Anda di halaman 1dari 36

USULAN PENELITIAN

PENGARUH PENYEMPROTAN PUPUK ORGANIK CAIR


LIMBAH KULIT PISANG DAN LIMBAH AMPAS TEBU
TERHADAP LAJU PERTUMBUHAN TANAMAN CABAI
(Capsium annum longum)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk Indonesia semakin hari semakin
meningkat. Tingkat pertumbuhan penduduk yang tidak disertai
pertumbuhan wilayah akan mengakibatkan terjadinya kepadatan
peenduduk. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS),
pada tahun 1990 jumlah penduduk Indonesia adalah sebanyak
179.378.94

jiwa

sementara

pada

tahun

2014

jumlahnya

mencapai 251.160.124 jiwa dan menduduki peringkat ke 4


jumlah penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk suatu
wilayah dengan kepadatan yang tinggi akan menghasilkan
volume sampah yang besar pula.
Berbagai

aktifitas

yang

dilakukan

manusia

untuk

memenuhi kesejahteraan hidupnya dengan memproduksi barang


dan sumber daya alam ( SDA ), disamping akan menghasilkan
barang yang dikunsumsi, proses produksi tersebut menghasilkan
bahan buangan yaitu sampah yang berbentuk padat, yang tidak
dibutuhkan oleh manusia. Semakin hari jumlah sampah yang
dihasilkan semakin bertambah banyak sebagai akibat dari
1

kegiatan

kegiatan

di

rumah

tangga,

pasar,

pertanian,

peternakan, perkantoran, rumah penginapan, rumah makan,


industri atau aktifitas manusia lainya. Data dari Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH) menyebutkan bahwa jumlah sampah
rata-rata yang dihasilkan setiap daerah di Indonesia mencapai
300 ton setiap harinya. Sampah yang semakin lama semakin
menumpuk dapat menimbulkan masalah estetika, pencemaran
lingkungan dan kesehatan masyarakat. Pembuangan sampah
yang tidak memenuhi syarat dapat menjadi tempat berkembang
biak vektor pembawa penyakit misalnya serangga. Dampak lain
yang timbul dari adanya sampah adalah sumber pengotoran air,
tanah maupun udara serta tempat hidup kuman kuman yang
membahayakan

kesehatan.

Gangguan

kesehatan

yang

ditimbulkan akibat adanya tumpukan sampah antara lain :


penyakit malaria, sakit perut, DHF, kaki gajah, penyakit pes.
Berdasarkan hasil survey pendahuluan pada tanggal 27
November 2106 di Dusun yang dilakukan pada 5 penjual jajanan
pisang goreng, jenis pisang yang digunakan untuk pembuatan
pisang goreng adalah pisang kepok, limbah kulit pisang yang
dihasilkan 2 kg per harinya dibuang di dan kadang dibuang di
tanpa ada pengolahan lebih lanjut dari penjualnya. Hal ini
menimbulkan penc, vektor, dan menimbulkan bau busuk serta
mengganggu estetika. Tetapi ada sebagian masyarakat yang
memiliki ternak dan mengambil limbah kulit pisang tersebut
untuk pakan ternak mereka.
Selain itu, di wilayah Maduksimo terdapat satu Pabrik Gula
Pasir Madukismo. Setiap musim giling, pabrik gula pasir selalu
mengeluarkan limbah yang berbentuk cairan, padat dan gas.
Limbah cair meliputi cairan bekas analisa di laboratorium dan
luberan bahan olah yang tidak disengaja. Limbah padat meliputi
2

ampas tebu, debu hasil pembakaran ampas di ketel, padatan


bekas analisa laboratorium, blotong dan tetes. Limbah gas
meliputi gas cerobong ketel dan gas SO2 dari cerobong reaktor
pemurnian cara sulfitasi. Limbah pabrik gula tersebut perlu
ditangani dengan seksama dan serius agar tidak mencemari
lingkungan.
Berdasarkan data dari Pusat Penelitian Perkebunan Gula
Indonesia (P3GI) ampas tebu yang dihasilkan sebanyak 32% dari
berat tebu giling.

Pada musim giling 2006 lalu, data yang

diperoleh dari Ikatan Ahli Gula Indonesia (IKAGI) menunjukkan


bahwa jumlah tebu yang digiling oleh 57 pabrik gula di Indonesia
mencapai sekitar 30 juta ton (Anonim, 2007), sehingga ampas
tebu yang dihasilkan diperkirakan mencapai 9.640.000 ton.
Namun, sebanyak 60% dari ampas tebu tersebut dimanfaatkan
oleh pabrik gula sebagai bahan bakar, bahan baku untuk kertas,
bahan baku industri kanvas rem, industri jamur dan lain-lain.
Oleh karena itu diperkirakan sebanyak 40 % dari ampas tebu
tersebut belum dimanfaatkan ( Husein, 2007 ). Ampas tebu juga
dapat dikatakan sebagai produk pendamping, karena ampas tebu
sebagian besar dipakai langsung oleh pabrik gula sebagai bahan
bakar ketel untuk memproduksi energi keperluan proses, dan
sisanya dibiarkan di lahan pabrik sehingga dapat menyebabkan
polusi udara, pandangan dan bau yang tidak sedap di sekitar
pabrik gula. Ampas tebu mengandung air, gula, serat dan
mikroba, sehingga bila ditumpuk akan mengalami fermentasi
yang menghasilkan panas. Selama ini di Pabrik Gula Madukismo,
sebagian ampas tebu dibiarkan begitu saja di lahan tebu dan
tidak termanfaatkan tanpa pengelolaan lebih lanjut sehingga
akan menimbulkan gangguan lingkungan dan bau yang tidak
sedap. Selain itu tumpukan ampas tebu jika tidak dimanfaatkan

semakin lama semakin menggunung sehingga mengganggu


estetika disektiar pabrik.
Banyaknya limbah kulit pisang yang dihasilkan 1-2 kg
kilogram setiap harinya di Dusun tanpa ada nilai ekonomisnya
dan kulit pisang yang dibiarkan begitu saja harus mendapat
perhatian

karena

dapat

menimbulkan

dampak

negatif.

Berdasarkan hasil analisis pada pupuk organik padat kulit buah


pisang mengandung 15 % kalium dan 12 % fosfor lebih banyak daripada daging
buah. Keberadaan Kalium dan Fosfor yang cukup tinggi dapat dimanfaatkan
sebagai pengganti pupuk. Pupuk kulit buah pisang adalah sumber potensial pupuk
potasium dengan kadar K2O 46-57% basis kering. Selain mengandung Fosfor dan
Potasium, kulit pisang juga mengandung unsur Magnesium, Sulfur, dan Sodium
(Lembah Pinus, 2010). Serta Kulit pisang mengandung vitamin C, vitamin B,
kalsium, protein, dan juga lemak yang cukup . Hasil analisis kimia menunjukkan
bahwa komposisi kulit pisang banyak mengandung air yaitu 68,90% dan
karbohidrat sebesar 18,50% (Leyla, 2008). Keberadaan senyawa tersebut
dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik yang sangat baik
bagi pertumbuhan tanaman.
Ampas tebu mengandung air 48 52 %, gula rata-rata 3.3
%, serat rata rata 47.7 %, selulosa 37.65 %, lignin 22.09 % dan
sari 1.81 % ( Husein, 2007 ). Ampas tebu memiliki kadar bahan
organik sekitar 90% kandungan N 0.3 % P2O5 0.02 % K2O 0.14
% Ca 0.06 % dan Mg 0.04 % ( Toharisman, 1991 ). Kandungan
unsur hara yang terkandung didalam limbah ampas tebu
tersebut dibutuhkan oleh tanaman cabai untuk pertumbuhan.
Salah satu cara yang dapat digunakan yaitu dengan cara
mengolah sampah tersebut untuk dibuat pupuk organik cair.
Disamping

akan

mengurangi

jumlah

sampah

yang

ada,

pemanfaatan sampah untuk dijadikan pupuk organik cair dapat

bernilai ekonomis. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk


memanfaatkan kulit pisang dan ampas tebu menjadi pupuk
organik cair terhadap laju pertumbuhan tanaman cabai (Capsium
annum longum) yang sekarang sedang mengalami kenaikan
harga jual yang cukup tinggi.
Nilai komersial tanaman cabai (Capsium annum longum)
yang

cenderung

semakin

meningkat saat

ini

memberikan

motivasi bagi peneliti untuk melakukan eksperimen tentang


pengaruh penyemprotan pupuk organik cair limbah kulit pisang
dan limbah ampas tebu tehadap laju pertumbuhan tanaman
cabai. Cabai menempati urutan pertama dianatara komuditas
sayuran utama lainya, kemudian diikuti bawang-bawangan,
mentimun,

kubis, tomat, dan ketang.

Seluruh

masyarakat

mengenal rasa cabai yang pedas dan mampu menggugah selera.


Kebutuhan akan cabai sebagai pelengkap bumbu masak seharihari hampir tidak dapat dihindari oleh konsumen rumah tangga
maupun penjual makanan. Umumnya cabai digunakan sebagai
bumbu masakan, sambal, atau produk olahan cabai lainya.
Demikian juga dengan semakin pesatnya pertumbuhan industri
akhir-akhir ini juga cenderung meningkat kebutuhan akan cabai
didalam negeri. Untuk meningkatkan hasil cabai, tidak hanya
dengan

menambahkan

produk

anorganik,

tetapi

juga

menggunakan pupuk organik agar dapat memperbaiki sifat fisik,


kimia, dan biologi tanah.
Berdasarkan hal tersebut, pada limbah kulit pisamg dan
limbah ampas tebu mengandung unsur organik yang dibutuhkan
tanaman cabai untuk laju pertumbuhan. Budidaya tanaman cabai
yang menggunakan pupuk organik cair diharapkan dapat dapat
memperbaiki sifat fisik, biologi, dan kimiawi tanah. Serta mampu
menjaga kesehatan manusia yang memakanya. Sehingga penulis
5

ingin melakukan penelitian mengenai pengaruh penyemprotan


pupuk organik cair limbah kulit pisang dan limbah ampas tebu
terhadap laju pertumbuhan tanaman cabai (Capsium annum
longum).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut : Apakah ada pengaruh penyemprotan
pupuk organik cair limbah kulit pisang dan limbah ampas tebu
terhadap laju pertumbuhan tanaman cabai (Capsium annum
longum)?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui besarnya pengaruh penyemprotan pupuk organik
cair limbah kulit pisang dan limbah ampas tebu terhadap laju
pertumbuhan tanaman cabai (Capsium annum longum).
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui dosis pupuk organik cair limbah kulit pisang
dan limbah ampas tebu untuk pertumbuhan tanaman
cabai.
b. Mengetahui

laju

pertumbuhan

tanaman

cabai

(cm)

setelah penyemprotan pupuk organik cair limbah kulit


pisang dan limbah ampas tebu.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Ilmu Pengetahuan
Menambah

ilmu

pengetahuan

khususnya

tentang

upaya

penyemprotan pupuk organik cair limbah kulit pisang dan limbah


ampas tebu terhadap laju pertumbuhan tanaman cabai (Capsium
annum longum).
2. Bagi Masyarakat

Dapat dijadikan alternatif dalam memanfaatkan pengaruh limbah


kulit pisang dan limbah ampas tebu untuk membuat pupuk
organik cair, sehingga tidak mencemari lingkungan.

3. Bagi Peneliti
Peneliti

mampu

mengembangkan

dan

menerapkan

ilmu

pengetahuan tentang pengelolaan sampah dan pengetahuan


dibidang kesehatan lingkungan khususnya dibidang pemanfaatan
sampah organik menjadi pupuk organik cair secara tepat guna.

E. Ruang Lingkup
1. Lingkup Keilmuan
Peneltian ini termasuk

dalam

lingkup

ilmu

Kesehatan

Lingkungan khususnya bidang studi Penyehatan Tanah dan


Pengelolaan Sampah Padat.
2. Materi Penelitian
Materi peneltian ini tentang pengaruh penyemprotan pupuk
organik cair limbah kulit pisang dan limbah ampas tebu
terhadap laju pertumbuhan tanaman cabai (Capsium annum
longum).
3. Obyek Penelitian
Obyek peneltian ini adalah laju pertumbuhan tanaman cabai
(Capsium annum longum).
4. Lokasi Penelitian
1. Sampah sisa kulit pisang diambil di Dusun
2. Limbah ampas tebu diambil dari Pabrik Gula Madukismo
3. Tempat pembuatan kompos dan penelitian di Jl.Godean km
4,5 Rt.03 Rw.01 Kajor, Gamping, Sleman.
5. Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Mei Juni 2017.
F. Keaslian Penelitian

Penelitian ini belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Adapun


peneltian ini mengenai pengaruh penyemprotan pupuk organik
cair limbah kulit pisang dan limbah ampas tebu terhadap laju
pertumbuhan

tanaman

cabai

(Capsium

annum

longum).

Penelitian sejenis yang pernah dilakukan adalah peneltian yang


dilakukan oleh :
1. KTI milik Venny Dewi Wulandari 2008 yang membuat pupuk
organik cair limbah industri tahu dan jeroan ikan untuk
tanaman sawi.
2. Jurnal milik Fadma Juwita Nasution, Lisa Mawarni, Meiriani
yaitu aplikasi pupuk organik padat dan cair dari kulit pisang
kepok untuk pertumbuhan dan produksi sawi
Perbedaan penelitian yang saya lakukan dengan penelitian
yang terdahulu Venny Dewi Wulandari 2008 yang membuat
pupuk organik cair limbah industri tahu dan jeroan ikan untuk
tanaman sawi dan Fadma Juwita Nasution, Lisa Mawarni, Meiriani
yaitu aplikasi pupuk organik padat dan cair dari kulit pisang
kepok

untuk

pertumbuhan

dan

produksi

sawi

adalah

menggunakan limbah ampas tebu dan jenis tanaman cabai .

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori
1. Pengertian Sampah
Pengertian sampah menurut para ahli yaitu :
a. Menurut Kamus Lingkungan ( 1994 )
Sampah adalah bahan yang tidak mempunyai nilai atau
tidak berharga untuk digunakan secara biasa atau
khusus dalamproduksi atau pemakaian, barang rusak
atau

cacat

selama

manufaktur

atau

materi

berkelebihan atau buangan.


b. Istilah Lingkungan untuk Manajemen, Ecolink ( 1996 )
Sampah adalah suatu bahan yan terbuang atau
dibuang dari sumber aktifitas manusia maupun proses
alam yang belum memiliki nilai ekonomis.
c. Basriyanta
Sampah adalah barang yang dianggap sudah tidak
terpakai

dan

dibuang

oleh

pemiliknya/pemakai

sebelumnya, tetapi masih bisa diapaki kalu dikelola


dengan benar.
Pengertian sampah dalam ilmu kesehatan lingkungan
adalah sebagian dari benda atau hal-hal yang dipandang
tidak digunakan, tidak disenangi atau dibuang sedemikian
rupa sehingga tidak mengganggu kelingkungan hidup
karena sebagiaman sudah dikemukakan oleh WHO (1972)
9

bahwa masalah sampah merupakan salah satu dari ruang


lingkup perhatian ilmu kesehatan lingkungan.
1. Jenis jenis sampah
Jenis sampah yang ada di sekitar kita cukup beraneka
ragam. Ada yang berupa sampah rumah tangga,
sampah industri, sampah pasar, sampah rumah sakit,
sampah

pertanian,

perternakan,

sampah

sampah

perkebunan,sampah

institusi/kantor/sekolah

dan

sebagainya.
Berdasarkan asalnya, sampah padat dapat digolongkan
menjadi 2 yaitu (Basruyanta, 2007) :
a. Sampah Organik
Sampah Organik adalah merupakan barang
yang dianggap sudah tidak terpakai dan dibuang
oleh pemilik/pemakai sebelumnya, tetapi masih bisa
dipakai kalau dikelola dengan prosedur yang benar.
Organik adalah proses yang kokoh dan relatif cepat.
Sampah

organik

adalah

sampah

mengalami pelapukan (dekomposisi)

yang
dan

bisa
terurai

menjadi bahan yang lebih kecil dan tidak berbau


(sering disebut dengan kompos).Kompos merupakan
hasil pelapukan bahan-bahan organik seperti daundaunan, jerami, alang-alang, sampah, rumput, dan
bahan lain yang sejenis yang proses pelapukannya
dipercepat oleh bantuan manusia. Sampah pasar
khusus seperti pasar sayur mayur, pasar buah, atau
pasar ikan, jenisnya relatif seragam, sebagian besar
(95%) berupa sampah organik sehingga lebih mudah
ditangani. Sampah yang berasal dari pemukiman
umumnya sangat beragam, tetapi secara umum

10

minimal 75% terdiri dari sampah organik dan sisanya


anorganik.
Jenis jenis sampah organik
Sampah organik berasal dari makhluk hidup, baik
manusia,

hewan,

maupun

tumbuhan,

Sampah

organik sendiri dibagi menjadi :


1. Sampah organik basah
Istilah sampah organik basah dimaksudkan sampah
mempunyai kandungan air

yang cukup tinggi.

Contohnya kulit buah dan sisa sayuran.


2. Sampah organik kering
Sampah organik kering adalah bahan organik lain
yang

kandungan

airnya

kecil.

Contoh

sampah

organik kering di antaranya kertas, kayu atau


ranting pohon, dan dedaunan kering.
Jenis sampah organik yang bisa diolah menjadi
kompos itu adalah :
a. sampah sayur baru
b. sisa sayur basi, tapi ini harus dicuci dulu, peras,
lalu buang airnya
c. sisa nasi
d. sisa ikan, ayam, kulit telur
e. sampah buah (nanas, kulit pisang, anggur, kulit
jeruk, apel dll). Dalam keadaan terpotong-potong dan
tidak termasuk kulit buah yang keras seperti kulit
salak.
b. Sampah Anorganik
Sampah Anorganik adalah sampah yang dihasilkan
dari bahan bahan non hayati, baik berupa produk
sintetik maupun hasil proses teknologi pengolahan
bahan
menjadi

tambang.
sampah

Sampah
logam

anorganik

dan

produk

dibedakan

produk

11

olahanya, sampah plastik, sampah kertas, sampah


kaca dan kramik, sampah detergen. Sebagian besar
sampah anorganik tidak dapat diurai oleh alam
mikroorganisme

secara

keseluruhan

(unbiodegradable). Sementara sebagian lainya hanya


dapat diuraikan dalam waktu yang lama. Sampah
jenis ini pada tingkat rumah tangga misalnya botol
plastik,

botol

gelas,

tas

plastik

dan

kaleng.

Sebaiknya, sampah anorganik seperti botol, plastik,


dan kaleng sebelum dibuang ke TPA dipilih lebih
dahulu.

Sampah

jenis

ini

masih

mungkin

dimanfaatkan atau didaur ulang.


2. Kompos dan Pengomposan
a. Pengertian Kompos
Menurut Murbandono (2005) kompos adalah bahanbahan organik (sampah organik) yang telah mengalami
proses

pelapukan

mikroorganisme

karena

(bakteri

adanya

interaksi

pembusuk)

yang

antara
bekerja

didalamnya. Bahan bahan organik yang dimaksud


adalah dedaunan, rumput, jerami, sisa ranting, sisa
buah, dahan, kulit buah, rerontokan kembang, dll.
b. Proses Pengomposan
Memahami dengan baik proses pengomposan
sangat penting untuk dapat membuat kompos dengan
kualitas

baik.

Proses

pengomposan

akan

segera

berlangsung setelah bahan-bahan mentah dicampur.


Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi
menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap
pematangan. Selama tahap tahap awal proses, oksigen
dan senyawasenyawa yang mudah terdegradasi akan
segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu
12

tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat.


Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH
kompos. Suhu akan meningkat hingga di atas 50 70C.
Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikroba
yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba Termofilik,
yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat ini
terjadi dekomposisi/penguraian bahan organik yang
sangat aktif. Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan
menggunakan

oksigen

akan

menguraikan

bahan

organik menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah


sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan
berangsurangsur mengalami penurunan. Pada saat ini
terjadi

pematangan

kompos

tingkat

lanjut,

yaitu

pembentukan komplek liat humus. Selama proses


pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun
biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30
40% dari volume/bobot awal bahan.
Proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik
(menggunakan oksigen) atau anaerobik (tidak ada
oksigen). Proses yang dijelaskan sebelumnya adalah
proses aerobik, dimana mikroba menggunakan oksigen
dalam

proses

dekomposisi

bahan

organik.

Proses

dekomposisi dapat juga terjadi tanpa menggunakan


oksigen yang disebut proses anaerobik. Namun, proses
ini tidak diinginkan selama proses pengomposan karena
akan dihasilkan bau yang tidak sedap. Proses aerobik
akan menghasilkan senyawa-senyawa yang berbau
tidak sedap, seperti: asam-asam organik (asam asetat,
asam butirat, asam valerat, puttrecine), amonia, dan
H2S.

13

Proses pengomposan tergantung pada :


1. Karakteristik bahan yang dikomposkan
2. Aktivator pengomposan yang dipergunakan
3. Metode pengomposan yang dilakukan
3. Karakteristik Bahan Baku Kompos
Prinsip dasar dari pengomposan adalah mencampur
bahan organik kering yang kaya karbohidrat dengan bahan
organik basah yang banyak mengandung N. Pnecampuran
kotoran ternak dan krbo kering seperti sebuk gergaji atau
jerami ternyata dapat menghasilkan kompos yang berguna
untuk memperbaiki struktur tanah ( Willyan Djaja. 2008 ).
Bahan baku kompos harus memiliki karakteristik
yang khas agar dapat dibuat kompos. Idelanya bahan baku
kompos dipilih dan dicampur dalam proporsi tepat untuk
menghasilkan kompos yang berkualitas ( Willyan Djaja,
2008 ).
Kandungan air dan oksigen pada abahan baku
kompos merupakan hal yang sangat penting. Pasalnya,
suasana lembab dan adanya cukup udara membantu
pertumbuhan mikroba. Selanjutnya, karakteristik bahan
baku yang harus diperhatikan adalah C/N ratio. C/N ratio
adalah perbandingan jumlah karbon ( C ) dengan N dalam
suatu bahan ( Willyan Djaja, 2008 ).
Tabel 1. Persyaratan karakteristik bahan baku yang
sesuai untuk proses pengomposan
Karakteristik

Rentangan

bahan
Baik

Ideal

C/N ratio

20 : 1 40 : 1

25 : 1 30 : 1

Kadar air

40 65 %

50 60 %

Konsentrasi

>5%

5%

Oksigen

14

Ukuran

partikel 1/8

(inci)
pH

Bervariasi

5,5 9

6,5 8,5

Densitas (kg/m )

<0.7887

Temperatur (C)

43 65,5

54 60

Sumber : Rynk,dkk. ( 1992 )


Umumnya, bahan baku yang mengandung karbon
kering sangat baik untuk dijadikan kompos. Namun bahan
baku ini harus dicampur dengan bahan lain yang memiliki
nilai dibawah 20, sebaiknya C digunakan sepenuhnya
tanpa penstabilan N. Sebab jika N berlebih akan terjadi
penguapan yang menghasilkan amonia atau nitrogen
oksida. Intinya jika nilai C/N ratio lebih tinggi dari 40 : 1
waktu pengomposan menjadi lebih lama ( Willyan Djaja.
2008 ).
4. Aktivitas Mikroba Selama Pengomposan
Tiga hal penting yang menyebabkan terjadinya
pengomposan yaitu zat hara, mikroba, dan keadaan
lingkungan hidup mikroba. Pada dasarnya, mikroba bekerja
memanfaatkan zat hara bahan baku kompos di lingkungan
yang sesuai untuknya. Mikroba memegang peranan utama
dalam pengomposan, walaupun cacing dan serangga ikut
berperan setalah temperatur menurun. Umumnya tidak
ada spesies mikroba yang mendominasi, karena keadaan
dan materi berbeda dan selalu berubah. Namun, kelompok
utama

yang

berperan

dalm

proses

pengomposan

adalahbakteri, jamur dan aktinomisetes yang mempunyai


spesies mesofilik dan termofilik ( Willyan Dajaj, 2008 )
1) Bakteri

15

Bakteri adalah organisne sederhana dan kecil yang


sering

disebut

juga

dengan

tumbuhan

berklorofil.

Bentuknya bermacam macam, ada yang berbentuk


batang, elips, bulat, dan spiral. Ukuranya berkisar 0,5
20 mikron. Karena ukuranya yang kecil, bakteri hanya
dapat dilihat melalu mikroskop. Besar kecilnya bakteri
tergantung pada keadaan medium dan umur bakteri.
Bakteri tumbuh sebagai sel tunggal, berganda, dan
bergandengan dalam bentuk rantai atau koloni. Dalam
pengomposan,

jumlah

dibandingkan

dengan

bakteri
kelompok

paling

banyak

mikroba

lainya.

Pasalnya bakteri mampu mengubah bahan baju kompos


lebih cepat dibandingkan dengan mikroba lainya.
Bakteri cenderung tumbuh subur, terutama saat awal
pengomposan dilakukan. Sel bakteri terdiri dari dinding,
sitoplasma, dan

inti.

Dinding

bakteri

terbagi

lagi

menjadi lapisan lendir, dinding sel, dan membrane


sitoplasma. Lapisan lendir menyelimuti bagian luar
bakteri dan berfungsi sebagai atal pertahan diri.
Lendir bakteri mengandung karbohidrat dab unsur
seperti N dan P. Dinding selnya sangat tipis serta
mengandung

substansi

hemiselulosa,

dan

membungkus

kimia

khitin.

sitoplasma

seperti

Membran

yang

selulosa,
sitoplasma

merupakan

isi

sel,

selurunya berasal dari protein, karbohidrat, lemak, dan


mineral. Inti bakteri tidak mempunyai membran, tetapi
terdiri dari DNA.
Bakteri bergerak menggunakan helai seperti cambuk
yang disebut flagelum atau flagel. Bagian bagian

16

tubuh mikroba lainya yaitu mitokondria, khloropas,


mikrotubul, aparat golgi, dari mikrofilamen. Berikut ini
masing masing fungsinya :
a) Mitokondria berfungsi menghasilkan energi pada
proses metabolisme.
b) Khloropas berguna untuk membentuk energi dalam
proses fotosintesis karena mengandung khlorofil.
c) Vakuola merupakan tempat berkumpulnya senyawa
yang deiperlukan dalm proses metabolisme.
d) Mikrotubul dan mikrofilamen bertugas memberi
bentuk kepada sel.
Bakteri mutlak membutuhkan bahan organil. Bahan
organik ini digunakan untuk pertumbuhan dan
perkembangbiakanya. Bakteri memperbanyak diri
dengan cara membelah biner. Artinya satu sel
bakteri bisa membelah diri menjadi dua, dua
menjadi

empat,

empat

menjadi

delapan

dan

seterusnya, yang kesuamnya mengikuti rumus 2n.


Maksud n disini adalah nilai angka pembelahan.
Setelah membelah masing masing sel baru
tersebut

akan

tumbuh

dan

membesar.

Waktu

pembelahan yang dibutuhkan tergantung pada jenis


bakteri,

karen

setiap

jenis

bakteri

mempunyai

kemampuan membelah diri yang berbeda. Untuk


penyebaranya, bakteri dibantu oleh angin, hujan,
dan air.
2) Aktinomisetes
Aktinomisetes
aktinomisit.

sering
Umumnya,

disebut

juga

aktinomisetes

dengan
akan

berkembang membentuk filament seperti jamur. Ukuran


kecil dan struktur selnya yang rumit menyebabkan
aktinomisetes dikelompokan menjadi bakteri. Seperti

17

jamur,

aktinomisetes

umumnya

bersifat

aerob.

Aktinomisetes cenderung terlihat tumbuh lebih jelas


setelah senyawa kimia dipecah habis dan kelembaban
menjadi rendah. Pada dasarnya, mikroba ini tahan
terhadap asam.
Sel aktinomisetes

berbentuk

memanjang

yang

disebut dengan miselium. Mula mula sel ini tidak


bersekat, tetapi akhirnya bersekat setelah membelah
diri.

Pada

tegakan

bagian
konidia.

hifa,

aktinomisetes

Konidia

adalah

membentuk
alat

untuk

mengembangbiakan diri secara vegetatif. Sementara itu


hifa adalah kumpulan beberapa miselium. Biasanya
aktinomisetes

hidup

berkelompok.

Kelompok

aktinomisetes cukup besar sehingga dapat dilihat


dengan

mata

secara

langsung.

Aktinomisetes

berkembang biak dengan cara membelah diri. Tubuh


aktinomisetes ada yang berpigmen dan ada yang tidak
berpigmen, tetapi umumnya mempunyai flagella. Sama
halnya dengan bakteri, aktinomisetes membutuhkan
angin, hujan dan air untuk penyebaranya.
3) Jamur
Jamur merupakan organisme yang lebih besar.
Ukuran tubuhnya bervariasi, dari yang berukuran kecil
sampai yang berbentuk besar. Namun, setiap spesies
jamur mempunyai bentuk yang spesifik. Jamur tdiak
mempunyai klorofil. Tubuh jamur terdiri dari helaian
panjang

yang

disebut

miselium.

Miselium

jamur

umumnya bersekat-sekat. Miselium masuk kedalam


media tumbuhnya untuk mengambil zat hara yang
diperlukan bagi tumbuhan dan perkembangbiakkanya.
Sel

individu

jamur

bersatu

membentuk

kelompok
18

berbentuk helaian atau filamen. Dinding sel jamur kaku.


Jamur mampu bertahan dalam keadaan asam atau pH
rendah, tetapi kurang tahan terhadap tempat yang
memiliki sedikit oksigen.
Jamur berkembang biak secara vegetatif dan
generatif. Jamur mampu memperbanyak diri melalui
tunas, spora, dan membelah diri. Namun, jamur juga
mampu berproduksi dengan membentuk spora dan
melebur inti dari dua induk. Jadi, spora ini ada yang
aseksual dan ada pula yang seksual. Angin biasanya
membantu penyebaran jamur ketempat lain dengan
membawa spora jamur.
Namum, spesies jamur yang berkaitan dengan
pengomposan dapat menyebabkan reaksi alergi pada
orang-orang
komplikasi.

tertentu.
Contoh

Bahkan

jamur

bisa

tersebut

mengakibatkan
antara

lain

Aspergillus fumigatus dan Aspergillus niger. Karena itu


kesehatan dan keselamatan kerja yang baik perlu
diterapkan.
5. Faktor faktor yang mempengaruhi pengomposan
Pada dasarnya, proses pengomposan dipengaruhi oleh
tujuan faktor sebagai berikut ( Willyan Djaja, 2008 ) :
a) Oksigen dan Aerasi
Umunya mikroba dapat mengkonsumsi oksigen.
Selama periode awal proses pengomposan bahan yang
mudah dipecah dapat dapat diurai dengan capat.
Karena

itu

dibutuhkan

banyak

oksigen

dalam

prosesnya. Aerasi dapat dilakukan dengan memasok


kembali oksigen kedalam timbunan bahan kompos.
b) C/N Ratio

19

Kandungan C atau N ratio berlebih kadang kadang


mempengaruhi proses pengomposan. Sebab, mikroba
menggunakan

sedangkan

dan

untuk
P

energi
penting

dan

pertumbuhan,

untuk

protein

dan

reproduksi. Selain itu, mikroba juga menggunakan K


dalam proses metabolisme yang berfungsi sebagai
katalisator. Organisme biologis membutuhkan C 25 kali
lebih banyak daripada N.
c) Kandungan Air
Kandungan air penting untuk menunjang proses
metabolik mikroba. Sebaiknya bahan baku kompos
mengandung

40-65%

air.

Apabila

dibawah

40%,

aktivitas mikroba berjalan lambat. Namun, jika di atas


65% udara terdorong keluar dan terjadilah keadaan
anaerobik.
d) Porositas, Struktur, Tekstur dan Ukuran Partikel
Porositos berkaitan dengan ukuran ruang udara
bahan baku kompos. Struktur mencakup kekrasan
partikel.

Tekstur

berkaitan

dengan

ketersediaan

permukaan untuk aktivitas mikroba.


e) pH bahan baku
pH bahan baku kompos diharapkan berkisar 6,5 - 8
f) Temperatur
Pengomposan terjadi pada temperatur mesofilik 1040C

dan

termofilik

diatas

40C.

Pengomposan

diharapkan berlangsung pada temperatur 43 - 65 C.


g) Waktu
Waktu pengomposan bergantung pada temperatur,
kelembabn, frekuensi aerasi, dan kebutuhan konsumen.

20

C/N

ratio

dan

frekuensi

aerasi

adalah

cara

memperpendek periode pengomposan.


Kendala pengomposan yaitu kuran waktu terjadinya
kompos, sehingga hal ini perlu adanya campuran bahan
organik lain yang dapat mempercepat pengomposan
tersebut. Penggunaan pemacu atau inokulan tertentu
akan mempercepat waktu pengomposan. Pengomposan
tergantung pada CO2, phospat, sulfat. Gugus amino
dan berbagai garam yang lain. Dilihat dari kandungan
mikrobiologinya kompos tergantung dengan suplay
nitrogen

yang

sebagian

besar

terkandung

dalam

mikrobiloginya

sampah

bakteri

karena

menyerap

nitrogen sebagai energi untuk melakukan dekomposisi


bahan oganik.
6. Pupuk organik cair
Pupuk organik cair umumnya dikembangkan dari
hasil ekstrak bahan organik yang sudah dilarutkan dengan
pelarut air, alkohol, minyak, asam, ataupun basa. Senyawa
organik ini biasanya mengandung karbon, vitamin, atau
metabolit

sekunder yang dapat berasal dari ekstrak

tanaman,

tepung

ikan,

tepung

tulang,

atau

enzim

(Musnamar, 2006). Ekstraksi adalah proses pemisahan satu


atau lebih komponen dari suatu campuran homogen
menggunakan pelarut cair (solvent) sebagai separating
agent. Proses ekstraksi sangat tergantung pada jenis zat
pengekstrak. Ekstrak bahan organik yang dijadikan pupuk
cair, dalam pengaplikasiannya akan lebih praktis karena
selain diberikan melalui akar, pemupukan dapat pula
dilakukan melalui daun. Ekstraksi bahan organik tersebut
akan menghasilkan ekstrak yang fungsinya tidak akan
mengurangi manfaat dari bahan organik tersebut. Ekstrak

21

hasil dari proses ekstraksi mengandung sejumlah unsur


hara bagi tanaman dan senyawa humat yang berpengaruh
terhadap pertumbuhan tanaman karena ekstrak dapat
langsung diaplikasikan ke tanaman dengan cara disemprot
atau dijadikan sebagai pupuk organik cair (Nugroho,
Yusnaini, dan Juanda, 1996).
Ekstrak bahan organik yang dijadikan pupuk organik
cair, di dalam pengaplikasiannya akan lebih praktis, karena
selain diberikan melalui akar ekstrak juga dapat diberikan
melalui daun (foliar), hal ini sesuai dengan pernyataan
Lingga (1999) dan Hakim dkk.,(1986) yang menyatakan
bahwa bukan hanya akar yang dapat mengabsorpsi unsur
hara tetapi bagian tanaman lainnya seperti batang dan
daun juga dapat mengabsorpsi unsur hara yang diberikan.
7. Biostater Pengomposan
Pada proses pengomposan secara alami memerlukan
waktu yang cukup lama mencapai 3-4 bulan. Untuk dapat
membuat

komposa

dalam

waktu

yang

lebih

cepat

diperlukan adanya inokulan atau biostater yang berfungsi


sebagai pemacu perkembangbiakan organisme pengurai.
Banyaknya pemberian biostater kedalam aktivator Efektif
Mikroorganisme (EM4) sebanyak 10 ml/liter dari kemasan
atau botol yang beredar (Sudradjad, 2007).
Macam macam biostater yang sering digunakan :
a. Fix Up Plus
Pengertian fix-up berupa pupuk cair yang merupakan
senyawa organik yang diolah lewat proses bioteknologi
yang

dikembangkan

oleh

Timothy

Soeharyo

dari

Semarang, Jawa Tengah (Murbandono, 2004). Bahan


makanan bakteri dari hormon alamiah itu diperoleh dar
kompos yang difermentasikan dengan bakteri khusus.
Setelah proses fermentasi berhenti ditandai dengan
tidak adanya gelembung diatas cairan/larutan tersebut

22

kemudian diekstrak dan didiamkan beberapa waktu


agar

stabil,

substansi

hasil

ekstrak

humid.

yang

Hasil

diperoleh

ekstrak

berupa

kemudian

dikemas.dimasukan kedalam botol liter dan 1 liter


( Yovita, 2001 )
Substansi ini mengandung makanan dan hormon yang
diperlukan

oleh

bakteri

untuk

beraktivitas

dan

berkembang biak. Aktivitas bakteri dalam menguraikan


bahan organik menjadi kompos dan humus di alam
bebas membutuhkan waktu agak lama sekitar 6 bulan.
Oleh karena itu bakteri pengurai limbah yang telah ada
dialam perlu diaktifkan dengan penambahan fix-up plus
sehingga bakteri yang ada semakin aktif dan akan
cepat berkembangbiak. Dengan tambahan bahan ini
proses pengomposan dapat berlangsung 2-3 minggu.
b. Efektif Mikroorganisme (EM4)
Pengertian kultur campuran mikrorganisme yang
menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. EM-4 itu
campuran mikroorganisme yang mengandung bakteri
fotosintetik,

actinomycetes,

streptomycetes,

(yeast) dan lactobacillus (Yovita,2001)


Larutan
EM-4
maksudnya
adalah

ragi

efektifitas

mikroorganisme yang telah dilarutkan dengan aur


sampai 4 kali dari larutan induk EM-4 larutan ini
ditemukan oleh Prof.Dr.teruo Higa dari Universitas
Ryukyus, Jepang.
8. Buah Nanas
Nanas merupakan tanaman semak buah berupa
semak yang memiliki nama ilmiah Ananas comosus.
Memiliki nama daerah danas ( Sunda ) dan neneh
( Sumatra ). Di Indonesia pada mulanya hanya sebagai
tanaman pekarangan dan meluas di kebun lahan kering

23

( tegalan ) di seluruh wilayah nusantara. Tanaman ini kini


dipelihara di daerah tropik dan subtropik.
Klasifikasi tanaman nanas adalah :
Kingdom

: Plantae ( tumbuh tumbuhan )

Divisi

: Spermatophyta ( tumbuhan berbiji )

Kelas

: Angiospermae ( berbiji tertutup )

Ordo

: Farinosae

Genus
Spesies

: Ananas
: Ananas Comossus

9. Tanaman Tebu
Tanaman tebu merupakan famili Gramineae (keluarga
rumput) dengan nama latin Saccharum officinarum yang
sudah dibudidayakan sejak lama di daerah asalanya di
Asia. Di daerah Jawa barat disebut Tiwu, di daerha Jawa
Timur disebut Tebu atau Rosan (Syakir dan Indrawanto,
2010)
Adapun sistematika ilmiah tanaman tebu menurut Syakir
dan Indrawanto (2010) sebagai berikut.
Divisi

: Spermatophyta

Subdivisi

: Angiospermae

Kelas

: Monocotyledone

Ordo

: Graminales

Famili

: Graminae

Genus

: Saccharum

Species

: Saccarum officinaru

24

10.

Pupuk organik cair Kulit pisang dan Ampas Tebu

Sebagai Biostater Pengomposan


Menurut Wijana, dkk (1991) dalam Emma Hairani
Harahap (2014) kulit pisang mengandung 81,72 % air,
20,87 % serat kasar, 17,53 % karbohidrat, 4,41 % protein,
0,02 % lemak, 0,48 % abu, 1,66 % serat basah, dan 13,65
% gula reduksi. Selain itu buah nanas juga mengandung
asam chlorogen yaitu antioksidan kemudian cytine yang
berguna untuk pembentukan kulit dan rambut, lalu zat
asam amino esensial yang dibutuhkan oleh tubuh untuk
mempercepat pertumbuhan dan memperbaiki jaringan
otot. Pada limbah kulit pisang diduga terdapat senyawa
alkaloid, yaitu sebuah golongan senyawa basa bernitrogen
yang kebanyakan heterosiklik dan terdapat di tetumbuhan.
Hampir

seluruh

alkaloid

berasal

dari

tumbuhan

dan

tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan. Secara


organoleptik, daun-daunan yang berasa sepat dan pahit,
biasanya teridentifikasi mengandung alkaloid. Selain daundaunan, senyawa alkaloid dapat ditemukan pada akar, biji,
ranting, dan kulit kayu. Fungsi alkaloid sendiri dalam
tumbuhan

sejauh

ini

belum

diketahui

secara

pasti,

beberapa ahli pernah mengungkapkan bahwa alkaloid


diperkirakan sebagai pelindung tumbuhan dari serangan
hama dan penyakit, pengatur tumbuh, atau sebagai basa
mineral

untuk

mempertahankan

keseimbangan

ion

(Mustikawati, 2006).
Ampas tebu mengandung air 48 52 %, gula ratarata 3.3 %, serat rata rata 47.7 %, selulosa 37.65 %,
lignin 22.09 % dan sari 1.81 % ( Husein, 2007). Ampas tebu
memiliki kadar bahan organik sekitar 90% kandungan N 0.3
% P2O5 0.02 % K2O 0.14 % Ca 0.06 % dan Mg 0.04 %

25

(Toharisman,

1991).

Dalam

artikel

yang

diterbitkan

Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian


Bogor menyebutkan bahwa kompos dari ampas tebu dapat
meningkatkan

penyerapan

Nitrogen

secara

signifikan

setelah tiga bulan pengaplikasikan dibandingkan dengan


yang tanpa kompos. Mengingat kandungan karbohidrat dan
gula pada kulit pisang dan amaps tebu yang cukup tinggi
tersebut maka kulit pisang dan ampas tebu memungkinkan
untuk

dimanfaatkan

sebagai

bahan

baku

biostater pupuk organik cair kulit pisang

pembuatan

melalui proses

pengomposan dan ekstraksi untuk mengambil senyawasenyawa yang terdapat dalam kulit pisang dan ampas tebu
tersebut. Senyawa-senyawa tersebut diduga merupakan
kelompok senyawa humat dan senyawa lainnya, yang
diduga dapat berperan sebagai zat perangsang tumbuh
(ZPT) tanaman, seperti kelompok giberelin, sitokinin, dan
auksin.
B. Kerangka Konsep

Sampah Organik Rumah


Tangga
Biostater
Proses

Lama Waktu

Pupuk
organik cair
Kulit pisang
dan Ampas

Kompos

26

Alur kerangka konsep :


Sampah organik rumah tangga bisa dimanfaatkan menjadi
kompos lama waktu pengomposan 3 - 4 bulan tanpa
ditambah

biostater

pada

penelitian

ini

sampah

organik

ditambahkan biostater pupuk organik cair kulit pisang dan


ampas tebu lama waktu pengomposan sampah organik akan
lebih cepat.
C. Hipotesis
Penambahan pupuk organik cair kulit pisang dan ampas
tebu mempercepat lama waktu terbentuknya pengomposan
sampah organik.

27

Perlakuan

Post test

Xa

OA

Xb

OB

Xc

OC

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian

ini

adalah

eksperiment

dengan

menggunakan desain Post test only group desain ( Prof. Dr.


Soekidjo Notoatmojo, 2005 )
B. Desain Penelitian
Adapun rancangan desain sebagai berikut :
Kelompok Eksperimen A
Kelompok Eksperimen B
Kelompok Eksperimen C

Keterangan :
Xa

: Penambahan biostater pupuk organik cair kulit

pisang dan ampas tebu dosis 250ml/kg


Xb

: Penambahan biostater pupuk organik cair kulit

pisang dan ampas tebu dosis 300ml/kg


Xc

: Penambahan biostater pupuk organik cair kulit

pisang dan ampas tebu dosis 350ml/kg

28

OA

Lama

waktu

terbentuknya

kompos

dengan

penambahan biostater pupuk organik cair kulit pisang dan


ampas tebu dosis 250ml/kg

OB

Lama

waktu

terbentuknya

kompos

tanpa

penambahan biostater pupuk organik cair kulit pisang dan


ampas tebu dosis 300ml/kg
OC

Lama

waktu

terbentuknya

kompos

tanpa

penambahan biostater pupuk organik cair kulit pisang dan


ampas tebu dosis 350ml/kg
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah sampah organik
(basah/kering) di Dusun Kajor Banyuraden Gamping
Sleman Yogyakarta.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah sampah organik
(basah/kering) dari rumah tangga yang diambil dengan
metode integrated sampling yaitu pengambilan dari
beberapa rumah tangga kemudian dikumpulkan jadi
satu dan disortir terlebih dahulu serta ditimbang dengan
berat yang sama, sampah yang diambil sebanyak 9 kg
dengan rincian 1 kg yang digunakan untuk 3 kali
pengulangan.
D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
1. Variabel bebas
Penambahan pupuk organik cair kulit pisang sebagai
biostater pada pembuatan kompos.
Definisi Operasional :
Penggunaan pupuk organik cair sebanyak 1 inokulan
dicampur 10 liter air

untuk disiramkan pada sampah


29

organik untuk disiramkan pada sampah organik (1 kg)


yang telah dimasukan kedalam kantong plastik/polybag
dengan pengulangan sebanyak 3 kali.
Skala
: Ratio
Satuan : ml/kg
2. Variabel terikat
Definisi Operasional :
Lama waktu yang diperlukan dari proses pengomposan
hingga terbentuknya kompos, sesuai dengan kriteria
kompos yang sudah jadi.
Skala
: Ratio
3. Variabel pengganggu
a. Jenis Sampah
Jenis sampah akan mempengaruhi waktu terjadinya
kompos

sehingga

untuk

pengendalianya

setiap

perlakuan jenis sampahnya sama yaitu sampah


organik
b. Pengadukan
Pengadukan terhadap timbunan bahan kompos akan
mempengaruhi waktu terjadinya kompos sehingga
pengendalianya

adalah

melakukan

pengadukan

setiap seminggu sekali agar semua bagian kompos


mendapatkan suplai udara.
c. Ukuran Sampah
Ukuran sampah sangat
fermentasi.

Ukuran

berpengaruh

yang

besar

terhadap

akan

sulit

terdekomposisi sebaliknya ukuran yang lebih halus


dapat mengurangi asupan oksigen yang dibutuhkan
pada saat proses pengomposan. Hal ini

dapat

dikendalikan dengan cara melakukan pencacahan


terhadap sampah organik dengan ketentuan antara
1-5 cm.

30

A. Skema Hubungan Antar Variabel


Variabel Bebas :

Variabel Terikat :

Penambahan pupuk
organik cair kulit
pisang dan ampas
tebu

Lama waktu
terbentuknya kompos

Variabel Pengganggu
:
a. Jenis sampah
b. Pengadukan
c. Ukuran
sampah
B. Instrumen Penelitian
Alat dan Bahan
1. Alat
a. Sekop
b. Pisau besar
c. Pipa PVC
d. Polybag/plastik hitam
e. Gergaji
f. Meteran
g. Pipet ukur
h. Soil meter
i. Termometer
j. Timbangan
k. Ember
l. Alat tulis
m. Botol bekas air mineral 1,5 L
2. Bahan
a. Sampah organik

31

b.
c.
d.
e.
f.

Kulit pisang
Ampas tebu
Gula Pasir
Kapur tohor untuk menetralkan pH
Air biasa

G. Tahap Penelitian
1. Tahap Persiapan
a. Persiapan lokasi penelitian
Membuat tempat peneduh untuk pembutan kompos.
Hal

ini

dimaksudkan

untuk

menghindari

sinar

matahari secara langsung.


b. Menyiapkan alat dan bahan pengomposan
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
1) Menyiapkan bahan untuk membuat pupuk organik
cair kulit pisang :
a) Memotong kecil-kecil kulit pisang dan ampas
tebu ( atau lebih baik di blender )
b) Menambahkan gula pasir 1 sdm

masukan

kedalam botol ukuran 1,5 L


c) Mengocok air dan gula supaya larut
d) Memasukan potongan kecil-kecil (blender) kulit
pisang dan ampas tebu tadi kedalam campuran
air dan gula, dan menambahkan air sampai
batas leher dari botol tersebut.
e) Menutup botol dengan rapat kurang lebih 7-10
hari, membuka botol setiap hari lalu ditutup
kembali

untuk

mengeluarkan

gas

yang

terbentuk.
2) Persiapan peralatan pembuatan kompos
3) Mengumpulkan sampah organik sebanyak 9 kg
kemudian dipotong-potong dengan ukuran 1-5 cm.
4) Menyiapkan bahan sejumlah 3 kelompok dengan
perincian sebagai berikut :
Adapun kelompok perlakuan adalah penambahan
pupuk organik cair kulit pisang dan ampas tebu
dengan dosis yang berbeda yaitu 250 ml, 300 ml,

32

dan 350 ml dalam 1 kg sampah organik dengan 3


pengulangan.
5) Memasukan sampah organik yang telah ditimbang
untuk

masing-masing

kelompok

ke

dalam

polybag/plastik hitam
6) Semprotkan pupuk organik cair kulit pisang dan
ampas tebu pada kelompok perlakuan secukupnya
7) Masing

masing
kelompok
ditaburi
tipis
kapur/gamping sampai rata keseluruh permukaan
sampah. Masukan pipa yang telah diberi lubang
pada

dinding

pipa

kedalam

polybag/plastik

mencapai bagian dasarnya. Selanjutnya polybag


diikat dengan tali beserta pipa yang menonjol keluar
sehingga ada asupan oksigen dari luar.
8) Dalam
kondisi
aerob
proses
pengomposan
berlangsung cepat sehingga suhu meningkat, atur
suhu antara 40 50 C. Untuk mempertahankan
suhu

maka

setiap

seminggu

sekali

diaduk

(pembalikan) sehingga tidak terlalu panas dan tidak


berbau.
9) Untuk mengetahui perubahan temperatur setiap
hari sekali dilakukan pengukuran temperatur, pH,
dan

kelembababn.

Pengukuran

temperatur

dilakukan dengan cara memasukan termometer


kedalam

campuran

hingga

ujung

termometer

mencapai kedalaman dari campuran sampah


organik.
10)
Selama 2 menit, setelah itu dicabut dan segera
dibaca hasilnya. Sedangkan untuk mengatur pH dan
kelembaban,

soil

meter

dimasukan

dalam

plybag/plastik hitam selama 2 menit, setelah itu


dibaca hasilnya.

33

11)

Kompos

dinyatakan

telah

jadi

apabila

volumenya menyusut menjadi sepertiga bagian dari


volume awal, tidak berbau busuk, bagian sampah
rumah tangga tidak tampak lagi, dan berbentuk
butiran-butiran kecilseperti tanah, dan berwarna
kecoklatan.
H. Teknik Pengumpulan Data
Data

yang

terkumpul

berdasarkan

pengamatan

berupa suhu, kelembaban, pH, bau dan warna kompos


sebagai data pendukung. Sebagai data pentingnya adalah
lama

waktu

terbentuknya

kompos.

Dalam

teknik

pengumpulan data, langkah langkah yang dilakukan


adalah :
1. Untuk minggu pertama dan minggu kedua, pengukuran
volume, suhu, bentuk, pH, warna dan bau dilakukan 1
kali dalam 1 minggu tetapi untuk hari ke 15 dan
seterusnya pengukuran dilakukan setiap hari.
2. Kompos yang sudah jadi apabila volumenya menyusut
menjadi sepertiga bagian dari volume awal, tidak
berbau busuk, bagian dan berbentuk butiran-butiran
kecil seperti tanah, dan berwarna kecoklatan, yang
kemudian dianalisa.
Untuk menentukan waktu terbentuknya kompos, maka
digunakan beberapa parameter sebagai berikut :
1) Volume
Alat ukur
Kriteria
2) Bentuk
Alat ukur
Kriteria
3) Warna

: Meteran
: Sekitar sepertiga volume awal
: Indra Penglihatan
: Berbentuk butiran kecil

34

Alat ukur
Kriteria
4) Bau
Alat ukur
Kriteria
5) pH
Alat ukur
Kriteria
6) Suhu
Alat ukur
Kriteria

: Indra Penglihatan
: Hitam kecoklatan
: Indra Penciuman
: Berbau tanah
: pH soil meter
: pH 6,5 7,5
: Termohigrometer
: Suhu stabil pada 27 C 30 C

I. Analisis Data
Data dianalisis secara deskriptif dan dilanjutkan
dengan uji statistik Independent Sample Test, dengan
program SPSS 16.0 for windows dan derajat kepercayaan
95% ( =0.05) dengan hipotesis penelitian sebagai berikut
:
Ho : Tidak ada perbedaan bermakna anatara lama waktu
terbentuknya pengomposan terhadap penamabahan pupuk
organik cair kulit pisang
H

Ada

perbedaan

bermakna

antara

lama

waktu

terbentuknya pengomposan terhadap penambahan pupuk


organik cair kulit pisang dan ampas tebu
Apabila < 0,05 maka Ho ditolak dan H diterima
Apabila > 0,05 maka Ho diterima dan H ditolak

35

J. Dummy Tabel

No

Ulangan

Lama Waktu Terbentuknya Kompos

250 ml/kg
... hari

300 ml/kg
... hari

350 ml/kg
... hari

... hari

... hari

... hari

... hari

... hari

... hari

Jumlah

... hari

... hari

... hari

Rata-rata

... hari

... hari

... hari

36

Anda mungkin juga menyukai