Anda di halaman 1dari 34

TUGAS

MK. PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA


REVIEW UUD NO.6 TAHUN 2014

Disusun Oleh :
YUSUF
Nirem : 05.1.4.14.0491

KEMENTERIAN PERTANIAN
BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN
SEKOLAH TINGGI PENYULUHAN PERTANIAN (STPP) MAGELANG
JURUSAN PENYULUHAN PERTANIAN DI YOGYAKARTA
TAHUN 2016

1. Pendahuluan
UU Desa Nomer 6 Tahun 2014 tentang Desa yang didukung PP No. 43
Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
Tentang Desa dan PP No. 60 tentang, Dana Desa yang Bersumber dari APBN,
telah memberikan pondasi dasar terkait dengan Penyelenggaraan Pemerintahan
Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia,
dan Bhinneka Tunggal Ika.
Kebijakan dasar dan strategi dalam pelaksanaan tersebut perlu dirumuskan
dalam Road map Implementasi pelaksanaan UU Desa. Road map juga didasarkan
pada PP No. 43 Tahun 2014, tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Rumusan tersebut sebagai bagian
Pelaksanakan ketentuan Pasal 31 ayat (3), Pasal 40 ayat (4), Pasal 47 ayat (6),
Pasal 50 ayat (2), Pasal 53 ayat (4), Pasal 66 ayat (5), Pasal 75 ayat (3), Pasal 77
ayat (3), dan Pasal 118 ayat (6) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa.Kebijakan tersebut didukung dengan: 1) Permen Desa, PDT dan
Transmigrasi No. 1 Tahun 2015 Tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan
Hak Asal Usul; 2 Permen Desa, PDT dan Transmigrasi No. 2 Tahun 2015
Tentang Tentang Pedoman Tata Tertib Dan Mekanisme Pengambilan Keputusan
Musyawarah Desa Dan Kewenangan Lokal Berskala Desa; 3) Permen Desa, PDT
dan Transmigrasi

No.

3 Tahun 2015 Tentang Pendampingan Desa; 4)

Permendagri No. 111 tahun 2014 Tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia; 5) Permendagri Nomor 112 tahun
2014 Tentang Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia; 6) Permendagri Nomor
113 tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa; 7) Permendagri Nomor 114
tahun 2014 Tentang Pedoman Pembangunan Desa.

Strategi ini juga dalam mengoptimalkan penyelenggaraan Pemerintahan


Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Pelaksanaan UU Desa perlu dijabarkan lebih luas dalam Peraturan Pelaksanaan
dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Permendagri, Perda, Perdes dan kebijakan
pendukung lainnya. Sementara ada beberapa Peraturan Pelaksanaa dan kebijakan
pendukung yang mengatur tentang desa yang tidak selaras atau bertentangan perlu
dilakukan upaya review atau penyelarasan yang disesuaikan atau mendukung
penjabaran teknis pelaksanaan dari UU Desa.
Disini lain ada kebijakan Kementrian /Lembaga dalam pelaksanaan
pembangunan baik langsung dan tidak langsung ke desa yang perlu diintegrasikan
dengan UU Desa. Proses ini juga membutuhkan strategi dan skenari dalam masa
transisi dalam penguatan kelembagaan pemerintahaan desa dan masyarakat. Dasar
kebijakan Perencanaan Pembangunan Desa (PPD), Pengintegrasian Sistem
Pembangunan Partisipatif (SPP) dengan Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional (SPPN) menjadi bagian terpenting dalam proses strategi masa transisi
menuju UU Desa. Berikut muatan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa..
Visi dan misi presiden terpilih menyatakan bahwa perlu ada rata-rata per
desa 1,4 milyard per tahun untuk pembangunan desa. Data desa dan kelurahan di
Indonesia sebanyak 79.636 dengan penambahan pemekaran desa sebanyak 2%
atau 1.593 sehingga jumlah desa dan kelurahan diperkirakan sebanyak 81.229
desa. Komitemen presiden terpilih dengan jumlah desa sebanyak 81.229 dengan
pengalokasian pendanaan rata-rata per desa sebanyak 1,4 milyar maka diperlukan
pendanaan sebesar Rp. 113,720 triliun per tahun.
Sehingga Road Map pelaksanaan UU Desa merupakan rencana aksi dalam
merumuskan isu-isu strategis, skala prioritas, tahapan sistematis mengenai

pelaksanaan kegiatan dalam kurun waktu 2014 sampai 2019. Adanya road map
memberikan arah kemana proses implentasi UU Desa. .
2. Tujuan
Menjadi instrumen yang akan memberikan arahan skenario dan tahapan
proses dalam melakukan pencapaian pelaksanaan, pengintegrasian, transisi
kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan mulai dari preparasi,
tindaklanjut preparasi, pemantapan, pengintegrasian dan transisi program
Kementerian/ Kelembagaan menjadi kebijakan nasional yang diselaraskan dengan
UU Desa.
3. Visi
Terlaksannya pelaksanaan integrasi, transisi program Kementerian/
Lembagan dan pelaksanaan UU Desa dengan Sistem Pembangunan Partisipatif
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPP-SPPN) sampai Tahun 2019,
4. Misi
1. Merumuskan arah, tujuan. kebijakan dan strategi pelaksanaan UU Desa
menjadi kebijakan terpenting dalam strategi penanggulangaan kemiskinan,
2. Menyatupadukan

sistem

Sistem

Pembangunan

Partisipatif

Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional (SPP-SPPN) ke persiapan integrasi,


transisi

program

Kementerian/

Kelembagaan

ke

dalam

sistem

pembangunan reguler serta menyelaraskan perencanaan teknokratis, politis


dengan perencanaan partisipatif dalam pelaksanaan UU Desa yang setara
dan berkeadilan,
3. Menyelaraskan kebijakan dengan UU Desa khususnya yang terkait dengan
kebijakan di Departemen Keuangan, Bappenas, Kementrian Dalam Negeri
dan Kebijakan dalam Proses Inisiasi Kementrian Desa,

4. Menyiapkan kebijakan integrasi dan transisi program pembangunan dari


Kementerian/ Kelembagaan yang selama ini berjalan di timgkat desa
5. Memperkuat dokumen Perencanaan Pembangunan Desa (RPJMDes dan
RKPDes),

APBDes

Partisipatif

dan

Laporan

Keterangan

Pertanggungjawaban dan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa


(LPPD) Kades,
6. Meningkatkan kualitas proses dan hasil

perencanaan basis desa,

kecamatan dan kabupaten serta merumuskan kegiatan strategis berbasis


klaster/ kawasan dan peka konflik,
7. Meningkatkan

kapasitas

kelembaga

kemasyarakatan,

desa

dan

pemerintahan lokal/ daerah,


8. Mendorong kebijakan penyelarasan rencana dan penganggaran yang
berbasis Masyarakat Desa atau Swakelola Masyarakat,
9. Menjadikan kebijakan pengintegrasian satu perencanaan dan satu
penanggaran dengan RPJMDes dan RKPDes sebagai satu-atunya
dokumen perencanaan di tingkat desa yang diselaraskan dengan kebijakan
nasional

Sistem

Pembangunan

Partisipatif

Sistem

Perencanaan

Pembangunan Nasional (SPP-SPPN).


10. Menumbuhkembangkan perkembangan ekonomi perdesaan/ lokal, Badan
Usaha Milik Desa (BUMDes), teknologi tepat guna, jejaring usaha antar
desa, kawasan regional dan internasional,
11. Menyediaan tenaga pendamping desa profesional yang mempunyai
kompetensi

khusus

dalam

mendukung

perencanaan,

pelaksanaan,

monitoring dan evaluasi pembangunan desa dan kawasan perdesaan

12. Memperkuat kebijakan dan intrumen pengendalian pembangunan desa dan


kawasan perdesaan khususnya kebijakan yang mendukung pelaksanaan
UU Desa..
5. Kerangka Kerja
1. Otonomi Daerah. Pelaksanaan UU Desa dilaksanakan dalam kerangka
pelaksanaan Otonomi Daerah, yaitu hak, wewenang, dan kewajiban
(daerah otonom)/ otonomi desa untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
2. Pemberdayaan Masyarakat. Pelaksanaan penguatan pelaksanaan UU
Desa menjadi sarana bagi proses/upaya secara sadar dan terencana untuk
meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat

agar dapat

mengatasi permasalahan yang dihadapi serta mendapat pendampingan oleh


relawan pendamping dan pendamping profesional.
3. Penguatan Demokrasi. Pelaksanaan UU Desa menjadi bagian tak
terpisahkan dari proses pembelajaran dan penguatan praktik demokrasi
ditingkat lokal.
6. Strategi Tahapan/ Periode Pelaksanaan UU Desa
1. Tahun 2014-2016: Penekanan tahap preparasi, transisi program K/L,
penguatan kapasitas dan dukungan kebijakan,
2. Tahun 2016-2018: Penekanan peningkatan pembangunan, kelembagaan
dan peningkatan kapasitas desa dalam mendukung proses kemandirin
desa,
3. Tahun

2019-2019:

Menekankan

pemantapan

Sistem

Perencanaan

Pembangunan Partisipatif Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional


(SPP-SPPN) dan Daya Saing Ekonomi Perdesaan,

7. Penegasan Arah/Orientasi Aksi


Kegiatan

yang

dilakukan

sebagai

upaya

dan

proses

penguatan

pengintregrasian memiliki arah dan titik sentuh yang jelas sesuai sasarannya yaitu:
1. Pemerintah Desa dan Daerah, diorientasikan untuk penguatan komitmen
dan mendorong reorientasi kebijakan untuk penguatan pembangunan
berbasis pemberdayaan masyarakat dalam perspektif satu perencanaan
dan satu pemganggaran yang berbasis RPJMdes & RKPDes.
2. Masyarakat Sipil, dalam memperkuat lembaga desa dan masyarakat dalam
pemahaman

dan

pemantapan

Community

Development

(CD)/

Communnity Dreven Development (CDD), Community Base Organization


(CBOs), Community Organiser (CO) yang menempatkan masyarakat
sebagai subjek,
3. Masyarakat Politik, diorientasikan untuk meningkatkan keberpihakan
kepada rakyat dan memberikan dukungan regulasi khususnya regulasi
yang terkait langsung dengan pelaksanaan UU Desa yang memberikan
inisiasi langsung oleh masyarakat,
8. Isu-Isu Strategis Pendukung Pelaksanaan UU Desa
1. Merumuskan Roadmap/Peta Jalan Pelaksanaan UU Desa. Road Map/
Peta Jalan Pengintegrasian SPP SPPN sampai TA. 2019 yaitu terwujudnya
kebijakan Pelaksanaan UU Desa
2. Merumuskan Adanya Kebutuhan Kementrian Desa. Konskuensi logis
dari adanya UU Desa memberikan amanat terkait dengan pelaksanaan
kurang lebih 72.499 desa secara menyeluruh dari berbagai pendekatan
pembangunan desa, kawasan perdesaan dan tata kelola pemerintahan desa.
UU Desa juga mengamanatkan adanya 10% dari transfer ABBN yang
memberi ruang yang luas untuk mendukung kemandirian desa dalam
pemerataan dan strategi pembangunan di Indoensia. Menjadi perlu bahwa

dalam melakukan implentasi / pelaksanaan UU Desa yang sistematis,


terukur

dan

terorganisirdi

perlukan

kementerian

tersendiri

yaitu

Kementrian Desa. Stategi yang dilakukan adalah: a) Memastikan presiden


terpilih

mempunyai

komitmen

yang

tinggi

dalam

melakukan

implemenntasi UU Desa; b) Melakukan negoisasi dengan DPR selaku


pembuatan UU Desa dan pengawasan pelaksanaan UU Desa; c)
Melakukan Kajian/ review terkait kebutuahn kebijakan untuk Kementrian
Desa; d) Melakukan Identifikasi Kebutuhan Dirjen, Direktorat dan Unit
Pendukung Kelembagaan Lainnya untuk Kementrian Desa; e) Membuat
Rumusan Akademis dalam Skenario Kementrian Desa; d) Merumuskan
skenario program pembangunan desa dan kawasan perdesaan; e)
Penyediaan tenaga pendamping profesioanal dalam menerapkan kebijakan
dasar, tujuan dan prinsip-prinsip UU Desa khusunya prinsip partisipasi,
transparansi dan akuntabilitas; f) Merumuskan instrumen pengendalian
terkait dengan pelaksanaan UU Desa; e) Kebijakan lainnya dalam
mendukung inisiasi Kementerian Desa.
3. Skenario Transisi Program Kementerian/ Kelembagaan ke dalam UU
Desa. Adanya UU Desa mengharuskan skenario pembangunan desa di K/L
yang perlu dipastikan dengan keberlanjutan pembangunan. Program
pembangunan

antara

lain

ada

Program

Nasional

Pemberdayaan

Masyarakat Mandiri (PNPM) sebagai program pemberdayaan masyarakat


dan beberapa program PNPM lainnya yang masuk ke desa serta program
dari K/L. Ada beberapa permasalahan yang mendasar dalam program ini
terkait dengan: 1) Adanya aset PNPM Mandiri Perdesaan terdapat Aset
Ekonomi dalam bentuk Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) dan
Usaha Ekonomi Produktif lebih dari 10,5 trilliun untuk dipastikan legalitas
dan keberlanjutan program serta beberapa aset program dari K/L: 2) Aset
sarana dan prasarana dalam bentuk hibah, wakaf atau aset masyarakat
lainnya yang tersebar di lokasi perdesaan yang jumlahnya ratusan ribu
kegiatan dimana status kepemilikan/ legalitas belum terdata dalam aset

desa atau aset masyarakat dari PNPM dan K/L; 3) Terdapat lebih 30.000
tenaga fasilitator/ pendamping profesional yang mempunyai keahlian
teknis dalam pembangunan perdesaan dan kawasan perdesaan dan sangat
strategis dalam dukungan pelaksanaan UU Desa di dalam masa transisi
pelaksanaan UU Desa; 4) Diperlukan waktu untuk penyusunan atau
penjabaran operasionalisasi dari UU Desa dalam bentuk kebijakan (PP,
PMK, Permen, Juklak-Juknis, dan lainnya); 5) Perlu preparasi bagi
pemerintah desa dan daerah untuk menyesuaikan peraturan pelaksanaan
UU Desa; 6) Perlu peningkatan kapasitas Kades dan perangkat Desa yang
terencana secara sistematis dan fokus penguatan kapasitas kelompok
masyarakat, dan sedangkan bidang Otonomi Daerah kurang mendapatkan
pelatihan atau pembinaan secara khusus; 7) Perlu upaya untuk mengurangi
risiko terkait dengan kesalahan pengelolaan dana yang memiliki
konsekuensi hukum dan kemungkinan tidak tercapainya sasaran
kesejahteraan masyarakat; 8) Perlu perumusan skema alih kelola atas asset
yang dihasilkan PNPM Mandiri Perdesaan, program K/L dan lembagalembaga yang telah terbentukm oleh program; 9) Perlunya rumusan
kegiatan strategis didalam dalam kegiatan dalam masa transisi UU Desa,
4. Mengatur/Menata

Ulang

Piranti

Lunak

Pembangunan

Desa.

Kebijakan pelaksanaan UU Desa perlu adanya dukungan kebijakan,


pedoman, panduan dan beberapa dukungan perangkat lunak lainnya.
Dukungan ini perlu dilakukan sebagai upaya untuk melakukan pengaturan
serta penyelarasan pelaksanaan UU Desa. Banyak UU, PP, Peremendagri,
Perda, Perdes dan kebijakan lain yang belum selaras dengan UU Desa.
Adanya kebijakan yang tidak selaras dan tidak konsisten dalam skenario
pelaksanaan UU Desa dan praktek di lapangan akan menimbulkan
permasalahan pelaksana teknis di lapang. Kegiatan ini perlu dirumuskan
secara serius dalam dukungan piranti lunak kebijakan. Dukungan pintati
lunak program berguna dalam memastikan adanya kebijakan pelaksanaan
UU Desa mempuyai dasar legalitas yang kuat. Kebutuhan piranti lunak

program ini harus dilakukan penyelarasan kebijakan yang terkait dengan


penganggaran (Kementrian Keuangan), Kebijakan Daerah dan Desa
(Kementrian Dalam Negeri), Kebijakan yang terkait dengan perencanaan
pembangunan desa dan kawasan perdesaan dalam skenario perencanaan
pembangunan nasional (Bappenas), Kebijakan Pembangunan Desa dan
Kawasan Perdesaan (Kementrian Pekerjaan Umum) dan kementrian
lainnya yang terkait dalam pelaksanaan UU Desa.
5. Strategi Perencanaan dalam Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014.
Skenario Perencanaan dan Pembangunan dalam pelaksanaan UU No. 6
Tahun 2014, telah dijabarkan dalam PP 43 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan PP
60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ditegaskan dalam Pasal 1 UU
Desa bahwa bahwa Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut
dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional
yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Pasal 72 UU Desa menyatakan bahwa Pendapatan
Desa termatup dalam Pasal 71 ayat (2) bersumber dari: 1) pendapatan asli
Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong
royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa; 2) alokasi Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara; 3) bagian dari hasil pajak daerah dan
retribusi daerah Kabupaten/Kota; 4) alokasi dana Desa yang merupakan
bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota; 5) bantuan
keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota; 6) hibah dan
sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan 7) lain-lain
pendapatan Desa yang sah. Alokasi anggaran sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf b bersumber dari Belanja Pusat dengan mengefektifkan


program yang berbasis Desa secara merata dan berkeadilan. Bagian hasil
pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari pajak
dan retribusi daerah. Alokasi dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan
yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Pasal 79 UU Desa
menyatakan bahwa (1) Pemerintah Desa menyusun perencanaan
Pembangunan Desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada
perencanaan

pembangunan

Kabupaten/Kota;

(2)

Perencanaan

Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun secara


berjangka meliputi: a) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
untuk jangka waktu 6 (enam) tahun; dan; b) Rencana Pembangunan
Tahunan Desa atau yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa,
merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun; (3) Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Desa; (4) Peraturan
Desa tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana
Kerja Pemerintah Desa merupakan satu-satunya dokumen perencanaan di
Desa; (5) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana
Kerja Pemerintah Desa merupakan pedoman dalam penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah; (6)
Program Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang berskala lokal
Desa dikoordinasikan dan/atau didelegasikan pelaksanaannya kepada
Desa; (7) Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan salah satu sumber masukan dalam perencanaan
pembangunan Kabupaten/Kota. PP No. 43 dalam Pasal 118 menyatakan
bawa: (1) RKP Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 merupakan
penjabaran dari RPJM Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun; (2) RKP

Desa

sebagaimana

penyelenggaraan

dimaksud

Pemerintahan

pada
Desa,

ayat

(1)

memuat

pelaksanaan

rencana

pembangunan,

pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat Desa; (3) RKP


Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit berisi uraian: a)
evaluasi pelaksanaan RKP Desa tahun sebelumnya; b) prioritas program,
kegiatan, dan anggaran Desa yang dikelola oleh Desa; c) prioritas
program, kegiatan, dan anggaran Desa yang dikelola melalui kerja sama
antar-Desa dan pihak ketiga; d) rencana program, kegiatan, dan anggaran
Desa yang dikelola oleh Desa sebagai kewenangan penugasan dari
Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah
kabupaten/kota; dan e) pelaksana kegiatan Desa yang terdiri atas unsur
perangkat Desa dan/atau unsur masyarakat Desa; (3) RKP Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun oleh Pemerintah Desa sesuai
dengan informasi dari pemerintah daerah kabupaten/kota berkaitan dengan
pagu indikatif Desa dan rencana kegiatan Pemerintah, pemerintah daerah
provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota yaitu: a) RKP Desa mulai
disusun oleh Pemerintah Desa pada bulan Juli tahun berjalan; b) RKP
Desa ditetapkan dengan peraturan Desa paling lambat akhir bulan
September tahun berjalan dan; c) RKP Desa menjadi dasar penetapan APB
Desa. Skenario RKP Desa memuat rencana penyelenggaraan Pemerintahan
Desa, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan
pemberdayaan masyarakat Desa. Dirumuskan dalam bentuk kewenganan
desa sebagai berikut: Pada skema tersebut terlihat bahwa usulan
partisipatif desa telah dapat menentukan usulan prioritas di tingkat desa
sesuai kewenangan desa itu sendiri disebabkan telah ada pendanaan pagu
indikatif desa. Namun demikian, usulan partisipatif yang akan diusulkan
ke dalam kegiatan pendanaan ABPD kabupaten/kota dan provinsi
pemerintah melalui kementrian dan lembaga tetap dilakukan dengan
mekanisme reguler. Usulan tersebut tersusun dalam Daftar Usulan RKP
Desa.

6. Penataan Manajemen Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan.


Secara keseluruhan manajemen pembangunan menjadi perlu diselarkan
dalam konsep SPP SPPN yang perlu pada manajemen program. Pasal 1,
Penjelasan 8, Pembangunan Desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup
dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.
Pembangunan Desa, Pasal 78, ayat (2), Pembangunan Desa meliputi tahap
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Pelaksanaan,

Pasal 81

Pembangunan Desa, Pasal 78, ayat (1-5), menyatakan bahwa: a)


pembangunan

Desa

dilaksanakan

sesuai

dengan

Rencana

Kerja

Pemerintah Desa; b) Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dengan melibatkan seluruh
masyarakat Desa dengan semangat gotong royong; c) Pelaksanaan
Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan memanfaatkan kearifan lokal dan sumber daya alam Desa; d)
Pembangunan lokal berskala Desa dilaksanakan sendiri oleh Desa dan; d)
Pelaksanaan program sektoral yang masuk ke Desa diinformasikan kepada
Pemerintah Desa untuk diintegrasikan dengan Pembangunan Desa.
Pembangunan Kawasan Perdesaan dalam UU Desa dinyatakan bahwa: a)
Pasal 84 Pembangunan Kawasan Perdesaan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan/atau pihak
ketiga yang terkait dengan pemanfaatan Aset Desa dan tata ruang Desa
wajib melibatkan Pemerintah Desa; b) Perencanaan, pelaksanaan,
pemanfaatan, dan pendayagunaan Aset

Desa untuk pembangunan

Kawasan Perdesaan merujuk pada hasil Musyawarah Desa; c) Pengaturan


lebih lanjut mengenai perencanaan, pelaksanaan pembangunan Kawasan
Perdesaan, pemanfaatan, dan pendayagunaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Skema ini yang
perlu dirumuskan secara detail karena permasalahan ini akan menghasil
beberapa kebijakan yang terkait dengan pembangunan desa dan kawasan
perdesaan, model pendampingan, kerjasama desa dan pengembangan
jejaring perkembangan eknomi perdesaan. Kegiatan yang terorganisir dari

proses loby, mediasi, negosiasi antar stakeholder perlu dimanajemen.


Keberhasilan pelaksanaan UU Desa dilakukan dengan manajemen dengan
baik, terukur dan secara profesional.
7. Strategi Kewenanan Desa dalam Pembangunan Desa dan Kawasan
Perdesaan dalam Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Skenario dalam pembangunan Desa dirumuskan dalam Permendagri No.
14 Tahun 2015 tentang Pedoman Pembangunan Desa meliputi: (1)
Pelaksanaan pembangunan Desa terdiri dari: a) Pagu Indikatif Desa; b)
Pembangunan Desa berskala lokal Desa; dan c) Pembangunan sektoral dan
daerah yang masuk desa. (2) Pelaksanaan pembangunan Desa, dikelola
melalui: a) swakelola desa; b) kerjasama antar desa; c) kerjasama desa
dengan pihak ketiga; (3) Pelaksanaan pembangunan Desa yang bersumber
dari program sektoral dan/atau program daerah pada, dikelola melalui
mekanisme

pengintegrasian

dan

pendelegasian.

Arah

Kebijakan

Kabupaten: Acuan Daftar Usulan RKP Desa perlu memperhatikan antara


lain: a) Rencana Srategis Kabupaten/Kota; b) Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah Kabupaten/Kota; c) Rencana Strategis SKPD
Kabupaten/Kota; dan d) Rencana Tata Ruang & Rencana Wilayah
Kabupaten/Kota; e) Rencana Pembangunan Kawasan Perdesaan. Strategi
pengelolaan kewenangan tersebut dapat dilihat dalam alur berikut: Pagu
Indikatif Desa meliputi yaitu: a) Rencana dana Desa yang bersumber dari
APBN; b) Rencana alokasi dana Desa (ADD) yang bersumber dari APBD
kabupaten/kota; c) Rencana bagian dari hasil pajak dan retribusi daerah
kabupaten/kota yang dialokasikan kepada Desa dan; d) Rencana bantuan
keuangan untuk Desa yang bersumber dari Pemerintah, pemerintah daerah
provinsi, dan/atau pemerintah daerah kabupaten/kota. Skenario dalam
pembangunan berskala lokal desa lebih mengutamakan pembangunan
kawasan perdesaan dengan model pendelegasian. Model ini adalah desa
mempunyai kewenangan mengurus tetapi tidak mempunyai kewenangan
mengatur. Pada model ini disebut sebagai model pendanaan delegasi.

Kegiatan usulan model pendelegasian usulan harus masuk dalam RPJM


Desa dan RKP Desa. Sementara itu model pendanaan Integrasi usulan
tidak masuk dalam RPJM Desa dan RKP Desa tetapi cukup tercacat dalam
RKP Desa, karena model ini desa tidak diberikan kewenangan mengurus
dan

mengatur. Jenis

kegiatan

ini

dikerjakan

oleh

SKPD

atau

Kementrian/Kelembagaan sendiri.
8. Penguatan Kelembagaan Pemerintahan dan Kemasyarakatan Desa
dan Pemerintah Lokal. Lembaga Kemasyarakatan atau yang disebut
dengan nama lain adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai
dengan kebutuhan dan merupakan mitra Pemerintah Desa dalam
memberdayakan masyarakat. Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan
urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan
Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati
dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Revitalisai kelembagaan masyarakat dan desa dalam mendukung
pelaksanaan UU Desa menjadi perlu. Orientasi kelembagan yang hanya
mengangandalkan keprojekan perlu direvitalisasi menjadi kelembagaan
yang sensitif satu perencanaan dan satu penganggaran. Mengembangan
kelembagaan perlu menjawab berbagai hal yang terkait dengan
pengintegrasian SPP-SPPN. Lembaga Kemasyarakatan Desa merupakan
pilar penting selain Pemerintah Desa dan BPD dalam melaksanakan yang
mempunyai fungsi antara lain: a) penampungan dan penyaluran aspirasi
masyarakat dalam pembangunan; b) Penanaman dan pemupukan rasa
persatuan dan kesatuan masyarakat dalam kerangka memperkokoh Negara
Kesatuan Republik Indonesia; c) Peningkatan kualitas dan percepatan
pelayanan pemerintah kepada masyarakat; d) Penyusunan rencana,
pelaksana,

pengendali,

pelestarian

dan

pengembangan

hasil-hasil

pembangunan secara partisipatif; e) Penumbuhkembangan dan penggerak


prakarsa, partisipasi serta swadaya gotong royong masyarakat; f)

Pemberdayaan

dan

peningkatan

kesejahteraan

keluarga

dan;

g)

Pemberdayaan hak politik masyarakat. Agenda revitalisasi kelembagaan


inilah menjadi perlu dirumuskan lebih detail dan kerja-kerja yang
terorganisir serta terukur.
9. Peningkatan Kualitas Kegiatan Berbasis Antar Desa/ Kawasan
pendukung Ekonomi Perdesaan. Rencana Pembangunan antar desa/
kawasan Perdesaan Berbasis Masayarakat adalah hasil perencanaan
pembangunan yang dilakukan bukan berdasarkan unit administrative desa,
melainkan atas dasar kesamaan fungsi kawasan perdesaan. Sementara itu,
kawasan Perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama
pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam, dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Fasilitasi Kegiatan
Berbasis antar desa/ kawasan perdesaan dalam rangka mendorong
pertumbuhan ekonomi yang selaras dengan pelestarian lingkungan hidup
dan konservasi sumber daya alam dengan memperhatikan kepentingan
antar kawasan dan kepentingan umum dalam antar desa/ kawasan
perdesaan, dan kepentingan umum dalam antar desa/ kawasan perdesaan
secara

partisipatif,

produktif

dan

berkelanjutan

dengan

berbasis

pemberdayaan masyarakat. Fasilitasi juga membantu masyarakat dalam


melakukan identifikasi Pusat Pertumbuhan Terpadu Antar Desa adalah
pusat pertumbuhan yang direncanakan dan difokuskan pada desa atau
beberapa desa yang memiliki potensi andalan dan unggulan sebagai sentra
pertumbuhan terpadu antar desa dan penggerak perkembangan ekonomi
desa sekitarnya. Fasilitasi ini juga membantu masyarakat dalam
merumuskan Pola Tata Desa adalah tata penggunaan lahan atau ruang desa
untuk keperluan kegiatan ekonomi dan budidaya masyarakat, sarana dan
prasarana pemerintahan desa, dan pusat layanan sosial. Peningkatan
kualitas kegiatan berbasis antar desa/ kawasan pendukung ekonomi
perdesaan menjadi bagian konskuensi logis dari pengembangan SPP-

SPPN. Peningkatan kualitas perencanaan dan kegiatan strategis antara


desa/

kawasan

dalam

mendukung

pusat-pusat

pertumbuhan

dan

pengembangan ekonomi lokal. Meningkatkan kualitas kegiatan menjadi


perlu agar kegiatan satu dengan yang lainnya menjadi sinergis hal tersebut
diperlukan identifikasi faktor-faktor pengungkit dalam mendukung pusatpusat pertumbuhan dan pengembangan ekonomi lokal/ perdesaan. Strategi
ini juga menjadi agenda dalam penyelarasan/ input Master Plan, Site Plan,
Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) yang menjadi bagian dari input dan
strategi resolusi konflik dalam pembangunan. Kegiatan ini perlu
dirumuskan bahwa pembangunan kawasan perdesaan perlu dikelola
dengan basis ideologi pembangunan kerakyatan dalam mendukung
kedaulatan desa.
10. Penguatan Kapasitas Kelembagaan Desa dan Kerjasama Antar Desa.
Kerja sama desa dalam UU Desa terdapat dalapam Pasal 91 UU Desa yang
menyatakan bahwa desa dapat mengadakan kerja sama dengan Desa lain
dan/atau kerja sama dengan pihak ketiga. Pasal 92 ayat (1) Kerja sama
antar-Desa meliputi: a) pengembangan usaha bersama yang dimiliki oleh
Desa untuk mencapai nilai ekonomi yang berdaya saing; b) kegiatan
kemasyarakatan, pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat
antar-Desa; dan/atau; c) bidang keamanan dan ketertiban. Ayat (2) Kerja
sama antar-Desa dituangkan dalam Peraturan Bersama Kepala Desa
melalui kesepakatan musyawarah antar-Desa. Ayat (3) Kerja sama antarDesa dilaksanakan oleh badan kerja sama antar-Desa yang dibentuk
melalui Peraturan Bersama Kepala Desa. Posisi kelembagaan antar desa
dan kerjasama antar desa menjadi strategis khususnya penguatan
kerjasama antar desa yang dirumuskan dalam Badan Kerja Sama Antar
Desa (BKAD). Ada beberapa agenda penting dalam memperkuat
keberadaan BAKD yaitu: a) Melestarian dan pengembangan kelembagaan
dan hasil-hasil kegiatan yang telah dilakukan PPK/ PNPM-PPK/ PNPMMD/ P2SPP dan program sejenis sesuai dengan prinsip yang berlaku; b)

Meningkatkan dan mengembangkan pengelola

kegiatan masyarakat,

pengelola aset produktif dan sumber daya alam, serta program/ proyek dari
pihak ketiga yang bersifat antar desa; c) Meningkatkan kemampuan
kelembagaan masyarakat dan aparat pemerintah desa serta kecamatan
dalam memfasilitasi sistem pembangunan partisipatif yang integratif ke
dalam sistem pembangunan daerah yang berbasis pada pemberdayaan
masyarakat; d) Meningkatkan keterpaduan antar program atau kegiatan
strategi penanggulangan kemiskinan di daerah; e) Mengakomodasikan dan
merealisasikan usulan kegiatan pembangunan dari masyarakat ke dalam
perencanaan pembangunan daerah; f) Meningkatkan kapasitas lembaga
kemasyarakatan dan pemerintahan desa dalam pengelolaan pembangunan
berkelanjutan; g) Memujudkan sinkronisasi antara perencanaan program,
perencanaan penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan
daerah setingkat kecamatan dan desa; h) Meningkatkan sinergi pendekatan
perencanaan (politis, teknokratis dan partisipatif) dan proses perencanaan
(atas-bawah dan bawah-atas ); i) Meningkatkan pengembangan dan
peningkatan kapasitas kemasyarakatan dan pemerintahan, terutama
pemerintahan
Mewujudkan

desa

dalam

sistem

pengelolaan

penganggaran

pembangunan
pemerintah

terpadu;

daerah

j)

yang

memungkinkan tersedianya alokasi dana bantuan langsung masyarakat


(BLM) dan atau bantuan pihak ketiga yang bisa diorganisir antar desa dan
atau setingkat kecamatan; k) Melembagakan pengelolaan keuangan mikro
dalam penyediaan dana pendukung usaha masyarakat miskin yang
berperspektif pemberdayaan masyarakat. BKAD telah dilakukan inisiasi
oleh PNPM Mandiri perdesaan yang tersebar di 403 Kabupaten dan 5.300
kecamatan di Indonesia. BKAD selaku mandat dari keputusan bersama
antar desa telah mempunyai hampir Rp. 10,5 trilliun kegiatan dana
bergulir dalam bentuk Simpan Pinjam Kelompok Perempuan dan Usaha
Ekonomi Produktif. BKAD-BKAd yang terdapat di tingkat kecamatan
telah mengembangkan Forum BKAD setingkat Kabupaten dan Provinsi.
Forum BKAD strategis untuk melakukan penguatan berbagai kegiatan

program pembangunan yang menyangkut kerjasama dua desa taua lebih


atau program pembangunan berbasis kawasan perdesaan. Namun demikian
BKAD belum dimaksimalkan dalam pegelolaan sumebrdaya alam, Sistem
Informasi Desa dan Kawasan Perdesaan (SIDEKA). Skema yang
dikembangkan dalam BKAD ada beberapa Unit/ Tim Kegiatan yang dapat
diperluas berdasarkan kebutuhan dari BKAD sendiri berikut skenario
penataan BKAD dalam UU Desa. Pelaksanaan UU Desa harus melakukan
proses revitalisasi kelembagan ini dalam perspektif payung hukum dan
kebijakan pendukung lainnya. BKAD yang dilakukan ileh PNPM Md
mengalami masalah dengan legalitas karena BKAd yang dibentuk masih
untuk kepentingan program. Ada beberapa masalah dalam masa transisi
yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan program dalam UU Desa yaitu:
a) Legalitas kerja sama; b) Legalitas dari pembentukan BKAD; c)
Legalitas aset PNPM MPd yang dikelola Unit Pengelola Keuangan (UPK),
d) Legalitas operasioanl Aset dalam pengelolaan UPK dan; e) Legalitas
penguatan kelompok. Di samping itu, ada banyak kegiatan usulan sarana
dan prasarana dalam dilakukan dalam kerjasama desa juga belum
mendapatkan legalitas. Perlu diketahui bahwa penguatan kerjasama desa
mempunayi tujuan utama dalam resolusi konflik.
11. Perluasan Dukungan terhadap Pembangunan/Mengembang Kerja
Sama dengan Pihak ke Tiga. Perluasan pelaksanaan UU Desa perlu
mendapat dukungan semua pihak baik parlemen, pemerintah, akademisi,
praktisi dan kelompok strategis lainnya. Dukungan kerjasama pihak ke
tiga menjadi faktor penentu terkait dengan dukungan terwujudnya
pelaksanaan UU Desa. Khususnya mengkomunikasikan kegiatan strategis
dalam mendapatkan dukungan penganggaran dari APBD, APBN dan CSR
atau pendanaan lainnya. Melakukan advokasi, kampanye, mediasi, loby,
koordinasi kesemua pihak menjadi penting untuk mendapat dukungan dan
perluasan program.

12. Penguatan dan Pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDDes).


Badan Usaha Milik Desa, yang selanjutnya disebut BUMDes, adalah
badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh
Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa
yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya
untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. BUMDes dalam
UU Desa diatur dalan Bab X: Badan Usaha Milik Desa Pasal 87: (1) Desa
dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang disebut BUM Desa; (2)
BUM

Desa

dikelola

dengan

semangat

kekeluargaan

dan

kegotongroyongan dan; (3) BUM Desa dapat menjalankan usaha di bidang


ekonomi dan/atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dalam ketentuan Pasal 88 menyebutkan bahwa: (1)
Pendirian BUM Desa disepakati melalui Musyawarah Desa; (2) Pendirian
BUM Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Desa. Proses Pembentukan BUM Desa harus melalui Musdes
diatur dalam Pasal 54 menytakan bahwa: (1) Musyawarah Desa
merupakan

forum

permusyawaratan

yang

diikuti

oleh

Badan

Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat Desa


untuk

memusyawarahkan

hal

yang

bersifat

strategis

dalam

penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan; (2) Hal yang bersifat strategis


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a) penataan Desa; b)
perencanaan Desa; c) kerja sama Desa; d) rencana investasi yang masuk ke
Desa; d) pembentukan BUM Desa; e) penambahan dan pelepasan Aset
Desa; dan e) kejadian luar biasa. BUM Desa Menjadi Bagian Dari
Pembangunan Kawasan Perdesaan Pasal 85 Ayat (1) Pembangunan
Kawasan Perdesaan dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melalui satuan kerja
perangkat daerah, Pemerintah Desa, dan/atau BUM Desa dengan
mengikutsertakan masyarakat Desa. Hasil Usaha BUM Desa Pasal 89
yaitu: (1) Hasil usaha BUM Desa dimanfaatkan untuk: a) pengembangan
usaha; dan; b) Pembangunan Desa, pemberdayaan masyarakat Desa, dan

pemberian bantuan untuk masyarakat miskin melalui hibah, bantuan


sosial, dan kegiatan dana bergulir yang ditetapkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa. Dalam Pasal 90 menyatakan bahwa: (1)
Pemerintah,

Pemerintah

Daerah

Provinsi,

Pemerintah

Daerah

Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa mendorong perkembangan BUM


Desa dengan: a) memberikan hibah dan/atau akses permodalan; b)
melakukan

pendampingan

teknis

dan

akses

ke

pasar;

dan

c)

memprioritaskan BUM Desa dalam pengelolaan sumber daya alam di


Desa. Kerja sama antar Desa dapat Membentuk BUM Desa Pasal 92, Ayat
(6) yaitu:

(1) Kerja sama antar-Desa meliputi: a) pengembangan usaha

bersama yang dimiliki oleh Desa untuk mencapai nilai ekonomi yang
berdaya saing; b) kegiatan kemasyarakatan, pelayanan, pembangunan, dan
pemberdayaan masyarakat antar-Desa; dan/atau; c) bidang keamanan dan
ketertiban; (2) Kerja sama antar-Desa dituangkan dalam Peraturan
Bersama Kepala Desa melalui kesepakatan musyawarah antar-Desa; (3)
Kerja sama antar-Desa dilaksanakan oleh badan kerja sama antar-Desa
yang dibentuk melalui Peraturan Bersama Kepala Desa DAN; (4)
Musyawarah antar-Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) membahas
hal yang berkaitan dengan pembentukan lembaga antar-Desa: a)
pelaksanaan program Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang dapat
dilaksanakan melalui skema kerja sama antar-Desa; b) perencanaan,
pelaksanaan, dan pemantauan program pembangunan antar-Desa; c)
pengalokasian anggaran untuk Pembangunan Desa, antar-Desa, dan
Kawasan Perdesaan; d) masukan terhadap program Pemerintah Daerah
tempat Desa tersebut berada; dan e) kegiatan lainnya yang dapat
diselenggarakan melalui kerja sama antar-Desa; (5) Dalam melaksanakan
pembangunan antar-Desa, badan kerja sama antar- Desa dapat membentuk
kelompok/lembaga sesuai dengan kebutuhan; (6) Dalam pelayanan usaha
antar-Desa dapat dibentuk BUM Desa yang merupakan milik 2 (dua) Desa
atau lebih. Permasalahan mendasar di tingkat desa yaitu: a) Kapasitas
Fiskal Desa Lemah (Faktor Internal); b) Orientasi Meminta (Bantuan yang

bersifat

Karikatif), bukan memberdayakan masyarakat desa

tetapi

menciptakan ketergantungan; c) Belum ada pendorong/pengungkit di desa


yang mampu membangkitkan kesadaran : desa membangun dan bukan
sekedar membangun desa dan; d) Minimnya partisipasi masyarakat dalam
perumusan kebijakan. Agenda strategis bahwa BUMDes merupakan usaha
pemerintah desa dari aset yang dipisahkan. BUMDes seperti yang yang
digambarkan presiden terpilih yang merupakan strategi dalam mendukung
cadangan devisa desa untuk mendukung kesejahteraan warga, peningkatan
PADes, Menentukan Model Pengungkit dan Implementasinya. Kegiatan
ini perlu adanya intervensi dalam penggalian potensi desa dan perencanaan
yang terpadu. Kebijakan pengembangan Badan Usaha Milik Desa
BUMDes

(BUMDes)

lebih

difokuskan

dan

diorientasikan

pada

peningkatan PADes dan memberikan kontribusi pada pertumbuhan


ekonomi desa (investasi desa), multy player effects guna meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, membuka lapangan pekerjaan
dan meminimalisir ketimpangan distribusi pendapatan di desa serta
berorientasi pada upaya pelestarian, pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan hidup secara berkelanjutan. Berikut
core BUM Desa. Pembentukan Dan Pengembangan Kelembagaan
(Instalasi) dengan cara: a) Memfasilitasi musdes pembentukan BUMDes;
b) Memfasilitasi penyusunan Pedes tentang pembentukan BUMDes; c)
Memfasilitasi penyusunan AD/ART; d) Memfasilitasi penyusunan
Keputusan Kepala Desa tentang penetapan pengelola BUMDes; e)
Memfasilitasi penyusunan SOPunit usaha BUMDes dan ; f) Memfasilitasi
penguatan kelembagaan BUMDes. Peningkatan Kapasitas/ Sdm Pengelola
dengan cara: a) Melaksanakan pelatihan pembentukan dan manajemen
operasional Badan Usaha Milik Desa (BUMDes); b) Memfasilitasi
pelatihan kewirausahaan (enterpreunership) bagi pengelola BUMDes dan;
c) Memfasilitasi pelatihan manajerial dan operasional BUMDes.
Pengembangan Permodalan Dan Unit Usaha BUMDes yang dilakukan: a)
Memfasilitasi permodalan unit usaha dan BUMDes melalui ADD; b)

Memfasilitasi permodalan unit usaha dan BUMDes melalui APBD


Kabupaten, Provinsi dan Pemerintah Pusat; c) Memfasilitasi permodalan
BUMDes melalui kerjasama implementasi corporate social responsibility
(CSR) dari BUMD, Perbankan Daerah dan BUMN serta Perbankan
nasional serta pihak lain yang memiliki komitmen dan minat yang tinggi
terhadap pengembangan BUMDes; d) Memfasilitasi permodalan melalui
kerjasama dengan pihak ketiga.Sehingga peranan BUM Desa digambarkan
sebagai berikut: Membangun Diversifikasi dan Jejaring Usaha BUMDes
dengan cara: a) Memfasilitasi pelatihan bersama SKPD teknis; b)
Memfasilitasi bantuan TTG; c) Memfasilitasi bantuan pengembangan unit
usaha; d) Memfasilitasi kerjasama pengembangan jejaring usaha dengan
pihak ketiga; e) Memfasilitasi pemasaran melalui publikasi langsung dan
melalui teknologi informasi (internet/Website); f) Memfasilitasi teknis
packing produk dan marketing produk; g) Memfasilitasi sertifikasi
produck; i) Memfasilitasi perijinan dan standardisasi produk. Kegiatan
Pemantauan dan Evaluasi antara laian: a) Melaksanakan pemantauan dan
evaluasi perkembangan BUMDes; b) Memfasilitasi peleburan/merger unit
usaha yang tidak berkembang dan berpotensi merugi; c) Memperluas dan
menumbuhkan unit unit usaha atau pengembangan BUMDes baru.
13. Penerapan dan Pengembangan Teknologi Tepat Guna. Teknologi tepat
guna adalah teknologi yang dirancang bagi suatu masyarakat desa agar
dapat disesuaikan dengan aspek-aspek lingkungan, keetisan, kebudayaan,
sosial, politik, dan ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Dari tujuan
yang dikehendaki, teknologi tepat guna haruslah menerapkan metode yang
hemat sumber daya, mudah dirawat, dan berdampak polutif minimalis
dibandingkan dengan teknologi arus utama, yang pada umumnya beremisi
banyak limbah dan mencemari lingkungan. Pembanguan desa pelaksanaan
UU Desa aspek yang strategis dengan penerapan teknologi tepat guna.
Karena di tingkat desa, teknologi sederhana yang dianggap cocok bagi
negara-negara berkembang atau kawasan perdesaan. Bentuk dari

"teknologi tepat guna" ini biasanya lebih bercirikan solusi "padat karya"
daripada "padat modal". Kendati perangkat hemat pekerja juga digunakan,
ia bukan berarti berbiaya tinggi atau mahal ongkos perawatan. Pada
pelaksanaannya, teknologi tepat guna seringkali dijelaskan sebagai
penggunaan teknologi paling sederhana yang dapat mencapai tujuan yang
diinginkan secara efektif di suatu tempat tertentu. Teknologi tepat guna
memiliki arti yang berlainan, seringkali merujuk pada teknik atau rekayasa
yang berpandangan istimewa terhadap ranting-ranting sosial dan
lingkungan. Penerapan teknologi tepat guna dalam pembangunan desa dan
kawasan perdesaan adalah mengembangkan potensi dan sumber daya yang
ada di desa untuk dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi baik itu
konstruksi yang lazim maupun konstruksi yang tidak lazim diterapkan
didaerah

lain.

Penerapan

konstruksi

yang

tidak

lazim

dengan

memanfaatkan potensi sumberdaya setempat dilakukan melalui uji coba


dan berdasarkan pengalaman keberhasilan pembangunan prasarana di
lokasi yang berdekatan. Pengujian kelayakan konstruksi di satu wilayah
dilakukan oleh fasilitator teknik kabupaten dibantu oleh spesialis
infrastruktur provinsi. Teknologi tepat guna yang dikembangkan dalam
pembangunan desa dan kawasan perdesaan adalah berupa kegiatan
prasarana umum yang banyak dibangun masyarakat dan sarana penunjang
kegiatan ekonomi produktif yang memberikan manfaat bagi peningkatan
ekonomi masyarakat.
14. Peningkatan kualitas sistem Informasi dan Manajemen Informasi
Data. Skenari sistem informasi yang dikembangkan setidaknya menjawab
kebutuha yang terkait dengan desa bersuara, data desa, tata kelola desa,
pembangunan desa dan desa mandiri. Sehingga di tingkat desa perlu
dirumuskan adanya Tim Pengelola & Pemelihara sistem informasi desa
dalam hal ini setidaknya desa harus: a) Memiliki dan menjalankan jadwal
pengecekan kondisi informasi data desa; b) Memiliki jadwal rutin
penggantian konten/ informasi yang akan yang dilaporkan; c) Membuat

materi konten/ informasi yang disajikan; c) Bekerjasama dengan dengan


pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang terkait dalam pengandaan
sistem informasi. Peningkatan kualitas sistem menajemen data menjadi
faktor pendukung utama yang selama ini belum berjalan. Data menjadi
penting untuk melakukan desk review, evaluasi dan analisis secara cepat
dan akurat. Manajemen informasi data dapat diakses secara cepat juga
akan menjadi penting untuk melihat kualitas pendampingan dan berbagai
kendala yang terjadi di lapangan. Manajemen informasi data yang berbasis
IT menjadi perlu dilakukan khususnya dalam melakukan pendataan
dokumen/ laporan pendukung pelaksanaan SPP SPPN. Misalkan data
dasar, dokumen RPJMDes dan RKPDes, tahapan preparasi, penguatan
kapasitas dan kelembagaan dan lain sebagainya.
15. Menjaga

Kewibawaan

Program

Pembangunan

&

Integritas

Pendamping. Pelaksanaan UU Desa perlu dijaga kewibahaan dan


integritas para pelaku. Proses pelaksanaan UU Desa perlu dilakukan
analisis kritis, monev, supervise dan audit agar kegiatan pengintegrasian
dapat berjalan sesuai dengan tujuan, kebijakan dasar, prinsip-prinsip dan
proses tahapan di lapangan. Sehingga menjadi perlu para pemangku
kepentingan/ pelaksanaan dan masyarakat perlu medapatkan sertifikasi
atau pengakuan masyarakat yang didasarkan pada kompetensinya sebagai
fasilitator perencanaan dan penganggaran daerah bukan sekedar konsultan/
fasilitator projek semata. Pasal Pendampingan dalam UU Desa antara lain:
a) Pasal 1 Penjelasan 12 pemberdayaan masyarakat membutuhkan
pendampingan; b) Pasal 90, ayat (3) BUMDes, melakukan pendampingan
teknis dan akses ke pasar; c) Pasal 112, ayat (4) bahwa Pemberdayaan
masyarakat Desa dilaksanakan dengan pendampingan dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pemantauan Pembangunan Desa dan Kawasan
Perdesaan; d) Pasal 114, ayat (1), (l): melakukan pembinaan upaya
percepatan Pembangunan Desa melalui bantuan keuangan, bantuan
pendampingan, dan bantuan teknis. Strategi dan skenario Pendampingan

Pasca UU Desa antara lain: a) Pendampingan kualitas proses dan hasil


perencanaan pembangunan di partisipatif tingkat desa; b) Pendampingan
dalam penyelarasan Penjaringan Aspirasi Masyarakat oleh DPRD dan
penyusunan Rencana Kerja SKPD dengan hasil-hasil Musrenbang; c)
Pendampingan dalam Keterpaduan, keselarasan dan kesatupaduan
kebijakan, yang lebih menekan sistem penyelarasan perencanaan politik,
teknokratis

dengan

perencanaan

partisipatif;

d)

Pendampingan

penyelarasan rencana kegiatan perencanaan dan penganggaran swakelola


oleh masyarakat; e) Pendampingan manajemen pemerintahan desa; f)
Pendampingan kapasitas lembaga kemasyarakatan dan pemerintahan,
terutama pemerintahan desa dalam pengelolaan pembangunan partisipatif;
g) Pendampingan kapasitas pelaku masyarakat dan aparatur pemerintahan,
utamanya aparatur Pemerintahan Desa; h) Pendampingan kegiatan
perkembangan ekonomi perdesaan dan kemandirian BUMDEs dan; i)
Pendampingan peningkatan kualitas kegiatan berbasis antar desa/ kawasan
pendukung

ekonomi

perdesaan.

Kompetensi

Pendamping

dalam

Dukungan UU Desa perlu mempunyai kompetensi antara lain: a)


Kemampuan menggalang dukungan dan mendorong pendayagunaan
potensi berbagai pihak untuk peningkatan perencanaan dan penganggaran
pembangunan partisipatif; b) Kemampuan memediasi dan membangun
jaringan kerja sama para pihak (intern pemerintah Kabupaten), DPRD,
LSM dan pihak pihak lain yang terkait dan berkepentingan untuk
peningkatan serta pengembangan proses pembangunan partisipatif; c)
Kemampuan pendampingan kegiatan Perencanaan Pembangunan Desa
(PPD) dalam nentuk penyusunan RPJM Desa dan RKP Desa; d)
Kemampuan pendampingan proses penyampaian aspirasi melalui forum
Hearing/dengar

pendapat

DPRD

dan

Bupati;

e)

Kemampuan

pendampingan/ bimbingan dalam dukungan teknis kepada Pelaku desa


dan antar desa; f) Kemampuan pendampingan dalam menyusun Peraturan
Desa dan Peraturan Daerah yang sesuai dengan kebutuhan penguatan
pelaksanaan perencanaan, penganggaran dan pembangunan partisipatif; g)

Kemampuan penadampingan dalam rancang bangun pelatihan, workshop,


semiloka dan lain-lain; h) Kemapuan pendampingan dan keberlanjutan
Tenaga Pelatih Masyarat (TPM), Ruang Belajar Masyarakat (RBMdan
tempat Belajar Masyarakat (TBM); i) Kemampuan dalam Memastikan
tersusunannya/ review RPJM Desa, RKPDes, APBDes secara partisipatif
dan dilanjutkan dan Perdes/ Keputusan Kades serta Perdes lainnya sesuai
kebutuhan; k) Kemampuan dalam pendampingan penyusunan APBD
Desa, Laporan Keterangan Pertanggungjwaban Kades (LKPDes) dan
Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa (LPPD); l) Kemampuan
mengorganisir Tim Pendamping (tingkat desa, antar desa/ kawasan); m)
Kemampuan

pendampingan

dalam

teknis

pemberdayaan

dan

pembangunan desa); n) Kemampuan dalam mensosialisasikan kebijakan


terkait

dengan

desa

dan

pemerintahan

desa;

o)

Kemampuan

mengintegrasiaan Sistem Pembangunan Partisipatif (SPP) dan Sistem


Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN); p) Kemampuan memberikan
pendampingan dan dukungan teknis kepada dalam pembangunan desa dan
kawasan perdesaan; q) Kemampuan pendampingan dalam Sistem
Informasi Desa; r) Kemampuan pendampingan penyusunan rentra
kewilayahan, road map dan site plan usulan antar desa/ kawasan; t)
Kemampuan pendampingan pelatihan, dan kegiatan lainnya untuk
peningkatan kapasitas Kader Teknis Desa (KTD); u) Kemampuan
pendampingan dalam mendorong inovasi dan kreatifitas pembangunan
desa untuk mendukung proses pemberdayaan masyarakat; p) Kemampuan
pendampingan dalam melakukan evaluasi pelaksanaan pembangunan; w)
Kemampuan pendampingan dalam memantau dan memeriksa pengelolaan
keuangan program pembangunan desa dan antar desa; x) Kemampuan
pendampingan dalam validasi dan pemeriksaan pengelolaan kekuangan
yang bersumber dari APBN, APBD, Jaring Asmara, CSR, ADD, dan
swadaya masyarakat; y) Kemampuan pendampingan memperkuat
kapasitas Pengembangan Ekonomi Perdesaan dan kelembagaan BUMDes
dan; z) Kemampuan pendampingan penyusun laporan pelaksanaan

kegiatan pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan.


Kebutuhan pendampingan PNPM Mandiri perdesaan telah mempunyai
35.000 tenaga pendamping profesional untuk melakukan penguatan
kapasitas dan memastikan pelaksanaan UU Desa dilaksanakan dengan
prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas. Namun demikian,
jumalah desa yang sebanyak lebih kurang 72.499 desa sendainya satu desa
membutuhkan satu pendamping desa ternyata masih kurang memenuhi
kebutuhan tersebut. Upaya yang dilakukan adalah: a) Memperkuat kader
desa untuk kebutuhan pendamping antar warga masyarakat; b) Kerjasama
dengan Perguruan Tinggi; c) Memperbanyak Lembaga pelatihan/ Bengkel
Kerja; d) Kerjasama dengan LSM Lokal; e) Kerjasama dengan relawan
yang mempunya kepedulian tentang desa dan; f) dan lain-lain.
16. Reorientasi Peningkatan Kapasitas Kader Desa. Peningkatan Kapasitas
Kader Desa termuat dalam BAB XII tentang Lembaga Kemasyarakatan
Desa Dan Lembaga Adat Desa. Pasal 94 ayat (1), Desa mendayagunakan
lembaga kemasyarakatan Desa yang ada dalam membantu pelaksanaan
fungsi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan
Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat
Desa; (2) Lembaga kemasyarakatan Desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan wadah partisipasi masyarakat Desa sebagai mitra
Pemerintah Desa; (3) Lembaga kemasyarakatan Desa bertugas melakukan
pemberdayaan

masyarakat

Desa,

ikut

serta

merencanakan

dan

melaksanakan pembangunan, serta meningkatkan pelayanan masyarakat


Desa dan (4) Pelaksanaan program dan kegiatan yang bersumber dari
Pemerintah,

Pemerintah

Daerah

Provinsi,

Pemerintah

Daerah

Kabupaten/Kota, dan lembaga non-Pemerintah wajib memberdayakan dan


mendayagunakan lembaga kemasyarakatan yang sudah ada di Desa.
Kegiatan tersebut mengisyaratkan perlu penguatan kapasitas kelembagaan
dan para kader desa dalam menjalankan pembangunan desa. Proses
pembangunan desa sangat mengandalkan kader pembangunan yang ada di

desa. Kader desa sebagai penyangga utama dari ketahanan masyarakat di


desa. Kerangka pikir peningkatan kapasitas Kader berdasarkan prinsip
ketidakmampuan pemerintah (di negara manapun) untuk memenuhi
seluruh kehidupan, kebutuhan, dan kepentingan serta masalah masalah
masyarakatnya, tanpa keikut sertaan masyarakatnya sendir. Sehingga
peningkatan kader yang diorientasikan pada: a) Selalu melakukan
pengorganisasian, yang diaplikasikan dalam bentuk keterpaduan yang
sinergis; b) Selalu berupaya dalam menggerakan masyarakat dalam
pencaian cita-cita secara kolektif; c) Mengembangan organisasi berwatak
kader dan kelembagaan moder,n egaliter dan setara dan; d) Selalu
melakukan proses perkaderan yang slalu dilakukan evaluasi kritis. Upaya
yang dilakukan dalam pembentukan kader desa antara lain: a)
Pembentukan kader satu metode pendekatan edukatif; b) Mengefektifkan
program pemberdayaan masyarakat; c) Meningkatkan peran serta
masyarakat secara aktif; d) Menjembatani fasilitator/ konsultan dengan
masyarakat karna kader berasal masyarakat; e) Agen perubahan
masyarakat dalam mengembangan demokratisasi, kesetaraan dan non
diskriminasi. Penguatan kapasitas ini diharapkan dapat bertugas secara
benar menjadi kader pembangunan dan kader masyarakat. Upaya yang
dilakukan antara lain: a) Melakukan analisis sosial dalam rangka
melakukan persiapan sosial masyarakat; b) Melakukan proses penyadaran,
peningkataan

kapasitas,

pengorganisasian

atau

mengembangkan/

merevitalisasi organiasai masyarakat, mengembangkan swakelola dan


kemandirian

masyarakat;

c)

Melakukan

fasilitasi

terkait

dengan

pelaksanaan masyarakat yang sedang membutuhkan baik secara fisik,


pemahaman kritis, analisis-analisis sampai pada proses fasilitasi
pembangunan, pelayanan dan pengorganisasian; d) Melakukan tindakaantindakan praktis sesuai dengan kepentingan pembangunan atau kebutuhan
masyarakat; e) Mengembangkan adopsi, replikasi program yang dianggap
berhasil di lokasi atau tempat lainnya dan; f) Bersama masyarakat

melakukan

kritik

adan

otokritik

dari

kerja-kerja

fasilitasi

dan

pengorganisasian masyarakat.
17. Reorientasi Peningkatan Kapasitas Tenaga Pendamping Profesional.
Tenaga

pendamping

profesional

adalah

fasilitator

pendamping

pemberdayaan masyarakat merupakan tenaga profesional yang memiliki


kompetensi perencanaan dan penganggaran pembangunan desa serta
daerah yang bertugas fasilitasi proses kemandirian dan kedaulatan
masyarakat dalam pembangunan. Proses fasilitasi tersebut dengan
pelibatan stakeholder melalui kegiatan penyadaran, pembelajaran,
penguatan

kapasitas

dan

kelembagaan

masyarakat.

Kedaulatan

masyarakat berarti bahwa pengelolaan program pembangunan dilakukan


oleh, dari dan untuk masyarakat melalui proses partisipasi dan demokrasi.
Peran fasilitator pendamping pemberdayaan masyarakat adalah membantu
proses yang memastikan masyarakat mencapai tujuan. terkait dengan one
village, one plan, one budgeting, Fasilitator pendamping pemberdayaan
masyarakat bertugas fasilitasi terjadinya koordinasi dan konsolidasi antar
program di wilayah kerjanya. Fasilitator pendamping secara teknis untuk
kelancaran pelaksanaan program dan untuk memberikan pendampingan
kepada masyarakat serta

aparat, pemerintah lokal. Adapun tenaga

professional sebagai berikut: Melakukan koordinasi intensit dengan


memaksimalkan fungsi email group dan penyebaran informasi kebijakan
pelaksanaan UU Desa. Penguatan dan reorientasi pelatihan konsultan dan
fasilitator menjadi penting. Perspektif, pemahaman substansi sampai pada
strategi pelaksanaan di lapangan terus menerus dilakukan tesis, sintesis,
antitesis, rekomendasi dan aksi secara terus menerus. Reorientasi pelatihan
perlu dilakukan diberbagai level baik level desa, kecamatan, kabupaten,
provinsi maupun nasional.
18. Penguatan Sistem Pengawasan dan Pemantauan oleh Masyarakat.
Penguatan sistem pengawasan secara partisipatif oleh masyarakat menjadi
perlu. Proses pengawasan perlu dirumuskan dengan pendekatan yang tepat

yang dilakukan secara kreatif, inovatif dan menjadi bagaian dari proses
pemberdayaan dan tanggungjawb sosial diantara warga masyarakat dalam
pembangunan. Proses ini secara keseluruhan perlu dipastikan dan dikemas
dalam evaluasi dan monitoring perencanaan serta pembangunan berbasis
masyarakat. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan melakukan sertifikasi
dan audit dan internal atau pendekatan monev secara menyeluruh yang
melibatkan para stakeholder desa, kecamatan dan kabupaten. Implentasi
pelaksanaan UU Desa juga mengembangkan pendekatan hak dasar dalam
kerangka pengawasan pembangunan. Doktrin negara kesejahteraan
(welfare state), dan dalam naskah legal negara kita yaitu Pembukaan UUD
45; Batang tubuh UUD 45 pasal 26 sampai dengan pasal 34; UU No 39
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta dokumen legal lainnya
negara memiliki kewajiban dan tanggungjawab dalam mewujudkan
kesejahteraan warga negaranya. Dasar Hukum Pengawasan Pembangunan
Oleh Masyarakat, UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya; UU No. 12
Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik; UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik; UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pengawasan berbasis
masyarakat setidaknya menjawab beberapa permasalahan yang terkait
dengan kemandirian masyarakat dalam keterlibatan masyarakat melakukan
pemantauan pembangunan. Upaya yang dilakukan antara lain: a)
Pengorganisasian Komunitas, mengembangkan kelompok masyarakat
penerima manfaat program menjadi kelompok masyarakat terorganisir; b)
Pendidikan Kritis, penguatan kapasitas kelompok masyarakat penerima
manfaat program dengan pendidikan topikal dalam menjalankan
pengawasan pembangunan berbasis komunitas, antara lain Kewajiban
Penyelenggara

Negara

dan

Kewajiban

Warga

Negara,

Penilaian

Kemanfaatan Program (audit pembangunan), Advokasi Pembangunan; c)


Desiminasi Informasi Strategis, membangun pemahaman pada komunitas
melalui distribusi informasi kewajiban negara (pemerintah), hak- hak

warga dan program- program yang dijalankan pemerintah di wilayah atau


komunitas; d) Advokasi, proses untuk menyampaikan temuan- temuan
dalam melakukan pengawasan untuk mempengaruhi dan merubah suatu
kebijakan publik agar lebih berpihak pada masyarakat; e) Akuntabilitas
Publik, menyampaikan hasil menjalankan pengawasan pembangunan
kepada publik dan otoritas terkait (eksekutif dan legislatif).

Pengamanan Sosial Dan Lingkungan Hidup. Seperti diketahui bahwa


jumlah desa dan kelurahan di Indonesia sebanyak 79.636 dengan
penambahan pemekaran desa sebanyak 2% atau 1.593 sehingga jumlah
desa dan kelurahan diperkirakan sebanyak 81.229 desa. Komitemen
presiden

terpilih dengan

jumlah desa sebanyak

81.229 dengan

pengalokasian pendanaan rata-rata per desa sebanyak 1,4 milyar maka


diperlukan pendanaan sebesar Rp. 113,720 triliun per tahun. Permasalahan
ini akan menimbulkan permasalahan pengelolaan sumber daya alam di
tingkat desa dan kelurahan. PNPM MPd suatu program dengan skala
nasional yang yang meliputi 5.020 kecamatan dan sekitar 61.000 desa,
dalam pelaksnaan program rata-rata setiap tahun ada 80-86% usulan
sarana prasarana telah ikut membawa danpak social dan lingkungan
walaupun telah ada aturan negative list yang mensyaratankan agar tidak
pelaksanaan pembangunan di tingkat desa harus memperhatikan aspek
social dan lingkungan tetapi hasil pemantauan dan kajian menunjukkan
bahwa masih banyak kegiatan pembangunan program yang tidak
didasarkan dalam penataan dan pengelolaaan lingkungan yang sinergis.
Kebijakan safeguards atau pengamanan sosial dan lingkungan hidup
merupakan setu kewajiban yang harus dilakukan sehingga strategi
pengelolaan sumber daya alam dilakukan dalam rangka melakukan
pencegahan, pengelolaan, dan penanganan risiko terjadinya potensi
dampak

yang

mungkin

terjadi

sebagai

akibat

adanya

kegiatan

pembangunan desa pasca Undang-Undang Desa. Kebijakan perlindungan


tidak hanya dimaksudkan untuk menghindarkan dampak sosial dan
lingkungan hidup yang merugikan sebagai akibat adanya suatu kegiatan
yang

didanai

kegiatan

pembangunan

desa,

namun

juga

untuk

meminimalkan risiko dampak negatif tersebut. Jika dampak-dampak


negatif tidak dapat dihindarkan, Kegiatan pembangunan desa harus
merencanakan dan melaksanakan langkah-langkah penanggulangan,
perbaikan, dan kompensasi apabila diperlukan. Kegiatan pembangunan
desa harus mengadopsi Kebijakan-kebijakan Pengamanan yang mencakup
Kebijakan

tentang

Kajian

Lingkungan

Hidup

(Environmental

Assessment), dan Kebijakan Masyarakat Adat dan Komunitas Adat


Terpencil (MA&KAT atau Indigenous Peoples) . Penerapan kedua
kebijakan pengamanan ini harus disesuaikan dengan karakteristik setiap
kegiatan, khususnya dalam hal jenis dan besaran potensi dampak
lingkungan serta pengaruh yang ditimbulkan atau keterlibatan MA&KAT
dalam kegiatan pembanunan desa. Kegiatan pembangunan desa dilakukan
dalam upaya identifikasi potensi dampak serta menetapkan langkahlangkah penanganan dampak negatif yang tidak dapat dihindarkan oleh
setiap kegiatan, melaksanakan langkah-langkah penanggulangan dampak
negatif tersebut, serta memantau dan mengawasi pelaksanaan langkahlangkah penanggulangan tersebut. Kegiatan pembangunan desa juga
mendokumentasikan dan mengungkapkan kepada publik seluruh kegiatan
ini dalam rangkaian proses siklus pembangunan desa yang mempunyai
perspektif rendah karbon, perindungan social dan lingkungan.

Monitoring dan Evakuasi Efektivitas Pelaksanaan UU Desa. Mendorong


efektifitas pelaksanaan UU Desa beserta kebijakan pendukung merupakan
strategi dan prasarat terpenuhinya pelaksanaan kebijakan tersebut.
Pelaksanaan UU Desa perlu dipastikan adanya kebijakan pendukung yaitu
PP, Permendagri, Perda/ Perbup khususnya Perda (Pembangunan
Partisipasi, Penyerahan Kewenangan dan Urusan, Swakelola Masyarakat).

Sementara itu, pelaksanaan SPP-SPPN perlu dipastikan oleh Pemda/


Bappeda. Kebijakan pelaksanaan UU Desa perlu dipastikan oleh
Pemerintah Lokal bahwa prinsip-prinsip dasar pemberdayaan dan
partisipasi masyarakat menjadi input penting dalam kebijakan tersebut.
Kebijakan itu dapat menjadi bagian penting dalam penguatan kualitas
pelaksanaan UU desa basis desa, kecamatan, Forum SKPD/ Pemda. Fung
Pemda dan SKPD sebagai pembina, fungsi pengendali terkait dengan
pelaksanaan UU Desa menjadi penting dirumuskan dalam kebijakan
tersendiri. Strategi ini diperlukan sebagai upaya pelaknasan efektifitas
kebijakan yang telah diputuskan. Strategi yang diperlukan dengan
melakukan klasifikasi dalam proses fasilitasi. Proses pembinaan dan
pengendalian antara lain: 1) Penguatan di lokasi desa-desa yang
melakukan desiminasi informasi dan preparasi pelaksanaan UU Desa
dengan melakukan identifikasi kebutuhan dan permasalahan yang
dihadapi; 2) Penguatan lokasi tahun ke dua lebih menekankan tindaklanjut
agenda preparasi dalam fasilitasi dalam memastikan dukungan kebijakan
pendukung pelaksanaan UU Desa dan; 3) Penguatan pelaksanaan UU Desa
pada 3 tahun ke atas lebih menekankan pemantapan, sertifikasi dan
pelaksanaan

kebijakan

termasuk

komitmen

Pemda

dalam

mengimplentasikan skenario pelaksanaan SPP_SPPN dalam skenario


Pendanaan Berbasis Masyarakat/ swakelola masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai