Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Masalah penyalahgunaan NAPZA semakin banyak dibicarakan baik di kota besar
maupun kota kecil di seluruh wilayah Republik Indonesia. Peredaran NAPZA sudah sangat
mengkhawatirkan sehingga cepat atau lambat penyalahgunaan NAPZA akan menghancurkan
generasi bangsa atau disebut dengan lost generation (Joewana, 2005). Penyalahgunaan
NAPZA adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah terjadi masalah.
Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap sebagai penyakit.
Adiksi umumnya merujuk pada perilaku psikososial yang berhubungan dengan
ketergantungan zat. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat.
Toleransi adalah peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan. Gejala
putus zat dan toleransi merupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart & Sundeen, 1998).
Faktor yang mempengaruhi sesorang terjerumus penyalahgunaan NAPZA adalah faktor
individu (kepribadian individu), faktor keluarga (kurang perhatian keluarga terhadap
individu, kesibukan keluarga dan lainnya) & faktor lingkungan (ketidakpedulian masyarakat
tentang NAPZA) (Hawari, 2003). Dampak yang terjadi dari faktor-faktor di atas adalah
individu mulai melakukan penyalahgunaan dan ketergantungan akan zat. Hal ini ditunjukkan
dengan makin banyaknya individu yang dirawat di rumah sakit karena penyalahgunaan dan
ketergantungan zat yaitu mengalami intoksikasi zat dan withdrawal.
Peran penting tenaga kesehatan dalam upaya menanggulangi penyalahgunaan dan
ketergantungan NAPZA di rumah sakit khususnya upaya terapi dan rehabilitasi sering tidak
disadari, kecuali mereka yang berminat pada penanggulangan NAPZA (DepKes, 2001).
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut diperoleh rumusan masalah sebagai berikut.
1. Apa pengertian dan jenis-jenis NAPZA?
2. Bagaimana latar belakang psikososial seseorang sewaktu ingin mencoba NAPZA?
3. Bagaimana psikososial seseorang setelah menggunakan NAPZA?
4. Bagaiaman sistem kerja saraf sehingga mempengaruhi psikososial pengguna
NAPZA?
5. Bagaimana psikososial seseorang setelah melakukan rehabilitasi dari NAPZA?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah
1. Mengetahui pengertian dan jenis-jenis NAPZA
2. Mengetahui latar belakang psikososial seseorang sewaktu ingin mencoba NAPZA
3. Mengetahui psikososial seseorang setelah menggunakan NAPZA
4. Mengetahui sistem kerja saraf sehingga mempengaruhi psikososial pengguna NAPZA
5. Mengetahui psikososial seseorang setelah melakukan rehabilitasi dari NAPZA

BAB II
1

PEMBAHASAN

2.1 NAPZA
Napza adalah akumulasi dari narkotika dan psikotropika. Ada sejumlah kata atau istilah
yang terkait dengan narkotika. Misalnya, narkan (bahasa Yunani) yang berarti menjadi
kaku; narcose atau narcosis yang berarti dibiuskan. NAPZA singkatan dari Narkotika,
Psikotropika dan Zat adiktif adalah istilah yang sering digunakan masyarakat awam untuk
menerangkan tentang obat-obat yang berbahaya bagi kesehatan (Maslim, 1996). Menurut
Wresniwiro (2004) NAPZA adalah singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan zat (bahan
adiktif) lainnya. NAPZA adalah zat-zat tertentu yang mempengaruhi sistem saraf dan
menyebabkan ketergantungan (adiksi).
Istilah NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktf Iainnya) mengacu kepada
Narkotika dan Psikotiopika, yang undang-undangnya sudah berlaku yaitu Undang- Undang
No.5 tahun 1997 tentang psikotropika dan. Undang-Undang No.22 tahun 1997 tentang
Narkotika. lstilah ini diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. NAPZA adalah bahan atau zat yang bila masuk ke dalam tubuh akan
mempengaruhi tubuh terutama susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan fisik,
psikis, dan fungsi sosial (Depkes, 2002).
NAPZA dapat digolongkan menjadi beberapa jenis :
1. Narkotika
Narkotika adalah suatu obat atau zat alami, sintetis maupun sintetis yang dapat menyebabkan
turunnya kesadaran, menghilangkan atau mengurangi hilang rasa atau nyeri dan perubahan
kesadaran yang menimbulkan ketergantungna akan zat tersebut secara terus menerus. Contoh
narkotika yang terkenal adalah seperti ganja, heroin, kokain, morfin, amfetamin, dan lainlain. Narkotika menurut UU No. 22 tahun 1997 adalah zat atau obat berbahaya yang berasal
dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat
menyebabkan penurunan maupun perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Wresniwiro dkk. 1999).
Golongan narkotika berdasarkan bahan pembuatannya adalah:
1) Narkotika alami yaitu zat dan obat yang langsung dapat dipakai sebagai narkotik tanpa
perlu adanya proses fermentasi, isolasi dan proses lainnya terlebih dahulu karena bisa
langsung dipakai dengan sedikit proses sederhana. Bahan alami tersebut umumnya tidak
boleh digunakan untuk terapi pengobatan secara langsung karena terlalu berisiko. Contoh
narkotika alami yaitu seperti ganja dan daun koka.
2) Narkotika sintetis adalah jenis narkotika yang memerlukan proses yang bersifat sintesis
untuk keperluan medis dan penelitian sebagai penghilang rasa sakit/analgesik. Contohnya
yaitu seperti amfetamin, metadon, dekstropropakasifen, deksamfetamin, dan sebagainya.
3) Narkotika semi sintetis yaitu zat/obat yang diproduksi dengan cara isolasi, ekstraksi, dan
lain sebagainya seperti heroin, morfin, kodein, dan lain-lain.
2. Psikotropika
2

Menurut Kepmenkes RI No. 996/MENKES/SK/VIII/2002, psikotropika adalah zat atau obat,


baik sintesis maupun semisintesis yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Zat yang tergolong dalam psikotropika (Hawari, 2006) adalah: stimulansia yang membuat
pusat syaraf menjadi sangat aktif karena merangsang syaraf simpatis. Termasuk dalam
golongan stimulan adalah amphetamine, ektasy (metamfetamin), dan fenfluramin.
Amphetamine sering disebut dengan speed, shabu-shabu, whiz, dan sulph. Golongan stimulan
lainnya adalah halusinogen yang dapat mengubah perasaan dan pikiran sehingga perasaan
dapat terganggu. Sedative dan hipnotika seperti barbiturat dan benzodiazepine merupakan
golongan stimulan yang dapat mengakibatkan rusaknya daya ingat dan kesadaran,
ketergantungan secara fisik dan psikologis bila digunakan dalam waktu lama.
3. Zat Adiktif Lainnya
Zat adiktif lainnya adalah zat, bahan kimia, dan biologi dalam bentuk tunggal maupun
campuran yang dapat membahayakan kesehatan lingkungan hidup secara langsung dan tidak
langsung yang mempunyai sifat karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi.
Bahan-bahan berbahaya ini adalah zat adiktif yang bukan termasuk ke dalam narkotika dan
psikoropika, tetapi mempunyai pengaruh dan efek merusak fisik seseorang jika
disalahgunakan (Wresniwiro dkk. 1999). Adapun yang termasuk zat adiktif ini antara lain:
minuman keras (minuman beralkohol) yang meliputi minuman keras golongan A (kadar
ethanol 1% sampai 5%) seperti bir, green sand; minuman keras golongan B (kadar ethanol
lebih dari 5% sampai 20%) seperti anggur malaga; dan minumankeras golongan C (kadar
ethanol lebih dari 20% sampai 55%) seperti brandy, wine, whisky. Zat dalam alkohol dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari bila kadarnya dalam darah mencapai 0,5% dan hampir
semua akan mengalami gangguan koordinasi bila kadarnya dalam darah 0,10% (Marviana
dkk. 2000). Zat adiktif lainnya adalah nikotin, votaile, dan solvent/inhalasia.
2.2. Latar belakang psikososial seseorang pengguna NAPZA
Latar belakang psikologi pengguna narkoba adalah sebagai berikut.
1. Ingin merasa 'ada'.
Ada kalanya seseorang merasa jenuh ketika tidak dianggap atau ditinggal, oleh teman segang
atau di pesta misalnya. Perasaan tidak aman ini ingin disingkirkan. Sayang, jalan yang
diambil salah dengan mengkonsumsi narkoba.
2. Faktor media
Bisa percaya atau tidak, dunia hiburan menyiarkan gambaran jika memakai narkoba itu hal
menarik.
3. Ingin memberontak.
Banyak juga orang yang menjadi pemakai bukan karena kebutuhan dirinya, tapi lebih karena
ingin membuat pemberontakan. Biasanya mereka ingin keluar dari norma atau aturan yang
diberikan oleh keluarga dan masyarakat umumnya. Mereka pikir dengan mengkonsumsi
narkoba akan terdorong untuk berani melakukan tindakan yang melanggar hukum atau sesuai
dengan kehendaknya sendiri. Tapi sebenarnya yang terjadi, mereka makin tidak bisa hidup
secara mandiri dan bebas lagi, karena sudah tergantung 100% kepada narkoba dan pengaruh
candunya itu.
3

4. Ingin mencoba.
Seseorang yang memiliki keinginan untuk mencoba sesuatu yang baru adalah hal yang wajar.
Kita bisa mengatakan mana yang tepat apabila sudah dicoba terlebih dulu. Tapi sebelum
mencoba ada baiknya kita lihat dulu kemungkinan baik buruknya.
Rentang respons ganguan pengunaan NAPZA ini berfluktuasi dari kondisi yang ringan
sampai yang berat, indikator ini berdasarkan perilaku yang ditunjukkan oleh pengguna
NAPZA.
5. Kurang rasa percaya diri
Disamping karena faktor dorongan dari teman atau ajakan sesorang, rasa percaya diri yang
kurang menyebabkan seseorang menyalahgunakan NAPZA. Ajakan tersebut berupa jika
seseorang menggunakan obat tertentu maka rasa percaya diri yang dimiliki menjadi
bertambah. Penyalahgunaan NAPZA tersebut lama-lama menjadi ketagihan.
6. Tidak dapat mengendalikan stress
Rasa stress seseorang yang tidak dapat dikendalikan maka dapat menjadi penyebab seseorang
terjerumus dalam penyalahgunaan NAPZA. Karena hiburan yang menurutnya dapat
menghilangkan stress adalah menggunakan obat-obatan tersebut.
Proses dari mecoba menjadi ketergantungan dapat digambarkan sebagai berikut
Respon adaptif

Eksperimental

Respon Maladaptif

Rekreasional

Situasional

Peyalahgunaan

Ketergantungan

(Sumber: Yosep, 2007)

Eksperimental: Kondisi pengguna taraf awal, yang disebabkan rasa ingin tahu dari remaja. Sesuai
kebutuan pada masa tumbuh kembangnya, klien biasanya ingin mencari pengalaman yang baru atau
sering dikatakan taraf coba-coba.
Rekreasional: Penggunaan zat adiktif pada waktu berkumpul dengan teman sebaya, misalnya pada
waktu pertemuan malam mingguan, acara ulang tahun. Penggunaan ini mempunyai tujuan rekreasi
bersama teman-temannya.
Situasional: Mempunyai tujuan secara individual, sudah merupakan kebutuhan bagi dirinya sendiri.
Seringkali penggunaan ini merupakan cara untuk melarikan diri atau mengatasi masalah yang
dihadapi. Misalnya individu menggunakan zat pada saat sedang mempunyai masalah, stres, dan
frustasi.
Penyalahgunaan: Penggunaan zat yang sudah cukup patologis, sudah mulai digunakan secara rutin,
minimal selama 1 bulan, sudah terjadi penyimpangan perilaku mengganggu fungsi dalam peran di
lingkungan sosial, pendidikan, dan pekerjaan.
Ketergantungan: Penggunaan zat yang sudah cukup berat, telah terjadi ketergantungan fisik dan
psikologis. Ketergantungan fisik ditandai dengan adanya toleransi dan sindroma putus zat (suatu
4

kondisi dimana individu yang biasa menggunakan zat adiktif secara rutin pada dosis tertentu
menurunkan jumlah zat yang digunakan atau berhenti memakai, sehingga menimbulkan kumpulan
gejala sesuai dengan macam zat yang digunakan. Sedangkan toleransi adalah suatu kondisi dari
individu yang mengalami peningkatan dosis (jumlah zat), untuk mencapai tujuan yang biasa
diinginkannya.

2.3 Psikososial Seseorang Setelah Menggunakan NAPZA


Pengaruh narkotika secara umum terlihat pada kondisi fisik dan kepribadian
seseorang yang memakainya. Pengaruh narkotika terhadap sistem syaraf seseorang terutama
menyerang pada bagian otak. Pengaruhnya terhadap tubuh adalah hilangnya sistem
koordinasi tubuh, tubuh mudah gemetar atau disebut juga getaran tremor tubuh,
menghilangkan rasa nyeri, menimbulkan rasa santai dan nyaman, menghilangkan rasa
kekhawtiran, mengurangi penat dan lapar, menimbulkan halusinasi, dan keberanian yang
lebih tanpa perhitungan akal sehat.
Secara rinci macam-macam zat narkotika yang berpengaruh terhadap sistem syaraf manusia
adalah
1. Depresan
Obat-obatan yang termasuk dalam kelompok ini menekan kerja sistem syaraf. Zat yang
terkandung dalam depresan dapat menghilangkan rasa nyeri, menimbulkan rasa nyaman,
menimbulkan rasa santai, menenangkan. Zat ini dapat menimbulkan ketagihan. Depresan
terdapat pada alkohol, opium, heroin, kodein, nikotin.
2. Stimulan
zat narkotika yang dapat menimbulkan stimulan terdapat pada kokai, aphetamine, nikotin,
dan kaffein. Pengaruhnya terhadap sistem syaraf manusia adalah menimbulkan rasa riang,
mengurangi penat dan lapar, mengilangkan rasa ngantuk sehingga mampu tidak tidur selama
berhari-hari. Akibatnya tubuh akan kurus dan jika tidur juga dapat lama sekali. Sehingga
tidak adalagi keteraturan waktu.
3. Halusinogen
Bentuk-bentuk narkotika yang mengandung zat halusinogen antara lain mariuna, ganja,
meskalin, dan LSD (lysergic acid diethylamide). Pengaruhnya terhadap sistem syaraf
manusia adalah merasakan halusinasi atau merasa berada di dunia lain, penglihatan yang
menyimpan, dan mempunyai keberanian yang berlebih tanpa adanya perhitungan dan
kekhawatiran.

4. Sedatif
Zat narkotika yang terkandung dalam sedatif mengakibatkan menurunnya aktivitas normal
otak. penggunaan sedatif ini berefek sebagai obat penenang. Zat sedatif terkandung dalam
obat Valium.
5

5. Painkiler
Zat yang terkandung dalam painkiler dapat menahan rasa nyeri karena menekan bagian otak
yang mengatur pusat rasa sakit. Zat ini terdapat pada Heroin.
Penggunaan zat-zat tersebut secara berlebihan dapat menimbulkan adiksi fisiologis
(ketergantungan secara fisik).
Selain efek itu, ada beberapa efek dari penggunaan zat-zat tersebut terhadap sistem saraf,
yakni sebagai berikut.
1. Gangguan pada koordinasi Saraf tubuh. Di dalam tubuh pecandu kekurangan dopamin
karena obat menyebabkan tidak dihasilkannya dopamin. Dopamin adalah zat kimia yang
berfungsi sebagai neurotransmitter di dalam otak. Jika kekurangan dopamin, maka akan
terjadi gangguan pada sinap, sehingga impuls saraf tidak merambat ke neuron berikutnya.
Gangguan syaraf tubuh dapat menyebabkan getaran tremor pada anggota tubuh.
2. Gangguan saraf sensorik. Obat ini dapat menimbulkan rasa kebas, penglihatan buram
hingga bisa menyebabkan kebutaan. Kasus kebutaan karena Narkoba.
3. Gangguan saraf otonom. Gangguan ini menyebabkan gerakan yang tidak dikehendaki
melalui gerak motorik. Sehingga orang yang dalam keadaan mabuk bisa melakukan apa
saja di luar kesadarannya.
4. Gangguan saraf motorik. Gerakan tanpa koordinasi dengan sistem motoriknya, seperti jika
sedang krakaw saraf motoriknya tidak bisa diatur, jadi bergerak sendiri, dengan bergerak
itu pengaruh obatnya hilang, jika sudah hilang, nanti gerakan itu akan berhenti.
5. Gangguan saraf vegetatif. Terkait bahasa yang keluar. Bahasa yang keluar di luar
kesadaran, ngawur, biasanya juga disertai gaya bicara yang pelo.
6. Pengaruh lain. Berikut beberapa pengaruh lain dari adanya obat-obatan di dalam tubuh
manusia terhadap sistem saraf :

timbul rasa takut

kurang percaya diri jika tidak menggunakannya

gangguan memori

hilangnya kendali otot gerak dan denyut jantung lemah

kerusakan pada alat respirasi, terganggunya sistem peredaran darah, timbul keram perut
dan tubuh gemetar.

hilangnya nafsu makan, sehingga biasanya pecandu narkoba kurus kering

kerusakan dan pengerasan sel-sel hati (serosis hepatis) terutama bagi pecandu minuman
alkohol

overdosis bisa menyebabkan kematian.

2.4 Sistem Kerja Saraf Sehingga Mempengaruhi Psikososial Pengguna NAPZA


Penyalahgunaan NAPZA memiliki pengaruh terhadap kerja sistem saraf, misalnya
hilangnya koordinasi tubuh, karena di dalam tubuh pemakai kekurangan dopamin. Dopamin
merupakan neurotransmitter yang terdapat di otak dan berperan penting dalam merambatkan
impuls saraf ke sel saraf lainnya. Hal ini menyebabkan dopamin tidak dihasilkan. Apabila
6

impuls saraf sampai pada bongkol sinapsis, maka gelembung-gelembung sinapsis akan
mendekati membran presinapsis.
Namun karena dopamin tidak dihasilkan, neurotransmitte tidak dapat melepaskan
isinya ke celah sinapsis sehingga impuls saraf yang dibawa tidak dapat menyebrang ke
membran post sinapsis. Kondisi tersebut menyebabkan tidak terjadinya depolarisasi pada
membran post sinapsis dan tidak terjadi potensial kerja karena impuls saraf tidak bisa
merambat ke sel saraf berikutnya.
Efek lain dari penggunaan obat-obatan terlarang adalah hilangnya kendali otot gerak,
kesadaran, denyut jantung melemah, hilangnya nafsu makan, terjadi kerusakan hati dan
lambung, kerusakan alat respirasi, gemetar terus-menerus, terjadi kram perut dan bahkan
mengakibatkan kematian.
Untuk menyembuhkan para pencandu diperlukan terapi yang tepat dengan
mengurangi konsumsi obat-obatan sedikit demi sedikit di bawah pengawasan dokter dan
diperlukan dukungan moral dari keluarga serta lingkungannya yang diiringi oleh tekad si
pemakai untuk segera sembuh.
Patofisiologi
Para peneliti telah melakukan penyelidikan banyak menggunakan model hewan dan
pencitraan otak fungsional pada manusia dalam rangka untuk menentukan mekanisme yang
mendasari kecanduan narkoba di otak. Topik menarik ini menggabungkan beberapa wilayah
otak dan perubahan sinaptik, atau neuroplastisitas, yang terjadi di daerah-daerah tersebut.
Efek akut
Penggunaan akut dari sebagian besar obat psikoaktif menyebabkan pengeluaran
dopamine dan serotonin dalam Reward Circuit. Berbagai jenis obat menghasilkan efek ini
dengan metode yang berbeda. Dopamin (DA) muncul ke pelabuhan pengaruh terbesar dan
tindakan yang ditandai. DA mengikat ke reseptor D1, memicu kaskade sinyal dalam sel.
cAMP-dependent protein kinase (PKA) phosphorylates respon cAMP elemen protein
mengikat (CREB), suatu faktor transkripsi, yang menginduksi transkripsi gen tertentu
termasuk C-Fos.
Reward Circuit
Ketika memeriksa dasar biologis dari kecanduan obat, yang pertama harus memahami
jalur di mana obat bertindak dan bagaimana narkoba dapat mengubah jalur tersebut. Reward
Circuit, juga disebut sebagai sistem mesolimbic, dicirikan oleh interaksi beberapa area otak.
Daerah tegmental ventral (VTA) terdiri dari neuron dopaminergik yang menanggapi
glutamat. Sel-sel ini merespons ketika rangsangan indikasi hadiah hadir. VTA mendukung
pembelajaran dan pengembangan sensitisasi dan mengeluarkan dopamin (DA) ke otak depan.
Neuron ini juga memproyeksikan dan melepaskan DA ke accubens inti, melalui jalur
mesolimbic. Hampir semua obat yang menyebabkan kecanduan obat meningkatkan pelepasan
dopamin di jalur mesolimbic, di samping efek khusus mereka.
Accumbens Inti (NAC) terutama terdiri dari neuron proyeksi menengah berduri
(MSNs), yang neuron GABA NACC ini terkait dengan mendapatkan dan memunculkan
perilaku AC dan terlibat dalam sensitivitas meningkat menjadi obat sebagai kecanduan
berlangsung.
7

Korteks prefrontal, lebih khusus cingulate anterior dan korteks orbitofrontal adalah
penting bagi integrasi informasi yang memberikan kontribusi untuk apakah perilaku akan
diperoleh. Tampaknya menjadi daerah di mana motivasi berasal dan arti-penting stimuli
ditentukan.
Proyek-proyek amigdala basolateral ke NACC dan dianggap penting untuk motivasi
juga. Lebih banyak bukti menunjuk ke arah peran hipokampus dalam kecanduan narkoba
karena pentingnya dalam belajar dan memori. Banyak bukti ini berasal dari penyelidikan
memanipulasi sel-sel di hippocampus mengubah tingkat dopamin di NACC dan tingkat
pembakaran sel VTA dopaminergik.
Peran dopamin
Hampir semua obat adiktif, secara langsung atau tidak langsung, menyerang sistem
imbalan otak dengan membanjiri sirkuit dengan dopamin. Sebagai orang yang terus
overstimulate di "sirkuit hadiah", menyesuaikan otak ke besar lonjakan dopamin dengan
memproduksi kurang dari hormon atau dengan mengurangi jumlah reseptor di sirkuit pahala.
Akibatnya, dampak kimia di sirkuit pahala berkurang, mengurangi kemampuan pelaku untuk
menikmati hal-hal yang sebelumnya membawa kesenangan. Penurunan ini memaksa mereka
kecanduan dopamin untuk meningkatkan konsumsi obat dalam rangka upaya untuk
membawa hormon "merasa-baik" mereka ke tingkat normal - efek yang dikenal sebagai
toleransi. Pengembangan toleransi dopamin akhirnya dapat mengakibatkan perubahan
mendasar dalam neuron dan sirkuit otak, dengan potensi untuk sangat membahayakan
kesehatan jangka panjang dari otak. Antipsikotik modern dirancang untuk memblokir fungsi
dopamin. Sayangnya, pemblokiran ini juga bisa menyebabkan kambuh dalam depresi, dan
dapat meningkatkan perilaku adiktif.
Respon Stress
Selain rangkaian pahala, ada hipotesis bahwa mekanisme stres juga memainkan peran
dalam kecanduan. Koob dan Kreek memiliki hipotesis bahwa selama penggunaan narkoba,
faktor kortikotropin-releasing (PKR) mengaktifkan sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal
(HPA) dan sistem stres lainnya dalam amigdala diperpanjang. Aktivasi ini mempengaruhi
keadaan emosi dysregulated berkaitan dengan kecanduan narkoba. Mereka telah menemukan
bahwa penggunaan narkoba meningkat, demikian juga kehadiran CRF dalam cairan
cerebrospinal manusia (CSF). Pada model tikus, penggunaan terpisah antagonis CRF dan
antagonis reseptor CRF baik menurun diri pemberian obat studi. Penelitian lain dalam
tinjauan ini menunjukkan disregulasi hormon lain yang terkait dengan sumbu HPA, termasuk
enkephalin yang merupakan peptida opioid endogen yang mengatur rasa sakit. Hal ini juga
muncul bahwa sistem reseptor -opioid, yang enkephalin bertindak atas, adalah berpengaruh
dalam sistem reward dan dapat mengatur ekspresi hormon stres.
Perilaku
Memahami bagaimana perilaku kerja di sirkuit pahala dapat membantu memahami
tindakan obat adiktif. Kecanduan narkoba ditandai dengan perilaku mencari obat pecandu
secara terus-menerus haus, meski sudah mengetahui konsekuensinya. Obat Addictive
menghasilkan pahala, yang adalah perasaan gembira yang dihasilkan dari konsentrasi
dopamin berkelanjutan di celah sinaptik neuron di otak. Instrumental AC dipamerkan pada
8

pecandu narkoba serta tikus laboratorium, tikus, dan primata, mereka dapat mengasosiasikan
suatu tindakan atau perilaku, dalam hal ini mencari obat, dengan hadiah, yang merupakan
efek dari obat. Bukti menunjukkan bahwa perilaku ini kemungkinan besar akibat dari
perubahan sinaps yang telah terjadi akibat paparan obat berulang. Perilaku pencarian obat ini
disebabkan oleh proyeksi glutamatergic dari korteks prefrontal ke NAC. Ide ini didukung
dengan data dari percobaan menunjukkan perilaku mencari obat dapat dicegah mengikuti
penghambatan reseptor glutamat AMPA dan melepaskan glutamat dalam NAC.
Allostasis
Allostasis adalah proses mencapai stabilitas melalui perubahan perilaku serta fitur
fisiologis. Sebagai orang yang berkembang menjadi ketergantungan obat, ia memasuki
keadaan allostatic baru, yang didefinisikan sebagai perbedaan dari tingkat normal perubahan
yang bertahan dalam keadaan kronis. Kecanduan obat-obatan dapat menyebabkan kerusakan
otak dan tubuh sebagai suatu organisme memasuki keadaan patologis, biaya berasal dari
kerusakan dikenal sebagai beban allostatic. Disregulasi dari allostasis secara bertahap terjadi
sebagai imbalan dari obat berkurang dan kemampuan untuk mengatasi keadaan tertekan
berikut menggunakan narkoba mulai menurun juga. Beban allostatic dihasilkan menciptakan
keadaan konstan depresi relatif terhadap perubahan allostatic normal. Apa yang mendorong
penurunan ini adalah kecenderungan pengguna obat untuk mengambil obat sebelum otak dan
tubuh telah kembali ke tingkat allostatic asli, menghasilkan keadaan konstan stres. Oleh
karena itu, kehadiran stres lingkungan dapat menyebabkan perilaku mencari obat kuat.
Neuroplastisitas
Neuroplastisitas adalah mekanisme putatif balik belajar dan memori. Hal ini
melibatkan perubahan fisik dalam sinaps antara dua neuron berkomunikasi, ditandai dengan
peningkatan ekspresi gen, sel diubah sinyal, dan pembentukan sinapsis baru antara neuron
berkomunikasi. Ketika obat adiktif yang hadir dalam sistem, mereka muncul untuk membajak
mekanisme ini dalam sistem penghargaan sehingga motivasi diarahkan untuk pengadaan
obat, dan bukan manfaat alami. Tergantung pada sejarah penggunaan narkoba, sinapsis
rangsang dalam nucleus accumbens (NAC) mengalami dua jenis neuroplastisitas: potensiasi
jangka panjang (LTP) dan depresi jangka panjang (LTD). Dengan menggunakan tikus sebagai
model, Kourrich et al. menunjukkan bahwa paparan kronis kokain meningkatkan kekuatan
sinapsis dalam NAC setelah periode penarikan 10-14 hari, sementara Synapses tampaknya
tidak diperkuat dalam waktu penarikan 24 jam setelah paparan kokain berulang. Dosis
tunggal kokain tidak menimbulkan apapun atribut dari sinaps diperkuat. Ketika tikus obatberpengalaman ditantang dengan satu dosis kokain, depresi synaptic terjadi. Oleh karena itu,
tampaknya sejarah paparan kokain bersama dengan kali penarikan mempengaruhi arah
plastisitas glutamatergic di NAC.
Setelah seseorang telah beralih dari penggunaan obat untuk kecanduan, perilaku
menjadi benar-benar diarahkan mencari obat, meskipun pecandu laporan euforia ini tidak
intens seperti dulu. Meskipun tindakan yang berbeda selama penggunaan obat akut, jalur
akhir dari kecanduan adalah sama. Aspek lain dari kecanduan narkoba merupakan respon
menurun menjadi rangsangan biologis normal, seperti makanan, seks, dan interaksi sosial.
Melalui pencitraan otak fungsional pasien kecanduan kokain, para ilmuwan telah mampu
memvisualisasikan aktivitas metabolisme meningkat pada cingulate anterior dan korteks
orbitofrontal (daerah korteks prefrontal) di otak subjek tersebut. Hiperaktifitas daerah ini dari
9

otak pada subyek kecanduan terlibat dalam motivasi lebih intens untuk menemukan obat
daripada mencari manfaat alami, serta kemampuan pecandu menurun untuk mengatasi
dorongan ini. Brain imaging juga telah menunjukkan kecanduan kokain-subyek mengalami
penurunan aktivitas, dibandingkan non-pecandu, di korteks prefrontal mereka ketika
disajikan dengan rangsangan yang berhubungan dengan penghargaan alam.
Transisi dari penggunaan narkoba dapat kecanduan terjadi secara bertahap bertahap
dan diproduksi oleh pengaruh obat pilihan pada neuroplastisitas dari neuron yang ditemukan
di sirkuit pahala. Selama peristiwa sebelum kecanduan, ketagihan diproduksi oleh pelepasan
dopamin (DA) di korteks prefrontal. Sebagai orang transisi dari penggunaan obat untuk
kecanduan, pelepasan DA di NAC menjadi tidak perlu untuk menghasilkan nafsu, melainkan,
penurunan transmisi DA sementara aktivitas metabolisme meningkat pada korteks
orbitofrontal berkontribusi mengidam. Pada saat ini seseorang mungkin mengalami tandatanda depresi jika kokain tidak digunakan.
Sebelum seseorang menjadi kecanduan dan pameran obat-perilaku mencari, ada
periode waktu di mana neuroplastisitas adalah reversible. Kecanduan terjadi ketika perilaku
mencari obat muncul dan kerentanan untuk kambuh tetap ada, meskipun penarikan
berkepanjangan; atribut-atribut ini perilaku adalah hasil dari perubahan neuroplastic yang
dibawa oleh paparan berulang untuk obat dan relatif permanen.
Mekanisme pasti dibalik efek molekul obat di plastisitas sinaps masih belum jelas.
Namun, dalam proyeksi glutamatergic neuroplastisitas tampaknya merupakan hasil utama
dari paparan obat berulang. Jenis keliatan hasilnya sinaptik dalam LTP, yang memperkuat
hubungan antara dua neuron; awal ini terjadi dengan cepat dan hasilnya adalah konstan.
Selain glutamatergic neuron, neuron dopaminergik hadir dalam merespon VTA glutamat dan
dapat direkrut awal selama adaptasi syaraf yang disebabkan oleh paparan obat berulang.
Seperti yang ditunjukkan oleh Kourrich, et al., Riwayat paparan obat dan waktu penarikan
dari paparan terakhir tampaknya memainkan peran penting dalam arah plastisitas di neuron
sistem imbalan.
Sebuah aspek pembangunan neuron yang mungkin juga berperan dalam obatneuroplastisitas induksi keberadaan molekul-molekul bimbingan akson seperti semaphorins
dan ephrins. Setelah pengobatan kokain diulang, ekspresi diubah (kenaikan atau penurunan
tergantung pada jenis molekul) dari molekul mRNA coding untuk panduan akson terjadi pada
tikus. Hal ini dapat memberikan kontribusi pada perubahan dalam karakteristik sirkuit pahala
kecanduan narkoba.
Neurogenesis
Kecanduan obat juga menimbulkan masalah potensi dampak buruk pada
perkembangan neuron baru pada orang dewasa. Harburg Eisch dan meningkatkan tiga konsep
baru yang mereka telah diekstrapolasi dari studi baru-baru ini banyak pada kecanduan
narkoba.
Pertama, neurogenesis menurun sebagai akibat dari paparan berulang terhadap obat
adiktif. Daftar studi menunjukkan bahwa penggunaan opiat kronis, psikostimulan, nikotin,
dan alkohol neurogenesis penurunan pada tikus dan tikus. Kedua, penurunan ini jelas dalam
neurogenesis tampaknya tidak tergantung pada aktivasi HPA axis. faktor lingkungan lainnya
selain paparan obat seperti usia, stres dan olahraga, juga dapat memiliki efek pada
neurogenesis dengan mengatur (HPA) hipotalamus-hipofisis-adrenal axis. Mount bukti
10

menunjukkan ini untuk 3 alasan: dosis kecil opiat dan psikostimulan meningkatkan
konsentrasi coricosterone dalam serum tetapi tanpa efek neurogenesis, walaupun
neurogenesis menurun mirip antara self-administered dan dipaksa asupan obat, aktivasi HPA
axis lebih besar dalam diri-administrasi subyek, dan bahkan setelah penghambatan meningkat
akibat candu corticosterone, penurunan neurogenesis terjadi. Ini, tentu saja, perlu diteliti lebih
lanjut. Terakhir, obat-obatan adiktif tampaknya hanya mempengaruhi proliferasi dalam zona
subgranular (SGZ), daripada daerah lain yang terkait dengan neurogenesis. Penelitian
penggunaan narkoba dan neurogenesis mungkin memiliki implikasi pada biologi sel induk.
Toleransi Obat Psikologis
Sistem reward ikut bertanggung jawab untuk bagian psikologis toleransi obat. Protein
CREB, suatu faktor transkripsi diaktifkan oleh adenosin monofosfat siklik (cAMP) segera
setelah tinggi, memicu gen yang memproduksi protein seperti dinorfin, yang memotong
pelepasan dopamin dan sementara menghambat sirkuit imbalan. Pada pengguna narkoba
kronis, aktivasi berkelanjutan CREB sehingga memaksa dosis yang lebih besar yang harus
diambil untuk mencapai efek yang sama. Selain itu meninggalkan pengguna umumnya
merasa tertekan dan tidak puas, dan tidak dapat menemukan kesenangan dalam kegiatan
sebelumnya menyenangkan, sering mengarah ke kembali ke obat untuk "memperbaiki"
tambahan.
Mekanisme serupa, campur juga dengan sistem dopamin, namun mengandalkan pada
faktor transkripsi yang berbeda, CEBPB, juga telah diusulkan. Dalam rilis ini dopamin kasus
ke inti accumbens neuron akan memicu sintesis peningkatan substansi P yang, pada
gilirannya, akan meningkatkan sintesis dopamin di VTA. Pengaruh umpan balik positif ini
dianggap tertutupi oleh penyalahgunaan zat yang berulang-ulang.
Sensitasi
Sensitisasi adalah peningkatan kepekaan terhadap suatu obat setelah penggunaan
jangka panjang. Delta protein FosB dan pengatur G-protein Signaling 9-2 (RGS9-2)
diperkirakan terlibat:
Faktor transkripsi, yang dikenal sebagai FosB delta, diperkirakan untuk mengaktifkan
gen yang berlawanan dengan efek dari CREB, sebenarnya meningkatkan sensitivitas
pengguna terhadap pengaruh zat tersebut. Delta FosB perlahan membangun dengan setiap
paparan obat dan tetap diaktifkan selama berminggu-minggu setelah pajanan terakhir-lama
setelah efek dari CREB telah pudar. Hipersensitivitas yang menyebabkan dianggap
bertanggung jawab atas mengidam intens terkait dengan kecanduan narkoba, dan sering
diperluas untuk bahkan isyarat perangkat penggunaan narkoba, seperti perilaku yang
berkaitan atau melihat perlengkapan obat. Ada beberapa bukti bahwa delta FosB bahkan
menyebabkan perubahan struktural dalam accumbens inti, yang mungkin membantu untuk
mengabadikan ngidam, dan mungkin bertanggung jawab atas insiden tinggi relaps yang
terjadi pada pecandu narkoba yang dirawat.
Pengatur G-protein Signaling 9-2 (RGS9-2) baru-baru ini menjadi subyek penelitian
KO beberapa hewan. Hewan kurang RGS9-2 tampaknya telah meningkat kepekaan terhadap
agonis reseptor dopamin seperti kokain dan amphetamines; over-ekspresi RGS9-2 penyebab
kurangnya respon terhadap agonis yang sama. RGS9-2 diyakini mengkatalisis inaktivasi
11

protein-G digabungkan reseptor D2 dengan meningkatkan laju hidrolisis GTP dari subunit
alfa G yang mengirimkan sinyal ke bagian dalam sel.
Individu mekanisme efek
Mekanisme dasar yang substansi yang berbeda mengaktifkan sistem penghargaan
adalah sebagai dijelaskan di atas, tetapi bervariasi sedikit di antara golongan obat.
Depressants
Depressants seperti alkohol, barbiturat, dan bekerja benzodiazepines dengan
meningkatkan afinitas reseptor GABA untuk ligan tersebut; GABA. Narkotika seperti morfin
dan bekerja heroin dengan meniru endorphins-bahan kimia yang diproduksi secara alami oleh
tubuh yang memiliki efek mirip dengan dopamin-atau dengan menonaktifkan neuron yang
biasanya menghambat pelepasan dopamin dalam sistem imbalan. Zat-zat (kadang-kadang
disebut "Downers") biasanya memfasilitasi relaksasi dan pereda nyeri.
Stimulan
Stimulan seperti amfetamin, nikotin, dan kokain dopamin meningkatkan sinyal dalam
sistem reward baik dengan langsung merangsang rilis, atau dengan menghalangi penyerapan.
Zat-zat ini biasanya menyebabkan kewaspadaan tinggi dan energi. Mereka menimbulkan rasa
menyenangkan dalam tubuh dan euforia, dikenal sebagai high. Setelah ini tinggi habis,
pengguna dapat merasa tertekan. Hal ini membuat mereka ingin lagi dosis obat, dan dapat
memperburuk kecanduan.
2.5 Psikososial Seseorang Setelah Melakukan Rehabilitasi Dari NAPZA
Menyembuhkan para pencandu diperlukan terapi yang tepat dengan mengurangi
konsumsi obat-obatan sedikit demi sedikit di bawah pengawasan dokter diperlukan dukungan
moral dari keluarga serta lingkungannya yang diiringi oleh tekad si pemakai untuk segera
sembuh. Hal yang paling penting adalah ditumbuhkannya nilai agama dalam diri si pemakai.
Dalam usaha penanggulangan penyalahgunaan narkotika, pemerintah juga sudah
mengambil langkah-langkah konkrit seperti membentuk BNN (badan narkotika nasional)
yang menangani penyalahgunaan dan peredaran narkotika di Indonesia. Sudah banyak para
pengedar yang tertangkap, bahkan hukuman yang berat sudah dijatuhkan, namun masih
banyak pengedar yang tidak merasa jera. Hal ini merupakan keprihatinan kita bersama.
Karena Narkotika adalah barang haram yang dapat merusak generasi muda kita yang
akhirnya dapat melemahkan bangsa kita.
Dampak psikologi dan sosial terhadap pengguna NAPZA :
1. Akan banyak uang yang dibutuhkan untuk penyembuhan dan perawatan kesehatan
pecandu jika tubuhnya rusak digerogoti zat beracun.
2. Dikucilkan dalam masyarakat dan pergaulan orang baik-baik
3. Keluarga akan malu besar karena punya anggota keluarga yang memakai zat
terlarang.
4. Kesempatan belajar hilang dan mungkin dapat dikeluarkan dari sekolah atau
perguruan tinggi alias DO / drop out.
12

5. Tidak dipercaya lagi oleh orang lain karena umumnya pecandu narkoba akan gemar
berbohong dan melakukan tindak kriminal.
6. Dosa akan terus bertambah karena lupa akan kewajiban Tuhan serta menjalani
kehidupan yang dilarang oleh ajaran agamanya.

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dari pembahasan makalah tersebut diperoleh simpulan bahwa faktor psikologi sosial
seseorang dalam penyalahgunaan NAPZA adalah ingin merasa ada, faktor media, ingin
memberontak, ingin mencoba, kurang rasa percaya diri dan tidak dapat mengendalikan stress.
Gangguan psikologi pengguna NAPZA berhubungan dengan gangguan pada saraf dari
pengguna. Macam-macam gangguan tersebut adalah gangguan pada koordinasi saraf tubuh.
Hal tersebut disebabkan karena kekurangan dopamin. Dopamin adalah zat kimia yang
berfungsi sebagai neurotransmitter di dalam otak. Jika kekurangan dopamin, maka akan
terjadi gangguan pada sinap, sehingga impuls saraf tidak merambat ke neuron berikutnya.
13

Selain itu gangguan saraf sensorik, gangguan saraf otonom, gangguan saraf motorik dan
gangguan saraf vegetatif.
Efek sosial yang disebabkan dari penyalahgunaan NAPZA adalah banyaknya uang
yang digunakan untuk penyembuhan dan perawatan kesehatan pecandu jika tubuhnya rusak
digerogoti zat beracun, dikucilkan dalam masyarakat / pergaulan orang baik-baik, keluarga
akan malu besar karena punya anggota keluarga yang memakai zat terlarang, kesempatan
belajar hilang, tidak dipercaya lagi oleh orang lain, dosa yang bertambah karena lupa akan
kewajiban Tuhan, serta menjalani kehidupan yang dilarang oleh ajaran agamanya.
Masalah pencegahan narkoba adalah masalah yang kompleks yang pada umumnya
disebabkan oleh tiga faktor yaitu: faktor individu, faktor lingkungan/sosial dan faktor
ketersediaan, menunjukkan bahwa pencegahan penyalahgunaan narkoba yang efektif
memerlukan pendekatan yang terpadu dan komprehensif. Pendekatan apa pun yang dilakukan
tanpa mempertimbangkan ketiga faktor tersebut akan mubazir.
3.2 Saran
Saran yang dapat diberikan dalam upaya pencegahan adalah :
a. Sebagai generasi muda perlu mengadakan pertahanan diri dari bahaya narkoba yang selalu
mengancam.
b. Peran orang tua menciptakan rumah yang sehat, serasi, harmonis, cinta, kasih sayang dan
komunikasi terbuka.
c. Peran tokoh masyarakat adalah mengikutsertakan dalam pengawasan narkoba dan
pelaksanaan Undang-Undan serta mengadakan penyuluhan, kampanye pencegahan
penyalahgunaan narkoba.
Untuk penyalahguna NAPZA maka saran yang dapat diberikan dalam upaya pengobatan
yang terdiri dari pengobatan adiksi (detoks), pengobatan infeksi, rehabilitasi dan pelatihan
mandiri

Daftar Pustaka
Basuki, H. (2006). Penelitian kualitatif : Untuk ilmu-ilmu kemanusiaan dan budaya. Jakarta:
Universitas Gunadarma.
BNN. (2004). Pencegahan penyalahgunaan narkoba bagi pemuda. Jakarta: BNN.
Frankl, V. E. (1968). The doctor and the soul : From psychotherapy through logoterapi. New
York: Alfred A. Knopft.
Frankl, V. E. (1985). Mans search for meaning. New York: Washington Square Press.
Hawari, D. (2006). Penyalahgunaan dan ketergantungan NAZA (Narkotika, Alkohol, dan
Zat Adiktif). Balai Penerbit Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia.
14

Iriana, S. (2005). Derita cinta tak terbalas : Proses pencarian makna hidup. Jakarta:
Jalasutra.
Krueger, D. (1979). An introduction to phenomenological psychology. Pittsburg: Ouquesne
University Press.
Maslim. (1996). Bahaya NAPZA dan penanggulangannya. ( vol : II ) : Jakarta: Rajawali.
Tirtasari, Reni. (2004). Kepercayaan diri pada remaja ex-pengguna narkoba. Sknipsi (Tidak
diterbitkan) Depok: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.
Wresniwiro, M. (2004). Narkoba musuh bangsa. Jakarta: Yayasan Mitra Bintibmas.

15

Anda mungkin juga menyukai