Anda di halaman 1dari 41

DAMPAK GEJALA MEDAN TINGGI

PADA TRANSFORMATOR AKIBAT


EFEK PETIR

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 5
NAMA :

NPM :

Nelvin Candra Lidermi Zendrato

14.03.0.028

Febry Reynaldo

14.03.0.052

Diyanto Indah Putra Zendrato

14.03.0.007

Wantri Simanjuntak

14.03.0.017

Andi S Haloho

16.03.3.038

PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS RIAU KEPULAUAN BATAM
2016
1

Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang
Gejala Medan Tinggi pada Transformator akibat Efek Petir. Dan juga kami berterima kasih
pada Bapak M. Irsyam S.T, M.T., selaku Dosen mata kuliah Gejala Medan Tinggi yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai dampak dari pada efek petir pada transformator,
dan juga bagaimana membuat proteksi pada instalasi trafo. Kami juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami
buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi
perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.

Batam, 13 November 2016

Kelompok 5

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................................... 1
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN
1 Latar Belakang ............................................................................................
2 Identifikasi Masalah ...................................................................................
3 Tujuan Perancangan ....................................................................................
4 Batasan Masalah .........................................................................................
5 Manfaat Perancangan .................................................................................
6 Sistematika Penulisan .................................................................................

3
4
4
4
4
5

BAB II LANDASAN TEORI


1 Pengertian Transformator............................................................................ 6
2
BAB III pembahasan
3.1. Gangguan Akibat Efek Petir Pada Transformator ..................................... 7
3.2. Mengurang Terjadinya Efek Petir Pada Transformator ............................. 7
3.3. Sistem Proteksi ............................................................................................... 8
3.4. Fungsi Dari Sistem Proteksi ........................................................................... 9
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan ................................................................................................... 10
4.2. Saran ............................................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 11

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Transformator merupakan suatu alat listrik yang termasuk ke dalam klasifikasi mesin
listrik static yang berfungsi menyalurkan tenaga/daya listrik dari tegangan tinggi ke tegangan
rendah dan sebaliknya. Atau dapat juga diartikan mengubah tegangan arus bolak-balik dari
satu tingkat ke tingkat yang lain melalui suatu gandengan magnet dan berdasarkan prinsipprinsip induksi-elektromagnet. Transformator terdiri atas sebuah inti, yang terbuat dari besi
berlapis dan dua buah kumparan, yaitu kumparan primer dan kumparan sekunder.
Gangguan pada transformator antara lain dapat disebabkan oleh beberapa faktor
1

Faktor Internal
a Gangguan hubungan singkat
b Bushing TM/TR dan packing body yang kurang kencang / kendur
c Gangguan Sistem Pendingin
d Penyambungan Kumparan yang kurang baik
e Kerusakan isolasi
2 Faktor Eksternal
a. Gangguan Hubung Singkat pada penyulang (feeder),rel, dan incoming feeder
b. Pembebanan trafo yang tidak seimbang, melebihi dari kapasitas 80% kapasitas daya
trafo
c. Sistem pemeliharaan yang kurang tepat
d. Cuaca (Efek Petir)
Sebagian besar dari gangguan diatas perlu dihilangkan dengan cara melepaskan
generator terhadap system melalui pemutus tenaga utama (main circuit breaker) dan bila
memungkinkan melepas pemutus tenaga medan penguat. Untuk jenis gangguan tertentu
selain cara diatas, atau dapat langsung memutus sumber arus agar berhenti beroperasi. Bila
terjadi gangguan yang masih pada batas yang di izinkan biasanya system hanya memberikan
peringatan saja.

Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang diutarakan sebelumnya, penulis menyimpulkan beberapa

masalah yaitu:
4

1
2

Apa saja sistem gangguan pada transformator ?


Bagaimanakah model transien dan tanggapan belitan trafo yang dialiri gelombang

3
4
5

surja petir.
Dimanakah letak titik kritis pada belitan trafo ketika dialiri gelombang surja petir
Bagaimana mengurangi terjadinya gangguan pada transformator distribusi ?
Bagaimana gangguan petir pada transformator ?

1.3

Tujuan
1
2

Adapun tujuan pembahasan pada penelitian ini yaitu:


Mengetahui sistem gangguan pada trafo distribusi.
untuk memperoleh model analisis transien dari trafo distribusi dan tanggapannya

ketika belitan dirambati oleh gelombang surja berjalan


dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan kemampuan trafo distribusi
terhadap tegangan abnormal dan pemilihan proteksi surja

1.4

Batasan Masalah
Agar pembahasan lebih mudah dipahami dan keterbatasan pemahaman penulis, maka

penulis membatasi masalah yang dibahas hanya pada:


1 Sistem gangguan pada trafo distribusi yang diakibatkan oleh efek petir
2

Menggunakan trafo distribusi 3 fasa , 20 kV, 160 kVA, dengan frekuensi kerja 50
Hz.

1.5

Menggunakan gelombang tegangan surja jenis 1.2/50 s, dengan dasar tegangan

BIL untuk isolasi pada saluran distribusi yaitu 125 kV


Pencegahan terjadinya efek petir.

Metode Pengumpulan Data


Dalam penyusunan laporan, penulis selalu bersumber pada data-data yang diperoleh

di laboratorium. Adapun metode yang dilakukan penulis dalam penyusunan laporan ini,
antara lain:
1 Metode Observasi
Melakukan pengamatan terhadap dampak gejala medan tinggi terhadap efek petir.
2 Metode Referensi
Selain melakukan pengamatan, penulis juga mencari informasi serta data dari
referensi yang ada seperti buku dan web di dalam internet.
1.6

Sistematika Penulisan
Dalam menyusun laporan ini, penulis berusaha untuk memudahkan dalam membaca

serta memahami laporan yang dibuatnya kepada para pembaca yaitu dengan menyediakan
sistematika penulisan laporan. Antara lain seperti berikut:
5

BAB I

PENDAHULUAN
Menjelaskan tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah,
tujuan pembahasan, metode penulisan laporan, serta sistematika
penulisan laporan.

BAB II

LANDASAN TEORI
Menjelaskan tentang teori-teori dasar secara menyeluruh.

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN


Menjelaskan hasil pengamatan dan menjelaskan analisa yang sudah
dilakukan.

BAB IV

KESIMPULAN
Menarik kesimpulan dari apa yang sudah didapatkan selama percobaan
dan memberikan saran perbaikan untuk percobaaan yang sama di
waktu yang lain.

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Transformator
Transformator adalah suatu alat listrik yang digunakan untuk mentransformasikan
daya atau energi listrik dari tegangan tinggi ke tegangan rendah atau sebaliknya, melalui
suatu gandengan magnet dan berdasarkan prinsip induksi-elektromagnet. Transformator
digunakan secara luas, baik dalam bidang tenaga listrik maupun elektronika.
Dalam bidang tenaga listrik pada umumnya pemakain transformator dapat
dikelompokkan dalam :
6

a. Transformator Daya, transformator ini biasanya digunakan di pembangkit tenaga listrik,


untuk menaikkan tegangan pembangkit menjadi tegangan transmisi.
b. Transformator distribusi, transformator ini pada umumnya digunakan pada sub distribusi
tenaga listrik, yaitu untuk menurunkan tegangan transmisi menjadi tegangan distribusi.
c. Transformator Instrument, transformator ini gunanya digunakan sebagai alat instrument
pengukuran yang terdiri dari transformator arus (current transformer) dan transformator
tegangan (potential transformer).
3

Prinsip Kerja Transformator.

Kerja transformator yang berdasarkan induksi-elektromagnet, menghendaki adanya


gandengan magnet antara rangkaian primer dan sekunder. Gandengan magnet ini berupa inti
besi tempat melakukan fluks bersama.
Berdasarkan cara melilitkan kumparan pada inti, dikenal dua macam transformator, yaitu tipe
inti dan tipe cangkang.

i0
V1

i0
E1

N1

V1N2

(a)

E2
(b)

Gb.2.1.1 Transformator tanpa beban

Gambar2.2. Tipe kumparan transformator

E1

2.2.1 Keadaan Transformator Tanpa Beban.


Bila kumparan primer suatu transformator dihubungkan dengan sumber tegangan V1 yang
sinusoid, akan mengalirkan arus primer Io yang juga sinusoidal dan dengan menganggap
belitan N1 reaktif murni, Io

akan tertingagal 900 dari V1 (gambar 2). Arus primer Io

menimbulkan fluks () yang sefasa juga berbentuk sinusoid.


= maks sin t
Fluks yang sinusoid ini akan menghasilkan tegangan induksi e1 ( Hukum Faraday )
e 1 = - N 1 . d / dt
e1 = - N1. d(maks sin t)/dt = -N1..maks.cost (tertinggal 90 dari )
harga efektifnya adalah

E1 = N1.2 maks / 2 = 4.44 n1. maks

Pada rangkaian skunder, fluks () bersama tadi menimbulkan


e1 = - N2. d / dt
e1 = - N2. .maks.cost
E2 = 4.44 N2. maks
E1/E2 = N1/N2
Dengan mengabaikan rugi tahanan dan adanya fluks bocor,
E1 / E2 = V1 / V2 = N1 / N2 = a.
a = perbandingan transformasi.
Dalam hal ini tegangan induksi E1 mempunyai kebesaran yang sama tetapi berlawanan arah
dengan tegangan sumber V1.
2.2.2. Arus Penguat.
Arus primer I yang mengalir pada saat kumparan sekunder tidak dibebani disebut arus
penguat.

Dalam kenyataannya arus primer I bukanlah merupakan arus induktif

murni,sehingga ia terdiri atas dua komponen ( Gambar 2.1.2 a. )

(1) Komponen aru pemagnetan IM, yang menghasilkan fluks (). Karena sifat besi yang non
linear ( ingat kurva B-H ) , maka arus pemagnetan IM dan juga fluks () dalam
kenyataannya tidak berbentuk sinusoid ( Gambar 2.1.2 b. ).

(2) Komponen arus rugi tmbaga Ic, menyatakan daya yang hilang akibat adanya rugi
histerisis dan arus eddy. Ic sefasa dengan V1, dengan demikian hasil perkalian ( Ic x V 1 )
merupakan daya (watt) yang hilang.
Gambar 2.1.2 a. Arus penguat.

Gambar 2.1.2 a. Pemagnetan.

2.2.3. Keadaan Berbeban.


Apabila kumparan sekunder dihubungkan dengan beban Z1, I2 mengalir pada kumparan

sekunder dimana I2 =

V2
ZL

dengan 2 = faktor kerja beban.

10

i2

i0
V1

E1

Z1
N2

V2
N2

E2

Gambar 2.1.3. Transformator dalam keadaan berbeban.

Arus beban I2 ini akan menimbulkan gaya gerak magnet (ggm) N2I2 yang cenderung
menentang fluks () bersama yang telah ada akibat arus pemagnetan IM. Agar fluks bersama
itu tidak berubah nilainya, pada kumparan primer harus mengalir arus I 2, yang menentang
fluks yang dibangkitkan oleh arus beban I2, hingga keseluruhan arus yang mengalir pada
kumparan primer menjadi :
I1 = I + I2
Bila rugi besi diabaikan ( Ic diabaikan ) maka I = IM
I1 = IM + I2
Untuk menjaga agar fluks tetap tidak berubah sebesar ggm yang dihasilkan oleh arus
pemagnetan IM saja, berlaku hubungan :
N 1 IM = N 1 I1 N 2 I2
N1 IM = N1 ( I1 I2) - N2 I2
Hingga ................................ N1 I2 = N2 I2
Karena nilai IM dianggap kecil maka :
I1 = I2

Jadi

N1 N 2

I1
I2

atau

I1 N 2

I2
I1

11

Distribusi
Pada umumnya pusat pembangkit tenaga listrik berada jauh dari pengguna tenaga

listrik. Untuk mentransmisikan tenaga listrik dari pembangkit ini, maka diperlukan
penggunaan tegangan tinggi 150 kV atau tegangan ekstra tinggi 500 kV. Setelah saluran
transmisi mendekati pusat pemakaian tenaga listrik, yang dapat merupakan suatu daerah
industri atau suatu kota, tegangan melalui gardu induk diturunkan menjadi tegangan
menengah 20 kV.
Tegangan menengah dari gardu induk ini melalui saluran distribusi primer untuk disalurkan
ke gardu-gardu distribusi atau pemakai tegangan menengah. Dari saluran distribusi primer,
tegangan menengah diturunkan menjadi tegangan rendah 400/230 V melalui gardu distribusi.
Tegangan rendah dari gardu distribusi disalurkan melalui saluran tegangan rendah ke
komsumen tegangan rendah. Bentuk sederhana dari sistem distribusi tenaga listrik dapat
ditunjukkan oleh Gambar 2.2 sebagai berikut :

Gambar 2.3 System

Tenaga Listrik

12

2.3.1 Spesifikasi Umum Rugi-rugi Transformator Distribusi


Berbagai nilai dari rugi-rugi transformator distribusi menurut SPLN 50 tahun 1997 dapat
dilihat pada Tabel 2.3.1 berikut ini :
Tabel 2.3.1 Nilai Rugi-Rugi Transformator Distribusi

2.3.2 Rugi-Rugi Transformator


Secara umum rugi-rugi yang terjadi pada transformator dapat digambarkan dalam sebuah
blok diagram, seperti ditunjukkan Gambar 2.2.2 dibawah ini.

13

Gambar 2.3.2 Block Diagram Rugi-Rugi pada Transformator


2.3.2.1 Rugi Tembaga ()
Rugi tembaga adalah rugi yang disebabkan arus beban mengalir pada kawat
penghantar dapat ditulis sebagai berikut:
= R (watt) .......................................................................... (2.1)
Formula ini merupakan perhitungan untuk pendekatan. Karena arus beban berubah
ubah, rugi tembaga juga tidak konstan bergantung pada beban.
2.3.2.2 Rugi Besi ()
Rugi besi terdiri atas:
a. Rugi Histeresis (), yaitu rugi yang disebabkan fluks bolak balik pada inti besi
yang dinyatakan sebagai berikut:
= (watt) ................................................................. (2.2)
= konstanta
= fluks maksimum (weber)
b. Rugi Arus Eddy (), yaitu rugi yang disebabkan arus pusar pada inti besi yang
dinyatakan sebagai berikut:
= (watt) .............................................................. (2.3)
= konstanta
= fluks maksimum (weber)

14

Komponen rugi-rugi trafo ini meningkat dengan kuadrat dari frekuensi arus penyebab
eddy current. Oleh karena itu, ini menjadi komponen yang sangat penting dari rugi-rugi trafo
yang menyebabkan pemanasan oleh harmonisa.
Jadi rugi besi (rugi inti) adalah:
= + (watt) ......................................................................... (2.4)
Peningkatan rugi inti yang disebabkan oleh harmonisa bergantung pada pengaruh harmonisa
pada tengangan yang diberikan dan rancangan dari inti trafo. Semakin besar distorsi
tengangan maka semakin tinggi pula eddy current dilaminasi inti.

2.3.3 Faktor-K
Sebuah transformator standart (K-1) tidak dirancang pada penggunaan beban nonlinear yang mengandung arus harmonisa. Apabila transformator standar dipaksa untuk
digunakan pada beban non-linear, maka akan terjadi panas berlebih dan gagal sebelum
waktunya. Dengan alasan tersebut maka untuk mengatasi beban non-linear telah dirancang
transformator khusus untuk menangani arus harmonisa yang terjadi.
K-faktor transformator berbeda dari standar. Transformator ini memiliki kapasitas
termal tambahan untuk mentoleransi efek pemanasan dari arus harmonisa karena memiliki
nilai impendasi yang rendah. Transformator K-faktor jauh lebih mahal dari transformator
standar, karena transformator jenis ini didesain menggunakan bahan material yang
berkualitas. Penggunaan K-faktor transformator adalah cara yang baik untuk memastikan
bahwa transformator tidak akan mengalami kegagalan akibat panas berlebih arus harmonisa .
Nilai dari faktor-k ini sangat dipengaruhi oleh frekuensi yang mengakibatkan
bertambahnya rugi estimasi pada transformator. Faktor-k ini didefinisikan sebagai
penjumlahan dari kuadrat arus harmonisa dalam p.u dikali dengan kuadrat dari urutan
harmonisa. Dibentuk dengan persamaan berikut [4]:
K = (22=1) .............................................................. (2.5)
Persamaan 2.20 dapat juga dinyatakan sebagai berikut:
K = 22=12=1 .......................................................................... (2.6)

15

Dimana :
= Harga arus harmonisa ke-h
h = Orde harmonisa (2,3,4,5,...)
Transformator khusus dirancang untuk digunakan dengan beban non-linear ditandai
"non-sinusoidal dengan K-faktor yang tidak melebihi dimana standar K-factor adalah
4,9,13,20,30,40,50. Ketika k-faktor melebihi 4, menjadi perlu untuk menggunakan K-rated
transformer atau derate transformer. Faktor derating untuk standar non-harmonic
transformator dapat dihitung dengan menggunakan metode dari IEEE C57.100yaitu [5]:
cocok untuk beban arus " rating . , a standard . -1986,
D = 1.151+0.15 K ...................................................................................... (2.7)
Dimana :
K = Faktor-k
Pemilihan K-factor rating dapat juga dilakukan berdasarkan tipe beban yang disuplai oleh
transformator. Tabel 2.2.3 menunjukkan gambaran singkat tentang K-factor rating
berdasarkan tipe dari beban.
Tabel 2.3.3 K- Factors for various types of Loads
Load

K-Factor

Electric discharge lighting

K-4

UPS with optional input filtering

K-4

Welders

K-4

Induction heating equipment

K-4

PLCs and solid state controls (other than variable speed drives)

K-4

Telecommunications equipments (e.g PBX)

K-13

UPS without input filtering

K-13

Multiwire receptacle circuits in general care areas of health care facilities

K-13

and classrooms of schools, etc


Multiwire receptacle circuits supplying inspection or testing equipment on an
assembly or production line

16

K-13

Mainframe computer loads

K-20

Solid state motor drives (variable speed drives)

K-20

Multiwire receptacle circuits in critical care areas and operating/recovery

K-20

rooms or hospital

Harmonisa
Harmonisa merupakan suatu fenomena yang timbul dari pengoperasian beban listrik

yang sebagian besar diakibatkan dari beban non linear, dimana akan terbentuk gelombang
yang berfrekuensi tinggi yang merupakan kelipatan dari frekuensi fundamentalnya, dalam hal
ini 50Hz, sehingga bentuk gelombang arus maupun tegangan yang idealnya adalah sinusiodal
murni akan cacat akibat distorsi harmonisa yang terjadi.
Harmonisa didefenisikan sebagai gelombang-gelombang sinus (arus dan tegangan)
yang mempunyai frekuensi kelipatan integer (bilangan bulat) dari frekuensi fundamentalnya.
(di Indonesia adalah 50 Hz).
Jika frekuensi pada 50/60 Hz (Indonesia menggunakan 50 Hz) dikatakan sebagai frekuensi
fundamental/ frekuensi dasar (f), maka jika gelombang tersebut mengalami distorsi atau
dikatakan harmonisa bila mengalami kelipatan frekuensi dari frekuensi dasarnya, misalnya
harmonik kedua (2f) pada 100 Hz , ketiga (3f) 150 Hz dan harmonisa ke-n memiliki frekuensi
nf seperti ditunjukkan oleh Gambar 2.3.1. Gelombang-gelombang ini akan menumpang pada
gelombang frekuensi dasarnya dan akan terbentuk gelombang cacat yang merupakan
penjumlahan antara gelombang murni dengan gelombang harmonisa ke-3 seperti ditunjukkan
oleh Gambar 2.4.1 sebagai berikut [8]:

Gambar 2.4.1
Gelombang
Fundamental,
Harmonisa kedua dan Harmonisa ketiga

17

Gambar 2.4.2 Gelombang Fundamental yang terdistorsi Harmonisa Ke-3

Pada Gambar 2.4.2 ditunjukkan bahwa gelombang harmonisa yang ketiga terbentuk menjadi
tiga periode gelombang yang berulang pada saat gelombang yang berulang pada saat
gelombang yang fundamentalnya masih berlangsung dalam satu periode. Hal ini juga untuk
gelombang yang lainnya, seperti gelombang harmonisa yang ke lima juga terbentuk menjadi
lima periode gelombang yang lebih kecil lagi amplitudonya saat gelombang harmonisa yang
fundamental dari gelombang tersebut masih berlangsung dalam satu periode.

Jenis Jenis Harmonisa


Harmonisa pertama disebut juga frekuensi dasar (fundamental). Jika frekuensi

gelombang harmonisanya sama dengan dua kali frekuensi dasarnya maka disebut harmonisa
kedua, jika frekuensi gelombang harmonisanya sama dengan tiga kali frekuensi fundamental
maka disebut harmonisa ketiga dan seterusnya. Apabila frekuensi fundamental adalah 50 Hz
maka harmonisa keduanya mempunyai frekuensi 100 Hz, harmonisa ketiganya mempunyai
frekuensi 150 Hz, dan seterusnya. Perbandingan frekuensi harmonik dengan frekuensi dasar
ini disebut dengan orde harmonik.
Berdasarkan dari urutan/ordenya, harmonisa dapat dibedakan menjadi harmonisa
ganjil dan harmonisa Genap. Sesuai dengan namanya harmonisa ganjil adalah harmonisa ke
1, 3, 5, 7, 9, dan seterusnya. Sedangkan harmonisa Genap merupakan harmonisa ke 2, 4, 6, 8
dan seterusnya. Namun harmonisa pertama tidak dapat dikatakan sebagai hamonisa ganjil,
karena merupakan komponen frekuensi fundamental dari gelomabang periodik. Sedangkan
harmonisa 0 (nol) mewakili konstanta atau komponen DC dari gelombang.
Pada suatu sistem tenaga listrik tiga phasa yang seimbang diasumsikan mempunyai urutan
phasa R,S,T (a,b,c), dimana besar arus dan tegangan pada setiap phasa selalu sama dan
18

berbeda sudut 120o listrik satu sama lain. Sehingga berdasarkan urutan phasanya, harmonisa
dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
a. Harmonisa urutan Positif
Harmonisa urutan positif ini mempunyai urutan phasa yang sama seperti fasor aslinya
yang terdiri dari tiga fasor yang sama besarnya, dan saling berbeda phasa 1200 (R,S,T atau
a,b,c). Gambar 2.3.1.1 menunjukkan fundamental fasor merupakan harmonisa urutan positif.
Dimana harmonisa positif ini terdiri dari harmonisa ke-1, ke-4, ke-7, ke-10, dan seterusnya.

Gambar 2.4.1.1 Fundamental Fasor

b. Harmonisa urutan Negatif


Harmonisa urutan negatif memilki urutan phasa yang berlawanan dengan fasor
aslinya yang terdiri dari tiga fasor yang sama besarnya, dan saling berbeda phasa 1200.
(R,T,S atau a,c,b)Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.4.1.2 Dimana harmonisa negatif
ini terdiri dari harmonisa ke-2, ke-5, ke-8, dan seterusnya.

Gambar 2.4.1.2 Fasor Harmonik Urutan Negatif

c. Harmonisa urutan Kosong/Nol (zero sequence)

19

Harmonisa urutan Nol ini memiliki fasor yang sama besarnya dan sephasa satu sama
lain (beda phasa satu sama lain 0 0), harmonisa ini juga biasa disebut triplen harmonics.
Harmonisa urutan nol terdiri dari harmonisa ke-3, ke-6, ke-9, dan seterusnya seperti
ditunjukkan oleh Gambar 2.7 sebagai berikut:

Gambar 2.4.1.3 Fasor Harmonik Urutan Nol

Dari jenis-jenis harmonisa berdasarkan urutan phasa diatas maka dapat disimpulkan dalam
Tabel 2.4.1 sebagai berikut:
Harmonisa Ke- 1
Frekuensi (Hz)

100

150

200

250

300

350

400

0
Urutan

Tabel 2.4.1 Urutan Polaritas Harmonisa pada sistem tiga phasa

2.4.2

Sumber Harmonisa
Harmonisa bisa muncul dari beban-beban yang terhubung ke sistem distribusi. Beban-

beban pada sistem tenaga listrik dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu beban linier
dan beban non-linier yang akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Beban Linear.
Beban linear adalah beban yang memberikan bentuk gelombang keluran yang linear,
artinya arus yang mengalir sebanding dengan impendansi dan perubahan tegangan. Pada
beban yang linear, bentuk gelombang arus akan mengikuti bentuk gelombang
tegangannya. Kalau bentuk gelombang tegangan sumbernya sinusiodal, maka gelombang
arus yang mengalir juga akan sinusoidal
b. Beban Non Linear.
Baban non linear adalah bentuk gelombang keluarnanya tidak sebanding dengan
tegangan dalam setengah siklus sehingga bentuk gelombang arus maupun tegangan
keluarannya tidak sama dengan gelombang masukkannya (mengalami Distorsi).
20

Dari dua macam beban diatas, yang paling mampu menjadi sumber Harmonisa adalah
beban non linear. Hal ini disebabkan karena adanya komponen semikonduktor yang mana
dalam proses kerjanya berlaku sebagai saklar yang bekerja pada setiap siklus gelombang dari
sumber tegangan. Selain itu harmonisa dapat juga ditimbulkan oleh peralatan penyearah
khususnya peralatan yang menggunakan penyearah dioda dan thyristor. Dalam pemakaian
konverter sebagai sumber daya listrik dapat membawa suatu kerugian pada jaringan listrik
yang merusak bentuk gelombang tegangan dan arus bolak-balik sehingga tidak merupakan
gelombang sinus murni.
2.4.3 Indeks Harmonisa
Dalam menganalisa harmonik terdapat beberapa indeks yang penting untuk
menggambarkan efek dari harmonik pada komponen sistem tenaga.
2.4.3.1 Total Harmonic Distortion (THD)
Total Harmonic Distortion (THD) didefenisikan sebagai persentase total komponen
harmonik terhadap komponen fundamentalnya. Indeks ini digunakan untuk mengukur deviasi
bentuk gelombang periodik yang mengandung harmonik dari gelombang sinus sempurna.
Pada saat terjadi gelombang sinus sempurna maka nilai THD adalah nol. Berikut ini adalah
rumus THD untuk tegangan dan arus [4].
THD untuk gelombang tegangan adalah :

.......................................................(2.8)
Dimana :
1 = Harga rms tegangan fundamental
= Harga rms tegangan harmonisa ke-h
h = 2,3,4,5,...

THD untuk gelombang arus adalah :

21

...................................................................(2.9)

Dimana :
1= Harga rms arus fundamental
= Harga arus harmonisa ke-h
h = 2,3,4,5,...
2.4.3.2 Individual Harmonic Distortion (IHD) [8]
Individual Harmonic Distortion (IHD) adalah perbandingan antara nilai Root Mean
Square (RMS) dari harmonic individual dengan nilai RMS fundamental. IHD ini berlaku
untuk tegangan dan arus.
= IhI1 ......................................................................... (2.10)
Dimana :
In = Harga harmonisa ke-h
I1 = Harga rms arus fundamental
h = 2,3,4,5,...
Menurut standar Institute of Electronics Engineers (IEEE), IHD1akan selalu bernilai
100%.
2.4.5 Standar Harmonisa [9]
Standar harmonisa yang digunakan adalah standar IEEE 519 IEEE Recommended Practices
and Requiretment for harmonic Control in electric in Electrical Power System , ada dua
kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi distorsi harmonisa yaitu: batasan untuk
harmonisa arus (%THDI) dan batasan harmonisa tegangan (%THDV).
%THDI adalah persentase jumlah total arus yang terdistorsi oleh harmonisa terhadap
frekuensi fundamentalnya. Untuk menentukan %THD Itergantung dari besarnya rasio dari
22

Isc/IL. Isc adalah arus hubng singkat yang ada pada PCC (Point of Comman Coupling )
sedangkan IL adalah arus beban nominal.
%THD V adalah persentase jumlah total tegangan yang terdistorsi oleh harmonisa
terhadap frekuensi fundamentalnya. %THDVditentukan oleh tegangan sistem yang dipakai.
Pada tabel 2.5 ditunjukkan batasan harmonisa arus berdasarkan IEEE 519, sedangkan
tabel 2.6 menunjukkan batasan harmonisa tegangan.

Maximum harmonic current distortion in % IL


Individual harmonic order (ODD harmonics)
Isc/IL

< 11

11 h <17

17 h <

23 h <

23

35

H 35

TDD

< 20

1.5

0.6

0.3

20 50

3.5

2.5

0.5

50 100

10

4.5

1.5

0.7

12

100

12

5.5

15

15

2.5

1.4

20

1000
>1000

Tabel 2.4.5 Standar Distorsi Arus Untuk Sistem Distribusi

System voltage

Maximum distortion

Below 69

69 138 kv

> 138 kv

(in %)

kv

Individual harmonic

3.0

1.5

1.0

Total harmonic

5.0

2.5

1.5

Tabel 2.6 Standar Distorsi Tegangan

23

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Gangguan Petir Pada Saluran Trafo Distribusi
Gangguan Petir pada saluran trafo distribusi berdasarkan jenis sambarannya dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu sambaran petir langsung dan sambaran petir tidak langsung
atau induksi. Sambaran petir langsung dapat terjadi apabila petir menyambar langsung pada
kawat penghantar. Gangguan ini merupakan gangguan yang paling berbahaya jika terjadi
pada sistem, tetapi gangguan ini jarang terjadi pada saluran distribusi salah satunya
disebabkan oleh rendahnya ketinggian kawat penghantar saluran terhadap tanah. Akibat
sambaran tersebut maka akan timbul tegangan lebih dan gelombang berjalan yang merambat
pada kawat penghantar. Tegangan lebih dan gelombang berjalan dapat membahayakan serta
merusak peralatan pada sistem distrbusi. Salah satunya trafo distribusi 20 kV / 380V-220V.
Akan dianalisis bagaimana respon belitan trafo terhadap gelombang surja berjalan.
1.1 Gelombang Surja Petir
Gangguan alam seperti sambaran petir merupakan bahaya yang tak dapat dihindari
oleh trafo distribusi. Sambaran petir yang terjadi pada saluran distribusi akan
menyebabkan tegangan lebih serta gelombang surja berjalan pada kawat penghantar
saluran, yang membahayakan isolasi serta trafo itu sendiri. Gelombang surja petir
adalah gelombang surja bentuk eksponensial ganda berdasarkan standar IEC yang
merupakan model gelombang tegangan lebih tipe 1,2/50 s.
Gelombang bentuk eksponensial ganda seperti diperlihatkan Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Bentuk Gelombang Eksponensial Ganda

24

Bentuk gelombang eksponensial ganda dengan persamaan gelombang berjalan


dinyatakan berikut:

Dimana :
A = 1,037
Vp = amplitudo atau puncak gelombang tegangan surja (%)
t1 = 0.04074 s
t2 = 68.22 s
2.1 Impedansi Surja Petir
Gelombang surja petir yang merambat pada kawat penghantar akan melewati
impedansi kawat penghantar yang dialirinya, yang disebut juga impedansi surja.
yang diperlihatkan oleh persamaan :

Dimana pada saluran udara jaringan distribusi, L dan C adalah induktansi dan
kapasitansi saluran

3.2 Struktur Belitan Trafo Distribusi 3 Fasa.


Trafo distribusi 3 fasa yang digunakan dilapangan didesain untuk bekerja dalam
keadaan normal dan sesuai dengan ketetapan yang diberlakukan dilapangan, dalam kondisi
ini hanya komponen R dan L belitan yang dominan dalam kerja trafo ditribusi.
Pada Gambar 2.2 terlihat bahwa inti trafo terdiri dari tiga kaki dan dua pikulan.
Kumparan TT dan TR pada satu fasa digulung pada satu kaki. Ditunjukkan juga pada gambar
2.3, model transien trafo yang paling sederhana yang hanya memperlihatkan unsur dari kawat
belitan yaitu R dan L seri.
Tegangan dan frekuensi tinggi ini membuat unsur kapasitansi dari sebuah belitan
sangat diperhitungkan baik kapasitansi antar belitan dengan belitan yang lain dalam suatu
kumparan ataupun kapasitansi antar kumparan dengan tanah.

25

Penyederhanaan model pada Gambar 2.5 dilakukan dengan menggabungkan C tiap-tiap


belitan dalam satu lapisan, kapasitansi kumparan dengan tanah digabung menjadi satu pada
setiap ujung-ujung bagian kumparan.

26

Gambar 2.6. terlihat bahwa model transien belitan trafo mirip dengan model transient dari
saluran transmisi sama, perbedaan hanya terletak pada penambahan kapasitansi seri pada
model.

3.3 Perambatan Gelombang Pada Belitan Trafo Distribusi


Komponen gelombang frekuensi tinggi yang merambat pada belitan trafo akan
menyebabkan reaktansi induktif pada L cenderung bernilai sangat besar, sedang reaktansi
kapasitif pada C cenderung semakin kecil. Pada kondisi frekuensi yang sangat tinggi nilai
reaktansi induktif belitan trafo akan mendekati tak berhingga, menyebabkan rangkaian
terbuka pada L dan arus tidak dapat mengalir pada L. Sebaliknya pada frekuensi yang sangat
tinggi nilai reaktansi kapasitif pada belitan mendekati nol atau menyebabkan rangkaian
hubung singkat pada C.
A. Frekuensi Gelombang Surja Petir
Gelombang tegangan surja petir merupakan gelombang impuls eksponensial ganda. Bentuk
gelombang menurut standar internasional IEC adalah tipe 1.2/50 s dengan persamaan:

Dimana :
AV = 1.037
Em = amplitudo atau puncak gelombang tegangan surja (%)
t1 = 0.04074 s

Persamaan gelombang impuls dapat dinyatakan :

27

Dimana :

Dengan menggunakan integral fourier, spektrum frekuensi gelombang impuls eksponensial


ganda dapat ditentukan yaitu :

Karena interval gelombang impuls eksponensial ganda dari 0 hingga ~, maka integral menjadi :

Besar dari tegangan fungsi frekuensi adalah :

Dengan memasukkan nilai a = 0.0147 106 s-1 dan b = 24.561 106 s-1, maka :

28

Gambar 4.1. Grafik Spektrum Frekuensi dari Tegangan Fungsi Frekuensi.

Dari Gambar 4.1 dapat diamati bahwa spektrum dari gelombang surja impuls eksponensial
ganda adalah kontinu dan mengandung semua frekuensi. Apabila waktu untuk mencapai
puncak adalah t, maka frekuensi dominan dari gelombang impuls eksponensial ganda tipe
1.2/50 s didekati dengan persamaan :

Perhitungan nilai t dalam standar IEC diperlihatkan pada Gambar 4.2.

Dalam gelombang impuls 1.2/50 s, nilai t mendekati 0.8 s. dengan menggunakan nilai ini
frekuensi dominannya adalah :

29

B. Tahanan, Induktansi, dan Kapasitansi Belitan Trafo


Data spesifikasi trafo distribusi 3 fasa.

Daya nominal:160 kVA,


Tegangan :20 kV/ 400-231 V
Hubungan /Y
Arus : 4,60 A / 231-299 A,
Rugi tembaga: 2360 Watt,
Rugi besi: 460 Watt

Spesifikasi trafo diatas ditunjang dengan data-data seperti data tentang kumparan dan data
tentang pengujian belitan trafo secara elektrik seperti pengujian hubung singkat dan
pengujian tanpa beban. Data tersebut diperlihatkan Tabel 4.1

C. Tahanan Belitan Trafo


Tahanan belitan trafo (R) pada tiap fasa dapat ditentukan dalam persamaan :

Maka tahanan pada belitan trafo tiap fasa disisi primer adalah :

Nilai tahanan dari kawat belitan pada tiap fasa dinyatakan dalam per satuan panjang kawat
(a), dengan panjang total kawat belitan yang didapatkan dari perhitungan dimensi kumparan
TT trafo adalah :

30

Tahanan kawat belitan adalah 0.258 10-3 /cm.

D. Induktansi Belitan Trafo


Induktansi (L) belitan trafo ditentukan dari data dimensi kumparan TT trafo, hubungan
parameter tersebut dengan induktansi belitan kumparan TT trafo ditunjukkan oleh persamaan:

Induktansi L pada persamaan ini merupakan induktansi pada setiap lapisan dari kumparan TT
trafo, sehingga jika diketahui pada lapisan pertama kumparan TT trafo N dan d adalah 152
belitan dan 0.08 cm sedang nilai w, b dan cp secara berturut-turut adalah 38.394 cm, 2.52
cm, dan 38.21 cm. Maka induktansi pada lapisan ini adalah :

Dengan cara yang sama dapat menentukan nilai induktansi untuk lapisan-lapisan lainnya.

E. Kapasitansi Belitan Trafo


Kapasitansi belitan pada kumparan trafo (C) terdiri dari kapasitansi seri (C s) dan kapasitansi
parallel (Cg). Cs = 1.51973 10-7 F
Sedang nilai kapasitansi antar belitan dengan tanah pada setiap lapisan dapat diperoleh dari
persamaan :

Sehingga nilai kapasitansi Cg pada lapisan pertama adalah :

31

F. Model Transient Belitan Trafo Distribusi


Setelah mendapatkan nilai dari masing-masing komponen model transient (R, L dan C), nilainilai tersebut dapat dimasukkan kedalam model transient.

Dari Gambar 4.4. Dimana x atau dx merupakan panjang pada tiap bagian model, yaitu :

Jika setiap bagian dari model mempunyai panjang 30,563.8 cm, dan komponen-komponen
persatuan panjang adalah :

Maka pada setiap bagian tersebut memiliki komponen-komponen model sebesar :

Sehingga rangkaian model analisis secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 4.5 berikut ini.

32

Gambar 4.5. Rangkaian Model Analisis Transien Trafo Distribusi.

G. Impedansi Surja Saluran


Impedansi surja saluran dapat ditentukan dengan mengetahui data-data sebagai berikut :

Ketinggian kawat dari atas tanah = 850 cm


Jenis kawat = AAAC
Luas penampang kawat = 70 mm2

Dimana jari-jari (r) dari penampang kawat adalah :

Sehingga impedansi saluran yang memenuhi persamaan :

Maka :

H. Impedansi Surja Trafo


Sedang impedansi surja trafo dapat ditentukan ditentukan. Yakni :

Dengan memasukkan nilai L dan Cg maka Z2 adalah :

33

Jadi nilai impedansi surja setiap kumparan belitan fasa adalah 62.7 .

I. Faktor Pantul dan Terusan Gelombang


Ketika gelombang surja melewati titik terminal trafo dengan impedansi surja trafo Z2 sebesar
62.7 dari saluran yang memiliki impedansi surja sebesar 491 , gelombang surja akan
mengalami pantulan dimana besarnya ditentukan oleh koefisien pantulan yang dapat
ditentukan dengan persamaan :

Sehingga jika nilai-nilai impedansi surja dimasukkan ke dalam persamaan tersebut, maka :

Dari nilai ini terlihat bahwa gelombang tegangan yang dipantulkan akan bernilai negatif. Jika
persamaan untuk gelombang tegangan surja yang dipantulkan adalah :

Sehingga persamaan gelombang tegangan surja yang dipantulkan adalah :

Bentuk kurva dari persamaan gelombang tegangan surja pantul terhadap waktu dapat dilihat
pada Gambar 4.6.

34

Persamaan faktor terusan itu adalah :

J. Kecepatan Gelombang Surja dalam Belitan Trafo.


Kecepatan gelombang surja pada kawat belitan ditentukan dengan persamaan :

cm/s atau 160 m/s

K. Waktu Tempuh Gelombang Surja dalam Belitan Trafo

35

Dengan mengetahui kecepatan rambat gelombang surja yaitu 160 m/s maka waktu yang
dibutuhkan gelombang untuk mencapai satu titik ke titik lainnya dapat ditentukan dengan :

Jika diketahui a = 152,819.29 cm atau 1,528.193 m maka waktu tempuh gelombang surja
berjalan dari titik A ke titik F (T) adalah :

dimana jarak setiap titik dengan titik lainnya adalah x = 30,563.8 cm atau 305.638 m. Jika
waktu yang diperlukan untuk menempuh tiap bagian dari model transient belitan adalah T,
maka :

L. Perambatan Gelombang Surja di Tiap Titik Pada Belitan Trafo


Gelombang tegangan surja yang mengalir dari saluran distribusi dan mencapai titik terminal
trafo akan dipantulkan oleh titik tersebut, akan tetapi ada juga yang diteruskan kedalam
belitan adalah :

Model transien belitan. diperlihatkan oleh Gambar 4.8.


Z5 hingga Z1 pada Gambar 4.8 merupakan impedansi surja pada tiap-tiap bagian model
transien yang memenuhi persamaan :

Gambar 4.8. Model Transient Belitan untuk Perambatan Gelombang Surja Berjalan.

36

Gambar 4.9. Kurva Gelombang Tegangan Surja pada Titik A.

Gambar 4.10. Gelombang Tegangan Surjadi Titik A.

Waktu yang tertera pada gambar merupakan saat dimana gelombang terasa pada titiktitik tersebut, baik ketika tiba maupun ketika dipantulkan. Saat t = 0, titik A hanya merasakan
gelombang tunggal yang diteruskan dari saluran udara. Saat t = 19.1 s gelombang yang
dirasakan merupakan gelombang yang datang dari titik F, dan juga gelombang yang
dipantulkan oleh titik A itu sendiri.
Hal yang sama juga terjadi di titik F, akan tetapi saat t = 9.55 s gelombang tidak hanya
gelombang datang tetapi juga gelombang yang dipantulkan. Diperlihatkan pada Gambar 4.11
bahwa tumpang tindih gelombang telah terjadi mulai awal gelombang tiba dititik F.
Sehingga tegangan total yang terasa pada tiap waktu di titik F lebih tinggi dari pada titik A. diperlihatkan pada
Gambar 4.12.

37

Gambar 4.11. Gelombang Tegangan Surja di Titik F.

Gambar 4.12. Tegangan Surja Total yang Terasa pada Titik A dan Titik F.

Terlihat pada Gambar 4.16. bahwa walaupun pada titik A terlebih dahulu merasakan
gelombang tegangan surja, akan tetapi nilai tegangan surja total yang terasa dititik A masih
lebih kecil dari pada tegangan yang terasa dititik F. Tititk F merasakan gelombang tegangan
surja mulai saat t = 9.55 s, tetapi saat itu juga titik F merasakan gelombang tegangan surja
yang dipantulkan oleh titik F itu sendiri sehingga yang terasa dua kali lebih besar dari pada
yang dirasakan titik A saa t = 0.

38

BAB IV
PENUTUP
1

Kesimpulan
1 Gangguan Petir pada saluran trafo distribusi berdasarkan jenis sambarannya dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu sambaran petir langsung dan sambaran petir tidak
2

langsung atau induksi.


Komponen frekuensi tinggi yang dominan dari gelombang tegangan surja tipe 1.2/50
s adalah 1.25 MHz yang selanjutnya dijadikan dasar untuk pendekatan model dari

belitan trafo distribusi 20 kV.


Kecepatan rambat gelombang surja pada kawat belitan trafo adalah sebesar 160 m/s,
amplitudo gelombang tegangan surja yang diteruskan kedalam belitan trafo sebesar

23% (28.75 kV).


4 Tekanan terbesar pada isolasi belitan transformator yang titik netralnya tidak
ditanahkan ketika dialiri gelombang tegangan surja terjadi pada ujung dan pangkal
belitan trafo distribusi.
2

Saran
1 Untuk menghindari ataupun untuk mengurangi kerusakan peralatan-peralatan akibat
gangguan (kondisi abnormal operasi sistem) maka penting memproteksi peralatan
peralatan tersebut dengan memilih jenis rele yang sesuai denganjenis gangguan yang
mungkin timbul.
2

Kestabilan sistem dipengaruhi oleh gangguan kecil seperti perubahan beban yang
dinamis atau gangguan besar seperti hubung singkat. Berkaitan dengan itu perlu
39

adanya lanjutan untuk meninjau kembali sistem proteksi yang baikyang dapat
menagamankan sistem dari gangguan gangguan pada jaringan.

DAFTAR PUSTAKA
1
2
3

http://ravanio.blogspot.co.id/2013/01/jenis-gangguan-trafo.html
Arismunandar, Artono. 2001. Teknik Tegangan Tinggi. Jakarta: Pradnya Paramita.
Electric Utility Engineers. Distribution System. East Pittsburgh, Pennsylvania:

Westinghouse Electric Corporation.


Hutauruk, T.S. 1991. Gelombang Berjalan dan Proteksi Surja. Edisi kedua, Jakarta:

Erlangga.
Kind, Dieter. 1993. Pengantar Teknik Eksperimental Tegangan Tinggi. Bandung: ITB.

Pabla, A.S. 1994. Sistem Distribusi Daya Listrik. Jakarta: Erlangga.


Paul, Clayton R dan Nasar A. Syed. 1987. Introduction to Electromagnetic Fields.

International Edition, Singapore: McGraw-Hill Book Company.


Rudenberg, Reinhold. 1968. Electrical Shock Waves in Power Systems.

Massachusetts: Havard University Press.


Greenwood, Allan. Electrical Transients In Power System. A Wiley-Interscience

Publication : New York


Van Valkenburg, M. E. 1994. Analisis Jaringan Lisktrik. Jakarta : Erlangga.

40

41

Anda mungkin juga menyukai