Anda di halaman 1dari 85

UNIVERSITAS ESA UNGGUL

HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG KODEFIKASI KLINIS


DENGAN PERILAKU CLINICAL CODER DI DKI JAKARTA

SKRIPSI

NURSYAFIKA
2017-03-100-57

FAKULTAS ILMU - ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI S-1 MANAJEMEN INFORMASI KESEHATAN
JAKARTA
FEBRUARI, 2020
UNIVERSITAS ESA UNGGUL

HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG KODEFIKASI KLINIS


DENGAN PERILAKU CLINICAL CODER DI DKI JAKARTA

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Manajemen Informasi Kesehatan

Disusun oleh:
NURSYAFIKA
2017-03-100-57

FAKULTAS ILMU - ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI S-1 MANAJEMEN INFORMASI KESEHATAN
JAKARTA
FEBRUARI, 2020
PERSETUJUAN UJIAN SIDANG SKRIPSI

HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG KODEFIKASI KLINIS


DENGAN PERILAKU CLINICAL CODER DI DKI JAKARTA

Skripsi ini telah disetujui untuk dilakukan ujian sidang skripsi


Program Studi Manajemen Informasi Kesehatan
Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan
Universitas Esa Unggul

Mengetahui

Pembimbing Utama Ketua Program Studi


Manajemen Informasi Kesehatan

Dr. Hosizah, SKM, MKM


NIDN.0319027102
Ambarwati, SST., M.Kes
NUPN.9903250765

iii
HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : Nursyafika

NIM 20170310057

Program Studi : S-1 Manajemen Informasi Kesehatan

Judul Skripsi : Hubungan Pengetahuan tentang Kodefikasi Klinis dengan Perilaku


Clinical Coder di DKI Jakarta

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Tim Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan
yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Manajemen Informasi Kesehatan (S.MIK)
Pada Program Studi Manajemen Informasi Kesehatan Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan, Universitas
Esa Unggul

Dewan Penguji

Pembimbing : Ambarwati, SST.,M.Kes ( )

Penguji : Dr. Hosizah, SKM, M.KM ( )

Penguji : Mieke Nurmalasari, S.Si, M.Si, M.Sc ( )

Ditetapkan di : Universitas Esa Unggul

Ketua Program Studi : Dr. Hosizah, SKM, M.KM ( )

Tanggal : 26 Februari 2020

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul
“Hubungan pengetahuan tentang kodefikasi klinis dengan perilaku clinical coder di
DKI Jakarta”. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu
syarat untuk mencapai gelar Sarjana Manajemen Informasi Kesehatan pada Program
Studi Manajemen Informasi Kesehatan Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas
Esa Unggul.

Penulis Menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terima kasih kepada:

1. Dr. Aprilita Rina Yanti Eff, M.Biomed, Apt., selaku Dekan Fakultas Ilmu-Ilmu
Kesehatan Universitas Esa Unggul.
2. Dr. Hosizah, SKM, MKM, selaku Ketua Program Studi Manajemen Informasi
Kesehatan.
3. Ambarwati, SST., M.Kes, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam penyusunan
skripsi ini.
4. Witri Zuama Qomarania, SKM, M.Epid selaku penguji proposal yang telah
menguji serta membimbing dalam penyusunan skripsi ini.
5. Mieke Nurmalasari, M.Si, M.Sc selaku penguji skripsi yang telah menguji serta
membimbing dalam penyusunan skripsi ini.
6. Ratih Wulandari, Amd.Perkes, selaku Ketua DPD PORMIKI DKI Jakarta yang
telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian di DPD PORMIKI DKI
Jakarta.
7. Seluruh Pengurus dan anggota DPD PORMIKI DKI Jakarta yang telah
bekerjasama dengan baik selama penelitian melakukan observasi awal.
8. Seluruh Bapak/Ibu Dosen di Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan terutama pada Prodi
Manajemen Informasi Kesehatan.

v
9. Orang Tua, Saudara serta Keluarga, yang senantiasa selalu mengirimkan doa,
dukungan material dan moral dalam penyusunan skripsi ini.

Akhir kata, penulis berharap Allah Yang Maha Esa berkenan membalas
segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu.

Penulis

Nursyafika

vi
Universitas Esa Unggul

ABSTRAK

Nama : Nursyafika
Program Studi : Sarjana Manajemen Informasi Kesehatan
Judul : Hubungan Pengetahuan tentang Kodefikasi Klinis dengan Perilaku
Clinical Coder di DKI Jakarta

Petugas rekam medis sebagai seorang pemberi kode (clinical coder), sesuai dengan kompetensinya
bertanggung jawab atas keakuratan kode dari suatu diagnosis yang sudah ditetapkan oleh tenaga
medis/dokter. Seorang clinical coder profesional harus memenuhi standar dan etik pengkodean salah
satunya selalu berkonsultasi dengan dokter untuk klarifikasi dan kelengkapan pengisian data diagnosis
dan tindakan. Selain itu juga kedisiplinan dalam mematuhi aturan-aturan penggunaan ICD-10 dalam
penetapan kode diagnosis. Keakuratan kode diagnosis tersebut akan mempengaruhi keakuratan
laporan. Kode diagnosis yang tidak tepat akan mempengaruhi pelaksanaan pengelolaan rekam medis
selanjutnya, yaitu pelaksanaan indeks penyakit dan pelaporan rumah sakit serta berpengaruh terhadap
proses klaim untuk pasien yang ditanggung asuransi. Dari beberapa penelitian sebelumnya masih
ditemukan ketidaktepatan pengkodean rekam medis setiap tahunnya di beberapa rumah sakit di DKI
Jakarta, pengetahuan dan perilaku merupakan bagian dari faktor yang mempengaruhi clinical coder
terhadap keakuratan kode. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan
pengetahuan tentang kodefikasi klinis dengan perilaku clinical coder di DKI Jakarta. Jenis Penelitian
ini adalah penelitian kuantitatif dengan rancangan penelitian cross sectional. Sampel dalam penelitian
ini berjumlah 82 responden dari anggota DPD PORMIKI DKI Jakarta. Berdasarkan hasil analisis
dengan uji korelasi pearson, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
pengetahuan dengan perilaku clinical coder (p-value = 0,000) dan menunjukkan hubungan yang kuat
(r=0,510) dan berpola positif artinya semakin bertambah tingkat pengetahuan clinical coder semakin
baik perilaku clinical coder.

Kata kunci : Clinical coder, kodefikasi klinis, ICD 10, ICD-9-CM, pengetahuan, perilaku,

viii
Universitas Esa Unggul

ABSTRACT

Name : Nursyafika
Program Study : S1 Health Information Management
Title : Relationship of Knowledge about Clinical Codefication with Clinical
Coder Behavior in DKI Jakarta

The medical record officer as a provider of code (clinical coder), according to his competence is
responsible for the accuracy of the code of a diagnosis that has been determined by medical personnel
/ doctors. A professional clinical coder must meet coding standards and ethics, one of which is always
to consult with a doctor for clarification and completeness of filling in diagnosis and action data. In
addition, discipline in complying with the rules of the use of ICD-10 in determining the diagnosis
code. The accuracy of the diagnosis code will affect the accuracy of the report. Incorrect diagnosis
code will affect the implementation of the management of further medical records, namely the
implementation of the disease index and hospital reporting as well as influencing the claim process
for patients covered by insurance. From previous studies, it is still found that inaccurate coding of
medical records every year in several hospitals in DKI Jakarta, knowledge and behavior are part of
the factors that influence clinical coder on code accuracy. The purpose of this study was to analyze
the relationship of knowledge about clinical codefication with clinical coder behavior in DKI Jakarta.
This type of research is a quantitative study with a cross sectional study design. The sample in this
study amounted to 82 respondents from DKI Jakarta PORMIKI DPD members. Based on the results
of the analysis with the Pearson correlation test, it can be concluded that there is a significant
relationship between knowledge and clinical coder behavior (p-value = 0,000) and shows a strong
relationship (r = 0.510) and positive pattern means that the more the level of clinical coder
knowledge the better the behavior clinical coder.

Keywords: Clinical coder, clinical codefication, ICD 10, ICD-9-CM, knowledge, behavior,

ix
Universitas Esa Unggul

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ..................................................................................................i

Halaman Pernyataan Keaslian ........................................................................ii

Lembar Persetujuan .........................................................................................iii

Halaman Pengesahan ........................................................................................iv

Kata Pengantar..................................................................................................v

Halaman Persetujuan Publikasi Ilmiah ..........................................................vii

Abstrak ...............................................................................................................viii

Daftar Isi ............................................................................................................x

Daftar Tabel.......................................................................................................xiii

Daftar Gambar ..................................................................................................xiv

Daftar Lampiran ...............................................................................................xv

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................1


1.1 Latar Belakang ............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................3
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................3
1.3.1 Tujuan Umum .........................................................................................3
1.3.2 Tujuan Khusus ........................................................................................4
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................................4
1.5 Ruang Lingkup ..............................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................5
2.1 Landasan Teori ............................................................................................5
2.1.1 Perilaku Clinical Coder...........................................................................5
2.1.2 Sistem Klasifikasi dan Kodefikasi ..........................................................8
x
Universitas Esa Unggul

2.1.3 Standar dan Etik Pengkodean..................................................................9


2.1.4 Sembilan Langkah Dasar dalam Menentukan Kode ...............................10
2.1.5 International Statistical Classification of Disease and Related Health
Problem (ICD) 10 & 9 CM .....................................................................11
2.1.6 Aturan Koding ICD-10 ...........................................................................16
2.1.7 Aturan Koding ICD-9 CM ......................................................................18
2.1.8 Perekam Medis dan Informasi Kesehatan ...............................................19
2.1.8.1Clinical Coder .................................................................................20
2.1.9.2 Kompetensi Tenaga Koding ...........................................................21
2.2 Penelitian Terdahulu ...................................................................................22
2.3 Kerangka Berpikir .......................................................................................25
2.4 Kerangka Konsep ........................................................................................26
2.5 Hipotesis Penelitian.....................................................................................26
2.6 Definisi Operasional....................................................................................27
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .......................................................28
3.1 Jenis Penelitian ............................................................................................28
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................................28
3.3 Populasi dan Sampel ...................................................................................28
3.3.1 Populasi ...................................................................................................28
3.3.2 Sampel .....................................................................................................28
3.4 Etika Penelitian ...........................................................................................29
3.5 Teknik Pengumpulan Data ..........................................................................30
3.6 Instrumen Penelitian....................................................................................31
3.7 Teknik Analisis Data ...................................................................................35
3.7.1 Analisis Univariat....................................................................................35
3.7.2 Analisis Bivariat ......................................................................................36
BAB IV HASIL PENELITIAN ........................................................................38
4.1 Perhimpunan Profesional Perekam Medis dan Informasi Kesehatan Indonesia
(PORMIKI) ................................................................................................38
4.1.1 Sejarah PORMIKI ...................................................................................38
4.1.2 DPD PORMIKI DKI Jakarta ..................................................................40
4.2 Hasil Penelitian ...........................................................................................41
xi
Universitas Esa Unggul

4.2.1 Karakteristik Responden .........................................................................41


4.2.2 Analisis Univariat....................................................................................42
4.2.3 Analisis Bivariat ......................................................................................44
4.3 Keterbatasan Penelitian ...............................................................................45
BAB V PEMBAHASAN ...................................................................................46
5.1 Pengetahuan tentang Kodefikasi Klinis ......................................................46
5.2 Perilaku Clinical Coder...............................................................................47
5.3 Hubungan Pengetahuan tentang Kodefikasi Klinis dengan Perilaku Clinical
Coder di DKI Jakarta ...................................................................................48
BAB VI PENUTUP ...........................................................................................49
6.1 Kesimpulan .................................................................................................49
6.2 Saran............................................................................................................49
DAFTAR PUSTAKA

xii
Universitas Esa Unggul

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Tabel Halaman

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu 22


Tabel 2.2 Definisi Operasional 27
Tabel 3.1 Hasil Uji Validitas Variabel Pengetahuan 31
Tabel 3.2 Hasil Uji Realibilitas Variabel Pengetahuan 33
Tabel 3.3 Hasil Uji Validitas Variabel Perilaku 34
Tabel 3.4 Hasil Uji Realibilitas Variabel Perilaku 35
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden 41
di DKI Jakarta
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Usia Responden di DKI 41
Jakarta
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Pendidikan Terakhir 42
Responden di DKI Jakarta
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Masa Kerja Responden di 42
DKI Jakarta
Tabel 4.5 Perhitungan Total Skor Jawaban Responden 43
Mengenai Pengetahuan Clinical Coder tentang
Kodefikasi Klinis di DKI Jakarta
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden di 43
DKI Jakarta
Tabel 4.7 Perhitungan Total Skor Jawaban Responden 44
Mengenai Perilaku Clinical Coder di DKI
Jakarta
Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Perilaku Responden di DKI 44
Jakarta
Tabel 4.9 One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test 44
Tabel 4.10 Hubungan Pengetahuan tentang Kodefikasi 45
Klinis dengan Perilaku Clinical Coder di DKI
Jakarta

xiii
Universitas Esa Unggul

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Gambar Halaman

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir 25


Gambar 2.2 Kerangka Konsep 26
Gambar 4.1 Struktur Organisasi DPD PORMIKI DKI 41
Jakarta

xiv
Universitas Esa Unggul

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Lampiran


Lampiran 1 Formulir Bimbingan
Lampiran 2 Surat Permohonan Izin Penelitian
Lampiran 3 Keterangan Lolos Kaji Etik Universitas Esa Unggul
Lampiran 4 Formulir Perintah Perbaikan Sidang Proposal Skripsi
Lampiran 5 Surat Keterangan Izin Penelitian
Lampiran 6 Kuesioner Hubungan Pengetahuan tentang Kodefikasi
Klinis dengan Perilaku Clinical Coder di DKI Jakarta
Lampiran 7 Data Set
Lampiran 8 Hasil Output SPSS
Lampiran 9 Bukti Perbaikan Sidang Skripsi

xv
Universitas Esa Unggul

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kompetensi perekam medis yaitu perekam medis diharuskan mampu
melakukan tugas dalam memberikan pelayanan rekam medis dan informasi
kesehatan yang bermutu tinggi dengan memperhatikan beberapa kompetensi,
salah satunya klasifikasi dan kode klasifikasi penyakit yang didalamnya
dijelaskan bahwasanya seorang petugas rekam medis harus mampu menetapkan
kode penyakit dan tindakan dengan tepat sesuai petunjuk dan peraturan pada
pedoman buku International Statistical Classification of Disease and Related
Health Problems (ICD) yang berlaku, tentang penyakit dan tindakan medis dalam
pelayanan dan manajemen kesehatan (1) (2).
Petugas rekam medis sebagai seorang pemberi kode (clinical coder),
sesuai dengan kompetensinya bertanggung jawab atas keakuratan kode dari suatu
diagnosis yang sudah ditetapkan oleh tenaga medis/dokter. Seorang clinical
coder profesional harus memenuhi standar dan etik pengkodean salah satunya
selalu berkonsultasi dengan dokter untuk klarifikasi dan kelengkapan pengisian
data diagnosis dan tindakan. Selain itu juga kedisiplinan dalam mematuhi aturan-
aturan penggunaan ICD-10 dalam penetapan kode diagnosis. Karena keakuratan
kode diagnosis tersebut akan mempengaruhi keakuratan laporan. Kode diagnosis
yang tidak tepat akan mempengaruhi pelaksanaan pengelolaan rekam medis
selanjutnya, yaitu pelaksanaan indeks penyakit dan pelaporan rumah sakit serta
berpengaruh terhadap proses klaim untuk pasien yang ditanggung asuransi (2) (3)
(4).
Penelitian Ernawati (2016) di Rumah Sakit Pertamina Jaya menyatakan
bahwa perilaku petugas rekam medis bagian koding yang menetapkan kode
hanya melihat dari buku ICD-10 volume 3 saja dan petugas tersebut paling
sering memverifikasi kode NIDDM dengan kode E11.8 sedangkan kode E11.8
adalah kode NIDDM untuk unspecified complication, padahal komplikasi pada
pasien diketahui. Pada penelitian Winanda (2015) di RSJ DR Soeharto Heerdjan
1
Universitas Esa Unggul

menyatakan bahwa kurang tepatnya pengkodean dikarenakan petugas yang


kurang teliti dalam mengkode diagnosis dan salah membaca diagnosis. Misalnya
pada diagnosis gangguan tingkah laku (conduct disorder) seharusnya
menggunakan kode F91.9, bukan F84.9. Penelitian Maulida (2018) di RSUD
Cengkareng menyatakan bahwa penyebab ketidaktepatan kode diagnosis katarak
adalah petugas koding tidak melakukan konfirmasi kembali jika menemukan
diagnosis yang tidak jelas terbaca kepada dokter terkait. (5) (6) (7).
Satu diantara faktor yang mempengaruhi perilaku petugas yang kurang
baik adalah kurangnya disiplin kerja dan tanggung jawab terhadap pekerjaan
sehingga petugas sudah terbiasa bekerja dengan budaya kerja yang ada.
Berdasarkan dari beberapa penelitian bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi clinical coder terhadap keakuratan kode yaitu pendidikan, usia,
masa kerja, pengetahuan, sikap, perilaku, pelatihan, dan beban kerja (8).
Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan clinical
coder salah dalam pemberian kode diagnosis. Kurangnya pengetahuan clinical
coder tentang tata cara penggunaan ICD-10 dan ketentuan-ketentuan yang ada
didalamnya serta pengetahuan penunjang lainnya yang berkaitan dengan koding
dan yang mendukung ketepatan dalam pemberian kode diagnosis.
Dari hasil penelitian Widjaya, dkk (2014) menyatakan bahwa dari total 24
koder dari beberapa rumah sakit di Jakarta yang dijadikan responden, jumlah
koder yang akurat mengkode hanya berjumlah 37,5% (9 koder). Hasil penelitian
Ernawati (2016) di Rumah Sakit Pertamina Jaya menyatakan bahwa, dari 59
rekam medis kasus NIDDM tahun 2016 yang diteliti, hanya terdapat 1 kode
NIDDM tepat (1,69%). Hasil penelitian Octhareja (2017) di Rumah Sakit Medika
Permata Hijau menyimpulkan bahwa dari 96 sampel rekam medis, hanya terdapat
32 (32,29%) kode diagnosis yang tepat sesuai ICD-10. Hasil penelitian Mussy
(2018) di RSPAD Gatot Subroto menyatakan bahwa, dari 75 rekam medis
sampel kasus bedah hanya terdapat 45 rekam medis (64,7%) yang tepat. Hasil
penelitian Muryanti (2019) di Departemen Radioterapi RSCM Jakarta
menyatakan bahwa dari 175 sampel, terdapat kode tofografi tepat sebanyak 110
rekam medis (62,8%) dan ketidaktepatan kode tofografi sebanyak 65 rekam
2
Universitas Esa Unggul

medis (37,2%) dan kode morfologi tidak tepat sebanyak 175 rekam medis
(100%) (5) (9) (10) (11) (12).
Hasil penelitian Rohani (2019) di Rumah Sakit Kanker “Dharmais”
menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan clinical
coder dengan kualitas koding klinis dengan nilai p-value = 0,043 < 0,05 (8). Pada
penelitian Utami (2015), Sudra, Pujihastuti (2016) dan Widjaya, Rumana (2014)
juga membuktikan bahwa pengetahuan petugas tentang kodefikasi diagnosis
penyakit yang baik dapat meningkatkan keakuratan kode diagnosis penyakit (13)
(14) (9).
Berdasarkan beberapa penelitian di Jakarta yang setiap tahunnya masih
ditemukan ketidakakuratan kode pada rekam medis, untuk itu penulis tertarik
melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Pengetahuan tentang Kodefikasi
Klinis dengan Perilaku Clinical Coder di DKI Jakarta”

1.2 Rumusan Masalah


Pelaksanaan pengkodean harus lengkap dan akurat sesuai dengan arahan
ICD-10. Kode diagnosis pasien apabila tidak terkode dengan akurat
mengakibatkan informasi yang dihasilkan akan mempunyai tingkat validasi yang
rendah. Berdasarkan beberapa penelitian, di DKI Jakarta setiap tahunnya masih
ditemukan ketidaktepatan pengkodean rekam medis. Hal ini tentu akan
mengakibatkan ketidakakuratan pembuatan laporan misalnya laporan morbiditas
penyakit, laporan sepuluh besar penyakit, maupun untuk proses klaim BPJS.
Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan pengetahuan
tentang kodefikasi klinis dengan perilaku clinical coder di DKI Jakarta?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Menganalisis hubungan pengetahuan tentang kodefikasi klinis
terhadap perilaku clinical coder dalam pengkodean rekam medis di DKI
Jakarta

3
Universitas Esa Unggul

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mendeskripsikan pengetahuan clinical coder tentang kodefikasi klinis
2. Mendeskripsikan perilaku clinical coder dalam pengkodean rekam medis
3. Menganalisis hubungan pengetahuan tentang kodefikasi klinis terhadap
perilaku clinical coder dalam pengkodean rekam medis di DKI Jakarta

1.4 Manfaat Penelitian


1. DPD PORMIKI
Dapat digunakan sebagai informasi, masukan dan bahan pertimbangan untuk
penyusunan program kerja berikutnya dalam peningkatan kompetensi PMIK
anggota DPD PORMIKI DKI Jakarta khususnya pada kompetensi klasifikasi
dan kodefikasi penyakit.
2. Institusi Pendidikan
Dapat digunakan sebagai bahan referensi penelitian dan pengetahuan serta
memberikan masukan materi sebagai pembelajaran bagi mahasiswa
Manajemen Informasi Kesehatan.
3. Penulis
Menambah wawasan bagi penulis, sebagai bahan perbandingan antara teori
yang didapat selama perkuliahan dengan yang ada dilapangan.

1.5 Ruang Lingkup


Penelitian yang akan peneliti ambil yaitu Hubungan Pengetahuan tentang
Kodefikasi Klinis terhadap Perilaku Clinical Coder di DKI Jakarta. Penelitian ini
dilakukan di DPD PORMIKI DKI Jakarta. Waktu Penelitian dilakukan pada
bulan Oktober 2019 - Maret 2020. Subjek penelitiannya yaitu anggota DPD
PORMIKI DKI Jakarta yang bekerja sebagai Clinical Coder. Jenis penelitian ini
adalah penelitian kuantitatif dengan rancangan penelitian cross sectional. Alasan
peneliti melakukan penelitian dengan topik ini karena dari beberapa penelitian
masih ditemukan ketidaktepatan pengkodean rekam medis setiap tahunnya di
beberapa rumah sakit di DKI Jakarta, pengetahuan dan perilaku merupakan
bagian dari faktor yang mempengaruhi clinical coder terhadap keakuratan kode.
4
Universitas Esa Unggul

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Perilaku Clinical Coder
Salah satu kompetensi perekam medis adalah klasifikasi dan
kodefikasi penyakit, yang didalamnya dijelaskan bahwasanya seorang
petugas rekam medis harus mampu menentukan kode diagnosis pasien
sesuai petunjuk dan peraturan pada pedoman buku ICD yang berlaku. Selain
itu, sebelum kode diagnosis ditetapkan clinical coder juga harus
berkonsultasi dengan dokter untuk klarifikasi mengenai hal-hal yang kurang
jelas atau tidak lengkap pada pengisian data diagnosis dan tindakan pada
rekam medis pasien yang telah selesai mendapatkan pelayanan baik rawat
jalan maupun rawat inap. Sehingga pengkodean ditandai dengan laporan
kode yang jelas, akurat dan konsisten untuk menghasilkan data yang
berkualitas bagi kepentingan informasi morbiditas (1) (4).
Menurut L.Green (1980) dalam Notoatmodjo (2013), perilaku
dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu :
1. Faktor predisposisi (predisposing factors) yang terwujud dalam
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, tradisi dan kepercayaan
masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem
yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan
sebagainya.
a. Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo, Pengetahuan adalah apa yang diketahui oleh
seseorang tentang sesuatu hal yang didapat secara formal maupun
informal.
b. Sikap
Menurut Notoatmodjo Sikap adalah menggambarkan suka atau tidak
suka seseorang terhadap objek, sikap sering diperoleh dari
pengalaman sendiri atau dari orang lain yang paling dekat.
5
Universitas Esa Unggul

c. Kepercayaan
Kepercayaan adalah kemauan seseorang untuk bertumpuh pada orang
lain dimana kita memiliki keyakinan padanya, kepercayaan
merupakan kondisi mental yang didasarkan oleh situasi seseorang dan
konteks sosialnya.
d. Keyakinan
Keyakinan adalah asumsi dan kepercayaan yang dianggap benar oleh
seorang individu atau kelompok, mengenai konsep, kejadian, orang –
orang dan hal – hal tertentu, secara sadar menyerap keyakinan.
2. Faktor pemungkin (enabling factors) adalah faktor-faktor yang
memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang
dimaksud dengan faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau
fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan.
3. Faktor pendorong (reinforcing factors) adalah faktor-faktor yang
mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku, terwujud dalam sikap
dan perilaku petugas, undang-undang, peraturan-peraturan, baik dari
pusat maupun pemerintah daerah, yang terkait dengan kesehatan (15).

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku clinical coder


berdasarkan 3 faktor teori L.Green (1980) dalam Notoatmodjo (2013):
1. Faktor predisposisi (predisposing factors) yang terwujud dalam:
a. Pengetahuan
Pelaksanaan pengkodean harus lengkap dan akurat sesuai
dengan arahan ICD-10. Keakuratan kode diagnosis pada berkas
rekam medis dipakai sebagai dasar pembuatan laporan. Kode
diagnosis pasien apabila tidak terkode dengan akurat
mengakibatkan informasi yang dihasilkan akan mempunyai tingkat
validasi yang rendah. Hal ini tentu akan mengakibatkan
ketidakakuratan pembuatan laporan misalnya laporan morbiditas
penyakit, laporan sepuluh besar penyakit, maupun untuk proses
klaim BPJS. Dengan demikian kode yang akurat dan mutlak harus
6
Universitas Esa Unggul

diperoleh agar laporan yang dibuat dapat dipertanggungjawabkan.


Petugas clinical coder sebagai seorang pemberi kode bertanggung
jawab atas keakuratan kode dari suatu diagnosis yang sudah
ditetapkan oleh tenaga medis/dokter. Oleh karena itu, seorang
clinical coder harus mempunyai pengetahuan yang baik bukan
hanya tentang terminologi medis, anatomi dan fisiologi,
pengetahuan dasar tentang prosedur klinis dan penyakit serta
cedera lain, tetapi juga mempunyai pengetahuan tentang tata cara
penggunaan dan aturan-aturan yang terdapat dalam ICD (16) (17)
(18).
b. Sikap
Sikap clinical coder yaitu respon petugas rekam medis
terhadap pentingnya pengetahuan serta menerapkan informasi dan
menentukan kode (8).
c. Tradisi dan Keyakinan
Pada prakteknya, rata-rata petugas clinical coder tidak
membuka ICD-10 volume 1, tetapi langsung pada buku kode
instan. Sehingga petugas tidak mengetahui bagian-bagian yang ada
didalam ICD-10. Satu diantara faktor yang mempengaruhi petugas
yang kurang baik adalah kurangnya disiplin kerja dan tanggung
jawab terhadap pekerjaan sehingga petugas sudah terbiasa bekerja
dengan budaya kerja yang ada (8) (19).
2. Faktor pemungkin (enabling factors) adalah sarana dan prasarana atau
fasilitas untuk terjadinya perilaku clinical coder. Rekam medis yang
menjadi sumber untuk melakukan kodefikasi, tentunya kualitas rekam
medis diperlukan. Baik dari kelengkapan, kekonsistenian, keakuratan
dan ketepatan waktu pengisian rekam medis, serta ketepatan pencatatan
diagnosis pasien. Selain itu, fasilitas pelaksanaan pengkodean menjadi
sarana dalam melaksanakan pengkodean. Fasilitas yang mendukung
pelaksanaan pengkodean diagnosis diantaranya ICD-10 (volume 1, 2,

7
Universitas Esa Unggul

dan 3), ICD-9-CM, kamus kedokteran, buku terminologi, dan kamus


bahasa inggris indonesia (8) (15).
3. Faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas, termasuk juga undang-undang, dan kebijakan.
Kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan rumah sakit yang
ditetapkan oleh direktur atau pimpinan rumah sakit yang bersifat garis
besar dan mengikat. Untuk penerapannya perlu disusun pedoman,
panduan dan Standar Prosedur Operasional (SPO) yang jelas langkah-
langkah dalam melaksanakan kebijakan tersebut. Kebijakan tentang
acuan dalam pelaksanaan kegiatan pengkodean. Agar pelaksanaan
kegiataan berjalanan lancar maka diperlukan isi kebijakan yang jelas
dan rinci. Kebijakan antara lain SPO, pedoman dan panduan. Kebijakan
mampu mempengaruhi cara kerja tenaga medis dalam mengisi rekam
medis serta cara kerja clinical coder dalam melakukan pengkodean
klinis (8) (15).

2.1.2 Sistem Klasifikasi dan Kodefikasi


Kode adalah tulisan, kata-kata, tanda yang dengan persetujuan
mempunyai arti atau maksud tertentu, untuk telegram dan sebagainya (20).
Sistem klasifikasi adalah sistem yang mengelompokkan penyakit-penyakit
dan prosedur-prosedur yang sejenis dalam satu grup nomor kode penyakit dan
tindakan yang sejenis (4). Klasifikasi dapat didefinisikan sebagai suatu sistem
penggolongan (kategori) dimana kesatuan penyakit (morbid entities) disusun
berdasarkan kriteria yang telah ditentukan (21). Kegiatan pengkodean adalah
pemberian kode dengan menggunakan huruf dan angka atau kombinasi huruf
dan angka yang mewakili komponen data. Kegiatan dilakukan setelah
perakitan dan analisis kelengkapan berkas. Kegiatan dan tindakan serta
diagnosis yang ada didalam rekam medis harus diberi kode dan selanjutnya di
indeks agar memudahkan pelayanan pada penyajian informasi untuk
menunjang fungsi perencanaan, manajemen dan riset bidang kesehatan.
Tenaga rekam medis sebagai pemberi kode bertanggung jawab atas
8
Universitas Esa Unggul

keakuratan kode. Koding merupakan kegiatan memberikan kode diagnosis


utama dan diagnosis sekunder sesuai dengan ICD-10 (International Statistical
Classification of Diseases and Related Health Problems) yang diterbitkan
oleh WHO serta memberikan kode tindakan/prosedur sesuai dengan ICD-9-
CM (International Classification of Diseases Revision Clinical Modification)
(22).
Sistem klasifikasi memudahkan pengaturan dan pencatatan,
pengumpulan, penyimpanan, pengambilan, dan analisis kesehatan. Terlebih
lagi, sistem ini juga membantu pembangunan dan penerapan sistem
pencatatan dan pengumpulan data pelayanan klinis pasien secara manual
maupun elektronik (4). Kegiatan Kodefikasi penyakit oleh WHO bertujuan
untuk menyeragamkan nama golongan penyakit, cidera, gejala dan faktor
yang mempengaruhi kesehatan (21). Sejak tahun 1993 WHO mengharuskan
negara anggotanya termasuk Indonesia menggunakan klasifikasi penyakit
revisi 10 yaitu ICD-10. Namun di indonesia sendiri ICD-10 baru ditetapkan
untuk menggantikan ICD-9 pada tahun 1998 melalui SK Menkes RI No.
50/MENKES/KES/SK/I/1998, sedangkan untuk pengkodean tindakan medis
dilakukan menggunakan ICD-9-CM.

2.1.3 Standar dan Etik Pengkodean


Standar dan etik pengkodean (coding) yang dikembangkan AHIMA,
meliputi beberapa standar yang harus dipenuhi oleh seorang pengkode
(koder) profesional, antara lain:
1. Akurat, komplit, dan konsisten untuk menghasilkan data yang
berkualitas
2. Pengode harus mengikuti sistem klasifikasi yang sedang berlaku
dengan memilih pengkodean diagnosis dan tindakan yang tepat
3. Pengkodean harus ditandai dengan laporan kode yang jelas dan
konsisten pada dokumentasi dokter dalam rekam medis pasien
4. Pengode profesional harus berkonsultasi dengan dokter untuk
klarifikasi dan kelengkapan pengisian data diagnosis dan tindakan
9
Universitas Esa Unggul

5. Pengode profesional tidak mengganti kode pad bill pembayaran


6. Pengode profesional harus sebagai anggota dari tim kesehatan, harus
membantu dan menyosialisasikan kepada dokter dan tenaga kesehatan
lain
7. Pengode profesional harus mengembangkan kebijakan pengkodean di
institusinya
8. Pengode profesional harus secara rutin meningkatkan kemampuannya
di bidang pengkodean
9. Pengode profesional senantiasa berusaha untuk memberi kode yang
paling sesuai untuk pembayaran. (4)

2.1.4 Sembilan Langkah Dasar dalam Menentukan Kode


1. Tentukan tipe pernyataan yang akan dikode, dan buka volume 3
Alphabetical Index (kamus). Bila pernyataan adalah istilah penyakit
atau cedera atau kondisi lain yang terdapat pada Bab I – XIX (Vol.1),
gunakanlah ia sebagai “lead term” untuk dimanfaatkan sebagai
panduan menelusuri istilah yang dicari pada seksi 1 indeks (Vol.3). Bila
pernyataan adalah penyebab luar (external cause) dari cedera (bukan
nama penyakit) yang ada di Bab XX (Vol.1), lihat dan cari kodenya
pada seksi II di Index (Vol.3).
2. “lead term” (kata panduan) untuk penyakit dan cedera biasanya
merupakan kata benda yang memaparkan kondisi patologisnya.
Sebaiknya jangan menggunakan istilah kata benda anatomi, kata sifat
atau kata keterangan sebagai kata panduan. Walaupun demikian,
beberapa kondisi ada yang diekspresikan sebagai kata sifat atau
eponym (menggunakan nama penemu) yang tercantuk di dalam indeks
sebagai “lead term”.
3. Baca dengan saksama dan ikuti petunjuk catatan yang muncul di bawah
istilah yang akan dipilih pada volume 3.
4. Baca istilah yang terdapat dalam tanda kurung “( )” sesudah “lead
term” (kata dalam tanda kurung = modifier, tidak akan memengaruhi
10
Universitas Esa Unggul

kode). Istilah lain yang ada lead term (dengan tanda (-) minus = idem =
indent) dapat memengaruhi nomor kode, sehingga semua kata-kata
diagnostic harus diperhitungkan.
5. Ikuti secara hati-hati setiap rujukan silang (cross references) dan
perintah see dan see also yang terdapat dalam indeks.
6. Lihat daftar tabulasi (Vol.1) untuk mencari nomor kode yang paling
tepat. Lihat kode tiga karakter di indeks dengan tanda minus pada
posisi ke empat yang berarti bahwa isian untuk karakter ke empat itu
ada di volume 1 dan merupakan posisi tambahan yang tidak ada dalam
indeks (Vol.3). Perhatikan juga perintah untuk membubuhi kode
tambahan (additional code) serta aturan cara penulisan dan
pemanfaatannya dalam pengembangan indeks penyakit dan dalam
sistem pelaporan morbiditas dan mortalitas.
7. Ikuti pedoman Inclusion dan Exclusion pada kode yang dipilih atau
bagian bawah suatu bab (Chapter), blok kategori dan sub kategori.
8. Temukan kode yang anda pilih.
9. Lakukan analisis kuantitatif dan kualitatif data diagnosis yang dikode
untuk pemastian kesesuaiannya dengan pernyataan dokter tentang
diagnosis utama di berbagai lembar formulir rekam medis pasien, guna
menunjang aspek legal rekam medis yang dikembangkan (4).

2.1.5 International Statistical Classification of Disease and Related Health


Problems (ICD) 10 & 9 CM
1. Pengertian ICD 10
International Statistical Classification of Disease and Related
Health Problems (ICD) 10 adalah suatu klasifikasi penyakit yang
merupakan sistem kategori yang mengelompokkan satuan penyakit
menurut kriteria yang telah disepakati dan diakui secara internasional
yang berisi pedoman untuk merekam dan memberi kode penyakit,
disertai dengan materi baru yang berupa aspek praktis penggunaan
klasifikasi (21).
11
Universitas Esa Unggul

2. Fungsi dan Kegunaan ICD 10


Fungsi ICD sebagai sistem klasifikasi penyakit dan masalah
terkait kesehatan digunakan untuk kepentingan informasi statistic
morbiditas dan mortalitas. Penerapan pengkodean sistem ICD
digunakan untuk:
a. Mengindeks pencatatan penyakit dan tindakan di sarana
pelayanan kesehatan
b. Masukan bagi sistem pelaporan diagnosis medis
c. Memudahkan proses penyimpanan dan pengambilan data terkait
diagnosis karakteristik pasien dan penyedia layanan
d. Bahan dasar dalam pengelompokan DRGs (diagnosis related
group) untuk sistem penagihan pembayaran tiap pelayanan
e. Pelaporan nasional dan internasional morbiditas dan mortalitas
f. Tabulasi data pelayanan kesehatan bagi proses evaluasi
perencanaan medis
g. Menentukan bentuk pelayanan yang harus direncanakan dan
dikembangkan sesuai kebutuhan zaman
h. Analisis pembiayaan pelayanan kesehatan
i. Untuk penelitian epidemiologi dan klinis (4).
3. Penggunaan ICD 10
Dalam menggunakan ICD-10, perlu diketahui dan dipahami
bagaimana cara pencarian dan pemilihan nomor kode yang
diperlukan. Pengkodean dijalankan melalui penahapan mencari istilah
di buku ICD Volume 3, kemudian mencocokkan kode yang
ditemukan dengan yang ada di volume 1. Petunjuk dan peraturan
morbiditas serta petunjuk dan peraturan kode mortalitas yang terdapat
pada buku ICD-10 volume 2 hendaknya dikuasai dengan benar.
4. Alat Klasifikasi ICD 10
Sistem klasifikasi yang harus digunakan sejak tahun 1996
sampai saat ini adalah ICD-10 dari WHO (Klasifikasi Statistik

12
Universitas Esa Unggul

Internasional mengenai penyakit dan masalah yang berhubungan


dengan kesehatan, Revisi kesepuluh) (4).
Sistem pengkodean dalam ICD-10 menggunakan penomoran
kode alfanumerik. Di dalam ICD-10 setiap bab dimulai dengan abjad.
Dari 26 huruf abjad A-Z yang tersedia, 25 huruf sudah digunakan
pada edisi 1992. Huruf U yang disiapkan untuk penambahan temuan
atau riset penyakit yang baru sebelumnya revisi berikutnya dilakukan
dilibatkan pada edisi 2014 (4).
5. Konvensi dan Tanda Baca dalam ICD 10
Kegunaan dari konvensi dalam ICD-10 ini yaitu sebagai
petunjuk dalam membaca atau merujuk kode yang tepat menurut
klasifikasi penyakit dalam ICD -10. Dalam ICD-10 memiliki beberapa
tanda baca yang mempunyai makna yang berbeda antara satu dengan
yang lainnya. Berikut merupakan konvensi yang ditemukan di dalam
ICD-10 (21).
a. Termasuk (Inclusion)
Berfungsi sebagai tambahan diagnostik yang dapat diklasifikasian
dalam kelompok yang bersangkutan
b. Tidak Termasuk (Exclusion)
Menunjukkan suatu kondisi yang diklasifikasian di kelompok lain
yang artinya bahwa kode tersebut bukan kode yang disarankan.
c. Termasuk dan Tidak Termasuk (Inclusion and Exclusion)
Inclusion and Exclusion tercantum dalam “notes” dari judul bab,
blok atau kategori dan biasanya tercantum dalam tanda kurung
persegi, kurung kurawa atau setelah titik dua
d. Tanda Kurung “( )”
Digunakan untuk :
1) Menjelaskan kata-kata penjelasan diagnostik
2) Menyertakan kode yang dimaksud oleh ‘exclusion’
3) Menyertakan kode dalam kategori 3 karakter yang ada
diawal blok apabila tanda kurung terdapat pada judul blok
13
Universitas Esa Unggul

4) Menyatakan kode sangkur dalam kategori bintang dan


sebaliknya
e. Tanda Kurung Kurawal “{ }”
Tanda ini digunakan untuk mengelompokkan secara urut istilah-
istilah. Tanda ini juga digunakan untuk menunjukkan istilah yang
lengkap, biasanya digunakan pada inclusion dan exclusion.
f. Tanda Kurang Besar “[ ]”
Digunakan untuk :
1) Menyertakan sinonim, kata-kata alternatif atau penjelasan.
2) Merujuk ke catatan sebelumnya
3) Menurujuk ke kelompok karakter ke 4
g. Tanda Titik Dua / colon “ : ”
Berfungsi untuk mencantumkan istilah “inclusion” dan
“exclusion” yaitu sebagai penjelasan.
h. Tanda NEC (Not Elsewhere Classified)
Berfungsi untuk menunjukkan bahwa kondisi yang tertulis di
klasifikasikan di tempat lain.
i. Tanda NOS (Not Otherwise Specified)
Berfungsi untuk menunjukkan bahwa kondisi yang tertulis tidak
di klasifikasi di mana pun.
j. Tanda Dagger (†)
Digunakan sebagai kode utama dalam penyakit umum, untuk
diagnosis penyakit umum dan penyakit dasar. Tanda dagger wajib
digunakan bersama dengan tanda asteriks.
k. Tanda Asteriks (*)
Tanda yang digunakan untuk kode tambahan, tanda untuk
menyatakan akibat pada organ atau tempat tertentu, dimana tanda
asteriks ini tidak boleh berdiri sendiri, tidak boleh dijadikan
sebagai diagnosa utama. Kode asteriks merupakan tanda untuk
penyakit tambahan dan dalam penggunaannya digabung dengan
tanda dagger
14
Universitas Esa Unggul

l. Tanda Point Dash ( .- )


Tanda point dash biasanya terdapat pada ICD-10 volume 3,
digunakan untuk mengganti karakter ke – 4 pada index, sehingga
apabila menjumpai tanda tersebut, berarti menunjukkan ada
karakter ke – 4 nya yang harus dicari
m. AND / OR
Berfungsi sebagai penjelas bahwa terdapat dua kondisi dalam satu
kode.
6. ICD 9 CM
ICD-9CM adalah buku mengenai pengkodean prosedur dan
jenis tindakan medis (21). ICD-9 CM merupakan buku yang
digunakan untuk mengkode tindakan yang telah dilakukan dokter atau
tenaga medis lainnya (23).
Langkah-langkah menggunakan ICD-9CM
a Identifikasi tipe pernyataan prosedur/tindakan yang akan dikode
dan lihat di buku ICD-9-CM Alphabetical Index.
b Tentukan Lead Term Untuk prosedur/tindakan.
c Baca dan ikuti semua catatan atau petunjuk di bawah kata kunci.
d Baca setiap catatan dalam tanda kurung setelah kata kunci
(penjelasan ini tidak mempengaruhi kode) dan penjelasan
indentasi dibawah lead term (penjelasan ini mempengaruhi kode)
sampai semua kata dalam diagnosis tercantum.
e Ikuti setiap petunjuk rujukan silang (“see” dan “see also”) yang
ditemukan dalam index
f Cek ketepatan kode yang telah dipilih pada Tabular List.
g Baca setiap inclusion atau exclusion dibawah kode yang dipilih
atau dibawah bab atau dibawah blok atau dibawah judul kategori.
h Tentukan Kode (22).

15
Universitas Esa Unggul

2.1.6 Aturan Koding ICD-10


1. Jika dalam ICD 10 terdapat catatan “Use additional code, if desired,
to identify specified condition” maka kode tersebut dapat digunakan
sesuai dengan kondisi pasien.
2. Pengkodean sistem dagger (†) dan asterisk (*). Jika diagnosis utama
yang ditegakkan dokter dalam ICD 10 menggunakan kode dagger
dan asterisk maka yang dikode sebagai diagnosis utama adalah kode
dagger, sedangkan kode asterisk sebagai diagnosis sekunder. Namun
jika diagnosis sekunder yang ditegakkan dokter dalam ICD 10
menggunakan kode dagger dan asterisk, maka kode tersebut menjadi
diagnosis sekunder.
3. Pengkodean dugaan kondisi, gejala, penemuan abnormal, dan situasi
tanpa penyakit
Jika diagnosis yang lebih spesifik belum ditegakkan sampai akhir
episode perawatan atau tidak ada penyakit atau cedera pada saat
dirawat yang bisa dikode, maka kode dari Bab XVIII (kode R) dan
XXI (Kode Z) dapat digunakan sebagai kode diagnosis utama (lihat
juga Rules MB3 dan MB5).
4. Pengkodean kondisi multiple
Jika kondisi multiple dicatat di dalam kategori berjudul “Multiple
...”, dan tidak satu pun kondisi yang menonjol, kode untuk kategori
“Multiple ...”, harus dipakai sebagai kode diagnosis utama, dan
setiap kondisi lain menjadi kode diagnosis sekunder. Pengkodean
seperti ini digunakan terutama pada kondisi yang berhubungan
dengan penyakit HIV, cedera dan sekuele.
5. Pengkodean kategori kombinasi ICD menyediakan kategori tertentu
dimana dua diagnosis yang berhubungan diwakili oleh satu kode.
6. Pengkodean sekuele kondisi tertentu
ICD menyediakan sejumlah kategori yang berjudul “sequelae of ...”
(B90-B94, E64.-, E68, G09, I69.-, O97, T90-T98, Y85-Y89) yang
digunakan untuk menunjukkan kondisi yang tidak didapatkan lagi,
16
Universitas Esa Unggul

sebagai penyebab masalah yang saat ini sedang diperiksa atau


diobati. Namun, kode yang diutamakan sebagai diagnosis utama
adalah kode yang sesuai dengan bentuk sekuele itu. Kode “sequelae
of ......” dapat ditambahkan sebagai kode tambahan.
Jika terdapat sejumlah sekuele spesifik namun tidak ada yang lebih
menonjol dalam hal kegawatan dan penggunaan sumber daya, boleh
digunakan “Sequelae of ...” sebagai diagnosis utama, yang kemudian
dikode pada kategori yang sesuai. Perhatikan bahwa kondisi
penyebab bisa dinyatakan dengan istilah ‘old’ (lama), ‘no longer
present’ (tidak terdapat lagi), dan sebagainya, begitu pula kondisi
yang diakibatkannya bisa dinyatakan sebagai ‘late effect of .....’
(efek lanjut .....), atau ‘sequele of .....’. Tidak diperlukan interval
waktu minimal.
7. Pengkodean kondisi-kondisi akut dan kronis
Jika Diagnosis Utama dicatat sebagai akut (atau subakut) dan kronis,
ICD menyediakan kategori atau subkategori yang berbeda untuk
masing-masing kategori, tapi tidak untuk gabungannya, kategori
kondisi akut harus digunakan sebagai Diagnosis Utama.
8. Pengkodean kondisi pasca-prosedur dan komplikasinya
Pada Bab XIX (T80-T88) tersedia kategori untuk komplikasi yang
berhubungan dengan operasi dan prosedur lain.
Jika kondisi dan komplikasi ini dicatat sebagai Diagnosis Utama,
perlu dilakukan rujukan ke ‘modifier’ atau ‘qualifier’ pada Indeks
Alfabet untuk pemilihan kode yang tepat.
9. Dalam hal koder tidak berhasil melakukan klarifikasi kepada dokter
penanggungjawab pelayanan (DPJP), maka koder menggunakan
Rule MB1 sampai MB5 untuk memilih kembali kode diagnosis
utama (‘re-seleksi’) yaitu sebagai berikut :
a. Rule MB1 (Kondisi minor tercatat sebagai diagnosis utama,
sedangkan kondisi yang lebih berarti dicatat sebagai diagnosis
sekunder).
17
Universitas Esa Unggul

b. Rule MB2 (Beberapa kondisi Dicatat sebagai Diagnosis Utama).


Jika beberapa kondisi yang tidak bisa dikode bersamaan tercatat
sebagai diagnosis utama, dan menunjukkan bahwa satu di
antaranya adalah diagnosis utama pada asuhan pasien, pilihlah
kondisi tersebut. Jika tidak, pilih kondisi yang sesuai dengan
spesialisasi yang menangani.
c. Rule MB3 (Kondisi yang dicatat sebagai diagnosis utama
merupakan gejala dari kondisi yang telah didiagnosis dan
diobati).
d. Rule MB4 (Kespesifikan).
Jika diagnosis yang tercatat sebagai diagnosis utama
menguraikan suatu kondisi secara umum, sedangkan suatu
istilah yang bisa memberikan informasi yang lebih tepat
mengenai tempat atau bentuk kondisi tersebut tercatat sebagai
diagnosis sekunder, maka pilihlah yang diagnosis sekunder
tersebut sebagai diagnosis utama.
e. Rule MB5 (Diagnosis alternatif).
Jika suatu gejala atau tanda dicatat sebagai diagnosis utama dan
disebabkan oleh suatu kondisi atau diagnosis sekunder, maka
pilihlah gejala tersebut sebagai diagnosis utama. Jika dua
kondisi atau lebih tercatat sebagai pilihan diagnostik untuk
diagnosis utama, pilihlah kondisi pertama yang tercatat (22).

2.1.7 Aturan Koding ICD-9 CM


1. Kata –See, see also (lihat juga)
Jika ada pernyataan (see, see also) di belakang pernyataan
tindakan/prosedur, maka harus melihat juga pernyataan tindakan
yang dimaksud.

18
Universitas Esa Unggul

2. Kata omit code (tidak dikoding)


Jika ada pernyataan omit code pada Indeks Alfabet maka prosedur
tersebut adalah bagian dari kode prosedur lain yang berhubungan
dan tidak dikode.
3. Kata Code also (dikoding juga)
Jika ada pernyataan code also dibawah pernyataan tindakan/prosedur
maka harus dikoding.
4. Kata Exclude (tidak termasuk)
Jika ada pernyataan Exclude dibawah pernyataan tindakan/prosedur
maka harus dikoding yang lain sesuai dengan petunjuk exclude.
5. Kata Includes (termasuk)
Jika ada pernyataan “includes” dibawah pernyataan
tindakan/prosedur maka pernyataan tindakan tersebut termasuk
bagian (22).

2.1.8 Perekam Medis dan Informasi Kesehatan


Perekam Medis adalah seorang yang telah lulus pendidikan Rekam
Medis dan Informasi Kesehatan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan (24).
Kualifikasi Pendidikan Ahli Madya Rekam Medis dan Informasi
Kesehatan dalam melaksanakan pekerjaan rekam medis dan informasi
kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, mempunyai kewenangan
sebagai berikut:
a. Melaksanakan kegiatan pelayanan pasien dalam manajemen dasar
rekam medis dan informasi kesehatan
b. Melaksanakan evaluasi isi rekam medis
c. Melaksanakan sistem klasifikasi klinis dan kodefikasi penyakit
yang berkaitan dengan kesehatan dan tindakan medis sesuai
terminologi medis yang benar
d. Melaksanakan indeks dengan cara mengumpulkan data penyakit,
kematian, tindakan dan dokter yang dikelompokkan pada indeks
19
Universitas Esa Unggul

e. Melaksanakan sistem pelaporan dalam bentuk informasi kegiatan


pelayanan kesehatan
f. Merancang struktur isi dan standar data kesehatan, untuk
pengelolaan informasi kesehatan
g. Melaksanakan evaluasi kelengkapan isi diagnosis dan tindakan
sebagai ketepatan pengkodean
h. Melaksanakan pengumpulan, validasi dan verifikasi data sesuai
ilmu statistik rumah sakit
i. Melakukan pencatatan dan pelaporan data surveilans
j. Mengelola kelompok kerja dan manajemen unit kerja dan
menjalankan organisasi penyelenggara dan pemberi pelayanan
kesehatan
k. Mensosialisasikan setiap program pelayanan rekam medis dan
informasi kesehatan
l. Melaksanakan hubungan kerja sesuai dengan kode etik profesi
m. Melakukan pengembangan diri terhadap kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi (24).
2.1.8.1 Clinical Coder
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Tenaga kerja yang
menghasilkan jasa untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat
yaitu tenaga kesehatan (25).
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau
keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis
tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Perekam Medis dan Informasi Kesehatan termasuk dalam kelompok
tenaga kesehatan bagian keteknisian medis. Sebagai tenaga kesehatan,
Perekam Medis dan Informasi Kesehatan dituntut untuk menjadi tenaga
kesehatan yang berkompetensi. Salah satunya adalah klasifikasi &
20
Universitas Esa Unggul

kodefikasi penyakit, masalah-masalah yang berkaitan dengan kesehatan


dan tindakan medis atau yang lebih dikenal dengan koding. Pemberian
kode (koding) adalah penetapan kode dengan menggunakan huruf atau
angka atau kombinasi huruf dan angka yang mewakili komponen data
(26) (2).
Dapat disimpulkan bahwa clinical coder adalah setiap orang yang
mampu serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan dalam menetapkan kode penyakit atau
melakukan klasifikasi & kodefikasi penyakit, masalah-masalah yang
berkaitan dengan kesehatan dan tindakan medis.
2.1.8.2 Kompetensi Tenaga Koding (Clinical Coder)
Kegiatan, tindakan dan diagnosa yang ada di dalam rekam medis
harus diberi kode untuk memudahkan pelayanan pada penyajian
informasi agar menunjang fungsi perencanaan, manajemen dan riset
bidang kesehatan (2).
Kompetensi ketiga Perekam Medis dan Informasi Kesehatan yang
tertuang di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 55 Tahun 2013
adalah melaksanakan sistem klasifikasi klinis dan kodefikasi penyakit
yang berkaitan dengan kesehatan dan tindakan medis sesuai terminologi
medis yang benar (24).
Tugas dan tanggung jawab seorang koder adalah melakukan
kodifikasi diagnosis dan tindakan/prosedur yang ditulis oleh dokter yang
merawat pasien sesuai dengan ICD-10 untuk diagnosis dan ICD-9-CM
untuk tindakan/prosedur yang bersumber dari rekam medis pasien.
Apabila dalam melakukan pengkodean diagnosis atau tindakan/prosedur
koder menemukan kesulitan ataupun ketidaksesuaian dengan aturan
umum pengkodean, maka koder harus melakukan klarifikasi dengan
dokter (22).

21
Universitas Esa Unggul

2.2 Penelitian Terdahulu


Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
Nama peneliti,
No. Judul Penelitian Variabel Penelitian Hasil Penelitian
Tahun peneliti
1. Endang Sri DHS, Faktor yang Berpengaruh Variabel Independen : Terdapat hubungan yang signifikan antara
Mulyohadi Ali, pada Akurasi Kode Pengalaman kerja, Pelatihan variabel pengalaman kerja dan ketersediaan
2018 Diagnosis di Puskesmas kodefikasi diagnosis penyakit standar operasional prosedur (SOP) kode
Rawat Jalan Kota Malang yang pernah diikuti, diagnosis dengan p-value=0,041 dan variabel
ketersediaan buku ICD-10 di pengetahuan tentang kodefikasi diagnosis
Puskesmas, ketersediaan SOP penyakit dengan p-value=0,010. Sedangkan untuk
kodefikasi diagnosis penyakit variabel pelatihan tentang kodefikasi diganosis
dan pengetahuan tentang penyakit dan variabel ketersediaan buku ICD-10
kodefikasi diagnosis penyakit). secara lengkap, kedua-duanya secara statistik
Variabel Dependen : tidak berhubungan dengan akurasi kode diagnosis
Keakuratan kode diagnosis penyakit dengan p-value=0,119.
penyakit
2. Lily Widjaya, Faktor-Faktor yang Variabel Independen : Terdapat hubungan yang signifikan antara
Nanda A. Rumana, mempengaruhi Keakurasian Pengetahuan, Latar Belakang variabel pengetahuan terhadap keakurasian
2014 Koding Ibu Melahirkan dan Pendidikan, Pelatihan, koding ibu melahirkan dengan p-value=0,04,
Bayi di Beberapa Rumah Pengalaman Kerja, Lama sedangkan variabel lainnya tidak mempunyai
Sakit tahun 2014 Kerja hubungan yang signifikan dengan p-value > 0,05.

22
Universitas Esa Unggul

Nama peneliti,
No. Judul Penelitian Variabel Penelitian Hasil Penelitian
Tahun peneliti
Variabel Dependen :
Keakurasian Koding Ibu
Melahirkan dan Bayi
3. Yeni Tri Utami, Hubungan Pengetahuan Variabel Independen : Terdapat hubungan yang signifikan antara
2013 Clinical Coder dengan Pengetahuan Clinical Coder variabel pengetahuan petugas pemberi kode
Keakuratan Kode Diagnosis Variabel Dependen : diagnosis dengan keakuratan kode diagnosis
Pasien Rawat Inap Jaminan Keakuratan Kode Diagnosis pasien rawat inap jamkesmas berdasarkan ICD-10
Kesehatan Masyarakat Pasien Rawat Inap dengan p-value=0,030.
Berdasarkan ICD-10 di
RSUD Simo Boyolali
4. Erlindai, Auliya Faktor-Faktor yang Variabel Independen : Terdapat hubungan yang signifikan antara
Indriani (2018) Mempengaruhi Umur, Jenis Kelamin, variabel pelatihan dengan p-value=0,006,
Ketidaktepatan Kode pada Pelatihan, Pendidikan, pengetahuan dengan p-value=0,001, sikap dengan
Persalinan Sectio Caesarea Pengalaman Kerja, p-value=0,003, kelengkapan dokumen rekam
di Rumah Sakit Umum Pengetahuan, Sikap, medis dengan p-value=0,000, sarana prasarana
Imelda Pekerja Indonesia Kelengkapan Dokumen Rekam dengan p-value=0,001 terhadap ketidaktepatan
Medan Tahun 2018 Medis, Sarana Prasaran kode pada persalinan sectio caesarea. Sedangkan
Variabel Dependen : variabel lainnya tidak mempunyai hubungan yang
Ketidaktepatan Kode pada signifikan dengan p-value > 0,05.

23
Universitas Esa Unggul

Nama peneliti,
No. Judul Penelitian Variabel Penelitian Hasil Penelitian
Tahun peneliti
Persalinan Sectio Caesarea
5. Siti Rohani, 2019 Faktor-Faktor yang Variabel Independen : Terdapat hubungan yang signifikan antara
Mempengaruhi Kualitas Pengetahuan, Sikap, Pelatihan variabel pengetahuan terhadap kualitas koding
Coding Klinis Kasus Variabel Dependen : klinis untuk klaim BPJS di Rumah Sakit Kanker
Neoplasma untuk Klaim Kualitas Coding Klinis “Dharmais” dengan p-value = 0,043. Sedangkan
BPJS di Rumah Sakit pada variabel sikap dan pelatihan tidak
Kanker “Dharmais” mempunyai hubungan yang signifikan dengan p-
value > 0,05.

24
Universitas Esa Unggul

2.3 Kerangka Berpikir

Faktor Predisposisi (Predisposing factor ):


- Pengetahuan
- Sikap
- Kepercayaan
- Keyakinan
Faktor Pemungkin (Enabling factor)
Perilaku
- Lingkungan fisik
- Fasilitas
- Sarana
Faktor Pendorong (Reinforcing faktor)
- Undang-Undang
- Kebijakan

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir


Sumber : Notoatmodjo, 2013

25
Universitas Esa Unggul

2.4 Kerangka Konsep


Penelitian ini menjelaskan tentang hubungan pengetahuan tentang
kodefikasi klinis terhadap perilaku clinical coder di DKI Jakarta. Pengetahuan
clinical coder dilihat dari pengetahuan tentang klasifikasi dan kodefikasi,
langkah dalam menentukan kode, standar dan etik pengkodean, konvensi dan
tanda baca, dan aturan koding ICD-10 dan ICD-9-CM. Jadi terdapat 2 variabel
yang di teliti yaitu Pengetahuan tentang kodefikasi klinis sebagai variabel
independent/bebas (X) dan Perilaku Clinical Coder sebagai variabel
dependent/terikat (Y). Adapun model kerjasama dapat digambarkan sebagai
berikut:

Variabel Independen (X) Variabel Dependen (Y)

Perilaku Clinical Coder


1. Faktor predisposisi
(Pengetahuan, sikap, kepercayaan,
Pengetahuan tentang Kodefikasi Klinis
keyakinan)
1. Klasifikasi dan kodefikasi
2. Faktor pemungkin
2. Langkah dalam menentukan kode
(Rekam medis, ICD-10, ICD-9-CM, kamus
3. Standar dan etik pengkodean
kedokteran, buku terminology medis,
4. Konvensi dan tanda baca
kamus terjemahan Indonesia-Inggris).
5. Aturan koding ICD-10 dan ICD-9-CM
3. Faktor pendorong
(SPO, pedoman dan panduan klasifikasi
dan kodefikasi penyakit dan tindakan

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

2.5 Hipotesis Penelitian


Ada hubungan pengetahuan tentang kodefikasi klinis terhadap perilaku
Clinical Coder di DKI Jakarta

26
Universitas Esa Unggul

2.6 Definisi Operasional


Tabel 2.2 Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara Alat Skala


No. Indikator Hasil Ukur
Independen Operasional Ukur Ukur Ukur
1 Pengetahuan Hasil tahu responden - Standar dan Kode etik Pengisian Kuesioner Menggunakan Interval
tentang kodefikasi Pengkodean (1 - 3) Kuesioner skala Guttman
klinis - Klasifikasi dan 1 1 : Benar
Kodefikasi (4 - 6) 0 0 : Salah
- Aturan Koding ICD 10
dan ICD-9-CM (7 - 9)
- Konvensi dan tanda
baca dalam ICD 10 dan
ICD-9-CM (10 - 12)
- Sembilan langkah dasar
dalam menentukan
kode (13 - 15)
2 Perilaku Tindakan yang - Sesuai sembilan Pengisian Kuesioner Menggunakan Interval
dilakukan oleh langkah dasar dalam Kuisioner skala likert
responden dalam menentukan kode (1-7) 4: Selalu
pengkodean diagnosis - Aturan koding ICD 10 3: Sering
dan tindakan dan ICD-9-CM (8 - 11) 2: Jarang
- Sesuai standar dan etik 1: Tidak pernah
pengkodean (12-15)

27
Universitas Esa Unggul

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan rancangan
penelitian cross sectional. Dilakukan pengukuran secara bersama-sama antara
dua variabel yaitu variabel independen (Pengetahuan tentang kodefikasi klinis)
dan variabel dependen (Perilaku Clinical Coder) di DKI Jakarta.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian


3.2.1 Lokasi
Penelitian dilakukan berlokasi di DPD PORMIKI DKI Jakarta.
3.2.2 Waktu Penelitian
Waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2019 - Maret 2020

3.3. Populasi dan Sampel


3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota DPD PORMIKI
DKI Jakarta yang sudah terdaftar berjumlah 455 orang.
3.3.3 Sampel
Dalam penelitian ini yang menjadi sampel yaitu anggota populasi yang
memenuhi kriteria.
Kriteria inklusi yaitu :
1. Lulusan Minimal D-III Rekam Medis dan Informasi Kesehatan
2. Bekerja sebagai tenaga Clinical Coder.
3. Minimal 1 tahun masa kerja
Kriteria eksklusi yaitu :
1. Tidak bersedia menjadi responden
2. Bekerja di luar Provinsi DKI Jakarta

28
Universitas Esa Unggul

Besaran sampel yang digunakan dalam penelitian ini ditentukan melalui


perhitungan menurut Slovin sebagai berikut:

𝑁
𝑛=
1 + 𝑁𝑒 2
Dimana :
n = Ukuran Sampel
N = Populasi
e = Kelonggaran Ketidaktelitian karena kesalahan

Dalam Penelitian ini jumlah populasi (N) = 455 PMIK yang terdaftar
sebagai anggota DPD PORMIKI DKI Jakarta, sedangkan kelonggaran
ketidaktelitian karena kesalahan penulis tentukan 10%, maka sampel :
𝑁
𝑛=
1 + 𝑁𝑒 2

455
𝑛=
1 + 455 (0,1)2

𝑛 = 82 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
Jadi, jumlah sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini sebanyak
82 orang.
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik
Quota Sampling.

3.4. Etika Penelitian


Pada saat melaksanakan penelitian, peneliti membuat surat izin penelitian
awal atau studi observasi yang dikeluarkan oleh pihak Fakultas Ilmu-Ilmu
Kesehatan pada Program Studi Manajemen Informasi Kesehatan di Universitas
Esa Unggul Jakarta. Surat izin penelitian diberikan kepada Ketua DPD Pormiki
DKI Jakarta. Dalam pelaksanaan penelitian, peneliti memperhatikan prinsip

29
Universitas Esa Unggul

etika penelitian, pada penelitian ini yang menjadi responden adalah clinical
coder yang melakukan pengkodean diagnosis, maka peneliti harus memahami
hak dasar petugas, antara lain:
1. Informed consent (lembaran persetujuan)
Informed consent merupakan cara penelitian dengan responden penelitian ini
dengan memberikan lembar persetujuan, informed consent diberikan
sebelum melakukan penelitian.
2. Anonymity (Tanpa Nama)
Jaminan kepada responden dengan tidak mencantumkan nama responden
pada lembar alat ukur, pada instrumen penelitian, nama responden akan di
cantumkan inisialnya saja untuk menjaga kerahasiaan responden.
3. Kerahasiaan
Penelitian ini menjamin kerahasiaan informasi yang telah diberikan oleh
responden hanya data-data tertentu yang merupakan hasil penelitian sebagai
laporan. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaan data
yang diperoleh dari responden untuk tidak disebarluaskan, hanya akan
menyajikan data-data tentang hasil perhitungan skor kuesioner.
4. Mengajukan Kaji Etik
Peneliti akan mengajukan kaji etik penelitian ke bagian Komite Etik
Penelitian Universitas Esa Unggul

3.5. Teknik Pengumpulan Data


Data dari penelitian ini adalah data primer yang diambil langsung dari
lapangan dari hasil pengisian kuesioner yang dilakukan oleh responden.
Pengisian kuesioner adalah pengisian jawaban dari pernyataan yang diberikan
oleh peneliti kepada responden untuk mendapatkan data yang diteliti. Cara
pengumpulan data dilakukan dengan prosedur:
a. Penyebaran kuesioner dilakukan menggunakan google form
b. Responden dikirimkan kuesioner

30
Universitas Esa Unggul

c. Setelah responden mengisi kemudian jawaban tersebut ditabulasi, diolah,


dianalisis dan disimpulkan

3.6. Instrumen Penelitian


Uji validitas untuk mengetahui sejauh mana ketepatan alat ukur dalam
mengukur variabel yang diteliti. Instrumen yang valid berarti alat ukur yang
digunakan penelitian sudah tepat. Suatu butir pernyataan atau pertanyaan
dikatakan valid jika nilai r hitung ≥ r-tabel dimana taraf signifikansi 0,05. Nilai r-
tabel diperoleh melalui df (degree of freedom)=n-2. Dimana n merupakan
banyaknya responden (27).
Analisis Reability digunakan untuk mengetahui konsistensi alat ukur
berupa kuesioner,skala, atau angket apakah alat ukur tersebut akan mendapatkan
pengukuran yang tetap konsisten jika pengukuran diulang kembali. Output
realibility statistics sebagai hasil dari analisis reliabilitas dengan teknik Cronbach
alpha. Untuk menentukan suatu instrumen reliable atau tidak, maka bisa
menggunakan batas cronbach alpha ≥ 0,6 reliable dan cronbach alpha < 0,6
tidak reliable (27).
1. Uji validitas dan reliabilitas kuesioner pernyataan variabel pengetahuan
sebagai berikut :
Tabel 3.1 Hasil Uji Validitas Variabel Pengetahuan
No. Pernyataan r hitung P-value Keterangan
STANDAR DAN ETIK PENGKODEAN
Clinical coder dapat mengganti
1. 0,658 0,000 Valid
diagnosis pada bill pembayaran
Clinical Coder harus
2. menghasilkan data yang 0,113 0,582 Tidak Valid
berkualitas
Clinical coder dapat melengkapi
3. pengisian diagnosis jika tidak 0,551 0,004 Valid
lengkap
Dalam mengkode clinical coder
4. mengutamakan kode yang paling 0,534 0,005 Valid
sesuai untuk pembayaran
KLASIFIKASI DAN KODEFIKASI
5. Kegiatan kodefikasi penyakit oleh 0,555 0,003 Valid
31
Universitas Esa Unggul

No. Pernyataan r hitung P-value Keterangan


WHO bertujuan untuk penagihan
biaya pelayanan
Indonesia menggunakan ICD
6. 0,133 0,518 Tidak Valid
revisi 10 sejak tahun 1993
Kepanjangan ICD adalah
7. International Classification of 0,715 0,000 Valid
Disease
Kode dengan 1 huruf dan 2 angka
8. 0,513 0,007 Valid
disebut karakter dengan 3 kategori
Pengetahuan anatomi dan fisiologi
tidak begitu penting dalam
9. 0,036 0,862 Tidak Valid
keterampilan menentukan
klasifikasi dan kodefikasi
ATURAN KODING ICD 10 & ICD-9-CM
Jika diagnosis utama
menggunakan kode dagger dan
asterisc maka yang dikode sebagai
10. 0,606 0,001 Valid
diagnosis utama adalah kode
dagger, kode asterisc sebagai
diagnosis sekunder
Rule MB 1 digunakan ketika
kondisi minor tercatat sebagai
11. 0,036 0,862 Tidak Valid
diagnosa utama dan kondisi
mayor sebagai diagnosa sekunder
Jika dua kondisi atau lebih tercatat
sebagai diagnosa utama maka
12. yang dipilih sebagai diagnosa 0,710 0,000 Valid
utama adalah kondisi yang
pertama tercatat
Kode R dan Z boleh digunakan
ketika diagnosis yang lebih
13. 0,015 0,943 Tidak Valid
spesifik belum ditegakkan sampai
akhir periode perawatan
Pernyataan code also dibawah
14. pernyataan tindakan / prosedur 0,555 0,003 Valid
harus dikoding
KONVENSI DAN TANDA BACA DALAM ICD
Tanda dagger wajib digunakan
15. 0,762 0,000 Valid
bersama dengan tanda asterisk
Inclusion and Exclusion
16. tercantum dalam “notes” dari -0,129 0,531 Tidak Valid
judul bab, blok atau kategori
Tanda NOS menunjukkan kondisi
17. 0,398 0,004 Valid
yang tertulis diklasifikasikan
32
Universitas Esa Unggul

No. Pernyataan r hitung P-value Keterangan


ditempat lain, dan tanda NEC
menunjukkan kondisi tidak
diklasifikasikan dimanapun.
Tanda Point Dash ( . - ) digunakan
untuk mengganti karakter ke
18. 0,629 0,001 Valid
empat, dan karakter ke empatnya
harus dicari di volume 1
Tanda “( )” digunakan untuk
19. menyatakan kode dagger dalam -0,193 0,345 Tidak Valid
kategori asteriks
SEMBILAN LANGKAH DASAR DALAM MENENTUKAN KODE
Tentukan Rule MB yang digunakan untuk reseleksi diagnosis dibawah ini:
Diagnosis Utama : Hyperpyrexia
R50.9
Diagnosis Sekunder : Dyspepsia
20. 0,551 0,004 Valid
K30
Spesialis : Anak
LOS : 4 Hari
Tentukan lead term diagnosis dibawah ini:
21. Congestive Heart Failure 0,403 0,041 Valid
22. Anemia masa kehamilan 0,140 0,496 Tidak Valid
23. Jahit bibir 0,434 0,027 Valid
24. CT scan kepala 0,015 0,943 Tidak Valid

Berdasarkan Tabel 3.1 dari 24 butir pernyataan terdapat 15 butir


pertanyaan yang dinyatakan valid.

Tabel 3.2 Hasil Uji Realibilitas Variabel Pengetahuan


Cronbach’s Alpha N of items
0,847 15

Berdasarkan Tabel 3.2 uji reliabilitas dari 15 butir pernyataan yang


valid dapat dikatakan reliabel dengan croncbach alpha 0,847 > 0,6.

33
Universitas Esa Unggul

2. Uji validitas dan reliabilitas kuesioner pernyataan variabel perilaku sebagai


berikut :
Tabel 3.3 Hasil Uji Validitas Variabel Perilaku
No. Pernyataan r hitung P-value Keterangan
Saya membaca resume, ringkasan
masuk dan keluar, catatan pasien
1. terintegrasi dan hasil pemeriksaan 0,699 0,000 Valid
penunjang sebelum menentukan
menentukan lead term
Saya menggunakan buku
ICD/ICD elektronik dalam
2. 0,072 0,727 Tidak Valid
pengkodean diagnosis dan
tindakan
Saya menggunakan istilah kata
3. benda anatomi, kata 0,831 0,000 Valid
sifat/keterangan sebagai lead term
Saya menelusuri lead term
4. 0,631 0,001 Valid
tersebut pada ICD-10 volume 3
Saya menggunakan ICD-10
5. volume 1 untuk mencari kode 0,659 0,000 Valid
yang paling tepat
Saya memperhatikan perintah
6. untuk membubuhi kode tambahan 0,788 0,000 Valid
(Additional Code)
Saya menggunakan buku pintar
7. untuk lebih memudahkan 0,753 0,000 Valid
pengkodean
Saya memperhatikan spesialisasi
8. 0,516 0,007 Valid
yang menangani pasien.
Saya memperhatikan dan
mengikuti petunjuk catatan yang
9. 0,315 0,117 Tidak Valid
muncul dibawah istilah yang akan
dipilih pada volume 3
Saya mengikuti pedoman
inclusion dan exclusion pada kode
10. yang dipilih ataupun pada bagian 0,123 0,548 Tidak Valid
bawah suatu bab, blok, kategori
dan sub kategori
Saya menggunakan kode dagger
sebagai diagnosis utama dan kode
11. 0,659 0,000 Valid
asteriks sebagai diagnosis
sekunder
12. Saya menggunakan kode asteriks 0,753 0,000 Valid
34
Universitas Esa Unggul

No. Pernyataan r hitung P-value Keterangan


sebagai kode diagnosis utama
tanpa menggunakan kode
daggernya
Saya menggunakan kode R dan Z
13. meskipun ada diagnosis yang 0,392 0,048 Valid
lebih spesifik
Saya tidak memberikan kode
14. tambahan pada prosedur/tindakan 0,565 0,003 Valid
ketika menemukan kata omit code
Saya mencari dan menambahkan
15. karakter ke-4 ketika menemukan -0,208 0,308 Tidak Valid
tanda point dash ( . - )
Saya mengisi diagnosis pada
16. ringkasan masuk dan keluar jika 0,811 0,000 Valid
tidak lengkap
Saya mengganti diagnosis pada
17. bill pembayaran untuk menaikkan 0,777 0,000 Valid
tarif terhadap RS.
Saya mengembangkan kebijakan
18. 0,135 0,510 Tidak Valid
pengkodean yang ada
Saya berkonsultasi dengan dokter
19. untuk klarifikasi dan kelengkapan 0,556 0,003 Valid
pengisian diagnosis
Saya bertanggung jawab untuk
20. melaksanakan koding klinis sesuai -0,450 0,021 Valid
dengan aturan ICD-10.
Saya hanya menulis kode pada
21. 0,831 0,000 Valid
resume medis

Berdasarkan Tabel 3.3 dari 21 butir pernyataan terdapat 15 butir


pernyataan yang dinyatakan valid.

Tabel 3.4 Hasil Uji Realibilitas Variabel Perilaku


Cronbach’s Alpha N of items
0,912 15

Berdasarkan Tabel 3.4 Uji reliabilitas dari 15 pernyataan yang valid


dapat dikatakan reliabel dengan croncbach alpha 0,912 > 0,6.

35
Universitas Esa Unggul

3.7. Teknik Analisis Data


Analisis data adalah proses pengolahan, penyajian, interpretasi dan
analisis data yang diperoleh dari lapangan, dengan tujuan agar data yang
disajikan memiliki makna sehingga pembaca dapat mengetahui hasil penelitian.
Metode analisis data yang digunakan yakni sebagai berikut:
3.7.1 Analisa Univariat
Analisis univariat pada penelitian ini untuk menjelaskan atau
mendeskripsikan variabel independen (Pengetahuan tentang Kodefikasi
Klinis) dan variabel dependen (Perilaku Clinical Coder).
3.7.2 Analisa Bivariat
Analisis bivariat ini dilakukan untuk menentukan ada atau
tidaknya hubungan antara variabel independen (Pengetahuan tentang
Kodefikasi Klinis) dan variabel dependen (Perilaku Clinical Coder). Uji
statistik yang digunakan adalah dengan menggunakan uji korelasi.
Simbol dari besaran populasinya adalah r yang disebut koefisien
korelasi, nilai korelasi r berkisar 0 s.d 1 atau apabila disertai arah nilainya
antara -1 sampai +1
r = 0 → tidak ada hubungan linier
r = -1 → hubungan linier negatif sempurna
r = +1 → hubungan linear positif sempurna
Menurut Colton, kekuatan hubungan dua variabel secara
kualitatif dapa dibagi dalam empat yaitu:
r = 0,00 – 0,25 → tidak ada hubungan / hubungan lemah
r = 0,26 – 0,50 → hubungan sedang
r = 0,51 – 0,75 → hubungan kuat
r = 0,76 – 1,00 → hubungan sangat kuat / sempurna (28)
Apabila nilai P-Value < α (0,05) maka Ho ditolak atau ada
hubungan pengetahuan tentang kodefikasi klinis dengan perilaku clinical
coder di DKI Jakarta. Sedangkan apabila P-Value > α (0,05) maka Ho

36
Universitas Esa Unggul

diterima atau tidak ada hubungan pengetahuan tentang kodefikasi klinis


dengan perilaku clinical coder di DKI Jakarta.

37
Universitas Esa Unggul

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Perhimpunan Profesional Perekam Medis dan Informasi Kesehatan


Indonesia (PORMIKI)
4.1.1 Sejarah PORMIKI
Perhimpunan Profesional Perekam Medis dan Informasi Kesehatan
Indonesia yang disingkat PORMIKI dibentuk pada tanggal 18 Februari 1989.
Saat pembentukannya yang dilaksanakan di Yayasan Amanah, Jl. Taman
Kebun Sirih, Jakarta, dihadiri oleh 31 rekan-rekan dan berbagai profesi yang
tidak saja berasal dari organisasi profesi tetapi juga dari instansi kesehatan
pemerintah dan swasta. Dari daftar penandatanganan “Naskah Proklamasi”
tampak Ketua PB IDI saat itu dr. H. Azrul Azwar, MPH berkenan hadir dan
bahkan bersama-sama dengan Ketua Persatuan Sarjana Administrasi
(PERSADI) Jakarta Raya saat itu drs. H. Razak Manan saling bahu
membahu memberi semarak jalannya pembentukan PORMIKI (lihat
lampiran penandatanganan naskah). Setelah melalui pemilihan suara
akhirnya dipilih seorang Ketua Umum yang kemudian membentuk
kelompok Pengurus Harian. Setelah pemilihan, Ketua Umum terpilih yaitu
Sdri. Gemala Hatta dengan mendapat bantuan penuh dari Ketua Umum PB
IDI menyusun Anggaran Dasar dan Rumah Tangga.
Selanjutnya pada tanggal 25 Februari 1989 bertepatan seminggu
setelah pembentukan PORMIKI. Panitia Kerja Pembinaan dan
Pengembangan Sistem Pencatatan Medis RS DKI Jaya yang disingkat
PPSPM mengadakan acara Konsultasi Sehari yang merupakan acara berkala
PPSMP. Topik kali itu mengenai komputerisasi data medis dengan
mengambil tempat di PT USI/IBM, Gedung Landmark, Jl. Sudirman,
Jakarta. Dalam kesempatan itu PORMIKI yang baru terbentuk sekaligus
mengadakan press release pembentukan organisasi profesi yang baru. Hari
itu Wakil Ketua PB IDI saat itu yaitu dr. Kartono Mohamad berkenan hadir
dan sekaligus juga memberikan kata sambutan yang menumbuhkan
38
Universitas Esa Unggul

semangat. Pertemuan di landmark mencatat 16 penandatangan Naskah


Proklamasi sehingga jumlah penandatanganan untuk kedua kesempatan itu
(18 dan 26 Februari 1989) berjumlah 47 orang.

Penyelenggaraan Kongres PORMIKI

Kongres I : Tahun 1992 di Jakarta

Kongres II : Tahun 1995 di Daerah Istimewa Yogyakarta

Kongres III : Tahun 1999 di Surabaya

Kongres IV : Tahun 2003 di Denpasar, Bali

Kongres V : Tahun 2006 di Semarang, Jawa Tengah

Kongres VI: Tahun 2009 di Bandung, Jawa Barat

Kongres VII: Tahun 2012 di Pontianak, Kalimantan Barat

Kongres VIII: Tahun 2015 di Makasar, Sulawesi Selatan

Kongres IX: Tahun 2018 di Medan, Sumatra Utara

Ketua Umum DPP PORMIKI

Periode 1989-1992 : Dra. Gemala Hatta, MRA.

Periode 1992-1995 : Dra. Gemala Hatta, MRA.

Periode 1995-1999 : Dra. Gemala Hatta, MRA, MKes.

Periode 1999-2003 : Siswati, AMd.PerKes.

Periode 2003-2006 : Siswati, AMd.PerKes, SKM.

Periode 2006-2009 : Lily Widjaya, Amd.PerKes, SKM, MM.

Periode 2009-2012 : Elise Garmelia, Amd.PerKes, SKM

Periode 2012-2015 : Elise Garmelia, Amd.PerKes, SKM.

Periode 2015-2018 : Eman Sulaeman, Amd.PerKes, SKM,

Periode 2018-2021 : Tedy Hidayat, S.ST.RMIK, M.MRS.

39
Universitas Esa Unggul

4.1.2 Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PORMIKI DKI Jakarta


DPD DKI Jakarta berdiri tanggal 01 April 1989
Pelindung : Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta
Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan DKI Jakarta
Ketua Umum DPP PORMIKI
Penasehat : Ketua IRSJAM
Ketua IDI Jakarta

Dewan Pertimbangan :
1. Drs. Subur Suwardjo, M.Kes
2. Ratna Barus, A.Md.PerKes, SKM
3. Nani Suryani, A.Md.PerKes
4. Sri Setia Utami, A.Md.PerKes, SKM
5. Ratih Wulandari, Amd.PK

Ketua DPD PORMIKI DKI Jakarta


Ketua 1998 – 2001 : Drs Subur Suwardjo
Ketua 2001 – 2004 : Drs Subur Suwardjo
Ketua 2004 – 2007 : Ratna Barus, A.Md.PerKes., SKM
Ketua 2007 – 2010 : Nani Suryani, A.Md.PerKes
Ketua 2010 – 2013 : Sri Setia Utami, A.Md.PerKes., SKM
Ketua 2013 – 2016 : Sri Setia Utami, A.Md.PerKes., SKM
Ketua 2016 – 2019 : Ratih Wulandari, Amd.,Perkes
Ketua 2020 - 2023 : Hasan Sadikin, A.Md Perkes, S.ST, MKM

40
Universitas Esa Unggul

Gambar 4.1 Struktur Organisasi DPD PORMIKI DKI Jakarta

4.2 Hasil Penelitian


4.2.1 Karakteristik Responden
a. Jenis Kelamin
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden
di DKI Jakarta Tahun 2019

Jenis Kelamin Jumlah %


Laki – laki 8 9,8
Perempuan 74 90,2
Total 82 100
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa dari 82 responden, diketahui
jumlah responden laki-laki sebanyak 8 (9,8%) sedangkan responden
perempuan sebanyak 74 (90,2%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa
jumlah responden perempuan lebih banyak dibandingkan responden laki-
laki.

b. Usia
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Usia Responden di DKI Jakarta
Tahun 2019

Usia (Tahun) Jumlah %


20 – 30 79 96,3
31 – 40 3 3,7
Total 82 100
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa dari 82 responden, jumlah
responden usia 20-30 tahun sejumlah 79 orang (96,3%), sedangkan
responden yang usia antara 31-40 tahun sejumlah 3 orang (3,7%).
41
Universitas Esa Unggul

c. Pendidikan Terakhir
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Pendidikan Terakhir Responden
di DKI Jakarta Tahun 2019
Pendidikan Terakhir Jumlah %
D-III rekam medis 80 97,6
D-IV rekam medis 2 2,4
Total 82 100
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa dari 82 responden, diketahui
jumlah responden pendidikan terakhir DIII rekam medis sebanyak 80
(97,6%) sedangkan DIV rekam medis sebanyak 2 (2,4%).

d. Masa Kerja
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Masa Kerja Responden
di DKI Jakarta Tahun 2019
Masa Kerja (Tahun) Jumlah %
1–5 74 90,2
6 – 10 8 9,8
Total 82 100
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa dari 82 responden, diketahui
jumlah responden yang masa kerjanya yang paling banyak terdapat pada
antara 1 – 5 tahun sebanyak 74 (90,2%) sedangkan masa kerja paling
sedikit yaitu 6 – 10 tahun berjumlah 8 (9,8%).

4.2.2 Analisis Univariat


a. Pengetahuan tentang Kodefikasi Klinis
Untuk mengetahui gambaran pengetahuan responden tentang
kodefikasi klinis di DKI Jakarta, peneliti melakukan pengukuran
pengetahuan terhadap 82 responden dengan menggunakan kuesioner,
maka diperoleh total skor pengetahuan responden sebagai berikut:

42
Universitas Esa Unggul

Tabel 4.5 Perhitungan Total Skor Jawaban Responden Mengenai


Pengetahuan Clinical Coder tentang Kodefikasi Klinis di DKI Jakarta
Tahun 2019

Pengetahuan Clinical Coder Nilai


Mean 11,90
95% Confidence Interval Lower Bound 11,59
95% Confidence Interval Upper Bound 12,21
Std. Deviasi 1,411
Median 12,00
Minimum 7
Maximum 15
Dari hasil pengolahan data dalam tabel 4.5, diperoleh skor rata-
rata sebesar 11,90 dengan interval estimasi pada tingkat kepercayaan 95%
berkisar antara 11,59 sampai 12,21 dengan standar deviasi sebesar 1,411.
Nilai median 12 dan nilai minimum 7 serta nilai maximum 15.

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden di DKI Jakarta


Tahun 2019

Pengetahuan Clinical Coder N %


Rendah 3 3,7
Sedang 73 89
Baik 6 7,3
Total 82 100
Berdasarkan Tabel 4.6 dapat diketahui bahwa dari 82 responden
yang memiliki pengetahuan baik sebanyak 6 responden (7,3%),
pengetahuan sedang sebanyak 73 responden (89%) dan yang memiliki
pengetahuan rendah sebanyak 3 responden (3,7%).
b. Perilaku Clinical Coder
Untuk mengetahui gambaran pengetahuan responden tentang
kodefikasi klinis di DKI Jakarta, peneliti melakukan pengukuran
pengetahuan terhadap 82 responden dengan menggunakan kuesioner,
maka diperoleh total skor pengetahuan responden sebagai berikut:

43
Universitas Esa Unggul

Tabel 4.7 Perhitungan Total Skor Jawaban Responden Mengenai


Perilaku Clinical Coder di DKI Jakarta Tahun 2019
Pengetahuan Clinical Coder Nilai
Mean 53,46
95% Confidence Interval Lower Bound 52,81
95% Confidence Interval Upper Bound 54,12
Std. Deviasi 2,982
Median 54,00
Minimum 47
Maximum 59
Dari hasil pengolahan data dalam tabel 4.7, diperoleh skor rata-
rata sebesar 53,46 dengan interval estimasi pada tingkat kepercayaan 95%
berkisar antara 52,81 sampai 54,12 dengan standar deviasi sebesar 2,982.
Nilai median 54 dan nilai minimum 47 serta nilai maximum 59.

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Perilaku Responden di DKI Jakarta


Tahun 2019

Perilaku Clinical Coder N %


Rendah 10 12,2
Sedang 61 74,4
Baik 11 13,4
Total 82 100
Berdasarkan Tabel 4.8 dapat diketahui bahwa dari 82 responden
yang memiliki perilaku baik sebanyak 11 responden (13,4%), perilaku
sedang sebanyak 61 responden (74,4%) dan yang memiliki perilaku rendah
sebanyak 10 responden (12,2%).

4.2.3 Analisis Bivariat


Sebelum melakukan uji statistik yang digunakan, maka dilakukan uji
kenormalitasan data terlebih dahulu menggunakan uji One-Sample
Kolmogorov-Smirnov. Data berdistribusi normal apabila nilai signifikansi (p-
value) > 0,05, dan data berdistribusi tidak normal apabila nilai signifikansi (p-
value) < 0,5.

44
Universitas Esa Unggul

a. Uji Normalitas Data


Tabel 4.9 One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Pengetahuan Perilaku
N 82 82
Asymp. Sig. (2-tailed) 0,001 0,097
Berdasarkan Tabel 4.9 hasil normalitas data yang dilakukan dapat
diketahui p-value variabel pengetahuan = 0,001 dan p-value variabel
perilaku = 0,097. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa data tersebut
berdistribusi normal.
b. Hubungan Pengetahuan tentang Kodefikasi Klinis dengan Perilaku
Clinical Coder di DKI Jakarta
Berdasarkan hasil uji normalitas data yang dilakukan, dapat diketahui
sebaran data berdistribusi normal, maka uji statistik yang digunakan
adalah uji korelasi pearson.
Tabel 4.10 Hubungan Pengetahuan tentang Kodefikasi Klinis
dengan Perilaku Clinical Coder di DKI Jakarta
Variabel r P-Value
Pengetahuan 0,510 0,000

Berdasarkan tabel 4.10 diketahui bahwa adanya hubungan


yang signifikan antara pengetahuan tentang kodefikasi klinis dengan
perilaku clinical coder dengan p-value = 0,000 < 0,05. Berdasarkan teori
yang dikemukakan Colton mengenai tingkat kekuatan hubungan maka
dapat diketahui hubungan pengetahuan dengan perilaku clinical coder
menunjukkan hubungan kuat dengan nilai korelasi = 0,510 dan berpola
positif artinya semakin bertambah tingkat pengetahuan clinical coder
semakin baik perilaku clinical coder.

4.3 Keterbatasan Penelitian


Dalam pelaksanaan penelitian secara umum berjalan lancar, walaupun
terdapat keterbatasan yaitu, peneliti tidak bertemu secara langsung dengan
responden sehingga peneliti tidak melihat langsung apakah pernyataan yang
dipilih responden sudah sesuai dan menunjukkan keadaan sesungguhnya.

45
Universitas Esa Unggul

BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Pengetahuan tentang Kodefikasi Klinis


Berdasarkan hasil dari 82 responden tentang pengetahuan pada tabel
4.6, masih terdapat responden yang pengetahuan rendah sebanyak 3 responden
(3,7%) dan pengetahuan sedang sebanyak 73 responden (89%).
Responden pada indikator standar etik pengkodean pernyataan
clinical coder dapat melengkapi pengisian diagnosis jika tidak lengkap masih
terdapat jawaban responden yang memilih dengan pilihan jawaban benar
sebanyak 15 (18,3%). Pada pernyataan dalam mengkode clinical coder
menggunakan kode yang paling sesuai untuk pembayaran masih terdapat
jawaban responden yang memilih dengan pilihan jawaban yang salah sebanyak
18 (22%). Hal ini tidak sejalan dengan teori standar dan etik pengkodean
(coding) yang dikembangkan AHIMA yang diuraikan pada halaman 9, yang
menyebutkan bahwa pengode profesional harus berkonsultasi dengan dokter
untuk klarifikasi dan kelengkapan pengisian data diagnosis dan tindakan serta
pengode profesional senantiasa berusaha untuk memberi kode yang paling
sesuai untuk pembayaran.
Pada indikator klasifikasi dan kodefikasi pernyataan kegiatan
kodefikasi penyakit oleh WHO bertujuan untuk penagihan biaya pelayanan
masih terdapat jawaban responden yang memilih dengan pilihan jawaban benar
sebanyak 32 (39%) sedangkan yang diuraikan pada halaman 9, WHO
menyebutkan bahwa kegiatan kodefikasi penyakit bertujuan untuk
menyeragamkan nama golongan penyakit, cidera, gejala dan faktor yang
mempengaruhi kesehatan.
Pada indikator konvensi dan tanda baca dalam ICD pernyataan tanda
dagger wajib digunakan bersama dengan tanda asterisk masih terdapat
responden yang memilih dengan pilihan jawaban salah sebanyak 14 (17,1%),
dan pernyataan tanda NOS menunjukkan kondisi yang tertulis diklasifikasikan
ditempat lain, dan tanda NEC menunjukkan kondisi tidak diklasifikasikan
46
Universitas Esa Unggul

dimanapun masih terdapat responden yang memilih dengan pilihan jawaban


benar sebanyak 27 (32,9%). Hal ini tidak sejalan dengan teori yang diuraikan
pada halaman 14, ICD menyebutkan bahwa tanda dagger wajib digunakan
bersama dengan tanda asteriks dan NEC berfungsi untuk menunjukkan bahwa
kondisi yang tertulis di klasifikasikan di tempat lain serta NOS berfungsi untuk
menunjukkan bahwa kondisi yang tertulis tidak di klasifikasi di mana pun.
Pada indikator sembilan langkah dasar dalam menentukan kode
masih terdapat responden yang belum tepat dalam reseleksi menggunakan
aturan rule MB. Dari total 82 responden, terdapat 62 responden (75,6%) yang
tidak tepat dalam pemilihan rule MB. Hal ini berarti responden belum
memahami aturan rule MB yang diuraikan pada halaman 17.

5.2 Perilaku Clinical Coder


Berdasarkan hasil dari 82 responden tentang perilaku pada tabel 4.8,
masih terdapat responden yang mempunyai perilaku rendah sebanyak 10
responden (12,2%) dan perilaku sedang sebanyak 61 responden (74,4%).
Pada pernyataan saya menggunakan buku pintar untuk lebih
memudahkan pengkodean masih terdapat responden yang memilih pilihan
jawaban sering sebanyak 54 (65,9%) dan jarang sebanyak 17 (20,7%). Hal ini
tidak sejalan dengan teori Gemala yang diuraikan pada halaman 10 yang
menyebutkan bahwa dalam mencari kode harus menelusuri pada volume 3
kemudian membuka volume 1 untuk memastikan kode yang tepat.
Pada pernyataan saya menggunakan kode asteriks sebagai kode
diagnosis utama tanpa menggunakan kode daggernya masih terdapat responden
yang memilih dengan pilihan jawaban jarang sebanyak 34 (41,5%), Hal ini
tidak sejalan dengan teori ICD yang diuraikan pada halaman 14 menyebutkan
bahwa tanda dagger wajib digunakan bersama dengan tanda asteriks.
Pada pernyataan saya mengisi diagnosis pada ringkasan masuk dan
keluar jika tidak lengkap masih terdapat responden yang memilih pilihan
jawaban sering sebanyak 14 (17,1%), jarang sebanyak 14 (17,1%), hal ini tidak
sejalan dengan teori standar dan etik pengkodean (coding) yang dikembangkan
47
Universitas Esa Unggul

AHIMA yang diuraikan pada halaman 9, yang menyebutkan bahwa pengode


profesional harus berkonsultasi dengan dokter untuk klarifikasi dan
kelengkapan pengisian data diagnosis dan tindakan.

5.3 Hubungan Pengetahuan tentang Kodefikasi Klinis dengan Perilaku


Clinical Coder di DKI Jakarta
Berdasarkan hasil penelitian tentang pengetahuan tentang kodefikasi
klinis dengan perilaku clinical coder, diperoleh p-value = 0,000 < 0,05,
sehingga dapat diartikan bahwa variabel pengetahuan mempunyai hubungan
terhadap perilaku clinical coder di DKI Jakarta. Berdasarkan teori yang
dikemukakan Colton mengenai tingkat kekuatan hubungan pada halaman 36
maka dapat diketahui hubungan pengetahuan dengan perilaku clinical coder
menunjukkan hubungan kuat (r=0,510). Berdasarkan hasil perhitungan
tersebut, dapat dikatakan bahwa semakin bertambah tingkat pengetahuan
clinical coder semakin baik perilaku clinical coder.
Hasil penelitian ini sejalan dengan Pramono (2012) di Puskesmas
Gondokusuman II Kota Yogyakarta yang menyatakan bahwa ada hubungan
antara coder dengan keakuratan kode diagnosis berdasarkan ICD-10 (p-value =
0,001). Berdasarkan hasil penelitian, Wijaya (2014) pada beberapa Rumah
Sakit di Jakarta yang menyatakan adanya hubungan yang signifikan (p-
value=0,04) antara pengetahuan dengan akurasi koding, koder yang
berpengetahuan baik dapat mengkode secara akurat. Hal ini sejalan pula
dengan penelitian Rohani (2019) di Rumah Sakit Kanker “Dharmais”
menyatakan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan
clinical coder dengan kualitas koding klinis (p-value = 0,043).

48
Universitas Esa Unggul

BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
a. Hasil penelitian dari 82 responden tentang pengetahuan diperoleh rata-
rata sebesar 11,90 dengan interval estimasi pada tingkat kepercayaan 95%
berkisar antara 11,59 sampai 12,21 dengan standar deviasi sebesar 1,411.
Nilai median 12 dan nilai minimum 7 serta nilai maximum 15.
b. Hasil penelitian dari 82 responden tentang perilaku diperoleh rata-rata
sebesar 53,46 dengan interval estimasi pada tingkat kepercayaan 95%
berkisar antara 52,81 sampai 54,12 dengan standar deviasi sebesar 2,982.
Nilai median 54 dan nilai minimum 47 serta nilai maximum 59.
c. Adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang kodefikasi
klinis dengan perilaku clinical coder di DKI Jakarta dengan p-value =
0,000 dan menunjukkan hubungan kuat (r=0,510).

6.2 Saran
a. Sebaiknya pihak DPD PORMIKI mengembangkan dan mensosialisasikan
standar untuk kodefikasi klinis yang berlaku di Indonesia.
b. Sebaiknya dilakukan sertifikasi kompetensi untuk petugas yang
melakukan kegiatan klasifikasi dan kodefikasi penyakit.
c. Sebaiknya pihak DPD PORMIKI memberikan seminar dan pelatihan
yang dapat menambah pengetahuan khususnya pada kompetensi
klasifikasi dan kodefikasi penyakit.
d. Sebaiknya untuk penelitian kedepannya dilakukan penelitian tentang
pengetahuan kodefikasi klinis dengan kasus yang lebih spesifik.

49
Universitas Esa Unggul

DAFTAR PUSTAKA

1. Erlinda, Indriani A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketidaktepatan Kode


pada Persalinan Sectio Caesarea di Rumah Sakit Umum Imelda Pekerja
Indonesia Medan Tahun 2018. J Ilm PEREKAM DAN Inf Kesehat IMELDA.
2018;3(2):453–65.
2. Depkes RI. Standar Profesi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2009.
3. Putri NM. Hubungan Beban Kerja Coder dengan Keakuratan Kode Diagnosis
Pasien Rawat Inap Berdasarkan ICD-10 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
Tahun 2011. 2011;
4. Hatta G. Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan di Sarana Pelayanan
Kesehatan. Jakarta: UI-Press; 2017.
5. Ernawati. Tinjauan Ketepatan Kode Diagnosis Kasus NIDDM (Non Insulin
Dependent Diabetes Mellitus) Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Pertamina
Jaya Tahun 2016. Jakarta: Universitas Esa Unggul; 2016.
6. Winanda V. Tinjauan Ketepatan Pengkodean Diagnosa Rawat Jalan Pasien
BPJS di Rumah Sakit Jiwa DR Soeharto Heerdjan. Jakarta: Universitas Esa
Unggul; 2015.
7. Maulida KH. Tinjauan Ketepatan Kode Diagnosa Katarak Pada Pasien Rawat
Jalan di RSUD Cengkareng Tahun 2018. Jakarta: Universitas Esa Unggul;
2018.
8. Rohani S. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Coding Klinis Kasus
Neoplasma Untuk Klaim BPJS di Rumah Sakit Kanker “Dharmais.” 2019;
9. Widjaya L, Rumana NA. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Koding Ibu
Melahirkan dan Bayi di Beberapa Rumah Sakit Tahun 2014. J Inohim.
2014;2(2):114–22.
10. Octhareja R. Tinjauan Ketepatan Kode Diagnosis Pasien Rawat Jalan Di
Rumah Sakit Medika Permata Hijau. Jakarta: Universitas Esa Unggul; 2017.
11. Mussy NR. Tinjauan Ketepatan Kode Diagnosis Utama Kasus Bedah Pada
Pasien Rawat Inap di RSPAD Gatot Subroto Bulan Januari 2018. Jakarta:
Universitas Esa Unggul; 2018.
12. Muryanti. Ketepatan Pengkodean Diagnosis Kanker Pada Pasien Wanita di
Departemen Radoterapi RSCM Jakarta. Jakarta: Universitas Esa Unggul;
2019.
13. Utami YT. Hubungan Pengetahuan Coder dengan Keakuratan Kode Diagnosis
Pasien Rawat Inap Jaminan Kesehatan Masyarakat Berdasarkan ICD-10 di

50
Universitas Esa Unggul

RSUD Simo Boyolali. J Ilm Rekam Medis dan Inform Kesehat. 2015;5(1):13–
25.
14. Sudra RI, Pujihastuti A. Pengaruh Penulisan Dianosis dan Pengetahuan
Petugas Rekam Medis Tentang Terminologi Medis Terhadap Keakuratan
Kode Diagnosis. J Manaj Inf Kesehat Indones. 2016;4(1):67–72.
15. Notoatmodjo S. Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Revisi 2010. Jakarta:
Rineka Cipta; 2013.
16. Rita. Tinjauan Ketepatan Kode Diagnosa Pasien Rawat Inap Kasus Urologi
Berdasarkan ICD-10 di Rumah Sakit Siloam Asri Tahun 2016. Jakarta:
Universitas Esa Unggul; 2016.
17. Wikipedia. Coder Klinis [Internet]. Wikipedia. 2019 [cited 2019 Jan 12].
Available from: https://en.m.wikipedia.org/wiki/Clinical_coder
18. Pramono AE. Hubungan Antara Coder (Dokter dan Perawat) Dengan
Keakuratan Kode Diagnosis Berdasarkan ICD-10 di Puskesmas
Gondokusuman II Kota Yogyakarta Tahun 2012. 2012.
19. Pratiwi KA, Ernawati D. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Kelengkapan
Kode External Cause di RSUD Kabupaten Brebes. J Manaj Inf Kesehat
Indones. 2017;5(2):53–9.
20. A W. Kamus Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Wahyu Media; 2010.
21. WHO. International Statistical Classification of Disease and Related Health
Problem Thenth Revision Volume 1,2,3. 10th ed. Geneva; 2010.
22. Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 76 Tahun 2016 tentang Pedoman Indonesian Case Base Groups (INA-
CBG) Dalam Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. 2016;
23. Garmelia. Pengenalan Kodefikasi dan Modifikasi Prosedur Melalui ICD-9CM.
Jakarta: Kumpulan Makalah Penelitian Optimalisasi Pengelolaan dan
Implementasi Standar Pelayanan Rekam Medis di Rumah Sakit; 2010.
24. Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 55 Tahun 2013
tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Perekam Medis. 2013;
25. Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan. 2003.
26. Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2014 tentang Tenaga Kesehatan.pdf. 2014.
27. Tim Dosen Prodi MIK. Pedoman Pembimbingan dan Penulisan Skripsi.
Jakarta: Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan, Universitas Esa Unggul; 2017.

51
Universitas Esa Unggul

28. Sabri L, Hastono SP. Statistik Kesehatan. 1st ed. Jakarta: Rajawali Pers; 2014.

52
DEWAN PIMPINAN DAERAH DKI JAKARTA
PERHIMPUNAN PROFESIONAL PEREKAM MEDIS DAN
INFORMASI KESEHATAN INDONESIA
(INDONESIAN PROFESIONALS ON MEDICAL RECORD AND
H EALT H I N F O R M AT I O N O RG AN IZAT I O N )
(PORMTKT)
OPD - o(\

SURAT KETERANGAN IJIN PENELITIAN


5s.ilM,0a.0llxlt l0?L / tKt /Lotq '

Yang bertandatangan di bawah ini Ketua DPD PORMIKI DKI Jakarta, menerangkan bahwa
usulan penelitian :

Nama : Nursyafika
Institusi : Program Studi Manajemen Infomrasi Kesehatan Universitas Esa Unggul

Ntrtll :20170310057
Judul Penelitian: Hubungan Pengetahuan Tentang Kodefikasi Klinis dengan Perilaku
Coder Clinical di DKI Jakarta

Diijinkan untuk dilaksanakan di Wilayah DPD PORMIKI DKI Jakarta. Demikian surat
keterangan ini dibuat untuk digunakan sebagaimana mestinya.

Jakarta l3 Desembr 2019


PORMIKI DKI Jakarta

PORM ?
ulandari, A.Md

Sekretariat :
Unit Pelayanan Rekam Medis RSUPN D. Cipto Mangunkusumo
Jl. Diponegoro No.Tl Jakarta 1rO3 Kotak Pos 1086
Telp. 500135 ext. 2904, (021) 31925368 Faximile : (021) 31926368
Email : dpd.pormikidkiikt@gmail.com
Website : www.Pormiki-dki.org
WA : 0812 8267 3996
Lampiran 2

No. Responden

KUESIONER PENELITIAN

HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG KODEFIKASI KLINIS DENGAN


PERILAKU CLINICAL CODER DI DKI JAKARTA

Identitas peneliti :

Nama : Nursyafika

NIM : 20170310057

Program studi : S1 Manajemen Informasi Kesehatan

Fakultas : Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Esa Unggul

Saya menyadari bahwa waktu Bapak/Ibu/Saudara (i) sangat terbatas dan berharga.
Namun saya mengharapkan Bapak/Ibu/Saudara (i) bersedia meluangkan waktu untuk
mengisi kuesioner penelitian ini secara objektif. Hasil dari jawaban yang
Bapak/Ibu/Saudara (i) berikan akan dijaga kerahasiaannya dan semata-mata
digunakan untuk keperluan penelitian ini saja. Sekian dari saya, atas bantuan dan
pengertiannya saya ucapkan terima kasih.
Lampiran 2

Surat Persetujuan untuk Berpartisipasi dalam Penelitian


(INFORMED CONSENT)

JUDUL PENELITIAN : HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG


KODEFIKASI KLINIS DENGAN PERILAKU
CLINICAL CODER DI DKI JAKARTA
INSTANSI PELAKSANA : Program Studi Manajemen Informasi Kesehatan
Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Esa Unggul
PENELITI : Nursyafika (081341582512)

Bersama ini, kami yang bertanda tangan dibawah ini:


Nama Subjek : ......................................................... ...................... .....
Alamat : ......................................................................................
......................................................................................
......................................................................................
......................................................................................
Telpon/HP : ......................................................................................

Telah mendapat penjelasan dari peneliti tentang penelitian: ”Hubungan Pengetahuan


tentang Kodefikasi Klinis dengan Perilaku Clinical Coder di DKI Jakarta” dan
setuju/tidak setuju* untuk ikut serta dalam kegiatan ini, dengan catatan bahwa bila
suatu waktu merasa dirugikan dalam bentuk apapun kami berhak untuk membatalkan
persetujuan ini.

Jakarta, ................................... 2020


Menyaksikan, Yang menyetujui:

(...................................) (...................................)
Subjek
*coret salah satu
Lampiran 2

Petunjuk pengisian :

1. Isikan identitas Bapak/Ibu/Saudara (i) pada kolom yang tersedia


2. Keterangan pilihan jawaban kuesioner:
a. Bagian pernyataan yang berkaitan Pengetahuan: Ya / Tidak
b. Bagian pernyataan yang berkaitan Perilaku: Selalu, Sering, Jarang, Tidak
Pernah
3. Berikan tanda checklist (√) pada kolom jawaban yang dipilih

I. Identitas Responden

Jenis Kelamin : Laki – Laki Perempuan

Usia : 20 – 30 Tahun 51 – 60 Tahun

31 – 40 Tahun > 60 Tahun

41 – 50 Tahun

Pendidikan Terakhir : D-III S1

D-IV S2

Masa Kerja : < 1 Tahun 11 – 15 Tahun

1 – 5 Tahun > 15 Tahun

6 – 10 Tahun

Tempat Bekerja :

Apakah Bekerja Sebagai Clinical Coder : Ya Tidak


Lampiran 2

II. Pengetahuan Clinical Coder (Variabel Indevendent)


Berikan tanda checklist (√) pada kolom jawaban yang dipilih.
PERNYATAAN YANG BERKAITAN DENGAN PENGETAHUAN
No. PERNYATAAN BENAR SALAH
STANDAR DAN ETIK PENGKODEAN
1. Clinical coder dapat mengganti diagnosis pada bill
pembayaran
2. Clinical coder dapat melengkapi pengisian diagnosis
jika tidak lengkap
3. Dalam mengkode clinical coder mengutamakan kode
yang paling sesuai untuk pembayaran
KLASIFIKASI DAN KODEFIKASI
4. Kegiatan kodefikasi penyakit oleh WHO bertujuan
untuk penagihan biaya pelayanan
5. Kepanjangan ICD adalah International Classification
of Disease
6. Kode dengan 1 huruf dan 2 angka disebut karakter
dengan 3 kategori
ATURAN KODING ICD 10 & ICD-9-CM
7. Jika diagnosis utama menggunakan kode dagger dan
asterisk maka yang dikode sebagai diagnosis utama
adalah kode dagger, kode asterisc sebagai diagnosis
sekunder
8. Jika dua kondisi atau lebih tercatat sebagai diagnosa
utama maka yang dipilih sebagai diagnosa utama
adalah kondisi yang pertama tercatat
9. Pernyataan code also dibawah pernyataan tindakan /
prosedur harus dikoding
KONVENSI DAN TANDA BACA DALAM ICD
10. Tanda dagger wajib digunakan bersama dengan tanda
asterisk
11. Tanda NOS menunjukkan kondisi yang tertulis
diklasifikasikan ditempat lain, dan tanda NEC
menunjukkan kondisi tidak diklasifikasikan
dimanapun.
12. Tanda Point Dash ( . - ) digunakan untuk mengganti
karakter ke empat, dan karakter ke empatnya harus
dicari di volume 1
SEMBILAN LANGKAH DASAR DALAM MENENTUKAN KODE
Tentukan Rule MB yang digunakan untuk reseleksi diagnosis dibawah ini:
13. Diagnosis Utama : Hyperpyrexia R50.9 Dilakukan reseleksi
Lampiran 2

Diagnosis Sekunder : Dyspepsia K30 menggunakan


Spesialis : Anak Rule MB ............
LOS : 4 Hari
Tentukan lead term diagnosis dibawah ini:
14. Congestive Heart Failure 14.
15. Jahit Bibir 15.

III. Perilaku Clinical Coder (Variabel Dependent)


Berikan tanda checklist (√) pada kolom jawaban yang dipilih.

PERNYATAAN YANG BERKAITAN PERILAKU CLINICAL CODER


TIDAK
No. PERNYATAAN SELALU SERING JARANG
PERNAH
1. Saya membaca resume,
ringkasan masuk dan keluar,
catatan pasien terintegrasi dan
hasil pemeriksaan penunjang
sebelum menentukan
menentukan lead term
2. Saya menggunakan istilah kata
benda antomi, kata
sifat/keterangan sebagai lead
term
3. Saya menelusuri lead term
tersebut pada ICD-10 volume 3
4. Saya menggunakan ICD-10
volume 1 untuk mencari kode
yang paling tepat
5. Saya memperhatikan perintah
untuk membubuhi kode
tambahan (Additional Code)
6. Saya menggunakan buku pintar
untuk lebih memudahkan
pengkodean
7. Saya memperhatikan
spesialisasi yang menangani
pasien.
8. Saya menggunakan kode
dagger sebagai diagnosis utama
dan kode asteriks sebagai
diagnosis sekunder
Lampiran 2

9. Saya menggunakan kode


asteriks sebagai kode diagnosis
utama tanpa menggunakan kode
daggernya
10. Saya menggunakan kode R dan
Z meskipun ada diagnosis yang
lebih spesifik
11. Saya tidak memberikan kode
tambahan pada
prosedur/tindakan ketika
menemukan kata omit code
12. Saya mengisi diagnosis pada
ringkasan masuk dan keluar
jika tidak lengkap
13. Saya mengganti diagnosis pada
bill pembayaran untuk
menaikkan tarif terhadap RS.
14. Saya berkonsultasi dengan
dokter untuk klarifikasi dan
kelengkapan pengisian
diagnosis
15. Saya hanya menulis kode pada
resume medis
Lampiran 8

Uji Validitas Variabel Pengetahuan


Lampiran 8

Uji Validitas Variabel Perilaku


Lampiran 8

Uji Reabilitas Variabel Pengetahuan

Uji Reabilitas Variabel Perilaku


Lampiran 8

Hasil Analisis Univariat


Lampiran 8

Hasil Uji Normalitas

Hasil Analisis Bivariat


Lampiran 29
Bukti Perintah Perbaikan
Sidang Skripsi

UNIVERSITAS ESA UNGGUL


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
PRODI S1 MANAJEMEN INFORMASI KESEHATAN

Nama : Nursyafika

NIM : 20170310057

Judul : Hubungan Pengetahuan tentang Kodefikasi Klinis dengan Perilaku Clinical Coder di
DKI Jakarta

Masukan / Saran
No. Nama Dosen Halaman Hasil Revisi TTD
Perbaikan

Ambarwati,
1. Saran diubah 51 Sudah diubah
SST., M.Kes

2. Dr. Hosizah, Pada kerangka berpikir diubah Sudah diubah


SKM, M.KM sesuai teori L.Green 25 sesuai teori
L.Green
Pada kerangka teori Sudah
ditambahkan faktor-faktor 26 ditambahkan
yang mempengaruhi perilaku
r tabel pada hasil uji validitas Sudah diganti
diganti menjadi P-value dan 31-35 dan
tambahkan tabel relibabilitas ditambahkan
Tambahkan deskripsi awal Sudah
pada analisis univariat dan ditambahkan
40-46
ubah judul tabel berdasarkan dan diubah
3W
Hasil Univariat dikategorikan Sudah
41
dikategorikan
Uji normalitas data Sudah diubah
menggunakan uji Kolmogorov- 47
Smirnov
Tambahkan halaman teori Sudah
yang mendukung pada 48 ditambahkan
pembahasan
3. Mieke r tabel pada hasil uji validitas Sudang diganti
Nurmalasari, diganti menjadi P-value dan 31-35 dan
M.Si, M.Sc tambahkan tabel relibabilitas ditambahkan
Hasil univariat di kategorikan Sudah
41
dikategorikan
Uji normalitas data Sudah diubah
menggunakan uji Kolmogorov- 47
Smirnov

Anda mungkin juga menyukai