Anda di halaman 1dari 4

NYERI PASCA BEDAH

Nyeri bukanlah akibat sisa pembedahan yang tak dapat dihindari tetapi ini merupakan
komplikasi bermakna pada sebagian besar pasien. Definisi dari nyeri itu sendiri adalah
pengalaman sensorik dan motorik yang tidak menyenangkan, yang berhubungan dengan
jaringan yang rusak, cenderung rusak atau segala sesuatu yang menunjukkan kerusakan.
Penanggulangan nyeri pasca bedah yang efektif merupakan salah satu hal yang penting dan
menjadi problema bagi ahli bedah dan anestesi. Hal tersebut dikarenakan berbagai hal
sebagai berikut:
Nyeri pasca bedah sangat bersifat individual, tindakan yang sama pada pasien yang
kurang lebih sama keadaan umumnya tidak selalu mengakibatkan nyeri pasca bedah
yang sama. Pengalaman penderita terhadap derajat atau intensitas nyeri pasca bedah
sangat bervariasi.
Banyak penderita yang kurang mendapat terapi yang adekuat untuk mengatasi nyeri
pasca bedah.
Bebas nyeri dapat mengurangi komplikasi pasca bedah. Timbulnya nyeri, derajat
maupun lamanya pengalaman nyeri dari penderita setelah operasi yang berlainan tidak
dapat diketahui dengan pasti.
Dari penelitian-penelituian yang dilakukan ternyata, insidensi, intensitas, dan lamanya nyeri
pasca bedah sangat bervariasi dari satu penderita ke penderita yang lain, dari rumah sakit
yang berbeda apalagi dari negara yang berbeda. Faktor-faktor yang sangat mempengaruhi
kwalitas, intensitas dan lamanya nyeri pasca bedah dapat disebutkan sebagai berikut :
Lokasi operasi, jenis operasi dan lamanya operasi serta berapa besar kerusakan akibat
operasi tersebut.
Pelaksanaan perioperatif dan premedikasi.
Adanya komplikasi yang erat hubungannya dengan pembedahan.
Pengelolaaan anestasi baik sebelum, selama, dan sesudah pembedahan.
Kwalitas dari perawatan pasca bedah.
Suku, ras, warna kulit, karakter dan sosiokultural penderita
Jenis kelamin, perempuan lebih cepat merasakan nyeri
Umur, ambang rangsang orang tua lebih tinggi.
Kepribadian, pasien neurotik lebih merasakan nyeri bila dibandingkan dengan pasien
dengan kepribadian normal
Pengalaman pembedahan sebelumnya, bila pembedahan di tempat yang sama rasa
nyeri tidak sehebat nyeri pembedahan sebelumnya.
Motivasi pasien, pembedahan paliatif tumor ganas lebih nyeri dari pembedahan tumor
jinak walaupun luas yang diangkat sama besar.
Fisiologi dan psikologi dari penderita.
Dari segi pembedahan, lokasi nyeri pasca bedah yang paling sering terjadi dan sifat nyerinya
paling hebat (severe) adalah sebagai berikut :
Operasi daerah Thocaro abdominal
Operasi ginjal
Operasi Columna vertebralis (spine)
Operasi Sendi besar
Operasi tulang panjang (large Bone) di extrimitas

Penderita setelah selesai mengalami bedah thorax, abdomen maupun operasi ginjal, bila
penderita batuk, tarik nafas dalam atau gerakan tubuh yang berlebihan akan timbul nyeri yang
hebat.
Macam luka pembedahan (insisi) juga sangat berperan dalam timbulnya nyeri pasca bedah,
pada luka operasi atau insisi subcostal (Cholecystectomy) kurang menimbulkan rasa nyeri
pasca bedahnya dibandingkan luka operasi midline, pada insisi abdomen arah transversal
akan terjadi kerusakan syaraf intercostalis minimal. Pada pembedahan yang letaknya di
permukaan (superficial), daearah kepala, leher, extrimitas, dinding thorax dan dinding
abdomen rasa nyerinya sangat bervariasi;
Nyeri hebat (severe) 5 15 % dari penderita
Nyeri yang sedang (moderate) 30 50 % dari penderita.
Nyeri yang ringan atau tanpa nyeri : 50% dari penderita, dimana penderita tidak
memerlukan narkotik.
Terdapat pengecualian pada operasi tandur kulit (skin graft) yang luas dan radical
mastectomy, nyeri pasca bedahnya termasuk kategori nyeri yang hebat (severe).
Dari segi penderita, timbulnya dan beratnya rasa nyeri pasca bedah juga sangat dipengaruhi
fisik, psikis atau emosi, karakter individu dan sosial kultural maupun pengalaman masa lalu
terhadap rasa nyeri. Derajat kecemasan penderita pra bedah dan pasca bedah juga mempunyai
peranan penting. Misalnya, takut mati, takut kehilangan kesadaran, takut akan terjadinya
penyulit dari anestesi dan pembedahan, rasa takut akan rasa nyeri yang hebat setelah
pembedahan selesai.
Penderita yang masuk rumah sakit akan timbul reaksi cemas/strees. Dan keadaan ini
membentuk pra kondisi nyeri pasca bedah. Keadaan tersebut digolongkan hospital stress.
Pada golongan penderita dengan hospitel strees tinggi cenderung mengalami nyeri lebih
hebat daripada golongan hospitel strees rendah. Faktor -faktor hospitel strees :
a. Rasa tidak bersahabat disekelilingnya.
b. Pemisahan dengan keluarga, orang tua, suami/istri.
c. Informasi yang kurang atau tidak jelas.
d. Pengalaman masa lalu tentang penanggulan nyeri yang tidak adekuat.
Faktor lain yang berperan dalam nyeri pasca bedah adalah pengelolaan baik sebelum, sedang
dan sesudah pembedahan dan teknik anestesi yang dilakukan pada penderita.
Pengelolaan profilaksis yaitu pengelolaan penderita pada persiapan pembedahan dan
perawatan pasca bedah yang baik. Dari segi anestesi trauma pemasangan pipa endotracheal
(intubasi), nyeri otot akibat pemberian succinyi cholin. Dari segi bedah, keterampilan dari
ahli bedah, jenis pembedahan juga sangat berperan.
Mekanisme terjadinya nyeri pasca bedah dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada dasarnya
mirip dengan timbulnya luka atau suatu penyakit, yang mengakibatkan kerusakan jaringan
lokal dengan disertai keluarnya bahan-bahan yang merangsang rasa nyeri (algogenik
subtance) seperti; kalium dan ion hidrogen, asam laktat, serotonin, bradikinin, prostaglandin.
Inflamasi perifer menghasilkan prostaglandin dan berbagai sitokin yang menginduksi COX-2
setempat (lokal). Selanjutnya akan mensensitisasi nociceptor perifer yang ditandai dengan
timbulnya asa nyeri. Sebagian sitokin melalui aliran darah sampai ke sistem syaraf pusat

meningkatkan kadar interleukin-1 yang pada gilirannya menginduksi COX-2 di dalam neuron
otak.
Bagaimanapun, sekali enzim COX-2 dipicu berbagai aksi muncul di perifer dan susunan
syaraf pusat. Perubahan asam arakidonat menjadi prostaglandin dengan bantuan enzim
cyclooxygenase (COX) dapat dihambat dengan pemberian AINS (anti-inflamasi non-steroid)
yang juga dikenal sebagai COX-inhibitor. Pembentukan prostaglandin dapat ditingkatkan
oleh bradikinin dan interleukin-1. Di perifer, prostaglandin dapat merangsang reseptor EP1
yang meningkatkan sensasi nyeri dan reseptor EP4 yang menurunkan sensasi nyeri. Namun
prostaglandin yang dibentuk melalui aktivasi COX-2 berperan dalam percepatan transmisi
nyeri di syaraf perifer dan di otak, terutama dalam peran sentralnya memodulasi nyeri
hiperalgesia dan alodinia.
Oleh karena kejadian nyeri inflamasi bukan hanya berkaitan dengan peningkatan produksi
prostaglandin oleh aktivasi COX-2, AINS yang ideal hendaklah lebih nyata menghambat
aktivitas COX-2 dan juga mampu menghambat aktivitas mediator-mediator inflamasi lainnya
seperti bradikinin, histamin dan interleukin, serta mampu merembes ke cairan serebrospinal.
Timbulnya spasme pada otot-otot tubuh dengan akibat turunnya compliance atau kelenturan
dinding thorax. Keadaan tersebut merupakan lingkaran setan, (nyeri-spasme otot-nyeri).
Stimulasi neuron saraf simpatik mengakibatkan meningkatnya frekwensi jantung dan stroke
volume, sehingga kerja jantung dan komsumsi oksigen dari jantung bertambah.
Terjadi pengeluaran hormon-hormon katabolik, cathecolamine, cortisol, ACTH, ADH,
glucagon dan aldosteron serta penurunan hormon anabolik insulin dan testosteron. Cortisol
merangsang nyeri yang diteruskan sampai ke cortex cerbri akan dikenal atau persepsi berupa
rasa nyeri dan manifestasinya dapat berupa suatu reaksi kecemasan dan rasa takut.
Komplikasi akibat nyeri pasca bedah juga harus diperhatikan oleh ahli anestesi. Komplikasi
tersebut bermacam-macam. Pasca bedah stroke, abdomen ataupun operasi ginjal akan terjadi
gangguan rasio ventilasi-perfusi di paru-paru (V/O ratio), apabila penderita pasca bedahnya
disertai atau mengalami distensi dari abdomen atau dipasang bandage yang ketat (gurita)
maka akan terjadi gangguan nafas yang berat.
Rasa nyeri yang bertambah hebat bila penderita batuk, tarik nafas dalam dan adanya
bronchospasme berakibat penderita takut akan mengeluarkan dahak ataupun bernafas dalam,
akibatnya akan terjadi penurunan kapasitas paru (VC), FRC, dan timbulnya hipoksemia.
Penurunan VC 40% dari pra bedah, dimulai saat 1-4 jam pasca bedah yang dipertahankan
sampai denganb 12-24 jam, selanjutnya meningkat pelan-pelan mencapai 60-70% dari
kondisi pra bedah setelah hari ke-7, selanjutnya kembali ke normal setelah beberapa minggu.
FRC menurun 70% dari pra bedah setelah 24 jam pasca bedah, dan tetap rendah dalam
beberapa hari, lalu lambat laun kembali ke normal dalam waktu 10 hari.
Terjadinya pengeluaran hormon-hormon katabolik, cathecolamine, cortisol, ACTH, ADH,
glucagon dan aldosteron serta penurunan hormon anabolik insulin dan testosteron juga
merupakan komplikasi dari pasca bedah. Hal tersebut dapat menyebabkan kadar gula darah
naik, tekanan darah naik, kebutuhan oksigen naik.

Pengelolaan nyeri pasca bedah dapat dilakukan sebagai berikut :


1. Profilaktik
Insidensi, derajat dan lamanya nyeri pasca bedah dapat dikurangi dengan persiapan
operasi dengan baik, dan perawatan pasca bedah optimal.
2. Terapi Aktif
Penanggulangan nyeri pasca bedah dapat dikurangi parsial atau total (tanpa nyeri)
dengan cara-cara berbagai berikut :
a. Obat-obat sistemik analgesik dan ajuvant
b. Analgesik regional (intra spinal opiat)
c. Analgesik regional dengan obat lokal anestesi.
d. Analgesik dengan rangsangan lsitrik (transcutancus electrical nerve stimulation =
TENS), atau dengan electroacupuncture.
e. Analgesik psikologik dengan hypnosis dan sugesti.

Anda mungkin juga menyukai