Anda di halaman 1dari 33

PERANAN MIKROFLORA RONGGA MULUT PADA KELAINAN/PENYAKIT ORGANORGAN BIBIR, MUKOSA MULUT, LIDAH, PALATUM, FARING DAN LARING

1. Pengantar umum tentang infeksi


Infeksi adalah suatu kondisi yang menyebabkan/memungkinkan mikroorganisme
patogenik menetap pada jaringan organisme pejamu. Ada beberapa macam infeksi, yaitu:
a. Infeksi primer
b. Infeksi sekunder
c. Infeksi local
d. Infeki fokal
e. Infeksi silang
f.

Infeksi nosokomial

g. Superinfeksi
Mikroorganisme/organisme patogenik yang dapat menyebabkan infeksi antara lain
bakteri, virus dan jamur. Virus dapat digolongkan menurut materi genetiknya, yaitu virus
RNA dan virus DNA. Berdasarkan multiplikasinya, virus dapat jugs diklasifikasikan sebagai
virus DNA, virus RNA, retrovirus dan virus onkogenik. Tahapan replikasi virus adalah:
1. adsorbsi
2. penetrasi
3. penelanjangan
4. sintesis protein virus
5. sintesis asam nukleat virus
6. perakitan
7. pelepasan, meliputo dua tahap, yaitu budding dan lisis.

Universitas Gadjah Mada

Tahapan-tahapan replikasi virus dapat digambarkan sebagai berikut:

Universitas Gadjah Mada

PERUBAHAN PATOLOGIS PADA MUKOSA ORAL


(perubahan mikroskopis)

EPITEL

1. hiperkeratosis
2. parakeratosis
3. akantosis
4. spongiosis
5. degenerasi hidropik
6. akantolisis
7. perluasan dari rate ridges
8. hiperplasia
9. diskeratosis
10. nekrosis
11. ulserasi
JARINGAN IKAT

1. infiltrasi sel-sel inflamatori


2. hiperplasia
3. degenerasi jaringan ikat
4. vaskularitas
5. perubahan kelenjar mucus

Universitas Gadjah Mada

ISTILAH-ISTILAH DALAM HISTOPATOLOGI

atrofi

hiperplasia

hipertrofi

anaplasia

displasia

drop-shaped rete ridges

irregular epithelia stratification

keratinisasi

hilangnya hubungan interselular

hilangnya polaritas

nuclei hiperkromatik

naiknya rasio nucleus-sitoplasmik

anisositotis/anisonukleosis

sel/nuclei pleomorfik

mitosis

posisi mitosis

mitosis yang abnormal : - ortokeratinisasi

parakeratinisasi
akantolisis

Universitas Gadjah Mada

2. Peranan bakteri, fungi, clamydia, virus, parasit pada kelainan/penyakit organorgan bibir, mukosa mulut, lidah, palatum, faring dan laring

Gangguan-gangguan yang dapat terjadi pada rongga mulut disebabkan oleh


bermacam-macam mikroorganisme termasuk bakteria, riketsial, klamidial, viral, mikotik
ataupun protozoa. Penyebaran materi penyakit dapat berlangsung pada waktu pemeriksaan
awal ataupun selama proses perawatan kedokteran gigi seperti bedah, restorasi ataupun
perawatan kesehatan mulut rutin dari pasien.
Mikroorganisme yang berperanan pada kelainan/penyakit organ-organ bibir, mukosa
mulut, lidah, palatum, faring dan laring adalah:
Golongan bakteri:

1.

Corynebacterium diphtheriae. Bakteri ini adalah penyebab penyakit diphteria .

Diptheria adalah penyakit menular, infeksi akut yang ditemukan pada anak-anak dan hanya
ditemukan pada dewasa di waktu musim dingin. Klebs-Loeffer bacillus- Corynebacterium
diphtheriae makin bertambah saat memasuki saluran pemapasan bagian atas. Biasanya
ditularkan melalui "droplet" yang terinfeksi atau kontak langsung. Aspek di mulut adalah
bercak "diptheritic membrane dimulai dari tonsil dan kadang-kadang membesar menutupi
seluruh permukaan palatum. Sudah ditemukan/diobservasi pada sisi mukosa bukal gigi yang
barn tumbuh. Sisi palatum yang lunak ada kemungkinan benar-benar lumpuh. Bila infeksi
menyebar, maka laring akan dapat tertutup oleh "pseudo-membrane". Bagian tersebut akan
membiru (odematus) yang akan menyumbat mekanisme pernafasan dan akibatnya pasien
akan mati lemas.

2.

Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini menyebabkan penyakit tuberkulosis.

Penyakit ini berawal dari bagian paru-paru., tetapi luka akibat tbc dapat terjadi di daerah
rongga mulut. Biasanya ditemukan pada daerah dasar lidah dan ditemukan saat autopsi.
Dokter gigi dapat tertular oleh penyakit ini dan biasanya akan terjadi luka pada jari tangan
dapat hanya permukaan saja ataupun lukanya dalam tetapi dengan rasa sakit seperti kalau
terjadi sakit pada ulser (=udun). Sangat mudah terjadi kesalahan diagnosa klinis antara
bentuk ulser atau.bahkan carcinoma.
Histopatologi: Secara mikroskopis lesi dari TB ini berbentuk inflamasi granulomatous dengan
tepi ulsemya menggantung secara berlebihan. Beberapa granuloma mengandung adanya
"Langenhans giant cell".

3. Mycobacterium leprae. Bakteri ini menyebabkan penyakit infeksi kronis yang


disebut Leprosy (Hansen's disease). Penyakit ini diketahui sedikit menular. Sebelumnya
mencapai proporsi epidemik tetapi sekarang hanya endemik saja di bagian di dunia ini. Luka
mulut terdiri atas tumor yang kecil seperti hanya benjolan yang disebut lepromas, yang
berkembang dibagian atas lidah, bibir ataupun palatum. Selebihnya hiperplasi gingiva dapat
Universitas Gadjah Mada

terjadi dengan terlepasnya gigi geligi. Histopatologi: Inflamasi granulomatous dimana


makrophage dengan multinucleated giants cells sangat dominant. Acid fast bacilli dapat
ditemukan diantara makrophage dan paling bagus dengan pengecatan Fite.

4. Bacillus anthracis. Bakteri ini menyebabkan penyakit antrax. Penyakit ini secara
esensial merupakan penyakit pada hewan sapi dan domba, tapi dapat mengenai manusia
melalui kontak langsung dengan hewan. Spesies bakteri ini mempunyai spora yang sangat
resisten dan dapat hidup didalam tanah selama beberapa tahun. Spora tersebut memasuki
tubuh melalui mulut ataupun lewat mukosa usus atau bahkan melalui pernafasan. Masa
inkubasi sangat pendek, sehari atau dua hari dan penyakit keras ini mengakibatkan
kefatalan pada domba atau sapi dalam satu atau dua jam atau tidak lebih dari sehari.
Penularan pada daerah mulut bisa terjadi karena penggunaan sikat gigi yang tidak steril
yang terbentuk oleh luka lepuhan yang sudah terkontaminasi oleh spora antrax. Pada
beberapa kasus, bagian palatum yang keras terinfeksi menyebabkan bengkak dan
mengeluarkan buih. Pasien menjadi demam dan daerah yang terkena akan mengalami
odematous dimana palatum dan tulang alveolus menjadi rusak / terganggu. Pada kasus ini
gigi-geligi akan tumbuh diluar Batas tanpa dukungan tulang.

5.

Francisela tularensis. Spesies ini menyebabkan penyakit tularemia (rabbit fever).

Penyakit ini menular terutama melalui kontak langsung dengan kelinci liar, tupai dan
binatang lain yang sering diajak bermain. Luka mulut tampak sebagai ulser yang nekrotik
dari mukosa atau pharing disertai rasa sakit yang sangat. Lympadenitis sebagian terjadi di
daerah bawah RA dan cervical nodes.

6.

Pseudomonas pseudomallei. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini adalah

meliodosis. Pasien yang akut akan mengalami perkembangan penyakit ini dengan tandatanda demam tinggi, diare, dan hemoptysis. Pada kasus yang kronis akan ditandai oleh
nonspesific abses pada lymph nodes atau tulang-tulang yang sering diikuti dengan drainase
dari sinus tract yang melibatkan cervicofacial area. Penyakit ini bisa ditularkan ke manusia
melalui rat flea dan nyamuk.

7.

Streptococcus beta hemoliticus. Bakteri ini menyebabkan penyakit yang disebut

sebagai scarlatina, penyakit yang terjadi awalnya pada anak-anak dimusim dingin. Spesies
bakteri ini mampu menghasilkan erythrogenic toxin. Sesudah kontak awal diikuti masa
inkubasi 3-5 hari lalu adanya pembesaran nodes limphaticus cervicalis. Manifestasi pada
mulut dikenal dengan istilah "stomatitis scarlatina". Bagian palatum bisa kongesti dengan
tenggorokan kemerahan. Awal penyakit ini ditandai dengan lidah yang terlapisi oleh jamur
bewarna putih. Secara klinis kits sebut "strawbery tongoe", tetapi lapisan penutup ini akan
cepat hilang dan organ akan menjadi merah sekali dan tampak mengkilat (glistening) dan
halus. Pada beberapa kasus, bagian mukosa bukal dan palatum memperlihatkan ulserasi
tetapi pada kasus yang biasa dalam 7-10 hari lidah akan kembali normal.
Universitas Gadjah Mada

9. Gonococcus. Penyakit yang ditimbulkan adalah gonorrhea Penyakit ini termasuk


penyakit kelamin yang dapat melibatkan prig dan wanita. Infeksi extra genital dapat terjadi
didalam mulut tetapi jarang terjadi.
Lesi dalam mulut biasanya nampak dan muncul seiring dengan perkembangan penyakit
pada alat kelaminnya, tetapi dapat juga sesudah "primary lession", beberapa bulan sampai
beberapa tahun sesudahnya. Stomatitis yang timbul dari penyakit ini tampak hampir sama
dengan kasus pada herpetic stomatitis.
10. Donovania granulomatis. Granuloma venereum (granuloma inguinale) adalah
infeksi kronis disebabkan oleh bakteri tersebut. Meskipun masih tergolong penyakit kelamin,
tetapi tidak terlalu membahayakan. Walau begitu luka akan terjadi pada bibir, mukosa bukal
dan palatum. Secara klinis penyakit ini tampak bervariasi dan dibagi dalam 3 tipe: Ulcerative,
exuberant dan cicatrical. Pada kasus selanjutnya akan terbentuk scar atau jaringan parut
dan mungkin bisa meluas sehingga membatasi pembukaan mulut, sehingga perlu adanya
pembedahan.
11. Treponema pallidum. Spesies ini tergolong dalam bakteri spirocheta. Penyakit
yang ditimbulkan adalah SYPHILIS. Syphilis adalah penyakit yang sudah berabad-abad
dengan

bermacam-macam

gambaran

klinis.

Menurut

cara

terjangkitnya,

syphilis

diklasifikasikan sebagai squired atau kongenital. Lesi pada tahap awal terjadi pada sisi
inokulasi pada penis atau vulva atau cervic (putri). Bagaimanapun juga pasti akan terjadi
juga pada bibir, iidah, palatum atau gusi bahkan tonsil. Pada kenyataannya luka yang terjadi
akibat proporsi yang berlebihan dari extragenital terjadi disekitar mulut. ini terjadi iangsung
akibat perpindahan dari Treponema palidum dari atau ke mulut. Penularan melalui ciuman,
gigitan, kontak langsung meialui alat-alat minum, alat-alat makan bahkan bekas bibir di alatalat musik maupun instrument kedokteran gigi. Mulut merupakan bagian utama dari infeksi
mikroorganisme penyebabnya dan sebagai sumber diseminasi. Pada tahap berikutnya
sesudah 6 minggu iesi oral tampak sebagai bercak mukus yang sangat banyak bewama abu
keputihan (plaknya) dan semua tidak terasa sakit.
Shypilis yang menurun ditemukan pada bayi dari ibu yang terinfeksi. Saat ini kasus
tersebut jarang terjadi tetapi gambarannya untuk membedakan seperti lengkung palatum
yang sangat tinggi, molar berbentuk muibery dan hypoplasia dari gigi incisivus dengan
bentuk seperti sekrup.
Histopatologi: Reaksi dari jaringan tersusun oleh proliferasi endarteritis, infiltrasi plasma sel
dan proliferasi sel-sel endotel. Sel plasma bersama dengan limfosit dan makrofag akan
infiitrasi pada daerah perivascular. Dengan menggunakan pengecatan khusus yaitu Warthinstarry stain maka spirochetes akan tampak.

Universitas Gadjah Mada

12. Klebsiela rhinoscieromatis. Spesies bakteri ini menyebabkan infeksi kronis yang
disebut rhinoseleroma. Lesi terjadi di bagian pernafasan bagian atas tetapi bisa juga terjadi
pada kulit, mata, telinga. Pada mulut tampak sebagai "proliferative granulomas "
Rickettsia akari. Bakteri ini menyebabkan Rickettsialpox, penyakit dengan bintikbintik merah yang menyebar hampir seluruh badan. Bakteri ini berbentuk diplobacillus yang
menyerupai streptococci. Lesi utama muncul pada sisi gigitan dari seekor tungau. Reaksi
umum yang muncul adalah demam, mengiggil dan berkeringat dengan luka di tenggorokkan
disertai sakit pada otot-otot. Dalam tempo seminggu bintik-bintik akan muncul yang
berbentuk maculopapular dan erythematous. Lesi pada mulut akan muncul yang kadangkadang disertai vesikel yang bersifat sementara dan kadang pada lidah dan palatum.

Clamidia
Mikroorganisme ini menyebabkan lymphogranuloma venereum (LGY). Infeksi ini
akan mengakibatkan lesi granulomatous yang kronik, ditularkan melalui hubungan sex dan
mengakibatkan gelembung pada slat kelamin. Manifestasi oral terjadi pada hubungan sex
yang tidak normal dengan penderita. Bibir, pipi, lidah dan dasar mulut serta mukosa juga
palatum lunak maka akan terkena. Ketika lidah terkena infeksi, sakitnya berkurang tetapi
timbul gelembung.
Golongan virus
1. Herpes. Penyakit yang sering timbul adalah herpes simplex, infeksi akut yang
sering disebut "cold sores". Beberapa lesi herpes yang muncul dimulut lebih sering disebut
herpetic stomatitis. Terjadi sering pada anak-anak dan dewasa. Gejala awal adalah demam,
iritasi, sakit kepala, nyeri dan sakit waktu menelan. Dalam beberapa hari mulut menjadi sakit
sekali, peradangan gusi dan kemungkinan bibir, palatum, mukosa bukal, lidah dan tonsil juga
menjadi sakit. Selanjutnya gelembung akan bewarna kekuningan. Penyembuhan secara
spontan dalam tempo 1-2 minggu tanpa meninggalkan luka parut.
Histopatologi: Pengenalan dini untuk mengetahui lesi ini adalah adanya bentuk gelembung
pada epitel superfisial. Gelembung cair ini ditandai dengan tersusunnya beberapa set viral
yang rusak, selebihnya tampak pada dasar vesikel. Dengan pecahnya vesikel, timbul tahap
preulcerative yang epitelnya utuh tetapi terinfeksi dan sangat tebal. Sel yang terinfeksi
menunjukkan sifat kharakteristik dengan degenerasi seperti baton dan syncitial giant cel
dapat ditemukan pada smears.

2. Streptococcus alpha hemoliticus. Penyakit yang ditimbulkan adalah Recurrent


apthous ulcer (RAU) atau canker sore. Streptococcus sanguis ini secara konsisten
diisolasi dari berbagai macam lesi, sedangkan herpes virus tidak ditemukan pada ulser ini.
Universitas Gadjah Mada

Ulser ini dapat muncul sendirian atau beberapa pada permukaan, membuat rasa sakit yang
sangat dan mengakibatkan menurunnya nafsu makan untuk beberapa hari.
Secara ktinis tidak terbentuk vesikel .
HP: Epitel tampak rusak dengan adanya infiltrasi dari leucocytes. Pada lesi yang
berkembang tampak ditutupi exudat fibrinous dan infiltrasi dari neutrophil yang tebal pada
bagian atas, lebih dalam lagi sel mononuclear dapat mendominasi. Secara keseturuhan
gambaran histologi sangat tidak cukup spesifik untuk diag nosa.

3. Behcet's syndrome, Secara ktinis dan histologi sulit dibedakan dengan


umumnya jenis apthae tetapi hubungan antara penyakit ini tidak diketahui. Beberapa pasien
dengan oral apthae bisa dan menjadi calon penderita syndormome ini. DUK paling tidak
jarang terjadi. Bagaimanapun juga syndrome ini berbeda dengan apthae yang umum terjadi
tidak hanya karena multi systemic tetapi juga dengan di dominasi pada pemuda-pemuda.
Juga secara jelas dibedakan dengan secara geograpis variasi pada prevalensinya. Penyakit
ini contohnya secara jelas mengenai sebagian penduduk Jepang. Prognosa untuk
penglihatan semakin jelek ketika didapat lesi okuler dan relatif terjadi angka kematian yang
sangat tinggi bila sudah melibatkan sytem syaraf.
REITER'S SYNDROME, ini juga tidak diketahui penyebabnya dan sudah terimplikasi
oleh PPLO (Pleuromonia-like organisms). Lesi oral terjadi mencapai 0.5 dari penderita
penyakit ini. Rasa sakit tidak begitu, tetapi tampak merah, elevasi dan granulasi atau
vesikuler terbentuk. Lesi pada lidah menyerupai peta/geographic. Secara klinis tampak
menyerupai lesi yang terjadi pada penis.
HERPANGINA, specifik penyakit virus dan ditimbulkan oleh coxcacki group A
viruses. Secara klinis tampak berukuran sedang sampai pendek dan dimulai dengan rasa
panas, sakit kepala dan sore throat. Pasien dengan cepat akan menampakkan lesi dengan
vesikuler yang tipis dengan areola merah didasari warna abu-abu. Semuanya itu terjadi pada
palatum lunak, uvula atau lidah. Biasanya berlangsung pada musim panas dan sifatnya
terbatas dan terjadi pada anak-anak.
GERMAN MEASLES (Rubeola), Penyakit epidemik yang menular dan systemik,
terutama menyerang anak-anak, masa inkubasi 8-10 hari dengan demam, batuk,
photophobia dan munculnya lesi-lesi pada kulit dan oral mukosa berukuran kecil, dan merah.
Gejala tersebut muncul dalam 1-2 hari, dan bercak-bercak ini disebut Koplik's spot.
HP: Mengakibatkan epitel sel yang sering menjadi nekrosis dan terletak /terbaring
pada epidermis yang terinflamasi yang mengandung pembuluh darah yang terdilatasi.
Lympocyt ditemukan pada penyebaran perivaskuler. Pada jaringan lympoid karakteristik
ditandai dengan makrophage yang multi nucleated yang disebut Wathin Finkeldey giant cells
(GB. 1-16)
Universitas Gadjah Mada

CHICKEN PDX (VARICELLA), ini biasanya terjadi pada anak-anak pada waktu
musim dingin dan semi. Masa inkubasi sekitar 2 minggu. Menyerupai smallpos yang sedang,
dan gejala awal adalah sakit kepala dan kehilangan nafsu makan diikuti oleh keluarnya
vesikel pada kulit. Di dalam mulut akan dijumpai banyak aphtae lesi pada mukosa bukal dan
palatum. Penyakit ini berlangsung 710 hari.

HERPES ZOSTER, adalah penyakit menular juga disebabkan oleh virus yang sama
seperti chicken pox. Lebih banyak dijumpai pada dewasa yang sudah berkontak dengan
anak-anak yang sedang menderita chickenpox. Ini sangat sakit dan tidak dapat diantisipasi.
Muncul vesikel-vesikel pada kulit dan mucosa membran dimana disuplai oleh syaraf yang
terkena. Di dalam mulut tampak lesi kelihatan biasa tetapi sangat sakit, bisa muncul di Iidah,
bukal mucosa dan uvula dan bisa juga muka akan terkena melalui nervus trigeminal.
Mumps (parotitis epidemik) adalah infeksi yang menular dapat menunjukkan
unilateral atau bilateral pembengkaan dari glandula salivarius. Biasanya melibatkan parotis,
tetapi bisa juga submaxilaris dan sublingual glands. Secara klinis ditandai dengan sakit
kepala, menggigil, demam, mutah dan rasa sakit yang khas di telinga. Virus ada di droplet
dari penderita dan penyebaran kontaminasi merupakan hal yang harus diperhatikan oleh
drg. Secara khas akan ditandai dengan perubahan serologi. Bahan-bahan pelengkap
antibodinya ke S antigen dibuat awal di penyakit ini tetapi tidak bertahan, sedangkan untuk
antigen V menetap.
HP: Gb. 14. 1

Cytomegalic inclusion diseases (salivary gland virus disease) adalah infeksi yang
ditemukan pada pasien dibawah umur 2 tahun tetapi dapat jugs ditemukan pada dewasa.
lnfeksi bersifat kongenital menghasilkan penghentian dari distensi pembuluh sel glandula
salivarius sebagai bentuk hasil dari benda-benda inclusi yang luar biasa. (GB 14.2)
Foot and mouth disease, ini disebabkan oleh infeksi virus yang jarang terjadi pada
manusia. Penularan melalui domba maupun sapi, inipun jarang terjadi tetapi akan berefek
pada manusia yang merawat binatang tersebut atau minum susunya. Gejala adalah demam,
mutah, nausea, lemas dan timbul lesi pada mukosa bukal dan pharing yang dapat pula
terjadi di bibir, lidah dan palatum.
Hand, foot and mouth disease, adalah infeksi yang bersifat epidemik disebabkan
oleh coxsackie enterovirus. Tidak ada hubungannya dengan penyakit tersebut di atas. lni
terjadi pada usia sampai 5 tahun. Ada maculopapular lesi vesicular dari kulit di tangan, kaki
dan paha, tetapi mukosa mulut menjadi sakit (lika) yang mana pasien tidak dapat makan.

Universitas Gadjah Mada

10

Pada mulut akan dijumpai vesikel ulserative yang terjadi di palatum keras, lidah dan buccal
mukosal.

HIV infection and AIDS,


AIDS disebabkan oleh retrovirus HIV tipe 1. Cara penularan melaului hubungan sex
terutama dari penderita homosexual, dan sekarang dapat terjadi pada heterosexual, juga
melalui transfusi darah, dari ibu penderita AIDS dan alat-alat yang terkontaminasi oleh virus
tersebut.
Virus tersebut langsung mengakibatkan infeksi pada lympocytes menekan jumlah T-helper
atau CD4 sel dan mengembalikan ke suppressor (CD 8). Antibodi terhadap HIV akan
terdektesi pada hampir semua pasien tetapi jarang antibodi tidak dapat tampak sampai 3
tahun setelah terinfeksi atau menghilang dari darah pada kasus yang terlambat. Antigen viral
seperti p24 dapat di deteksi dari darah dan provirus DNA dalam lympocyt dapat di deteksi
dengan PCR.

GAMBARAN MULUT PENDERITA AIDS


Candidosis
Viral infections: herpes stomatitis, herpes zoster, cytomegalovirus,
papilomavirus
Bacterial infections Klebsiella pneumoniae, Enterobacter cloacae dan
E. soli
Deepmycoses; histiplasmosisakan menaikkan proliverative atau lesi
ulserative
Hairy leukoplakia
Tumours : malignant tumor biasanya Kaposi's sarcoma atau non-Hodgkin
lympoma.
FUNGAL DISEASES
ACTINOMYCOSIS, pada tahun terakhir penelitian menunjukkan sekitar 12 kasus per
kwartal terjadi di UK. Actinomyces israelii adalah penyebab utama tetapi species yang lain
dapat juga seperti: Rothia, Arachnia dan Bifidobacteria. Sebetulnya semua filamentus
bakteria adalah normal di mulut, tetapi tidak jelas dengan cara apa (pembawa) organisme
hingga bisa masuk menjadi penyakit. HP: koloni actinomyces berbentuk bulat dengan bulu
lembut terhadap banyaknya filaments garam positif (Gb. 9.3). Koloni ini akan dikelilingi oleh
neutrophils (gb.9.4 atas) dengan daerah luarnya mononuclear cell dan akhirnya lapisan
terluar adalah dinding fibrous (Gb. 9.4 bawah). Pada kasus yang tidak dirawat maka infeksi
Universitas Gadjah Mada

11

akan menyebar masuk ke jaringan dan bahkan akan membentuk honeycomb dari jaringan
fibrous dan kronisnya harus membuang nanah (pus).
HISTOPLASMOSIS, Histoplasma capsulatum dapat menyebabkan penyakit
setempat atau penyakit umum, tetapi diperkirakan 95% kasus berupa subclinical. Gambaran
klinis dalam bentuk pulmonary yang dapat sembuh tanpa symtoms
atau fatal. Penyakit ini dapat menimbulkan lesi-lesi di mulut dan diduga akan berkembang
30-50% kasus dari penyakit yang tersebar. Nodular, granulomatous, proliferative dan
ulcerative lesi sudah sering terjadi menjadi salah dengan tumor. HP: Lesi ada kemungkinan
menyerupai degan TB dengan bentuk granuloma dan fokal dari epitel bersama dengan
Langhan's type giant cell.lihat gambar 9. 10
PHYCOMYCOSIS

(Mucorymycosis,

zygomycosis),

disebabkan

oleh

Phycomycetes terutama Absidia. Mucor dan Rhizopus yang sangat um um tumbuh pada
organik yang busuk dan yang sudah lama diperkirakan menjadi harmless.
HP: Spora dimungkinkan terhirup dan sekali terinfeksi akan terbentuk dan panjang hypae
dapat dikenali pada jaringan dengan bentuk yang tidak beraturan (3-20 urn)
dan juga oleh dan seperti bentuk pita yang rusak (Gb. 9.11 bawah). Hypae biasanya tidak
berseptae dengan rantinnya yang meruncing disebelah kanan. Ini bisa tampak dengan
pengecatan haematocyclin dan eosin stained tetapi akan lebih tampak jelas dengan periodic
acid-Schiff atau silver staining. Pada kultur menggunakan Sabouraud,s agar maka struktur
seperti bentuk spora dan jenis jamur akan teridentifikasi. Infeksi oleh mikroorganisme ini
secara khusus ditandai dengan adanya trombosis dan hemoragi dari pembuluh darah dan
inflamasi serta jaringan necrosis. (Gb. 9.11 atas).
CRYPTOCOCCOSIS, SPORA INI BIASANYA TERSEBARKAN OLEN BURUNG
DAN INFEKSINYA SUBCLINICAL. Bagaimanapun jugs terutama sepertinya menjadi faktor
sekunder terhadap immunosuppresive treatment dari AIDS, lympomas dan diabetus melitus.
Oral lesi dilaporkan menjadi tidak umum dan makhimya merupakan komplikasi dari
penyebaran penyakit. Tampak sebagai granular swelling, nekrotis besar atau ulser yang
banyak tetapi kecil-kecil.
HP: Karakteristik ditandai dengan lesi granulomatous dengan histiocytes, giant cells dan
lympocytes yang mungkin mengelilingi daerah nekrosis. Bentuk dari mikroorganisme
berbentuk sperikal atau ovoid spore dikelilingi oleh bentuk halo yang terbentuk oleh kapsul
banyak gelatinous.
BLASTOMYCOSIS, umur antara 40-60 adalah lebih banyak terinfeksi dan 25%
pasien mempunyai lesi dari oral atau nasal mucosa. Pada waktu tertentu, oral lesi dapat
menjadi tanda pertama untuk diagnosa tetapi sangat variasi dalam karaktemya, bisa ulserasi
atau menyerupai actinomycosis. Biasanya daerah lymph nodes akan membesar.

Universitas Gadjah Mada

12

CANDIDOSIS, penyakit yang disebabkan oleh yeast seperti Candida albicans yang
sebetulnya merupakan normal flora dalam mulut yang merupakan penyakit commensal.
Untuk identifikasi mikroorganisme sangatlah mudah cukup dengan usapan langsung akan
menunjukkan candidal hypae. HP: Plak dari trush nampak mengahasilkan invasi dari
epitelium hypae candida dan adanya proliferasi epitel. Dengan pengecatan haematocylin
dan eosin-stained akan tampak adanya plak epitel tebal yang lepas berada dibawah jaringan
yang terinflamasi (Gb. 11.22). Sedangkan pengecatan dengan periodic acid fast Schiff (PAS)
atau silver stains (GB. 11.23) akan menunjukkan banyaknya hypae yang tumbuh turun
kebawah langsung pada plak yang mengalami parakeritinisasi tetapi tidak melebihi. Dengan
EM maka pertumbuhan dari hypae candida tampak menjadi diantara cytoplasmic dan
relative tegak lurus ke arah lapisan atas dari sel epital dan memotong batas-batas inerselular
(Gb. 11.24).
GEOTRICHOSIS, adalah penyakit lain yang hampir serupa dengan moniliasis
meskipun penyebabnya adalah species dari Geotrichum. Lesi mulut tampak menyerupai
pada trush tetapi lebih menampakkan bercak-bercak ketika menutupi mukosa mulut.
SPOROTRICHOSIS, disebabkan oleh Sporotrichum shenkii. Masuknya jamur tidak
diketahui secara jelas, tetapi ini terjadi setelah berkontak atau berdekatan dengan binatang
liar ataupun dari beberapa duri tumbuhan. Umumnya terjadi di kulit, mulut nasal dan
pharyngeal mukosa. Ulserasi dari mulut akan terjadi berhubungan dengan daerah
lymphadenopaty.
PERLECHE (angular stomatitis), lesi yang mempunyai beberapa faktor redesposisi
seperti Candia albicans, staphylococcus dan streptococcus. Pada penderita dengan sudut
mulut

yang

terlipat.

maka

konsekwensi

yang

umum

terjadi

adalah

adanya

kebocoran/mengalirnya saliva yang terinfeksi dan menimbulkan lesi sepanjang lipatan


tersebut. Bisa diakibatkan pula oleh dentures, kekurangan zat besi.

Universitas Gadjah Mada

13

PARASITIC DISEASES
Trichomoniasis

- Trichomonas hominis

Giardiasis

- Giardia lamblia

Leishmaniasis

- Lei, vhmania braziliensis

Cutaneus leishmaniasis

- L. tropica

Visceral leishmaniasis
Trypanosomiasis

- Trypanosoma gambiense

Amebic dysentery

- Entamoeba histolytica

Trophozoite

- E. gingivalis

Toxoplasmosis

- Toxoplasma gondii

Universitas Gadjah Mada

14

Berikut ini gambaran kelainan-kelainan pada bibir, lidah dan palatum,

Universitas Gadjah Mada

15

3. Respon imunologik pada kelaian/penyakit organ-organ bibir, mukosa mulut,


lidah, palatum, faring dan laving

Rongga mulut masih merupakan kesatuan dengan tubuh manusia, namun karena
fungsi dan posisinya yang khusus, organisasi respon imun di dalam rongga mulut
mempunyai karakteristik sendiri. Rongga mulut terus-menerus akan diagresi secara mekanik
dan bakterial. Banyak faktor yang terlibat dalam organisasi respon imun di dalam rungga
mulut terhadpa kuman patogen karena merupakan tempat masuk utama mikroorganisme.
Faktor-faktor ini dapat dikelompokkan menjadi barier anatomi, fisiologi dan biokimiawi, serta
pertahanan seluler dan imunitas humoral. Berbagai faktor ini merupakan faktor beberapa
jaringan di dalam rongga mulut seperti membran mukosa, jaringan limfoid rongga mulut,
kelenjar saliva, dan celah gingiva.
Mukosa sangat berperan pada kesehatan di dalam rongga mulut karena pada
keadaan normal, integritasnya berfungsi untuk menahan penetrasi mikroorganisme.
Pertemuan antara gingiva dan gigi, merupakan daerah yang agak rawan di dalam rongga
mulut. Namun daerah ini mempunyai perlekatan epitel ke gigi yang baik sehingga pada
keadaan normal mikroorganisme tidak akan dapat masuk ke dalam membran periodontal.
Daerah ini juga terdapat cairan celah gingiva (CCG) yang mengandung berbagai senyawa
antimikroba. Walaupun saluran kelenjar saliva terbuka di dalam rongga mulut, tetapi saliva
mengalir ke dalam rongga mulut sehingga mikroorganisme tidak mungkin masuk ke dalam
kelenjar melawan arch aliran saliva. Selain sebagai pembersih, saliva juga mengandung
berbagai senyawa antibakteri. Respon imun seluler dan humoral, lokal dan sistemik, spesifik
dan tidak spesifik, juga ikut berperan dalam sistem imun di dalam rongga mulut.
Dasar respon imun adalah kemampuannya membedakan antigen self dari antigen
nonsell yang kemudian melakukan usaha eliminasi antigen asing dari tubuh. Di dalam
rongga mulut, sistem imun berperan dalam berbagai kelainan, terutama kelainan yang
disebabkan mikroorganisme. Namun, beberapa kelainan lain di dalam rongga mulut bisa
juga disebabkan oleh imunodefisiensi, kelainan neoplastik, autoimun, atau reaksi tolakan.
Pemahaman tentang sistem imun di dalam rongga mulut, balk pada keadaan normal
maupun saat terjadi kelainan, diperlukan untuk penelitian, pencegahan, dan pengobatan.

Universitas Gadjah Mada

16

Sistem imunitas rongga mulut


Organisasi sistem imunitas ronciga mulut
1. Membran mukosa
Mukosa rongga mulut terdiri atas epitel skuamosa yang berguna sebagai barier
mekanik terhadap infeksi. Mekanisme proteksinya, tergantung pada deskuamasinya
sehingga bakteri sulit melekat pada sel epitel dan derajat keratinisasinya yang sangat efisien
sebagai barier. Kedua hal ini harus dalam keadan seimbang. Keratinisasi palatum keras dan
gingiva sangat balk, sedangkan keratinisasi epitel kantong gingiva dan permukaan gigi,
dapat menurunkan kemungkinan penetrasi mikroorganisme (Roitt & Lehner, 1983).
Kecepatan pertukaran sel epitel juga berpengaruh dalam mekanisme pertahanan di dalam
rongga mulut (Carranza & Bulkacz, 1996).
Membran basal epitel merupakan barier untuk menahan penetrasi mikrobial. Di dekat
sini terdapat sel limfoid dan antibodi yang merupakan pertahanan berikutnya. Antigen
mikrobial yang menembus epitel masuk ke lamina propria, akan difagositosis oleh sel
Langerhans yang banyak terdapat di bawah mukosa mulut (Lehner, 1992).

2.

Nodus limfatik
Jaringan lunak rongga mulut berhubungan dengan nodus limfatik ekstraoral dan

agregasi limfoid intraoral. Kapiler limfatik yang terdapat pada permukaan mukosa lidah,
dasar mulut, palatum, pipi dan bibir, mirip yang berasal dari gingiva dan pulpa gigi. Kapiler ini
bersatu membentuk pembuluh limfatik besar dan bergabung dengan pembuluh limfatik yang
berasal dari bagian dalam otot lidah dan struktur lainnya. Di dalam rongga mulut terdapat
tonsil palatal, lingual, dan faringeal, yang banyak mengandung sel-B dan sel-T (Lehner,
1992).

3.

Saliva
Sekresi saliva merupakan perlindungan alamiah karena fungsinya memelihara

jaringan keras dan lunak rongga mulut agar tetap dalam keadaan fisiologik saliva yang
disekresikan oleh kelenjar parotis, submadibularis, submaksilaris, dan beberapa kelenjar
saliva kecil yang terbesar di bawah mukosa, berperan dalam membersihkan rongga mulut
dari debris dan mikrooganisme, selain bertindak sebagai pelumas pada saat mengunyah dan
berbicara (Lehner, 1992. Tenovuo & Lagerlof, 1994). Penurunan jumlah aliran saliva dapat
meningkatkan frekuensi karies (McIntyre, 1998).
Saliva melindungi rongga mulut dari kerusakan akibat perubahan pH melalui
kemampuannya sebagai penyangga (Tenovuo & Lagerlof, 1994). Pada pH saliva yang
rendah, mikroorganisme dapat berkembang dengan balk, sebaliknya pada pH tinggi dapat
mencegah terjadinya karies (Newbrun, 1989). Penyangga utama saliva adalah sistem
karbonat/bikarbonat, sedangkan yang lainnya adalah orotfosfat anorganik. Saliva jugs
mengandung senyawa yang dapat meningkatkan pH seperti tetrapeptida sialin (glisin-glisinUniversitas Gadjah Mada

17

lisin-arginin) dan urea yang akan diubah oleh urease menjadi karbon dioksida dan amonia
(Tenovuo & Lagerlof, 1994).
Enzim yang normal ditemukan di dalam saliva berasal dari kelenjar saliva, bakteri,
leukosit, dan jaringan rongga mulut. Enzim utamanya adalah amilase parotis, bila terjadi
kelainan periodontal, beberapa enzim akan meningkat kadarnya, diantaranya hialuronidase,
lipase, Bgluronidase, sulfatase khondroitin, dekarboksilase asam amino, katalase,
peroksidase, dan kolagenase (Carranza & Bulkacz, 1996).
Aksi saliva pada plak gigi melalui pembersihan mekanik permukaan rongga mulut,
sebagai penyangga terhadap produksi asam oleh bakteri, dan mengkontrol aktivitas bakteri
(Carranza & Bulkacz, 1996). Dalam hal ini, senyawa antimikroba yang berasal dari kelenjar
saliva bertindak menjaga keseimbangan ekologi (Bowden & Edwardson,1994). Saliva
mengandung berbagai senyawa anorganik dan organik yang mempengaruhi bakteri dan
produknya di dalam rongga mulut. Senyawa anorganik meliputi berbagai ion, bikarbonat,
natrium, kalium, fosfat, kalsium, fluorida, amonium dan karbon dioksida. Senyawa
organiknya termasuk lisozim, laktoferin, mieloperoksidase, laktoperoksidase dan aglutinin
seperti
glikoprotein,

B2-makroglobulin,

musin,

fibronektin,

dan

antibodi

(Carranza

&

Bulkacz, 1996). Komposisi saliva sangat dipengaruhi oleh kecepatan alirannya. Bila
kecepatan alirannya naik, kadar protein total, natrium, kalsium, klorida, dan bikarbonat naik,
tetapi kadar fosfat anorganik dan magnesiumnya turun (Tenovuo & Lagerlof, 1994, McIntyre,
1998).
Antibodi yang paling banyak ditempatkan di dalam saliva adalah imunoglobuli
sekretori (IgAs) yang disekresikan oleh kelenjar saliva besar dan kecil. Ditemukan jugs IgG,
IgM, C3, dan PMN leukosit yang berasal dari CCG (Lehner, 1992), sejumlah leukosit
terdapat di dalam saliva yang terdiri atas semua jenis, terutama PMN netrofil (Carranza &
Bulkacz, 1996). Leukosit dari darah, bermigrasi melewati celah gingiva ke dalam rongga
mulut, diperkirakan setelah satu juta sel per menit (Lehner, 1992).
4. Celah gingiva
Junctional epithelium yang terletak pada celah gingiva, berguna untuk
memahami

hubungan

biologik

antara

komponen

vaskular

dan

struktur

periodontal. Epitel ini mempunyai dua lamina basalis, satu melekat pada jaringan konektif
dan yang lainnya pada permukaan gigi. Komponen selular dan humoral dari darah dapat
melewati epitel jangsional yang terletak pada celah gingiva dalam bentuk CCG. Aliran CCG
ini merupakan proses fisiologik atau merupakan respon terhadap inflamasi, sampai saat ini
masih belum ada kesatuan pendapat. Pendapat yang banyak dianut saat ini adalah, pada
keadaan normal CCG yang mengandung lekosit ini akan melewati epitel jangsional menuju
ke permukaan gigi (Lehner, 1992). CCG yang berasal dari darah melewati jaringan dan
Universitas Gadjah Mada

18

keluar melalui sulkus gingiva. Merupakan eksudat inflamasi bukan transudat yang terusmenerus hingga pada gingiva normal hanya sedikit bahkan tidak ada (Carranza & Bulkacz,
1996). Aliran CCG ini akan meningkat bila terjadi gingivitis atau periofontitis (Lehner, 1992,
Bowden & Edwardsson, 1994).
Komponen humoral CCG dapat dikarakterisasikan sebagai protein individual, antibodi
dan antigen yang spesifik, berbagai enzim yang mempunyai spesifisitas tertentu, dan elemen
seluler. Lebih dari 40 senyawa di dalam CCG sudah dianalisis, namun sumbernya sulit
dibedakan, mungkin dari pejamu atau dari bakteri atau dari keduanya. Misalnya kolagenase,
bisa berasal dari fibroblas atau (PMN neutrofil tetapi juga disekresikan oleh bakteri (Carranza
& Bulkacz, 1996). Beberapa komponen yang berperan dalam memelihara kesehatan gingiva
atau mengakibatkan kelainan gingiva, diantaranya enzim lisosom yang dilepaskan sel
fagosit, protease yang dibentuk oleh bakteri, lisozim, hialuronidase, dan kolagenase (Lehner,
1992).
Selain IgH, IgA dan IgM beberapa komponen komplemen C3, C4, C5, dan C3
proaktivator ditemukan di dalam CCG (Lehner, 1992). Elemen selulernya meliputi bakteri, sel
epitel terdeskuamasi, dan leukosit (PMN. limfosit, dan monosit) yang bermigrasi melewati
epitel sulkus. Sekitar 92% leukosit yang ditemukan di dalam sulkus gingiva sehat, berupa
neutrofil. Sejumlah kecil sel ini mengalami eksravaskularisasi di dalam jaringan konektif di
dekat bagian dasar sulkur, kemudian bergerak menyebarangi epitel menuju sulkus gingiva.
Sel mononuklear yang terdeteksi di dalma CCG adalah limfosit-B, limfosit-T dan fagosit
mononuklear (Carranza & Bulkacz, 1996). Bila dilihat dari komposisi komponen imunnya,
CCG mengandung banyak komponen seluler dan humoral yang juga ditemukan di dalam
darah (Roitt & Lehner, 1983).

Respon Imun didalam Rongga Mulut


Komponen respon imun di dalam rongga mulut, balk spesifik maupun tidak spesifik,
berasal dari tiga kompartemen cairan yaitu saliva, CCG, dan darah. Ketiganya menjadi satu
dalam bentuk cairan rongga mulut. Respon imun di dalam

Universitas Gadjah Mada

19

domain saliva lebih bergantung pada fungsi IgAs, sedangkan di dalam domain gingiva
hampir sebagaian besar komponenya berasal dari darah.
Dalam kaitannya dengan kelainan di dalam rongga mulut, saliva ikut berperan dalam
mengawali pembentukan dan pematangan plak gigi serta metabolisme di dalam plak gigi.
Pembentukan karang gigi, kelainan periodontal, dan karies gigi juga dipengaruhi oleh aliran
dan komposisi saliva. Hal ini bisa dilihat pada hewan coba yang diangkat kelenjar salivanya,
akan terjadi peningkatan yang bermakna insidensi karies gigi, kelainan periodontal,
lambatnya penyembuhan luka. Peningkatan kelainan periodontal, karies gigi, dan cepatnya
kerusakan gigi yang berkaitan dengan karies servikal dan sementum pada manusia,
sebagian disebabkan hiposalivasi atau xerostomia (Carranza & Bulkacz, 1996).
Berbagai senyawa yang ditemukan di dalam saliva berperan dalam sistem
pertahanan. Baik yang tidak spesifik amupun yang spesifik seperti imunoglobulin yang
merupakan respon pejamu. Lisozim atau muramidase merupakan enzim hidrolitik yang
mempunyai aktivitas bakterisidal dengan menghidrolisis ikatan B(1--4) antara N-asetil
glukosamin dan asam N-asetil muramat dalam komponen mukopeptida Binding sel bakteri
tertentu (Lehner, 1992. Tenovuo & Lagerlof, 1994). Lisozim bekerja balk pada bakteri positif
dan negatif Gram. Spesies Veillonella dan A. actinomycetem-comitans merupakan targetnya
(Carranza & Bulkacz, 1996).
Sistem laktoperoksidase-tiosianat saliva menunjukkan efek bakterisidal terhadap
beberapa strain Lactobacillus dan Streptococcus dengan mencegah akumulasi lisin dan
asam glutamat yang diperlukan untuk pertumbuhan bakteri. Enzim ini juga dapat
menginaktivasi beberapa streptokoki dengan jalan menghambat kerja enzim glikolitik. Sama
dengan laktoperoksidase saliva. Mieloperoksidase yang dilepaskan oleh leukosit dan
aterisidal terhadap Actinobacillus, mempunyai efek tambahan dengan menghambat
perlekatan strain Actinomyces pada hidroksiapatit (Carranza & Bulkacz, 1996). Sistem
peroksidase saliva mempunyai dua fungsi bilologik penting. Yaitu (1) aktivitas antimikroba
dan (2) melindungi protein dan sel pejamu dari toksisitas hidrogen peroksida. Tergantung
pada pH (pH rendah lebih efektif) dan konsentrasi hipotiosianit. Secara in vitro sistem ini
efektif terhadap bakteri kariogenik, jamur, beberapa periodontopatogen, bahkan terhadap
beberapa virus seperti Herpes Simplex tipe I dan HIV (Tenovuo & Lagerlof, 1994).
Aglutinin saliva merupakan glikoprotein yang mempunyai kapasitas berinteraksi
dengan bakteri yang tidak melekat (Tenovuo & Lagerlof, 1994). Terjadinya aglutinasi karena
adanya ikatan antara glikoprotein saliva dan adhesin bakteri (Lehner, 1992) hingga terbentuk
agregat besar yang mudah dibersihkan oleh saliva. Senyawa yang potensial mengaglutinasi
bakteri bermasuk glikoprotein saliva dari kelenjar parotis, musin, IgAs (imunoglobulin A
sekretori). 132 mikroglobulin dan fibrinosetin (Tenovuo & Lagerlof, 1994).

Universitas Gadjah Mada

20

Pemeran utama respin imun spesifik di dalam saliva, adalah IG As saliva yang berasal
dah kelenjar saliva utama dan kelenjar saliva kecil (Newbrun, 1989). IgAs berfungsi
mencegah transfer antigen melewati permukaan mukosa. Antibodi ini mampu mencegah
perlekatan S. Sanguis pada sel epitel (Williams & Gibbons, 1972). Melalui mekanisme yang
sama , IgAs juga berperan dalam mencegah pembentukan plak gigi karena dapat
menghambat

pembentukan glukan ikatan glikosidik

a(

1-->3) dari sukrosa oleh

Straptococcus mutans (Roeslan. 1990). Oleh karena itu, IgAs juga diguga daapt mencegah
terjadinya kadries gigi. IgG dari CCG juga ditemukan di dalam saliva. Banyak bakteri di
dalam saliva yang dilapisi Ig As dan deposit bakteri pada permukaan gigi mengandung IgA
dan IgG dengan jumlah lebih dari 1% berat kering (Carranza & Bulkacz, 1996).
Pada pemeriksaan sitologi, sekitar 60% PMN di dalam saliva sudah mengalami
degenerasi, karena itu fungsinya masih dipergunakan (Lehner, 1992). Beberapa peneliti
menyebutkan bahwa kecepatan migrasi PMN leukosit mempunyai hubungan dengan
keparahan gingivitis (Carranza & Bulkasz, 1996).
Keluarnya CCG yang berasal dari domain gingiva diinduksi oleh plak bakterial yang
biasanya terdapat di dekat tepi gingiva. Ditemukannya C3, C4, C5 dan C3 proaktivator
menunjukkan bahwa di dalam celah gingiva terjadi aktivasi komplemen melalui jalur klasik
dan alternatif. Komponen imun yang terdapat di dalam celah gingiva juga berfungsi dalam
mekanisme pertahanan untuk gigigeligi. Pada gingivitis atau kelainan periodontal, kadar IgG,
IgA, IgM, C3 dan PMN netrofil di dalam CCG meningkat diperkirakan, proses fagositosis,
reaksi antigenantibodi yang tergantung komplemen dan juga respon seluler terjadi di dalam
celah gingiva bukan di dalam rongga mulut (Lehner, 1992). Analisis, respon imun terhadap
beberapa mikroorganisme rongga mulut, menunjukkan bahwa serum subyek normal dan
antibodi di dalam saliva dapat berfungsi pada jamur, virus, dan bakteri positif Gram dan
negatif Gram. Namun respon seluler hanya dapat diinduksi oleh jamur dan virus (Lehner,
1975).
Leukosit di dalam CCG ditarik oleh bakteri plak yang berbeda dan mempunyai
kapasitas fagositosis dan membunuh (Lehner, 1992), karena itu leukosit merupakan
mekanisme perlindungan utama dalam menghadapi ekstensi plak gigi ke dalam sulkus
gingiva. Respon imun seluler CCG juga melibatkan sitokin, seperti interleukin-1 cc dan -113
(IL- la dan -113) yang diketahui meningkatkan pengikatan PMN monosit pada sel endotel,
menstimulasi produksi prostaglandin E2 (PGE2) dan penglepasan enzim lisosomal.
Interferon-y (INF-y) di dalam GCF mempunyai efek protektif dalam kelainan periodontal
karena kemampuannya menghambat aktivitas IL-1B dalam meresorpsi tulang (Carranza &
Bulkasz, 1996).
Respon imun terhadap berbagai kelainan rongga mulut
Universitas Gadjah Mada

21

Respon imun terhadap plak bakterial


Plak bakterial mengandung tiga komponen fungsional: (a) organisme kariogenik,
terutama S. Mutans, L. acidophilus, dan A. viscosus, (b) organisme penyebab penyakit
periodontal, khususnya

Bacteroides asaccharolyticus (gingivalis)

dan Actinobacillus

(actinomycetemcomitans), walaupun A. Viscosus, Bacteroides melaninogenicus, Veillonella


alcalescens, Fusobacteria, dan Spirochaetes juga telibat, serta (c) bahan adjuvan dan
supresif, yang paling potensial adalah lipopolisakarida (LPS), dekstran, levan, dan asam
lipoteikoat (LTA) (Lehner, 1992).
Respon imun terhadap plak gigi bervariasi dan kompleks. Sejumlah besar bakteri
positif dan negatif Gram berikut produknya seperti LPS, LTA, dekstran, dan levan, mampu
menstimulasi respon imun. Dua jalur komplemen, klasik, dan alternatif, diaktivasi, limfosit
distimulasi, limfokin dilepaskan, dan makrofag menjadi aktif (Lehner, 1992). Reaksi potensial
ini, mungkin diatur oleh efek potensial dan supresi beberapa komponen yang ada di dalam
plak gigi dan akan menghasilkan respon inflamasi kronis yang terlokalisasi. Efek toksik
langsung komponen plak pada jaringan gingiva, mempunyai andil pada reaksi inflamasi
lanjut, (Sanz dkk, 1990).
Akumulasi plak gigi dalam kaitannya dengan inflamasi gingiva, berkorelasi dengan
peningkatan transformasi limfosit dan penglepasan faktor penghambat migrasi makrofag
(MIF) (James, 1991). Aktivasi komplemen merupakan pemicu respon inflamasi yang
kompleks karena penglepasan histamin oleh mastosit yang diinduksi oleh C3a dan C5a
(Nisengard dkk, 1996). Kedua komponen komplemen ini juga menyebabkan agregasi
platelet sehingga terjadi pembekuan intravaskular. Kejadian ini dapat menghambat
penyebaran bakteri, namun juga menyebabkan kerusakan jaringan karena kurangnya pasok
darah (Lehner, 1992). Akhir aktivasi komplemen, akan terjadi sintesis PGE2 yang dapat
mengakibatkan resorpsi tulang (Steve dkk, 1991).

Akibat respon imun seluler terhadap plak gigi, kolagenase juga disekresikan oleh
makrofag yang diaktivasi oleh LPS sehingga terjadi degradasi kolagen. Enzim lisosom
merupakan agen potensial yang dapat mengakibatkan kerusakan jaringan. Osteocast
activating factor (OAF) juga dilepaskan oleh limfosit yang teraktivasi, sehingga terjadi
resorbsi tulang alveolar (Nisengard dkk, 1996).

Respon Imun Pada Penyakit Periodontal


Gingivitis dan penyakit periodontal, diinduksi oleh plak bakterial. Aktivitas bakteri
patogen dalam menyebabkan kelainan periodontal, meliputi invasi, produksi eksotoksin,
peran konstituen sel seperti endotoksin dan komponen permukaan sel, produksi enzim, serta
menghindari respon imun pejamu. Respon imun pejamu sangat berperan pada patogenesis
Universitas Gadjah Mada

22

kelainan periodontal, balk dalam mekanisme proteksi maupun destruksi. Sistem imun
sekretori akan menurunkan kolonisasi bakteri pada permukaan yang terpapar saliva.
Neutrofil, antibodi, dan komplemen bertindak sebagai bakteri sidal, sedangkan limfosit,
makrofag, dan limfokin menyebabkan kerusakan jaringan. Respon imun ini dikontrol oleh
sistem imunoregulasi (Newman dkk, 1996).
Respon imun pejamu sudah dibangkitkan sejak terjadi kolonisasi bakteri pada awal
kelainan periodontal dengan menghambat perlekatan dan agregasi serta mengurangi
jumlahnya dengan melisiskan bakteri melalui antibodikomplenen di dalam CCG. Bila terjadi
invasi bakteri, jumlah bakteri akan dikurangi melalui perantaraan antibodi-komplemen serta
neutroifl dan makrofag karena efek khemotaksis. Kerusakan jaringan terjadi karena reaksi
hipersensitivitas yang dimediatori antibodi, respon imun seluler, dan aktivasi faktor jaringan
seperti kolagenase. Setelah itu akan terjadi penyembuhan dan fibrosis akibat faktor
khemotaktik untuk fibroblas yang diproduksi limfosit dan makrofag serta adanya faktor
aktivasi fibroblas (Newman dkk, 1996).
Respon imun pada kelainan periodontal dapat dikelompokkan menjadi 4 stadium
(Lehner, 1992). Pertama, pada lesi awal terlihat respon inflamasi oleh PMN netrofil,
kompieks imun, aktivasi komplemen, dan kemotaksis yang disebabkan antigen plak. Kedua,
pada lesi dini terlihat infiltrasi lokal sel-B dan selT. Di dalam sirkulasi, limfosit tersensitisasi
oleh antigen lak yang dapat dilihat dari kemampuannya melepaskan limfokin. Ketiga, pada
lesi yang sudah menetap terlihat adanya infiltrasi sel plasma secara lokal dan limfosit di
dalam darah tepi sudah dirangsang antigen plak untuk berproliferasi. Keempat, pada lesi
lanjut sudah terlihat respon imun yang destruktif, diikuti dengan ulserasi pada epitel saku
gingiva dan destruski kolagen serta tulang. Proses destruktif yang progresif ini, akhirnya
akan mengakibatkan kehilangan gigi.
Pada awal kelainan periodontal, respon imun dibangkitkan untuk pertahanan tubuh
terhadap serangan antigen yang ada di dalam plak gigi. Akibat akumulasi plak, respon imun
menjdi lebih kompleks meliputi reaksi hipersensitivitas tipe I, II, III, dan IV (Lehner, 1992;
Newman, 1996). Keterlibatan reaksi hipersensitivitas tipe I (reaksi anafilaktik) pada
kerusakan jaringan periodontal, terlihat dari ditemukannya sejumlah sel mast pada gingiva
sehat yang kemudian jumlahnya berkurang pada inflamasi. Kontak antigen dengan IgE yang
melekat pada permukaan sel mast, akan menginduksi degranulasi sel mast yang diikuti
penglepasan histamin dan amin vasoaktif lain setelah berkontak dengan IgE (Roitt dkk,
1998). Pada keadaan ini, PGE1 dan PGE2 ikut meningkatkan permeabilitas vaskular (Abbas
dkk, 1997).
Pada kelainan periodontal terdapat tiga proses reaksi hipersensitivitas tipe II
(sitotoksik), yaitu a) fagiositosis setelah terjadi ikatan antigen-antibodi. b) aktivitas sel T dan
c) lisisnya sel karena aktivasi komplemen (Roitt dkk, 1998). Pengikatan antigen oleh antibodi
Universitas Gadjah Mada

23

yang diikuti aktivasi komplemen dan fagositosis, berperan pada bakteri positif Gram.
Penghancuran sel kuman oleh komplemen melalui C8 yang diperkuat C9 (James, 1991),
lebih berfungsi untuk kuman negatif Gram (Roitt dkk, 1998). Walaupun kedua mekanisme ini
juga menyebabkan lisinya sel jaringan periodontal, namun reaksi tipe II ini tidak begitu
berperan pada kelainan jaringan periodontal.
Adanya kompleks imun pada jaringan periodontal, berupa ikatan antigenantibodi
menunjukkan bahwa terjadi reaksi hipersensitivitas tipe III (kompleks imun). PMN di dalam
CCG, mempunyai membran yang dapat mengikat Igg, IgM, dan C3. Komptekd imun akan
mengaktivasi jalur ktasik komplemen dengan akibat terjdadi peningkatan mediator biologik
yang akan menginduksi eningktan permeabilitas vaskular, agregasi platelet, kemotaksis
fagosit, opsonisasi, dan fagositosis. Pada prose ini juga dilepsksn enzim-enzim lisosom oleh
FMN dan makrofag, seperti isozim, hialuronidase, dan kolagenase yang mengakibatkan
kerusakan jaringan lokal. Kolagenase akan merusak kolagen ligamen periodontal (Lehner,
1992). Hasil akhir proses ini adalah lisisnya sel disertai resorbsi tulang yang dimediatori oleh
PGE (Steve dkk, 1991). Pada reaksi tipe ill ini, CMI juga ikut dilibatkan, karena C3b dapat
berinteraksi dengan reseptor limfosit seingga terjadi penglepasan limfokin. Dengan demikian,
sering terlihat adanya reaksi hipersensitivitas tipe III dengan tipe IV.
Reaksi hipersensivitas tipe IV (imunitas seluler/CMI) diaktivasi antigen bakterial plak
gigi sehingga terjadi profiferasi sel-T dan sel-B. Subpopulasi sel-T sangat sitotoksik teradap
jaringan periodonsium (Openheim & Horton, 1973). Limfosit memasok mediator terlarut,
seperti MIF yang akan menghambat pergerakan makrofag dan PMN netrofil, faktor
kemotaktik yang berfungsi menarik makrofag dan PMN netrofil, limfotoksin yang merusak
fibroblas, dan OAF yang dapat menimbulkan kerusakan tulang (James, 1991). Akibatnya,
antigen akan masuk lebih dalam lagi ke dalam jaringan periodonsium.
Adanya akumulasi sel plasma dan limfosit di dalam jaringan periodontal,
menimbulkan dugaan bahwa sitokin ikut berperanserta dalam perubahan patologik jaringan
periodontal. IL-1 yang terlihat pada jaringan gingiva dan CCG, akan turun kadarnya setelah
perawatan. Sitokin ini juga akan meningkatkan prokolagen fibroblas, PGE2, dan aktivitas
resorpsi tulang. IL-2 akan meningkatkan aktivitas fungsional makrofag pada kasus
periodontitis. Demikian juga halnya dengan IL-4 berfungsi dalam aktivasi, proliferasi, dan
diferensiasi sel B serta menginduksi produksi IgE oleh sel B. jumlah IL-6 meningkat pada
situs gingivitis dan berperan pada resorpsi tulang. TNF- yang berperan dalam perubahan
vaskularisasi, tampak pada kelainan periodontal. Sitokin dapat menambah kemampuan
melekat leukosit pada sel endotel dan meningkatkan kemampuan fagositosis dan
khemotaksisnya (Nisengard dkk, 1996).
Respon imun yang semula dibangkitkan untuk mekanisme pertahanan terhadap
invasi bakteri periodontopati, ternyata kemudian justru merusak jaringan periodontal (James,
Universitas Gadjah Mada

24

1991). Untuk mengatasinya, tubuh dibekali mekanisme lain yaitu dengan menghambat
peningkatan respon imun lebih lanjut agar tidak terjadi kerusakan total jaringan periodontal
(Lehner, 1992). Mekanisme penekanan respon imun ini meliputi a) penekanan CMIR dengan
menginduksi sel supresif, b) melalui berbagai faktor penghambat di dalam serum pada kasus
periodontitis berat, c) sekresi PGE oleh makrofag untuk menghambat respon seluler, d)
inhibitor proteinase akan menghambat jalur komplemen, dan e) komponen pada plak gigi,
seperti LPS menurunkan aktivitas CMI, LTA menghambat HMIR, dekstran ikatan a(1-->6)
menurunkan toleransi sel B, dan bakteri plak mengeluarkan proteinase spesifik yang
menghambat kerja beberapa klas imunoglobulin.
Yang cukup menarik pada kasus kelainan periodontal adalah periodontitis juvenil
atau periodontosis. Pada kasus ini, tampak adanya tiga kelainan sistem imunologik, pertama
sedikit bahkan tidak ada sitesis DNA oleh limfosit sehingga faktor penghambat migrasi
mikrofag tidak ada. Kedua, terjadi peningkatan kadar IgG, IgA, dan IgM terhadap
mikroorganisme di dalam mulut. Ketiga, tidak berfungsinya khermotaksis pada PMN netrofil
yang mungkin disebabkan adanya hambatan pada sel itu sendiri atau khemotaksisnya
(Lehner, 1992). Baik pada periodontitis juvenil lokal (PJL) maupun general (PJG), tampak
terjadi kerusakan khemotaksis. PMN dan kemampuan fagositosisnya menurun. Pada PJL
terjadi peningkatan antibodi terhadap A. actinomycetecomitnas, sedangkan pada PJG
antibodi terhadap P. gingivalis yang meningkat. Pada PJ prapubertas, kerusakan
khemotaksis terjadi pada PMN dan monosit (Newman dkk., 1996).

Respon imun pada karies gigi


Dalam menghadapi aksi bakteri kariogenik, di dalam saliva terdapat komponen
imunitas bukan imunoglobulin seperti lisozim, laktoferin, dan peroksidase. Komponen
imunitas spesifiknya didominasi oleh IgAs yang dapat mencegah perlekatan S. mutans pada
permukaan email yang licin (Lehner, 1992). Dalam hal ini, IgAs juga mencegah
pembentukan plak dengan cars menghambat kerja glukosiltransferase (Roeslan, 1990),
enzim yang mengkatalisis pembentukan dekstran ikatan a (1-->3) dari sukrose. IgAs juga
dapat menghalangi aktivitas adhesin permukaan bakteri sehingga tidak terjadi interaksi
dengan permukaan gigi di samping menginduksi aglutinasi bakteri (Kilian & Barthall, 1994).
Kadar IgAs pada individu tahan karies gigi lebih tinggi daripada individu rentan karies
(Gunawan & Roeslan, 2000). IgG dan IgM dari CCG jamur melakukan opsonisasi sehingga
PMN leukosit akan meningkat kemampuan fagositosisnya. Kedua antibodi ini juga akan
mengaktivasi komplemen bila berkombinasi dengan antigen kariogenik (Lehner, 1992; Kilian
& Barthall, 1994).
Karies gigi yang tidak ditumpat, akan memperluas deminerafisasi dentin yang
akhirnya akan mengenai atap pulpa. Pada keadaan ini, di dalam jaringan pulpa sudah
Universitas Gadjah Mada

25

dibangkitkan respon imunologik. Bila keadaan ini tidak diatasi, antigen kuman akan berdifusi
ke dalam jaringan pulpa melalui cairan dentin dan menimbulkan kelainan pada jaringan
pulpa. Setelah atap pulpa terbuka, antigen akan menginvasi ke periapikal dan dapat
berkembang menjadi abses periapikal akut atau dalam bentuk tiga kondisi kronis : abses
kronis, granuloma, atau kista bergantung kekuatan respon imun yang terjadi.
1. Karies gigi
Selama perkembangan karies, antibodi ditemukan di dalam saliva, cairan pulpa gigi,
dan cairan dentin. Hal ini menunjukkan bahwa saliva, dentin, dan pulpa mampu
memberian

respon

imunologik

terhadap

serangan

antigen

bakteri

kariogenik.

Imunoglobulin juga ditemukan di dalam dentin sehat dan yang terletak di bawah dentin
yang mengalami karies, padahal daerah tersebut tidak ditemukan bakteri. Antibodi ini
berasal dari cairan pulpa, sedangkan antibodi yang ditemukan di dalam dentin karies
yang lunak, berasal dari saliva (Sumitami dkk., 1971). Hal ini dapat dilihat bahwa
komponen sekresi, baik yang terikat pada IgA maupun dalam bentuk IgAs, hanya
ditemukan pada iesi yang dangkal. Pada lesi yang dalam, hanya ditemukan IgG, IgA, dan
transferin (Okamura dkk., 1979).
Ditemukannya antibodi di dalam dentin sehat di bawah zona translusen dentin yang
terserang karies (Sumitami dkk., 1971), menunjukkan bahwa pulpa gigi sudah
memberikan respon imunologik. Bila dilihat bahwa di bawah lesi karies tidak ditemukan
bakteri, mengindikasikan adanya respon imunologik yang kuat yang dibangkitkan sebagai
refleksi pertahanan terhadap invasi bakteri dari karies gigi. Pada scat karies gigi sudah
mengenai dentin, angiten bakteri yang larut akan menginduksi respon peradangan klasik
pada puipa gigi berupa vasodilatasi, peningkatan permeabilitas kapiler, dan eksudasi
cairan serta PMN. Begitu karies mendekati pulpa, ditemukan hanya makrofag, limfosit,
dan sel plasma. Selain itu, terdapat juga imunoglobulin ekstravaskular, dengan IgG paling
banyak, disertai sel plasma yang mengandung IgG, IgA, IgE, dan terkadang IgM (Lehner,
1992).

2. Kelainan pulpa
Di dalam jaringan pulpa gigi dengan pulpitis yang ireversibel, terlihat adanya limfosit
dan makrofag sebagai sel infiltrat radang yang terdominan. Pada pulpitis yang relesibel,
lebih dari 90% populasi limfosit T di dalam jaringan pulpanya adalah limfosit T8, dengan
rasio limfosit T4/T8 = 0,56 (Hahn dkk., 1989). Sedangkan pada pulpitis yang Ireversibel,
jumlah limfosit T4, T8, dan limfosit B lebih banyak daripada pulpitis yang reversibel atau
pada pulpanormal, dengan rasio T4/T8 sebesar 1,14. Di dalam jaringan pulpa yang
meradang, antibodi terbanyak adalah IgG, sedang IgA dan 1gM jumlahnya sedikit. Kadar
antibodi pada pulpa yang meradang, lebih tinggi dibandingkan pada pulpa yang tidak
Universitas Gadjah Mada

26

meradang (Morse, 1977). Sel plasma yang mengandung IgG dan IgA juga lebih banyak di
dalam pulpa yang meradang, selain ditemukana C3 (Hahn, dkk., 1989).
Eksudat radang yang terbentuk sebagai respon erhadap perkembangan karies gigi,
sulit mendapatkan raungan karena pulpa gigi dibatasi oleh struktur dentin yang kaku.
Akibatnya jaringan pulpa di dalam saluran akar akan terlibat. Bila efek protektif respon
imunologik tidak cukup baik, maka karies akan berkembang menjadi pulpitis akut. Namun,
bila proses kariesnya berkembang lambat dan respon imunitasnya mmapu mencegah
kerusakan jaringan pulpa lebih lanjut, yang akan timbul hanyalah pulpitis kronis. Pada
kelainan pulpa ini, ditemukan respon seluler (Hahn dkk., 1989) respon humoral (Morse,
1977), dan C3 (Hahn dkk., 1989). Efek samping respon imunologik ini adalah reaksi
hipersensitivitas tipe I yang menimbulkan reaksi inflamasi dan rasa sakit, tipe III dengan
akibat kerusakan jaringan pulpa. dan tipe IV yang juga bertanggung jawab pada
kerusakan lokal.

3. Kelainan Periapikal
Jaringan pulpa yang rusak akan bertindak sebagai autoantigen yang bersama
antigen kuman mengakibatkan penyebaran reaksi radang ke daerah periapikal.
Akibatnya, akan terjadi abses akut atau kondisi kronis. Bila kronis, bisa berbentuk abses
kronis, granuloma, atau kista. Semua lesi periapikal kronis ini bisa terjadi bila efek
protektif respon imun tidak cukup baik, sehingga hanya mampu melokalisasi kerusakan
lebih lanjut. Kadar imunoglobulin di dalam serum subjek yang mengalami flare-up
(pembengkakan disertai rasa sakit dan resorpsi tulang pada gigi nonvital yang terjadi
dengan cepat) setelah perawatan endodontik, menunjukkan hanya IgE yang meningkat
beberapa kali dibandingkan keadaan normal (Svetcov dkk., 1983). Di daerah periapikal
ditemukan imunoglobulin yang mampu bereaksi spesifik dengan natigen yang ada di
dalam saluran akar Naidorf (1985). Di dalam serum penderita abses periapikal akut,
terjadi peningkatan kadar kompleks-imun, IgG, IgM, IgE, dan komplemen C3 (Kettering &
Torabinejad, 1984).
Respon imunitas humoral terlihat pada lesi periapikal (Morse, 1977). Beberapa
kelas imunoglobulin yang berbeda dapat diidentifikasi pada lesi periapikal kronis
(Cymerman dkk., 1984). Kadar kompleks imun, IgG, IgM, IgE, serta komplemen C3 di
dalam serum penderita kelainan periapikal setelah dirawat saluran akarnya berbeda
dengan sebelum dirawat (Kettering & Torabinejad, 1984). Respon setuler pada lesi
periapikal, menunjukkan bahwa makrofag merupakan set radang terbanyak, disusul
limfosit T dengan sel Th yang lebih dominan (Kopp & Schwarting, 1989).
Di dalam ekstrak jaringan granuloma terjadi hipergamaglobulinemia (Gelli dkk. Cit.
Morser, 1977), juga ditemukan adanya set plasma, IgG, IgA, dan IgM (Naidorf, 1985).
Universitas Gadjah Mada

27

Sedangkan pada dinding kista ditemukan infiltrasi sel plasma dalam jumtah besar, serta
kadar IgG, IgM, dan IgA di dalam cairan kista yang 2 sampai 3 kali lebih besar
dibandingkan di dalam serum. Di dalam epitel kista apikal juga ditemukan sel Langerhans
dan makrofag (Lehner, 1992). Pada keadaan patologis, sel Langerhans berfungsi
memproses dan menyajikan antigen kepada limfosit T. Sel ini juga mempunyai
kemampuan fagositosis, walaupun terbatas (Roitt dkk., 1998). Di dalam kista dan
granuloma lebih banyak mengandung makrofag daripada sel-T, sedang di dalam kista
banyak ditemukan sel-T4 dan set T-8 (Kopp & Schwarting, 1989).
Karena daerah periapika dibatasi oleh dinding padat tulang alveolar, antigen akan
terlokalisasi di daerah ini. Pada saat mengunyah, daerah tadi akan mengalami tekanan
dan iritasi, akibatnya antigen akan masuk ke dalam kelenjar limfa dan pembuluh darah
serta menstimulasi respon imunologik lokal di dalam nodus limfatikus submaksilaris
(Morse, 1977). Respon imunologik periapikal berfungsi untuk pertahanan, namun juga
menimbulkan reaksi alergi. Pada keadaan abses periapikal akut, terjadi kenaikan kadar
kompleks-imun, IgG, IgM, IgE, dan C3 (Kettering & Torabinejad, 1984). Hal ini
mengindikasikan adanya reaksi hipersensitivitas tipe I dan III, yang merupakan respon
humoral.
Pada subjek yang mengalami flare-up (Svetcov dkk., 1983) dan apikal abses akut
(Kettering & Torabinejad, 1984), kadar IgE di dalam serum meningkat yang diikuti
kenaikan kadar histamin. Akibatnya, permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi
udema dan pembengkakan di daerah ini. Peningkatan kadar IgAs di dalam serum juga
terjadi pada periapikal abses kronis, sehingga pada mulanya kelainan ini dianggap
empunyai implikasi sistemik (Nevins dkk., 1985). Namun, penelitian Kettering dan
Torabinejad (1986) menunjukkan hasil sebaliknya. Karena itu, diperkirakan lesi periapikal
kronis terjadi secara lokal tanpa adanya kenaikan kadar IgE di dalam sirkulasi.
Pada reaksi alergi tipe III, kompleks-imun akan mengaktifkan sistem komplemen
yang menyebabkan penarikan lekosit PMN dan trombosit di dalam pembuluh daerah,
sehingga terbentuk abses (Lehner, 1992) dan kerusakan membran sel jaringan periapikal.
Bila membran sel rusak, akan terjadi sintesis prostaglandin (PG) (Naidorf, 1985) yang
dapat mengakibatkan resorpsi tulang (Caranza & Bulkacz, 1996) dan amplifikasi sistem
kuinin. Kiin akan menyebabkan rasa sakit. Dengan adanya PG, rasa sakit menjadi
bertambah berat. PG juga merupakan bahan pirogen yang dapat menimbulkan demam
(Naidorf, 1985).bila jaringan periapikal mengalami kesulitan dalam mengeliminasi antigen,
respon seluler kronis akan dibangkitkan untuk melokalisasi antigen dengan menarik
banyak makrofag pada daerah tersebut. Oleh karena itu, dalam jaringan granuloma
banyak ditemukan makrofag (Kopp & Schwarting, 1989). Makrofag akan melepaskan IL-1
yang akan merangsang pelepasan OAF, FAF (fibroblast-activating-factors), dan PG
Universitas Gadjah Mada

28

(Farber & Seltzer, 1988). Ketiga mediator ini sangat berperan dalam patogenesis lesi
periapikal, karena dapat mengakibatkan pembentukan granuloma dan kista. Dengan
ditemukannya sel Langerhans dan makrofag di dalam epitelim kista gigi (Contos dkk.,
1987), menunjukkan bahwa pada kelainan periapikal kronis, respon seluler dalam bentuk
reaksi alergi Tipe IV cukup besar peranannya.

imunologi infeksi mulut


Infeksi yang sering terjadi di dalam rongga mulut adalah infeksi yang disebabkan
virus Herpes simplex dan jamur kandida. Infeksi bakterial bahkan jarang terjadi. Banyak,
bahkan mungkin semua orang sudah pernah terpapar kedua mikroorganisme ini, baik secara
klinis, subklinis, maupun yang hanya sebagai karies.

1. Infeksi virus Herpes


Virus Herpes simplex (HSV) merupakan virus DAN yang awalnya masuk melalui sel
epitel mukosa mulut (Bellanti, 1985). Setelah banyak sel epitel terinfeksi, akan terjadi
perubahan degeneratif dan udematosa sehingga banyak terbentuk vesikula yang kemudian
pecah membentuk ulkus. Pada minggu pertama setelah timbut manifestasi klinis, atau dua
minggu setelah terinfeksi, terdeteksi limfosit yang tersensitisasi HSV. Satu sampai tiga
minggu kemudian, tampak adanya antibodi dan MIF (Greenberg, 1994). Makrofag akan
dimobilisasi ke daerah infeksi oleh MIF yang juga meningkatkan aktivitas viruxidal. Beberapa
mediator limfokin selain MIF, juga terdeteksi seperti limfotoksin, khemotaksis, dan interferon
(Lehner, 1992).
Antibodi yang terbentuk akan berkombinasi dengan permukaan antigfen dan
menyebabkan Iisisnya sel karena aktivasi komplemen. Namun, IgG terhadap HSV justru
mengakibatkan kelainan ini menjadi laten. Hipotesis tentang hal ini menyebutkan bahwa
bagian Fab (fragmen antigen binding) akan berikatan dengan antigen permukaan HSV
sedangkan regio Fc pada reseptor Fc, akibatnya akan terjadi perubahan konformasi pada
molekul antibodi. Hipotesis tadi didukung dengan penemuan bahwa reseptor Fc pada
permukaan set yang terinduksi HSV akan berikatan dengan IgG atau fragmen Fc IgG, maka
replikasi virus akan dihambat (Lehner, 1992).
Bila terjadi imunodefisiensi seluler, virus akan bereplikasi di dalam epitel dan
keadaan menjadi rekuren. Tempat terjadinya rekurensi yang menetap hanya pada neuron
yang menginervasi daerah tepi epitel. Sejumlah kelainan seluler yang terlihat pada Herpes
labialis, meliputi tidak diproduksinya MIF dan menurunnya sitotoksisitas limfosit yang
tersensitisasi sehingga interferon menurun produksinya (Notkins, 1973). Rekurensi infeksi
HSV melalui dua stadium (Lehner, 1992): (1) HSV di dalam ganglion trigeminal dilepaskan
dari kondisi laten, sehingga terjadi replikasi virus, migrasi akson, dan dilimpahkan dari ujung
Universitas Gadjah Mada

29

syaraf dekat epitel, dan 2) defisiensi selektif imunitas seluler sehingga terjadi proliferasi virus
yang menyebabkan lesi lokal.

2. Kandidiasis
kandidia merupakan organisme komensal di dalam saluran pencemaan. Terdapat di
dalam saluran pencernaan. Terdapat empat macam kandidiasis di dalam rongga mulut yang
merupakan infeksi superfisial, terutama disebabkan Candida albicans, yaitu kandidiasis
pseudomembranosa akut, kandidiasis atrofik kronik, dan kandidiasis hiperplastik kronik
(Brightman, 1994).
Investigasi kandidiasis sering dilakukan dengan reaksi aglutinasi dan presipitasi,
fiksasi komplemen, dan antibodi fluoresensi. Kecuali pada kandidiasis kronik, kadar IgAs
salivanya meningkat. Peningkatan IgAs saliva paralel dengan peningkatan IgG, IgM, dan IgA
serum. Pada kandidiasis, tercatat penurunan kadar komplemen di dalam serum dan
ketidakmampuan memfagositosis oleh PMN neutrofil. Kandidiasis sistemik jugs dihubungkan
dengan absennya mieloperoksidase pada fagosit (Lehner, 1992). Pada individu yang rentan
infeksi kandida, seperti pada penderita diabetes melitus, terjadi kerusakan kemotaksis PMN
netrofil dan monosit (Cypress, 1985).
Secara umum, respon seluler lebih penting perannya dibandingkan respon humoral
dalam mekanisme pertahanan terhadap infleksi kandida, karena pada infeksi ini titer antibodi
tidak berkurang (Abbas, dkk.,1997). Bukti uama signifikansi fungsi imunitas seluler pada
perlindungan terhadap kandida adalah berkembangnya jamur ini pada individu yang
mengalami kelainan genetik fungsi limfosit-T (James dkk., 1991). Kandidiasis jugs ditemukan
pada penderita yang mengalami kelainan pembentukan atau diferensiasi sel primitif limfoid.
Defisiensi sel B saja, tidak menyebabkan individu rentan terhadap kandida (Lehner, 1992).

Manifestasi imunodefisiesi di dalam rongga mulut


Imunodefisiensi primer sering menimbulkan berbagai manifestasi di dalam mulut.
lnfeksi tenggorok dan ulserasi di dalam mulut yang rekueren, perlu dihubungkan dengan
defisiensi komplemen. Kelainan granulomatose kronik terjadi karena kerusakan pada
mekanisme fagositosis. Sindroma Chediak-Higashi yang ditandai dengan kelainan
periodontal berat, karies gigi dan ulserasi, disebabkan abnormalitas padaPMN neutrofil.
Neutropenia siklik yang gejalanya berupa demam, stomatitis, dan faringitis (Greenberg &
Lynch, 1994), terjadi karena menurunnyaPMN neutrofil tiap interval 3 minggu (Wells &
Isbister, 1991). Penurunan PMN sampai di bawah 500/mm3 bahkan sampai tidak terdeteksi
pada beberapa penderita, disebabkan kerusakan sekunder sel primitif sumsum tulang
(Greenberg & Lynch, 1994).

Universitas Gadjah Mada

30

Manifestasi defisiensi sel-B akibat kerusakan diferensiasi sel primitif B, sering


menyebabkan Bruton's x-linked hipomaglobulinema (Lehner, 1992) karena penderita tidak
mampu mensintesis antibodi (Greenberg, 1994a) sehingga mudah terinfeksi kuman.
Manifestasi defisiensi sel-T di dalam mulut, biasanya terlihat sebagai sindroma. Di George
dan kandidiasis mukokutaneus kronik. Pada defisiensi sel-T karena aplasia atau hipoplasia
timus kongenital (Ammann, 1991), antibodi di dalam serum kadarnya normal. Telangiektasia
ataksia, sindroma Wiskott-Aldrich, dan infeksi Herpes simplex berat, lebih disebabkan
imunodefisiensi kombinasi sel-T dan sel B (Greenberg, 1994a).
Imunodefisiensi

sekunder

karena

obat-batan,

neoplasma

atau

malnutrisi,

manifestasinya di dalam mulut terlihat lebih berat. Stomatitis herpetika, kandidiasis, atau
ulkus biasanya muncul pada pencerita yang mendapatkan pengobatan sitotoksik atau
imunosupresi (Brown dkk., 1973). Agranulositosis dapat disebabkan radiasi atau pemberian
berbagai obat seperti bahan sitotoksik (azatiopin), analgesik (fenasetin) antimikrobial
(klramfenikol), antitiroid, atau antikonvulsan. Malnutrisi karena defisiensi protein dapat
mengakibatkan gangraen di dalam mulut, sedangkan defisiensi besi menyebabkan
kandidiasi mulut (Lehner, 1992).
Imunodefisiensi sekunder imunitsa seluler yang parah, terjadi pada infeksi HIV (Abba
dkk., 1991) karena DAN limfosit-T4 dimanfaatkan oleh HIV sebagai mesin genetik, sehingga
tidak berfungsi normal. Pada infeksi HIV lanjut, akan timbul AIDS (Acquired lmune Defisiency
Syndrome) dengan manifestasi di dalam mulut berupa lesi yang bervariasi seperti
kandidiasis, kelainan periodontal, hairy leukoplakia, sarkoma Kaposis, dan sejumlah lesi dan
kondisi lain (Brightma, 1994a).
Manifestasi autoimun di daiam rongga mulut
Keiainan autoimun terjadi karena ketidakmampuan seseorang dalam mengatasi
respon imun terhadap protein atau polisakaridanya sendiri karena memenuhi kriteria
antigenisitas kecuali keasingan (foreigness) (Roirt dkk., 1998). Kelainan yang sering
ditemukan di daiam mulut karena autoimun adalah ulkus rekuren di dalam rongga mulut
(URM) dan Sindroma Behcet's (SB) (Openheim & Horton, 1973). Kedua kelainan ini terjadi
karena respon autoimun terhadap antigen mukosa mulut atau reaksi sang dengan beberapa
antigen mikrobia yang dbuktikan dengan ditemukannya autoantibodi terhadap homogenat
mukosa mulut sebanyak 70-80% dibandingkan kontrol yang hanya 10% (Lehner 1992).
Kerusakan awal epitel mukosa mulut, diinduksi oleh limfosit yang tersensitisasi. Epitel
mukosa mulut yang rusak, kemudian dianggap sebagai antigen yang akan berkombinasi
dengan antibodi membentuk kompleks imun. Oleh karena itu pada URM dan SB terjadi
peningkatan kompleks imun dan C9 di dalam sirkulasi. Selain itu, pada zona dasar membran
tamak adanya IgG dan C3 (James, 1991). Respon seluler terhadap antigen mukosa mulut ini
Universitas Gadjah Mada

31

dibantu oleh efek adjuvan plak gigi dan flora mulut atau defisiensi sel supresor (Lehner,
1992).
Banyak kelainan autoimun di dalam tubuh menimbulkan manifestasi di dalam rongga
mulut. Pemfigus vulgaris merupakan kerusakan mukokutan yang disebabkan antibodi
terhadap substansi interseluler sel-sel epitel, dengan manifestasi berupa vesikula dan hula
yang sakit (Greenberg, 1994). Mulut kering dengan erimatosa pada mukosa, disertai Iidah
pecah dan mengalami ulserasi, merupakan kelainan yang dapat dihubungkan dengan
sindroma Sjorge (Fye & Sac, 1991) karena autoantibodi terhadap jaringan konektif. Reaksi
autoimun terhadap sel parietal di dalam usus, dapat mengakibatkan defisiensi vitamin B12
yang akhimya menimbulkan kelainan-kelainan pada TMJ karena atritis reumatoid, pada
mukosa mulut karena lupus erimatosa, pada otot-otot mastikasi karenamiastenia gravis,
perdarahan pada gingiva karena autoimun purura, merupakan manifestasi orofasial karena
penyakit autoimun (Lehner, 1992).
Neoplasma di dalam rongga mulut
Aspek imunologi karsinoma di dalam rongga mulut belu banyak diketahui, namun
terlihat ada hubungannya dengan leukoplakia. Perkembangan awal leukoplakia dan
subsekuen transformasinya menjadi karsinoma, diinduksi oleh infeksi kronis bakteri (T.
pallidum, C. albicans), infeksi laten virus (H. simplex tipe 1), dan/atau bahan kimia
(merokok). Akibat induksi tadi epitel mukosa akan memberikan reaksi berupa respon imun
lokal dan sistemik (Lehner, 1992).
Perubahanepitel seperti keratosis, akantosis, atipik, dan karsinoma terjadi sekuensial
walau sering terlihat bersama pada salah satu stadium. Hal ini mungkin berhubungan
dengan perubahan antigen epitel (Herberman & Bellanti, 1985). Awal dan perkembangan
setiap stadium leukoplakia dan karsinoma, tergantung pada respon seluler yang mengatur
aktivitas antibodi. Imunodefisiensi seluler berperan selama transformasi karsinomatosa
(Lehner, 1992).

Imunologi transplantasi gigi


Gigi alograf mempunyai sifat antigenik. Sumber antigenisitas gigi terletak pada pulps,
ligamen periodontal, dan denin. Namun, transpiantasi gigi dari satu orang ke orang lain
(alograf), dapat bertahan dalam beberapa tahun tanpa matching antigen histokompatibilitas
antara donor dan resipien dan tanpa menggunakan bahan imunosupresif (Lehner, 1992).
Universitas Gadjah Mada

32

Beberapa faktor dapat digunakan untuk menjelaskan. Antigenisitas gigi tidak cukup baik dan
fungsinya tidak begitu vital seperti ginjal. Walaupun pulpa dan ligamen periodontalnya dapat
mengaami nekrosis, tetapi struktur gigi sulit mengalami resorbsi (shulman, 1973).
Gigi alograf dapat bertahan pada posisinya melalui penulangan pada akar yang
mengalami resorbsi dan ankilosis, sedang perlekatan normal tidak mungkin terjadi pada
transplantasi gigi alograf. Namun penggantian jaringan pulpa dengan bahan pengisi saluran
serta pembuangan ligamen periodontal secara enzimatik menggunakan kolagenase dan
hialuronidase, dapat mengurangi respon imun pada transplantasi gigi alograf (Lehner, 1992).
Alergi
Manifestasi alergi murni karena makanan atau bahan kimia di dalam mulut, jarang
terjadi. Material yang sering mengakibatkan reaksi alergi adalah akrilik. Alergi karena
anestesia lokal, biasanya lebih disebabkan karena alasan psikogenik (Lehner, 1992).
Kelainan di dalam rongga mulut akibat alergi berupa eritema multiforme (Greenberg, 1994)
berupa ulkus yang ekstensif yang disebabkan oleh berbagai obat (barbiturat, sulfonamid)
atau bahan mikrobial (Herpes simplex, mikoplasma). Respon imun pada alergi di dalam
rongga mulut, melibatkan IgE, komplemen C3a, C4a, dan C6a, serta respon seluler (Lehner,
1992).

Universitas Gadjah Mada

33

Anda mungkin juga menyukai