Masyarakat
dari Kulturalisme
menuju Materialisme
Kultural
• Annisa Deviana
• Karina Oktavianti Putri
• Luthfiani Ikhwania
• Septiana Queentina
Apa itu Kulturalisme?
Istilah ‘kulturalisme’ didefinisikan sebagai oposisi terhadap
strukturialisme. Tahun 1970-an, Richard Johnson melihat disiplin
baru dari studi kultural yang dibatasi semacam budayaisme Aglo-
Marxist yang diwakili oleh karya sejarahwan E.P Thomspon dan
kritikus sastra Raymond Williams, dan Louis Althusser. Mereka
menggunakan istilah anti-utilitarianisme menjadi bagian dari tradisi
spekulasi ‘humanis-sastra’.
German Culturalism
Dalam formasi Jerman, kulturalisme memiliki 3 aspek yang
relatif berbeda yaitu; romantisisme, historisisme, dan hermeneutika
yang berkembang melalui reaksi terhadap berbagai rasionalis,
mekanistik, dan neo-klasik.
Romanticism
Istilah romantisisme merujuk pada gerakan internasional
yang melawan rasionalis, mekanistik, dan neo-klasik. Tokoh kunci
dalam romantisisme Jerman ialah, Friedrich Schiller (1759–1805),
Novalis (1772–1801) dan Johann Wolfgang Goethe (1749–1832).
Historicism
Istilah historisisme pada awalnya merujuk pada pandangan
bahwa peristiwa-peristiwa sejarah dapat dipahami hanya dalam
konteks langsung. Goethe berharap bahwa peningkatan komunikasi
antar negara akan menghasilkan 'sastra dunia', atau Weltliteratur,
yang mampu menggantikan sastra nasional individu. Tokoh kunci
dalam historisisme ialah, Johann Gottfried Herder (1744–1803), dan
G.W.F. Hegel (1770-1831) yang berusaha untuk menghasilkan
budaya sintesis antara romantisme dan rasionalisme.
Hermeneutics
Hermeneutika, sebuah istilah yang digunakan untuk
merujuk pada teori 'penafsiran'. Hermeneutika dimulai oleh seorang
sastra dan filsafat modern, Friedrich Schleiermacher (1768-1834)
lalu disempurnakan dan dikembangkan lebih lanjut oleh
eksistensialisme Martin Heidegger (1889–1976), dan mencapai
artikulasi kontemporer dalam karya Hans-Georg Gadamer (1900–
2002), serta Hans Robert Jauss (1922-1997) mengembangkan post-
Gadamerian 'estetika penerimaan' yang mampu berteori tentang
peran pembaca serta peran penulis.
British Culturalism
dari Arnold sampai Leavis
Dalam formasi Inggris, kulturalisme disebut sebagai
‘budaya dan masyarakat’, Raymond Williams 1780–1950
menelusuri sejarah konsep 'budaya' dalam kehidupan
intelektual Inggris seperti yang dikembangkan Inggris oleh
Edmund Burke (1729–1997) hingga George Orwell (1903–50).
Pada awalnya, tradisi 'budaya dan masyarakat' ini memiliki
dua tokoh sentral yaitu, Thomas Carlyle (1795–1881) dan
Samuel Taylor Coleridge (1772–1834). Kulturalisme Inggris
memiliki tiga tokoh representatif: Matthew Arnold (1822-88),
T.S. Eliot (1885–1965) dan F.R. Leavis (1895–1978).
Matthew Arnold
Arnold berpendapat bahwa budaya berdiri untuk menentang
peradaban mekanis yang memiliki fungsi sangat penting bagi manusia.
Budaya bagi Arnold merupakan kekuatan sosial yang menentang
peradaban material, yang sederajat, di tingkat masyarakat. Arnold
dengan tegas menolak pretensi tiga kelas sosial utama: the Barbarian
aristocracy, the Philistine middle class, dan the workingclass Poupulace.
Menurutnya, tidak ada kelas, melainkan 'remnant' dari budaya masing
masing kelas, yang saat ini disebut dengan 'inteligensia'.
T.S Eliot
T.S. Eliot, budaya dipahami dengan cara totalistik dan organikis
yang esensial: dengan demikian budaya 'sastra' secara khusus
berkembang, bukan sebagai penciptaan kumpulan penulis individu,
melainkan dalam gaya Hegelian yang khas. Diskusi Eliot yang paling
terkenal tentang konsep budaya, dalam Catatan Menuju Definisi
Budaya.
F.R Leavis
– Jurnal Scrutiny dan kelompok di sekitarnya mewarisi dari Eliot
sejumlah tema karakteristik mereka, terutama konsepsi budaya yang
organik maksudnya yaitu budaya yang tumbuh tidak terikat oleh
standarstandar, dan pemahaman pessimistic terkait proses sejarah
barubaru ini sebagai sebuah kemunduran budaya.
– Leavis’ organicism paling jelas dalam pengertian sastra itu sendiri
‘sebagai sesuatu yang pada dasarnya lebih dari sekadar akumulasi
karyakarya yang terpisah: ia memiliki bentuk organik, atau
merupakan suatu tatanan organik dalam kaitannya dengan masing
masing penulis’. Nilai esensial dari budaya bersama, bagi Leavis,
adalah kapasitasnya untuk mempertahankan minoritas yang unggul
secara budaya.
F.R Leavis
– Salah satu karya F. R. Leavis, Mass Civilization and Minority
Culture (1930), yang menganggap budaya massa (mass culture)
sebagai bentuk manipulasi total masyarakat yang pasif dan budaya
‘tinggi’ sebagai budaya yang ideal. Richard Hoggart menolak tesis ini
dan berkomitmen untuk membela kreativitas budaya kelas pekerja.
Ini dilakukan dengan cara menolak metode analisis sastra Leavis
yang terlalu berfokus pada teks.
The Left New
Thompson, Hoggart dan Williams
Selama tahun 1950-an, para intelektual Inggris mulai
menempuh ‘jalan ketiga’ baik dalam politik praktis maupun dalam
teori budaya, antara Leavisisme dan Sosialisme Marxis. Alhasil
politik menjadi ‘New Left’; teori itu mewakili retrospeksi strukturalis
sebagai ‘kulturalisme’, tetapi lebih tepat digambarkan sebagai ‘left
culturalism’. Momen teoretis pendiri left culturalism dimulai pada
saat tulisan-tulisan awal ketiga tokoh kunci, yaitu: E.P Thompson
(1924-93), Richard Hoggart dan Raymond Williams (1921-88)
E.P Thompson dan Richard Hoggart
– Left culturalism’ pertama kali telah dieksplorasi dalam buku
pertama Thompson (1955), yang menemukan banyak kekuatan
dari kritik Romantisisme utilitarianisme di Williams Morris.
– Karya Thompson yang paling terkenal, The Making of the English
Working Class, yang secara eksplisit membandingkan kelas
pekerja dan Romantis anti-utilitarianisme.
– The Uses of the Literacy karya Hoggart menandai titik di mana
kulturalisme pasca-Leavisite mengubah penekanan dari ‘sastra’
ke ‘budaya’. Dia menggabungkan nilai etnografi budaya kelas
pekerja Yorkshire dengan kritik praktis Leavisite terhadap teks-
teks media massa.
E.P Thompson dan Richard Hoggart
– Hasil yang ingin dicapai Hoggart adalah untuk melepaskan
Leavisisme dari banyak elitisme budayanya; sedangkan hasil
yang ingin dicapai Thompson adalah untuk melepaskan
sosialisme Inggris dari determinisme ekonomi Marxiannya dan
untuk membuat eksplisit apa yang sebelumnya hanya pernah
menjadi Romantisisme implisit dan nyaris tidak diakui.
Raymond Williams
Ciri khusus Williams adalah berkaitan dengan tradisi
budaya, seperti yang ia temui dalam karya Eliot dan Leavis.
Williams bersikeras bahwa ‘budaya itu sederhana’; dan ‘budaya
bukan hanya isi dari karya intelektual dan imajinatif; sesuai dengan
a whole way life’. Bagi Williams, antitesis individualisme kelas
menengah bukan lagi budaya minoritas kaum intelektual,
melainkan solidaritas proletar.
Cultural Materialism (Williams)
Williams menciptakan istilah 'materialisme budaya' untuk
menggambarkan sintesis teoretis yang dia lakukan di antara apa
yang kita sebut ‘left culturalism’ dan ‘western Marxism’. Materialisme
budaya adalah teori budaya sebagai proses produktif (sosial dan
material) dan praktik-praktik spesifik, tentang "seni" sebagai
penggunaan sosial dari alat-alat produksi material (dari bahasa
sebagai "kesadaran praktis" material hingga sistem komunikasi
mekanis dan elektronik).
Dia kemudian menegaskan bahwa budaya itu sendiri nyata
dan material. Materialisme budaya Williams dengan demikian
menjadi bagian dari gerakan yang lebih luas, dimulai pada 1960-an
dan 1970-an, menuju paradigma teoretis baru yang mengakui
materialitas yang diperlukan dari teks dan institusi budaya
Cultural Materialism (Williams)
Dalam karya Antonio Gramsci, ahli teori 'hegemoni‘ asal Italia,
Williams melakukan pendefinisian ulang yang jauh lebih positif dari sikap
teoretisnya sendiri. Williams juga mengemukakan keunggulan teoretis dari
konsep hegemoni Gramscian. Bagi Williams, pencapaian sentral Gramsci
terdiri dari artikulasi rasa kulturalis tentang keutuhan budaya dengan rasa
minat ideologi yang lebih khas Marxis.
Budaya itu tidak ‘superstruktur’ atau ‘ideologis’, melainkan 'di
antara proses dasar pembentukan'. Williams prihatin dengan masalah
kontra-hegemoni.
*hegemoni: merujuk pada dominasi suatu kelas sosial terhadap kelas sosial
lain dalam masyarakat dalam hegemoni budaya.
Cultural Materialism (Williams)
Alternatif untuk hegemoni termasuk ‘emergent’ dan ‘residual’.
Dengan ‘emergent’, yang dia maksudkan adalah makna dan nilai,
praktik, hubungan, dan jenis hubungan yang benar-benar baru yang
secara substansial merupakan alternatif atau berlawanan dengan
budaya dominan; dengan ‘residual’ ia maksudkan unsur-unsur
budaya itu, di luar budaya dominan, yang tetap hidup dan
dipraktikkan sebagai bagian aktif dari masa kini ‘berdasarkan residu
... dari beberapa lembaga sosial dan budaya pembentukan
sebelumnya’. Williams tetap bersikeras, bahwa ada banyak budaya
yang hidup yang tidak dapat direduksi menjadi dominan.
Dollimore dan Sinfield
Materialisme budaya telah banyak berpengaruh dalam studi sastra dan
budaya. Dalam studi sastra, Jonathan Dollimore dan Alan Sinfield keduanya
memproklamirkan diri sebagai 'materialis budaya'.
Dollimore dan Sinfield's Political Shakespere, secara signifikan
menerjemahkan ‘Essays in Cultural Materialism’ (Dollimore & Sinfield, 1994) telah
terbukti sangat berpengaruh dalam penelitian Shakespere hingga mendorong klaim
besar bahwa ‘materialisme budaya di Inggris dan Historisisme Baru di Amerika ...
yang sekarang merupakan tatanan akademik baru... dalam studi Renaissance’
(Wilson, 1955). ‘Historisisme Baru’ Amerika ini agak berbeda dari apa yang
dimaksud Williams dengan ‘materialisme budaya’.
Terry Eagleton
Terry Eagleton merupakan seorang ahli teori,kritik dan intelektual
inggris. Eagleton berpendapat bahwa karya sastra mengandung ideologi
yang diproduksi oleh struktur dan tatanan yang berada di luar teks karya
sastra. Terry Eagleton sering dikenal sebagai kritik materialistik historis,
yang memusatkan perhatian terhadap tiga hubungan erat.
Ia menerbitkan buku yang menceritakan tentang gerakan penting
dalam kritik abad ke20. Pada bagian penutup bukunya, Eagleton
menjelaskan tentang teoriteori sastra modem yang ‘murni’ sebagai mitos
airaftemik.
Back to the future
Secara umum, Eagleton merasa kecewa terhadap ideologi
borjuis yang telah terbukti menelantarkan kaum miskin dan lemah ke
dalam marginalitas sosial politik. Eagleton juga mengusulkan kritik
politik. Menurut dia, politik adalah semua cara pengaturan kehidupan
bermasyarakat yang melihatkan hubungan kekuasaan di dalamnya.
Meskipun Eagleton masih bersikeras pada prioritas umum
materialisme historis, ia tetap mengakui bahwa 'kepedulian materialis
budaya terhadap kondisi sosial dan material yang dibawa ke lembaga
lembaga akademis, akan membuat perbedaan paling dalam terhadap
apa yang sebenarnya dilakukan di sana.'
Historisisme Baru
Historisisme baru diperkenalkan oleh Stephen Greenblatt tahun
1982. Historisisme baru menyatakan bahwa semua sejarah adalah
subjektif, maksudnya adalah sejarah yang dituliskan bersifat bias
personal atau mendapat pengaruh pandangan pengarang, pengetahuan,
masyarakat atau konteks historisnya.
Historisisme baru dan materialisme budaya sering dianggap
serumpun, sehingga Felperin menggambarkan materialisme budaya
sebagai lawan sejarawan dari historisisme baru, sedangkan Wilson
memperlakukan historisisme baru sebagai keturunan dari materialisme
budaya.
Gallagher dan Greenbalt
Titik awal historisisme baru adalah sesuatu yang sangat mirip
dengan ‘thick description' Clifford Geertz — yaitu analisis dari
lingkungan sosial, budaya dan sejarah di mana teks diproduksi dan
diterima. Analisis historisisme baru biasanya membawa wacana sastra
dan nonsastra sehingga dapat menunjukkan bagaimana kekuatan
sosial dan konflik historis meresap ke dalam kualitas karya sastra
masyarakat.
Historisisme Baru dan Materialisme
Budaya