FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
REFERAT
SEPTEMBER 2016
DIAPER RASH
DISUSUN OLEH :
NINIEK FITRIANI MUIN (C111 12 325)
MUH. HISYAMUDDIN BIN ABD. KADIR (C111 12 816)
DEWI KURNIA (C111 11 274)
IDA AYU DWI OKA PUTRI (C111 12 125)
RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Hilda Brigitta Sombolayuk
SUPERVISOR PEMBIMBING :
LEMBAR PENGESAHAN
JUDUL REFERAT : DIAPER RASH
Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :
1. Nama : Niniek Fitriani Muin
NIM
: C111 12 325
: C111 12 816
: C111 11 274
: C111 12 125
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Makassar,
September 2016
Supervisor Pembimbing I
Supervisor Pembimbing II
Residen Pembimbing
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I PENDAHULUAN
I.
DEFINISI..
II.
EPIDEMIOLOGI..
III.
ETIOLOGI
IV.
PATOFISIOLOGI
V.
GAMBARAN KLINIK
VI.
PEMERIKSAAN PENUNJANG.
VIII. PENATALAKSANAAN 12
IX.
KOMPLIKASI... 13
X.
PENCEGAHAN. 14
XI.
PROGNOSIS.. 15
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.
DEFINISI
Diaper rash adalah iritasi kulit yang meliputi area popok yaitu lipat paha,
III. ETIOLOGI
Diaper rash disebabkan oleh infeksi jamur yaitu Candida albicans dan
banyak mengenai anak-anak. Candida dapat hidup di lingkungan mana saja, dapat
berkembang baik di daerah yang hangat, lembab seperti dibawah popok. Jamur
tersebut biasanya terdapat pada bayi-bayi yang tidak terjaga kebersihan dan
kekeringannya, bayi yang sedang mendapat antibiotik atau melalui ASI dari ibu
yang sedang mendapatkan terapi antibiotik, frekuensi buang air besar yang
sering.2
Bayi yang baru lahir mengeluarkan urine lebih dari 20 kali dalam 24
jam. Frekuensi berkemih ini berkurang seiring pertumbuhan dan mencapai
7 kali dalam 24 jam pada umur 12 bulan. 2,3
Selama beberapa tahun, amonia dipercaya sebagai penyebab utama
terjadinya diaper rash. Namun sekarang telah diketahui bahwa amonia
bukan penyebab utama terjadinya diaper rash. Jumlah mikroorganisme
terkait amonia tidak berbeda antara bayi dengan atau tanpa diaper rash. Hal
ini menunjukkan bahwa hasil degradasi urine lainnya selain amonia
memegang peranan pentingpada kejadian diaper rash. Suatu penelitian
membuktikan bahwa urin yang disimpan selama 18 jam pada suhu 37 o C
dapat menginduksi terjadinya dermatitis ketika diberikan pada kulit bayi.
Saat ini jelas bahwa pH urin memegang peranan penting pada penyakit ini.
Urin yang memiliki pH tinggi (alkalis) pada bayi dapat menimbulkan
irritant napkin dermatitis. 2,3
4. Feses
Telah diketahui selama bertahun-tahun bahwa feses manusia memiliki
efek iritan pada kulit. Pada feses bayi terdapat protease, pankreas, lipase,
dan enzim-enzim lainnya yang dihasilkan olehbakteri dalam usus. Enzim ini
berperan penting dalam proses terjadinya iritasi kulit. Efek iritan dari enzim
tersebut semakin meningkat dengan adanya kenaikan pH dan gangguan
fungsi barier.2,3
Urea yang
diproduksi
oleh
berbagai
bakteripada
feses
dapat
terdapat
vesikel
dan
erosi.
Untuk
itu,
diperlukan
terjadi pada bayi yang diare dalam waktu kurang dari 48 jam. Penggunaan popok
menyebabkan peningkatan kelembaban kulit dan pH. Kondisi lembab yang
berkepanjangandapat menyebabkan terjadinya maserasi pada stratum korneum,
lapisan luar, dan lapisan pelindung kulit yang berhubungan dengan kerusakan
pada lapisan lipid interselular. Kelemahan integritas fisik membuat stratum
korneum lebih mudah terkena kerusakan olehgesekan permukaan popok dan
iritasi lokal.6, 7
Kulit bayi mempunyai barier yang efektif terhadap penyakit dan memiliki
permeabilitas yang sama dengankulit orang dewasa. Berbagai studi melaporkan
bahwa kehilangan cairantransepidermal pada bayi lebih rendah daripada kulit
orang dewasa. Namun, kondisi yang lembab, kekurangan paparan udara,
keasaman, paparan bahan iritan, dan meningkatnya gesekan pada kulit dapat
menyebabkan kerusakan barier kulit.6, 7
Pada kulit normal, pH berkisar antara 4,5-5,5. Ketika zat urea dari urin dan
feses bercampur, enzim urease akan menguraikan urine dan
menurunkan
GAMBARAN KLINIK
Sejauh ini, tipe diaper rash yang paling banyak adalah irritant diaper
dermatitis. Dermatitis ini ditemukan pada siapa saja yang memakai popok, tanpa
pengaruh umur. Predileksi yang paling sering adalah pada gluteal, genital, bagian
bawah abdomen, pubis dan paha atas. Irritant diaper dermatitis menampakkan
effloresensi berupa daerah eritema, lembab dan kadang timbul sisik pada genital
dan gluteal, yang awalnya timbul pada daerah yang lebih sering kontak dengan
popok.6,7
2.3
PEMERIKSAAN PENUNJANG
10
Pemeriksaan laboratorium
Darah lengkap : Pemeriksaan darah lengkap dapat dilakukan,
terutama jika muncul gejala sistemikseperti demamdan jika
dicurigai adanya infeksi sekunder. Jika ditemukan anemia bersama
dengan hepatosplenomegali dan timbul ruam dapat dicurigai
-
11
3. Napkin Psoriasis
Diaper rash tipe psoriasis terjadi selama 2 bulan dan berakhir 2-4
bulan. Ruam terdiri dari plak bentuk psoriasis pada area popok disertai
papul satelit. plak merah terang berbatas tegas, tidak bersisik, dan
berbatas tegas, baik terlokalisir maupun berkelompok di daerah
intertriginosa/lipatan seperti ketiak juga merupakan ciri dari penyakit ini.
12
13
VII. PENATALAKSANAAN
1. Non Medikamentosa
a. Air
Daerah popok dibiarkan terbuka selama mungkin agar tidak lembab,
misalnya ketika bayi tidur.1,7,11
b. Barrier Ointments
Barrier ointments dioleskan setiap kali popok diganti. Contonya: seng
oksida, petrolatum, preparat barrier non mediated.1,7,11
c. Cleansing dan pengobatan anti kandida
Daerah popok dibersihkan dengan airataupun minyak mineral dan
dilakukan hati-hati agar tidak terjadi kerusakan kulit akibat gesekan.
Bila dijumpai orah trush dapat diberi anti kandida topikal atau nistatin
oral.1,7,11
d. Diapering
Frekuensi penggantian popok perlu diperhatikan. Sebaiknya popok
diganti setiap 1-3 jam per hari dan 1 kali setiap malam hari atau popok
diganti segera mungkin bila telah kotor.1,7,11
e. Education
14
IX. PENCEGAHAN
Pencegahan merupakan tindakan yang paling baik. Tujuannya adalah
untuk mengurangi kontak antara kulit dengan bahan iritan. Semakin sering popok
diganti semakin kecil kemungkinan terkena diaper rash. Popok harus diganti
segera setelah BAK/BAB untuk membatasi jumlah bahan iritan ini dan mencegah
tercampurnya feses dan urin. Penggunaan popok dengan daya serap kuat
mengurangi kelembaban pada daerah popok.5,7
Pencucian dan penggosokan yang berlebihan pada daerah popok akan
menimbulkan iritasi kulit. Setelah BAK/BAB, pencucian dapat dilakukan dengan
air hangat dan pembersih ringan.5,7
Preparat protektif yang digunakan terdiri dari losion, krim atau ointment,
yang mengandung emolien dapat ditambah dengan kaolin, talk atau zinc oxide.
Penggunaan preparat ini akan mengurangi gesekan dan absorbsi bahan iritan. pH
kulit sedikit lebih bersifat asam dan mendekati pH normal kulit dan berfungsi
16
sebagai buffer terhadap pH yang lebih tinggi yang disebabkan oleh adanya
amonia. Emolien digunakan 2-3 kali sehari.5,7
X.
PROGNOSIS
Diaper rash hampir selalu menunjukkan respon yang baik terhadap terapi
dan sebagian besar kasus dapat membaik jika tidak memakai popok dalam jangka
waktu beberapa minggu. Dan jika tetap persisten kemungkinan didiagnosis
dengan atopic eczema, psoriasis, zinc defisiensi, histiosit sel langerhans atau
imunodefisiensi.11
BAB III
PENUTUP
I.
KESIMPULAN
Diaper rash adalah istilah umum pada beberapa iritasi kulit yang
berkembang pada daerah yang tertutup popok. Tidak ada perbedaan antara lakilaki dan perempuan. Diaper rash dapat bermula pada periode neonatus segera
setelah anak memakai popok. Diaper rash dapat disebabkan oleh beberapa hal,
yaitu gesekan, iritasi dari feses dan urin, pengenalan makanan baru, infeksi bakteri
atau jamur, kulit sensitif, dan penggunaan antibiotik. Bentuk yang paling sering
dijumpai pada dermatitis popok iritan primer terdiri dari eritem yang menyatu
dengan permukaan cembung pada daerah yang tertutup popok. Penatalaksanaan
non farmakologi diaper rash menggunakan pendekatan ABCDE yaitu air, barrier
ointment, cleansing, diapering, dan edukasi. Terapi farmakologi yang digunakan
pada diaper rash yaitu kortikosteroid topikal, obat antifungi, antibiotik topikal,
dan antibiotik oral.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Wolff, Klaus dkk. 2008. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine.
USA: McGraw-Hill. Eight Edition. 19(2): 1197-1199.
2. Tuzun Y, Wolf R, Baylam S, Engin B. 2015. Diaper (Napkin) Dermatitis:
A Fold (Intertriginous) Dermatosis. Clinics in Dermatology. 33: 477-482.
3. Serdaroglus, Ustunbas TK. 2010. Diaper Dermatitis (Napkin Dermatitis,
Nappy Rash). Journal of Turkey Academy Dermatology. 4(4): 1-4.
4. Djuanda A. 2010. Pioderma. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. p.57.
5. James DW, Berger TG, dkk. 2016. Andrews Disease of the Skin: Clinical
Dermatology. USA: Elsevier. Twelve Edition. 13: 75.
6. Stamatas GN, Tierneg NK. 2014. Diaper Dermatitis: Etiology,
Manifestations, Preventation, And Management. Pediatric Dermatology.
31(1): 1-7.
7. Merrill L. 2015. Prevention, Treatment and Parent Education for Diaper
Dermatitis. AWHONN. 324-337.
8. Wolff K and Jhonson RA. 2009. Disease due to microbial agents. In:
Fitzpatrick Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. USA: Mc
Graw Hill. Sixth Edition. p720.
9. Gysel DV. 2016. Infection and Skin Disease Mimicking Diaper Dermatitis.
International Journal of Dermatology. 55(1): 10-13.
10. Hay RJ, Adrians BM. 2016. Dermatoses and Haemangiomas of Infancy.
2016. In: Rooks Text Book of Dermatology. USA: Wiley-Blackwell. 9 th.
p.117.1-15
11. Klunk C, Domingues E, Wiss K. 2014. An update on diaper dermatitis.
Clinics in Dermatology. USA: Elsevier. 32: 477-487.
18