Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Dewasa ini perkembangan IPTEK semakin pesat termasuk dalam
bidang kedokteran. Sejalan dengan itu tingkat kesadaran masyarakat akan
pentingnya kesehatan juga semakin tinggi. Akibatnya tuntutan akan
pelayanan kesehatan yang baik juga meningkat. Penggunaan sinar-X untuk
diagnosis di laboratorium radiologi didasarkan pada hasil rekaman pada film
sinar-X itu dokter dapat mendiagnosis suatu kelainan dalam tubuh pasien.
Dalam mendiagnosis suatu penyakit, diperlukan suatu radiograf yang
berkualitas, akan tetapi tetap memperhatikan proteksi radiasi.
Karena keterbatasan mata kita, maka bagian terkecil dari suatu
radiograf akan tidak terlihat, untuk itu kita butuh gambaran yang lebih besar
dari aslinya, sehingga struktur organ yang terkecil dapat terlihat. Gambaran
tersebut akan kita peroleh dengan mengubah jarak sumber sinar dan
bayangan (Source IMAGE Distance= SID) pada saat pemeriksaan radiografi
berlangsung. Teknik radiografi ini sering disebut dengan Radiologi makro.
Salah satu kelebihan dari radiologi makro adalah untuk memperlihatkan
struktur organ yang sekecil-kecilnya, hal ini sesuai dengan salah satu
prinsip radiografi makro, yaitu detail yang sekecil-kecilnya, hal ini sesuai
dengan salah satu prinsip radiografi makro, yaitu detail yang kecil menjadi
lebih besar.(2)

Dari pengalaman yang diperoleh di lapangan pemeriksaan


radiografi makro ini sering dilakukan dengan mengubah jarak, baik jarak
sumber sinar dan bayangan ( SID ), jarak sumber sinar dan objek ( source
Object Distnce = SOD ) maupun jarak objek dan bayangan ( Object Image
Distance = OID ). Radiografi makro dapat dilakukan dengan dua cara , yang
pertama yaitu dengan mengubah jarak sumberr sinar dan bayangan ( SID )
dengan jarak sumber sinar dan objek ( SOD ) tetap. Yang kedua dengan
mengubah jarak sumber sinar dan objek ( SOD ) dengan jarak sumber sinar
bayangan ( SID ) tetap. Namun dilapangan radiografi makro sering
dilakukan dengan mengubah ketiga komponen jarak tersebut. Hal ini tentu
saja kurang praktis dan akan menyulitkan dalam memperhitungkan
pembesaran bayangan yang dihasilkan. (4)
Akibat pengaturan variabel ini pada teknik radiografi pembesaran
gambar berpengaruh terhadap kualitas gambar lain selain detail. Variasi
jarak objek ke film mengakibatkan timbulnya ketidaktajaman gambar
(unsharpness) pada hasil gambar yang dihasilkan. Untuk menghasilkan
radiograf yang tajam dengan pembesaran bayangan yang optimal dilakukan
dengan mengubah jarak sumber sinar dan bayangangan (SID) dengan jarak
sumber sinar dan objek (SOD) dan ukuran fokus yang digunakan. (4)

Pengurangan jarak sumber sinar ke objek (SOD) mengakibatkan


jarak masuknya sinar-X sewaktu menembus objek makin bertambah dekat.
Konsekuensi pengaturan ini maka terimaan dosis pada permukaan kulit
yang diukur nilai entrance skin dose (ESE) akan meningkat pula. Faktor

jarak pada terimaan paparan dosis radiasi ke pasien mengikuti hukum


kuadrat terbalik (inverse square law) dimana semakin dekat jarak sumber
sinar ke objek maka dosis paparan radiasi yang diterima semakin meningkat
dengan faktor kuadrat jaraknya.(1)(6)

Berdasarkan hal di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih


mendalam

bagaimana

pengaruh

teknik

pembesaran

gambar

(makroradiografi) terhadap ketidaktajaman gambar (unsharpness geometry)


dan terimaan dosis paparan radiasi ke pasien.

I.2 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini bermaksud untuk menganalisis pengaruh teknik


pembesaran gambar (makroradiografi) terhadap nilai ketidaktajaman
gambar (unsharpness geometry) dan terimaan dosis radiasi ke pasien,
sehingga dalam pemilihan teknik pemeriksaan selain aspek kualitas gambar
diperhatikan

maka

aspek

terimaan

dipertimbangkan.

dosis

radiasi

juga

harus

I.3 Tujuan Penelitian

1. Menentukan pengaruh teknik pembesaran gambar (makroradiografi)


terhadap nilai ketidaktajaman geometri (unsharpness geometry).

2. Menganalisis pengaruh variasi nilai magnifikasi gambaran dengan


penerimaan dosis radiasi ke pasien.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Produksi dan Prinsip Dasar Penggambaran Sinar-X


Sinar-X atau sinar Rontgen ditemukan oleh W.C. Rontgen pada
tahun 1895 merupakan gelombang elektromagnetik dengan panjang
gelombang sangat pendek (1 = 10-8 cm), sehingga mempunyai daya
tembus yang tinggi. Sinar-X dapat pula terbentuk melalui proses
perpindahan elektron atom dari tingkat energi yang lebih tinggi menuju
ke tingkat energi yang lebih rendah. Sinar-X yang terbentuk melalui
proses ini mempunyai energi sama dengan selisih energi antara kedua
tingkat energi elektron tersebut. Karena setiap jenis atom memiliki
tingkat-tingkat energi elektron yang berbeda-beda, maka sinar-X yang
terbentuk dari proses ini disebut sinar-X karakteristik yang mempunyai
spectrum energi adalah diskrit.(4)

Gambar II.1. Proses terjadinya radiasi sinar-X karakteristik


(Sumber : The Essential Physics of Medical Imaging, Busberg,2002,hal 101)

Sinar-X dapat diproduksi dengan jalan menembaki target logam


dengan elektron cepat dalam suatu tabung vakum sinar katoda. Elektron
sebagai proyektil dihasilkan dari pemanasan filament yang juga
berfungsi sebagai katoda. Elektron dari filamen dipercepat gerakannya,
elektron yang bergerak sangat cepat itu akhirnya ditumbukkan ke target
logam bernomor atom tinggi dan suhu lelehnya juga tinggi. Target
logam ini sekaligus juga berfungsi sebagai anoda. Ketika elektron
berenergi tinggi itu menabrak target logam, maka sinar-X akan
terpancar dari permukaan logam tersebut yang dikenal dengan sinar-X
Bremstrahlung. Sinar-X yang terbentuk melalui proses ini mempunyai
energi maksimal sama dengan energi kinetik elektron pada saat
terjadinya perlambatan. Sinar-X bremstrahlung mempunyai spektrum
kontinu.(3)

Gambar II.2. Sinar-X bremstrahlung yang dihasilkan interaksi electron dengan inti atom target.
(Sumber : The Essential Physics of Medical Imaging, Busberg,2002,hal 101)

Berikut bentuk spektrum radiasi yang dihasilkan oleh tabung sinar-X

Gambar II.3. Spektrum radiasi sinar-X bremstrahlung dan Karakteristik


(Sumber : The Essential Physics of Medical Imaging, Busberg,2002,hal 101)

II.2. Sifat-sifat Sinar-X


Adapun sifat-sifat sinar-X sebagai berikut : (4)

1.

Memiliki Daya Tembus


Sinar-X dapat menembus bahan, dengan daya tembus sangat
besar dan digunakan dalam radiografi. Makin tinggi tegangan tabung
(besarnya kV) yang digunakan, makin besar daya tembusnya. Makin
rendah berat atom atau kepadatan suatu benda, makin besar daya
tembus sinarnya.

2.

Pertebaran
Apabila berkas sinar-X melalui suatu bahan atau suatu zat,
maka berkas tersebut akan bertebaran ke segala arah, menimbulkan
radiasi sekunder (radiasi hambur) pada bahan/zat yang dilaluinya.

3.

Penyerapan
Sinar-X dalam radiografi diserap oleh bahan atau zat sesuai
dengan berat atom atau kepadatan bahan/zat tersebut. Makin tinggi
kepadatan atau berat atomnya, makin besar penyerapannya.

4.

Efek Fotografik
Sinar-X dapat menghitamkan emulsi film (emulsi perakbromida) setelah diproses secara kimiawi (dibangkitkan) di kamar
gelap.

5.

Pendar Flour (Fluoresensi)


Sinar-X menyebabkan bahan-bahan tertentu seperti kalsiumtungstat atau zink-sulfid memendarkan cahaya (luminisensi), bila
bahan tersebut dikenai radiasi sinar-X.

6.

Ionisasi
Efek primer sinar-X apabila mengenai suatu bahan atau zat
akan menimbulkan ionisasi partikel-partikel bahan atau zat tersebut.

7.

Efek Biologis
Sinar-X akan menimbulkan perubahan-perubahan biologik
pada jaringan.

II.3.

Pesawat Sinar-X

Pesawat sinar-X atau pesawat Rontgen adalah suatu alat yang


digunakan untuk melakukan diagnosa medis dengan menggunakan
sinar-X. Sinar-X yang dipancarkan dari tabung diarahkan pada bagian
tubuh yang akan didiagnose. Berkas sinar-X tersebut akan menembus
bagian tubuh dan akan ditangkap oleh film, sehingga akan terbentuk
gambar dari bagian tubuh yang disinari. Sebelum pengoperasian pesawat
sinar-X perlu dilakukan seting parameter untuk mendapatkan sinar-X yang
dikehendaki. Parameter-parameter tersebut adalah tegangan (kV), arus
tabung (mA) dan waktu paparan (s).

Gambar II.4. Pesawat Sinar-X General Purpose


(Sumber : Introduction to Health Physics.2th. New York, 1987, hal. 118)

Pesawat sinar-X terdiri dari sistem dan subsistem sinar-X atau


komponen. Sistem

sinar-X

adalah seperangkat

komponen untuk

menghasilkan radiasi dengan cara terkendali. Sedangkan subsistem berarti


setiap kombinasi dari dua atau lebih komponen sistem sinar-X. Pesawat

sinar-X diagnostik yang lengkap terdiri dari sekurang-kurangnya generator


tegangan tinggi, panel kontrol, tabung sinar-X, alat pembatas berkas, dan
peralatan penunjang lainnya.

II.4. Tabung Sinar-X (X-Ray Tube)

Tabung sinar-X adalah ruang hampa yang terbuat dari kaca tahan
panas yang merupakan tempat sinar-X diproduksi. Tabung sinar-X adalah
komponen yang utama yang terdapat pada pesawat sinar-X.

Gambar II.5. Bagian-bagian Tabung Pesawat Sinar-X


(Sumber : An Analysis of Radiographic Quality. 1989. Hal. 182)

Tabung terdiri dari 2 (dua) komponen, yaitu: (1) wadah tabung


(tube casing /housing); dan (2) tabung bagian dalam (tube insert). Pada
Gambar II.5. diperlihatkan model sebuah tabung sinar X dan bagianbagiannya. (Bushong, 1997).

10

1. Wadah Tabung (Tube Casing /Housing)


Dinding bagian paling luar tabung disebut rumah tabung terbuat dari
metal, sedangkan bagian dalamnya terbuat dari lapisan timbal (Pb).
Fungsi dinding ini agar dapat menekan radiasi yang tidak dibutuhkan.
Pada sisi kiri dan kanan tube housing dihubungkan dengan soket kabel
tegangan tinggi (40-150 kV) yang menghubungkan generator tegangan
tinggi dengan tabung sinar-X. Pada tube housing juga dibuatkan
jendela housing atau port output sebagai tempat sinar-X keluar.(4)
Fungsi X-ray tube housing, antara lain :
a. Berfungsi sebagai isolasi dan proteksi tube insert dari gangguan
tekanan dari luar.
b. X-ray tube housing di dalamnya berisi oli transformer yang
berfungsi untuk pendingin panas akibat tumbukan elektron dengan
target dan pemisah komponen yang lain dalam tube insert.
c. X-ray tube housing dilapisi lead shielding yang berfungsi untuk
attenuasi radiasi agar tidak keluar dari tabung sinar-X. Tingkat
kebocoran tabung yang diperkenankan adalah 100 mR/jam. Pada
jarak pengukuran 1 mm diukur pada kondisi faktor eksposi yang
paling tinggi berkisar 125-150 kV.
2.

Tabung Sinar-X bagian dalam (X-Ray Tube Insert)


Komponen-komponen utama tabung sinar-X bagian dalam (X-Ray
Tube Insert) sebagaimana yang tampak pada gambar II.5. meliputi :

11

a. Katoda
Katoda terbuat dari nikel murni dimana celah antara 2 batang katoda
disisipi kawat pijar (filamen) yang menjadi sumber elektron pada
tabung sinar-X. Filamen terbuat dari kawat wolfram (tungsten)
digulung dalam bentuk spiral. Bagian yang mengubah energi kinetik
elektron yang berasal dari katoda adalah sekeping logam wolfram yang
ditanam pada permukaan anoda.
b. Anoda
Anoda atau elektroda positif biasa juga disebut sebagai target jadi
anoda disini berfungsi sebagai tempat tumbukan elektron. Anoda
merupakan sasaran (target) yang akan ditembaki oleh elektron yang
dilengkapi dengan focus (focal spot).
c. Foccusing cup
Focusing cup ini sebenarnya terdapat pada katoda yang berfungsi
sebagai alat untuk mengarahkan elektron secara konvergen ke target
agar elektron tidak terpancar ke mana-mana. Ukuran focus pada anoda
ada dua, yaitu fokus besar (large focus) dan fokus kecil (small focus)
bergantung pada pemilihan nilai arus tabung yang digunakan. (4)
d. Rotor atau stator
Rotor atau stator ini terdapat pada bagian anoda yang berfungsi
sebagai alat untuk memutar anoda. Rotor atau stator ini hanya terdapat
pada tabung sinar-X yang menggunakan anoda putar. Keuntungan

12

dengan anoda putar antara lain pendinginannya lebih sempurna, target


elektron dapat berganti-ganti.
e. Glass metal envelope (vacuum tube)
Glass metal envelope atau vacuum tube terbuat dari kaca pyrex,
merupakan tabung yang gunanya membungkus komponen-komponen
penghasil

sinar-X

agar

menjadi

vacum

atau

kata

lainnya

menjadikannya ruangan hampa udara.


f. Oil
Oil ini adalah komponen yang cukup penting ditabung sinar-X karena
saat elektron-elektron menabrak target pada anoda, energi kinetik
elekron yang berubah menjadi sinar-X hanyalah 1% selebihnya
berubah menjadi panas mencapai 20000 C, jadi disinilah peran oil
sebagai pendingin tabung sinar-X.
g. Window
Window atau jendela adalah tempat keluarx sinar-X. Window terletak
di bagian bawah tabung. Tabung bagian bawah di buat lebih tipis dari
tabung bagian atas hal ini di karenakan agar sinar-X dapat keluar.(4)(5)

II.5. Makroradiografi

Makroradiografi berasal dari kata macro dan radiography.


Menurut Curry (1984), makro berarti bentuk kombinasi yang besar
atau ukuran panjang yang abnormal. Sedangkan radiografi berarti

13

membuat film rekaman (radiograf) jaringan-jaringan tubuh bagian


dalam dengan melewatkan sinar-X atau sinar gamma melewati tubuh
agar mencetak gambar pada film yang sensitif.(4)

Radiografi makro sering juga disebut dengan magnifikasi


radiografi, yang berasal dari kata magnification dan radiography.
Magnification adalah proses membuat sesuatu sehingga nampak lebih
besar serta dengan menggunakan perbandingan atau rasio antara
ukuran

bayangan yang nampak dengan ukuran objek yang

sebenarnya. (Curry, 1984)

Pengertian radiografi makro adalah suatu metode pembesaran


secara langsung dari pencitraan dengan meletakkan subjek diantara
tabung sinar-X dan film sejauh jarak tertentu yang kemudian
menghasilkan pembesaran bayangan (magnifikasi).(4)

II.5.1 Prinsip Makroradiografi


Prinsip dasar makroradiografi adalah perubahan ukuran
menjadi lebih besar daripada ukuran objek aslinya. Perbedaan
makroradiografi dengan magnifikasi yaitu makroradiografi dalam
ilmu teknik radiografi adalah suatu teknik pemeriksaan dengan hasil
pembesaran bayangan

yang dikehendaki sedangkan magnifikasi

dalam teknik radiografi adalah sesuatu yang harus dihindari. Semakin


besar nilai OID maka ketidaktajaman gambaran (unsharpness
geometry) meningkat, untuk mengantisipasi adanya unsharpness
14

geometry

yang

disebabkan

oleh

magnifikasi

dalam

teknik

makroradiografi, maka digunakan ukuran fokus yang kecil, pada


pemeriksaan mammografi menggunakan ukuran fokus yang kecil
ukuran 0,1 mm.

Untuk mendapatkan radiografi makro, maka cara yang


dilakukan adalah merubah jarak sumber radiasi ke objek (source to
object distance /SOD) dengan jarak sumber sinar ke bayangan (source
to image distance/ SID) yang tetap atau merubah jarak sumber sinar
ke bayangan (SID) dengan jarak sumber radiasi ke objek (SOD) yang
tetap dengan konsekuensi teknik ini terdapat koreksi pemilihan faktor
eksposi.
F

SOD
SID
objek

OID

bayangan

Gambar II.6. Skema variabel pembentukan bayangan: SOD, SID, OID, Ukuran
focus (F), ukuran objek dan bayangan
(Sumber: Fundamental Physic of Radiology, Merideth, 1977)

15

Berdasarkan gambar II.6. setiap pembentukan bayangan pada


radiografi maka bayangan akan terproyeksi ukurannya lebih besar dari
ukuran objek aslinya. Magnifikasi gambar dirumuskan sebagai
berikut(4)(7):

.(II.1)

Rumus magnifikasi di atas berlaku jika sumber sinar-X


berbentuk ukuran focal spots yaitu suatu titik poin (poin source focal
spots), magnifikasi gambar dikenal dengan istilah pembesaran
geometri (geometry magnification). Faktanya suatu sumber sinar-X
pada pesawat rontgen adalah suatu bidang. Berikut skema geometri
pembesaran bayangan pada fokus berbentuk bidang :
F

SOD
d

SID

B
objek

OID
bayangan

Gambar II.7. Geometri pembesaran gambar pada ukuran focal berbentuk bidang
(Sumber: Crestens Fhysics of Diagnostic radiology, 1984)

16

Ukuran pembesaran bayangan yang terjadi pada sumber sinar


yang berbentuk bidang dirumuskan sebagai berikut:(4)(7)

= + 1 ( )..(II.2)
Dimana

M=ukuran

pembesaran

bayangan

sesungguhnya,

m=magnifikasi geometri, F = ukuran fokus dan d = ukuran objek.

Dari rumus (II.2.) didapatkan nilai magnifikasi atau pembesaran


yang sesungguhnya (true magnification) yang ukurannya lebih besar
dari pembesaran geometri. Pada gambar II.7. penambahan ukuran
bayangan Pembesaran yang terjadi nilainya selain tergantung faktor
magnifikasi geometri juga sebanding dengan ukuran fokal spot dan
berbanding terbalik dengan ukuran objek.(4)(7)

II.5.2 Ketidaktajaman Geometri (Unsharpness Geometry)


Hasil radiografi pembesaran gambar citra anatomi yang
dihasilkan terproyeksi lebih besar dari struktur aslinya sehingga
diharapkan detail anatomi yang diperiksa akan terlihat dengan jelas,
dalam arti detail kecil menjadi lebih jelas. Adanya jarak antara objek
dengan film juga teknik radiografi makro menghasilkan kontras
gambar yang lebih baik, sebab secara tidak langsung teknik ini
mempresentasikan teknik celah udara (air gap technique). Kelemahan
teknik

radiografi

ini

adalah

menurunkan

ketajaman

gambar

disebabkan timbulnya ketidaktajaman gambar yang disebabkan oleh

17

faktor geometri. Faktor geometri pembentukan bayangan meliputi


ukuran focal spots ( F), SID, OID dan SOD.

Gambar II.8. Skema pembentukan ketidaktajaman geometry


(Sumber: Crestens Fhysics of Diagnostic radiology, 1984)

Akibat sumber sinar berupa bidang maka suatu objek dengan


ukuran PQ (gambar II.8.) akan terproyeksikan di film menjadi
bayangan yang terdiri dari PQ yang merupakan pusat bayangan
dikenal dengan istilah umbra (bayangan sejati) yang dikelilingi
bayangan RP dan QS yang dibentuk oleh beberapa titik dari focal
spots yang disebut daerah penumbra (setengah bayangan) dengan
densitas lebih rendah dan lebih kabur. Besarnya ketidaktajaman
geometri pada prinsipnya adalah menghitung lebar daerah penumbra
(RP atau QS). Dari gambar (II.8.) maka ukuran penumbra (RP atau
QS) yang disebut ketidaktajaman geometri (Ug) dirumuskan(4) :

= . . (II.3.)
18

Dari rumusan ini tampak jelas, ketidaktajaman geometri bertambah


jika ukuran focus bertambah (F) dan jarak objek ke bayangan (OID)
bertambah.(4)

II.6. Dosimetri
Dosimetri merupakan kegiatan pengukuran dosis radiasi
dengan teknik pengukurannya didasarkan pada pengukuran ionisasi
yang disebabkan oleh radiasi dalam gas, terutama udara. Dalam
proteksi radiasi, metode pengukuran dosis radiasi ini dikenal dengan
sebutan dosimetri radiasi. Selama perkembangannya, besaran yang
dipakai dalam pengukuran jumlah radiasi selalu didasarkan pada
jumlah ion yang terbentuk dalam keadaan tertentu atau pada jumlah
energi radiasi yang diserahkan kepada bahan. Berikut ini akan dibahas
besaran-besaran dan satuan-satuan dasar dalam dosimetri.

II.6.1. Dosis Serap


Dosis serap didefinisikan sebagai jumlah energi yang
diserahkan oleh radiasi atau banyaknya energi yang diserap oleh
bahan persatuan massa bahan itu. Jadi dosis serap merupakan ukuran
banyaknya energi yang diberikan oleh radiasi pengion kepada
medium.

Meskipun

dosis

serap

semula

didefinisikan

untuk

penggunaan pada suatu titik tertentu, namun untuk tujuan proteksi


radiasi digunakan pula untuk menyatakan dosis rata-rata pada suatu
jaringan. Secara matematis, dosis serap (D) dirumuskan dengan(8):

19

D = dE / dm .. (II.4.)

dengan dE adalah energi yang diserap oleh medium bermassa dm dan


memiliki satuan J.kg-1. Dalam sistem SI besaran dosis serap diberi
satuan khusus, yaitu Gray. Dengan :
Gy = 1 J,kg-1

II.6.2. Dosis Ekuivalen


Dalam proteksi radiasi, besaran dosimetri yang lebih berguna
karena berhubungan langsung dengan efek biologi adalah dosis
ekuivalen. Besaran dosis ekuivalen lebih banyak digunakan berkaitan
dengan pengaruh radiasi terhadap tubuh manusia atau sistem biologi
lainnya. Dalam konsep dosis ekuivalen ini, radiasi apapun jenisnya
asal nilai dosis ekuivalennya sama akan menimbulkan efek biologi
yang sama pula terhadap jaringan tertentu. Dalam hal ini ada suatu
faktor yang ikut menentukan dalam perhitungan dosis ekuivalen, yaitu
kualitas radiasi yang mengenai jaringan. Kualitas radiasi ini
mencakup jenis dan energi dari radiasi yang bersangkutan.

Dosis ekuivalen pada dalam organ T yang menerima


penyinaran radiasi R (HT.R) ditentukan melalui persamaan(8):
HT.R = wR . DT.R .. (II.5.)

20

dengan DT.R adalah dosis serap yang dirata-ratakan untuk daerah organ
atau jaringan T yang menerima radiasi R, sedangkan wR adalah faktor
bobot dari radiasi R. Satuan dosis equivalen yaitu Sievert disingkat
dengan Sv. Sebelumnya dosis ekuivalen diberi satuan Rem (Roentgen
equivalent man atau mammal).

II.6.3. Dosis Efektif


Hubungan antara peluang timbulnya efek biologi tertentu
akibat penerimaan dosis ekuivalen pada suatu jaringan juga
bergantung pada organ atau jaringan yang tersinari. Untuk
menunjukan keefektifan radiasi dalam menimbulkan efek tertentu
pada suatu organ diperlukan besaran baru yang disebut besaran dosis
efektif. Besaran ini merupakan penurunan dari besaran dosis ekuivalen
yang dibobot. Faktor pembobot dosis ekuivalen untuk organ T disebut
faktor bobot jaringan, wT. Nilai wT dipilih agar setiap dosis ekuivalen
yang diterima seragam di seluruh tubuh menghasilkan dosis efektif
yang nilainya sama dengan dosis ekuivalen yang seragam itu. Jumlah
faktor bobot jaringan untuk seluruh tubuh sama dengan satu.

Dosis efektif dalam organ T, HE yang menerima penyinaran


radiasi dengan dosis ekuivalen HT ditentukan melalui persamaan(8):
HE = wT . HT (II.6.)

21

II.6.4. Paparan
Paparan pada mulanya merupakan besaran untuk menyatakan
intensitas sinar-X yang dapat menghasilkan ionisasi di udara dalam
jumlah tertentu. Berdasarkan definisi tersebut, maka paparan (X)
dapat dirumuskan dengan(8):
X = dQ / dm (II.7.)

dengan dQ adalah jumlah muatan elektron yang timbul sebagai akibat


interaksi antara foton dengan atom-atom udara dalam volume udara
bermassa dm. Besaran paparan ini mempunyai satuan Coulomb per
kilogram-udara (C.kg-1) dan diberi nama khusus roentgen, disingkat
R.(2)(3)

22

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian

ini

dilaksanakan

di

Rumah

Sakit

Bhayangkara

Mappaoudang Makassar periode Agustus-September 2012.

III.2 Alat Dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan dalam penelititan ini adalah sebagai
berikut:
1.

2.

Pesawat Xray dengan spesifikasi sebagai berikut:


a.

Merek

: Thosiba

b.

Buatan

: Made In Japan February 2000

c.

Unit Model

: E7252X

d.

Ser. No

: 0B113

e.

Max Voltage

: kV = 150

f.

Focal spot

: 1.2x1.2 mm

Film X-ray yang digunakan dalam penelitian adalah green sensitive


merek Fuji ukuran 24x30 cm.

3.

Kaset dan lembar intesifying screen (IS) green emitting merek fuji
ukuran 24x30 cm.

4.

Koin logam dengan diameter 2.30 cm.

5.

Stand koin yang telah disesuaikan dengan ukuran magnifikasi.

23

6.

Automatic processing film.

7.

Pendosemeter.

8.

Mistar sebagai alat ukur objek dan bayangan.

III.3 Prosedur Penelitian


Prosedur penelitan ini menggunakan pesawat x-ray jenis mobile unit
merk toshiba, buatan made in japan februari 2000 dan factor eksposi yang
digunakan Kv= 44, mA= 125, s= 0,025. Ukuran focal spot 1.2x1.2 mm yang
terdapat pada Rumah Sakit Bhayangkara Mappaoudang Makassar. Material
objek adalah koin bahan logam. Koin diletakkan pada pertengahan kaset
yang telah diisi lembar film. Tahap berikutnya adalah menetapkan SID 90
cm. Melakukan variasi pembesaran (magnifikasi) dengan rentang 1,00 2,50 dengan mengatur SOD dan OID sesuai ukuran yang telah ditetapkan.
Melakukan penyinaran sekaligus mengukur dosis yang diterima pasien atau
objek. Kemudian pengolahan film dengan menggunakan automatic
processing pada tempat dan waktu yang sama. Besar bayangan diukur
dengan menggunakan mistar.

Gambar III.1. Skema prosedur penelitian

24

III.4 Alur Penelitian

Persiapan Alat dan Bahan

Pengaturan Jarak, Faktor


Eksposi dan Objek

Melakukan Variasi
Magnifikasi

Pengukuran Dosis

Pengolahan Film

Pengukuran Bayangan

Hasil

Analisis

Kesimpulan

Gambar III.2. Alur prosedur penelitian

25

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil Penelitian


IV.1.1 Data ukuran bayangan dan nilai ketidaktajaman gambar
(unsharpness geometry)
Dalam penelitian ini telah dilakukan sebuah eksperimen
dengan menggunakan objek sebuah koin dengan ukuran diameter
objek adalah 2,30 cm. Dan faktor geometri yang digunakan dalam
penelitian ini adalah nilai SID (source to image distance) adalah 90
cm, magnifikasi yang dibuat adalah pada rentang 1,00 2,50 kali dan
ukuran fokal spot yang digunakan adalah 1,2 mm.
Berikut adalah tabel ukuran bayangan yang terjadi akibat nilai
pembesaran yang dikehendaki pada teknik makroradiografi. Ukuran
bayangan diukur sesuai dengan rumus (II.1.) dan mengukur
bayangannya langsung dengan menggunakan alat ukur mistar.

26

Tabel. IV.1. Nilai Jarak Sinar ke Objek (SOD)


dan Jarak Objek ke Bayangan (OID)
No.
1.

Magnifikasi
1,00

SOD
90 cm

OID
0 cm

2.

1,25

72 cm

18 cm

3.

1,50

60 cm

30 cm

4.

1,75

51.4 cm

38.6 cm

5.

2,00

45 cm

45 cm

6.

2,25
2,50

40 cm

50 cm
54 cm

7.

36 cm

Tabel IV.2. Nilai ukuran bayangan dari berbagai variasi nilai magnifikasi

No.

m
(magnifikasi)

1
2
3
4
5
6
7

1,00
1,25
1,50
1,75
2,00
2,25
2,50

Ukuran
Bayangan
Manual Rumus
(cm)
(cm)
2,30
2,90
3,50
4,10
4,70
5,30
5,80

2,30
2,87
3,45
4,02
4,60
5,17
5,75

Selisih ukuran
bayangan (cm)
0,02
0,05
0,07
0,10
0,12
0,05

Dari tabel IV.2. besarnya nilai ukuran bayangan dari berbagai


variasi nilai magnifikasi terdapat perbedaan atau penyimpangan yang
tidak terlalu signifikanpada ukuran bayangan yang terbentuk dengan
menggunakan alat ukur (manual) maupun dengan menggunakan
rumusan teori (II.1).
Nilai ketidaktajaman geometri yang diberi symbol Ug dapat
dicari dengan menggunakan konsep teori seperti pada gambar II.7.

27

dan II.8. dan menggunakan rumus (II.3). Cara lain mengukur nilai
ketidaktajaman geometry (Ug) dapat dihitung dengan mengukur
diameter bayangan yang terjadi yang disebut ukuran bayangan
sesunggunya (true magnification) yang diberi symbol M, dikurangi
dengan ukuran diameter koin yang diberi symbol m. Hasil
pengurangan

ini

dibagi

dua,

inilah

sebenarnya

nilai

dari

ketidaktajaman geometry (Ug).


Berikut adalah nilai ketidaktajaman geometry (Ug) dari
beberapa nilai magnifikasi gambar.
Tabel IV.3. Nilai ketidaktajaman geometry (Ug)

No.

m
(magnifikasi)

1
2
3
4
5
6
7

1,00
1,25
1,50
1,75
2,00
2,25
2,50

Geometric Unsharpness
(Ug)
Rumus
Manual (cm)
(cm)
0,3
0.3
0,6
0,6
0,9
0,84
1,2
1,2
1,5
1,5
1,75
1,8

Selisih
ukuran
bayangan
(cm)
0.06
0.05

Besarnya nilai ketidaktajaman geometry (Ug) seperti pada


tabel terdapat perbedaan atau penyimpangan yang tidak terlalu
signifikan pada nilai ukuran ketidaktajaman geometry (Ug) dengan
menggunakan alat ukur (manual) maupun dengan menggunakan
rumusan teori (II.3) yaitu pada magnifikasi 1.75 dengan selisih ukuran
bayangan 0.06 cm.

28

IV.1.2 Data Pengukuran Nilai Paparan Radiasi


Telah diketahui bahwa dalam pengukuran nilai dosis paparan
radiasi yang sampai ke pasien atau objek sangat erat kaitannya dengan
jarak antara sumber sinar-X ke objek. Hubungan nilai dosis paparan
radiasi dengan jarak adalah mengikuti hukum invers square law,
dalam arti semakin besar jarak pengukuran dosis radiasi maka nilai
dosisnya berkurang dengan kuadrat jaraknya. Demikian pula semakin
dekat jarak pengukuran dosis maka akan menghasilkan jumlah terima
dosis bertambah dengan kuadrat jaraknya.
Pengukuran guna mencapai pembuktian terhadap hal di atas
diawali dengan memvariasikan nilai magnifikasi dengan rentang 1
2,50 dengan faktor eksposi yang sama dan ukuran objek yang sama,
dengan meletakan detektor pendosemeter tepat di daerah center point
dari lapangan penyinaran. Hasil dari percobaan ini dapat dilihat pada
tabel dibawah ini:
Tabel.IV.4. Dosis paparan radiasi
pada variasi nilai magnifikasi gambar

No.

Magnifikasi

1
2
3
4
5
6
7

1,00
1,25
1,50
1,75
2,00
2,25
2,50

Dosis Paparan Radiasi yang


Diterima (Sv)
3,33
4,67
5,67
7,67
9,67
12,12
14,00

29

Pada magnifikasi 1.00 jarak OID yang digunakn 0 cm, dosis


paparan radiasi yang diterima oleh kulit sebanyak 3.33 Sv.
Magnifikasi 1.25 dengan jarak OID yang digunakan 18 cm, dosis
paparan radiasi yang diterima oleh kulit sebanyak 4.67 Sv.
Magnifikasi 1.50 dengan jarak OID yang digunakan 30 cm, dosis
paparan radiasi yang diterima oleh kulit sebanyak 5.67 Sv.
Magnifikasi 1.75 dengan jarak OID yang digunakan 38.6 cm, dosis
paparan radiasi yang diterima oleh kulit sebanyak 7.67 Sv.
Magnifikasi 2.00 dengan jarak OID yang digunakan 45 cm, dosis
paparan radiasi yang diterima oleh kulit sebanyak 9.67 Sv.
Magnifikasi 2.25 dengan jarak OID yang digunakan 50 cm, dosis
paparan radiasi yang diterima oleh kulit sebanyak 12.12 Sv.Dan pada
rentang yang tertinggi pada magnifikasi 2.50 dengan jarak OID yang
digunakan 54 cm, dosis paparan radiasi yang diterima oleh kulit
sebanyak 14.00 Sv.
IV.2 Pembahasan
IV.2.1 Pengaruh variasi magnifikasi gambar terhadap nilai ketidaktajaman
gambar
Sesuai dengan hasil penelitian yang terdapat di tabel IV.2 dan
IV.3 pengaruh variasi nilai magnifikasi gambar adalah mempengaruhi
ukuran bayangan dan nilai ketidaktajaman geometri (Ug). Makin
besar nilai magnifkasi maka nilai ketidaktajaman geometri (Ug) juga
semakin meningkat. Berikut grafik yang memperlihatkan variasi nilai

30

magnifikasi gambar pada teknik makroradiografi dengan besarnya


nilai ketidaktajaman geometri (Ug) dengan variabel nilai ukuran focal
spot yang tetap.

Perbandingan Unsharpness Geometri


unsharpness geometry

2
1,5
1
Manual
0,5

Rumus

0
1

1,25

1,5

1,75

2,25

2,5

Magnifikasi

Gambar IV.1. Grafik hubungan variasi nilai magnifikasi gambar dengan


nilai unsharpness geometry dengan pendekatan rumus dan manual.

Dari data grafik IV.1 tampak variasi nilai magnifikasi atau


pembesaran gambar menyebabkan peningkatan nilai ketidaktajaman
geometri atau unsharpness geometry pada teknik makroradiogarfi.
Semakin besar nilai magnifikasi maka semakin besar nilai
ketidaktajaman geometri dan bersifat linear.
Pengaruh variasi nilai magnifikasi terhadap besarnya nilai
ketidaktajaman geometri (Ug), hal ini telah sesuai dengan teori yang
ada. Nilai magnifikasi akan meningkat manakala faktor jarak objek ke
film (object to film distance/OID) meningkat. Kenaikan nilai

31

magnifikasi disebabkan adanya faktor peningkatan jarak objek ke


bidang film semakin jauh.
Pada grafik IV.1 terlihat perbedaan nilai yang tidak terlalu
signifikan antara pengukuran manual dan perhitungan rumus yaitu
berada pada nilai magnifikasi 1.75 dan 2.50. Perbedaan yang terjadi
antara 5% - 6%.

IV.2.2

Pengaruh variasi magnifikasi gambar terhadap nilai paparan

dosis radiasi
Berikut adalah grafik hubungan antara magnifkasi dengan nilai
paparan dosis radiasi :

Nilai Dosis Paparan Radiasi (Sv)

16
14
12
10
8
6
4
2
0
0

0,5

1,5

Variasi Nilai Magnifikasi

Gambar IV.2. Grafik hubungan variasi nilai magnifikasi


dengan dosis paparan radiasi

32

2,5

Dari gambar IV.2 tampak dengan jelas pengaruh variasi nilai


magnifikasi gambar pada teknik makroradiografi dengan besarnya
paparan radiasi yang diterima pasien akan sebanding dengan nilai
magnifikasi itu sendiri.
Hasil pengukuran nilai paparan dosis radiasi yang sampai ke
objek menunjukan adanya hubungan antara nilai magnifikasi dan
besarnya jumlah paparan dosis yang sampai ke pasien atau objek.
Hasil ini tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan hasil penelitian
pengaruh

nilai

magnifikasi

terhadap

ketidaktajaman

gambar

(unsharpness geometry) dimana dapat disimpulkan bahwa kenaikan


nilai dosis paparan radiasi disebabkan adanya peningkatan jarak OID
yang semakin dekat dengan sumber radiasi.
Mengingat akan pentingnya keselamatan radiasi sebaiknya
nilai rentang magnifikasi yang digunakan sebaiknya tidak terlalu dekat
dengan sumber radiasi, dan gambaran radiografi yang dihasilkan
memberikan informasi yang cukup untuk keperluan diagnosa.
Sebaiknya magnifikasi yang digunakan pada rentang 1.25
dengan jarak OID yang digunakan 18 cm, dan cukup jauh dari sumber
radiasi sehingga semakin kecil nilai dosis paparan radiasi yang
diterima oleh pasien.

33

BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan beserta hasil yang telah
dicapai, maka dapat disimpulkan :
1. Pengaruh magnifikasi yang ditetapkan berhubungan dengan penempatan jarak
OID dan SOD untuk menghasilkan ukuran bayangan pada film. Secara umum
tidak ada perbedaan yang signifikan pada pengukuran bayangan secara
manual maupun dengan menggunakan perhitungan rumus. Sedangkan
pengaruh magnifikasi terhadap ketidaktajaman geometri berbanding lurus,
dimana semakin besar nilai magnifikasi yang digunakan maka semakin besar
pula ketidaktajaman geometri yang dihasilkan.
2. Pengaruh variasi nilai magnifikasi terhadap terimaan dosis paparan radiasi
pada pasien diperoleh hasil yang linear, dimana semakin besar nilai
magnifikasi yang ditetapkan, sehingga semakin besar nilai dosis yang akan
diterima pasien karena jarak pasien dengan sumber radiasi semakin dekat.

34

V.2 Saran

1.

Variasi dari faktor geometri dapat ditambahkan atau diperbanyak agar


mendapatkan hasil yang lebih beragam dan akurat.

2.

Mengingat pentingnya upaya proteksi radiasi maka sebaiknya dalam


menghasilkan gambaran radiograf yang baik, pekerja radiasi juga harus
mengoptimalkan serendah mungkin dosis paparan radiasi yang
diterima oleh pasien.

35

DAFTAR PUSTAKA

1. Akhadi, M., 2000, Dasar-dasar Proteksi Radiasi, Cetakan Pertama,


Jakarta, PT. Rineka Cipta.
2. Carrol, QB., 1985, Principle of Radiographic Exposure Processing and
QualityContro, Third Edition, USA, Charless C, Thomas Publisher.
3. Chember, H., 1983, Pengantar Fisika Kesehatan (diterjemahkan oleh
Achmad Toekiman), Semarang, IKIP Press.
4. Curry III, Thomas S., 1984, ChristensensIntroduction to The Physics of
Diagnostic Radiology, Third Edition, Lea and Eigher Philadelphia
5. Halmshaw, Ron and Kowol, Tom, Indikator Kualitas Gambar Radiografi
Industri, Email: enquiries@ie-ndt.co.uk
6. Waaler, D and Hoffman, B, Image Rejects/Retakes Radiographic
Challenges
7. Website: http://radiographics.rsna.org
8. Website: http://dosimetri.html

36

Anda mungkin juga menyukai