( DEMAM TIFOID )
Adrianus Arinawa Yulianta ( 07 8115 041 )
1.
Pendahuluan
Demam Tifoid atau Tifus merupakan penyakit infeksi akut pada usus
halus yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Bakteri ini dapat
masuk kedalam tubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar.
Disebarkan melalui perpindahan dari manusia ke manusia terutama pada
keadaan hygiene buruk. Masa inkubasi sampai 18 hari. Sebagian bakteri
ini dapat dimusnahkan oleh asam lambung tetapi ada sebagian lagi yang
masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid dan bersarang di
jaringan tersebut, selain itu bakteri ini juga bersarang di limpa, hati dan
bagian-bagian lain system retikuloendotelial. Endotoksin atau racun
dari Salmonella typhi berperan dalam proses inflamasi lokal pada jaringan
tempat bakteri tersebut berkembang biak. Salmonella typhi dan
endotoksinnya merangsang sistesis dan pelepasan zat pirogen dan
leukosit pada jaringan yang meradangt, sehingga terjadi demam.
Gejala-gejala yang muncul bervariasi, dalam minggu pertama sama
dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, sakit kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, konstipasi atau diare,
perasaan tidak enak pada perut, batuk dan peningkatan suhu badan.
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,
bradikardi relative, lidah tifoid (kotor ditengah, tepid an ujung merah dan
tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan kesadaran
berupa samnolen sampai koma.
Penatalaksanaan
terapi
demam
tifoid, Penggunaan
antibiotik untuk menghentikan dan memusnahkan penyebaran bakteri.
Antibiotik yang dapat digunakan adalah klorafenikol ( dosis hari pertama 4
x 250 mg, hari kedua 4 x 500mg, diberikan selama demam dilanjutkan
sampai 2 hari bebas demam, kemudian dosis diturunkan menjadi 2 x
250mg selama 5 hari kemudian ), Ampisilin/Amoksisilin ( dosis 50-150
mg/kg BB, diberikan selama 2 minggu), Kotimoksazol 2 x 2 tablet ( 1 tablet
mengandung 400mg sulafametoksazol-80mg trimetropin, diberikan
selama 2 minggu ), Sefalosporin generasi II dan III biasanya demam
mereda pada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4 ( obat yang dipakai
seftriakson 4 g/hari selama 3 hari, norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14
hari, siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari, ofloksasin 600 mg/hari
selama 7 hari, pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari, fleroksasin 400
mg/hari selama 7 hari). Istirahat dan perawatan yang profesional ini
bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan.
Pasien harus istirahat total sampai minimal 7 hari bebas demam atau
B. Obat
1.
Kegunaan Umum
Kloramfenikol digunakan sebagai antibiotik bersifat bakteriostatik dan
Farmakokinetika
Penyerapan obat melalui saluran cerna cukup baik (75-90%), kadar plasma
tertinggi dicapai dalam 2-3 jam. Waktu paruh kloramfenikol pada orang dewasa
3 jam, sedang pada bayi di bawah 1 bulan 12-24 jam (Siswandono dan
Soekardjo,
1995).
Toksikologi
Efek samping yang ditimbulkan kloramfenikol antara lain adalah depresi
sumsum tulang belakang, yang menimbulkan kelainan darah yang serius, seperti
anemia aplastik, granulositopenia, trombositopenia. Selain itu, obat ini juga
dapat
menyebabkan gangguan saluran cerna dan reaksi hipersensitivitas. Oleh karena
itu
kloramfenikol tidak boleh digunakan untuk pengobatan infeksi yang bukan
indikasinya,seperti influenza, infeksi kerongkongan atau untuk pencegahan
infeksi
(Siswandono dan Soekardjo, 1995 ; Watimena, dkk, 1999).
Pendahuluan
Diproduksi oleh Streptomuces venezuelae.
Pertama kali diisolasi oleh David
Gottlieb dari sampel tanah di Venezuela padatahun 1947.
Diperkenalkan dalam pengobatan klinis pada tahun 1949.
Penggunaannya cepat meluas setelah diketahui obat ini efektif untuk berbagai jenis
infeksi.
Golongan Obat
Berspektrum luas.
B. Distribusi
Kloramfenikol berdifusi secara cepat dan dapat menembus plasenta.
Kloramfenikol terikat dengan plasma protein 50%; pasien sirosis dan pada bayi.
D. Eliminasi
Rute utama dari eliminasi kloramfenikol adalah pada metabolisme hepar ke inaktif
glukuronida.
Farmakodinamik
Mekanisme:menghambat sintesis protein kuman.
Mekanisme resistensi : inaktivasi obat oleh asetil trensferase yang diperantarai olehfac
tor R. Resistensi terhadap P. aeruginosa,
Proteus dan Klebsielaterjadi karenaperubahan permeabilitas membran yang mengurangi ma
suknya obat ke dalamsel bakteri
Penggunaan Klinis
1. Demam Tifoid
Dosis: 4 kali 500mg
/hari sampai 2 minggu bebas demam. Bila terjadi relaps,biasanya dapat diatasi dengan memb
erikan terapi ulang
Anak:dosis 50-100 mg/kgBB sehari dibagi dalam beberapa dosis selama 10 hari
2.Meningitis Purulenta
Kloramfenikol+ampisilin
3. Ricketsiosis
Dapat digunakan jika pengobatan dengan tetrasiklin tidak berhasil
Keamanan pada wanita hamil dan menyusui belum diketahui dengan pasti.
Penderita dengan gangguan ginjal, bayi prematur dan bayi baru lahir (< 2 minggu).
Drugs interaction: obatobatan dimetabolisme enzim mikrosom hati sepertidikumarol, fenitoin, tolbutamid dan fenob
arbital.
Efek Samping
1. Reaksi Hematologik
Terdapat dua bentuk reaksi:
1.
Reaksi toksik dengan manifestasi depresi sumsum tulang. Berhubungan dengan dosis,
progresif dan pulih bila pengobatan dihentikan.
2.
Prognosisnya sangat buruk karena anemia
yang timbul bersifat ireversibel. Timbulnyatidak tergantung dari besarnya dosis atau lama pen
gobatan.
2. Reaksi Alergi
Kemerahan pada kulit, angioudem, urtikaria dan anafilaksis.
Kelainan yang menyerupai reaksi Herxheimer dapat terjadi pada pengobatan demamt
yphoid.
4. Syndrom Gray
Pada neonatus, terutama bayi prematur yang mendapat dosis tinggi (200 mg/kgBB).
5. Reaksi Neurologis
Depresi, bingung, delirium dan sakit kepala.
Neuritis perifer atau neuropati optikdapat juga timbul terutama setelah pengobatan lama.
6. Interaksi dengan Obat Lain
Kloramfenikol menghambat enzim sitokrom P450 irreversibel memperpanjang T
(dicumarol, phenytoin, chlorpopamide, dan tolbutamide).
Mengendapkan berbagai obat lain dari larutannya,
merupakan antagonis kerjabakterisidal penisilin dan aminoglikosida.
Phenobarbital dan rifampin mempercepat eliminasi dari kloramfenikol.
kerja,
Farmakokinetik,
Farmakodinamik, khasiat, sediaan
Kloramfenikol diisolasi pertama kali pada tahun 1947 dari Streptomyces venezuelae. Karena
ternyata Kloramfenikol mempunyai daya antimikroba yang kuat maka penggunaan
Kloramfenikol meluas dengan cepat sampai pada tahun 1950 diketahui bahwa Kloramfenikol
dapat menimbulkan anemia aplastik yang fatal.
1.
Efek antimikroba
Kloramfenikol bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein kuman. Yang dihambat
adalah enzim peptidil transferase yang berperan sebagai katalisator untuk membentuk ikatanikatan peptida
pada proses sintesis protein kuman.
Efek toksis Kloramfenikol pada sel mamalia terutama terlihat pada sistem hemopoetik/darah
dan diduga berhubungan dengan mekanisme kerja Kloramfenikol.
Efek samping
a.
Reaksi hematologik
Terdapat dalam 2 bentuk yaitu;
i.
Reaksi toksik dengan manifestasi depresi sumsum tulang.
Kelainan ini berhubungan dengan dosis, menjadi sembuh dan pulih bila pengobatan
dihentikan. Reaksi ini terlihat bila kadar Kloramfenikol dalam serum melampaui 25 mcg/ml.
ii.
Bentuk yang kedua bentuknya lebih buruk karena anemia yang terjadi
bersifat menetap seperti anemia aplastik dengan pansitopenia. Timbulnya tidak tergantung
dari besarnya dosis atau lama pengobatan. Efek samping ini diduga disebabkan oleh adanya
kelainan genetik.
b.
Reaksi alergi
Kloramfenikol dapat menimbulkan kemerahan kulit, angioudem, urtikaria dan anafilaksis.
Kelainan yang menyerupai reaksi Herxheimer dapat terjadi pada pengobatan demam Tifoid
walaupun yang terakhir ini jarang dijumpai.
c.
Reaksi saluran cerna
Bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, glositis, diare dan enterokolitis.
d.
Sindrom gray
Pada bayi baru lahir, terutama bayi prematur yang mendapat dosis tinggi (200 mg/kg BB)
dapat timul sindrom Gray, biasanya antara hari ke 2 sampai hari ke 9 masa terapi, rata-rata
hari ke 4.
Mula-mula bayi muntah, tidak mau menyusui, pernafasan cepat dan tidak teratur,
perutkembung, sianosis dan diare dengan tinja berwarna hijau dan bayi tampak sakit berat.
Pada hari berikutnya tubuh bayi menjadi lemas dan berwarna keabu-abuan; terjadi
pula hipotermia (kedinginan).
e.
Reaksi neurologik
Dapat terlihat dalam bentuk depresi, bingung, delirium dan sakit kepala.
3.
Penggunaan klinik
Banyak perbedaan pendapat mengenai indikasi penggunaan kloramfenikol, tetapi sebaiknya
obat ini hanya digunakan untuk mengobati demam tifoid, salmonelosis lain dan infeksi H.
influenzae. Infeksi lain sebaiknya tidak diobati dengan kloramfenikol bila masih ada
antimikroba lain yang lebih aman dan efektif.
Kloramfenikol tidak boleh digunakan untuk bayi baru lahir, pasien dengan gangguan hati dan
pasien yang hipersensitif terhadapnya.
4.
Sediaan
a.
Kloramfenikol
Terbagi dalam bentuk sediaan :
i.
Kapsul 250 mg,
Dengan cara pakai untuk dewasa 50 mg/kg BB atau 1-2 kapsul 4 kali sehari.
Untuk infeksi berat dosis dapat ditingkatkan 2 x pada awal terapi sampai didapatkan
perbaikan klinis.
ii.
Salep mata 1 %
iii.
Obat tetes mata 0,5 %
iv.
Salep kulit 2 %
v.
Obat tetes telinga 1-5 %
Keempat sediaan di atas dipakai beberapa kali sehari.
b.
Kloramfenikol palmitat atau stearat
2.
Untuk pemilihan antibiotika Kloramfenikol dan dosis/cara pakainya yang tepat ada baiknya
anda harus periksakan diri dan konsultasi ke dokter.
Di apotik online medicastore anda dapat mencari obat Kloramfenikol dengan merk yang
berbeda secara mudah dengan mengetikkan di search engine medicastore. Sehingga anda
dapat memilih dan beli obat kloramfenikol sesuai dengan yang diresepkan dokter anda.
2.1 Asal dan Kimia
Kloramfenikol merupakan kristal putih yang sukar larut dalam air (1:400) dan rasanya sangat
pahit. Rumus molekul kloramfenikol ialah
Kloramfenikol R= -NO2
Tiamfenikol R=-CH3SO2
2.2 Farmakodinamik
Efek anti mikroba
Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Obat ini terikat pada
ribosom sub unit 50s dan menghambat enzim peptidil transferase sehingga ikatan peptida
tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman.
Kloramfenikol bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi kloramfenikol kadang-kadang
bersifat bakterisid terhadap kuman-kuman tertentu. Spektrum anti bakteri
meliputi D.pneumoniae, S. Pyogenes, S.viridans, Neisseria, Haemophillus, Bacillus spp,
Listeria, Bartonella, Brucella, P. Multocida, C.diphteria, Chlamidya, Mycoplasma,
Rickettsia, Treponema, dan kebanyakan kuman anaerob.
Resisitensi
Mekanisme resistensi terhadap kloramfenikol terjadi melalui inaktivasi obat oleh asetil
transferase yang diperantarai oleh faktor-R. Resistensi terhadap P.aeruginosa. Proteus dan
Klebsiella terjadi karena perubahan permeabilitas membran yang mengurangi masuknya obat
ke dalam sel bakteri.
Beberapa strain D. Pneumoniae, H. Influenzae, dan N. Meningitidis bersifat resisten; S.
Aureus umumnya sensitif, sedang enterobactericeae banyak yang telah resisten.
Obat ini juga efektif terhadap kebanyakan strain E.Coli, K. Pneumoniae, dan P.
Mirabilis, kebanyakan Serratia, Providencia dan Proteus rettgerii resisten, juga kebanyakan
strain P. Aeruginosa dan S. Typhi
2.3 Farmakokinetik
Setelah pemberian oral, kloramfenikol diserap dengan cepat. Kadar puncak dalam darah
tercapai hingga 2 jam dalam darah. Untuk anak biasanya diberikan dalam bentuk ester
kloramfenikol palmitat atau stearat yang rasanya tidak pahit. Bentuk ester ini akan
mengalami hidrolisis dalam usus dan membebaskan kloramfenikol.
Untuk pemberian secara parenteral diberikan kloramfenikol suksinat yang akan dihidrolisis
dalam jaringan dan membebaskan kloramfenikol.
Masa paruh eliminasinya pada orang dewasa kurang lebih 3 jam, pada bayi berumur kurang
dari 2 minggu sekitar 24 jam. Kira-kira 50% kloramfenikol dalam darah terikat dengan
albumin. Obat ini didistribusikan secara baik ke berbagai jaringan tubuh, termasuk jaringan
otak, cairan serebrospinal dan mata.
Di dalam hati kloramfenikol mengalami konjugasi, sehingga waktu paruh memanjang pada
pasien dengan gangguan faal hati. Sebagian di reduksi menjadisenyawa arilamin yang tidak
aktif lagi. Dalam waktu 24 jam, 80-90% kloramfenikol yang diberikan oral diekskresikan
melalui ginjal. Dari seluruh kloramfenikol yang diekskresi hanya 5-10% yang berbentuk
aktif. Sisanya terdapat dalam bentuk glukoronat atau hidrolisat lain yang tidak aktif. Bentuk
aktif kloramfenikol diekskresi terutama melalui filtrat glomerulus sedangkan metaboltnya
dengan sekresi tubulus.
Pada gagal ginjal, masa paruh kloramfenikol bentuk aktif tidak banyak berubah sehingga
tidak perlu pengurangan dosis. Dosis perlu dikurangi bila terdapat gangguan fungsi hepar.
Interaksi dalam dosis terapi, kloramfenikol menghambat botransformasi tolbutamid fenitoin,
dikumarol dan obat lain yang dimetabolisme oleh enzim mikrosom hepar. Dengan demikian
toksisitas obat-obat ini lebih tinggi bila diberikan berasama kloramfenikol. Interaksi obat
dengan fenobarbital dan rifampisin akan memperpendek waktu paruh kloramfenikolsehingga
kadar obat menjadi subterapeutik.
Antibakterial
Metabolism kloramfenikol ditingkatkan oleh
rifampicin (sehingga menurunkan kadar dalam
darah kloramfenikol)
Antikoagulan
Kloramfenikol meningkatkan efek antikoagulan
koumarin
Antidiabetik
Kloramfenikol meningkatakn efek sulfonilurea
Antiepilepsi
Kloramfenikol meningkatkan kadar fenitoin
dalam darah (meningkatkan risiko toksisitas);
pirimidon meningkatkan metabolism
kloramfenikol (menurunkan kadarnya dalam
darah)
Antipsokotik
Hindari penggunaan bersamaan kloramfenikol
dengan klozapin (meningkatkan risiko
agranulositosis)
Barbiturat
Barbiturat mempercepat metabolism
kloramfenikol sehingga menurunkan kadarnya
dalam darah
Siklosporin
Koramfenikol mungkin meningkatkan kadar
siklosporin dalam darah
Hidroxycobalamin
Kloramfenikol menurunkan respon terhadap
hydroxycobalamin
Estrogen
Mungkin menurunkan efek kontrasepsi estrogen
Tacrolimus
Kloramfenikol mungkin menurunkan kadar
tacrolimus dalam darah
Vaksin
Antibakterial menginaktifkan vaksin tifoid oral
2.4 Penggunaan klinik
Banyak perbedaan pendapat mengenai indikasi penggunaan kloramfenikol, tetapi sebaiknya
obat ini digunakan untuk mengobati demam tifoid dan meningitis oleh H.Infuenzae juga pada
pneumonia; abses otak; mastoiditis; riketsia; relapsing fever; gangrene; granuloma inguinale;
listeriosis; plak (plague); psitikosis; tularemia; whipple disease; septicemia; meningitis.
Infeksi lain sebaiknya tidak diobati dengan kloramfenikol bila masih ada antimikroba lain
yang masih aman dan efektif. Kloramfenikol dikontraindikasikan pada pasien neonatus,
pasien dengan gangguan faal hati, dan pasien yang hipersensitif terhadapnya. Bila terpaksa
diberikan pada neonatus, dosis jangan melebihi 25 mg/kgBB sehari.
DEMAM TIFOID
Kloramfenikol tidak lagi menjadi plihan utama untuk mengobati penyakit tersebut karena
telah tersedia oba-obat yang lebih aman seperti siprofloksasin dan seftriakson. Walaupun
demikian, pemakaiannya sebagai lini pertamamasih dapat dibenarkan bila resistensi belum
merupakan masalah.
Untuk pengobatan demam tifoid diberikan dosis 4 kali 500 mg sehari sampai 2 minggu bebas
demam. Bila terjadi relaps biasanya dapat diatasi dengan memberikan terapi ulang. Untuk
anak-anak diberikan dosis 50-100mg/kg BB/sehari dibagi dalam beberapa dosis selama 10
hari.
Untuk pengobatan tifoid ini dapat pula digunakan tiamfenikol dengan dosis 50 mg/kg
Bbsehari pada minggu pertama lalu diteruskan 1-2 minggu lagi dengan dosis separuhnya.
Suatu uji klinikdi Indonesia menunjukkan bahwa terapi kloramfenikol (4 x500 mg/hari) dan
siprofloksasin (2500 mg/hari) per oral untuk demam tifoid selama 7 hari tidak bermakna
walaupun siprofloksasin dapat membersihkan sum-sum tulang belakang dari salmonela.
Hingga sekarang belum disepakati obat apa yang paling efektif untuk mengobati status karier
demam tifoid, namun beberapa studi menunjukkan bahwa norloksasin dan siprofloksasin
mungkin bermanfaat untuk itu.
Gastroentritis akibat Salmonella sp. Tidak perlu diberi antibiotik karena tidak mempercepat
sembuhnya infeksi dan dapat memperpanjang status karier.
MENINGITIS PURULENTA
Kloramfenikol efektif untuk mengobati meningitis purulenta yang disebabkan oleh
H.Influenzae. Untuk terapi awal, obat ini masih digunakan bila obat-obat lebih aman seperti
seftriakson tidak tersedia. Dianjurkan pembaerian klramfenikol bersama suntikan ampisilin
sampai didapat hasil pemeriksaan kultur dan uji kepekaan, setelah itu dianjurkan dengan
pemberian obat tunggal yang sesuai dengan hasil kultur.
RIKETSIOSIS
Tetrasiklin merupakan obat terpilih untuk penyakit ini. Bila oleh karena suatu hal tetrasiklin
tidak dapat diberikan, maka dapat diberika kloramfenikol..
2.5 Efek samping
REAKSI HEMATOLOGIK
Terdapat dalam 2 bentuk. Yang pertama ialah reaksi toksik dengan manfestasi depresi
sumsum tulang belakang. Kelainan ini berhubungan dengan dosis, progresif dan pulih bila
pengobatan dihentikan. Kelainan darah yang terlihat anemia, retikulositopenia,
peningkatan serum iron, dan iron binding capacityserta vakuolisasi seri eritrosit muda.
Reaksi ini terlihat bila kadar kloramfenikol dalam serum melampaui 25 g/ml. Bentuk ke dua
adalah anemia aplastik dengan pansitopenia yang irreversibel dan memiliki prognosis yang
sangat buruk. Timbulnya tidak tergantung dari besarnya dosis atau lama pengobatan. Insiden
berkisar antara 1: 24000 50000. efek samping ini diduga efek idiosinkrasi dan mngkin
disebabkan oleh kelainan genetik.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa kloamfenikol yang diberikan secara parenteral jarang
menimbulkan anemia aplastik namun hal ini belum dapat dipastikan kebenarannya.
Kloramfenikol dapat menimbulkan hemolisis pada pasien defisiens enzim G6PD bentuk
mediteranean.
Hitung sel darah yang dilakukan secara berkala dapat memberi petunjuk untuk mengurangi
dosis atau menghentikan terapi. Dianjurkan untuk hitung leukosit dan hitung jenis tiap 2 hari.
Pengobatan terlalu lama atau berulang kali perlu dihindari. Timbulnya nyeri tenggorok dan
infeksi baru selama pemberian kloramfenikol menunjukkan adanya kemungkinan leukopeni.
REAKSI SALURAN CERNA
ini). Walaupun pengikatan tRNA pada bagian pengenalan kodon ini ternyata
menghalangi pengikatan ujung tRNA aminosil yang mengandung asam amino ke
tempat akseptor pada subunit ribosom 50 S. interkasi antara pepdiltranferase
dengan substrat asam aminonya tidak dapat terjadi, sehingga pembentukan
ikatan peptide terhambat.
Kloramfenikol juga dapat menghambat sistesis protein mitokondria pada sel
mamalia, kemungkinan karena ribosom mitokondria lebih menyerupai ribosom
bakteri (keduanya 70 S) dari pada ribosom sitoplasma 80 S pada sel mamalia.
Peptidiltransferase ribosom mitokondria, dan bukan ribosom sitoplasma, rentan
terhadap kerja penghambtan kloramfenikol. Sel eritropoietik mamalia tampaknya
terutama peka terhadap obat ini.
2.2.3 Fakmakokinetik
Setelah pemberian oral, kloramfenikol diserap dengan cepat. Kadar puncak
dalam darah tercapai hingga 2 jam dalam darah. Untuk anak biasanya diberikan
dalam bentuk ester kloramfenikol palmitat atau stearat yang rasanya tidak pahit.
Bentuk ester ini akan mengalami hidrolisis dalam usus dan membebaskan
kloramfenikol. Untuk pemberian secara parenteral diberikan kloramfenikol
suksinat yang akan dihidrolisis dalam jaringan dan membebaskan kloramfenikol.
Masa paruh eliminasinya pada orang dewasa kurang lebih 3 jam, pada bayi
berumur kurang dari 2 minggu sekitar 24 jam. Kira-kira 50% kloramfenikol dalam
darah terikat dengan albumin. Obat ini didistribusikan secara baik ke berbagai
jaringan tubuh, termasuk jaringan otak, cairan serebrospinal dan mata. Di dalam
hati kloramfenikol mengalami konjugasi, sehingga waktu paruh memanjang pada
pasien dengan gangguan faal hati. Sebagian di reduksi menjadisenyawa arilamin
yang tidak aktif lagi. Dalam waktu 24 jam, 80-90% kloramfenikol yang diberikan
oral diekskresikan melalui ginjal. Dari seluruh kloramfenikol yang diekskresi
hanya 5-10% yang berbentuk aktif. Sisanya terdapat dalam bentuk glukoronat
atau hidrolisat lain yang tidak aktif. Bentuk aktif kloramfenikol diekskresi
terutama melalui filtrat glomerulus sedangkan metaboltnya dengan sekresi
tubulus. Pada gagal ginjal, masa paruh kloramfenikol bentuk aktif tidak banyak
berubah sehingga tidak perlu pengurangan dosis. Dosis perlu dikurangi bila
terdapat gangguan fungsi hepar
KLORAMFENIKOL
A. Struktur kimia
Kloramfenikol : C11H12Cl2N2O5
B. Mekanisme kerja
KloramfeNikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Obat ini berikatan pada
ribosom subunit 50s dan menghambat enzim peptidil tranferase sehingga ikatan peptide tidak
terbentuk pada proses sintesis protein kuman.
C. Farmakokinetik
Kloramfenikol dapat diberikan intravena maupun per-oral. Obat ini diabsorbsi secara lengkap
pada pemberian per-oral karena sifat lipofiliknya dan didistribusikan secara meluas ke
seluruh tubuh. Obat ini dapat masuk ke dalam OSS. Obat ini menghambat fungsi
penggabungan oksidase hepatic. Ekresinya tergantung pada perubahan obat ini dalam hati
menjadi glukoronid yang kemudian diekskresi melalui tubulus ginjal. Hanya 10% dari obat
ini yang dieksresikan melalui filtrasi glomelurus.
D. Penggunaan dalam terapi
Obat ini digunakan untuk mengobati demam tifoid dan meningitis oleh H.Influenzae.
1. Demam tifoid
Untuk pengobatan demam tifoid ini dapat diberikan dosis 4 kali 500 mg sehari sampai 2
minggu bebas demam.Bila terjadi relaps, biasanya dapat diatasi dengan memberikan terapi
ulang. Untuk anak diberikan 50-100 mg/KgBB sehari dibagi dalam beberapa dosis selama 10
hari.
Setelah infeksi terjadi akan muncul satu atau beberapa gejala berikut ini:
demam tinggi dari 39 sampai 40 C (103 sampai 104 F) yang meningkat secara
perlahan
tubuh menggigil
sakit kepala
konstipasi
sakit perut
2. Meningitis Purulenta
Kloramfenikol efektif untuk mengobati meningitis purulenta yang disebabkan
olehH.Influenzae.Untuk terapi awal, obat ini masih digunakan bila obat-obat yang lebih aman
seperti seftriakson tidak tersedia. Dianjurkan pemberian kloramfenikol bersama suntikan
ampisilin sampai didapat hasil pemeriksaan kultur dan uji kepekaan, setelah itu dianjurkan
dengan pemberian obat tunggal yang sesuai dengan hasil kultur.
3. Riketosiosis
Tetrasiklin merupakan obat terpilih untuk penyakit ini. Namun karena sesuatu hal tidak dapat
diberikan, maka dapat digunakan kloramfenikol.
E. Sediaan
1. Kapsul
2. Suspensi
3. Salep mata
4. Obat tetes mata
5. Salep kulit
6. Obat tetes telinga
7. Serbuk injeksi
F. Dosis
1. Kapsul
: 125 mg /5 mL
Bayi prematur, maksimal 25 mg/KgBB sehari per oral dibagi dalam 2 dosis
Bayi aterm berumus kurang dari 2 minggu , maksimal 25mg/KgBB sehari peroral dibagi
dalam 4 dosis.
Bayi aterm berumur lebih dari 2 minggu, 50 mg/KgBB sehari peroral dibagi dalam 3-4
dosis
3. Salep mata
: 1%
: 0,5%
: 2%
:1g
Kombinasi
b. Chloramex [Dumex Alpharma Indonesia] kapsul 250 mg, 500mg, suspense 125 mg/5 mL
c.
d. Colsancetine [ sanbe] kapsul 250 mg, serbuk inj. 1g/vial, suspenssi 125 mg/5 mL
e.
f.
j.
m. Kemicetine [Carlo erba/ Dankos] kapsul 250 mg, serbuk inj. 1g/vial, suspense 125 mg/5
mL
n. Lanacetine [pertiwi agung] kapsul 250 mg
o. Paraphenicol [Prafa] kapsul 250 mg
p. Reconmycetin [Global Multi] kapsul 250 mg
q. Ribocine [Dexa Medica] kapsul 250 mg
r.
s.
t.