Anda di halaman 1dari 21

KARYA ILMIAH

PENGEMBANGAN BAHAN EDIBLE COATING


ALAMI UNTUK KOMODITAS HORTIKULTURA

Oleh :
Aminudin
Nawangwulan Widyastuti

SEKOLAH TINGGI PENYULUHAN PERTANIAN BOGOR


BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN

2014

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Produk hortikultura setelah dipanen masih tetap hidup dan
meneruskan proses metabolisme.

Usaha untuk memperpanjang masa

simpan dilakukan dengan meminimumkan proses metabolik seperti


menekan

laju

respirasi

melalui

pengaturan

kondisi

lingkungan

penyimpanan, pengemasan, perlakuan fisik terhadap produk seperti


pelapisan lilin. Laju respirasi produk hortikultura selain dipengaruhi oleh
suhu lingkungan juga dipengaruhi oleh kondisi fisik produk tersebut.
Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi laju respirasi
adalah berasal dari faktor internal produk seperti: susunan kimia jaringan,
ukuran produk, kulit penutup alamiah dan tipe/jenis jaringan; dari faktor
eksternal

produk

seperti:

suhu

lingkungan,

gas

oksigen,

gas

karbondioksida, zat pengatur tumbuh dan kerusakan fisik/mekanis selama


penanganan. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap laju respirasi
produk tersebut mempunyai pengaruh terhadap umur simpan produk.
Konsekuensinya adalah apabila tidak dikendalikan dengan baik, maka
produk akan cepat rusak dan umur simpannya akan lebih singkat.
Penelitian tentang edible coating dewasa ini menjadi topik yang
menarik dan terus dikembangkan dengan beraneka bahan pembuatnya.
Edible coating dapat dibuat dari beberapa sumber antara lain bahan
kulit/cangkang molusca seperti kepiting, dan udang yang disebut dengan

kitosan sampai bahan tumbuh-tumbuhan seperti pati, dan protein.


Prinsipnya, edible coating dan edible film dapat dibuat dari bahan-bahan
dari jenis hidrokoloid (hydrocoloid), lemak (lipid) atau gabungan keduanya
(Saltveit,

2006).

Bahan-bahan

pembuat

Edible

coating

tersebut

memerlukan perlakuan yang rumit dan sulit diaplikasikan secara cepat


terutama oleh petani yang mengharapkan serba cepat dan sederhana
karena ketersediaannya atau pemenuhan bahannya juga harus terlebih
dahulu diproses dan diambil dari bagian bahan lainnya yang sangat sulit
dan rumit.
B. Rumusan Masalah
Buah dan sayuran sebenarnya terlapisi lilin alamiah sejak di pohon,
namun setelah dipanen perlahan-lahan lapisan lilin alaminya memudar
bahkan hilang akibat pencucian atau perlakukan pascapanen lainnya
seperti transportasi atau pengemasan. Padahal lapisan alami tersebut
sesungguhnya merupakan adaptasi alamiah buah atau sayuran dalam
mengurangi laju respirasi serta kontaminasi mikroba. Berdasarkan hal
demikian, melalui penelitian ini akan dicobakan pembuatan bahan pelapis
(coater) pengganti lilin alami yang hilang tersebut. Pelapisan lilin ini
diharapkan mudah dibuat dan diaplikasikan sehingga diharapkan dapat
diterapkan oleh petani.
C. Tujuan
Penelitian ini bertujuan mencoba mengembangkan bahan edible
coating dari tanaman, yang aman dan mudah dibuat, yaitu dari ekstrak

daun lidah buaya, ekstrak daun randu dan ekstrak daun cincau. Untuk
kemudian dicobakan pada buah atau sayuran sebagai treatment pelilinan,
sehingga diharapkan penggunaan edible coating yang dikombinasikan
dengan penyimpanan dengan suhu rendah pada buah-buahan ataupun
sayur-sayuran dapat menjadi solusi untuk memperpanjang umur simpan
karena sifat edible coating yang dapat berfungsi sebagai penahan (barrier)
laju transpirasi; dengan demikian kesegarannya dapat dipertahankan lebih
lama.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat hasil penelitian ini adalah diperolehnya sumber bahan
pembuat edible coating yang aman, mudah diperoleh dan mudah
diaplikasikan, dapat mempertahankan mutu serta mampu meningkatkan
umur simpan komoditas hortikultura.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan tujuan di atas, ruang lingkup
penelitian ini mencakup:
1. Analisis bahan dasar pembuat edible coating dari ekstrak daun lidah
buaya, ekstrak daun randu dan ekstrak daun cincau sebagai pengganti
lapisan lilin alami buah atau sayuran yang hilang akibat perlakuan
pascapanen.
2. Membandingkan efektivitas ketiga bahan ekstrak edible coating
terhadap mutu dan umur simpan mentimun.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Edible Coating
Edible coating atau edible film adalah suatu lapisan tipis yang
dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk melapisi makanan
(coating) atau diletakkan diantara komponen makanan (film) yang
berfungsi sebagai penghalang terhadap perpindahan massa (kelembaban,
oksigen, cahaya, lipid, zat terlarut) atau sebagai pembawa aditif serta
untuk meningkatkan penanganan suatu produk pangan (Krochta, 1994).
Penggunaan edible coating dewasa ini dapat sebagai pendekatan inovatif
untuk memperpanjang masa simpan buah-buahan dan sayuran (Moldao,
et al., 2003 dalam Miskiyah, dkk., 2011). Pelapisan lilin dapat dilakukan
dengan cara pembusaan, penyemprotan, pencelupan, atau pengolesan
pada produk (Krochta, et al.,1994 dan Pardede, 2009).
Edible coating menyediakan barrier semi-permeabel terhadap gas
(O2, CO2) uap air dan pergerakan larutan. Karena bersifat barrier, edibel
coating dapat memperlambat transfer gas, uap air dan senyawa volatil,
kemudian

memodifikasi

komposisi

atmosfer

sehingga

mengurangi

respirasi, penuaan, mengurangi kehilangan aroma, mempertahankan uap


air dan menunda perubahan warna selama penyimpanan. Keuntungan
lain dari penggunaan pelapis edible coating adalah sifatnya alami dan non
toksis (tidak beracun) serta dapat dimakan (edible) bersama produknya

sehingga tidak meninggalkan limbah seperti pengemas sintesis (Krochta,


et al., 1994).
B. Komponen Bahan Edible Coating
Komponen edibel coating dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu
hidrokoloid, lipid dan komponen campurannya. Hidrokoloid yang cocok
diantaranya adalah protein, derivat selulosa, alginat, pektin, pati dan
polisakaridanya. Lipid yang cocok adalah lilin, asilgliserol dan asam lemak.
Pelapis campuran dapat berbentuk bi-layer, dimana lapisan yang satu
hidrokoloid bercampur dalam lapisan hidrofobik (Donhowe dan Fennema,
1994).
C. Edible Coating Kimia
Edible coating dari bahan kimia tersedia di pasar atau toko kimia
dalam bentuk emulsi lilin. Tersedia juga dalam bentuk komponenkomponen terpisah yang dalam pembuatan nantinya perlu diramu atau
diracik sesuai dengan kebutuhan. Formulasi emulsi lilin dengan komposisi
lilin 6%, hormon 10 ppm dan pestisida 1000 ppm untuk pelilinan manggis.
Formulasi

pelilinan

dikombinasikan

gelatin

dengan

14%

dan

penyimpanan

0,9%
pada

asam
suhu

sitrat
10 oC,

yang
dapat

mempertahankan kesegaran tomat sampai 35 hari penyimpanan (Rudito,


2010).
Pelapisan salak dengan campuran chitosan konsentrasi 0,5%,
asam asetat glasial 1% kemudian disimpan pada suhu 150C dapat
mempertahankan kesegaran buah salak dan mampu menekan kerusakan

fisik maupun kimia (Rachmawati, 2010). Pemberian lapisan beeswax 12%


yang dicampur dengan oleat acid dan trietanolamina pada strawberi dapat
mempertahankan warna sampai 4 hari penyimpanan suhu ruang
dibandingkan dengan tanpa perlakuan (Pardede, 2009).
D. Edible Coating Lidah Buaya, Daun Cincau dan Daun Randu
Gel lidah buaya yang diperoleh dari hasil penyayatan atau
ekstraksi bagian dagingnya mengandung senyawa-senyawa antara lain
karbohidrat berupa cellulose dan lipid berupa triglicerides dimana
komponen dari zat-zat tersebut diyakini berperan di dalam melapisi bagian
jaringan. Senyawa bioaktif lainnya yang terkandung di dalam gel lidah
buaya adalah glukomannan dan saponin yang dapat berperan sebagai
antimikroba

dan

mampu

menyembuhkan

luka

pada

jaringan

tanaman/buah (Kismaryanti, 2007).


Cincau hitam merupakan bahan pangan berbentuk gel yang
dihasilkan dari ekstrak tanaman cincau hitam (Mesona palustris BL) dan
termasuk dalam suku Labiatae. Menurut Pitojo dan Zumiyati (2005) dalam
Rachmawati,

dkk

(2010),

sebagian

besar

masyarakat

telah

memanfaatkan cincau terutama cincau hijau sebagai dessert food.


Komponen penyusun cincau adalah karbohidrat polifenol, saponin, dan
lemak; tidak ketinggalan kalsium, fosfor, vitamin A dan B (Kurnia, 2007
dalam Rachmawati, dkk., 2010), dan polisakarida pektin yang bermetoksi
rendah

(Artha, 2007

dalam Rachmawati,

2009). Pektin

tersebut

merupakan kelompok hidrokoloid pembentuk gel yang apabila diserut

tipis-tipis mempunyai sifat amat rekat terhadap cetakan dan tembus


pandang, sehingga berpotensi untuk dibuat sebagai edible film.
Pohon randu atau kapok (C. pentandra) adalah pohon yang
banyak tumbuh di daerah dataran rendah sampai 400 mdpl serta
habitatnya dapat di kebun, di tepi jalan, atau di tempat lain yang berhawa
panas (Heyne, 1987 dalam Marchaban, dkk., 2012. Tumbuhan randu
mengandung polifenol, saponin, damar yang pahit, hidrat arang pada
daunnya, dan minyak dalam bijinya (Hardiati, 1986 dalam Marchaban,
dkk., 2012). Daun randu telah lama dikenal dalam bidang pengobatan,
yaitu minyak dari biji randu untuk obat kudis dan membantu pertumbuhan
rambut. Saponin diketahui dapat meningkatkan aliran darah kapiler
(Heyne, 1987; Perry, 1980 dalam Marchaban, dkk., 2012).
Senyawa saponin yang dikandung oleh daun randu dapat pula
berperan sebagai zat antimikroba karena dapat menimbulkan reaksi
saponifikasi. Reaksi ini menyebabkan kerusakan struktur lemak membran
bakteri sehingga dinding sel bakteri akan ruptur dan lisis kemudian mati
(Marchaban, 2012 dan Rachmawati, 2010).

BAB III. METODOLOGI


A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan selama 5 bulan dari tanggal 1 Agustus s.d. 30
Desember 2013 di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Sekolah
Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) Bogor.
B. Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah blender,
thermometer, hand refraktometer, universal pH paper, timbangan digital,
lemari pendingin, baki, gelas ukur, pisau, saringan dan kipas angin.
Bahan-bahan yang digunakan adalah mentimun, lidah buaya, daun
cincau, daun randu, dan aquades.
C. Rancangan Penelitian
Penelitian disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL)
faktorial dengan 3 faktor perlakuan, yaitu bahan edible coating (ekstrak
daun randu, daun cincau dan lidah buaya), perlakuan suhu penyimpanan
(suhu ruang dan suhu rendah) dan konsentrasi pelilinan (0%, 50%, dan
100%). Prosedur penelitiannya sebagai berikut:
1. Pembuatan edible coating
Daging lidah buaya dipotong kecil-kecil, kemudian diblender
beberapa menit hingga halus kemudian disaring hingga diperoleh ekstrak
halus cairan lidah buaya. Ekstrak halus lidah buaya ini disebut ekstrak
konsentrasi 100%. Untuk membuat konsentrasi 50% caranya dengan
menambahkan 1 liter aquades ke dalam ekstrak konsentrasi 100%. Untuk

pembuatan edible coating ekstrak daun randu yaitu dipilih daun randu
yang seragam kemudian dicampur dengan satu bagian aquades atau (1
kg daun randu : 1 liter aquades). Campuran daun randu dan aquades
diremas-remas dengan jari tangan sampai membentuk gel kemudian
disaring. Gel hasil penyaringan disebut ekstrak konsentrasi 100%. Untuk
membuat ekstrak daun randu konsentrasi 50%, caranya adalah dengan
menuangkan aquades 500 ml ke dalam ekstrak daun randu konsentrasi
100%. Pembuatan edible coating daun cincau sama dengan pembuatan
edible coating daun randu.
2. Aplikasi Pelilinan (coating)
Aplikasi pelilinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pelilinan dengan cara pencelupan sampel mentimun ke dalam ekstrak
ketiga bahan tersebut. Kemudian ditempatkan di atas wadah berlubang
(anyaman bambu). Agar cepat kering, sampel diberikan tiupan angin dari
kipas. Selanjutnya disimpan sesuai dengan perlakuan.
D. Populasi dan Sampel
Sampel yang dijadikan sebagai bahan yang dililin adalah
mentimun segar. Sebelum dililin, mentimun terlebih dahulu dipilih yang
seragam dan tidak cacat; kemudian dicuci bersih dan ditiriskan. Jumlah
mentimun yang dijadikan sampel sebanyak 108 buah.
E. Instrumen Penelitian
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah kadar total
padatan terlarut (TPT), derajat keasaman (pH), susut bobot dan

penampilan fisik sampel berupa tingkat kekerasan, perubahan warna dan


kebusukan/kerusakan.
Tingkat perubahan karakteristik mutu/kualitas sampel yang
diamati menggunakan skoring 1 - 5, untuk memudahkan analisis data
secara statistik. Pengamatan juga dilakukan secara deskriptif terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi selama masa penyimpanan mengacu
pada Utama (2009). Skor (nilai) level (tingkat) kekerasan yang dinilai yaitu:
sangat keras (5), keras (4), sedikit lembut (3), lembut (2) dan sangat
lembut (1); skor penampilan perubahan warna yaitu: 0% berubah (5), 25%
berubah (4), 50% berubah (3), 75% berubah (2) dan 100% berubah (1);
skor penampilan tingkat kebusukan/kerusakan yaitu: 0% busuk (5), 25%
busuk (4), 50% busuk (3), 75% busuk (2) dan 100% busuk (1). Untuk
parameter TPT menggunakan hand refraktometer, sedangkan untuk pH
menggunakan pH universal paper.
F. Pengumpulan Data
Data-data pengamatan diperoleh dari hasil pengukuran parameter
yang diamati. Pengamatan ini dilakukan setiap 3 hari sekali selama 9 hari
termasuk data awal (hari ke-0) sehingga diperoleh 4 data pengamatan.
G. Teknik Analisis Data
Setiap 3 hari sekali data hasil pengamatan dirata-ratakan,
kemudian dianalisis dengan uji F dan Uji BNT (Beda Nyata Terkecil).
Perhitungan dan analisis statistik tersebut menggunakan program SPSS
Versi 20.0 sebagai alat bantu untuk pengolahan datanya.

10

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Perbandingan Mutu Obyektif Mentimun


Pengamatan

mutu

obyektif

adalah

pengamatan

dengan

menggunakan alat uji dan biasanya merupakan mutu internal komoditas.


Data hasil pengamatan mutu obyektif mentimun tersaji pada Tabel 1, 2
dan 3.
Tabel 1. Pengamatan mutu obyektif coating ekstrak daun randu
Suhu
Penyimpanan

Konsentrasi

Ruang
(27-29oC)

Rendah
(8-10oC)

% Perubahan Berat
H3

H6

100%

5,6

50%

6,3

0%

Perubahan pH

H9

H3

11,6

17,5

10,3

15,25

7,65

11,8

100%

7,4

50%

8,55

0%

8,45

Perubahan TPT

H6

H9

H3

H6

H9

5,5

4,7

4,7

0,8

0,6

0,95

5,5

4,85

4,6

0,1

1,45

13,9

5,5

4,85

4,55

0,9

0,2

0,6

14,35

15,45

5,5

4,8

4,9

0,8

0,7

1,1

16,95

19,4

5,5

4,85

4,7

0,55

0,75

1,75

12,15

19,85

5,5

4,85

4,5

0,9

0,6

1,85

Keterangan: H3 pengamatan hari ke-3, dan seterusnya; pH awal (H0) 5,32 dan TPT awal (H0) 2,00

Tabel 2. Pengamatan mutu obyektif coating ekstrak daun cincau


% Perubahan Berat
Suhu Penyimpanan

Konsentrasi

H3

H6

100%

3,2

50%

4,7

Ruang (27-29oC)

Perubahan pH

H9

H3

H6

5,6

7,8

5,15

5,9

11,4

4.9

Perubahan TPT

H9

H3

H6

H9

4,85

4,7

1,3

0,7

0,7

4,95

4,85

1,6

0,8

0,3

0%

12,6

9,3

19,3

4,7

1,4

1,0

0,5

100%

17,6

18,8

18,1

5,25

4,9

4,7

1,9

1,0

1,6

50%

12,7

16,9

43,3

5,15

5,3

5,75

1,8

1,3

2,0

0%

7,2

11,1

32,3

5,4

5,15

1,9

1,1

1,5

Rendah (8-10 C)

Keterangan: H3 pengamatan hari ke-3, dan seterusnya; pH awal (H0) 5,32 dan TPT awal (H0) 2,00

Tabel 3. Pengamatan mutu obyektif coating ekstrak lidah buaya


Suhu
Penyimpanan
Ruang
(27-29oC)

Rendah
(8-10oC)

Konsentrasi

% Penurunan Berat

Perubahan pH

Perubahan TPT

H3

H6

H9

H3

H6

H9

H3

H6

H9

100%

3,42

3,23

9,38

5,5

4,83

4,56

0,85

0,18

0,2

50%

4,84

4,39

8,60

5,5

5,0

5,0

0,16

0,11

0%

6,32

6,36

7,89

5,5

5,5

5,0

2,0

1,45

1,1

100%

2,64

2,62

4,5

5,5

5,5

5,0

2,0

2,0

1,7

50%

4,91

4,66

6,72

5,5

5,5

5,0

2,0

2,0

1,55

0%

4,06

4,03

8,72

5,5

5,5

4,0

0,92

0,6

0,75

Keterangan: H3 pengamatan hari ke-3, dan seterusnya; pH awal (H0) 5,32 dan TPT awal (H0) 2,00

11

1. Penurunan Berat
Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis statistik, pengaruh
suhu penyimpanan yang berbeda (suhu rendah dan suhu ruang) sangat
nyata (significant) terhadap perubahan berat pada pelakuan ekstrak daun
cincau dan lidah buaya; sementara perlakuan ekstrak daun randu tidak
nyata. Untuk pengaruh coating yang nyata hanya pada ekstrak lidah
buaya. Pengamatan lebih jauh untuk kombinasi perlakuan (suhu dan
coating) secara umum menunjukkan tren yang menurun. Penurunan berat
mentimun yang paling tinggi adalah pada penyimpanan suhu ruang. Jika
dibandingkan diantara ketiga macam bahan coating, yang memberikan
pengaruh positif terhadap upaya menekan penurunan berat mentimun
adalah bahan dari ekstrak lidah buaya konsentrasi 100% dan disimpan
pada suhu rendah.
2. Perubahan pH
Secara umum rata-rata pH mentimun mengalami perubahan
selama penyimpanan pada semua perlakuan bahan coating. Perubahan
pH yang menurun menunjukkan mentimun menjadi masam, sedangkan
perubahan

yang

meningkat

menunjukkan

mentimun

telah

rusak.

Perubahan pH yang paling tinggi (baik turun maupun meningkat) adalah


pada mentimun yang tidak di-coating. Secara statistik pun ternyata
perubahan pH mentimun sangat nyata pada semua perlakuan. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa ketiga bahan coating yang dicobakan
mampu meminimalisir perubahan pH.

12

3. Penurunan TPT
Pada pengamatan penurunan TPT terlihat bahwa suhu dan
coating berpengaruh sangat nyata secara statistik. Penurunan TPT ini
menunjukkan mentimun telah mengalami lonyoh akibat penurunan turgor
sel. Dari ketiga konsentrasi yang dicobakan ternyata konsentrasi coating
100% yang mampu menekan secara maksimal penurunan TPT mentimun.
Menurut Muchtadi (1992), turgor sel dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu: (1) konsentrasi bahan-bahan di dalam sel yang akan menentukan
tekanan osmotis, (2) permeabilitas protoplasma, dan (3) elastisitas dinding
sel. Dengan adanya coating, elastisitas dinding sel dapat meningkat yang
berarti bahwa dinding sel menjadi lebih kuat dan kaku. Keseluruhan faktor
tersebut dapat diminimalisir pengaruhnya melalui pelapisan (coating).
B. Perbandingan Mutu Subyektif Mentimun
Perubahan mutu subyektif adalah perubahan mutu yang ditinjau
dari tampilan fisik luar mentimun. Perubahan-perubahan ini diukur melalui
uji organoleptik. Data hasil pengamatan parameter mutu subyektif
mentimun tersaji pada Tabel 4, 5 dan 6.
Tabel 4. Pengamatan mutu subyektif coating ekstrak daun randu
Suhu
Penyimpanan

Ruang
(27-29oC)

Rendah
(8-10oC)

Perubahan
Kekerasan

Konsentrasi

Perubahan
Warna

Perubahan
Kebusukan

H3

H6

H9

H3

H6

H
9

H3

H6

H9

100%

0%

25%

50%

50%

0%

25%

25%

0%

0%

25%

25%

100%

0%

0%

0%

50%

0%

0%

0%

0%

0%

25%

50%

Keterangan: kondisi awal mutu (level): kekerasan (5), warna (5) dan busuk (0%)

13

Tabel 5. Pengamatan mutu subyektif coating ekstrak daun cincau


Suhu
Penyimpanan

Ruang
(27-29oC)

Rendah
(8-10oC)

Perubahan
Kekerasan

Konsentrasi

Perubahan
Warna

Perubahan
Kebusukan

H3

H6

H9

H3

H6

H9

H3

H6

H9

100%

0%

0%

25%

50%

0%

25%

50%

0%

0%

50%

100%

100%

0%

0%

0%

50%

0%

0%

50%

0%

0%

25%

50%

Keterangan: kondisi awal mutu (level): kekerasan (5), warna (5) dan busuk (0%)

Tabel 5. Pengamatan mutu subyektif coating ekstrak lidah buaya


Suhu
Penyimpanan

Konsentrasi

Ruang
(27-29oC)

Rendah
(8-10oC)

Perubahan
Kekerasan

Perubahan
Warna

Perubahan
Kebusukan

H3

H6

H9

H3

H6

H9

H3

H6

H9

100%

0%

20%

40%

50%

4,5

20%

60%

80%

0%

0%

40%

60%

100%

0%

0%

20%

50%

3,5

0%

0%

20%

0%

3,5

2,5

0%

20%

40%

tekstur

dan

Keterangan: kondisi awal mutu (level): kekerasan (5), warna (5) dan busuk (0%)

1. Perubahan Kekerasan
Kekerasan

komoditas

erat

kaitannya

dengan

mempengaruhi penampilannya. Komoditas yang memiliki kulit luar yang


tebal cenderung memberikan tekstur yang kuat dan rigid. Mentimun
termasuk yang demikian walaupun kulit luarnya menyatu dengan daging
buahnya. Tekstur sayur-sayuran seperti halnya tekstur buah-buahan atau
tanaman lainnya dipengaruhi oleh turgor dari sel-sel yang masih hidup
(Muchtadi, 1992).

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kombinasi

perlakuan coating konsentrasi 100% dan suhu penyimpanan dingin


ternyata memberikan perubahan tingkat kekerasan yang relatif stabil untuk
ketiga jenis bahan coating yang dicobakan, baik dari penampilan fisik
14

maupun hasil uji statistik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa


coating tersebut sangat efektif dalam mengurangi penurunan kekerasan
mentimun.
2. Perubahan Warna
Umumnya perubahan warna komoditas hortikultura digunakan
sebagai indeks kesegarannya karena setelah dipanen klorofil yang
asalnya dominan akan terdegradasi (Muchtadi, 1992; Winarno, 2002).
Selama proses pematangan (perkembangan), kadar tanin berkurang
(Muchtadi, 1992) sehingga menyebabkan mentimun berubah warnanya.
Perubahan

warna

buah

selama

waktu

tertentu

setelah

dipanen

disebabkan oleh pembentukan kromoplas dan pada umumnya pada waktu


klorofil menghilang dari jaringan tumbuhan atau produk terjadi degenerasi
lamela dalam grana, terbentuknya sistem membran sederhana dan
bertambahnya ukuran dan atau jumlah globula-globula osmiofilik (Baker,
1989). Mentimun memiliki aneka pigmen (klorofil dan flavanoid). Klorofil
menyebabkan warna hijau di bagian pangkal mentimun; sementara
flavanoid menjalar dari batas warna hijau pangkal sampai ujung buah
mentimun.

Pigmen

flavanoid

yang

dominan

adalah

tanin

yang

memberikan warna putih kehijauan sampai ujung buah mentimun.


Hasil pengamatan memperlihatkan terjadinya perubahan pigmen
warna mentimun yaitu dari kondisi warna awal mentimun hijau di pangkal
sampai putih kehijauan ke arah ujung menjadi hijau kekuning-kuningan di
bagian pangkal kemudian putih kekuning-kuningan menuju ujung

15

menunjukkan

degradasi

warna

akibat

proses

metabolik

selama

penyimpanan. Perubahan warna ini sinergis dengan pendapat Trenggono


(1989) dalam Darsana, dkk (2003), yang menyatakan bahwa perubahan
warna mentimun selama perkembangan dipengaruhi oleh aktivitas enzim
klorofilase yang meningkat selama degradasi klorofil. Aktivitas enzim
klorofilase dapat diturunkan dengan adanya coating seperti ditunjukkan
dari hasil pengamatan penyimpanan mentimun baik pada suhu rendah
maupun suhu ruang. Dari ketiga bahan coating yang diaplikasikan
menunjukkan bahwa aplikasi coating mampu menekan degradasi ekstrem
perubahan warna mentimun terutama pada konsentrasi 100%. Uji statistik
pun menunjukkan hasil yang nyata diantara ketiga bahan coating tersebut.
3. Perubahan Kebusukan
Secara alamiah semua komoditas pascapanen pasti akan
mengalami kebusukan atau kemunduran (senescence).

Senescence

adalah suatu tahap normal yang selalu terjadi dalam siklus kehidupan
tanaman (Winarno, 2002). Kehilangan klorofil, perubahan permeabilitas
membran sel dapat pula digunakan sebagai tanda terjadinya senescence
(Winarno, 2002). Data perubahan warna dan kekerasan mentimun selama
penyimpanan seperti pada Tabel 4, 5 dan 6 di atas, dapat menjelaskan
adanya perubahan fisik mentimun selama penyimpanan.
Pengamatan hari ke-9, terlihat mentimun telah mengalami
penurunan tampilan fisik (Gambar 1). Atribut mutu seperti penurunan
berat, penurunan pH, penurunan TPT, perubahan warna, dan penurunan

16

kekerasan menandai terjadinya senescence mentimun. Hasil pengamatan


untuk tingkat kebusukan (senescence) mentimun, terlihat bahwa kondisi
tampilan fisik terbaik adalah mentimun yang diberi perlakuan kombinasi
konsentrasi coating 100% dan disimpan pada suhu rendah yang
memperlihatkan kesegaran yang mantap atau stabil atau hampir sama
dengan kondisi awal penyimpanan; diikuti dengan konsentrasi coating
50%. Sebaliknya pada penyimpanan suhu ruang, perlakuan coating
mengakibatkan mentimun cepat busuk yang ditandai dengan adanya
bagian yang busuk dan perubahan warna yang mencolok. Hal ini
memberikan indikasi bahwa perlakuan coating harus diimbangi dengan
penyimpanan suhu rendah.

Suhu ruang
suhu rendah
(0%, 50%, 100%) (0%, 50%, 100%)

Suhu ruang
suhu rendah
(0%, 50%, 100%) (0%, 50%, 100%)

[Coating ekstrak daun randu]

[Coating ekstrak daun cincau]

Suhu ruang
suhu rendah
(0%, 50%, 100%) (0%, 50%, 100%)

[Coating ekstrak lidah buaya]

Gambar 1. Tampilan fisik mentimun pada penyimpanan 9 hari

C. Umur Simpan
Penentuan umur simpan erat kaitannya dengan interpretasi dari
kombinasi atribut atau parameter mutu sampel serta daya terima panelis.
Gambar 1 memperlihatkan tampilan fisik dan kondisi bagian daging
mentimun setelah disimpan selama 9 hari dimana dari gambar tersebut
terlihat adanya perbedaan yang mencolok dari segi warna antara
perlakuan coating dan tidak di-coating. Walaupun disimpan pada suhu

17

ruang, mentimun yang di-coating terlihat masih baik. Jika dibandingkan


antar kombinasi perlakuan, yang paling baik dalam menjaga kesegaran
mentimun adalah konsentrasi coating 100% dan disimpan pada suhu
rendah.

Selanjutnya

untuk

ketiga

macam

bahan

coating

yang

diaplikasikan, yang terbaik adalah ekstrak randu, diikuti ekstrak cincau dan
ekstrak lidah buaya.
Kombinasi suhu rendah dan coating ini diduga dapat memberikan
umur simpan mentimun lebih lama lagi (>9 hari) apabila diamati lebih
lanjut. Hal ini tercermin dari masih segarnya mentimun yang di-coating
konsentrasi 100%. Menurut Darsana, dkk (2003), pada suhu ruang umur
simpan mentimun hanya 6 hari. Pada suhu rendah lebih lama yaitu suhu
12oC selama 11,33 hari, suhu 14oC selama 12,22 hari dan suhu 16oC
selama 9,56 hari. Hasil penelitian lainnya bahwa umur simpan mentimun
sampai 14 hari pada kondisi penyimpanan suhu 8-10oC dan 5 hari pada
suhu penyimpanan 28oC (Hardenburg, Watada dan Wang,1968; Winarno,
2002).

18

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Daun randu, daun cincau dan lidah buaya dapat digunakan
sebagai bahan pembuat edible coating melalui proses ekstraksi. Hasil
aplikasi coating pada mentimun menghasilkan respon yang baik pada
konsentrasi 100% yang dikombinasikan dengan penyimpanan pada suhu
rendah.

Aplikasi

coating

ini

dapat

mempertahankan

mutu

dan

memperpanjang umur simpan mentimun sampai 9 hari. Apabila


dibandingkan dari ketiga bahan coating tersebut, ekstrak daun randu
menghasilkan mutu mentimun yang paling baik yaitu tampilan fisik
eksternal dan internal mentimun yang masih segar dan hampir sama
dengan kondisi awal sebelum penyimpanan; terbaik berikutnya adalah
ekstrak daun cincau dan terakhir ekstrak lidah buaya.

B. Saran
Hasil penelitian ini masih perlu ditindaklanjuti untuk dicobakan
pada komoditas selain mentimun agar dapat memberikan gambaran yang
lebih luas mengenai efektivitas ketiga bahan edible coating ini terutama
ekstrak daun randu dan daun cincau yang belum pernah diteliti
sebelumnya. Dan, akan lebih baik lagi apabila bahan edible coating ini
dibuat tepung sehingga lebih mudah diaplikasikan hanya dengan
pengenceran.

19

DAFTAR PUSTAKA
Baker JE. 1989. Fisiologi Pascapanen: Perubahan-perubahan Morfologi Selama
Pematangan dan Penuaan. Penerbit UGM Press. Yogyakarta.
Darsana L, Wartoyo dan T Wahyuni. 2003. Pengaruh Saat Panen dan Suhu
Penyimpanan Terhadap Umur Simpan dan Kualitas Mentimun Jepang
(Cucumis sativus L.). J. Agrosains Vol. 5 No. 1. Penerbit UNS. Surakarta.
Donhowe, IG dan O Fenema. 1994. Edible Films and Coatings: Characteristics,
Formation, Definitions and Testing Methods. Technomic Publishing
Company, Inc. Lancaster, Pennyslavania 17604 USA.
Hardenburg, RE., AE Watada dan CY Wang. 1968. The Commercial Storage of
Fruits, Vegetables, and Florist and Nursery Stocks. Agriculture Hand Book
Number 66. Agricultural Research Service, United States Department of
Agriculture.USA.
Kismaryanti A. 2007. Aplikasi Aplikasi Gel Lidah Buaya (Aloe vera L.) sebagai
Edible Coating pada Pengawetan Tomat (Lycopersicon ssculentum Mill.).
[Skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta, IPB. Bogor.
Krochta JM., EA Baldwin and Myrna ONC. 1994. Edible Coatings and Films to
Improve Food Quality. Technomic Publishing Company, Inc. Lancaster,
Pennyslavania 17604 USA.
Marchaban, CJ Soegihardjo dan FE Kusmarawati. 2012. Uji Aktivitas Sari Daun
Randu (Ceiba pentandra Gaertn) sebagai Penumbuh Rambut.
http://home.mywebsearch.com/index.jhtml?ptb=BDF26DDB-CBBA-44BAA27DEAFD520792BC&n=77fc6b92&p2=^Y6^xdm042^YY^id&si=swissconv
erter.html. [diunduh tanggal 7 Desember 2012].
Miskiyah, Widaningrum dan C Winarti. 2011. Aplikasi Edible Film Berbasis Pati
Sagu dengan Penambahan Vitamin C pada Paprika. J. Hortikultura Nomor
21 Volume I, hal: 68-76. Diterbitkan oleh BB Litbang Pascapanen. Bogor.
Muchtadi, D. 1992. Fisiologi Pascapanen Sayuran dan Buah-buahan [Petunjuk
Praktikum]. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB. Bogor.
Pardede E. 2009. Edible Coating for Fruit and Vegetables. [Makalah]. Fakultas
Pertanian Univiersitas Nomensen, Medan.
Rachmawati. 2010. Pelapisan Chitosan pada Salak Pondoh (Salacca edulis
Reinw.) sebagai Upaya Memperpanjang Umur Simpan dan Kajian Sifat
Fisiknya Selama Penyimpanan. J. Teknologi Pertanian Vol 6 No. 2, Maret
2010. Diterbitkan oleh Fakultas Pertanian Univ Mulawarman, Samarinda.
Rudito. 2010. Perlakuan Komposisi Gelatin dan Asam Sitrat dalam Edible
Coating yang Mengandung Gliserol pada Berbagai Tingkat Suhu
Penyimpanan Tomat Tingkat Kematangan Breaker. [pdf file:
365_umm_scientific_journal. Diunduh tanggal 31 Oktober 2012].
Saltveit, ME. 2006. Edible Films, Coatings and Processing Aids. Mann
Laboratory, Department of Plan Sciences, University of California, USA.
Utama IMS. 2006. Peranan Teknologi Pascapanen untuk Fresh Produce
Retailing. Makalah Seminar: Pentingnya Teknologi Pascapanen Dalam
Meningkatkan Daya Saing Produk Hortikultura Indonesia. Diterbitkan oleh
Fakultas Teknologi Pertanian ke 22 dan Dies Natalis Unud ke 44 di
Kampus Bukit-Jimbaran, Badung, 28 Agustus 2006. Denpasar.
Winarno FG. 2002. Fisiologi Lepas Panen Produk Hortikultura. Penerbit M-Brio
Press. Bogor.

20

Anda mungkin juga menyukai