Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

DIAPER RASH

PEMBIMBING :
dr. Retno Sawitri , Sp.KK
dr. Shinta Juanetta Brasiliany Tb, Sp.KK. M.kes

Disusun Oleh :
David Arnoldus Dhai Regha Serang
1765050219

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
PERIODE 06 MEI 2019 – 15 JUNI 2019
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul Diaper Rash tepat pada
waktunya.

Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Retno Sawitri, Sp.KK dan dr. Shinta
J.B.T.R, Sp.KK dan dr. Wisyanti Mian Uli Siahaan,Sp.KK yang telah memberi
kesempatan dan waktunya untuk menjadi pembimbing dalam menyelesaikan referat ini .
penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dalam rangka
penyempurnaan. Akhir kata, semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dunia pendidikan dan pengetahuan secara luas.

Bekasi, 17 Mei 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I. PENDAHULUAN 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2

2.1 Definisi 2

2.2 Epidemiologi 2

2.3 Etiologi……………………………………………………………………. 3

2.4 Patogenesis 5

2.5 Gejala Klinis 8

2.6 Diagnosis 10

2.7 Diagnosis Banding 11

2.8 Penatalaksanaan 12

BAB III. KESIMPULAN 15

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Napkin Eczema atau Diaper Rash (Ruam Popok) atau juga disebut Diaper Dermatitis
(Dermatitis Popok) merupakan suatu istilah tidak spesifik yang digunakan untuk
menggambarkan berbagai reaksi inflamasi kulit (erupsi) pada area kulit yang tertutupi diaper
atau popok pada bayi, termasuk bokong, area perianal, alat kelamin, paha bagian dalam dan
pinggang. Kondisi ini dapat disebabkan karena penggunaan atau kontak langsung popok
dengan kulit bayi (dermatitis kontak iritan) yang merupakan penyebab terbanyak. Selain itu
penggunaan diaper juga dapat memperparah kondisi kulit yang sudah memiliki erupsi
misalnya pada psoriasis. Hal tersebut dibuktikan pada beberapa penelitian menyebutkan
bahwa pada daerah tertentu yang jarang menggunakan popok pada bayi akan memiliki
insiden Napkin Eczema (NE) yang lebih rendah,ataupun hal tersebut terjadi dikarenakan
adanya kehadiran mikroorganisme. Diaper Rash (ruam popok) adalah salah satu gangguan
kulit paling umum pada neonatus dan bayi, dengan prevalensi antara 7 dan 50%. Dengan
puncak kejadian diaper rash yaitu pada usia antara 9 sampai 12 bulan Namun, insiden
sesungguhnya dari diaper rash pada populasi umum mungkin lebih tinggi karena tidak semua
kasus dilaporkan ke dokter karena biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa memerlukan
perawatan medis.(1,2,3)

Dermatitis karena gesekan, dermatitis kontak iritan, dan Diaper candidiasis adalah
tiga jenis dermatitis popok yang paling umum dan sejauh ini, tipe diaper rash yang paling
banyak adalah irritant diaper dermatitis. Dermatitis ini ditemukan pada siapa saja yang
memakai popok, tanpa pengaruh umur. Predileksi yang paling sering adalah pada gluteal,
genital, bagian bawah abdomen, pubis dan paha atas. Beberapa hal yang dapat mencetuskan
Napkin Eczema (NE) atau Diaper rash (DR) meliputi kondisi kulit yang lembab, pajanan
langsung kulit dengan urin atau feses, infeksi mikroorganisme (jamur, bakteri, dan virus),
gangguan nutrisi, iritasi bahan kimia, penggunaan antibiotik, penyakit diare, dan anomali
traktus urinarius. Meskipun ruam dalam area popok paling sering hanya merupakan kasus
dermatitis kontak iritan, yang mudah diobati dengan perawatan topikal dan pendidikan orang
tua tentang praktik popok yang tepat, tetapi perlu diperhatikan bahwa bentuk parah dari
dermatitis popok memerlukan perawatan medis.1

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Diaper rash disebut juga ruam popok, diaper dermatitis atau napkin
dermatitis merupakan salah satu kelompok dermatosis spesifik (Regional eczema).
yang bermanifestasikan Erupsi Eczematous pada area yang tertutupi oleh popok. Diaper
dermatitis merupakan salah satu dari sekian banyak masalah kulit yang terjadi pada
bayi dan anak-anak dengan prevalensi tertinggi terjadi pada usia 6 sampai 12 bulan.
Meski demikian, diaper dermatitis juga dapat terlihat pada orang dewasa yang dalam
keadaan tertentu juga menggunakan popok, yaitu pada keadaan terjadinya inkontinensia
urin atau alvi. (1,2)

2.2 Epidemiologi

Diaper dermatitis merupakan salah satu dari sekian banyak masalah kulit yang
terjadi pada bayi dan anak-anak akibat penggunaan popok, yaitu sekitar 7-50% terjadi
pada bayi. Dengan prevalensi tertinggi yaitu pada bayi umur 6-12 bulan, Namun,
insiden sesungguhnya dari diaper rash pada populasi umum mungkin lebih tinggi
karena tidak semua kasus dilaporkan ke dokter karena biasanya sembuh dalam
beberapa hari tanpa memerlukan perawatan medis. Walaupun prevalensi tertinggi
didapatkan pada bayi dan anak, kasus ini juga dapat terjadi diberbagai umur atau pada
orang dewasa yaitu pada mereka yang menggunakan popok akibat inkontinensia urin
atau alvi. Kondisi diaper rash pada bayi dan anak dapat sembuh sendiri ketika anak
sudah memasuki masa toilet-trained, yaitu sekitar umur 2 tahun.3

Iritant diaper dermatitis dan Candida diaper dermatitis merupakan jenis


diaper dermatitis yang paling umum terjadi dan sejauh ini, tipe diaper rash yang
paling banyak adalah irritant diaper dermatitis. Dermatitis ini ditemukan pada siapa
saja yang memakai popok, tanpa pengaruh umur. Predileksi yang paling sering adalah
pada gluteal, genital, bagian bawah abdomen, pubis dan paha atas. 1,3

2
2.3 Etiologi

Banyak faktor yang berperan sebagai penyebab dari diaper rash. Meski demikian,
Faktor yang berperan paling utama dalam terjadinya diaper rash adalah peningkatan
kelembaban di area popok serta lamanya pajanan popok yang lembab dengan area
kulit. Akibat dari peningkatan kelembaban dan lamanya pajanan dengan kulit
menyebabkan terjadinya kerusakan fungsi kulit sebagai pelindung (barrier) sehingga
penetrasi daripada bahan iritan menjadi lebih mudah. Faktor-faktor lainya yang juga
berhubungan dengan kejadian diaper rash ini adalah bila adanya kontak dengan urin,
feses, enzim proteolitik dan lipolitik dari sistem pencernaan, adanya peningkatan pH
Kulit, serta adanya mikroorganisme seperti bakteri ataupun jamur.1
 Maserasi
Stratum korneum menentukan fungsi pertahanan (barrier) pada epidermis. Stratum
korneum terdiri atas sel yang akan berhenti mengelupas dan memperbarui diri pada
siklus 12-24 hari. Matriks ekstraselular hidrofobik berperan sebagai barier,
mencegah kehilangan cairan dan sebagai tempat masuknya air dan bahan hidrofilik
lainnya. Sel hidrofilik pada stratum korneum (korneosit) memberikan perlindungan
mekanis dari lingkungan luar dalam bentuk lapisan lilin. Keadaan basah yang
berlebihan akan memberikan dampak berat pada stratum korneum. Pertama, keadaan
ini akan membuat permukaan kulit menjadi pecah-pecah dan lebih sensitif terhadap
gesekan. Kedua, keadaan ini mengganggu fungsi perlindungan, menambah
penyerapan bahan iritan ke dalam lapisan sensitif pada kulit di bawah stratum
korneum dan membuka lapisan ini sehingga menjadi kering dan menjadi tempat
masuknya mikroorganisme. Oklusi kulit yang berkepanjangan dapat menimbulkan
eritema, terutama jika air kontak dengan permukaan kulit dan akhirnya dapat terjadi
(3,4)
dermatitis.
 Gesekan
Gesekan antara kulit dan popok merupakan faktor penting dalam beberapa kasus
diaper rash. Hal ini didukung oleh predileksi tersering diaper rash yaitu di tempat
yang paling sering terjadi gesekan, misalnya pada permukaan dalam paha,
permukaan genital, bokong dan pinggang. (3,4)

3
 Urin
Bayi yang baru lahir mengeluarkan urine lebih dari 20 kali dalam 24 jam.
Frekuensi berkemih ini berkurang seiring pertumbuhan dan mencapai 7 kali dalam
24 jam pada umur 12 bulan. Selama beberapa tahun, amonia dipercaya sebagai
penyebab utama terjadinya diaper rash. Namun sekarang telah diketahui bahwa
amonia bukan penyebab utama terjadinya diaper rash. Jumlah mikroorganisme
terkait amonia tidak berbeda antara bayi dengan atau tanpa diaper rash. Hal ini
menunjukkan bahwa hasil degradasi urine lainnya selain amonia memegang
peranan penting pada kejadian diaper rash. Suatu penelitian membuktikan bahwa
urin yang disimpan selama 18 jam pada suhu 37o C dapat menginduksi terjadinya
dermatitis ketika diberikan pada kulit bayi. Saat ini jelas bahwa pH urin memegang
peranan penting pada penyakit ini. Urin yang memiliki pH tinggi (alkalis) pada
bayi dapat menimbulkan irritant napkin dermatitis. (3,4,5)
 Feses
Telah diketahui selama bertahun-tahun bahwa feses manusia memiliki efek iritan
pada kulit. Pada feses bayi terdapat protease, pankreas, lipase, dan enzim-enzim
lainnya yang dihasilkan oleh bakteri dalam usus. Enzim ini berperan penting dalam
proses terjadinya iritasi kulit. Efek iritan dari enzim tersebut semakin meningkat
dengan adanya kenaikan pH dan gangguan fungsi barier. Urea yang diproduksi oleh
berbagai bakteri pada feses dapat meningkatkan pH feses. Meningkatnya pH dapat
meningkatkan aktivitas enzim lipase dan protease pada feses. Produksi feses cair
yang berlebihan berhubungan dengan pemendekan waktu transit dan feses ini
mengandung sejumlah besar sisa enzim percernaan yang dapat menyebabkan iritasi
pada kulit. (3,4)
 Mikroorganisme
Mikroorganisme seperti bakteri (Streptococcus dan Staphylococcus), dan jamur
(Candida) dapat menyebabkan diaper rash. Meskipun sering dinyatakan bahwa
infeksi bakteri berperan penting dalam terjadinya napkin dermatitis tipe iritasi
primer, studi kuantitatif menunjukkan bahwa flora bakteri yang diisolasi dari daerah
yang mengalami erupsi tidak berbeda dengan bakteri yang diisolasi dibeberapa
area kulit yang normal pada bayi. (3,4)

4
 Antibiotik
Penggunaan antibiotik spektrum luas pada bayi dengan otitis media dan infeksi
traktus respiratorius menunjukkan peningkatan insiden terjadinya irritant napkin
dermatitis. Antibiotik dapat membunuh bakteri, baik flora normal maupun
bakteri patogen. Ketidakseimbangan kedua bakteri ini, dapat menyebabkan
infeksi jamur. Hal ini dapat terjadi ketika bayi mengkonsumsi antibiotik atau
pemberian ASI oleh ibu yang mengkonsumsi antibiotik. Selain itu, kesalahan
dalam penggunaan bahan topikal untuk melindungi kulit juga dapat
meningkatkan resiko terjadinya diaper rash. (3,4)
 Kesalahan atau kurangnya perawatan kulit
Penggunaan sabun mandi dan bedak yang salah dapat meningkatkan resiko
terjadinya dermatitis iritan. Cara pembersihan dan pengeringan di daerah popok
yang tidak tepat serta frekuensi penggantian popok yang jarang juga dapat
menjadi faktor pencetus. (3,4)
 Kelainan anomali pada traktus urinarius
Kelainan anomali pada traktus urinarius dapat menyebabkan terjadinya infeksi
traktus urinarius. (3,4)

2.4 Patogenesis
Dermatitis kontak iritan tidak hanya merupakan reaksi terhadap iritasi tunggal
tetapi merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor, di antaranya yang paling
penting adalah kontak kulit yang lama dengan urin dan feses. (Gambar 1). Faktor-
faktor lain yang menjadi penyebab dermatitis popok ini adalah area popok adalah
basah yang berlebihan, pH tinggi, aktivitas enzimatik yang tinggi, dan gesekan, yang
semuanya sampai batas tertentu mengganggu fungsi sawar epidermis. Namun, untuk
memahami etiologi dermatitis popok, penting untuk tidak melupakan fisiologi kulit
bayi, dan karenanya fungsi sawar kulit mereka, mempengaruhi juga terjadinya
dermatitis popok ini, termasuk perbedaan histologis, biokimia, dan fungsional, serta
perbedaan dalam komposisi mikrobiota kulit. Ada juga perbedaan signifikan lainnya
antara epidermis bayi dan dewasa, yang meliputi keratinosit yang lebih kecil, struktur
mikrorelief yang lebih padat, stratum korneum yang lebih tipis, proliferasi sel yang
lebih besar, dan organisasi serat kolagen yang berbeda dalam dermis. (3,4)

5
Gambar 1 : Faktor yang berperan dalam terjadinya dermatitis popok 4

Matriks lipid ekstraseluler dari stratum corneum bertindak sebagai penghalang


mencegah kehilangan air dan masuknya zat hidrofilik termasuk air, sedangkan
corneocytes memberikan perlindungan mekanis dari lingkungan eksternal.
Kelembabapan berlebihan di daerah popok dapat menyebabkan maserasi stratum
korneum. Melemahnya integritas fisiknya membuat stratum korneum lebih rentan
terhadap gesekan mekanis (misalnya oleh popok), terhadap bahan kimia dan enzim
lokal, serta terhadap infeksi mikroba. Basah dan gesekan yang lebih sering
menyebabkan dermatitis popok iritan yang tidak terlalu parah. Namun, karena stratum
corneum lebih tipis dan kurang protektif pada bayi jika dibandingkan denganorang
dewasa, membuatnya lebih rentan terhadap infeksi, serta toksisitas sistemik dari
penyerapan topikal zat yang diterapkan pada kulit. Pada bayi yang lahir antara 30 dan
32 minggu usia kehamilan, fungsi perlindungan oleh kulit secara utuh berkembang
hanya 2-4 minggu setelah kelahiran, menunjukkan bahwa bayi sangat sensitif
terhadap perkembangan dermatitis popok.Korelasi yang signifikan antara keparahan
dermatitis popok dan peningkatan pH kulit di area popok telah dibuktikan. pH asam di
area popok membantu mikrobiota sehat di wilayah ini, yang sangat penting untuk
perlindungan antimikroba bawaan terhadap invasi oleh bakteri patogen dan khamir,
serta memainkan peran penting dalam pengembangan imunitas bawaan. (3,4)

6
Urin dan tinja adalah kontaminan utama area popok, keduanya berkontribusi
pada dermatitis popok iritan. Urin dapat memiliki pH mulai dari 4,6 hingga 8, dan
tinja biasanya memiliki pH lebih tinggi 6,5-7,5, sedangkan pH normal bokong sekitar
5,5. Oleh karena itu, agak mudah bahwa paparan kulit terhadap campuran urin dan
feses berkontribusi terhadap peningkatan pH di area popok untuk nilai yang lebih basa
(> 7). Peningkatan ini pada gilirannya menyebabkan peningkatan aktivitas feses
protease, lipase, dan urease, yang semuanya sangat mengiritasi kulit. Peningkatan
aktivitas lipase dan protease fekal juga terjadi, karena percepatan transit
gastrointestinal. Oleh karena itu tingkat prevalensi dermatitis popok yang lebih tinggi
diamati pada bayi yang mengalami diare dalam 48 jam sebelumnya Selanjutnya,
ureases tinja yang dihasilkan oleh berbagai bakteri fecal mengkatalisis pemecahan
urea menjadi amonia, yang pada gilirannya memberikan kontribusi untuk peningkatan
pH kulit. Enzim ini berkontribusi pada peningkatan permeabilitas kulit terhadap
garam empedu dan iritan potensial lainnya. Dampak positif yang seharusnya dari
menyusui dalam pencegahan dermatitis popok mungkin terkait dengan kotoran yang
kurang menjengkelkan karena diketahui bahwa kotoran bayi yang diberi ASI
eksklusif memiliki pH yang secara signifikan lebih rendah, aktivitas protease dan
lipase yang lebih rendah, juga sebagai konten urease yang lebih rendah bila
dibandingkan dengan bayi yang diberi susu formula. (3,4)
Mikroorganisme juga memiliki peranan dalam menyebabkan iritasi pada kulit
terutama dalam kasus dermatitis popok. Dimana menurut hasil penelitian, 80% pada
bayi dengan iritasi kulit pada area perineal ditemukan Candida albicans. Infeksi ini
timbul biasanya 48-72 jam setelah iritasi. Mikroorganisme lainnya yang dapat
menyebabkan dermatitis popok adalah bakteri, seperti Staphilococcus aureus atau
Streptococcus grup a yang dapat menyebabkan erupsi pada area popok. Kolonisasi
Staphilococcus aureus sering kali ditemukan pada anak dengan dermatitis atopi.
Infeksi bakteri lain yang dapat menyebabkan inflamasi pada vagina dan jaringan di
sekitarnya meliputi, Shigella, Eschericia colli dan Yersinia enterocolitika. Agen
infeksius lainnya yang dapat menyebabkan iritasi, inflamasi, ataupun erupsi pada area
popok meliputi virus (coxsackie, herpes simplex, HIV), parasit (pinworms, scabies)
dan jamur lainnya (tinea).3
Bahan kimiawi seperti sabun, deterjen dan bahan antiseptik, juga dapat
memicu terjadinya dermatitis kontak iritan. Dengan menggunakan popok yang sekali
pakai, kejadian penyakit ini dapat dicegah. Penggunaan antibiotik spektrum luas pada
7
bayi dengan kondisi seperti otitis media dan infeksi traktus respiratori, telah
menunjukkan adanya peningkatan kasus dermatitis popok. Hal ini terjadi akibat
penggunaan antibiotik jangka panjang, dapat menekan sistem imun sehingga beberapa
mikroorganisme dapat tumbuh dan menyebabkan iritasi pada daerah popok. 3
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel akibat bahan iritan. Bahan iritan
merusak lapisan tanduk. Selain itu bahan iritan juga banyak merusak lemak
keratinosit tetapi sebagian besar dapat menembus membransel dan merusak lisosom,
mitokondria. Kerusakan membran tersebut mengaktifkan fosfolipase dan melepas
asam arakidonat, diasilgliserida, platelet activating dan insotida. Asam arakidonat
diubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT). PG dan LT menginduksi
vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas vaskular sehingga mempermudah
tranduksi komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak sebagai kemoaktrankuat
untuk limfosit dan neutrofil serta mengaktivasi sel mas melepaskan histamin,
sehingga memperkuat perubahan vaskular. 3
Rentatan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik ditempat
terjadinya kontak dikulit berupa eritema, edema, panas, nyeri, bila iritan kuat. Bahan
iritan lemah akan menimbulkan kelainan kulit setelah berulang kali kontak dimulai
dengan kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan
desikasi dan kehilangan fungsi senyawa. 3

2.5 Gejela Klinis


Dermatitis popok atau diaper rash memiliki bentuk klinis yang beragam
tergantung dari faktor etiologi yang menyebabkan terjadinya dermatitis popok
tersebut.
 Dermatitis Popok Kontak Iritan

Gambar 2 : Dermatitis popok Kontak Iritan 3

8
Dermatitis popok kontak iritan adalah penyebab paling mungkin dari
dermatitis popok dan umumnya ditemukan di lipatan gluteal, bokong, dan daerah
perianal dan pubis.Daerah yang sering terkena lainnya termasuk daerah perut bagian
bawah dan paha atas. Tingkat keparahan dermatitis kontak iritan dapat berkisar dari
eritema asimptomatik ringan dengan maserasi minimal dan iritasi friksi hingga
peradangan parah di mana kulit di daerah perifer ditandai oleh eritema luas dengan
tampilan mengkilap, erosi menyakitkan, papula, dan nodul, dan kadang dijumpai
skuama3

 Dermatitis Popok Candida

Gambar 3 : Dermatitis Popok Candida 6

Bentuk Dermatitis Popok kedua tersering. Lesi berupa plak eritema,


berskuama, papul, berbatas tegas disertai lesi satelit. Kadang-kadang dermatitis
popok kandida ini bersamaan dengan oral trush. 6

 Miliaria Rubra

Gambar 4 : Miliaria Rubra (Sumber google)

9
Biasanya dijumpai pada bokong yang tertutup popok plastik yang
menyebabkan muara kelenjar ekrin yang tertutup. MR juga bisa dijumpai pada
daerah lipatan, leher dan dada bagian atas. 3

 Dermatosis yang penyebabnya tidak berkaitan dengan penggunaan popok


Adalah dermatitis yang penyebabnya, primer bukan karena pemakaian
popok. Kelainan ini bisa berupa dermatitis seboroika, dermatitis atopik, psoriasis,
impetigo, akrodermatitis enteropatika, skabies, hand-foot & mouth disease, herpes
simpleks dan histiosis sel Langerhans. 3

2.6 Diagnosis
Dermatitis popok didiagnosis dengan munculnya erupsi eritematosa yang
melibatkan permukaan cembung popok dan area genital dan dengan
mengecualikan penyebab potensial lainnya. Hal ini difokuskan pada menentukan
apakah erupsi adalah dermatitis kontak iritan khas atau eksaserbasi penyakit kulit
yang lebih difus (misalnya, dermatitis seboroik, dermatitis atopik), atau
manifestasi dari kondisi kulit yang tidak berhubungan yang secara bersamaan
bermanifestasi di area popok. Selain pemeriksaan fisik, tinjauan menyeluruh
tentang riwayat medis sangat penting untuk diagnosis dan pengobatan yang
efisien, termasuk durasi ruam yang muncul, frekuensi buang air kecil dan buang
air besar, gejala lain seperti nyeri dan gatal, praktik kebersihan, pembersihan rutin
dan terapi sebelumnya yang telah digunakan untuk mengobati dermatitis popok
(misalnya, penggunaan sabun, pembersih, tisu, asam borat, dll.), Jenis popok yang
digunakan dan frekuensi perubahan, paparan iritasi potensial dan penyakit
menular (misalnya, kudis, virus herpes simpleks), trauma pada kulit, alergi kulit
atau penyakit menular masa lalu, riwayat keluarga penyakit tertentu (misalnya,
psoriasis, atopi), serta penggunaan antibiotik baru-baru ini, yang semuanya dapat
mempengaruhi bayi. untuk penyebab lain dari dermatitis popok. Tes laboratorium
biasanya tidak diperlukan dalam evaluasi dermatitis popok iritan, namun ini dapat
berguna dalam mengkontaminasi etiologi kasus atipikal. Ini termasuk: persiapan
potasium hidroksida (KOH) dan kultur jamur dari kerokan kulit untuk Candida
sp.,kultur virus, reaksi rantai polimerase (PCR), antibodi fluoresen langsung

10
(DFA) , atau persiapan Tzanck untuk diagnosis virus herpes simpleks, dan kultur
lesi kulit untuk S. aureus atau kelompok A Streptococcus.

2.7 Diagnosis Banding7

2.8 Penatalaksanaan

2.9 Tatalaksana

11
II. 8 Tatalaksana
Penatalaksanaan dermatitis popok berfokus pada dua tujuan utama yaitu
percepatan penyembuhan kulit yang rusak dan pencegahan ruam berulang.Namun,
kunci untuk manajemen dermatitis popok iritan yang efisien terletak pada
pencegahannya. Penatalaksanaan dermatitis popok mencakup banyak pendekatan.
Namun, untuk dapat menegakan diagnosis yang benar dan perawatan yang tepat,
dokter harus memiliki pengetahuan tentang etiologi dermatitis popok, fisiologi kulit,
dan mikrobioma kulit. Menghilangkan penyebab dermatitis popok dan menggunakan
krim tertentu mungkin cukup untuk menyembuhkan kasus-kasus ringan; Namun,
untuk pendekatan terapi terbaik, investigasi jamur dan bakteri harus dilakukan ketika
dicurigai. Selain itu, presentasi yang berbeda dari dermatitis popok mungkin
memerlukan strategi pengobatan yang berbeda. Jika bayi tidak menanggapi terapi
tertentu, itu mungkin karena kepatuhan yang buruk, kegagalan untuk memperbaiki
faktor-faktor yang memberatkan, atau diagnosis mungkin tidak benar. Penyebab
dermatitis yang tidak berhubungan dengan popok atau mendasari kondisi yang
menyebabkan dermatitis popok harus dipertimbangkan. Dalam kebanyakan kasus,
penatalaksanaan dermatitis popok melibatkan langkah-langkah perawatan kulit umum
(misalnya, penggantian popok yang sering, paparan udara, pembersihan lembut),
pilihan popok, dan penggunaan preparat steroid topikal. Penggantian popok yang
sering (setiap 1-3 jam) sangat penting dalam pengelolaan dermatitis popok karena
membantu mengurangi jumlah waktu kulit dalam kontak dengan kelembaban dan
iritasi.Perawatan juga harus diberikan untuk menghindari gesekan atau gesekan
selama penggantian popok dan untuk membersihkan area popok, membilas, dan
mengeringkan dengan lembut untuk meminimalkan trauma lebih lanjut pada kulit.
Idealnya, bayi dengan dermatitis popok iritan harus dibiarkan selama periode istirahat
tanpa popok, dengan mengekspos kulit yang rusak ke udara, mengurangi waktu
kontak antara kulit dengan urin, feses, kelembaban, dan iritan lainnya.
Pilihan popok terbaik untuk digunakan pada bayi adalah masalah
kontroversial. Namun, penggunaan popok sekali pakai, superabsorben, dan bernapas
bukannya popok kain dikaitkan dengan penurunan frekuensi dermatitis popok. Daerah
popok harus dibersihkan secara lembut dengan air hangat dan sedikit pembersihan
ringan pro duct dengan sedikit asam pH netral. Sebagai alternatif, tisu bayi bebas
pewangi dan bebas alkohol dapat digunakan tetapi harus dihentikan jika kulit menjadi
iritasi. Pengawet seperti tisu bayi methylisothiazolinonein dapat menyebabkan
12
dermatitis kontak alergi. Pada dermatitis popok ringan hingga sedang, penggunaan
sediaan barier topikal sebagai terapi lini pertama biasanya cukup. Krim yang
mengandung seng oksida dan / atau petrolatum membentuk lapisan lemak pada
permukaan kulit dan meminimalkan kontak urine dan feses dengan kulit Akibatnya,
ini memperbaiki stratum korneum dan melindungi kulit terhadap dermatitis popok.
Krim bermanfaat lainnya termasuk salep vitamin A dan D, perawatan dekspanol, dan
larutan Burow, campuran aluminium asetat dalam air. Krim yang digunakan untuk
perawatan dermatitis popok moderat juga mengandung bahan-bahan seperti minyak
mineral, Aloe Vera, dan lilin untuk memberikan perlindungan yang memadai bagi
kulit.
Bentuk dermatitis popok yang lebih parah dengan tanda-tanda klinis infeksi
sekunder memerlukan perhatian medis dengan diagnosis yang cermat dan perawatan
terapi.Karena infeksi kandida cukup umum dalam kasus dermatitis popok yang lebih
parah, agen antijamur seperti nistatin, klotriazol, mikonazol, ketokonazol, dan
sertaconazol dapat diterapkan pada area popok dengan setiap penggantian popok. Jika
infeksi bakteri sekunder, mungkin diperlukan antibiotik topikal atau oral. Jika infeksi
bakteri lokal-terwujud dan ringan, mupirocin topikal diterapkan dua kali sehari
selama5-7 hari mungkin cukup untuk mengobati infeksi stafilokokus. potensi
kortikosteroid topikal dapat mengurangi peradangan pada antibiotik oral diindikasikan
untuk infeksi yang lebih parah, termasuk- dermatitis popok yang bertahan meskipun
ada langkah-langkah perawatan kulit dan dermatitis streptokokus perianal.

Sehingga dari penjelasan diatas tatalaksana pengobatan diaper rash dapat


diringkas dan mencakup: 1,6
 A: Air. Popok harus dibiarkan terbuka sesering mungkin ketika bayi tidur,
untuk pengeringan kulit.

 B: Barrier Oinments. Pasta Zinc oxide, petrolatum, dan campuran lainnya,


sebagai pelindung merupakan terapi utama. Pasta atau salep dioleskan setiap
sehabis popok diganti. Diaper rash sedang dan berat tidak akan mengalami
perbaikan bila hanya menggunakan krim pelindung. Pada keadaan tersebut,
dianjurkan penggunaan kortikosteroid topical potensi rendah dan krim
pelindung. Krim hidrokortison 1% digunakan dua kali sehari selama 3-5 hari.

13
Bila dicurigai terjadi superinfeksi dengan kandida dapat digunakan
klotrimazol 1% atau mikonazol 2%. Hidrokortison dan anti jamur dioleskan
bersamaan dua kali sehari pada saat mengganti popok, kemudian dioleskan
barier ointment di atasnya. Dapat pula digunakan hidrokortison kuat sebab
popok bersifat oklusif dan meningkatkan absorpsi kortikosteroid yang dapat
menimbulkan atrofi kulit dan penekanaan kelenjar adrenal. Untuk terapi
lanjutan dan pencegahan digunakan nistatin, amphoterin B atau imidazol
dalam bentuk powder.

 C: Cleansing and anti-candidal treatment. Direkomendasikan untuk


membersihkan kulit dengan air bersih, dan hindari gesekan atau digosok. Anti-
kandida topikal diberikan jika ada tanda-tanda infeksi kandida. Pada diaper
rash dengan infeksi Candida albicans sedang hingga berat diberikan
mupirocin 2%. Mupirocin 2% mengeradikasi Candida albicans dalam waktu
2-6 hari. Pada diaper rash yang disertai infeksi jamur saluran cerna,
dianjurkan menambah nistatin oral 150.000 unit tiga kali sehari. Neomisin
sering menimbulkan sensitasi sehingga tidak digunakan pada pengobatan
diaper rash. Infeksi yang meliputi sebagian tubuh kadang membutuhkan
antibiotic sistemik. Pada infeksi Staphylococcus sebaiknya menggunakan
sepalosporin generasi pertama, dicloxacin atau amoxilin-clavunat dan
sebaiknya menghindari pemakaian eritromisin

 D: Diaper. Popok harus diganti sesering mungkin dan secepatnya setelah


buang air

 E: Education: Edukasi orang tua dan pengasuh. Tujuan utama


penatalaksanaan DPIP adalah mengurangi kelembapan, karena itu yang paling
penting adalah keberhasilan yang baik dan menjaga daerah popok agar tetap
bersih dan kering dengan mengganti popok secara teratur dan menggunakan
popok sekali pakai seperti popok golongan sintesis yang mengurangi kontak
kulit dengan urin.

14
BAB III
KESIMPULAN

Diaper rash disebut juga ruam popok, diaper dermatitis atau napkin dermatitis
merupakan salah satu kelompok dermatosis spesifik (Regional eczema). yang
bermanifestasikan Erupsi eritematosa pada area yang tertutupi oleh popok. Diaper dermatitis
merupakan salah satu dari sekian banyak masalah kulit yang terjadi pada bayi dan anak-anak
dengan prevalensi tertinggi terjadi pada usia 6 sampai 12 bulan. Meski demikian, diaper
dermatitis juga dapat terlihat pada orang dewasa yang dalam keadaan tertentu juga
menggunakan popok. Diaper rash sebenarnya merupakan istilah umum untuk menunjukan
semua keadaan berupa reaksi inflamasi pada area yang ditutupi oleh popok. Namun untuk
mengetahui secara spesifik, apa penyebab dari dermatitis perlu dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang baik. Dari semua keadaan yang
menyebabkan terjadinya diaper rash, Iritant diaper dermatitis dan Candida diaper dermatitis
merupakan jenis diaper dermatitis yang paling umum terjadi

Banyak faktor yang berperan sebagai penyebab dari diaper rash. Meski demikian,
Faktor yang berperan paling utama dalam terjadinya diaper rash adalah peningkatan
kelembaban di area popok serta lamanya pajanan popok yang lembab dengan area kulit,
adanya kontak dengan urin, feses, enzim proteolitik dan lipolitik dari sistem pencernaan,
adanya peningkatan pH Kulit, serta adanya mikroorganisme seperti bakteri ataupun jamur.

Penatalaksanaan dermatitis popok mencakup banyak pendekatan. Dalam kebanyakan


kasus, penatalaksanaan dermatitis popok melibatkan langkah-langkah perawatan kulit umum
(misalnya, penggantian popok yang sering, paparan udara, pembersihan lembut), pilihan
popok, dan penggunaan preparat steroid topikal, dan bila pada keadaan yang cukup berat
seperti adanya infeksi bakteri dan jamur, antibiotic dan antijamur perlu diberikan sebagai
terapi.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Chang, Mary Wu. Neonatal, Pediatric and Adolescent Dermatology in : Fitzpatrick's


Dermatology in General Medicine. ke-8 ed. United States: The McGraw-Hill
Companies; 2012. p. 1197-1198
2. James W, Berger T, Elston D. Atopic Dermatitis, Eczema, and Noninfectious
Immunodeficiency Disorders. In: Andrews' disease of the skin : CLINICAL
DERMATOLOGY. USA: Waunders Company; 2006. p. 80, Tenth Edition (2006)
3. Micetic Dusanka,et.all. Internasional Journal of Dermatology. Diagnosis and
management of diaper dermatitis in infants with emphasis on skin microbiota in the
diaper area. 2017. Diunduh dari :
file:///C:/Users/hp/Downloads/Pogacar_IJD_2017.pdf (5/16/2019)
4. Serdaroğlu,S., Üstünbaş, TK., Diaper Dermatitis (Napkin Dermatitis, Nappy
Rash).Journal of the Turkey Academi Dermatology. 2010. Diunduh dari :
file:///C:/Users/hp/Downloads/jtad04401r.PDF (5/16/2019)
5. Stewart, Robet, et all. Etiologic Factors in Diaper Dermatitis: The Role of Urine.
Journal Pediatric Dermatology Vol. 3 No. 2 102-106. Diunduh dari :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/3952026 (5/16/2019)

6. Habif, T.P. Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy, 3rd
edition. Chapter 17. St. Louis: Mosby-Year Book,Inc. 1996.

7. Srisupalak Singalavanija, Artikel Diaper Dermatitis. journal of the American


Academy of Pediatrics, publish 17 may 2019. Diunduh dari :
https://pedsinreview.aappublications.org/content/pedsinreview/16/4/142.full.pdf
(5/16/2019)

16

Anda mungkin juga menyukai