Baby Blues
Baby Blues
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Baby blues syndrome, atau sering juga disebut postpartum distress syndrome
adalah perasaan sedih dan gundah yang dialami oleh sekitar 50-80% wanita setelah
melahirkan bayinya. Umumnya terjadi dalam 14 hari pertama setelah melahirkan,
dan cenderung lebih buruk sekitar hari ke tiga atau empat setelah persalinan
(Syahrir S, 2008).
Gejala baby blues Syndrome yang biasanya dialami oleh ibu setelah 3-4 hari
melahirkan namun memudar setelah beberapa minggu (National Mental Health
Association, 2003). Baby Blues Syndrome (BBS) adalah depresi ringan yang dialami
ibu setelah melahirkan. BBS juga disebut maternity blues, atau postpartum blues.
Gejalanya berupa gangguan emosi sering menangis, murung, panik, mudah marah
(Atmadibrata, 2005), dan disertai dengan gejala depresi, mood swings, gangguan
tidur dan selera makan, serta gangguan konsentrasi yang kesemuanya merupakan
akibat perubahan hormonal (National Mental Health Association, 2003). Menurut
Stanton dan Danoff-Burg, 1995 dalam Stoppard (2000) mengatakan bahwa mood
wanita yang terjadi selama periode kehamilan merupakan prediktor utama terjadinya
mood wanita pada periode setelah melahirkan (Syahrir S, 2008).
Faktor risiko dari baby blues syndrome yaitu faktor umur, paritas, adanya
persalinan yang sulit dan kesulitan dalam menyusui, kehamilan yang sulit atau
penuh kekhawatiran, setiap jenis trauma (riwayat depresi) masa kanak-kanak yang
dapat menimbulkan depresi, lebih khusus lagi pada hubungan yang penuh masalah
dengan ibu di masa kanak-kanak dan dukungan dari suami yang dapat
melatarbelakangi baby blues syndrome (Marshall F, 2004).
Prevalensi kejadian baby blues syndrome dari berbagai penelitian berbeda di
tiap Negara, berkisar antara 10-34. Penelitian di Negara barat menunjukkan kejadian
lebih tinggi dibandingkan dengan yang pernah dilaporkan dari asia, pada penelitia
yang dilakukan terhadap 154 wanita pasca persalinan di Malaysia pada tahun 1995
dilaporkan angka kejadian 3,9% terbanyak dari ras India (8,9%), Melayu (3,0%), dan
tidak adanya kasus pada ras Cina. Penelitian di Singapura dilaporkan angka
kejadiannya sebesar 1% (Elvira S, 2006). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
Jofesson dkk pada tahun 2002 didapatkan angka baby blues syndrome sekitar
10%-20% (Jofesson A, 2002).
Catatan medis tentang BBS telah ada sejak zaman Hippocrates, sekitar abad
ke 5 SM, namun dianggap kurang penting karena dipandang sekedar sebagai efek
kelelahan setelah melahirkan. Dr.dr. Irawati SpKj, M. Epid dari bagian psikiatri UI
melaporkan bahwa 25% dari 580 pasiennya (ibu melahirkan ) menagalami BBS. Dr.
Irawati menegemukakan gejala BBS dialami oleh sekitar 50-75% ibu melahirkan,
atau 2/3 dari jumlah ibu melahirkan di seluruh dunia (Atmadibrata, 2005).
Sedangkan The National Mental Health Association (2003) mengemukakan bahwa
sekitar 80% ibu yang melahirkan bayi untuk pertama kalinya mengalami gejala
tersebut (Syahrir S, 2008).
Pada penelitian pendahuluan yang pernah dilakukan dibagian/KSMF Obstetri
dan Ginekologi FKUP/RSHS Bandung, didapatkan angka kejadian sebesar 33,1%
diantara wanita yang melahirkan secara spontan, dan ternyata didapatkan pula
bahwa baby blues syndrome tersebut lebih banyak dijumpai pada wanita pekerja
dan mereka yang berpendidikan tinggi (Wratsangka R, 1996), beberapa penelitian
yang telah dilakukan di berbagai tempat di Indonesia anatar lain : di Jakarta,
Yogyakarta, dan Surabaya pada tahun 1998-2001 ternyata angka kejadian mencolok
tinggi yakni sebesar 11%-30% dibandingkan dengan kejadian di negara lain yang
ada di Asia. Dan penelitian lain didapatkan angka baby blues syndrome yang lebih
tinggi yaitu 23,4%-36,7% (Papayungan, 2005).
Hasil penelitian yang dilakukan Trika Rianta (2004) di RSIA Siti Fatimah
Makassar melaporkan efektifitas dukungan suami dalam hubungannya dengan
kejadian baby blues syndrome sebesar 23% sedangkan penelitian yang dilakukan
oleh Alfiben (2000) di RSU Hasan Sadikin Bandung melaporkan bahwa efektifitas
dukungan suami dalam hubungannya dengan kejadian baby blues syndrome
(depresi pasca persalinan) sebesar 33%. Selain itu kejadian baby blues syndrome
di RSB Pertiwi Propinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2007 adalah 23 kasus (20,0%)
dari 1362 persalinan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu bidan di BPS Lusia
Sandaden Kelurahan Sudiang Raya Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar
Propinsi Sulawesi Selatan (Desember, 2011), yang merawat langsung ibu
postpartum di ruang rawat inap bersalin diketahui bahwa pada hari ketiga setelah
melahirkan sering menemukan gejala-gejala pada ibu postpartum seperti bersedih,
cemas, mudah marah, tidak nafsu makan, susah tidur dan kurang perhatian pada
bayinya pada saat menangis. Hal ini merupakan bagian dari gejala gangguan
psikologis yang mengarah pada baby blues syndrome.
Berdasarkan hal diatas dan observasi awal yang peneliti lakukan terhadap
ibu-ibu hamil dengan usia kehamilan 9 bulan atau pun ibu-ibu yang telah melahirkan
di BPS Lusia Sandaden Kelurahan Sudiang Raya Kecamatan Biringkanaya Kota
Makassar Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2011, setelah memberikan kuesioner
EPDS (Edinburgh Postnatal Depression Scale) ditemukan kasus baby blues
syndrome dengan jumlah kasus yaitu 37. Hal inilah yang mendasari peneliti untuk
melakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis besar risiko kejadian baby
blues syndrome di BPS Lusia Sandaden Kelurahan Sudiang Raya Kecamatan
Biringkanaya Kota Makassar Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2011 berdasarkan
umur, paritas, riwayat depresi, komplikasi kehamilan, komplikasi persalinan, dan
dukungan suami.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi
rumusan masalah adalah :
1. Apakah umur ibu merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues syndrome ?
2. Apakah paritas merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues syndrome ?
3. Apakah riwayat depresi merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues
syndrome?
4. Apakah komplikasi kehamilan merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues
syndrome?
5. Apakah komplikasi persalinan merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues
syndrome?
6. Apakah dukungan suami merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues
syndrome?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Menganalisis besarnya risiko baby blues syndrome di BPS Lusia Sandaden
Kelurahan Sudiang Raya Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar Propinsi
2.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
saja
melalui
proses
persalinan
yang
melelahkan,
semua
ini
akan
Padahal, seharusnya ibu tengah berbunga-bunga karena si mungil yang dinantinanti selama sembilan bulan sudah ada dalam dekapan. Kondisi yang mungkin
terasa aneh inilah yang disebut baby blues syndrome (Mayla, 2007).
Staf pengajar Bagian Psikiatri FKUI/RSCM Jakarta, dr Suryo Dharmono SpKJ
menuturkan, baby blues merupakan fenomena normal yang dialami sekitar 70
persen wanita selepas melahirkan. Apalagi wanita yang baru melahirkan pertama
kali, biasanya masih gugup menghadapi perubahan peran dan fungsinya sebagai
ibu baru. Di satu sisi, hatinya terisi dengan kebahagiaan yang membuncah, di sisi
lain fluktuasi mood menyebabkannya feeling blue. Sindrom baby blues sering kali
tidak disadari, baik oleh wanita yang bersangkutan maupun orang lain di sekitarnya.
Wanita yang mengalami baby blues biasanya ditandai dengan gejala khas berupa
depresi ringan, perasaan yang tidak menentu (moody), mudah sedih, murung dan
rasa ingin menangis. Beberapa ada juga yang disertai gejala sulit tidur, sulit
berkonsentrasi, sering bingung, dan pikiran yang terlalu mengkhawatirkan bayi atau
ragu akan kemampuannya mengurus bayi. Namun, tidak perlu risau karena kondisi
ini umumnya hanya berlangsung singkat (biasanya pada minggu pertama) (Mayla,
2007).
Baby blues (depresi Pasca melahirkan) didalam islam dapat diartikan sebagai
orang yang berputus asa dan didalam Al-Quran ALLAH SWT telah berfirman :
Terjemahan :
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah
Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah
Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan
kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan
kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami;
ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah
Kami terhadap kaum yang kafir." (Al-Baqarah : 286).
Ayat diatas menjelaskan tentang larangan berputus asa dan Allah tidak
memberikan beban kepada hambanya sesuai dengan kesanggupannya. Hubungan
antara ayat diatas dengan kejadian baby blues terhadap ibu-ibu yang telah
melahirkan terletak pada kalimat Allah tidak membebani seseorang melainkan
kesanggupannya, ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia
mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya..Dimana seorang wanita
dimasa mudanya telah berusaha mempersiapkan diri secara mental untuk memiliki
anak dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang tata cara merawat bayi maka
dia tidak akan stress atau merasa terbebani terhadap bayinya. Sedangkan wanita
yang tidak siap secara mental maupun fisik, dan ditambah dengan pengetahuan
yang rendah tentang tata cara merawat bayi, maka wanita tersebut rentan untuk
depresi atau menderita baby blues syndrome dikarenakan tidak adanya kesiapan.
2. Etiologi Baby Blues Syndrome
Sampai saat ini masih belum ada kesepakatan diantara para ahli tentang
Faktor yang menjadi penyebab dari depresi pasca persalinan (Sari LS, 2009).
Diduga disebabkan oleh beberapa faktor yang saling mempengaruhi antara lain :
a. Faktor Psikososial
Pitt menyatakan bahwa depresi pasca persalinan merupakan gangguan spesifik
yang dibedakan dari gangguan depresi klasik. Beliau menyebutkan dengan depresi
atipik yang lebih merupakan respons terhadap stres non spesifik dibandingkan
dengan perubahan yang bersifat biologik yaitu perubahan hormonal yang menyertai
kelahiran anak (Sari LS, 2009).
Penelitian keadaan psikososial dari depresi pasca persalinan meyakinkan
adanya hubungan antara keadaan tertentu yang terjadi selama kehamilan dengan
timbulnya depresi post partum. Kumar, Rabson, Watson dan kawan-kawan, Cox dan
kawan-kawan menyatakan bahwa faktor - faktor psikososial yang berkorelasi
dengan timbulnya sindroma depresi pasca persalinan antara lain (Sari LS, 2009):
1. Konflik dalam perkawinan, yang meliputi :
pengaturan
mood
pada
wanita
(Parry
BL
dkk,
2000).
Disfungsi
tiroid
l)
Sekilas baby blues memang tidak berbahaya. Tapi kondisi ini, efeknya sangat
nyata pada perkembangan anak karena biasanya ibu yang mengalami baby blues
tidak dapat merawat anaknya dengan baik, jadi secara otomatis ia juga tidak bias
memberikan kebutuhan yang seharusnya diterima anaknya, baik itu dari segi
perhatian maupun nutrisi yang masuk ketubuhnya (Syahrir S, 2008).
Didalam Al-Quran Surah Al-Baqarah (2) ayat 233 ALLAH SWT telah
berfirman tentang ibu lebih berhak merawat anaknya dan berkasih sayang kepada
anaknya
yaitu
Terjemahan:
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan
dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun)
dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas
keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang
kamu kerjakan (Al-Baqarah (2) : 233).
Selain itu didalam surah lain ALLAH SWT Berfirman Yaitu :
Terjemahan :
Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan
mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya
pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati
makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh
(makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya
Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab (Qs Al-Imran
(3) : 37)
Ayat ayat diatas menjelaskan tentang kewajiban seorang ibu untuk merawat
anaknya dengan cara menyusui anaknya selama dua tahun, mendidik seorang anak
dengan pendidikan yang baik. Oleh karena itu seorang ibu hendaklah merawat
anaknya dengan baik yang disertai ketulusan hati dalam merawat anak tanpa
adanya tekanan jiwa atau pun rasa stress karena stress dan sikap yang tidak tulus
ibu yang secara terus menerus diterima oleh bayi kelak bisa membuatnya menjadi
anak yang mudah menangis, pencemas sekaligus pemurung. Dampak lain yang
tidak kalah merugikan adalah bayi cenderung mudah sakit, kurangnya perhatian ibu
pada bayinya juga merupakan dampak dari baby blues.
B. Tinjauan Umum Tentang Umur
Umur itu sendiri bukan faktor utama yang menentukan apakah wanita lebih
rentan atau kurang rentan terhadap depresi pasaca melahirkan (baby blues).
Namun, ada gunanya bila kita mengetahui berbagai tekanan yang dialami para
wanita baik usia muda maupun tua karena hal ini berperan dalam terjadinya depresi.
Dewasa ini, lebih banyak wanita melahirkan di usia cukup matang (rata-rata 28
tahun walaupun beberapa wanita menunda kehamilan beberapa tahun lebih lama),
dengan kematangan dan toleransi yang lebih besar dan gaya hidup yang lebih
mapan, wanita yang lebih tua juga lebih terbiasa memegang kendali, lebih mampu
mengatur hidupnya, suatu sikap yang membuat depresi lebih muda terjadi bila hal itu
berkaitan dengan perwatan bayi. Wanita berkarir tinggi yang baru melahirkan bayi
dan dapat kembali bekerja dalam waktu sepuluh hari adalah mitos yang
mencengkam imajinasi masyarakat kita dan meskipun ini cocok untuk beberapa
individu, tidaklah realistis untuk sebagian besar wanita. Bagamainapun juga, wanita
kariri yang sudah matang khususnya, sangat sulit melepaskan sikapnya yang teratur
sewaktu merawat bayi. Mereka pikir mereka dapat menangani, tetapi sewaktu bayi
membuatnya kerepotan dengan tangisannya yang terus menerus, rasa laparnya
yang tidak teratur, jadwal yang tidak jelas dan membuatnya kurang tidur, mereka
umumnya lebih rentan terhadap depresi. Sedangkan ibu yang usianya lebih muda,
meskipun lebih muda menyesuaikan diri, tidak terlalu kaku dalam bertindak dan
mempunyai energi fisik lebih besar, mereka tidak mempunyai kesabaran atau
kematangan seperti yang dimiliki wanita lebih matang, yang telah menunggu lama
untuk mendapatkan keturunan. Mereka lebih muda kehilangan rasa mudanya , atau
bahwa mereka harus kehilangan karir yang sedang dibangunnya atau kadang baru
dimulai. Kedua perasaan ini dapat menimbulkan kesdihan yang ikut berperan dalam
terjadinya depresi (Marshall, 2004).
Ibu yang berusia 40 tahun ke atas mengalami risiko yang tinggi untuk
mengandung. Biasanya bayi yang dilahirkan mengalami Sindrom Down. Tekanan
darah tinggi, diabetes, kardiovaskular yang dialami oleh ibu yang juga berisiko pada
janin yang dikandungnya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Syahrir S (2008)
menyatakan bahwa umur merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues,
besar risiko penderita baby blues pada umur <20 tahun atau >35 tahun 3,5 kali lebih
besar dibanding penderita yang berumur 20-35 tahun (Syahrir S, 2008).
C. Tinjauan Umum Tentang Paritas
Paritas adalah jumlah persalinan yang pernah dialami oleh ibu baik lahir hidup
maupun lahir mati dengan umur kehamilan 28 minggu. Ibu dengan paritas tinggi
menggambarkan tingkat kehamilan yag banyak dan cenderung mengalami
komplikasi kehamilan. Hal ini disebabkan karena secara fisik jumlah paritas yang
tinggi mengurangi kemampuan uterus sebagai media pertumbuhan janin. Kerusakan
pembuluh darah dinding uterus akan memengaruhi sirkulasi nutrisi maupun oksigen
ke janin (Wiknojosastro, 1997).
Salah satu penelitian menunjukkan bahwa depresi ditemukan pada kehamilan
pertama. Mereka yang pernah mengalami baby blues (depresi pasca persalinan)
dianggap sangat rentan untuk mengalaminya kembali (Marshall, 2004). Demikian
juga pada penelitian Syahmawati yang menyatakan bahwa paritas merupakan faktor
risiko terhadap kejadian baby blues, besar risiko penderita baby blues yang
primipara 3,6 kali lebih besar dibanding penderita baby blues yang multipara.
(Syahrir S, 2008).
berfungsi dengan baik atau terpisah dari rahim, tekanan atatu kekusutan pada tali
pusar, aktivitas rahim yang panjang dan berlebihan atau infeksi janin, cacat,
perdarahan, serta penyakit pada ibu (anemia, hipertensi, penyakit jantung, tekanan
darah rendah yang tidak wajar), distosia bahu, rahim robek, inverse rahim, luka
goresan pada vagina dan leher rahim, perdarahan pasca kelahiran, serta infeksi
pasca kelahiran (Marshall, 2000).
Hampir 20% pada wanita hamil takut terhadap suatu persalinan sedangkan
tingkatan nyeri persalinan sampai bentuk yang paling berat dirasakan sebagai hal
yang tidak menyenangkan secara psikis dan ini tidak dapat diterima oleh sekita 30%
wanita (Mathai M, 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Jacobson (1987) dan
Playfair (1981) menunjukkan adanya hubungan yang bermakna, yaitu bahwa baby
blues lebih banyak dialami oleh wanita dengan riwayat komplikasi obstetric yang
kurang baik. Selain itu, dari hasil penelitian Syahrir S (2008) di Rumah Sakit Bersalin
Pertiwi menyatakan bahwa komplikasi persalinan merupakan faktor risiko terhadap
kejadian baby blues, besar risiko penderita baby blues yang memiliki komplikasi
persalinan 5,9 kali lebih besar dibanding penderita baby blues yang tidak
mempunyai komplikasi persalinan (Syahrir S, 2008).
G. Tinjauan Umum Tentang Dukungan Suami
Interaksi pasien dengan lingkungannya merupakan faktor pendukung
terjadinya
proses
kelahiran
normal.
Suami
adalah
orang
terdekat
yang
persalinan baik oleh suami, kerababt wanita maupun tenaga khusus yang dilatih
untuk itu menunjukkkan manfaat yang sangat banyak (Kusmiyanti dkk, 2004).
Presentase dukungan suami dengan kejadian Postpartum Blues pada ibu
primipara yaitu responden yang menyatakan dukungan dari suami kurang 4 orang
sebanyak (16%), dukungan suami yang dikategorikan sedang mempunyai frekuensi
15 orang sebanyak (60%) dan dukungan suami yang dikategorikan tinggi 6 orang
sebanyak (24%). Dukungan sosial (suami) merupakan salah satu bentuk interaksi
sosial yang di dalamnya terdapat hubungan yang saling memberi dan menerima
bantuan yang bersifat nyata, bantuan tersebut akan menempatkan individu-individu
yang terlibat dalam sistem sosial yang pada akhirnya akan dapat memberikan cinta,
perhatian maupun sense of attachment baik pada keluarga sosial maupun pasangan
(Fatimah S, 2009).
Dukungan suami terhadap istrinya bisa di lakukan dengan membantu istri
dalam perawatan bayi misalnya ketika ibu menyusui bayinya, sang ayah tidak hanya
tidur sepanjang malam. Ayah bisa menemani ibu dan bayi, mengangkat bayi dari
tempat tidurnya, mengganti popok bayi bila perlu, memberikan bayi pada ibu saat
jam menyusui, dan mengembalikan bayi ke tempat tidurnya ketika bayi telah tertidur
kembali. Dukungan suami sangat penting dan tidak bisa diremehkan dan yang tak
kalah penting membangun suasana positif, dimana istri merasakan hari-hari pertama
yang melelahkan. Oleh sebab itu dukungan atau sikap positif dari pasangan dan
keluarga akan memberi kekuatan tersendiri bagi ibu (Fatimah S, 2009).
Peranan suami selama kehamilan, persalinan, dan perawatan bayi
mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian baby blues. Maka upaya
untuk meningkatkan dukungan suami selama proses tersebut diperkirakan apat
menurunkan kejadian baby blues (Alfiben, 2000). Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Syamawati bahwa tidak adanya dukungan suami merupakan faktor risiko
terhadap kejadian baby blues, besar risiko penderita baby blues tanpa dukungan
dari suami 24 kali lebih besar dibanding penderita baby blues yang mendapatkan
dukungan dari suami (Syahrir S, 2008). Maka dari itu perlu adanya peningkatan
peranan suami sebagai pendamping dalam proses persalinan secara kontinyu guna
menurunkan angka kejadian baby blues.
H. Tinjauan Umum Tentang Validasi Edinburgh Postnatal Depression Scale
(EPDS)
Riset yang dilakukan di Universitas Edinburgh telah menghasilkan kuesioner
khusus untuk membantu tenaga kesehatan menilai apakah seorang wanita
menderita depresi pasca melahirkan (Syahrir, 2008). Di luar negeri skrining untuk
mendeteksi gangguan mood/ depresi sudah merupakan acuan pelayanan pasca
salin yang rutin dilakukan. Untuk skrining ini dapat dipergunakan beberapa
kuesioner dengan sebagai alat bantu. Edinburgh Postnatal Depression Scale
(EPDS) merupakan kuesioner dengan validitas yang teruji yang dapat mengukur
intenstas perubahan perasaan depresi selama 7 hari pasca persalinan. Pertanyaanpertanyaannya berhubungan dengan labilitas perasaan, kecemasan, perasaan
bersalah serta mencakup hal-hal lain yang terdapat pada baby blues (Iskandar,
2007)
Kuesioner ini terdiri dari 10 (sepuluh) pertanyaan, di mana setiap pertanyaan
memilki 4 (empat) pilihan jawaban yang mempunyai nilai skor dan harus dipilih satu
sesuai dengan gradasi perasaan yang dirasakan ibu pasca persalinan saat itu
(Mayu, 2004). Nilai skoring yang dianggap positif (Cut Of Point) depresi pasca
persalinan para peneliti memberikan nilai bervariasi 9 sampai 13. Nilai skor 13
pada skala ini, dianggap pasien memilki kecenderungan untuk mengalami depress.
EPDS telah diakui dapat mendetksi depresi pasca persalinan pada sampel yang
diambil dari masyarakat. Dengan menggunakan nilai ambang 12/13, skala tersebut
memilki sensitivitas 68% sampai 86% spesifitas sebesar 78% sampai 96%. Skala ini
terbukti memilki sensitivitas dan spesifitas baik untuk membantu penilaian diagnosis
psikiatri yang diakui dan diterapkan pemakaiannya di Inggris dan Australia (Alfiben,
2000). Dalam melengkapi kuesioner tersebut sebaiknya ibu tidak ditemani oleh
anggota keluarga yang lain, hal ini dilakukan untuk memberikan hasil yang lebih
baik. Pertanyaan harus dijawab sendiri oleh ibu dan rata-rata dapat diselesaikan
dalam waktu 5 menit (Rianta, 2004). EPDS juga telah teruji validitasnya di beberapa
Negara seperti Belanda, swedia, Australia, italia, dan Indonesia. EPDS dapat
dipergunakan dalam minggu pertama pasca persalinan dan ila hasilnya meragukan
dapat diulangi pengisiannya 2 (dua) minggu kemudian (Iskandar, 2007).
Studi Caldwell dan Antonucci menemukan pada sampel 48 ibu-ibu remaja
bahwa usia, dukungan status sosial ekonomi keluarga, secara signifikan
berhubungan dengan simtom-simtom depresi pasca persalinan. Birkeland dan
kawan-kawan meneliti depresi pasca persalinan dengan menggunakan Edinburg
Postnatal Depression Scale (EPDS) yang merupakan self report untuk mengukur
simtom depresi mendapatkan skor EPDS 0,83 (Reid V dkk, 2007).
Patricia Hannah dan kawan-kawan meneliti 217 pasien depresi pasca
persalinan dengan menggunakan EPDS pada hari ketiga dan minggu keenam
pasca persalinan, mendapatkan adanya korelasi positif yang signifikan dari kedua
skor tersebut, bersama-sama dengan profil gejala yang sama. Dari 25 wanita
menderita depresi pasca persalinan (skor EPDS minggu keenam adalah 13), 17
memiliki gejala-gejala yang sama pada minggu pertama pasca persalinan (skor
EPDS hari ketiga adalah 10) (Sari LS, 2009).
Studi Cox dan kawan-kawan mendapatkan bahwa usia rata-rata depresi
pasca persalinan adalah 26 tahun, 75% menjalani kelahiran normal, 15% menjalani
secsio sesarea dan 10% menjalani kelahiran forcep. Sebagian besar sudah menikah
(81%), sedangkan 13% memiliki mitra permanen. Hanya 6% yang merupakan
orangtua tunggal. Prevalensi seumur hidup untuk depresi berat pada populasi umum
adalah sekitar 10%, pada wanita sekitar 25%. Paling sedikit 10% dari wanita
menderita gangguan mood yang berhubungan dengan periode postpartum.
Sedangkan angka prevalensi depresi pasca persalinan bervariasi antara 1 permil
sampai 15% dari angka ibu melahirkan tergantung berat ringannya gangguan mental
yang menjadi objek penelitian. Penelitian lainnya mendapatkan prevalensi depresi
pasca persalinan yang lebih tinggi, yaitu 23,3% - 36,7%. Depresi pasca persalinan
terjadi pada sekitar 1 dari 10 wanita hamil dan biasanya tidak terdiagnosa (Sari LS,
2009).
DAFTAR PUSTAKA
Alfiben, 2000. Efektifitas Peningkatan Dukungan Suami Dalam Menurunkan Terjadinya
Depresi Postpartum: (Tesis) Program Pendidikan Dokter Spesialis I Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta.
Elvira S. 2006. Depresi Pasca Persalinan. Balai Penerbit FKUI; Jakarta.
Fatimah, Sitti. 2009. Hubungan Dukungan Suami dengan Kejadian Postpartum Blues pada
Ibu Primipara di Ruang Bugenvile RSUD Tugurejo Semarang: (Artikel Riset
Keperawatan) Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas di
Ponegoro; Semarang
Iskandar, Suhandi, Sugi, 2007. Post Partum Blues.
http://www.mitrakeluarga.net/kemayoran/kesehatan005.html (tanggal akses 4
Desember 2011)
Jofesson A dkk. 2002. Obstetric, Somatic, and Demographic Risk Factors for Postpartum
Depressive Symptoms; in the American College of Obstetricians and Gynecologists.
Kusmiyanti Margaretha dkk. 2004.Pengaruh Pendampingan Keluarga Selama Proses
Persalinan Terhadap Keberhasilan Persalinan di Pelayanan Kesehatan X Tahun
2004. Pascasarjana Kekhususan Kesehatan Reproduksi; FKM UI.
Majalah Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 1998. Vol.22. Nomor 2. Hlm 49-57; Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirihardjo.
Marshall, Fiona. 2004. Depresi Pasca Melahirkan . Arcan; Jakarta.
Marshall, Connie. 2000. Awal Menjadi Seorang Ibu. Arcan; Jakarta.
Mathai M, Sanghvi H, Guidotti RJ. 2000. Normal Labour and Childbirth. In : Manging
Complication In pregnancy and Childbirth : A Guide For Midwivwes and Doctor.
World Health Organization.
Mayla, Freyja, 2007. Baby Blues Syndrome. http://www.freyjamayla.blogspot.com (tanggal
akses 9 Desember 2011)
National Mental Health Association, 2003. Recognizing Postpartum Depression.
http://www.nmha.org. (Diakses pada tanggal 17 Desember 2011)
Norhana SW, 1995. Pendekatan Psychiatry Liaison pada Depresi Pasca Partus. Indonesian
Psychiatric Quarterly ; XXVIII ;4:91-8.
Obstetri Fisiologi. 1983. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Padjajaran Badung.
Papayungan D, 2005. Pendekatan Consultation-Liaison Psychiatry pada Penatalaksanaan
Depresi Pasca Bersalin Indonesian Psychiatric Quarterly ; 4 : 79-92.
Rianta, Trika. 2004. Efektifitas Pendampingan Suami Pada Kala II Persalinan dan Kejadian
Depresi Pasca Persalinan. (Skripsi) Program Pendidikan Dokter Spesialis I (PPDS I)
Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makassar.
Reid V, Oliver MM, 2007. Postpartum Depression in Adolescent Mothers : An Integrative Review
of the Literature. Journal of Pediatric Health Care ; 21 : 289-98.
Saifuddin AB, Adriaans G, Wiknojosastro GH, Waspodo D. 2000. Persalinan Normal. Dalam :
Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal., Cetakan ke-2.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; Jakarta.
Sari LS, 2009. Sindroma Depresi Pasca Persalinan Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam
Malik Medan. (Tesis) Bidang Ilmu Kedokteran Jiwa pada Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. Medan.
Syahrir S, 2008. Faktor Risiko Baby Blues di Rumah sakit Bersalin Pertiwi Propinsi Sulwasesi
Selatan Tahun 2007.(Skripsi) Program Studi Epidemiologi Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Hasanuddin. Makassar.
Wisner KL, Parry BL, Piontek CM. 2002. Postpartum Deoression.
N Engl J Med ; 347 : 194 -99.
Wicaksono, Aries. 2007. Cara Mengatasi Baby Blues Syndrome.
http://www.liputan6.com/kesehatan/denpasar (tanggal akses, 16 Desember 2011)
Wiknojosastro H, 1996. Fisiologi dan Meaknisme Persalinan Normal. Dalam : Ilmu Kebidanan.
Cetakan Ke-4. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; Jakarta.
Wratsangka R, Hasan B, Wijayanegara H. 1996. Tinjauan Kasus Postpartum Blues di RSU
Dr. Hasan Sadikin-Bandung; Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
(POGI).