Anda di halaman 1dari 17

CHAOS THEORY OF LAW :

PENJELASAN ATAS KETERATURAN DAN KETIDAKTERATURAN


DALAM HUKUM
Sudjito*
Abstract
It is of no posibilitiy to understand the complex reality of law by means of linear-mechanistic
approach used to be ulitilized in rechtsdogmatiek or legal-positivism which is still dominant in
the teaching of law. It needs our readiness to see the world of law not as in order but in chaos;
and this is the basic reason to present the Chaos theory of law. It is hoped that this theory will
enable us to explore and explain the law throroughly. Thus the law science will be the total science
which does not limit itself to the positive law, the state law or the lawyers law. Furthermore
this chaos theory is expected to give better description and comprehension of law.
Order and disorder are not opposant, or white-black dichotomy, but they are interrelated,
interwoven and having mutual fulfilment in a sustainably and continually change process. The
Chaos theory of law, thus, constitutes a theory which is qualified to give good explanation of
the complex reality of law and provide the best solution to the critical condition of law in our
country.
Kata kunci : chaos theory of law, keteraturan, ketidakteraturan, hukum
A. Pendahuluan
Chaos, sebuah kata yang berasal dari
bahasa Inggris artinya keadaan kacau balau.1
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
kacau itu mempunyai banyak arti, yaitu : (1)
campur aduk (sehingga tidak terbeda-bedakan
lagi); (2) kusut (kalut) tidak keruan; (3) rusuh,
tidak aman, tidak tenteram; (4) bercampur
aduk dengan (tidak dibeda-bedakan dengan),
bertukar-tukar dengan. Kacau balau adalah
keadaaan yang sangat kacau.2
Istilah ini sudah sangat familier di kalangan ilmuwan, praktisi, bahkan orang awam
sekalipun. Namun demikian, ada kesan, pada
umumnya mereka memberikan konotasi negatif
terhadap istilah tersebut. Tidak jarang istilah ini

dijumbuhkan dengan anarki, kejahatan massal,


situasi yang tak terkendali dan sebagainya. Konotasi negatif seperti itu tidak bisa disalahkan,
bahkan ada benarnya. Namun demikian, masih
banyak sisi-sisi lain yang harus dipahami, apabila berbicara chaos theory of law. Apa yang
hendak diuraikan di sini adalah penjelasan
menyeluruh bahwa istilah chaos tidak selamanya berkonotasi negatif, melainkan bisa juga
bermakna positif. Dalam tulisan ini akan diuraikan mengenai kelahiran dan pengertian chaos
theory of law, mengapa situasi chaos muncul,
faktor-faktor apa yang menjadi penyebabnya,
bagaimana mengubah situasi yang dipandang
negatif menjadi positif, dan bagaimana
peluang masa depan penggunaan chaos theory
of law dalam ilmu hukum.

* Dosen Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.


1
Peter Salim, 1990, The Comtemporary English-Indonesia Dictionary, Fifth Edition, Modern English Press, Jakarta,
hlm. 314.
2
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka Jakarta, hlm. 374.

160

MIMBAR HUKUM Volume 18, Nomor 2, Juni 2006, Halaman 159-292

B. Kelahiran dan Pengertian Chaos Theory


Chaos theory of law menarik perhatian
para ilmuwan dunia sejak mulai tahun 1960-an.
Sebagai teori yang relatif baru, teori ini sering
masih dipertanyakan oleh banyak kalangan,
benarkah teori ini mampu memberikan penjelasan yang lebih baik terhadap berbagai fenomena hukum dalam kaitannya dengan alam dan
kehidupan manusia yang cenderung semakin
kompleks. Tidak jarang, sebagian kalangan,
terutama kaum positivis, melihat teori ini dengan sebelah mata, bahkan menolaknya. Akan
tetapi sebagian yang lain, justru penasaran
dengan teori ini, serta-merta berusaha memahami dan menggunakannya untuk berbagai
keperluan ilmiah.
Untuk memberikan pemahaman yang
lebih komprehensif, uraian ini akan diawali
dengan sejarah kelahiran chaos theory of law.
Dalam konteks ini, setidaknya ada dua ilmuwan
yang sangat berjasa dan pantas disebut sebagai
bidan-bidan chaos theory, yaitu: Edward
Norton Lorenz, dan Ilya Prigogine. Pemikiran
dua ilmuwan itu telah mampu memberikan
inspirasi untuk pengembangan dan penggunaan
chaos theory dalam berbagai disiplin ilmu,
termasuk ilmu hukum.
Chaos, pertama kali terobsesi dalam
sebuah sistem yang dikenal dengan nama sistem
dinamis. Pada era itu perhatian matematikawan
terpusat pada pencarian solusi dari satu sistem.3
Beranjak dari sana, pada tahun 1961, Lorenz4
, ditengah-tengah pekerjaan rutinnya (peramalan cuaca), dia menyelesaikan 12 persamaan
diferensial non-linier dengan komputer. Pada
awalnya dia mencetak hasil perhitungannya
di atas kerta dengan format enam angka di belakang koma (. . . ,506127). Kemudian, untuk
menghemat waktu dan kertas, ia memasukkan
hanya tiga angka di belakang koma (. . . ,506)
dan cetakan berikutnya diulangi pada kertas
sama yang sudah berisi hasil cetakan tadi.
3
4
5

Sejam kemudian, ia dikagetkan dengan hasil


yang sangat berbeda dengan yang diharapkan.
Pada awalnya kedua kurva tersebut memang
berhimpitan, tetapi sedikit demi sedikit bergeser
sampai membentuk corak yang lain sama sekali.
Perubahan sedikit pada kondisi awal (perubahan format enam angka di belakang koma yaitu
. . . ,506127 menjadi hanya tiga angka. . . ,506)
ternyata membawa perubahan (kurva) yang sangat luar biasa. Perubahan sedikit pada kondisi
awal, dapat mengubah secara drastis kelakuan
sistem pada jangka panjang. Perubahan seperti
itu dibakukan dalam sebuah semboyan butterfly effect, yaitu kepakan sayap kupu-kupu
di hutan belantara Brazil (pengabaian angka
sekecil 0,000127) menghasilkan tornado di
Texas (perubahan kurva yang sama sekali
berbeda) beberapa waktu kemudian. Fenomena
inilah yang pada akhirnya melahirkan chaos
theory, yang juga dikenal sebagai sistem yang
ketergantungannya sangat peka terhadap kondisi awal. Dengan kata lain, kesalahan yang
sangat kecil akan menyebabkan bencana besar
di kemudian hari; atau perubahan sedikit saja
pada sebuah sistem dapat mengubah secara
drastis (chaos) kelakuan sistem dalam jangka
panjang.5 Dalam perspektif paradigma holistik,
pereduksian terhadap keutuhan realitas - sekecil
apapun - akan mengakibatkan chaos, sehingga
kehidupan menjadi tidak sehat.
Ilmuwan lain yang tak kalah jasanya bagi
kelahiran chaos theory adalah Ilya Prigogine. Ia
seorang fisikawan-kimiawan kelahiran Rusia. Ia
memperoleh hadiah nobel pada tahun 1977 atas
karyanya disspative structures. Ia mengembangkan teori itu dari studi terhadap sistem
fisika dan kimia setelah merenungkan hakikat
hidup. Dalam perenungannya itu, diperoleh
suatu fenomena bahwa organisme hidup dapat
mempertahankan proses kehidupannya di
bawah kondisi-kondisi non-equalibrium. Ia, selanjutnya, menghubungkan sistem-sistem yang
jauh dari equalibrium itu dengan persamaan-

John Mateus Tuankota, Sekali Lagi tentang Teori Chaos, Kompas, 19 Juli 2003.
Dilahirkan pada 23 Mei 1917 di USA, memiliki latar belakang pendidikan di bidang matematika dan meteorologi.
Selengkapnya baca Kebamoto, The Butterfly Effect, Kompas, 25 Oktober 2002.

Sudjito, Chaos Theory of Law

persamaan non-linier dalam bentuk pengaturan


diri (self organization). Dalam hubungan itu
terlihat bahwa sistem bergerak terus menjauhi
equalibrium, sampai pada puncaknya berupa
titik instabilitas, pada saat kemunculan pola
heksagonal yang tertata.6
Pada tahun 1967, Prigogine mempresentasikan konsep dissipative structures. Konsep
ini menekankan adanya hubungan yang dekat
antara situasi struktur-struktur dan tatanan
yang mulanya paradoks pada satu sisi, dengan
disipasi (penghamburan atau pemborosan)
pada sisi lain. Konsep ini memperkenalkan
sebuah perubahan radikal, bahwa dalam sistem
terbuka, disipasi (penghamburan atau pemborosan) justru menjadi sebuah sumber tatanan
(keteraturan).7
Dalam analisisnya tentang sistem-sistem
yang mengatur diri sendiri (self-organization
systems) diperoleh beberapa temuan menarik,
antara lain : (1) proses evolusi kehidupan adalah
proses menuju situasi makin teratur dan makin
kompleks; (2) kesempatan (chance) ataupun
keacakan (randomness) tidaklah bermakna
sebagai ketiadaan pola dan karakter kehidupan, tetapi justru menjadi sumber tatanan, dan
inilah yang disebutnya sebagai Order Out of
Chaos (tatanan yang muncul dari chaos); (3)
ketidakteraturan (disorder) pada satu level
menimbulkan tatanan (order) pada level yang
lebih tinggi, dengan hukum-hukum baru yang
mengendalikan perilaku struktur-struktur, yang
menunjukkan tipe-tipe baru yang lebih kompleks; (4) keacakan pada satu level menimbulkan pola-pola dinamis pada level yang lain.8
Berbagai temuan kedua ilmuwan di atas,
tampaknya mampu menyentak perhatian dan
mengubah pola pikir serta cara pandang seba-

161

gian ilmuwan yang selama ini telah terbiasa


dengan teori keteraturan. Satjipto Rahardjo,
barangkali bisa disebut sebagai salah satu
ilmuwan terkemuka yang telah berubah pola
pikir dan cara pandangnya ini. Dikemukakannya bahwa :
. . . Menjelang peralihan abad bermunculan pandangan dan analisis yang kritis
yang meragukan susunan dari sistem
hukum. Sangat mungkin perkembangan
itu didorong oleh perubahan berpikir
dalam ilmu yang lebih luas, yaitu mulai
meninggalkan faham linear dan deterministik untuk digantikan dengan yang lebih
kompleks. . . .9
Pada bagian lain, dinyatakan :
. . . Memahami kenyataan hukum yang
kompleks, tentulah tak dapat dilakukan
dengan menggunakan pendekatan yang
linear-mekanistik, seperti dalam ajaran
rechtsdogmatiek atau legal-positivism yang
masih mendominasi pengajaran hukum.
Untuk menghadapi realitas yang kompleks
memerlukan kesediaan kita untuk melihat
dunia hukum bukan sebagai keadaan yang
serba tertib dan teratur, melainkan keadaan
kacau (chaos). Berangkat dari situ maka
tidak ada alasan untuk juga tidak menghadirkan suatu Teori Kekacauan dalam
hukum. Teori yang bertolak dari realitas
itu barang tentu diharapkan akan mampu
menjelaskan hukum secara lebih lengkap.
Dengan demikian ilmu hukum benar-benar
menjadi ilmu yang total dan tidak hanya
berurusan dengan hukum positif, hukum
negara atau lawyers law. Teori Kekacauan
ini diharapkan akan mampu mendeskripsikan dan memahami hukum secara lebih
baik, karena berangkat dari kenyataan yang
demikian itu.10

Ilya Prigogine dan Isabelle Stengers, 1984, Order Out of Chaos, Flamingo, London, hlm. 142.
Ibid, hlm. 143.
8
Husein Heriyanto, 2003, Paradigma Holistik, Teraju, Jakarta, hlm.113-115.
9
Satjipto Rahardjo, 2000, Mengajarkan Keteraturan Menemukan Ketidak-teraturan (Teaching Order Finding Disorder),
Tigapuluh Tahun Perjalanan Intelektual dari Bojong ke Pleburan, Pidato mengakhiri masa jabatan sebagai Guru Besar
Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 15 Desember 2000, hlm.15.
10
Ibid, hlm.16.
6
7

162

MIMBAR HUKUM Volume 18, Nomor 2, Juni 2006, Halaman 159-292

Charles Sampford dalam bukunya The


Disorder of Law, A Critique of Legal Theory
(1989), mengemukakan teori sekaligus kritik
terhadap teori-teori hukum yang dibangun
berdasarkan konsep sistem (sistemik) atau
keteraturan. Menurut Sampford, tidak selalu
teori hukum itu didasarkan kepada teori sistem
(mengenai) hukum, karena pada dasarnya
hubungan-hubungan yang terjadi dalam masyarakat menunjukkan adanya hubungan yang
tidak simetris (asymmetries),
. . . the sketch of disordered society
outlined in this chapter begins with the
social interactions and relations between
its members. These can be devided into
power relation (which include authority
relations), unintended effects and value effect relations (based on normative belief).
Types and the variation of the mixtures
between any two individuals are likely to be
a mixture of types and the variation of the
mixtures between ostensibly similar pairs
of individuals may not be readily apparent.
Furthermore a typical feature of all social
relations is this asymmetry they are
perceived differently by the interacting
parties.11
Inilah ciri khas dari sekalian hubungan
sosial. Hubungan-hubungan sosial itu dipersepsikan secara berbeda oleh para pihak. De
ngan demikian apa yang dipermukaan tampak
sebagai tertib, teratur, jelas, pasti, sebenarnya
penuh dengan ketidakpastian,
The varied mixtures and the asymmetric
perceptions of those mixtures helped to explain several important social phenomena;
the formation of practices, the generation
and transmission of ideology and the nature of the relations of production.12
Telah cukup banyak teori sosiologi hukum yang mendasarkan konsepnya kepada

kondisi ketidaktertiban (disorder). Teori-teori


itu melihat hukum atau masyarakat bukan sebagai sesuatu yang sistematis,
Some sociological theories including many realistis, critical legal scholar,
conflict theories, symbolic interactionists,
ethnomethodologists and deconstructionists do not sess law in systematic terms
at all and do not address themselves to
the task of constructing systems. Increasingly, systematic terms and more or less
explicitly say so, often for the same reasons
as the present writer; because societies
are unsystematic and disordered, law, as
and integral part of that society, cannot
escape being unsystematic and disordered
too.13
Berkaitan dengan hal tersebut, Satjipto
Rahardjo mengemukakan komentarnya ketika
membicarakan konsep dari Charles Sampford.
Sampford bertolak dari basis sosial
dari hukum yang penuh dengan hubungan
yang bersifat asimetris. Inilah ciri-ciri khas
dari sekalian hubungan sosial; hubunganhubungan sosial itu dipersepsikan secara
berbeda oleh para pihak. Dengan demikian
apa yang dipermukaan tampak sebagai tertib, teratur, jelas, pasti, sebenarnya penuh
dengan ketidakpastian. Ketidakteraturan
dan ketidakpastian disebabkan hubunganhubungan dalam masyarakat bertumpu
pada hubungan antar kekuatan (power
relations). Hubungan kekuatan ini tidak
tercermin dalam hubungan formal dalam
masyarakat. Maka terdapat kesenjangan
antara hubungan formal dan hubungan
nyata yang didasarkan pada kekuatan.
Inilah yang menyebabkan ketidakteraturan
itu.14
Di atas basis sosial yang demikian itu,
hukum berdiri atau berada. Menurut Satjipto

Charles Sampford, 1989, The Disorder of Law, A Critique of Legal Theory, Basil Blackwell, hlm. 160.
Ibid.
13
Ibid, hlm. 103
14
Satjipto Rahardjo, 2000, Rekonstruksi Pemikiran Hukum Di Era Reformasi, Makalah Seminar Nasional Menggugat
Pemikiran Hukum Positivistik di Era Reformasi, Semarang, 22 Juli 2000, hlm. 15-17.
11

12

Sudjito, Chaos Theory of Law

Rahardjo adalah mungkin untuk menerima


adanya suatu sistem hukum di tengah-tengah
masyarakat yang tidak teratur. Sejak hukum
itu berdiri dan berada di tengah-tengah jaringan
hubungan yang demikian itu pula yang diambil
alih oleh sejumlah besar pejabat hukum dalam
hubungannya satu sama lain dan dalam hubungan mereka dengan warga negara. Keadaan
demikian itulah yang menyebabkan Sampford
mengatakan, bahwa hukum itu sesunguhnya
penuh dengan ketidakteraturan. Maka teori hukum tidak perlu berupa teori tentang sistem hukum (theories of legal system), melainkan teori
tentang ketidakteraturan hukum (theories of
legal disorder). Sampford bertanya, bagaimana
mungkin keadaan yang dalam kenyataannya
penuh ketidakteraturan itu dalam positivisme di
lihat sesuatu yang penuh dengan keteraturan?,
dengan demikian maka sebetulnya, keteraturan
itu bukan sesuatu yang nyata dalam kenyataan
ada, melainkan sesuatu yang oleh para positivis ingin dilihat sebagai ada.15 Teori tentang
ketidakteraturan hukum Sampford membawa
pemahaman kepada teori yang lain, yaitu teori
kekacauan (chaos theory) atau teori hukum
yang kacau (chaos theory of law).16
Chaos theory, pada awal kelahirannya
merupakan teori yang berkembang dalam
bidang fisika. Perkembangan teori ini tidak
terlepas dari perkembangan teori sebelumnya yang telah menghegemoni dan memberi
penjelasan tentang dunia fisika dalam rentang
waktu yang cukup lama, yaitu teori Newton.
Betapapun demikian, penggunaan teori ini
pada perkembangannya tidak terbatas pada
bidang-bidang fisika saja, melainkan juga
dalam bidang ilmu hukum ataupun ilmu-ilmu
sosial. Dalam pernyataan di atas bahwa untuk

163

menghadapi realitas yang kompleks memerlukan kesediaan ilmuwan untuk melihat dunia
hukum bukan sebagai keadaan yang serba tertib
dan teratur, melainkan keadaan kacau (chaos),
dan berangkat dari sana maka tidak ada alasan
untuk tidak menghadirkan chaos theory of
law. Hal demikian dalam perspektif filsafat
ilmu sudah merupakan kelaziman. Inilah yang
disebut metode analogi retrosipasi (retrosipation analogy), yaitu suatu analogi terhadap
ilmu yang kedudukan atau tingkat abstraksinya
lebih rendah dari ilmu yang menjadi pokok
pembicaraan.17
Chaos, sebagai sebuah bidang kajian
keilmuan sebenarnya bukanlah barang baru,
setidak-tidaknya demikianlah yang ditulis
oleh Hesoid, ilmuwan berkebangsaan Yunani yang hidup pada abad ke-8 SM. Dalam
sebuah puisinya yang berjudul Theogony, ia
menulis awal dari segalanya adalah chaos,
baru kemudian sesudah itu segalanya menjadi
stabil. Dengan demikian, orang Yunani percaya
bahwa keteraturan muncul dari ketidakteraturan
(chaos).18
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan
chaos di dalam chaos theory of law itu? James
Gleick, mendefinisikan chaos sebagai satu
situasi ketidakberaturan atau kekacauan (benda,
ekonomi, sosial, politik, hukum) yang tidak
bisa diprediksi polanya, seperti gumpalan asap
rokok yang berpencar secara liar, arus air sungai
yang mengalir tak beraturan, sebuah negara
yang mengalami kehampaan hukum, sebuah
kekuasaan politik yang kehilangan legitimasi,
sebuah sistem ekonomi dengan fluktuasi mone
ter tak terkendali.19 Menurut Ian Stewart, chaos
adalah satu kondisi yang di dalamnya sebuah
sistem tidak bisa diprediksi arahnya, karena ia

Ibid, hlm. 16-17.


Pendapat dari Denis J. Brion sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo sebagai footnote dalam Pidato Emeritus
Guru Besarnya.
17
Penjelasan lebih lanjut mengenai berbagai jenis analogi dalam filsafat ilmu ini, antara lain dapat dibaca pada Liek
Wilardjo, 1990, Realita dan Desiderata, Dutawacana University Press, Yogyakarta, hlm. 113 dan seterusnya.
18
Ziauddin Sardar dan Iwona Abrams, 2001, Mengenal Chaos for Beginners, Mizan, Bandung, hlm.4.
19
James Gleick, 1988, Chaos: Making A New Science, Penguin Books, London, hlm.5.
15
16

164

MIMBAR HUKUM Volume 18, Nomor 2, Juni 2006, Halaman 159-292

bergerak secara acak, sehingga setiap elemen


di dalamnya tidak akan pernah muncul dalam
keadaan yang sama untuk kedua kalinya. Chaos
adalah tingkah laku yang sangat kompleks,
irregular dan random di dalam sebuah sistem
yang deterministik. Chaos adalah keadaan di
mana sebuah sistem tidak bisa diprediksi dan
ditemukan di tempat lain.20 Menurut chaos
theory of law, bila keadaan acak itu diperhatikan dalam skala ruang yang lebih besar, dan
skala waktu yang cukup lama, dengan mempertimbangkan dimensi ruang dan waktu, maka
akan ditemukan bahwa di dalam sistem hukum
yang kacau pun ada keteraturan. Bagaimanapun kacaunya sebuah sistem hukum, ia tidak
akan pernah melewati batas-batas tertentu.
Jadi, antara keberaturan dan ketidakberaturan
dalam hukum merupakan dua hal yang saling
mengisi.21
Sebuah wacana pemikiran dan tindakan
untuk menciptakan dengan sengaja situasisituasi chaos di dalam masyarakat, demi keuntungun tertentu, disebut chaosophy (chaos
= kekacauan + sophos = ilmu).22 Para aktor
intelektual, para provokator, para pembuat
teror, para perusuh disebut the chaos machine.23
Di dalam sebuah masyarakat, situasi chaos
dicirikan oleh adanya turbulensi (turbulence),
yaitu sebuah situasi yang ditandai oleh ketidak
stabilan serta keacakan (randomness) proses
sosial dalam berbagai dimensinya. Turbulensi
adalah sebuah keadaan antara, sebuah tapal
batas antara keadaan kacau (disorder) dengan
keadaan teratur (order).24

Chaos theory of law, merupakan sebuah


teori yang senantiasa terkait dengan sistemsistem yang kompleks, acak, tak teramal, samar
(fuzzy), paradoks. Munculnya semboyan butterfly effect di dalam chaos theory, dikarenakan adanya keterkaitan antar berbagai situasi
yang demikian itu.25 Semboyan ini menurut
James Gleick memiliki rasionalitas tersendiri;
ia adalah suatu keniscayaan alamiah, bukan
peristiwa kebetulan belaka.26 Semboyan ini
mengandung maksud untuk menggambarkan
betapa elastis dan cairnya alam raya ini yang
saling terhubungkan antar satu peristiwa dengan
peristiwa lain, sedemikian rupa sehingga peristiwa yang satu mempengaruhi peristiwa yang
lain meski dipisahkan oleh jarak yang jauh.27
Ingin dimintakan perhatian, bahwa hingga
saat ini chaos theory of law sering dipandang
dengan pandangan yang keliru. Kesalahpahaman yang umum adalah bahwa chaos theory
of law berkenaan dengan ketidakteraturan
hukum belaka. Chaos theory of law tidak menyatakan bahwa sistem yang teratur itu tidak
ada. Tidak demikian. Istilah chaos dalam chaos
theory of law justru merupakan keteraturan,
bahkan esensi keteraturan. Ketidakteraturan
memang hadir ketika seseorang (ilmuwan,
yuris) mengambil pandangan reduksionistik
dan memusatkan perhatian pada perilaku yang
menyimpang saja, akan tetapi kalau sikap
holistik yang digunakan dan memandang pada
perilaku keseluruhan sistem secara terpadu,
keteraturanlah yang akan tampak. Jadi Chaos
theory of law yang dianggap berkenaan dengan

Ian Stewart, Predicting the Future (1993), sebagaimana dikutip olehYasraf Amir Piliang, Hiper-Moralitas, Mengadili
Bayang-bayang, Penerbit Belukar, Yogyakarta, 2003, hlm.13; baca pula: Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia Yang
Menakutkan, Mesin-mesin Kekerasan Dalam Jagad Raya Chaos, Mizan, Bandung, hlm. 305.
21
Yasraf Amir Piliang, Post-Chaotic Society, Kompas, 13 Agustus 2001.
22
Yasraf Amir Piliang, Chaoshopy, Kompas, 05 Maret 1999.
23
Loc cit.
24
Michel Seeres, 1995, Genesis, The University of Michigan Press, hlm.109; dan baca pula Yasraf Amir Piliang, Hiper
. . . Ibid. hlm .86.
25
Ibid, hlm.11-31
26
Ibid, hlm.20-22
27
Ziauddin Sardar dan Iwona Abrams, Mengenal. . .op cit, hlm..54
20

Sudjito, Chaos Theory of Law

ketidakteraturan, pada saat yang sama berbicara


juga tentang keteraturan. Dengan demikian,
ketidakteraturan dalam pandangan reduksionistik, merupakan bagian dari keteraturan dalam
pandangan holistik.28
C. Chaos Positif dan Chaos Negatif
Dengan memahami kelahiran dan pengertian chaos theory of law, pada uraian-uraian
berikut akan ditunjukkan relevansi teori ini
sebagai teori yang mampu memberikan penjelasan atas keteraturan dan ketidakteraturan,
khususnya yang terjadi pada hukum, sehingga
diharapkan bisa ditangkap makna yang tersimpan pada realitas yang tampak kompleks, kacau
dan tidak teratur itu.
Sebelum sampai pada uraian lebih lanjut,
kiranya perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa
di dalam chaos theory of law, apa yang disebut
chaos, dapat dibedakan dalam dua kategori.
Pertama, chaos destruktif (the negative chaos),
yaitu chaos yang menjurus kepada kesesatan,
kehancuran, dan kesengsaraan. Chaos ini dalam
perspektif paradigma holistik, muncul karena
ada kesengajaan mereduksi keutuhan realitas
hukum, baik yang terkait dengan pendekatannya (keutuhan akal-qalbu), ruang-lingkupnya
(keutuhan jasmani-rohani), objek kajiannya
(keutuhan manusia-alam maupun keutuhan
manusia-Tuhan). Hukum dalam keutuhannya
sebagai tatanan kehidupan (order), direduksi
menjadi konsep hukum yang sempit dan
berkiblat untuk kepentingan yang sempit pula.
Misal, ketika hukum diidentikan sebagai hukum

165

positif saja, atau pun ketika hukum dikonsepkan sebagai aparat penegak hukum saja, dan
sebagainya. Pereduksian tersebut ada yang disengaja dilakukan secara eksplisit (kasat mata),
namun tidak jarang melalui rekayasa canggih
yang tidak bisa diamati orang lain dengan akal
maupun inderawi. Terhadap kemungkinan
pereduksian hukum yang disebut terakhir itu,
hanya dapat dipahami manakala digunakan
qalbu dan kecerdasan emosional (Emotional
Quotient- EQ), serta kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient - SQ),29 sebagai alat analisisnya.
Dengan kecerdasan spiritual, pencarian makna
dan kebenaran sebuah chaos, tidak berhenti
pada keadaan yang beku, statis dan duniawi,
melainkan bergerak dalam kreativitas dan
pencarian sampai pada hal-hal yang bersifat
ukhrowi. Dalam kreativitas dan pencariannya
itu, tidak terlalu sulit untuk mengungkap makna
dan kebenaran dari setiap bentuk chaos. Satu
hal yang pasti bahwa pereduksian keutuhan
realitas hukum akan menyebabkan ketidakseimbangan kehidupan. Kehidupan manusia
sebagai individu, anggota masyarakat maupun
sebagai kalifatullah menjadi tidak dapat berjalan sebagai sistem yang sehat. Dalam situasi
chaos tersebut akan muncul kerugian-kerugian
(materiil maupun spiritual) baik yang menimpa
pada diri sendiri maupun pihak lain. Sebagai
contoh, sistem hukum positif yang cenderung
represif dan berusaha mempertahankan status
quo, apabila dipaksakan berlaku mungkin dalam
jangka pendek dapat diperoleh kepatuhan hukum, kepastian hukum, keteraturan mekanisme
hukum dan sebagainya, sehingga seolah-olah

Seri Penerbitan Sains, Tekonologi dan Masyarakat, 2000, Dari Cambridge Menuju Kopenhagen, Edisi I, Mizan-PPS
Studi Pembangunan ITB dan STMIK, Bandung, hlm. 10.
29
Dengan meminjam istilah dari Ali Shariati, Ary Ginandjar Agustian mengemukakan bahwa . . . manusia adalah
makhluk dua-dimensional yang membutuhkan penyelarasan kebutuhan akan kepentingan dunia dan akhirat. Oleh
sebab itu, manusia harus memiliki konsep duniawi atau kepekaan emosi dan intelegensia yang baik (EQ plus IQ)
dan penting pula penguasaan ruhiyah vertikal atau Spiritual Quotient (SQ). . . . merujuk pada istilah bi-dimensional
tersebut, sebuah upaya penggabungan terhadap ketiga konsep tersebut dilakukan. Lewat sebuah perenungan yang
panjang, . . . penggabungan dari ketiganya . . . dapat memelihara keseimbangan antara kutub keakhiratan dan kutub
keduniawian. . . . ESQ sebagai sebuah metode dan konsep yang jelas dan pasti adalah jawaban kekosongan batin. .
. . Ia adalah konsep universal yang mampu mengantarkan seseorang pada predikat yang memuaskan, bagi dirinya
sendiri dan orang lain. Selengkapnya, baca : Ary Ginandjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi
dan Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Penerbit Arga,Jakarta, 2001, hlm.xviii xix.
28

166

MIMBAR HUKUM Volume 18, Nomor 2, Juni 2006, Halaman 159-292

sistem hukum telah bekerja dengan sempurna.


Dalam perjalanan kehidupan yang demikian itu
adanya kerugian-kerugian, ketertindasan, dan
ketidakadilan yang menimpa sebagian orang
yang tidak sepakat dengan sistem hukum yang
ada belum tampak, karena memang sengaja
diabaikan oleh pengendali sistem hukum itu
sendiri. Namun, dalam perjalanan waktu ketika
sistem hukum yang mapan itu berubah atau
berganti karena kekuasaan yang mendukungnya
collap maka akan segera tampak betapa sebuah
sistem hukum berada dalam situasi kacau dan
betapa banyak kerugian yang harus dibayar
mahal sebagai akibat pemberlakukan sistem
hukum yang represif tersebut.
Kedua, chaos konstruktif (the positive
chaos), yaitu chaos yang berada pada track
(jalur) menuju ke arah keutuhan sistem hukum
yang religius transendental, yaitu sistem hukum
yang menempatkan keutuhan antara akal-qalbu,
jasmani-ruhani, manusia-alam, manusia-Tuhan.
Agama Islam, menyebut yang demikian itu
sebagai berada di jalan sirath al mustaqim
yaitu jalannya orang-orang yang mendapatkan
nikmat Allah swt. Di sinilah, apa yang disebut
kreativitas, dinamisitas, dan pluralitas itu dihargai, diakui dan diterima. Setiap manusia sebagai
individu dalam kapasitas masing-masing pasti
punya keterbatasan, dan oleh karenanya tidak
boleh ada tuntutan untuk selalu sama, teratur
dan sesuai dengan pihak lain. Fluktuasi kehidupan, kekacauan dan gerak trans-substansial ala
Mulla Shadra, pasti terjadi, dan hal demikian
menjadi penting dipahami. Perbedaan atau pun
kekacauan merupakan keniscayaan. Dalam
situasi demikian, maka kemuliaan maupun
kualitas perilaku hukum bukan diukur dari apa
yang eksis saja, melainkan dari keterkaitan dan
keterpaduan antara substansi dan eksistensi
dari setiap perilaku hukum manusia tersebut.
Dalam bahasa agama dikatakan bahwa sesungguhnya amal perbuatan (perilaku hukum)
manusia itu ditentukan oleh niatnya, dan
dengan demikian kekacauan dalam hukum pun
Yasraf Amir Piliang, Sebuah . . . op cit, hlm. 304-305.

30

harus diukur dengan keterpaduan dari niat dan


syariat syariat pula.
Chaos destruktif dalam hukum, yang
sering memporak-porandakan kehidupan, sebenarnya hanya merupakan salah satu wajah
dari berjuta-juta wajah chaos. Di balik chaos
destruktif itu masih ada chaos konstruktif,
hanya saja jenis chaos yang disebut terakhir ini
sering dilupakan (bahkan tak pernah) dipahami
mengenai sifat positif dari chaos tersebut. Para
yuris sering tidak melihat ciri-ciri chaos yang
berupa ketidakteraturan hukum, ketidakpastian
hukum, pluralitas hukum, dengan sikap positif.
Selama ini, banyak di kalangan yuris (khususnya penganut positivisme) telah terperangkap di
dalam slogan-slogan pluralitas dan perbedaan,
akan tetapi jarang yang memahami makna sub
stansialnya,30 sehingga memperlakukan setiap
perbedaan dan pluralitas sebagai musuh
yang harus dikalahkan, dan bukan sebagai potensi yang perlu dikelola menjadi keteraturan.
Di dalam chaos theory of law semua
chaos apapun bentuknya, sifatnya relatif dan
temporal. Apa yang dianggap oleh seseorang
atau satu pihak sebagai chaos konstruktif,
mungkin oleh orang atau pihak lain dipandang
sebagai chaos destruktif, dan demikian pula
sebaliknya. Apa yang saat ini dipandang seba
gai chaos destruktif, dalam perjalanan waktu
akan dipahami atau berubah bahwa hal yang
demikian ternyata sebagai chaos konstruktif,
atau sebaliknya. Situasi chaos, merupakan bagian dari proses perubahan yang berlangsung
sepanjang waktu. Chaos konstruktif maupun
chaos destruktif, akan selalu datang silih berganti, susul-menyusul, berkelindan satu dengan
yang lain.
Dengan pemahaman terhadap pengertian
chaos sebagai bagian dari proses perubahan
tersebut, dan tidak selamanya berkonotasi negatif, maka tidak ada alasan untuk takut terhadap
situasi chaos. Setiap situasi chaos, apapun
jenisnya, selalu mengandung potensi untuk
dikelola menjadi keteraturan. Sebagaimana

Sudjito, Chaos Theory of Law

nantinya akan dijelaskan, bahwa yang diperlukan adalah adanya sense of chaos dan chaos
management, sehingga situasi chaos itu bisa
dikelola secara produktif.
Chaos theory of law, sebagaimana paradigma yang mendasarinya, yaitu paradigma
holistik, memang merupakan teori yang sarat
dengan nilai-nilai moral-religius. Apa yang
disebut oleh Francis Fukuyama dengan social
capital 31- yang di dalamnya sarat dengan nilai-nilai kebersamaan, tolong-menolong, saling
percaya dan kejujuran, - menjadi komponen
yang sangat signifikan pengaruhnya terhadap
efektivitas penggunaan chaos theory of law.
Di sini, terasakan benar bahwa segalanya harus
dimulai dari diri sendiri (ibda bi nafsihi). Pada
diri sendiri, segala perilaku hukum itu harus
dimulai, dan bukan dengan mengharap pada
pihak lain. Sikap egois, antroposentris, harus
dikemas sedemikian rupa agar menyatu dengan
sikap sosial dan sikap rendah hati (tawadhu)
sebagai kalifatullah.
Dalam chaos theory of law, berbagai hal
yang bernuansa berbeda, inkonsisten, tak
terduga, acak dan hal-hal lain yang sejenis,
harus dihargai. Penghargaan terhadap semua
bentuk perbedaan itu merupakan salah satu
prinsip chaos.32 Dalam skala ruang yang
lebih luas dan waktu yang lebih lama, dari
berbagai ketidakteraturan (disorder) itulah akan
muncul keteraturan (order) yang bisa diterima
semua pihak.
Menurut chaos theory of law, penggunaan
pola-pola chaos dalam hukum, merupakan
hal yang wajar, bahkan keniscayaan. Pola-pola
chaos itu merupakan sebuah pilihan dalam
rangka mengembangkan chaos management

167

yang mampu menciptakan keterlibatan secara


dinamis, kreatif dan produktif semua warga
masyarakat maupun aparatur negara. Oleh
sebab itu, hendaknya tidak gegabah dan tidak
sewenang-wenang menuduh setiap pola inkonsistensi, kekacauan, dan ketidakpastian, sebagai
melawan hukum. Dalam chaos managemet,
berbagai elemen chaos, seperti: ketidakberaturan, kebebasan, ketidakseragaman, keacakan, dan sebagainya, harus diserap, dikelola
dengan cerdas atas dasar kepekaan hati nurani,
sehingga efek-efek negatif dan destruktifnya
dapat diminimalisir, sebaliknya, efek-efek
positifnya dapat terus didorong sehingga muncul dinamisitas, kreativitas, dan produktivitas
yang meningkat, sehingga dirasakan kemanfaatannya oleh semua pihak.
D. Mengubah the Negative Chaos Menjadi
the Positive Chaos
Dalam upaya mewujudkan sistem hukum
yang menghargai perbedaan dan pluralitas,
diperlukan pendekatan baru yang lebih menghargai eksistensi manusia secara utuh, yaitu
manusia yang mempunyai jiwa dan raga serta
di dalamnya terkandung keharmonisan antara
akal-qalbu, dan keseimbangan maksimal antara
kecerdasan-kecerdasan IQ (Intellectual Quotient), EQ (Emosional Quotient) maupun SQ
(Spiritual Quotient).33 Dalam keutuhannya itu,
maka manusia yang satu akan berbeda dengan
manusia yang lain, karena dalam kodratnya
tingkat kecerdasan ataupun kondisi jiwa dan
raganya yang berbeda. Perbedaan dalam diri
individu setiap manusia itu, dalam skala yang
lebih besar akan melahirkan berbagai perbedaan
pula pada kehidupan sosialnya. Dengan begitu,

Social capital, secara sederhana bisa didefinisikan sebagai serangkkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang
dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka.
Jika para anggota kelompok itu mengharapkan bahwa anggota-anggota yang lain berperilaku jujur dan terpercaya,
maka mereka akan saling mempercayai. Kepercayaan ibarat pelumas yang membuat jalannya kelompok atau organisasi lebih efisien. Baca : Francis Fukuyama, The Great Disruption, Human Nature and the Reconstruction of Social
Order, Profile Books, London, 2000, hlm. 22.
32
Yasraf Amir Piliang, The Positive Chaos Masa Depan Pluralitas Bangsa, Kompas, 10 November 1999.
31

168

MIMBAR HUKUM Volume 18, Nomor 2, Juni 2006, Halaman 159-292

wajar bahwa ada perbedaan, keragaman atau


pluralitas hukum, dan semua itu harus dihargai.
Robert D.Lee menyatakan bahwa setiap individu harus menjadi diri sendiri (diri otentik),
tidak menjadi orang lain, tidak diidentifikasikan
dengan diri yang lain (the other);34 atau dalam
terminologi Heidegger, tidak menjadi dunia
mereka (the they).35 Pada hemat saya, diri
otentik itu tidak berarti diri yang menyendiri
(solitaire), melainkan keotentikan yang dibingkai pengakuan sosial dan penghambaan yang
total kepada Sang Pencipta.
Sistem hukum yang berbasis pada penerimaan dan penghargaan terhadap realitas
hukum yang utuh, diperlukan agar sebuah chaos
negative bisa diubah menjadi sebuah peluang
kemajuan dan bukan menjurus ke jurang
kehancuran. Skenario politik hukum dengan
pendekatan holistik diperlukan agar program
pengubahan chaos negative menjadi chaos
positive secara teknis mudah dilaksanakan.
Kiranya cukup beralasan apa yang dikatakan
oleh Michel Serres, bahwa bila chaos hanya
dipandang sebelah mata sebagai chaos negative
saja maka ia tidak akan pernah ditangkap dan
dipahami sebagai peluang : peluang kemajuan,
peluang dialektika kultural, peluang persaingan,
peluang kreativitas, dan sebagainya.36 Dalam
cara pandang demikian itu chaos tidak akan
pernah menjadi manajemen pemberdayaan,
menejemen pembelajaran, ataupun cara pengorganisasian, dan daripadanya sulit diharapkan
munculnya keadilan substantif.
Berkembangnya situasi chaos yang terus
berlanjut, umumnya disebabkan oleh kesalahan
dalam mensikapi pluralistas hukum dalam kehidupan sosial dan bernegara. Kesalahan itu,
antara lain sering terwujud dalam bentuk pen-

gakuan semu terhadap pluralitas hukum, yakni


pluralitas permukaan (appearance) dan simbolik (symbolic), sementara pada tingkat fondasi
struktural terjadi penyeragaman (uniformity)
secara ketat. Misalnya, sikap dan perlakuan terhadap pluralitas hukum adat oleh Pemerintah.
Apa yang diperlukan oleh masyarakat hukum
adat adalah uluran tangan untuk pemberdayaan
hukum adat (lokal) yang lemah agar menjadi
potensial dalam memberikan kontribusi bagi
sistem hukum nasional, akan tetapi yang terjadi
justru pemarginalan hukum adat (lokal) tersebut
sehingga dari waktu ke waktu senantiasa ada
pereduksian terhadap realitas hukum adat yang
masih eksis.
E. Turbulensi Hukum
Apabila dalam sebuah masyarakat terdapat tanda-tanda ketidakstabilan serta keacakan (randomness) proses sosial dalam
berbagai dimensinya, maka dengan mudah
dinyatakan bahwa di situ ada potensi terjadinya chaos. Situasi chaos yang sebenarnya
akan hadir melalui suatu tahap yang dikenal
dengan sebutan turbulensi (turbulence), yaitu
sebuah keadaan antara, atau sebuah tapal
batas antara keadaan kacau (disorder) dengan
keadaan teratur (order). Sebenarnya dalam
situasi seperti itu ketenangan, keberaturan,
kestabilan dalam masyarakat ditemukan atau
terjadi, akan tetapi secara tak terduga di dalam
ketenangan, keteraturan dan kestabilan itu muncul kekacauan (chaos). Akibatnya, fluktuasi
kehidupan dalam segala dimensinya, menjadi
tak terelakan lagi.
Salah satu fluktuasi kehidupan yang tak
terhindarkan tersebut adalah bidang hukum.

Menjalankan hukum hanya dengan kecerdasan intelektual saja, merupakan warisan berpikir abad ke-19, dengan
kredo rules and logic. Untuk bisa sampai pada pencapaian makna, diperlukan komplementaritas antara kecerdasan
intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Baca : Satjipto Rahardjo, Menjalankan Hukum dengan
Kecerdasan Spiritual, Kompas, 30 Desember 2002; baca pula Danah Zohar dan Ian Marshall, Spiritual Intellegence
The Ultimate Intellegence, 2000.
34
Robert D.Lee, 1997, Mencari Islam Otentik: Dari Nalar Puistis Iqbal Hingga Nalar Kritis Arkoun, Mizan, Bandung,
hlm.11.
35
Martin Heidegger, 1975, The End of Philosophy, A Condor Books, hlm.79.
36
Michel Seeres, Genesis, . . . Ibid, sebagaimana dikutip Yasraf Amir Piliang, Hiper . . . op cit, hlm. 110.
33

Sudjito, Chaos Theory of Law

Masyarakat seakan-akan terperangkap di dalam


sebuah turbulensi hukum, sebuah fluktuasi
antara kehampaan hukum (void) dan ketegasan
hukum (plenitude), antara determinisme hukum
dan interdeminisme hukum. Di satu pihak
ditemukan hukum yang berlaku tegas (terhadap
orang atau pihak tertentu), akan tetapi di pihak
lain ditemukan pula orang atau pihak yang
kebal terhadap hukum. Di dalam masyarakat
ada kesimpang-siuran bahasa, ungkapan dan
keputusan hukum, pengaduk-adukan kebenaran
hukum, tanpa ada kepastian. Turbulensi hukum
ini muncul ketika hukum tidak lagi merupakan
sebuah institusi yang otonom, melainkan
menjadi berbagai bentuk permainan (game)
yang dikendalikan oleh the chaos machines.
Mereka itu umumnya para politisi, ekonom,
media massa, dan mereka yang mempunyai
kepentingan untuk mengambil keuntungan
dalam situasi chaos.
JF Lyotard mengemukakan bahwa setiap
permainan (game) hukum, masing-masing
mempunyai aturan main (rule of the game) dan
bahasa (language game) sendiri. Kemurnian,
otonomi dan ketunggalan (singularity) setiap
permainan hukum harus selalu dijunjung tinggi,
untuk menghindari terjadinya intervensi oleh
permainan lain yang lebih dominan, yang
dapat memunculkan ketidakadilan (injustice).37 Misalnya, ketika permainan hukum itu
telah diintervensi oleh permainan ekonomi di
tingkat global, maka setiap keputusan hukum
akan terkontaminasi dan akhirnya dikendalikan
oleh kepentingan para aktor globalisasi itu.38
Demikian pula ketika permainan hukum telah
diintervensi oleh permaninan politik, maka
hukum menjadi identik dengan produk politik.39
Hukum menjadi sarat dengan kepentingankepentingan para aktor yang ada di belakang
pembuatan hukum tersebut. Betapa sulitnya,

169

hukum seperti itu bisa menjadi sarana bagi


perwujudan keadilan substansial. Di sinilah,
dalam tataran ideal-normatif, diperlukan adanya
aturan main yang melarang adanya intervensi
terhadap permainan hukum itu. Secara singkat
harus ditegaskan jangan memainkan permainan ekonomi atau permainan politik dalam
permainan hukum!.
Idealisme seperti di atas, tentu bukan
mudah untuk diimplementasikan dalam tataran
empiris (untuk dikatakan tidak mungkin). Di
dalam kehidupan sosial dan negara bahkan
trans-nasional, selalu akan ditemukan adanya
tumpang-tindih permainan hukum dengan permainan politik, bercampur-baur dengan dengan
permainan ekonomi, sosial, budaya dan lain
sebagainya. Kondisi hukum pun menjadi ambivalen. Institusi hukum terperangkap di dalam
berbagai pemalsuan (trik) kebenaran, distorsi
realitas, dan disinformasi. Hukum akhirnya
hanya menghasilkan dan menyajikan keadilan
formal belaka, yang tidak lain merupakan keadilan semu (the vitual justice).
Dalam pengamatan Walter Truet Anderson, di era informasi ini, sebuah realitas - termasuk realitas hukum - di dalam masyarakat
dibentuk oleh atau hasil dari berbagai teknik
konstruksi sosial realitas (social construction
of reality). Konstruksi sosial ini memunculkan
berbagai bentuk pseudo event atau peristiwa
yang tampaknya terjadi secara alamiah, padahal
semuanya tak lebih dari sebuah rekayasa.40 Di
dalam hukum irigasi misalnya, apa yang dikatakan sebagai partisipasi masyarakat, dalam
berbagai dokumen atau peraturan perundang
dianggap sudah jelas, dan tidak memerlukan
penjelasan lagi; padahal, apa yang disebut
partisipasi itu ternyata bermakna sebagai
mobilisasi. Kedua kata tersebut, seolah-olah
sama pengertiannya, padahal berbeda betul

JF.Lyotard, 1990, Just Gaming, University of Minnesota Press, hlm. 20.


Uraian mengenai peran aktor-aktor global ini antara lain dapat dibaca pada Mansour Fakih, 2001, Runtuhnya Teori
Pembangunan dan Globalisasi, Insist Press, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
39
Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta.
40
Walter Truet Anderson, Reality Isnt What It Used to Be, Harper Collins, San Fransisco, 1993, hlm.127; baca pula
Yasraf Amir Piliang, Justice Game, Mengadili Bayang-bayang, Kompas, 12 Juni 1999.
37
38

170

MIMBAR HUKUM Volume 18, Nomor 2, Juni 2006, Halaman 159-292

secara esensial.41 Di sini sudah terjadi distorsi


kebenaran hukum maupun kebenaran informasi. Akibatnya, cara-cara pemaksaan terhadap petani agar mau ikut-serta dalam kegiatan
irigasi dinilai sebagai kebenaran. Fokus dari
partisipasi diletakkan pada realitas kehadiran
atau keikut-sertaan secara riil, tetapi mengesampingkan proses terjadinya keikut-sertaan itu.42
Dengan kata lain, melalui distorsi hukum dan
informasi, apa yang menjadi tujuan hukum
bukanlah kebenaran dan keadilan substantif
, melainkan sebuah citra (image) kebenaran
dan keadilan. Seolah-olah Pemerintah sudah
bersungguh-sungguh merubah cara kerja dan
pendekatan dalam pengelolaan irigasi dari yang
semula top down menjadi partisipatif, padahal
semua itu sekedar permainan bahasa. Inilah,
sebuah realitas tiruan, atau apa yang disebut
oleh Jean Baudrillard dengan istilah simulacra,
yaitu sebuah dunia yang dibentuk oleh permainan citra (game of image), retorika, serta
trik pengelabuan informasi (disinformation).43
Turbulensi hukum, pada dasarnya merupakan
realitas ketika hukum dipermainkan tempo,
irama, dan gayanya oleh berbagai kekuatan
yang berpengaruh, sehingga pada suatu ketika
hukum seolah-olah tampak serius mengejar dan
menyajikan keadilan, padahal yang disajikan itu
tidak lain sebuah keadilan semu (simulacrum
of justice).
Untuk mengubah turbulensi hukum kearah positive chaos, diperlukan kemampuan
penyesuaian diri (adapptability), kelenturan
(flexibility), inklusivitas (inclusicity) dan keterbukaan (openess) yang tinggi pada setiap warga
masyarakat.44 Lebih dari itu, elemen-elemen
hukum itu sendiri harus mengalami perubahan
mendasar. Pertama, perubahan pada tanda-tanda

kebahasaan (semiotika) hukum yang digunakan. Misalnya, dalam hukum irigasi, tanda-tanda
kebahasaan hukum irigasi itu harus familier di
kalangan petani, sebagai perwujudan nilai-nilai
yang melekat dan menjadi pedoman kehidupan
petani pemakai air irigasi. Hukum irigasi tidak
mesti dan harus berujud perundang-undangan,
melainkan bisa berujud simbol-simbol lain,
seperti: gambar, benda, warna ataupun sikap
dan perilaku seorang tokoh masyarakat yang
dipandang bisa jadi teladan.
Kedua, perubahan pada tingkat yuridisnormatif. Perubahan ini selain pada bentuknya
(tidak mesti harus tertulis dalam perundang-undangan), yang lebih penting adalah perubahan
pada substansinya. Substansi hukum ditentukan
oleh warga masyarakat sendiri. Mereka itulah
yang secara detail paham apa yang terbaik dan
bisa dilakukan oleh masyarakat, agar hukum itu
berlaku secara teologis, filosofis dan sosiologis,
bukan sekedar berlaku formal. Meminjam istilah Timothy Leavy, setiap manusia harus diberi
kebebasan untuk mengekspresikan dirinya secara maksimal, tanpa dibatasi dan dikendalikan
oleh sebuah otoritas kekuasaan apapun - yang
menciptakan pribadi-pribadi yang disebut cybernetic, cybernaut atau cyberpunk.45
Ketiga, perubahan pada tingkat yuridis-kultural. Sikap budaya egosentris, baik
yang berkembang pada Pemerintah maupun
masyarakat, telah memunculkan suasana
dikotomis. Seolah-olah antara Pemerintah dan
rakyat merupakan dua kubu yang mesti berhadapan dan punya kepentingan masing-masing. Sikap budaya ini harus diubah menjadi
sociospiritual-centrism. Artinya, setiap orang
harus memandang pihak lain sebagai bagian
tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat

David Robinson, Farmer Participation in Deseign and Construction of HPSIS Irrigation System in Indonesia, Laporan
Konsultaan Akhir kepada US Agency for International Development, Usaid, Jakarta, 1985.
42
Sudjito, 1995, Partisipasi Petani Dalam Mewujudkan Kesinambungan Pembangunan Irigasi, Tesis, Program Pascasar
jana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 118.
43
Jean Baudrillard, 1993, Simulacra and Simulation, The University of Michigan Press, hlm.1; baca pula Yasraf Amir
Piliang, 2004, Posrealitas, Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, Jalasutra, Yogyakarta, hlm . 307.
44
Yasraf Amir Piliang, Hiper Demokrasi, Kompas, 03 Mei 2001.
45
Timothy Leavy, 1994, Chaos and Cyber-Cultur, Ronin Publishing Inc., hlm.163
41

Sudjito, Chaos Theory of Law

yang saling pengaruh-mempengaruhi dan saling


membutuhkan, dalam naungan nilai-nilai spiritual-religius. Dengan demikian kemandirian
ataupun kebersatuan mereka tetap dihargai,
dalam rangka mewujudkan fungsi spiritual-religiusnya yaitu menjadi khalifatullah di muka
bumi ini. Sikap budaya seperti ini diharapkan
merasuk dalam jiwa setiap warga negara, dalam
kedudukan dan peran apapun.
F. Kekuatan Penarik (Attractor) Dalam
Chaos Theory
Turbulensi hukum, seberapa pun derajat
kualitasnya, merupakan realitas yang sulit diingkari. Berbagai sikap dan perbuatan warga
masyarakat ataupun aparatur Pemerintah yang
bergerak secara acak, tidak teramalkan dan
terkesan bertentangan dengan hukum positif,
dengan mudah dijumpai pada setiap kegiatan.
Kondisi turbulensi hukum itu, dapat segera
menjelma menjadi sebuah situasi chaos apabila
muncul kekuatan penarik (strange attractor)
yang menarik elemen-elemen masyarakat dan
Negara itu ke dalam pola kehidupan dan kegi
atan yang chaos. Kemunculan dan keberadaan
strange attractor itu bisa menjadi bersifat kontra
produktif atau produktif, tergantung bagaimana
para stakeholders mensikapi berbagai perbedaan yang ada. Apabila segenap perbedaan
itu dihargai, maka akan muncul produktivitas,
sebaliknya apabila setiap perbedaan itu dipandang sebagai bentuk pertentangan, konflik atau
sengketa, maka yang muncul adalah negative
chaos yang semakin parah.
Pada hemat saya, setidak-tidaknya ada
empat strange attractor yang bisa menjadi ancaman dalam bidang hukum.46 Pertama, adalah
kekuatan eksplosi (explotion) ke arah luar,
sehingga kekuasaan menggarap dan melaksanakan hukum yang sentral legal positivistic
berubah menjadi kekuasaan yang terdesentralisir. Di era desentralisasi ini, telah muncul

banyak fenomena yang menginginkan masingmasing daerah akan mencari ruang kebebasan
sebebas-bebasnya, untuk mengekspresikan
aspirasinya, sehingga muncul berbagai ragam
bentuk, pola maupun sistem pengaturan hukum yang sangat kacau (chaos). Telah terlihat
pula adanya daerah yang menuntut kebebasan
absolut, kemandirian absolut, otonomi khusus,
sehingga hukum yang dihasilkan oleh daerah
itu sangat eksklusif.
Kedua, adalah kekuatan implosi (implotion)47 yaitu sebuah ledakan ke dalam yang
menyebabkan kekuasaan tunggal menjelma
menjadi berjuta kekuasaan yang saling berdesakan. Dalam konteks hukum irigasi misalnya,
organisasi petani pemakai air (P3A) yang
sebelumnya dibentuk dan dibina secara sentralistis otoriter oleh Pemerintah dapat bubar
berantakan, dan masing-masing bekas anggota
akan berebut untuk menyatakan dirinya paling berkuasa daripada yang lain. Contoh lain,
ketika sebuah Provinsi dimungkinkan dipecah
menjadi beberapa provinsi baru, maka dalam
proses pembentukan provinsi baru tersebut akan
muncul perebutan posisi dan kedudukan Pemerintahan yang strategis, yang umumnya dimotori
oleh partai-partai politik dengan menggunakan
jalur hukum maupun politik.
Ketiga, kekuatan deteritorialisasi (deteritorialisation), yakni sebuah ajang perebutan terotorial. Misalnya, masyarakat (petani)
melakukan balas dendam terhadap sikap dan
kesewenang-wenangan Pemerintah, dengan
melakukan penguasaan terhadap sumber-sumber air, dan merusak berbagai fasilitas irigasi
yang dianggap tidak sesuai dengan keinginannya. Hal serupa juga terjadi ketika masyarakat
secara anarkis menjarah hutan karena kawasan
tersebut secara historis dianggap menjadi miliknya.
Keempat, kekuatan pemicu (agitation),
yaitu sebuah kekuatan dahsyat yang mengaduk-

Bandingkan dengan Yasraf Amir Piliang, dalam Chaosophy, . . . op cit.


Jean Baudrillard, 1987, Forget Foucult, Semiotext(e), New York, hlm.25.

46
47

171

172

MIMBAR HUKUM Volume 18, Nomor 2, Juni 2006, Halaman 159-292

aduk masyarakat, dan membuat kekacauan di


dalam ketidakpastian hukum. Mereka melakukan provokasi, menebarkan benih-benih perpecahan dan sikap permusuhan kepada Pemerintah atau kelompok tertentu (partai, golongan)
agar siapa pun yang dimusuhinya itu jatuh.
Melalui agitasi itu, rakyat dijadikan sebagai
alat kekuasaan, sehingga pasca kejatuhan
Pemerintah atau siapapun yang dimusuhinya,
agitator tersebut dapat mengeruk keuntungan
politis, sosial maupun ekonomis.
Setiap fenomena chaos, sudah tentu akan
menjadi komoditi yang bernilai tinggi bagi
strange attractor untuk membawa keadaan itu ke
arah mana dikehendakinya. Dalam chaos theory
of law, situasi/zone perubahan yang di dalamnya tumbuh banyak model dan percabangan,
yang kesemuanya memungkinkan terjadinya
arah perubahan itu disebut zone bifurkasi (bifurcation). Dalam mensikapi banyaknya model
perubahan yang dinamis itu, hal yang penting
adalah menemukan keberaturan (order) dalam
skala yang lebih luas. Hal ini dikatakan penting,
karena walaupun pada tingkat bagian-bagian
yang tampak hanya negative chaos, namun pada
arah perjalanan dan tingkat keseluruhan yang
lebih luas, yakni kehidupan manusia yang utuh,
dinamika itu dapat membawa kemajuan dan
ketinggian martabat kemanusiaannya. Dalam
ungkapan lain, apa yang hendak dinyatakan di
sini adalah sikap bijaksana dalam mengambil
hikmah dari setiap situasi chaos itu, sehingga
turbulensi hukum tidak dipandang sebagai
situasi yang menakutkan, melainkan sebagai
peluang untuk merubah negative chaos kearah
postivive chaos dalam skala yang lebih luas.
G. Paradigma Chaos Sebagai Peluang
Masa Depan
Menurut Gilles Deleuze & Feliz Guattari,
chaos hanya dapat menjadi sebuah peluang
masa depan apabila ada perubahan pandangan

dunia (world view). Dunia ini harus dilihat


seperti tumbuhan merambat (rhizome) yang
bersifat chaotic, ketimbang seperti sebatang
pohon (yang bersifat sentralistik, hierarkis,
birokratis).48
Sebagai model pertumbuhan, rhizome
mempunyai beberapa prinsip dasar.49 Pertama,
prinsip hubungan (connection). Ibarat rumput,
ia tak henti-hentinya menghubungkan dirinya
dengan akar rumput lain dengan pola chaotic.
Kejadian dan keadaannya tidak seperti pohon
beringin yang terpancang pada sebuah titik,
dengan segala keterpusatan dan ketuggalannya
the totalitarian machine. Prinsip ini akan
bisa tumbuh, berkembang dan menjadi prinsip
yang kuat, apabila politik hukum nasional yang
bersifat top down diubah menjadi politik hukum
yang bersifat chaotic, yaitu politik hukum yang
mendorong terwujudnya situasi kondusif untuk
berhubungan secara dinamis elemen-elemen
hukum dalam masyarakat dan Negara, dalam
rangka belajar, berbagi pengalaman dan saling
memberi yang terbaik bagi kehidupan bersama,
dalam skala kehidupan dunia-akhirat, materiilspiritual.
Kedua, prinsip musyawarah-dialogis.
Nilai-nilai kebaikan dan kebenaran hukum yang
plural harus dikomunikasikan terhadap pihak
lain melalui musyawarah-dialogis. Penilaian
etis harus terjalin dengan penalaran, dan dalam
bernalar/berpikir itu mencakup pula mawas diri
dengan jujur, sampai pada andaian-andaian
dasarnya (Begruenduns-verfahren). Penggunaan EQ, IQ dan SQ, hendaknya dilakukan
secara maksimal dan seimbang. Lebih lanjut,
hasil-hasil kegiatan berpikir itu dirangkum
(integrated) ke dalam kerangka kefilsafatan
yang lebih luas, demi Buildung individual.
Jika dalam proses pengintegrasian itu hasihasil kegiatan berpikir dievaluasi secara kritis
berdasarkan norma universal ala Francis Bacon,
yaitu menanggulangi masalah kesengsaraan
dan memenuhi kebutuhan manusia, maka

Gilles Deleuze & Feliz Guattari, 1983, On the Line, Semiotext(e), New York, hlm.21.
Bandingkan dengan Yasraf Amir Piliang, Hiper Moralitas. . . , op cit, hlm. 111-112.

48
49

Sudjito, Chaos Theory of Law

akan terlihat dengan jelas adanya hubungan


erat sekali antara prinsip musyawarah-dialogis
itu dengan segi-segi normatif dari tujuan hidup
manusia. Dengan berpijak pada prinsip musyawarah-dialogis, maka kecongkakan seseorang
yang mengira pendapatnya paling baik dan
paling benar sehingga bisa mengatasi semua
masalah, dapat diubah menjadi kerendahan
hati untuk memadukan pendapatnya itu dengan
kearifan pemimpin, ketaqwaan ulama, kecerdasan ilmuwan, dan bahkan kepolosan petani
tradisional maupun buruh pabrik yang sebenarnya kaya warisan pengalaman hidup. Dalam
komplementaritasnya dengan pengetahuan
orang lain, maka hukum dapat menawarkan
sejumlah alternatif dalam mengatasi berbagai
kesulitan.
Ketiga, prinsip adaptasi (adaptability).
Setiap orang hendaknya berlapang dada dan
terbuka serta bersedia untuk menyesuaikan diri
dengan nilai kebaikan dan kebenaran yang telah
diperoleh melalui pelaksanaan prinsip musya
warah-dialogis. Dengan demikian, tatkala
hukum nasional bertemu dengan hukum lokal,
maka di antara keduanya terjadi hubungan
timbal-balik yang saling mengisi, dan bukan
tolak-menolak. Segala bentuk pengingkaran
terhadap hasi-hasil yang telah dicapai melalui
musyawarah-dialogis harus dihindarkan.
Keempat, prinsip keutuhan (wholenessity). Perlu ada kesadaran bahwa antara manusia, alam dan Tuhan, merupakan kesatuan yang

173

tidak bisa dipisahkan secara keseluruhan. Oleh


sebab itu segala bentuk pemahaman, penggarapan dan penyelenggaraan hukum hendaknya
dilakukan secara simultan dan konsisten secara
keseluruhan dalam keutuhan pula.
Teori-teori keteraturan (seperti teori po
sitivisme, misalnya), selama ini berhenti pada
penjelasan mengenai keadaan yang serba tertib
dan teratur di dalam masyarakat dan Negara.
Hukum dipandang sebagai penjamin ketertiban dan kepastian, dan oleh karenanya harus
dipatuhi, tanpa ada kemungkinan dan peluang
untuk dikritisi. Apa yang ada dalam file para
penganut positivisme analitis tentang apa yang
ada dan terjadi pada hukum adalah suasana
tertib dan pasti itu.
Dengan pengenalan terhadap chaos theory of law, ternyata ketertiban, keteraturan dan
kepastian itu, bukan merupakan satu-satunya
realitas hukum, melainkan masih ada realitas
lain yaitu kekacauan dalam hukum. Ketertiban
dan kekacauan dalam hukum bukanlah dua
hal yang berseberangan, bukan pula sesuatu
yang dikotomi hitam-putih, melainkan sebagai realitas yang saling berhubungan, saling
mengisi, dan berkelindan dalam suatu proses
perubahan secara terus-menerus, tanpa henti.
Chaos theory of law, merupakan teori yang
dapat memberi penjelasan dengan baik terhadap
realitas hukum yang kompleks dan memberi
jalan keluar yang tepat terhadap krisis hukum
yang melanda negeri ini.

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, 1993, Walter Truet., Reality Isnt
What It Used to Be, Harper Collins, San
Fransisco.
Baudrillard, Jean, 1993, Simulacra and Simulation, The University of Michigan
Press.
_______, 1987, Forget Foucult, Semiotext(e),
New York.

Deleuze, Gilles, & Guattari, Feliz., 1983, On the


Line, Semiotext(e), New York.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI,
1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka Jakarta.
Fakih, Mansour, 2001, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Insist Press,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

174

MIMBAR HUKUM Volume 18, Nomor 2, Juni 2006, Halaman 159-292

Fukuyama, Francis, 2000, The Great Disruption, Human Nature and the Reconstruction of Social Order,Profile Books,
London.
Gleick, James, 1998, Chaos: Making A New
Science, Penguin Books, London.
Heriyanto, Husein, 2003, Paradigma Holistik,
Teraju, Jakarta.
Heidegger, Martin, 1975, The End of Philosophy, A Condor Books.
Kebamoto, 2005, The Butterfly Effect, Kompas,
25 Oktober 2002.
Leavy, Timothy, 1994, Chaos and Cyber-Cultur, Ronin Publishing Inc.
Lee, Robert D., 1997, Mencari Islam Otentik:
Dari Nalar Puistis Iqbal Hingga Nalar
Kritis Arkoun, Mizan, Bandung.
Lyotard, JF., 1990, Just Gaming, University
of Minnesota Press.
Mahfud MD, Moh., 1998, Politik Hukum di
Indonesia, LP3ES, Jakarta.
Piliang, Yasraf Amir, Sebuah Dunia Yang
Menakutkan, Mesin-mesin Kekerasan
Dalam Jagad Raya Chaos, Mizan,
Bandung.
______, Post-Chaotic Society, Kompas, Edisi
13 Agustus 2001.
______, Chaoshopy, Kompas, Edisi 05
Maret 1999.
______, The Positive Chaos Masa Depan
Pluralitas Bangsa, Kompas, Edisi 10
Nopember 1999.
______, Justice Game Mengadili Bayangbayang, Kompas, Edisi 12 Juni 1999.
______, Posrealitas, Realitas Kebudayaan
dalam Era Posmetafisika, Jalasutra,,
Yogyakarta, 2004.
______, Hiper Demokrasi, Kompas, Edisi 03
Mei 2001.
Prigogine, Ilya, dan Stengers, Isabelle, 1984, Order Out of Chaos, Flamingo, London.
Rahardjo, Satjipto, 2000, Mengajarkan Keteraturan Menemukan Ketidak-teraturan
(Teaching Order Finding Disorder),
Tigapuluh Tahun Perjalanan Intelek-

tual dari Bojong ke Pleburan, Pidato


mengakhiri masa jabatan sebagai Guru
Besar Tetap pada Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang, 15
Desember 2000.
______, 2000, Rekonstruksi Pemikiran Hukum
Di Era Reformasi, Makalah Seminar
Nasional Menggugat Pemikiran Hukum
Positivistik di Era Reformasi, Semarang, 22 Juli 2000.
______, 2002, Menjalankan Hukum dengan
Kecerdasan Spiritual, Kompas, Edisi
30 Desember 2002.
Robinson, David, 1985, Farmer Participation
in Deseign and Construction of HPSIS
Irrigation System in Indonesia, Laporan
Konsultasi Akhir kepada US Agency
for International Development, Usaid,
Jakarta.
Salim, Peter, 1990, The Comtemporary English-Indonesia Dictionary, Fifth Edition,
Modern English Press, Jakarta.
Sampford, Charles, 1989, The Disorder of
Law, A Critique of Legal Theory, Basil
Blackwell.
Sardar, Ziauddin., dan Abrams, Iwona, 2001,
Mengenal Chaos for Beginners, Mizan,
Bandung.
Seeres, Michel., Genesis, The University of
Michigan Press, 1995.
Seri Penerbitan Sains, Tekonologi dan Masyarakat, 2000, Dari Cambridge Menuju Kopenhagen, Edisi I, Mizan-PPS Studi Pembangunan ITB dan STMIK, Bandung.
Stewart, Ian, Predicting the Future (1993),
sebagaimana dikutip olehYasraf Amir
Piliang, 2003, Hiper-Moralitas, Menga
dili Bayang-bayang, Penerbit Belukar,
Yogyakarta.
Sudjito, 1995, Partisipasi Petani dalam Mewujudkan Kesinambungan Pembangunan
Irigasi, Tesis, Program Pascasarjana,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Tuankota, John Mateus, 2003, Sekali Lagi
tentang Teori Chaos, Kompas, 19 Juli

Sudjito, Chaos Theory of Law

2003.
Wilardjo, Liek, 1990, Realita dan Desiderata,
Dutawacana University Press, Yogya-

175

karta.
Zohar, Danah., dan Marshall, Ian, 2000,
Spiritual Intellegence The Ultimate
Intellegence.

Anda mungkin juga menyukai