160
John Mateus Tuankota, Sekali Lagi tentang Teori Chaos, Kompas, 19 Juli 2003.
Dilahirkan pada 23 Mei 1917 di USA, memiliki latar belakang pendidikan di bidang matematika dan meteorologi.
Selengkapnya baca Kebamoto, The Butterfly Effect, Kompas, 25 Oktober 2002.
161
Ilya Prigogine dan Isabelle Stengers, 1984, Order Out of Chaos, Flamingo, London, hlm. 142.
Ibid, hlm. 143.
8
Husein Heriyanto, 2003, Paradigma Holistik, Teraju, Jakarta, hlm.113-115.
9
Satjipto Rahardjo, 2000, Mengajarkan Keteraturan Menemukan Ketidak-teraturan (Teaching Order Finding Disorder),
Tigapuluh Tahun Perjalanan Intelektual dari Bojong ke Pleburan, Pidato mengakhiri masa jabatan sebagai Guru Besar
Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 15 Desember 2000, hlm.15.
10
Ibid, hlm.16.
6
7
162
Charles Sampford, 1989, The Disorder of Law, A Critique of Legal Theory, Basil Blackwell, hlm. 160.
Ibid.
13
Ibid, hlm. 103
14
Satjipto Rahardjo, 2000, Rekonstruksi Pemikiran Hukum Di Era Reformasi, Makalah Seminar Nasional Menggugat
Pemikiran Hukum Positivistik di Era Reformasi, Semarang, 22 Juli 2000, hlm. 15-17.
11
12
163
menghadapi realitas yang kompleks memerlukan kesediaan ilmuwan untuk melihat dunia
hukum bukan sebagai keadaan yang serba tertib
dan teratur, melainkan keadaan kacau (chaos),
dan berangkat dari sana maka tidak ada alasan
untuk tidak menghadirkan chaos theory of
law. Hal demikian dalam perspektif filsafat
ilmu sudah merupakan kelaziman. Inilah yang
disebut metode analogi retrosipasi (retrosipation analogy), yaitu suatu analogi terhadap
ilmu yang kedudukan atau tingkat abstraksinya
lebih rendah dari ilmu yang menjadi pokok
pembicaraan.17
Chaos, sebagai sebuah bidang kajian
keilmuan sebenarnya bukanlah barang baru,
setidak-tidaknya demikianlah yang ditulis
oleh Hesoid, ilmuwan berkebangsaan Yunani yang hidup pada abad ke-8 SM. Dalam
sebuah puisinya yang berjudul Theogony, ia
menulis awal dari segalanya adalah chaos,
baru kemudian sesudah itu segalanya menjadi
stabil. Dengan demikian, orang Yunani percaya
bahwa keteraturan muncul dari ketidakteraturan
(chaos).18
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan
chaos di dalam chaos theory of law itu? James
Gleick, mendefinisikan chaos sebagai satu
situasi ketidakberaturan atau kekacauan (benda,
ekonomi, sosial, politik, hukum) yang tidak
bisa diprediksi polanya, seperti gumpalan asap
rokok yang berpencar secara liar, arus air sungai
yang mengalir tak beraturan, sebuah negara
yang mengalami kehampaan hukum, sebuah
kekuasaan politik yang kehilangan legitimasi,
sebuah sistem ekonomi dengan fluktuasi mone
ter tak terkendali.19 Menurut Ian Stewart, chaos
adalah satu kondisi yang di dalamnya sebuah
sistem tidak bisa diprediksi arahnya, karena ia
164
Ian Stewart, Predicting the Future (1993), sebagaimana dikutip olehYasraf Amir Piliang, Hiper-Moralitas, Mengadili
Bayang-bayang, Penerbit Belukar, Yogyakarta, 2003, hlm.13; baca pula: Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia Yang
Menakutkan, Mesin-mesin Kekerasan Dalam Jagad Raya Chaos, Mizan, Bandung, hlm. 305.
21
Yasraf Amir Piliang, Post-Chaotic Society, Kompas, 13 Agustus 2001.
22
Yasraf Amir Piliang, Chaoshopy, Kompas, 05 Maret 1999.
23
Loc cit.
24
Michel Seeres, 1995, Genesis, The University of Michigan Press, hlm.109; dan baca pula Yasraf Amir Piliang, Hiper
. . . Ibid. hlm .86.
25
Ibid, hlm.11-31
26
Ibid, hlm.20-22
27
Ziauddin Sardar dan Iwona Abrams, Mengenal. . .op cit, hlm..54
20
165
positif saja, atau pun ketika hukum dikonsepkan sebagai aparat penegak hukum saja, dan
sebagainya. Pereduksian tersebut ada yang disengaja dilakukan secara eksplisit (kasat mata),
namun tidak jarang melalui rekayasa canggih
yang tidak bisa diamati orang lain dengan akal
maupun inderawi. Terhadap kemungkinan
pereduksian hukum yang disebut terakhir itu,
hanya dapat dipahami manakala digunakan
qalbu dan kecerdasan emosional (Emotional
Quotient- EQ), serta kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient - SQ),29 sebagai alat analisisnya.
Dengan kecerdasan spiritual, pencarian makna
dan kebenaran sebuah chaos, tidak berhenti
pada keadaan yang beku, statis dan duniawi,
melainkan bergerak dalam kreativitas dan
pencarian sampai pada hal-hal yang bersifat
ukhrowi. Dalam kreativitas dan pencariannya
itu, tidak terlalu sulit untuk mengungkap makna
dan kebenaran dari setiap bentuk chaos. Satu
hal yang pasti bahwa pereduksian keutuhan
realitas hukum akan menyebabkan ketidakseimbangan kehidupan. Kehidupan manusia
sebagai individu, anggota masyarakat maupun
sebagai kalifatullah menjadi tidak dapat berjalan sebagai sistem yang sehat. Dalam situasi
chaos tersebut akan muncul kerugian-kerugian
(materiil maupun spiritual) baik yang menimpa
pada diri sendiri maupun pihak lain. Sebagai
contoh, sistem hukum positif yang cenderung
represif dan berusaha mempertahankan status
quo, apabila dipaksakan berlaku mungkin dalam
jangka pendek dapat diperoleh kepatuhan hukum, kepastian hukum, keteraturan mekanisme
hukum dan sebagainya, sehingga seolah-olah
Seri Penerbitan Sains, Tekonologi dan Masyarakat, 2000, Dari Cambridge Menuju Kopenhagen, Edisi I, Mizan-PPS
Studi Pembangunan ITB dan STMIK, Bandung, hlm. 10.
29
Dengan meminjam istilah dari Ali Shariati, Ary Ginandjar Agustian mengemukakan bahwa . . . manusia adalah
makhluk dua-dimensional yang membutuhkan penyelarasan kebutuhan akan kepentingan dunia dan akhirat. Oleh
sebab itu, manusia harus memiliki konsep duniawi atau kepekaan emosi dan intelegensia yang baik (EQ plus IQ)
dan penting pula penguasaan ruhiyah vertikal atau Spiritual Quotient (SQ). . . . merujuk pada istilah bi-dimensional
tersebut, sebuah upaya penggabungan terhadap ketiga konsep tersebut dilakukan. Lewat sebuah perenungan yang
panjang, . . . penggabungan dari ketiganya . . . dapat memelihara keseimbangan antara kutub keakhiratan dan kutub
keduniawian. . . . ESQ sebagai sebuah metode dan konsep yang jelas dan pasti adalah jawaban kekosongan batin. .
. . Ia adalah konsep universal yang mampu mengantarkan seseorang pada predikat yang memuaskan, bagi dirinya
sendiri dan orang lain. Selengkapnya, baca : Ary Ginandjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi
dan Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Penerbit Arga,Jakarta, 2001, hlm.xviii xix.
28
166
30
nantinya akan dijelaskan, bahwa yang diperlukan adalah adanya sense of chaos dan chaos
management, sehingga situasi chaos itu bisa
dikelola secara produktif.
Chaos theory of law, sebagaimana paradigma yang mendasarinya, yaitu paradigma
holistik, memang merupakan teori yang sarat
dengan nilai-nilai moral-religius. Apa yang
disebut oleh Francis Fukuyama dengan social
capital 31- yang di dalamnya sarat dengan nilai-nilai kebersamaan, tolong-menolong, saling
percaya dan kejujuran, - menjadi komponen
yang sangat signifikan pengaruhnya terhadap
efektivitas penggunaan chaos theory of law.
Di sini, terasakan benar bahwa segalanya harus
dimulai dari diri sendiri (ibda bi nafsihi). Pada
diri sendiri, segala perilaku hukum itu harus
dimulai, dan bukan dengan mengharap pada
pihak lain. Sikap egois, antroposentris, harus
dikemas sedemikian rupa agar menyatu dengan
sikap sosial dan sikap rendah hati (tawadhu)
sebagai kalifatullah.
Dalam chaos theory of law, berbagai hal
yang bernuansa berbeda, inkonsisten, tak
terduga, acak dan hal-hal lain yang sejenis,
harus dihargai. Penghargaan terhadap semua
bentuk perbedaan itu merupakan salah satu
prinsip chaos.32 Dalam skala ruang yang
lebih luas dan waktu yang lebih lama, dari
berbagai ketidakteraturan (disorder) itulah akan
muncul keteraturan (order) yang bisa diterima
semua pihak.
Menurut chaos theory of law, penggunaan
pola-pola chaos dalam hukum, merupakan
hal yang wajar, bahkan keniscayaan. Pola-pola
chaos itu merupakan sebuah pilihan dalam
rangka mengembangkan chaos management
167
Social capital, secara sederhana bisa didefinisikan sebagai serangkkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang
dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka.
Jika para anggota kelompok itu mengharapkan bahwa anggota-anggota yang lain berperilaku jujur dan terpercaya,
maka mereka akan saling mempercayai. Kepercayaan ibarat pelumas yang membuat jalannya kelompok atau organisasi lebih efisien. Baca : Francis Fukuyama, The Great Disruption, Human Nature and the Reconstruction of Social
Order, Profile Books, London, 2000, hlm. 22.
32
Yasraf Amir Piliang, The Positive Chaos Masa Depan Pluralitas Bangsa, Kompas, 10 November 1999.
31
168
Menjalankan hukum hanya dengan kecerdasan intelektual saja, merupakan warisan berpikir abad ke-19, dengan
kredo rules and logic. Untuk bisa sampai pada pencapaian makna, diperlukan komplementaritas antara kecerdasan
intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Baca : Satjipto Rahardjo, Menjalankan Hukum dengan
Kecerdasan Spiritual, Kompas, 30 Desember 2002; baca pula Danah Zohar dan Ian Marshall, Spiritual Intellegence
The Ultimate Intellegence, 2000.
34
Robert D.Lee, 1997, Mencari Islam Otentik: Dari Nalar Puistis Iqbal Hingga Nalar Kritis Arkoun, Mizan, Bandung,
hlm.11.
35
Martin Heidegger, 1975, The End of Philosophy, A Condor Books, hlm.79.
36
Michel Seeres, Genesis, . . . Ibid, sebagaimana dikutip Yasraf Amir Piliang, Hiper . . . op cit, hlm. 110.
33
169
170
kebahasaan (semiotika) hukum yang digunakan. Misalnya, dalam hukum irigasi, tanda-tanda
kebahasaan hukum irigasi itu harus familier di
kalangan petani, sebagai perwujudan nilai-nilai
yang melekat dan menjadi pedoman kehidupan
petani pemakai air irigasi. Hukum irigasi tidak
mesti dan harus berujud perundang-undangan,
melainkan bisa berujud simbol-simbol lain,
seperti: gambar, benda, warna ataupun sikap
dan perilaku seorang tokoh masyarakat yang
dipandang bisa jadi teladan.
Kedua, perubahan pada tingkat yuridisnormatif. Perubahan ini selain pada bentuknya
(tidak mesti harus tertulis dalam perundang-undangan), yang lebih penting adalah perubahan
pada substansinya. Substansi hukum ditentukan
oleh warga masyarakat sendiri. Mereka itulah
yang secara detail paham apa yang terbaik dan
bisa dilakukan oleh masyarakat, agar hukum itu
berlaku secara teologis, filosofis dan sosiologis,
bukan sekedar berlaku formal. Meminjam istilah Timothy Leavy, setiap manusia harus diberi
kebebasan untuk mengekspresikan dirinya secara maksimal, tanpa dibatasi dan dikendalikan
oleh sebuah otoritas kekuasaan apapun - yang
menciptakan pribadi-pribadi yang disebut cybernetic, cybernaut atau cyberpunk.45
Ketiga, perubahan pada tingkat yuridis-kultural. Sikap budaya egosentris, baik
yang berkembang pada Pemerintah maupun
masyarakat, telah memunculkan suasana
dikotomis. Seolah-olah antara Pemerintah dan
rakyat merupakan dua kubu yang mesti berhadapan dan punya kepentingan masing-masing. Sikap budaya ini harus diubah menjadi
sociospiritual-centrism. Artinya, setiap orang
harus memandang pihak lain sebagai bagian
tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat
David Robinson, Farmer Participation in Deseign and Construction of HPSIS Irrigation System in Indonesia, Laporan
Konsultaan Akhir kepada US Agency for International Development, Usaid, Jakarta, 1985.
42
Sudjito, 1995, Partisipasi Petani Dalam Mewujudkan Kesinambungan Pembangunan Irigasi, Tesis, Program Pascasar
jana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 118.
43
Jean Baudrillard, 1993, Simulacra and Simulation, The University of Michigan Press, hlm.1; baca pula Yasraf Amir
Piliang, 2004, Posrealitas, Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, Jalasutra, Yogyakarta, hlm . 307.
44
Yasraf Amir Piliang, Hiper Demokrasi, Kompas, 03 Mei 2001.
45
Timothy Leavy, 1994, Chaos and Cyber-Cultur, Ronin Publishing Inc., hlm.163
41
banyak fenomena yang menginginkan masingmasing daerah akan mencari ruang kebebasan
sebebas-bebasnya, untuk mengekspresikan
aspirasinya, sehingga muncul berbagai ragam
bentuk, pola maupun sistem pengaturan hukum yang sangat kacau (chaos). Telah terlihat
pula adanya daerah yang menuntut kebebasan
absolut, kemandirian absolut, otonomi khusus,
sehingga hukum yang dihasilkan oleh daerah
itu sangat eksklusif.
Kedua, adalah kekuatan implosi (implotion)47 yaitu sebuah ledakan ke dalam yang
menyebabkan kekuasaan tunggal menjelma
menjadi berjuta kekuasaan yang saling berdesakan. Dalam konteks hukum irigasi misalnya,
organisasi petani pemakai air (P3A) yang
sebelumnya dibentuk dan dibina secara sentralistis otoriter oleh Pemerintah dapat bubar
berantakan, dan masing-masing bekas anggota
akan berebut untuk menyatakan dirinya paling berkuasa daripada yang lain. Contoh lain,
ketika sebuah Provinsi dimungkinkan dipecah
menjadi beberapa provinsi baru, maka dalam
proses pembentukan provinsi baru tersebut akan
muncul perebutan posisi dan kedudukan Pemerintahan yang strategis, yang umumnya dimotori
oleh partai-partai politik dengan menggunakan
jalur hukum maupun politik.
Ketiga, kekuatan deteritorialisasi (deteritorialisation), yakni sebuah ajang perebutan terotorial. Misalnya, masyarakat (petani)
melakukan balas dendam terhadap sikap dan
kesewenang-wenangan Pemerintah, dengan
melakukan penguasaan terhadap sumber-sumber air, dan merusak berbagai fasilitas irigasi
yang dianggap tidak sesuai dengan keinginannya. Hal serupa juga terjadi ketika masyarakat
secara anarkis menjarah hutan karena kawasan
tersebut secara historis dianggap menjadi miliknya.
Keempat, kekuatan pemicu (agitation),
yaitu sebuah kekuatan dahsyat yang mengaduk-
46
47
171
172
Gilles Deleuze & Feliz Guattari, 1983, On the Line, Semiotext(e), New York, hlm.21.
Bandingkan dengan Yasraf Amir Piliang, Hiper Moralitas. . . , op cit, hlm. 111-112.
48
49
173
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, 1993, Walter Truet., Reality Isnt
What It Used to Be, Harper Collins, San
Fransisco.
Baudrillard, Jean, 1993, Simulacra and Simulation, The University of Michigan
Press.
_______, 1987, Forget Foucult, Semiotext(e),
New York.
174
Fukuyama, Francis, 2000, The Great Disruption, Human Nature and the Reconstruction of Social Order,Profile Books,
London.
Gleick, James, 1998, Chaos: Making A New
Science, Penguin Books, London.
Heriyanto, Husein, 2003, Paradigma Holistik,
Teraju, Jakarta.
Heidegger, Martin, 1975, The End of Philosophy, A Condor Books.
Kebamoto, 2005, The Butterfly Effect, Kompas,
25 Oktober 2002.
Leavy, Timothy, 1994, Chaos and Cyber-Cultur, Ronin Publishing Inc.
Lee, Robert D., 1997, Mencari Islam Otentik:
Dari Nalar Puistis Iqbal Hingga Nalar
Kritis Arkoun, Mizan, Bandung.
Lyotard, JF., 1990, Just Gaming, University
of Minnesota Press.
Mahfud MD, Moh., 1998, Politik Hukum di
Indonesia, LP3ES, Jakarta.
Piliang, Yasraf Amir, Sebuah Dunia Yang
Menakutkan, Mesin-mesin Kekerasan
Dalam Jagad Raya Chaos, Mizan,
Bandung.
______, Post-Chaotic Society, Kompas, Edisi
13 Agustus 2001.
______, Chaoshopy, Kompas, Edisi 05
Maret 1999.
______, The Positive Chaos Masa Depan
Pluralitas Bangsa, Kompas, Edisi 10
Nopember 1999.
______, Justice Game Mengadili Bayangbayang, Kompas, Edisi 12 Juni 1999.
______, Posrealitas, Realitas Kebudayaan
dalam Era Posmetafisika, Jalasutra,,
Yogyakarta, 2004.
______, Hiper Demokrasi, Kompas, Edisi 03
Mei 2001.
Prigogine, Ilya, dan Stengers, Isabelle, 1984, Order Out of Chaos, Flamingo, London.
Rahardjo, Satjipto, 2000, Mengajarkan Keteraturan Menemukan Ketidak-teraturan
(Teaching Order Finding Disorder),
Tigapuluh Tahun Perjalanan Intelek-
2003.
Wilardjo, Liek, 1990, Realita dan Desiderata,
Dutawacana University Press, Yogya-
175
karta.
Zohar, Danah., dan Marshall, Ian, 2000,
Spiritual Intellegence The Ultimate
Intellegence.