Anda di halaman 1dari 67

Makna Simbolis Busana Kebaya Dan Jawi Jangkep

22 March 2014, 08:27

Oleh Fitinline

0 Komentar

Keberadaan pakaian adat tradisional Indonesia merupakan warisan budaya nenek moyang
yang patut untuk dilestarikan dan menjadi kebanggaan bangsa Indonesia khususnya
masyarakat Jawa. Suku Jawa merupakan etnis terbesar di Indonesia yang tidak hanya
mendiami di Pulau Jawa, melainkan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Selain memiliki
potensi alam yang luar biasa Pulau Jawa juga dikenal dengan kekayaan budaya yang
beragam. Sampai saat ini khususnya masyarakat Jawa Tengah dikenal sangat menjunjung
tinggi adat istiadat atau tradisi warisan nenek moyang orang Jawa. Hal ini tentunya memberi
pengaruh yang besar terhadap kelestarian budaya Jawa hingga dikenal oleh masyarakat
luas. Keberadaan masyarakat Jawa Tengah dengan mudah dikenali dari busana atau pakaian
adat yang dikenakan.
Pakaian Adat Jawa Tengah

Sumber : http://bajuadatjawa.wordpress.com/

Sumber : http://agushareblog.blogspot.com

Pakaian adat masyarakat Pulau Jawa identik dengan penggunaan kebaya yang dipadukan
dengan kain bermotif batik. Meski kebaya dikenal di berbagai daerah di Indonesia, namun
pemakaian baju adat Jawa Tengah memiliki ciri khas tersendiri yang terletak pada cara
pemakaian kain kebayanya serta motif dan corak batik yang digunakan. Selain kebaya ada
juga yang menggunakan kemben jarik yang dipakai hingga menutupi ketiak dengan
pinggang yang dililit oleh stagen berwarna warni. Stagen sendiri berperan sebagai pengikat
agar kain kemben yang menutupi tubuh tidak mudah lepas.
Pakaian Adat Jawa Tengah

Sumber : http://idmaya.com/

Sumber : http://bajuadatjawa.wordpress.com/

Pakaian Adat Wanita Jawa Tengah


Pakaian yang dikenakan oleh Wanita Jawa Tengah yakni berupa model kebaya Solo atau
keraton Surakarta. Selain itu dikenal pula jenis kebaya pendek yang terbuat dari berbagai
jenis bahan katun, baik yang polos dengan salah satu warna seperti merah, putih, kuning,
hijau, dan biru maupun bahan katun yang berbunga atau bersulam. Pemakaian kebaya ini
dilengkapi pula dengan kemben sebagai penutup dada dan kain jarik batik sebagai
bawahan. Terdapat pula model kebaya panjang yang terbuat dari bahan brokat berwarna
gelap seperti merah tua dan hitam yang dihiasi dengan pita emas. Kebaya ini banyak
digunakan pada upacara pernikahan atau acara resmi lainnya.
Pakaian Adat Jawa Tengah

Sumber : http://www.vemale.com/

Sumber : http://riaskuntik.files.wordpress.com/

Kebaya Jawa Tengah secara simbolis menyimpan nilai-nilai moral dan filosofis yakni
melambangkan kepribadian perempuan Jawa yang patuh, lemah lembut, dan halus. Kain
jarik sebagai penutup bagian bawah memiliki arti bahwa wanita merupakan sosok yang bisa
menjaga kesucian dirinya serta tidak mudah menyerahkan diri kepada siapapun. Sementara
keberadaan stagen berfungsi sebagai perlambang perempuan yang mampu menyesuaikan
diri.
Pakaian Adat Jawa Tengah

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kebaya

Pakaian Adat Pria Jawa Tengah


Pakaian yang diperuntukkan bagi kaum pria dalam adat Jawa Tengah dikenal dengan nama
Jawi Jangkep. Pakaian ini terdiri dari baju beskap dengan motif kembang, destar atau
blankon sebagai penutup kepala, kain samping jarik, stagen untuk mengikat kain samping,
keris serta alas kaki (cemila). Pakaian adat Jawi Jangkep biasanya dikenakan pada acaraacara adat dan acara resmi keraton. Seperti halnya kebaya, pakaian adat jawi jangkep juga
memiliki makna filosofis tersendiri.
Pakaian Adat Jawa Tengah

Sumber : http://kebudayaanindonesia.net/

Penggunaan blangkon memiliki makna bahwa seorang laki-laki harus memiliki pikiran yang
teguh. Pakaian beskap yang memiliki kancing di sebelah kiri dan kanan mengisyaratkan
bahwa seorang laki-laki hendaknya memperhitungkan segala perbuatan yang dilakukan
dengan cermat dan hati-hati. Penggunaan kain jarik yang dilipat secara vertikal bertujuan
agar jarik tidak terlepas dari wirunya. Maknanya adalah agar para lekaki jawa jangan sampai
melakukukan sesuatu dengan keliru. Selain digunakan sebagai lambang keperkasaan

seorang lelaki penggunaan keris di bagian belakang pinggang mengandung makna


bermakna bahwa manusia harus mampu menolak semua godaan setan.
Pakaian Adat Jawa Tengah

Sumber : http://riaskuntik.files.wordpress.com/

Semoga artikel kali ini memberikan banyak inspirasi bagi sahabat Fitinline untuk lebih
mencintai dan menghargai warisan budaya serta pakaian adat tradisional Indonesia.
Semoga bermanfaat.

Baju Adat Jawa Tengah dan Busana Adat Tradisional Daerah Jawa Tengah

Sama seperti daerah lain yang ada di Indonesia, Jawa tengah juga memiliki adat dan tradisi
sebagai warisan budaya leluhur. Salah satunya adalah dalam hal pakaian adat. Pakaian adat
tradisinoal Jawa tengah bisa Anda lihat pada gambar yang ada di bawah. Yang sudah sangat
terkenal sebagai pakaian tradisional Jawa Tengah adalah pakaian kebaya, meskipun di daerah lain
seperti yogyakarta dan provinsi lain juga ada kebaya, tapi tetap ada ciri ciri sendiri mengenai
corak dan motifnya. Baca selanjtnya Pakaian Adat Tradisional Daerah Jawa Tengah

SALAH

SATU

PAKAIAN

TRADISIONAL

JAWA

TENGAH

Jawa tengah adalah salah satu provinsi di Indonesia, dengan luas wilayah 25,04 % dari Pulau Jawa,
Jawa Tengah memiliki potensi alam yang luar biasa. Tak hanya itu, provinsi ini juga memiliki
kekayaan budaya yang beragam. Provinsi ini berdiri sejak zaman Syarikat Hindia Timur Belanda ini ,
didiami oleh sekitar 30 juta jiwa penduduk yang mayoritas adalah Suku Jawa. Suku jawa adalah
suku asli yang telah mendiami wilayah Jawa Tengah selama berabad-abad lamanya. Suku jawa
juga merupakan etnis terbesar di Indonesia, orang dari Suku Jawa tidak hanya tersebar di wilayah
Pulau Jawa saja tapi juga ke seluruh wilayah di Indonesia. Walaupun begitu suku jawa dikenal
dengan kekuatan kebudayaannya, khususnya masyarakat Jawa Tengah yang sampai saat ini masih
menjunjung tinggi adat istiadat atau tradisi warisan nenek moyang orang jawa.
Masyarakat Jawa tengah dikenal memiliki kepatuhan yang tinggi terhadap adat istiadat. Hal ini juga
mempengaruhi bagaimana kebudayaan jawa tengah ini terus bertahan hingga dikenal oleh
masyarakat luar jawa. Masyarakat luar jawa dapat dengan mudah mengenali karakter atau budaya
orang jawa tengah. Selain dengan bersosialisasi, masyarakat Jawa tengah juga mudah dikenali dari
busana atau pakaian yang dikenakan. Masyarakat Jawa tengah memang memiliki kekhasan
busana. Busana khas dari jawa tengah adala kebaya. Walaupun kebaya dikenal di berbagai daerah
di

Indonesia

tapi

Jawa

Tengah

memilki

ciri

khas

kebaya

tersendiri.

Kebaya berasal dari kata abaya dalam bahasa arab yang berarti tunik panjang khas Arab. Kebaya
sendiri dipercaya dibawa oleh orang tiongkok ke Indonesia pada masa migrasi besar-besaran
melalui semenanjung Asia Selatan dan tenggara di abad ke 13 hingga 16 Masehi. Di jawa tengah
sendiri kebaya mengalami akulturasi dengan adat istiadat daerah setempat. Sebelum tahun 1600
Masehi, kebaya hanya digunakan di kalangan kerajaan saja namun setelah belanda masuk ke
nusantara dan mengendalikan pemerintahan para wanita belanda juga mulai memakai busana
kebaya. Pada masa ini kebaya mengalami modifikasi dari bahan pembuatan yang memakai sutera
sampai kepada sulaman yang berwarna-warni. Sejak saat itu kebaya mulai dikenakan oleh seluruh
lapisan masyarakat Nusantara tidak terbatas di kalangan kerajaan saja.

Kaum perempuan Jawa tengah biasanya memakai kebaya sebagi pakaian sehari-hari atau pada
acara-acara formal seperti pernikahan, upaca adat dan acara lainnya. Kekhasan kebaya Jawa
Tengah adalah modelnya yang merupakan model kebaya Solo atau keratin Surakarta. Selain itu,
masyarakat jawa tengah juga mengenal dua jenis kebaya yaitu kebaya pendek dan kebaya panjang.
Kebaya pendek biasanya terbuat dari bahan katun polos berwarna atau brokat yang bisa juga
dihiasi dengan bunga sulam. Kebaya ini juga yang biasa dipakai oleh perempuan jawa tengah
sebagai busana sehari-hari. Jenis kebaya ini juga dikenal sebagai kebaya RA Kartini yang
merupakan tokoh emansipasi perempuan dari jawa tengah yang dikenal di seluruh Indonesia
bahkan sampai ke luar negeri. Perempuan jawa tengah biasanya memaki kebaya dengan
menambahkan kain berbentuk persegi panjang dengan warna senada sebagai penyambung kedua
sisi kebaya di bagian dada. Dalam memakai kebaya ini, perempuan jawa tengah melengkapinya
dengan kemben sebagai penutup dada dan kain jarik batik sebagai bawahan serta memakai
sanggul atau konde. Sedangkan kebaya panjang adalah jenis kebaya yang terbuat dari bahan
brokat berwarna gelap seperti hitam dan merah tua, yang dihiasi pita emas di sekitar baju.
Pemakaian kebaya ini juga dilengkapi dengan kain jarik batik berlipat dan selendang. Kebaya
panjang biasa digunakan oleh perempuan jawa tengah pada acara-acara resmi atau acara adat.
Khusus dalam acara pernikahan, kebaya ini digunakan pengantin dengan dilengkapi aksesoris
seperrti tusuk konde emas dan untaian bunga melati yang dipasang di sanggul pengantin serta
sebuah sisir yang beerbentuk hamper setengah lingkaran yang dipakai di pusat kepala.
Kebaya Jawa tengah tidak semata-mata busana yang lazim dikenakan oleh perempuan Jawa. Di
balik itu, kebaya juga menyimpan nilai-nilai moral dan nilai filosofis. Secara moral kebaya
merupakan pakaian yang menyimbolkan kepribadian perempuan jawa yang patuh, lemah lembut,
dan halus. Kain jarik yang membebat tubuh sehingga membatasi gerak-gerik permepuan jawa
bermakna bahwa perempuan jawa adalah sosok yang menjaga kesucian dirinya dalam arti tidak
mudah menyerahkan diri kepada siapapun. Bentuk stagen yang membentuk tubuh bermakna bahwa
perempuan jawa adalah sosok yang mampu menyesuaikan diri. Dari nilai-nilai yang terkandung
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kebaya merupakan symbol dari pepatah jawa dowo
ususe yang berarti panjang ususnya atau dapat diartikan kesabaran seorang perempuan jawa.
Kini, kebaya mengalami banyak modifikasi sebagai busana tradisonal yang masih dipertahankan
sebagai aset budaya. Meskipun, kekinian kebaya sudah tidak lazim lagi menjadi pakaian sehari-hari.
Eksistensi kebaya masih bertahan dan terus berkembang sebagai busana khas Indonesia. Kebaya
saat ini juga dikenal dengan istilah kebaya klasik dan kebaya modern (telah mengalami penyesuaian

dan modifikasi dengan kondisi kekinian). Meskipun begitu kebaya tetap harus menjaga nilai filosofis
yang terkandung di dalamnya karena kebaya adalah symbol dari perempuan jawa.
Pakaian tradisional Jawa Tengah tidak terpaku pada pakaian kaum perempuan saja. Kaum lelaki
jawa tengah juga memiliki busana sendiri yaitu Jawi Jangkep. Jawi Jangkep merupakan
seperangkat pakaian lelaki jawa yang terdiri dari baju beskap dengan motif kembangkembang, destar atau blankon yang digunakan di kepala, kain samping jarik, stagen untuk
mengikat kain samping, dan keris serta alas kaki (cemila). Pakaian ini adalah pakaian khas Jawa
Tengah yang berasal dari pakaian kaum bangsawan dan keuarga keraton Surakarta. Pakaian ini
berfungsi sebagai pakaian pada acara-acara adat dan acara resmi keratin. Sama halnya dengan
kebaya, pakaian ini merupakan symbol-simbol yang mengandung makna-makna filosofis. Penutup
kepala atau blankon ini bermakna bahwa laki-laki jawa harus memiliki pikiran yang teguh dan tidak
mudah terombang-ambing. Pakaian beskap selalu memilki benik atau kancing di sbelah kiri dan
kanan yang bermakna, lelaki jawa harus memperhitungkan segala perbuatan yang dilakukan
dengan cermat dan hati-hati. Kain jarik atau wiru jarik yang dipakai dengan melipat pinggiran
secara vertical dengan maksud agara jarik tidak terlepas dari wirunya. Maknya adalah agar para
lekaki jawa jangan sampai melakukukan sesuatu dengan keliru. Segala hal harus dilakukan dengan
benar agar memperoleh hasil yang baik. Sedangkan keris yang dikenakan di bagian belakang
pinggang pakaian ini bermakna bahwa manusia harus selalu bertakwa kepada Tuhan yang Maha
Esa dan mampu menolak semua godaan setan yang menyesatkan manusia. Selain itu keris juga
menjadi lambing kejantanan dan keperkasaan seorang lelaki Jawa.

Pakaian Wanita
Untuk acara-acara resmi, wanita Jawa menggunakan pakaian adat Jawa Tengah yang menggunakan peniti
renteng, dipadukan dengan kain batik sebagai bawahannya. Rambut wanita Jawa yang panjang digelung
atau dikonde, dan dilengkapi dengan tusuk rambut yang sesuai macamnya dengan perhiasan lain yang dia
kenakan, seperti kalung, gelang, cincin, tak lupa juga kipas sebagai pelengkap aksesoris yang mereka
pakai.
Pada pakaian adat Jawa Tengah bagi wanita, baju kebaya dipakai dengan kain jarik yang diwiru atau dilipat
kecil-kecil dan dililitkan ke kiri dan ke kanan. Jarik lalu ditutup dengan menggunakan stagen atau kain yang
dililit di perut agar jarik tidak mudah lepas. Untuk menutup stagen, wanita Jawa Tengah memakai
selendang berwarna pelangi dari kain tenun berwarna semarak/cerah. Pakaian mereka biasanya dilengkapi
dengan aksesoris seperti cincin, gelang, kalung, subang (anting) dan tusuk konde yang berwarna dan
bertema senada.

Untuk acara-acara resmi, wanita Jawa menggunakan pakaian adat Jawa Tengah
yang menggunakan peniti renteng, dipadukan dengan kain batik sebagai
bawahannya. Rambut wanita Jawa yang panjang digelung atau dikonde, dan
dilengkapi dengan tusuk rambut yang sesuai macamnya dengan perhiasan lain
yang dia kenakan, seperti kalung, gelang, cincin, tak lupa juga kipas sebagai
pelengkap aksesoris yang mereka pakai.

Pada pakaian adat Jawa Tengah bagi wanita, baju kebaya dipakai dengan kain jarik
yang diwiru atau dilipat kecil-kecil dan dililitkan ke kiri dan ke kanan. Jarik lalu
ditutup dengan menggunakan stagen atau kain yang dililit di perut agar jarik tidak
mudah lepas. Untuk menutup stagen, wanita Jawa Tengah memakai selendang
berwarna pelangi dari kain tenun berwarna semarak/cerah. Pakaian mereka
biasanya dilengkapi dengan aksesoris seperti cincin, gelang, kalung, subang
(anting) dan tusuk konde yang berwarna dan bertema senada.

1.
MAY

29

BUSANA JAWI GAGRAG SURAKARTA


BAB I
?busnjwigg]gSurk/tafini=z]t\,

BUSANA JAWI GAGRAG SURAKARTA


A. PAMBUKA

A
rum kuncaraning bangsa dumunung aneng luhuring budaya sabda dalem Ingkang Sinuhun
Kanjeng Susuhunan Paku Buwana kaping sadasa, sampun boten kirang gamblang nyebataken
bilih arum sarta kuncaraning bangsa lan nagari menika gumantung wonten luhuring
budaya. Budaya jawi sampun paring pitedhah bilih uwoh pangolahing batin sinarengan tindaktanduk
kang
utami
mahanani
dados
satunggaling
budaya
ingkang
tuwuh
perbawanipun. Kaperbawan ingkang anjokipun dumateng raos pangraos ingkang langkung lebet
hanggenipun sumengkem dhumateng Gusti Pangeran ingkang murbeng gesang. Wewujudanipun
uwohing budaya jawi ing antawisipun, tatacara upacara, gendhing, pedhalangan, ringgit purwa,
macapat utawi tetembangan, subosita tatakrama, joget, tatabusana lan sanes-sanesipun kathah
sanget ingkang sak menika sampun dipuntilar mboten dipun gulang utawi sinau, tuladhanipun
bab tata busana manawi menika dipunginakaken inggih namung badhe hanetepi adat lupiya.
Pramila kathah ugi ingkang hanggenipun mangangge utawi ngagem sak-sakipun kemawon
mboten mawi paugeran, sak menika priyantun namung saget hangagem kemawon nanging
mboten saget sarta mboten mangertosi makna ingkang sinandhi. Langkung saking menika,
gumbregutipun tiyang amanca nyinau bab bathik sarta ageman jawi, malah kepara kathah tiyang
jawi ingkang kabisturon sarta mboten menggalih kawontenan menika. Kawontenan makaten
menika sanget mrihatinaken tumrap kawontenanipun budaya Jawi mliginipun budaya Jawi
ingkang asumber saking Karaton Surakarta Hadiningrat.
B. PANGERTOSAN AGEMAN TUMRAP KEJAWEN
Pangertosan ageman utawi sandhangan miturut kajawen utawi budaya Jawi menika wonten
kalih perangan inggih menika sandhangan lahir saha sandhangan batin. Beblesipun panyuraos
sampun kaserat dening pujangga dalem ISKS Paku Buwana IV Karaton Surakarta Ki
Sastranagoro utawi Ki yasadipura II wonten ing serat Sanasunu pupuh Dhandhanggula pada 11
12 bab ageman Jawi:
?gn\t-w/nai=k=kpi=klih,linai/kenSira[n=[fov,sinu=snD=
lnPz[nN,[ykusir[f[nHmut,tuwsnD=kLwnB|kTi,lai/ri=k=mnu=s,ski=g/
[b=aibu,jb=tnBvJ|/finul=,syekTi[nsnD=[po[pokK=rumiyin\ ysnD=y[mBo[kFov.
?aiypznHiy[mBokRejeki,k[roaikuapnHtrimn\ski=a=amu/

[b=[z,[mBo[kFoz[bo[josepuh,[mBokRejeki[bo[jotruni,[fnBis[mo[mo=sir,trim[nRoaiku,
[mBo[kFozg/wnTtuw,[ykuai=k=[mluauri[pMlumti,[fg/wnTtrun.
Gancaranipun:
1. Gantya warna ingkang kaping kalih//linairken sira aneng donya//sinung sandhang lan
pangane//yeku sira den emut//tuwa sandhang kalawan bukti//lairing kang
manungsa//saking garbeng ibu//jabang tan banjur dinulang//sayektine sandhang popok
kang rumiyin//ya sandhang ya mbok donya.
2. Iya pangan iya mbok rejeki//karo iku apan tatariman//saking hyang amurbenge//mbok
donya bojo sepuh//mbok rejeki bojo taruni//den bisa momong sira//tariman ro iku//mbok
donya garwanta tuwa//yeku ingkang melu urip melu mati//de garwanta taruna//

Sandhangan lahir tumrap manungsa sampun mastani ing unen unen ajining raga ana
busana dados raga saget dipun ajeni utawi dipun aosi manawi manungsa menika tansah hanjagi
wontenipun busana ingkang ka-angge, hawit awonipun busana mahanani tiyang menika mboten
saget hanjagi prajanipun (penampilannya). Resiking ageman ugi mahanani reseping pandulu
sarta pangganda. Dene sandhangan batos utawi sandhangan batin inggih menika kiyating raos
hanampi sadaya panandhanging gesang sae menika kabingahan menapa dene kasisahan.
Dene kados pundi caranipun hareresik ageman batos menika, manawi ageman lahir reget
lajeng kagirah kapepe?
Miturut andharan wewarah kejawen resikipun sandhangan batos menika namung lumantar
panyuwunan mertobat dhateng Gusti Ingkang akarya jagad sarta mboten badhe handuwa sadaya
ingkang kasandhang utawi kataman dening manungsa. Sumendhe ing ngarsaning Gusti sarta
hanetepi watak satriya Jawa ing jiwaning satriya Jawa inggih menika ngrumaosi manawi
dipun titahaken, manawi sampun rumaos dipuntitahaken kedah nindakaken wajibipun titah ing
ngalam donya, sarta tansah nyawiji dhumateng ingkang nitahaken inggih menika Gusti Pangeran
Ingkang Akarya Loka jagad sakalir.
Kanthi punika ageman Jawi dados pepenget tumrap sok sintena kemawon ingkang
hangrasuk busana Jawi kedah mangertos werdi sarta trep trepanipun, inggih saking werdi sarta
trep trepanipun mangagem utawi mangangge ka-ajab badhe dipun tuntun kaliyan makna
sinandhi ingkang sumimpen wonten ing ageman Jawi.
Kajawi hanjagi saking asrep lan benteripun panas, ageman mracihnani dununging
kasusilan sarta kaprajan (harga diri), ingkang sampun lumampah kanthi run temurun ing Karaton
Jawi.
C. SEJARAHIPUN AGEMAN JAWI GAGRAG SURAKARTA
Ngrembag bab busana jawi ing Surakarta punika boten saget uwal saking budaya Jawi,
jalaran busana Jawi kalebet wohing budaya Jawi. Dene budaya Jawi ing ngriki, tegesipun
budaya Jawi ingkang sumberipun saking Karaton Surakarta.
Busana tatanan Karaton Surakarta punika ing sakawit jaman jumenengipun Sinuhun Paku
Buwana ingkang kaping III rikala hamarengaken Kanjeng Pangeran Mangkubumi, ingkang rayi
saking Sinuhun Paku Buwana II (tasih Bapa Paman piyambak kaliyan PB.II) kepareng
hangrenggani Karaton Ngayogjakarta jumeneng Sultan Hamengku Buwana I, busana lami
ingkang dados tetilaran saking Majapahit, Demak, Pajang, saha Mataram kasuwun dening
Pangeran Mangkubumi kagem ing Karaton Ngayogjakarta kados ingkang sami dipun wuningani
ing wekdal sakpunika. Kanthi makaten Sinuhun Paku Buwana III ing Surakarta lajeng
hanganggit lan iyasa busana tumrap Surakarta ngantos sepriki kados ingkang wonten punika,
sinaosa rikala Sinuhun Paku Buwana IX lan Sinuhun Paku Buwana X ngawontenaken ewahewahan sawetawis.

Gb.01. Karaton Surakarta syah madeg dados nagari

Menggah ingkang badhe katerangaken ing ngandhap punika, bab pangageman Jawi
Surakarta tumrap kakung, ingkang kalimrah sami dipunagem ing wekdal punika. Dene
katerangan punika, awewaton wewarah dalem Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng
Susuhunan Paku Buwana IX rikala taksih asma Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom.
?avevnD=mz=[goaikuff-srnmmzunMnu=svJbvJe[ro
m/m[npnTesSenPz=[gonNir,t}pNpzet}pPni=pz=[gonC|nD|
kNklwnKannNi=bfnNir,klu=guhanMiwhpp=ktTnNir.
Hanyenyandhang manganggo iku dadya sarana memangun manungsa njaba njero,
marmane pantesen panganggonira, trepna pangetrepaning panganggon, cundhukna kalawan
kahananing badanira, kalungguhan miwah pepangkatanira
Makaten pangandhika dalem ISKS Paku Buwana IX rikala tasih jumeneng pangeran pati,
ngemu pikajeng dhateng kasusilan. Tegesipun kedah saget jumbuhaken dhateng pribadinipun
piyambak ingkang jumbuh kaliyan tatalair lan batin. Cundhuk kaliyan kalungguhan sarta
pepangkatanipun miwah trep-trepanipun panganggen.
Ing alam sak punika tiyang Jawi manawi mangangge sandhanganipun sampun boten
dipunpersudi malih, malah kathah ingkang waton mangangge boten mangangge mawi
waton. Manawi badhe dados tiyang Jawi punika kedah saged ngasoraken dhiri murih
sengseming sesami, aja seneng diarani wong gedhe nanging sejatine dudu. Sabab sandhangan
punika sampun saget mastani kalungguhan miwah pepangkatanipun, manawi wonten priyantun
ingkang mangertos dhateng kasusilan manganggenipun boten badhe sapikajengipun piyambak,
kedah ngemuti dhateng wewaton. Limrahipun ing bebrayan namung dhasar tiru-tiru, kalebet para
juru paes tasih kathah ingkang sami boten nyumerapi tataning panganggon, kamangka bab tata
busana punika, wonten beda bedanipun, trep-trepanipun punika ingkang dipun wastani jembaring
budaya Jawi.
D. PRINCENIPUN AGEMAN JAWI KAKUNG
Peranganipun busana Jawi ingkang dipunangge ing Karaton Surakarta ing wekdal sakpunika,
saking nginggil dumugi ngandhap kanthi urut kados ing ngandhap punika:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Udheng
Kulambi
Sinjang /Dodot
Setagen
Sabuk
Epek Timang lan Lerep
Samir
Dhuwung
Cenela utawi selop

Ing salajengipun saben panganggen badhe ka-urutaken andharanipun, wiwit saking pangertosan,
warni-warninipun, caranipun mangangge, saha paugeran panganggenipun.
1. UDHENG
a. Pangertosan Udheng
Udheng basa ngokonipun iket utawi dipunsebat blangkon manawi sampun dados kantun
hangagem. Dene basa kramanipun dhestar, punika arupi panganggen ingkang dipunagem
kangge nutupi sirah.
Udheng makaten limrahipun kadamel saking kain bathik awujud pesagi, ingkang lajeng kalempit
katata kawangun kanthi njlimet supados rerengganipun kiwa tengen sami., lajeng dipun jahit
miturut ukuranipun mustaka ingkang ngersakaken. Wekdal sak menika sampun kathah kasade
ing toko-toko, udheng sampun dados kantun milih ukuran sarta cakrik sekaranipun.
Kala rumiyin tasih kalimrah Udheng hanggenipun mangangge dipun iras, tegesipun iket
ingkang ukuranipun setunggal kacu (taplak meja) lajeng dipun ubed-ubedaken kemawon kanthi
tatacara ingkang kalimrah, saksampunipun karaos pas nembe pucuk-pucukipun nembe dipun
tangsulaken ing sisih wingking ngandhap mustaka, dene manawi sampun mboten kangge lajeng
dipun udari malih.
b. Wangunipun Udheng
Miturut wangunipun, ingkang kaprah wonten kalih inggih punika.
1) Udheng Jebehan
Udheng jebehan menika titikanipun ing ngajeng mboten mawi kuncungipun, sisih wingking
mondholanipun terusan mlered saking nginggil mangandhap mujudaken irung-irungan lonjong
nanging trepes. Dene sakiwa tengenipun mondholan wonten jebehanipun, awujud elar-elaran,
mangiwa lan manengen. Ingkang besus mangagem udheng menika badhe katinggal merbawani
sabab menika namung mligi ka-agem dening piyayi luhur.
2) Udheng Cekok Mondhol
Titikanipun udheng cekok inggih menika ing ngajeng wonten kuncungipun, dene ing
wingking wonten mondholanipun, awujud lonjong kados tumempel ing wingking udheng. Sisih
nginggilipun mondholan wonten rerengganipun awujud dhasi kupu alit.
c.

Peranganipun Udheng
Nama nama peranganipun udheng, cakrik sarta tegesipun:

Kuncung
Inggih menika awujud pucukipun iket, ingkan mapanipun wonten ngajeng ing tengah pas
bathuk. Kuncung menika namung wonten ing udheng cekok mondhol.

Wiron
Inggih menika perangipun iket ingkang kaplui/kawiru cemeng warninipun, mapanipun wonten
ngajenganipun udheng pas kiwa lan tengen sak nginggilipun alis. (ugi dipun sebat dhestar).

Sunglon
Inggih punika pinggiraning bathik ingkang dipunpapanaken sak nginggiling wiron.

Kemadha

Inggih punika pinggiraning bathik ingkang kapernahaken wonten kiwa tengenipun


udheng. Ingkang lancip menika kawastanan cakrik pangkur.

Talingan
Inggih punika peranganing udheng sisih kiwa tengen ngandhap, radi melengkung supados trep
mapan sak nginggilipun talingan.

Modangan
Inggih punika namaning cakrik rerenggan bathik ingkang ing udheng mapanipun wonten sisih
nginggil (nginggil rikma, wiwit saking ngajengan tumuju tengah, nginggil embun-embun).

Mondholan
Inggih punika peranganing udheng ingkang awujud bunder semu lonjong radi gepeng ingkang
kapapanaken wonten sak wingking udheng ing tengah-tengah, trep nginggil githok.

Pucuking Udheng
Ing sisih nginggil manawi wangunipun lancip punika dipunsebut cakrik perbawan (ingkang
mangangge hanggadahi raos perbawa). Dene manawi radi papak dipunwastani cakrik kasatriyan
(ingkang ngagem hanggadahi raos Satriya).
Cakrik seratanipun sampun nedahaken wonten Stopres ingkang isen-isen sekar. Utawi cakrik
pangkur ingkang wonten untu walang.
Cakrik perbawan punika minongka dasaring dhestar rikala ageman taksih dados agemanipun
Karaton Surakarta.

PERANGANIPUN UDHENG

Gambar Udheng

d. Warninipun Udheng
Ing wekdal sakpunika warnining udheng wonten kalih inggih punika: a) Seratan Bathik, b)
Sekaran (kembangan).
Dene udheng Bathik wonten 4 warni inggih punika:
1) Udheng Byur
Pinggir mawi kemada, bathikanipun cakrik semen, lereng, lung-lungan, ceplok, lan sanesipun.
2) Udheng Tengahan
Mawi semukirang, mawi bvengkok garis kenceng, tengahipun petjhak utawi sekaran, pinggir
mawi kemada sungging. Antawisipun kemada kaliyan tengahan kabathik latar pethak, latar
cemeng, ceplokan lan sanesipun.
3) Udheng Modang
Pinggir mawi Kemada, wingking mawi Umpak, bathikanipun modang, Pangkur, Ceplok, lereng,
lung-lungan.
4) Udheng Celeng
Pinggiripun mawi Kemada, wingking mawi umpak, bathikanipun mawi cakrik lung-lungan
ceplok, lereng, tengah cemeng byur.
Udheng Bangsanipun Sekaran antawisipun inggih punika:
1). Irawan

Pinggir mawi bathik kemada mawi umpak, tengah kabathik semukirang latar
pethak. Antawisipun semukirang kaliyan umpak kasekar kadosta :gadhung, Wungu. Kenthol.
2) Sekaran
Udheng sekaran punika warni-warni miturut ulesipun pulas kadosta: gadhung tengah pethak,
dipun wastani gadhung mlathi. Biru tengahipun pethak, bangun tulak lan sanesipun.
3) Rintik
Ules kaliyan naminipun Sekaran, naming saking pinggir 2 CM kajumput wangunipun kadosta:
Regulon, Tapakm dara, Cengkehan, Kembang Jeruk.
4) Wulung
Udheng ulesipun byur cemeng, padatan sunglonipun lancip cakrik perbawan.
e.

Patrapipun Hangagem Udheng


Patrapipun anggenipun ngagem udheng kedah trep, mboten kenging miring, methongkrong
menapadene Jeplak. Kaangkah antawisipun alis kaliyan wironing udheng wiyaripun setunggal
nyari.

f.

Paugeran Hangagem Udheng


Ngagem Udheng ugi wonten paugeranipun, utaminipun manawi sowan dhateng Karaton mboten
kenging sak sekecanipun piyambak.
1. Ing Karaton Surakarta
a. Udheng Jebehan
Udheng menika ageing para luhur, inggih menika Ingkang Sinuhun, Para putra Sentana, kaliyan
para abdidalem ingkang hanggadahi Sesebatan Riya nginggil (KRA), kalebet ingkang anonanon.
b. Udheng Cekok Mondhol Kuncung
Agemanipun Bupati Riya, Bupati Sepuh sak pangandhap inggih punika wiwit saking
sesebatan KRAT, KRMT, KRT, RMT, RT, Panewu, Mantri saha Lurah. Kalebet ingkang anonanon.
2. Ing Sanjawining Karaton
Wonten sanjawining Karaton panganggenipun Udheng merdika (bebas), padhatan ingkang dipun
agem Udheng Jebehan, inggih wonten pahargyan menapa kemawon, kalebet wonten ing
kasripahan (layatan).
2. KULAMBI UTAWI RASUKAN
a. Pangertosanipun
Kados sampun ka-aturaken ing ngajeng, nilih busana Jawi ing Karaton Surakarta Hadiningrat
punika Iyasanipun ISKS Paku Buwana III, hawit saking kedadosan wontenipun perjanjen
Giyanti Ing warsa 1755 Masehi. Ingkang salajengipun Iyasan punika ngalami ewah-ewahan
sarta monceripun ewah-ewahan rikala Jumeneng dalem ISKS Paku Buwana IX saha ISKS Paku
Buwana X. gandheng punika naming winates bab rasukan/ageman adat Jawi ingkang limrah
dipunagem priyantun kakung ing Surakarta wekdal sakpunika, inggih wiwit jumeneng-dalem
Sawargi SISKS Paku Buwana XII, ingkang kaaturaken kados ing ngandhap punika.
b. Wanguning Kulambi Utawi Rasukan

Miturut wangunipun, rasukan busana Jawi kakung, ingkang baku wonten warni kalih inggih
punika Atellahkaliyan Beskap, menggah sanesipun hanjumbuhaken kaliyan dasaring kulambi
sakawit inggih punika Beskap sahaAtellah.
1) Atellah
Ingkang dipun wastani Atellah makaten, awujud jas tutup. Dados wiwit gulonipun, ing
tengah katutup dumugi sak pangandhap. Kancingipun wonten tengah-tengah wiwit sak
ngandhaping Jangga sak pangandhap, limrahipun wonten 5 kancing utawi benik. Dene sisih
wingking sak ngandhap pengkeran dipun krowok, kangge ngetingalaken nyengkelit dhuwung.
2) Beskap
Beskap makaten wujud jas, gulonipun tutup kanthi kancing ing sisih tengah. Dene
kapernah jaja (dhadha) sak pangandhap katutup mawi tangkepan mangiwa, miring
mangandhap. Kancingipun kiwa sak pangandhap wonten tiga. Dene sisih tengen jaja dipun
pasangi kancing (benik) ugi cacah kalih mapanipun sami kaliyan kancing ing kiwa, minongka
pasren. Kadosdene atellah, ing wingking sak pangandhap pengkeran dipun krowok, kangge
nyengkelit dhuwung.
3) Sikepan
Sikepan makaten wangunipun sami kaliyan Atellah kanthi bikaan ing tengah, namung
bikaanipun kadamel cupet, dados mboten saget katutup kakancingaken. Ing sisih tengen
bikaanipun dipun pasangi kancing, namung minongka pasren. Ing perangan nglebet dipun agemi
rasukan Rompi Pethak, gulon tutup mawi kancing sisih tengah sak pangandhap. Sarehning
agemanipun mboten saget kakancingaken, pramila manawi ngagem Rompinipun tartamtu
ketingal.
4) Langenharjan
Langenharjan punika satunggaling ageman ingkang kathah emperipun kaliyan busana
Barat inggih punika Jas bikak kados TEXIDO. Tegesipun sakngandhapipun gulu tutupipun jas
kawalik kaprenahaken mangiwa lan manengen.
Kancingipun wonten setunggal menapa kalih. Sanesipun pasren. Ing sisih wingking
sakngandhap pengkeran ugi dipun krowok. Dene rasukan ingkang wonten nglebet wonten
rangkep kalih. Nglebet piyambak Hem lengan panjang kanthi gulonipun jejeg ngadeg
manginggil (staande kraag) dipun paringi dasi kupu-kupu. Nembe dipun rangkepi Rompi
kancing tengah.
5) Beskap Landhung
Beskap landhung punika wangunipun sami kaliyan beskap limrah, namung badanipun
langkung panjang kados dene jas limrah. Samanten ugi wingkingipun mboten dipun krowok,
kajawi beskap landhung ugi wonten wangun atellah landhung.
Kajawi menika taksih wonten rerangkenipun ageman kasebat ing nginggil inggih punika ingkang
dipunwastaniKemejan inggih punika rangkepaning gulon saha rangkepaning pucukan lengen,
awujud kain pethak ingkang kajahit rangkep wiyaripun kirang langkung 5 Cm. panjangipun
kaukur sami kaliyan ubengipun gulon saha pucukan lengen.
6) Taqwa
Taksih wonten malih ingkang perlu dipun mangertosi wontenipun ageman mligi kagem
Ratu utawi Nata inggih punika busana Taqwa. Busana punika Iyasanipun Kanjeng Sunan
Kalijaga, mligi kagem para Nata. Sak punika asring dipun agem dening ISKS Paku Buwana

XIII arupi beskap, namung ing sisih


ngandhap. Dene kulukipun kanigaran.
c.

ngajeng

(jaja)

tangkepipun

panjang

dumugi

Warnining Kulambi Utawi Rasukan


Warninipun
busana
ing
Karaton
Surakarta
kabentenaken
antawisipun atellah kaliyan beskap. TumrapAtellah warninipun namung wonten kalih, inggih
menika
cemeng
lan
pethak. Atellah punika
kalebet
ageman
resmi
Karaton
Surakarta. Dene beskap kalebet ugi ingkang landhung, ulesipun saget warni-warni, cemeng,
abu-abu, kuning gadhing ijem, lan sanesipun.

d. Paugeran Pangageming Rasukan


1) Ing Karaton Surakarta
Sampun dados adat lupiya, busana punapa ingkang dipun agem manawi wonten ing
pisowanan, saget kawuningan saking Serat timbalan-dalem. Padatan dipun bentenaken
antawisipun pisowanan ageng saha pisowanan padintenan utawi limrah. Umumipun manawi
pisowanan ageng punika warninipun cemeng. Dene pisowanan padintenan warninipun merdeka.
a) Pisowanan Ageng
(1) Tumrap Para Santana Dalem Riya Nginggil sesebatan KPH, KP, KRA agemamnipun sikepan
cekak warni cemeng mawi rompi pethak. Udheng Jebehan, Dhuwung Warangka Ladrang.
(2) Tumrap Abdidalem Bupati Sepuh Riya kanthi sesebatan KRAT agemanipun Sikepan Cekak
warni Cemeng, Udheng Cekok mondhol Kuncung, dhuwung warangka Ladrang.
(3) Tumrap para sentana dalem, abdidalem, bupati, bupati anom ingkang sesebatanipun KRMT,
KRT, RMT, RT, agemanipun Atellah Cemeng mawi Passan, Udheng Cekok Mondhol Kuncung,
Dhuwung warangka Ladrang, nganggar samir.
(4) Abdi-dalem sanesipun Panewu sak pangandhap, agemanipun Atellah Cemeng, Udheng Cekok
mondhol mawi kuncung, dhuwung warangka ladrang, hanganggar samir.
b) Pisowanan Padintenan
Ing pisowann padintenan, sadaya kemawon inggih putra sentana-dalem punapadene para
Abdi-dalem, agemanipun beskap sauger mboten cemeng. Kajawi ingkang kadawuhan mengku
damel kadostaAbdi-dalem Juru Suranata, Ngulama, srabut agemanipun atellah pethak.
2) Ing Sanjawining Karaton
Busana adat Jawi ingkang sami dipun agem ing sanjawining Keraton, limrahipun manawi
wonten pahargyan mantu, tumbuk yuswa, supitan, layatan inggih punika beskap.
(Badhe kaaturaken mligi ing bab Busana Penganten lan Pahargyan)

Gambar Beskap

Gambar Sikepan

Gambar Atella

Gambar Langen harjan lan Rompi

3. SETAGEN
a. Pangertosanipun Setagen
Setagen punika arupi pirantos kangge nyingseti utawi ngencengaken tumempelipun sinjang
wonten badan, supados sampun ngantos mlorod temahan udhar. Setagen bakalanipun kadamel
saking kain tenun kandel, benangipun tenun agal, mila radi kaken. Wiyaripun setagen watawis 2
4 M. ulesipun warni-warni, wonten ingkang cemeng, ijem, pethak, naming sadaya wau
mboten wigatos, jalaran mangenipun setagen punika badhe katutup kaliyan sabuk, wonten
nglebet dados mboten ketingal saking njawi.
b. Patrapipun Mangangge Setagen
Ing nginggil sampun kaaturaken bilih setagen punika pirantos kangge ngingseti
sinjang. Pramila sakderengipun dipunsingseti, panganggenipun sinjang kedah sampun karaos
trep, nembe lajeng dipun ubedi setagen. Anggenipun ngubedi setagen kawiwitan saking
ngandhap, pas nginggil cethik, ubedipun mangiwa, saben sak ubedan kedah dipun kencengaken,
ubedanipun kaprenahaken samsaya minggah. Pungkasanipun setagen lajeng dipun peniteni.
4. SABUK
a. Pangertosanipun Sabuk
Sabuk punika ageman ingkang dipun angge nutupi setagen. Dados manawi sinjang sampun
dipun singseti, lajeng dipun sinseti malih mawi sabuk, supados setagen mboten ketingal. Dados
kadosdene pasren. Kajawi punika sabuk mangkenipun ugi badhe dipun angge nyengkelitaken
dhuwung ing sisih wingking. Dados rehdene ageman rasukan ing wingking krowok, pramila
ingkang ketingal sanes sinjang utawi setagenipun, ingkang ugi minongka kangge nyengkelitipun
dhuwung.
b. Jinis Sarta Cakrikipun Sabuk
Jinis sarta cakripun sabuk punika wonten tiga, inggih punika:
1) Sabuk Cindhe

Bakalipun ingkang dipun angge saking benang sutra alus ingkang sampun kacelup
kaliyan ules warni-warni. Manawi sampun katenun, sekaranipun urapi pesagi utawi sawa
mawarni-warni ingkang dipun rakit mujudaken wewangunan ingkang saestu nengsemaken
(artistic). Wekdal sakpunika sampun awis-awis sanget wontenipun. Dene ingkang wonten
cakrikipun memper sabuk cindhe, ananing sanes saking tenunan, naming saking cap- capan
memper cindhe, wujud makaten dipun sebat Cindhen.
Sinaosa sekaranipun kawangun saking maneka warnanipun pesagi pesagi alit, nanging manawi
ingkang kathah (dominan) warninipunn abrit, lajeng katingal sabuk abrit, semanten ugi ingkang
ijem, wungu, kuning lsp.
2) Sabuk Tenunan
Bahanipun pancen kadamel saking benang tenun limrah, padatan ulesipun byur
polos. Warnanipun wonten ingkang ijem, abrit, wungu, kuning, lan sanesipun. Kala kala
dipun selipi benang Jene (emas)ingkang mujudaken garis-garis jene (emas) utawi kados dene
toya jawah, ingkang makaten dipun astani cakrik Udan Mas.
3) Sabuk Celupan
Inggih punika satunggalintg sabuk ingkang bahanipun pancen saking celupan kanthi ules
mawarni-warni kadosta: Sindhur, Podhang nusup sari, Uyah sawungkul, ceplok.
c.

Patrapipun Mangangge Utawi Ngagem Sabuk


Kados sampun ka-aturaken ing nginggil, panjangipun sabuk watawis 4 5 M. patrapipun
ngagem kanthi kaubedaken badan, kawiwitan saking nginggil, ubedipun mangiwa. Ubedipun
ingkang angka kalih kapernahaken kirang langkung kalih nyari sak ngandhapipun. Semanten ugi
ubedan ingkang angka tiga kapernahaken kirang langkung kalih nyari sak ngandhapipun ubedan
angka kalih, makaten sak piturutipun ngantos sap gangsal utawi nenem. Telas pungkasaning
sabuk lajeng dipun peniteni supados mboten udhar, perlu dipun taliti supados sinjang punapa
dene setagen mboten ketingal.
Kajawi punika ugi dipun imut-imut, anggenipun miwiti ubedan sabuk punika benten kaliyan
ubedipun setagen. Manawi ubedipun setagen punika kawiwitan saking ngandhap minggah
supados kenceng. Dene manawi sabuk ubedipun kawiwitan saking nginggil lajeng mangandhap
supados mangkenipun saget kangge nyengkelit dhuwung.

d. Paugeran Pangangening Sabuk.


Limrahipun wonten pundi kemawon, manawi sipatipun pahargyan, agemanipun sabuk
merdika. Kajawi mawi nuju layatan, sabukipun prayogi cemeng polos. Dene manawi mantu,
para ingkang sami bebesanan sabukipun salindhur.
Dene ing pisowanan karaton, tumrap para sentana dalem punapa dene abdidalem ingkang
sesebatan Bupati mangandhap, mboten kepareng ngagem sabuk cindhe.

5. EPEK TIMANG LAN LEREP


a. Pangertosanipun
Ingkang dipun wastani Epek menika awujud setut ingkang kadamel saking bakalan kain
bludru, wiyaripun watawis 5 CM, dene panjangipun watawis 120 150 CM. kajawi saking

bludru epek ugi wonten ingkang kadamel saking bubatipun kapal (rambut jaran), rambut punapa
dene surinipun. Bongkotipun epek dipun pasangi Timang utawi Gesper ingkang dipun angge
nyandhet ubetipun epek, sarta Lerep ingkang kangge nlesepaken tirahaning epek supados
mboten kumlewer.
Timang (Gesper) sarta lerep, limrahipun kadamel saking kuningan kanthi rinengga
ukiran. Malah kepara ukiranipun wonten ingkang dipun tretes inten, barliyan, menapa dene
selamaya.
b. Warni warnipun Epek
Limrahipun Epek wonten tiga cacahipun, inggih punika:
1) Epek Polos
Epek punika kadamel saking bludru polos, ulesipun wonten ingkang warni biru, abrit, cemeng,
wungu, lan sapanungalipun.
2) Epek Blodiran
Limrahipun epek punika kadamel saking bludru, lajeng dipun bolder mawarni-warni. Wonten
ingkang cakrik untu walang utawi ombak banyu, wonten ingkang arupi sekaran ron pakis.
3) Epek Rambut
Inggih punika epek ingkang kadamel saking bubatipun kapal (jaran) warni cemeng.

Gambar Epek Timang

Epek Gandhosan

Timang Gandhosan

Timang Jlebrah

Timang Sinom

Timang Olan - olan

c.

Paugeran Mangangge Epek


Caranipun hangagem epek punika ka-ubedaken wonten sabuk, ubedipun mangiwa, tegesipun
timang kaprenahaken sisih kiwa. Anggenipun ngubedaken epek, ka-angkah wiyaripun
antawisipun epek ngandhap kaliyan sabuk sisih ngandhap kirang langkung 2.5 nyari (kalih
setengah nyari). Dene timangipun kapernahaken wonten ngajeng trep tengah-tengah. Wonten
ing pabrayan umum jinis epek ingkang dipun agem warninipun merdika mboten wonten
awisanipun. Naming manawi nuju layatan, prayogi hangagem sabuk cemeng.

Manawi sowan dhateng karaton, tumrap para putra Santana dalem menapadene abdidalem
ingkang sesebatanipun bupati sak pangandhap mboten kepareng hangagem epek ingkang
boldiran untu walang punapa dene ombak banyu. Prayoginipun hangagem ingkang polos. Bab
warni kasumanggakaken miturut paugeran ingkang dipun remeni.
Gegandhengan kaliyan paugeran hangagem epek lan sabuk, warah dalem Ingkang Sinuhun
Kangjeng Susuhunan Paku Buwana Kaping IX Karaton Surakarta Hadiningrat paring wewarah
tumrap paugeran hangagem sabuk ingkang kajumbuhaen kaliyan epek lan lerepipun. Dene
wujudipun kados ingkang ka-aturaken ing seratan punika.
N
o
01
02
03
04
05
06

Warni Sabuk

Epek

Aranipun

Watak Panganggenipun

Ungu
Ijem
Biru

Ijem
Abrit
Abrit

Wredha Ginugah
Mudha Rumagang
Satriya mangsah

Jambu
/jambon/
Jenar
/Kuning
Kapuranta
(abrit anem)

Biru/cemeng/ung
u
Biru / Cemeng

Narendratama

Ayem, Wredha/Siang
Trengginas,Mudha/S/D
Trampil mapan, nudha,
wredha/S/D
Sabar, menep, S/D

Candra Sumunar

Sabar, maton, S/D

Biru
/Cemeng/Ungu

Surya Sumirat

Tan Swala/Mudha, S/D

Gambar Sabuk Epek Timang


6. SINJANG UTAWI NYAMPING
a. Pangertosanipun Sinjang
Sinjang basanipun ngoko Jarik utawi Jarit lan Sewek (jawi wetan), kramanipun inggil
Nyamping. Inggih punika arupi kain bathik ingkang dipun agem kanthi ka-ubedaken ing
badan nutupi jaja sak pangandhap, dene watesipun suku ing nginggil polok.
Kain bathik ingkang ka-agem nyampingan utawi sinjang kalawau, saestu arupin wohing
pangolah budi para leluhur linangkung run tumurun wiwit jaman kina makina. Kajawi cakrik
ingkang rawit (njlimet) lan nengsemaken ugi caanipun ndamel igu rungsit kagarap kanthi
njlimet, sabar , telaten, sarta nglampahi pinten-pinten tataran.
b. Patrapipun Damel Sinjang Utawi Jarik

Bakalanipun sinjang inggih menika mori (monten), satunggaling kain pethak ingkang
sakderengipun kagarap utawikabathik kedah dipun kanji rumiyin, salajengipun tumuli kapepe,
sak sampunipun garing lajeng dipun kemplong pangajabipun supados rapet tenunanipun,
temahanipun manawikaserat (ka-bathik) mboten mblobor.
Bakalan saking mori kalawau lajeng dipun cengkorongi utawi kagambar mawi potlot, sak
sampunipun dados lajeng kaserat mawi malam, dene pirantos ingkang kangge nyerat inggih
menika winastan canthing. Manawi gambaripun mawi titik-titik utawi cecek tumuli
kaginakaken canting cecekan. Manawi sampun kabathik ing ngajeng utawi dipun Ngengreng
salajengipun dipun Terusi supados bathik wolak walik ketingal nyawiji. Manawi ing gambar
bathik wonten ingkang mangkenipun kedah kadamel pethak lajeng kemawon ing gambar
dipun Tembok ingkang tegesipun ngeblok perangan gambar ingkang badhe dipun
pethakaken. Malam ingkang ka-angge nemboki menika beda kaliyan malam ingkang kaangge ngengrengi inggih menika langkung cemeng warninipun tinimbang malam ngengrengan.
Manawi sampun dipun tembok tumuli ka Wedel inggih menika damel warni biru kangge
dhasaripun sinjang, sak sampunipun kawedel, lajeng dipun kerok ingkang dipun betahaken,
ingang sampun wonten warninipun biru lajeng katutup malih mawi malam ingkang tegesipun
mbathik Mbironi. Rampung dipun bironi lajeng ka Soga utawi dipun Sareni. Soga
menika minongka sarana kangge ngelir utawi nyukani kelir soklat ing sinjang
kalawau. Saksampunipun dipun soga lajeng kalorot supados ical malamipun. Manawi sampun
ical malamipun badhe ketingal seratan bathik.
Manawi sampun kababar, ketingal dados sinjang, salajengipun dipun Kanji supados rapet
tenunanipun malih, kapepe ing papan ingkang mboten benter, manawi sampun garing lajeng
kalempit, miturut trep-trepanipun nglempit sinjang. Sak sampunipun dipun lempit lajeng kakemplong supados rapet lan madhet tenunipun.
c. Warninipun Sinjang
Sinjang limrah ukuran limrah watawis 110 x 260 cm. sinjang Kampuh utawi Dodot langkung
panjang katimbang sinjang limrah, inggih punika 4 panjangipun sinjang limrah.
Bab warnining sinjang manawi saperangan ulesipun cemeng, dipun wastani Latar
Cemeng. Dene saperangan ageng ulesipun pethak dipun wastani Bledhak utawi latar putih.
d. Cakrikipun sinjang
Manawi dipun taliti, cakrikipun sinjang punika ingkang baku saget kaperang wonten kalih inggih
punika:
1. Cakrik ingkang mratelakaken mapanipun Sekaran (kembangan)
2. Cakrik ingkang mratelakaken warni-warnining sekaran.
Kekalihipun punika manawi dipun dadosaken setunggal saget ngetingalaken maneka warnining
sinjang.
1) Cakrik Ingkang Mratelakaken Mapanipun Sekaran
Mapanipun sekaran kapilah-pilah, dipun tata kanthi ajeg, ingkang mangkenipun saget mujudaken
gambaran ingkang mawarni-warni, inggih punika:
a) Lereng lan Parang
Sinjang Parang makaten seratanipun awujud garis miring diagonal 45 derajat, wonten
wangunipun mlinjon, sujen, sarta mata gareng. Dene ingkang kawastanan Lereng, seratanipun
wujudipun garis miring diagonal 45 derajat mboten wonten mlinjonipun, sujen sarta mata
gareng, namung dipun watesi garis-garis, adakanipun mawi cakrik lung-lungan utawi kaseling
parangan ingkang dipun wangun geblagan.

SEJARAHIPUN BATHIK PARANG

Bathik parang saha lereng tumrap Karaton Surakarta minongka agemanipun para luhur,
tegesipun bathik menika naming ka-agem dening Sinuhun saha para putra dalem lan abdi
dalem dadoa larangan utawi awisan.
Parang punika kadidene gaman, sarta wonten werdi sanes Pereng/ereng-erengan saking
inggil mangandhap, saking pereng ing pesisir kidul lan Segara kidul inggih punika: Parang
Gupito, parang kusumo, parang tritis lsp. Kawontenan punika wonten sambung rapetipun
kalihan Panembahan Senopati ingkang madegaken Mataram Islam Ing tanah Jawi. Papan
kasebat minongka papan ingkang kangge teteki Panembahan Senopati rikala badhe
madegipun Keraton Mataram. Lelampahan kalawau ingkang ndadosaken wontenipun bathik
cakrik parang lan lereng (gambaranipun lampah Panembahan Senopati munggah gunung
mudhun Jurang, ingkang kebak kalihan panandhaning gesang. Wujudipun jentrek-jentrek
kados gunung baris. Babonipun parang ing sakawit inggih punika: Parang Geblagan, Parang
Thathit, Lereng Sobrah.

b) Ceplok
Sinjang Ceplok, seratanipun awujud sekaran ingkang kawangun pesagi punapa dene wajikan,
tarkadhang wangunipun sekaran dipun watesi kaliyan garis-garis ingkang mujudaken wangun
pesagi menapa dene wajikan, dados lajeng katingal pating ceplok, pating dlemok. Tuladhanipun
sinjangSidomukti, Sidoluhur, Karjagad, lan Kawung (pirsanana gambar).
c) Cakrik Merdika
Cakrik merdika, sekaranipun mboten ketingal winates, ing salebeting garis-garis miring menapa
wonten
salebeting
kothak
pesagi
utawi
wajikan. Dados
saestu
sekaranipun
merdika/bebas. Tuladhanipun sinjang Cuwiri, Semen.lsp.
2) Cakrik Ingkang Mratelakaken Warni warnining Sekaran
Sekaran motif ingkang dipun ginakaken kangge seratan punika maneka warni. Para pengrajin
bathik saestu hanggadhahi wawasan ingkang sakalangkung wiyar, salajengipun sadaya
wewujudan ingkang tumitah ing alam donya saget dipun tiru kangge sesekaran.

a)
(1)
(2)
b)
(1)
(2)
c)
(1)
(2)

Wiwit sawarnining tetuwuhan, sawarnining ron, punapadene sawarnining sekar, who-wohan,


sato kewan, peksi, elar, kepiting, ulam ing seganten, kawontaning jagad raya, sadaya saget
kaserat dados pola utawi cakrik ing seratan bathik.
Sekaran ingkang kapendhet saking tetuwuhan upaminipun:
Sinjang Kawung kapendhet wohing kolang-kaling
Sinjang Ceplok, upaminipun Ceplok Sekar Kenikir, Ceplok Sekar Asem, ceplok Sekar
Manggis.
Sesekaran ingkang kapendhet saking bangsaning sato kewan
Seratan ingkang mratelakaken elar-elaran (sayap burung) kadosta; Sidomukti, Sidoluhur, Semen
Cakrik Cuwiri ingkang sekaranipun nggambaraken ulam segara, urang, lan sapanunggalipun.
Sesekaran ingkang kapendhet saking kawontenaning alam donya:
Cakrik Sekar Jagad sekaripun hanggambaraken watesing nagari.
Cakrik Wahyu Tumurun, sekaranipun hanggambaraken wahyu ingkang cumlorot.
Miturut sejarah cakrik Sido Luhur menika yasandalem ISKS Paku Buwana IV, pramila ingkang
sami mangangge sinjang hanggadhahi pangajab, mugi angsala cuwilaning kaluhuran
ingkang Iyasa. Semanten ugi cakrik Sidomukti kapaa langkung sepuh, Inggih punika Iyasan
ISKS Paku Buwana II. Kasuwun lumunturingberkah dalem pinaringan mukti lelampahanipun
gesang.

e.

Caranipun Hangagem Sinjang


Manawi badhe hangagem sinjang, langkung rumiyin kedah dipun damel wironipun, inggih
punika wiwit saking pinggiraning sinjang (seretan/Tumpal) dipun lempit wolak-walik ngantos
2/3 panjangipun sinjang. Wiyaripun saben lempitaning wiron manawi kagem kakung kirang
langkung 7 CM. dene wiron kagem putri kirang langkung 3.5 CM.
Lempitaning wiron ingkang sepisan ingkang ngemot seretaning kaprenahaken wonten ing lebet,
supados manawi dipun- agem seretipun mboten ketingal (Gagrag Surakarta) dene Ngayojakarta
seretipun kedah ketingal.
Ngagem busana Jawi kawiwitan saking nyamping, bab inggil andhapipun nyamping sampun
ngantos ketingal polokipun, nanging ugi sampun ngantos ketebihin sangandhaping polok, mila
wiwit nyampingan prayoginipun selop dipun agem rumiyin, supados dadosipun inggih sumbut
kaliyan manawi sampun ngagem selopboten badhe kandhapen utawi kinggilen. Wiron punika
boten perlu dipun japit, sauger sampun pejah, limrahipun boten badhe wudhar. Ubedipun
nyamping saking mangiwa, asta tengen ngasta utawi nyepeng wiron kapapanaken wonten
tengahing puser dene pucuk utawi pangasih kacepeng wonten tangan kiwa kapapanaken wonten
tepong tengen, kaangkah pucuk ngandhap sinjang boten kadal melet, nembe wiron ingkang
dipuncepeng asta tengen kapapanaken wonten tengah, manawi sampun dhamis lajeng dipun
tangsuli, kasusul ngagemipun setagen lan sabuk. Ubedipun sabuk punika kawiwitan saking
nginggil mangandhap eneripun ugi mangiwa ubedipun. Lajeng kasusul ngagem epek timang
saha lerebipun, timang kadhawahaken tengah leres, lerep ing kiwa, dados tegesipun ubedipun ugi

mangiwa. Paugeran gagrag Karaton Surakarta mapanipun epek, wonten ngandhap watawis kalih
nyari saking tepining sabuk.
Salajengipun ngagem rasukan, kasusul ngagem dhestar manawi sampun saweg ngagem
wangkingan utawi dhuwung. Wangkingan punika sumengkelitipun wonten ing sabuk sap 3
(tiga) saking ngandhap, semu sumendhe miring sikut tengen. Dados boten kenging sumendhe
mangiwa, sabab ukiranipun, lajeng tumungkul. Punika manawi kajawen dipun wastani boten
susila, pasemonipun mrentah supados sinten ingkang wonten ngajeng tumungkula, namanipun
ngewal, wonten ugi ingkang mastani nyothe. Tumrap kejawen langkung-langkung Karaton,
punika dados awisan.
f.

Paugeran Ngagem Sinjang

1) Wonten Ing Karaton


Manawi sowan Karaton nyarengi timbalan menapa kemawon, tumrap sentana utawi abdi dalem
ingkang sesebatanipun Bupati sak pangandhap, mboten kepareng ngagem sinjang cakrik
lereng. Dene ingkang sesebatanipun ria nginggil (harya) sakp[enginggil cakrikipun merdika.
2) Wonten Ing Sanjawining Karaton
Sinjang ingkang dipun agem wonten sanjawining Karaton kagem sinten kemawon merdika,
mboten wonten awisan menapa-menapa. Kajawi sinjang truntum menika mligi kagem pahargyan
mantu, dipun agem dening para ingkang sami bebesanan.
Bab sinjang dodot sak menika sampun awis-awis dipun-angge, manawi kala rumiyin ing Alam
jumenengipun ISKS Paku Buwana X, manawi pisowanan ageng para abdidalem kedah
mangangge sinjang dodot.

7. DHUWUNG UTAWI WANGKINGAN


a. Pangertosan
Dhuwung, basanipun ngoko keris, krama inggilipun wangkingan arupi wujud sanjata tumrap
tiyang Jawi ingkang sanget adi luhung. Kawastanan adiluhung amarji sak donya mboten wonten
tandhingipun. Wiwit saking padamelanipun ingkang rungsit, rawit, kanthi telaten, sabar sarta
eneping manah.
Perlu katerangaken bilih dhuwung piyambak onten warni kalih, inggih menika:
1) Dhuwung ingkang mligi kadamel kagem ageman, utawi pasren, menika hanggenipun damel
mboten mawi pasa utawi lampah prihatos.
2) Dhuwung pusaka tayuhan, inggih menika ingkang ndamelipun dipun kantheni lampah sarta
upacara ingkang sampun dados pakem utawi paugeran ingkang gumathok. Dhuwung pusaka
menika salajengipun ingkang dipun aji-aji punapadene dipun agung-agungaken.
Dhuwung sawenehing gaman ingkang kadamel saking campuran tosan, pramila wonten ingkang
mastanitosan aji, wangunipun tipis panjang, dene cepenganipun dipun wastani
ukiran. Wiyaripun dhuwung watawis 8 CM, lajeng merit samsaya alit ngantos dumugi 2.5 CM
wiyaripun lan wekasan pucukipun lancip. Dene panjangipun watawis 35-40 CM. kiwa lan
tengenipun kadamel landhep. Dene wangunipun wonten ingkang jejeg (leres) wonten ingkang
ngolat-ngolet ingkang ugi dipun wastani Luk.
Dhuwung manawi mboten dipun ginakaken kedahdipun lebetaken ing wadhahipun, ingkang
dipun namakaken warangka sebab kathah dhuwung ingkang sampun dipun warangi lan
menika sanget mbebayani.
b. Sejarahipun Dhuwung
Kajawi tanah Jawi (kalebet Madura lan Pulo Bali) kabudayan keris (dhuwung) ugi pinanggih
wonten Sulawesi Kidul (Gowa). Kajawi menika gaman ingkang memper keris
kadosta badhik ing tanah bugis, rencong ing Sumatra Ler (aceh), Mandhau ing Sulawesi
(Makasar) ugi sampun wonten du king kina. Saget kedadosan makaten jalaran tumrap bangsa
Indonesia Jaman Logam sampun wonten wiwit tahun 500 sak derengipun Masehi. Ateges
kabetahanipun ngagesang tumrap perkakas sampun kadamel saking Logam.
Mligi bab dhuwung utawi keris, ingkang kaserat wonten kitab Tangguh Curiga sejarahipun
dhuwung saget kaperang dados 5 perangan katitik saking wekdalipun rikala dhuwung menika
kadamel. Pathokan menika dipun sebat Tangguh inggih menika:

N
o
01

Nama Tangguh
Tangguh Kuno/Buda

02

Tangguh Madya/Buda

03

Tangguh Madya Sepuh

Panginten dipun damel


Abad 1-10 Masehi Karaton Medang
Kamulan, Kahuripan /Erlangga kediri
Abad 10-12 Masehi Karaton Jenggala
Kedhiri - Dhaha, Pajajaran, Cirebon,
Segaluh
Abad 12-14 Masehi Karaton Tuban,

c.

1)

2)

d.
1)

04

Tangguh Madya

05

Tangguh Anem

Majopahit,
Sedayu
Blambangan,
Maduro
Abad 14-16 Masehi Karaton Demak,
Pajang, Mediun, Mataram, Sultan
Agungan , Banten.
Abad
16-20
Masehi.
Karaton
Kartosuro,
Surakarta,
Ngayoja,
Mangkunegaran, Paku Alaman lajeng
ngatos dumugi alam kamardekan.

Jinisipun Dhuwung Miturut Warangkanipun


Ing ngajeng sampun ka-andharaken bilih dhuwung manawi mboten kaginakaken kedah dipun
lebetaken ing wadhahipun, inggih punika ingkang dipun sebat Warangka. Dados saking njawi
ingkang katingal naming wangunipun warangka, dene nglebetipun isi wilahan utawi keris.
Miturut wangunipun, warangko wonten warni kalih, inggih menika cakrik Ladrangan saha
cakrik Gayaman
Warangka Gayaman
Warangka Gayaman makaten ngajeng lan wingking, irah-irahan wangunipun sami inggih menika
pupak/punggel. Perangan ngajeng langkung caket tinimbang ingkang wingking, sarta perangan
wingking kapara radi minggah.
Warangka Ladrang
Inggih menika satunggaling warangka ingkang irah-irahipun perangan ngajeng mlungker
(angkup) dhateng mlebet, dene ingkang wingking langkung panjang sarta njepapang
(godhongan), pucukipun lancip, sami kaliyan gayaman, irah-irahan ugi radi minggah supados
ketingal gagah manawi dipun agem.
Peranganipun Dhuwung
Peranganipun dhuwung ingkang baku wonten 5, inggih menika: Ukiran, Mendhak, Warangko,
Pendhok, Wilahan.
Ukiran
Ingkang dipun wastani ukiran menika garan utawi cepengan wilahan. Limrahipun kadamel
saking kajeng trenggana, kemuning, sawo lan sanesipun sadaya dipun ukir. Irah-irahan awujud
jambu mete. Gulonipun panjang kangge cepengan sarta manjingipun wilahan
dhateng. Limrahipun ukiran dipun plitur, menapa dene dipun gebeg supados ketingal sekaran
menap[a dene srat-seratipun kajeng. Manjingipun wilahan dhateng ukiran menika kedah trep lan
kenceng.
Ing Surakarta ukiran kalimrah kanthi cakrik/gaya Paku Buwanan, Wiryodiningratan, lan dapur
mangkurat.

2) Mendhak kaliyan Selut


Ingkang dipun wastani mendhak punika awujud slongsongan arupi conthong kapotong
kuwalik, dipun damel saking tosan utawi kuningan, dipun angge minongka umpak adeging
ukiran manjing ing wilahan supados saget trep, wilahan mboten onya (lepas) saking ukiranipun.
Dhapuripun mendhak antawisipun: Angkup, Randhu, Parijotho. Kajawi mendhak, ugi
wonten ingkang tambah malih ingkang nama Selut dipun papanaken wonten sak nginggilipun
mendhak.

Selut makaten wangunipun kados jeram pecel, namung radi gepeng, kadamel saking
kuningan kaukir sae, dados pasrening dhuwung. Malah kepara awit dhawuhipun para nata
dhumateng para empu ingkang handamel dhuwung, selut asring rinengga barleyan, inten
(sesotya). Dene dapuripun selut ing antawisipun:jeruk keprok, jeruk pecel, jeruk sambel.
3) Warangka
Sampun kauningan bilih warangka punika awujud wadhahing wilahan (keris). Ing
nginggil sampun ka-aturaken bilih jinipun wonten kalih inggih punika warangka gayaman saha
warangka Ladrang. Warangka limrahipun kadamel saking kajeng Timoho.
Peranganipun warangka wonten kalih, inggih punika perangan nginggil minongka irahirahanipun dipun wastanigodhongan saget kawangun gayaman menapa ladrang. Kalihkalihipun kadamelndhaplang, ngiras kagem totogan manawi dipun sengkelitaken, dhuwungipun
supados mboten mlorot. Perangan ngandhap, inggih punika ingkang ka-angge wadhah
wilahanipun dhuwung, dipun wastani Gandar. Wiyar, kandel punapa dene panjangipun dipun
cundhukaken (disesuaikan) kaliyan wiyari, kandel, panjangipun wilahan.
Godhongan kaliyan Gandar wonten warni kalih:
a) Gandar kaliyan godhonganipun kadamel saking kajeng setunggal wetah, sarta dipun garap
alus. saestu arupi kagunan (karya seni) ingkang rawit (rumit, njlimet) rekaos pendamelipun. Sak
punika sampun awis wontenipun.
b) Godhongan dipun garap alus, dene gandaripun mboten, jalaran mangkenipun badhe dipun
slongsongi kaliyan pendhok.
Panggarapanipun godhongan kalawau sareng sampun kawangun sae, awujud ladrang menapa
dene gayaman, lajeng kagebeg alus, dipun plitur. Kajawi punika ugi wonten godhongan ingkang
dipunsungging tegesipun dipun gambar (bathik).
N
o
01
02

Godhongan Kaprada

Agemanipun

Gebegan lajeng kasungging


Dasar Pradan Kasungging

Nata, Ratu

03

Dasar Pethak Kasungging

04
05

Dasar Ijem Kasungging


Dasar Biru Kasungging

06

Loreng

Bupati Sepuh,
Anem
Panewu, Mantri
Lurah
Sakpangandhap
Abdidalem
Canthang Balung

Pangeran Putra,
Pangeran Wayah

4) Pendhok
Pendhok makaten arupi rangkepan ingkang dipunangge nylongsongi gandaring
warangka. Kadamel saking campuran kuningan saha tembaga, rinengga ukiran lajeng kasepuh
emas utawi kuningan, malah wonten ingkang rinengga barliyan (sesotya). Kajawipunika ugi
wonten pendhok ingkang polos mboten kaukir, lajeng dipun cet abrit, ijem, coklat saha
cemeng. Pendhok ingkang makaten punika namanipunKemalo.
Pendhok kemalo abrit punika agemanipun para putra sentana sarta bupati anem
minggah. Dene pendhok kemalo ijem sarta coklat agemanipun para prajurit sarta canthang
balung.

5) Wilahan
Wilahan punika perangan ingkang baku tumrap dhuwung, kadamel saking campuraning tosan,
waja, pamor utawi nikel.
Ing nginggil sampun ka-aturaken bilih jinisipun wilahan wonten kalih, inggih punika ingkang
jejeg (leres) kaliyan ingkang menggak-menggok (luk). Dene cacahing luk warni-warni, wiwit
luk 1 ngantos luk ingkang langkung saking sewelas.
a) Peranganipun Wilahan
Peranganipun wilahan ingkang bakuwonten tiga inggih punika:
(1) Pesi
Inggih punika peranganing wilahan ingkang lancip kados paku, manunggal kaliyan
wilahanipun. Pesi punika ingkang mangke manjing ing ukiran (garan).
(2) Ganja
Inggih punika bakalanipun campuran wesi, waja, sarta nikel, kapotong saking wilahan perangan
nginggil, kawangun kados cecak, tipis panjang, ing tengah dipun bolong. Ganja punika mboten
manunggalkaliyan wilahanipun. Ginanipun kangge ganjel antawisipun wilahan kaliyan
ukiranipun. Bolongan ing tengahing ganja kalawau dipun angge mlebetipun pesi.
(3) Wilahan
Inggih punika perangan ingkang baku ing dhuwung. Bongkotipun langkung wiyar sarta
langkung kandel. Panjangipun antawis 35 cm dumugi 40 cm. samsaya pucuk samsaya merit
lancip, kiwa tengenipun landhep.
b) Dhapur Utawi Wangunipun Wilahan
Kajawi pesi, ganja ugi kaukir, jumbuh kaliyan wilahipun, pesi ganja kalihan wilahipun kalawau
manawi sampun manunggal mujudaken blegeripun dhuwung/wilahan. Inggih ingkang dipun
wastani dhapur ing wilahan.
Dene ingkang dipun wastani ricikan ing wilahan inggih punika, sedaya rerenggan awujud
ukiraning wilahan lan ganja, punapa dene sekaraning pamor, ingkang sadaya kalawau
manunggal, lajeng mujudaken dhuwung ingkang hanggadhahi tenger sarta kapeibadenipun
dhuwung. Limrahipun ricikan wonten 23 warni, antawisipun sogokan, pejetan, greneng,
kembang kacang, tlale gajah, ri pandhan, jenggot sarta sanesipun.
Dene dapur wangunipun wilahan antawisipun:
(1) Jalak Buda
(2) Jalak Nusup Madu
(3) Pasopati
(4) Naga Raja
(5) Damar Murub
Sarta tasih kathah malih namaning dhapur sanesipun
c) Ingkang Damel Wilahan
Ingkang damel wilahaning dhuwung pubika namanipun empu, kabyantu sawetawis rencang,
antawipun ingkang mandhe,tukang ngububi (nepasi) pawon, sarta ingkang nyepengi bakalaning
wilahan. Rencang utawi kanca-kanca kalawau namanipun Panjak. Pedamelanipn kedah
setunggal-setunggal, mboten saget sesarengan.
Empu makaten hanggadhahi prabawa, lampah batos, gentur tapa sarta mandegani para panjak
ingkang ing mangke saget hambabar watakipun dhuwung.

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)

Nama para empu ingkang misuwur ing antawisipun:


Empu gandring, jaman Sang Prabu Maha Dewa Buda
Empu Ramajadi, Jaman Purwa Carita
Empu Keleng, ingkang iyasa Kyai Kopek dhawuhing nata pajajaran.
Empu Jigjo, Empu Supomandrangi ing jaman Majapahit,
Empu Supa, Empu Sedayu, ing Jaman Demak Bintara,
Empu Ki anom Suwita, ingkang iyasa Kyai Tepas, Kyai tudung, Iyasan Sinuhun Sultan Agung
Hanyakra kusuma,
Empu Ki Guling, ingkang damel KyaiSingokresna,
Empu Kyai Lujuguna saha Brajaguna ing jaman Kartasura,
Empu Singawijaya, Ki anom, Ki Jaka Sukatgo, dumunung ing Jaman Surakarta.

e.

Paugeraning Ngagem Dhuwung


Dhuwung dipunagem mligi minongka jangkeping ageman utawi busana adat Jawi. Punika
kemawon winates ingkang agemanipun atella punapa dene beskap ingkang wingkingipun
krowok. Dene manawi agemanipun beskap utawi atella landhung mboten perlu ngagem
huwung.
Ing tlatah Surakarta Hadiningrat, manawi mangagem busana adat Jawi, dhuwungipun
dipuagem ing sisih wingking, dipun sengkelitaken (diselipkan) ing sabuk larikan sabuk angka
tiga saking ngandhap. Manjingipun dipun dhoyongaken manengen, kanthiukiranipun ndhangak,
cara makaten dipun wastani Ngogleng.
Mapanipun dhuwung saben-saben perlu dipun gatosaken, sampun ngantos kemloroten,
munapadene kinggilen, dados namung sakmadya. Ingkang menika nalika ngagem sabuk
ubedipun dipun udikepara singset. Kajawi cara Ngogleng ingkang kalimrah kados ingkang kaaturaken ing nginggil, tasih wonten cara mangagem dhuwung sanesipun, ingkang dipun
jumbuhaken kaliyan kaperluwanipun. Sinaosa cara-cara menika mbok manawi sampun kathah
ingkang mboten migatosaken, ananging perlu dipun wuningani kados ka-andaraken ing
salajengipun inggih menika:
1) Dederan
Caranipun mangangge dhuwung sami kaliyan ngogleng, ananging manjingipun warangka
ing sabuk jejeg ing satengahing geger, dene ukiranipun tetep majeng mangiwa.
Punika kala rumiyin katindakaken manawi badhe sowan dhateng sesepuh utawi tiyang ingkang
pangkatipun langkung inggil. Semanten ugi manawi nembe wonten ing papan ngibadah.
2) Kewal
Sami patrapipun kaliyang ngogleng, ananging manjinging warangka ing sabuk
dhoyongipun mangiwa, dene ukiranipun tumungkul mangiwa. Kala rumiyin namung
katindakaken dening para abdidalem prajurit. Ing laladan Pamarentah kitha Surakarta asring kaetrepaken ing Tatacara saha upacara Pengetan Hari Jadi Kitha Surakarta (Ingkang sejatosipun
pengetan boyong Kedhaton, lan tatanan punika mboten trep ka-angge dening para
pamong/pegawai pamarentahan ingkang mangangge dhuwung mogleng mangiwa ingkang
sinebat ngewal manawi kasuraos punika ateges deksura.

3) Hanganggar Pusaka
Hanganggar pusaka punika ngagemipun dhuwung mboten sami kaliyan ngogleng
punapadene dederan lan kewal ingkang manggenipun wonten wingking kaselipaken ing
sabuk. Hanganggar pusaka punika dhuwungipun, kapernahaken wonten sak kiwaning badan,
dene patrapipun makaten:

4) Sikep
Pangagemipun dhuwung kaselipaken sabuk sisih ngajeng, sak ngandhap jaja manjingipun
dhuwung kapernah kiwanipun timang, dhoyong manengen, dene ukiranipun tumungkul
mangandhap. Cara mangagem makaten limrahipun tumrap para ngulama, ingkang ngagem
ageman jubah utawi gamis. Tuladha sanesipun Pangeran Antawirya (Pangeran Diponegara),
Sentot Alibasah, Kyai Maja. Saha sedaya para wali ing tanah Jawi asring mangagem cara
makaten punika.

5) Brongsong
Dhuwung sak derengipun dipun agem, langkung rumiyin dipun lebetaken wadhah utawi
brongsong. Dados wujudipun mboten ketingal. Mangagemipun brongsong ingkang sampun isi
dhuwung kalawau kaselipaken sabuk sisih ngajeng kados dene patrapipun sikep. Bentenipun
kaliyan sikep jalaran sarehning wonten sak lebeting brongsong mboten katingal. Patrap punika
dipun tindakaken tumrap abdidalem ingkang ka-utus ngasta pusakaning nata.
Abdi dalem punika asring nindakaken lampah watesan ka-utus dhumateng mancanagari.

KATERANGAN SERANDUNING WARANGKA


KERIS LADRANG

PERANGAN I
Angkup
Ri-Cangkring
Godhongan
Janggut
Latha
Gambar
Ri-Pandhan
Gandhar
Antup
10. Embat

PERANGAN 2
Kruwingan Angkup
Pekakan Janggut Ngajeng
Pekakan Janggut Kiwa
Pekakan Angkup
Pekakan Godhong
Bolongan Anjingan
Dagingan
Idak-idakan
Lambe Angkup
Seredan
Sunggatan
Bontos

KATERANGAN SERANDUNING WARANGKA


KERIS GAYAMAN

PERANGAN 1
Lambe Gajah
Ri-Cangkring
Embat
Ukel
Janggut
Idak-idakan
Gandar
Gambar
PERANGAN 2
Pekakan Janggut
Pekakan Lambe Gajah
Pekakan Embat
Bolongan Anjingan
Dagingan
Sunggatan
Bontos

KATERANGAN UKIRAN
SARTA RICIKAN WILAHANIPUN KERIS

KATERANGAN WILAHAN

8. SAMIR
a. Pangertosanipun Samir
Samir makaten kalebet perabot busana Jawi Karaton Surakarta Hadiningrat, mligi manawi
sowan dhateng Karaton minongka tandha bilih abdidalem kalawau, nembe nampi ayahan. Dados
wonten pasrawungan mboten perlu ngagem samir.
b. Wujud sarta wangunipun
Samir wujudipun arupi kain ingkang kawangun pesagi lan panjangipun 1,2 meter. Dene
wiyaripun 6 cm. bahanipun kain karangkep lan kajahit, ing sisih suwalik warninipun abrit polos,
dene suwalikun warni dasaripun jene nanging pinggiripun kaplisir warni abrit wiyaripun plisir
abrit kirang langkung 1 cm. dene bongkot pucukipun samir dipun pasangi gombyok kuning.
Jaman kala rumiyin bahan ingkang dipun angge damel samir saking bahan ingkang dipun
wastani Kesting. Dene sak punika kadamel saking bahan ingkang setunggal jenis kaliyan
kesting (kados sutra) jalaran kain kesting sampun mboten wonten. Dene kala rumiyin
gombyokipun kadamel saking uliran kuningan, manawi sakpunika saking benang kuning
ingkang karajut.
c.

Patrapipun Ngagem Samir

1)
2)
3)

4)
d.

Ing nginggil sampun kaaturaken bilih samir punika minongka jangkeping busana adat Jawi
ing Karaton Surakarta, tumrapabdidalem punapa dene putra Santana dalem manawi sowan
dhateng Karaton. Liripun ingkang sami sowan Keraton saksampuna siaga manawi sakwekdalwekdal tampi dhawuh ayahan, kadosta dados utusaning praja, dados manggalaning lampah.
Dene mangagem samir punika trep-trepanipun:
Samir katekuk dados sepalih, gombyokipun manunggal ingkang jene wonten sisih nglebet.
Saksampunipun katekuk malih dados sak pra sekawan,
Salajengipun perangan ingkang mboten wonten gombyokipun katlesepaken dhateng epek ing
sisih tengenipun, saking ngandhap kadudud manginggil ngantos sepalih bagian. Lajeng
kaklembrehaken. Ingkang mboten mawi gombyok kaprenah wonten sanjawining epek. Dene
mangke manawi pikantuk dhawuh ayahan, samir kadudut saking epek,kawedharaken lajeng
dipun kalungaken ing jangga/gulu, sleretipun kuning ketingal wonten njawi. Gombyokipun
kaprenahaken wonten ngajeng badan. Amrih boten ucul utawi mlorod samir katangsulaken
kados dene ngagem desi.
Kajawi sowan Keraton, samir ugi kaagem manawi tindhak dhateng Pajimatan
luhur (Pasareyanipun para Nata, kadosta Imogiri, Kutha gedhe, kadilangu, Ki ageng Tarub.
Wujudipun Samir Sanesipun
Wujudipun samir panic wonten saperangan ewah-ewahan, Nalika ing alam jumenengipun
Ingkang Sinuhun Paku Buwana IX, Paku Buwana X, warnining samir kaperang kados ing
ngandhap punika:
NO
Warni Samir
01 Kuning - Abeit
02
03

e.

Kuning - Ijem
Kuning - Biru

Ingkang Ngagem
Nama
Sentana
Dalem Kasepuhan
Abdidalem
Pangeran pati, lan sentanipun Kadipaten
Putra dalem ingkang sampun Kapangeranan
sesebatan Pangeran

Werdinipun Samir
Ingkang baku ing samir warni kuningipun, ingkang hanggadhahi teges janur kuning, ingkang
miturut kapitadosan nyaketaken daya alus ingkang sae sarta nebihaken daya alus ingkang awon.

Gb. Samir Abdidalem

BAB II
?[fo[fotHutwikmPuh,
DODOT UTAWI KAMPUH
A. Pangertosanipun Dodot Utawi Kampuh
Ingkang dipun pikajengaken busana dodotan utawi kampuhan inggih punika ingkang mangagem
sinjang ingkang panjang sarta wiyaripun kaping kalihipun panjang sarta wiyaripun sinjang biasa.
Adakanipun panjang antawis 3.75 m dumugi 4 meter. Menggah jinisipun kampuh utawi dodot
punika badhe ka-aturaken kados ing ngandhap punika.
B. Jinising Kampuh
Jinising kampuh ing busana Jawi wonten kalih jinis inggih punika busana Kampuh Blenggen
sarta kampuh utawi dodotan lugas, menggah kateranganipun kados ing ngandhap punika;
1. Kampuh Blenggen
Kampuh blenggen hanggadahi ciri, ing pinggiripun kampuh (kupeng) dipun pasangi gombyok
(kloncer/rumbai) saking benang ingkang ka-udar tenunanipun. Panjang gombyok kirang
langkung 10 cm. cakrik bathik kampuh punika jinisipun parang-parangan kadosta; parang rusak,
ingkang ka-agem dening para nata utawi putra dalem ingkang sampun sesebatan pangeran sarta
sentana dalem sanesipun. Kajawi punika ugi wonten cakrik semen latar putih/prthak, jinis
ingkang makaten punika kaginakaken dening abdidalem apangkat bupati anom (Raden
Tumenggung) sa penginggil.
Salajengipun kampuh blenggen punika tasih kaperang malih dados kalih inggih punika: a.
Kampuh blenggen mawi blumbangan saha Kampuh blenggen mboten mawi blumbangan utawi
blenggen lugas. Ingkang dipun pikajengaken mawi blumbangan inggih punika ing sisih tengah
kampuh mboten kabathik (polos) wujudipun belah ketupat ingkang warninipun pethak. Kajawi
pethak wonten malih warni ingkang dipun jumbuhaken kaliyan ingkang dipun
pikajengaken. Cakrik blumbangan punika namung mligi dados agemanipun para nata.
2. Kampuh Lugas
Kampuh lugas inggih punika satunggaling dodot ingkang dipun angge dening golongan
andidalem ingkang apangkat Panewu, Mantri sapengandhap. Pucuking kampuh mboten wonten
klonceripun namung lugu plipitan jahitan, cakrikipun semen latar cemeng/ireng.

Ukuranipun kampuh punika sakderengipun dipun tlangkupaken kirang langkung 7 meter


dumugi 8 meter utawi winastan salirang (3.5 M utawi 4 M). kampuh punika mligi agemanipun
ratu, pangeran putra saha patih dalem. Dene ingkang ukuran 7.5 meter utawi manawi
katlangkupaken dados 3,75 meter punika dipunangge dening abdidalem ingkang hapangkat
bupati anom kanthi sesebatan Raden Tumenggung sak penginggil. Salajengipun kampuh kanthi
ukuran 7 meter utawi selirang sarta manawi katlangkupaken dados 3,5 meter punika dipun angge
dening abdidalem hapangkat Panewu/ mantri sak pengandhap.
.
C. Pangetrepanipun Ngagem Kampuh
Mangangge kampuh utawi sinebat kampuhan/dodotan ing Karaton Surakarta wonten gangsal
wangun pangetrepanipun. Tatacara pangetrepanipun punika adhedhasar pangkat sarta
golonganipun, dene kateranganipun badhe kajlentrehaken ing ngandhap punika.
1. Gerbong Kandhem
Ingkang dipun pikajengaken wangun utawi macak dodotan Gerbong Kandhem inggih punika,
dodotan ingkang ka-agem mawi klembrehan ing wingkingipun ingkang dipun sebat konca
(mboten dipun cepeng) ingkang ka-umbar. Pucuking konca nglembreh ka-umbar panjangipun
antawis 50 60 sentimeter. Dene ing ngajeng mawi samparan sarta ukup kloncer kalih sarta
mangagem lancingan utawi calana (mboten hangagem pesikon utawi wedhung).
2. Ngumbar Kunca
Kampuh ngumbar konca punika ka-agem dening Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom
(KGPAA) utawi putra mahkota sarta patih dalem manawi katemben nampi dhawuh hamikili
Sinuhun. Tatacara punika asring katindakaken manawi nuju wonten tatacara Garebeg Mulud
utawi tedhak loji wonten bale kota.
Nalika miyos saking Karaton dalem ngantos dumugi Sri manganti, kunca kaklembrehaken
ngantos dumugim wingking. Manawi nuju ndawuhaken hajad dalem, wonten kamandungan
kunca kasampiraken ing asta kiwa, manawi sampun dumugi sak kidul ringin kurung badhe
lengkung mangiwa (belok kiri dhateng masjid Agung) kunca ka-umbar ingkang mengku
pikajeng sampun pasrah badan sakojur sowan ing pangayunaning Gusti(Masjid minongka
baitullah/rumah Tuhan).
3. Sampir Kunca
Pangetrepanipun sampir kunca punika namung kaginakaken dening pangeran putra saha
Sentana. Kunca kasampiraken mubeng wonten keris utawi dhuwung ing wingking kawiwitan
saking tengen mangiwa, manawi ka-umbar kunca nglembrehipun 5 10 Cm.
4. Kepuh Sampir
Pangetrepipun Kepuh Sampir punika, ka-agem dening sentana dalem ingkang apangkat Riya
nginggil. Kunca kasampiraken wonten ing dhuwung utawi keris saking kiwa mnanengen
(walikan kaliyan Sampir Kunca), panjangnipun kunca sami kaliyan panjang kepuh.
5. Kepuh Ukel
Hangagem kampuh kanthi pangetrepan Kepuh Ukel punika ageman ingkang mangangge para
abdidalem ingkang apangkat Bupati (Kanjeng Raden Tumenggung) sak pengandhap ngantos
dumugi Jajar. Kunca kalempit malebet lajeng kaselipaken kawangun kanthong ingkang
salajengipun dipun sebat Kepuh. Mligi abdi dalem ingkang apangkat Panewu sak pangandhap

mboten mawi ukup. Minongka jejangkep busana kampuhan punika hangagem calana panjang
ngantos sak ngandhapipun jengku.
D. Calana Cindhe
Calana ingkang ka-agem kampuhan punika wonten tiga inggih punika celana cindhe gubeg,
Celana cindhe sorot, sarta celana saking dringin, limar, bludru, sutra, mori, lan laken.
Dene princenipun kados ing ngandhap punika:
1. Celana Cindhe Gubeg
Ingkang dipunsebat celana cindhe gubeg punika cakrikipun sami, mboten mawi tumpal. Jinis
calana punika ingkang ngagem, Sinuhun, para putra dalem ingkang asma Pangeran, saha sentana
dalem ingkang apangkat Riya nginggil.
2. Celana Cindhe Sorot
Ingkang dipunsebat celana cindhe sorot inggih punika celana ingkang cakrikipun mawi tumpal,
calana cakrik punika ka-angge dening abdidalem ingkang apangkat Bupati saha Bupati Anom
3. Celana sanesipun Cindhe
Gelana punika kadamel saking bahan ingkang sanes cindhe, umpaminipun saking, bludru, laken,
mori, dringin, sutra, utawi sembagi. Camana punika ka-angge dening Bupati Anom minggah
minangka ageman padintenan. Dene calana laken mligi ka-angge dening abdidalem apangkat
Panewu, Mantri sarta lurah ing Tatacara pisowanan Ageng.
E. Ukuran Cincingan Kampuh Dodot
Kajawi pranatan saha paugeran hangagem kampuh ing busana Jawi gagrag Surakarta
Hadiningrat, ugi wonten malih pranatan sarta paugeranipun hangingingi Cincingan utawi
lengkungipun dodot ing ngajeng. Ukuran cincingan punika adhedhasar cakrik sarta inggilandhapipun pangkat ingkang mangagem. Pranatan punika jlentrehipun:
1. Cakrik Batik Parang Rusak
Cakrik punika ingkang wenang ngagem namung Sinuhun piyambak, dene cincinganipun
saking siti/lemah punika 20 Cm jarakipun. Manawi ageman punika kadawuhaken ka-agem
dening Pangeran Pati (Putra Mahkota) cincinganipun 24 Cm jarakipun saking ngandhap. Lajeng
manawim kadawuhaken ka-agem Pangeran Sentana, cincinganipun 26 Cm, Bupati Riya Nginggil
cincinganipun 28 Cm.
2. Cakrik Bathik Udan Riris
Sinjang bathik udan Riris punika ka-agem dening Pepatih Dalem manawi nuju sowan Keraton
ngagem cincingan 24 CM.
3. Cakrik Bathik Latar Pethak
Cakrik punika dipunangge dening abdidalem ingkang pangkat bupati, bupati anom lan juru tulis
kantor.
4. Bathik Rejeng
Cakrik punika ingkang asring mangagem para kumendan prajurit kadosta; kronel kumendan,
litnan kronel, mayor, sarta abdidalem gandhek ingkang dados utusanipun Sinihun.
5. Bathik Tambal Kanoman
Bathikan dodot utawi kampuh para bupati, bupati anom juru tulis kantor.

6. Cakrik Bathik Padhas Gempal


Cakrik bathik punika dipunagem dening abdidalem ingkang pangkat panewu/mantra saking
golongan Sorogeni (prajurit Sorogeni ingkang rupinipun abrit).
7. Cakrik Medhangan
Cakrik medhangan kaagem dening prajurit Sangkraknyana ingkang pangkatipun Panewu / mantri
sak pangandhap dumugi Kanoman.
8. Cakrik Kumitir
Cakrik punika kaangge dening abdidalem golongan kanoman ingkang apangkat mantra lan
panewu.
9. Cakrik Slobog
Cakrik slobog kambil sacukil asring dipun agem dening para abdidalem golongan niyaga/
mandra budaya ingkang pangkat Panewu/Mantri (Penabuh gamelan)
10. Cakrik Lurik Perkutut
Cakrik agemanipun para prajurit Priyantaka ingkang pangkat jajar sapangandhapipun.

DHANDHANGGULA TREP-TREPAMIPUN KAMPUH UTAWI DODOT


1. [fo[fotKmPuhkin/yplupi,ai=kd[tonNg]i$urk/t,mu=ghkceqaf[tT,yaikuarnipun\ge/
[bo=knDemK=diainYekTi,agemnPrnt,ai=k=wusR|muaun\b_L[gn\
[kLo[nC/k=tint,[zL[mB}h[kovCsmP/rnW|[sFnHufni,civCiznFfivt.
2. kpi=klihar[npuniki,k=aizrnZgemZ|mB/
[kovC,wr=kf2mPtih[a,p[zrnPtinipun,amckHi=g}begHugi,[kovCai=k=kaumB/
[l=ku=[zri=zipun\kifulRizin|ru=ff-,aikumkNps]hai=mr=a=widi,t}pPi=aukrmn}
3. ffw/ntuldkpi=t]i,ai=k=zgemzzP]put]snTn,yaikuiai=k=ar[n,smPi/
[kovCt}pPipun\sin_klitHi=du
wu=[afi,mpnZnnHubefV,rin_gai=aukup\azgem[kLo[vC/tetig,zj_wi=ki=ai=k=t
nShamnTesSi,an|kSemBh
pi=tig.
4. kepuhsmPi/kqhamsTni,pauge/rnHi=k=kpi=pt\riyzi=gilHgem[nN,
[kovCk=aubefTipun\ski=kiwm2=ku=augi,cpulf]=zipun\
pesi[konWefu=arnVjej=ke[pg-aumrkHi=nrpti,sttai=busna.
5. ?
ai=k=ffpu=ksnNi=we/fi,pauge/rnai=k=kpi=lim,kepuhaukeltar[n,kvJ_buptinip
un\ai=k=sepuhap=ktYekTi,p[nwumn}ilurhz[nTosJj/ripun\
[kovCk2mPitHz[noQ=, winzuni=[kovCkepuhnmi,pu/npzet}pPnV.

1. Dhodhot Kampuh Kinarya Palupi,


Ing Kadhaton Nagri Surakarta,
Mungguh Acetha adate,
Yaiku aranipun,
Gerbong Kandhem kang dhihin yekti,
Ageman para Nata,
Ingkang wus Rumuhun,
Blenggen Kloncer kang tinata,
Nglembreh kunca Samparan wus den Udani,
Cincingan dadya nyata.
2. Kaping kalih arane puniki,
Kang winastan ngagem ngumbar kunca,
Warangka dalem patihe,
Pangeran patinipun,
Hamacak ing garebeg ugi,
Kunca ingkang kaumbar,
Lengkung ngeringipun,
Kidul ringin kurung dadya,
Iku makna pasrahing marang hyang Widhi,
Treping hukara mantra.
3. Dadya warna tuladha kaping tri,
Ingkang ngagem pra putra Santana,
Yaiku ingkang arane,
Sampir kunca trepipun,
Sinengkelit ing dhuwung edi,
Mapan nganan ubednya,
Rinengga ing ukup,
Hangagem kloncer tetiga,
Ngajeng wingking ingkang tansah hamantesi,
Hantuk sembah ping tiga.
4. Kepuh sampir kathah hamastani,
Paugeran ingkang kaping papat,
Riya nginggil agemane,
Kunca kang ubedipun,
Saking kiwa malengkung edi,
Malengkung ing warangka,
Capu ladrangipun,
Pesikon wedhung arannya,
Jejangkeping gya umarak ing narapati,
Satata ing busana.
5. Ingkang dadya pungkasaning werdi,
Paugeran ingkang kaping lima,

Kepuh ukel ta arane,


Kanjeng bupatinipun,
Ingkang sepuh hapangkat yekti,
Panewu mantri lurah,
Ngantos jajaripun,
Kunca kalempit hangantong,
Winanguning kantong kunca kepuh nami,
Purna pangetrepannya.

AGEMAN PISOWANAN ING KARATON SURAKARTA


Kados ingkang sampun kaaturaken ing ngajeng, ageman tumrap pisowanan dhateng
Karaton Surakarta Hadiningrat punika pisowananipun mboten sami, sadaya gumantung kaliyan
wigatosipun pisowanan. Ngantos sak punika ingkang baku wonten werni tiga pisowanan inggih
punika: 1. Pisowanan Ageng, 2. Pisowanan Mligi sarta 3. Pisowanan Padintenan. Sadaya
kalawau saget dipun pirsani wonten ing serat dhawuh timbalan dalem (Sedhahan Abdidalem)
ingkang mratelakaken kanthi cetha pisowanan ingkang badhe katindakaken lajeng agemanipun
punapa.
Ing ngandhap punika princenipun tetiga pisowanan kasebat.
A. Pisowanan Ageng
Pisowanan ageng makaten asring katindakaken manawi ing Karaton Wonten Tatacara adat
ingkang sampun kabakokaken kadosta:

1.
2.
3.
4.

Wiyosan Tingalan Jumenengan Dalem


Garebeg Mulud (12 Mulud)
Garebeg Siyam (1 Syawal/Idul Fitri)
Garebeg Besar (10 Besar /Bakda Haji)
N
O
1
2
3
4
5
6
7

INGKANG SOWAN

AGEMAN

UDHENG

DHUWUN
G
Ladrang

Pangeran Putra, Putra dalem


ingkang dereng Asma Pangeran,
Pangeran Sentana, Riya Nginggil
Abdidalem Bupati kanthi sesebatan
KRMH, Kanjeng Raden Arya
(KRA)
Abdidalem Bupati kanthi Sesebatan
KRMAT, KRAT

Sikepan

Dhestar Jebeh
(songsong)

Sikepan

Jebehan
(Songsong)

Ladrang

Sikepan

Cekok
Kuncung

Ladrang

Abdidalem Bupati, Bupati Anom,


kanthi sesebatan KRMT, KRT,
RMT,RT
Sentana Riya Ngandhap

Atella
Cemeng
mawi
Pasan
(Kragpassanten)

Cekok Kuncung

Ladrang

Atella Cemeng

Cekok
Kuncung

Ladrang

Panewu, Mantri, Lurah

Atella Cemeng

Cekok Kuncung

Siswa Pawiyatan Ingkang dereng


kagungan Pangkatsesebatan

Atella Cemeng

Cekok Kuncung

Ladrang
Ladrang

B. Pisowanan Mligi
Inggih punika pisowananan ingkang setengah resmi, kadosta 1 Sura (1 Muharam) kalajengaken
Kirab Pusaka.
N
O
1
2
3

INGKANG SOWAN

AGEMAN

UDHENG

DHUWUN
G
Ladrang

Pangeran Putra, Putra dalem ingkang


dereng asma Pangeran, Pangeran
Santana, Riya Nginggil
Abdidalem bupati kanthi sesebatan
KRMT,KRT,
RMT,RT
sarta
abdidalem
sak
pangandhap
sanesipun
Siswa Pawiyatan Marcukundha
ingkang dereng kagungan pangkat
sesebatan

Beskap

Jebehan

Atella
Cemeng

Cekok
Mondhol

Ladrang

Atella
Cemeng

Cekok
Mondhol

Ladrang

C. Pisowanan Padintenan
Ingkang kalebet pisowanan padintenan ing Karaton Surakarta inggih punika:
1. Sowan nindakaken minongka abdidalem garap padintenan kadosta, Kartipraja, Mandra Budaya,
Pasiten, Musium, Bon darat sarta sanesipun.
2. Pisowananan nindakaken tatacara adat kadosta:
a. Malem 21 (malem selukuran) ting-ting hik kirab dhateng Joglo Sri Wedari
b. Malem maringaken Zakat Fitrah (malem takbiran)
c. Handhawuhaken ngungelaken gangsa Sekaten (nabuh Gangsa Sekaten)
d. Dados Utusan jamasan ing Kadilangu
e. Wilujengan Nagari Maesa Lawung ing Alas Krendha Wahana ing dinten Senin Utawi Kemis ing
pungkasan Wulan Rabingulakhir.

N
O
1
2
3
4

INGKANG SOWAN

AGEMAN

UDHEN
G

DHUWUN
G

Abdidalem
Ngulama/
juru
Suranata Ingkang nampi ayahan
Abdidalem ingkang kadhawuhan
ndhawuhaken, kadosta Malem
Selikuran, Zakat Fitrah sarta
ngungelaken gangsa Sekaten

Atella Pethak

Cekok
Kuncung

Gayaman

Beskap Pethak

Gayaman

Para putradalem, sentana dalem


sarta abdidalem ingkang sowan
sanesipun
Siswa Pawiyatan Marcukundha
ingkang dereng kagungan pangkat
sesebatan

Beskap padintenan
sauger
mboten
cemeng
Njumbuhaken

Jebehan utawi
jumbuhaken
pangkatipun
Jebehan/Cekok
Mondhol
Cekok
Mondhol

Gayaman

Gayaman

Diposkan 29th May 2013 oleh Slamet Yusdianto


0

Tambahkan komentar

2.
APR

23

Kawruh Pambiwara

?kw(hsplamicrjwi,
?bsjwi[wonTenH=ipa/g-nPz[nTn\,
KAWRUH SAPALA HAMICARA JAWI
BASA JAWI WONTEN ING PAHARGYAN MANTEN
A. Purwaning atur

Karaton Surakarta Hadiningrat (Pawiyatan Marcukunda) kepengin nguri-uri


basa Jawi kalebet basa Jawi ingkang dipunginakaken wonten ing Pahargyan
penganten.
Basa Jawi makaten minongka panging budaya Jawi ingkang
sumberipun saking Karaton. Nguri-uri basa Jawi ateges tumut nggegesang
budaya Jawi ingkang adi luhung. Ingkang makaten kalawau jumbuh kaliyan
sabda pangandikadalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakoe

Boewono X: KUNCARA ARUMING BANGSA DUMUNUNG ANENG


LUHURING BUDAYA.
Basa Jawi ingkang dipun ginakaken dening Pawiyatan Marcukunda Karaton
Surakarta badhe hangugemi paugeran basa Jawi ingkang laras lan basa Jawi
ingkang leres. Basa Jawi ingkang laras inggih punika basa Jawi ingkang
jumbuh kaliyan swasananipun, inggih basa Jawi ingkang empan
papan.
Wondene basa Jawi ingkang leres inggih punika basa
Jawi ingkang cocok utawi miturut paugeran parama sastra Jawi (mugi
kacundhukna kaliyan Sujono, 1993 saha Maryono Dwiraharjo, 1996).
Adhedhasar pepenginan saha pemanggih kasebat, Pawiyatan Marcukunda
manggihaken basa Jawi ingkang kaanggep salah kaprah ingkang pinanggih
wonten ing pahargyan penganten ugi wonten ing pabrayan. Basa Jawi
ingkang salah kaprah prayogi dipunleresaken. Awit manawi basa kalawau
kalajeng dipun angge ateges sami ngginakaken paugeran ingkang
lepat. Awit saking punika, basa Jawi ingkang dipun angge tumrap
Pawiyatan Marcukunda Karaton Surakarta wonten bentenipun kaliyan basa
Jawi ingkang sampun lumampah wonten ing pabrayan, kalebet ugi basa
Jawinipun para pambiwara wonten ing pahargyan penganten.

B. Paugeraning Basa
Sampun kasebataken bilih paugeran basa Jawi ingkang dipun angge inggih
punika basa Jawi ingkang larassaha basa Jawi ingkang leres. Paugeran
makaten cethanipun katerangaken kados ing ngandhap punika:
1. Wonten ing pahargyan penganten prayogi hangginakaken basa Jawi
ingkang limrah, boten rucah
2. Wonten ing pahargyan penganten kajawi basanipun limrah saha mboten
rucah manawi saget ka-angkaha ingkang indah.
Basa Jawi ingkang limrah punika tegesipun basa Jawi ingkang prasaja, boten
dakik-dakik
utawi
muluk-muluk,
ingkang hangginaken
mangertosi
maknanipun semanten ugi ingkang mirengaken saget mangertosi
maksudipun. Ukara-ukara ingkang panjang, tembung-tembung ingkang
angel punika hanjalari angel dipun mangertosi maknanipun. Basa Jawi
ingkang rucah tegesipun basa Jawi ingkang kacampuran basa sanes, nanging
mligi basa Jawi.
Basa Jawi ingkang indah liripun basa Jawi ingkang
hangginakaken busananing basa kadosta:Purwakanthi, wangsalan, parikan,
sengkalan, lsp.
Basa Jawi ingkang limrah utawi basa Jawi ingkang prasaja punika gampil
dipunmangertosi dening ingkang sami mirengaken. Kosok wangsulipun
basa Jawi ingkang dakik-dakik punika adhakanipun angel dipun mangertosi,
malah saget hanjuwarehi saha kirang trep. Paugeran makaten kalawau
jumbuh kaliyan suraosingn sekar dhandhanggula ing ngandhap punika:

Mungguh laku miwah hurip iki


Wus cinakup hing aksara jawa,

Jawa Jawi lan Jiwine,


Jawa pikajengipun,
Prasaja Walaka yekti,
Jawa basa kramanya,
Subositanipun,
Jiwaning Budayanira,
Jiwi iku sawiji lawan Ywang Widhi,
Purneng aksara Jawa.
(ISKS Pakoe Boewono IX)
Wonten tembang ing nginggil bilih basa Jawi punika pikajengipun
prasaja
walaka.
Prasaja
walaka
punika
sambetipun
kalihan
limrah.
Pramila pangertosan makaten lajeng dipun trepaken wonten basa
Jawi ingkang limrah tumrap pawiyatan Marcukunda Karaton Surakarta
Hadiningrat.

C. Basa Jawi Ingkang Kaanggep Salah Kaprah


Panganggenipun basa Jawi wonten pahargyan penganten ugi wonten
pabrayan miturut pawiyatan Marcukundha wonten tembung ingkang kaanggep salah kaprah, antawisipun kados ing ngandhap punika:
1. Adicara
Tatacara
2. Atut runtut
Runtut Atut
3. Bapak
Bapa
4. Jinajaran
Ka-apit (kasumbul)
5. Kita
Penjenengan Sadaya dalasan kula
6. Nebus
Kembar
Mayang
Tumedhak
Kembar
Mayang
7. Pager ayu, pager bagus
Pacak bagus, Pacak Ayu
8. Panatacara,
panata
adicara,
paniti
laksana
Pambiwara
9. Penjenenganipun
Penjenengan
10. Para rawuh, para lenggah
Para ingkang sami rawuh,
para ingkang
s
amilenggah
11. Putra penganten
Penganten
12. Rantaman, rancangan
beda trep-trepan
13. Sepindhah
Sepisan
14. Sugeng
Enjing
Ngaturaken
Kawilujengan
15. Upacara
uborampe

16. Pasrah lamaran


17. Tedhak sungging
Jawi
18. Kasambet,
19. Karawuhan
keparengipun rawuh
20. Penjenengan sami
21. Kawula
22. Artosipun
maknanipun
23. Sambutan
24. Hormati
ang kinurmatan
25. Sepindhah
a Setunggal

1)
2)
3)
4)
5)

pasrah paningset
tatacara awisan ing

kalajengaken
awit

penjenengan sadaya
kula
tegesipun/
tanggapwara
kurmati/ingk

Sepisan/angk

Panganggenipun tembung-tembung ingkang salah kaprah kalawau,


hanggenipun ngleresaken kanthi cara:
Nggantos tembung-tembung ingkang ka-anggep kirang trep: adicara
tatacara, pasrah lamaran pasrah paningset, nebus kembar mayang
tumedhaking kerbar mayang. Lsp
Milah tembung-tembung ingkang adhakanipun dipun anggep sami,
kadosta; Bapa benten kaliyan bapak, tatacara benten kaliyan
upacara, sowan benten kaliyan marak.
Nambahi tembung ingkang ka-anggep kirang jangkep, kadosta: Para
rawuh para ingkang sami rawuh./ para ingkang kepareng rawuh.
Ngicali tembung ingkang ka-anggep kirang trep, kadosta: Putra
Penganten dados Penganten.
Milih setunggal tembung ingkang adhakanipun dipunanggep sami
kemawon, kadosta: Panatacara, Panata Adicara, lsp. Ingkang trep
kaginakaken Inggih punika Pambiwara saking tembung Bayawarabyawara lajeng dados Pambyawara.

?kw(hsplpmBiwr.
KAWRUH SAPALA PAMBIWARA

A. Pangertosanipun Pambiwara
Tembung Pambiwara utawi
Pambyawara
saking
lingganipun Biwara utawi Byawara (Bayawara), ingkang tegesipun warawara (Pengemuman: Bhs Indo) pikantuk ater-ater Pa dados pambiwara
utawi pambyawara.
Pambyawara/pambiwara
hanggadahi
teges
tiyang
ingkang
kwajibanipun hambiwarakaken lampah-lampah mrih runtutipun tatacara.
Ing sanjawining Karaton, wonten ingkang mastani; Pranatacara, Pranata
Adicara, Panatacara, Paniti laksana, Pangandaliwara, Pranata titi laksitaning
Hadicara, Pranata Wicara, Lss.
Tembung Pambiwara/Pambyawara punika kalebet tembung kina
ingkang lestari ka-angge dening warganing Pawiyatan Karaton Surakarta.
Minggahipun Karaton Dalem Surakarta Hadiningrat manawi ngawontenaken
Tatacara ingkang mboten kalebet Tatacara adat Karaton.
Wondene
tembung sanesipun Pambiwara/Pambyawara ingkang sampun katerangaken
ing nginggil punika kalebet tembung dhapukan enggal utawi anggitan ing
sanjawining Karaton.
Ing nganjeng sampun dipunterangaken, bilih Pambiwara/Pambyawara
punika
kwajibanipun
hambiwarakaken
lampahlampah.
Tembung Lampah-lampah punika tegesipun tatacara utawi
tumindakipun.
Tembung tatacara punika
boten
sami
kaliyan
tembung Upacara.
Kawruh saking Karaton Surakarta nerangaken
bilih Tatacara punika
tegesipun tumindakipun,
utawi
lampahipun,
wondene upacarapunika tegesipun piranti utawi perabotipun.
Cethanipun makaten: upaminipun ing peranganing Pasamuan manton,
Panggih punika winastanTatacara, wondene Upacaranipun punika
gantalan.
Ing
pabrayan
agung
sanjawining
Karaton,
tembung Tatacara lan Upacara punika
cawuh
pangertosanipun,
nganggep tatacara punika tegesipun sami kaliyan Upacara.

B. Pambiwara Ing Wekdal Punika


Mungkaring jaman sakpunika pambiwara utawi pambyawara dados
perangan baku ing pasamuan, kenging winastanan ing sanjawining Karaton
punika
bilih pambiwara dados
pedamelan
ingkang
mirunggan. Pambiwara ingkang ka-anggep wasis dening pabrayan agung
asring kaginakaken, leregipun inggil pangaosipun.
Sanadyan kathah ingkang sinau pambiwara punika boten
kadayan pepinginan dados pambiwaraingkang asring kaginakaken, naming
sak boten-botenipun saget dados sarana nyaketaken sesrawungan ing
pabrayan agung.
Ewa samanten inggih boten hanama lepat manawi sinau
dados pambiwara dinayanan saking raos kepengin asring kangge.

Bakunipun
samiya
hangudi
murih
bontosing
kawruh
sabab pambiwara mekaten inggih hangemban kuwajiban mencaraken
kawruh kabudayan, mliginipun budaya Jawi

C. Pambiwara Pasamuan Ing Pabrayan Agung


Manawi dipunpilah-pilahaken, cak-cakanipun pambiwara sakpunika saget
kaperang dados 2 (kalih), antawisipun

1) Pambiwara Geget Pedhalangan

Pasamuan kados-kados dados pakeliran, satemah pambiwara rumaosipun


dhalang.
Cirinipun Pambiwara Geget Pedhalangan:
a. Basa sarta ukaranipun dakik-dakik
b. Asring migunakaken basa ingkang moncer
c. Asring migunakaken tembung-tembung ingkang karaos bregas
d. Asring Migunakaken basa Kawi
e. Asring ngrakit utawi ndhapuk tembung enggal
f. Unggah-ungguhing basa,treping tembung, parama sastranipun boten utawi
kirang dipun gatosaken, sabab kadayan ciri ingkang katerangaken ing
nginggil.
g. Swanten lagunipun pambiwara ngemba dhalang
h. Kawruh tatacara saha upacara mboten dipun persudi utawi kirang dipun
mangertosi. Pramila negesitatacara lan upacara ingkang lampah kanthi
dolanan tembung, jarwo dhosok, lss.
Limrahipun pambiwara ingkang mawi geget pedhalangan punika
hanggenipun ngudi kesagetan sarana:
Sinau Piyambak (autodidak), kanthi:
Asring migatosaken ing pasamuan-pasamuan
Maos serat (buku) tuntunan dados pambiwara
Migatosaken ringgit, kethoprak, lss, perlunipun manawi manggih basa
ingkang karaos sae, endah lajeng kapendhet.
Sinau Ing Pawiyatan ingkang mligi nggulawenthah siswanipun ing babagan
pambiwara. Limrahipun tuntunanipun wujud conto-conto (blangkon)
ingkang kedah dipunapalaken dening siswanipun.

2) Pambiwara ingkang

Lugu

Tegesipun ing salebetipun pasamuan pambiwara migunakaken basa


pocapan padintenan.
Tuntunan saking Karaton Surakarta, Pambiwara
kedah saget hanetepi bebasan Lungguh Ing Satengahing Jagad. Manawi
dipun gatosaken, nyatanipun:
MUSPRA HANGRAKIT BASA LAMUN INGKANG MIYARSA TAN SUMURUP ING
UKARA

Pambiwara ingkang lugu Cirinipun:


a. Pamilihing tembung ingkang dhawah tengah, tegesipun saget ka-angge
tataran priyagung, para luhur, naming inggih saget ka-angge golonganing
pabrayan limrah.
b. Ukaranipun ringkes, lugu, boten dakik-dakik, boten rucah, boten ngandharandhar.
c. Basa sarta tatatembungipun limrah kangge pocapan padintenan
d. Treping basa, unggah-ungguh lan tatakramanipun jumbuh lan mungguh.
e. Swanten lagunipun pambiwara boten kados dhalang, naming limrah kados
dene tiyang rembagan utawi gineman.
Hanoraga ing patrap, tatakrama
ing pangucap
f. Kawruh tatacara lan upacara dados isen isen baku.
g. Runtut nut kawruh basa lan sastra Jawi.

D. Pamanggih Pabrayan Agung Tumrap Pambiwara


Ing sawenehing pabrayan agung wonten ingkang gadhah pamanggih,
bilih pambiwara ingkang wasisipun kados dhalang punika ka-anggep kados
ingkang wonten ing Karaton, kamangka nyatanipun ing Kraton boten wonten
pambiwara, langkung-langkung kados dhalang.
Pamanggih makaten saget
ugi jalaran saking carios bab Karaton ing jagating pakeliran dening dhalang
ingkang kapireng sawenehing pabrayan agung.
Wonten malih ingkang gadhah panganggep bilih pambiwara ingkang
pinter punika manawi sampun kados dhalang.
Leregipun panganggep
pasamuan utawi pahargyan punika sami kaliyan wayang.
Manawi kawawas, cetha bilih wayang punika naming gambaran (sipat)
tiyang, sabab wayang punika saking tembung Hyang ingkang tegesipun
ayang-ayang (gegambaraning tiyang) pramila dhalang ingkang nyariosaken.
Beda kaliyan pasamuan utawi pahargyan, punika kawontenan ingkang
saestu, tegesipun sanes ayang-ayang utawi wayang, pramila pambiwara
mesthinipun inggih boten kados dhalang, sabab pancen sanes dhalang.
Dados mboten dhalangi, tegesipun nganggep wayang tumrap pasamuan
utawi pahargyan.

E. Kwajibanipun Pambiwara Ing Pahargyan


Ing salebeting pahargyan, pambiwara punika kalebet pamonging
pahargyan (Panitia : Bhs Indo). Pramila kwajibanipun inggih mbudidaya
supados lampahing tatacara saget tumindak kanthi prayogi sarta runtut.
Kwajibanipun pambiwara punika winates hambiwarakaken lampahlampah sarta damel rancakipun pasamuan,pramila lepat manawi
pambiwara nggega pikajengipun piyambak, upaminipun; rumaos
wasis wicaranipun lajeng kathah rembagipun.
Pambiwara
makaten
hamurba
pahargyan
ing
sangandhapipun sesepuh pamong pahargyan.

Rancakipun tatacara ingkang kalampah punika gumatung : 1)


Pambiwara 2)Dhatengipun Panganten Jaler 3) Lumadosipun Pasugatan 4)
Para-para ingkang hangayahi Damel
F.

KWAJIBANIPUN PAMBIWARA:
Minongka pamong pasamuan,ingkang murba lampahing Tatacara supados runtut, Gambuh
kaliyan rancanganing lampah, pambiwara kedah hanggadahi kwajiban:
Nglantaraken lampahing Tatacara, mbiwarakaken lampah-lampah
Damel swasana pahargyan ingkang sakeca dipun estreni para tamu sarta para-para ingkang sami
hanyekseni
Murba gendhing lan Karawitan ing Tatacara
Mad sinamadan kaliyan pamong sanesipun, upaminipun sesepuh pamong, juru paes,
pangantrunan.
Mrih rancaking pahargyan lan mboten kasesa, rembagipun pambiwara mboten dakik- dakik,
ngandhar-andhar.

G. PAMBIWARA SAK DERENGIPUN PAHARGYAN KAWIWITAN


Lampahipun tatacara ingkang prayogi manawi sadaya bab
punika gumolong manunggil, tegesipun : Pambiwara ingkang boten
kekathahen rembag, dumuginipun penganten Jaler/ besan ingkang boten
kasep. Lumadosipun pasugatan ingkang rancag, sarta samektanipun parapara ingkang hangayahi damel, upaminipun : Ingkang nampi pasrah, ingkang
ngaturaken atur Pambageharjo.
Manawi sadaya kalawau saget mlampah,
saestu mahanani pasamuan ingkang paripurna.
a. Tamu Jenjem
b. Lampahing Pepanggihan mboten kekathahan wekdal
c. Sedaya Tatacara saget lampah kanthi urut. Lan runtut.
Pambiwara sakderengipun pahargyan kawiwitan, sasampuna pantes
hanggenipun
mangangge,
pambiwara
sak
derengipun
hangayahi
damel,perlu:
Sampun sumadia ing pahargyan kirang langkung 1 jam sak derengipun
kawiwitan

Naliti pratelan lampah-lampah sarta para-para ingkang hangayahi damel.


Sesambetan kaliyan kanca karawitan/ingkang tengga panyora swara bab
gendhing ingkang badhe katabuh/kaungelaken.
Tepang rembag kaliyan para-para ingkang badhe ngayahi kwajiban,
upaminipun, Juru paes, sesepuh pamong pahargyan, ingkang badhe
pasrah/nampi penganten kakung,lss.
Perlunipun manawi wonten bab-bab
ingkang perlu dipun ewahi saget dipun lerasaken. Upaminipun : tambahan
tatacara, ingkang ngayahi damel dipungantos.
Nyobi swantenipun panyora swara, supados saget nata tebih caketipun
pambiwara mawi gineman.
H. SANGUNIPUN DADOS PAMBIWARA
a. Gegebenganipun Pambiwara
Dipun persudi murih jangkeping dados pambiwara ingkang mumpuni:
Santosa ing jiwa budaya Jawi kanthi mbudidaya bontosing kawruh babagan
tatacara sarta upacara, subosita, kawruh basa, paramasastra,lss.
Swanten ginem ingkang cetha, wijang sarta gampil kasuraos
Mangertos dhateng gendhing/titen gendhing.
Prigel ngungak swasana mrih sekecaning ingkang sami wuninga.
Anoraga kebak subosita, sareh ing lampah, sabar ing manah.
Gampil srawung.
b. Basanipun pambiwara
Basa punika sarana mrih dumugining pikajeng dhateng asanes. Basa
ngrewat budi (nalar), cipta (panggraita, pikir), rasa sarta karsa inggih
kekajengan.
Kanthi basa punika purugipun saget mahanani asanes tanggap dhateng
pikajeng. Rehdene
basa
punika
sarana
kangge
mangertosaken
asanes,pramila muspra manawi migunakaken basa ingkang boten dipun
mangertosi, ingkang ateges rembag ingkang mboten sambung (basa Betawi
tidak nyambung).
Makaten ugi basanipun pambiwara, punika prayogi manawi gampil dipun
suraos, tegesipun trep kalenggahanipun basa minongka sarana kangge
mangertosaken dhateng asanes.
Ewa samanten sampun ngantos cawuh ingkang ndadosaken pangertosan
ingkang boten trep, kepara lepat.
Manawi migunakaken basa Jawi inggih migunakaken basa Jawi ingkang
leres, cetha tegesipun, trep paramasastranipun, unggah ungguh sarta
empan papan.
Sampun ngantos migunakaken basa campuran utawi kalebetan tembung
ingkang sanes Jawi. Upaminipun:
1) Salajengipun sambutansaking bapa. Sambutan punika jawinipun
ampilan, silihan. Leresipun tembung sambutan kagantos tanggap wara

2) Manut informasi saking ingkang kawogan..leresipun kabar utawi


pawartos.
3) Wijang punika artosipun gampilkasuraos. Leresipun tegesipun
4) Tatacara nomer sekawan inggih punikanomer punika ing basa Jawi
kangge nelakaken mempang utawi unggul ing tetandhingan (juara :
Bhs.Indo)
leresipun angka 4 utawi angka 5.
Tembung manca saget dipun dadosaken tembung Jawi, manawi pancen
tembung Jawinipun boten wonten, upaminipun: Mesin, Komputer, lss.
Kajawi punika pambiwara sageda migunakaken basa ingkang dhawah
tengah, tegesipun saget kangge golonganing luhur lan priyagung, naming
inggih saget trep kangge pabrayan limrah.
Tuladha: Hanjenengi punika mligi para luhur utawi priyagung.
Ingkang dhawah tengah punikahangestreni
I.

LAGUNIPUN PAMBIWARA
Saben
tiyang
hanggadahi
betan
swanten
ingkang
boten
sami. Wonten ingkang swantenipun ageng anteb, ingkang ageng empuk,
ugi wonten ingkang ampang.
Pambiwara punika sanes dhalang, pramila manawi pambiwara rumaos dados
dhalang,
kawengku
lagunipun
pambiwara
manawi
ngayahi
kwajibanipun. Pahargyan
punika
sanes
panggung
pakeliran,
kawontenanipun ingkang saestu.
Dados kwajibanipun pambiwara pilah
kaliyan dhalang.
Ing ngajeng sampun katerangaken bilih tiyang hanggadahi betan
swanten ingkang boten sami, naming sadayanipun saget sinau supados
manawi hangayahi kwajibanipun dados pambiwara.

Tumrap Pambiwara supados mbudidaya saget:

Napas katata
Swanten sareh mboten ngaya, mboten kasesa.
Cetha pocapanipun, wijang ukaranipun
Migunakaken swanten ingkang sinurung hawa saking padharan. (swara perut)
Raosing manah kumawula.

J.

PAMBIWARA NGRUMPAKA ING PAHARGYAN


Ing pabrayan agung sanjawining Karaton tatacara ing pahargyan
punika
asring
dipun
rumpaka. Limrahipun
mastani
kacandra. Kalampahanipun
pambiwara
punika
ing
tatacara
Kirab.
Ngrumpaka pahargyan punika ing Karaton boten wonten, saya
malih nalikanipun panganten mesthi boten badhe kalampahan.
Kawuningana bilih kirab penganten punika ing Karaton kaliyan
sanjawining Karaton boten sami. Ing Karaton, kirab penganten arak-arakan
penganten
sak
derengipun
penganten
panggih.
Kalampahanipun
sasampunipun nikah ing sasana sewaka, penganten kirab tumuju ing
kepatihan. Ing wekdal punika rehdene dalem kepatihan boten wonten,
lampahing arak-arakan dipun gantos saking kamandungan lajeng baluwarti
wetan, lajeng mlebet dalem ageng sasana mulya papan tumapaking tatacara
panggih.

Rehdene ngrumpaka penganten punika boten mlampah ing


tatacara Karaton, pramila tumrapipun pambiwara manawi badhe nindakaken
ing pahargyan sanjawining Karaton kasumanggakaken, sabab mboten
wonten pranatan sarta awisanipun. Makatena prayogi manawi langkung
rumiyin nyuwun katerangan dhumateng ingkang gadhah dhamel perlu lan
mbotenipun penganten dipun rumpaka. Manawi penganten badhe dipun
rumpaka tumrap pambiwara prayogi:
Boten hanggadahi raos handhalangi
Penganten boten dipun rumpaka kados ringgit
Supados mboten mekewedi sarta mboten natoni raos ing sanes, pambiwara
sampun
ngantos
ngrumpaka
kawontenanipun
priyantun
utawi
tiyang. Inggih
ingkang
dados
manten,
ingkang
gadhah
damel.
Kaladuking
tembung
pambiwara
asring
boten
kraos
ngrumpakanipun ndadosaken tatuning manah.
Umpaminipun:
penganten
estri
nyatanipun
boten
ayu. Dening
pambiwara dipun rumpaka bilih ayunipun pindha widadari. Punika
nama moyoki/madani. Nanging manawi dipun lugokaken bilih
penganten estri boten ayu inggih mesakaken ingkang teges natoni.
Tumrapipun Pambiwara manawi ngrumpaka, prayogi isining rumpaka punika
bab pengagemipun penganten sarta warah sinandhi ing tatacara sarta
upacaraning pahargyan.
Naming pambiwara kedah mangertos saestu, sampun ngantos migunakaken
apalan utawi blangkon.
Upaminipun: penganten jaler hangagem ageman langen harjan, dening
pambiwara dipun sebat sikepan, lss.
K. DHAMEL RINGKESING PAHARGYAN
1. Ngringkes Wekdal

a.
b.
c.

d.
e.

Kadois ingkang sampun dipun terangaken ing ngajeng, bilih pambiwara


punika saget damel rancag lan mbotenipun nlampahing tatacara, pramila
supados ringkes lampah-lampahipun prayogi:
Rembagipun pambiwara cekak, ringkes, boten ngandhar-andhar, bakenipun
cetha pikajengipun.
Ing wekdal-wekdal kawitaning pahargyan, pambiwara sampun bucal wekdal
manawi tatacara salajengipun sampun samekto, prayogi enggal
kalampahaken.
Matah kengkenan (winbasara/caraka) ingkang sumadiya sesambetan
kaliyan ingkang badhe ngayahi dhamel, perlunipun nalika wonten byawara
badhe lampahing tatacara, para-para ingkang badhe lampahipun tatacara,
pra-para ingkang badhe ngayahi wajib sampun siyaga.
Boten sadaya tatacara ingkang badhe mlampah punika kedah kapurwakan
rembaging pambiwara, hananging supados boten kekathahen wekdal saget
kemawon gendhing sampun kepireng rumiyin, nembe pambiwara gineman.
Tansah sambet kaliyan sesepuh pamong; paranpara, pangrantunan, sesepuh
sinoman, lss.

2. Pepenget
Dados kawigatosan tumrap pambiwara manawi ngayahi kwajiban:
a. Rembagipun pambiwara punika winates, pramila pambiwara sampun
ngantos nyahak wenanging asanes. Upaminipun pambiwara ngaturaken
pambage wilujeng dhumateng tamu. Punika boten trep, sabab punika
wenangipun ingkang atur pambageharjo
b. Pambiwara sampun ngantos nrumiyini rembagipun wakil keluarga, ingkang
badhe ngaturaken pambage harjo. Upaminipun: Para tamu, awit saking
bombongipun ingkang mengku damel ngantos boten kuwawa matur
piyambak dhumateng para tamu..
Kajawi kakathahen rembag, punika nama ngrumiyini rembag sarta nyahak
wenanging asanes. Kepara saget dipun wastani minteri. Pambiwara
ingkang makaten punika ateges sampun jumangkah ing sanjawining rangkah
wajib.
Pambiwara sampun suka hangalembana, sabab dereng kantenan ingkang kaanggep sae dening pambiwara dipun raosaken sae ugi dening tamu.
d. Pambiwara sampun ngantos nacad kawontenan ingkang karaos kirang

prayogi, sabab saget ngicali aosipun tatacara ingkang katindakaken sarta


natoni raosipun asanes.
e. Pambiwara boten kepareng nglebetaken pamanggih, sarta nanggapi rembag.
Ing pahargyan mantu, nalika tatacara panggih pambiwara kendhel,
boten perlu gineman
g. Sampun ngantos cawuh ing kawruh, mendhet sumber saking pundi-pundi
ingkang boten cetha wewarahipun,kepara lepat manawi ngentha-entha
piyambak tegesipun.

Diposkan 23rd April 2013 oleh Slamet Yusdianto


0

Tambahkan komentar

Memuat
Template Dynamic Views. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai