Birmingham Centre
Oleh ANTARIKSA
Raymond Williams
Oleh ANTARIKSA
Tokoh kita kali ini adalah Raymond Williams, salah satu tokoh yang favorit
dikaitkan dengan kelahiran kajian budaya. Ia lahir di daerah perbatasan
Inggris-Wales pada 1921 dan meninggal pada 1988. Dalam sejarah kajian
budaya, Williams dikenal sebagai seorang pemikir yang teguh, yang
berangkat dari tradisi menulis dan membaca sastra, yang kemudian
dipadukannya dengan marxisme untuk diterapkan secara lebih luas dalam
bidang sosial dan kebudayaan.
Pada 1939 Williams mulai belajar bahasa dan sastra di Trinity College,
Cambridge tahun 1939. Di sini ia menjadi salah satu murid F.R. Leavis.
Gurunya ini adalah salah satu tokoh utama kulturalisme Inggris, yang
memahami kebudayaan sebagai kanon sastra dan seni tinggi, karya-karya
besar, dan menganggap film dan karya fiksi populer sebagai candu
peradaban.
Materialisme Kultural
Secara khusus perhatian Williams dalam Culture and Society dan The Long
Revolution adalah pada pengalaman-pengalaman kelas pekerja dan
aktivitas mereka dalam mengkonstruksi kebudayaan. Di sini, Raymond
William biasanya dikaitkan dengan nama Richard Hoggart dan Edward
Thompson. Ketiganya disebut sebagai trio kulturalisme kiri Inggris.
Thompson menulis The Making of the English Working Class (1963); ia dan
Williams adalah anggota Dewan Editor New Left Review. Sementara
Hoggart menulis tentang budaya kelas pekerja dalam The Uses of Literacy
(1957), dan pada 1964 bersama Stuart Hall ia kemudian mendirikan Centre
for Contemporary Cultural Studies di Universitas Birmingham. Di kemudian
hari, Hall lebih dikenal sebai seorang anti-kulturalis dan cenderung marxisstrukturalis, yang membawa teori-teori Althusser, Derrida, Foucault dan
Lacan ke dalam wacana cultural studies, dan secara intelektual posisinya
berseberangan dengan Williams, Hoggart, dan Thompson (Milner 1994).
Jika hegemoni adalah budaya, maka secara material ia adalah produk dari
agen yang sadar dan bisa dilawan oleh alternatif sebuah aksi counterhegemony. Jika hegemoni adalah struktur ideologi maka, ia akan
menentukan subjektivitas dari subjek dengan cara-cara yang secara radikal
mengurangi kemungkinan sebuah aksi counter-hegemony. Hegemoni
sebagai budaya adalah masalah produksi material, reproduksi, dan
konsumsi. Hegemoni sebagai struktur adalah masalah penafsiran tekstual.
Dengan materialisme kultural Williams sekaligus menegaskan kembali
bahwa kebudayaan haruslah dimengerti dalam representasi dan praktekpraktek sehari-hari dalam konteks kondisi-kondisi material produksinya,
analisis materialisme kultural berarti analisis atas semua bentuk penandaan
dalam kondisi dan makna yang aktual ketia ia diproduksi (Williams 1981). Ia
kemudian menganjurkan agar kebudayaan diselidiki dalam beberapa term.
Pertama, institusi-institusi yang memproduksi kesenian dan kebudayaan.
Kedua, formasi-formasi pendidikan, gerakan, dan faksi-faksi dalam
produksi kebudayaan. Ketiga, bentuk-bentuk produksi, termasuk segala
manifestasinya. Keempat, identifikasi dan bentuk-bentuk kebudayaan,
termasuk kekhususan produk-produk kebudayaan, tujuan-tujuan estetisnya.
Kelima, reproduksinya dalam perjalanan ruang dan waktu. Dan keenam,
cara pengorganisasiannya.
Termuat di Newsletter KUNCI No. 6-7, Mei-Juni 2000
1960-an dengan judul The Civic Culture sampai sekarang masih menjadi
rujukan utama pembahasan kebudayaan politik
Politiknya kajian budaya sama sekali berbeda ilmu politik mainstream ini.
Kajian budaya justru ingin menelusuri bagaimana sebuah nilai dan orientasi
terbentuk, operasi kekuasaan seperti apa yang berlangsung, dalam situasi
apa pula ua berlangsung dengan proses hegemoni atau dominasi, atau
bahkan koersi dalam proses produksi nilai tersebut, pengetahuan seperti
apa yang menopang atau tidak menopang nya, dst. Politik dan budaya
menjadi hancur lebur batasnya dalam kajian budaya. Suatu hal yang justru
dipertahankan dalam ilmu politik
Politik sesungguhnya sangat dekat dengan Kajian Budaya, bahkan bisa jadi
lebih dekat ketimbang dengan ilmu politik sendiri. Sejarah perkembangan
kajian budaya adalah sejarah perlawanan terhadap dominasi/kekuasaan
sebuah tradisi ilmu pengetahuan. Kajian budaya muncul dari pemikiran
sekelompok orang yang meyakini bahwa bangun teori adalah sebuah
praktek politik sehari-hari manusia (Barker, 2000). Ilmu pengetahuan bagi
kajian budaya selanjutnya adalah sesuatu yang tidak netral, obyektif,
melainkan sesuatu yang berhubungan dengan posisi tempat seseorang
berbicara, kepada siapa sasaran pembicaraannya dan situasi tertentu yang
melingkari.
Politik yang dirujuk oleh kajian budaya bukan politik sebagaimana yang
dipelajari dalam ilmu politik. Operasi kekuasaan dalam Ilmu politik telah
tergumpal dalam persoalan mencapai sistem demokrasi yang ideal. Impian
menuju demokrasi mewujud dalam kajian tentang aktor-aktor politik,
(lembaga dan atau individu), kualitas lembaga kepresidenan, lembaga
perwakilan, partai politik, atau kualitas warganegara seperti elit dan
warganegara biasa. Atau juga dalam bentuk kajian tentang produk-produk
kebijakan, dll. Kekuasaan telah tersistematisasi dalam wilayah-wilayah
yang sangat definitif.
Selanjutnya, pendukung penting bagi keberhasilan demokrasi adalah
sebuah kebudayaan politik, satu kajian khusus dalam ilmu politik.
Kebudayaan bermakna orientasi, nilai dan seperangkat kepercayaan
tertentu yang dimiliki oleh warganegarai. Dari sini tampak jelas bahwa
kebudayaan bagi ilmu politik adalah suatu produk jadi, given. Political
culture sebagai sebuah fokus kajian makin kukuh setelah dua ilmuwan
terkenal dari universitas Chicago melakukan penelitian di lima Negara
(Amerika, Inggris, Jerman, Italia dan Meksiko). Karya yang terbit pada
9
11
12
ternyata buta huruf dalam wilayah ini: ia tak mengenal dan tak bisa
membayangkan makanan yang terdaftar di menu. Ia juga tak tahu
bagaimana menyesuaikan jenis anggur dengan jenis makanan yang dipilih.
Akhirnya ia memesan makanan dan anggur sekenanya. Semua anggota
kelompok ini, kecuali satu orang saja, sama-sama buta hurufnya dan
memilih hidangan dengan mengikuti pilihan pemimpinnya.
Kebiasaan itu jadi berubah ketika mereka harus "tampil" di sebuah restoran
Perancis, yang tentu saja menuntut kemelek-hurufan dalam makanan dan
anggur Perancis. Seseorang yang dianggap pemimpin dalam kelompok ini
13
Karier, gaji, dan masa depan. Bagaimanakah di tengah arus krisis yang
menyapu isi 1 negeri ini dapat diterima akal maupun budi dan bahasa
tentang adanya suatu karier dengan gaji yang dapat menghidupi masa
depan? Kisah seperti apakah yang dapat disusun untuk menyampaikan
kabar perasaan orang yang dari saat ke saat terus terhimpit dalam hidup
kesehariannya namun sekaligus juga dipacu untuk mau percaya bahwa
karier dan masa depan ada dalam genggaman?
Segenap cara bercerita berikut konseptualisasi ide yang di masa sebelum
krisis menerjang dapat diyakini untuk menentramkan hidup bermasyarakat
kini rontok; baik pelembagaan bernegara, berbangsa, berkeluarga,
beragama, bersekolah, berkesenian,... amblas disapu angin, hilang
otoritasnya. Maka yang tinggal adalah igauan, gossip, ceracauan, ramalan,
dan bisik-bisik. Dalam arus itulah mimpi mendapat tempatnya. Inilah cerita
tentang mimpi.
Yang Diimpikan
Tersebutlah di selembar halaman majalah remaja pria tahun 2001 bahwa
ada 3 cara untuk mengawali sukses sebagai sutradara. Pertama, masuk
sekolah film. Kedua, langsung jadi sutradara. Atau terakhir, meniti karir dari
awal. Untuk yang paling bontot ini ada langkahnya, sejak dari asisten
sutradara, penulis skenario, atau director of photography .
15
Kiat sukses berkarir begituan dapat dengan gampang dijumpai di bacaanbacaan untuk orang muda yang diterbitkan dari Jakarta, setidaknya sejak
dekade 1990-an yang lalu.
Bayangan akan sukses itu juga dapat dilacak dari sepenggal kisah debut
seorang penyanyi berusia 15 tahun yang dalam sebuah edisi majalah
remaja putri di bulan Pebruari 2002 diceritakan " baru aja ngerilis album
terbarunya " dan berujar, " Nyanyi itu adalah sesuatu yang paling berarti
dalam hidupku.....Dari kecil, aku memang udah pengen banget jadi
penyanyi. Percaya nggak, waktu masih kelas 1 SD aku pengen banget
kayak Eno Lerian, bisa masuk TV, dan nyanyi di depan orang.....Mmm,
insya Allah kalau aku dikasih kesempatan aku pengen banget belajar di
London, soalnya kan sekolah seni di London itu terkenal bagus banget ".
Orang muda lain dipaparkan dalam liputan utama tentang "pasar remaja"
oleh sebuah majalah bisnis edisi akhir tahun 2000 sebagai seorang pelajar
kelas III SMU dari jurusan IPA yang termasuk 10 besar di kelasnya.
Diceritakan, sejak kecil cowok Jakarta kelahiran tahun 1983 yang -kononpunya IQ 146 ini menyukai semua pelajaran berhitung. Maka, ia pun
bertekad masuk kelas IPA saat SMU. Selanjutnya selepas sekolah
menengah nanti ia ingin sekali kuliah di Fakultas Teknik Kimia ITB. Untuk
itu doi rela mengurangi kegiatan keluar rumah biar bisa drilling pelajaran
buat persiapan EBTA dan UMPTN di waktu favoritnya untuk belajar
......sejak jam 3 pagi !
Pemandangan yang tak jauh berbeda terjadi di kalangan yang disebut
'profesional muda'. Idam-idaman kaum berdasi ini ternyata adalah
"perusahaan yang menyediakan jenjang karier jelas, gaji tinggi, memberi
kesempatan belajar dan dikelola secara profesional". Setidaknya begitulah
yang dilaporkan oleh sebuah majalah ekonomi dari Jakarta pada edisi
Oktober tahun 2001. Ada 12 jago di puncak idam-idaman itu, terdiri dari 5
BUMN, 5 perusahaan multinasional, dan 2 swasta nasional:
"Karier jelas, Gaji Besar, Masa Depan OK. (1) PT Telkom; (2) Pertamina;
(3) PT. Caltex Indonesia; (4) Bank BNI; (5) PT. Astra International; (6)
Citibank (Indonesia); (7) PT Freeport Indonesia; (8) PT Unilever Indonesia;
(9) PT Indosat; (10) PT Bakrie & Brothers; (11) PT. Coca Cola Indonesia;
(12) PT PLN".
Bagaimanakah ragam profesi yang tak terbayangkan bahkan oleh kaum
kohor kelahiran 1950-an itu dapat digambarkan suasana 'perasaan'nya?
16
Ia erat dengan 'sekolah ke luar negeri', atau 'fasih berbahasa asing', serta
keakraban dengan perangkat komputasi. Buah teknologi, dari telepon
genggam sampai kamera, diterima dan digauli sebagai perangkat netral
yang seolah-olah lepas dari gelombang kritik teknokrasi di Eropa dan Amrik
yang sudah memuncak pada tahun 1968.
Dalam arus yang seolah-olah netral tak bergejolak itulah film dan sandiwara
menjadi ibarat paling gamblang tentang mimpi massal. Pemain film (kalau
sebelum 1998 dikenal dengan istilah 'insan perfilman'. Wuih .....insan ! )
adalah hal penting dalam jagad mimpi. Siapa bilang bintang film berakting
di depan kamera? Justru di depan kamera itulah praktek hidup
kesehariannya terjadi. Sedangkan ketika berada di rumah, di jalan, atau di
mall si bintang itu sedang terus-menerus mencocokkan diri dengan yang
dibayangkan dalam arus massal tentang suatu jagad ideal seorang public
figure . Sejak dari menata tebal daging yang melekat di tulang-belulang
tubuhnya sampai ke tentang betapa pentingnya siraman nilai agama untuk
kehidupan rohaninya, semua dirancang dengan sepenuh perasaan.
Keseriusan si bintang dalam mempersiapkan diri untuk tampil dalam relasi
sosial tak kalah keras dengan keseriusan si pelajar kelas III SMU ber-IQ
146 di atas yang sampai bangun jam 3 pagi untuk drilling agar bisa masuk
ITB ! Dengan sepenuh perasaan entah itu drilling agar menjadi orang ITB,
ataukah agar bisa menjadi orang Telkom, orang Freeport, atau dengan
sekolah menyanyi di London untuk berkarier di dunia bintang penyanyi,
maupun berkarier di jalur teknologi informasi, desain pakaian, sampai
aktivis LSM dst. dilakukan. Rancangan hidup dibikin dengan nalar
perasaan. Bahkan kerja intelejensi pun tak lagi melulu berurusan dengan
intellegence qoutient (alias IQ) melainkan sudah dengan nalar perasaan
(yang sama sekali tak terbendung lagi dengan dikurung oleh label
emotional quotient ataupun spiritual quotient ).
Dan panggung sandiwara? Masih bisakah dibedakan lagi dengan gampang
naskah-naskah dan pementasan Teater Koma, Teater Gandrik, atau Teater
Garasi dengan gejolak hidup berpolitik yang terjadi sehari-hari di luar ruang
panggung sandiwara? Politik menjadi panggung sandiwara, sementara
sandiwara dilakoni sebagai politik mempertaruhkan makna hidup.
Yang Bermimpi
Tak disangsikan lagi bahwa 1 lapis warga Republik Indonesia dari kohor
kelahiran paska 1965 telah beranak-pinak sebagai 'keluarga muda'. Anakanak dari kalangan inilah yang lahir sejak dekade 1980-an hingga 1
dasawarsa sesudahnya disapih selaku warga negeri mimpi dan sekaligus
17
Banyak orang percaya bahwa anak muda identik dengan aktivitas untuk
mencari kesenangan. Anak muda selalu dikaitkan dengan waktu luang,
kebebasan, dan semangat pemberontakan. Media massa dan industri
menciptakan "kebutuhan" anak muda demi kepentingan pasar, yang
dikampanyekan sebagai cara bagi anak-anak muda untuk keluar dari
identitas yang diinginkan oleh orang tua. Akhirnya budaya anak muda
sangat identik dengan penampilan sebagai representasi identitas. Budaya
anak muda adalah fesyen, musik dan pesta. Dan tentu, anak-anak muda di
kota adalah kelompok yang memiliki akses paling terbuka ke sumber
informasi. Mereka memungut informasi di mana saja, dari televisi, majalah,
radio bahkan sobekan poster di pinggir jalan. Mereka punya kesempatan
untuk memanfaatkan waktu luang di pusat-pusat perbelanjaan, tempat
hiburan dan ruang-ruang publik yang memungkinkan mereka untuk
melakukan interaksi dan pertukaran informasi.
Anak muda di kota selalu punya cara untuk tampil beda. Meski tidak selalu
orisinil, karena banyak mengadopsi gaya selebritis yang mereka lihat di
majalah dan televisi, tapi anak kota selalu berusaha untuk terus
memperbaharui penampilannya. Yang disebut penampilan, bukan saja apa
yang melekat pada tubuh semata, melainkan juga bagaimana keseluruhan
"potensi" dalam diri memungkinkan mereka untuk menampilkan citra diri
tertentu. Dan bahasa, dianggap salah satu hal penting yang akan
memberikan ciri khusus pada anak kota. Cara, logat dan pilihan kata dalam
berbicara, adalah salah satu dari usaha anak kota untuk membentuk citra
tertentu melalui penampilannya. Maka mereka punya istilah "norak" atau
"kampungan" untuk gaya-gaya tertentu, yang mereka anggap ingin tampak
trendi, namun tidak pantas (dalam bahasa mereka: nggak matching ).
Istilah ini sekaligus menunjukkan bagaimana mereka memandang anak
muda di wilayah bukan kota (untuk tidak menyebutnya desa) sebagai
kelompok yang "lebih rendah" dibanding mereka.
Biyan, seorang perancang muda menyatakan bahwa semangat kebebasan,
sikap cuek alias tidak terlalu peduli pada aturan formal, dan berani menjadi
satu karakter khas yang selalu ditampilkan dalam gaya fesyen anak muda.
Gaya anak muda tidak lagi mengacu pada perancang yang dulu
20
legitimasinya sangat besar. Anak muda pasca '50-an dan '60-an masamasa generasi baby boomers yang mulai menikmati kemakmuran setelah
berakhirnya resesi pasca perang dunia- menciptakan modenya sendiri. Kita
bisa menelusurinya dari bagaimana anak muda dicitrakan di media dari
masa ke masa, kemudian bagaimana citra itu merambah ke dalam
kehidupan sehari-hari. Dan menarik juga mencermati bagaimana media
massa telah menciptakan satu ikon anak muda tertentu pada tiap jaman.
Di Awal '80-an, budaya remaja mulai marak di Indonesia setelah
kemunculan tabloid dan majalah khusus remaja, terutama Hai dan Gadis .
Tak lama setelahnya, sekitar pertengahan dekade, muncul tokoh Boy,
melalui film "Catatan Si Boy" garapan sutradara Nasri Cheppy. Tokoh Boy
diperankan oleh Onky Alexander. Boy digambarkan sebagai anak kota dari
kelas atas yang kaya raya, tampan, dandi (penampilannya rapi dan
"berkelas"), jagoan (selalu menang kalau berkelahi dengan "musuhnya"),
playboy dan pintar. Saat itu, Onky memperkenalkan gaya celana jeans,
kaos oblong yang kemudian dibalut kemeja yang tak dikancingkan.
Rambutnya rapi, agak mengkilap (disebut gaya wet-look) karena minyak
rambut. Boy juga identik dengan mobil mewah berwarna cerah, serta kaca
mata hitam yang tak pernah ketinggalan saat ia ada di jalanan. Gaya Boy
inilah yang disebut dengan gaya '80-an ala Indonesia. Karakter tokoh
ceweknya tak jauh beda dengan Boy; populer, cantik, berdandan modis,
cewek baik-baik dan disukai banyak laki-laki. Mereka tampil dengan gaya
'80-an yang kental dengan warna-warna cerah semacam kuning, merah
atau oranye, celana model baggy (paha lebar dan menyempit di bagian
bawah), memakai banyak aksesoris--kalung, gelang dan anting yang
dipakai bersamaan--kemeja longgar yang terkadang ujungnya diikat serta
sepatu olah raga yang santai. Pada saat itu, mulai dikenal juga kebiasaan
mengecat rambut menjadi berwana kemerahan atau sedikit pirang.
Dalam film ini, anak kota masih bicara dengan bahasa Indonesia yang
cukup formal, namun terkesan cukup santai. Mereka menyebut diri dengan
kata "saya" dan menggunakan kata "kamu" untuk menyebut lawan
bicaranya. Sebenarnya cara mereka bicara dalam film tak terlalu berbeda
dengan generasi yang lebih dewasa. Kalimat seperti "Jadi, apa yang akan
kita lakukan selanjutnya?" atau "Tunggu ya, nanti malam saya akan jemput
kamu!" menjadi dialog yang biasa, yang mungkin akan terasa asing bila
didengarkan oleh anak kota sekarang.
"Catatan si Boy" juga memberi kita gambaran bagaimana anak kota
menghabiskan waktu luang: clubbing di tempat umum macam Ancol atau
Blok M, atau membuat pesta dengan breakdance di dalamnya.
21
Setelah Boy, muncul tokoh Lupus di akhir '80-an dan awal '90-an. Tokoh ini
adalah hasil rekaan Hilman, yang muncul pertama kali sebagai serial di
majalah Hai . Lupus muncul sebagai tokoh yang sangat bertolak belakang
dengan Boy. Kalau Boy berdandan rapi, Lupus cenderung slenge'an .
Rambutnya agak gondrong, dan diberi ciri khas jambul, suka memakai
celana jeans, kaos oblong dan kadang kemeja tak dikancingkan, serta
sepatu kets. Lupus juga tampak berseberangan dengan Boy dari kelas
sosial, ia "cuma" anak seorang pengusaha katering kecil-kecilan yang
hidup sederhana. Kalau Boy digambarkan dengan mobil mewah, Lupus
naik sepeda balap. Akhirnya Lupus muncul juga di layar lebar. Diperankan
oleh Ryan Hidayat, ditemani Nike Ardila sebagai Popi (pacarnya) dan Firda
Razak (sebagai Lulu, adiknya). Secara umum, gaya berpakaian Lupus dkk.
dalam film ini tak jauh beda dengan era si Boy. Juga tentang kebiasaan
mereka dalam melewatkan waktu luang.
Yang menarik adalah mulai munculnya bahasa slang dan prokem dalam
buku dan film-film Lupus. Lupus juga sangat identik dengan remaja yang
lucu dan konyol. Jadi jangan heran kalau isi buku ini penuh dengan humor
dan lelucon. Kata "gua" untuk menyebut diri dan "elu" untuk lawan bicara
mulai populer sebagai gaya baru di buku dan film. Mereka juga mulai
menggunakan dialog sehari-hari remaja semacam "Jangan gitu dong!" atau
"Lu jangan ke mana-mana, tunggu aja di sini, ntar gua balik kok!". Bahasa
prokem anak muda juga dicomot dari kelompok-kelompok yang dianggap
terpinggir dan kampungan, misalnya dialog golongan homoseksual atau
dialog dari warga Betawi asli.
Seera dengan Lupus, muncul tokoh Olga yang mewakili remaja perempuan
di masa itu. Boleh dibilang, ia versi cewek dari Lupus. Di sela-sela mereka,
dalam masa yang sama, anak kota punya panutan lain. Namanya si Roy. Ia
memberi alternatif bagi remaja pria, yang saat itu cenderung mengikuti
gaya Boy atau Lupus. Roy, sangat bertolakbelakang dengan keduanya. Ia
memberi gambaran tentang kegagahan yang lain dengan Boy, meskipun
sama-sama digambarkan sebagai jagoan yang suka berkelahi. Roy
digambarkan sebagai pendaki yang suka memakai tas ransel besar dan
sepatu gunung. Baju flanel dan jaket tebal mulai dikenal saat itu.
Menjelang dan di awal abad ke-21, representasi anak kota Indonesia
muncul dalam film-film independen. Kebanyakan film ini digarap oleh para
sineas muda yang sangat "melek" trend terbaru. Dian Sastro, yang muncul
pertama kali di film "Bintang Jatuh", dan kemudian kembali melejit lewat
"Ada Apa dengan Cinta", jadi idola baru remaja. Gang ceweknya di "Ada
Apa dengan Cinta", memberi gambaran tentang gambaran mutakhir anak
kota. Mereka berseragam putih abu-abu, dengan rok yang cukup pendek,
22
dan kaos kaki yang hampir mencapai batas lutut. Atasannya menempel
ketat di tubuh. Saat ini rambut panjang hitam lurus dan rambut pendek
yang tak beraturan jadi "tampilan wajib".
Secara bahasa era ini tak jauh beda dengan Lupus. Tapi makin banyak
kata-kata dalam bahasa prokem yang digunakan. Kebanyakan kata-kata ini
digunakan sebagai ungkapan kaget atau seruan. Misalnya, "Najong deh,
gue!" yang berarti jijik, atau "Garing!" untuk merespon lelucon yang
dianggap tidak lucu. Atau juga "Bete!" untuk menyebut keadaan yang tidak
mengasikkan.
Harus diakui, bahasa anak Jakarta lah yang selama ini mendominasi
penggunaan bahasa lisan anak muda Indonesia. Bagaimana bahasa
prokem Jakarta tersebut tersebar? Jawabannya mudah. Ada media massa-yang secara umum bisa dikatakan berpusat di Jakarta--yang membawa
bahasa lisan ini ke seluruh pelosok melalui perangkat-perangkatnya.
Menurut Dede Oetomo (1986) peran Jakarta sebagai ibukota, tempat
orang-orang Indonesia yang memang atau dianggap paling berkuasa,
paling cantik, paling kaya dan sebagainya berada, penting dalam
menyebarkan bahasa Indonesia. Media dan perangkatnya--terutama
televisi dan radio--telah membuat logat Jakarta menjadi logat yang seolaholah paling keren dan paling enak didengar. Di Indonesia, bukan hal yang
aneh kalau kita mendengar radio-radio di daerah (bukan Jakarta) yang
segmennya anak muda, penyiar-penyiarnya berbicara dengan dialek yang
seragam. Seolah-olah, kalau tidak memakai gaya Jakarta, itu bukan gaya
anak muda.
Termuat di Newsletter KUNCI No. 12, Juni 2003.
Studi Tubuh
By NURAINI JULIASTUTI
Ada 3 pandangan utama tentang tubuh yang berlaku di Yunani Kuno. Yang
pertama, aliran yang didirikan oleh Cyrenaic, percaya bahwa "kebahagiaan
tubuh itu jauh lebih baik daripada kebahagiaan mental". Aliran yang kedua,
didirikan oleh Epicurus, percaya bahwa "kebahagiaan tubuh memang
bagus, tapi masih lebih bagus lagi kebahagiaan mental". Aliran yang
terakhir, sekaligus yang paling tidak populer, didirikan oleh Orpheus,
mengatakan bahwa "tubuh adalah kuburan bagi jiwa" (the body is the tomb
of the soul). Meskipun tak populer, aliran ini sangat mempengruhi filsuffilsuf utama seperti Phytagoras, Socrates, dan Plato.
23
tubuh sosial (the physical body is also social). Menurut Marcel Mauss cara
untuk mengetahui peradaban manusia lain adalah dengan mengetahui
bagaimana masyarakat itu menggunakan tubuhnya. Tubuh adalah
instrumen yang paling natural dari manusia, yang dapat dipelajari dengan
cara yang berbeda sesuai dengan kultur masing-masing.
dan hubungan denga diri sendiri, yang pada gilirannya membagi tubuh
menjadi 4: the disciplined body, the mirroring body, the dominating body,
dan communicative body.
Bagi Michel Foucault tubuh selalu berarti tubuh yang patuh. Sumbangan
utamanya bagi studi tubuh adalah analisisnya tentang kekuasaan yang
bekerja dalam tubuh. Analisis utamanya adalah adanya kekuatan mekanis
dalam semua sektor masyarakat. Tubuh, waktu, kegiatan, tingkah laku,
seksualitas; semua sektor dan arena dari kehidupan sosial telah
dimekanisasikan. Ia mengatakan: jiwa (psyche, kesadaran, subyektivitas,
personalitas) adalah efek dan instrumen dari anatomi politik; jiwa adalah
penjara bagi tubuh; tapi pada akhirnya tubuh adalah instrumen negara.
Semua kegiatan fisik adalah ideologis: bagaimana seorang tentara berdiri,
gerak tubuh anak sekolah, bahkan model hubungan seksual.
Saat ini tubuh telah memantapkan posisinya sebagai titik pusat diri. Ia
adalah medium yang paling tepat untuk mempromosikan dan
memvisualkan diri sendiri. Tubuh adalah bagian yang melekat pada diri
kita, sekaligus penyedia ruang-ruang tak terbatas untuk memamerkan
segala jenis bentuk identitas diri.
Tubuh juga bisa dikatakan sebagai suatu proyek besar bagi seseorang. Ia
terus menerus dibongkar-bongkar, ditata ulang, dikonstruksi dan
direkonstruksi, dieksplorasi secara besar-besaran: didandani, disakiti,
dibuat menderita atau didisiplinkan, untuk mencapai efek gaya tertentu dan
menciptakan cita rasa individualitas tertentu.
***
Merokok merupakan satu jenis pilihan aktivitas yang populer dilakukan
untuk memanfaatkan waktu senggang. Alasan-alasan yang menyebabkan
seseorang melakukan pilihan merokok dan membuat merokok menjadi
sesuatu yang menggairahkan bisa bermacam-macam dan bersifat pribadi.
Alasan-alasan untuk merokok yang dikemukakan perempuan misalnya,
27
Stephen Wearing dan Betsy Wearing (Leisure Studies 19 [1], 2000) melihat
merokok sebagai sebuah asesori fesyen pada budaya 1990-an dan dipakai
sebagai sumber identitas serta penghargaan diri seseorang, meskipun efek
jangka panjangnya berbahaya karena bisa menyebabkan berbagai
gangguan dan penyakit. Mereka menghubungkan merokok dengan
konsumsi yang menyolok (conspicuous consumption), fesyen, dan identitas
mengingat di masa pascamodern ini, representasi dan gambaran identitas
berdasar pada simbol-simbol yang kita pakai, barang-barang yang kita
kenakan, dan aktivitas-aktivitas yang kita lakukan, terutama aktivitasaktivitas yang sedang populer pada suatu masa tertentu.
Thorsthein Veblen mengajukan istilah conspicuous consumption (konsumsi
yang menyolok) untuk menunjuk barang-barang yang kita beli dan kita
pertontonkan kepada orang lain untuk menegaskan gengsi dan status kita
serta untuk menunjang gaya hidup di waktu senggang. Barang-barang
yang dibeli atau dikonsumsi biasanya berupa sesuatu yang tidak berguna,
yang kadang malah mengurangi gerak dan kenyamanan di tubuh
seseorang. Veblen juga mengajukan istilah pecuniary emulation
(penyamaan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan uang) dimana
golongan yang tidak masuk pada leisure class (lihat KUNCI edisi 4)
berusaha menyamai perolehan atau pemakaian benda-benda tertentu
dengan harapan bahwa mereka akan mencapai keadaan identitas manusia
yang secara intrinsik lebih kaya dari orang-orang lain.
28
Chris Rojek (Society and Leisure 20 [2], 1998) menggunakan teori Veblen
ini untuk menganalisa kegiatan merokok. Rojek mengamati penampilan
para bintang film, artis-artis populer, model, atlet-atlet olahraga, tidak
ketinggalan para bintang iklan rokok, sebagai figur-figur yang berpengaruh
ikut memberikan sumbangan stimulus untuk melakukan pekerjaan
merokok. Bintang-bintang iklan rokok biasanya ditampilkan dengan karakter
yang smooth, sedang berada dalam situasi santai, bermain kartu bersama
teman-teman, minum kopi, atau berada dalam suatu pesta yang ramai.
Produser film Titanic, Rae Sanchini, misalnya mengatakan bahwa
Leonardo DiCaprio digambarkan sebagai seseorang yang senang merokok
untuk mewakili karakter jiwa bebas seorang seniman. Sedangkan Kate
Winslet dalam film itu ditampilkan melakukan kegiatan merokok sebagai
perwujudan aksi pemberontakannya. Dan stimulus untuk merokok sebagian
terbentuk dari hasrat untuk menyamakan tipikal karakter dan pernyataanpernyataan simbolik berupa gambaran atraktif, kesuksesan, kegagahan,
popularitas, serta gaya hidup, yang muncul dari tokoh-tokoh pemimpin
berupa para bintang iklan, artis-artis, atau kaum selebritis yang disenangi.
Sementara itu, Simmel (1978) mengatakan bahwa ada hubungan yang erat
antara waktu senggang, fesyen, dan identitas. Untuk mengejar fesyen dan
gaya serta imej-imej yang mempesona, Simmel menangkap ketegangan
antara pembedaan dan peniruan yang merupakan kebutuhan untuk masuk
dalam satu grup sosial tertentu, sekaligus mengekspresikan individualitas
seseorang. Dengan demikian merokok dapat dianggap sebagai asesori
fesyen yang penuh daya pikat dan terkomodifikasi, dimana seseorang
dapat merasakan penegasan ciri individualitas sekaligus dukungan penuh
dari suatu grup sosial. Merokok adalah sebuah fesyen sekaligus sesuatu
yang fashionable. Menurut Simmel, menjadi fashionable artinya menjadi
seorang yang melebih-lebihkan dirinya dan dengan demikian membuat
identitasnya tampak begitu menonjol.
Safety pins merupakan simbol dari kaum punk. Ia adalah kombinasi dari
etos do-it-yourself dan sikap-sikap yang ekstrem. Anting-anting dikenakan
di telinga, lubang hidung, bibir, atau bisa juga berupa peniti-peniti yang
dipakai untuk menyambung celana atau pakaian yang sobek-sobek. Untuk
lagu single grup musik The Sex Pistol, God Save the Queen, desainer
grafis grup ini, Jamie Reid, membuat karya kolase fotografi Ratu Elizabeth
II yang sedang tersenyum dan mengenakan tindik di lubang hidungnya.
Gambar itu kemudian direproduksi di kaos-kaos dan kartu pos-kartu pos,
dan membuat safety pins menjadi gaya yang terkenal dimana-mana.
Hampir mirip dengan safety pins ini adalah nipple-piercing. Tindik jenis ini
banyak dipraktekkan oleh komunitas kaum gay, para penganut sado
masokisme, para pengikut fesyen pascapunk, dan para pemuja new age.
Film underground tahun 1980-an berjudul Robert Having his Nipple Pierced
ikut membantu publisitas praktek nipple-piercing ini. Pemasangan cincin,
anting-anting, atau semacam peniti di puting susu yang diikuti dengan
pemasangan di organ-organ seks primer dan sekunder ini dipercaya bisa
meningkatkan sensitivitas yang menyenangkan di area-area tersebut.
Tetapi di beberapa kasus, tindik juga dilakukan untuk memuaskan
keberanian dan mencapai kadar eksotisisme tertentu.
***
Tatto atau rajah adalah gambar atau simbol pada kulit tubuh yang diukir
dengan menggunakan alat sejenis jarum. Biasanya gambar dan simbol itu
dihias dengan pigmen berwarna-warni. Dulu, orang-orang masih
menggunakan teknik manual dan dari bahan-bahan tradisional untuk
membuat tato. Orang-orang Eskimo misalnya, memakai jarum dari tulang
binatang. Sekarang, orang-orang sudah memakai jarum dari besi, yang
kadang-kadang digerakkan dengan mesin untuk mengukir sebuah tatto.
Kuil-kuil Shaolin malah memakai gentong tembaga yang panas untuk
mencetak gambar naga pada kulit tubuh. Murid-murid Shaolin yang
dianggap memenuhi syarat untuk mendapatkan simbol itu kemudian
menempelkan kedua lengan mereka pada semacam cetakan gambar naga
yang ada di kedua sisi gentong tembaga panas itu.
Dari uraian di atas, kita bisa menarik sebuah sikap yang mendua terhadap
tubuh. Resiko-resiko merokok yang berbahaya bagi kesehatan tubuh tidak
pernah menjadi dasar pertimbangan utama untuk merokok. Contoh sikapsikap yang mendua terhadap tubuh ini juga tampak dalam aktivitas-aktivitas
dekorasi tubuh seperti tatto, tindik di puting susu (nipple piercing), atau
tindik di bagian-bagian tubuh lain, seperti telinga atau hidung (safety pins).
Semua aktivitas dekorasi tubuh atau penciptaan efek gaya tertentu pada
tubuh itu dilakukan dengan melukai atau menyakiti bagian-bagian tubuh. Di
Indonesia, baik nipple piercing maupun safety pins ini umumnya disebut
dengan tindik saja.
Di Indonesia sendiri pernah ada suatu masa ketika tatto dianggap sebagai
sesuatu yang buruk. Orang-orang yang memakai tatto dianggap identik
dengan penjahat, gali, dan orang nakal. Pokoknya golongan orang-orang
yang hidup di jalan dan selalu dianggap mengacau ketentraman
masyarakat. Anggapan negatif seperti ini secara tidak langsung mendapat
pengesahan ketika pada tahun 1980-an terjadi pembunuhan terhadap
ribuan orang gali dan penjahat kambuhan di berbagai kota di Indonesia.
Pembunuhan ini biasa disebut dengan Petrus, neologisme dari kata
penembak dan misterius. Tanggapan negatif masyarakat tentang tato dan
larangan memakai rajah atau tatto bagi penganut agama tertentu semakin
29
30
Presley dan Tony Curtis. Setelah itu berlangsunglah era model rambut
beatnik look yang dipelopori oleh James Dean dan Marlon Brando.
Rambut Panjang vs Rambut Pendek
The Hippies yang populer pada tahun 60-an, tidak hanya dikenal berkat
gerakan-gerakan protesnya menentang norma-norma seksual yang puritan,
etika protestan, gerakan-gerakan mahasiswa menentang perang, anti
senjata nuklir, anti masyarakat yang fasis, militeris, birokratis, tidak
manusiawi dan tidak natural, tetapi juga mendunia lewat simbol-simbol
yang dikenakannya. Kalung manik-manik, celana jins, kaftanjubah
longgar sepanjang betisyang pada awalnya merupakan pakaian
tradisional Turki, sandal, jaket dan mantel yang dijahit dan disulam sendiri,
untuk membedakan mereka dengan golongan orang-orang yang memakai
setelan resmi dan berdasi. Kaftan banyak digunakan sebagai pakaian khas
orang-orang hippies karena jenis pakaian ini biasanya berharga murah,
sehingga tidak berkesan borjuis, dan membebaskan pemakainya dari
kungkungan kerah, kancing dan ikat pinggang yang ketat. Dan simbol yang
paling mencolok adalah rambut mereka yang panjang dan lurus. Rambutrambut yang natural, tanpa cat, tanpa alat pengeriting, tanpa dihiasi dengan
pernik-pernik apapun, tanpa wig. Kaum laki-laki hippies juga memelihara
rambut panjang, lengkap dengan janggut dan kumis yang dibiarkan tumbuh
lebat tanpa dipotong. Ini yang membedakan mereka dari golongan orang
tua mereka. Sepuluh tahun kemudian gaya hippies yang pada awalnya
tumbuh untuk menentang kemapanan ini mendapat serangan dari
golongan The Skinheads .
Sama halnya dengan kaum hippies, orang-orang skinheads juga
menentang kemapanan meskipun dengan alasan yang berbeda. Awalnya,
skinheads adalah term slang untuk menunjuk pada orang-orang yang botak
dan gundul. Kaum skinheads biasanya berasal dari kelas pekerja.
Skinheads khususnya ditujukan untuk menentang golongan mahasiswa
kelas menengah yang berambut panjang, orang-orang Asia dan kaum gay.
Skinheads membenci orang-orang hippies, khususnya kaum laki-laki
hippies. Mereka sering mengolok-olok kaum laki-laki hippies sebagai orang
yang keperempuan-perempuanan dan aneh: dengan dandanan rambut
panjang, pakaian bermotif bunga-bunga, manik-manik, dan sandal, sering
membagi-bagikan bunga kepada polisi saat demonstrasi, pasif, malas, dan
lemah. Pada awal kemunculannya di tahun 1968 dan 1969 sampai tahun
1970-an awal, skinheads biasanya memakai celana jins pudar yang
digulung sampai di atas pergelangan kaki, sepatu militer jenis boover boots
atau sepatu boot kulit merek Dr. Marten, t-shirt yang memamerkan slogan
afiliasi gerakan politik atau organisasi sepak bola tertentu, jaket yang
32
34
Berbicara tentang musik dan remaja, hampir selalu akan bertemu dengan
apa yang disebut subkul- tursatu istilah, katakanlah sikap untuk
mengambil posisi alternatif dari arus utama. Hanya saja, subkultur ini pada
gilirannya dicaplok industri juga sebagai dagangan.
Apa yang terjadi di Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya (FIB)
Universitas Indonesia, Rabu (12/4), bisa sedikit menyibak hal ini. Awalnya,
acara diskusi berjudul "Music, Words, Images and Identity: Youth Rebellion
and The Politics of Sub-Culture in Rock- Film", yang merupakan kerja sama
dengan British Council, berjalan datar. Dua sutradaraUpi Avianto
(Realita, Cinta, dan Rock n Roll) dan Agung Sentausa (Garasi)bersama
dua pemusik, Jimi Multhazam (The Upstairs) dan Malvin Tambunan (In Ska
We Trust), serta wartawan Junior Eka Putro (Hai) memaparkan sudut
pandang masing-masing tentang tema di atas.
Upi, misalnya, menyebutkan kalau film Realita, Cinta, dan Rock n Roll tidak
bisa dikategorikan film musik seperti film Quadrophenia yang diputar
sebelum diskusi. Film Quadrophenia yang berlatar Inggris di era tahun
1950-an bercerita tentang persaingan dua kelompok anak muda. "Kalau
film saya itu film keluarga, semangat rock hanya saya pakai untuk
menunjukkan betapa dua tokoh remaja dalam film ini sangat menentang
segala aturan yang ada," kata Upi.
Junaidi, dosen Cultural Studies FIB yang menjadi moderator, lalu memandu
diskusi masuk ke acara tanya jawab. Suasana memanas. "Anda tidak
mengerti dengan apa yang Anda filmkan. Yang saya tonton adalah sebuah
hyperreality yang hanya memunculkan mitos-mitos dan sekadar
menggunakan logika kapital saja," seru Arok yang mengaku mewakili
komunitas punk ini.
Setelah Arok, muncul Liga, yang mengatasnamakan kelompok skin head.
Ia mempertanyakan kesahihan diskusi itu karena menurut dia narasumber
yang ada tidak kompeten. "Bagi Anda-anda, ini sekadar joke, tapi bagi
kami, ini jalan hidup, bahkan lebih penting dari agama. Jangan cuma baca
buku tentang skin head dan punk, lalu Anda kira sudah tahu semua," kata
Liga.
35
secara gratis. Di Indonesia, adalah hal yang biasa banyak orang berebut
mendapatkan pembagian kaos dari OPP pada saat Pemilu (tak jarang juga
disertai pembagian "amplop"). Perusahaan-perusahaan sekarang ini juga
membuat kaos dengan nama atau logo perusahaan yang tertera di atasnya
(Coca Cola, Reebok, Nike, Wilson), dan menjualnya di toko-toko sebagai
pakaian produksi massal yang siap pakai. Bagi sejumlah besar
pemakainya, tentu memakai kaos oblong tidak dimaksudkan sebagai iklan,
melainkan sebagai indikasi status dan pendapatan pemakainya, loyalitas
atau kepercayaan pada satu produk. Ia juga merupakan suatu bagian dari
identitas diri, "Saya adalah penggemar Coca Cola", "Seperti Michael
Jordan, saya memakai Nike (bagaimana dengan Anda?)". [5]
Kaos-kaos buatan perusahaan tertentu dianggap mewakili gaya hidup atau
selera yang khas, selain sekaligus si pemakai mengiklankan perusahaan
pembuatnya. Misalnya kaos bermerek Benetton, Ralph Lauren atau Calvin
Klein. Simbol-simbol tertentu pada kaos, seperti buaya kecil atau kuda poni
dan pemain polo kecil (dan berbagai variannya), juga sangat penting.
Simbol-simbol ini bukan hanya menunjukkan status pemakainya yang
mampu mengkonsumsi pakaian buatan desainer mahal, tetapi juga status
dalam sistem fashion itu sendiri (ketika kelompok desainer Parisian juga
memproduksi kaos, apakah kaos menjadi high fashion ?).
Kaos dan Kehidupan Modern
Lebih dari jenis pakaian yang lain, sejarah kaos bukan saja menunjukkan
cepatnya perubahan teknologi dalam industri garmen, melainkan juga
menunjukkan bagaimana fashion bernegosiasi dengan ruang dan waktu.
Kaos semula hanya diakui sebagai pakaian dalam. Dan dalam kaitannya
dengan pola penempatan ruang, sebagai pakaian dalam kaos adalah
pakaian privat . Tetapi kemudian dengan negosiasi lewat media massa dan
penemuan bahan serta model-model baru, kaos perlahan mulai tampil
sebagai pakaian publik. Karena itu, sejalan dengan kecenderungan
kehidupan modern, perjalanan kaos dari ruang privat ke ruang publik ini
merupakan ekspansi ruang privat atas ruang publik (privatisasi ruang
publik). Sementara dalam kaitannya dengan pola pemanfaatan waktu, kaos
menunjukkan bagaimana waktu senggang semakin berhasil mengekspansi
waktu yang lain dalam kehidupan sehari-hari. Kaos bisa dilihat sebagai
bagian dari leisure class , yang menunjukkan statusnya dengan
pemanfaatan waktu senggang sebesar-besarnya (Rojek, 2000). [6]
40
Persis seperti semboyan kaos oblong Dagadu " Smart and Smile ", kaos
oblong mengajarkan bagaimana hidup modern harus dijalani:
berpenampilan cerdas, ringkas, tangkas, sekaligus santai. Hidup dengan
segala tetek-bengeknya yang rumit ternyata tidak harus dijalani dengan
rumit pula, melainkan bisa dijalani dengan "seperlunya dan santai". Dalam
perspektif ini, papan pengumuman di kampus-kampus yang berbunyi
"Dilarang memakai kaos dan sandal" adalah warisan dari kehidupan masa
lalu yang "serius" dan sebentuk "pendisiplinan gaya", yang tidak lagi cocok
dengan semangat smart and smile . Karena itu mahasiswa tetap saja
berkaos oblong di kampus, pertama-tama bukan untuk menunjukkan
perlawanan langsung mereka kepada aturan hidup yang lama, melainkan
untuk menunjukkan bahwa diri mereka sendirilah yang paling berhak atas
penampilannya. Dan bagaimana mereka harus berpenampilan, salah
satunya ditentukan oleh resepsi mereka terhadap media massa, yang juga
mengajarkan smart and smile (misalnya semboyan iklan telepon genggam
Nokia seri 3210, "Begitu kecil, begitu cerdas"). Jadi hidup modern dijalani
dengan semangat mengisi waktu senggang. Inilah yang disebut estetikasi
kehidupan sehari-hari yang mencirikan kehidupan modern (di mana "yang
etis" bergeser menjadi "yang estetis"). Semangat kehidupan modern
sebenarnya adalah semangat kaos oblong.
wahana tanda ( sign vehicle ) pada kaos menyampaikan koherensi dan integritas
representasional yang ambigu.
[5] Rojek (2000) memberikan gambaran yang rinci bagaimana selebritis menjadi kaya raya
karena mengiklankan berbagai produk industri pakaian. Dan mereka ini pada gilirannya akan
menjadi salah satu agen pencipta fashion yang sangat penting.
[6] Sisi lain dari hal ini adalah kaos juga merupakan komoditas dalam budaya konsumen yang
keberadaanya tidak bisa dilepaskan dari leisure class . Ajidarma (2001) mengaitkan kaos
dengan budaya pop yang selalu bergelut dengan pasar.
Referensi
Catatan
[1] Dalam tulisan ini saya memakai kata kaos oblong dan kaos secara bergantian, keduanya
menunjuk pada kata dalam bahasa Inggris t-shirt .
[2] Betsy Cullum-Swan dan P.K. Manning (1990) membuat diferensiasi fashion dengan lebih
rinci, yang terdiri dari high fashion , mass fashion , dan vulgar fashion . Yang termasuk dalam
high fashion adalah pakaian yang didesain secara khusus untuk orang-orang khusus dan
dijual di outlet-outlet khusus. Dalam kecenderungan fashion dunia sekarang ini high fashion
tidak bisa dilepaskan dari keberadaan para desainer profesional, utamanya yang biasa disebut
sebagai desainer Parisian. Mass fashion di sisi lain lebih merupakan sebuah sistem mencipta,
mendistribusikan, dan menjual salinan dari pakain karya para desainer. Sementara vulgar
fashion merupakan pakaian yang diciptakan lewat produksi massal dari salinan mass fashion
"selang beberapa waktu setelah sebuah produk mass fashion beredar di pasaran. Untuk
diskusi ini, saya menyederhanakan diferensiasi ini menjadi dua bentuk saja, high fashion dan
low fashion. Yang terakhir ini merupakan penggabungan dari mass fashion dan vulgar fashion
.
[3] Karena itu pameran "Art on T-Shirt""yang disertai dengan penjualan secara terbatas kaos
yang dipamerkan"bisa dilihat sebagi usaha menaikkan gengsi kaos atau usaha untuk
memasukkan kaos ke dalam high fashion .
[4] Bagaimana pesan dalam kaos sampai ke pembaca/penonton adalah persoalan lain lagi.
Untuk bisa dikatakan berhasil, klaim atas status atau identitas dalam pesan membutuhkan
legitimasi dari pembaca/pentonton. Adalah tidak mungkin membuat interpretasi atasnya hanya
berdasar pada kaos itu sendiri (klaim pemakainya). Setiap pesan dalam kaos sebenarnya
sangat samar-samar ( equivocal ) dan pembaca/penonton mungkin tidak percaya dengan
pesan-pesan itu. Bisa diselidiki lagi, apakah kaos bisa dijadikan alat manipulasi simbol status?
(seperti kaos "Karl Marx, Since 1867" dalam pameran ini atau kaos-kaos bergambar Che
Guevara), apa yang diklaim dan siapa yang mengklaim? Dengan kata lain, tanda ( sign ) dan
41
Ajidarma, Seno Gumira, 2001, "Djokdja Tertawa, Disain Kaos Oblong DAGADU",
Bernas , 12 Januari 2001.
Cullum-Swan, Betsy dan P.K. Manning, 1990, "Codes, Chronotypes and Everyday
Objects", makalah disampaikan dalam konferensi The Socio-semiotics of objects: the
role of artifacts in social symbolic process, 20-22 Juni 1990, University of Toronto.
Tersediadi: http://sun.soci.niu.edu/~sssi/papers/pkm1.txt
Eco, Umberto, 1979, Theory of Semiotics , Indiana: University of Indiana Press.
Hebdige, Dick, 1999 (1979), Subculture, The Meaning of Style , London & New York:
Routledge.
McRobbie, Angela, 1999, In the Culture Society, Art, Fashion and Popular Music ,
London & New York: Routledge.
Rojek, Chris, 2000, "Leisure and rich today: Veblen"s thesis after a century", Leisure
Studies 19 (2000), hal. 1-15.
T-Shirt King, "History of American T-Shirt". Tersedia di: http://www.tshirtking.net/history_of_t-shirts.html
Makalah ini disampaikan sebagai pengantar diskusi "Art on T-Shirt", Bentara Budaya
Yogyakarta, 13 Januari 2001. Versi pendek tulisan initermuat di KOMPAS, 28 Januari 2001.
Dalam ilmu-ilmu sosial, studi atas remaja pertama kali dilakukan oleh
sosiolog Talcott Parsons pada awal 1940-an. Berbeda dengan anggapan
umum bahwa remaja adalah kategori yang bersifat alamiah dan dibatasi
secara biologis oleh usia, menurut Parsons remaja adalah sebuah sebuah
konstruksi sosial yang terus-menerus berubah sesuai dengan waktu dan
tempat (Barker 2000).
Para pemikir kajian budaya juga berpendapat konsep remaja bukanlah
sebuah kategori biologis yang bermakna universal dan tetap. Remaja,
42
sebagai usia dan sebagai masa transisi, tidak mempunyai karakteristikkarakteristik umum. Karena itu pertanyaan-pertanyaan yang akan selalu
muncul adalah: secara biologis, kapan masa remaja dimulai dan berakhir?
Apakah semua orang yang berumur 17 tahun sama secara biologis dan
secara kultural? Kenapa remaja di Jakarta, Singapura, dan London tampak
berbeda? dsb.
Remaja adalah sebuah konsep yang bersifat ambigu. Kadang bersifat legal
dan kadang tidak. Di Indonesia misalnya, ukuran kapan seseorang boleh
mulai melakukan hubungan seks, ukuran kapan seseorang boleh menikah,
dan ukuran kapan seseorang boleh berpartisipasi dalam Pemilihan Umum
sangatlah berbeda. Dalam studinya tentang batas-batas kedewasaan di
Inggris, A. James (1986) mengatakan bahwa batas usia fisik telah diperluas
sebagai batas definisi dan batas kontrol sosial. Sementara bagi Grossberg
(1992) yang menjadi persoalan adalah bagaimana kategori remaja yang
ambigu itu diartikulasikan dalam wacana-wacana lain, misalnya musik,
gaya, kekuasaan, harapan, masa depan dsb. Jika orang-orang dewasa
melihat masa remaja sebagai masa transisi, menurut Grossberg remaja
justru menganggap posisi ini sebagai sebuah keistimewaan dimana mereka
mengalami sebuah perasaan yang berbeda, termasuk di dalamnya hak
untuk menolak melakukan rutinitas keseharian yang dianggap
membosankan.
Hampir sama dengan pendapat itu, Dick Hebdige dalam Hiding in the Light
(1988) menyatakan bahwa remaja telah dikonstruksikan dalam wacana
"masalah" dan "kesenangan" (remaja sebagai pembuat masalah dan
remaja yang hanya gemar bersenang-senang). Misalnya, dalam kelompok
pendukung sepakbola dan geng-geng, remaja selalu diasosiasikan dengan
kejahatan dan kerusuhan. Di pihak lain, remaja juga direpresentasikan
sebagai masa penuh kesenangan, dimana orang bisa bergaya dan
menikmati banyak aktivitas waktu luang.
Remaja sebagai Subkultur
Secara khusus, dalam studinya tentang remaja, kajian budaya membuat
sebuah konsep analisis tentang subkultur. Kata kultur dalam subkultur
menunjuk pada "keseluruhan cara hidup" atau "sebuah peta makna" yang
memungkinkan dunia bisa dimengerti oleh anggota-anggotanya. Kata sub
mengkonotasikan kekhususan dan perbedaan dari kebudayaan yang
dominan atau mainstream. Thornton mengatakan bahwa subkultur bisa
juga dilihat sebagai sebuah ruang dimana "kebudayaan yang menyimpang"
43
Kritik keras juga datang dari anggota CCCS sendiri, Angela McRobbie.
Perhatiannya adalah pada tidak adanya perempuan dalam karya-karya
tentang gaya dan remaja. Dalam "Girls and Subculture", yang dimuat dalam
Resistance Through Rituals , ia (dan Jenny Garber) mengeksplorasi
pertanyaan-pertanyaan tentang ketiadaan perempuan ini, apakah subkultur
perempuan itu benar-benar ada, tetapi tidak tampak? Jika ia ada dan
tampak, apakah nilai-nilainya sama, tetapi lebih marjinal dari laki-laki,
ataukah sama sekali berbeda? Dengan cara apa perempuan
45
46
Mcdonaldisasi
Oleh ANTARIKSA
juga mengetahui bahwa apa yang kita pesan minggu depan atau tahun
depan akan identik dengan apa yang kita makan hari ini. Mengetahui
bahwa McDonald's tidak menawarkan kejutan adalah sebuah kenyaman
besar, bahwa makanan yang kita makan dalam satu waktu atau satu
tempat pasti akan identik dengan yang akan kita makan di waktu dan
tempat yang lain. Kita tahu bahwa Big Mac berikutnya yang kita makan
tidak akan tidak enak, tidak ada pengecualian bagi kelezatan, semuanya
pasti akan lezat dan enak. Kesuksesan McDonald's mengindikasikan
bahwa banyak orang lebih senang dengan sebuah dunia tanpa kejutan.
Keempat, McDonald's menawarkan kontrol, terutama penggantian pekerja
manusia dengan mesin. Orang-orang yang bekerja di restoran cepat saji
dilatih untuk melakukan hal-hal yang sangat terbatas dengan sangat tepat
seperti yang diperintahkan. Manajer harus mendapat kepastian bahwa
semuanya bekerja pada jalurnya. Orang yang makan di di restoran cepat
saji juga terkontrol, meskipun secara tidak langsung. Aturan-aturan, menu
terbatas, pilihan terbatas, kursi yang tidak nyaman, semuanya
mengarahkan acara makan seperti yang diinginkan oleh manajemen:
makan cepat dan pergi.
McDonald's juga mengontrol orang dengan mengganti pekerja manusia
dengan mesin. Pekerja manusia, betapapun terlatihnya mereka, masih
dapat berbuat kesalahan yang akan mengacaukan sistem. Pekerja yang
kurang tangkas juga membuat pemasakan dan pengantaran Big Mac
menjadi tidak efisien. Pekerja yang lainnya juga bisa saja kelupaan
menambahkan saus khusus untuk hamburger, yang membuatnya menjadi
tak terprediksi. Yang lain lagi bisa saja memasukkan kentang terlalu banyak
ke dalam kotak, sehingga sajian kentang menjadi jelek dan kedodoran.
Dengan banyak alasan lain, McDonald's mengganti manusia dengan
mesin, seperti soft-drink dispenser yang akan berhenti secara otomatis
begitu gelas penuh, mesin penggoreng kentang yang akan berbunyi begitu
kentang renyah, mesin pembayaran yang terprogram yang membuat kasir
meminimalkan penjumlahan, dan yang segera menyusul adalah robot
pembuat hamberger. Semua teknologi ini menjanjikan kerja yang lebih
terkontrol di restoran cepat saji.
Irasionalitas Masyarakat Rasional
Prisip-prinsip McDonald's adalah komponen dasar sistem masyarakat
modern yang rasional. Ritzer menunjukkan bagaimana sistem yang
rasional ini sebenarnya penuh dengan irasionalitas.
48
Glokalisasi
Oleh M. SHOLAHUDDIN
Ide globalisasi ditemukan dalam jurnal-jurnal bisnis pada akhir 1960-an dan
awal 1970-an. Ide ini diyakini akan membawa manusia berada pada era di
mana kehidupan sosial ditentukan oleh proses global, zaman di mana
garis-garis batas budaya nasional, ekonomi nasional dan wilayah nasional
semakin tidak ada. Globalisasi memang sangat erat kaitannya dengan
ekonomi internasional, yang memberi pengaruh besar pada kebudayaan
dan gaya hidup. Salah satu konsep yang turut berkembang bersama
globalisasi adalah glokalisasi.
Di ranah kajian budaya glokalisasi berarti munculnya intepretasi produkproduk global dalam konteks lokal yang dilakukan oleh masyarakat dalam
berbagai wilayah budaya. Interpretasi lokal masyarakat tersebut kemudian
juga membuka kemungkinan adanya pergesaran makna atas nilai budaya
dari satu tempat ke tempat lain. Contoh yang paling gampang adalah,
bagaimana restoran siap saji di Amerika atau Eropa masuk dalam golongan
restoran junk-food yang dikonsumsi oleh kelas pekerja atau pelajar, di
Indonesia hadir sebagai tempat yang elit dan eksklusif. Itu artinya, ada
interpretasi dan cara pandang berbeda dari masyarakar Indonesia dan
Amerika/Eropa dalam mengkonsumsi makanan siap saji.
Salah satu medium yang digunakan dalam proses glokalisasi adalah
bahasa. Bahasa mampu mendekatkan emosi hingga produk global terasa
lokal. Sebuah tayangan telenovela Amerika latin yang membuat ibu-ibu
Indonesia setia menonton tidak berarti para ibu itu tertarik dengan budaya
Amerika Latin. Tetapi sebenarnya sebagian besar telenovela itu
mengandalkan konflik keseharian manusia, dari perebutan warisan,
perselingkuhan, hingga persaingan bisnis.
Tahun 1996 pemerintah Indonesia pernah mengeluarkan peraturan agar
meng-Indonesiakan istilah-istilah asing. Coca-cola, misalnya, harus
mengubah slogan Always, menjadi Selalu. Atau film-film berbahasa asing
harus didubbing ke dalam bahasa Indonesia. Ini justru mempercepat
sosialisasi produk global di pasar Indonesia. McDonald pernah
mengeluarkan produk-produk yang nuansa lokalnya sangat kental,
misalnya McSatay, McRendang atau Bubur Ayam McD.
Termuat di Newsletter KUNCI No. 11, Februari 2002.
Pada suatu senja cerah di sebuah warung makan tepi selokan Mataram
Yogyakarta, segerombolan anak muda tampak ribut mengobrol. Dandanan
mereka seperti layaknya anak metropolis. Yang cewek berkaos ketat
lengan mepet hingga seluruh ubuhnya tampak penuh sementara para
cowoknya pakai jeans dengan berbagai asesori. Sambil ngobrol, mereka
menikmati ayam goreng. Warung itu secara geografis tidak istimewa.
Namun penampilan warna telah membedakannya dengan warung makan
50
Yogya pada umumnya. Dinding warung itu dicat kuning berbaur merah.
Lampunya juga terang benderang seperti mall. Di depan warung itu
terpampang board cukup mencolok: Kentuku Fried Chicken.
Beberapa waktu terakhir, Yogyakarta disemarakkan dengan hadirnya
rumah makan (tepatnya warung makan) khusus ayam goreng. Namanya
lucu-lucu dan bermacam-macam. Ada Yogya Fried Chicken, Kentuku Fried
Chicken, dll Warung itu bisa hadir di mana-mana. Bisa di tepi jalan besar
atau juga menjorok masuk kampung. Kalau diamati, secara simbolik
perilaku mereka mengacu pada satu tema yaitu franchise ayam goreng
Amerika semacam McDonald atau Kentucky Fried Chicken. Lihat saja
bagaimana mereka memilih nama warung yang cenderung memlesetkan
perusahaan asing sampai bagaimana mereka mendesain tempat dan
memilih warna. Warna warung biasanya warna cerah didominasi merah,
biru cerah dan kuning : warna Amerika. Tampilan ayam gorengnya sepintas
sama dengan ayam goreng impor. Daging ayam itu digoreng garing dengan
selimut tepung.
Kira-kira delapan tahun lalu, saat masyarakat terkena demam sepeda
gunung ala Amerika, orang Yogya malah ramai-ramai berburu sepeda unta
dari Prambanan dan Gunung Kidul kemudian menyulapnya menjadi sepeda
'kota' berwarna metalik cerah seperti sepeda gunung. Biasanya pada
malam Minggu, rombongan sepeda itu akan memenuhi jalanan utama
Yogyakarta. Tak ketinggalan para pengendaranya menyertakan seragam
kain sorjan lurik Pasar Beringharjo dan helm mandor jaman Belanda.
Dengan penuh percaya diri mereka membunyikan bel sepanjang jalan
sambil tertawa ramai-ramai.
Dari dua fakta menarik itu, saya sejenak menjadi tidak mengidolakan
Gramsci dan bertanya: Benarkah hegemoni ada? Saat membaca Selection
from the Prisoner's Notebooks (1979) tiga tahun lalu, saya terkesima pada
halaman 21 saat Antonio Gramsci mengulas dengan terang bagaimana
hegemoni bisa terjadi saat instrumen koersif dan instrumen ideologis sudah
dipegang penguasa. Apalagi saat Joseph V. Femia lewat Gramsci's
Political Thought (1981) semakin memperjelas pikiran Gramsci yang agak
rumit itu, saya menjadi semakin terkesan pada konsep aktivis partai
komunis asal Sardinia itu. Ditambah lagi saat beberapa pemikir cultural
studies mencangkok ide hegemoni dalam konteks kebudayaan modern
dalam relasinya dengan kapitalisme, konsep hegemoni yang semula lebih
condong pada konteks politik militeristis (Italia) menjadi lebih kaya dan
tajam setelah dikontekstualisasikan dengan kuasa modal.
51
52
dilihat dinamika budaya yang tidak sefrontal itu. Saat musik rap Amerika
menjalar ke seluruh negeri, orang Indonesia khawatir musik domestik akan
hilang. Namun apa yang terjadi. Tidak dalam rangka menentang rap, Iwa K.
malah melakukan terobosan dengan membuat rap dalam lirik bahasa
Indonesia. Begitu juga saat banyak orang Jawa khawatir pada serbuan
musik pop, Jadug Ferianto dan Manthous malah membuat gamelan dalam
tangga nada diatonis, tidak lagi pentatonis. Dalam struktur diatonis, lagu
apapun dari negeri manapun akan bisa dibawakan dalam timbre gamelan
yang khas Jawa. Belakangan kedua tokoh Yogya itu menjadi tersohor
karena mampu mengahdirkan musik pop Jawa yang sinkretik dengan
Barat. Eddy Kempot dari Solo yang punya paradigma serupa bahkan
tersohor di Suriname. Kasus ayam goreng Yogya, sepeda onthel, kaos
oblong Yogya juga ada dalam kerangka alur yang sama. Orang-orang itu
bukanlah tokoh revolusioner dalam impian Gramsci yang akan menentang
segala bentuk ofensi. Mereka hanya memadukan segala unsur, dan itulah
realitas politik kebudayaan pada umumnya. Ekspresi kebudayaan tidak bisa
disederhanakan ke dalam kotak apa pun termasuk kelas. Bahwa perspektif
kelas bisa membantu melakukan analisis itu benar. Namun
menggantungkan analisis hanya pada satu instrumen kelas saja akan
sangat reduksionis dan dangkal. Kadang ekspresi tidak butuh ideologi.
Estetika bisa saja menjadi determinan.
Nah, lalu di manakah posisi media dalam konstelasi ini ? Menurut
paradigma hegemonian, media massa adalah alat penguasa untuk
menciptakan reproduksi ketaatan. Media massa seperti halnya lembaga
sosial lain seperti sekolah dan rumah sakit dipandang sebagai sarana
ampuh dalam mereproduksi dan merawat ketaatan publik. Benarkah media
massa hanya bersifat satu arah melayani kepentingan ekonomi ? Tidak.
Bahkan istilah media mungkin perlu digeser menjadi mediasi karena di
sanalah segala macam simbol dari berbagai latar identitas budaya bisa
saling bertemu. Hasil interaksi antar simbol itu akan bersintesis dan
menemukan bentuk ekspresi baru. Bentuk baru itu ada dalam spektrum
yang amat luas dan tidak melulu hegemonik. Contoh-contoh di atas adalah
buktinya. Mediasi terasa lebih kaya dan jernih dibanding hegemoni. Namun
perlu dicatat, seluruh ekspresi itu tidak bisa lepas dari jual beli.
Termuat di Newsletter KUNCI No. 8, September 2000
54
Inkorporasi/Komodifikasi
Oleh ANTARIKSA
Komodifikasi
Suatu analisis ideologi atas kebudayaan mendasarkan dirinya pada
pengertian ideologi sebagai proses produksi makna. Ideologi tidak dilihat
sebagai seperangkat ide atau cara berpikir, tepi sebagai kekuatan politik
aktif dalam kebudayaan, tapi dilihat sebagai suatu praktek sosial, sebagai
cara
untuk
membuat
sesuatu
bermakna.
Dua konsep utama dalam analisis ideologi yang akan kita bahas kali ini
adalah inkorporasi dan komodifikasi.
Inkorporasi
Inkorporasi merujuk kepada suatu proses sosial dimana kelas yang
dominan mengambil elemen-elemen kebudayaan kelas subordinat dan
menggunakannya untuk memperkuat status quo. Mula-mula kelas yang
dominan menginkorporasikan sifat-sifat perlawanan kelas subordiat ke
dalam ideologi dominan untuk selanjutnuya menghilangkan sifat-sifat
perlawanan itu.
Kembalinya perilaku generasi '60-an (dalam pakaian, musik, makanan, dan
kesadaran sosial) adalah contoh inkorporasi. Gerakan sosial dekade '60an, mulai dari menentang rasisme, menentang perang Vietnam, dan
demonstrasi mahasiswa anti-pemerintah, semuanya direduksi hanya
kedalam fesyen, gaya musik, dan tren kesadaran lingkungan. Tidak ada
kesadaran bahwa, misalnya, bahwa gerakan itu menyebabkan terbunuhnya
4 mahasiswa oleh tentara dalam sebuah demonstrasi di Unversitas Kent
State (John Fiske: 1990). Perlawanan politik dari dekade itu telah
dileburkan dan diinkorporasikan ke dalam ideologi dominan.
Awalnya rock & roll bagi fansnya juga punya makna perlawanan, tetapi
kemudian diinkorporasikan ke dalam gerakan ekologi dan antipolusi.
Dengan begitu inkorporasi telah menopengi fakta bahwa kapitalisme adalah
penyebab
utama
terjadinya
polusi.
Simaklah juga majalah HAI atau tabloid MUMU yang beberapa kali
menampilkan wawancara atau artikel bertema politik tentang Iwan Fals,
Rage Against the Machine, punk, atau The Doors. Ini juga adalah
inkorparasi untuk memanipulasi fakta bahwa mereka adalah media yang
55
Kapitalisme adalah sebuah sistem yang memproduksi komoditaskomoditas, dan secara natural penciptaan komoditas adalah inti dari
praktek ideologi kapitalisme. Kita memahami keinginan-keinginan dalam
kerangka komoditas-komoditas yang diproduksi berkaitan dengannya. Kita
juga belajar untuk memikirkan masalah-masalah kita dalam kerangka
komoditas-komoditas yang dikonstruksikan dapat memecahkan masalah
kita.
Jadi masalah kematangan dan kedewasaan bagi perempuan misalnya,
telah dikerangkakan dalam term rok kerja, buku masakan, potongan
rambut, kosmetik dsb.; masalah efektivitas dan produktivitas juga telah
dikerangkakan ke dalam term hand/mobile phone, laptop, kartu kredit dsb.
Di koran-koran kita juga melihat bagaimana kesadaran keluarga akan
lingkungan telah dikerangkakan ke dalam konsumsi atas rumah-rumah
mewah di pinggiran kota atau di daerah pengunungan, yang berhalaman
luas, dipenuhi tanaman dsb. Sesungguhnya mereka bukanlah keluarga
yang sadar lingkungan, tetapi keluarga yang komsumtif dan
terkomodifikasi.
Contoh: Che, Si Trendi
Nama Ernesto Che Guevara, disingkat Che, dulu identik dengan
perjuangan gerilya, oposisi radikal, dan gerakan sosialisme revolusioner.
Kata dulu perlu diberi penekanan. Sebab sejak kebangkitannya di awal '90an (ia mati tahun 1967), simbol Che cenderung identik dengan simbol
bintang pop.
Ini adalah contoh yang bagus untuk melihat bagaimana inkorporasi bekerja,
dimana makna figur Che secara revolusioner dibalikkan oleh ideologi yang
dominan, dilemahkan dan diambil kekuatan perlawanannya untuk
keuntungan status quo.
Di negara-negara pro-Amerika (tentu termasuk Indonesia), sebelum tahun
'90-an, simbol Che dikonstruksikan sebagai musuh ideologis negara; ia
dilekatkan dengan kekerasan, revolusi yang brutal dan memakan banyak
korban, gerakan kiri dan komunisme, dan dikaitkan dengan kemiskinan dan
56
Referensi
Ben-David, J. (1991). Scientific Growth: Essays on the Social Organization and
Ethos of Science, Berkeley: University of California Press.
Lenoir, T. (1997). Instituting Science: The Cultural Production of Scientific
Disciplines, Stanford: Stanford University Press.
Merton, R. (1973) The Sociology of Science, Chicago: The University of Chicago
Press.
SULFIKAR AMIR, Mahasiswa program PhD pada Department of Science and Technology
Studies, Rensselaer Polytechnic Institute Troy, NY Amerika Serikat. Email: amirs3@rpi.edu
Nah, di sini kita punya suatu teori, suatu kacamata untuk dapat melihat
identitas kolektif utama dalam abad ke-19 dan ke-20 yaitu identitas
nasional. Dengan mengarahkan perhatian kita ke media cetak, Anderson
juga menunjukkan bahwa identitas nasional itu bukan sesuatu yang
alamiah, yang sudah ada selama-lamanya (seperti sering diutamakan oleh
ideologi-ideologi nasionalis), tetapi merupakan sesuatu yang baru dapat
dibayangkan dengan adanya teknologi cetak sebagai pengedar gagasan
bangsa sekaligus bukti untuk kemungkinannya (tidak ada perbedaan antara
pembaca koran tertentu di Yogya dan di Medan, misalnya; mereka adalah
satu komunitas).
Setelah kita sudah memahami inti teori Anderson mengenai nasionalisme,
saya mau menunjukkan bagaimana teori itu digunakan oleh seorang
ilmuwan lain yang bernama Arjun Appadurai dalam bukunya Modernity at
Large. Cultural Dimensions of Globalization (1996). Antropolog asal India
itu--seperti dapat dilihat dari judul bukunya--bukan hanya tertarik pada
fenomena nasionalisme, melainkan dia mencoba mengerti apa yang
dewasa ini disebut dengan globalisasi budaya, yaitu fenomena kebudayaan
yang tidak terikat kepada negara-bangsa lagi. Meskipun demikian, pikiran
Anderson mengenai nasionalisme tetap berperan penting dalam tulisan
Appadurai. Kenapa? Kita baca dulu apa yang dikatakannya: Appadurai
melihat bahwa dewasa ini dunia media dan teknologi informasi sangat
bervariasi. Selain media cetak ada radio, televisi, film, kaset, video, VCD
hingga internet. Kebanyakan dari media/teknologi yang baru atau relatif
baru itu tidak lagi ditujukan kepada pasar dalam negeri, melainkan mengalir
kepada konsumen/penggunanya yang secara geografis dan/atau politis
hidup berjauhan; atau sebaliknya media/teknologi itu ditemukan dan
digunakan oleh orang yang pada awalnya tidak diperkirakan sebagai
pengguna (misalnya di Australia sekarang ada stasiun televisi yang
dikelolah oleh orang Aborigin). Singkat kata: negara tidak lagi merupakan
kerangka utama untuk media.
Setelah pengamatan itu yang sudah "dibimbing" oleh pikiran Anderson,
Appadurai melakukan langkah berikutnya dalam jalur yang sama dengan
bertanya: kalau dulu media cetak mendukung identitas nasional, identitasidentitas apa yang didukung oleh media yang berperan global dewasa ini?
Kemudian Appadurai menunjuk pada beberapa contoh dimana akibat
media global terlihat: teroris berpakaian seperti Silvester Stallone dalam
film Hollywoodnya yang berjudul Rambo; ibu rumah tangga nonton
telenovela yang selalu membahas linkungan sosial utamanya yaitu
"keluarga"; dan dalam pertemuan keluarga Muslim orang mendengarkan
kaset dakwah dari seorang ulama yang tak pernah datang ke negerinya.
Contohnya masih banyak lagi (dan Appadurai bukan hanya tertarik kepada
62
sejak awal saya ingin berterus terang bahwa apa yang saja sajikan masih
menyentuh bagian-bagian pinggirnya saja. Subjek yang saya pilih dalam
percakapan kali ini adalah kehidupan sebagian kalangan anak muda yang
berada di jalanan. Dalam kata lain, melihat kehidupan anak muda di jalan
sebagai satu subkultur.
Sebuah subkultur selalu hadir dalam ruang dan waktu tertentu, ia bukanlah
satu gejala yang lahir begitu saja. Kehadirannya akan saling kait mengkait
dengan peristiwa-peristiwa lain yang menjadi konteksnya. Untuk
memudahkan kita memahami gagAsan mengenai subkultur anak muda
jalanan, maka saya akan memulai dengan satu upaya membuat peta
antara hubungan anak muda dan orang tua serta kultur dominan sebagai
kerangkanya.
Sekurang-kurangnya ada dua pihak yang -berkat dukungan modal yang
melekat pada dirinya- berupaya mengontrol kehidupan kaum muda, yaitu
negara dan industri berskala besar. Di Indonesia, pihak pertama yaitu
negara berupaya mengontrol kehidupan anak muda melalui keluarga.
Keluarga dijadikan agen oleh negara untuk sebagai saluran untuk
melanggengkan kekuasaan.
Melalui UU No. 10/1992 diambil satu keputusan yang menjadikan keluarga
sebagai alat untuk mensukseskan pembangunan. Keluarga tidak hanya
dipandang hanya memiliki fungsi reproduktif dan sosial melainkan juga
fungsi ekonomi produktif. Pengambilan keputusan keluarga dijadikan alat
untuk mensukseskan pembangunan pada gilirannya membawa perubahan
pada posisi anak-anak da.n kaum muda dalam masyarakat.
Anak-anak dan kaum muda dipandang sebagai satu aset nasional yang
berharga. Oleh karena itu investasi untuk menghasilkan peningkatan modal
manusia (human capital) harus sudah disiapkan sejak sedini mungkin.
Dalam hal tugas orang dewasa adalah melakukan penyiapan-peyiapan
agar seorang anak bisa melalui masa transisinya menuju dewasa.
Akibatnya ada pemisahan yang jelas antara masa anak-anak dan masa
muda dengan masa dewasa. Adalah tugas orang tua untuk memberikan
pemenuhan gizi yang dibutuhkan, mengirim ke sekolah sebagai bagian dari
penyiapan masa transisi.
Saya Shiraishi (1995) yang banyak mengamati kehidupan keluasga dan
masa kanak-kanak dalam masyarakat Indonesia mutakhir mengatakan
bahwa implikasi lebih lanjut dari gagasan keluarga modern itu pada
akhirnya menempatkan anak-anak sepenuhnya dibawah kontrol orang tua.
64
Orang tua menjadi kuatir bila anaknya tidak mampu melewati masa transisi
dengan baik, misalnya putus sekolah, dan akan terlempar menjadi kaum
"TUNA" (tuna wisma, tuna susila dan tuna lainnya), kaum yang
kehidupannya ada di jalanan. Kekuatiran ini bisa dilihat secara jelas dengan
streotipe mengenai kehidupanjalanan sebagai kehidupan "liar". Bukanlah
satu hal yang mengada-ada bila kemudian para. orang tua lebih memilih
untuk memperpanjang proteksi anak-anaknya untuk berada di dalam rumah
sebab lingkungan di luar rumah dianggap sebagai"liar" dan mengancam
masa depan anaknya. Pilihan untuk memperpanjang masa proteksi anakanak inilah yang kemudian ditangkap sebagai peluang dagang oleh para
pengusaha. Belakangan ini dengan mudah kita bisa melihat berbagai
produk atau media untuk membantu penyiapan masa transisi anak-anak.
Program televisi yang jelas menggunakan kata (televisi) PENDIDIKAN
INDONESIA adalah salah satu contoh terbaiknya. Selain itu berbagai
media cetak juga mengeluarkan berbagai produk bagaimana menyiapkan
anak secara "baik dan benar" dalam rangka pengembangan sumber daya
pembangunan. Para orang tua pada. gilirannya akan lebih mengacu pada
berbagai media itu sendiri dibandingkan pada peristiwa sehari-hari yang
dialami oleh anaknya.
Cara membesarkan anak yang diimajinasikan oleh negara dan pemilik
modal inilah yang kemudian menjadi wacana penguasa (master discourse)
untuk anak-anak Indonesia. Ia digunakan sebagai alat untuk menilai
kehidupan keseluruhan anak dan kaum muda di Indonesia. Hasilnya seperti
yang ditunjukkan Murray (1994) adalah mitos kaum marjinal: yang dari
sudut pandang orang luar menggambarkan orang-orang ini sebagai massa
marjinal yang melimpah ruah jumlahnya dengan budaya kemiskinan dan
sebagai lingkungan liar, kejam dan kotor ... sumber pelacuran, kejahatan
dan ketidakamanan. Murray tidaklah sendirian dalam memberikan adanya
dikotomi rumah dan jalan. Studi Siegel (1986), Saya Shiraishi (1990) dan
Jerat Budaya (1998) menunjukkan temuan yang sama. Studi Marquez (
1998) mengenai kaum muda jalanan di Caracas menunjukkan bahwa anak
muda itu tidak secara pasif menerima begitu saja pandangan negatif dari
luar. Jalan raya bukanlah sekedar tempat untuk bertahan hidup. Bagi kaum
muda tersebut jalanan juga arena untuk menciptakan satu organisasi
sosial, akumulasi pengetahuan dan rumusan strategi untuk keberadaaan
eksistensinya. Artinya ia juga berupaya melakukan penghindaran atau
melawan pengontrolan dari pihak lain.
Bertolak dari gambaran sekilas di atas, saya akan menempatkan
percakapan mengenai subkultur anak jalanan di Indonesia dalam titik
potong antara dikotomi rumah dan jalan di satu sisi dan orang tua (kaum
dewasa) dengan anak muda di sisi lain. Fokus dari percakapan kali ini
65
Anak-anak mulai memasuki dunia jalanan dengan nama barunya. Anakanak yang berasal dari daerah pedesaan menggganti dengan nama-nama
yang dianggap sebagai nama "modern" yang diambil dari bintang sinotren
atau yang yang biasa didengarnya misalnya dengan anam Andi, Roy dan
semacamnya. Seorang anak yang bernama Mohammad kemudian
mengganti namanya menjadi Roni. Alasan yang diberikan karena
Mohammad adalah nama nabi. Nama itu tidak cocok dengan kehidupan di
jalan. karena yang dilakukan di jalan banyak tindakan haram.
Proses penggantian sebutan itu dengan sendirinya menunjukkan bahwa ia
bukan sekedar pergantian panggilan saja tetapi juga sebagai sarana
menanggalkan masa lalunya. Artinya ia dalah bagian dari proses untuk
memasuki satu dunia (tafsir) baru. Sebuah kehidupan yang merupakan
konstruksi dari pengalaman sehari-hari di jalan.
Corak Mode Kehidupan Menolak Tetap (Anak) Kecil
Anak jalanan menggunakan tubuhnya sendiri sebagai sarana. untuk
ekspresi diri sekaligus sub-versi. Pada tingkat permukaan ditunjukkan
perbedaan-perbedaan oleh mereka sekaligus menegaskan pertentangan
dengan negara dan masyarakat sekitarnya (lihat Hebdige, 1979). Tubuh
dijadikan sumber produksi dan aktivitas komunikasi dan menjadi lokasi
pengetahuan yang krusial bagi komunitas dan hal ini membantu
tewrjadinya produksi makna bagi kelompoknya. Melalui pencarian dan
tingkah laku yang berbeda itu secara sengaja anak jalanan menolak dan
mengejutkan kultur dominannya dengan mensub-versi nilai-nilai utamanya.
Ketika mulai tumbuh lebih besar, menampilkan nilai-nilai kejantanan
merupakan aspek yang vital bagi anak-anak jalanan. Mereka secara teratur
mulai
berpartisipasi
menyusun
konstruksi
kejantanan
dengan
mendiskusikan berbagai peran yang dilakukan oleh anak lain serta
mengomentari penampilarmya. Meski secara sosial mereka dikategorikan
sebagai anak (kecil), hampir semuanya mengadopsi bentuk-bentuk
kedewasaan sebagai tanda pembangkanangan dari harapan-harapan yang
ditentukan oleh masyarakat. Mereka memainkan peran yang selama ini
dijalankan oleh kaum dewasa yang ada di sekitarnya, menenggak minuman
keras, ngepil, judi serta menggemari free sex. Kebiasaan-kebiasaan yang
dianggap tidak cocok untuk dilakukan oleh anak justru dianggap mampu
membuat mereka merasa tumbuh dewasa dan menjadi jantan.
Judi, misalnya, merupakan permainan yang populer, meski dianggap ilegal
dan dimainkan di tempat-tempat tersembunyi. Rata-rata mereka mengaku
67
69
70
Artikel ini dipresentasikan pada Diskusi dan Pemutaran Video "Subkultur Remaja:
Underground, Skuter, PlayStation", KUNCI Cultural Studies Center - Lembaga Indonesia
Perancis, Yogyakarta, 5 Mei 2000.
Demikian petikannya:
Aku berasal dari kelas menengah kota, terdidik dan keluarga muslim taat.
Keluargaku memahami agama secara kritis. Pemahaman kritis itu
berseberangan dengan konsep agama puritan yang selalu menempatkan
perempuan dalam posisi subordinat.
Ketika kecil aku bercita-cita menjadi nabi. Waktu kecil aku suka sekali
berpakaian laki-laki. Teman mainku sering meledekku,"...pasti perempuan
gak bisa...", tetapi malah itu menjadi tantangan buatku.
Tetapi begitu semakin dewasa ketegangan bahwa perempuan dewasa
harus mengikuti norma semakin ketat, dan sampai sekarang pun
ketegangan itu masih terasa.
Perempuan harus kawin! Norma itu melekat kuat di masyarakat, dan itu
konflik spesifik pada perempuan usia 30-an. Aku selalu ingin menjadi diriku
sendiri, aku sebenarnya tidak ingin membuat lingkunganku resah, tetapi
aku juga harus selalu jujur pada diriku sendiri. Apapun resikonya!
Dan aku tahu ketika memutuskan ikatan dengan norma kultur itu, maka aku
akan sendirian. Dan itu berat.
Lalu aku masuk seni rupa, meskipun orang tuaku tidak setuju, tetapi itu
sudah menjadi jalanku. Di akademi seni rupa pun, aku merasakan kultur
patriarkis, dosennya mayoritas laki-laki. Aku pikir ini adalah cermin dari
masyarakatku.
Aku juga merasakan di ruang kuliah pun ada diskriminasi halus, "Ah...mana
ada sih seniman perempuan yang berhasil...", itu yang membuatku
berambisi untuk mengubah pendapat itu. Mungkin karena itu orang
mengatakan bahwa aku ini perempuan yang ambisius...
Tetapi aku juga sadar, akan sulit menemukan orang-orang yang bisa
kuajak komunikasi. Untuk itulah aku menulis, mengeluarkan apa yang
mendesak yang ada dalam perasaanku. Kemudian aku juga menemukan
berbicara dengan orang asing, orang jalanan ngomongnya lebih enak, lebih
bebas. Itu mungkin karena mereka nggak mriyayi, lebih egaliter. Sedang
pada kelasku lebih banyak aturan yang tidak transparan dan tidak bisa
dipertanyakan secara terbuka.
73
Pada level kelas menengah, wacana perubahan itu lebih cepat tercerap,
tetapi di level bawah lebih cepat mengakomodir. Karena mereka lebih
dinamis, "perasaan aman kelas menengah mapan" tidak ada pada mereka.
Jadi mereka lebih bersifat nothing to loose.
Permasalahan gender, atau katakanlah penyejajaran posisi, baru bisa
dilakukan dengan beberapa syarat: pembongkaran dominasi laki-laki
terhadap perempuan, keterbukaan politik, dan tentu saja perubahan politik.
Aku pikir untuk mensosialisasikan ide-ide perubahan itu harus dimulai dari
kelas bawah. Kelas menengah, seperti apa yang aku katakana tadi,
terlampau konservatif untuk melakukan perubahan. Dan itu bukan terjadi
begitu saja. Sesuatu harus dilakukan!
Persoalan gender dan agama itu terletak antara lain pada monopoli
penafsiran oleh sedikit orang (yang kebanyakan laki-laki). Untuk melakukan
pembongkaran diperlukan usaha untuk melakukan desakralisasi, tidak saja
melalui seni tetapi juga lewat pendekatan sosial.
Kebanyakan pemikir perempuan berasal dari kelas menengah yang di
Indonesia secara kelas masih bermasalah. Kelas menengah punya
kekuatan untuk bergerak, untuk melakukan mobilisasi, tetapi kelas
menengah juga menciptakan hirarki baru, dan ini bisa berasal dari tinggalan
masa lalu cuma dalam bentuk berbeda. Jadi disamping melakukan
penyadaran ke kelas lain, mereka seharusnya melakukan juga penyadaran
pada kelas mereka sendiri. Katakanlah sebagai cara untuk mengurangi
arogansi kelas itu.
Tetapi proses penyadaran, atau kalau aku sebut juga penelanjangan diri
pada kelas menengah jauh lebih sulit, sehingga itu mungkin menyebabkan
mereka melakukan penelanjangan pada kelas lain. Sebagai seniman, aku
menggunakan seniku dengan melihat sasaran yang ingin aku tuju: pada
kelas menengah aku akan banyak menggunaan teori, sedang kelas yang
lain aku menggunakan cara berbeda.
Dalam proses pembuatan karya aku lebih cenderung melihat persoalan
secara riil dan manusiawi. Tetapi aku tetap menjaga kesadaranku bahwa
aku seorang perempuan, karena bagaimanapun kebudayaan itu
"berkelamin".
Secara umum aku mengembangkan sebuah mode of communication, aku
tidak hanya berpikir secara logis dan rasional saja. Aku mengistilahkan
74
an. Artinya mereka memasuki perguruan tinggi pada tahun 2000 atau 2001.
Reformasi sudah lama lewat. Gaung gerakan mahasiswa yang dulu pernah
begitu kencang terasa diantara ruang-ruang kuliah dan kota Yogyakarta-dan jadi penanda penting kedudukan kaum muda Indonesia--hanya pada
beberapa tahun sebelumnya (1997-1998), mungkin kini hanya mereka baca
dari guntingan kliping koran, buku-buku, atau mendengar cerita-cerita
orang. Pameran ini sendiri diikuti oleh 7 orang perempuan muda: Dessy
Sahara Angelina (Ina), Amriana (Amri), Yuli Andari Merdikaningtyas
(Andari), Reska Andini (Reska), Margaretta (Rere), Made Primaswari
(Prima), dan Anastasia Dessy (Anas).
Dari semua peserta residensi dan pameran tersebut, hanya Amri yang
mempunyai pendidikan formal fotografi (ISI Yogyakarta), sementara yang
lain tidak pernah mendapat pendidikan formal maupun non formal dalam
bidang fotografi. Pada tahap ini memang soal kamera jenis apa yang
digunakan dan persoalan kemahiran teknis fotografi tidak jadi masalah
besar, karena yang penting adalah bagaimana sebuah kamera
dipergunakan untuk merepresentasikan dan membaca dirinya sendiri. Dan
memang persoalan inilah yang menjadi fokus pada awal pelaksanaan
residensi dan pameran tersebut, karena meskipun hampir semua peserta
sudah pernah memegang kamera pocket, tetap saja mereka merasa tidak
yakin apakah dirinya benar-benar mampu memotret dan menghasilkan
sesuatu yang layak disebut "karya seni". Fotografi disini akhirnya
diterjemahkan secara bebas. Poin pentingnya adalah justru bagaimana ia
digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang praktis--dan
akhirnya ideologis, bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan diskursus
seni kontemporer.
Andari bahkan boleh dibilang baru pertama kali memegang kamera digital,
bukan kamera pocket seperti biasanya, yang itupun jarang-jarang
dilakukan, paling kalau ada momen penting dalam keluarga: pesta, ulang
tahun, wisuda, atau piknik. Sehingga ketika pertama kali berkesempatan
memegang kamera digital, dengan segala kemudahannya, ia seperti
mendapat semacam guncangan karena semua menjadi tampak menarik
untuk dipotret. Dan kemungkinan untuk memotret kesehariannya pun
menjadi terbuka lebar. Sebagai latihan memotret, Andari memotret
gantungan celana dalam, bra, handuk, gayung dan aneka perlengkapan
mandi yang berjajar rapi di kamar mandi, poster-poster di kamarnya,
deretan buku di rak kayu, yang ada di rumah kos yang ditempati bersama
40 teman perempuannya yang lain.
Jika melihat karya Rere--kolase dari foto dan guntingan majalah yang
menggambarkan pemain band--dan karya Riska--video mengenai
78
79
menjadi sesuatu yang tidak cukup nyaman untuk didengar atau dilihat.
Awalnya saya berpikir bahwa mungkin ucapan yang keluar dari kelompok
laki-laki--yang tidak mengalami sendiri pengalaman menstruasi--akan
berbeda dari reaksi kelompok perempuan yang melihat karya ini. Tapi
ternyata reaksi kaum perempuan pun berbeda-beda. Meski ada yang
menganggap karya Ina ini sebagai reaksi kejujuran perempuan, tapi saya
juga menjumpai sebagian perempuan peserta pameran ini yang
berpendapat bahwa karya ini membuat mereka malu, dan merasa bahwa
seharusnya hal-hal seperti itu--vagina, menstruasi--tidak sepantasnya
dipamerkan secara luas seperti ini.
Proyek mempertanyakan tubuh yang lain juga ada pada karya Amri dan
Andari. Amri mengajak melihat persoalan tubuh perempuan gendut versus
tubuh perempuan kurus sebagai konstruksi ideal kecantikan seperti yang
selalu ada dalam iklan di majalah dan televisi. Dan meski tidak sejelas Ina
dan Amri, bagi saya proyek memotret buku agenda yang dilakukan Andari
merefleksikan tubuh perempuan dalam versi lain: tubuh perempuan yang
terjadwal rapi dan ketat. Jam 5: bangun, jam 5.30: mencuci baju, jam 7.30:
berangkat kuliah, jam 16: ketemuan sama Mas Nino, jam 20.30: harus
sudah sampai kos, nonton AFI!! .
Kebiasaan menuliskan pengalaman harian, di buku harian atau di buku
agenda yang selanjutnya lebih populer disebut dengan organizer bukan
hanya simbol manusia modern yang menginginkan pengaturan kehidupan
yang serba rapi, terjadwal, efisien, tapi juga bisa dimaknai sebagai
penulisan sejarah personal yang emotif. Dalam esai pendek yang ditulis
Andari dan dipasang di samping seri foto buku agendanya, ia menceritakan
kembali pengalaman teman-temannya mengenai buku agenda yang dimiliki
mereka: "Seorang teman bercerita padaku bahwa jika tiba saatnya untuk
menulis di buku harian, ia akan mengingat kembali apa saja yang sudah
kulakukan seharian. Bila ia sedang kesal, ia akan tuliskan semuanya dalam
diari. Beberapa waktu setelah menulis, bila ia baca kembali buku itu, ia bisa
tersenyum sendiri. Sementara teman lain bernama Wikan menuliskan kisah
keseharian pada lembar-lembar khusus berwarna merah muda yang ada
pada organisernya. Lembar-lembar merah muda ini adalah bagian yang tak
boleh dijamah siapapun. 'Semua campur aduk dalam organiserku. Ada
jadwal kuliah, jadwal marching band dan ada beberapa ungkapan hati
ketika sedih atau senang. Teman-teman sering membuka organiserku tapi
khusus lembar merah muda, tidak boleh,' kata Wikan."
Saya membayangkan beberapa tahun kemudian ketika para pemilik
agenda ini menjalani kehidupan pernikahan, mereka akan mengulangi
kembali ritme jadwal tubuh ketat dan rapi antara keluarga-suami-pekerjaan81
83
Daftar Pustaka
Esai ini pertama kali termuat di Jurnal Mandatori, diterbitkan oleh IRE Yogyakarta, Mei 2005.
anak laki-laki, dan boneka serta bunga untuk anak perempuan. Hal ini
berlanjut juga untuk persoalan perlakuan ayah-ibu terhadap anak-anaknya.
Anak laki-laki diajari untuk bisa membetulkan genteng yang bocor atau
perangkat listrik yang rusak, sementara anak perempuan belajar memasak
dan menyulam. Para orang tua cemas dan gelisah jika anak-anak mereka
tidak bertingkah laku sesuai dengan garis konstruksi sosial yang telah
menetapkan bagaimana seharusnya anak laki-laki dan anak perempuan itu
bertingkah laku.
Hal serupa juga terjadi di institusi sekolah. Buku-buku pelajaran SD, tanpa
disadari bersifat patriarkis. Buku pelajaran bahasa Indonesia misalnya,
sering mengambil contoh-contoh kalimat seperti: Wati Memasak di Dapur,
Budi Bermain Layang-layang, dsb. Kalimat-kalimat kategoris bernada
manipulatif, yang mengkotak-kotakkan fungsi laki-laki dan perempuan
sesuai nilai-nilai kepantasan tertentu yang berlaku di masyarakat:
pekerjaan apa yang lazim dikerjakan anak laki-laki, dan apa yang lazim
dikerjakan oleh anak perempuan.
Kamla Bhasin kemudian menceritakan dalam budaya India, seorang
kenalan laki-laki yang selalu menjadi sasaran ledekan karena ia mendapat
latihan sebagai penari Kathak, suka menjahit dan merajut, yang semuanya
adalah aktivitas feminin, tidak cocok untuk untuk laki-laki sejati.
Dalam beberapa hal sebetulnya laki-laki juga dirugikan oleh patriarki.
Dalam berbagai sistem kebudayaan, seperti juga yang dialami perempuan,
mereka didesak ke berbagai macam stereotipe, dipaksa menjalankan
peranan tertentu, diharuskan bersikap menurut suatu cara tertentu, terlepas
mereka suka atau tidak. Mereka juga diwajibkan untuk menjalankan tugastugas sosial dan lainnya yang mengharuskan mereka berfungsi dalam cara
tertentu. Laki-laki yang sopan dan tidak agresif dilecehkan dan diledek
sebagai banci; laki-laki yang memperlakukan istrinya secara sederajat
dicap "takut istri".
89
90
televisi yang ada, menayangkan serial Oshin . Ia termasuk salah satu serial
Asia yang populer, digemari dan cukup sukses membawa kebudayaan
Jepang ke Indonesia. Setelah itu, menyusul serial Jepang lainnya, Rin .
Kemudian, pada awal '90-an, RCTI--yang merupakan stasiun televisi
swasta pertama--meneruskan tradisi ini dengan menayangkan film atau
serial yang diimpor dari Hongkong dengan bintang-bintang seperti Andy
Lau, Jackie Chan, dsb. Kebanyakan dari film tersebut masuk dalam
golongan film laga yang bercerita tentang kehidupan mafia Triad atau
Yakuza. Ada pula film-film jenis horor yang bahkan hingga kini masih
diputar.
Di pertengahan '90-an, muncullah stasiun televisi Indosiar yang tampaknya
memberikan perhatian lebih pada tayangan Asia. Di masa awal siarannya
Indosiar telah menayangkan melodrama Jepang seperti Tokyo Love Story ,
Long Vacation atau Ordinary People . Selanjutnya, Indosiar juga
menayangkan kisah-kisah silat yang biasanya telah dikenal dulu tokohnya
di Indonesia lewat komik. Sebut saja serial Pendekar Rajawali Sakti (yang
mempopulerkan tokoh Yoko). Hingga awal 2000, kisah-kisah tentang para
pendekar inilah yang mendominasi tayangan Asia. Lalu, tibalah Meteor
Garden ( MG ). Kisah dalam MG berkisar pada percintaan remaja yang
diangkat dari komik Jepang Hana Yori Dango karya Yoko Kamio.
Melodrama ini diproduksi dan dimainkan oleh bintang-bintang Taiwan.
Meski baru diputar beberapa episode, rating MG mencapai 5,1 dan share nya 29,9 artinya 5,1 persen dari total seluruh potensi penonton atau 29,9
dari penonton yang sedang berada di depan televisi pada jam itu. Rating
MG terhitung bagus untuk waktu tayang weekday ( Kompas , 2/6/02)
pemeran cakep, keren, cool dan enak dilihat. Mereka juga tertarik dengan
tema dan alur cerita yang ringan, mudah diikuti dan happy ending:
"Ceritanya ringan dan mudah dicerna. Enak dilihat dan nggak perlu mikir
berat. Biasalah tentang percintaan remaja. Jadi enak saja ngikutinnya", "Ide
cerita MG tidak jauh berbeda dengan sinetron Indonesia yang hanya
'menjual mimpi'", atau "Mirip Cinderella. Kita kan dari kecil sudah diberitahu
tentang Cinderella, happy ending . Mungkin ini yang membuat cewekcewek suka".
Tao Ming Se adalah tokoh yang paling banyak disukai remaja perempuan:
"Dia kaya, badannya bagus, tinggi, tegap, "enak dipeluk", tegas, berpinsip,
setia dan menolak free sex ," "Dia kontradiktif: kurang ajar dan care", tapi
ada juga yang mengatakan, "Karakter seperti itu mungkin hanya ada dalam
komik. Tidak mungkin ada cowok yang kaya, cakep, setia, posesif,
tempramental sekaligus". Sementara yang menyukai Hua Che Lei
beralasan karena tokoh ini bijaksana dan lembut. Dan yang menyukai Xi
Men beralasan karena ia dewasa, setia kawan, baik dan berkacamata.
Perlu dicatat pula, bahwa sejak serial MG ini menjadi favorit, kriteria-kriteria
ketampanan yang selama ini dominan di kalangan remaja perempuan
menjadi bergeser. Wajah-wajah "oriental" ala Asia Timur, kini mulai
mendapatkan tempat, sama posisinya dengan anggota-anggota boyband
yang "sangat Barat". Tampaknya remaja perempuan memproyeksikan
impian mereka atas karakter tertentu yang seharusnya dimiliki seorang
lelaki melalui tokoh-tokoh yang ada, baik secara fisik maupun perilakunya.
***
Kami mencatat dan mengamati suasana, komentar, dan celetukanceletukan selama nonton bareng MG di beberapa tempat (baik di koskosan maupun selama diskusi kelompok terfokus). Kebanyakan komentar
muncul ketika adegan romantis, sedih, lucu dan ketika tokoh-tokohnya
tampil close up. Komentar-komentar "ih, cakep banget", "Keren, ya", "Wah
romatisnya", "Dasar Bodoh" muncul silih berganti. Selain itu ada juga yang
mengikuti Ni Yo Te Ai (lagu tema MG ) oleh Penny Tai atau Qing Fei Te Yi
oleh Harlem Yu. Mereka juga berdiskusi apa yang seharusnya dilakukan
tokoh-tokoh dalam MG ketika menghadapi masalah tertentu. Ketika kami
***
Kebanyakan audiens yang kami teliti mengemukakan alasan yang hampir
sama saat ditanya mengapa menyukai MG , yaitu karena pemeran91
92
Budaya Cewek
Oleh NURAINI JULIASTUTI
***
Dari kajian audiens MG ini, kami melihat bahwa remaja-remaja perempuan
mendapatkan kesempatan untuk mengindentifikasi apa yang mereka alami
dalam kehidupan sehari-hari dengan kisah dalam serial itu. Menurut
mereka, apa yang dialami Sanchai, dalam relasinya dengan Tao Ming Se,
adalah hal yang akrab dengan remaja perempuan. Sesekali dalam aktivitas
menonton itu, mereka berkomentar, "Tuh kan, semua cowok memang
begitu! Mau enaknya aja". Rupanya ada pengalaman personal yang
membuat remaja-remaja perempuan bisa menumpahkan kekesalan pada
laki-laki melalui aktivitas menonton film.
Kami juga melihat bahwa aktivitas menonton saja belumlah cukup. Mereka
juga berusaha menggali lebih jauh informasi yang rinci tentang MG karena
informasi ini membantu mereka untuk bisa berada dalam ruang
pembicaraan yang sama dengan teman-temannya. Dalam 'girl talk'
(pembicaraan remaja perempuan), tema-tema yang sifatnya intim dan
personal (termasuk aktivitas curhat dan gosip tentang selebritis) menjadi
sesuatu yang khas. Dalam aktivitas ini, remaja-remaja perempuan bertukar
informasi tentang berita-berita terbaru yang didapatkan tentang tokoh
tertentu dalam siaran favorit mereka lalu mengidentifikasikannya dengan
kisah yang mereka alami sehari-hari. Bagi remaja perempuan aktivitas
'dalam kamar' ini mendatangkan kesenangan tertentu, yang bisa jadi
kadarnya sama dengan kesenangan yang dilakukan remaja laki-laki saat
nongkrong di pinggir jalan atau menonton konser musik underground .
Mereka menemukan romantisme ideal dalam hubungan cinta dalam film ini,
sesuatu yang sulit mereka temukan dalam kehidupan sehari-hari.
Termuat di Newsletter KUNCI No. 12, Juni 2003.
93
Remaja perempuan juga cenderung tidak dicurigai jika mempunyai temanteman dekat perempuan. Maka tidak heran jika sejak jaman dulu sampai
sekarang, pemandangan seorang remaja perempuan yang berada di
tengah kerumunan kecil kelompok/gang perempuannya selalu dengan
mudah bisa kita temui. Kehidupan kelompok remaja perempuan
dipopulerkan kembali oleh Cinta, Maura, Milly, Alya dan Karmen dalam film
95
96
Ada banyak hal yang membuat perempuan tertarik untuk menonton film
melodrama. Dalam melodrama, cerita-cerita disajikan dalam kerangka
besar yang sama; tentang cinta dan persoalan keluarga, dengan plot yang
berliku-liku. Para tokoh dalam melodrama dianggap mewakili impian kaum
perempuanterutama para ibu rumah tangga karena mereka selalu
ditampilkan dalam keadaan cantik/tampan, dengan busana yang indahindah, dalam rumah-rumah yang megah. Artinya, ketertarikan perempuan
terhadap melodrama disebabkan karena konstruksi-konstruksi atas citra
perempuan yang ditampilkan, yaitu cantik, kaya dan hidup bahagia.
Menurut Partington, dari melodrama ini para penonton belajar bahwa
kecantikan feminin bukanlah sesuatu yang melekat sejak lahir, melainkan
bisa diraih. Pada akhirnya, dengan konstruksi yang diciptakan tersebut,
perempuan justru menemukan ruang untuk melihat feminitas sebagai
sebentuk identitas yang terus berubah ( shifting identity ), bisa dilekatkan
dan dilepaskan kapan saja mereka menginginkannya. Perempuan, melalui
penampilan mewah melodrama juga mendapatkan kesempatan untuk
merasakan aktivitas dan kompetensi konsumsi yang eksklusif.
Kemudian, pada beberapa kasus, terlihat kecenderungan bahwa ada efek
melodrama yang ditampilkan secara berlebihan untuk lebih bisa
memancing emosi para penonton (misalnya adegan sadis dan kejam yang
dilakukan oleh ibu mertua kepada menantu perempuannya). Adeganadegan ini ditampilkan dengan asumsi bahwa perempuan--yang dilekatkan
dengan stereotip emosional--suka dengan adegan-adegan yang
melankolis.
Film melodrama kerap dituding menjual mimpi indah bagi para perempuan
melalui penampilan estetiknya tersebut. Namun tentang hal ini, Geraghty
(1991) mencatat bahwa sesungguhnya para perempuan menjadi dekat
dengan film melodrama karena mereka merasakan bahwa sementara
mereka menyaksikan adegan demi adegan, kisah yang terjadi di dunia
yang hanya fiksi itu kemudian dipararelkan dengan apa yang terjadi dalam
hidup sehari-hari. Menurut Geraghty, pada titik inilah film-film melodrama
menjadi 'dunia tetangga' ( neighbour world ), yang dekat dengan--namun
tidak sungguh-sungguh menjadi bagian dari--kehidupan.
98
Beberapa studi yang dilakukan dalam relasi antara perempuan dengan film
melodrama ini berusaha untuk menjawab pernyataan-pernyataan para
feminis yang kerap menuding film melodrama sebagai bentuk subordinasi
perempuan. Apakah yang terjadi sesungguhnya ketika perempuan mulai
memasuki dunia melodrama? Apakah memang film melodrama telah
memposisikan perempuan sebagai bentuk subordinasi, ataukah justru
ketika memasuki dunia yang identik dengan budaya yang feminin tersebut
perempuan justru dapat diberdayakan?
Salah satu studi yang cukup terkenal adalah yang dilakukan oleh Sonia
Livingstone pada 1988 tentang opera sabun di Inggris. Pada studi ini,
Livingstone menggunakan pendekatan 'penggunaan dan kepuasaan' ( uses
and gratifications ) di mana ia menemukan bahwa kebanyakan responden
yang menonton serial opera sabun di stasiun televisi Inggris menggunakan
aktivitas tersebut sebagai salah satu bentuk eskapisme (pelarian) dari
masalah hidup sehari-hari. Studi lain dilakukan oleh Ien Ang dalam
terhadap para penonton serial Dallas . Ien Ang memulai studinya dengan
99
kultural antara dunia Barat dan dunia Timur maupun antara dunia Utara
dan Selatan. Proses globalisasi itu memang jauh lebih kompleks.
Gramsci menyimpulkan bahwa budaya Barat sangat dominan terhadap
budaya di negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang
terpaksa mengadopsi budaya Barat. Dalam konteks pembangunanisme,
konsep Gramsci memang sangat dekat dengan dasar pemikiran teori
dependensi (Cardoso), termasuk imperialisme struktural (Johan Galtung)
dan imperialisme kultural (Herbert Schiller).
Model-model pembangunan tersebut gagal karena empat faktor: pertama ,
proses diferensiasi di dunia ketiga sendiri, terutama kesuksesan ekonomi
beberapa negara berkembang dengan menggunakan strategi yang
berorientasi pada pasar dunia, justru menentang kesimpulan-kesimpulan
utama teori hegemoni dan dependensi (Rullmann 1996). Kedua , teori-teori
tersebut memanfaatkan sebuah perspektif global dan dengan demikian
tidak menyadari adanya ketidakseimbangan sosial, struktur patrimonial dan
eksploitasi di negara-negara berkembang sendiri (Servaes, 1995). Ketiga ,
teori hegemoni dan dependensi ternyata gagal dalam mengusulkan solusisolusi yang bermanfaat dalam konteks global (ibid). Keempat , referensi
historis yang mengarah kepada masa penjajahan dan hegemoni ekonomi
global sebagai sebab kemacetan perkembangan di sebagian Dunia Ketiga
harus dilihat sebagai hal yang sangat problematis. Perlu kita ingat bahwa
Afghanistan misalnya, yang tidak pernah dijajah oleh negara Barat, sampai
sekarang tetap tidak mampu berkembang, dilihat tidak hanya dari perspektif
model demokrasi Barat.
Bahkan James D. Halloran, salah seorang penasehat komisi MacBride 20
tahun yang lalu, berpendapat bahwa riset terhadap perkembangan di Dunia
Ketiga cenderung justru mempertajam ketergantungan negara-negara
berkembang pada Barat. Lalu dia bertanya, apakah imperialisme kultural
dan imperialisme media diikuti imperialisme penelitian? (Halloran, 1998).
Saya pikir, tidak. Apa gunanya?
Persepsi tentang Antonio Gramsci oleh pakar sosiologi di dunia ketiga yang
sangat positif itu barangkali terjadi karena mereka sering dengan mudah
dan tidak kritis mengadopsi model dan teori sosiologi Barat yang sudah
ketinggalan jaman seperti modernisme, dependensi dan hegemoni. Dengan
demikian, tanggung jawab atas segala kegagalan di Dunia Ketiga bisa
dilempar ke negara-negara maju.
101
Saya sangat setuju dengan yang ditulis R. Kristiawan bahwa media massa
tidak merupakan 'alat penguasa untuk menciptakan reproduksi ketaatan' (
KUNCI 8, 2000). Media massa sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan
merupakan bagian dari masyarakat. Dalam bahasa teori sistem sosial yang
terus menerus dikembangkan di Jerman, fungsi media massa adalah
memungkinkan pengamatan diri masyarakat (Marcinkowski 1993). Fungsi
media massa sebenarnya bukan 'merekonstruksikan realitas sosial',
sebagaimana ditulis oleh Ana Nadhya Abrar, pakar jurnalistik di Universitas
Gadjah Mada (Abrar 1997). Dengan kata lain, media massa merupakan
cermin kebaikan dan keburukan masyarakat, bukan mencerminkan (dalam
arti meng- copy ) keadaan masyarakat. Media di Indonesia maupun di
negara lain sama parahnya dengan keadaan masyarakat.
Tidak ada gunanya kalau kita terus bertanya, kenapa pemberitaan di media
massa begitu parah? Menurut Niklas Luhmann, sosiolog Jerman,
seharusnya kita bertanya, seberapa parah kondisi masyarakat kita sampai
kita membutuhkan cermin media seperti itu? (Luhmann, 1996)
Dalam konteks ini, maka saya tidak sepenuhnya setuju dengan pengertian
Nuraini Juliastuti terhadap media massa dalam kajiannya terhadap majalah
remaja HAI . Dalam tulisannya "Majalah HAI dan 'Boyish Culture'" ( KUNCI
8, 2000) ia hendak menjawab pertanyaan "bagaimana sistem operasi dari
konstruksi budaya dan konstruksi sosial itu bekerja membentuk dominasi
ideologi maskulinitas lewat media massa".
Pertama , pertanyaan tersebut tetap tidak terjawab. Akhirnya, bagaimana
sistem itu sebenarnya beroperasi? Kedua , pertanyaan Nuraini Juliastuti
tampaknya mengandung dua premis pernyataan yang belum terbukti, yaitu
adanya arus informasi yang bersifat satu arah dan adanya dampak media
massa yang cukup berarti terhadap publik.
Sebagian besar pakar cultural studies selama ini masih melihat konsumsi
media massa sebagai proses penciptaan budaya yang berkaitan dengan
kuasa (Ang 1999) dan mengandung bahaya hegemoni Barat (Hepp 1999).
Walaupun demikian, suatu perubahan dalam pengertian cultural studies
terhadap media massa sudah terlihat. Douglas Kellner misalnya menuntut
pendekatan metateoretis dan multiperspektifis dalam menganalisis proses
penyampaian pesan media (Kellner 1999).
Demikian juga pakar-pakar sosiologi yang memanfaatkan potensi teori
sistem sosial pasca-Talcott Parsons. Proses penyampaian pesan dalam
ilmu komunikasi kini dipandang sebagai proses yang dinamis dan
102
Sejarah media selebritis di Indonesia dimulai pada 1929. Pada tahun itu
sudah terbit media yang menyajikan tulisan-tulisan tentang dunia film serta
artis-artis, yaitu Doenia Film. Majalah ini terbit di Jakarta. Setahun
kemudian, nama majalah ini diubah menjadi Doenia Film dan Sport. Pada
tahun 1941 muncul majalah Pertjatoeran Doenia dan Film. Sedangkan
pada 1950-an di Solo muncul majalah Star News. Di kemudian hari,
majalah ini berganti nama menjadi Star News Baru dan Bintang. Dalam
waktu yang bersamaan di Solo juga muncul majalah Film Figoers. Dari
Surabaya, sempat terbit majalah Indian Film , sebuah majalah bulanan
yang khusus mengulas tentang film India. Berikutnya muncul nama-nama
baru majalah khusus film saat itu, antara lain: Berita Industri Film, Kentjana,
Chitra Film, Film Indonesia, Aneka , dan Purnama.
103
104
sebagai pembawa informasi tentang artis-artis musik dan film untuk para
pembaca mudanya.
Menginjak akhir 1990, di Indonesia muncul media-media versi Indonesia
dari media-media luar negeri seperti Cosmopolitan, Harpers Bazaars, Lisa ,
dan sebagainya. Dan mulai 2001 muncul majalah baru: Cosmo Girl. Mediamedia ini akhirnya juga banyak berfungsi sebagai pembawa informasi dunia
selebritis yang lebih luas kepada para pembacanya. Lebih-lebih setelah
MTV bisa dinikmati publik Indonesia lewat Anteve.
***
Konsekuensi dari semakin pesatnya industri hiburan, berikut elemenelemennya termasuk acara-acara infotainment adalah, semakin banyaknya
jumlah artis atau selebritis. Semakin banyak anak-anak muda yang tertarik
untuk bekerja dan memasuki wilayah-wilayah yang selanjutnya nanti lebih
dikenal orang sebagai artis atau selebritis. Jumlah model di Indonesia
semakin bertambah, begitu juga dengan jumlah anak-anak muda yang
berhasrat untuk menjadi penyanyi. Ajang pemilihan model atau putri ayu
adalah pintu masuk strategis untuk memasuki dunia selebritis, karena
begitu seseorang menjadi model, terdapat kemungkinan besar untuk
menjadi bintang iklan, dan selanjutnya menjadi presenter atau main
sinetron. Pemilihan Tiara Sunsilk baru-baru ini misalnya dengan jelas
mengiklankan dirinya sebagai ajang untuk masuk ke dunia baru, untuk
meraih kesempatan dan pengalaman baru. Dunia baru dan kesempatan
baru itu maksudnya gadis-gadis yang terpilih dalam jajaran gadis Sunsilk itu
berpeluang untuk menjadi salah satu pemain dalam dunia hiburan, dan itu
artinya terbuka pula kesempatan untuk tampil di salah satu media selebritis.
Perbedaan media-media selebritis pada masa ketika program-program
acara televisi belum mengalami booming seperti sekarang mungkin hanya
pada figur-figur yang diwawancarai. Dulu mungkin isinya hanya ada artis
penyanyi atau bintang film, tetapi sekarang, halaman-halaman media
tersebut didominasi oleh pemain sinetron, karena produksi film Indonesia
masih terbatas, dan sinetron adalah salah satu program acara dominan di
layar televisi kita saat ini.
Melihat panjangnya sejarah media selebritis di Indonesia, jelas bahwa
obsesi orang terhadap skandal seks, atau berita-berita tentang kehidupan
privat orang lain, bukan hal baru. Mungkin sudah sifat alamiah manusia
yang dasarnya suka mengamati orang lain dan mendengar berita-berita
tentang orang lain. Dan wacana menunjukkan bahwa wacana-wacana
106
tentang selebritis ini--sebutlah misalnya kasus cerai antara Nicky Astria dan
Mamay, cek cok antara Atilla dan Wulan Guritno karena Atilla memergoki
Wulan sedang ada di kamar bersama Nugie, Ferdi Hasan dan Jeremy
Thomas yang masuk rumah sakit karena kecapekan, Dina Lorenza yang
mau menikah, Sarah Sechan yang didahului menikah adiknya, usaha Lusy
Rahmawaty supaya cepat punya anak, atau Nico Siahaan yang baru saja
putus cinta--memang masuk dalam kehidupan kita, para pembaca tabloid
hiburan, para penonton televisi, dan dijadikan obrolan seperti kalau kita
mengobrolkan seorang teman dan saudara saja. Kita tentu pernah
mengalami sendiri suasana obrolan semacam ini: "Eh, ternyata Ulfa jadi
cerai juga ya sama Klaas?", "Eh, kamu tahu nggak, Shanty sudah putus lo
dari Dimas Jayadiningrat?", atau "Tahu nggak, bintang-bintang sinetron
Belahan Hati itu ternyata mantan Gadis-gadis Sunsilk lo. Iya! Pantesan
rambutnya bagus-bagus kan?".
Media selebritis ini akhirnya berposisi sama dengan berita-berita politik
yang setiap hari juga mencekoki kita dan memaksa kita untuk menelan
macam-macam berita tentang aktor-aktor politik dan peristiwa politik terkini.
Berita-berita tentang artis dan selebritis tidak hanya bisa didapat pada
media selebritis saja, tapi juga di media-media lain. Artis atau selebritis
menjadi sumber berita yang dominan bahkan untuk kasus-kasus luas. Artis
diwawancarai soal politik, ekonomi, dan sepak bola. Media-media
perempuan seperti Femina, majalah-majalah remaja atau bahkan majalah
keluarga macam Ayah Bunda atau majalah kesehatan akhirnya bisa
dijadikan rujukan informasi tentang artis a atau artis b, misalnya tentang
gaya hidup kesehatannya, hobinya, atau cara mendidik anaknya.
Formula suatu media tampaknya akan selalu berjalan beriringan dengan
aspek komersialisme, aspek laku-tidaknya suatu media di pasaran.
Formula media-media infotainment dan media-media yang menggunakan
artis sebagai sumber berita utamanya, telah membuktikan kesuksesannya.
Meskipun terdapat pihak-pihak yang menentang dan merendahkan formula
media seperti ini, tapi tampaknya tetap banyak pihak yang akan mengikuti
jejak membuat media selebritis. Dan formula media yang bercerita tentang
selebritis akan tercatat sebagai formula yang sulit dicari bandingannya.
Termuat di Newsletter KUNCI No. 11, Februari 2002.
107
KD di Media
Oleh YULI ANDARI M.
Tulisan ini merupakan hasil studi tentang representasi Kris Dayanti (KD) di
media. Bagaimana sosok KD ditampilkan dan diceritakan oleh media
massa terutama majalah-majalah dan tabloid-tabloid selebriti.
KD mulai hangat diberitakan media massa ketika ia berhasil memenangkan
Grand Championship Asia Bagus 1992. Saat itu ia masih berumur 17 tahun
dan lebih dikenal sebagai adik penyanyi Yuni Shara. Sebagai pendatang
baru, keberhasilan KD masih selalu dikaitkan dengan Yuni Shara yang
lebih dahulu berkiprah sebagai penyanyi. Setelah sukses di Asia Bagus, KD
mulai merekam album solonya Terserah (1995) yang tidak begitu sukses.
Media kembali memberitakan KD ketika ia mulai menjalin kasih dengan
rocker Anang Hermansyah, yang kini menjadi suaminya. Album Cinta
(1996) yang merupakan duet mereka hadir setelah pasangan ini menikah.
Lirik lagu yang romantis maupun tampilan video klip yang mengungkapkan
kemesraan mereka segera diterima masyarakat. Apalagi media
mencitrakan hubungan mereka yang selalu mesra. Penjualan album ini
***
111
112
mencapai 700 ribu keping dan membawa KD menjadi salah satu selebritis
Indonesia yang diperhitungkan.
Cantik dan Seksi
Sebagai selebritis KD sadar betul akan keselebritisannya. Ia tidak bisa
tampil sebagaimana orang kebanyakan. Apapun yang dilakukannya akan
selalu diekspos media. Semua orang akan tahu apa yang terjadi pada
dirinya. KD berusaha selalu menjaga citranya agar tetap tampil cantik,
menarik, pintar dan seksi.
Untuk menjadi cantik, KD mulai bereksperimen dengan penampilannya.
Alis mata ditata rapi dan bibir dipoles lipstik hingga tampak sensual. Media
memang berperan membentuk citra seseorang agar tampil seperti yang
dikehendakinya, dan KD tampil seperti apa yang dikehendaki publik dari
seorang artis karena KD sadar bahwa apa saja yang menempel di
tubuhnya akan selalu diperhatikan dan bisa dijual, sepanjang itu dilakukan
secara profesional.
113
114
Kesan ibu yang baik dan keluarga yang harmonis, seolah ingin diciptakan
media dalam kehidupan seorang selebritis. Media ingin memenuhi harapan
pembaca terhadap selebritis yang merupakan sosok idel bagi mereka.
Media turut menciptakan realitas dan citra seorang selebritis seperti apa
diharapkan pembacanya.
115
116
Tapi, kehadiran Rhoma sama sekali tidak membuat musik dangdut menjadi
terangkat ke lapisan atas masyarakat. Yang berhasil dilakukannya lebih
merupakan revitalisasi dan reaktualisasi musik masa lalu itu ke masa kini.
Tapi, dengan hidup kembalinya musik Melayu, ia justru kemudian
menegaskan stratifikasi sosial yang menajam di dalam masyarakat sebagai
akibat perkembangan teknologi informasi dan ekonomi Orde Baru. Kalau
sebelumnya masyarakat lapisan bawah yang terbentuk sebagai akibat
kebijakan ekonomi dan informasi Orde Baru seakan tidak mempunyai
"corong", sarana kultural dan musikal untuk aktualisasi dan identifikasi diri,
dengan Rhoma Irama, mereka memperoleh hal tersebut. Dengan demikian,
jasa besar Rhoma terletak bukan pada mengangkat musik dangdut ke
strata sosial yang lebih tinggi, melainkan menghidupkan dan
mereaktualisasikan musik Melayu dan memberikan sarana ekspresi dan
identifikasi diri pada masyarakat lapisan bawah.
***
Yang ingin saya katakan adalah bahwa dangdut adalah lagu masyarakat
lapisan bawah dan tidak akan pernah serta bahkan sebaiknya tidak menjadi
lagu lapisan atas masyarakat, lagu kelompok elite. Memang, seperti halnya
Sri Mulat, lagu dangdut mulai mendapat ruang yang semakin luas dan
bahkan terluas di televisi, sesuatu yang sebelumnya menjadi wilayah musik
pop atau musik masyarakat dari lapisan yang lebih tinggi. Namun,
kecenderungan itu lebih disebabkan oleh perkembangan daya beli
masyarakat lapisan bawah itu sendiri bersama dengan perkembangan
teknologi media massa yang menayangkannya. Ia dapat dipastikan sama
sekali bukan akibat dari perkembangan cara penyajiannya, termasuk
substansi musikal dan liriknya.
Perkembangan teknologi informasi telah memungkinkan dihasilkannya
produk-produk rekaman musik yang semakin murah dalam jumlah yang
semakin besar dan dengan tingkat penyebaran yang semakin cepat dan
luas dan karenanya semakin terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah.
Dengan perkembangan ini masyarakat lapisan bawah itu menjadi pangsa
pasar media dan iklan yang sangat besar pula. Iklan sendiri berhubungan
dengan perkembangan industri di Indonesia. Semakin banyak dan
beraneka komoditas yang ditujukan pada masyarakat lapisan bawah,
semakin besar kepentingan industri untuk menjangkau masyarakat tersebut
118
melalui media massa, terutama televisi. Dalam hubungan dengan iklan ini
dapat pula dibuktikan bahwa betapa besar pun ruang yang tersedia di
televisi untuk dangdut, ia tetap dipahami sebagai musik masyarakat lapisan
bawah dan ditujukan pada masyarakat lapisan tersebut. Iklan-iklan untuk
musik dangdut adalah iklan-iklan bagi produk-produk yang menjadi
konsumsi khas masyarakat lapisan itu, misalnya obat kuat yang sangat
penting bagi buruh yang telah bekerja keras secara fisik, obat kemampuan
seks, obat sakit kepala atau penghilang penghilang rasa sakit lainnya, dan
sejenisnya. Tidak akan ada iklan mobil mewah atau pakaian dan kosmetika
mahal dipasang untuk menjadi sponsor musik dangdut.
Ike Nurjanah dan Iis Dahlia mungkin dua di antara sedikit penyanyi dangdut
yang tampil berbeda, yang mengutamakan keindahan dan keanggunan
daripada kekuatan dan seks, dalam menyanyi dangdut. Tapi, hal itu tidak
akan dapat mengubah musik dangdut menjadi musik elitis. Keanggunan
dan keindahan mereka sebenarnya sama saja dengan ungkapan perasaan
yang halus yang muncul di banyak lagu dangdut. Tapi, kehalusan
ungkapan perasaan dalam lirik itu tidak pernah menghapuskan irama
dangdut sendiri, yaitu irama yang mengajak bergoyang ala film India:
goyang yang berpusat di pinggul dan pinggang serta dada. Dangdut bukan
musik yang mengajak orang berkontemplasi secara spiritual, melainkan
mengajak orang bergerak dan bertindak secara fisik sebagaimana
kehidupan sehari-hari masyarakat lapisan bawah.
Banyak pujian yang diberikan kepada Elvi Sukaesih dalam hal
ketepatannya menyesuaikan gerak dengan irama dan tema lirik musik.
Namun, sewaktu di kampung saya mulai ada televisi, TVRI waktu itu, ibu
saya pernah jengkel sekali kepada Bapak saya karena ia memelototi Elvie
Sukaesih di layar televisi. Tidak ada persoalan keselarasan irama atau apa
pun namanya bagi penonton ketika mereka menonton atau mendengarkan
musik dangdut. Yang ada adalah citra tubuh yang menonjol, citra kekuatan
fisik dan seksual. Karena, pada hal itulah kehidupan masyarakat bawah
bersandar.
Rhoma Irama dikenal sebagai penyanyi dan pengarang lagu dangdut yang
berhasil menyisipkan pesan-pesan moral dalam lagunya. Apakah hal itu
berarti dapat mengangkat musik dangdut keluar dari "comberan"? Tidak
juga. Pertama, musik dengan ajaran moralitas yang eksplisit merupakan
musik yang khas masyarakat lapisan bawah, bukan masyarakat lapisan
atas yang cenderung abstrak, kosmopolit, dengan pandangan mengenai
moralitas yang kompleks dan ambigu, dan dengan penanaman
kemampuan intelektual yang tinggi dan kehalusan perasaan. Karena itu,
penempatan ajaran moral yang eksplisit seperti yang dilakukan Rhoma
119
FARUK HT. adalah pengajar pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Ia dikenal sebagai ahli teori-teori post kolonial. Lebih khusus sebagai ahli
kajian subaltern (subaltern studies), setelah esai panjangnya "Can
Subaltern Speak" pada tahun 1983 terbit dan menjadi karya monumental,
bahkan diperingati 20 tahun penerbitannya oleh para filsuf dunia di Cork,
Irlandia.
Melalui sedikitnya 10 buku karyanya (asli dan terjemahan), serta karyakarya kajian para ahli mengenai teori-teorinya, banyak orang juga
mengenal Gayatri Spivak sebagai ahli kajian kritis mengenai budaya
(critical cultural studies) dan teori-teori dekonstruksi, setelah
menerjemahkan dan menafsirkan Derrida dalam kata pengantar yang
dekonstruktif dari karya De la grammatologie ke dalam bahasa Inggris, Of
Grammatology.
Dalam serangkaian ceramahnya di Program Pascasarjana Ilmu Religi dan
Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan di Fakultas Ilmu
Pengetahuan
Budaya
Universitas
Indonesia
dalam
2,5
hari
persinggahannya di Indonesia, Gayatri menolak semua label itu.
"Dalam banyak hal orang tidak suka diberi label. Saya menulis secara kritis
mengenai postkolonialisme dan kajian budaya. Saya bukan filsuf. Saya
adalah kritikus sastra," ujarnya. Teks-teks-nya secara radikal melintasi
disiplin ilmu "resmi", seperti antropologi, sejarah, filsafat, kritik susastra,
sosiologi, mengaburkan batas dan mengembangkan penggabungan
metodologi-metodologi kontemporer antara Marxisme, feminisme, dan
dekonstruksi.
Tema kajiannya sangat luas, mulai dari politik mikro di sekolah sampai
narasi makro imperialisme. Ia ditengarai sebagai satu dari sedikit ilmuwan
dunia yang melintasi oposisi biner antara produksi intelektual di "Dunia
121
123
124
Internasionalis
Gayatri Chakravorty lahir di Calcutta tanggal 24 Februari 1942, saat terjadi
kelaparan semu lima tahun sebelum kemerdekaan India dari penjajahan
Inggris.
Ia
merupakan
generasi
intelektual
pertama
India
pascakemerdekaan. Lulus dari Presidency College di Universitas Calcuta
tahun 1959, Gayatri menduduki ranking teratas dalam Bahasa Inggris dan
memperoleh medali emas di bidang sastra Inggris dan Bengali. Ia memilih
pergi ke AS untuk belajar di Universitas Cornell, sampai mendapatkan gelar
MA dan PhD-nya di bidang Sastra Inggris. Gayatri sempat menikah dan
kemudian bercerai dengan seorang Amerika bernama Talbot Spivak, tetapi
nama Spivak terus menempel pada dirinya.
Ilmuwan pernah mengajar di universitas-universitas terkemuka di AS,
Perancis, Jerman, Inggris, dan Riyadh itu memegang green card Amerika,
tetapi mempertahankan kewarganegaraan India. Ia menjawab "tidak tahu"
ketika ditanya soal identitas.
"Saya tidak percaya seseorang tahu keadaan sebenar-benarnya mengenai
dirinya. Orang bisa mengatakan saya terlalu Amerika atau terlalu India.
Saya tidak tahu apa itu menjadi orang Amerika dan apa itu menjadi orang
India. India terdiri dari lebih 1 miliar orang dengan 23 bahasa dan saya
hanya berbicara 1,5 nya saja.
Saya seorang internasionalis. Saya suka bergaul. Saya tidak merasa
sebagai orang Amerika dan tidak merasa sebagai orang India. Ada hal-hal
tertentu yang tidak saya sukai tentang AS dan ada hal-hal tertentu pula
yang tidak saya sukai di India. Orang yang terlalu mencemaskan
identitasnya adalah narsistik.
Saya meyakini ini karena saya dibesarkan dengan cara yang sangat baik,
sehingga saya tak pernah membuang waktu untuk berpikir bahwa budaya
yang ini lebih baik dari yang itu. Menurut saya, semua bahasa adalah
bahasa ibu.
Bila saya berada di AS, saya tidak mencari makanan Bengali. Saya juga
nyaman makan di restoran Banglades, bukan restoran India. Kalau saya
makan sendiri, saya menggunakan jari tangan saya sekalipun makan salad,
karena begitulah cara saya dibesarkan. Tetapi tidak dengan cara itu kalau
saya makan di restoran. Di India, saya membersihkan diri di toilet dengan
tangan kiri, tetapi tidak melakukan itu ketika berada di AS."
125
126
diwakili, bila tidak disertai sebuah "kritik diri" atau kemauan untuk melihat
penindasan oleh "aktor-aktor dalam", maka ini akan bisa dengan mudah
terjerumus ke dalam bentuk penindasan lainnya.
Campur tangan negara dan kapitalisme global memang masih merupakan
tantangan yang releven bagi ilmu-ilmu sosial di Indonesia (dan ini masih
perlu ditambah lagi dengan tantangan dari campur tangan lembagalembaga donor internasional), tetapi "kritik diri" adalah sebuah tantangan
yang tak kalah penting dan tak kalah kompleksnya.
Jika pada tahun 1970-an dan 1980-an kita sering mendengar negara
"menggunakan" ilmuwan sosial buat merancang dan menjalankan proyekproyeknya yang membuat kelompok-kelompok marjinal menjadi semakin
marjinal, kini kita sering mendengar kelompok-kelompok marjinal yang
mengatakan bahwa mereka telah "dimanfaatkan" oleh para peneliti atau
aktivis LSM buat menurunkan dana-dana bantuan dari lembaga-lembaga
donor internasional. Dalam suatu penelitian yang menjadi bagian dari
proyek pengentasan kemiskinan misalnya, kita sering mendengar sindiran
masyarakat bahwa pada akhirnya peneliti dan aktivis LSM-lah yang
akhirnya justru mentas dari kemiskinan, sementara masyarakat sendiri
tetap tinggal miskin.
Lantas siapa sebenarnya kelompok marjinal yang mau diberdayakan itu?
Suara siapakah yang sebenarnya mau disampaikan? Dan bagaimanakah
kita akan berbicara tentang peran intelektual dalam perubahan sosial? Itu
hanyalah sebagian dari pekerjaan rumah "kritik diri" yang harus segera
dikerjakan.
Louis Althusser
Oleh NURAINI JULIASTUTI
Louis Althusser adalah filsuf Perancis yang lahir di Algeria pada tahun 1918
dan meninggal di Paris pada tahun 1990. Semasa hidupnya, ia lebih
dikenal sebagai seorang teorisi dan kritikus marxis. Tepatnya, menurut
John Lechte (1994), ia adalah seorang marxis dengan kecenderungan
strukturalis. Ini ditegaskan dalam karya-karyanya a.l.: For Marx (1965) dan
Reading Capital (1968).
131
Pengantar
133
prosedur-prosedur
dikembangkan.
nilai,
tipe-tipe
wacana,
dan
teknologi
yang
kelas dan kelompok, baik kelas berkuasa maupun yang dikuasai. Menurut
Althusser, di sinilah ciri-ciri ideologi yang membingungkan itu memainkan
peran. Fungsi kelas ideologi adalah bahwa ideologi yang berkuasa adalah
ideologi dari kelas yang berkuasa; Ideologi berkuasa membantu kelas
penguasa dalam menguasai kelas tereksploitasi sekaligus memapankan
dirinya sendiri sebagai kelas penguasa.
Teori ideologi sebagai penipuan penguasa memperlihatkan bahwa
mereka yang berada dalam posisi dominan sesungguhnya sama sekali
tidak hadir secara alamiah atau karena keahliannya. Karena jika benar
demikian maka tidak lagi dibutuhkan ideologi, juga tak perlu menjelaskan
atau mempertahankan eksploitasi mereka. Sebaliknya ini menunjukkan
persistensi stratifikasi sosial-politik dan ideologi dominan memerlukan
legitimasi dua belah pihak dari penguasa dan yang dikuasai. Bila ideologi
ini diterima oleh kedua pihak, ini artinya struktur kekuasaan dan privelegi
yang timpang itu bisa dilestarikan. Dalam konteks ini ideologi sering
menggunakan bahasa resiprositas. Dia mencontohkan bahwa
imperialisme menganggap dirinya sah karena merasa bertanggng jawab
atau berjasa membangun unit-unit sosial dan pentingnya hubungan sosial
yang harmonis.
Apa yang dikemukakan Althusser ini memberikan insight baru
tentang gagasan bagaimana ideologi itu dibentuk dan pertahankan serta
apa
efek-efeknya.
Misalnya:
bagaimana
perbedaan
kelas
diinstitusionalisasikan melalui lembaga-lembaga sosial seperti sekolah;
bagaimana institusi pendidikan itu menempatkan masyarakat dalam relasi
kelas-kelas yang ada; bagaimana mitos tentang persamaan individu,
persamaan kesempatan, dan prestasi individu dimasukkan dalam teks dan
praktek program sekolah dan kebijakan pendidikan nasional. Mitos-mitos
kesamaan yang tumbuh dalam produksi ketaksamaan ini (produksi
ketidaksetaraan kelas dan kelomopok sosial, diskriminasi gender, misalnya)
menunjukkan gagasan-gagasan yang ideologis.
Fungsi ideologi lainnya ialah menghubungkan masyarakat satu
sama lain, dengan suatu dunia dan terutama diri mereka sendiri. Ideologi
memberikan identitas tertentu. Misalnya, jika seorang individu mengimani
Tuhan kemudian pergi sembahyang secara teratur, mengakui dosadosanya dan seterusnya; keyakinan itu lalu direalisasikan dalam praktekpraktek tertentu yang diatur oleh ritual-ritual dengan menyediakan upacaraupacara yang melibatkan gerak dan sikap tubuhnya sebagai ekspresi
kekuasaan yang saling terkait serta berhubungan dengan aparatus
ideologis.
138
Melainkan hasil dari kombinasi berbagai elemen lain dan kekuasaan yang
kompleks dan tersebar.
Di dalam diskursus kebudayaan mutakhir, sebagaimana pandangan
Stuart Hall, kebudayaan sesungguhnya tidak lagi bisa dipahami sebagai
cerminan praktek-praktek lain di dunia idea. Melainkan ia sendiri adalah
sebuah praktek, yakni praktek penandaan yang menghasilkan makna.
Jadi bagi kaum strukturalis dan post-strukturalis, penekanan studi
kebudayaan kini bergeser dari masalah isi budaya ke arah tipe-tipe
penataan (ordering), dari pertanyaan tentang apa ke bagaimana sistemsistem budaya itu. Misalnya, dalam era globalisasi yang ditandai dengan
kemajuan teknologi dan sarana komunikasi sekarang ini, masyarakat betulbetul dicekoki oleh produksi konsumsi. Di sini kekuatan modal
menghadirkan kekuasaan representasi melalui kuasa tanda dan simbol:
dalam iklan dan mode, misalnya. Konsekuensi politiknya adalah bahwa
seluruh tatanan sosial sesungguhnya adalah hasil sebuah konstruksi saja
dari, dan berbarengan dengan, kekuasaan modal yang diproduksi secara
terus menerus.
Singkatnya, ideologi sekarang ini merupakan praktek budaya;
suatu efek yang bersifat kultural dan terkait dengan institusi-institusi,
kelompok-kelompok, dan struktur-struktur tertentu. Ideologi beroperasi
secara tersebar (decentered) dan menghadirkan dirinya dalam ideologisebagai-kebudayaan. Artinya, ideologi berada dalam kompleksitas
hubungan-hubungan antara berbagai bentuk kebudayaan (pengetahuan,
citraan, dan lain-lain) dan institusi-institusinya, serta wacana-wacana dan
aparatus-aparatusnya.
Lalu pertanyaannya bila kebudayaan sehari-hari tidak lepas dari
ideologi, bagaimana dengan sains ilmiah. Apakah ia juga bersifat ideologis?
Foucault menegaskan bahwa relasi-relasi kekuasaan tidak berada di luar
tipe-tipe relasi-relasi seperti proses ekonomi, relasi pengetahuan, relasi
seksual, dan lain-lain. Melainkan kekuasaan justeru imanen dalam proses
relasi itu. Kekuasaan adalah beragam relasi-relasi kekuatan yang
beroperasi dan membentuk organisasi dalam ruang itu. Dengan demikian,
sains sosial kini juga harus dilihat sebagai konfigurasi kekuatan-kekuatan
itu yang membentuk landscape modernitas dan modernitas akhir. Sains
sosial sendiri merupakan kekuatan dan bentuk kebudayaan yang tak bebas
dari kepentingan. Demikian juga sains alam. Ia juga tak lepas dari
kepentingan-kepentingan atau konsensus komunitas ilmuwan.
140
Budianta, Melani, dkk, Analisis Wacana dari Linguistik ke Dekonstruksi, Penerbit Kanal,
Yogykarta, 2002
Hebdige, Dick, Subculture The Meaning of Style, Routledge, London & New York, 1979
Foucault, Michel, The History of Sexuality: An Introduction, Billing & Sons Ltd, Guilford,
London and Worcester, 1969
Foucault, Michel, Power/Knowledge: Selected Interview with Michel Foucault (ed. By Colin
Gordon), Pantheon, New York, 1980
Gluckmann, Miriam, Structuralist Analysis in Contemporary Social Thought, Routledge &
Kegan Paul, London and Boston, 1974
Jenks, Chris, Culture: Key Idea, Routledge, London & New York, 1993
Larrain, Jorge, Konsep Ideologi, Penerbit LKPSM, Yogyakarta, 1996
McCarthy, E. Doyle, Knowledge as Culture, Routledge London & New York, 1996
Poster, Mark, Existential Marxism in Postwar France From Sartre to Althusser, Princenton
University Press, New Jersey, 1975
Zizek, Slavoj (ed.), Mapping Ideology, Verso, London-New York, 1994
Storey, John, Teori Budaya dan Budaya Pop (terj.), Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2003
Kesimpulan
Sekarang ini kita tidak bisa lagi memikirkan ideologi dan cara
kerjanya dalam pengertian false consciousness atau memperlawankannya
dengan sains, sebagaimana kaum marxis klasik lakukan. Ideologi sebagai
pengetahuan-pengetahuan yang dijalankan demi suatu kepentingan justeru
menjadi praktek kebudayaan sehari-hari yang memberikan orientasi dan
identitas suatu kelompok. Ideologi tersebar sebagaimana kekuasaan yang
tersebar dalam praktek-praktek diskursif kehidupan.
Ideologi masuk dalam keseharian kita, dalam jaring-jaring
kehidupan. Dengan meminjam kajian tentang mitos dan tanda, bisa
dikatakan bahwa jika budaya adalah sistem simbol yang terdiri dari
berbagai sistem tanda, sementara penanda-penanda sendiri bersifat
arbriter sebagaimana Barthes katakan, maka kita sungguh bisa melihat
bagaimana suatu kebudayaan dan segala bentuk ritual dan hidup seharihari menjadi arena pertarungan ideologi untuk memainkan kuasanya.
Kebudayaan yang merupakan konvensi sosial adalah sasaran sistematik
untuk dibuat seolah-olah ilmiah, menjadi mitos. Membongkar aturan-aturan
atau kode-kode dibalik mitos inilah tugas studi kebudayaan sekarang ini.
Bahan Bacaan:
Althusser, Louis, For Marx, (transl. By B. Brewster) Routledge, New York, 1969
Amrih Widodo, The Stage of the State, Art of the People and Rites of Hegemonization. Paper
ini dipresentasikan pada seminar bertajuk Basis-basis Material Kebudayaan yang
diselenggarakan oleh Yayasan SPES dan Program Pasca Sarjana Universitas Kristen
Satyawacana, Salatiga, 4 September 1991
141
Pengantar
Dalam evolusi sejarah umat manusia, ternyata perjalanan sejarah
ini tidak selalu berkembang linear. Ide-ide besar datang dan pergi, gagasan
yang baru menggantikan yang lama, menegasikan atau mengambil bentuk
baru dari suatu sintesis kreatif yang memperkaya. Gagasan-gagasan yang
tidak relevan dengan perkembangan zaman atau yang telah berperan
menghancurkan zaman itu sendiri pada akhirnya akan menerima kritik,
bahkan dicaci, dan lalu ditinggalkan. Hal ini memperlihatkan bahwa
semakin maju capaian pemikiran manusia bukan berarti ia akan begitu saja
menjamin kesejahteraan dan kedamaian manusia, meski segala upaya
pemikiran itu dikerahkan untuk mencapai cita-cita itu.
142
143
tidak memiliki masa depan. Bagi Kung, agama adalah fenomena universal
manusia. Ia adalah dimensi esensial hidup dan sejarah manusia yang tidak
mungkin tergantikan oleh ideologi lain, apakah humanisme ateistik ala
Feurbach, sosialisme ateistik ala Marx, sains ateistik ala Freud dan Russel,
atau yang lain. Memang benar bahwa agama juga telah menyebabkan
destruksi, tapi kenyataanya agama juga membawa pembebasan manusia,
ikut menyumbangkan nilai-nilai keadilan, toleransi, solidaritas, demokrasi,
HAM, perdamaian dunia, dan seterusnya, bahkan menjadi kekuatan etika
nonkekerasan.7 Bagi Kung, dengan bukti-bukti bahwa agama bisa menjadi
fondasi bagi identitas psikologis, kedewasaan manusia, kesadaran diri yang
sehat serta kekuatan pendorong perubahan sosial, Kung menolak agama
dipandang sebagai proyaksi atau sarana pelipur lara, apalagi ilusi kekanakkanakan.
Sebaliknya, agama memiliki harapan dan potensi besar untuk
membangun kerangka etika universal, yang tidak mungkin lagi diharapkan
dari rasio dan pemikiran saintifik dan teknologis. Mengapa?
Pertama, setiap agama memiliki nilai-nilai humanum, dam justeru ia
bisa dipertanggungjawabkan karena nilai-nilai humanum ini. 8
Kedua, agama memberikan basis absolutisitas dan keharusan
moral secara tanpa syarat, dimanapun, kapanpun, dan dalam hal apapun.
Ini berbeda dengan para penganut eteisme, mereka bisa saja melakukan
tindakan bermoral secara otonom dan manusiawi tetapi mereka tidak bisa
memberikan alasan mengapa ia menerima absolutisitas dan universalitas
kewajiban moral. Kung menegaskan: An inconditional claim, a categorical
ought, cannot be derived from the finite conditions of human existence,
from human urgencies and needs. And even an independent abstract
human nature or idea of humanity (as a legitimating authority) can hardly
9
put unconditional obligation on anyone for anything. Sebaliknya, tuntutan
etis dan keharusan tanpa syarat itu hanya bisa dan harus didasarkan pada
sesuatu yang tak bersyarat dan yang Absolut. Dalam konteks ini, bagi
Kung, agama-agama profetis seperti Judaisme, Kristiani dan Islam bisa
memberikan basis tuntutan etis yang absolut dan universal. Keyakinan
pada the Ultimate Reality atau Tuhan diyakini bisa memberikan motivasi
moral dan tingkat paksaan (compulsion), dan menjadi modal dasar agamaagama dalam membangun etika bersama.
Dan alasan ketiga, etika global yang bersifat universal berdasarkan
nilai-nilai agama mungkin dicapai karena setiap manusia secara
antropologis meyakini akan Yang Absolut.10
147
1
F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
2003, hal. 95
2
F. Budi Hardiman, Ibid. hal. 96
3
Lihat Hans Kung, Global Responsibility In Search of a New World Ethic, New York:
Crossroad Publishing Company, 1991. Dalam bagian awal bukunya ini, Kung secara deskriptif
menelanjangi cacat dan tragedi kemanusiaan yang dihasilkan oleh patologis modernitas
(hilangnya tradisi dan makna hidup, hilangnya kriteria etika tanpa syarat, dll). Tragedi ini
meliputi: pembunuhan dan kematian jutaan manusia akibat perang, pembunuhan, kemiskinan
dan kelaparan, kerusakan dan pencemaran lingkungan oleh industri-industri besar, dan juga
bencana pemanasan global. Selain itu, dunia yang terdiferensiasi dalam bentuk negaranegara bangsa dan berbagai macam ideologi telah melahirkan konflik dan perang. Sementara
sekularisasi telah menghasilkan moralitas baru yang semata-mata berdasarkan rasio atau
yang dalam dunia kapitalisme didasarkan pada pertimbangan analisis pasar.
4
Mengenai postmodernitas ini tampaknya Hans Kung tidak menegaskan suatu masa yang
sudah jelas dan definitif. Tapi ia menegaskan bahwa konstalasi modernitas diwarnai dengan
dengan pergeseran-pergeseran makna. Misalnya, polisentrisme kekuasaan, adanya
pengakuan terhadap pluralitas budaya, masyakat pospatriarki, hadirnya ekonomi pasar
ekososial, tumbuhnya dialog agama, dan sebagainya
5
Lihat Hans Kung, Global Responsibility, hal. 20-21.
6
Lihat Hans Kung, Ibid. hal. 28-35.
7
Lihat Hans Kung, Ibid., hal. 46.
8
Lihat Hans Kung, Ibid., hal. 91.
9
Lihat Hans Kung, Ibid., hal. 52
10
Lihat Hans Kung, Ibid., hal. 44-45
11
Ini adalah pernyataan Kung, dikutip dari Ignas Kleden, Agama dalam Perubahan Sosial
dalam Agama dan Tantangan Zaman, LP3ES, Jakarta, hal. 215
12
Lihat Hans Kung, Ibid., hal. 45
151