Anda di halaman 1dari 10

Kebesaran Orang Buton Ada di Tanah Buton

La Ode Balawa
Kalau kita menumpang kapal laut ke Buton dan mulai merapat ke pelabuhan Murhum kota BauBau (pusat Kesultanan Buton dahulu), maka yang pertama menarik perhatian kita adalah benteng
keraton Kesultanan Buton yang berdiri kokoh dan megah di atas bukit kota Baubau. Kemarin
ruang berita utama surat kabar harian Baubau Pos mengumandangkan hasil penyelidikan para
arkeolog bahwa besar kemungkinan benteng keraton Kesultanan Buton itu merupakan benteng
keraton terluas, terkuat, dan terasli di nusantara.
Jika sudah tiba di kota Baubau dan kita menyempatkan diri naik ke lingkungan benteng keraton
Buton, maka yang pertama kita jumpai disisi kanan pintu gerbang benteng itu adalah Mesjid
Agung Keraton Buton dengan tiang bendera Kesultanan Buton menjulang disisinya. Semua
pewaris sejarah lisan di Buton mengakui bahwa tiang bendera kayu itu sudah berusia sekitar
empat abad lamanya. Kemudian jangan lupa menginjakkan kaki ke malige (mahligai Kesultanan
Buton) yang berdiri anggun di pertengahan kota Baubau. Rumah adat itu asli buah tangan
arsitektur tradisional Buton, sebuah rumah panggung yang berjenjang bertingkat tanpa
menggunakan pasak sebagai perangkainya.
Setelah menyaksikan dan mengetahui semua itu, dengan sedikit wawasan tentang sejarah dan
kebudayaan kita sudah bisa berkesimpulan bahwa Buton pada masa lampau adalah Negara
Kesultanan yang telah mencapai puncak peradaban yang tinggi di Nusantara ini. Siapa pun orang
Buton yang mendengarkan kesimpulan kita itu seharusnyalah merasa bangga dan berterima kasih
pada leluhurnya yang telah mewariskan peradaban yang setinggi itu kepada anak cucunya di
tanah Buton ini.
Mari pula kita telusuri ilmu dan ajaran yang dititipkan para leluhur Buton. Bacalah berbagai
naskah Kabhanti Oni Wolio yang ditulis oleh Sultan La Ode Muhammad Idrus Kaimuddin
yang bergelar Sultan Murhum (Sultan Buton yang pertama) atau yang ditulis oleh tokoh sufi La
Ode Haji Abdul Ganiu. Lalu bandingkan pula dengan ajaran-ajaran Islam suluk yang dibisikkan
dari mulut ke mulut atau yang disalin dari tangan ke tangan, seperti apa yang mereka sebut
dengan Insan Kamil, Zurriati Adam, atau Asrarul Aifin, misalnya. Mari kita perhatikan
pula tradisi penyampaian ajaran lisan orang-orang tua Buton yang selalu dalam bentuk
ungkapan, kiasan dan bahkan simbolik, kemudian bandingkanlah dengan tradisi pepali yang
sudah terbukti begitu efektif bagi pembinaan akidah akhlak anak-anak Buton dahulu.
Sebelum selesai, mungkin juga takkan pernah selesai, kita menelaah dan mengkaji semua itu
kembali kita akan terkagum-kagum bahwa leluhur Buton dahulu adalah orang-orang mulia,
tokoh-tokoh sufi sekaligus pemimpin yang telah mencapai puncak kearifan yang tinggi di
nusantara ini. Siapa pun kita yang mengaku orang Buton sepantasnyalah merasa bangga dan
berusaha menghargai dan memelihara nilai-nilai kearifan itu sebagai pusaka titipan leluhur
Buton yang tak ternilai harganya.
Dengan menggambarkan Buton seperti di atas, saya bermaksud ingin menegaskan sikap dan
pandangan saya sebagai orang Buton, bahwa kebesaran Buton yang sesungguhnya adalah
pencapaian puncak peradaban dan puncak kearifan di tanah Buton ini. Sebagai orang
beragama dan berbudaya, jika generasi Buton sadar dan mau berjuang keras memelihara dan
memberdayakan kedua pusaka dari leluhurnya itu, maka kebesaran dan kehormatan orang Buton
tak akan pernah jatuh baik di dunia maupun di akhirat kelak. Sayang sekali, maha karya leluhur
yang bisa menjadi rahmat bagi seluruh alam itu justru masih disia-siakan oleh anak cucunya
sendiri. Kebesaran Buton ada di tanah Buton, tapi generasi Buton justru mengabaikannya.

Di sini saya tak akan berpanjang urai lagi tentang mengapa generasi Buton hari ini seperti itu.
Salah satu pokok penyebabnya telah saya paparkan pada artikel saya berjudul Egomania Orang
Buton, Antara Mitos dan Realitas dalam sk harian Baubau Pos, 21 November 2010. Di sini saya
hanya ingin mengomentari keadaan generasi muda Buton yang cenderung telah melalaikan
ketinggian peradaban dan kekayaan nilai-nilai kearifan dari leluhurnya itu.
Di satu sisi, saya sangat menghargai tingginya kepedulian generasi muda Buton terhadap sejarah
negerinya, seperti terlihat pada menjamurnya tulisan, diskusi, dan bahkan debat tentang sejarah
Buton melalui jaringan internet pada saat ini. Namun, di sisi lain saya skeptis bahwa cara dan
sikap yang mereka tunjukkan cenderung semakin jauh dari cara dan sikap seorang sejarahwan
sejati. Tulisan dan gagasan mereka yang dikatakannya sebagai sejarah itu ternyata hanyalah
tumpukkan sejumlah sketsa dan/atau fragmen tentang Buton. Hal-hal yang memprihatinkan saya
dari sikap-sikap ilmiah mereka antara lain sebagai berikut ini.
Ada di antara mereka yang secara terbuka menggugat sejarah Buton dengan alasan sejarah Buton
selama ini sangat berbau mitos, kurang didukung fakta, dan subjektif. Tapi sesudah saya baca
seluruh episode tulisannya, tak pernah dijelaskan tentang sejarah Buton yang mana atau
karangan siapa sebenarnya yang sedang digugat. Anehnya, ternyata dasar yang mereka gunakan
dalam gugatan itu adalah keberadaan Buton dalam tulisan sejarah versi Majapahit atau versi
Belanda. Lupakah mereka bahwa sumber yang mereka agungkan itu dibuat atas pesanan raja
Kerajaan Majapahit yang terkenal haus kekuasaan atau atas restu pemerintah Belanda yang haus
penjajahan. Apa jaminannya bahwa sumber-sumber itu tidak subjektif. Tidak terpikirkah oleh
mereka bahwa dari manakah orang Majapahit dan orang Belanda memungut data itu kalau bukan
dari Buton.
Lebih ironis lagi, dengan bersandar pada sumber-sumber tersebut mereka menuding tulisan
Sejarah Buton karya La Ode Mulku Zahari sebagai mistos, berisi ilusi, dan subjektif. Entah
hantu apa yang merasuki mereka sampai menyepelekan kredibilitas La Ode Mulku Zahari
sebagai tokoh pelaku sejarah Buton yang berdarah asli Buton, dokumentator naskah-naskah asli
Buton, yang berpuluh tahun mengumpulkan data dan informasi dari nara sumber yang paling
andal di Buton dalam rangka penulisan sejarah Buton tersebut. Apakah mereka lupa atau tidak
tahu, bahwa modal pertama dan paling utama bagi penulis sejarah itu adalah niat baik dan
hanya untuk kebaikan. Dalam penulisan sejarah apapun, demi kejujuran memang penting,
tetapi yang lebih penting lagi dari itu adalah demi kebaikan. Orang-orang yang tidak beragama
pun telah membenarkannya sejak tahun 70-an, bahwa ilmu pengetahuan yang mengabaikan nilainilai moral-spiritual hanya akan menimbulkan kehancuran dan konflik yang berkepanjangan.
Dengan keprihatinan seperti di atas ini, saya merasa terdesak untuk memberikan pernyataan
sikap bahwa: meskipun Anda berdarah tulen keturunan raja atau sultan Buton, lahir dari rahim
tanah Buton, tumbuh dan besar di pusat benteng keraton Buton, tanpa kearifan Anda pasti
tersesat dalam mencari dan menemukan Buton yang sesungguhnya. Buton bukan sejarah yang
terkalahkan, Buton bukan mitos yang disejarahkan atau sejarah yang dimitoskan. Buton bukan
pula sketsa atau fragmen yang dipungut dan dicomot begitu saja dari tulisan-tulisan pesanan
penguasa Majapahit yang serakah kekuasaan atau tulisan-tulisan yang direstui penguasa Belanda
yang haus penjajahan, dan bukan pula pernyataan tokoh-tokoh pejuang daerah lain yang penuh
ambisi dan rakus kedudukan pada masa-masa awal kemerdekaan bangsa Indonesia yang harus
kita cintai ini. Buton adalah sebuah Negara Kesultanan yang telah berhasil mencapai puncak
peradaban Islam yang tinggi di Nusantara.

Kewajiban utama generasi Buton hari ini adalah menempatkan Buton pada proporsinya seperti
itu. Generasi Buton hari ini tak perlu terlalu memaksa Buton untuk mewariskan pahlawan
nasional, tak perlu terlalu mempertikaikan kebanggaan asal usul keturunan atau daerah asal,
karena kesemuanya bisa menimbulkan sifat ria dan sombong yang sangat tercela dalam agama
Islam, sehingga pasti pula tidak dikehendaki oleh leluhur Buton yang sangat mengutamakan
keridhaan Tuhan dalam seluruh medan perjuangannya. Leluhur Buton telah memberikan sesuatu
yang lebih dari semua itu, telah mewariskan gedung peradaban Islam yang megah dan kokoh
serta menitipkan lembaga kearifan sebagai kunci emas untuk membuka dan merawat gedung
peradaban yang membanggakan itu. Dengan kedua pusaka agung itu, tentu sangat kita mengerti
bahwa leluhur di Buton tidak hanya mengharapkan anak cucunya untuk berjaya di dunia yang
penuh tipu daya dan kepalsuan ini, tetapi juga bisa selamat dan terhormat tempatnya di akhirat
kelak.
Marilah kita reguk berbagai minuman kearifan yang dititipkan leluhur kita di tanah Buton ini.
Karena, hanya dengan kearifan itulah kita bisa layak menempati istana peradaban Islam yang
diwariskan oleh leluhur kita di Buton ini. Marilah kita libatkan segala kemampuan dan keahlian
generasi Buton untuk mengumpul, menggali, mengolah, dan mengamalkan segala nilai-nilai
kearifan Buton yang terpendam selama ini. Mari pula kita libatkan seluruh tenaga dan keahlian
generasi Buton untuk menegakkan kembali gedung peradaban Islam Buton yang sempat tertutup
debu sejarah di tanah Buton ini. Mari kita mulai dari satu butir kearifan Buton ini: orang arif
tidak hanya tahu apa yang harus diperbuat, tetapi juga harus tahu apa akibat dari perbuatannya
itu. Kota Bau-Bau di Sulawesi Tenggara merupakan kawasan seribu pulau, seribu benteng dan
istilah seribu lainnya. Pulau Buton (Kota Bau-Bau) secara geografis merupakan kawasan timur
jazirah tenggara pulau Celebes/Sulawesi. Di Bau-Bau ada objek wisata dan bangunan bersejarah
yang sangat terkenal, yakni Benteng Keraton Buton.
Benteng Keraton Buton adalah bekas peninggalan Kesultanan Wolio/Buton dan biasa disebut
Benteng Keraton Wolio. Benteng Keraton ini juga masuk Guiness of Record tahun 2006 dan
rekor MURI sebagai benteng terluas di dunia. Panjang keliling benteng tersebut 3 kilometer
dengan tinggi rata-rata 4 meter dan lebar (tebal) 2 meter.
Bangunannya terdiri atas susunan batu gunung bercampur kapur dengan bahan perekat dari agaragar, sejenis rumput laut. Luas seluruh kompleks keraton yang dikitari benteng meliputi 401.911
meter persegi. Area yang demikian luas itu mengalahkan benteng terluas di dunia sebelumnya
yang berada di Denmark.
Dengan demikian, Benteng Keraton tercatat sebagai yang terluas di dunia. Luasnya benteng ini
bukan sekadar isapan jempol, di dalam kompleks benteng melingkupi satu wilayah kelurahan,
dengan nama kelurahan Melai, dan tercatat sebagai salah satu kawasan terpadat di kota ini.
Banyak objek menarik di dalam benteng Keraton Wolio itu. Di sana ada batu Wolio, batu
popaua, masjid agung, makam Sultan Murhum (Sultan Buton pertama), Istana Badia, dan
meriam-meriam kuno. Batu Wolio adalah sebuah batu biasa berwarna gelap. Besarnya kurang
lebih sama dengan seekor lembu sedang duduk berkubang. Konon, di sekitar batu inilah rakyat
setempat menemukan seorang putri jelita bernama Wakaa-Kaa yang dikatakan berasal dari
Tiongkok.
Ada satu hal menarik yang patut diketahui mengenai keberadaan benteng Keraton Buton, yakni
sebuah benteng yang tidak hanya berdiri dan diam membisu, tetapi di dalam kawasan benteng
keraton terdapat aktivitas masyarakat yang tetap melakukan berbagai macam ritual layaknya
yang terjadi pada masa kesultanan berabad-abad lalu.
Di dalam kawasan benteng terdapat permukiman penduduk yang merupakan pewaris keturunan
dari para keluarga bangsawan Keraton Buton masa lalu. Di tempat ini juga terdapat situs
peninggalan sejarah masa lalu yang masih tetap terpelihara dengan baik. Di tengah benteng
terdapat sebuah masjid tua dan tiang bendera yang usianya seumur masjid. Yang dibangun pada

masa pemerintahan Sultan Buton III La Sangaji Sultan Kaimuddin atau dikenal dengan julukan
Sangia Makengkuna yang memegang takhta antara tahun 1591-1597.
Benteng ini memiliki panjang 2.740 meter yang mengelilingi perkampungan adat asli Buton
dengan rumah-rumah tua yang tetap terpelihara hingga saat ini. Masyarakat yang bermukim di
kawasan benteng ini juga masih menerapkan budaya asli yang dikemas dalam beragam tampilan
seni budaya yang kerap ditampilkan pada upacara upacara adat.
Tetapi, ada sedikit bau mistik di dalam masjid tua itu. Di belakang mimbar khatib atau di ujung
kepala imam tatkala dalam keadaan sujud terdapat pintu gua yang disebut pusena tanah (pusat
bumi) oleh orang-orang tua di Buton. Konon dari dalam gua itu keluar suara azan pada suatu hari
Jumat. Peristiwa itu menjadi latar belakang pendirian masjid di tempat tersebut.
Ketika masjid itu direhabilitasi pada tahun 1930-an, pintu gua tadi ditutup dengan semen
sehingga ukurannya lebih kecil menjadi sebesar bola kaki. Lubangnya diberi penutup dari papan
yang bisa dibuka oleh siapa yang ingin melihat pintu gua itu.
Di salah sebuah kamar Kamali (istana) Badia, masih di kompleks keraton, terdapat meriam
bermoncong naga. Meriam bersimbol naga tersebut dibawa leluhurnya Wakaa-kaa dari Tiongkok
sekitar 700 tahun silam.
Meriam itu masih memiliki peluru dan masih bisa diledakkan. Kamali Badia itu sendiri tidak
lebih dari rumah konstruksi kayu khas Buton sebagaimana rumah anjungan Sultra di Taman Mini
Indonesia Indah Jakarta. Sesuai tradisi, rumah atau istana Kesultanan Buton harus dibuat
keluarga sultan dengan biaya sendiri.
Khusus Benteng Keraton Buton yang aslinya disebut Keraton Wolio dibangun pada masa
pemerintahan Sultan Buton VI (1632-1645), bernama Gafurul Wadudu. Benteng ini berbentuk
huruf dhal dalam alpabet Arab yang diambil dari huruf terakhir nama Nabi Muhammad SAW.
Benteng Keraton Wolio memiliki 12 pintu gerbang dan 16 pos jaga (bastion). Tiap pintu gerbang
(lawa) dan bastion dikawal empat sampai enam meriam. Pada pojok kanan sebelah selatan
terdapat godana-oba (gudang mesiu) dan gudang peluru di sebelah kiri.
Konon pada masa pembuatan benteng keraton ini bahan baku utama yang digunakan adalah
batu-batu gunung yang disusun rapi dengan kapur dan rumput laut (agar-agar) serta putih telur
sebagai bahan perekat.
Peninggalan Dunia
Direktorat Sejarah dan Purbakala, Kementrian Pariwisata dan Kebudayaan RI, Syaiful Mujahid
SH, di Baubau, mengatakan bahwa potensi cagar budaya yang dimiliki benteng keraton Buton
sangat luar biasa, Benteng Keraton Buton memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan
benteng lainnya.
Melihat potensi tersebut kami akan memasukan Benteng Keraton Buton dalam nominasi
kawasan Cagar Budaya Nasional dan akan diusulkan masuk daftar peninggalan dunia, katanya.
Ia menambahkan, potensi cagar budaya di Kota Baubau sangat besar. Selain itu, banyak pula
peninggalan-peninggalan sejarah di dalamnya. salah Satunya Benteng Keraton Buton yang
merupakan benteng terluas dan terpanjang di dunia.
Kami berharap benteng ini dapat terpelihara, dan dapat memberikan informasi penting tentang
peninggalan budaya masa lalu yang ada di Kota Baubau ini, tambahnya.
Menurut Syaiful, sebagai langkah awal pihaknya akan menominasikan pertama masuk ke dalam
kawasan cagar budaya secara nasional, kemudian pihaknya akan mengusulkan masukan ke
dalam daftar peninggalan budaya dunia.
Lanjut Syaiful, kembalinya kebudayaan pada Kementrian Pendidikan merupakan momen yang
tepat untuk melirik sejarah Buton untuk dimasukan dalam kurikulum pendidikan sejarah
nasional,
Ini adalah momen yang tepat, kembalinya bidang kebudayaan kepada dunia pendidikan, tentu
kita akan lebih mampu membuat silabus atau membuat bahan pengajaran kurikulum yang
berkaitan dengan muatan lokal, lanjutnya.

Ia menambahkan, termasuk untuk pendidikan sejarah nasional. Namun, pihaknya akan melihat
konteks kesejarahan Buton dalam konteks sejarah nasional.
Kita dapat menempatkan sebagai bagian dari itu, yang diperukan adalah informasi dan banyak
peneliti-peneliti yang mengungkapkan itu, ya kenapa tidak, supaya bisa masuk dalam kurikulum
sejarah nasional, tegas Syaiful.
Artikelnya amat menarik utk dibaca, semoga dgn tersenarainya Benteng Keraton sebagai yg
terluas, maka akan membuka mata dunia utk mengunjungi Buton.karena di pulau ini sngtlah
bnyak tempat wisata menarik utk dikunjungi.
Untuk Masarakat Buton, marilah kita melestarikan dan menjaga aset Peninggalan ini. Go
BUTON. Benteng Keraton Buton awalnya dibangun dalam bentuk tumpukan batu yang tersusun
mengelilingi komplek istana, tujuannya untuk membuat pagar pembatas antara komplek istana
dengan perkampungan masyarakat.Mulai dibangun sejak pemerintahan La Sangaji ke-3 (15911597) dan selesai secara keseluruhan pada akhir pemerintahan Sultan ke-6, La Buke Gafarul
Wadadu (1632-1645). Artinya, benteng ini dibangun dalam kurun waktu sekitar lima puluh
tahun, melampaui tiga masa sultan yang berbeda. Lokasi Benteng Keraton berjarak sekitar 3
kilometer dari pusat Kota Baubau. Benteng yang terbuat dari batu gunung dan direkatkan
menggunakan pasir dan kapur ini terkenal sebagai benteng terluas di dunia menurut Museum
Rekor Indonesia dengan luas 22,8 Ha dan panjang 2.740 meter. Tinggi benteng 1-8 meter dengan
ketebalan dinding 50 cm hingga 2 meter. Memiliki 16 kubu pertahanan, 12 pintu, dilengkapi 100
meriam yang diletakkan di setiap pintu dan sudut benteng.
Salah satu sudut Benteng Keraton Buton
Saking besar dan megahnya, bangunan ini pun dikenal dengan nama lain, yaitu Seribu Benteng.
Sebab, bangunan ini terdiri dari beberapa benteng kecil di dalamnya. Benteng kecil ini menjadi
pendukung bangunan induk, diantaranya adalah Benteng Sorawolio dan Benteng Baadia. Setiap
benteng dihubungkan oleh jalan-jalan rahasia. Benteng Sorawolio berfungsi sebagai pertahanan,
karena tempatnya selain lebih aman juga tanahnya subur sehingga bisa membuat nyaman sebagai
tempat bertahan bagi pihak kesultanan bila suatu saat lingkungan benteng induk dikuasai musuh.
Sedangkan benteng Baadia fungsinya sebagai pengintaian, dimana berdasarkan letaknya yang
stretagi pada ketinggian, di sekelilingnya adalah lembah. Selain itu ada pula daerah yang
dijadikan sebagai fungsi penghancuran bagi musuh, yakni sebuah daerah tandus di bagian barat
benteng, dikenal dengan nama Katobengke. Di tempat inilah pelaksanaan eksekusi bagi musuh.
Meriam yang berada di salah satu Benteng Keraton Buton
Di dalam benteng terdapat situs-situs sejarah seperti batu popaua (batu pelantian raja/sultan),
malige (rumah adat), masigi (Masjid) dan Sulana Tombi (Tiang Bendera). Situs sejarah batu
popau yakni tempat pelantikan raja. Batu ini berbentuk alat vital wanita. Di atas batu inilah
setiap sultan yang terpilih dilantik dan diambil sumpahnya.
Batu Popaua tempat pelantikan Raja/Sultan Buton
Sulana Tombi terletak di sebelah kanan masigi sebagai peninggalan sejarah yang sedianya adalah
sebuah tiang bendera untuk mengibarkan bendera/panji Kesultananan Buton. Tiang bendera
dengan tinggi 21 meter tersebut dibangun tahun 1712 di antara masa pemerintahan Sultan
keempat Dayanu Iksanuddin dan Sultan kelima La Balawo bergelar Sultan Abdul Wahab atau
Mosabuna yi Watole. Sulana Tombi kini disanggah empat tonggak lantaran sudah termakan usia.
Tiang dari kayu jati ini pernah tersambar petir, namun masih terpancang dan pernah mengibarkan
banyak bendera, mulai dari bendera Keraton Buton, Belanda, Jepang dan Sang Saka Merah
Putih.
Tiang Bendera yang terletak di dekat Masjid Keraton Buton
Di dalam lingkungan keraton juga ada malige, yakni rumah adat bersusun empat yang terbuat
dari kayu. Uniknya rumah ini tidak menggunakan paku, melainkan didesain dari gigi-gigi buatan
sebagai pengait antara satu sudut dengan sudut lainnya. Dengan demikian maka rumah ini bisa
dibongkar pasang. Rumah-rumah Buton kebanyakan didesain seperti ini, sehingga di Buton kita

dapat membeli rumah di satu tempat lalu dipindahkan ke tempat lain atau daerah lain. Rumah
yang dibeli akan dibongkar kemudian dipasang kembali di tempat baru. Bisa saja rumah itu
didirikan kembali di Jawa atau di luar negeri sekaligus, yang penting bisa mengangkut atau
memindahkan bahan-bahan bangunan yang terlebih dahulu dibongkar. Istimewanya lagi bahwa
malige bukanlah milik kerajaan, karena setiap raja Buton tidak mempunyai rumah jabatan. Setiap
raja membangun rumah sendiri.
Rumah Adat Kerajaan Buton
Masigi Keraton (kini lebih dikenal dengan nama Masjid Agung Keraton Buton)dibangun dua
abad setelah masa kesultanan di Buton, tepatnya pada abad 18, pada masa pemerintahan Sultan
Sakiuddin Durul Alam. Bangunan segi empat berbentuk tumpeng hingga kini masih berfungsi
sebagai tempat ibadah, mampu menampung jamaah hingga 500 orang.Masigi Keraton dibangun
berdasarkan arsitektur sederhana namun setiap komponen bangunannya sarat dengan simbol
yang kaya akan makna. Menurut Walikota Baubau, MZ Amirul Tamim, rangka masjid
menggunakan 313 potongan kayu, sama banyaknya dengan jumlah tulang rangka manusia, serta
dilengkapi 12 pintu dan jendela sebagai simbol jumlah lubang dalam tubuh manusia, seperti
lubang hidung, telinga, mata, mulut, dan seterusnya.
Masjid Keraton Buton
Di era Indonesia modern, pengurus masjid tidak diperbolehkan berpolitik karena dapat
mengganggu indepedensi dewan masjid. Mereka juga setiap saat bisa dicabut wewenang dan
jabatannya, ketika membuat kesalahan. Mereka sama sekali tidak boleh melakukan kesalahan
prosedur, dalam melaksanakan tugasnya. Sebagai penganut kesetaraan, proses penggantian salah
satu pengurus masjid, dilakukan melalui musyawarah bersama.Keberadaan para pengurus masjid
ini begitu penting bagi masyarakat di lingkungan keraton. Ada orang yang khusus bertugas untuk
mengurus jenazah dan upacara kematian. Tugas lakina agama dan imamu jauh lebih berat,
karena setiap hari harus berzikir dan mendoakan keselamatan, serta kesejahteraan rakyat Buton.
Petugas juga wajib mendaraskan zikir setiap hari, yang digilir setiap satu minggu. Uniknya, jika
banyak bencana dan wabah yang menimpa, masyarakat mempertanyakan upaya para pengurus
masjid dalam mendoakan keselamatan mereka. Beban kepercayaan itu begitu besar. terkadang
sulit untuk dicerna. Para pengurus masjid, sebelum menjalankan tugas terlebih dahulu dilantik
dengan penyerahan tongkat sebagai surat keputusannya. Khatib mempunyai tanggung jawab
menjaga ketertiban lingkungan keraton, termasuk menjaga wabah penyakit. Bila dalam sepekan
setelah khutbah di masigi ternyata terjadi bencana maka sang khatib pun akan dicopot dari
jabatannya.
Hari Jumat adalah saat tersibuk bagi para anggota dewan masjid. Pada hari itu, bedug akan
dipukul sebanyak lima kali, sejak pukul enam pagi, hingga pukul sebelas, yakni menjelang salat
Jumat. Petugas pemukul bedug disebut tungguna ganda, tidak boleh melebihi atau mengurangi
jumlah pukulan, dan irama yang telah ditetapkan. Pakaian mereka merupakan kain tenun khas
Buton. Berbeda dengan lakina agama dan petugas lain yang memakai pakaian berwarna putih.
Beban mental yang ditanggung semua anggota pengurus masjid cukup berat.
Anggota dewan masjid pulang sholat jumat
Ada banyak kebiasaan yang menjadi hal istimewa dari masjid ini. Menjelang salat, para
pengurus masjid datang dan menyandarkan tongkat jabatannya, berderet di tempat khusus.
Tongkat tampaknya mewakili sesuatu yang penting. Tongkat khusus untuk pengkotbah, diikat
sejajar tiang mimbar. Kesungguhan tercermin dari keseriusan imam yang duduk berkonsentrasi,
sebelum memimpin salat. Jamaah mulai berdatangan. Imam melakukan salat terlebih dulu,
sebelum melangkahkan kaki di sepanjang kain putih, menuju ke depan mimbar. Ada empat orang
yang bertugas mengumandangkan adzan. Kesan sakral tampak kuat dalam ritual sebelum salat
dimulai. Ritual sebelum salat dimulai terlihat rumit, namun semua yang dilakukan merupakan
tradisi turun temurun, yang penuh dengan makna simbolis. Makna yang dicoba untuk
dipertahankan demi nilai-nilai luhur bagi orang Buton.

So, Inilah salah satu warisan budaya atau peninggalan sejarah yang masih bisa kita lihat
wujudnya secara utuh di Pulau Buton ini. Saya salut dengan pemerintah setempat yang masih
menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan dan melestarikan warisan budaya khususnya di
Benteng Keraton Buton. Situs Budaya di sekitar Keraton Buton
Batu Popaua (Batu Pelantikan)
Difungsikan pada abad ke-14, bersamaan dengan tampilnya kerajaan buton. Dipakai pertama
untuk pelantikan Raja Buton I (Wakaakaa), kemudian untuk pelantikan Raja atau Sultan. Tahun
1929 atas inisiatif Raja Muhammad Hamidi, dibuatkan atap sebagai pelindung dari hujan dan
sinar matahari. Pada tahun 2002 di pagari dengan batu setinggi 175 cm.

Baluarana waberongalu
Merupakan salah satu benteng atau pintu gerbang pertahanan yang terletak pada sudut utara
benteng keraton. posisinya bersebelahan dengan Baluarana Tanailandu. pada bagian dalam
benteng terdapat sebuah meriam besar yang digunakan sebagai alat persenjataan (penyimpanan
bom).
Baluarana waberongalu ini berfungsi untuk menjaga dan memantau musuh dari arah utara.
musuh-musuh tersebut biasanya datang dari negeri luar seperti Belanda atau jepang,mereka
datang untuk maksud dan tujuan yang negatif bagi tanah Buton.
Proses pemberian nama dari masing-masing Baluarana tersebut di dasari pada ruang-ruang
penjaganya.
Baruga
Menurut sejarah Buton dahulu, yang dimulai dari kerajaan tepatnya pada tahun 1542 M dan
pada tahun 1712 M Buton beralih menjadi sebuah kesultanan. dari itu pada massa pemerintahan
Sultan Syakiyuddin Darul Alam atau biasa di kenal dengan Laelangi. Di masa pemerintahan
beliau banyak yang dibangun Benteng keraton Buton dan salah satunya adalah Baruga. Baruga
pada masa pemerintahan Laelangi berfungsi sebagai tempat berkumpulnya para sultan untuk
melakukan upacara ataupun membahas masalah-masalah ekonomi, politik dan lain-lain yang di
hadapi oleh masyarakat Buton. Di samping itu baruga juga digunakan untuk pelantikan sultansultan.
Makam Sultan Nasruddin (La Ibi/Oputa Mosabuna Yilawalangke)
Memerintah pada tahun 1709 s/d 1711 M. Sultan Nasruddin adalah gelar sultan La Ibi.
diriwayatkan,sebenarnya beliau merasa berat untuk menerimah jabatan Sultan. La Ibi terpaksa
menerima itu karena demi kehormatan kaumnya yaitu aliran bangsawan Tanailandu. La Ibi
menerima jabatan tersebut pada salah seorang diantaranya yang merasa mampu untuk
menjalankan jabatan sultan.
Kasulana Tombi (Tiang bendera)
Didirikan pada abad ke-17, untuk mengibarkan Tombi kerajaan Buton. Bahan dasarnya terbuat
dari kayu jati dengan tinggi 21 M dari permukaan tanah yang berdiameter antara 25 cm hingga
70 cm.
Tiang bendera ini didirikan tepatnya pada tahun 1712 M, didirikan oleh Sultan Nur Alam dan
sudah berumur kurang lebih 300 tahun dan fungsi utama Tiang bendera ini adalah sebuah syarat
utama sebuah kerajaan.
Liana Latoundu (Gua Arupalaka)
Gua ini merupakan ceruk kecil bentukan Alam setinggi 1,5 M di jadikan tempat
persembunyian Latoundu (Arupalaka) Raja Bone yang berpengaruh di tanah Bugis yang
melarikan diri ke Buton pada tahun 1660 dan menetap tidak lama dan kembali lagi ke Sulawesi
selatan untuk memimpin perlawanan menghadapi Gowa.
Sejarah Mujina Kalau

Dahulu ada sembilan orang Wali yang di kirim oleh Rasulullah SAW untuk menyebarkan
Islam, Salah satunya adalah Syekh Abdul Wahid dengan salah satu muridnya bernma " Mujina"
beliau yang menyebarkan Islam yaitu di Burangasi sebagai wilayah pertama masuknya Islam di
pulau Buton.
Pada masa pemerintahan Sultan ke-29, Mujina menjadi salah satu penyebar Islam yang
diperintahkan oleh sultan dan beliau juga pernah mengikuti perang melawan Tobelo.
Mujina adalah seorang perempuan dengan ciri-ciri fisik putih berikat sanggul di kepala dan
silsilahnya berhubungan dengan sultan ke-29. Beliau juga suka memakai jubah berwarna biru
dengan kain selempang, memakai pedang dan berkuda. Turunannya dari sultan 17-29, warna
kesukaanya warna kuning emas campur merah dan itulah yang merupakan simbol dari tempat
duduknya berbentuk tiga lekungan. Hanya saja di saat Istana/Keraton mengalami perpindahan
dari keraton lama ke keraton baru yaitu dimasa kekuasaan Sultan Murhum, semua hilang begitu
saja bersama dengan keraton lama yang artinya " Gaib " dan itu merupakan kekuasaan dari
ALLAH SWT.
Makam Mujina kalau ini bertempat di kelurahan Melai dan berada di dalam area perumahan
masyarakat Melai. dimana didalam area tersebut terdapat banyak makam dan salah satunya
adalah makam Mujina Kalau, yang dibatasi dengan pagar beton dengan lambang berciri khas
Rumah Baruga tepat diatas pintu masuk area pemakaman beliau.
Makam Sultan Murhum Khalifatul Hamis
Sultan Murhum diangkat menjadi sultan Buton pada abad ke-6 dengan perubahan struktur
pemerintahan dalam masa Raja Mulae maka wilayah kerajaan Buton lebih luas lagi. Beliau
dalam silsilah, Biasa disebut Lakila ada pula yang menyebut Lakilaponto. Lakilaponto di abaikan
namanya menjadi Murhum.
Sultan Murhum menerima Syekh Abdul Wahid bersama istrinya di keraton untuk jangan
bertemu orang banyak, dimana Syekh Abdul Wahid menganjurkan pada Sultan dan pejabat
kerajaan serta seluruh masyarakat agar masuk agama Islam serta mengaku bahwa Muhammad
SAW adalah pesuruh ALLAH. akhirnya Sultan dan isterinya disusul oleh para pejabat kerajaan
serta masuk agama Islam.
Beliau menjabat sebagai Sultan sejak tahun 1538 M, selama 46 tahun sampai beliau wafat
pada tahun 1584. Jirat makam di perbaiki pada tahun 1989, dibuatkan sarana jalan yang menuju
situs.
Batu Wolio (Petirtaan)
Batu Wolio merupakan Tugu batu setinggi 1 m, berfungsi sebagai tempat pengambilan air suci
(Tirta) untuk dimandikan kepada Calon Raja/Sultan sebelum beliau dilantik. Batu wolio di
perkirakan berasal dari abad 14 dan air batu tersebut berasal dari mata air Tobe-Tobe.
Batu Wolio ini terletak di tengah kawasan benteng keraton, kelurahan melai. tepatnya di
sebelah timur masjid agung keraton Buton.
Lambang Kerajaan Buton
Mesjid Agung Keraton Buton bisa juga di sebut sebagai lambang kerajaan Buton, karena
kokoh bangunanya.
Letak Geografis
Mesjid Agung Keraton Buton terletak dalam benteng keraton Buton, datas bukit yang bernama
bukit sin. karena bentuknya seperti sin.
Ujung I : letak kuburan seerti baaluwu di sebut waolima/walimea yang artinya "tebaslah" ,
tindakan pertama penebasan untuk perkampungan.
Ujung II : Torisi adalah tempat mengadakan pertemuan.
Ujung III : Gama/Gema yang bertujuan bergema sepanjang masa.
Bentuk atau Arsitektur bangunan
Bentuk
Panjang saf 13, dan 40 orang persafnya.

Didirikan sejak tahun 948 H (1538) oleh Syekh Abdul Wahid.


Arsitektur Bangunan
Mesjid Agung Keraton didirikan pada masa kesultanan Buton adalah "Mesjid Agung Keraton"
yang di dirikan pada tahun 948 H (1538 M) yang menjadi pelopor pembangunannya adalah
Syekh Abdul Wahid, di bantu para pejabat tinggi kerajaan seperti sultan Murhum, Sangia, La
Ulo. wakti otu Sapati menjawarai, sudah meninggalkan Buton.
Luas Mesjid
luas Mesjid 18x24 m persegi, panjang berbentu Mihrab
luas serambi muka 5x40 m persegi
luas serambi kanan 8x40 m persegi
luas serambi bagian barat 20x40 m persegi
luas serambi bagian serambi kiri selatan 14x40 m persegi
Bendera Kerajaan Buton (longa-longa)
Asal mulanya bendera kerajaan Buton oleh masyarakat setempat menyebut Longa-Longa. Di
kibarkan sejak Raja Buton I (Raja Wakaakaa). Panjang Longa-Longa kurang lebih 5 m dan
lebarnya kurang lebih 1 m. konon ceritanya Longa-Longa di kibarkan pada saat jatuhnya atau
turunnya tahta Sultan dan upacara-upacara adat yangkan di selenggarakan. Sampai saat ini belum
ada pendunduk setempat yang mengetahui siapa pembuat Longa-Longa tersebut, karena banyak
versi yang meceritakan tentang Longa-Longa ini. Nama-Nama Sultan Yang Memerintah Pada
Kesultanan Buton
1.
Sultan La Kilaponto dengan gelar Sultan Kaimuddin
2.
Sultan La Tumparasi dengan gelar Sultan Kaimuddin
3.
Sultan La Sangaji dengan gelar Sultan Kaimuddin

4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.

Sultan Laelangi dengan gelar Sultan Dayanu Ikhsanuddin


Sultan La Balawo dengan gelar Sultan Qamar ad-Din
Sultan La Buke dengan gelar Sultan Gaffur al-Wadud
Sultan La Saparigau dengan gelar Sultan Kaimuddin
Sultan La Cila dengan gelar Sultan Mardan Ali
Sultan La Awu dengan gelar Sultan Malik Sirullah
Sultan La Simbata dengan gelar Sultan Adilil Rakhiya
Sultan La Tangkaraja dengan gelar Sultan Kaimuddin,
Sultan La Tumpamana dengan gelar Sultan Zainuddin
Sultan La Umati dengan gelar Sultan Diya d-Din Ismail
Sultan La Dini dengan gelar Sultan Syaifuddin
Sultan La Rabaenga dengan gelar Sultan Saif ar-Rijal
Sultan La Sadaha dengan gelar Sultan Syamsuddin,
Sultan La Ibi dengan gelar Sultan Nasraruddin
Sultan LaTumparasi dengan gelar Sultan Muluhiruddin
Sultan Langkariri dengan gelar Sultan Zakiyuddin Darul Alam
Sultan La Karambau Sultan Himayatuddin
Sultan La Hamim dengan gelar Sultan Zakiyuddin,
Sultan La Seha dengan gelar Sultan Rafiuddin,
Sultan La Karambau Sultan Himayatuddin
Sultan La Jampi dengan gelar Sultan Kaimuddin,
Sultan La Masalalamu dengan gelar Sultan Alim Ad-Din
Sultan La Kopuru dengan gelar Sultan Abdul Gafur,
Sultan La Badaru dengan gelar Sultan Dayanu Asraruddin.

28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.

Sultan La Dani dengan gelar Sultan Anhar ad-Din


Sultan Muh. Aidrus, dengan gelar Sultan Kaimuddin I
Sultan Muh. Isa dengan gelar Sultan Kaimuddin II
Sultan Muh. Salihi dengan gelar Sultan Kaimuddin III
Sultan Muh.Umar dengan gelar Sultan Kaimuddin IV
Sultan Muh. Asyikin dengan gelar Sultan Adil ar-Rahim
Sultan Muh.Husain dengan gelar Sultan Bayan Ihsan Kaimuddin
Sultan Muh. Ali dengan gelar Sultan Kaimuddin
Sultan Muh. Saifu dengan gelar Sultan Syafi al-Amin
Sultan Muli. Hamidi dengan gelar Sultan Kaimuddin
Sultan Muh. Falihi dengan gelar Sultan Kaimuddin

Kesultanan Buthuuni berakhir pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Falihi ( sultan ke 38 )
tahun 1960.

Anda mungkin juga menyukai