Persalinan Preterm
Persalinan Preterm
Fakultas Kedokteran
Referat
Universitas Mulawarman
PERSALINAN PRETERM
Disusun Oleh
Rima Novalia
04.45411.00201.09
Pembimbing
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...............................................................................................
DAFTAR ISI ...........................................................................................................
1
2
4
4
4
6
6
8
8
10
13
14
14
16
17
17
18
19
20
21
22
22
23
25
27
27
28
28
29
29
30
31
BAB I
PENDAHULUAN
Persalinan preterm merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan
morbiditas perintal di seluruh dunia. Persalinan preterm menyebabkan 70% kematian
prenatal atau neonatal, serta menyebabkan morbiditas jangka panjang, yang meliputi
retardasi mental, gangguan perkembangan, serebral palsi, seizure disorder, kebutaan,
hilangnya pendengaran, dan gangguan non-neurologi seperti penyakit paru kronis,
dan retinopati. Hal ini berarti, morbiditas menjadi masalah sosial dan ekonomi yang
signifikan, baik bagi keluarga yang terlibat maupun negara secara keseluruhan. Oleh
karena itu, persalinan preterm bukan hanya menjadi komplikasi obstetri yang paling
umum, namun juga menjadi salah satu yang paling serius.1,2,3,4
Angka kejadian persalinan preterm pada umumnya bervariasi antara 6%
sampai 15% dari seluruh persalinan. Di Amerika Serikat, sekitar 450.000 (11,5%)
persalinan preterm terjadi setiap tahunnya, dan menyebabkan 75% kematian neonatal
dan 50% gangguan neurologis jangka panjang pada anak. Selain itu juga
menyebabkan pengeluaran biaya perawatan kesehatan sebesar 35% untuk bayi dan
10% untuk anak.4 Di Indonesia belum ada angka yang secara nasional menunjukan
kejadian persalinan preterm, tetapi beberapa peneliti memberikan angka kejadian
persalinan preterm di rumah sakit. Joesoef dkk. melaporkan angka kejadian
persalinan preterm di beberapa rumah sakit di Jakarta pada tahun 1991 sebesar
13,3%, sedangkan Usman dan Effendi di RS dr. Hasan Sadikin Bandung pada tahun
2001 sebesar 9,9%.5
Keberhasilan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas perinatal yang
berhubungan dengan persalinan preterm mungkin memerlukan identifikasi faktor
risiko dan pelaksanaan program modifikasi perilaku yang efektif untuk mencegah
persalinan preterm. Sehinggan diperlukan pemahaman yang lebih baik mengenai
faktor-faktor risiko psikososial, etiologi, dan mekanisme persalinan preterm, serta
program yang akurat untuk mengidentifikasi wanita yang berisiko mengalami
persalinan preterm.6
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Definisi
Diagnosis persalinan preterm dibuat jika pasien dengan usia kehamilan kurang
dari 37 minggu mengalami kontraksi yang teratur, setidaknya sekali setiap 10 menit,
yang dapat berhubungan dengan dilatasi dan/atau penipisan dari serviks. 2 Pendapat
lain mengatakan persalinan preterm adalah persalinan yang berlangsung pada usia
kehamilan 20-37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir (AJOG 1995). 7
Namun, batas bawah usia kehamilan yang digunakan untuk membedakan persalinan
preterm dengan abortus spontan bervariasi menurut lokasi. 8 Himpunan Kedokteran
Fetomaternal POGI di Semarang tahun 2005 menetapkan bahwa persalinan preterm
adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu.7
2. 2 Epidemiologi
Pemicu obstetri yang mengarah pada persalinan preterm antara lain: (1)
persalinan atas indikasi ibu ataupun janin, baik dengan pemberian induksi ataupun
seksio sesarea; (2) persalinan preterm spontan dengan selaput amnion utuh; dan (3)
persalinan preterm dengan ketuban pecah dini, terlepas apakah akhirnya dilahirkan
pervaginam atau melalui seksio sesarea. Sekitar 30-35% dari persalinan preterm
berdasarkan indikasi, 40-45% persalinan preterm terjadi secara spontan dengan
selaput amnion utuh, dan 25-30% persalinan preterm yang didahului ketuban pecah
dini.4,8
Konstribusi penyebab persalinan preterm berbeda berdasarkan kelompok etnis.
Persalinan preterm pada wanita kulit putih lebih umum merupakan persalinan preterm
spontan dengan selaput amnion utuh, sedangkan pada wanita kulit hitam lebih umum
didahului ketuban pecah dini sebelumnya. Persalinan preterm juga bisa dibagi
menurut usia kehamilan: sekitar 5% persalinan preterm terjadi pada usia kehamilan
kurang dari 28 minggu (extreme prematurity), sekitar 15% terjadi pada usia
kehamilan 28-31 minggu (severe prematurity), sekitar 20% pada usia kehamilan 32-
33 minggu (moderate prematurity), dan 60-70% pada usia kehamilan 34-36 minggu
(near term). Dari tahun ke tahun, terjadi peningkatan angka kejadian persalinan
preterm, yang sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya jumlah kelahiran
preterm atas indikasi.8
2. 3 Etiologi
Saat ini, telah diketahui bahwa penyebab persalinan preterm multifaktorial
dan sesuai dengan usia kehamilan. Diantaranya ialah:
1.
2.
Distensi
berlebih
uterus
(misalnya,
pada
kehamilan
multipel
atau
polihidramnion),
3.
4.
5.
6.
7.
Perubahan hormonal, yaitu aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisisadrenal, baik pada ibu maupun janin (misalnya, karena stres pada ibu atau
janin), dan
8.
Tabel 2.1 Etiologi dan alur persalinan preterm yang diakui secara umum9
2. 4 Faktor Risiko
Meskipun patofisiologi persalinan preterm kurang dapat dipahami, namun
terdapat banyak faktor risiko yang diketahui berperan pada persalinan preterm, dan
pengetahuan terhadap adanya faktor risiko ini penting dalam menilai kemungkinan
terjadinya persalinan preterm.1,7 Namun sayangnya upaya untuk menilai faktor risiko
6
tersebut tidaklah mudah, karena lebih dari setengah dari persalinan preterm terjadi
pada wanita yang tidak memiliki faktor risiko yang jelas.3
Berikut beberapa faktor risiko terjadinya persalinan preterm:
Faktor risiko mayor
1.
Kehamilan multipel
2.
Polihidramnion
3.
Anomali uterus
4.
5.
6.
7.
8.
9.
2.
Riwayat pielonefritis
3.
4.
5.
Pasien tergolong risiko tinggi bila dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor; atau
dua atau lebih faktor risiko minor; atau keduanya.3,10
Disamping faktor risiko di atas, faktor risiko lain yang perlu diperhatikan
adalah tingkat sosio-biologi (seperti usia ibu, jumlah anak, obesitas, status
sosioekonomi yang rendah, ras, stres lingkungan) dan komplikasi kehamilan lainnya
(seperti infeksi maternal, preeklamsia-eklamsia, plasenta previa, kehamilan yang
diperoleh melalui bantuan medikasi, terlambat atau tidak melakukan asuhan
antenatal). Merupakan langkah penting dalam pencegahan persalinan preterm adalah
7
atau
yang
dianggap
mengancam
homeostasis
pasien,
akan
10
arakidonat dari selaput amnion janin, sehingga asam arakidonat bebas meningkat
untuk sintesis prostaglandin. Selain itu, endotoksin (lipopolisakarida) bakteri dalam
cairan amnion akan merangsang sel desidua untuk menghasilkan sitokin dan
prostaglandin yang dapat menginisiasi proses persalinan. Berbagai sitokin, termasuk
interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), dan tumour necrosis factor (TNF) adalah
produk sekretorik yang dikaitkan dengan persalinan preterm. Sementara itu, platelet
activating factor (PAF) yang ditemukan dalam cairan amnion terlibat secara sinergik
pada aktivasi jalinan sitokin tadi. PAF diduga dihasilkan oleh paru dan ginjal janin.
Oleh karenanya, janin tampaknya memainkan suatu peran yang sinergik untuk inisiasi
kelahiran preterm yang disebabkan oleh infeksi bakterial. Secara teleologis, hal ini
kemungkinan menguntungkan bagi janin yang ingin melepaskan dirinya dari
lingkungan yang terinfeksi.7,8,10,12
Endotoksin mikroba dan proinflammantori sitokin akan merangsang produksi
prostaglandin, mediator inflammatory lainnya, serta matrix-degrading enzymes.
Prostaglandin akan merangsang kontraksi uterus, dan berperan dalam mengatur
metabolisme matriks ekstraselular yang terkait dengan pematangan serviks saat
dimulainya persalinan, sedangkan degradasi dari matriks ekstraselular pada membran
amnion akan menyebabkan ketuban pecah dini yang kemudian menyebabkan
persalinan preterm.8,13
Endotoksin mikroba akan merangsang produksi progesteron melalui pemecahan
asam arakidonat, dan bersama sitokin akan meningkatkan ekspresi PGHS-2
(prostaglandin H synthase), dan menghambat aktivasi PGDH (15-OH prostaglandin
dehydrogenase). Meningkatnya PGHS-2 akan menstimulasi sintesis prostaglandin.
Sedangkan downregulation PGDH akan meningkatkan ratio prostaglandin (PG)
terhadap prostaglandin metabolite (PGM), yang akan meningkatkan aktivitas uterus,
pematangan serviks, dan rupturnya membran amnion.13
Sumber infeksi yang telah dikaitkan dengan kelahiran prematur meliputi infeksi
intrauterin, infeksi saluran kelamin, infeksi sistemik ibu, bakteriuria asimptomatik,
dan periodontitis ibu.11 Mikroorganisme yang umum dilaporkan pada rongga amnion
adalah
genital
Mycoplasma
spp,
dan
11
Ureaplasma
urealyticum.
Beberapa
12
2.5.3
plasenta biasanya dihubungkan dengan persalinan preterm dan ketuban pecah dini.
Lesi plasenta dilaporkan 34% dari wanita dengan persalinan preterm, 35% dari
wanita dengan ketuban pecah dini, dan 12% kelahiran term tanpa komplikasi. Lesi ini
dapat dikarakteristikan sebagai kegagalan dari transformasi fisiologi dari arteri
spiralis, atherosis, dan trombosis arteri ibu atau janin. Diperkirakan mekanisme yang
menghubungkan lesi vaskular dengan persalinan preterm ialah iskemi uteroplasenta.
Meskipun patofisiologinya belum jelas, namum trombin diperkirakan memainkan
peran utama.9,11
Terlepas dari peran penting dalam koagulasi, trombin merupakan protease
multifungsi yang memunculkan aktivitas kontraksi dari vaskular, intestinal, dan otot
halus miometrium. Trombin menstimulasi peningkatan kontraksi otot polos
longitudinal miometrium, secara in vitro. Baru-baru ini, observasi in vitro mengenai
trombin dan kontraksi miometrium yang diperkuat oleh penelitian in vivo
menunjukan bahwa kontraksi miometrium secara signifikan menurun dengan
pemberian heparin yang diketahui merupakan inhibitor trombin. Penelitian in vitro
dan in vivo memberikan penjelasan kemungkinan mekanik mengenai peningkatan
aktivitas uterus secara klinis yang diamati pada abrupsi plasenta serta persalinan
preterm yang mengikuti perdarahan pada trimester pertama dan kedua.9,11
Mungkin juga terdapat hubungan antara trombin dan ketuban pecah dini.
Matrix metaloproteinase (MMPs) memecah matriks ekstraseluler dari membran janin
dan choriodesidua, serta terlibat terhadap KPD, seperti dibahas di bawah ini. Secara
in vitro, trombin meningkatkan ekspresi protein MMP-1, MMP-3, dan MMP-9 pada
sel-sel desidua dan membran janin yang dikumpulkan dari kehamilan term tanpa
komplikasi. Trombin juga menimbulkan peningkatan IL-8 desidua, sebuah sitokin
yang bertanggung jawab terhadap recruitment neutrofil. Abrupsi plasenta terbuka,
sebuah contoh ekstrim dari perdarahan desidua, ditandai infiltrasi neutrofil pada
desidua, sumber yang kaya protease dan MMPs. Ini mungkin melengkapi mekanisme
ketuban pecah dini (KPD) pada perdarahan desidua.9,11
13
Insufisiensi serviks
Insufisiensi serviks secara tradisi dihubungkan dengan pregnancy losses pada
trimester kedua, tetapi baru-baru ini bukti menunjukan bahwa gangguan pada serviks
berhubungan dengan outcomes kehamilan yang merugikan dengan variasi yang cukup
luas, termasuk persalinan preterm. Insufisiensi serviks secara tradisi telah
diidentifikasi di antara wanita dengan riwayat pregnancy losses berulang pada
trimester kedua, tanpa adanya kontraksi uterus. Terdapat lima penyebab yang diakui
atau dapat diterima, yaitu: (1) kelainan bawaan; (2) in-utero diethylstilbestrol
exposure; (3) hilangnya jaringan dari serviks akibat prosedur operasi seperti Loop
14
15
16
17
2.
adanya clue cells (sel epitel vagina yang terlapis tebal oleh basil) pada
pewarnaan gram
3.
4.
yang ditujukan untuk vaginosis bakterialis. Untuk wanita risiko tinggi dengan riwayat
persalinan preterm sebelumnya, skrining dan terapi vaginosis bakterialis dapat
mencegah persalinan preterm pada sebagian dari wanita. Namun, meta-analisis
terbaru menunjukan banyak perbedaan diantara 6 penelitian mengenai hal ini,
sehingga membatasi penarikan kesimpulan yang pasti.1 Telah banyak hasil yang tidak
meyakinkan dan tidak memberikan manfaat dari skrining vaginosis bakterialis yang
bertujuan untuk memprediksi persalinan preterm, terutama pada kelompok risiko
rendah.4
19
20
24-28 minggu
dalam
memprediksi
21
persalinan
preterm
sebagai
pemeriksaan rutin. Namun, dapat dilakukan pada kehamilan dengan risiko tinggi atau
dalam kombinasi dengan test fFN.4
2.6.7 Kombinasi penilaian fFN dengan ultrasonografi serviks
Penilaian panjang serviks yang disertai dengan estimasi fFN sekret
vaginoserviks pada wanita yang berisiko tinggi mengalami persalinan preterm
mungkin bermanfaat. Suatu penelitian yang menilai risiko terulangnya persalinan
preterm spontan pada wanita yang memiliki riwayat persalinan preterm sebelumnya
melaporkan, risiko sebesar 65% jika panjang serviks kurang dari 25 mm dan fFN
positif. Namun, jika fFN negatif, risiko persalinan preterm hanya sebesar 25%.
Seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah, risiko terulangnya persalinan preterm
pada wanita dengan panjang serviks > 35 mm dan fFN negatif, hanya sebesar 7%.
Oleh karena itu, kombinasi penilaian panjang serviks dengan menggunakan USG, dan
estimasi fFN dapat membantu memprediksi terulangnya persalinan preterm pada
wanita risiko tinggi.4
Tabel 2.2 Kombinasi penilaian panjang serviks dan fibronektin janin dalam
memprediksi risiko terulangnya persalinan preterm4
Risiko terulangnya persalinan preterm
Panjang serviks
fFN positif
fFN negatif
< 25 mm
65%
25%
25-35 mm
45%
14%
> 35 mm
25%
7%
2. 7 Diagnosis
Sering terjadi kesulitan dalam menentukan diagnosis ancaman persalinan
preterm. Diferensiasi dini antara persalinan sebenarnya dan persalinan palsu sulit
dilakukan sebelum adanya pendataran dan dilatasi serviks. Kontraksi uterus sendiri
dapat menyesatkan karena ada kontraksi Braxtons Hicks. Kontraksi ini digambarkan
sebagai kontraksi yang tidak teratur, tidak ritmik, dan tidak begitu sakit atau tidak
sakit sama sekali, namun dapat menimbulkan keraguan yang amat besar dalam
penegakan diagnosis persalinan preterm. Tidak jarang, wanita yang melahirkan
22
sebelum aterm mempunyai aktivitas uterus yang mirip dengan kontraksi Braxtons
Hicks, yang mengarahkan ke diagnosis yang salah, yaitu persalinan palsu.7,12
Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman persalinan preterm,
yaitu:
1.
Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari,
2.
Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 78 menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit,
3.
Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi, rasa
tekanan intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back pain),
4.
5.
6.
7.
Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau
delapan kali dalam 60 menit plus perubahan progresif pada serviks,
2.
3.
2. 8 Penatalaksanaan
Hal pertama yang dipikirkan pada penatalaksanaan persalinan preterm ialah,
apakah ini memang persalinan preterm. Selanjutnya mencari penyebabnya dan
menilai kesejahteraan janin yang dapat dilakukan secara klinis, laboratoris, ataupun
ultrasonografi, meliputi pertumbuhan/berat janin, jumlah dan keadaan cairan amnion,
persentasi dan keadaan janin/kelainan kongenital.7
23
Bila proses persalinan preterm masih tetap berlangsung atau mengancam, meski
telah dilakukan segala upaya pencegahan, maka perlu dipertimbangkan:
1.
2.
3.
Komplikasi apa yang akan timbul, misalnya perdarahan otak atau sindroma
gawat nafas.
4.
5.
Seberapa besar dana yang diperlukan untuk merawat bayi preterm, dengan
rencana perawatan intensif neonatus.7
Ibu hamil yang mempunyai risiko mengalami persalinan preterm dan/atau
2.
3.
4.
5.
2.
3.
2.8.1 Tokolisis
Meski beberapa macam obat telah dipakai untuk menghambat persalinan, tidak
ada
yang
benar-benar
efektif.
Namun,
pemberian
tokolisis
masih
perlu
2.
3.
4.
Optimalisasi personil.7
Beberapa macam obat yang digunakan sebagai tokolisis, antara lain:
1.
2.
Sulfas magnesikus: dosis perinteral sulfas magnesikus ialah 4-6 gr/iv, secara
bolus selama 20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam (maintenance). Namun obat ini
jarang digunakan karena efek samping yang dapat ditimbulkannya pada ibu
ataupun janin.7 Beberapa efek sampingnya ialah edema paru, letargi, nyeri dada,
dan depresi pernafasan (pada ibu dan bayi).10
4.
yang
dibutuhkan
untuk
produksi
prostaglandin.
Indometasin
Oligohidramnion
b.
c.
Preeklamsia berat
d.
e.
f.
g.
h.
26
2.
hormone 400 ug iv, yang akan meningkatkan kadar tri-iodothyronine yang kemudian
dapat meningkatkan produksi surfaktan. Ataupun pemberian suplemen inositol,
karena inositol merupakan komponen membran fosfolipid yang berperan dalam
pembentukan surfaktan.10
2.8.3 Antibiotika
Mercer dan Arheart (1995) menunjukkan, bahwa pemberian antibiotika yang
tepat dapat menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan sepsis neonatorum.9
Antibiotika hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung risiko terjadinya
infeksi, seperti pada kasus KPD. Obat diberikan per oral, yang dianjurkan ialah
eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat pilihan lainnya ialah ampisilin 3 x 500 mg
selama 3 hari, atau dapat menggunakan antibiotika lain seperti klindamisin. Tidak
dianjurkan pemberian ko-amoksiklaf karena risiko necrotising enterocolitis.7
Peneliti lain memberikan antibiotika kombinasi untuk kuman aerob maupun
anaerob. Yang terbaik bila sesuai dengan kultur dan tes sensitivitas kuman. Setelah itu
dilakukan deteksi dan penanganan terhadap faktor risiko persalinan preterm, bila
tidak ada kontra indikasi, diberi tokolisis.10
27
2.8.4
Cara Persalinan
Masih sering muncul kontroversi dalam cara persalinan kurang bulan seperti:
intrapartum
dengan
takikardi
janin,
gerakan
janin
melemah,
28
disorder,
kebutaan,
hilangnya
pendengaran,
juga
dapat
terjadi
disfungsi
29
30
(misalnya, persalinan preterm sebelumnya atau adanya anomali uterus) atau adanya
risiko kehamilan saat ini (misalnya kehamilan multipel atau perdarahan). Pencegahan
ini memerlukan identifikasi dan penurunan faktor risiko, yang keduanya terbukti sulit
dilakukan.15
Beberapa intervensi yang dapat dilakukan sebagai pencegahan sekunder
diantaranya ialah:
1. Pencegahan sekunder sebelum konsepsi: koreksi anomali duktus Mullerian,
pemberian progesteron profilaksis, mengontrol penyakit-penyakit seperti
diabetes, seizures, asma atau hipertensi.
2. Pencegahan sekunder setelah konsepsi:
a. Modifikasi aktivitas ibu (tirah baring, pembatasan kerja, dan menurunkan
aktivitas seksual, sering disarankan untuk menurunkan kemungkinan
persalinan preterm)
b. Pemberian suplemen nutrisi (omega-3 polyunsaturated fatty acids dianggap
dapat menurunkan konsentrasi proinflammasi sitokin)
c. Peningkatan perawatan bagi wanita yang berisiko (asuhan prenatal yang
intensif, meliputi dukungan sosial, kunjungan ke rumah, serta pendidikan pada
wanita hamil)
d. Terapi antibiotik (masih kontroversial, memberikan antibiotik pada wanita
yang mengalami persalinan preterm sebelumnya dengan dugaan dikarenakan
bakterial vaginosis)
e. Pemberian progesteron (progesteron dianggap sebagai antagonis oksitosin,
sehingga menyebabkan relaksasi otot, selain itu progesteron memelihara
integritas serviks, dan memiliki efek antiinflamasi).15
2.10.3 Pencegahan tersier
Pencegahan tersier merupakan pencegahan yang umum dilakukan. Dimulai
setelah proses persalinan terjadi, dengan tujuan untuk mencegah kelahiran preterm
atau meningkatkan outcome dari bayi preterm. Beberapa intervensi yang dapat
dilakukan sebagai pencegahan tersier diantaranya ialah pengiriman ibu dengan
31
persalinan preterm ke rumah sakit yang dilengkapi perawatan bayi preterm dalam
sistem regionalisasi, yang memberikan pelatihan dan pengembangan keterampilan
dan perawatan fasilitas, pemberian terapi tokolisis, kortikosteroid antenatal, antibiotik
dan persalinan preterm atas indikasi pada waktu yang tepat.15
32
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 22-37
minggu dan merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas perintal
di seluruh dunia.7 Angka kejadian persalinan preterm pada umumnya bervariasi
antara 6% sampai 15% dari seluruh persalinan.4 Patogenesis dari persalinan preterm
masih belum dimengerti dengan benar.8 Namun, infeksi tampaknya menjadi penyebab
tersering dan paling penting dalam persalinan preterm.1,8 Meskipun patofisiologi
persalinan preterm kurang dapat dipahami, namun terdapat banyak faktor risiko yang
diketahui berperan pada persalinan preterm, dan pengetahuan terhadap adanya faktor
risiko ini penting dalam menilai kemungkinan terjadinya persalinan preterm.1,7
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada persalinan preterm, terutama
untuk mencegah morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah menghambat
proses persalinan preterm dengan pemberian tokolisis, akselerasi pematangan fungsi
paru janin dengan kortikosteroid, dan bila perlu dilakukan pencegahan terhadap
infeksi.7 Ibu hamil yang mempunyai risiko mengalami persalinan preterm dan/atau
menunjukan tanda-tanda persalinan preterm perlu dilakukan intervensi untuk
meningkatkan neonatal outcomes.7 Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan persalinan preterm dapat
diklasifikasikan menjadi pencegahan primer, sekunder, dan tersier.15
33