Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Beberapa obat dapat menyebabkan reaksi toksik pada struktur telinga


dalam, termasuk koklea, vestibulum, semisirkular kanal, dan otolit, dianggap
sebagai ototoksik. Obat dapat menginduksi struktur pendengaran dan sistem
keseimbangan yang dapat menyebabkan terjadinya kehilangan pendengaran,
tinnitus dan pusing. Gangguan pendengaran akibat toksisitas kadang bersifat
sementara tetapi kebanyakan bersifat menetap pada sebagian besar golongan
Aminoglikosida.
Telah diketahui bahwa gangguan pendengaran atau ketulian mempunyai
dampak yang merugikan bagi penderita, keluarga, masyarakat maupun Negara.
Penderita akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan lingkungannya,
dan terisolasi. Kehilangan kesempatan dalam aktualisasi diri, mengikuti
pendidikan formal di sekolah umum, kehilangan kesempatan memperoleh
pekerjaan yang pada akhirnya berakibat pada rendahnya kualitas hidup yang
bersangkutan.
Kesulitan-kesulitan tersebut diatas akan bertambah besar di negara
berkembang mengingat masih terbatasnya infrastruktur kesehatan telinga dan
pendengaran dalam melakukan pencegahan, deteksi dini, penatalaksanaan dan
habilitas / rehabilitasi.
Menurut perkiraan WHO pada tahun 1995 terdapat 120 juta penderita
gangguan pendengaran di seluruh dunia. Jumlah tersebut mengalami peningkatan
yang sangat bermakna pada tahun 2001 menjadi 250 juta orang,

222 juta

diantaranya adalah penderita dewasa sedangkan sisanya ( 28 juta ) adalah anak


berusia di bawah 15 tahun. Dari jumlah tersebut kira kira 2/3 diantaranya berada
di negara berkembang. Peningkatan jumlah penderita gangguan pendengaran ini
kemungkinan disebabkan oleh peningkatan insidens, identifikasi yang lebih baik
atau akibat meningkatnya usia harapan hidup.11
Sudah sering terdengar bahwa hampir semua obat mempunyai efek

samping. Salah satunya adalah obat-obatan yang menimbulkan gangguan pada


pendengaran yang merupakan efek samping obat yang serius dan sering terjadi.
Dengan makin banyak obat-obatan paten yang beredar di pasaran, kemungkinan
daftar obat-obatan yang mempunyai efek samping pada telinga juga makin
bertambah.
Ototoksisitas menjadi perhatian utama klinisi dengan penemuan streptomisin
pada tahun 1944. Streptomisin sukses dalam pengobatan tuberkulosis, tetapi
sebaliknya sebagian besar pasien yang diobati mengalami disfungsi koklear dan
vestibuler yang irreversibel. Penemuan ini yang kemudian beriringan dengan
toksisitas yang dihubungkan dengan aminoglikosida lainnya menyebabkan
para klinisi dan ilmuwan meneliti etiologi dan mekanisme ototoksisitas.
Sekarang ini, banyak obat yang dikenal luas memiliki efek toksik terhadap sistem
kokleovestibuler, diantaranya aminoglikosida dan antibiotik lainnya serta obat anti
kanker.5
1.2 Tujuan Penulisan
Telah diketahui bahwa gangguan pendengaran atau ketulian mempunyai
dampak yang merugikan bagi penderita, keluarga, masyarakat maupun Negara.
Ketulian bisa disebabkan oleh beberapa obat yang umumnya sangat sering di
pergunakan oleh tenaga kesehatan dimana obat-obat tersebut dapat menyebabkan
ketulian yang dikenal dengan ototoksik . Oleh karena itu, diharapkan penulisan
tinjauan kepustakaan ini dapat membantu dokter muda yang akan menjadi pilar
utama kesehatan dalam memahami mekanisme, mengenali dan mengetahui
berbagai macam obat yang bersifat ototoksik.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Ototoksisitas adalah kerusakan koklea atau saraf pendengaran dan organ
vestibuler yang berfungsi mengirimkan informasi keseimbangan dan pendengaran
dari labirin ke otak yang disebabkan oleh zat-zat kimia atau toxin (obatobatan).1,2,3,4,5
2.2 Anatomi
Bagian utama telinga dalam terdiri dari dua yaitu koklea (rumah siput)
yang merupakan dua setengah lingkaran yang berfungsi sebagai organ
pendengaran dan vestibulum yang terdiri dari tiga buah kanalis semirkularis.
Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala
timpani di sebelah bawah dan skala media diantaranya. Skala vestibuli dan skala
timpani berisi perilimfa sedangkan skala media berisi endolimfa. Ion dan garam
yang terdapat di perilimfa berbeda dengan endolimfa. Dasar skala vestibuli
disebut membran vestibuli sedangkan dasar skala media adalah membran basalis.
Pada membran ini terletak organ corti.
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut
membran tektoria dan pada membran basal melekat sel-sel rambut yang terdiri
dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis corti yang menbentuk organ
corti. 11

2.3 Fisiologi Pendengaran


Proses pendengaran diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke
koklea. Getaran tersebut mengetarkan membran timpani diteruskan ke telinga

tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplikasikan


getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas
membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplikasi ini
akan diteruskan ke stapes yang akan mengerakkan tingkap lonjong sehingga
perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran ini diteruskan melalui membran
reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif
antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang
mekanik yang akan menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut,
sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan
sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga
melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial
aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke
korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.11

2.4 Patogenesis
Mekanisme dari tuli akibat ototoksik masih belum begitu jelas.
Patologinya meliputi hilangnya sel rambut luar yang lebih apical, yang diikuti

oleh sel rambut dalam. Hal ini permulaannya menyebabkan gangguan pendengaran
frekuensi tinggi yang dapat berlanjut ke frekuensi rendah. Pasien-pasien tertentu
tidak mengetahui adanya gangguan pendengaran hingga defisit mencapai derajat
ringan sedang ( >30 dB hearing level ) pada frekuensi percakapan.
Kebanyakan poin yang terbukti saat ini adalah terdapat
pengikatan obat dengan glikosaminoglikan

stria vaskularis, yang

menyebabkan perubahan strial dan perubahan sekunder sel-sel rambut.


Antibiotik

ototoksik

mengubah

proses-proses

menyebabkan
biokimia

hilangnya
yang

pendengaran

penting

yang

dengan

menyebabkan

penyimpangan metabolik dari sel rambut dan bisa menyebabkan kematian sel
secara tiba-tiba. 1,5
Efek utama dari obat-obat ototoksik terhadap telinga adalah hilangnya selsel rambut yang dimulai dari basal koklea, kerusakan seluler pada stria vaskularis,
limbus spiralis dan sel-sel rambut koklea dan vestibuler.
Kerusakan vestibuler juga merupakan

efek yang merugikan

dari antibiotik aminoglikosida dan awalnya menunjukkan nistagmus


posisional. Pada keadaan berat, kerusakan vestibuler dapat menyebabkan
ketidakseimbangan dan osilopsia. Osilopsia, yang disebabkan oleh kerusakan
sistem vestibuler bilateral, adalah ketidakmampuan sistem okuler untuk menjaga
horizon yang stabil menyebabkan. 4,5

2.5 Gejala Klinis


Tinitus dan vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas. Tinnitus
biasanya menyertai segala jenis tuli sensorineural oleh sebab apapun dan
seringkali keluhan pertama yang muncul serta mengganggu jika dibandingkan
dengan tulinya sendiri dimana pada ototoksik tinitus cirinya kuat dan bernada
tinggi, berkisar antara 4 KHz sampai 6 KHz serta biasa bilateral. Pada
kerusakan yang menetap, tinnitus lama kelamaan tidak begitu kuat tetapi juga
tidak pernah hilang, gejala lainnya juga terdapat gangguan keseimbangan badan,
sulit memfiksasi pandangan, terutama setelah perubahan posisi, ataksia
(kehilangan koordinasi otot) dan oscillopsia ( pandangan kabur dengan pergerakan

kepala) tanpa adanya riwayat vertigo sebelumnya, menyebabkan kesulitan melihat


tanda lalu lintas ketika mengendarai kendaraan atau mengenali wajah orang ketika
berjalan.11,2010
Diuretik kuat dapat menimbulkan tinnitus yang kuat dalam beberapa menit
setelah menyuntikkan intravena, tetapi pada kasus-kasus yang tidak begitu berat
dapat terjadi tuli sensorineural secara perlahan-lahan dan progresif dengan hanya
disertai tinnitus yang ringan dan biasanya menghasilkan audiogram yang
mendatar atau sedikit menurun.11
Tinnitus dan kurang pendengaran yang reversibel dapat terjadi pada
penggunaan salisilat dan kina serta tuli akut yang disebabkan diuretik kuat
dapat pulih dengan menghentikan pengobatan dengan segera.11
Gejala dini gangguan pendengaran pada ototoksisitas aminoglikosida sulit
dikenali oleh pasien karena hanya bermanifestasi pada frekwensi tinggi. Pada
keadaan lanjut akan mempengaruhi frekwensi percakapan dan ketuliannya akan
semakin berat jika penggunaan obat ini diteruskan. Pada audiogram ditemukan
ciri penurunan yang tajam untuk frekuensi tinggi.11,2010

2.6 Jenis jenis Obat Ototoksik


Sudah sering terdengar bahwa hampir semua obat mempunyai efek
samping. Salah satunya adalah obat-obatan yang menimbulkan gangguan pada
pendengaran yang merupakan efek samping obat yang serius dan sering terjadi.
Dengan makin banyak obat-obatan paten yang beredar di pasaran, kemungkinan
daftar obat-obatan yang mempunyai efek samping pada telinga juga makin
bertambah. Dari abad ke- 19 hingga kini telah banyak diketahui obat-obatan yang
menimbulkan gangguan pada telinga diantaranya yaitu :
a. Golongan Aminoglikosida
Sejak diperkenalkan pada tahun 1944, banyak sediaan aminoglikosida
menjadi mudah didapatkan seperti , streptomisin, dihidrostreptomisin, kanamisin,
gentamisin, neomisin, tobramisin, netilmisin, dan amikasin. Aminogikosida bersifat
bakterisid yang berikatan. dengan Ribosom 30S dan menghambat sistesis protein
bakteri. Aminogikosida hanya efektif pada basil gram negatif aerobik dan

stafilokokus. Neomisin dan kanamisin memiliki spektrum antibakteri yang


terbatas serta lebih toksik dari pada aminoglikosida lainnya.5,11
Aminoglikosida memiliki efek toksik terhadap koklea dan vestibuler yang
bervariasi. Streptomisin dan gentamisin terutama bersifat vestibulotoksik,
sedangkan amikasin, neomisin, dihidrostreptomisin, dan kanamisin bersifat
kokleotoksik. Tobramisin berefek sama pada fungsi vestibuler maupun
auditorik. Efek ototoksik pada netilmisin sedikit diketahui karena penggunaannya
yang sudah jarang juga karena memiliki potensi efek ototoksik yang rendah .6
Toksisitas

aminoglikosida

tertutama

pada

ginjal

dan

sistem

kokleovestibuler walaupun tidak ditemukan hubungan yang jelas antara derajat


nefrotoksik dan ototoksik. Toksisitas koklear yang menyebabkan gangguan
pendengaran biasanya dimulai pada frekuensi tinggi dan efek sekundernya
menyebabkan dekstruksi ireversibel sel rambut luar organ Corti, terutama pada
lengkungan basal koklea.5
Insidensi efek ototoksik aminoglikosida sekitar 10%. Aminoglikosida
dieksresi di ginjal, oleh karena itu pada pasien dengan gangguan ginjal bilateral,
kandungan serum aminoglikosida akan meningkat sehingga akan meningkatkan
resiko ototoksik. Aminoglikosida membutuhkan waktu lebih lama dibersihkan
dari perilimfe daripada dari serum. Umumnya efek ototoksik merupakan bukti
adanya kehilangan sel rambut , yang dimulai pada lengkung basal koklea dan
kemudian berjalan ke apeks. Deretan dalam dari sel rambut bagian luar terkena
terlebih dahulu, diikuti oleh kerusakan dua deretan terluar. Untuk alasan yang
belum diketahui, sel rambut bagian dalam dilindungi ketika tedadi efek
ototoksik dengan kerusakan total organ Corti.
Kerusakan akut sistem auditorik sering tedadi pada aminoglikosida, tetapi
ditutupi oleh keluhan tinnitus. Gangguan pendengaran biasanya terjadi pada
frekuensi tinggi tetapi dapat terjadi pada frekuensi rendah. Manusia dapat
mendengar frekuensi lebih dari 16.000 Hz, tapi audiometer hanya bisa mendeteksi
frekuensi dibawah 8.000 Hz. Karena pasien tidak bisa mengenali kehilangan
pendengaran sampai mereka kehilangan 20 dB, atau sekitar 3.000 4.000 Hz,
akan sangat sulit mengetahui seorang pasien mengalami efek ototoksik atau tidak.

Efek ototoksik akan tampak 2 3 minggu setelah obat-obat tersebut berhenti


digunakan secara permanen.4
Adapun obat-obat golongan Aminoglikosida yaitu :
1.

Streptomisin
Untuk suntikan tersedia bentuk bubuk kering dalam vial yang

mengandung 1 atau 5 gr dengan dosis 20 mg/kgBB secara IM, maksimum 1


gr/hari selama 2 sampai 3 minggu. Kemudian frekuensi diturunkan menajadi 2-3
kali seminggu. Dosis ini harus dikurangi untuk penderita usia lanjut, anak-anak,
orang dewasa badannya kecil dan gangguan fungsi ginjal serta memperhatikan
cara pemberian dan cara penyuntikan tergantung dari jenis dan lokasi infeksi.6
Suntikan IM merupakan cara yang paling sering dikerjakan. Total sehari
berkisar 1-2 gr (15-25 mg/kgBB), 500 mg-1 gr disuntikan setiap 12 jam. Untuk
infeksi berat dosis harian dapat mencapai 2-4 kali pemberian. Dosis untuk anak
ialah 20-30 mg/kgBB sehari yang dibagi dua kali penyuntikkan. Kadar serendah
0,4 ug/ml dapat menghambat pertumbuhan kuman dan untuk kuman TB dapat
dihambat dengan kadar 10 ug/ml.6
Obat ini utamanya berefek vestibulotoksik sehingga menyebabkan vertigo
sebelum tedadinya tinnitus dan gangguan pendengaran. Efek ototoksik dan
nefrotoksik terjadi bila diberikan dalam dosis besar dan lama. Penggunan 1 gram
perhari obat ini selama 10 hari tidak menyebabkan sindrom vestibular.
Penggunaan 2 gram perhari selama 14 hari dilaporkan menyebabkan sindrom
vestibules pada 60 70 % pasien atau pada pasien yang mendapatkan dosis total
10-12 gr dapat mengalami hal diatas. Hingga dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan audiometri basal dan berkala pada meraka yang mendapatkan obat
ini. 6,8
Ototoksik sangat tinggi terjadi pada kelompok usia 65 tahun dan pada
orang hamil tidak boleh melebihi dosis total 20 gram dalam 5 bulan terakhir
kehamilan untuk mencegah ketulian pada bayi (tuli congenital).6
Temuan histologik efek ototoksik streptomisin adalah sebagai berikut :
a.

Kehilangan sel rambut bagian luar secara terpencar di lengkung basal atas
koklea.

b.

Kerusakan berat pada epitel sensoris Krista semua saluran

c.

Stereosilia di dalam ampula saluran mengalami pembengkakan clan


diameternya menjadi dua kali lebih besar. 8

2.

Dihidrostreptomisin
Dihidrostreptomisin dapat menyebabkan gangguan pendengaran yang

berat dan tidak menentu bahkan sampai setelah 2 bulan setelah dihentikan.
Ketulian tidak bisa, diramalkan serta tidak bergantung pada dosis obat yang
diberikan. Karena efek ototoksiknya yang besar serta kegunaannya yang tidak
lebih bagus daripada streptomisin, obat ini telah ditarik dari peredaran di Amerika
Serikat. 8
3.

Neomisin
Neomisin

tersedia

untuk

penggunaan

topikal

dan

oral,

penggunaannya secara parenteral tidak lagi dibenarkan karena toksisitasnya.


Salep mata dan kulit mengandung 5 mg/gr untuk digunakan 2-3 kali sehari.
Untuk oral tersedia tablet 250 mg. Dosis oral neomisin dapat mencapai 408
gr sehari. 6
Penyerapan neomisin tidak terlalu bagus bila diberikan se cara oral
maupun topikal. Walaupun demikian obat ini tetap diberikan secara tetes telinga
karena efek ototoksik yang rendah. Tetapi penggunaan berulang pada jaringan
yang meradang dapat menyebabkan tuli yang irreversibel. Dosis parenteral 5 - 8
gram neomisin lebih dari 4 - 6 hari dapat menyebabkan tinnitus dan tuli
ireversibel. Gangguan pendengaran dihubungkan dengan nilai diskriminasi
percakapan rendah. Neomisin, streptomisin dan kanamisin dibersihkan lebih
lambat dari perilimfe dari bagian tubuh lainnya, menyebabkan efek ototoksik yang
tertunda dan terjadi 1-2 minggu setelah obat dihentikan.
Penemuan histologik pada efek ototoksik neomisin AMA :
a.

Kerusakan sel rambut bagian luar dan bagian dalam

b.

Kerusakan parsial sel pilar

c.

Atropi parsial stria vaskularis

d.

Kehilangan sedikit sel Deiter dan sel Hensen

e.

Makula dan Krista biasanya normal. 6,8

4.

Gentamisin
Gentamisin buruk absorpsinya melalui oral dan harus diberi secara

parateral untuk penggunaan sistemik. Ketika diberi melalui IM, kadar puncak
tercapai pada 0.5 1 jam. Eliminasi pada serum kira-kira 2 jam pada pasien
dengan fungsi ginjal normal. Konsentrasi puncak gentamisin tercapai pada akhir
infus selama 2 jam dengan dosis 1 mg/ Kg pada pasien dengan kadar rata-rata 4,5
g/mL ( antar 0,5 8 g/mL).
Konsentrasi aminglikosid pada serum harus dimonitor untuk memastikan
kadar yang adekuat dan untuk menghindari efek toksik. Harus dihindari kadar
diatas 12 g/mL untuk menurukan resiko gagal ginjal dan terjadinya toksisitas
nervus kranial. Sedangkan pada pemberian secra IM, kadar diatas 10 12 g/mL
dianggap menimbulkan efek toksik.

Anonimous. 2011. Gentamicin. Diunduh dari http://drugsarea.com/Dets-

Drugs/Gentamicinpd.html

Gentamisin tersedia sebagai larutan steril dalam vial atau ampul 60 mg/1,5
ml, 80 mg/2ml, 120 mg/3 ml dan 280 mg/2 ml dan setiap salep atau krim dalam
kadar 0,1 dan 0,3 %. Dosis awal untuk dewasa dan anak-anak dengan dehidrasi
0,75-1,5 mg/kgBB, normal 1-2 mg/kgBB, neonatus 2-2,5 mg/kgBB sedangkan
dosis penunjang dewasa dengan fungsi ginjal normal 1-2 mg/kgBB setiap 6-12
jam, fungsi ginjal terganggu 1-1,5 mg/kgBB setiap 12-48, sedangkan anak dengan
fungsi ginjal normal 1-2 mg/kgBB setiap 4-8 jam dan fungsi ginjal terganggu
1-1,5 mg/kgBB setiap 8-48 jam serta untuk neonatus 2,-2,5 setiap 8-24 jam.6
Gentamisin, seperti juga streptomisin lebih mengenai vestibuler dari
pada auditorik. Kadar efektif untuk infeksi sedang dan berat adalah 6-8
ug/ml, untuk infeksi gawat 8-10 ug/m dan kadar toksik potensial lebih dari
10-12 ug/ml. Dosisnya disesuaikan pada pasien dengan gangguan ginjal, lanjut
usia, kegemukkan, sepsis, gagal jantung, luka bakar, dialisis dan neonatus.. Pada
sebuah penelitian diketahui bahwa gentamisin menyebabkan efek ototoksik
sebesar 10 -15 %. 4,6,8
5.

Kanamisin
Untuk suntikan tersedia larutan dan bubuk kering. Larutan dalam vial

ekuivalen dengan basa kanamisin 500 mg/2 ml dan 1 gr/ 3 ml untuk orang dewasa

10

serta 75 mg/2 ml untuk anak. Untuk pemberian oral kapsul/tablet 250 mg dan
sirup 50 mg/ml.6
Pemberian IV jarang dikerjakan, karena absorpsi melalui suntikan IM
sangat baik. Dosis oral untuk anak adalah 50 mg/kgBB sehari dibagi 4 kali
pemberian, untuk orang dewasa dapat mencapai 8 gr sehari. Dosis awal pada
dewasa dan anak dengan dehidrasi 5-7,5 mg/kgBB, normal 7,5 mg/kgBB dan
neonatus 10 mg/kgBB. Kadar efektif dalam serum untuk infeksi sedang berat 2025 ug/ml, infeksi berat 25-30 mg/ml dan kadar dalam plasma yang berpotensi
menimbulkan toksik lebih dari 32 ug/ml. Pada pasien yang fungsi ginjalnya
normal, 15 mg/kg/hari kanamisin akan menyebabkan gangguan pendengaran
ringan.6
Efek ototoksik kanamisin tidak seberat neomisin, tetapi seperti halnya
neomisin, efeknya terutama pada koklea. Kanamisin menyebabkan gangguan
pendengaran sensorineural. Diantara obat-obat aminoglikosida, kanamisin paling
sering menyebabkan kerusakan koklea unilateral.
Penemuan histologik efek ototoksik kanamisin adalah :
a.

Kerusakan sel-sel rambut bagian dalam dan luar

b.

Sering tidak menyebabkan perubahan sel penyokong

c.

Krista saluran semisirkuler normal, oleh karena itu degenerasi neural tidak
signifikan. 4,6,8

6.

Aminoglikosida lainnya
Efek ototoksik tobramisin sama dengan kanamisin. Tobramisin tersedia

sebagai larutan 80 mg/2 ml untuk suntikkan IM. Untuk infus dilarutkan dengan
dekstrose 5 % atau larutan NaCL yang diberikan dalam 30-60 menit. Tidak boleh
diberikan dalam 10 hari dengan dosis untuk orang dewasa dan anak-anak dengan
dehidrasi 0,75-1,5 mg/KgBB, normal 1-2 mg/kgBB dan neonatus 2-2,5 mg/kgBB.
Dosis penunjang tobramisin dewasa degang fungsi ginjal normal 1-2 mg/kgBB
setiap 6-12 jam, gangguan fungsi ginjal 1-1,5 mg/kgBB setiap 12-48 jam, anakanak fungsi ginjal normal 1-2 mg/kgBB setiap 4-8 jam, gangguan fungsi ginjal 11,5 mg/kgBB setiap 8-48 jam dan neonatus 2-2,5 mg/kgBB setiap 8-24 jam.
Kadar efekti untuk infeksi sedang dan berat adalah 6-8 ug/ml, untuk infeksi

11

gawat 8-10 ug/m dan kadar toksik potensial lebih dari 10-12 ug/ml . Dosisnya
disesuaikan pada pasien dengan gangguan ginjal, lanjut usia, kegemukkan, sepsis,
gagal jantung, luka bakar, dialisis dan neonatus.6,12
Amikasin memiliki efek toksik yang ringan terhadap vestibular dan
lebih rendah efek ototoksiknya daripada gentamisin. Obat ini tersedia untuk
suntikan IM dan IV dalam vial berisi 100,250, 500, 1.000 dan 2.000mg.
Dosis awal lazim yang digunakan pada dewasa dan anak dengan dehidrasi 5-7,5
mg/kgBB, normal 7,5 mg/kgBB dan neonatus 10 mg/kgBB. Kadar efektif dalam
serum untuk infeksi sedang berat 20-25 ug/ml, infeksi berat 25-30 mg/ml dan
kadar dalam plasma yang berpotensi menimbulkan toksik lebih dari 32 ug/ml.
Adanya gangguan pada fungsi ginjal memerlukan pengurangan dosis dan
perpanjangan interval waktu antara dosis dengan berpedoman pada kadar efektif
didalam darah yang berkisar antara 5-10 ug/ml sampai 20-25 ug/ml.6,12
b. Antibiotik Lainnya
1.

Eritromisin
Termasuk ke dalam golongan makrolid yang bekerja menghambat sintesis

protein kuman dengan dan bersifat bakteriostatik atau bakterisid tergantung


dari jenis kuman dan kadarnya. Obat ini tersedia dalam kapsul/tablet 250 mg
dan 500 mg dengan dosis dewasa 1-2 gr/hari dibagi dalam 4 dosis dapat
ditingkatkan 2 kali lipat pada infeksi berat, anak-anak dengan dosis 30-50
mg/kgBB sehari dibagi dalam4 dosis. Kadar puncak dalam darah 0,3-1,9
ug/ml yang mana ini dapat dicapai dengan dosis oral 500 mg dalam waktu 4
jam. Dosis lebih dari 4 gram/hari meningkatkan efek ototoksik, gejalanya
umurnnya terlihat dalam 4 hari dan biasanya gangguan pendengaran dapat pulih
setelah pengobatan dihentikan 6,10
Gejala pemberian eritromisin intravena terhadap telinga tengah adalah
kurang pendengaran subjektif, tinnitus yang meniup dan kadang-kadang vertigo.
Tuli sensorineural pernah dilaporkan terjadi pada anak-anak maupun dewasa,
terjadi tuli sensorineural nada tinggi dan tinnitus setelah pemberian intra verna
dosis tinggi atau secara oral. Biasanya gangguan pendengaran dapat pulih
setelah obat dihentikan.

12

2. Vankomisin
Beberapa gejala yang sering muncul pada ototoksik pada umumnya adalah
tinitus dimana ini terjadi pada pasien dengan konsentrasi serum vankomisin yang
tinggi pada gagal ginjal atau pada pasien yang mendapatkan terapi aminoglikosida
secara bersamaan, digunakan dalam waktu yang lama, dan dalam dosis yang
besar.5,6,10
Karena sangat toksik, obat ini hanya digunakan bila penderita alergi
terhadap obat yang lain lebih aman. Ketulian permanen dan uremia yang fatal
karena itu perlu pemeriksaan audiogram dan faal ginjal secara teratur, lebih lebih
bila berlangsung dalam 1 minggu. Obat ini tersedia dalam bubuk 500 mg untuk
pemberian IV. Dosis untuk dewasa 2-4 gr/hari yang dibagi dalam beberapa
pemberian dan untuk anak 40 mg/kgBB/hari. Dosis ini diberikan dengan
dilarutkan dalam 100-200 ml NaCL atau dekstrose 5 % yang diberikan IV secara
perlahan-lahan, kadar puncak terapeutik vankomisin 25-40 mg/mL, kadar normal
5-12 mg/mL dan efek toksik terjadi saat kadar vankomisin mencapai > 80 mg/mL
(SI: > 54mmol/L).6, Anonimous. 2011. Vancomycin. Diunduh dari http://drugsarea.com/Dets-Drugs/Vancomycinpd.html
c.

Diuretik
Dua diuretik penyebab utama efek ototoksik adalah furosemid dan asam

etakrinat. Dimana kedua obat ini merupakan diuretik yang efeknya sangat
kuatdibandingkan dengan yang lain. Manifestasi ototoksiknya adalah gangguan
pendengaran sensorikneural, tinnitus dan vertigo. Asam etakrinat dapat
menyebabkan ketulian sementara maupun menetap dan hal ini merupakan
efek samping yang serius. Ketulian sementara juga dapat terjadi pada
furosemid. Ketulian ini mungkin sekali disebabkan oleh perubahan komposisi
elektrolit cairan endolimfe. Ototoksisitas merupakan suatu efek samping unik
kelompok obat ini. Bila karena suatu hal diperlukan pemberian obat yang juga
bersifat ototoksik, misalnya aminoglikosida, sebaiknya dipilih diuretik lainnya,
misalnya tiazid.6
Efek ototoksik tampak pada sistem dari penghambatan sodium-pomsium
ATPase koklear, menyebabkan perubahan komposisi elektrolit endolimfe.
Gangguan pendengaran pada asam etakrinat dan furosemid umumnya

13

sementara tapi dapat juga bersifat permanen. Efek ototoksik bumetanide


lebih rendah dari diuretik lainnya. 4,5,6,9,8
Furosemid pada dosis tinggi seharusnya diberikan selama beberapa
menit untuk meminimalisir efek ototoksiknya. Perubahan komposisi elektrolit
endolimfe yang disebabkan oleh obat sangat unik untuk jenis obat ini. 4,8
Untuk pemberian injeksi dosis Minimal/Maximal untuk dewasa adalah
10 mg/600mg, untuk anak-anak dosis Minimal/Maximal adalah 0.5mg/kg / 6
mg/kg.

Sedangkan

untuk

pemberian

secara

oral

untuk

dewasa

dosis

Minimal/Maximal adalah 20 mg / 600 mg, dan untuk anak-anak dosis Minimal/


Maximal adalah 0.5 mg/kg / 6 mg/kg. Anonimous. 2011. Furosemide. Diunduh dari http://drugsarea.com/DetsDrugs/Furosemidepd.html

Untuk pengobatan edema, pada dewasa bisa digunakan Furosemide tablet


20-80 mg single dose. Jika dibutuhkan, pada dosis yang sama dapat diberikan
6-8 jam berikutnya atau dosis bisa ditingkatkan. Dosis bisa ditingkatkan 20 atau
40 mg dan tidak diberikan kurang dari 6-8 jam berikutnya. Pasien dengan single
dose harus diberikan satu atau dua kali sehari (misal : pada jam 8 pagi dan
2 siang). Untuk anak-anak dapat juga diberikan per oral tablet dengan dosis 2
mg/kg BB diberikan single dose. Jika respon diuretik tidak juga hilang maka dosis
dinaikkan 1-2 mg/kg BB diberikan 6-8 jam setelah pemberian sebelumnya,
asalkan pemberian dosis tidak mencapai kadar minimal yaitu lebih dari 6 mg/kg
BB. Anonimous. 2011. Furosemide. Diunduh dari http://drugsarea.com/Dets-Drugs/Furosemidepd.html
Durasi furosemide adalah 6-8 hari dimana waktu paruhnya adalah 2 hari,
sehingga pemberian ulang dosis setiap dua hari jika perlu. Obat diekskresikan
lewat urin.Anonimous. 2011. Furosemide. Diunduh dari http://drugsarea.com/Dets-Drugs/Furosemidepd.html
Asam etakrinat tersedia dalam bentuk tablet 25 dan 50 mg digunakan
dengan dosis 50-200 mg/hari. Sedian IV berupa Na-etakrinat dengan dosisnya
50 mg atau 0,5-1 mg/kgBB. Dosis dewasa Oral: 50-200 mg/hari terbagi 1-2 dosis
dan mungkin ditingkatkan 25-50 mg dengan interval beberapa hari, dosis lebih
dari 200 mg dua kali sehari mungkn dibutuhkan dengan edema berat dan berulang.
IV: 0,501 mg/Kg/dosis (maksimum 100 mg/dosis); pengulangan dosis tidak
direkomendsikan, tapi jika perlu dosis dapat diulang tiap 8-12 jam.6,

14

Anonimous. 2011.

Ethacrynic Acid. Diunduh dari http://drugsarea.com/Dets-Drugs/EthacrynicAcidpd.html

Asam etakrinat menyebabkan kerusakan lapisan pertengahan stria


vaskuler dan sel rambut bagian luar dari organ Corti, lebih parah pada lengkung
basal. Gangguan pendengaran dapat sementara maupun permanen. Ototoksik
berhubungan dengan pemberian cepat secara IV, kerusakan ginjal, dosis besar, dan
penggunaan dengan obat ototoksik lain. Insidensi lebih tinggi dibandingkan
dengan penggunaa loop diuretik. Pemberian secara IV harus diencerkan dengan
D5W or NS (1 mg/mL) dan dilakukan melalui infus selama beberapa menit. Efek
sementara dapat merupakan sekunder dari efek pada enzim-enzim respirasi
(succinate dehidrogenase dan ATPase) dalam organ Corti dan stria vaskuler.
Kandungan Sodium endolimfe berkurang. Gejala yang timbal berupa tuli,
tinnitus dan vertigo.

4,8,

Anonimous.

2011.

Ethacrynic

Acid.

Diunduh

dari

http://drugsarea.com/Dets-

Drugs/EthacrynicAcidpd.html

d. Salisilat
Asam salisilat dan derivatnya yang lebih dikenal dengan sebagai asetosal
dan aspirin sering dipakai sebagai analgetik, antiperitik, keratolitik dan
antireumatik. Gejala toksik umumnya berupa asidosis metabolik sedangkan gejala
utama berupa salisilismus, dan beberapa tahun ini ototoksik akibat salisilat banyak
diteliti oleh karena terapi aspirin dosis tinggi pada arthritis rematoid. Tata, 2010, keracunan
salisilat. Diunduh dari: http://tatablo9.blogspot.com/

Untuk memperoleh efek anti inflamasi yang baik kadar plasma perlu
dipertahankan antara 250-300 mcg/ml. Kadar ini tercapai dengan dosis 4 gr/hari
untuk orang dewasa. Sedian paling banyak adalah aspirin dalam bentuk 100 mg
untuk anak-anak dan 500 mg untuk dewasa dimana dosis yang lazim digunakan
adalah 325-650 mg untuk dewasa diberikan secara oral setiap 3 atau 4 jam. Untuk
anak-anak 15-20 mg/kgBB yang diberikan tiap 4-6 jam dengan dosis total tidak
melebihi 3,6 gr/hari, gejala toksik natrium salisilat pada orang dewasa terjadi jika
menelan 10g/lebih dalam periode 12-14 jam (kadar plasma >30mg/100ml) dan
akan bersifat letal dengan dosis 20-30 g. Dosis letal pada anak yaitu pada 2,7 g
metol salisilat.6, Tata, 2010, keracunan salisilat. Diunduh dari: http://tatablo9.blogspot.com/
Salisilat termasuk aspirin dapat mengakibatkan tuli sensori neural frekuensi

15

tinggi, bilateral dan tinnitus. Tetapi bila pengobatan dihentikan pendengaran akan
pulih dan tinnitus akan hilang. Keracunan salisilat yang berat dapat menimbulkan
kematian, tetapi umumnya keracunan salisilat bersifat ringan. Gejalanya adalah
nyeri kepala, pusing, tinnitus, gangguan pendengaran, penglihatan kabur, rasa
bingung, cemas, rasa kantuk, banyak keringat, haus, mual dan muntah. 4,5,6,8
e.

Anti Malaria
Kina dan klorokuin adalah obat anti malaria yang biasa digunakan.

Absorpsi klorokuin setelah pemberian oral terjadia lengkap dan cepat dan makanan
mempercepat absorpsi ini. Metabolisme dalam tubuh berlangsung lambat sekali
dan metabolitnya dieksresi melalui urin. Dosis harian 300 mg menyebabkan kadar
mantap kira-kira 125 ug/l sedangkan dengan dosis oral 0,5 gr tiap minggu dicapai
kadar plasma antara 150-250 ug/l.6
Untuk terapi supresi diberikan klorokuin difosfat 0,5-1 gr sekali seminggu
pada hari yang tetap, sejak 1 minggu sebelum seseorang menuju ke daerah
endemik dan diteruskan sampai paling sedikit 6 minggu setelah meninggalkan
tempat dan pada anak-anak 5 mg/kgBB dengan cara yang sama dan serangan
klinik diatsi dengan dosis awal 1 gr disusul dengan 0,5 gr setelah 6 jam dan 2 hari
berikutnya sehingga total 2,5 gr dalam 3 hari. Dosis boleh diulang dalam 6 jam
dengan syarat dalam 24 jam tidak melebihi 800 mg klorokuin basa.6
Kina adalah alkaloid penting yang diperoleh dari kulit pohon sinkona. Kina
digunakan dalam terapi malaria. Untuk pemberian oral dikenal 2 regimen dosis
yaitu garam kina 3 kali sehari 650 mg selama 7-10 hari bersama 3 tablet Fansidar
dosis tinggal, garam kina 3 kali sehari 650 mg selama 7-10 hari bersama tetrasiklin
4 kali sehari 250 mg selam 7 hari. Dosis kina untuk anak-anak 25 mg/kgBB hari
yang diberikan sebagai dosis terbagi seperti orang dewasa, dosis suntikan atau
infus pada dewasa 10-20 mg/kgBB garam kina dilarutkan dalam 500 ml NaCL dan
dekstrosa 5 % yang di infus perlahan selam 4 jam dan dosis untuk anak-anak 12,5
mg/kgBB/hari maksimum perhari 25mg/kgBB.6
Efek ototoksisitasnya berupa gangguan pendengaran sensorineural dan
tinitus. Kuinin dapat menyebabkan sindroma berupa gangguan pendengaran
sensorineural, tinnitus dan vertigo. Tetapi bila pengobatan dihentikan biasanya

16

pendengaran akan pulih dan tinitusnya akan hilang. Studi terbaru menyatakan
bahwa kuinin mengganggu motilitas sel-sel rambut. Pada pemakaian klorokuin
pada dosis tinggi (lebih dari 250 mg sehari) atau penggunaan lama (diatas 1
tahun), efek sampingnya lebih hebat, yaitu rambut rontok, tuli menetap, dan
kerusakan menetap.
Perlu dicatat bahwa kina dan klorokuin dapat melalui plasenta. Pernah ada
laporan kasus tentang tuli kongenital dan hipoplasi koklea karana pengobatan
malaria waktu ibu sedang hamil. 4,6,8
f.

Anti Kanker
Neurotoksik atau neuropari perifer terjadi tergantung pada dosis dan durasi

penggunaan obat. Mekanisme ayang terjadi adalah degenerasi aksonal dengan


kerusakan pada nervus sensorik. Toksisitas dapat terjadi pertama kali pada dosis
200 mg/m2, dengan pengkuran toksisitas terjadi pada dosis > 350 mg/m2 . Proses
ini irreversibel dan progresif pada terapi yang terus-menerus. Otokoksisk terjadi
pada 10% - 30% dan bermanifestasi pada kehilangan pendenganran nada tinggi,
oleh karena itu audiografi dasar harus dilakukan.
Pengunaan dosis normal pada anak adalah mulai dari 30-100 mg/m2 sekali
tiap 2-3 minggu, pada tumor otak berulang dosisnya 60 mg/m2 sekali sehari untuk
2 hari konsekuetif tiap 3-4 minggu.

Anonimous. 2011. Vancomycin. Diunduh dari http://drugsarea.com/Dets-

Drugs/Vancomycinpd.html

Walaupun obat anti kanker pernah dilaporkan bersifat ototoksik, obatobatan tersebut sangat jarang ditemukan sebagai satu-satunya penyebab gangguan
vestibuler. Cisplatin adalah anti kanker yang paling luas penggunaannya, namun
sayangnya bersifat kokleotoksik dan nefrotoksik. Toksisitas cisplatin sinergis
dengan gentamisin dan pada dosis tinggi cisplatin telah dilaporkan dapat
menyebabkan tuli total. Pada binatang percobaan, ototoksisitas cisplatin
berhubungan dengan peroksidasi lipid. Carpolatin dan cisplatin diklasifikasikan
sebagai ankylating agents, keduanya merusak sel-sel kanker (dan beberapa sel
tubuh yang sehat juga ikut rusak) dengan cara merusak DNA dari sel tersebut.
Gejala yang ditimbulkan cisplatin sebagai ototoksisitas adalah tuli
subjektif, tinnitus dan otalgia, tetapi dapat juga disertai dengan gangguan

17

keseimbangan. Tuli biasanya bersifat bilateral dimulai dengan frekuensi antara


6 KHz dan 8 KHz, kemudian pada frekuensi yang lebih rendah. Tinnitus
biasanya samar-samar, bila tuli ringan mak a akan pulih pada penghentian
pengobatan, tetapi bila tulinya berat biasanya menetap. 4,8,10
g.

Obat Topikal Telinga


Banyak obat tetes telinga mengandung antibiotika golongan

aminoglikosida seperti neomisin dan polimiksin B, keduanya memiliki efek


neurotoksik dan nefrotoksik. Obat-obatan tersebut menjadi ototoksik bila
diberikan pada pasien dengan perforasi membran timpani. Neomisin tetes
telinga pernah dilaporkan mengakibatkan hilangnya pendengaran yang relatif.
Seharusnya obat tetes telinga golongan aminoglikosida digunakan terhadap
infeksi telinga luar.
Terjadinya ketulian oleh karena obat Nomisin dan polimiksin B terjadi
karena obat tersebut dapat menembus tingkap bundar. Walaupun membran
tersebut pada manusia lebih tebal 3 kali dibandingkan pada Baboon (yaitu sekitar
+/- > 65 mikron, tetapi dari hasil penelitian masih dapat ditembus obat-obatan
tersebut.
Derivat-derivat Penisilin seperti ticarsilin memiliki efek antibakterial yang
kuat tetapi juga ototoksik. Florokuinolon, siprofloksasin dan ofloksasin aktif
dalam membasmi bakteri yang mengakibatkan OMSK. Uji klinik dan uji
pada hewan menyebutkan bahwa siprofloksasin dan ofloksasin tidak
memiliki bukti yang signifikan menyebabkan ototoksik. Ofloksasin topikal
biasanya dikombinasikan dengan Cortisporin Otic Suspension (COS) dan obat
tetes mata gentamisin. Sel rambut utama dapat rusak yang disebabkan oleh COS
dengan kehilangan sekitar 65%. Ofloksasin meskipun diberikan tiga kali sehari
tidak menghasilkan kerusakan koklear yang berarti. 4,5
h. Obat obat Lainnya
Obat anti impotensi dicurigai menyebabkan efek ototoksik.
Badan Pengawas Obat di Amerika Serikat (FDA) bulan Oktober 2007
telah mengeluarkan peringatan adanya efek samping obat-obatan

18

tersebut, yakni bisa menyebabkan gangguan pendengaran.


Kendati

belum

ditemukan

kaitan

pasti

antara

obat

anti

impotensi dengan gangguan pendengaran, namun FDA tetap memutuskan


mengeluarkan peringatan tersebut. Pasalnya, sejak tahun 1996 telah ad a 29
laporan yang masuk dari para pasien. Selain obat anti impotensi, obat
darah tinggi, Revatio, juga dilaporkan memiliki efek samping sama,
mengingat obat , tersebut memiliki bahan aktif yang sama dengan viagra.
Sejauh ini laporan yang masuk menyebutkan gangguan pendengaran
terjadi pada satu telinga dan sepertiga kasus hanya bersifat sementara.
FDA juga meminta agar mereka yang mengalami gejala gangguan
pendengaran segera memeriksakan diri ke dokter. 12

2.7 Penatalaksanaan
Tuli yang diakibatkan oleh obat-obat ototoksik tidak dapat diobati. Bila
pada waktu pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam
dapat diketahui secara audiometrik, maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut
harus segera dihentikan. Berat ringan ketulian yang terjadi tergantung kepada
jenis obat, jumlah dan lamanya pengobatan. Kerentanan pasien termasuk yang
menderita insufisiensi ginjal dan sifat obat tersendiri. Apabila ketulian sudah
terjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi antara lain dengan alat Bantu dengar
(ABD), psikoterapi, auditory training, termasuk cara menggunakan sisa
pendengaran dengan alat bantu dengar, belajar komunikasi total dengan
belajar membaca bahasa isyarat. Pada tuli total bilateral dapat dipertimbangkan
pemasangan implan koklea. 10, 11

2.8 Pencegahan
Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik, maka
pencegahan menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk
mempertimbangkan penggunaan obat-obat ototoksik, menilai kerentanan pasien,

19

monitoring ketat level obat dalam serum dan fungsi ginjal harus baik sebelum,
selama dan setelah terapi. Cara lain adalah dengan mengukur fungsi audiometri
sebelum terapi, memonitor efek samping secara dini, yaitu dengan memperhatikan
gejala-gejala keracunan telinga dalam yang timbul seperti tinnitus, kurang
pendengaran dan vertigo. 11, 2010
Pada pasien-pasien yang telah mulai menunjukkan gejala tersebut diatas
harus dilakukan evaluasi audiologik dan segera menghentikan pengobatan dan
baiknya antibiotik yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran baiknya tidak
diberikan pada wanita hamil, berusia lanjut dan orang-orang yang sebelumnya
pernah menderita ketulian dan sebaiknya dilakukan pemantauan terhadap kadar
obat dalam darah jika memungkinkan baik sebelum dan selama pengobatan
berlangsung.8,11

2.9 Prognosis
Prognosis sangat tergantung kepada jenis obat, jumlah dan lamanya
pengobatan, kerentanan pasien, adanya faktor resiko seperti gagal ginjal akut
ataupun kronis dan penggunaan obat ototoksik yang lain secara bersamaan akan
tetapi pada umumnya prognosis tidak begitu baik dan malah makin memburuk. 10,
11

BAB III
KESIMPULAN
Ototoksisitas adalah kerusakan koklea atau saraf pendengaran dan

organ

vestibuler yang berfungsi mengirimkan informasi keseimbangan dan


pendengaran dari labirin ke otak yang disebabkan oleh zat-zat kimia atau toxin
(obat-obatan).
20

Efek utama dari obat-obat ototoksik terhadap telinga adalah hilangnya sel-sel
rambut yang dimulai dari basal koklea, kerusakan seluler pada stria
vaskularis, limbus spiralis dan sel-sel rambut koklea dan vestibuler. Yang
menyebabkan gangguan pendengaran frekuensi tinggi yang dapat berlanjut ke
frekuensi rendah.
Tinitus dan vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas. tinitus cirinya
kuat dan bernada tinggi, berkisar antara 4 KHz sampai 6 KHz serta biasa
bilateral, gejala lainnya juga terdapat gangguan keseimbangan badan, sulit
memfiksasi pandangan, terutama setelah perubahan posisi, ataksia dan
oscillopsia tanpa adanya riwayat vertigo sebelumnya.
Obat obat yang sering menyebabkan Ototoksik diantaranya :
a. Golongan Aminoglikosida ( Streptomisin, Dihidrostreptomisin, Neomisin,
Gentamisin, Kanamisin )
b. Diuretik ( Asam Etakrinat dan Furosemid )
c. Salisilat ( aspirin )
d. Anti Malaria ( Kina dan klorokuin )
e. Anti kanker ( Cisplastin )
f. Obat topikal telinga
Pencegahan dengan mempertimbangkan penggunaan obat-obat ototoksik,
menilai kerentanan pasien, monitoring ketat level obat dalam serum dan
fungsi ginjal harus baik selama dan setelah terapi, mengukur fungsi
audiometri sebelum terapi, memonitor efek samping secara dini
Berat ringan ketulian yang terjadi tergantung kepada jenis obat, jumlah dan
lamanya pengobatan jenis obat, lamanya pengobatan, kerentanan pasien,
adanya faktor resiko seperti gagal ginjal akut ataupun kronis dan penggunaan
obat ototoksik.
Apabila ketulian sudah terjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi antara
lain dengan alat Bantu dengar (ABD), psikoterapi, auditory training,
termasuk cara menggunakan sisa pendengaran dengan alat bantu dengar,
belajar komunikasi total dengan belajar membaca bahasa isyarat. Pada tuli
total bilateral dapat dipertimbangkan pemasangan implan koklea

21

22

Anda mungkin juga menyukai