Anda di halaman 1dari 4

Ichwanul Karim (PAI)

Toatubun, Maimunah. 2014. Memahami Kalimat Perintah dan


Larangan dalam Teks Hukum Islam. STAIN Ambon. Hal. 4
Larangan (Al-Nahyu)
Pengertian Al-Nahyu menurut bahasa berarti batas atau tujuan. Arti lain dari
kata ini yakni al-Ghadir (anak sungai atau rawa), karena air yang mengalir
akan berhenti kalau telah sampai pada tempat tersebut. Dan dari akar kata
yang sama, akal juga disebut an-Nuhyat, karena ia dapat mencegah orang
yang berakal untuk berbuat salah.
Disamping makna lughawi seperti tersebut di atas, kata Al-Nahyu juga
diartikan sebagai sesuatu yang dilarang untuk dikerjakan dan senantiasa
meninggalkannya. Dan biasa pula yang digunakan yaitu seperti dalam
bentuk kalimat ( ) atau dengan kata lain Al-Nahyu adalah kebalikan
dari al-amr.
Adapun Al-Nahyu menurut ulma Ushuliyiin didefenisikan dengan
( tuntutan meninggalkan perbuatan dari phak yang lebih
tinggi kepada pihak yang rendah).
Berangkat dari beberapa pernyataan diatas, maka dapat dipahami bahwa
yang dimaksud dengan Al-Nahyuadalah, kalimat pernyataan yang
menunjukkan adanya suatu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan
dari pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah. Seperti
larangan Allah kepada hambaNya, larangan pimpinan kepada bawahannya.

Bahsoan , Agil. 2015. Sighat Amar Dalam Memahami Produk Hukum


Pada Ekonomi Syariah. UNG Sulawesi. Hal 2
Hakikat Amar
Amar berasal dari bahasa Arab yang berarti perintah. Menurut Muhammad
Hasyim Kamali, amar dapat didefinisikan sebagai perintah lisan untuk
melaksanakan sesuatu yang keluar dari orang yang kedudukannya lebih
tinggi kepada orang yang lebih rendah (Muhamad Hasyim Kamali, 1996).
Supaya
amar
dapat
berlaku
sebagai
perintah,
para
ulama
memperbincangkannya, apakah kedudukan yang menyuruh dan disuruh
dijadikan pertimbangan atau tidak ? apakah sikap dan bentuk ucapan

Ichwanul Karim (PAI)


suruhan menentukan atau tidak ?. Perbincangan mengenai hal tersebut
menyebabkan adanya perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul dalam
merumuskan definisi.
Abu Muhammad Al Makdisy & Qadhi Abu Husain, mereka mensyarahkan
ketika menyuruh dalam ucapan yang meninggi. Pendapat ini diikuti oleh Al
Amidi. Definisi amar yang sesuai dengan pensyarahan tersebut adalah Al
amru huwa thalaba al fili ala wajhil istila, istidaul fili ala wajhil istila .
Dalam definisi tersebut digunakan kata thalaba alfili untuk menghindarkan
pengertian bentuk nahyi dan lainnya dari macam-macam ucapan.
Sedangkan penggunaan kata ala wajhil istila untuk menjelaskan bahwa doa
dan iltimas tidak termasuk dalam amar meskipun menggunakan kata amar.
(Abu Muhammad Abdullah Al Makdisy, t.th)

Wahidi, Ridhoul. 2014. Pola-Pola Pengunaan Kata Isim dan Fiil


Dalam Al-Quran. Riau. Hal 13
Kata Isim dan Fiil
Penelitian tentang pola-pola penggunaan kata isim dan Fiil dalam al-Quran
dapat dikategorikan sebagai kajian nahwu terapan dalam perspektif alQuran. Karena sifatnya terapan, maka kaidah-kaidah nahwu (tata bahasa
Arab) tidak diulas secara tegas. Kaidah-kaidah ini hanya diposisikan sebagai
keterangan penjelasan.
Dari telaah yang dilakukan, penulis menemukan bahwa hakikat isim dalam
perspektif al-Quran bukan dimaksudkan semata untuk kata benda. Kata isim
juga mencakup kata sifat, keadaan, kata ganti, kata tunjuk, nama, dan
mashdar (kata dasar) atau pembendaan. Penggunaan kata isim dalam alQuran dapat diklasifikasikan menjadi tujuh bagian atau kelas, yaitu (1)
mudzakkar dan muannats, (2) mufrad, mutsann, dan jamak, (3) nakirah
dan marifat, (4) munsharif dan ghair munsharif, (5) maqshur dan manqush,
(6) jmid dan musytaq, (7) murab dan mabn.
Selanjutnya, hakikat fiil adalah perbuatan yang terikat dengan waktu
tertentu. Pola-pola penggunaan fiil disesuaikan dengan keterikatan waktu
(kala) yang menyertai fiil tersebut, yaitu pola penggunaan fiil madhi (kata
kerja kala lampau), fiil mudhri (kata kerja kala sedang/akan), dan fiil amr
(kata perintah melakukan perbuatan [kala akan]). Kata isim (benda) dan fiil
(kerja) dalam al-Quran merujuk makna yang spesifik sesuai jenis dan bentuk
kata tersebut. Akan tetapi, ada juga kata isim yang diartikan atau
diterjemahkan dengan mendekati makna kata kerja. Selain itu, apabila kata
isim disebutkan secara terpisah, maka menunjukkan pengertian umum,
sedangkan apabila kata isim disebutkan bersamaan

Ichwanul Karim (PAI)


dengan kata lain sebagai penjelasnya, maka pengertian isim menjadi
terbatas pada yang
dijelaskan saja.
Ramdiani, Yeni. 2014. Maa Alharfiah fii allughah alarabiyah. STAI
Nurul Hakim Kediri. Hal 3

Hardiansyah, Indra. 2011. Penggunaan Kalimat Perintah Dalam


Kitab Bukhari Muslim. UNEJ Jember. Hal 17
Kalimat
Akhadiyah (1988:11) mengatakan bahwa kalimat adalah satuan bahasa terkecil dalam wujud
lisan atau tulisan yang mengungkapkan suatu pikiran yang utuh. Alwi (2000:352) membagi
kalimat berdasarkan bentuknya menjadi empat jenis yaitu : 1) kalimat deklaratif atau kalimat
berita, 2) kalimat interogatif atau kalimat tanya, 3) kalimat eksklamatif atau kalimat seru, 4)
kalimat imperatif atau kalimat perintah.
Kalimat perintah sebagai salah satu jenis kalimat memiliki keunikan karena mengandung makna
yang bermacam-macam dan dibutuhkan ketelitian untuk memahaminya. Kalimat perintah juga
memiliki banyak variasi sehingga menarik untuk diteliti. Alwi (2000:354-362) membedakan
kalimat perintah berdasarkan jenisnya menjadi enam yaitu : 1) perintah atau suruhan biasa, 2)
perintah halus, 3) perintah permintaan, 4) perintah ajakan dan harapan, 5) perintah larangan, dan
6) perintah pembiaran. Semua jenis kalimat perintah tersebut tidak hanya dapat disampaikan
dalam bahasa lisan tetapi juga dalam bahasa tulis.
Kalimat perintah dalam bahasa tulis banyak ditemukan dalam hadits. Hadits adalah segala
perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang
dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam

Ichwanul Karim (PAI)


agama Islam selain Al Quran, Ijma dan Qiyas. Bahkan hadits memiliki kedudukan sebagai
sumber hukum kedua setelah Al Quran.

Anda mungkin juga menyukai