04 PPNA - Nyeri Pasca Bedah PDF
04 PPNA - Nyeri Pasca Bedah PDF
PERMASALAHAN
Pada tahun 1990, The Royal Collage of Surgeons (RCS)
melaporkan nyeri setelah pembedahan berkisar 30-70% dengan derajat
sedang sampai berat. Kajian terbaru menemukan bahwa meskipun
insidensi nyeri pasca bedah telah berkurang 2%/tahun pada 30 tahun
terakhir, namun 30% pasien masih merasa nyeri sedang dan 11%
mengeluhkan nyeri berat.
Banyak pasien telah menikmati kemajuan pengetahuan,
keterampilan dan teknologi canggih yang diterapkan pada pembedahan
dewasa ini. Namun penatalaksanaan nyeri yang optimal masih sering
dilupakan. Meskipun pengetahuan tentang patofisiologi nyeri dan
farmakologi analgesik serta teknik pengendalian nyeri telah mengalami
kemajuan, banyak pasien masih menderita nyeri setelah pembedahan.
Dokter dan perawat seringkali kurang adekuat menangani nyeri
pasca bedah karena berbagai sebab. Salah satunya adalah karena
kurangnya pengetahuan mengenai rentang dosis efektif dan lama kerja
opioid, serta adanya ketakutan yang tidak beralasan akan terjadinya
depresi pernafasan dan ketergantungan obat pada pasien yang mendapat
terapi opioid.
Dengan menggunakan pengetahuan, obat-obatan dan teknik yang
kini tersedia, semua pasien dengan nyeri pasca bedah seharusnya dapat
menikmati analgesia yang efektif.
FAKTOR-FAKTOR YANG
NYERI PASCA BEDAH
MEMPENGERAHUI
DERAJAT
III
34
Jenis Pembedahan
- Luas luka, banyaknya jaringan yang cedera
- Otot yang teriris atau cara insisi
- Teknik, kehalusan irisan dan tarikan pembedahan, serta jenis jahitan
Daerah Pembedahan
- Gerakan jaringan yang cedera (seperti poembedahan daerah dada dan
abdomen bagian atas)
- Edema pada ruang-ruang tubuh (seperti total knee replacement, TKR)
Faktor-faktor Pasien
- Usia, jenis kelamin, kondisi medis dan derajat emosional
- Alasan untuk/keluaran pembedahan
- Sumber stress lain: mual, kurang tidur, keributan
- Kondisi di rumah, gelisah karena keluarga, pekerjaan
Latar Belakang Budaya
- Respon terhadap penyakit, terapi, dan nyeri
EFEK SAMPING NYERI PASCA BEDAH
Respon fisiologis terhadap luka atau stress bisa berupa gangguan
fungsi pulmonal, kardiovaskuler, gastrointestinal, uriner, metabolisme
dan fungsi otot serta perubahan neuroendokrin dan metabolik.
Pembedahan pada daerah abdomen atas atau toraks menyebabkan
perubahan fungsi paru, yaitu penurunan kapasitas vital, volume tidal,
volume residual, kapasitas residual fungsional dan volume ekspirasi
paksa satu detik. Terjadi juga peningkatan tonus otot abdomen dan
penurunan fungsi diafragma. Semua ini menyebabkan penurunan
komplians paru-paru, splinting otot pernafasan, kesulitan bernafas dalam
atau batuk-batuk kuat, dan pada beberapa kasus berlanjut menjadi
hipoksemia, hiperkarbia, retensi sekret, atelektase dan pneumonia.
Meningkatnya tonus otot juga meningkatkan konsumsi oksigen dan
produksi asam laktat.
III
35
III
36
Dalam memilih teknik yang terbaik perlu dipertimbangkan faktorfaktor : klinis, pasien dan institusi.
a.
Faktor klinis
Jenis pembedahan tertentu diketahui menyebabkan nyeri
yang lebih hebat dari pembedahan lain, misalnya bedah toraks atau
abdomen akan lebih nyeri dari pembedahan pada tangan atau kaki.
Perbedaan ini harus dikenali, demikian juga berbagai pilihan teknik
yang bisa digunakan. Sebagai contoh, PCA akan menghasilkan
analgesia yag lebih baik dari pemberian opioid IM bila perlu,
namun demikian epidural opioid analgesia (EOA) masih lebih
unggul. Pada pasien tertentu, analgesia optimal yang dihasikan
oleh EOA mungkin sangat diperlukan seperti pada nyeri hebat
yang menggangu fungsi nafas (fraktur iga, bedah toraks) atau
pasien dengan kondisi medis (obesitas, insufiensi respirasi).
Pemberian opioid IV secara intermitten, kontinyu atau
menggunakan PCA mungkin diperlukan pada keadaan tertentu.
Teknik ini tidak memerlukan tambahan waktu dan keterampilan
dari anestesiologis dalam memasang kateter epidural. Perlu
dipertimbangkan personil yang akan memberikan dosis injeksi
melalui kateter epidural, dengan pelatihan yang cukup pekerjaan
ini dapat didelegasikan kepada perawat ruangan.
Pada pasien dengan riwayat kecanduan atau toleransi
terhadap opioid, EOA saja seringkali kurang memberikan hasil
optimal. Pemberian kombinasi opioid dengan anestetik lokal
konsentrasi rendah akan memberikan hasil yang lebih memuaskan.
Pasien dengan riwayat koagulopati atau yang dijadwalkan
akan mendapat antikoagulan selama operasi kardiak atau vaskuler
merupakan masalah tersendiri. EOA akan sangat membantu
mengurangi nyeri pasca bedah, namun apakah teknik ini aman
untuk kelompok pasien tersebut ? Tidak ada jawaban pasti,
masing-masing pasien harus dinilai tersendiri , bila keuntungan
III
37
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
III
58
Masalah :
Wanita usia 69 tahun dengan karsinoma esofagus menjalani operasi
esofago-gastrektomi yang memerlukan insisi abdomen dan toraks.
Setelah operasi yang berlangsung 11 jam, pasien dirawat di ICU
dalam keadaan terintubasi untuk monitoring dan ventilasi mekanik.
Penatalaksanaan :
Sebelum pembedahan dilakukan pemasangan kateter epidural
torasik. Dua jam sebelum operasi berakhir, diberikan morphine
epidural 2 mg, dan instruksi untuk mengulang dosis setiap 6-12 jam
tergantung kebutuhan pasien. Pada saat diamati terdapat takikardia
dan pasien gelisah karena kesakitan, dosis dinaikkan menjadi 3 mg.
Berapa waktu kemudian pasien mulai terlihat tenang dan dengan
tulisan tangan menyatakan bahwa tidak merasa sakit lagi. Setelah
mendapat bantuan ventilator selama 8 jam, pasien diekstubasi,
mendapat fisioterapi dan dapat pindah ke kursi tanpa dibantu.
Pasien dipindahkan ke bangsal 24 jam setelah pembedahan dan
morphine epidural dilanjutkan selama 4 hari. Setelah itu pasien
tetap merasa bebas nyeri dengan kodein 60 mg tiap 4 jam diberikan
melalui selang nasogastrik.
b.
Analisa :
Morphine epidural dipilih karena memberikan analgesia kuat untuk
mengantisipasi nyeri pasca bedah hebat dari jenis operasi ini.
Komunikasi dengan pasien juga sudah diperkirakan sulit karena
pasien akan tetap terintubasi setelah operasi. Nyeri pada saat
stimulasi dapat segera dikenali dan dosis morpine dinaikkan sesuai
dengan kebutuhan. Teknik ini memungkinkan ekstubasi dini,
fisioterapi, mobilisasi dan transfer dari ICU dalam waktu singkat.
Meskipun harus menggunakan selang nasogastrik, pasien dapat
tetap bebas nyeri dengan dosis opioid oral yang diberikan.
III
57
III
yang diperoleh lebih besar dari resiko yang mungkin timbul, teknik
epidural anestesi dan analgesia dapat dipertimbangkan.
Setiap teknik penatalaksanan nyeri akut mempunyai resiko
tertentu. Pada penggunaan opioid seringkali dikhawatirkan akan
terjadinya adiksi dan depresi pernafasan. Dengan pengetahuan
yang cukup akan dosis, mula kerja, lama kerja, efek samping dan
patofisiologi dari depresi pernafasan karena opioid, penggunaan
opioid semestinya tidak lagi disertai dengan kekhawatiran yang
seringkali tidak berdasar tersebut.
Analgesia nyeri efektif berpotensi mengurangi komplikasi :
o Analgesia yang efektif membuat pasien lebih kooperatif
dengan fisioterapi, sehingga meningkatkan fungsi respirasi,
mempercepat asupan makanan, mobilisasi yang lebih baik
sehingga menurunkan risiko DVT (deep pain thrombosis).
Ada penemuan level 1 yang menunjukkan bahwa terapi yang
adekuat meningkatkan kualitas respirasi, kardiovaskuler dan
semua keluaran lain.
o Terapi lebih dini dan agresif terhadap nyeri akut akan
mencegah terjadinya nyeri kronik pasca bedah
Faktor pasien
Setiap pasien yang menjalani pembedahan harus dipandang
sebagai individu yang unik dan mungkin memiliki rasa cemas,
takut, harapan tertentu atau ingatan akan pengalaman nyeri
sebelumnya. Beberapa mungkin memiliki riwayat penggunaan
obat-obatan sebelumnya atau memiliki toleransi terhadap opioid.
Faktor-faktor tersebut penting untuk dipertimbangkan dalam
memilih metode pengendalian nyeri. Misalnya, pasien dengan
operasi mayor abdomen seharusnya akan sangat terbantu dengan
epidural morphine, akan tetapi bila pasien takut tusukan jarum
pada tulang belakang perlu dipertimbangkan metode lain untuk
penatalaksanaan nyeri pasca bedahnya.
38
c.
III
39
Penatalaksanaan :
Sebelum penutupan luka operasi, dokter bedah memberikan
infiltrasi 20 ml bupivacaine 0,25% dengan epinephrine 1 : 200.000
di daerah n. iliohipogastrik dan n. ilioinguinal. Setelah pasien mulai
sadar, diberikan dosis awal pethidine 30 mg + metamizole 500 mg
IV dilanjutkan dengan pethidine 50 mg + metamizole 1000 mg
dalam 500 cc cairan infus diberikan drip untuk 8 jam dan diulang 3
4 kali.
Analisa :
Pemberian infiltrasi anestetik lokal menghasilkan kontrol nyeri
yang cepat dan bertahan untuk beberapa jam. Pemberian dosis awal
analgetik IV diikuti dengan dosis pemeliharaan memastikan bahwa
kadar dalam darah sudah optimal pada saat efek anestetik lokal
berkurang. Delapan belas jam setelah operasi, pasien melaporkan
skor nyeri istirahat 2/10, skor nyeri pada saat batuk-batuk kuat 4/10
dan pasien dapat tidur dengan baik pada malam harinya. Analgesia
tercapai dengan efek samping atau komplikasi minimal, dan
memerlukan sarana yang biasa ada di rumah sakit serta ekonomis.
Kasus 2
III
56
Dokter meresepkan
dosis yang tidak
adekuat
Perawat tidak
memberikan obat
(utamanya opioid)
sesuai jadual
sehingga dosis
tidak cukup
Penyebab
- Staf tidak
menanyakan pasien
mengenai nyeri
mereka
- Pasien tidak
melaporkan nyeri
- Pasien lebih baik
merasa nyeri
daripada menjadi
pengganggu
- Takut akan efek
samping
Solusi
- Penilaian nyeri secara
regular
Pemantauan tanda
vital secara teratur
Takut menutupi
tanda-tanda fisik lain
untuk penegakan
diagnosis
Edukasi: titrasi
analgesia secara teliti
tidak menghambat
penegakan diagnosis
Memakan waktu
untuk pemberian
obat
PCA (patient
controlled analgesia)
Pemantauan pedoman
dan prosedur yang
tepat untuk terapi
efek samping
Kasus 1
Masalah :
Laki-laki berusia 41 tahun menjalani operasi hernia elektif dengan
anestesi umum.
III
55
III
40
Profilaksis efek
samping secara
regular
Memberi infromasi
yang jelas pada
pasien
Regimen analgesik
tradisional yang
kaku
Analgesia yang
diresepkan pro re
nata (pm) (bila
perlu)
Tidak diberikan
sampai pasien
merasa nyeri
sehingga pencegahan
nyeri selalu gagal
Penemuan (evidence)
lokal berdasarkan
pedoman analgesia
Pemberian analgetik
secara teratur
III
41
III
54
Analgesia Epidural
Epidural memiliki manfaat yang besar, namun memiliki risiko
signifikan.Efektivitas teknik ini sangat baik namun menuntuk
pemantauan dan perawatan yang terampil. Pemantauan, cara pemberian,
dosis harus ditetapkan pada pedoman lokal.
Efek analgesia epidural
- Blok sensoris memberikan analgesia kualitas tinggi. Teknik ini
mengurangi risiko sedasi, depresi napas, dan mual terkait opioid
sistemik.
- Blokade simpatis menyebabkan vasodilatasi. Akibatnya terjadi
hipotensi jika blokade meluas sampai ke outflow simpatis (T1-L2)
(utamanya pada pasien dengan hipovolemia)
- Blokade motorik dapat membuat pasien merasa lemah
Manfaat analgesia epidural
- Analgesia yang sangat baik dapt tercapai tanpa penggunaan opioid
sistemik. Pasien juga merasa nyaman. Sangat berguna pada
pembedahan yang melibatkan dada, punggung, abdomen, dan kaki.
- Kombinasi opioid dengan anestetik local bekerja secara sinergis
untuk menghasilkan analgesia yang lebih baik dengan efek samping
yang minimal
- Mobilisasi menjadi lebih cepat, pasien dapat batuk dan kooperatif
dengan fisioterapi. Ini utamanya berguna pada pasien dengan
penyakit system pernapasan, atau telah menjalani pembedahan
torasik atau abdomen atas.
- Kajian terbaru menunjukkan perbandingan pasien yang menerima
epidural dengan control dan menemukan bahwa mortalitas berkurang
sampai 1/3, embolus berkurang 55%, infeksi pernapasan berkurang
39%, dan insidensi infark miokard dan gagal ginjal juga berkurang.
(5)
III
53
III
42
III
43
III
52
Jalur Lain
- Opioid intratekal juga memberikan efek analgesia yang lama
- Opioid transdermal dan sediaan slow release memiliki waktu paruh
yang lama dan tidak sesuai untuk terapi nyeri akut
- Jalur baru seperti bukkal dan intranasal bisa berguna
Anestetik Lokal
Anestetik lokal memberikan efek pereda nyeri total untuk sumber
nyeri. Umumnya digunakan di kamar operasi dan dapat dilanjutkan
sampai periode pasca bedah.Durasi kerja anestetik local yang umum
digunakan sekitar 2-6 jam.Untuk efek yang lebih lama, injeksi analgesia
berulang, atau infus kontinyu seringkali dibutuhkan.
Infiltrasi Luka
Infiltasi luka telah terbukti efektif.Mudah dilakukan, namun
efeknya sering hilang sebelum nyeri reda.Karena itu, analgesic lain harus
diberikan sebelum efeknya diperkirakan berakhir.
Topikal
Anestetik local dapat diberikan dalam bentuk gel; contohnya
untuk punksi vena pada anak, atau di atas permukaan tubuh, transuretra,
dan bedah mata.Metode ini sangat mudah, namun kerja singkat.
Blokade Saraf Perifer dan Blokade Pleksus Saraf
Teknik ini memberikan control nyeri yang sangat baik utamanya
untuk bedah tungkai. Kateter dapat digunakan untuk memperpanjang efek
control nyeri pasca bedah, namun kateter terebut seringkali bergeser
sehingga analgetik rescue terkadang diperlukan. (4)
III
51
III
44
Pemantauan
TD, HR, RR, skor nyeri,
sedasi dan mual, cek SpO2
dan pantau secara kontinyu
jika <95%
Pemantauan Tambahan
Opioid intramuskuler
PCA
Epidural
Interval (Frekuensi)
Setiap jam sampai stabil,
kemudian setiap 4 jam
emosi yang terkendali dalam penggunaan alat ini. Saat PCA terpilih,
parameter berikut ini harus diperhatikan (3):
Bolus
- Sejumlah dosis obat diberikan saat pasien menekan tombol
Durasi dosis
- Beberapa alat mampu memberikan bolus selama periode tertentu
- Status hantaran ke pasien sesuai kemauan pasien, namun
pemberian 2-3 menit dapat meminimalkan keluha mual
Observasi kontinyu
Blok motorik dan
sensoris
Dosis kumulatif obat
epidural, suhu
Inspeksi tempat insersi
kateter
Jika terjadi perubahan kondisi pasien, tingkatkan frekuensi observasi hingga jam
Lock-out time
- Periode dimana alat tidak akan memberikan dosis tambahan saat
tombol ditekan. Biasanya 5-10 menit
- Mencegah pemberian dosis yang terlalu sering
Background
- Infus kontinyu selain dosis bolus
- Tidak rutin pada pasien dewasa
- Tidak ada perbaikan control nyeri namun meningkatkan efek
samping
METODE
DEWASA
III
UNTUK
SELFT-REPORTING
PADA
PASIEN
45
III
50
Oral
- Morfin dapat diberikan melelui mulut.Jalur ini cocok untuk pasien
dengan fungsi gastrointestinal (GI) yang normal dan mereka yang
membutuhkan analgesia yang stabil.Bagaimanapun, bioavailabilitas
jalur ini sedikit bervariasi. (2)
Injeksi i.m.
Metode ini masih tradisional namun aman dan familiar.Bila
digunakan secara optimal teknik ini efektif seperti PCA.Namun,
seringkali gagal karena hanya diberikan saat pasien telah merasa sakit
karena dosisnya tidak adekuat lagi karena ada jeda.Konsentrasi
plasma bervariasi dari berlebihan (dengan efek samping) sampai subterapeutik (dengan breakthrough pain). (2)
Infus intravena
Infus secara kontinyu mengatasi masalah kadar obat yang
bervariasi dalam darah dan jeda pemberian opioid secara i.m. Jalur ini
memerlukan dosis inisial untuk mencapai kadar darah steady-state.
Kecepatan infus disesuaikan dengan respon, namun perubahan dosis
secara cepat tidak dapat dilakukan.Terdapat risiko kumulasi dan
overdosis jika infus diberikan dengan kecepatan konstan tanpa
penyesuaian dengan respon pasien.Teknik ini umumnya cocok untuk
pasien di ICU, HCU dan perawatan terminal. (2)
PCA (Patient controlled analgesia)
PCA merupakan teknik dimana pasien memberikan sejumlah
kecil analgesik terhadap dirinya sendiri bila merasa perlu.Ini mengatasi
masalah pemberian perawat yang sifatnya intermitten.Teknik terbukti
memberikan analghesia dan kenyamanan pasien yang lebih baik dengan
insidensi efek samping yang rendah.Namun demikian, alat PCA masih
mahal, staf perlu dilatih dan pasien harus yang intelektual, memiliki
III
49
Ekspresi
Sulit tidur
0
Tidak
Tidak
1
Keras
<30%
2
Tidak dapat dihibur
>30%
Laju jantung
dan tekanan
darah sama atau
kurang dari nilai
preoperative
Laju jantung
dan tekanan
darah
meningkat
<20% nilai
preoperatif
Mengerut
Kadangkadang
Biasa
Tidak
Mengerut/menggerutu
Terbangun terus
III
46
Skor Nyeri: 0 = tidak nyeri, 1 = nyeri ringan, 2 = nyeri sedang, 3 = nyeri berat, 4 = nyeri
sangat berat.
s.c. = subkutan; po = per oral
III
47
III
48