Anda di halaman 1dari 19

PENGGUNAAN ANTIBIOTIK KLORAMFENIKOL SEBAGAI TERAPI PENYAKIT TIFUS

( DEMAM TIFOID )
Adrianus Arinawa Yulianta ( 07 8115 041 )
1.

Pendahuluan
Demam Tifoid atau Tifus merupakan penyakit infeksi akut pada usus
halus yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Bakteri ini dapat

masuk kedalam tubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar.
Disebarkan melalui perpindahan dari manusia ke manusia terutama pada
keadaan hygiene buruk. Masa inkubasi sampai 18 hari. Sebagian bakteri
ini dapat dimusnahkan oleh asam lambung tetapi ada sebagian lagi yang
masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid dan bersarang di
jaringan tersebut, selain itu bakteri ini juga bersarang di limpa, hati dan
bagian-bagian lain system retikuloendotelial. Endotoksin atau racun
dari Salmonella typhi berperan dalam proses inflamasi lokal pada jaringan
tempat bakteri tersebut berkembang biak. Salmonella typhi dan
endotoksinnya merangsang sistesis dan pelepasan zat pirogen dan
leukosit pada jaringan yang meradangt, sehingga terjadi demam.
Gejala-gejala yang muncul bervariasi, dalam minggu pertama sama
dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, sakit kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, konstipasi atau diare,
perasaan tidak enak pada perut, batuk dan peningkatan suhu badan.
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,
bradikardi relative, lidah tifoid (kotor ditengah, tepid an ujung merah dan
tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan kesadaran
berupa samnolen sampai koma.
Penatalaksanaan
terapi
demam
tifoid, Penggunaan
antibiotik untuk menghentikan dan memusnahkan penyebaran bakteri.
Antibiotik yang dapat digunakan adalah klorafenikol ( dosis hari pertama 4
x 250 mg, hari kedua 4 x 500mg, diberikan selama demam dilanjutkan
sampai 2 hari bebas demam, kemudian dosis diturunkan menjadi 2 x
250mg selama 5 hari kemudian ), Ampisilin/Amoksisilin ( dosis 50-150
mg/kg BB, diberikan selama 2 minggu), Kotimoksazol 2 x 2 tablet ( 1 tablet
mengandung 400mg sulafametoksazol-80mg trimetropin, diberikan
selama 2 minggu ), Sefalosporin generasi II dan III biasanya demam
mereda pada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4 ( obat yang dipakai
seftriakson 4 g/hari selama 3 hari, norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14
hari, siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari, ofloksasin 600 mg/hari
selama 7 hari, pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari, fleroksasin 400
mg/hari selama 7 hari). Istirahat dan perawatan yang profesional ini
bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan.
Pasien harus istirahat total sampai minimal 7 hari bebas demam atau

kurang lebih selama 14 hari. Aktifitas dilakukan bertahap sesuai dengan


pulihnya kekuatan pasien. Selama penyembuhan harus dijaga kebersihan
badan, tempat tidur, pakaian, dan peralatan yang dipakai. Diet dan
terapi penunjang pertama pasien diberi bubur halus, kemudian bubur
kasar, dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Juga
diperlukan pemberian vitamin dan mineral yang cukup untuk mendukung
keadaan umum pasien.

B. Obat
1.

Nama generik : Klorafenikol


Nama
dagang
Indonesia
:
Combisetin
(Combiphar),
Farsycol
(Ifars), Kalmicetine
(Kalbe
Farma),
Lanacetine
(Landson)
Indikasi : Pengobatan tifus (demam tifoid) dan paratifoid, infeksi berat
karena Salmonella sp, H. influenza (terutama
meningitis), rickettzia, limfogranuloma, psitakosis,
gastroenteristis, bruselosis, disentri.
Kontraindikasi : Hipersensitif, anemia, kehamilan, menyusui, pasien
porfiria
Bentuk sediaan : Kapsul 250 mg, 500 mg, suspensi 125 mg/5 ml, sirup 125
ml/5 ml, serbuk injek. 1g/vail.
Dosis dan aturan pakai : Dewasa : 50 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi
tiap 6 jam.
Anak : 50-75 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi tiap
6 jam.
Bayi < 2 minggu : 25 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis
terbagi tiap 6 jam. Berikan dosis lebih tinggi untuk
infeksi lebih berat. Setelah umur 2 minggu bayi dapat
menerima dosis sampai 50 mg/kgBB/ hari dalam 4
dosis tiap 6 jam.
Efek samping : Kelainan darah reversible dan ireversibel seperti anemia
aplastik anemia (dapat berlanjut menjadi leukemia),
mual, muntah, diare, neuritis perifer, neuritis optic,
eritema
multiforme,
stomatitis,
glositis,
hemoglobinuria
nocturnal,
reaksi
hipersensitivitas misalnya anafalitik dan urtikaria,
sindrom grey pada bayi premature dan bayi baru
lahir, depresi sumsum tulang
Resiko khusus : Anemia aplastik : jarang terjadi, terjadi hanya 1 pada
25.000-40.000 penggunaan klorafenikol, diperkirakan
karena pengaruh genetic dan terjadi tidak secara
langsung pada saat menggunakan kloramfenikol

tetapi muncul setelah beberapa minggu atau


beberapa bulan setelah pemakaian
Gray-baby syndrome : terjadi pada bayi yang lahir premature dan pada
bayi umur < 2 minggu dengan gangguan hepar dan
ginjal. Klorafenikol terakumulasi dalam darah pada
bayi khususnya ketika pemberian dalam dosis tinggi
ini yang menyebabkan Gray-baby syndrome.

Sifat Fisiko Kimia


Sinonim kloramfenikol adalah dichloroasetamide, amphicol, anacetin, fenicol,
cloramicol, cloromycetin, Kemicetine, (Winholdz, 1983). Merupakan hablur
halus berbentuk jarum atau lempeng memanjang; putih sampai putih kelabu
atau putih kekuningan; tidak berbau; rasa sangat pahit. Larut dalam lebih
kurang
400 bagian air, dalam 2,5 bagian etanol (95%) P dan dalam 7 bagian
propilenglikol P; sukar larut dalam kloroformP dan dalam eter. Dapat menyerap
sinar Ultraviolet didalam air pada panjang gelombang 278 nm. Berkhasiat
sebagai
antibiotikum (Ditjen POM, 1979). Memiliki rumus molekul C11H12Cl2N2O5 dan
rumus bangun, seperti yang ditunjukkan pada gambar 1.

Gambar 1. Rumus Bangun Kloramfenikol (sumber: USP, 2006)

Kegunaan Umum
Kloramfenikol digunakan sebagai antibiotik bersifat bakteriostatik dan

mempunyai spektrum luas. Merupakan obat pilihan untuk pengobatan demam


tifoid akut yang disebabkan oleh salmonella sp. Kloramfenikol pada awalnya
diisolasi dari Streptomyces venezuelae yang pertama kalinya diisolasi oleh
Burkholder pada tahun 1947 dari contoh tanah yang diambil dari Venezuela,
sekarang telah dapat dibuat melalui sintesis total, yang metodenya relatif lebih
sederhana dan biayanya lebih murah. Kloramfenikol efektif terhadap riketsia
dan
konjungtivitis akut yang disebabkan oleh mikoroorganisme, termasuk
Pseudomonas sp kecuali Pseudomonas aeruginosa. Senyawa ini juga efektif
untuk pengobatan infeksi berat yang disebabkan oleh bakteri gram positif dan
gram negative (Siswandono dan Soekardjo, 1995).

Farmakokinetika
Penyerapan obat melalui saluran cerna cukup baik (75-90%), kadar plasma
tertinggi dicapai dalam 2-3 jam. Waktu paruh kloramfenikol pada orang dewasa

3 jam, sedang pada bayi di bawah 1 bulan 12-24 jam (Siswandono dan
Soekardjo,
1995).
Toksikologi
Efek samping yang ditimbulkan kloramfenikol antara lain adalah depresi
sumsum tulang belakang, yang menimbulkan kelainan darah yang serius, seperti
anemia aplastik, granulositopenia, trombositopenia. Selain itu, obat ini juga
dapat
menyebabkan gangguan saluran cerna dan reaksi hipersensitivitas. Oleh karena
itu
kloramfenikol tidak boleh digunakan untuk pengobatan infeksi yang bukan
indikasinya,seperti influenza, infeksi kerongkongan atau untuk pencegahan
infeksi
(Siswandono dan Soekardjo, 1995 ; Watimena, dkk, 1999).

Pendahuluan
Diproduksi oleh Streptomuces venezuelae.
Pertama kali diisolasi oleh David
Gottlieb dari sampel tanah di Venezuela padatahun 1947.
Diperkenalkan dalam pengobatan klinis pada tahun 1949.

Penggunaannya cepat meluas setelah diketahui obat ini efektif untuk berbagai jenis
infeksi.

Golongan Obat
Berspektrum luas.

Kloramfenikol termasuk ke dalam golongan antibiotik penghambat sintesis proteinbak


teri.

Dosis dan Aturan pakai


Dewasa: 50 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi tiap 6 jam.
Anak: 50-75 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi tiap 6 jam.
Bayi < 2 minggu: 25 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis terbagi tiap 6
jam. Setelah umur 2minggu bayi dapat menerima dosis sampai 50
mg/kgBB/ hari dalam 4 dosis tiap 6 jam.
Farmakokinetik
A. Absorbsi
Diabsorbsi secara cepat di GIT, bioavailability 75% sampai 90%.

Kloramfenikol oral : bentuk aktif dan inaktif prodrug,

Mudah berpenetrasi melewati membran luar sel bakteri.

Pada sel eukariotik menghambat sintesa protein mitokondria sehingga


menghambatperkembangan sel hewan & manusia.
Sediaan kloramfenikol untuk penggunaan parenteral (IV) adalah water-soluble.

B. Distribusi
Kloramfenikol berdifusi secara cepat dan dapat menembus plasenta.

Konsentrasi tertinggi : hati dan ginjal

Konsentrasi terendah : otak dan CSF (Cerebrospinal fluid).

Dapat juga ditemukan di pleura dan cairan ascites, saliva,


air susu, dan aqueousdan vitreous humors.
C. Metabolisme
Metabolisme : hati dan ginjal

Half-life kloramfenikol berhubungan dengan konsentrasi bilirubin.

Kloramfenikol terikat dengan plasma protein 50%; pasien sirosis dan pada bayi.
D. Eliminasi

Rute utama dari eliminasi kloramfenikol adalah pada metabolisme hepar ke inaktif
glukuronida.

Farmakodinamik
Mekanisme:menghambat sintesis protein kuman.

Masuk ke sel bakteri melalui diffusi terfasilitasi.

Mekanisme resistensi : inaktivasi obat oleh asetil trensferase yang diperantarai olehfac
tor R. Resistensi terhadap P. aeruginosa,
Proteus dan Klebsielaterjadi karenaperubahan permeabilitas membran yang mengurangi ma
suknya obat ke dalamsel bakteri

Penggunaan Klinis
1. Demam Tifoid
Dosis: 4 kali 500mg
/hari sampai 2 minggu bebas demam. Bila terjadi relaps,biasanya dapat diatasi dengan memb
erikan terapi ulang
Anak:dosis 50-100 mg/kgBB sehari dibagi dalam beberapa dosis selama 10 hari

2.Meningitis Purulenta
Kloramfenikol+ampisilin

3. Ricketsiosis
Dapat digunakan jika pengobatan dengan tetrasiklin tidak berhasil

Hal-hal yang perlu diperhatikan:


Hanya digunakan untuk infeksi yang sudah jelas penyebabnya kecuali infeksiberat.

Pemeriksaan hematologik berkala pada pemakaian lama

Keamanan pada wanita hamil dan menyusui belum diketahui dengan pasti.

Penderita dengan gangguan ginjal, bayi prematur dan bayi baru lahir (< 2 minggu).

Drugs interaction: obatobatan dimetabolisme enzim mikrosom hati sepertidikumarol, fenitoin, tolbutamid dan fenob
arbital.
Efek Samping
1. Reaksi Hematologik
Terdapat dua bentuk reaksi:
1.
Reaksi toksik dengan manifestasi depresi sumsum tulang. Berhubungan dengan dosis,
progresif dan pulih bila pengobatan dihentikan.
2.
Prognosisnya sangat buruk karena anemia
yang timbul bersifat ireversibel. Timbulnyatidak tergantung dari besarnya dosis atau lama pen
gobatan.

2. Reaksi Alergi
Kemerahan pada kulit, angioudem, urtikaria dan anafilaksis.
Kelainan yang menyerupai reaksi Herxheimer dapat terjadi pada pengobatan demamt
yphoid.

3. Reaksi Saluran Cerna


Mual, muntah, glositis, diare dan enterokolitis.

4. Syndrom Gray
Pada neonatus, terutama bayi prematur yang mendapat dosis tinggi (200 mg/kgBB).

5. Reaksi Neurologis
Depresi, bingung, delirium dan sakit kepala.
Neuritis perifer atau neuropati optikdapat juga timbul terutama setelah pengobatan lama.
6. Interaksi dengan Obat Lain
Kloramfenikol menghambat enzim sitokrom P450 irreversibel memperpanjang T
(dicumarol, phenytoin, chlorpopamide, dan tolbutamide).
Mengendapkan berbagai obat lain dari larutannya,
merupakan antagonis kerjabakterisidal penisilin dan aminoglikosida.
Phenobarbital dan rifampin mempercepat eliminasi dari kloramfenikol.

Ilmu Farmasi : Kloramfenikol, Efek, Mekanisme

kerja,

Farmakokinetik,
Farmakodinamik, khasiat, sediaan

Kloramfenikol diisolasi pertama kali pada tahun 1947 dari Streptomyces venezuelae. Karena
ternyata Kloramfenikol mempunyai daya antimikroba yang kuat maka penggunaan
Kloramfenikol meluas dengan cepat sampai pada tahun 1950 diketahui bahwa Kloramfenikol
dapat menimbulkan anemia aplastik yang fatal.
1.
Efek antimikroba
Kloramfenikol bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein kuman. Yang dihambat
adalah enzim peptidil transferase yang berperan sebagai katalisator untuk membentuk ikatanikatan peptida
pada proses sintesis protein kuman.

Efek toksis Kloramfenikol pada sel mamalia terutama terlihat pada sistem hemopoetik/darah
dan diduga berhubungan dengan mekanisme kerja Kloramfenikol.

Efek samping
a.
Reaksi hematologik
Terdapat dalam 2 bentuk yaitu;
i.
Reaksi toksik dengan manifestasi depresi sumsum tulang.
Kelainan ini berhubungan dengan dosis, menjadi sembuh dan pulih bila pengobatan
dihentikan. Reaksi ini terlihat bila kadar Kloramfenikol dalam serum melampaui 25 mcg/ml.
ii.
Bentuk yang kedua bentuknya lebih buruk karena anemia yang terjadi
bersifat menetap seperti anemia aplastik dengan pansitopenia. Timbulnya tidak tergantung
dari besarnya dosis atau lama pengobatan. Efek samping ini diduga disebabkan oleh adanya
kelainan genetik.
b.
Reaksi alergi
Kloramfenikol dapat menimbulkan kemerahan kulit, angioudem, urtikaria dan anafilaksis.
Kelainan yang menyerupai reaksi Herxheimer dapat terjadi pada pengobatan demam Tifoid
walaupun yang terakhir ini jarang dijumpai.
c.
Reaksi saluran cerna
Bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, glositis, diare dan enterokolitis.
d.
Sindrom gray
Pada bayi baru lahir, terutama bayi prematur yang mendapat dosis tinggi (200 mg/kg BB)
dapat timul sindrom Gray, biasanya antara hari ke 2 sampai hari ke 9 masa terapi, rata-rata
hari ke 4.
Mula-mula bayi muntah, tidak mau menyusui, pernafasan cepat dan tidak teratur,
perutkembung, sianosis dan diare dengan tinja berwarna hijau dan bayi tampak sakit berat.
Pada hari berikutnya tubuh bayi menjadi lemas dan berwarna keabu-abuan; terjadi
pula hipotermia (kedinginan).
e.
Reaksi neurologik
Dapat terlihat dalam bentuk depresi, bingung, delirium dan sakit kepala.
3.
Penggunaan klinik
Banyak perbedaan pendapat mengenai indikasi penggunaan kloramfenikol, tetapi sebaiknya
obat ini hanya digunakan untuk mengobati demam tifoid, salmonelosis lain dan infeksi H.
influenzae. Infeksi lain sebaiknya tidak diobati dengan kloramfenikol bila masih ada
antimikroba lain yang lebih aman dan efektif.
Kloramfenikol tidak boleh digunakan untuk bayi baru lahir, pasien dengan gangguan hati dan
pasien yang hipersensitif terhadapnya.
4.
Sediaan
a.
Kloramfenikol
Terbagi dalam bentuk sediaan :
i.
Kapsul 250 mg,
Dengan cara pakai untuk dewasa 50 mg/kg BB atau 1-2 kapsul 4 kali sehari.
Untuk infeksi berat dosis dapat ditingkatkan 2 x pada awal terapi sampai didapatkan
perbaikan klinis.
ii.
Salep mata 1 %
iii.
Obat tetes mata 0,5 %
iv.
Salep kulit 2 %
v.
Obat tetes telinga 1-5 %
Keempat sediaan di atas dipakai beberapa kali sehari.
b.
Kloramfenikol palmitat atau stearat
2.

Biasanya berupa botol berisi 60 ml suspensi (tiap 5 l mengandung Kloramfenikol palmitat


atau stearat setara dengan 125 mg kloramfenikol). Dosis ditentukan oleh dokter.
c.
Kloramfenikol natrium suksinat
Vial berisi bubuk kloramfenikol natrium suksinat setara dengan 1 g kloramfenikol yang harus
dilarutkan dulu dengan 10 ml aquades steril atau dektrose 5 % (mengandung 100 mg/ml).
d.
Tiamfenikol
Terbagi dalam bentuk sediaan :
i.
Kapsul 250 dan 500 mg.
ii.
Botol berisi pelarut 60 ml dan bubuk Ttiamfenikol 1.5 g yang setelah
dilarutkan mengandung 125 mg Tiamfenikol tiap 5 ml.
Sumber : Buku farmakologi dan Terapi, edisi 4, Bagian farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 1995.

Untuk pemilihan antibiotika Kloramfenikol dan dosis/cara pakainya yang tepat ada baiknya
anda harus periksakan diri dan konsultasi ke dokter.
Di apotik online medicastore anda dapat mencari obat Kloramfenikol dengan merk yang
berbeda secara mudah dengan mengetikkan di search engine medicastore. Sehingga anda
dapat memilih dan beli obat kloramfenikol sesuai dengan yang diresepkan dokter anda.
2.1 Asal dan Kimia
Kloramfenikol merupakan kristal putih yang sukar larut dalam air (1:400) dan rasanya sangat
pahit. Rumus molekul kloramfenikol ialah
Kloramfenikol R= -NO2
Tiamfenikol R=-CH3SO2
2.2 Farmakodinamik
Efek anti mikroba
Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Obat ini terikat pada
ribosom sub unit 50s dan menghambat enzim peptidil transferase sehingga ikatan peptida
tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman.
Kloramfenikol bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi kloramfenikol kadang-kadang
bersifat bakterisid terhadap kuman-kuman tertentu. Spektrum anti bakteri
meliputi D.pneumoniae, S. Pyogenes, S.viridans, Neisseria, Haemophillus, Bacillus spp,
Listeria, Bartonella, Brucella, P. Multocida, C.diphteria, Chlamidya, Mycoplasma,
Rickettsia, Treponema, dan kebanyakan kuman anaerob.
Resisitensi
Mekanisme resistensi terhadap kloramfenikol terjadi melalui inaktivasi obat oleh asetil
transferase yang diperantarai oleh faktor-R. Resistensi terhadap P.aeruginosa. Proteus dan
Klebsiella terjadi karena perubahan permeabilitas membran yang mengurangi masuknya obat
ke dalam sel bakteri.
Beberapa strain D. Pneumoniae, H. Influenzae, dan N. Meningitidis bersifat resisten; S.
Aureus umumnya sensitif, sedang enterobactericeae banyak yang telah resisten.
Obat ini juga efektif terhadap kebanyakan strain E.Coli, K. Pneumoniae, dan P.
Mirabilis, kebanyakan Serratia, Providencia dan Proteus rettgerii resisten, juga kebanyakan
strain P. Aeruginosa dan S. Typhi
2.3 Farmakokinetik
Setelah pemberian oral, kloramfenikol diserap dengan cepat. Kadar puncak dalam darah
tercapai hingga 2 jam dalam darah. Untuk anak biasanya diberikan dalam bentuk ester
kloramfenikol palmitat atau stearat yang rasanya tidak pahit. Bentuk ester ini akan
mengalami hidrolisis dalam usus dan membebaskan kloramfenikol.
Untuk pemberian secara parenteral diberikan kloramfenikol suksinat yang akan dihidrolisis
dalam jaringan dan membebaskan kloramfenikol.

Masa paruh eliminasinya pada orang dewasa kurang lebih 3 jam, pada bayi berumur kurang
dari 2 minggu sekitar 24 jam. Kira-kira 50% kloramfenikol dalam darah terikat dengan
albumin. Obat ini didistribusikan secara baik ke berbagai jaringan tubuh, termasuk jaringan
otak, cairan serebrospinal dan mata.
Di dalam hati kloramfenikol mengalami konjugasi, sehingga waktu paruh memanjang pada
pasien dengan gangguan faal hati. Sebagian di reduksi menjadisenyawa arilamin yang tidak
aktif lagi. Dalam waktu 24 jam, 80-90% kloramfenikol yang diberikan oral diekskresikan
melalui ginjal. Dari seluruh kloramfenikol yang diekskresi hanya 5-10% yang berbentuk
aktif. Sisanya terdapat dalam bentuk glukoronat atau hidrolisat lain yang tidak aktif. Bentuk
aktif kloramfenikol diekskresi terutama melalui filtrat glomerulus sedangkan metaboltnya
dengan sekresi tubulus.
Pada gagal ginjal, masa paruh kloramfenikol bentuk aktif tidak banyak berubah sehingga
tidak perlu pengurangan dosis. Dosis perlu dikurangi bila terdapat gangguan fungsi hepar.
Interaksi dalam dosis terapi, kloramfenikol menghambat botransformasi tolbutamid fenitoin,
dikumarol dan obat lain yang dimetabolisme oleh enzim mikrosom hepar. Dengan demikian
toksisitas obat-obat ini lebih tinggi bila diberikan berasama kloramfenikol. Interaksi obat
dengan fenobarbital dan rifampisin akan memperpendek waktu paruh kloramfenikolsehingga
kadar obat menjadi subterapeutik.
Antibakterial
Metabolism kloramfenikol ditingkatkan oleh
rifampicin (sehingga menurunkan kadar dalam
darah kloramfenikol)
Antikoagulan
Kloramfenikol meningkatkan efek antikoagulan
koumarin
Antidiabetik
Kloramfenikol meningkatakn efek sulfonilurea
Antiepilepsi
Kloramfenikol meningkatkan kadar fenitoin
dalam darah (meningkatkan risiko toksisitas);
pirimidon meningkatkan metabolism
kloramfenikol (menurunkan kadarnya dalam
darah)
Antipsokotik
Hindari penggunaan bersamaan kloramfenikol
dengan klozapin (meningkatkan risiko
agranulositosis)
Barbiturat
Barbiturat mempercepat metabolism
kloramfenikol sehingga menurunkan kadarnya
dalam darah
Siklosporin
Koramfenikol mungkin meningkatkan kadar
siklosporin dalam darah
Hidroxycobalamin
Kloramfenikol menurunkan respon terhadap
hydroxycobalamin
Estrogen
Mungkin menurunkan efek kontrasepsi estrogen
Tacrolimus
Kloramfenikol mungkin menurunkan kadar
tacrolimus dalam darah
Vaksin
Antibakterial menginaktifkan vaksin tifoid oral
2.4 Penggunaan klinik
Banyak perbedaan pendapat mengenai indikasi penggunaan kloramfenikol, tetapi sebaiknya
obat ini digunakan untuk mengobati demam tifoid dan meningitis oleh H.Infuenzae juga pada
pneumonia; abses otak; mastoiditis; riketsia; relapsing fever; gangrene; granuloma inguinale;
listeriosis; plak (plague); psitikosis; tularemia; whipple disease; septicemia; meningitis.
Infeksi lain sebaiknya tidak diobati dengan kloramfenikol bila masih ada antimikroba lain
yang masih aman dan efektif. Kloramfenikol dikontraindikasikan pada pasien neonatus,

pasien dengan gangguan faal hati, dan pasien yang hipersensitif terhadapnya. Bila terpaksa
diberikan pada neonatus, dosis jangan melebihi 25 mg/kgBB sehari.
DEMAM TIFOID
Kloramfenikol tidak lagi menjadi plihan utama untuk mengobati penyakit tersebut karena
telah tersedia oba-obat yang lebih aman seperti siprofloksasin dan seftriakson. Walaupun
demikian, pemakaiannya sebagai lini pertamamasih dapat dibenarkan bila resistensi belum
merupakan masalah.
Untuk pengobatan demam tifoid diberikan dosis 4 kali 500 mg sehari sampai 2 minggu bebas
demam. Bila terjadi relaps biasanya dapat diatasi dengan memberikan terapi ulang. Untuk
anak-anak diberikan dosis 50-100mg/kg BB/sehari dibagi dalam beberapa dosis selama 10
hari.
Untuk pengobatan tifoid ini dapat pula digunakan tiamfenikol dengan dosis 50 mg/kg
Bbsehari pada minggu pertama lalu diteruskan 1-2 minggu lagi dengan dosis separuhnya.
Suatu uji klinikdi Indonesia menunjukkan bahwa terapi kloramfenikol (4 x500 mg/hari) dan
siprofloksasin (2500 mg/hari) per oral untuk demam tifoid selama 7 hari tidak bermakna
walaupun siprofloksasin dapat membersihkan sum-sum tulang belakang dari salmonela.
Hingga sekarang belum disepakati obat apa yang paling efektif untuk mengobati status karier
demam tifoid, namun beberapa studi menunjukkan bahwa norloksasin dan siprofloksasin
mungkin bermanfaat untuk itu.
Gastroentritis akibat Salmonella sp. Tidak perlu diberi antibiotik karena tidak mempercepat
sembuhnya infeksi dan dapat memperpanjang status karier.
MENINGITIS PURULENTA
Kloramfenikol efektif untuk mengobati meningitis purulenta yang disebabkan oleh
H.Influenzae. Untuk terapi awal, obat ini masih digunakan bila obat-obat lebih aman seperti
seftriakson tidak tersedia. Dianjurkan pembaerian klramfenikol bersama suntikan ampisilin
sampai didapat hasil pemeriksaan kultur dan uji kepekaan, setelah itu dianjurkan dengan
pemberian obat tunggal yang sesuai dengan hasil kultur.
RIKETSIOSIS
Tetrasiklin merupakan obat terpilih untuk penyakit ini. Bila oleh karena suatu hal tetrasiklin
tidak dapat diberikan, maka dapat diberika kloramfenikol..
2.5 Efek samping
REAKSI HEMATOLOGIK
Terdapat dalam 2 bentuk. Yang pertama ialah reaksi toksik dengan manfestasi depresi
sumsum tulang belakang. Kelainan ini berhubungan dengan dosis, progresif dan pulih bila
pengobatan dihentikan. Kelainan darah yang terlihat anemia, retikulositopenia,
peningkatan serum iron, dan iron binding capacityserta vakuolisasi seri eritrosit muda.
Reaksi ini terlihat bila kadar kloramfenikol dalam serum melampaui 25 g/ml. Bentuk ke dua
adalah anemia aplastik dengan pansitopenia yang irreversibel dan memiliki prognosis yang
sangat buruk. Timbulnya tidak tergantung dari besarnya dosis atau lama pengobatan. Insiden
berkisar antara 1: 24000 50000. efek samping ini diduga efek idiosinkrasi dan mngkin
disebabkan oleh kelainan genetik.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa kloamfenikol yang diberikan secara parenteral jarang
menimbulkan anemia aplastik namun hal ini belum dapat dipastikan kebenarannya.
Kloramfenikol dapat menimbulkan hemolisis pada pasien defisiens enzim G6PD bentuk
mediteranean.
Hitung sel darah yang dilakukan secara berkala dapat memberi petunjuk untuk mengurangi
dosis atau menghentikan terapi. Dianjurkan untuk hitung leukosit dan hitung jenis tiap 2 hari.
Pengobatan terlalu lama atau berulang kali perlu dihindari. Timbulnya nyeri tenggorok dan
infeksi baru selama pemberian kloramfenikol menunjukkan adanya kemungkinan leukopeni.
REAKSI SALURAN CERNA

Bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, glositis, diare, dan enterokolitis


REAKSI ALERGI
Kloramfenikol dapat menimbulkan kemerahan kulit, angioudem, urtikaria dan anafilaksis.
Kelainan yang menyerupai reaksi Herxheimer dapat terjadi pada pengobatan demam Tifoid
walaupun yang terakhir ini jarang dijumpai.
SINDROM GRAY
Pada neonatus, terutama pada bayi prematur yang mendapat dosis tinggi (200mg/kg BB)
dapat timbul sindrom Gray, biasanya antara hari ke-2 sampai hari ke-9 masa terapi, rata-rata
hari ke 4. Mula-mula bayi muntah, tidak mau menyusu, pernapasan cepat dantidak teratur,
perut kembung, sianosis, dan diare dengan tinja berwarna hijau dan bayi tampak sakit berat.
Pada hari berikutnya tubuh bayi menjadi lemas dan berwarna keabu-abuan; terjadi pula
hipotermia. Angka kematian kira-kira 40%, sedangkan sisanya sembuh sempurna. Efek
toksik ini diduga disebabkan oleh; (1) sistem konjugasi oleh enzim glukoronil transferase
belum sempurna dan, (2) kloramfenikol yang tidak terkonjugasi belum dapat diekskresi
dengan baik oleh ginjal. Untuk mengurangi kemungkinan terjadimya efek samping ini maka
dosis kloramfenikol untuk bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak boleh melebihi 25
mg/kgBB sehari. Setelah umur ini dosis 50 mgKg/BB biasanya tidak menimbulkan efek
samping tersebut.
REAKSI NEUROLOGIK
Dapat terlihat dalam bentuk depresi, bingung, delirium dan sakit kepala.
Sediaan
a. Kloramfenikol
Terbagi dalam bentuk sediaan :
Kapsul 250 mg, Dengan cara pakai untuk dewasa 50 mg/kg BB atau 1-2 kapsul 4 kali
sehari.Untuk infeksi berat dosis dapat ditingkatkan 2 x pada awal terapi sampai didapatkan
perbaikan klinis.
Salep mata 1 %
Obat tetes mata 0,5 %
Salep kulit 2 %
Obat tetes telinga 1-5 %
Keempat sediaan di atas dipakai beberapa kali sehari.
Kloramfenikol palmitat atau stearat
Biasanya berupa botol berisi 60 ml suspensi (tiap 5 l mengandung Kloramfenikol palmitat
atau stearat setara dengan 125 mg kloramfenikol). Dosis ditentukan oleh dokter.
Kloramfenikol natrium suksinat
Vial berisi bubuk kloramfenikol natrium suksinat setara dengan 1 g kloramfenikol yang harus
dilarutkan dulu dengan 10 ml aquades steril atau dektrose 5 % (mengandung 100 mg/ml).
Tiamfenikol
Terbagi dalam bentuk sediaan :
Kapsul 250 dan 500 mg.
Botol berisi pelarut 60 ml dan bubuk Tiamfenikol 1.5 g yang setelah dilarutkan
mengandung 125 mg Tiamfenikol tiap 5 ml.

Mekanisme kerja kloramfenikol yaitu dengan daya kerja menghambat sintesis


protein, melekat pada subunit 50S dari ribosom. Obat ini menganggu pengikatan
asam amino baru pada rantai peptida yang sedang dibentuk, sebagian besar
karena kloramfenikol menghambatpeptidil transferase. Kloramfenikol terutama

bersifat bakteriostatik, dan pertumbuhan mikroorganisme segera berlangsung


lagi, bila pemakaian obat dihentikan. Mikroorganisme yang resisten terhadap
kloramfenikol menghasilkan enzim kloramfenikol asetiltransferase, yang
menghancurkan aktivitas obat (Jawetz et al., 1996).

Kloramfenikol merupakan penghambat kuat terhadap sintesis protein mikroba,


termasuk antibiotik bakteriostatik berspektrum luas yang aktif terhadap
organisme-organisme aerobik gram positif maupun gram negatif. Resistensi
kadar rendah dapat timbul dari populasi besar sel-sel yang rentan terhadap
kloramfenikol melalui seleksi mutan-mutan yang kurang permeabel terhadap
obat. Dosis kloramfenikol yang umum adalah 50-100mg/kg/hari, setelah
pemberian peroral, kristal kloramfemikol diabsorbsi dengan cepat dan tuntas
(Katzung, 2004).

2.2.1 Sejarah dan Definisi Kloramfenikol


Kloramfenikol adalah antibiotik yang dihasilkan oleh Streptomyces venezuelae,
oraganisme yang pertama kali diisolasi tahun 1947 dari sample tanah yang
dikumpulkan di Venezuela ( Bartz, 1948). Sewaktu struktur materi kristalin yang
relatif sederhana tersebut ditemukan antibiotik, antibiotik ini lalu dibuat secara
sinTetik. Pada akhir tahun 1947, sejumlah kecil kloramfenikol yang tersedia
digunakan untuk mengobati wabah tifus epidemik yang tiba-tiba muncul di
Bolivia, dengan hasil yang mencenangkan. Selanjutnya obat ini diujikan pada
kasus tifus scrub di semenanjung Malaka dengan hasil yang sangat baik. Pada
tahun 1948, kloramfenikol tersedia untuk pemakaian kilinis umum. Namun, pada
tahun 1950, terbukti bahwa obat ini dapat menyebabkan kasus yang serius dan
diskrasia darah yang fatal. Oleh karena itu, penggunaan obat ini hanya
dikhususkan untuk pasien yang mengalami infeksi berat, seperti meningitis,
tifus, dan demam tifoid, yang tidak dapat menggunakan alternatif lain yang lebih
aman karena terjadinya resistensi atau alergi. Obat ini juga merupakan terapi
yang efektif untuk demam bercak Rocky Mountain.
2.2.2 Mekanisme Kerja Kloramfenikol
Mekanisme kerja kloramfenikol menghambat sistesis portein pada bakteri dan
dalam jumlah terbatas, pada sel eukariot. Obat ini segera berpenetrasi ke sel
bakteri, kemungkinan melalui difusi terfasilitasi. Kloramfenikol terutama bekerja
dengan memikat subunit ribosom 50 S secara reversibel (di dekat tempat kerja
antibiotic makrlida dan klindamisin, yang dihambat secara kompetitif oleh obat

ini). Walaupun pengikatan tRNA pada bagian pengenalan kodon ini ternyata
menghalangi pengikatan ujung tRNA aminosil yang mengandung asam amino ke
tempat akseptor pada subunit ribosom 50 S. interkasi antara pepdiltranferase
dengan substrat asam aminonya tidak dapat terjadi, sehingga pembentukan
ikatan peptide terhambat.
Kloramfenikol juga dapat menghambat sistesis protein mitokondria pada sel
mamalia, kemungkinan karena ribosom mitokondria lebih menyerupai ribosom
bakteri (keduanya 70 S) dari pada ribosom sitoplasma 80 S pada sel mamalia.
Peptidiltransferase ribosom mitokondria, dan bukan ribosom sitoplasma, rentan
terhadap kerja penghambtan kloramfenikol. Sel eritropoietik mamalia tampaknya
terutama peka terhadap obat ini.

2.2.3 Fakmakokinetik
Setelah pemberian oral, kloramfenikol diserap dengan cepat. Kadar puncak
dalam darah tercapai hingga 2 jam dalam darah. Untuk anak biasanya diberikan
dalam bentuk ester kloramfenikol palmitat atau stearat yang rasanya tidak pahit.
Bentuk ester ini akan mengalami hidrolisis dalam usus dan membebaskan
kloramfenikol. Untuk pemberian secara parenteral diberikan kloramfenikol
suksinat yang akan dihidrolisis dalam jaringan dan membebaskan kloramfenikol.
Masa paruh eliminasinya pada orang dewasa kurang lebih 3 jam, pada bayi
berumur kurang dari 2 minggu sekitar 24 jam. Kira-kira 50% kloramfenikol dalam
darah terikat dengan albumin. Obat ini didistribusikan secara baik ke berbagai
jaringan tubuh, termasuk jaringan otak, cairan serebrospinal dan mata. Di dalam
hati kloramfenikol mengalami konjugasi, sehingga waktu paruh memanjang pada
pasien dengan gangguan faal hati. Sebagian di reduksi menjadisenyawa arilamin
yang tidak aktif lagi. Dalam waktu 24 jam, 80-90% kloramfenikol yang diberikan
oral diekskresikan melalui ginjal. Dari seluruh kloramfenikol yang diekskresi
hanya 5-10% yang berbentuk aktif. Sisanya terdapat dalam bentuk glukoronat
atau hidrolisat lain yang tidak aktif. Bentuk aktif kloramfenikol diekskresi
terutama melalui filtrat glomerulus sedangkan metaboltnya dengan sekresi
tubulus. Pada gagal ginjal, masa paruh kloramfenikol bentuk aktif tidak banyak
berubah sehingga tidak perlu pengurangan dosis. Dosis perlu dikurangi bila
terdapat gangguan fungsi hepar

KLORAMFENIKOL
A. Struktur kimia

Kloramfenikol : C11H12Cl2N2O5

B. Mekanisme kerja
KloramfeNikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Obat ini berikatan pada
ribosom subunit 50s dan menghambat enzim peptidil tranferase sehingga ikatan peptide tidak
terbentuk pada proses sintesis protein kuman.
C. Farmakokinetik
Kloramfenikol dapat diberikan intravena maupun per-oral. Obat ini diabsorbsi secara lengkap
pada pemberian per-oral karena sifat lipofiliknya dan didistribusikan secara meluas ke
seluruh tubuh. Obat ini dapat masuk ke dalam OSS. Obat ini menghambat fungsi
penggabungan oksidase hepatic. Ekresinya tergantung pada perubahan obat ini dalam hati
menjadi glukoronid yang kemudian diekskresi melalui tubulus ginjal. Hanya 10% dari obat
ini yang dieksresikan melalui filtrasi glomelurus.
D. Penggunaan dalam terapi
Obat ini digunakan untuk mengobati demam tifoid dan meningitis oleh H.Influenzae.

1. Demam tifoid
Untuk pengobatan demam tifoid ini dapat diberikan dosis 4 kali 500 mg sehari sampai 2
minggu bebas demam.Bila terjadi relaps, biasanya dapat diatasi dengan memberikan terapi
ulang. Untuk anak diberikan 50-100 mg/KgBB sehari dibagi dalam beberapa dosis selama 10
hari.
Setelah infeksi terjadi akan muncul satu atau beberapa gejala berikut ini:

demam tinggi dari 39 sampai 40 C (103 sampai 104 F) yang meningkat secara
perlahan

tubuh menggigil

denyut jantung lemah (bradycardia)

badan lemah ("weakness")

sakit kepala

nyeri otot myalgia

kehilangan nafsu makan

konstipasi

sakit perut

pada kasus tertentu muncul penyebaran vlek merah muda

2. Meningitis Purulenta
Kloramfenikol efektif untuk mengobati meningitis purulenta yang disebabkan
olehH.Influenzae.Untuk terapi awal, obat ini masih digunakan bila obat-obat yang lebih aman
seperti seftriakson tidak tersedia. Dianjurkan pemberian kloramfenikol bersama suntikan
ampisilin sampai didapat hasil pemeriksaan kultur dan uji kepekaan, setelah itu dianjurkan
dengan pemberian obat tunggal yang sesuai dengan hasil kultur.
3. Riketosiosis
Tetrasiklin merupakan obat terpilih untuk penyakit ini. Namun karena sesuatu hal tidak dapat
diberikan, maka dapat digunakan kloramfenikol.
E. Sediaan
1. Kapsul
2. Suspensi
3. Salep mata
4. Obat tetes mata
5. Salep kulit
6. Obat tetes telinga
7. Serbuk injeksi
F. Dosis

1. Kapsul

: 250 mg dan 500 mg

Dewasa 50mg/KgBB sehari per oral dibagi dalam 3-4 dosis


2. Suspensi

: 125 mg /5 mL

Bayi prematur, maksimal 25 mg/KgBB sehari per oral dibagi dalam 2 dosis
Bayi aterm berumus kurang dari 2 minggu , maksimal 25mg/KgBB sehari peroral dibagi
dalam 4 dosis.
Bayi aterm berumur lebih dari 2 minggu, 50 mg/KgBB sehari peroral dibagi dalam 3-4
dosis
3. Salep mata

: 1%

Dipakai beberapa kali sehari


4. Obat tetes mata

: 0,5%

Dipakai beberapa kali sehari


5. Salep kulit

: 2%

Dipakai beberapa kali sehari


6. Obat tetes telinga : 1-5%
Dipakai beberapa kali sehari
7. Serbuk injeksi

:1g

Dewasa dan anak, 50 mg/KgBB sehari intravena dibagi dalam 4 dosis


G. Efek samping
1. Reaksi Hematologik
Terdapat dalam dua bentuk. Yang pertama ialah reaksi toksik dengan manifestasi depresi
sumsum tulang. Kelainan berhubungan dengan dosis, progresif dan pulih bila pengobatan
dihentikan. Kelainan darah yang terlihat ialah anemia, retikulositopenia, peningkatan serum
iron dan iron binding capacity seta vakuolisasi seri eritroit bentuk muda. Reaksi initerlihat
bila kadar kloramfenikol dalam serum melampaui 25g/mL
Bentuk yang kedua adalah anemia aplastik dengan pansitopenia yang ireversibel dan
memiliki prognosis yang ireversibel dan memiliki prognosis sangat buruk. Timbulnya tidak
tergantung dari besarnya dosis atau lama pengobatan. Insidens berkisar antara 1:2400050000. Efek samping ini diduga merupakan reaksi idiosinkrasi dan mungkin disebabkan oleh
adanya kelainan genetic.
2. Reaksi saluran cerna

Bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, glositis, diare, dan enterokolitis.


3. Sindrom gray
Efek samping ini terjadi pada neonates bila regimen dosis kloramfenikol tidak disesuaikan
secara akurat. Neonatus mempunyai kapasitas rendah untuk mengglukuronidasi antibiotika
dan fungsi ginjalnya belum sempurna. Karena itu, kemampuannya untuk mengekskresi obat
menurun, yang menumpuk sampai tingkat yang mengganggu fungsi ribosom mitokondria.
Keadaan ini menyebabkan masuknya makanan terganggu, menekan pernapasan,
kardiovaskular kolaps, sionasis (karena itu disebut gray baby) dan kematian.
4. Interaksi
Kloramfenikol mampu menghambat fungsi penggabungan oksidase hepatik sehingga dapat
meghambat metabolism obat seperti warfann, fenitoin, tolbutamid, dan klorporamid,sehingga
meningkatkan konsentrasi dan efeknya.
H. Kontraindikasi
Wanita hamil,menyusui dan pasien porfiria
I.

Kombinasi

Dalam dosis teraupetik kloramfenikol menghambat biotransformasi tolbutamid, fenitoin,


dikumarol dan obat lain yang dimetabolisme oleh enzim mikroso hepar. Dengan demikian
toksisitas obat-obat ini lebih tinggi bila diberikan bersama kloramfenikol. Pemberian
bersama dengan fenobarbital dan rifampicin akan memperpendek waktu paruh dari
kloramfenikol sehiggga kadar obat ini dalam darah menjadi subteraupetik.
J. Nama dagang
a.

Camicetin [lucas Djaya] kapsul 250 mg, suspensi 125 mg/5 mL

b. Chloramex [Dumex Alpharma Indonesia] kapsul 250 mg, 500mg, suspense 125 mg/5 mL
c.

Colme [interbat] kapsul 250 mg, sirup 125 mg

d. Colsancetine [ sanbe] kapsul 250 mg, serbuk inj. 1g/vial, suspenssi 125 mg/5 mL
e.

Coromecytin [coronet] kapsul 250 mg

f.

Emkapeni [mudita karuna] kapsul 250 mg, suspensi 125 mg/ 5 mL

g. Etagemycetin [errata] suspensi 125 mg/5 mL


h. Fenicol [armoxindo] kapsul 250 mg, suspense 125mg/5 mL
i.

Hufamycetine [gratia husada] kapsul 250 mg

j.

Ikamicetin [ikapharmindo] kapsul 250 mg

k. Itramycetin [itrasal] kapsul 250 mg, suspense 125 mg/5 mL


l.

Kalmicetin [kalbe farma] kapsul 250 mg, suspense 125mg/5 mL

m. Kemicetine [Carlo erba/ Dankos] kapsul 250 mg, serbuk inj. 1g/vial, suspense 125 mg/5
mL
n. Lanacetine [pertiwi agung] kapsul 250 mg
o. Paraphenicol [Prafa] kapsul 250 mg
p. Reconmycetin [Global Multi] kapsul 250 mg
q. Ribocine [Dexa Medica] kapsul 250 mg
r.

Suprachlor [Meprofaram] kapsul 250 mg

s.

Uniphenicol [Universal] Suspensi 125mg/5 mL

t.

Zenichlor [Zebith] suspense 125mg/5mL

Anda mungkin juga menyukai