumnya (1997-1998), mungkin kini hanya mereka baca
dari guntingan kliping koran, buku-buku, atau mendengar cerita-cerita
orang. Pameran ini sendiri diikuti oleh 7 orang perempuan muda: Dessy
Sahara Angelina (Ina), Amriana (Amri), Yuli Andari Merdikaningtyas
(Andari), Reska Andini (Reska), Margaretta (Rere), Made Primaswari
(Prima), dan Anastasia Dessy (Anas).
Dari semua peserta residensi dan pameran tersebut, hanya Amri yang
mempunyai pendidikan formal fotografi (ISI Yogyakarta), sementara yang
lain tidak pernah mendapat pendidikan formal maupun non formal dalam
bidang fotografi. Pada tahap ini memang soal kamera jenis apa yang
digunakan dan persoalan kemahiran teknis fotografi tidak jadi masalah
besar, karena yang penting adalah bagaimana sebuah kamera
dipergunakan untuk merepresentasikan dan membaca dirinya sendiri. Dan
memang persoalan inilah yang menjadi fokus pada awal pelaksanaan
residensi dan pameran tersebut, karena meskipun hampir semua peserta
sudah pernah memegang kamera pocket, tetap saja mereka merasa tidak
yakin apakah dirinya benar-benar mampu memotret dan menghasilkan
sesuatu yang layak disebut "karya seni". Fotografi disini akhirnya
diterjemahkan secara bebas. Poin pentingnya adalah justru bagaimana ia
digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang praktis--dan
akhirnya ideologis, bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan diskursus
seni kontemporer.

Pada bagian selanjutnya, saya ingin menunjukkan intensitas pengolahan


identitas seniman perempuan dari generasi yang berbeda dengan generasi
Arahmaiani, yang menunjukkan dirinya dalam bentuk yang lain, dengan isu
dan juga bahasa yang samasekali berbeda.
Feminitas dan Budaya Anak Muda
Pameran dengan tajuk "Youth of Today" yang dipamerkan di Ruang Mes
56 Yogyakarta, sebuah ruang alternatif untuk fotografi kontemporer,
Agustus 2004 lalu, bagi saya menarik karena darinya bisa dilihat suatu
gambaran ruang lingkup anak muda Indonesia jaman sekarang. Atau bisa
juga dibaca sebagai bagaimana remaja perempuan masa kini berdialog
dengan konteks sosial politik yang melingkupi kesehariannya, apa problemproblemnya, dan hal-hal apa saja yang dianggap penting atau trendi
menurut mereka. Sebagian besar dari peserta pameran lahir tahun 198077

Andari bahkan boleh dibilang baru pertama kali memegang kamera digital,
bukan kamera pocket seperti biasanya, yang itupun jarang-jarang
dilakukan, paling kalau ada momen penting dalam keluarga: pesta, ulang
tahun, wisuda, atau piknik. Sehingga ketika pertama kali berkesempatan
memegang kamera digital, dengan segala kemudahannya, ia seperti
mendapat semacam guncangan karena semua menjadi tampak menarik
untuk dipotret. Dan kemungkinan untuk memotret kesehariannya pun
menjadi terbuka lebar. Sebagai latihan memotret, Andari memotret
gantungan celana dalam, bra, handuk, gayung dan aneka perlengkapan
mandi yang berjajar rapi di kamar mandi, poster-poster di kamarnya,
deretan buku di rak kayu, yang ada di rumah kos yang ditempati bersama
40 teman perempuannya yang lain.
Jika melihat karya Rere--kolase dari foto dan guntingan majalah yang
menggambarkan pemain band--dan karya Riska--video mengenai
78

kehidupan sehari-hari sebuah kelompok band indie dan kumpulan foto


pentas band indie yang pernah disaksikannya--misalnya, maka bisa
dipastikan bahwa tampaknya dunia yang dominan dari mereka adalah
dunia musik. Yogyakarta sendiri saat ini dikenal sebagai kota dengan bandband indie yang banyak jumlahnya. Di kota ini juga mempunyai beberapa
media alternatif bikinan anak muda yang menempatkan musik sebagai
materi penting dari isi media mereka, misalnya Outmagz, Square, atau
Shine.
Jika dulu istilah media alternatif atau media independen identik dengan
pers mahasiswa, saat ini bagi sebagian anak muda lain, peran itu telah
banyak digantikan dengan zine. Zine punya sejarah panjang sendiri di
Amerika sana. Tapi secara singkat ia adalah majalah beroplah kecil, yang
oleh pembuatnya dibuat dengan teknik potong dan tempel, lalu difotokopi
atau dicetak, dan didistribusikan sendiri. Isinya luar biasa bermacammacam mulai dari puisi, umpatan dan gugatan pribadi, cerpen, komik,
ulasan musik atau kondisi sosial-ekonomi-politik di sekelilingnya. Dengan
metode pembuatannya seperti itu, zine berada diantara media personal dan
umum. Ada sangat banyak media alternatif seperti ini bertebaran di kotakota Indonesia. Berikut ini adalah sebagian nama mereka: Daging Tumbuh,
Combro, Terompet Rakyat, Suara Hati, Venceremos, Anarkisme, Beni,
Menolak Tunduk, dsb. Nama-nama tersebut sebagian saya dapat dari
koleksi perpustakaan tempat saya bekerja, dan sekarang semua orang
bahkan bisa mendapatkan katalog lengkap zine pada suatu situs yang
khusus mendedikasikan dirinya untuk masyarakat pembaca zine di
Indonesia yaitu penitipink.blogspot.com.
Zine ini kadang jadi media untuk mempromosikan band-band lokal di kota
masing-masing, informasi gig-gig terbaru di kotanya, atau info tentang
barang-barang baru yang dijual distro-distro lokal. Pokoknya segala yang
berkaitan dengan budaya anak muda sekarang. Ada pertautan erat antara
musik dan anak muda, antara musik dan dunia seni visual. Banyak perupa
yang sekaligus jadi pemain band, perupa yang mengelola sebuah band,
atau perupa yang melibatkan diri dalam proses industri musik. Tengoklah
para aktivis Ruang Rupa, sebuah ruang alternatif untuk seni visual di
Jakarta, dan dapat ditemui seniman yang mempunyai pekerjaan lain
sebagai manajer sebuah band, vokalis band, atau mengelola rumah
produksi pembuat video klip. Riska sendiri adalah pemimpin redaksi
Square. Rere adalah vokalis grup band Plastic Dolls. Anas dan Prima
adalah editor majalah musik Shine. Dengan latar belakang atmosfer seperti
inilah mereka hidup.

79

Tema mengenai romantika dan percintaan masih menjadi titik sentral


bahasan majalah-majalah remaja perempuan--baik lokal maupun lisensi-yang beredar di Indonesia: tips mengetahui isi hati cowok, tips memperkuat
inner beauty cewek, tips menjadi cewek favorit di sekolah, kuis 'apakah
kamu benar-benar suka si dia?', dsb. Topik pembicaraan utama, diselingi
aneka topik tentang tugas dosen-kerjaan di rumah yang numpuk, dalam
acara girl talk di kamar entah siapa, bersama teman-teman lain. Dan
karya berdua Anas & Prima--cerita foto mengenai kisah cinta seorang robot
hitam dengan boneka cantik--bagi saya seperti menyuarakan cita-cita
romantika para remaja perempuan seperti biasa dibaca pada majalah
remaja perempuan: a happy ending love story , pahlawan baik hati dengan
puteri jelita, robot Black Robin dan Barbie Ariel. Meski sampai disini,
rasanya perlu membuat studi yang bisa lebih jauh mengungkapkan apakah
anak muda sekarang masih menginginkan bentuk hubungan laki-lakiperempuan yang seperti itu. Tapi dari pembacaan film-film remaja yang
sekarang beredar di rental-rental VCD/DVD dapat dengan mudah dilihat
bahwa dongeng Cinderella yang merindukan pangeran tampan--tentu
dengan sentuhan yang lebih kontemporer--banyak ditemui. Beberapa film
terbaru dengan tema diatas adalah Prince & Me , Cinderella Story,
Confession of a Teenage Drama Queen.
Sementara proyek-proyek fotografi lain yang akan saya bicarakan berikut
ini mengungkapkan sisi-sisi feminitas yang lain, yang merupakan kunci
untuk melihat bagaimana perempuan jaman sekarang membicarakan tubuh
dan seksualitasnya sendiri.
Mata saya tertuju pada seri foto seorang perempuan yang tampak sedang
berusaha memasang selembar pembalut di kemaluannya. Foto-foto itu
dipasang di tembok, yang penuh dengan coretan-coretan tulisan yang
ditulis dengan cat piloks berbunyi: "She contaminates", "Does my vagina
scare u enough?", "Growing up sucks", "Justification of power would be
forever his if I let him to!", "Just pics of my pussy, dats all". Ini karya Ina,
dan tokoh yang ada dalam seri foto itu dirinya sendiri.
Salah seorang teman laki-laki yang kebetulan sama-sama berdiri melihat
foto itu di samping saya berbisik," Aduh, aku ngeri lihat foto-foto ini.
Rasanya langsung theng gitu di pikiranku." Sementara seorang teman yang
sehari-harinya berprofesi sebagai fotografer di Jakarta langsung
berkomentar, "Ih, jorok! Siapa sih ini yang motret?" Di telinga saya,
ungkapan kekagetan dan kejijikan yang keluar dari teman-teman laki-laki-yang menurut saya berpikiran bebas dan terbuka--itu cukup mengagetkan.
Saya tidak menduga bahwa ternyata ekspresi yang terbuka mengenai
menstruasi--hal alamiah yang dialami setiap perempuan--rupanya masih
80

menjadi sesuatu yang tidak cukup nyaman untuk didengar atau dilihat.
Awalnya saya berpikir bahwa mungkin ucapan yang keluar dari kelompok
laki-laki--yang tidak mengalami sendiri pengalaman menstruasi--akan
berbeda dari reaksi kelompok perempuan yang melihat karya ini. Tapi
ternyata reaksi kaum perempuan pun berbeda-beda. Meski ada yang
menganggap karya Ina ini sebagai reaksi kejujuran perempuan, tapi saya
juga menjumpai sebagian perempuan peserta pameran ini yang
berpendapat bahwa karya ini membuat mereka malu, dan merasa bahwa
seharusnya hal-hal seperti itu--vagina, menstruasi--tidak sepantasnya
dipamerkan secara luas seperti ini.
Proyek mempertanyakan tubuh yang lain juga ada pada karya Amri dan
Andari. Amri mengajak melihat persoalan tubuh perempuan gendut versus
tubuh perempuan kurus sebagai konstruksi ideal kecantikan seperti yang
selalu ada dalam iklan di majalah dan televisi. Dan meski tidak sejelas Ina
dan Amri, bagi saya proyek memotret buku agenda yang dilakukan Andari
merefleksikan tubuh perempuan dalam versi lain: tubuh perempuan yang
terjadwal rapi dan ketat. Jam 5: bangun, jam 5.30: mencuci baju, jam 7.30:
berangkat kuliah, jam 16: ketemuan sama Mas Nino, jam 20.30: harus
sudah sampai kos, nonton AFI!! .
Kebiasaan menuliskan pengalaman harian, di buku harian atau di buku
agenda yang selanjutnya lebih populer disebut dengan organizer bukan
hanya simbol manusia modern yang menginginkan pengaturan kehidupan
yang serba rapi, terjadwal, efisien, tapi juga bisa dimaknai sebagai
penulisan sejarah personal yang emotif. Dalam esai pendek yang ditulis
Andari dan dipasang di samping seri foto buku agendanya, ia menceritakan
kembali pengalaman teman-temannya mengenai buku agenda yang dimiliki
mereka: "Seorang teman bercerita padaku bahwa jika tiba saatnya untuk
menulis di buku harian, ia akan mengingat kembali apa saja yang sudah
kulakukan seharian. Bila ia sedang kesal, ia akan tuliskan semuanya dalam
diari. Beberapa waktu setelah menulis, bila ia baca kembali buku itu, ia bisa
tersenyum sendiri. Sementara teman lain bernama Wikan menuliskan kisah
keseharian pada lembar-lembar khusus berwarna merah muda yang ada
pada organisernya. Lembar-lembar merah muda ini adalah bagian yang tak
boleh dijamah siapapun. 'Semua campur aduk dalam organiserku. Ada
jadwal kuliah, jadwal marching band dan ada beberapa ungkapan hati
ketika sedih atau senang. Teman-teman sering membuka organiserku tapi
khusus lembar merah muda, tidak boleh,' kata Wikan."
Saya membayangkan beberapa tahun kemudian ketika para pemilik
agenda ini menjalani kehidupan pernikahan, mereka akan mengulangi
kembali ritme jadwal tubuh ketat dan rapi antara keluarga-suami-pekerjaan81

kehidupan sosial-tetangga-mertua, dan membuat perempuan merasa


selalu sibuk, tapi sekaligus merasa selalu mempunyai masalah--persoalan
yang tidak bernama--dan merasa sangat kosong dalam hatinya.
Aku dan Mereka
Di Indonesia, khususnya paska reformasi 1998, kita menyaksikan pintupintu yang terbuka pada banyak komunitas yang dulunya bergerak secara
tertutup. Salah satu komunitas itu adalah komunitas gay/lesbian di
Indonesia. Saat ini terasa benar para pegiat komunitas gay/lesbian di
Indonesia bergerak dan bekerja--membangun jaringan antar mereka sendiri
dan organisasi-organisasi lain terkait--untuk menunjukkan makna
demokratisasi dan penghargaan tulus kepada sesama manusia.
Seiring dengan hal tersebut, pada dunia majalah laki-laki, terdapat
perkembangan baru yang juga menarik untuk disimak. Dari beberapa studi
atas artikel-artikel Majalah HAI, bisa dirunut wacana machoisme atau
kejantanan yang ditekankan oleh para jurnalis majalah tersebut terhadap
para pembacanya: pemberani, tidak boleh cengeng, tidak boleh menangis,
tidak boleh bersifat pengecut, tidak boleh suka bergunjing atau bergosip
apalagi latah, karena bisa dianggap kecewek-cewekan. Selanjutnya,
penambahan rubrik fashion yang berisi perkembangan mode remaja lakilaki, serta rubrik yang berisi tips perawatan tubuh: bagaimana supaya
bebas dari jerawat, kiat supaya rambut tidak mudah rontok, atau
bagaimana membuat wajah tetap cerah, menunjukkan bahwa segala
urusan perawatan tubuh bukan hanya monopoli kaum perempuan,
melainkan aktivitas yang multiseksual. Lebih jauh, hal ini merupakan
beberapa tanda yang menegaskan terjadinya negosiasi wacana
maskulinitas yang selama ini diam dalam pengetahuan bersama
masyarakat. Dan mungkin hal ini akan terdengar terlalu spekulatif, tetapi
bagi saya hal ini merupakan salah satu bibit keterbukaan terhadap
preferensi seksualitas yang berbeda-beda.
Pada 2003 dan 2004, Q-mmunity sebuah komunitas gay, lesbian dan
transeksual yang berbasis di Jakarta, membuat sebuah pameran seni
visual bertajuk 'Roman Homogen'. Pameran ini diadakan bersamaan
dengan festival film gay, lesbian, dan transeksual--dengan menghadirkan
kurang lebih 100 film--di kota yang sama. Baru-baru ini, festival yang
sama berkeliling ke Yogyakarta. Para peserta pameran 'Roman Homogen'
adalah sebagai berikut: Ayu Rai Laksmini (Bonnie), Imelda Taurina, Ade
Kusumaningrum, Ve Handojo, Yoyok Budiman dan John Badalu.
82

Sedangkan peserta pameran 2004 adalah: Permana, Erza Setydharma,


Imelda Taurina, Yuska L. Tuanakotta, John Badalu.
Agak sulit untuk menemukan definisi film gay dan lesbian, juga batasan
seni visual gay dan lesbian. Apakah ia adalah karya dengan tema gay,
lesbian dan transeksual? Ataukah ia adalah karya yang dibuat oleh kaum
gay, lesbian, dan transeksual itu sendiri, dan dengan demikian maka segala
isinya adalah refleksi cara pandang gay, lesbian, dan transeksual itu atas
dunia? Batasan yang paling mudah memang dengan melihat latar belakang
si pembuat karya itu sendiri, karena karya dengan tema gay, lesbian,
transeksual yang dibuat oleh komunitas 'yang lain' tidak selalu bernada
positif. Kita tentu dapat dengan mudah membuat daftar film-film Indonesia
dengan tokoh seorang transeksual yang hanya dipasang sebagai bahan
tertawaan. Semua peserta pameran 'Roman Homogen' berasal dari dalam
lingkungan komunitas gay, lesbian, dan transeksual itu sendiri. Mereka
adalah perupa gay dan lesbian yang sudah coming out dan merasa
nyaman dengan seksualitasnya dalam masyarakat.
Seksualitas tampak menjadi hal yang dominan sebagai tema karya-karya di
sana. Mungkin karena seksualitas adalah bagian dari mereka yang
mendapat represi paling hebat. Persoalan lain yang juga menarik perhatian
saya dalam pameran tersebut adalah ditampilkannya jejak-jejak sosok
Michel Foucault pada karya Ayu Rai Laksmini, dan Frida Kahlo pada karya
Ade Kusumaningrum. Ade Kusumaningrum membuat karya foto diri yang
saling berhadapan dengan dirinya sendiri. Satu pose foto yang jelas
mengingatkan kita pada karya Frida Kahlo berjudul Two Fridas. Michel
Foucault adalah seorang ilmuwan sosial yang memberikan beberapa
landasan penting tentang operasi kuasa/pengetahuan tentang seksualitas,
sekaligus salah seorang yang mewakili kaum gay dari dunia intelektual.
Frida Kahlo adalah seorang pelukis perempuan Meksiko yang tersohor, dan
dari membaca catatan-catatan tentang dia atau buku biografinya, terlihat
jelas sisi-sisi biseksualitasnya. Meski bagi sebagian orang, perihal
biseksualitas pada Frida Kahlo masih merupakan misteri. Bagi saya,
kehadiran dua tokoh tersebut adalah juga sarana untuk menegaskan
intelektualitas seniman dan dengan demikian kepemilikannya atas wacana
dan lingkungan elit.
***
Terdapat beberapa poin yang saya rasa bisa menjadi penutup esai ini.

83

Pertama, tubuh masih jadi medan pertarungan penyampaian ekspresi


seniman perempuan. Kita telah melihat bagaimana para seniman
perempuan--dari generasi yang berbeda-beda ini--memaknai tubuh,
feminitas dan identitas perempuannya, serta hal-hal apa saja yang
mempengaruhinya. Seni adalah suatu ekspresi personal, dan tiap seniman
punya pengalaman dan pengetahuan sendiri untuk diolah sebagai karya.
Dari telaah terhadap kerja Arahmaiani dan para seniman perempuan yang
berasal dari generasi lebih muda, dapat dilihat perbedaan institusi-institusi
yang berperan penting dalam proses penciptaan karya mereka. Pada
Arahmaiani kita mungkin bisa melihat 'negara', 'agama' dan 'masyarakat'.
Pada diri generasi seniman perempuan sekarang akan kita saksikan bahwa
institusi-institusi lama seperti negara tidak terlalu dianggap penting. Mereka
menemukan dirinya dalam institusi-institusi baru: musik atau kerumunan
rave , media alternatif, televisi, majalah remaja.
Kedua, ada dunia lain atau ruang sunyi yang selama ini luput dari ruang
diskusi wacana seni visual kontemporer di Indonesia yaitu ruang-ruang
yang selama ini dihuni oleh kaum yang terpinggirkan secara seksualitas.
Mereka ini adalah gay, lesbian, transeksual dan kelompok lainnya (warok,
mairil, bissu). Maka itu usaha yang bergerak mendorong kebebasan
berbicara dan 'menuliskan dirinya' sendiri seperti tampak dalam 'Roman
Homogen' adalah sesuatu yang berarti. Bukan saja karena hal ini adalah
suatu hal yang masih langka dilakukan, tapi karena ia dilakukan dari dalam,
oleh mereka sendiri.
Ketiga, peranan bahasa Inggris. Banyak para seniman muda yang saat ini
menggunakan bahasa Inggris dalam judul maupun teks karya-karyanya.
Satu sisi, hal ini bisa dianggap sebagai salah satu menghadapi pasar
global. Tapi ketika saya melihat begitu banyak coretan grafitti di jalanan
yang juga ditulis dalam bahasa Inggris, saya berpikir lain. Jika untuk
menorehkan ekspresi jiwanya seseorang menggunakan bukan bahasa
ibunya, apa artinya? Dalam pameran 'Youth of Today', Ina menulis teksteks bahasa Inggris dalam karyanya. Mengapa Ina merasa perlu
menggunakan bahasa Inggris untuk menuliskan tubuhnya sendiri? Mungkin
bahasa daerah atau bahasa Indonesia tidak lagi cukup ekspresif dan
mengena bagi Ina untuk mampu mewadahi suara pikirannya. Atau mungkin
memang bahasa ibu--bahasa daerah misalnya--pada jaman sekarang
sudah sangat jarang digunakan oleh anak muda untuk mengungkapkan
identitas dirinya. Sehingga akhirnya merasa lebih enak dan pas jika
menggunakan bahasa Inggris. Tidakkah hal ini merefleksikan bahwa
ternyata tidak hanya kondisi sosial yang mengalami kebuntuan, tetapi
bahkan bahasa juga macet dan tidak lagi berfungsi sempurna.
84

Daftar Pustaka

Arahmaiani. 2004. Roh Terasing . Yogyakarta: Bentang Budaya.


Dyanto, Ari. 2003. Kebudayaan Itu Berkelamin. Dalam Adi Wicaksono et.al (ed.),
Aspek-aspek Seni Visual Indonesia: Politik dan Gender. Yogyakarta: Yayasan Seni
Cemeti.

perempuan. Sedangkan menurut Nancy Chodorow (1992), perbedaan fisik


secara sistematis antara laki-laki dan perempuan mendukung laki-laki untuk
menolak feminitas dan untuk secara emosional berjarak dari perempuan
dan memisahkan laki-laki dan perempuan. Konsekuensi sosialnya adalah
laki-laki mendominasi perempuan.

Oleh NURAINI JULIASTUTI

Superioritas laki-laki atas perempuan bisa dirunut mulai dari jaman


penciptaan Adam dan Hawa, jaman filosofi Yunani Kuno sampai jaman
modern. Laki-laki dan perempuan tidak hanya dianggap sebagai makhluk
yang berbeda, tapi juga sebagai seks yang berlawanan. Sebuah pertemuan
antara dunia laki-laki dan perempuan adalah "pertempuran seks" (the battle
of the sexes). Laki-laki dan perempuan dipolarisasikan dalam kebudayaan
sebagai "berlawanan" dan "tidak sama".

Mengapa semua laki-laki harus maskulin dan perempuan harus feminin?


Mengapa laki-laki harus tampak jantan dan perempuan harus tampil
lembut? Mengapa semua laki-laki cenderung mempunyai posisi lebih tinggi
dari perempuan? Apakah hanya karena persoalan dia "laki-laki" dan dia
"perempuan? Ataukah karena "dikonstruksikan secara sosial"?

Kisah superioritas laki-laki atas perempuan bisa dimulai dari cerita


penciptaan manusia dalam kitab suci Bibel, sebuah cerita yang sangat
umum dikenal seperti ini: Adam diciptakan terlebih dulu dan Hawa
diciptakan darinya. Jadi Adam adalah kreator dari Hawa, dan Hawa
diciptakan untuk membantu Adam. Secara sosial dan secara moral, Adam
lebih superior karena Hawa adalah penyebab kenapa mereka berdua
dikeluarkan dari surga.

Esai ini pertama kali termuat di Jurnal Mandatori, diterbitkan oleh IRE Yogyakarta, Mei 2005.

Kebudayaan yang Maskulin, Macho, Jantan, dan Gagah

Pertanyaan-pertanyaan diatas, seperti juga pertanyaan-pertanyaan tentang


kematian, tuhan, dan kehidupan, mungkin adalah pertanyaan-pertanyaan
abadi. Persoalan-persoalan seputar jagad perempuan dan jagad laki-laki
seperti ketegangan abadi yang tidak pernah mereda.
Laki-laki, beruntung atau tidak, selalu menempati posisi lebih tinggi dari
perempuan. Konsep budaya yang menempatkan posisi laki-laki lebih
sempurna dari perempuan, dan yang mengharuskan laki-laki dan
perempuan bertindak sehari-hari menurut garis tradisi sedemikian rupa
sehingga perempuan berada dalam posisi "pelengkap" laki-laki, semuanya
berakar pada budaya patriarki.
Juliet Mitchell (1994) mendeskripsikan patriarki dalam suatu term
psikoanalisis yaitu " the law of the father " yang masuk dalam kebudayaan
lewat bahasa atau proses simbolik lainnya. Menurut Heidi Hartmann
(1992), salah seorang feminis sosialis, patriarki adalah relasi hirarkis antara
laki-laki dan perempuan dimana laki-laki lebih dominan dan perempuan
menempati posisi subordinat. Menurutnya, patriarki adalah suatu relasi
hirarkis dan semacam forum solidaritas antar laki-laki yang mempunyai
landasan material serta memungkinkan mereka untuk mengontrol
85

Phytagoras (1993), seperti dikisahkan oleh Aristoteles, membuat tabel


pengklasifikasian hal-hal atau elemen-elemen yang berlawanan (oposisi
biner). Dari tabel yang dibuat oleh Phytagoras ini terlihat bahwa laki-laki
dan perempuan tidak hanya ditempatkan sebagai "berbeda" tapi juga
"berlawanan".
Dari tabel yang dibuat oleh Phytagoras tersebut menjadi jelas terlihat
bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak hanya
diasosiasikan dari perbedaan-perbedaan fisik saja tapi juga bisa
dihubungkan dari persoalan-persoalan lainnya. Misalnya, laki-laki
diasosiasikan dengan segala sesuatu yang bermakna light , good , right ,
dan one . Semua metafora yang dikenakan pada laki-laki adalah yang
berkenaan dengan makna Tuhan. Sementara perempuan misalnya,
diidentifikasikan dengan sesuatu yang bad , left , oblong , dan darkness .
Seperti halnya Phytagoras, Aristoteles juga beranggapan bahwa laki-laki
lebih tinggi kedudukannya dari perempuan. Aristoteles mengatakan bahwa:
secara natural, laki-laki itu superior, dan perempuan itu inferior. Yang
superior mengatur yang inferior, dan yang inferior harus rela untuk diatur.
Tabel yang berisi elemen-elemen yang saling berlawanan juga secara
86

gamblang menjelaskan hal ini. Secara natural laki-laki dan perempuan


adalah bermakna: superior dan inferior, pengatur dan yang diatur, jiwa dan
tubuh, akal dan nafsu, manusia dan binatang, atau makhluk bebas dan
budak. Perempuan adalah laki-laki yang impoten. Perempuan adalah
makhluk yang terdingin dan terlemah di alam. Bahkan ia mengatakan
bahwa contoh yang paling baik untuk melihat segala defisiensi
(kekurangan) alam adalah dengan mengamati karakter perempuan.
Alam pemikiran modern tampaknya terus berpijak pada pemikiranpemikiran sebelumnya sehingga gagasan-gagasan tentang laki-laki dan
perempuan tidak jauh mengalami perubahan atau perbedaan. Bahkan JJ.
Rousseau (1993), salah seorang pemikir revolusi Prancis memulai
karyanya The Social Contract dengan kalimatnya yang terkenal seperti ini: "
man is born free and everywhere he is in chains ". Argumennya adalah
seperti ini, " A woman's education must therefore be planned in relation to
man. To be pleasing in his sight, to win his respect and love, to train him in
childhood, to tend him in manhood, to counsel and console, to make his life
pleasant and happy, these are the duties of woman for all time, and this is
what she should be taught while she is young ".
Dalam bahasa Kate Millet (1993) telah terjadi "politik seks" ( sexual politics
) pada hubungan laki-laki dan perempuan. Ini adalah efek dari konsep awal
Freud tentang perempuan yang menyatakan bahwa perempuan
sebenarnya adalah laki-laki yang tidak punya penis ( penis envy ). Menurut
Millet, Freud dengan teorinya itu telah meratifikasi anjuran-anjuran
tradisional dan memvalidasi perbedaan temperamental antara laki-laki dan
perempuan.
Simone de Beauvoir (1981) dalam The Second Sex banyak mencontohkan
wujud patriarki ini dalam bermacam-macam kebudayaan di dunia. De
Beauvoir menyatakan dalam budaya Arab misalnya, seorang anak
perempuan yang baru lahir sebisa mungkin akan disingkirkan karena
semua bayi perempuan dianggap tidak menguntungkan dibandingkan jika
mempunyai anak laki-laki. Masih menurut De Beauvoir, di negara-negara
Asia dan di banyak kultur lain, ketika seorang anak perempuan masih
berusia remaja, seorang ayah memegang kendali penuh atas hidupnya
sampai ketika ia menikah dan kontrol itu akan beralih ke tangan suaminya.
Di Tunisia, masih jadi pemandangan sehari-hari disana dimana para istri
bekerja keras menyiapkan makanan di dapur atau sibuk mengurus anakanaknya sementara para suami, si laki-laki asyik bergerombol dengan
teman-temannya, sesama laki-laki di warung-warung di pasar,
membicarakan dan mendiskusikan persoalan dunia.
87

Masyarakat India, seperti yang diceritakan oleh Kamla Bhasin (1996),


mengenal konsep Pativrata (kesetiaan ibu). Konsep itu menanamkan dalam
setiap kepribadian perempuan suatu pemahaman sebagai berikut: "dengan
apa perempuan menerima dan bahkan menginginkan kesucian dan
kesetiaan ibu sebagai ekspresi tertinggi dari kepribadian mereka". Dengan
konsep itu, para perempuan di India mau menerima apapun perlakuan
suami terhadap mereka karena yang penting bagi mereka adalah
menjunjung tinggi pativrata. Dan karena konsep itu disosialisasikan sendiri
oleh kaum perempuan maka status rendah perempuan dengan demikian
dibuat tidak terlihat dan patriarki pun dengan kuat ditegakkan sebagai
ideologi yang kelihatannya alamiah.
Patriarki dikonstruksikan, dilembagakan dan disosialisasikan lewat institusiinstitusi yang terlibat sehari-hari dalam kehidupan seperti keluarga,
sekolah, masyarakat, agama, tempat kerja sampai kebijakan negara. Sylvia
Walby (1993) membuat sebuah teori yang menarik tentang patriarki.
Menurutnya, patriarki itu bisa dibedakan menjadi dua: patriarki privat dan
patriarki publik. Inti dari teorinya itu adalah telah terjadi ekspansi wujud
patriarki, dari ruang-ruang pribadi dan privat seperti keluarga dan agama ke
wilayah yang lebih luas yaitu negara. Ekspansi ini menyebabkan patriarki
terus menerus berhasil mencengkeram dan mendominasi kehidupan lakilaki dan perempuan.
Dari teori yang dikembangkan Walby, kita bisa mengetahui bahwa patriarki
privat bermuara pada wilayah rumah tangga. Wilayah rumah tangga ini
dikatakan Walby sebagai daerah awal utama kekuasaan laki-laki atas
perempuan. Sedangkan patriarki publik menempati wilayah-wilayah publik
seperti lapangan pekerjaan dan negara. Ekspansi wujud patriarki ini
merubah baik pemegang "struktur kekuasaan" dan kondisi di masingmasing wilayah (baik publik atau privat). Dalam wilayah privat misalnya,
dalam rumah tangga, yang memegang kekuasaan berada di tangan
individu (laki-laki), tapi di wilayah publik, yang memegang kunci kekuasaan
berada di tangan kolektif (manajemen negara dan pabrik tentunya berada
di tangan banyak orang).
Rumah adalah tempat dimana sosialisasi awal konstruksi patriarki itu
terjadi. Para orang tua melakukan "gender" pertama-tama pada saat
memberi nama kepada anak-anaknya. Anak laki-laki lazimnya diberi nama:
Joko, Andi, Iwan, Budi, dan seterusnya. Sedangkan anak perempuan diberi
nama: Sita, Wati, Ani, Yuli, Rina, dan lain sebagainya. Anak laki-laki belajar
untuk menjadi "maskulin", dan anak perempuan belajar untuk menjadi
"feminin" dari hadiah-hadiah yang diberikan oleh ayah-ibu dan temanteman dekat pada saat ulang tahun. Mobil-mobilan dan robot untuk anak88

anak laki-laki, dan boneka serta bunga untuk anak perempuan. Hal ini
berlanjut juga untuk persoalan perlakuan ayah-ibu terhadap anak-anaknya.
Anak laki-laki diajari untuk bisa membetulkan genteng yang bocor atau
perangkat listrik yang rusak, sementara anak perempuan belajar memasak
dan menyulam. Para orang tua cemas dan gelisah jika anak-anak mereka
tidak bertingkah laku sesuai dengan garis konstruksi sosial yang telah
menetapkan bagaimana seharusnya anak laki-laki dan anak perempuan itu
bertingkah laku.
Hal serupa juga terjadi di institusi sekolah. Buku-buku pelajaran SD, tanpa
disadari bersifat patriarkis. Buku pelajaran bahasa Indonesia misalnya,
sering mengambil contoh-contoh kalimat seperti: Wati Memasak di Dapur,
Budi Bermain Layang-layang, dsb. Kalimat-kalimat kategoris bernada
manipulatif, yang mengkotak-kotakkan fungsi laki-laki dan perempuan
sesuai nilai-nilai kepantasan tertentu yang berlaku di masyarakat:
pekerjaan apa yang lazim dikerjakan anak laki-laki, dan apa yang lazim
dikerjakan oleh anak perempuan.
Kamla Bhasin kemudian menceritakan dalam budaya India, seorang
kenalan laki-laki yang selalu menjadi sasaran ledekan karena ia mendapat
latihan sebagai penari Kathak, suka menjahit dan merajut, yang semuanya
adalah aktivitas feminin, tidak cocok untuk untuk laki-laki sejati.
Dalam beberapa hal sebetulnya laki-laki juga dirugikan oleh patriarki.
Dalam berbagai sistem kebudayaan, seperti juga yang dialami perempuan,
mereka didesak ke berbagai macam stereotipe, dipaksa menjalankan
peranan tertentu, diharuskan bersikap menurut suatu cara tertentu, terlepas
mereka suka atau tidak. Mereka juga diwajibkan untuk menjalankan tugastugas sosial dan lainnya yang mengharuskan mereka berfungsi dalam cara
tertentu. Laki-laki yang sopan dan tidak agresif dilecehkan dan diledek
sebagai banci; laki-laki yang memperlakukan istrinya secara sederajat
dicap "takut istri".

Termuat di Newsletter KUNCI No. 8, September 2000

Meteor Mimpi, Meteor Garden


Oleh YULI ANDARI dan ALIA SWASTIKA

Dalam kurun tiga tahun terakhir ini, dunia pertelevisian di Indonesia


berkembang sangat pesat. Bertambahnya jumlah stasiun televisi dari 5
menjadi 11 dalam waktu yang singkat menunjukkan keberadaan televisi
sebagai salah satu industri media massa "favorit". Kris Budiman (2002)
mencatat bahwa jumlah jam siaran masing-masing stasiun tersebut
mencapai lebih dari 20 jam sehari. Artinya, dengan jumlah 11 stasiun
televisi, ada sekitar 220 jam tayang program per sehari.
Dalam banyak karya kajian budaya televisi dianggap telah menjadi media
yang memberikan kontribusi terbesar dalam proses produksi dan distribusi
budaya populer. Salah satu minat utama dalam kajian televisi adalah pada
tayangan drama. Drama adalah salah satu program televisi yang tak
pernah habis ditayangkan. Di hampir semua stasiun televisi, tayangan
drama (apapun nama atau bentuknya, mulai dari sinetron, opera sabun,
telenovela, hingga melodrama) selalu mendapat tempat di jam-jam tayang
utama (prime time). Tayangan ini juga menempati posisi yang tinggi dalam
perhitungan rating program televisi. Selain memberi suntikan iklan yang
cukup besar bagi stasiun televisi, tayangan drama juga menjadi sumber
utama bagi beberapa media cetak, yang menyediakan dirinya sebagai
media 'resensi' drama televisi.
Di Indonesia, tayangan drama awalnya dibanjiri produk impor, seperti
telenovela atau serial dari mancanegara. Ketika diputuskan bahwa rasio
tayangan lokal dan impor adalah 70:30 (70% produksi dalam negeri, 30%
impor), maka sejak itulah sinetron dalam negeri semakin banyak diproduksi
(Kitley, 2001).
Saat ini terdapat sekitar 80-an sinetron--termasuk telenovela dan
melodrama Asia--yang sedang diputar di stasiun-stasiun televisi swasta di
Indonesia. Yang menarik adalah bahwa 80% di antaranya selalu berujungpangkal pada persoalan cinta dan segenap romantismenya.
Masuknya serial Meteor Garden ( MG ), sesungguhnya hanya menambah
panjang daftar sinetron Asia yang masuk ke Indonesia. Sebelum MG
disiarkan, sudah ada banyak sinetron Asia yang ditayangkan stasiun
televisi Indonesia. Di akhir '80-an, TVRI, sebagai satu-satunya stasiun

89

90

televisi yang ada, menayangkan serial Oshin . Ia termasuk salah satu serial
Asia yang populer, digemari dan cukup sukses membawa kebudayaan
Jepang ke Indonesia. Setelah itu, menyusul serial Jepang lainnya, Rin .
Kemudian, pada awal '90-an, RCTI--yang merupakan stasiun televisi
swasta pertama--meneruskan tradisi ini dengan menayangkan film atau
serial yang diimpor dari Hongkong dengan bintang-bintang seperti Andy
Lau, Jackie Chan, dsb. Kebanyakan dari film tersebut masuk dalam
golongan film laga yang bercerita tentang kehidupan mafia Triad atau
Yakuza. Ada pula film-film jenis horor yang bahkan hingga kini masih
diputar.
Di pertengahan '90-an, muncullah stasiun televisi Indosiar yang tampaknya
memberikan perhatian lebih pada tayangan Asia. Di masa awal siarannya
Indosiar telah menayangkan melodrama Jepang seperti Tokyo Love Story ,
Long Vacation atau Ordinary People . Selanjutnya, Indosiar juga
menayangkan kisah-kisah silat yang biasanya telah dikenal dulu tokohnya
di Indonesia lewat komik. Sebut saja serial Pendekar Rajawali Sakti (yang
mempopulerkan tokoh Yoko). Hingga awal 2000, kisah-kisah tentang para
pendekar inilah yang mendominasi tayangan Asia. Lalu, tibalah Meteor
Garden ( MG ). Kisah dalam MG berkisar pada percintaan remaja yang
diangkat dari komik Jepang Hana Yori Dango karya Yoko Kamio.
Melodrama ini diproduksi dan dimainkan oleh bintang-bintang Taiwan.
Meski baru diputar beberapa episode, rating MG mencapai 5,1 dan share nya 29,9 artinya 5,1 persen dari total seluruh potensi penonton atau 29,9
dari penonton yang sedang berada di depan televisi pada jam itu. Rating
MG terhitung bagus untuk waktu tayang weekday ( Kompas , 2/6/02)

pemeran cakep, keren, cool dan enak dilihat. Mereka juga tertarik dengan
tema dan alur cerita yang ringan, mudah diikuti dan happy ending:
"Ceritanya ringan dan mudah dicerna. Enak dilihat dan nggak perlu mikir
berat. Biasalah tentang percintaan remaja. Jadi enak saja ngikutinnya", "Ide
cerita MG tidak jauh berbeda dengan sinetron Indonesia yang hanya
'menjual mimpi'", atau "Mirip Cinderella. Kita kan dari kecil sudah diberitahu
tentang Cinderella, happy ending . Mungkin ini yang membuat cewekcewek suka".
Tao Ming Se adalah tokoh yang paling banyak disukai remaja perempuan:
"Dia kaya, badannya bagus, tinggi, tegap, "enak dipeluk", tegas, berpinsip,
setia dan menolak free sex ," "Dia kontradiktif: kurang ajar dan care", tapi
ada juga yang mengatakan, "Karakter seperti itu mungkin hanya ada dalam
komik. Tidak mungkin ada cowok yang kaya, cakep, setia, posesif,
tempramental sekaligus". Sementara yang menyukai Hua Che Lei
beralasan karena tokoh ini bijaksana dan lembut. Dan yang menyukai Xi
Men beralasan karena ia dewasa, setia kawan, baik dan berkacamata.
Perlu dicatat pula, bahwa sejak serial MG ini menjadi favorit, kriteria-kriteria
ketampanan yang selama ini dominan di kalangan remaja perempuan
menjadi bergeser. Wajah-wajah "oriental" ala Asia Timur, kini mulai
mendapatkan tempat, sama posisinya dengan anggota-anggota boyband
yang "sangat Barat". Tampaknya remaja perempuan memproyeksikan
impian mereka atas karakter tertentu yang seharusnya dimiliki seorang
lelaki melalui tokoh-tokoh yang ada, baik secara fisik maupun perilakunya.
***

Demam MG dengan cepat melanda remaja. Personel-personel F4 (grup


vokal yang menjadi aktor serial tersebut) menjadi pembicaraan utama
penggemar serial ini. Tabloid-tabloid hiburan mengisi rubriknya dengan
kisah tentang anak-anak muda Taiwan ini.

MESKI MG masih ditayangkan di Indosiar, semua audiens dalam penelitian


ini telah menonton seluruh episode MG dalam bentuk CD (19 episode).
Menunggu tak betah menunggu seminggu untuk mengetahui kelanjutan
ceritanya.

Selanjutnya tulisan ini akan mencoba menggambarkan secara bagaimana


remaja memberikan perhatian khusus pada serial ini dan menyikapinya
dalam kehidupan sehari-hari. Tulisan ini merupakan bentuk super-ringkas
dari kajian yang kami lakukan atas audiens MG .

Kami mencatat dan mengamati suasana, komentar, dan celetukanceletukan selama nonton bareng MG di beberapa tempat (baik di koskosan maupun selama diskusi kelompok terfokus). Kebanyakan komentar
muncul ketika adegan romantis, sedih, lucu dan ketika tokoh-tokohnya
tampil close up. Komentar-komentar "ih, cakep banget", "Keren, ya", "Wah
romatisnya", "Dasar Bodoh" muncul silih berganti. Selain itu ada juga yang
mengikuti Ni Yo Te Ai (lagu tema MG ) oleh Penny Tai atau Qing Fei Te Yi
oleh Harlem Yu. Mereka juga berdiskusi apa yang seharusnya dilakukan
tokoh-tokoh dalam MG ketika menghadapi masalah tertentu. Ketika kami

***
Kebanyakan audiens yang kami teliti mengemukakan alasan yang hampir
sama saat ditanya mengapa menyukai MG , yaitu karena pemeran91

92

membandingkannya dengan kelompok remaja laki-laki yang juga menonton


MG , komentar-komentar seperti itu tidak banyak muncul. Kebanyakan
remaja laki-laki hanya tertawa saat ada adegan yang lucu, atau
mengomentari jalan cerita yang terlalu dibuat-buat.

Budaya Cewek
Oleh NURAINI JULIASTUTI

***
Dari kajian audiens MG ini, kami melihat bahwa remaja-remaja perempuan
mendapatkan kesempatan untuk mengindentifikasi apa yang mereka alami
dalam kehidupan sehari-hari dengan kisah dalam serial itu. Menurut
mereka, apa yang dialami Sanchai, dalam relasinya dengan Tao Ming Se,
adalah hal yang akrab dengan remaja perempuan. Sesekali dalam aktivitas
menonton itu, mereka berkomentar, "Tuh kan, semua cowok memang
begitu! Mau enaknya aja". Rupanya ada pengalaman personal yang
membuat remaja-remaja perempuan bisa menumpahkan kekesalan pada
laki-laki melalui aktivitas menonton film.
Kami juga melihat bahwa aktivitas menonton saja belumlah cukup. Mereka
juga berusaha menggali lebih jauh informasi yang rinci tentang MG karena
informasi ini membantu mereka untuk bisa berada dalam ruang
pembicaraan yang sama dengan teman-temannya. Dalam 'girl talk'
(pembicaraan remaja perempuan), tema-tema yang sifatnya intim dan
personal (termasuk aktivitas curhat dan gosip tentang selebritis) menjadi
sesuatu yang khas. Dalam aktivitas ini, remaja-remaja perempuan bertukar
informasi tentang berita-berita terbaru yang didapatkan tentang tokoh
tertentu dalam siaran favorit mereka lalu mengidentifikasikannya dengan
kisah yang mereka alami sehari-hari. Bagi remaja perempuan aktivitas
'dalam kamar' ini mendatangkan kesenangan tertentu, yang bisa jadi
kadarnya sama dengan kesenangan yang dilakukan remaja laki-laki saat
nongkrong di pinggir jalan atau menonton konser musik underground .
Mereka menemukan romantisme ideal dalam hubungan cinta dalam film ini,
sesuatu yang sulit mereka temukan dalam kehidupan sehari-hari.
Termuat di Newsletter KUNCI No. 12, Juni 2003.

93

Angela McRobbie (1995) mengatakan bahwa tampaknya selama ini remaja


perempuan hanya bisa ditemukan dalam catatan kaki atau sebagai
referensi tambahan saja. Suatu kategori di antara 'remaja' dan 'bisnis-bisnis
lainnya'. Remaja perempuan tampaknya tidak benar-benar berada di sana.
Pernyataan McRobbie ini mewakili kritik kaum feminis terhadap analisisanalisis subkultur yang selama ini ada. Analisis subkultur dianggap tidak
memberi perhatian dan tempat yang layak kepada remaja perempuan.
Bill Osgerby (1998) mencatat bahwa masa sebelum Perang Dunia II, pada
abad ke-19 dan awal abad ke-20, kategori 'youth' dan 'adolescent' secara
umum mempunyai konotasi dan imej laki-laki. Pada masa ini, remaja
perempuan cenderung digolongkan sebagai kelompok yang 'classless' dan
disembunyikan dari sejarah. Tapi pada masa setelah Perang Dunia II,
'teenager' bermakna remaja perempuan dan remaja laki-laki. Skala
perubahan remaja perempuan pada kedua masa ini tentunya
membutuhkan area peliputan yang lebih luas.
Di Indonesia sendiri, terlebih dulu kita mengenal remaja perempuan
sebagai kelompok remaja yang ikut berpartisipasi membantu perjuangan
merebut kemerdekaan. Mereka ikut membantu merawat para prajurit lakilaki yang terluka, atau membantu memasak keperluan logistik para prajurit
di dapur umum. Gambaran remaja perempuan berpakaian putih-putih
dengan simbol palang merah di lengan, yang sedang berjongkok membalut
luka prajurit, sangat sering kita jumpai dalam drama-drama di panggung
peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia, juga dalam foto-foto
atau gambar di buku-buku sejarah.
McRobbie kemudian mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan pokok yang
bisa dijadikan panduan atau penuntun dalam melakukan penelitian
terhadap subkultur remaja perempuan, yaitu: 1) apakah mereka 'hadir',
namun 'tidak nampak'?, 2) jika mereka memang hadir/eksis, apakah
peranan mereka lebih marjinal daripada laki-laki, atau apakah mereka
memainkan peran yang berbeda?, 3) apakah posisi remaja perempuan
menunjukkan pilihan subkultural, atau apakah peranan mereka
merefleksikan subordinasi umum perempuan?, 4) apakah ada cara-cara
berbeda dan khusus yang dijalankan remaja perempuan dalam
mengorganisir hidupnya?
94

Remaja perempuan sebenarnya eksis dan hadir dalam kehidupan


subkultur. Kita bisa menemukan remaja perempuan dalam kerumunan
penonton konser musik rock, kita juga bisa menemukan remaja-remaja
perempuan ikut bergabung dalam kelompok-kelompok punk di jalan-jalan.
Tetapi seringkali keterlibatan perempuan dalam subkultur dikaitkan dengan
kemerosotan moral dan degradasi personal. Media massa juga kerap
memandang remaja perempuan dalam kelompok ini sebagai sesuatu yang
sensasional semata.
Fakta lain menunjukkan bahwa jika remaja perempuan dan laki-laki samasama tergabung dalam kelas pekerja, gaji yang diterima kadang-kadang
tidak sama. Atau meskipun penghasilan mereka sama, gaya konsumsi
remaja perempuan dan remaja laki-laki pasti akan berbeda karena aktivitas
bersenang-senang yang mereka lakukan juga berbeda. Atau mungkin
aktivitas bersenang-senang yang dilakukan remaja laki-laki dan remaja
perempuan jaman sekarang tidak terlalu menunjukkan perbedaan yang
menyolok. Kita akan dengan mudah menemukan remaja perempuan sama
banyaknya dengan remaja laki-laki dalam kafe atau music club. Tapi tetap
saja remaja perempuan harus 'berhati-hati supaya tidak mendapat bahaya'
di tempat-tempat seperti itu. Bahaya ini biasanya berupa serangan seksual
dari remaja laki-laki atau laki-laki dari kelompok umur yang lebih tua. Sikap
khawatir, ketakutan, dan hati-hati terhadap bahaya-bahaya ini biasanya
didukung oleh para orang tua. Tidak heran jika remaja-remaja perempuan
diharapkan untuk lebih banyak berada di dalam rumah atau dalam kamar.
Intinya, mereka didukung untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih
berpusat dalam rumah. Rumah teman-teman perempuan dan kamar tidur
akhirnya menjadi situs-situs kunci remaja perempuan.
Perkembangan dalam dunia konsumerisme kemudian menunjukkan
dimulainya boom berbagai macam produk yang khusus ditujukan untuk
pasar remaja perempuan, mulai dari kosmetik, pakaian, dan berbagai
macam pernik-perniknya. Hal-hal itu biasanya dipakai di rumah. Rumah
teman dan kamar tidur kembali menemukan tempatnya. Jadi bisa
dikatakan, remaja perempuan berpartisipasi dalam perkembangan dunia di
luarnya, dan mereka mengkonsumsi itu semua di rumah, dalam tempat
tidur mereka.

Ada Apa Dengan Cinta. Para remaja perempuan biasanya memperoleh


eksklusivitas sosial, ruang-ruang privat dan tidak bisa diakses, ruang-ruang
khusus yang berjarak dan, untuk sementara, bebas dari tekanan orang tua,
guru-guru di sekolah, juga teman-teman laki-laki.
Kehadiran majalah-majalah remaja perempuan juga harus diperhitungkan
jika kita ingin membuat analisa terhadap para remaja perempuan ini. Mulai
1980-an akhir dan 1990-an, muncul kelompok-kelompok band laki-laki yang
ditampilkan dengan daya tarik seksual yang lebih menonjol. Maskulinitas
mulai ditampilkan sebagai objek sama menarik dan menggairahkannya
dengan feminitas. Dan majalah-majalah remaja perempuan yang hadir di
sini ikut mendukung dengan memberikan liputan dan perhatian yang besar
kepada mereka, sehingga bisa dikatakan posisi remaja perempuan
sekarang jadi terbalik. Mereka yang biasanya berposisi sebagai objek,
ketika berhadapan dengan maskulinitas kelompok-kelompok band laki-laki
ini, berbalik posisi menjadi si penglihat.
Pada akhir 1990-an, di Indonesia muncul kelompok majalah remaja
perempuan yang berposisi sebagai edisi bahasa Indonesia dari majalah
remaja perempuan yang terbit di luar negeri seperti Cosmo Girl dan
Seventeen. Kehadiran majalah-majalah ini ikut meramaikan dunia terbitan
remaja Indonesia, berdampingan dengan media-media lokal seperti Gadis
dan Kawanku. Majalah-majalah ini ikut mempopulerkan istilah 'girl power' di
Indonesia. Girl Power sendiri merupakan istilah yang dimunculkan oleh
kelompok musik asal Inggris, Spice Girls, tahun 1996 silam.
Mungkin kita bisa mengatakan bahwa hal-hal seperti ini terlalu kecil bagi
remaja perempuan, tetapi menurut saya, media-media remaja perempuan,
juga pemakaian istilah-istilah semacam ini, berusaha menegosiasikan
ruang-ruang personal, pribadi, juga ruang-ruang aktivitas bersenangsenang mereka sehari-hari, diolah kembali, sehingga bisa membuka
peluang perlawanan dan resistensi.
Termuat di Newsletter KUNCI No. 12, Juni 2003.

Remaja perempuan juga cenderung tidak dicurigai jika mempunyai temanteman dekat perempuan. Maka tidak heran jika sejak jaman dulu sampai
sekarang, pemandangan seorang remaja perempuan yang berada di
tengah kerumunan kecil kelompok/gang perempuannya selalu dengan
mudah bisa kita temui. Kehidupan kelompok remaja perempuan
dipopulerkan kembali oleh Cinta, Maura, Milly, Alya dan Karmen dalam film
95

96

pembuatannya, yaitu produser, penulis cerita, atau para pengiklan,


memiliki bayangan tertentu tentang citra perempuan. Bagaimana mereka
menilai dan memandang perempuan ini tentunya akan berpengaruh pada
proses cerita dan citra dikonstruksi, caranya "mengatakan" sesuatu, atau
caranya menarik perhatian perempuan.

Perempuan dan Melodrama


Oleh ALIA SWASTIKA

Kegemaran remaja-remaja perempuan menonton film-film melodrama tentu


saja bukan hal yang baru. Melodrama adalah salah satu hal yang sering
dikaitkan dengan perempuan. Sering kali pula, identifikasi film-film
melodrama dengan perempuan dilawankan dengan identifikasi film-film
laga bagi kaum laki-laki.
Menurut Partington (1991) satu aspek yang menonjol dari melodrama
sebagai sebuah film adalah maknanya yang terkait pada visualisasi drama
melalui gaya, desain dan penyajian emosi yang estetis. Dengan demikian
melodrama dibuat berdasarkan pengetahuan dan kompetensi yang
dibangun secara spesisfik feminin dan konsumtif, sehingga memberi ruang
bagi perempuan untuk menggali dan mengeksploitasi feminitas dengan
cara-cara baru. Dengan memperhatikan pertimbangan tersebut, maka
dalam kasus Indonesia yang dapat dikategorikan sebagai melodrama
adalah sinetron atau telenovela, juga tentu saja, yang sekarang
mendapatkan penonton yang luas adalah, melodrama Asia.
Menurut Gledhill (1997), ketertarikan perempuan untuk menonton
melodrama sesungguhnya bukan hal yang sungguh-sungguh murni datang
dari pihak perempuan itu sendiri, melainkan dikonstruksi oleh pihak
pengelola media massa. Pada 1930-an, radio komersial dan perusahaan
periklanan Amerika mulai memproduksi program-program fiksi yang
ditujukan untuk menjangkau pasar perempuan yang bekerja sebagai ibu
rumah tangga. Saat itu pihak pengelola dua industri besar media massa
tersebut mencari format alternatif yang dirasakan lebih besar pengaruhnya
terhadap khalayak dalam menerima pesan-pesan iklan. Kemudian para
pembuat film-film melodrama mencari referensi tentang hal-hal yang
disukai perempuan untuk ditampilkan dalam film tersebut. Ide untuk
membuat serial fiksi yang panjang (dengan ceritanya yang berliku) datang
dari majalah perempuan. Pada saat itu, banyak majalah perempuan sukses
menyajikan serial fiksi tentang kisah cinta dan kehidupan personal
perempuan.
Sejak awal, film-film melodrama memang "dialamatkan" untuk segmen
khalayak tertentu. Jika merunut sejarah awal kemunculan yang
menyatakan bahwa para pembuat film melodrama mengalamatkan
program ini bagi perempuan, artinya pihak-pihak yang terlibat dalam
97

Ada banyak hal yang membuat perempuan tertarik untuk menonton film
melodrama. Dalam melodrama, cerita-cerita disajikan dalam kerangka
besar yang sama; tentang cinta dan persoalan keluarga, dengan plot yang
berliku-liku. Para tokoh dalam melodrama dianggap mewakili impian kaum
perempuanterutama para ibu rumah tangga karena mereka selalu
ditampilkan dalam keadaan cantik/tampan, dengan busana yang indahindah, dalam rumah-rumah yang megah. Artinya, ketertarikan perempuan
terhadap melodrama disebabkan karena konstruksi-konstruksi atas citra
perempuan yang ditampilkan, yaitu cantik, kaya dan hidup bahagia.
Menurut Partington, dari melodrama ini para penonton belajar bahwa
kecantikan feminin bukanlah sesuatu yang melekat sejak lahir, melainkan
bisa diraih. Pada akhirnya, dengan konstruksi yang diciptakan tersebut,
perempuan justru menemukan ruang untuk melihat feminitas sebagai
sebentuk identitas yang terus berubah ( shifting identity ), bisa dilekatkan
dan dilepaskan kapan saja mereka menginginkannya. Perempuan, melalui
penampilan mewah melodrama juga mendapatkan kesempatan untuk
merasakan aktivitas dan kompetensi konsumsi yang eksklusif.
Kemudian, pada beberapa kasus, terlihat kecenderungan bahwa ada efek
melodrama yang ditampilkan secara berlebihan untuk lebih bisa
memancing emosi para penonton (misalnya adegan sadis dan kejam yang
dilakukan oleh ibu mertua kepada menantu perempuannya). Adeganadegan ini ditampilkan dengan asumsi bahwa perempuan--yang dilekatkan
dengan stereotip emosional--suka dengan adegan-adegan yang
melankolis.
Film melodrama kerap dituding menjual mimpi indah bagi para perempuan
melalui penampilan estetiknya tersebut. Namun tentang hal ini, Geraghty
(1991) mencatat bahwa sesungguhnya para perempuan menjadi dekat
dengan film melodrama karena mereka merasakan bahwa sementara
mereka menyaksikan adegan demi adegan, kisah yang terjadi di dunia
yang hanya fiksi itu kemudian dipararelkan dengan apa yang terjadi dalam
hidup sehari-hari. Menurut Geraghty, pada titik inilah film-film melodrama
menjadi 'dunia tetangga' ( neighbour world ), yang dekat dengan--namun
tidak sungguh-sungguh menjadi bagian dari--kehidupan.

98

Dalam konteks terbaru, analisa Geraghty itu tampaknya bisa diterapkan


untuk melihat fenomena ketertarikan remaja-remaja perempuan atas
Meteor Garden . Meteor Garden mampu menghadirkan dunia yang terasa
begitu dekat dengan hidup sehari-hari seorang remaja perempuan; dunia
kampus, interaksi dengan kelompok remaja laki-laki, persaingan
mendapatkan laki-laki pujaan, cinta yang bertepuk sebelah tangan dan halhal lain yang menjadi bagian hidup sehari-hari. Dalam Meteor Garden ,
tokoh Sanchai membagi pengalamannya kepada remaja perempuan
tentang bagaimana rasanya menjadi seorang remaja perempuan yang
cantik tapi miskin, disukai oleh seorang yang tampan dan kaya, tapi harus
mengalami banyak masa-masa sulit dalam perjalanan cintanya karena
keadaan tersebut. Adegan-adegan yang ditampilkan dalam Meteor Garden
dengan dialog dan pengambilan gambar yang mengharukan mengundang
para remaja perempuan ini untuk ikut ambil bagian dalam situasi emosional
yang dialami Sanchai. Banyak di antara penonton yang terharu atau
menangis saat menyaksikan adegan tertentu.
Dalam ilmu komunikasi maupun kajian budaya, keterkaitan antara
perempuan dan melodrama telah lama menjadi bahan kajian yang menarik.
Lebih dari sekedar menunjukkan bagaimana film melodrama telah menjadi
pusat perhatian perempuan, beberapa studi bahkan telah berhasil
menjelaskan bagaimana relasi antara perempuan dengan budaya populer
(di mana film-film melodrama masuk ke dalamnya), apakah itu termasuk
dalam usaha kapitalisasi perempuan--seperti yang sering dituduhkan--atau
bisa menjadi alat bagi perempuan untuk mengelola kembali identitas diri.

mempertanyakan mengapa menonton serial Dallas menjadi sebuah


pengalaman yang menyenangkan. Hasilnya, Ien Ang menemukan bahwa
kebanyakan penonton menganggap Dallas sebagai sebuah pertunjukan
'hiburan' ( entertainment ).
Dari beberapa studi tersebut Glendhill menyimpulkan bahwa sebagai
bentuk tontonan yang dialamatkan pada perempuan, melodrama
berkembang menjadi sebentuk budaya populer yang memberikan ruang
bagi representasi sebuah wilayah pengalamandalam kehidupan personal
dan emosional. Kemudian terjadi proses negosiasi tentang bagaimana citra
perempuan direpresentasikan dalam melodrama. Jika masyarakat
memberikan ruang yang lebih lapang bagi cara pandang dan tokoh-tokoh
perempuan, maka selanjutnya kekuatan atas dialog (yang sangat dominan
dalam melodrama) dapat menjadi salah satu alat bagi sosialisasi
kesetaraan gender.
Tapi sesungguhnya, kini kita mendapati kenyataan bahwa menonton film
melodrama tidak lagi eksklusif menjadi kebiasaan kaum perempuan. Para
lelaki tampaknya mulai menikmati pula sensasi-sensasi emosional dan
dramatis yang ditampilkan dalam sebuah tayangan melodrama. Misalnya
saja, tidak sedikit juga remaja laki-laki yang menonton serial Meteor
Garden secara teratur. Bahkan, remaja-remaja laki-laki juga banyak yang
meniru potongan rambut pemain Meteor Garden (yang memang
berkembang menjadi dandanan rambut baru di Asia).
Termuat di Newsletter KUNCI No. 12, Juni 2003.

Beberapa studi yang dilakukan dalam relasi antara perempuan dengan film
melodrama ini berusaha untuk menjawab pernyataan-pernyataan para
feminis yang kerap menuding film melodrama sebagai bentuk subordinasi
perempuan. Apakah yang terjadi sesungguhnya ketika perempuan mulai
memasuki dunia melodrama? Apakah memang film melodrama telah
memposisikan perempuan sebagai bentuk subordinasi, ataukah justru
ketika memasuki dunia yang identik dengan budaya yang feminin tersebut
perempuan justru dapat diberdayakan?
Salah satu studi yang cukup terkenal adalah yang dilakukan oleh Sonia
Livingstone pada 1988 tentang opera sabun di Inggris. Pada studi ini,
Livingstone menggunakan pendekatan 'penggunaan dan kepuasaan' ( uses
and gratifications ) di mana ia menemukan bahwa kebanyakan responden
yang menonton serial opera sabun di stasiun televisi Inggris menggunakan
aktivitas tersebut sebagai salah satu bentuk eskapisme (pelarian) dari
masalah hidup sehari-hari. Studi lain dilakukan oleh Ien Ang dalam
terhadap para penonton serial Dallas . Ien Ang memulai studinya dengan
99

Realitas dan Kajian Media


Oleh THOMAS HANITZSCH

Tujuan tulisan ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran


terhadap tulisan R. Kristiawan dan Nuraini Juliastuti yang dimuat di KUNCI
(8, 2000). Berangkat dari memperdalam kritik terhadap kosep hegemoni
saya akan merevisi kajian terhadap majalah remaja HAI .
R. Kristiawan sangat benar ketika mengkritik konsep hegemoni yang
dikembangkan oleh Antonio Gramsci, karena wacana Gramsci ternyata
tidak membantu untuk mengerti interdependensi (bukan dependensi!)
100

kultural antara dunia Barat dan dunia Timur maupun antara dunia Utara
dan Selatan. Proses globalisasi itu memang jauh lebih kompleks.
Gramsci menyimpulkan bahwa budaya Barat sangat dominan terhadap
budaya di negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang
terpaksa mengadopsi budaya Barat. Dalam konteks pembangunanisme,
konsep Gramsci memang sangat dekat dengan dasar pemikiran teori
dependensi (Cardoso), termasuk imperialisme struktural (Johan Galtung)
dan imperialisme kultural (Herbert Schiller).
Model-model pembangunan tersebut gagal karena empat faktor: pertama ,
proses diferensiasi di dunia ketiga sendiri, terutama kesuksesan ekonomi
beberapa negara berkembang dengan menggunakan strategi yang
berorientasi pada pasar dunia, justru menentang kesimpulan-kesimpulan
utama teori hegemoni dan dependensi (Rullmann 1996). Kedua , teori-teori
tersebut memanfaatkan sebuah perspektif global dan dengan demikian
tidak menyadari adanya ketidakseimbangan sosial, struktur patrimonial dan
eksploitasi di negara-negara berkembang sendiri (Servaes, 1995). Ketiga ,
teori hegemoni dan dependensi ternyata gagal dalam mengusulkan solusisolusi yang bermanfaat dalam konteks global (ibid). Keempat , referensi
historis yang mengarah kepada masa penjajahan dan hegemoni ekonomi
global sebagai sebab kemacetan perkembangan di sebagian Dunia Ketiga
harus dilihat sebagai hal yang sangat problematis. Perlu kita ingat bahwa
Afghanistan misalnya, yang tidak pernah dijajah oleh negara Barat, sampai
sekarang tetap tidak mampu berkembang, dilihat tidak hanya dari perspektif
model demokrasi Barat.
Bahkan James D. Halloran, salah seorang penasehat komisi MacBride 20
tahun yang lalu, berpendapat bahwa riset terhadap perkembangan di Dunia
Ketiga cenderung justru mempertajam ketergantungan negara-negara
berkembang pada Barat. Lalu dia bertanya, apakah imperialisme kultural
dan imperialisme media diikuti imperialisme penelitian? (Halloran, 1998).
Saya pikir, tidak. Apa gunanya?
Persepsi tentang Antonio Gramsci oleh pakar sosiologi di dunia ketiga yang
sangat positif itu barangkali terjadi karena mereka sering dengan mudah
dan tidak kritis mengadopsi model dan teori sosiologi Barat yang sudah
ketinggalan jaman seperti modernisme, dependensi dan hegemoni. Dengan
demikian, tanggung jawab atas segala kegagalan di Dunia Ketiga bisa
dilempar ke negara-negara maju.

101

Saya sangat setuju dengan yang ditulis R. Kristiawan bahwa media massa
tidak merupakan 'alat penguasa untuk menciptakan reproduksi ketaatan' (
KUNCI 8, 2000). Media massa sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan
merupakan bagian dari masyarakat. Dalam bahasa teori sistem sosial yang
terus menerus dikembangkan di Jerman, fungsi media massa adalah
memungkinkan pengamatan diri masyarakat (Marcinkowski 1993). Fungsi
media massa sebenarnya bukan 'merekonstruksikan realitas sosial',
sebagaimana ditulis oleh Ana Nadhya Abrar, pakar jurnalistik di Universitas
Gadjah Mada (Abrar 1997). Dengan kata lain, media massa merupakan
cermin kebaikan dan keburukan masyarakat, bukan mencerminkan (dalam
arti meng- copy ) keadaan masyarakat. Media di Indonesia maupun di
negara lain sama parahnya dengan keadaan masyarakat.
Tidak ada gunanya kalau kita terus bertanya, kenapa pemberitaan di media
massa begitu parah? Menurut Niklas Luhmann, sosiolog Jerman,
seharusnya kita bertanya, seberapa parah kondisi masyarakat kita sampai
kita membutuhkan cermin media seperti itu? (Luhmann, 1996)
Dalam konteks ini, maka saya tidak sepenuhnya setuju dengan pengertian
Nuraini Juliastuti terhadap media massa dalam kajiannya terhadap majalah
remaja HAI . Dalam tulisannya "Majalah HAI dan 'Boyish Culture'" ( KUNCI
8, 2000) ia hendak menjawab pertanyaan "bagaimana sistem operasi dari
konstruksi budaya dan konstruksi sosial itu bekerja membentuk dominasi
ideologi maskulinitas lewat media massa".
Pertama , pertanyaan tersebut tetap tidak terjawab. Akhirnya, bagaimana
sistem itu sebenarnya beroperasi? Kedua , pertanyaan Nuraini Juliastuti
tampaknya mengandung dua premis pernyataan yang belum terbukti, yaitu
adanya arus informasi yang bersifat satu arah dan adanya dampak media
massa yang cukup berarti terhadap publik.
Sebagian besar pakar cultural studies selama ini masih melihat konsumsi
media massa sebagai proses penciptaan budaya yang berkaitan dengan
kuasa (Ang 1999) dan mengandung bahaya hegemoni Barat (Hepp 1999).
Walaupun demikian, suatu perubahan dalam pengertian cultural studies
terhadap media massa sudah terlihat. Douglas Kellner misalnya menuntut
pendekatan metateoretis dan multiperspektifis dalam menganalisis proses
penyampaian pesan media (Kellner 1999).
Demikian juga pakar-pakar sosiologi yang memanfaatkan potensi teori
sistem sosial pasca-Talcott Parsons. Proses penyampaian pesan dalam
ilmu komunikasi kini dipandang sebagai proses yang dinamis dan
102

transaksional. Artinya, khalayak juga aktif dalam proses tersebut. Publik


tidak tinggal diam dan menerima pesan-pesan media massa begitu saja,
melainkan paling tidak memilih pesan yang layak diterima. Sebaliknya,
media juga sangat tergantung pada nilai-nilai kultural masyarakat pada
umumnya.

Media Selebritis di Indonesia

Bila kita mau menyalahkan media massa atas perkembangan masyarakat


yang tidak memuaskan itu, seharusnya kita membuktikan bahwa ada
kenyataan murni yang bersifat universal ( the truth out there ), dan kita
sebagai individu dapat mengamatinya dengan hasil yang sama. Akan
tetapi, apa yang kita alami sebagai realitas itu hanya merupakan hasil
konstruksi atau kognisi kita sendiri yang berdasarkan pengamatan atas
realitas. Tentunya, 'kenyataan' Anda berbeda dengan 'kenyataan' saya
walaupun kita mengamati realitas murni. Kesimpulan kita berbeda karena
cara pengamatan yang dipakai tidak sama (Luhmann 1990).

Sejarah media selebritis di Indonesia dimulai pada 1929. Pada tahun itu
sudah terbit media yang menyajikan tulisan-tulisan tentang dunia film serta
artis-artis, yaitu Doenia Film. Majalah ini terbit di Jakarta. Setahun
kemudian, nama majalah ini diubah menjadi Doenia Film dan Sport. Pada
tahun 1941 muncul majalah Pertjatoeran Doenia dan Film. Sedangkan
pada 1950-an di Solo muncul majalah Star News. Di kemudian hari,
majalah ini berganti nama menjadi Star News Baru dan Bintang. Dalam
waktu yang bersamaan di Solo juga muncul majalah Film Figoers. Dari
Surabaya, sempat terbit majalah Indian Film , sebuah majalah bulanan
yang khusus mengulas tentang film India. Berikutnya muncul nama-nama
baru majalah khusus film saat itu, antara lain: Berita Industri Film, Kentjana,
Chitra Film, Film Indonesia, Aneka , dan Purnama.

Dengan demikian muncul pertanyaan, apakah layak bila kita sebagai


ilmuwan menuntut media massa untuk mengkonstruksi realitas dengan
cara pengamatan kita? Tentu tidak! Seorang peneliti mengamati realitas
sosial dengan maksud mendapatkan kebenaran. Seorang wartawan
mengamati realitas dengan maksud membuat berita yang relevan dan
informatif buat pembacanya.
Walaupun demikian, kita sebagai peneliti tetap dapat meneliti dan terus
mengkritik media massa. Akan tetapi, bila kita memanfaatkan pendekatan
ontologis dan normatif dalam analisis media, maka posisi ilmu komunikasi
atau sosiologi pada umumnya akan berada dalam posisi yang lemah. Kita
perlu melihat media massa sebagai bagian dari masyarakat kita. Jangan
kita bertanya seberapa parah pemberitaan di media massa kita masa kini.
Melainkan bertanya, faktor-faktor apa yang memungkinkan penampakan
media yang kurang memuaskan.

THOMAS HANITZSCH adalah Peneliti Program S3 di Technische Universitt Ilmenau,


Jerman. Sekarang sedang melakukan penelitian tentang wartawan di Indonesia dan mengajar
di Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Termuat di Newsletter KUNCI No. 9, Maret 2001

Oleh NURAINI JULIASTUTI

Pada 1967 film-film Indonesia mulai bangkit. Masyarakat Indonesia bisa


menyaksikan produksi film-film nasional dan kemunculan artis-artis baru
film Indonesia. Bersamaan dengan itu, ikut terbit media-media yang khusus
mengulas seluk beluk film nasional yaitu: Ria Film (terbit 1973), Bintang
Film (terbit 1974), Team (terbit 1981), Aktuil (terbit 1967) dan Top (terbit
1976).
Aktuil, majalah khusus musik yang terbit di Bandung ini, menjadi legenda
karena semasa hidupnya dikenal sebagai pelopor pembawa informasi
perkembangan musik kepada publik Indonesia, tidak hanya yang berasal
dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Pada tahun 1970-an, majalah
ini tercatat membuka jaringan kantor perwakilan dan korespondennya di
luar negeri (Hamburg, Munich, Berlin, Swedia, Stockholm, Ottawa, Tokyo,
Hongkong, Kowloon, New York). Pada tahun 1975, Aktuil juga mengejutkan
publik Indonesia dengan mengundang kelompok musik Deep Purple untuk
berpentas di Indonesia. Saat itu, pentas-pentas musik, apalagi dengan
pemain musik dari luar negeri, masih jarang terjadi. Majalah lain yang
mengkhususkan diri dengan berita-berita dalam dunia musik adalah MAS
(Musik Artis Santai) dan Citra Musik.
Direktorat Televisi Departemen Penerangan pernah berusaha menerbitkan
majalah khusus radio dan televisi pada 1972, yaitu Monitor. Tetapi sampai
1982, nasib majalah ini kurang menggembirakan. Pada 1986, majalah itu

103

104

berubah bentuk menjadi tabloid dan diasuh oleh Arswendo Atmowiloto.


Tabloid yang berisi berita-berita selebritis baik dari dalam negeri maupun
luar negeri, gosip, dan berita latar belakang pembuatan sebuah program di
televisi ini ternyata disukai pembaca dan sangat laku di pasaran. Makanya
Arswendo sering menyebut dirinya sebagai Corporal Wendo--plesetan dari
Kolonel Sanders penemu resep Kentucky Fried Chicken--sebagai penemu
resep tabloid semacam itu. Kehadiran tabloid model ini terasa semakin
dibutuhkan ketika pada 1989, mulai muncul televisi swasta pertama di
Indonesia: RCTI. Tak lama kemudian RCTI disusul dengan TPI, SCTV,
Indosiar, dan Anteve. Semakin banyak stasiun televisi, berarti semakin
meningkatkan produksi acara-acara televisi. Dengan demikian semakin
banyak kemungkinan berita-berita tentang acara-acara televisi, berikut
artis-artis pendukungnya, yang bisa dijual ke masyarakat. Pada 1991, terbit
tabloid-tabloid baru tentang dunia radio, televisi, film dan artis, yaitu Bintang
Indonesia, Citra, Wanita Indonesia dan Dharma Nyata. Pada 1993, terbit
majalah Vista TV. Majalah ini bermaksud menjadi TV Guide versi
Indonesia.
Tidak semua tabloid tersebut berumur panjang. Tabloid Bintang Indonesia
dan Citra masih bisa kita temui sampai saat ini. Dunia tabloid di Indonesia
juga mendapat tambahan pemain baru yaitu: Bintang Millenia dan
Cek&Ricek. Kelahiran televisi-televisi swasta selain membawa konsekuensi
semakin banyaknya produksi siaran yang bisa dinikmati masyarakat,
ternyata juga melahirkan siaran-siaran infotainment yang berisi berita-berita
dari para artis dan selebritis Indonesia. Stasiun RCTI memproduksi siaran
infotainment dengan nama Kabar-Kabari, Cek&Ricek, dan Buletin Sinetron.
Produsen acara Cek&Ricek kemudian melebarkan sayapnya tidak hanya
memproduksi acara televisi saja, melainkan juga tabloid dengan nama yang
sama. SCTV juga mempunyai acara infotainment dengan nama Bibir Plus,
Poster, Hot Shot, Halo Selebriti, Otista, dan Ngobras. TPI memproduksi
acara infotainment dengan nama Selebrita dan Go Show. Anteve
mempunyai acara infotainment yang diberi nama Panorama, Kharisma,
Selebriti Dunia, dan Berita Selebritis Spesial. Sementara Indosiar
memproduksi acara infotainment dengan nama KISS.
Posisi Aktuil di kemudian hari banyak digantikan oleh Hai. Majalah remaja
pria ini dikenal luas di kalangan remaja karena banyak menyajikan beritaberita perkembangan musik, juga berita-berita tentang artis-artis musik
dalam dan luar negeri. Sama seperti Aktuil, Hai juga kerap mengirimkan
reporternya untuk menulis konser-konser musik dari luar negeri, misalnya
menulis tentang konser musik Woodstock. Majalah-majalah remaja lain
seperti Gadis atau Kawanku mulai tahun 1990-an akhir banyak berperan
105

sebagai pembawa informasi tentang artis-artis musik dan film untuk para
pembaca mudanya.
Menginjak akhir 1990, di Indonesia muncul media-media versi Indonesia
dari media-media luar negeri seperti Cosmopolitan, Harpers Bazaars, Lisa ,
dan sebagainya. Dan mulai 2001 muncul majalah baru: Cosmo Girl. Mediamedia ini akhirnya juga banyak berfungsi sebagai pembawa informasi dunia
selebritis yang lebih luas kepada para pembacanya. Lebih-lebih setelah
MTV bisa dinikmati publik Indonesia lewat Anteve.
***
Konsekuensi dari semakin pesatnya industri hiburan, berikut elemenelemennya termasuk acara-acara infotainment adalah, semakin banyaknya
jumlah artis atau selebritis. Semakin banyak anak-anak muda yang tertarik
untuk bekerja dan memasuki wilayah-wilayah yang selanjutnya nanti lebih
dikenal orang sebagai artis atau selebritis. Jumlah model di Indonesia
semakin bertambah, begitu juga dengan jumlah anak-anak muda yang
berhasrat untuk menjadi penyanyi. Ajang pemilihan model atau putri ayu
adalah pintu masuk strategis untuk memasuki dunia selebritis, karena
begitu seseorang menjadi model, terdapat kemungkinan besar untuk
menjadi bintang iklan, dan selanjutnya menjadi presenter atau main
sinetron. Pemilihan Tiara Sunsilk baru-baru ini misalnya dengan jelas
mengiklankan dirinya sebagai ajang untuk masuk ke dunia baru, untuk
meraih kesempatan dan pengalaman baru. Dunia baru dan kesempatan
baru itu maksudnya gadis-gadis yang terpilih dalam jajaran gadis Sunsilk itu
berpeluang untuk menjadi salah satu pemain dalam dunia hiburan, dan itu
artinya terbuka pula kesempatan untuk tampil di salah satu media selebritis.
Perbedaan media-media selebritis pada masa ketika program-program
acara televisi belum mengalami booming seperti sekarang mungkin hanya
pada figur-figur yang diwawancarai. Dulu mungkin isinya hanya ada artis
penyanyi atau bintang film, tetapi sekarang, halaman-halaman media
tersebut didominasi oleh pemain sinetron, karena produksi film Indonesia
masih terbatas, dan sinetron adalah salah satu program acara dominan di
layar televisi kita saat ini.
Melihat panjangnya sejarah media selebritis di Indonesia, jelas bahwa
obsesi orang terhadap skandal seks, atau berita-berita tentang kehidupan
privat orang lain, bukan hal baru. Mungkin sudah sifat alamiah manusia
yang dasarnya suka mengamati orang lain dan mendengar berita-berita
tentang orang lain. Dan wacana menunjukkan bahwa wacana-wacana
106

tentang selebritis ini--sebutlah misalnya kasus cerai antara Nicky Astria dan
Mamay, cek cok antara Atilla dan Wulan Guritno karena Atilla memergoki
Wulan sedang ada di kamar bersama Nugie, Ferdi Hasan dan Jeremy
Thomas yang masuk rumah sakit karena kecapekan, Dina Lorenza yang
mau menikah, Sarah Sechan yang didahului menikah adiknya, usaha Lusy
Rahmawaty supaya cepat punya anak, atau Nico Siahaan yang baru saja
putus cinta--memang masuk dalam kehidupan kita, para pembaca tabloid
hiburan, para penonton televisi, dan dijadikan obrolan seperti kalau kita
mengobrolkan seorang teman dan saudara saja. Kita tentu pernah
mengalami sendiri suasana obrolan semacam ini: "Eh, ternyata Ulfa jadi
cerai juga ya sama Klaas?", "Eh, kamu tahu nggak, Shanty sudah putus lo
dari Dimas Jayadiningrat?", atau "Tahu nggak, bintang-bintang sinetron
Belahan Hati itu ternyata mantan Gadis-gadis Sunsilk lo. Iya! Pantesan
rambutnya bagus-bagus kan?".
Media selebritis ini akhirnya berposisi sama dengan berita-berita politik
yang setiap hari juga mencekoki kita dan memaksa kita untuk menelan
macam-macam berita tentang aktor-aktor politik dan peristiwa politik terkini.
Berita-berita tentang artis dan selebritis tidak hanya bisa didapat pada
media selebritis saja, tapi juga di media-media lain. Artis atau selebritis
menjadi sumber berita yang dominan bahkan untuk kasus-kasus luas. Artis
diwawancarai soal politik, ekonomi, dan sepak bola. Media-media
perempuan seperti Femina, majalah-majalah remaja atau bahkan majalah
keluarga macam Ayah Bunda atau majalah kesehatan akhirnya bisa
dijadikan rujukan informasi tentang artis a atau artis b, misalnya tentang
gaya hidup kesehatannya, hobinya, atau cara mendidik anaknya.
Formula suatu media tampaknya akan selalu berjalan beriringan dengan
aspek komersialisme, aspek laku-tidaknya suatu media di pasaran.
Formula media-media infotainment dan media-media yang menggunakan
artis sebagai sumber berita utamanya, telah membuktikan kesuksesannya.
Meskipun terdapat pihak-pihak yang menentang dan merendahkan formula
media seperti ini, tapi tampaknya tetap banyak pihak yang akan mengikuti
jejak membuat media selebritis. Dan formula media yang bercerita tentang
selebritis akan tercatat sebagai formula yang sulit dicari bandingannya.
Termuat di Newsletter KUNCI No. 11, Februari 2002.

107

Selebritis dan Kelas Sosial


Oleh ALIA SWASTIKA

Bukan hal yang mudah untuk menentukan di mana selebritis Indonesia


masuk dalam kategori kelas sosial. Sekilas, bisa jadi banyak orang
menganggap mereka masuk dalam kelompok kelas menengah jika yang
menjadi indikator adalah jumlah penghasilan, gaya hidup ataupun pola
konsumsinya. Namun, tidak pernah ada batasan yang cukup jelas tentang
kelas menengah. Ariel Heryanto (1993) menyebutkan bahwa
sesungguhnya kelas menengah merupakan posisi yang mandiri dalam
kaitannya dengan proses dan relasi produksi
Teori kelas sendiri, sebagai salah satu teori penting dalam usaha mengkaji
proses perubahan sosial masyarakat, selama ini mendasarkan diri pada
pemikiran Marx dan Weber. Pemikiran Marxian hanya mengenal dikotomi
dua kelas sosial, yaitu "yang dihisap" dan "yang menghisap". Dalam
konsteks politik, artinya para pemegang kekuasaan adalah kelas atas
(penghisap) dan rakyat adalah kelas bawah (yang dihisap). Marx tidak
memasukkan "kelas menengah" di antara keduanya. Dari sisi ekonomi, dua
kelas itu adalah kelas pemilik modal dan kelas pekerja. Sedang menurut
Weber, kelas sosial tidak hanya terdiri dari dua atau tiga, melainkan bisa
banyak. Pembentukan kelas tidak hanya ditentukan oleh kepemilikan alat
produksi, tetapi juga status sosial, pola konsumsi dan posisinya dalam
pasar. Itu sebabnya banyak yang menyatakan bahwa konsep kelas
menengah sesungguhnya adalah titik temu dari pemikiran Marx dan Weber.
Di Indonesia, yang disebut dengan kelas menengah selalu identik dengan
kaum yuppies . Artinya, indikasinya adalah jumlah penghasilan dan
orientasinya terhadap kegiatan konsumsi. Itu sebabnya, kelompok selebritis
selalu masuk dalam kelas ini. Sebagai bisnis yang tumbuh pesat, industri
hiburan Indonesia memang memiliki putaran uang yang cukup besar. Aktoraktor yang ada dan akan terlibat di dalamnya selalu dibayangi dengan
impian untuk memperoleh penghasilan yang tinggi. Jumlah penghasilan
yang diterima oleh seseorang dalam bisnis hiburan biasanya ditentukan
oleh seberapa kuat daya tariknya untuk dapat menghasilkan keuntungan
bagi pemilik modal hiburan, baik melalui iklan maupun jumlah konsumen
(penonton bagi aktor film/sinetron atau pembeli kaset bagi seorang
penyanyi/musisi).
108

Namun, dari kacamata budaya, bukan tidak mungkin untuk memasukkan


kelompok selebritis ini dalam kelas atas. Dalam sebuah proses produksi
budaya, tetap diperlukan aktor-aktor yang memegang peranan penting. Kita
bisa saja menyebut kelompok selebritis sebagai pemilik modal budaya yang
memiliki posisi tawar kuat dengan pemilik modal bisnis hiburan (meskipun
berada di lingkaran yang sama, tetapi posisi para pemilik modal bisnis
hiburan, Raam Punjabi misalnya, tetap dilihat sebagai kelas atas dari sisi
ekonomi). Kelompok selebritis ini tetap berperan sebagai produsen-dengan lagu atau film/sinetron sebagai produknya--dan para penggemar
mereka sebagai konsumennya. Mereka sendiri harus tetap memiliki taktik
dan strategi tertentu untuk bisa melakukan "penguasaan" terhadap para
penggemarnya.
Posisi dominan selebritis sebagai pihak yang berada dalam kelas atas
tampak saat mereka menggunakan posisinya sebagai public figure untuk
mempengaruhi penggemar. Posisi sebagai idola ini memungkinkan mereka
untuk dapat menentukan hal-hal mana yang kiranya baik untuk dikonsumsi,
dilakukan atau dipakai oleh orang lain. Selebritis berada pada medan
budaya yang memungkinkan mereka untuk menentukan modal-modal
budaya apa yang berhak dipertarungkan.
Karenanya, selebritis merupakan satu kelas sosial yang istimewa dalam
masyarakat kontemporer. Ada banyak kemudahan yang diterima selebritis
berkaitan dengan statusnya sebagai individu. Tak heran jika selebritis mau
melakukan banyak hal untuk mempertahankan kelas sosialnya yang tinggi
ini. Orang biasa pun, tak jarang yang berusaha mati-matian untuk bisa
masuk dalam kelas selebritis. Selebritis menjadi salah satu cara untuk "naik
kelas". Kita mencatat, bagaimana Iwan Fals atau Ebiet G. Ade harus
bekerja keras agar lagu-lagunya bisa didengarkan orang banyak, bahkan
mulai dari mengamen di pinggir jalan. Meski membawakan karya yang
sama, tentu ada perbedaan saat mereka akhirnya dianggap sebagai "artis"
yang eksis.
***
Selebritis juga punya sejarah panjang dalam relasinya dengan kelas
penguasa. Ini juga merupakan salah satu strategi bagaimana mereka
mempertahankan kelas sosial tertentu yang melekat padanya. Kelas
penguasa, sebagai pihak yang berwenang untuk membuat regulasi dalam
masyarakat--termasuk dunia hiburan--harus didekati dan diminta "doa
restunya". Karenanya, organisasi artis juga selalu melakukan kunjungan
minta doa restu kepada presiden jika mereka baru saja melakukan
109

pergantian pengurus. Selain itu, artis-artis yang dekat dengan penguasa


merasa punya jaminan adanya peningkatan kemampuan ekonomi (karena
dilibatkan pada proyek-proyek bernilai besar) dan nilai plus. Di masa
Soekarno, ketika kesenian yang diimpor dari Barat dilarang, maka yang
punya hubungan dekat dengan penguasa adalah seniman dari kalangan
film, atau musik pop keroncong. Di antaranya adalah Rima Melati (bahkan
nama ini pun pemberian Soekarno) dan Yurike Sanger. Seniman-seniman
yang dianggap kontrarevolusi dijebloskan ke penjara, termasuk Koes Plus.
Di masa Orde Baru, banyak sekali artis yang dikenal dekat dengan
keluarga Cendana ataupun para menteri. Titik Puspa bahkan sempat
membuat lagu berjudul "Bapak Pembangunan" yang menurutnya,
merupakan simbol kekagumannya terhadap Pak Harto. Selain itu, para
selebritis juga dikerahkan untuk mendapatkan dukungan massa. Kampanye
Partai Golkar di masa lalu tak ubahnya seperti panggung hiburan yang
dimeriahkan oleh penyanyi seperti Camelia Malik, Nicky Astria, Desy
Ratnasari, dan lain sebagainya. Banyak juga kisah percintaan yang
mewarnai relasi para selebritis dengan para penguasa atau keluarganya.
Yang paling menghebohkan adalah kisah cinta Desy Ratnasari dan Abdul
Latif. Selain itu, kedekatan Tommy Soeharto dengan beberapa orang artis
cantik. Dekat dengan pemegang kekuasaan, selain menjamin mereka
dalam hal ekonomi, juga menimbulkan satu kebanggaan tersendiri karena
penguasa menempati posisi sentral dalam masyarakat.
***
Bagaimana selebritis memperlakukan modalnya untuk bertahan dalam
kelas atas? Hal yang menarik adalah sikap selebritis terhadap tubuhnya.
Kita sering melihat bagaimana para selebritis menganggap bahwa tubuh
adalah modalnya yang utama untuk bisa bertahan dalam status sosial yang
istimewa. Karenanya, diet, kosmetik, senam dan olahraga pembentukan
tubuh lainnya, serta fashion adalah hal-hal yang sangat akrab dengan
dunia selebritis. Akses ke dunia selebritis pun banyak yang menjadikan
'tubuh dan kecantikan' sebagai syarat utama. Dunia modelling, misalnya,
jelas-jelas mencantumkan syarat wajah fotogenik bagi siapa saja yang
berminat untuk masuk ke dalamnya. Demikian pula dalam sinetron-meskipun sebenarnya tidak bisa dibedakan lagi mana yang sungguhsungguh model dan mana yang sungguh-sungguh pemain sinetron-kemampuan akting bukan lagi persyaratan utama.
Titi DJ pernah punya pengalaman menarik tentang hal ini. Titi memang
pernah dikenal sebagai seorang artis yang cukup "cuek" dalam hal
110

penampilan. Gaya busananya sering dianggap aneh dan norak. Menurut


Titi, pada masa-masa itu, terbukti tidak banyak tawaran untuk manggung
datang padanya. Banyak produsen dan event organiser yang menyarankan
Titi untuk sedikit lebih langsing dan lebih feminin. Dan kini, kita melihat
bagaimana penampilan Titi DJ. Menurutnya, ia membutuhkan show
sebagai sumber penghasilan, dan dalam hal ini, ia memang menyadari
bahwa jika ia tidak tampil menarik--meskipun suaranya bagus--maka orang
tidak akan senang datang ke konsernya.
***
Selain itu itu, yang menjadi modal bagi selebritis adalah juga kecerdasan
dan pengetahuannya akan perkembangan budaya. Banjir informasi
memungkinkan semua orang memiliki akses untuk menjadi sumber
"pengetahuan". Bagi selebritis, adalah penting untuk menunjukkan kepada
publik pengetahuan yang dimilikinya. Apalagi keragaman acara di televisi
memungkinkan mereka untuk merambah bidang-bidang lain selain musik
dan film, misalnya menjadi pembawa acara infotainment, majalah tivi
ataupun talkshow . Pengetahuan akan perkembangan politik ataupun
fenomena sosial lainnya, juga akan memberikan cap "intelek" bagi
selebritis. Dian Sastro misalnya, banyak orang yang memujinya berkaitan
dengan kecerdasan Dian. Dalam sebuah wawancara di majalah Gadis , ia
menyebutkan bahwa buku favoritnya adalah Madilog -nya Tan Malaka. Ia
juga selalu berbicara mengenai minatnya yang tinggi terhadap ilmu filsafat.
Hughes,
juga
contoh
yang
menarik.
Baginya,
kecerdasan
memungkinkannya untuk menghibur orang dengan cara yang berbeda.
Ada juga artis yang lebih "serius" dalam masalah intelektualitas ini. Dewi
Lestari, sempat membuat heboh dunia sastra lewat Supernova -nya, yang
menunjukkan pengetahuannya yang luas tentang berbagai fenomena
dalam ilmu sosial, fisika, filsafat dan psikologi. Ada juga Rieke Dyah
Pitaloka, yang terang-terangan ikut di garis depan dalam aksi demonstrasi
mahasiswa. Belakangan Rieke--yang mahasiswa S2 Filsafat di Universitas
Indonesia--menerbitkan kumpulan puisi Renungan Kloset .
Intelektualitas muncul sebagai jalan baru untuk menjadi berbeda.Ini juga
menjadi salah satu cara untuk merespon banyaknya kritik yang sering
disampaikan pada mereka karena identik dengan dunia yang glamor.
Menjadi selebritis yang tampak berbeda, secara sosial menempatkan
mereka pada posisi yang berbeda pula dalam kelas selebritis sendiri.

Berbagai usaha yang dilakukan oleh selebritis untuk mempertahankan


keberadaannya dalam satu kelas sosial tertentu, dapat dilihat pula sebagai
upaya untuk tetap mempertahankan jarak dengan para penggemarnya.
Bagaimanapun, selebritis merasa posisinya harus selalu eksklusif. Pada
titik ini, selebritis menjadikan media massa tempat mereka biasa tampil
sebagai agen untuk memperkenalkan selera dan gaya yang menurut
mereka baik. Setelah terjadi proses reproduksi gaya dan selera selebritis
dalam masyarakat--yakni ketika gaya mereka mulai ditiru dan dikonsumsi
oleh orang kebanyakan--seketika itu juga para selebritis mulai menciptakan
gaya yang baru. Mereka akan selalu menciptakan jarak dengan
penggemarnya.

Termuat di Newsletter KUNCI No. 11, Februari 2002.

KD di Media
Oleh YULI ANDARI M.

Tulisan ini merupakan hasil studi tentang representasi Kris Dayanti (KD) di
media. Bagaimana sosok KD ditampilkan dan diceritakan oleh media
massa terutama majalah-majalah dan tabloid-tabloid selebriti.
KD mulai hangat diberitakan media massa ketika ia berhasil memenangkan
Grand Championship Asia Bagus 1992. Saat itu ia masih berumur 17 tahun
dan lebih dikenal sebagai adik penyanyi Yuni Shara. Sebagai pendatang
baru, keberhasilan KD masih selalu dikaitkan dengan Yuni Shara yang
lebih dahulu berkiprah sebagai penyanyi. Setelah sukses di Asia Bagus, KD
mulai merekam album solonya Terserah (1995) yang tidak begitu sukses.
Media kembali memberitakan KD ketika ia mulai menjalin kasih dengan
rocker Anang Hermansyah, yang kini menjadi suaminya. Album Cinta
(1996) yang merupakan duet mereka hadir setelah pasangan ini menikah.
Lirik lagu yang romantis maupun tampilan video klip yang mengungkapkan
kemesraan mereka segera diterima masyarakat. Apalagi media
mencitrakan hubungan mereka yang selalu mesra. Penjualan album ini

***
111

112

mencapai 700 ribu keping dan membawa KD menjadi salah satu selebritis
Indonesia yang diperhitungkan.
Cantik dan Seksi
Sebagai selebritis KD sadar betul akan keselebritisannya. Ia tidak bisa
tampil sebagaimana orang kebanyakan. Apapun yang dilakukannya akan
selalu diekspos media. Semua orang akan tahu apa yang terjadi pada
dirinya. KD berusaha selalu menjaga citranya agar tetap tampil cantik,
menarik, pintar dan seksi.
Untuk menjadi cantik, KD mulai bereksperimen dengan penampilannya.
Alis mata ditata rapi dan bibir dipoles lipstik hingga tampak sensual. Media
memang berperan membentuk citra seseorang agar tampil seperti yang
dikehendakinya, dan KD tampil seperti apa yang dikehendaki publik dari
seorang artis karena KD sadar bahwa apa saja yang menempel di
tubuhnya akan selalu diperhatikan dan bisa dijual, sepanjang itu dilakukan
secara profesional.

Untuk cantik, KD mengaku rela mengeluarkan uang banyak. Ia juga rela


kesakitan. Supaya tetap seksi, KD melakukan diet ketat dengan tidak
makan nasi, hanya buah segar, sayur, ikan, dan sesekali daging. Itupun
dalam porsi terbatas. "Beautiful is pain", katanya.
Kemolekan wajahnya sempat menimbulkan gosip bahwa KD telah
melakukan operasi agar hidungnya lebih mancung. KD segera membantah
gosip itu. Ia berkata bahwa hidungnya sudah seperti itu tanpa adanya
operasi. Namun KD mengaku ia pernah melakukan operasi dua kali yaitu
untuk melebatkan bulu mata dengan cara mengambil dari akar rambut dan
operasi yang kedua untuk program dietnya. "Kalau aku melakukan operasi,
itu kan berarti mengubah yang alami. Kalau sekarang penampilan saya
seperti ini, itu karena saya rajin minum jamu, disiplin makan, body language
dan rajin olah raga agar tidak gombyor, jadi bukan karena operasi. Tapi
memang dulu saya melakukan operasi. Operasi yang pertama adalah
penebalan bulu mata caranya dengan mengambil dari akar rambutku.
Sedangkan operasi yang kedua dilakukan untuk membantu program diet
berupa suntikan akupuntur vitamin B12" (selebritisindonesia.com).

KD mengakui bahwa profesinya sebagai artis mengharuskan dirinya selalu


tampil cantik dan menarik. Maka ia tak ingin tampil buruk dihadapan
penggemarnya. Ia beralasan: "Saya 'kan seorang entertainer, ya dituntut
tampil menarik dong. Saya juga punya penggemar yang mengharapkan
saya tampil bagus. Mereka membayar mahal untuk menonton saya
menyanyi". ( Femina edisi khusus 2002).

Selain wajah yang cantik, KD juga memperhatikan tubuhnya. Baginya


tubuh yang proporsional, langsing dan singset harus tetap dipertahankan.
Maka ketika ia melahirkan anaknya yang kedua, ia berusaha keras
mengembalikan bentuk tubuhnya seperti semula. Dalam waktu dua bulan
saja tubuh KD berhasil menurunkan berat badan sebanyak 15 kilogram
sehingga kembali langsing dan singset.

Selain alasan penggemar, KD sangat menyadari bahwa kecantikan harus


dijaga, apalagi bila telah memiliki suami. Ia merasa kecantikan merupakan
faktor penting untuk membuat suami bahagia: "Rasanya, kok aneh, jika
sebagai wanita kita tak mau merawat diri. Padahal, Tuhan telah
memberikan segala keindahan yang khas kepada wanita. Saya punya
suami. Saya wajib menampilkan diri seindah mungkin agar dia senang."
(Femina edisi khusus 2002).

"Nggak boleh dong, tubuhku gembyor setelah melahirkan. Suami bisa


kabur. Bagiku kembali ke tubuh singset hanya untuk suami. Anang paling
suka jika aku seksi. Jadi perawatan tubuhku, pertama-tama untuk suami.
Tubuh seksi penting pada posisiku sebagai entertainer. Aku harus bergerak
luwes. Harus enak dilihat penonton. Jadi aku gila-gilaan melakukan
penurunan berat badan. Hasilnya bisa lihat sendiri." (Buletin Sinetron, edisi
74, September 2001).

Di media selebritis lainnya, tabloid X-Files (79, Agustus 2001), KD juga


ditampilkan sebagai seorang selebritis yang selalu berusaha terlihat
menarik. Ia tampil dengan busana maupun model rambut yang sedang
tren. Tiga bulan sekali ia mengubah penampilannya, khususnya model
rambut. Ia menyiasati tampilan rambutnya dengan mengenakan rambut
palsu. Dari model kepang dua ala Britney Spears, model Shinchan hingga
model acak-acakan seperti ditiup angin. Ia memilih cara yang simpel
namun dapat tampil lebih menarik.

Sebagai selebritis, KD selalu ingin tampil menarik dan sempurna di mata


penggemarnya. Ia berusaha menampilkan citra yang bagus di media
massa. Sehingga apa yang ditampilkannya dapat memberikan kesan yang
baik bagi penggemarnya.

113

114

Istri dan Ibu yang Baik


Satu hal yang selalu ditampilkan media adalah kehidupan rumah tangga
selebritis. Bagaimana selebritis itu mampu membagi waktu antara karir dan
keluarganya. Ia akan dikatakan berhasil di mata publik bila ia memiliki karir
yang cemerlang dan sukses membina rumah tangga. Apalagi masyarakat
Indonesia masih menganggap bahwa seorang wanita harus menjadi istri
yang baik, yang dapat merawat rumah tangga dan anak-anaknya. Karena
itulah tugas utama seorang wanita, meskipun ia seorang selebritis.
Dalam media-media selebriti KD ditampilkan sebagai istri dan ibu yang baik
bagi suami dan anak-anaknya. Keluarganya selalu tampak harmonis.
Meskipun sibuk, KD lebih memilih dengan keluarga bila ia punya waktu
luang. Pendeknya dia digambarkan sebagai ibu yang baik. Media-media
selebritis melukiskan meskipun KD punya karir yang cemerlang, ia tetap
adalah istri yang patuh, sayang pada suami dan anak-anaknya. "Aku
sebetulnya orang rumahan. Setiap kali sibuk keliling daerah untuk
menyanyi, aku selalu ingin kembali ke rumah. Ya, kangen Anang, kangen
anak-anak. Rumah ini juga sangat bersejarah buat kami," tutur KD tentang
rumah hasil kerja kerasnya bersama Anang. Jika tidak ada show, ia lebih
suka mendekam di rumah . Bahkan jika memungkinkan ia lebih suka
penandatanganan kontrak-kontrak show-nya dilakukan di rumah.
Media juga memproduksi realitas bahwa bila seorang selebritis sangat
sibuk, atau bila ia jarang tampil bersama keluarga itu berarti ada masalah
dalam kelurganya. Tak heran bila banyak artis yang kemudian harus
membuat kesempatan tampil bersama dengan keluraganya agar keluarga
mereka tampak baik-baik saja (harmonis).

membawakan lagu muncul dua anak mereka. KD mengakui bahwa salah


satu tujuan konsernya adalah untuk menepis isu kalau hubungan mereka
renggang.
"Targetnya, ya itu tadi, menepis isu kalau aku makin jauh dengan Anang.
Padahal nggak tuh. Aku selalu dekat dengan Anang. Wah, dia kan suami
yang terbaik. Kalau muncul kesan aku menjauh, itu karena kesibukanku
begitu padat dan tidak berhubungan musik. Misalnya aku sibuk main
sinetron. Kalau dibilang jauh, itu keliru. Masak orang hanya melihat
kedekatan dari dari sisi fisik. Sekalipun secara fisik, aku memang tidak
dekat dengan suamiku, tapi nggak berarti aku ada masalah. Aku dan dia
tetap erat. Dia cintaku. Setiap album baruku, Anang selalu menjadi guru,
konsultan dan teman kerja yang sangat baik." ( Buletin Sinetron ,74/
September 2000).
Kesan ibu yang baik juga ditampilkan media ketika KD bersedia membatasi
jam shooting sinetron agar tetap punya waktu untuk anak-anaknya.
Sebagai ibu, bagaimanapun sibuknya, ia harus bisa mencurahkan
perhatian dan kasih sayang pada suami dan anak-anaknya. Seperti yang
diceritakan situs selebritisindonesia.com: Gara-gara sibuk syuting, anak
sulungnya Titania Aurelie Nurhermansyah sempat protes. "Saya jadi
bingung. Soalnya dia jadi cuek. Kalau saya tanya nggak langsung
menjawab. Saya kan takut kehilangan dia,"ungkap KD.
Citra keluarga harmonis juga ditampilkan media saat KD mengisi waktu
senggangnya dengan berlibur bersama keluarga di sebuah hotel dengan
mengajak kedua anak mereka. Di situ ditampilkan bahwa keluarga
merupakan segalanya bagi KD. Betapa ia sangat menyayangi keluarganya.

KD juga digambarkan sangat menjaga citra keluarga harmonis. Apalagi


ketika ia menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang hubungannya dangan
suami. Larangan main sinetron dari suaminya maupun pertengkaranpertengkaran dalam keluarganya yang diberitakan media misalnya, ia
tanggapi dengan mengatakan bahwa semua itu ungkapan rasa sayang
suami dan keluarganya tetap harmonis. Bagi KD keluarga dan profesi sama
pentingnya sehingga keduanya harus sama-sama berjalan dengan baik.

Kesan ibu yang baik dan keluarga yang harmonis, seolah ingin diciptakan
media dalam kehidupan seorang selebritis. Media ingin memenuhi harapan
pembaca terhadap selebritis yang merupakan sosok idel bagi mereka.
Media turut menciptakan realitas dan citra seorang selebritis seperti apa
diharapkan pembacanya.

Ketika KD lebih sering tampil sendiri tanpa Anang, media memberitakan


bahwa ada masalah dalam hubungan KD-Anang. Namun kesan itu segera
terbantah ketika KD menyelenggarakan konser tunggalnya. Dalam konser
tunggal itu, ada kesempatan yang sengaja digunakan KD untuk tampil
bersama Anang membawakan lagu "Di Ujung Timur". Di tengah-tengah

Termuat di Newsletter KUNCI No. 11, Februari 2002.

115

116

sepenuhnya hilang, baik dari segi iramanya, temanya, maupun


penampilannya. Kelompok Rhoma Irama sendiri, waktu itu, menamakan
dirinya masih sebagai orkes Melayu, yaitu Orkes Melayu Sonata.

Kami Tak Berhenti Begadang


Oleh FARUK HT.

Bisakah dangdut menjadi musik bergengsi, apalagi penjaga gawang


moralitas? Bisa iya, bisa tidak. Semuanya tergantung pada apa yang
dimaksud gengsi, apa pula yang dimaksud moralitas itu. Semuanya juga
tergantung siapa yang memberi makna terhadapnya.
Dangdut adalah musik yang digemari oleh kelompok masyarakat marginal
atau yang termarginalkan, baik secara ekonomis maupun secara geografis.
Dari segi ekonomis, dangdut merupakan musik yang digemari oleh
masyarakat dengan tingkat ekonomi yang rendah, misalnya para buruh di
perkotaan. Dari segi geografis, ia merupakan musik yang hidup dan
dihidupi oleh kelompok masyarakat yang ada di pinggiran, baik pinggiran
kota, pedesaan Jawa, pesisir, ataupun luar Jawa yang menjadi pusat
kekuasaan ekonomi, politik, dan bahkan kultural masyarakat Indonesia.

Tapi, kehadiran Rhoma sama sekali tidak membuat musik dangdut menjadi
terangkat ke lapisan atas masyarakat. Yang berhasil dilakukannya lebih
merupakan revitalisasi dan reaktualisasi musik masa lalu itu ke masa kini.
Tapi, dengan hidup kembalinya musik Melayu, ia justru kemudian
menegaskan stratifikasi sosial yang menajam di dalam masyarakat sebagai
akibat perkembangan teknologi informasi dan ekonomi Orde Baru. Kalau
sebelumnya masyarakat lapisan bawah yang terbentuk sebagai akibat
kebijakan ekonomi dan informasi Orde Baru seakan tidak mempunyai
"corong", sarana kultural dan musikal untuk aktualisasi dan identifikasi diri,
dengan Rhoma Irama, mereka memperoleh hal tersebut. Dengan demikian,
jasa besar Rhoma terletak bukan pada mengangkat musik dangdut ke
strata sosial yang lebih tinggi, melainkan menghidupkan dan
mereaktualisasikan musik Melayu dan memberikan sarana ekspresi dan
identifikasi diri pada masyarakat lapisan bawah.
***

Ketika saya masih kecil, duduk di sekolah dasar di Banjarmasin,


Kalimantan Selatan, di akhir 1960-an, seingat saya apa yang disebut musik
dangdut belum ada. Yang ada adalah musik Melayu. Di daerah asal saya
itu musik Melayu ini hidup dan tersebar melalui pertunjukan-pertunjukan
keliling yang dikenal dengan rombongan Orkes Melayu. Repertoirnya
sebagian besar diambil dari lagu-lagu Melayu Deli dan Malaysia akhir-akhir
ini mulai muncul lagi, misalnya "Bunga Nirwana" dan "Sabda Pujangga".
Karena saya masih kecil waktu itu, musik Melayu saya rasakan sebagai
musik orang-orang tua atau setengah tua (paman saya seorang penyanyi
yang tergabung dalam sebuah Orkes Melayu). Musik anak muda adalah
musik pop yang diledakkan oleh antara lain Koes Plus dan kemudian
disusul oleh The Mercy's, Pambers, dsb., dan selanjutnya kelompokkelompok musik yang membawakan musik rock: Giant Step atau Godbless
dengan Achmad Albarnya, AKA dengan Ucok Harahapnya, dan Rollies
dengan Gitonya.
Musik Melayu dapat dikatakan tenggelam waktu itu. Baru pada awal '70-an,
dengan kemunculan Rhoma Irama yang mengkombinasikan musik Melayu
dengan musik pop dan rock, musik Melayu mulai memperoleh penggemar
di kalangan anak muda. Namun, namanya segera berubah dari musik
Melayu menjadi musik dangdut, meskipun jejak Melayunya tidak
117

Yang ingin saya katakan adalah bahwa dangdut adalah lagu masyarakat
lapisan bawah dan tidak akan pernah serta bahkan sebaiknya tidak menjadi
lagu lapisan atas masyarakat, lagu kelompok elite. Memang, seperti halnya
Sri Mulat, lagu dangdut mulai mendapat ruang yang semakin luas dan
bahkan terluas di televisi, sesuatu yang sebelumnya menjadi wilayah musik
pop atau musik masyarakat dari lapisan yang lebih tinggi. Namun,
kecenderungan itu lebih disebabkan oleh perkembangan daya beli
masyarakat lapisan bawah itu sendiri bersama dengan perkembangan
teknologi media massa yang menayangkannya. Ia dapat dipastikan sama
sekali bukan akibat dari perkembangan cara penyajiannya, termasuk
substansi musikal dan liriknya.
Perkembangan teknologi informasi telah memungkinkan dihasilkannya
produk-produk rekaman musik yang semakin murah dalam jumlah yang
semakin besar dan dengan tingkat penyebaran yang semakin cepat dan
luas dan karenanya semakin terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah.
Dengan perkembangan ini masyarakat lapisan bawah itu menjadi pangsa
pasar media dan iklan yang sangat besar pula. Iklan sendiri berhubungan
dengan perkembangan industri di Indonesia. Semakin banyak dan
beraneka komoditas yang ditujukan pada masyarakat lapisan bawah,
semakin besar kepentingan industri untuk menjangkau masyarakat tersebut
118

melalui media massa, terutama televisi. Dalam hubungan dengan iklan ini
dapat pula dibuktikan bahwa betapa besar pun ruang yang tersedia di
televisi untuk dangdut, ia tetap dipahami sebagai musik masyarakat lapisan
bawah dan ditujukan pada masyarakat lapisan tersebut. Iklan-iklan untuk
musik dangdut adalah iklan-iklan bagi produk-produk yang menjadi
konsumsi khas masyarakat lapisan itu, misalnya obat kuat yang sangat
penting bagi buruh yang telah bekerja keras secara fisik, obat kemampuan
seks, obat sakit kepala atau penghilang penghilang rasa sakit lainnya, dan
sejenisnya. Tidak akan ada iklan mobil mewah atau pakaian dan kosmetika
mahal dipasang untuk menjadi sponsor musik dangdut.
Ike Nurjanah dan Iis Dahlia mungkin dua di antara sedikit penyanyi dangdut
yang tampil berbeda, yang mengutamakan keindahan dan keanggunan
daripada kekuatan dan seks, dalam menyanyi dangdut. Tapi, hal itu tidak
akan dapat mengubah musik dangdut menjadi musik elitis. Keanggunan
dan keindahan mereka sebenarnya sama saja dengan ungkapan perasaan
yang halus yang muncul di banyak lagu dangdut. Tapi, kehalusan
ungkapan perasaan dalam lirik itu tidak pernah menghapuskan irama
dangdut sendiri, yaitu irama yang mengajak bergoyang ala film India:
goyang yang berpusat di pinggul dan pinggang serta dada. Dangdut bukan
musik yang mengajak orang berkontemplasi secara spiritual, melainkan
mengajak orang bergerak dan bertindak secara fisik sebagaimana
kehidupan sehari-hari masyarakat lapisan bawah.
Banyak pujian yang diberikan kepada Elvi Sukaesih dalam hal
ketepatannya menyesuaikan gerak dengan irama dan tema lirik musik.
Namun, sewaktu di kampung saya mulai ada televisi, TVRI waktu itu, ibu
saya pernah jengkel sekali kepada Bapak saya karena ia memelototi Elvie
Sukaesih di layar televisi. Tidak ada persoalan keselarasan irama atau apa
pun namanya bagi penonton ketika mereka menonton atau mendengarkan
musik dangdut. Yang ada adalah citra tubuh yang menonjol, citra kekuatan
fisik dan seksual. Karena, pada hal itulah kehidupan masyarakat bawah
bersandar.
Rhoma Irama dikenal sebagai penyanyi dan pengarang lagu dangdut yang
berhasil menyisipkan pesan-pesan moral dalam lagunya. Apakah hal itu
berarti dapat mengangkat musik dangdut keluar dari "comberan"? Tidak
juga. Pertama, musik dengan ajaran moralitas yang eksplisit merupakan
musik yang khas masyarakat lapisan bawah, bukan masyarakat lapisan
atas yang cenderung abstrak, kosmopolit, dengan pandangan mengenai
moralitas yang kompleks dan ambigu, dan dengan penanaman
kemampuan intelektual yang tinggi dan kehalusan perasaan. Karena itu,
penempatan ajaran moral yang eksplisit seperti yang dilakukan Rhoma
119

Irama hanya menegaskan bahwa dangdut memang musik lapisan bawah


masyarakat, musik yang ia sebut sebagai "comberan".
Kedua, masyarakat lapisan bawah punya cara dan kepentingan sendiri
dalam menikmati dan menghayati musik dangdut, antara lain dengan
menempatkannya sebagai alat identifikasi dan ekspresi diri. Sebagai
kelompok masyarakat yang hidup dalam sistem stratifikasi sosial dan
ekonomi yang sangat tajam dan menajam, menjadi tidak masuk akal bagi
mereka untuk dapat merasa bersatu dengan kelompok sosial ekonomi yang
ada di lapisan atas, yang ada di atas "comberan". Dalam sistem stratifikasi
yang demikian, yang bisa mereka lakukan adalah bagaimana bisa hidup
betah di comberan saja, bukan melakukan hal yang mustahil dengan keluar
dari comberan itu. Salah satunya, dengan membalikkan makna comberan
itu menjadi sesuatu yang lebih berharga.
Pada waktu saya remaja, salah satu lagu yang kami gemari dan nyaris
menjadi lagu wajib adalah "Begadang". Meskipun lagu itu mengajarkan
agar orang jangan begadang kalau tidak perlu, jangan begadang karena
hal itu dapat merusak badan, kami tidak pernah tergelitik untuk berhenti
begadang atau hanya begadang kalau ada perlunya. Saya pribadi, sebagai
bagian dari masyarakat penggemar dangdut, merasakan bahwa justru
dengan tetap begadang tanpa ada perlunya kami menegaskan identitas
kami, menjadi bangga pada diri kami. Lagu itu, dengan demikian, kami
gemari bukan sebagai petuah yang harus diikuti, melainkan petuah yang
harus dilanggar. Adanya petuah itu, bagi kami, hanya menegaskan bahwa
jalan kami memang lain dari mereka yang "begadang kalau ada perlunya".
Justru dengan tetap berada di "comberan", kami merasa bahwa kami lain
dari mereka, dan bahkan kami mampu dan berani hidup dalam lingkungan
yang mereka justru tidak bisa dan tidak berani melakukannya. "Comberan"
sama sekali bukan hal yang menjijikkan dan hina bagi kami, melainkan
sesuatu yang membanggakan. Begitupun dangdut dengan goyangnya,
dengan citra kekuatan fisik dan seksnya. Bukankah banyak kelompok elit,
kaum eksekutif dan kaya, yang kabarnya impotent? Bagi masyarakat
lapisan bawah, kekuatan fisik dan seks, merupakan sesuatu yang
membanggakan karena hanya itulah yang mereka miliki. Kalau hal itu
dihilangkan dari dangdut, dangdut ditarik keluar dari comberan, masyarakat
lapisan bawah tidak hanya kehilangan musik, tapi juga kehilangan identitas
dan sekaligus eksistensi serta kebanggaan mereka.
Bersatulah penggemar dangdut Indonesia.
120

FARUK HT. adalah pengajar pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.

Pertama" dan eksploitasi fisik di "Dunia Ketiga". Ini berpengaruh pada


pandangannya tentang penyelesaian masalah, karena ia menolak
meliyankan pihak yang "berbeda" darinya.

Termuat di Newsletter KUNCI No. 12, Juni 2003.

Barangkali yang mengagumkan dari Gayatri tak hanya keketatannya


bertahan berada pada site of negotiation untuk terus membongkar struktur
kekuasaan. Tetapi juga staminanya.

Membaca Gayatri Chakravorty Spivak


Oleh MARIA HARTININGSIH dan NINUK MARDIANA PAMBUDY

Ia dikenal sebagai ahli teori-teori post kolonial. Lebih khusus sebagai ahli
kajian subaltern (subaltern studies), setelah esai panjangnya "Can
Subaltern Speak" pada tahun 1983 terbit dan menjadi karya monumental,
bahkan diperingati 20 tahun penerbitannya oleh para filsuf dunia di Cork,
Irlandia.
Melalui sedikitnya 10 buku karyanya (asli dan terjemahan), serta karyakarya kajian para ahli mengenai teori-teorinya, banyak orang juga
mengenal Gayatri Spivak sebagai ahli kajian kritis mengenai budaya
(critical cultural studies) dan teori-teori dekonstruksi, setelah
menerjemahkan dan menafsirkan Derrida dalam kata pengantar yang
dekonstruktif dari karya De la grammatologie ke dalam bahasa Inggris, Of
Grammatology.
Dalam serangkaian ceramahnya di Program Pascasarjana Ilmu Religi dan
Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan di Fakultas Ilmu
Pengetahuan
Budaya
Universitas
Indonesia
dalam
2,5
hari
persinggahannya di Indonesia, Gayatri menolak semua label itu.
"Dalam banyak hal orang tidak suka diberi label. Saya menulis secara kritis
mengenai postkolonialisme dan kajian budaya. Saya bukan filsuf. Saya
adalah kritikus sastra," ujarnya. Teks-teks-nya secara radikal melintasi
disiplin ilmu "resmi", seperti antropologi, sejarah, filsafat, kritik susastra,
sosiologi, mengaburkan batas dan mengembangkan penggabungan
metodologi-metodologi kontemporer antara Marxisme, feminisme, dan
dekonstruksi.
Tema kajiannya sangat luas, mulai dari politik mikro di sekolah sampai
narasi makro imperialisme. Ia ditengarai sebagai satu dari sedikit ilmuwan
dunia yang melintasi oposisi biner antara produksi intelektual di "Dunia
121

Suara perempuan berusia 64 tahun itu keras dan bertenaga meskipun


perjalanan selama lebih 22 jam dari New York sangat berpotensi
melumpuhkannya. Begitu tiba di Yogyakarta, ia hanya membutuhkan waktu
setengah jam istirahat sebelum berceramah dua jam dan empat jam pada
hari berikutnya.
Gayatri didampingi oleh Antariksa dari Kunci Cultural Studies Center
kelompok kajian budaya di Yogyakarta yang bekerja dengan berbagai pihak
untuk "menculik" Gayatri ke Indonesia dalam perjalanannya untuk sebuah
seminar di Beijingbaru tiba di hotel di Jakarta sekitar pukul 22.00.
Ia sudah ditunggu untuk mendengarkan gambaran perkembangan di
Indonesia untuk dikaitkan dengan topik ceramahnya keesokan harinya
mengenai perspektif kultural atas persoalan-persoalan kontemporer di
Universitas Indonesia.
Namun sebagaimana di Yogyakarta yang "mematok" tema penulisan ulang
sejarah dan gerakan sosial yang paling dimungkinkan saat ini, tema yang
disodorkan di UI juga dikatakannya, "bukan untuk saya".
Tentu saja itu hanya basa-basi seorang guru besar pada Avalon
Foundation of Humanities di Universitas Columbia, AS, tempat ia mengajar
sastra Inggris dan politik kebudayaan.
Keliru dibaca
Siapa dan apakah subaltern?
Istilah "subaltern" diadopsi dari pemikir Italia, Antonio Gramsci, yang
menggunakan istilah itu bagi kelompok sosial subordinat, yakni kelompokkelompok dalam masyarakat yang menjadi subyek hegemoni kelas-kelas
yang berkuasa.
122

Dalam uraiannya Gayatri menjelaskan, sejarawan India Ranajit Guha dari


Kelompok Kajian Subaltern mengadopsi gagasan Gramsci untuk
mendorong penulisan kembali sejarah India yang kemudian mendefinisikan
subaltern sebagai "mereka yang bukan elite". Gagasan Guha menggeser
dikotomi "menindas-ditindas" karena penindasan juga dilakukan oleh
orang-orang di dalam kelompok.
Kajian Gayatri menegaskan penemuan Guha. Namun esainya "Can
Subaltern Speak" banyak keliru dibaca, dan merangsang pemikiran banyak
akademisi.
Bagaimana Anda menanggapi ini?
"Saya tidak membaca semuanya. Tetapi sebagian besar menganggap saya
tidak mengakui bahwa subaltern dapat bicara. Malah ada yang mengatakan
saya tidak membiarkan kelompok itu bicara sampai ada penelitian yang
memperlihatkan bahwa subaltern dapat berbicara," jawab Gayatri.
Ia sama sekali tidak menduga esai itu menjadi begitu terkenal. "Tulisan itu
sebenarnya tentang adik nenek saya. Saya sedang memikirkan subaltern
ketika menuliskan kisahnya."
Adik neneknya bernama Bhuvaneswari Bhaduri, berusia sekitar 16-17
tahun ketika menggantung diri di apartemen ayahnya yang sederhana di
Calcutta Utara tahun 1926. Peristiwa bunuh diri itu mengandung teka-teki.
Desas-desus bahwa Bhuvaneswari hamil di luar nikah tidak terbukti karena
ia baru selesai menstruasi ketika gantung diri. Hampir sepuluh tahun
kemudian, baru diketahui bahwa Bhuvaneswari adalah satu anggota
kelompok yang terlibat dalam perjuangan bersenjata bagi kemerdekaan
India. "Kalau sekarang mungkin ia disebut teroris," sambung Gayatri.
Baru kemudian juga diketahui bahwa keputusan menggantung diri itu
diambil karena Bhuvaneswari tak mampu melakukan pembunuhan politik
yang dipercayakan kelompok itu kepadanya dan menyadari kebutuhan
praktis bagi sebuah kepercayaan.
"Tak ada orang tertindas yang bisa bicara. Apalagi ia perempuan, ia akan
begitu saja dilupakan," sambung Gayatri.

"Tidak dapat berbicara adalah metaphor karena ia mencoba berbicara


sehingga secara metaphor Anda dapat mengatakan tidak ada keadilan di
dunia. Orang tidak menaruh perhatian pada 'cerita' subaltern. Para
pembaca esai saya sepenuhnya mengabaikan kisah itu," sambung Gayatri.
Hal seperti itu selalu terjadi, kata Gayatri. Itu sebabnya ia mengatakan
subaltern tidak bisa bicara, sekaligus memberi peringatan kepada gerakan
intelektual postcolonial tentang bahaya klaim mereka atas suara kelompokkelompok subaltern. Klaim-klaim semacam itu bersifat kolonial karena
menganggap kelompok-kelompok subaltern sebagai kelompok yang "satu".
"Di berbagai tempat di dunia, di sepanjang sejarah manusia, selalu ada
orang-orang yang secara absolut tidak punya suara dan tidak dapat
berbicara," jelas Gayatri lebih jauh
"Sedihnya, hal itu selalu berhubungan dengan situasi saat ini. Selalu ada
orang-orang yang dibungkam. Itu sebabnya saya katakan, jangan menjadi
mayoritas bungkam, tak bersuara".
Subalternisasi selalu terjadi ketika yang kaya menjadi semakin kaya dan
yang miskin dari yang termiskin menjadi semakin miskin.
"Kita harus selalu memberi perhatian kepada mereka yang berada di paling
dasar dan berbuat sesuatu supaya mereka tidak selalu menjadi subaltern.
Itu pula tugas para pemikir yang menjadi bagian dari diaspora untuk
membantu kelompok diaspora dari kelas lebih rendah yang mendapat
kesulitan".
Aktivismenya memberikan pelatihan pada para pengajar suku asli di
sebuah desa Bengala Barat adalah bagian dari itu. Ia rela meninggalkan
pekerjaannya yang mapan di AS beberapa kali setahun dan melakukan
kegiatan yang harus dibiayai sendiri, sehingga ia menerima permintaan
berceramah di berbagai tempat di dunia.
"Saya adalah intelektual dan aktivis kajian subaltern," lanjutnya. Ia melatih
para guru menggunakan buku pelajaran dan mengajari mereka agar para
murid yang merupakan bagian dari 67 juta suku itu di India, dapat
bertransformasi sendiri, sampai suatu hari bisa berkata, "Mengapa kamu di
sini? Setelah itu, saya akan pergi."

Tidak bisa bicara atau tidak ada yang mendengarkan?

123

124

Internasionalis
Gayatri Chakravorty lahir di Calcutta tanggal 24 Februari 1942, saat terjadi
kelaparan semu lima tahun sebelum kemerdekaan India dari penjajahan
Inggris.
Ia
merupakan
generasi
intelektual
pertama
India
pascakemerdekaan. Lulus dari Presidency College di Universitas Calcuta
tahun 1959, Gayatri menduduki ranking teratas dalam Bahasa Inggris dan
memperoleh medali emas di bidang sastra Inggris dan Bengali. Ia memilih
pergi ke AS untuk belajar di Universitas Cornell, sampai mendapatkan gelar
MA dan PhD-nya di bidang Sastra Inggris. Gayatri sempat menikah dan
kemudian bercerai dengan seorang Amerika bernama Talbot Spivak, tetapi
nama Spivak terus menempel pada dirinya.
Ilmuwan pernah mengajar di universitas-universitas terkemuka di AS,
Perancis, Jerman, Inggris, dan Riyadh itu memegang green card Amerika,
tetapi mempertahankan kewarganegaraan India. Ia menjawab "tidak tahu"
ketika ditanya soal identitas.
"Saya tidak percaya seseorang tahu keadaan sebenar-benarnya mengenai
dirinya. Orang bisa mengatakan saya terlalu Amerika atau terlalu India.
Saya tidak tahu apa itu menjadi orang Amerika dan apa itu menjadi orang
India. India terdiri dari lebih 1 miliar orang dengan 23 bahasa dan saya
hanya berbicara 1,5 nya saja.
Saya seorang internasionalis. Saya suka bergaul. Saya tidak merasa
sebagai orang Amerika dan tidak merasa sebagai orang India. Ada hal-hal
tertentu yang tidak saya sukai tentang AS dan ada hal-hal tertentu pula
yang tidak saya sukai di India. Orang yang terlalu mencemaskan
identitasnya adalah narsistik.

Gayatri tak pernah menyebut identitas agamanya. Ia tidak menjalankan


ritual Hindu, meskipun terlahir sebagai Hindu. Tetapi setelah kelompok
Hindu fundamentalis di India yang merupakan bagian kecil dari mayoritas
Hindu yang moderat bersuara semakin keras, ia menyatakan dirinya
sebagai seorang Hindu, supaya orang di luar tidak mendapatkan gambaran
yang salah tentang Hindu.
Apakah itu berkaitan dengan privilege sebagai kelas menengah dari sistem
kasta di India?
"Apa itu privilege? Saya berasal dari kelas menengah, kelas pekerja dan
kami tidak terlalu miskin. Saya telah membiayai hidup saya sendiri sejak
berusia 17 tahun dan pergi ke AS dengan menggadaikan hidup sebagai
jaminan. Saya hanya punya uang 18 dollar di kantong dan tidak kenal siapa
pun. Ini dapat terjadi karena saya dibesarkan untuk menegakkan kepala
tinggi-tinggi. Semua orang di keluarga besar saya mengatakan kami semua
akan masuk ke neraka karena orangtua kami tidak sama dengan yang lain.
Mereka tidak mengatur jodoh kami, seperti kebiasaan umum di India.
Ayah saya sangat miskin dan ibu saya berasal dari keluarga yang cukup
kaya. Meskipun begitu, ayah saya tidak mau menerima mas kawin (dowry)
dari keluarga calon istri, seperti kebiasaan yang terus berlangsung sampai
sekarang. Itu terjadi tahun 1928.
Ketika saya berusia 15 tahun ayah saya meninggal. Ibu saya mengatakan,
'Nak, orangtua sering merasa tahu apa yang terbaik untuk anaknya dan
mengatur jodoh untuk anaknya. Tetapi kamu memiliki kehidupanmu sendiri
di luar rumah dan saya tidak bisa mengatur perkawinanmu'. Bayangkan
keberanian ibu saya; seorang janda berusia muda. Jadi hak istimewa saya
dapatkan bukan dari kelas sosial, tetapi karena saya dibesarkan dalam pola
asuh yang sangat tidak biasa.

Saya meyakini ini karena saya dibesarkan dengan cara yang sangat baik,
sehingga saya tak pernah membuang waktu untuk berpikir bahwa budaya
yang ini lebih baik dari yang itu. Menurut saya, semua bahasa adalah
bahasa ibu.

Termuat di KOMPAS, 12 Maret 2006

Bila saya berada di AS, saya tidak mencari makanan Bengali. Saya juga
nyaman makan di restoran Banglades, bukan restoran India. Kalau saya
makan sendiri, saya menggunakan jari tangan saya sekalipun makan salad,
karena begitulah cara saya dibesarkan. Tetapi tidak dengan cara itu kalau
saya makan di restoran. Di India, saya membersihkan diri di toilet dengan
tangan kiri, tetapi tidak melakukan itu ketika berada di AS."
125

126

Intelektual, Gagasan Subaltern, dan Perubahan Sosial


Oleh ANTARIKSA

Peran intelektual dalam perancangan dan perubahan sosial telah lama


menjadi bahan perdebatan, baik di Indonesia maupun di mancanegara.
Secara ringkas, bisa digambarkan bahwa sebagian berpendapat intelektual
seharusnya "berumah di atas angin". Artinya tugas utamanya adalah
bergelut dengan teori dalam bidang yang dipelajarinya di universitas atau
lembaga-lembaga penelitian. Karena peran seperti itulah yang memang
harus dimainkannya dalam proses perubahan sosial. Biarlah para politisi,
teknolog, dan ekonom saja yang terlibat dalam perancangan dan
perubahan sosial. Sebagian lainnya berpendapat bahwa intelektual
seharusnya "turun ke bumi", berpartisipasi langsung dalam proses
perancangan dan perubahan sosial.
Perdebatan yang kelihatan terlalu "hitam-putih" itu tampaknya kini sudah
mulai dilupakan. Bukan saja karena keduanya sama-sama benar sekaligus
sama-sama salah, atau karena masing-masingnya punya kelemahan
epistemologis sekaligus saling melengkapi, tetapi juga karena terlalu
"hitam-putih" dan terlalu "steril", sementara kondisi-kondisi sosial dan politik
yang menjadi latar belakangnya terus berubah.
Sekedar contoh, perdebatan itu akan sulit menjelaskan banyaknya aktivis
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di luar universitas yang melibatkan
diri dalam penelitian-penelitian akademis, dan juga sebaliknya, makin
banyaknya intelektual universitas yang melibatkan diri dalam proses
pemberdayaan yang dilakukan oleh LSM-LSM, perancangan sosial dan
pengambilan kebijakan. Memang ini bisa saja menjadi soal pilihan. Tetapi
jelas jauh lebih kompleks dari sekedar pilihan "berumah di atas angin" atau
"turun ke bumi", karena melibatkan perubahan-perubahan dalam struktur
dan formasi kultural, sosial, ekonomi, dan politik, baik di tingkat global
maupun di tingkat lokal, sehingga bukan saja akan menentukan peran
intelektual dalam perancangan dan perubahan sosial, tetapi juga
menentukan arah dan bentuk keberpihakan intelektual.
Salah satu soal besar yang sering tidak hadir dalam perdebatan itu adalah
soal masyarakat, yang selama ini diklaim diabdi oleh kaum intelektual.
Siapakah sebenarnya mereka? Siapakah mereka yang katanya lidahnya
telah disambung oleh kaum intelektual ini?
127

Pada musim dingin 1985, Gayatri Chakravorty Spivak, perempuan India,


profesor di Universitas Pittsburgh, mempublikasikan tulisannya "Can the
Subaltern Speak? Speculations on Widow-Sacrifice" (Dapatkah Subaltern
Berbicara? Spekulasi-spekulasi tentang Bunuh Diri Janda) di jurnal Wedge.
Melalui studinya tentang bunuh diri janda di India (sati), tulisan ituyang di
kemudian hari menjadi sangat berpengaruh di kalangan intelektual
pascakolonialberbicara tentang tendensi-tendensi kolonial dalam teoriteori pascakolonial. Spivak mempertanyakan kembali peran intelektual
pascakolonial yang sering dikatakan bisa menyampaikan suara rakyat
tertindas, suara kaum subaltern. Betulkah demikian? Betulkah kaum
subaltern bisa berbicara?
Sejenak beralih dari tulisan Spivak itu, kita akan mengeksplorasi terlebih
dulu gagasan tentang subaltern; apa itu subaltern, darimana datangnya,
dan kemudian apa pentingnya gagasan ini bagi kita di Indonesia, saat ini.
Istilah subaltern mula-mula digunakan oleh Antonio Gramsci buat menunjuk
"kelompok inferior", yaitu kelompok-kelompok dalam masyarakat yang
menjadi subjek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Petani, buruh, dan
kelompok-kelompok lain yang tidak memiliki akses kepada kekuasaan
"hegemonik" bisa disebut sebagai kelas subaltern. Dalam catatannya
tentang sejarah Italia yang terbit 1934 ("Notes on Italian History") ia
menyatakan bahwa sejarah seharusnya juga menulis tentang sejarah
kelas-kelas subaltern. Menurutnya sejarah kelas-kelas subaltern tak kalah
kompleksnya dengan sejarah kelas dominan, hanya saja yang terakhir ini
lebih diakui sebagai "sejarah yang resmi". Ini bisa terjadi karena kelas-kelas
subaltern tak punya cukup akses kepada sejarah, kepada representasi
mereka sendiri, dan kepada institusi-institusi sosial dan kultural. Hanya
sebuah "kemenangan permanen" (yaitu revolusi kelas) yang bisa
memotong pola subordinasi ini.
Ranajit Guha, sejarawan India dari Subaltern Studies Group, kemudian
mengadopsi gagasan Gramsci itu buat mendorong penulisan kembali
sejarah India. Dalam "On Some Aspects of the Historiography of Colonial
India" (1982) (Beberapa Aspek dalam Historiografi India Kolonial), Guha
mengatakan bahwa sejarah dominan tentang nasionalisme India tidak
menyertakan kelompok-kelompok subaltern dan kelompok-kelompok
pekerja dan lapisan menengah di kota dan desa, yaitu rakyat. Secara
ringkas, yang dimaksud Guha dengan subaltern adalah "mereka yang
bukan elit". Dan yang dimaksud elit adalah "kelompok-kelompok dominan,
baik pribumi maupun asing". Yang asing adalah pejabat-pejabat Inggris dan
para pemilik industri, pedagang, pemilik perkebunan, tuan tanah, dan
misionaris. Yang pribumi dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang beroperasi
128

di tingkat nasional (pengusaha feodal, pegawai pribumi di birokrasi tinggi)


dan mereka yang beroperasi di tingkat lokal dan regional (anggota
kelompok-kelompok dominan).
Adopsi Guha atas subaltern-nya Gramsci ini menarik. Karena ia
memberikan kerangka yang lebih jernih buat menganalisis soal "siapa
kawan, siapa lawan" dan memaksa kita buat memeriksa ulang dikotomidikotomi penindasan. Gagasan Guha menggeser dikotomi-dikotomi
"kolonial-antikolonial", "buruh-majikan", "sipil-militer", dsb. menjadi "elitesubaltern". Perhatian kita pada penindasan yang selama ini hanya terpusat
pada "aktor-aktor luar", kini mesti ditambah dengan perhatian kepada
"aktor-aktor dalam". Mereka yang mengatakan dirinya antikolonial bisa
lebih bersifat kolonial dari pada mereka yang mengatakan dirinya kolonial.
Bagi kita di Indonesia, saat ini, ilustrasinya bisa menjadi buruh bisa
menindas buruh lainnya, sipil bisa menindas sipil lainnya pula, partai yang
mengaku pembela demokrasi bisa lebih fasis ketimbang partai fasis,
mereka yang mengaku pembela kelompok-kelompok marjinal bisa pula
justru menjadi penindas kelompok-kelompok marjinal itu dst.
Gayatri Spivak, dalam tulisannya tentang sati yang telah saya singgung di
atas, mempertegas gagasan Guha, sekaligus memberi peringatan kepada
intelektual pascakolonial tentang bahaya klaim mereka atas suara
kelompok-kelompok subaltern. Spivak sampai pada kesimpulan bahwa
kelompok-kelompok subaltern atau mereka yang tertindas memang tidak
bisa berbicara. Karena itu seorang intelektual tidak mungkin bisa
mengklaim dan meromantisir kemampuan mereka buat menggali dan
mencari suara kelompok-kelompok subaltern. Klaim-klaim semacam ini
justru bersifat kolonial, karena ia menyamaratakan (menghomogenkan)
keberagaman kelompok-kelompok subaltern, dan pada akhirnya ia
merupakan sebuah "kekerasan epistemologis" terhadap kelompokkelompok subaltern. Relasi yang tercipta antara intelektual dengan
kelompok-kelompok subaltern itu seperti relasi "tuan-hamba" (Graves,
1998).
Suara kelompok-kelompok subaltern tidak akan bisa dicari, karena mereka
memang tidak bisa berbicara, karena mereka memang tidak bersuara.
Intelektual datang bukan buat mencari suara itu, melainkan harus hadir
sebagai "wakil" kelompok subaltern. Mengutip Gramsci, menurut Spivak
intelektual mesti disertai "pesimisme intelek dan optimisme kemauan":
skeptisisme filosofis dalam memulihkan keagenan kelompok-kelompok
129

subaltern yang disertai sebuah komitmen politis untuk menunjukkan posisi


mereka yang terpinggirkan.
Di Indonesia, karena kegelisahan akan canpur tangan negara yang terlalu
besar dan mandulnya peran ilmuwan sosial dalam perubahan sosial, pada
awal 1980-an sekelompok aktivis LSM dan mahasiswa yang sering terlibat
dalam aksi-aksi sosial lokal mendirikan API (Asosiasi Peneliti Indonesia)
dan memperkenalkan apa yang disebut Participatory Action-oriented
Research, PAR (Penelitian Berhaluan Aksi Partisipatif).
Sosiolog Ignas Kleden (1997) menyebutkan bahwa PAR memiliki empat
kriteria. Pertama, jika dalam penelitian empiris orang-orang yang menjadi
sasaran kajian tidak tahu-menahu dengan hasil-hasil temuan riset, maka
dalam PAR orang-orang itulah justru yang pertama-tama harus tahu dan
menggunakan hasil-hasil temuan tersebut. Kedua, orang-orang yang
menjadi sasaran penelitian sosial harus tidak diperlakukan sebagai sasaran
observasi ilmiah semata, tetapi harus dilibatkan secara aktif dalam
penelitian tentang mereka itu sendiri. Ketiga, tujuan PAR bukanlah hanya
untuk menghimpun data tentang kelompok orang-orang yang dikaji, tetapi
untuk menanamkan pengertian yang lebih baik pada mereka, serta
memelihara solidaritas terhadap mereka. Ini mengangdung arti bahwa pada
analisis terakhir tujuan PAR tidaklah hanya pada meluasnya lembaga
pengetahuan, tetapi pada mendorong aksi bagi perubahan sosial.
Keempat, mengingat tujuan-tujuan khusus PAR tersebut, maka
penguasaan metodologi penelitian saja belumlah cukup, melainkan harus
dilengkapi dengan suatu komitmen sosial yang jelas.
Meski eksistensi API kini sudah tidak jelas lagi, gagasan tentang PAR
tampaknya tetap menjadi cita-cita ilmu sosial di Indonesia. Saya tidak
punya kapasitas untuk mengukur capaian sosial hasil-hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh para peneliti universitas maupun aktivis LSM di
Indonesia, tetapi banyak di antara telah mencoba menerapkan prinsipprinsip PAR dalam penelitian-penelitian mereka.
Tentu, ketimbang terlalu lama bergelut dengan perdebatan "berumah di
atas angin" vs. "turun ke bumi", ini adalah sebuah hal jauh lebih produktif
bagi perubahan sosial di Indonesia. Hanya saja, dari berbagai wacana
tentang subaltern yang telah disinggung di atas, apapun pilihan metodologi
pemberdayaan kelompok-kelompok terpinggirnya, bila tidak disertai apa
yang dibilang Spivak sebagai "pesimisme intelek dan optimisme kemauan"
(skeptisisme dan sikap politis yang jelas), bila tidak disertai kemampuan
menjelaskan dan menunjuk kelompok subaltern mana yang hendak
130

diwakili, bila tidak disertai sebuah "kritik diri" atau kemauan untuk melihat
penindasan oleh "aktor-aktor dalam", maka ini akan bisa dengan mudah
terjerumus ke dalam bentuk penindasan lainnya.
Campur tangan negara dan kapitalisme global memang masih merupakan
tantangan yang releven bagi ilmu-ilmu sosial di Indonesia (dan ini masih
perlu ditambah lagi dengan tantangan dari campur tangan lembagalembaga donor internasional), tetapi "kritik diri" adalah sebuah tantangan
yang tak kalah penting dan tak kalah kompleksnya.
Jika pada tahun 1970-an dan 1980-an kita sering mendengar negara
"menggunakan" ilmuwan sosial buat merancang dan menjalankan proyekproyeknya yang membuat kelompok-kelompok marjinal menjadi semakin
marjinal, kini kita sering mendengar kelompok-kelompok marjinal yang
mengatakan bahwa mereka telah "dimanfaatkan" oleh para peneliti atau
aktivis LSM buat menurunkan dana-dana bantuan dari lembaga-lembaga
donor internasional. Dalam suatu penelitian yang menjadi bagian dari
proyek pengentasan kemiskinan misalnya, kita sering mendengar sindiran
masyarakat bahwa pada akhirnya peneliti dan aktivis LSM-lah yang
akhirnya justru mentas dari kemiskinan, sementara masyarakat sendiri
tetap tinggal miskin.
Lantas siapa sebenarnya kelompok marjinal yang mau diberdayakan itu?
Suara siapakah yang sebenarnya mau disampaikan? Dan bagaimanakah
kita akan berbicara tentang peran intelektual dalam perubahan sosial? Itu
hanyalah sebagian dari pekerjaan rumah "kritik diri" yang harus segera
dikerjakan.

Louis Althusser
Oleh NURAINI JULIASTUTI

Louis Althusser adalah filsuf Perancis yang lahir di Algeria pada tahun 1918
dan meninggal di Paris pada tahun 1990. Semasa hidupnya, ia lebih
dikenal sebagai seorang teorisi dan kritikus marxis. Tepatnya, menurut
John Lechte (1994), ia adalah seorang marxis dengan kecenderungan
strukturalis. Ini ditegaskan dalam karya-karyanya a.l.: For Marx (1965) dan
Reading Capital (1968).
131

Kritiknya yang penting atas Marx adalah menurutnya hubungan antara


'basis' dan 'superstruktur' dalam teori-teori Marx lebih bersifat otonomi
relatif. Basis, menurut pandangan Marxisme tradisional adalah struktur
ekonomi yang menentukan semua aktifitas superstruktur di atasnya, seperti
struktur ideologi, politik, sosial, kebudayaan, dsb. Menurut Althusser,
kedudukan antara 'basis' dan 'superstruktur' adalah otonomi relatif: 'basis'
atau struktur ekonomi tidak selalu menjadi penentu segala aktivitas
'superstruktur' di atasnya. Bisa saja ada masa ketika 'superstruktur'
mengambil alih posisi 'basis' dan menjadi penentu atas semua struktur di
luarnya. Hal ini terjadi karena masing-masing tingkatan mempunyai
problematikanya sendiri-sendiri. Tingkat ekonomi punya problematika
dalam kerangka praksis ekonomi, tingkat politik punya problematika dan
kontradiksi-kontradiksi sendiri, begitu juga dengan tingkatan ideologi.
Semuanya punya problematika dan kontradiksi sendiri dalam kerangka
praksisnya.
Lebih dari itu semua, sebenarnya Althusser juga pernah mengajukan
konsep State Apparatus (SA) dan Ideological State Apparatus (ISA).
Keduanya merupakan konsep penting yang berguna dalam kajian budaya.
State Apparatus (SA) atau Aparatus Negara (AN), bisa terdiri dari polisi,
pengadilan, penjara, dsb. Sedangkan Ideological State Apparatus (ISA)
atau Aparatus Ideologis Negara (AIN), terdiri dari beberapa institusi yang
terspesialisasi seperti: Aparatus Ideologi Negara lewat institusi religius
(menunjuk pada sistem masjid atau gereja yang berbeda-beda), Aparatus
Ideologis Negara lewat institusi edukatif (menunjuk pada sistem sekolah
umum dan swasta yang berbeda-beda), Aparatus Ideologis Negara lewat
institusi keluarga, Aparatus Ideologi Negara lewat institusi hukum, Aparatus
Ideologis Negara lewat institusi politis (menunjuk pada sistem politik,
termasuk partai yang berbeda-beda), Aparatus Ideologi Negara lewat
institusi perdagangan, Aparatus Ideologi Negara lewat institusi komunikasi
(misalnya pers, radio, TV, dsb), Aparatus Ideologi Negara lewat institusi
kebudayaan (misalnya sastra, olahraga, seni, dsb).
State Apparatus (SA) atau Aparatus Negara (AN) lebih memusatkan
pengaruhnya pada wilayah publik, sementara Ideological State Apparatus
atau Aparatus Ideologis Negara (AIN) lebih memusatkan pengaruhnya
pada wilayah yang sifatnya privat. Tetapi yang lebih penting lagi sebetulnya
bukan pada apakah AN atau AIN itu berfungsi pada wilayah publik atau
privat, tapi kepada dengan cara bagaimana institusi-institusi itu berfungsi.
Perbedaan dasar antara AN dan AIN adalah: AN lebih sering berfungsi
melalui kekerasan, maka itu Althusser kerap menyebut AN dengan
Aparatus Represif Negara atau Represive State Apparatus (RSA).
132

Sementara AIN lebih berfungsi melalui ideologi tertentu. Tetapi sebetulnya


tidak ada AN yang berfungsi hanya dengan kekerasan saja, atau AIN yang
berfungsi hanya dengan ideologi saja. Keduanya kadang-kadang
mencampurkan dua pendekatan itu, represif dan ideologis, dalam
menjalankan fungsi-fungsinya.

Perihal Ideologi dan Praktek Kebudayaan


Oleh Mh. Nurul Huda

Tesis Althusser tentang Ideologi

Pengantar

Althusser punya dua tesis tentang ideologi. Tesis pertamanya mengatakan


bahwa ideologi itu adalah representasi dari hubungan imajiner antara
individu dengan kondisi eksistensi nyatanya. Yang direpresentasikan di situ
bukan relasi riil yang memandu eksistensi individual, tapi relasi imajiner
antara individu dengan suatu keadaan di mana mereka hidup didalamnya.

Kata ideologi memang memiliki konotasi yang sedemikian buruk


dalam kehidupan sehari-hari. Ia diasosiasikan dengan penipuan, mistifikasi,
pembodohan, dan konflik politik. Namanya pun lekat dengan irasionalitas,
emosional, dan fanatisme buta. Ideologi lekat dengan memori kekerasan
dan konflik perang antara blok Barat yang dikomandani AS dan blok Timur
dibawah kendali US. Apalagi sejrah perang ideologi telah memakan korban
jutaan manusia dalam perang dunia kedua, ditambah jutaan lainnya korban
pemerintahan fasisme Nazi Jerman pimpinan Hitler. Usai perang dunia
yang dimenangkan blok Barat dan kemenangan paham neoliberalisme
dalam ekonomi perdagangan, lalu para pengamat pun buru-buru
mengklaim bahwa abad ke-20 ini adalah masa berakhirnya ideologiideologi dunia. Suatu masa yang penuh diwarnai dengan kekerasan, intrik,
dan konflik politik.

Tesis yang kedua mengatakan bahwa representasi gagasan yang


membentuk ideologi itu tidak hanya mempunyai eksistensi spiritual, tapi
juga eksistensi material. Jadi bisa dikatakan bahwa aparatus ideologis
negara adalah realisasi dari ideologi tertentu. Ideologi selalu eksis dalam
wujud aparatus.
Eksistensi tersebut bersifat material. Eksistensi material menurut Althusser
ini bisa dijelaskan sebagai berikut: kepercayaan seseorang atau ideologi
seseorang terhadap hal tertentu akan diturunkan dalam bentuk-bentuk
material yang secara natural akan diikuti oleh orang tersebut. Misalnya jika
kita percaya kepada Tuhan dan termasuk penganut agama tertentu, maka
kita akan pergi ke gereja untuk mengikuti misa, pergi ke masjid untuk
sembahyang lima waktu. Atau kalau kita percaya keadilan, maka kita akan
tunduk pada aturan hukum, menyatakan protes, atau bahkan ikut ambil
bagian dalam demonstrasi, jika ketidakadilan menimpa kita.

Termuat di Newsletter KUNCI No. 4, Maret 2000.

133

Pandangan pejoratif tentang konsep ideologi ini sebenarnya bisa


ditelusuri dari sejarah istilah ideologi sendiri. Istilah ini adalah derivasi dari
ideologues yang muncul paska Revolusi Perancis. Napoleon Bonaparte
menggunakan istilah ideologi untuk menyerang lawan-lawan politiknya
yang memiliki ide-ide yang tidak realistik berkaitan dengan kepenntingankepentingan negara Perancis baru saat itu.
Selanjutnya Marx dan Engels memberikan elaborasi yang
sistematis tentang ideologi. Warna pejoratif pun masih begitu melekat
dalam pandangan mereka. Istilah ideologi digunakan Marx untuk
menyerang dan menyingkap distorsi, ilusi dan inversi yang membentuk
idealisme filosofis tradisi Hegelian German. Dengan mendasarkan diri pada
metode materialisme historis, Marx mengkritik para ideolog German ini
bahwa pikiran-pikiran mereka teralienasi dari kehidupan. Marx
berpendirian, kapitalisme telah melahirkan pemahaman/pengetahuan yang
tidak mencerminkan realitas sebenarnya (false knowledge), yaitu realitas
pertentangan kelas antara kaum borjuis dan proletar dalam masyarakat
industrial-kapitalistik.. Pengetahuan yang tidak mencerminkan realitas atau
kesadaran yang teralenasi dari praksis inilah yang disebut dengan ideologi.
Ideologi merupakan representasi yang keliru tentang manusia dan dunia
karena menganggap situasi yang ada sebagai natural, ahistoris, dan
134

memistifikasi suatu tatanan sosial. Berkaitan dengan masyarakat, ideologi


adalah bagian dari superstruktur yang melayani kekuatan substruktur
ekonomi. Ideologi melegitimasi relasi sosial dan ekonomi, sekaligus senjata
kelas berkuasa.
Pandangan klasik tentang ideologi ini kini menuai kritik tajam.
Pandangan klasik dan pejoratif tentang ideologi telah mengaburkan fakta,
bahwa ideologi sebenarnya beroperasi dalam ranah kehidupan sehari-hari,
bahkan lebih dominan dalam suatu tatanan sosial tertentu. Bahkan ideologi
sebagai praktek kebudayaan relatif memiliki otonominya sendiri, dan tidak
bisa direduksi begitu saja kekuatan-kekuatan produksi dan kelompok
ekonomi. Dalam kebudayaan sehari-hari, dalam seni pertunjukan rakyat,
Tayub, ketoprak atau seni ludruk, bahkan dalam ritual istighasah, misalnya,
bisa bersifat ideologis, atau dimasuki oleh berbagai kepentingan dan
kekuasaan. Ideologi tidak lagi terpusat dan menjadi doktrin politik person
kekuasaan, melainkan tersebar dalam ranah keseharian, sebagaimana
kekuasaan yang tersebar dalam seluruh tatanan sosial.
Untuk memahami fenomena ini, saya banyak memanfaatkan
insight para pemikir dan filsuf (post)strukturalis, khususnya Louis
Althusserdan Michel Foucault sekaligus insihgt dari disiplin antropologi dan
sejarah yang ikut menyumbang hal yang amat penting dalam
perkembangan konsep ideologi dan kebudayaan.
Foucault dan Produksi Kekuasaan
Kritik tajam atas pandangan ideologi Marx ini dilakukan oleh Michel
Foucault. Menurut Foucault, Marx masih terjerat mimpi dan kerinduan akan
sebentuk kebenaran atau pengetahuan yang bebas dari distorsi, tipuan dan
ilusi. Ia tergoda untuk mempertentangkan antara false knowledge dan true
knowledge. Bahwa gagasan atau pengetahuan yang mencerminkan
realitaslah yang benar. Di sini Marx menganggap realitas lebih prior dari
gagasan dan kehidupan mental bersifat sekunder dari determinan ekonomi
material. Sedangkan baginya ideologi harus dipertentangkan dengan apa
yang dianggap sebagai kebenaran.
Menurut Foucault, wacana-wacana, pengetahuan-pengetahuan
beserta institusi penopangnya pada dirinya sendiri tidaklah memuat
kategori benar atau salah. Karena setiap masyarakat dan setiap zaman
memiliki bentuk-bentuk wacananya sendiri yang di dalamnya kebenarankebenaran itu dibangun. Kebenaran adalah capaian sistem-sistem
pengetahuan yang menguasai tatanan sosial yang berisi teknik-teknik,
135

prosedur-prosedur
dikembangkan.

nilai,

tipe-tipe

wacana,

dan

teknologi

yang

Masalah kebenaran selalu terkait dengan relasi kekuasaan dalam


ranah sosial dan politik. Kebenaran tidak di luar kekuasaan. Karena
kebenaran berada dalam banyak cara dan praktek-praktek kehidupan
manusia dalam mengatur diri mereka dan orang lain. Kebenaran diproduksi
dengan pembentukan wilayah-wilayah di mana praktek benar dan salah
dapat diciptakan dalam sekali aturan dan terkait. Karenanya, setiap ilmu
pengetahuan memiliki rezim kebenarannya sendiri.
Bagaimana kekuasaan dan kebenaran itu berhubungan satu sama
lain? Menurut Foucault, kedua ada di dalam praktek-praktek diskursif,
tempat di mana ucapan, tindakan, aturan-aturan yang diterapkan, alasanalasan yang diberikan bertemu dan saling berhubungan, serta benar dan
salah ditentukan di dalamnya. Melalui penelitian arkeologinya, Foucault
menyelidiki dokumen-dokumen, tempat, serta bermacam-macam ritual
pekerja dan publik, tempat di mana genealogi bentuk-bentuk sejarah
(teknologi moral, rezim rasionalitas) itu hadir: Seperti: dalam praktek
pengobatan klinis, hukuman penjara sebagai praktek menghukum
umumnya; dan bagaimana orang gila dianggap sakit mental. Melalui buktibukti sejarah ini, Foucault menunjuk langsung pada praktek-praktek
kekuasaan. Tipe praktek-praktek ini tidak hanya diatur oleh institusi,
ditentukan oleh ideologi dan dituntun oleh keadaan pragmatis, tapi juga
mempengaruhi regularitas mereka, logika, strategi pembuktian diri dan
alasan-alasan mereka.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa ideologi sebenarnya
berjalin-kelindan dengan praktek-praktek diskursif dalam masyarakat di
mana relasi kekuasaan berlangsung dan kebenaran diciptakan.
Althusser dan Aparatus Ideologis
Jika Foucault menunjukkan bahwa kekuasaan tersebar dalam
relasi sosial melalui proses diskursif, Althusser memberi sumbangan pada
bagaimana ideologi beroperasi dan bagaimana ideologi direproduksi dan
dipertahankan.
Pertama-tama dengan menolak Marx, ia menyatakan bahwa tidak
mungkin kita bisa menangkap realitas sebenarnya karena kita tergantung
pada bahasa. Paling-paling kita hanya bisa merasakan meski bukan
kondisi real, cara-cara di mana kita telah dibentuk dalam ideologi melalui
136

proses-proses pengenalan yang kompleks. Menurut Althusser, ideologi


tidak mencerminkan dunia real, melainkan merepresentasikan hubunganhubungan imaginer individu-individu terhadap dunia real. Bagi Althusser
ideologi merupakan ciri yang dibutuhkan masyarakat sejauh masyarakat
mampu memberikan makna untuk membentuk anggotanya dan merubah
kondisi eksistensialnya. Masyarakat manusia menyembunyikan ideologi
sebagai elemen dan atmosfir yang sangat diperlukan bagi nafas dan
kehidupan sejarah mereka.
Kedua, ideologi memiliki eksistensi material, yakni aparatusaparatus dan praktek-prakteknya sehingga di dalamnya ideologi bisa hidup.
Dalam aparatus dan praktek-praktek inilah ideologi diyakini dan dihayati
oleh semua kelompok, dan terus mereproduksi kondisi-kondisi dan
hubungan tatanan masyarakat yang sudah ada, yakni tatanan masyarakat
industri kapitalis. Menurutnya, agar ideologi diterima, diyakini dan dihayati
oleh semua kelompok, maka ia harus dimaterialkan. Ideologi hidup dalam
praktek-praktek kelompok kecil, dalam citraan, dan obyek yang digunakan
dan ditunjuk masyarakat, dan dalam organisasi-organisasi. Misalnya, pada
sekolah-sekolah, rumah tangga, organisasi perdagangan, media massa,
olahraga, pengadilan, partai politik, universitas dan seterusnya. Ideologi,
menurut Althusser, eksis dalam dan melalui lembaga-kembaga ini.
Aparatus adalah eksistensi material ideologi.
Ketiga, ideologi membentuk individu-individu konkrit menjadi
subyek. Dalam aparatus-aparatus, ideologi disosialisasikan dan
diinterpelasi dalam diri subyek. Interpelasi subyek ini lalu membentuk
realitas nampak pada kita sebagai benar dan jelas. Misalnya begini:
ketika kita bersepeda motor, tiba-tiba ada bunyi peluit di belakang kita.
Serentak terbayang dalam benak kita: ada polisi dan ada pelanggaran yang
mungkin kita lakukan. Lalu kita memalingkan muka dan berbalik. Hadirnya
disposisi tentang benar/salah, atau melanggar/tidak melanggar serta
adanya ketundukan atas wacana otoritas (polisi) pada dasarnya telah
menunjukkan hadirnya suatu ideologi. Ideologi menggerakkan diri kita
secara nir-sadar, melalui proses interpelasi subyektif. Jikalau seandainya
kita tidak mengakui bahwa interaksi dengan polisi adalah ideologis, justeru
di situlah kekuatan ideologi. Yakni denegasi praktis dari karakter ideologi
sendiri. Ideologi bekerja secara nir-sadar dan menjadi bagian hidup dan
gaya hidup sehari-hari.
Aparatus-aparatus ideologis ini merupakan alat hegemoni yang
paling canggih untuk melanggengkan kekuasaan, melestarikan struktur
kelas dominan, dan mengabadikan penindasan. Caranya, dengan
mengusahakan sedapat mungkin agar ideologi itu diyakini oleh seluruh
137

kelas dan kelompok, baik kelas berkuasa maupun yang dikuasai. Menurut
Althusser, di sinilah ciri-ciri ideologi yang membingungkan itu memainkan
peran. Fungsi kelas ideologi adalah bahwa ideologi yang berkuasa adalah
ideologi dari kelas yang berkuasa; Ideologi berkuasa membantu kelas
penguasa dalam menguasai kelas tereksploitasi sekaligus memapankan
dirinya sendiri sebagai kelas penguasa.
Teori ideologi sebagai penipuan penguasa memperlihatkan bahwa
mereka yang berada dalam posisi dominan sesungguhnya sama sekali
tidak hadir secara alamiah atau karena keahliannya. Karena jika benar
demikian maka tidak lagi dibutuhkan ideologi, juga tak perlu menjelaskan
atau mempertahankan eksploitasi mereka. Sebaliknya ini menunjukkan
persistensi stratifikasi sosial-politik dan ideologi dominan memerlukan
legitimasi dua belah pihak dari penguasa dan yang dikuasai. Bila ideologi
ini diterima oleh kedua pihak, ini artinya struktur kekuasaan dan privelegi
yang timpang itu bisa dilestarikan. Dalam konteks ini ideologi sering
menggunakan bahasa resiprositas. Dia mencontohkan bahwa
imperialisme menganggap dirinya sah karena merasa bertanggng jawab
atau berjasa membangun unit-unit sosial dan pentingnya hubungan sosial
yang harmonis.
Apa yang dikemukakan Althusser ini memberikan insight baru
tentang gagasan bagaimana ideologi itu dibentuk dan pertahankan serta
apa
efek-efeknya.
Misalnya:
bagaimana
perbedaan
kelas
diinstitusionalisasikan melalui lembaga-lembaga sosial seperti sekolah;
bagaimana institusi pendidikan itu menempatkan masyarakat dalam relasi
kelas-kelas yang ada; bagaimana mitos tentang persamaan individu,
persamaan kesempatan, dan prestasi individu dimasukkan dalam teks dan
praktek program sekolah dan kebijakan pendidikan nasional. Mitos-mitos
kesamaan yang tumbuh dalam produksi ketaksamaan ini (produksi
ketidaksetaraan kelas dan kelomopok sosial, diskriminasi gender, misalnya)
menunjukkan gagasan-gagasan yang ideologis.
Fungsi ideologi lainnya ialah menghubungkan masyarakat satu
sama lain, dengan suatu dunia dan terutama diri mereka sendiri. Ideologi
memberikan identitas tertentu. Misalnya, jika seorang individu mengimani
Tuhan kemudian pergi sembahyang secara teratur, mengakui dosadosanya dan seterusnya; keyakinan itu lalu direalisasikan dalam praktekpraktek tertentu yang diatur oleh ritual-ritual dengan menyediakan upacaraupacara yang melibatkan gerak dan sikap tubuhnya sebagai ekspresi
kekuasaan yang saling terkait serta berhubungan dengan aparatus
ideologis.
138

Dari contoh-contoh di atas jelaslah bahwa suatu gagasan memuat


sekaligus tindakan, sentimen, dan gesturenya. Gagasan-gagasan itu hidup
dalam tindakan-tindakan. Tindakan ini lalu menjadi praktik sehari-hari yang
dikendalikan oleh ritual yang dia lakukan. Tiga hal ini (gagasan, praktek dan
ritual) merupakan aspek material dari aparatus ideologis. Dalam aparatus
itu ideologi bekerja, memproduksi subyektifitas, dan menegaskan identitas
tentang siapa kita sesungguhnya.
Ideologi sebagai Praktek Kebudayaan
Semakin jelas sekarang, gagasan-gagasan Althusser dan Foucault
di atas memberi saham besar bagi pemikiran baru tentang konsep ideologi.
Ideologi tidak lagi dilihat sebagai salah atau benar, tapi justeru memberikan
kerangka dasar fundamental bagi individu dalam menafsirkan pengalaman
dan hidup sesuai dengan kondisi mereka. Kerangka dasar ini tidak hanya
bersifat mental, tapi eksis sebagai praktis hidup kelompok sehari-hari.
Dengan menganggap ideologi sebagai praktek-praktek material atau
praktek budaya, maka kita bisa mengatakan bahwa sesungguhnya ideologi
itu hidup bergerak dan karena itu pula manusia sendiri selalu hidup dalam
suatu ideologi, di dalam representasi tertentu dari dunianya.
Dalam praktek-praktek budaya dan kebiasaan-kebiasaan seharihari inilah ideologi sesungguhnya direproduksi. Yakni, melalui aparatusaparatus ideologis sebagaimana ditegaskan oleh Althusser. Jika demikian,
praktis ideologi memasuki seluruh ruang dalam kehidupan sehari-hari kita
secara nir-sadar. Ideologi menjadi bagian organik dari seluruh totalitas
sosial dan dalam aktifitas keseharian. Karena unit-unit sosial merupakan
bentukan ideologis, produk dari formasi diskursif kekuasaan (menurut
Foucault) atau efek-efek dari apparatus ideologis yang beragam (dalam
bahasa Althusser), maka untuk memahami totalitas sosial dan budaya ini
membutuhkan eksegesis sebagaimana teks-teks sejarah dan sastra.
Pandangan bahwa budaya dan ideologi merupakan fenomana
keseharian ini tidak lantas berarti cengkeraman ideologi sudah lemah, atau
mungkin dianggap telah berakhir. Justeru ideologi dan kekuasaan telah
mencengkeram seluruh tatanan sosial secara lebih luas dan kompleks
ketimbang apa yang selama ini dibayangkan. Ideologi beroperasi di semua
lini dan diproduksi terus-menerus dalam ritual-ritual dan perkumpulanperkumpulan, kesenian-kesenian, dan citraan-citraan ideologis di mana
representasi-representasi dan kategori-kategori dibangkitkan dan
disebarkan. Oleh karena itu, kini ideologi tidak lagi bisa dipahami sekadar
sebagai produk kelas berkuasa atau efek dari kekuatan-kekuatan produksi.
139

Melainkan hasil dari kombinasi berbagai elemen lain dan kekuasaan yang
kompleks dan tersebar.
Di dalam diskursus kebudayaan mutakhir, sebagaimana pandangan
Stuart Hall, kebudayaan sesungguhnya tidak lagi bisa dipahami sebagai
cerminan praktek-praktek lain di dunia idea. Melainkan ia sendiri adalah
sebuah praktek, yakni praktek penandaan yang menghasilkan makna.
Jadi bagi kaum strukturalis dan post-strukturalis, penekanan studi
kebudayaan kini bergeser dari masalah isi budaya ke arah tipe-tipe
penataan (ordering), dari pertanyaan tentang apa ke bagaimana sistemsistem budaya itu. Misalnya, dalam era globalisasi yang ditandai dengan
kemajuan teknologi dan sarana komunikasi sekarang ini, masyarakat betulbetul dicekoki oleh produksi konsumsi. Di sini kekuatan modal
menghadirkan kekuasaan representasi melalui kuasa tanda dan simbol:
dalam iklan dan mode, misalnya. Konsekuensi politiknya adalah bahwa
seluruh tatanan sosial sesungguhnya adalah hasil sebuah konstruksi saja
dari, dan berbarengan dengan, kekuasaan modal yang diproduksi secara
terus menerus.
Singkatnya, ideologi sekarang ini merupakan praktek budaya;
suatu efek yang bersifat kultural dan terkait dengan institusi-institusi,
kelompok-kelompok, dan struktur-struktur tertentu. Ideologi beroperasi
secara tersebar (decentered) dan menghadirkan dirinya dalam ideologisebagai-kebudayaan. Artinya, ideologi berada dalam kompleksitas
hubungan-hubungan antara berbagai bentuk kebudayaan (pengetahuan,
citraan, dan lain-lain) dan institusi-institusinya, serta wacana-wacana dan
aparatus-aparatusnya.
Lalu pertanyaannya bila kebudayaan sehari-hari tidak lepas dari
ideologi, bagaimana dengan sains ilmiah. Apakah ia juga bersifat ideologis?
Foucault menegaskan bahwa relasi-relasi kekuasaan tidak berada di luar
tipe-tipe relasi-relasi seperti proses ekonomi, relasi pengetahuan, relasi
seksual, dan lain-lain. Melainkan kekuasaan justeru imanen dalam proses
relasi itu. Kekuasaan adalah beragam relasi-relasi kekuatan yang
beroperasi dan membentuk organisasi dalam ruang itu. Dengan demikian,
sains sosial kini juga harus dilihat sebagai konfigurasi kekuatan-kekuatan
itu yang membentuk landscape modernitas dan modernitas akhir. Sains
sosial sendiri merupakan kekuatan dan bentuk kebudayaan yang tak bebas
dari kepentingan. Demikian juga sains alam. Ia juga tak lepas dari
kepentingan-kepentingan atau konsensus komunitas ilmuwan.

140

Dari uraian di atas makin jelas sekarang betapa besar sumbangan


kaum (post) strukturalis terutama Louis Althusser dan Michel Foucault
dalam memperkaya gagasan tentang ideologi dan kebudayaan. Keduanya
membuka tabir beroperasinya ideologi dengan memikirkan kembali
kekuasaan, cara kerja, dan manifestasi-manifestasinya, tak terkecuali
dalam sains sosial. Tidak ada batas-batas lokasi ideologi. Ideologi tidak
hanya ada dalam kolektifitas masyarakat borjuis atau dalam strukturstruktur kekayaan dan kerja mereka, melainkan tersebar ke seluruh tatanan
sosial. Ia bukan hanya bersifat mental, tapi juga bereksistensi material dan
historis. Ada keterkaitan antara pengetahuan dan institusi-institusi, bidangbidang pengetahuan dan praktek-praktek kebudayaan sebagai tempat
berbagai kekuasaan (sosial, ekonomi, politik) diproduksi.

Budianta, Melani, dkk, Analisis Wacana dari Linguistik ke Dekonstruksi, Penerbit Kanal,
Yogykarta, 2002
Hebdige, Dick, Subculture The Meaning of Style, Routledge, London & New York, 1979
Foucault, Michel, The History of Sexuality: An Introduction, Billing & Sons Ltd, Guilford,
London and Worcester, 1969
Foucault, Michel, Power/Knowledge: Selected Interview with Michel Foucault (ed. By Colin
Gordon), Pantheon, New York, 1980
Gluckmann, Miriam, Structuralist Analysis in Contemporary Social Thought, Routledge &
Kegan Paul, London and Boston, 1974
Jenks, Chris, Culture: Key Idea, Routledge, London & New York, 1993
Larrain, Jorge, Konsep Ideologi, Penerbit LKPSM, Yogyakarta, 1996
McCarthy, E. Doyle, Knowledge as Culture, Routledge London & New York, 1996
Poster, Mark, Existential Marxism in Postwar France From Sartre to Althusser, Princenton
University Press, New Jersey, 1975
Zizek, Slavoj (ed.), Mapping Ideology, Verso, London-New York, 1994
Storey, John, Teori Budaya dan Budaya Pop (terj.), Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2003

Kesimpulan

Thompson, John B., Analisis Ideologi, Penerbit IRCISOD, Yogyakarta, 2003

Sekarang ini kita tidak bisa lagi memikirkan ideologi dan cara
kerjanya dalam pengertian false consciousness atau memperlawankannya
dengan sains, sebagaimana kaum marxis klasik lakukan. Ideologi sebagai
pengetahuan-pengetahuan yang dijalankan demi suatu kepentingan justeru
menjadi praktek kebudayaan sehari-hari yang memberikan orientasi dan
identitas suatu kelompok. Ideologi tersebar sebagaimana kekuasaan yang
tersebar dalam praktek-praktek diskursif kehidupan.
Ideologi masuk dalam keseharian kita, dalam jaring-jaring
kehidupan. Dengan meminjam kajian tentang mitos dan tanda, bisa
dikatakan bahwa jika budaya adalah sistem simbol yang terdiri dari
berbagai sistem tanda, sementara penanda-penanda sendiri bersifat
arbriter sebagaimana Barthes katakan, maka kita sungguh bisa melihat
bagaimana suatu kebudayaan dan segala bentuk ritual dan hidup seharihari menjadi arena pertarungan ideologi untuk memainkan kuasanya.
Kebudayaan yang merupakan konvensi sosial adalah sasaran sistematik
untuk dibuat seolah-olah ilmiah, menjadi mitos. Membongkar aturan-aturan
atau kode-kode dibalik mitos inilah tugas studi kebudayaan sekarang ini.
Bahan Bacaan:
Althusser, Louis, For Marx, (transl. By B. Brewster) Routledge, New York, 1969
Amrih Widodo, The Stage of the State, Art of the People and Rites of Hegemonization. Paper
ini dipresentasikan pada seminar bertajuk Basis-basis Material Kebudayaan yang
diselenggarakan oleh Yayasan SPES dan Program Pasca Sarjana Universitas Kristen
Satyawacana, Salatiga, 4 September 1991
141

Hans Kung dan Pondasi Etika Bersama


Oleh: Mh. Nurul Huda

Pengantar
Dalam evolusi sejarah umat manusia, ternyata perjalanan sejarah
ini tidak selalu berkembang linear. Ide-ide besar datang dan pergi, gagasan
yang baru menggantikan yang lama, menegasikan atau mengambil bentuk
baru dari suatu sintesis kreatif yang memperkaya. Gagasan-gagasan yang
tidak relevan dengan perkembangan zaman atau yang telah berperan
menghancurkan zaman itu sendiri pada akhirnya akan menerima kritik,
bahkan dicaci, dan lalu ditinggalkan. Hal ini memperlihatkan bahwa
semakin maju capaian pemikiran manusia bukan berarti ia akan begitu saja
menjamin kesejahteraan dan kedamaian manusia, meski segala upaya
pemikiran itu dikerahkan untuk mencapai cita-cita itu.

142

Misalnya, gagasan-gagasan yang lahir dari kandungan modernitas,


yang merupakan antitesis dari abad pertengahan, kini menjadi sasaran
kritik era sesudahnya. Kritik ini dikemukakan karena modernitas tidak lagi
sanggup menjawab problem zaman yang dinamis. Bahkan modernitas
dianggap telah menyumbangkan saham bagi lahirnya tragedi kemanusiaan
yang menimpa umat manusia, seperti perang, konflik, kemiskinan,
penindasan, pembunuhan, dan seterusnya. Modernitas memang diakui
memunculkan optimisme kemajuan manusia melalui penemuan sains dan
teknologi, tetapi pada sisi lain ia tidak mampu menjawab problem-problem
besar yang dihasilkan dari dampak kemajuan tersebut. Banyaknya bencana
kemanusiaan memperlihatkan bahwa modernitas gagal membuat dunia
semakin damai, aman, dan sejahtera.
Keprihatinan terhadap tragedi kemanusiaan semacam inilah yang
juga dirasakan Hans Kung, yang sebagian pemikirannya akan dibahas
dalam
makalah
ini.
Kritiknya
terhadap
modernitas
dengan
mempertimbangkan khazanah zaman posmodernitas sekarang ini
mendorongnya untuk mencari solusi normatif bagi problem kontemporer
yang diwarnai dengan teror, kekerasan, penindasan, dan bencana
kemanusiaan lainnya. Tepatnya, Kung mau membangun fondasi etika
bersama yang bisa menjamin kehidupan umat manusia di dunia agar lebih
adil, damai, aman, dan berprikemanusiaan. Bukan etika yang semata-mata
mendasarkan diri pada jenius rasio manusia, melainkan etika yang
dibangun di atas nilai-nilai humanis yang terkandung dalam agama-agama.
Dalam refleksi ini, pertama-tama penulis akan memaparkan kondisi
modernitas dan kritik Kung atas kegagalan-kegagalan modernitas (1), lalu
akan dibahas panggilan Kung akan pentingnya etika bersama untuk
mengatasi problem kemanusiaan akibat kegagalan modernitas ini (2), dan
selanjutnya akan dipaparkan gagasan inti Kung mengenai keyakinannya
akan nilai agama-agama sebagai basis etika global (3). Terakhir penulis
akan memberikan beberapa catatan kritis singkat (4).
Kondisi-Kondisi Modernitas
Pengertian modernitas di sini pada dasarnya tidak hanya
menunjukkan sebuah periode sejarah setelah abad pertengahan atau
sebuah pengalaman kultural tertentu, melainkan juga suatu posisi
epistemologis dan filosofis yang memikirkan karakter tertentu mengenai
pengetahuan dan kebenaran.

143

Secara historis kesadaran akan modernitas ini berawal dari masa


Renaisance pada abad ke-16 dan memuncak pada Aufklarung pada abad
ke-18. Pada masa-masa inilah kesadaran akan kenyataan otonomi
manusia di hadapan alam semesta mulai muncul di bawah semboyan
terkenal: Sapere Aude! (berpikirlah sendiri!). Secara filosofis, tokoh besar
yang merumuskan semangat modernitas adalah Rene Descartes.
Ungkapannya yang teramat masyhur Cogito ergo sum telah menandai
kesadaran baru ini: pertama, manusia atau aku adalah subjek yag
menghadapai alam lahiriah yang dibedakan dengan alam batiniah, dan
kedua, bahwa pengetahuan manusia mengenai kenyataan adalah produk
1
pemikiran mereka sendiri dan bukan berasal dari tradisi atau wahyu.
Alam modern adalah masa di mana rasionalitas manusia muncul dan
menggeser segala otoritas non-rasio. Ini berarti keyakinan selama ini
bahwa tradisi atau dogma agama sebagai sumber otoritas yang dianggap
mampu menjawab segala pertanyaan tentang semesta dan problemproblem yang dihadapi umat manusia, mulai ditinggalkan. Sebagai
gantinya, hanya manusia dengan kemampuan rasionyalah yang mampu
memahami kenyataan dengan benar dan mampu menjawab
perkembangan zaman. Optimisme terhadap kemampuan rasio ini pada
akhirnya melahirkan gagasan modern tentang progress.
Progress, sebagai kesadaran akan waktu yang khas dalam modernitas,
dimaksudkan waktu yang dihayati sebagai sebuah garis lurus menuju
kemajuan. Dalam kesadaran baru ini perjalanan waktu tidak melangkah
secara repetitif dan imitatif melainkan bergerak linear secara pasti.
Kesadaran baru ini meyakini bahwa kekinian adalah peningkatan kualitatif
atas kelampauan dan berikutnya menjadi modal peningkatan masa
2
mendatang.
Keyakinan akan rasionalitas manusia dan kepastian akan
kemajuan ini pada momen berikutnya mengejawantah dalam aktifitas
kreatif, penciptaan, dan inovasi sains dan teknologis. Dengan sains dan
teknologi ini, umat manusia berusaha merealisasikan cita-citanya untuk
menguasai alam, dan menghadirkannya untuk kesejahteraan seluruh umat
manusia. Namun demikian berbagai peristiwa faktual menunjukkan realitas
yang lain. Sains dan teknologi telah membawa bencana yang
mahadahsyat; dua perang dunia, konflik ideologi, kemiskinan dan
kelaparan, serta krisis lingkungan yang justeru mewarnai optimisme
modernitas ini. Dari sinilah lalu cita-cita modernitas dengan segala pranata
intelektual dan sosialnya dipersoalkan. Rasio manusia yang diyakini akan
membawa dunia ini menjadi lebih baik (better world) malah memupuskan
144

harapan dan cita-citanya sendiri tentang kedamaian, kebahagiaan,


dihormatinya martabat kemanusiaan.
Hans Kung, salah satu di antara sejumlah pemikir pengkritik
modernitas, dengan lugas menegaskan bahwa kemajuan sains modern
yang sepenuhnya bersandar pada rasio tidak seluruhnya membawa
kemajuan umat manusia, begitu juga rasionalitas sains dan teknologi.
Rasio pencerahan akhirnya jatuh pada irrasionalitas dan tenggelam dalam
jurang kehancuran karena pemikiran saintifik dan teknologi tidak bisa
memberikan dasar jawaban bagi problem-problem yang diakibatkannya.
Tepatnya, pemikiran modern tidak mampu memberikan kerangka etika
global untuk mengantisipasi dampak kemajuan dan perkembangan
kehidupan modern sendiri
yang semakin terdiferensiasi dan
tersekularisasi.3
Menuju Etika Bersama Pasca Modernitas
Krisis modernitas yang membawa bencana kemanusiaan ini
menarik keprihatinan Kung. Keprihatinan pertama terkait dengan tendensi
modernitas yang mengandalkan rasio manusia yang tidak memberikan
landasan etis yang memadai untuk tanggung jawab etika global. Kedua,
terkait dengan budaya teknokratis yang mendominasi masyarakat modern
telah mengabaikan aspek kemanusiaan dalam menggunakan teknologi.
Akibatnya, bukan hanya melahirkan teknologi yang justeru mengancam
keadilan dan kebebasan manusia, tapi juga merusak lingkungan, bahkan
ancaman terhadap eksistensi manusia itu sendiri.
Bagi Kung, untuk menghindari bencana yang barangkali akan
semakin membesar ini tidak bisa tidak harus ada suatu pergeseran nilai
dalam paradigma kehidupan manusia. Pergerakan dari nilai-nilai
4
modernitas ke paska modernitas ini meliputi hal-hal berikut. Pertama,
perubahan dari masyarakat yang bebas etik menuju masyarakat yang
bertanggung jawab secara etis. Kedua, dari budaya teknokrasi yang
mendominasi manusia menuju teknologi yang melayani manusia. Ketiga,
dari industri yang merusak lingkungan menuju industri yang ramah
lingkungan, dan keempat, dari demokrasi legal menuju demokrasi yang
berkeadilan dan berkebebasan. 5
Namun demikian realisasi pergeseran paradigma ini tentu saja
membutuhkan konsensus bersama, suatu moralitas atau norma etik yang
mengikat secara universal. Yakni, suatu norma dan nilai minimum yang
bersifat transkultural dan transnasional yang bisa menjamin dan
145

mengarahkan umat manusia menuju kehidupan masa depan yang


harmonis, damai, taat hukum, dan tanpa kekerasan. Suatu norma yang
dilandasi oleh tanggung jawab bersama terhadap kehidupan alam semesta
(a planetary responsibility). Norma ini adalah etika publik-global yang
bertanggung jawab terhadap orang lain, lingkungan dan masa depan dunia,
serta menjadikan manusia sebagai kriteria dan tujuan.6

Agama-agama sebagai Basis Etika Global


Pertanyaan pertama untuk membangun sebuah etika bersama
adalah: di atas landasan apa etika bersama dan mengikat itu hendak
dibangun? Apa kriteria validitas etika bersama itu agar bisa
dipertanggungjawabkan secara bersama-sama pula?
Pertama-tama Hans Kung mengaskan bahwa kemajuan sains modern tidak
seluruhnya membawa kemajuan umat manusia, begitu sains dan teknologi
tidak seluruhnya rasional. Rasio pencerahan toh akhirnya jatuh pada
irasionalitas dan tenggelam dalam jurang kehancuran. Karena persis
pemikiran saintifik dan teknologis modern tidak bisa memberikan dasar bagi
nilai-nilai universal, hak asasi manusia (HAM), dan kriteria etis yang
memadai.
Kedua, filsafat juga gagal bahkan tidak mampu memberikan
fondasi etika praktis bagi seluruh masyarakat, juga suatu etika yang bersifat
universal dan mengikat. Alih-alih, mereka (para filsuf seperti MacIntyre,
Rorty, Foucault, dll) kembali kepada budaya dan nilai-nilai lokal sebagai
sumber norma-norma etika yang tentu bagi Kung partikularitas itu tidak
mencukupi bagi etika bersama. Mengapa demikian? Karena rumusan etika
dalam filsafat tidak menyertakan keharusan universal dan yang tanpa
syarat. Filsafat hanya mengabdi pada kekuatan rasio sehingga ketundukan
pada keharusan etis terasa menyakitkan secara eksistensial. Apalagi juga
filsafat mustahil menuntut pengorbanan atas kepentingan hidup mereka.
Dengan bersikap pesimis terhadap peran rasio dan filsafat yang
gagal menyediakan fondasi etis, Kung akhirnya melirik peluang agama
yang secara potensial bisa menjadi dasar pijakan bagi moralitas universal
semacam itu. Memang benar bahwa agama bisa berlaku otoritarian,
menjadi tiran, menciptakan intoleransi, ketidakadilan, isolasi dan
seterusnya hingga memusuhi sains, teknologi, industri, bahkan demokrasi
dan HAM. Namun demikian, Kung menyanggah kalau agama dianggap
146

tidak memiliki masa depan. Bagi Kung, agama adalah fenomena universal
manusia. Ia adalah dimensi esensial hidup dan sejarah manusia yang tidak
mungkin tergantikan oleh ideologi lain, apakah humanisme ateistik ala
Feurbach, sosialisme ateistik ala Marx, sains ateistik ala Freud dan Russel,
atau yang lain. Memang benar bahwa agama juga telah menyebabkan
destruksi, tapi kenyataanya agama juga membawa pembebasan manusia,
ikut menyumbangkan nilai-nilai keadilan, toleransi, solidaritas, demokrasi,
HAM, perdamaian dunia, dan seterusnya, bahkan menjadi kekuatan etika
nonkekerasan.7 Bagi Kung, dengan bukti-bukti bahwa agama bisa menjadi
fondasi bagi identitas psikologis, kedewasaan manusia, kesadaran diri yang
sehat serta kekuatan pendorong perubahan sosial, Kung menolak agama
dipandang sebagai proyaksi atau sarana pelipur lara, apalagi ilusi kekanakkanakan.
Sebaliknya, agama memiliki harapan dan potensi besar untuk
membangun kerangka etika universal, yang tidak mungkin lagi diharapkan
dari rasio dan pemikiran saintifik dan teknologis. Mengapa?
Pertama, setiap agama memiliki nilai-nilai humanum, dam justeru ia
bisa dipertanggungjawabkan karena nilai-nilai humanum ini. 8
Kedua, agama memberikan basis absolutisitas dan keharusan
moral secara tanpa syarat, dimanapun, kapanpun, dan dalam hal apapun.
Ini berbeda dengan para penganut eteisme, mereka bisa saja melakukan
tindakan bermoral secara otonom dan manusiawi tetapi mereka tidak bisa
memberikan alasan mengapa ia menerima absolutisitas dan universalitas
kewajiban moral. Kung menegaskan: An inconditional claim, a categorical
ought, cannot be derived from the finite conditions of human existence,
from human urgencies and needs. And even an independent abstract
human nature or idea of humanity (as a legitimating authority) can hardly
9
put unconditional obligation on anyone for anything. Sebaliknya, tuntutan
etis dan keharusan tanpa syarat itu hanya bisa dan harus didasarkan pada
sesuatu yang tak bersyarat dan yang Absolut. Dalam konteks ini, bagi
Kung, agama-agama profetis seperti Judaisme, Kristiani dan Islam bisa
memberikan basis tuntutan etis yang absolut dan universal. Keyakinan
pada the Ultimate Reality atau Tuhan diyakini bisa memberikan motivasi
moral dan tingkat paksaan (compulsion), dan menjadi modal dasar agamaagama dalam membangun etika bersama.
Dan alasan ketiga, etika global yang bersifat universal berdasarkan
nilai-nilai agama mungkin dicapai karena setiap manusia secara
antropologis meyakini akan Yang Absolut.10
147

Namun demikian Kung memberikan sejumlah catatan bahwa


agama-agama seharusnya juga bersikap rendah hati menerima
perkembangan pemikiran baru karena ia sendiri tidak lepas dari problem di
dalam dirinya. Singkatnya, agama tetap tidak bisa mengabaikan nilai-nilai
pencerahan seperti humanisme, dan perkembangan sains dan teknologi.
Pertama, karena nilai dan norma etis konkret itu juga hadir bersama dalam
proses sejarah, maka dimungkinkan solusi dan norma etis itu berubah
secara kontekstual. Kedua, agamawan juga harus menggunakan bantuan
metode sains untuk memperoleh kepastian analisis secara prejudis
terhadap persoalan-persoalan terkait sebelum mengambil keputusan.
Ketiga, persoalan yang semakin kompleks menuntut adanya
pertanggungjawaban etis berikut solusi konkrit menurut konteks setempat.
Selain itu tindakan etis juga mesti dilakukan dengan pertimbangan prioritas
dan kepastian, dan ini bisa dicapai dengan memanfaatkan metode analisis
sains.
Dengan menjadikan agama-agama sebagai basis etika global ini,
Kung benar-benar ingin mencari alternatif landasan bersama etika bersama
yang mengikat. Bukan menggantungkan diri pada rasionalitas manusia,
melainkan pada pertemuan nilai-nilai humanum dari agama-agama.
Namun gagasan Kung ini memancing sebuah pertanyaan, apakah
kembali ke etika agama-agama bermaksud menganjurkan ke arah
gerakan revivalisme keagamaan, seperti revivalisme Islam, misalnya?
Revivalisme yang selama ini dilontarkan kalangan Islamis pada
dasarnya didorong oleh kehendak untuk kembali ke Kitab Suci atau Islam
murni atau Islam otentik, dengan cara menafsirkan Al Quran secara
tekstualistik. Persoalannya adalah Islam otentik atau Islam Murni?
Ajaran-ajaran Islam telah dipahami secara beragam oleh umatnya dengan
melahirkan beragam produk tafsiran terhadap teks kitab suci yang kadangkadang melahirkan perbedaan, bahkan konflik dan perpecahan. Sehingga
klaim tentang Islam otentik yang tunggal itu menjadi problematis.
Otentisitas itu hanya bisa dipahami dalam kerangka subyektifitas
penghayatan individual. Karenanya otentisitas selalu berkaitan dengan
penghayatan iman orang tersebut dalam situasi konkrit itu yang selalu
mengalami mengalami transformasi.
Tentu saja gagasan etika global Kung tidak mengarah pada
revivalisme semacam itu, apalagi yang sektarian. Melainkan Kung hendak
merumuskan etika global yang bisa menjamin kepastian dan keharusan
moral kepada semua orang. Bagi Kung kriteria etika semacam itu hanya
148

mungkin ditemukan dalam agama-agama. Mengapa? Sebagaimana


disinggung di atas, unsur dasar agama adalah keyakinan adanya otoritas
absolut yang transenden. Dan kepercayaan terhadap realitas transenden
merupakan gejala atau fenomena universal manusia. Hanya etika
transenden yang berasal dari otoritas absolut itulah yang bisa menjamin
kepastian nilai-nilai tertinggi, norma-norma tak bersyarat, motivasi terdalam,
serta ideal-ideal tertinggi. Dan dalam setiap agama, tegas Kung, ada nilainilai etis bersifat universal yang bisa dipakai sebagai landasan bersama.
Jadi, alih-alih mau menyerukan ke revivalisme agama atau
sektarianisme, Kung justeru mengafirmasi potensi agama-agama untuk
membangun landasan etis bersama bagi perdamaian global. Agama
11
bukanlah suatu hypostase. Agama tidak tinggal dalam dunia Platonik,
tetapi merupakan agama manusia biasa dengan daging dan darah. Suatu
agama yang menyejarah yang berjuang bersama perubahan dan kefanaan,
dan terlibat dalam menyelesaikan krisis dan keprihatinan umat manusia.
Catatan Kritis
Dari paparan pemikiran Hans Kung di atas, penulis hendak
memberikan beberapa pandangan dan tanggapan singkat mengenai posisi
Kung tersebut terutama terkait dengan gagasan mengenai agama sebagai
fondasi etika global.
1). Hans Kung berupaya mencari landasan etika bersama yang
bersifat universal, memiliki kepastian absolut dan mengandung tuntutan
yang mengharuskan. Menurut dia, etika yang berasal dari rumusan rasio
manusia tidak bisa menjamin nilai etika seperti itu karena manusia terbatas.
Manusia yang terbatas dan tindakannya ditentukan oleh kebutuhankebutuhannya mustahil melahirkan noma etis yang bersifat universal dan
tidak bersyarat. Karenanya hanya satu penjamin nilai-nilai itu, yakni zat
yang tidak terbatas dan tidak bersyarat: Tuhan atau Realitas Ultim.
Pencarian etika universal dari agama-agama semacam itu sangat
dimungkinkan. Tapi persoalan yang tetap krusial menurut penulis adalah
bagaimana menerjemahkan norma-norma itu dalam situasi konkrit. Orang
berbeda cara berpikir atau budayanya atau situasi yang dihadapinya akan
sangat berbeda menerjemahkan norma-norma itu secara konkrit. Jadi
mustahil adanya penyikapan etis terhadap permasalahan secara seragam
dan universal, meski secara normatif landasannya sama.
2). Pertanyaan yang harus dilontarkan kepada Kung adalah apakah
etika dunia baru dari agama-agama bisa menjamin kedamaian dan situasi
149

nondestruksi? Jika Kung berdalih bahwa destruksi agama disebabkan oleh


kekolotan agamawan atau institusi agama,12 bukankah dalih yang sama
bisa diberikan kepada rasio pencerahan yang membawa destruksi akibat
meninggalkan rasio komunikatifnya. Benar bahwa rasio manusia terbatas,
tapi apakah etika dari agama-agama yang tak bersyarat itu bisa menjamin
tidak ada penyelewengan?
Menurut penulis, Kung tampaknya (jangan-jangan benar),
sebagaimana para filsuf dan saintis, dalam melihat masalah-maalah
dengan menggeser solusi normative yang satu dan tertentu dan lalu
menggantikannya dengan solusi normatif yang lain, tanpa melihat
persoalan praktis apa yang terjadi di lapangan. Artinya, meminjam kritik
yang dilontarkan oleh kalangan posmodernis, Kung terjebak ke dalam
bentuk-bentuk esensialisme baru produk modernitas pencerahan. Dengan
meletakkan agama sebagai satu-satunya basis landasan etis, Kung
sebetulnya telah terjebak oleh keinginan untuk lepas dari sebentuk
esensialisme lama ke esensialisme baru. Keterjebakan Kung ini akan
membawa konsekuensi-konsekuensi lanjutan.
Pertama, pandangan esensialis ini selalu dibangun dengan
menyingkirkan apa yang dianggap non-esensial. Hal ini dibuktikan dengan
dominasi rasionalitas sebagai ciri esensial manusia modern telah
menyingkirkan aspek-aspek lain yang dianggap tidak esensial, seperti
agama, metafisika, kepercayaan mistik, dewa-dewa dan seterusnya.
Demikian juga pandangan bahwa agama sebagai satu-satunya basis
landasan etis yang bisa dipertanggungjawabkan juga memiliki status
esensial yang hampir sama dengan keyakinan absolut pada rasio, dan
berpotensi mengabaikan potensi aspek-aspek lain yang bisa mendukung
terciptanya etika bersama dari suatu komunitas. Misalnya, norma yang
menyatakan yang lain sebagai landasan etis tindakan bermoral.
Kedua, akibat lompatan pandangan yang esensialis ini Kung
melupakan problem-problem yang sifatnya praktis, sebagaimana
disinggung di atas. Maksudnya, bila agama seperti rasio juga memiliki
unsur positif dan negatifnya lalu apakah etika global berlandasan agama itu
bisa menjamin perdamaian dunia. Bila memang dimungkinkan
merumuskan etika universal semacam itu, apakah aplikasi praktisnya juga
akan menghasilkan penilaian dan tindakan etis yang unversal terhadap
beragam persoalan. Di sini Kung tidak bisa menghindari adanya
keragaman tanggapan etis seseorang ketika menghadapi situasi konkrit
tertentu yang particular []
Bahan Bacaan:
150

Hardiman, F. Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,


2003
Hennelly, Alfred T, Liberation Theologies: The Global Pursuit of Justice, Twenty-Third
Publications, 1995
Kung, Hans, Global Responsibility In Search of a New World Ethic, New York: Crossroad
Publishing Company, 1991
Kumpulan Tulisan, Agama dan Tantangan Zaman, LP3ES, Jakarta

1
F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
2003, hal. 95
2
F. Budi Hardiman, Ibid. hal. 96
3
Lihat Hans Kung, Global Responsibility In Search of a New World Ethic, New York:
Crossroad Publishing Company, 1991. Dalam bagian awal bukunya ini, Kung secara deskriptif
menelanjangi cacat dan tragedi kemanusiaan yang dihasilkan oleh patologis modernitas
(hilangnya tradisi dan makna hidup, hilangnya kriteria etika tanpa syarat, dll). Tragedi ini
meliputi: pembunuhan dan kematian jutaan manusia akibat perang, pembunuhan, kemiskinan
dan kelaparan, kerusakan dan pencemaran lingkungan oleh industri-industri besar, dan juga
bencana pemanasan global. Selain itu, dunia yang terdiferensiasi dalam bentuk negaranegara bangsa dan berbagai macam ideologi telah melahirkan konflik dan perang. Sementara
sekularisasi telah menghasilkan moralitas baru yang semata-mata berdasarkan rasio atau
yang dalam dunia kapitalisme didasarkan pada pertimbangan analisis pasar.
4
Mengenai postmodernitas ini tampaknya Hans Kung tidak menegaskan suatu masa yang
sudah jelas dan definitif. Tapi ia menegaskan bahwa konstalasi modernitas diwarnai dengan
dengan pergeseran-pergeseran makna. Misalnya, polisentrisme kekuasaan, adanya
pengakuan terhadap pluralitas budaya, masyakat pospatriarki, hadirnya ekonomi pasar
ekososial, tumbuhnya dialog agama, dan sebagainya
5
Lihat Hans Kung, Global Responsibility, hal. 20-21.
6
Lihat Hans Kung, Ibid. hal. 28-35.
7
Lihat Hans Kung, Ibid., hal. 46.
8
Lihat Hans Kung, Ibid., hal. 91.
9
Lihat Hans Kung, Ibid., hal. 52
10
Lihat Hans Kung, Ibid., hal. 44-45
11
Ini adalah pernyataan Kung, dikutip dari Ignas Kleden, Agama dalam Perubahan Sosial
dalam Agama dan Tantangan Zaman, LP3ES, Jakarta, hal. 215
12
Lihat Hans Kung, Ibid., hal. 45

151

Anda mungkin juga menyukai