Makalah Cacing
Makalah Cacing
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Ascaris lumbricoides
1.1.1. Epidemiologi
Pada umumnya frekuensi tertinggi penyakit ini diderita oleh anak-anak
sedangkan orang dewasa frekuensinya rendah. Hal ini disebabkan oleh karena
kesadaran anak-anak akan kebersihan dan kesehatan masih rendah ataupun
mereka tidak berpikir sampai ke tahap itu. Sehinga anak-anak lebih mudah
diinfeksi oleh larva cacing Ascaris misalnya melalui makanan, ataupun infeksi
melalui kulit akibat kontak langsung dengan tanah yang mengandung telur
Ascaris lumbricoides.
Faktor host merupakan salah satu hal yang penting karena manusia
sebagai sumber infeksi dapat mengurangi kontaminasi ataupun pencemaran
tanah oleh telur dan larva cacing, selain itu manusia justru akan menambah
polusi lingkungan sekitarnya. Di pedesan kasus ini lebih tinggi prevalensinya,
hal ini terjadi karena buruknya sistem sanitasi lingkungan di pedesaan, tidak
adanya jamban sehingga tinja manusia tidak terisolasi sehingga larva cacing
mudah menyebar. Hal ini juga terjadi pada golongan masyarakat yang
memiliki tingkat social ekonomi yang rendah, sehingga memiliki kebiasaan
membuang tinja (defekasi) ditanah, yang kemudian tanah akan terkontaminasi
dengan telur cacing yang infektif dan larva cacing yang seterusnya akan
terjadi reinfeksi secara terus menerus pada daerah endemik (Brown dan
Harold, 1983 dalam Rasmaliah, 2001).
Perkembangan telur dan larva cacing sangat cocok pada iklim tropik
dengan suhu optimal adalah 23C sampai 30C. Jenis tanah liat merupakan
tanah yang sangat cocok untuk perkembangan telur cacing, sementara dengan
bantuan angin maka telur cacing yang infektif bersama dengan debu dapat
menyebar ke lingkungan (Rasmaliah, 2001).
1.1.2. Morfologi
Taksonomi dari Ascaris lumbricoides kingdom; animalia, filum
nematode, klas secementae, ordo ascaridida, family ascarididae, genus ascaris
dan spesies Ascaris lumbricoides.
Cacing betina dewasa mempunyai bentuk tubuh posterior yang
membulat (conical), berwarna putih kemerah-merahan dan mempunyai ekor
lurus tidak melengkung. Cacing betina mempunyai panjang 22 - 35 cm dan
memiliki lebar 3 - 6 mm (Prasetyo, 2003).
gambaran
histologinya
merupakan
sifat
tipe
didalam rongga badan, cacing jantan mempunyai dua buah spekulum yang
dapat keluar dari kloaka dan pada cacing betina, vulva terbuka pada
perbatasan sepertiga badan anterior dan tengah, bagian ini lebih kecil dan
dikenal sebagai cincin kopulasi (Prasetyo, 2003 dan Rasmaliah, 2001).
dari pigmen empedu. Telur yang tidak dibuahi (unfertilized) berada dalam
tinja, bentuk telur lebih lonjong dan mempunyai ukuran 88-94 x 40-44
mikron, memiliki dinding yang tipis, berwarna coklat dengan lapisan
albuminoid yang kurang sempurna dan isinya tidak teratur (Rasmaliah, 2001).
Gambar
4.
Telur
lumbricoides fertil
Ascaris
atas, larva berganti kulit lagi menjadi cacing dewasa. Umur cacing dewasa
kira-kira satu tahun, dan kemudian keluar secara spontan.
Siklus hidup cacing ascaris mempunyai masa yang cukup panjang, dua
bulan sejak infeksi pertama terjadi, seekor cacing betina mulai mampu
mengeluarkan 200.000 250.000 butir telur setiap harinya, waktu yang
diperlukan adalah 3 4 minggu untuk tumbuh menjadi bentuk infektif
(Rasmaliah 2001).
Menurut penelitian stadium ini merupakan stadium larva, dimana telur
tersebut keluar bersama tinja manusia dan di luar akan mengalami perubahan
dari stadium larva I sampai stadium III yang bersifat infektif. Telur-telur ini
tahan terhadap berbagai desinfektan dan dapat tetap hidup bertahun-tahun di
tempat yang lembab. Di daerah hiperendemik, anak-anak terkena infeksi
secara terus-menerus sehingga jika beberapa cacing keluar, yang lain menjadi
dewasa dan menggantikannya. Jumlah telur ascaris yang cukup besar dan
dapat hidup selama beberapa tahun maka larvanya dapat tersebar dimanamana, menyebar melalui tanah, air, ataupun melalui binatang. Maka bila
makanan atau minuman yang mengandung telur ascaris infektif masuk
kedalam tubuh maka siklus hidup cacing akan berlanjut sehingga larva itu
berubah menjadi cacing. Jadi larva cacing ascaris hanya dapat menginfeksi
tubuh melalui makanan yang tidak dimasak ataupun melalui kontak langsung
dengan kulit (Rasmaliah, 2001).
Karena telur cacing Ascaris dapat hidup dalam tanah selama bertahun-tahun,
pencegahan dan pemberantasan di daerah endemik adalah sulit. Adapun upaya
yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit ini adalah sebagai berikut:
1. Mengadakan kemotrapi massal setiap 6 bulan sekali didaerah endemik
ataupun daerah yang rawan terhadap penyakit askariasis.
2. Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan.
3. Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat mematahkan siklus
hidup cacing misalnya memakai jamban/WC.
4. Makan makanan yang dimasak saja.
5. Menghindari sayuran mentah (hijau) dan selada di daerah yang
menggunakan tinja sebagai pupuk.
b. Pengobatan penderita
Bila mungkin, semua yang positif sebaiknya diobati, tanpa melihat
beban cacing karena jumlah cacing yang kecilpun dapat menyebabkan migrasi
ektopik dengan akibat yang membahayakan. Untuk pengobatan tentunya
semua obat dapat digunakan untuk mengobati Ascariasis, baik untuk
pengobatan perseorangan maupun pengobatan massal. Pada waktu yang lalu
obat yang sering dipakai seperti : piperazin, minyak chenopodium, hetrazan
dan tiabendazol. Oleh karena obat tersebut menimbulkan efek samping dan
sulitnya pemberian obat tersebut, maka obat cacing sekarang ini berspektrum
luas, lebih aman dan memberikan efek samping yang lebih kecil dan mudah
pemakaiannya (Soedarto, 1995). Adapun obat yang sekarang ini dipakai
dalam pengobatan adalah :
1. Mebendazol.
Obat ini adalah obat cacing berspektrum luas dengan toleransi hospes
yang baik. Diberikan satu tablet (100 mg) dua kali sehari selama tiga hari,
tanpa melihat umur, dengan menggunakan obat ini sudah dilaporkan beberapa
kasus terjadi migrasi ektopik.
2. Pirantel Pamoat.
Dosis tunggal sebesar 10 mg/kg berat badan adalah efektif untuk
menyembuhkan kasus lebih dari 90 %. Gejala sampingan, bila ada adalah
ringan dan obat ini biasanya dapat diterima (well tolerated). Obat ini
mempunyai keunggulan karena efektif terhadap cacing kremi dan cacing
tambang. Obat berspekturm luas ini berguna di daerah endemik dimana
infeksi multipel berbagai cacing Nematoda merupakan hal yang biasa.
3. Levamisol Hidroklorida.
Obat ini agaknya merupakan obat anti-askaris yang paling efektif yang
menyebabkan kelumpuhan cacing dengan cepat. Obat ini diberikan dalam
dosis tunggal yaitu 150 mg untuk orang dewasa dan 50 mg untuk orang
dengan berat badan <10 kg. Efek sampingan lebih banyak dari pada pirantel
pamoat dan mebendazol.
4. Garam Piperazin.
Obat ini dipakai secara luas, karena murah dan efektif, juga untuk
Enterobius vermicularis, tetapi tidak terhadap cacing tambang. Piperazin sitrat
diberikan dalam dosis tunggal sebesar 30 ml (5 ml adalah ekuivalen dengan
750 mg piperazin). Reaksi sampingan lebih sering daripada pirantel pamoat
dan mebendazol. Ada kalanya dilaporkan gejala susunan syaraf pusat seperti
berjalan tidak tetap (unsteadiness) dan vertigo.
10
: Nematoda
Kelas
: Plasmidia
Ordo
: Rabtidia
Super famili
: Oxyuroidea
Family
: Oxyuridea
Genus
: Enterobius
Species
: Enterobius vermicularis
1.2.3. Morfologi
Ukuran telur E. vermicularis yaitu 50-60 mikron x 20-30 mikron (ratarata 55 x 26 mikron). Telur berbentuk asimetris, tidak berwarna, mempunyai
dinding yang tembus sinar dan salah satu sisinya datar. Telur ini mempunyai
kulit yang terdiri dari dua lapis yaitu : lapisan luar berupa lapisan albuminous,
translucent, bersifat mechanical protection. Di dalam telur terdapat bentuk
larvanya. Seekor cacing betina memproduksi telur sebanyak 11.000 butir
11
setiap harinya selama 2 samapi 3 minggu, sesudah itu cacing betina akan mati
(Soedarto, 1995).
12
13
14
15
a. Cacing dewasa
Cacing dewasa dapat ditemukan dalam feses, dicuci dalam larutan Nacl
agak panas, kemudian dikocok sehingga menjadi lemas, selanjutnya diperiksa
dalam keadaan segar atau dimatikan dengan larutan fiksasi untuk
mengawetkan. Nematoda kecil seperti E. vermicularis dapat juga difiksasi
engan diawetkan dengan alkhohol 70% yang agak panas. (Brown, 1983)
b. Telur cacing
Telur E. vermicularis jarang ditemukan didalam feses, hanya 5% yang
positif pada orang-orang yang menderita infeksi ini (Soejoto dan Soebari,
1996). Telur cacing E. vermicularis lebih mudah ditemukan dengan tekhnik
pemeriksaan khusus, yaitu dengan menghapus daerah sekitar anus dengan
Scotch adhesive tape swab. (Gracia, 2001).
1.2.8. Terapi
Mengingat bahwa Enterobiasis adalah masalah kesehatan keluarga maka
lingkungan hidup keluarga harus diperhatikan, selain itu kebersihan
perorangan merupakan hal yang sangat penting dijaga. Perlu ditekankan pada
anak-anak untuk memotong kuku, membersihkan tangan sesudah buang air
besar dan membersihkan daerah perianal sebaik-baiknya serta cuci tangan
sebelum makan.
Di samping itu kebersihan makanan juga perlu diperhatikan. Hendaknya
dihindarkan dari debu dan tangan yang terkontaminasi telur cacing E.
16
17
18
BAB II
ILUSTRASI KASUS
Seorang anak laki- laki 6 tahun, diantar ibunya dengan keluhan sering
diare sejak 1 bulan yang lalu. Tetapi diarenya tidak tentu dan dalam sehari
belum tentu diare. Tidak nafsu makan dan sering gatal di anus pada malam
hari. Ibunya juga pernah menemukan cacing kremi di anus anaknya tersebut.
Dari scotch adhesive test didapatkan cacing kremi (Oxyuris vermicularis) dan
pemeriksaan feses didapatkan adanya telur cacing gelang (Ascaris
lumbricoides).
2. 1. Identitas Penderita
Nama
: An.R
Umur
:6 tahun
Jenis kelamin
: Laki- laki
Alamat
Pekerjaan
: Pelajar
Pendidikan
: TK
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Nama ayah
: Tn. S
Umur ayah
: 32 Tahun
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: Wiraswasta
Nama ibu
: Ny. Y
Umur Ibu
: 29 Tahun
Pendidikan
:SMA
Pekerjaan
: IRT
2.2. Anamnesa
1. Keluhan utama : Diare
19
: (-)
Riwayat mondok
(-)
(-)
Riwayat bronkitis
(-)
Riwayat asma
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
: (-)
Riwayat hipertensi
: (-)
: (-)
Riwayat asma
: (-)
Riwayat jantung
: (-)
Riwayat alergi
: (-)
5. Riwayat Kebiasaan
-
Riwayat merokok
: (+), ayah
20
21
2.2.
Anamnesis Sistem
1. Kulit
2. Kepala
3. Mata
4. Hidung
5. Telinga
6. Mulut
7. Tenggorokan
8. Pernafasan
9. Kadiovaskuler
12. Neurologik
13. Psikiatri
14. Muskuloskeletal : kaku sendi ( - ), nyeri tangan dan kaki ( - ), nyeri otot ( - )
15. Ekstremitas
2.3.
o Atas kanan
o Atas kiri
o Bawah kanan
o Bawah kanan
Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
2. Tanda Vital
BB
: 19 kg
22
TB
: 100 cm
BMI
: kesan normoweight
Tensi
: - mmHg
Nadi
Pernafasan : 20 x/mnt
Suhu
3.
: 36,7C
Status Lokalis
4. Kulit
sawo matang, turgor baik, ikterik (-), sianosis (-), pucat (-), spidernevi (-),
petechie (-), eritem (-), venektasi (-)
5. Kepala
Bentuk mesocephal , luka ( - ), rambut rontok ( - ), makula ( - ), papula ( - ),
nodula ( - ).
6. Mata
Conjunctiva anemis ( - / - ), sklera ikterik ( - / - ), warna kelopak (kecoklatan),
katarak ( - / - ), strabismus (-/-)
7. Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), deformitas hidung (-),
hiperpigmentasi (-).
8. Mulut
Bibir pucat (-), bibir kering (-), lidah kotor (-), papil lidah atrofi (-), tepi lidah
hiperemis (-), tremor (-).
9. Telinga
Nyeri tekan mastoid (-), sekret (-), pendengaran berkurang (-), cuping telinga
dalam batas normal.
10. Tenggorokan
Tonsil membesar (-), pharing hiperemis (-).
11. Leher
lesi kulit (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar limfe (-),
deviasi trakea (-).
23
12. Toraks
bentuk normal, simetris, pernafasan thoracoabdominal, retraksi sela iga (-)
spidernevi (-), sela iga melebar (-), massa (-),kelainan kulit (-), nyeri (-)
13. Cor:
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
14. Pulmo :
Statis (depan dan belakang)
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: sonor/sonor
Auskultasi
wheezing
ronkhi
24
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Palpasi
Perkusi
: NKCV (-)
Oedem
18. Pemeriksaan Neurologik
Kesadaran
Fungsi luhur
kekuata
19. Pemeriksaan
Psikiatrik
: compos mentis
Afek
: appopriate
tonus
RF
RP
25
Psikomotor
: normoaktif
Proses pikir
: bentuk :realistik
Insight
isi
arus
:koheren
: baik
2.
2.5.
Resume
Pasien datang berobat diantarkan oleh ibunya dengan keluhan diare. Diare
tersebut dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Diare munculnya tidak tentu. Selain
diare pasien juga mengeluhkan tidak nafsu makan yang dirasakan sejak 2 minggu
yang lalu. Pasien juga mengeluhkan gatal pada daerah dubur, gatal tersebut
meningkat pada malam hari. Ibu juga menemukan adanya cacing kremi pada
dubur.
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum an. R tampak
lemas, vital sign normal, pada status lokalis didapatkan eskoriasi yaitu di daerah
anus dan adanya peningkatan peristaltik.
Pada pemeriksaan penunjang dilakukan scotch adhesive test didapatkan
cacing kremi (Oxyuris vermicularis) dan pemeriksaan feses didapatkan adanya
telur cacing gelang (Ascaris lumbricoides).
2.6. Diagnosa
Diare et causa Infeksi parasit Oxyuris vermicularis Ascaris lumbricoides.
2.7. Terapi
Non medikamentosa
1. Mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar
2. Memotong kuku dan menjaga kebersihan kuku
3. Mencuci seprei minimal 2 kali/minggu
26
Pro
: An. R
Alamat: Jl. MT. Haryono
Umur : 6 th
BB
: 19 kg
27
BAB III
PEMBAHASAN
Terapi medikamentosa yang diberikan pada An. R adalah sebagai
berikut:
1. Combantrin
Pertimbangan diberikannya combantrin (Pirantel Pamoat) adalah karena
antihelmenth obat ini lebih efektif untuk infeksi cacing kremi dan cacing
tambang. Berbeda dengan obat lain seperti piperazim dan pyrvinium yang
hanya efektif untuk enterobiosis. Selain itu dengan cara pemberian obat sekali
dalam sehari lebih efektif untuk meningkatkan kepatuhan pasien. Berbeda
dengan Albendasol yang dibagi menjadi dua dosis. Pemilihan obat dengan
suspensi adalah untuk memudahkan pemberian pada anak- anak. Jumlah
suspense adalah 60 ml atau 1 fl cukup untuk delapan hari.
2. Biodiar pulv
Pertimbangan diberikan biodiar untuk mengurangi gejala yaitu diare.
Obat ini diberikan dalam sediaan puyer, hal ini karena anak masih sulit untuk
menelan tablet. Puyer ini hanya diberikan apabila ada keluhan diare dan
diminum setelah buang air besar yang cair (diare).
3. Confortin cream g
Pertimbangan pemberian confortin adalah untuk pruritus dan adanya
eskoriasi. Pemberian dengan cara dioleskan tipis pada tempat lesi (eskoriasi).
Diberikan bila perlu saja, kalau gatal saja, umumnya pada malam hari.
Pemberian cream I tube karena hanya dioleskan pada daerah anus dan bila
perlu saja.
4. Apialys syr
Pertimbangan pemberian obat ini adalah untuk meningkatkan asupan
gizi, meningkatkan nafsu makan, dan daya tahan tubuh. Hal ini karena pasien
mengeluhkan tidak nafsu makan ditambah dengan diare dan pasien dalam
kondisi terinfeksi, sehingga pasien harus ditingkatkan ketahanan tubuh dan
28
gizinya agar pasien bisa segera pulih, sembuh dari infeksi, dan infeksi tidak
kambuh lagi. Pemberian satu flash untuk 20 kali pemberian.
29
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
dapat disimpulkan bahwa An. R adalah pasien penderita diare et causa infeksi
parasit E. vermicularis dan Ascaris lumbricoides. Pasien diberiakan terapi
non medikamentosa dan medikamentosa (pirantel pamoat, biodiar, confortin,
dan apialys.
4.2. Saran
Saran yang diberikan penulis adalah diharapkan kritik dan saran yang
membangun bagi pembaca tentang penulisan dan isi dari makalah.
30
TINJAUAN PUSTAKA
Brown, Harold, W. 1983. Dasar Parasitologi Klinis. Gramedia. Jakarta
Garcia, Lyne Shore. 2001. Diagnostic Medical Parasitology. ASM Press: Wasington
Handoko RP, Djuanda A, Hamzah M. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed.4.
FKUI: Jakarta
Prasetyo, Heru. 2003. Helmintologi Kedokteran. Airlangga University Press:
Surabaya
Rasmaliah. 2001. Ascariasis dan Upaya Penanggulangannya. FKM Universitas
Sumatera Utara: Sumatera Utara.
Santoso dkk. 2011. MIMS Edisi Bahasa Indonesia. PT Medidata Indonesia: Jakarta.
Soedarto, 1995. Helmintologi Kedokteran. Edisi ke 2. EGC. Jakarta.
Wibowo, Samekto dkk. 2002. Formularium Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta. RS
Dr. Sardjito: Yogyakarta.