Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mendidik adalah tugas utama seorang Guru, di dalam mendidik
terdapat kriteria-kriteria tertentu dalam menentukan apakah siswa atau siswi
yang didik tersebut berhasil dalam mencapai kompetensi mata pelajaran yang
di pelajari. Dalam menentukan keberhasilan tersebut guru harus bisa memberi
penskoran dan penilaian yang adil dan obyektif kepada siswa dan siswinya .
Setelah kita melakukan kegiatan tes terhadap siswa, kegiatan
berikutnya adalah memberikan skor pada setiap lembar jawaban siswa.
Kegiatan ini harus dilakukan dengan cermat karena menjadi dasar bagi
kegiatan pengolahan hasil tes sampai menjadi nilai prestasi. Sebelum
melakukan tes, sebaiknya Anda sudah menyusun teknik pemberian skor
(penskoran). Bahkan sebaiknya Anda sudah berpikir strategi pemberian skor
sejak perumusan kalimat pada setiap butir soal. Pada kegiatan belajar ini akan
disajikan pemberian skor pada tes domain kognitif, afektif, dan psikomotor
sesuai dengan pedoman yang telah dikeluarkan oleh Diknas (2004) yang telah
dimodifikasi. Membuat pedoman penskoran sangat diperlukan, terutama untuk
soal bentuk uraian dalam tes domain kognitif supaya subjektivitas Anda dalam
memberikan skor dapat diperkecil. Pedoman menyusun skor juga akan sangat
penting ketika Anda melakukan tes domain afektif dan psikomotor peserta
didik. Karena sejak tes belum dimulai, Anda harus dapat menentukan ukuranukuran sikap dan pilihan tindakan dari peserta didik dalam menguasai
kompetensi yang dipersyaratkan.
Pada makalah ini, kita akan mempelajari teknik pemberian skor
(penskoran). Adapun kompetensi yang harus Anda kuasai setelah mempelajari
tehnik penskoran ini adalah sebagai mahasiswa mampu membuat pedoman
penskoran dan melakukan analisis hasil penilaian proses dan hasil
pembelajaran dengan metode tes. Oleh sebab itu, setelah mempelajari modul
ini diharapkan kita memiliki kemampuan untuk Memberi skor pada berbagai
soal metode tes.

1 | Page

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apakah pengertian dari Pensekoran dan penilaian?
1.2.2 Bagaimana cara mengembangan pedoman penskoran?
1.2.3 Apa sajakah prinsip penilaian?
1.2.4 Persamaan dan perbedaan Penskoran dan Penilaian?
1.2.5 Langkah-langkah Melakukan Penilaian?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui pengertian pensekoran dan penilaian.
1.3.2 Mengetahui cara mengembangan pedoman penskoran.
1.3.3 Mengetahui prinsip penilaian.
1.3.4 Mengetahui perbedaan Penskoran dan Penilaian.
1.3.5 Mengetahui Langkah-langkah Melakukan Penilaian.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian penskoran
Pemberian skor (=scoring) merupakan langkah pertama dalam proses
pengolahan hasil tes, yaitu proses pengubahan jawaban soal tes menjadi
angka-angka dengan kata lain pemberian skor itu merupakan tindakan

2 | Page

kuantifikasi terhadap jawaban-jawaban yang diberikan oleh testee dalam suatu


tes hasil belajar.
Angka-angka hasil penilaian itu selanjutnya diubah menjadi nilai-nilai
(=grade) melalui proses tertentu. Penggunaan simbol untuk menyatakan nilainilai hasil tes itu ada yang tertuang dalam bentuk angka dengan rentangan
antara 0 10, antara 0 100, dan ada pula yang menggunakan simbol huruf A,
B, C, D dan F (F = fail) = gagal).
Cara pemberian skor terhadap hasil tes belajar pada umumnya
disesuaikan dengan bentuk soal-soal yang dikeluarkan dalam tes tersebut,
apakah tes uraian (essay) ataukah tes objektif (objective test) (Sudijono, 1996:
301).
Untuk soal-soal objektif biasanya setiap jawaban benar diberi skor 1
(satu) dan setiap jawaban yang salah diberi skor 0 (nol); total skor diperoleh
dengan menjumlahkan skor yang diperoleh dari semua soal. Untuk soal-soal
essay dalam penskorannya biasanya digunakan cara memberi bobot (weithing)
kepada setiap soal menurut tingkat kesukaranya atau banyak sedikitnya unsur
yang yang harus terdapat dalam jawaban yang dianggap paling baik.
Misalnya: untuk soal no. 1 diberi skor maksimal 4, untuk soal no. 3 diberi skor
maksimum 6, untuk skor no. 5 skor maksimum 10 dan seterusnya.
Dalam hal pekerjaan menskor atau menentukkan angka, dapat
digunakan 3 (tiga) macam alat bantu, yaitu:
a
b

Pembantu menentukan jawaban yang benar, disebut kunci jawaban


Pembantu menyeleksi jawaban yang benar dan yang salah, disebut

kunci skoring
Pembantu menentukkan

angka,

disebut

pedoman

penilaian.

Keterangan dan penggunaannya dalam berbentuk tes (Suharsim,


Arikunto, 2016: 259).
Di lembagalembaga pendidikan kita, masih banyak pengajaran yang
melakukan penskoran soal-soal essay, tanpa pembobotan; setiap soal diberi
skor yang sama meskipun sebenarnya tingkat kesukaran soal-soal dalam tes
yang disusunnya itu tidak sama.

3 | Page

Bahkan yang lebih memprihatinkan lagi, terutama dalam penilaian


soal-soal essay, proses penskoran dan penilaian biasanya tidak dibedakan satu
sama lain; pekerjaan siswa atau mahasiswa langsung diberi nilai, jadi bukan
diskor terlebih dahulu. Oleh karena itu, hal ini sering kali menimbulkan
terjadinya halo effect, yang berarti dalam penilaiannya itu diikutsertakan pula
unsur-unsur yang irelevan seperti kerapian dan ketidakrapian tulisan, gaya
bahasa, atau panjang-pendeknya jawaban sehingga cenderung menghasilkan
penilaian yang kurang andal. Hasil penilaian menjadi kurang objektif. Jika tes
yang berbentuk soal-soal essay tersebut dinilai oleh lebih dari satu orang,
sering kali terjadi perbedaan-perbedaan diantara penilai, bahkan juga hasil
penilaian seorang penilai sering kali berbeda terhadap jawaban-jawaban yang
sama dari soal tertentu. Kesalahan seperti ini tidak akan selalu terjadi jika
dalam pelaksanaannya diadakan pemisahan antara proses penskoran dan
penilaian.
2.1.1 Penskoran Tes Bentuk Pilihan
Cara penskoran tes bentuk pilihan ada dua, yaitu tanpa koreksi
terhadap jawaban tebakan dan dengan koreksi terhadap jawaban
tebakan (Djemari Mardapi. 2008).
1. Penskoran tanpa koreksi terhadap jawaban tebakan.
Untuk memperoleh skor dengan teknik penskoran ini
digunakan rumus sebagai berikut:
Skor =

B
N

x 100

Keterangan:
B : banyaknya butir yang dijawab benar
N : banyaknya butir soal
Penskoran tanpa koreksi saat ini banyak digunakan dalam
penilaian

pembelajaran.

Namun

teknik

penskoran

ini

sesungguhnya mengandung kelemahan karena kurang mampu


mencegah peserta tes berspekulasi dalam menjawab tes. Hal ini

4 | Page

disebabkan tidak adanya resiko bagi siswa ketika memberikan


tebakan apapun dalam memilih jawaban sehingga jika mereka
tidak mengetahui jawaban mana yang paling tepat maka mereka
leluasa memilih salah satu pilihan secara sembarang. Benar atau
salahnya jawaban sembarang tidak menunjukkan kemampuan
siswa.

Semakin

banyak

jawaban

tebakan

semakin

besar

penyimpangan skor dengan penguasaan kompetensi siswa yang


sesungguhnya.
2. Penskoran dengan koreksi terhadap jawaban tebakan
Untuk memperoleh skor siswa dengan teknik penskoran ini
digunakan rumus sebagai berikut:
(B
Skor =

S
)
P1 x 100
N

Keterangan
B : banyaknya butir soal yang dijawab benar
S : banyaknya butir yang dijawab salah
P : banyaknya pilihan jawaban tiap butir.
N : banyaknya butir soal
Butir soal yang tidak dijawab diberi skor 0.
Keunggulan teknik penskoran ini dibanding penskoran
tanpa koreksi adalah teknik ini lebih mampu meminimalisir
spekulasi jawaban siswa. Jika siswa mengetahui jawaban salah
akan berdampak berkurangnya skor yang akan mereka dapatkan
maka siswa akan lebih hati-hati memilih jawaban. Jika siswa tidak
memiliki keyakinan yang cukup tentang kebenaran jawabannya,
maka siswa akan memilih mengosongkan jawaban untuk
menghindari pengurangan.
Contoh 1.
Andaikan Rizki mengerjakan soal pilihan ganda sebanyak
30 butir dengan 4 alternatif jawaban. Pekerjaan yang benar

5 | Page

sebanyak 16 butir. Skor yang diperoleh Rizki dihitung


sebagai berikut
( B
Skor

S
)
P1 x 100
N

14
)
41 x 100
30

(16
=

= 37,777778
= 38
2.1.2

Penskoran bentuk uraian


Pedoman penskoran tes bentuk urian ada dua macam, yaitu
pedoman penskoran analitik dan penskoran holistic (Djemari Mardapi.
2008).
a Menggunakan penskoran analitik
Penskoran analitik digunakan untuk permasalahan yang
batas jawabannya sudah jelas dan terbatas. Biasanya teknik
penskoran ini digunakan pada tes uraian objektif yang mana
jawaban siswa diuraikan dengan urutan tertentu. Jika siswa telah
menulis rumus yang benar diberi skor, memasukkan angka ke
dalam formula dengan benar diberi skor, menghasilkan perhitungan
yang benar diberi skor, dan kesimpulan yang benar juga diberi
skor. Jadi, skor suatu butir merupakan penjumlahan dari sejumlah
b

skor dari setiap respon pada soal tersebut.


Menggunakan penskoran dengan skala global (holistik)
Teknik ini cocok untuk penilaian tes uraian non objektif.
Caranya adalah dengan membaca jawaban secara keseluruhan tiap
butir kemudian meletakkan dalam kategori-kategori mulai dari
yang baik sampai kurang baik, bisa tiga sampai lima. Jadi tiap
jawaban siswa dimasukkan dalam salah satu kategori, dan
selanjutnya tiap jawaban tiap kategori diberi skor sesuai dengan
kualitas jawabannya. Kualitas jawaban ditentukan oleh penilai
secara terbuka, misalnya harus ada data atau fakta, ada unsur

6 | Page

analisis, dan ada kesimpulan. Penskoran soal uraian kadang


menggunakan pembobotan. Pembobotan soal adalah pemberian
bobot pada suatu soal dengan membandingkan terhadap soal lain
dalam suatu perangkat tes yang sama. Pembobotan soal uraian
hanya dilakukan dalam penyusunan perangkat tes. Apabila soal
uraian berdiri sendiri tidak dapat ditetapkan bobotnya. Bobot setiap
soal mempertimbangkan faktor yang berkaitan materi dan
karakteristik soal itu sendiri, seperti luas lingkup materi yang
hendak dibuatkan soalnya, esensialitas dan tingkat kedalaman
materi yang ditanyakan serta tingkat kesukaran soal. Hal yang juga
perlu dipertimbangkan adalah skala penskoran yang hendak
digunakan, misalnya skala 10 atau skala 100. Apabila digunakan
skala 100, maka semua butir soal dijawab benar, skornya 100;
demikian pula bila skala yang digunakan 10. Hal ini untuk
memudahkan perhitungan skor. Skor akhir siswa ditetapkan dengan
jalan membagi skor mentah yang diperoleh dengan skor mentah
maksimumnya kemudian dikalikan dengan bobot soal tersebut.
Rumus yang dipakai untuk penghitungan skor butir soal (SBS)
adalah :
SBS =

a
b xc

Keterangan SBS : skor butir soal


a : skor mentah yang diperoleh siswa untuk butir soal
b : skor mentah maksimum soal
c : bobot soal
Setelah diperoleh SBS, maka dapat dihitung total skor butir soal
berbagai skor total siswa (STP) untuk serangkaian soal dalam tes
yang bersangkutan, dengan menggunakan rumus:
Keterangan STP : skor total peserta
SBS : skor butir soal
Contoh 2. Bobot soal sama, dengan skala 0 sampai dengan 100

7 | Page

Skor Mentah

Skor Mentah

Bobot

Skor Bobot

Perolehan

Maksimum

Soal

Soal

(a)
30
20
10
20
80

(b)
60
40
20
20
140

(c)
20
30
30
20
100

(SBS)
10,00
15,00
15,00
20,00
60,00(STP)

NO Soal
1
2
3
4
Jumlah

Contoh 3. Bila STP tidak sama dengan Total Bobot Soal dan Skala 100
Skor Mentah

Skor Mentah

Bobot

Skor Bobot

Perolehan

Maksimum

Soal

Soal

(a)
30
20
10
20
80

(b)
60
40
20
20
140

(c)
20
30
30
20
100

(SBS)
10,00
30,00
30,00
10,00
10,00(STP)

NO Soal
1
2
3
4
Jumlah

Pada dasarnya STP merupakan penjumlahan SBS, bobot tiap soal


sama semuanya. Contoh ini berlaku untuk soal uraian objektif dan
uraian non-objektif, asalkan bobot semua butir soal sama.
Pembobotan juga digunakan dalam soal bentuk campuran, yaitu
pilihan dan uraian. Pembobotan soal bagian soal bentuk pilihan
ganda dan bentuk uraian ditentukan oleh cakupan materi dan
kompleksitas jawaban atau tingkat berpikir yang terlibat dalam
mengerjakan soal. Pada umumnya cakupan materi soal bentuk
pilihan ganda lebih banyak, sedang tingkat berpikir yang terlibat
dalam mengerjakan soal bentuk uraian biasanya lebih banyak dan
lebih tinggi.
Suatu ulangan terdiri dari N1 soal pilihan ganda dan N2 soal
uraian. Bobot untuk soal pilihan ganda adalah w1 dan bobot untuk

8 | Page

soal uraian adalah w2. Jika seorang siswa menjawab benar n1


pilihan ganda dan n2 soal uraian, maka siswa itu mendapat skor:
W1 x

n1
n2
x 100]+ w 2 x [
x 100]
N1
N2

Misalkan, suatu ulangan terdiri dari 20 bentuk pilihan ganda


dengan 4 pilihan dan 4 buah soal bentuk uraian. Soal pilihan ganda
dijawab benar 16 dan dijawab salah 4, sedang bentuk uraian
dijawab benar 20 dari skor maksimum 40. Apabila bobot pilihan
ganda adalah 0,40 dan bentuk uraian 0,60, skor dapat dihitung:

2.1.3

Skor pilihan ganda tanpa koreksi jawaban dugaan: 100

b
c

=80
Skor bentuk uraian adalah: 100 = 50.
Skor akhir adalah: 0,4 (80) + 0,6 (50) = 62.

Kunci Jawaban Dan Kunci Pemberian Skor Untuk Tes Bentuk


Betul Salah
Untuk tes bentuk bentul-salah ( true false ) yang dimaksud
dengan kunci jawaban adalah deretan jawaban yang kita persiapkan
untuk pertanyaan atau soal soal yang kita, sedangkan kunci skoring
adalah alat yang kita gunakan untuk mempercepat pekerjaan skoring.
Oleh karena dalam hal ini testee (tercoba) hanya dimintai melingkari
huruf B atau S maka kunci jawaban yang disediakan hanya berbentuk
urutan nomor serta huruf dimana kita menghendaki untuk melingkari
(atau dapat juga diberi tanda).
Contoh:
1
2
3
4
5

B
S
S
B
B

6. S
7. B
8. S
9. S
10. B

Dan seterusnya
Ada baiknya kunci jawaban ini ditentukan terlebih dahulu sebelum
menyusun soalnya agar:

9 | Page

Pertama : dapat diketauhi imbanga antara jawab B dan S


Kedua : dapat diketahui letak atau pola jawaban B dan S
Bentuk betul-salah sebaiknya disusun sedemikian rupa sehinga
jumlah jawaban B hampir sama banyak nya dengan jawaban S, dan
tidak dapat ditebak karena tidak diketahui pola jawabannya.
Kunci jawaban untuk tes bentuk ini dapat dignti kunci skoring
(scoring-key) yang pembuatannya melalui langkah-langkah sebagai
berikut:
Langkah 1: menentukan letak jawaban yang betul.
Misalnya:
1
2
3
4
5

BS
BS
BS
BS
BS

6. B S
7. B S
8. B S
9. B S
10. B S

Langkah 2: melubangi tempat-tempat lingkaran sedemikian rupa


sehingga lingkaran yang dibuat oleh testee dapat dilihat.
Catatan:

1
2
3
4
5

BS
BS
BS
BS
BS

6. B S
7. B S
8. B S
9. B S
10. B S

Dengan pengalaman ini dapat kita ketahui bahwa lubang yang terlalu
kecil berakibat tertutupnya jawaban testee, sedangkan lubang yang
terlalu besar akan saling memotong.
Oleh karena itu, cara menjawab dengan memberi tanda silang akan
lebih baik daripada melingkari. Dengan demikian maka tanda yang
dibuat testee akan tampak jelas seperti terlihat pada contoh berikut:
1

BS

10 | P a g e

2
3
4
5

BS
BS
BS
BS

Dalam keadaan jawaban seperti ini maka testee menjawab tepat pada 3
soal, yaitu butir 1, 3, dan 5.
Dalam menentukkan angka (skor) untuk tes bentuk B-S ini kita dapat
menggunakan 2 ( dua) cara seperti telah disinggung didepan, yaitu:
1 Tanpa hukuman atau tanpa denda, dan
2 Dengan hukuman atau dengan denda
Tanpa hukuman adalah apabila banyaknya angka yang diperoleh siswa
sebanyak jawaban yang cocok dengan kunci. Sedangkan dengan
hukuman (karena diragukan adanya unsur tebakan), digunakan 2 (dua)
macam rumus, tetapi hasilnya sama.
Pertama dengan rumus: S = R W
Singkatan dari:
S = Score
R = Right
W = Wrong
Skor yang diperoleh siswa sebanyak jumlah soal yang benar dikurangi
dengan jumlah soal yang salah.
Contoh:
Banyak soal = 10
Yang betul = 8
Yang salah = 2 buah
Angkanya adalah 8-2 = 6
Kedua dengan rumus: S = T-2W
T singkatan dari Total, artinya jumlah soal dalam tes
Contoh:
Banyaknya soal = 10
Yang salah = 2 buah
Angkanya adalah 10 - (2x2) = 10 - 4 = 6
(Arikunto, 2016: 260-262).
2.1.4

Kunci jawaban dan kunci pemberian skor untuk tes bentuk jawab
singkat (Short Answer Test)

11 | P a g e

Tes bentuk jawab singkat adalah bentuk tes yang menghendaki


jawaban berbentuk kata atau kalimat pendek.
Tes bentuk isian, dianggap setaraf dengan tes jawab singkat ini. Kunci
jawaban tes bentuk ini merupakan deretan jawaban sesuai dengan
nomornya.
Contoh:
1
2
3
4
5

Berat jenis
Mengembun
Komunitas
Populasi
Energi

Bagaiman kunci pemberian penskorannya?


Dengan mengingat jawaban yang hanya satu pengertian saja, maka
angka bagi tiap nomor soal mudah ditebak. Usaha yang dikeluarkan
oleh siswa sedikit, tetapi lebih sulit daripada tes bentuk betul-salah
atau bentuk pilihan ganda. Sebaiknya tiap soal diberi angka 2 (dua).
Dapat juga angka itu kita samakan dengan angka pada betul-salah atau
pilihan ganda jika memang jawaban yang diharapkannya ringan atau
mudah. Tetapi sebaliknya apabila jawabannya bervariasi misalnya
lengkap sekali, lengkap dan kurang lengakap, maka angkanya dapat
dibuat bervariasi pula misalnya 2;1,5;dan1.
2.1.5

Kunci jawaban dan kunci pemberian skor untuk tes bentuk


menjodohkan (matching)
Pada dasarnya tes bentuk menjodohkan adalah tes bentuk
pilihan ganda, dimana jawaban-jawaban dijadikan satu, demilian pula
pertanyaan

pertanyaannya.

Dengan

demikian,

maka

pilihan

jawabannya kan lebih banyak. Satu kesulitan lagi adalah bahwa


jawaban yang dipilih dibuat sedemikian rupa sehingga jawaban yang
satu tidak diperlukan dengan pertanyaan lagi.
Kunci jawaban tes bentuk menjodohkan dapat berbentuk
deretan jawaban yang dihendaki atau deretan nomor yang diikuti oleh
huruf-huruf yang terdapat di depan alternatif jawaban.
Contoh:

12 | P a g e

1
2
3
4
5

Tahun 1922 atau 1.f


Imam bonjol atau 2.c
Perang padri atau 3.h
Teuku umar atau 4.a
P.diponegoro atau 5.b

Telah dijelaskan bahwa tes bentuk menjodohkan adalah tes bentk


pilihan ganda yang lebih kompleks. Maka angka yang diberikan
sebagai imbalan juga harus lebih banyak. Sebagai ancar-ancar dapat
ditentukan bahwa angka untuk tiap nomor adalah 2 (dua) (Arikunto,
2016: 264-265).
2.2 Pengembangan Pedoman Penskoran
2.2.1 Langkah-langkah pengembangan pedoman penskoran
Ada tujuh langkah untuk mengembangkan pedoman penskoran,
yaitu: menentukan tujuan, mengidentifikasi atribut, menjabarkan
karakteristik atribut, menentukan teknik penskoran, menyusun
pedoman penskoran, melakukan piloting/ujicoba terbatas, dan
memperbaiki pedoman penskoran menjadi pedoman siap pakai
(Charlotte Danielson, 1997).
Menentukan tujuan
Tujuan akan mengarahkan pada langkah pengembangan

selanjutnya. Tes dikembangkan sesuai kebutuhan pengumpulan


data aspek-aspek yang memang menjadi tujuan pengukuran.
Misalkan, akan dikembangkan pedoman penskoran tes uraian non
objektif untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah siswa,
akan berbeda dengan pedoman penskoran tes untuk mengukur
kreativitas berpikir. Tes untuk pengukuran kemampuan pemecahan
masalah harus mampu menggali informasi terkait kompetensi
pemecahan masalah, antara memahami masalah, merumuskan
penyelesaian

masalah,

melaksanakan

rencana

penyelesaian

masalah, dan menarik kesimpulan. Begitu juga tes untuk mengukur


pemahaman konsep, harus mampu mengukur domain-domain
tentang kreativitas berpikir, misal: berpikir lancar, luwes, orisinil,
terperinci, dan keterampilan menilai.

13 | P a g e

Identifikasi atribut secara spesifik yang ingin dinilai


Pada tahap ini harus diidentifikasi aspek-aspek apa saja
yang akan menjadi fokus penilaian. Jika tes untuk mengukur
kemampuan

pemecahan

masalah

maka

harus

ditetapkan

indikatorindikator kunci kemampuan pemecahan masalah. Contoh


lain, jika tes untuk mengukur kemampuan kreativitas berpikir
siswa, maka harus ditetapkan apa saja indikator kunci kreativitas
3

berpikir.
Menjabarkan karakteristik yang menggambarkan setiap atribut
Setelah atribut yang akan diukur secara jelas telah
teridentifikasi,

langkah

selanjutnya

adalah

menjabarkan

karakteristik atribut tersebut. Karakteristik ini inilah yang


selanjutnya akan menjadi poin pencermatan utama dalam
penetapan skor. Misalkan pada pedoman penskoran tes untuk
mengukur kemampuan pemecahan masalah, karakteristiknya
antara

lain:

merumuskan
penyelesaian,
4

kemampuan

memahami

penyelesaian,
kemampuan

masalah,

kemampuan

kemampuan
melaksanakan

menyimpulkan/menafsirkan

penyelesaian
Menentukan teknik penskoran
Agar skor yang diperoleh dapat menggambarkan atribut
yang diukur dengan baik, Anda harus menentukan teknik
penskoran yang tepat. Anda dapat memilih salah satu disesuaikan
kebutuhan, analitik atau holistik. Untuk penskoran tes uraian
objektif menggunakan pedoman penskoran analitik, sedang tes
uraian non objektif menggunakan pedoman penskoran holistik.
Jika pada tes tersebut terdapat soal uraian objektif sekaligus non
objektif, maka dapat digunakan kedua teknik penskoran tersebut

sesuai dengan masing-masing soal.


Menyusun pedoman penskoran
Penyusunan pedoman penskoran disesuaikan dengan teknik
penskoran yang digunakan. Jika teknik penskoran menggunakan
teknik penskoran analitik, langkah awalnya adalah membua kunci

14 | P a g e

jawaban seluruh butir soal. Selanjutnya menentukan skor setiap


soal. Skor setiap soal ditetapkan dengan menetapkan skor setiap
unit. Skor tiap butir diperoleh dengan menjumlah skor semua unit.
Penetapan skor juga perlu memperhatikan bobot masing-masing
butir,

sehingga

skor

akhir

mewakili

secara

proporsional

keseluruhan dimensi yang diukur. Jika Anda menggunakan teknik


penskoran holistik, penyusunan penskoran dapat diawali dengan
menyusun atribut dan indikator kunci dari aspek yang diukur.
Atribut dan indikator kunci tersebut kemudian dirumuskan menjadi
6

kategori-kategori untuk menentukan skor jawaban.


Piloting/ujicoba terbatas penggunaan pedoman penskoran
Piloting/ujicoba terbatas penggunaan pedoman penskoran
dilakukan dengan menggunakannya pada beberapa lembar jawaban
siswa.
a Dilakukan sendiri
Cermatilah aplikabilitas penskoran Anda, apakah bisa
diterapkan atau tidak, menyulitkan atau tidak, jelas atau tidak,
konsisten atau tidak, dan hal-hal lain yang berhubungan
dengan keterbacaannya. Jika masih terdapat yang belum
tepat, informasi dari penggunaan terbatas ini digunakan untuk
perbaikan.
b

Melibatkan orang lain


Ujicoba terbatas dapat dilakukan melibatkan teman guru lain.
Mintalah teman Anda mengoreksi lembar jawaban siswa
yang Anda koreksi tadi dengan penskoran yang Anda buat,
sehingga diperoleh dua skor hasil koreksian. Hasil penskoran
Anda dan teman Anda kemudian dibandingkan. Jika ternyata
terdapat perbedaan yang signifikan antara skor hasil koreksi
Anda dan teman Anda, dan perbedaan tersebut karena
pedoman penskoran yang kurang tepat, maka langkah
perbaikan harus dilakukan berdasarkan data temuan tersebut.

Memperbaiki pedoman penskoran

15 | P a g e

Perbaikan dilakukan berdasarkan informasi yang ditemukan


pada piloting/ujicoba terbatas. Perbaikan ini dapat meliputi
penetapan skornya, redaksi, pembobotan, atau temuan lain yang
dipandang perlu untuk kebaikan dan kemudahan penggunaan
pedoman penskoran tersebut.
2.3 Pengertian Menilai
Setelah memeriksa hasil tes dan menghitung jumlah jawaban
benar untuk menentukan skornya, maka langkah berikut adalah
menetapkan nilai untuk pencapaian belajar ssiwa seperti yang dicerminkan
oleh skor itu. Kalimat ini menunjukkan bahwa skor dan nilai mempunyai
pengertian yang berbeda.
Skor (score atau mark) adalah angka yang menunjukkan jumlah
jawaban yang benar dari sejumlah butir soal yang membentuk tes. Dengan
demikian, apabila jumlah soal yang benar ada 25, maka skor untuk siswa
tersebut adalah juga 25, terlepas dari berapa jumlah soal yang membentuk
tes itu. Jadi, biarpun jumlah soal dalam tes itu 30, 40, 50, 75, atau 100
sekalipun, siswa tersebut tetap mendapat skor 25. Pemberian angka skor
itu sebagai angka nilai tersebut tidak tepat. Skor 25 dari 30 butir soal
berbeda nilai daripada skor 25 pada tes dengan 50 butir soal, apalagi pada
tes dengan 100 butir soal. Pada tes dengan 30 buir soal, skor 25
menempatkan siwa itu pada kelompok yang berhasil mencapai 83% tujuan
instruksional yang diukur dengna tes tersebut. Tetapi skor 25 yang
diperoleh dari tes dengan 50 butir soal, tingkat pencapaian tujuan
instruksional hanya sebenar 50%, dan hanya sebesar 25% pada tes dengan
100 butir soal. Angka-angka persentase itu diperoleh dengan jalan
membagi jumlah skor dengan jumlah butir soal dalam seluruh tes dan
dikalikan dengan 100%. Angka-angka persentase ini menunjukkan nilai
skor tersebut dalam kaitan dengan seluruh tes yang disajikan. Nilai
(grade), dengan demikian, adalah angka yang menunjukkan tingkat
pencapaian tujuan instruksional yang dicantumkan daam keseluruhan tes.
Misalnya, nlai pencapaian tujuan instruksional ditetapkan antara 0 dan
100, maka angka-angka persentase tersebut di atas harus dikalikan dengan

16 | P a g e

nilai maksimal yang ditetapkan itu, yakni 100 sehingga diperoleh 83, 50
atau 25 masing-masing untuk tes dengan jumlah butir soal 30, 50 dan 100.
Apabila nilai tertinggi ditetapkan 10, maka angka persentase tersebut perlu
dikalikan dengan 10 sehingga diperoleh nilai 8,3 untuk tes dengan 30 butir
soal, atau 5 dan 2,5 untuk masing-masing tes dengan 30 butir soal, atau 5
dan 2,5 untuk masing-masing tes dengan jumlah soal 50 dan 100 butir.
Semua nilai semacam ini disebut juga skor jabaran (derived scores).
(Silverius, 1991: 107-108).
2.4 Faktor-faktor yang dianggap penting dipertimbangkan dalam
penilaian.
1 Perbaikan dan/ atau kemajuan siswa
2 Kemampuan siswa
3 Kesungguh-sungguhan siswa
4 Integritas dan kejujuran intelektual siswa
5 Minat siswa terhadap pelajaran; menyimak di kelas
6 Keteraturan mempersiapkan diri; kelengkapan alat-alat
7 Kecermatan; kerapian pekerjaan
8 Sopan-santun
9 Usaha dalam mengikuti pelajaran dan menyelesaikan tugas
10 Ketepat waktuan dalam menyelesaikan tugas
11 Kualitas prestasi; kuantitas prestasi
12 Pencapaian tujuan mata pelajaran yang bersangkutan
13 Pengusaan terhadap bahan yang diajarkan
14 Keterampilan menerangkan pengetahuan yang dipelajari
15 Posisi prestasi dalam kelompok
16 Kemampuan menyatakan diri secara tertulis; secara lisan
17 Partisipasi dalam kegiatan-kegiatan kelas
18 Keteraturan kehadiran dalam kelas
19 Logika berfikir
20 Kemampuan bergaul dengan teman-teman
21 Pemberian hukuman bagi perbuatan kurang baik dan/ atau ganjaran
bagi perbuatan baik.
(Joni, 1984: 152-153).
2.5

Prinsip Penilaian
Kira-kira dua-tiga dekade yang lalu, atau mungkin bahkan hingga
kini, masih banyak orang berpendapat bahwa Siapa yang menguasai
materi dengan sendirinya bisa mengajarkannya, dan (implisit didalamnya)
siapa yang bisa mengajar dengan sendirinya dapat pula melakukan

17 | P a g e

penilaian. Akan tetapi paralel dengan berkembangnya teknologi


pendidikan, termasuk didalamnya teknologi pendidikan, termasuk
didalamnya teknologi pengukuran dan penilaian prestasi belajar siswa dan
mahasiswa, dalil tersebut sudah mulai luntur. Kini banyak orang
khususnya para guru atau pengajar- mulai menyadari bahwa masalah
pengukuran dan penilaian prestasi belajar siswa dan mahasiswa bukanlah
pekerjaan yang mudah, yang dapat dilakukan secara intuitif atau secara
trial and error saja. Untuk dapat melakukan pengukuran dan penilaian
secara efektif diperlukan latihan dan penguasaan teori-teori yang relevan
dengan tujuan dari proses-belajar-mengajar sebagai bagian yang tidak
terlepas dari kegiatan pendidikan sebagai suatu sistem.
Sehubungan dengan itu, dalam uraian berikut ini akan dibicarakan
beberapa prinsip penilaian yang perlu diperhatikan sebagai dasar dalam
pelaksanaan penilaian, sesudah itu akan dibicarakan pula tentang prosedur
pemberian nilai.
Adapun beberapa prinsip penilain itu ialah sebagai berikut:
1 Penilaian hendaknya didasarkann atas hasil pengukuran yang
komprehensif. Hal ini berarti bahwa penilaian didasarkan atas sampel
presasi yang cukup banyak, baik macamnya maupun jenisnya. Untuk
itu dituntut pelaksanaan penilaian secara sinambung dan penggunaan
bermacam-macam teknik pengukuran . Dengan macam dan jumlah
ujian yang lebih banyak, prestasi siswa dapat diungkapkan secara lebih
mantap meskipun harus pula dicatat bahwa banyaknya macam jumlah
ujian harus dibarengi dengan kualitas soal-soalnya, yang sesuai dengan
2

fungsinya sebagai alat ukur.


Harus dibedakan antara peskoran (scoring) dan penilaian (grading).
Hal ini telah dibicarakan dalam uraian terdahulu. Penskoran berarti
proses pengubahan prestasi menjadi angka-angka, sedangkan dalam
penilaian kita memproses angka-angka hasil kualifikasi prestasi itu
dalam hubungannya dengan kedudukan personal siswa dan
mahasiswa yang memperoleh angka-angka tersebut di dalam skala
tertentu, misalnya skala tentang baik-buruk, bisa diterima-tidak bisa

18 | P a g e

diterima, dinyatakan lulus-tidak lulus. Dalam penskoran, perhatian


terutama ditujukan kepada kecermatan dan kemantapan (accuracy dan
reliability); sedangkan dalam penilaian, perhatian tertutama ditujukan
3

kepada validitas dan kegunaan (validity dan utility).


Dalam proses pemberian nilai hendaknya diperhatikan adanya dua
macam orientasi, yaitu penilaian yang norms-referenced dan yang
criterion-referenced. Norm-referenced evaluation adalah penilaian
yang diorientasikan kepada suatu kelompok tertentu; jadi, hasil
evaluasi perseorangan siswa atau mahasiswa dibandingkan dengan
prestasi kelompoknya. Prestasi kelompoknya itulah yang dijadikan
patokan atau norm dalam menilai siswa atau mahasiswa secara
perseorangan. Penilaian norm-referenced selalu bersifat kompetitif
intrakelompok. Criterion-referenced evaluation ialah penilaian yang
diorientasikan kepada suatu standar absolut, tanpa dihubungkan

dengan suatu kelompok tertentu.


Kegiatan pemberian nilai hendaknya merupakan bagian integral dari
proses belajar-mengajar. Ini berarti bahwa tujuan penilaian, di samping
untuk mengetahui status siswa dan menaksir kemampuan belajar serta
penguasaannya terhadap bahan pelajaran, juga digunakan sebagai
feedbacak (umpan balik), baik kepada siswa sendiri maupun bagi guru

atau pengajar.
Penilaian harus bersifat komparabel. Artinya setelah tahap pengukuran
yang menghasilkan angka-angka itu dilaksanakan, prestasi-prestasi
yang menduduki skor yang sama harus memperoleh nilai yang sama

pula.
Sistem penilaian yang dipergunakan hendaknya jelas bagi siswa dan
bagi pengajar sendiri. Sumber ketidakberesan dalam penilaian
terutama adalah tidak jelasnya sistem penilaian itu sendiri bagi para
guru atau pengajar; apa yang dinilai serta macam skala penilaian yang
dipergunakan dan makna masing-masing skala itu. Apapun skala yang
dipakai dalam penilaian, apakah skala 0-4 atau A, B, C, D, dan F (TL),

19 | P a g e

hendaknya benar-benar apa isi dan maknanya. (Purwanto, 2001: 7375).


2.6 Perbedaan Menyekor dan Menilai
Skor adalah hasil pekerjaan menyekor (sama dengan memberikan
angka yang diperoleh dengan jalan menjumlahkan angka-angka bagi setiap
butir item yang oleh testee telah dijawab dengan betul, dengan
memperhitungkan bobot jawaban betulnya. (Sudijono, 1996: 39)
Adapun yang dimaksud nilai adalah angka (bisa juga huruf), yang
merupakan hasil ubahan dari skor yang sudah dijadikan satu dengan skorskor lainnya, serta disesuaikan pengaturannya dengan standar tertentu.
Itulah sebabnya mengapa nilai sering disebut skor standar (standard
score).
Nilai pada dasarnya adalah angka/huruf yang melambangkan
seberapa jauh/seberapa besar kemampuan yang telah ditujukan oleh testee
terhadap materi atau bahan yang teskan, sesuai dengan tujuan instruksional
khusus yang telah ditentukan. (Sudijono, 1996: 311)
Perskoran berarti proses pengubahan prestasi menjadi angkaangka, sedangkan dalam penilaian kita memproses angka-angka hasil
kuantifikasi prestasi itu dalam hubungannya dengan kedudukan personal
siswa dan mahasiswa yang memperoleh angka-angka tersebut di dalam
skala tertentu.
Dalam penskoran, perhatian utama ditujukam kepada kecermatan
dan kemantapan, sedangkan dalam penilaian, perhatian terutama ditujukan
kepada validitas dan kegunaan. (Purwanto, 2001: 73)
2.7 Langkah-langkah Melakukan Penilaian
Untuk dapat melakukan penilaian terhadap hasil belajar siswa
dengan baik, perlu kita kajij beberapa prosedur penilaian dari yang sangat
sederhana dan mengandung banyak kelemahan sampai kepada yang lebih
rumit dan sophiticated. Dengan pengkajian ini diharapkan kita dapat
memahami kelemahan-kelamahan maupun kebaikan yang terkandung di
dalam setiap prosedur penilaian.
1 Prosedur penilaian yang paling sederhana, atau mungkin juga dapat
dikatakan paling tua dan banyak dilakukan di lembaga-lembaga

20 | P a g e

pendidikan kita, ialah prosedur yang tidak membedakan dengan jelas


adanya dua fase, yaitu fase pengukuran dan penilaian. Prosedur ini
mengandung lebih banyak kelemahan dari pada kebaikan. Dalam
pelaksanaannya sering dikacaukan antara penskoran dan penilaian,
atau lebih lazim lagi angka atau kor yang sebenarnya merupakan
biji, langsung dianggap sebagai nilai, yang kemudian dipergunakan
sebagai alat untuk menentukan vonnis kepada siswa atau mahasiswa
2

yang memperoleh biji tersebut.


Prosedur ini dan berikutnya adalah prosedur yang telah memisahkan
fase pengukuran da fase penilaian dengan berbagai variasi, mulai dari
yang relatif sederhana sampai dengan yang lebih rumit dan
sophisticated.
Yang pertama ialah prosedur penilaian dengan membuat
peringkat skor-skor dalam bentuk tabel-tabel distribusi (untuk lebih
jelasnya, periksalah tabel-yabel dalam lampiran) dengan membuat
rentangan skor teoritis dari O s.d. N (dalam buku lain disebut juga
rentangan skor ideal). Jika kemudian skor-skor yang diperoleh siswa
(skor aktual) dimasukkan ke dalam rentangan skor teoritis itu, maka
rentangan dan distribusi frekuensinya sehingga sekaligus kita dapat
melihat apakah tes itu terlalu mudah, terlalu sukar, atau sedang bagi
kelompok siswa yang bersangkutan. Dari pemeriksaan secara visual
demikian itulah penilaian dapat menetapkan batas-batas penilaian
(baca: skala penilaian) sesuai dengan distribusi kelompok skor yang
terlukis di dalam tabel. Dalam hal ini, peran guru atau penilai dituntut
tanggung jawab profesionalnya dalam mnentukan batas persyaratan

penguasaan minimal dari hasil tes yang telah ditabulasikan itu.


Prosedur penilaian dengan menggunakan persentase (%) banyak
digunakan karena dianggap lebih sederhana dan praktis. Penilaian
dengan presentase ini umumnya dikaitkan dengan skala penilaian 0-10
atau 0-100, dengan langsung mentransformasikan persentase yang
dimaksud menjadi nilai. Misalnya 50% benar sama dengan nilai 5
(dalam skala penilaian 0-10) atau 50 (dalam skala penilaian 0-100);

21 | P a g e

78% benar sama dengan nilai 8 (dalam skala penilaian 0-10) atau 78
4

(dalam skala penilaian 0-100).


Prosedur yang menggunakan teknik statistik yang lebih kompleks,
yaitu

yang

dinamakan

penormalisasian.

prosedur

Dikatakan

perstandardisasian

perstandardisasian

karena

dan
dalam

mentranspormasikan skor-skor hasil pengukuran suatu kelompok siswa


menggunakan

rentangan

yang

disebut

deviasi

standar,

yaitu

penyimpangan rata-rata yang dihitung dari nilai titik tengah kelompok


yang disebut mean atau rata-rata hitung (arithmetic mean). (Purwanto,
2001: 79-81).

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pemaparan paper di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan
bahwa yang dimaksud penyekoran adalah proses pengubahan jawaban soal tes
menjadi angka-angka, atau sebuah tindakan kuantifikasi terhadap jawabanjawaban yang diberikan oleh testee dalam suatu tes hasil belajar.
Sedangkan penilaian adalah memproses angka-angka hasil kuantifikasi
prestasi dalam hubungannya dengan kedudukan personal siswa dan
mahasiswa yang memperoleh angka-angka tersebut di dalam skala tertentu,
misalnya skala tentang baik buruk, bisa diterma-tidak bisa diterima,
dinyatakan lulus-tidak lulus.
Adapun prinsip-prinsip penilaian itu adalah sebagai berikut:
1. Penilaian hendaknya didasarkan atas hasil pengukuran yang
komprehensif.
2. Harus dibedakan antara penskoran (scoring) dan penilaian (grading).

22 | P a g e

3. Dalam proses pemberian nilai hendaknya diperhatikan adanya dua


macam orientasi, yaitu penilaian yang norms-referenced dan yang
criterion-referenced.
4. Kegiatan penilaian hendaknya merupakan bagian integral dari proses
belajar mengajar.
5. Penilaian harus bersifat komparable.
6. Sistem penilaian yang dipergunakan hendaknya jelas bagi siswa dan
bagi pengajar sendiri.
3.2 Saran
Dalam penulisan makalah ini diharapkan kepada para mahasiswa/i calon pendidik
diharapkan:
3.2.1 Dapat mengetahui berbagai macam teknik dalam penskoran dan penilaian
3.2.2 Dapat menggunakan penskoran dan penilaian dalam pengajaran
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto Suharsimi. 2016. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara
Charlotte Danielson. 1997. A Collection of Performance Task and Rubrics.
Larchmont, NY: Eye on Education
Djemari Mardapi. 2008. Teknik Penyusunan Instrumen Tes dan Non Tes.
Yogyakarta: Mitra Cendikia Offset
Joni, Raka. 1984. Pengukuran dan Penilaian Pendidikan. Malang: YP2LPM
Nurkancana, Wayan. 1986. Evaluasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
1986.
Purwanto, Ngalim.2001. Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Silverius, Suke. 1991. Evaluasi Hasil Belajar dan Umpan Balik. Jakarta:
Grasindo.
Sudijono, Anas. 1996. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.

23 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai