Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

ILMU BUDAYA DASAR


Stratifikasi Sosial Suku Minang Pada Film Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck

Oleh :
SUWARDI - 16315734
AZRI J.A. 11315211

BUSTOMI 11315418

BAYU M. B. 11315292

FIRMAN A.J.S. -12315715

UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
JURUSAN TEKNIK SIPIL

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr wb

Segala puji bagi Alloh SWT yang senantiasa memberikan nikmat dan
hidayah-Nya sehingga penyusun mampu menyelesaikan makalah yang berjudul
Stratifikasi Sosial Suku Minang Pada Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
ini dengan sebaik-baiknya. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah
kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah mengajarkan manusia berbagai
ilmu untuk hidup dan mati. Aamiin

Penyusun mengucapkan terima kasih serta memberikan rasa hormat kepada


Bapak Gatot Subiyakto, SH., MM. sebagai dosen pengampu mata kuliah Ilmu
Budaya Dasar yang senantiasa membimbing penyusun sehingga penyusun mampu
menyelesaikan Makalah ini. Penyusun mengharapkan saran yang membangun dari
pembaca untuk kesempurnaan pembuatan makalah di kemudian hari. Semoga
Makalah ini bisa bermanfaat, khususnya bagi penyusun dan umumnya bagi
pembaca. Demikian yang dapat penyusun katakan, mohon maaf apabila ada
kekurangan.

Wassalamualaikum wr wb .

Depok, 25 April 2016

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I.......................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................4
1.1 Latar Belakang...............................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................5
BAB II......................................................................................................................6
PEMBAHASAN......................................................................................................6
2.1 Pengertian Stratifikasi Sosial..........................................................................6
2. 2 Keadaan suku minang...................................................................................6
2.3 Sinopsi Film Tenggelamnya Kapan Van Der Wijck...................................8
2.4 Pembahasan Cerita Tenggelamnya Kapan Van Der Wijck.........................9
2.5 Kajian Stratifikasi Sosial dalam sebuah Film...............................................10
BAB III..................................................................................................................12
PENUTUP..............................................................................................................12

3.1 Kesimpulan...................................................................................................12
3.2 Saran.............................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................13

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stratifikasi

merupakan

karakteristik

universal

masyarakat

manusia.

Kehidupan sosial masyarakat terdapat diferensiasi sosial dalam arti, bahwa dalam
masyarakat terdapat pembagian dan pembedaan atas pelbagai peranan-peranan
dan fungsi-fungsi berdasarkan pembedaan-pembedaan perorangan karena dasar
biologis ataupun adat. Hal ini dalam sosiologi, pembedaan dalam kehidupan sosial
dinamakan stratifikasi sosial atau pelapisan sosial. Pelapisan sosial terdapat pada
masyarakat yang masih sederhana maupun yang sudah kompleks.
Keadaan masyarakat yang terstratifikasi, individu dilahirkan dalam suatu
lapisan sosial tertentu yang memberikan suatu kedudukan sosial dan identitas
tanpa memperhatikan karakteristik personal mereka. Lingkungan masyarakat yang
tidak terstratifikasi, ketidaksamaan yang timbul (diluar umur dan jenis kelamin)
terutama disebabkan oleh usaha dan kemampuan individual daripada penempatan
sosial yang turun temurun.
Stratifikasi sosial dalam sebuah suku kerap kali menjadi masalah dalam
kehidupan. Ada yang menganggap itu kuno namun di sisi lain ada yang
mempertahankan aturan atau hukum-hukum yang berlaku di dalamnya. Salah
satunya dalam hal pernikahan. Banyak sekali penggambaran yang ditampilkan
kepada masyarakat tentang keadaan demikian melalui sebuah tayangan menarik
sebuah film ataupun melalui novel-novel dan keduanya sangat menarik untuk
didiskusikan. Makalah ini akan membahas salah satu sisi stratifikasi sosial
dalam sebuah suku melalui sebuah film yang luar biasa karya dari ulama terkenal
Buya Hamka yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan permasalahan yang akan diuraikan dalam makalah ini adalah
sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.

Apakah yang dimaksud dengan stratifikasi sosial ?


Bagamana keadaan Suku Minang ?
Bagaimana sinopsis Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ?
Bagamana pandangan penulis mengenai Film Tenggelamnya Kapal Van

Der Wijck?
5. Bagaimana stratifikasi sosial itu digambarkan dalam film Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck ?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk :
1. Mengetahui pengertian stratifikasi sosial
2. Mengetahui gambaran stratifikasi sosial yang diceritakan dalam film/novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
3. Mengetahui hikmah di balik cerita film/novel Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Stratifikasi Sosial


Stratifikasi sosial adalah sebuah konsep yang menunjukkan adanya
pembedaan dan/atau pengelompokan suatu kelompok sosial (komunitas) secara
bertingkat. Misalnya: dalam komunitas tersebut ada strata tinggi, strata sedang
dan strata rendah. Pembedaan dan/atau pengelompokan ini didasarkan pada
adanya suatu simbol-simbol tertentu yang dianggap berharga atau bernilai-baik
berharga atau bernilai secara sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya maupun
dimensi lainnya-dalam suatu kelompok sosial (komunitas). Simbol -simbol
tersebut misalnya, kekayaan, pendidikan, jabatan, kesalehan dalam beragama, dan
pekerjaan. Dengan kata lain, selama dalam suatu kelompok sosial (komunitas) ada
sesuatu yang dianggap berharga atau bernilai, dan dalam suatu kelompok sosial
(komunitas) pasti ada sesuatu yang dianggap berharga atau bernilai, maka selama
itu pula akan ada stratifikasi sosial dalam kelompok sosial (komunitas) tersebut
(Dahrendorf, 1986).
Menurut Sanderson (2000), klasifikasi sosial berkenaan dengan adanya dua
atau lebih kelompok-kelompok bertingkat (ranked group) dalam suatu masyarakat
tertentu yang anggota-anggotanya mempunyai kekuasaan, hak-hak istimewa, dan
prestasi yang tidak sama. Hak-hak istimewa berkenaan dengan kekayaan dan
keuntungan material lainnya, kekuasaan meliputi kapasitas beberapa individu
untuk memerintah individu lainnya, walaupun diluar kehendaknya. Perbedaan
dalam hak-hak istimewa merupakan bagian dari sistem stratifikasi dan biasanya
dalam

masyarakat

terstratifikasi,

ketidaksamaan

ketidaksamaan kekuasaan dan hak-hak istimewa.

prestise

berasal

dari

2. 2 Keadaan suku minang


Stratifikasi sosial menurut ilmu sosiologi merupakan suatu pemikiran untuk
membedakan masyarakat dengan cara melihat status sosial yang dimiliki oleh
setiap masyarakat. Masyarakat dapat memperoleh status sosialnya ada yang
menggunakan usahanya sendiri (achievement status) dan ada juga yang
memperoleh status sosialnya dengan sendirinya artinya memperoleh statusnya
tanpa menggunakan usaha (ascribed status).
Kelompok kekerabatan masyarakat Minangkabau yaitu paruik, kampueng,
dan suku. Suku dan kampueng dapat dianggap sebagai kelompok formal. Suku
dipimpin oleh seorang penghulu suku, sedangkan kampueng oleh penghulu
andiko atau datuek kampung. Selain kelompok paruik, kampueng, dan suku,
masyarakat Minangkabau tidak mengenal organisasi masyarakat adat yang lain.
Dengan begitu instruksi dan aturan pemerintah, administrasi masyarakat
pedesaan, biasanya disalurkan kepada penduduk desa melalui panghulu suku dan
panghulu andiko.
Di samping memiliki seorang penghulu suku, sebuah suku juga mempunyai
seoarang dubalang atau manti. Dubalang bertugas menjaga keamanan sebuah
suku, sedangkan manti berhubungan dengan tugas-tugas keamanan. Garis
keturunan dalam masyarakat Minangkabau diperhitungkan menurut garis
matrilineal. Seorang termasuk keluarga ibunya bukan keluarga ayahnya. Begitu
juga tanah dan harta warisan akan diwariskan kepada anak perempuan.
Perkawinan dalam budaya Minangkabau sebenarnya tidak mengenal mas kawin.
Namun keluarga pengantin wanita akan memberi sejumlah uang atau barang
untuk menjemput pengantin pria. Uang tersebut biasanya disebut uang jemputan.
Akan tetapi yang penting dalam perkawinan Minangkabau adalah pertukaran
benda lambing antara kedua keluarga berupa cincin atau keris. Dalam masyarakat
Minangkabau tidak ada larangan bagi seseorang untuk memiliki lebih dari satu
istri. Orang-orang dengan kedudukan sosial tertentu terkadang suka melakukan
perkawinan poligami.

Secara kasar stratifikasi sosial dalam masyarakat Minangkabau yang hanya


berlaku dalam kesatuan sebuah desa tertentu saja, atau sekelompok desa yang
berdekatan, membagi masyarakat ke dalam tiga lapisan besar, yaitu bangsawan,
orang biasa, dan orang yang paling rendah. Lapisan terakhir ini mungkn dapat
dihubungkan dengan budak dalam arti yang lebih ringan. Mengenai pola
kepemimpinan dapat dikatakan bahwa sulit untuk melihat suatu pola yang jelas
dalam masyarakat Minangkabau. Kita tidak dapat mengatakan dengan jelas siapa
yang menjadi pemimpin bagi suatu paruik. Setiap orang dewasa boleh dikatakan
memiliki hak sebagai pemimpin. Perintah atau saran seseorang mungkin akan
dituruti oleh anggota keluarganya, tetapi ini tergantung pada kewibawaan pribadi
dari orang tersebut.

2.3 Sinopsi Film Tenggelamnya Kapan Van Der Wijck


Berawal dari pertemuan yang tidak disengaja antara Zainuddin dan hayati di
jalan waktu hujan turun saat itulah kisah sepasang manusia yang penuh derita ini
dimulai. Hubungan Zainuddin dan Hayati tidak disetujui oleh ninik dan
mamaknya Hayati. Zainuddin yang tidak bersuku dan berbeda adat menjadi
alasan mereka tidak menyetujuinya. Zainuddin dianggap sebagai anak orang
Mengkasar oleh orang-orang Minangkabau sekalipun ayahnya asli orang situ
karena ayahnya menikah bukan dengan orang sesama sukunya. Begitu pula di
Mengkasar Zainuddin dianggap orang padang oleh warga tersebut karena ibunya
bersuami ayahnya yang merupakan orang buangan dari Minangkabau.
Hayati akhirnya menikah dengan Azis kakak dari sahabatnya Khadijah yang
tinggal di Padang Panjang atas dasar pilihan Hayati dan keputusan mamaknya
yang sepakat menerima Azis dan menolak lamaran Zainuddin. Azis anak orang
berada yang masih sesuku dan terikat kerabat walaupun jauh dengan mamaknya
hayati. Awal pernikahan Hayati dan Azis sangat bahagia karena Azis pandai
mengambil dan menyenangkan hati Hayati. Namun tanpa sepengetahuan Hayati,
Azis adalah tipe pemuda yang suka menghamburkan uang, berjudi, mabukmabukkan dan senang main perempuan.

Mendengar pernikahan Hayati dan penolakan atas pinangan yang di kirim


melalui surat, Zainuddin pun jatuh sakit. Sakitnya itu seperti orang tidak waras
yang selalu memanggil nama Hayati setiap erangannya. Atas permintaan dokter
dan izin dari Azis suaminya akhirnya Hayati pun menjenguk Zainuddin. Dengan
sekejap sakitnya langsung sembuh. Setelah sembuh dari sakit Zainuddin menjadi
penulis yang terkenal di tanah Jawa. Seiring berjalannya waktu juga akhirnya Azis
bangkrut kemudian rela menceraikan Hayati demi Zainuddin yang telah banyak
membantunya saat itu dan bunuh diri di sebuah hotel. Tetapi Zainuddin menolak
untuk menerima Hayati demi membalas dendamnya terhadap Hayati atas
pengkhianatan yang dilakukan Hayati.
Hayati bertolak pulang dengan perasaan sedih menaiki kapal Van Der
Wijck. Kapal tersebut tenggelam dalam perjalanan tetapi Hayati berhasil
diselamatkan. Dia meninggal setelah Zainuddin mengajarkannya mengucap
kalimat syahadah. Zainuddin juga meninggal tidak lama kemudian karena
menanggung penyesalan yang tidak berkesudahan.

2.4 Pembahasan Cerita Tenggelamnya Kapan Van Der Wijck


Film Teggelamnya Kapal Vander Wijck pada dasarnya menceritakan kisah
seorang Zaiudin yang melakukan perjalanan ke kampung halamannya Minang
Kabau dan sempat menjalin hubungan dengan seorang gadis yaitu Hayati, namun
kehidupan yang dijalani Zainuddin tidak mendapat respon dari keluarga Hayati,
karena dia orang yang tidak mempunyai suku.
Kesenjangan yang terjadi dalam film adalah tidak adanya dukungan dari
keluarga dalam menjalin sebuah hubungan, hanya karena salah satu pihak tidak
diakui keaslian kesukuan seseorang itu yakni Zainuddin, karena adat
Meningkabau harus suku asli di situ bukan sistem peranakan, ketika kita melihat
kebelakang Zainuddin seorang keturunan Bangsawan akan tetapi ayahnya kawin
dengan suku Mekasar (Makassar) sehingga Zainudin tidak diakui lagi sebagai
orang suku Minangkabau.

Kesenjangan dalam menjalin hubungan sepasang manusia yang dialami


Zainuddin adalah melanggarnya komitmen Hayati untuk menjalin kasih sayang
walaupun tidak ada restu dari keluarga, sehingga memunculkan kekecewaan dari
salah satu pihak dan hubungan sosial kedua bela pihak menjadi tidak baik. Ketika
kita melihat realita yang terjadi sekarang, jauh lebih baik dari film Tenggelamnya
Kapal Vander Wijck karena pada dasarnya hubungan tidak menekankan kepada
etnis akan tetapi lebih mengedepankan kasih sayang dan perasaan karena yang
sifatnya demokrasi dalam bingkai kebersamaan sosial masyarakat.
Berbeda dengan film-film roman pada umumnya yang lebih menonjolkan
kisah percintaan yang mengumbar asmara minim estetika, Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck tidak sekedar menceritakan tentang pertautan hati dua insan yang
sedang dilanda cinta, tetapi juga tentang bagaimana sikap menghadapi kondisi
yang tak berpihak, dimana keinginan hati harus diurungkan atas nama adat,
sekaligus berusaha mencibir mereka yang seringkali menggunakan dalih adat dan
agama untuk kepentingan-kepentingan materi. Sejatinya karya sastra harus
mampu mengkritik ketimpangan-ketimpangan sosial, bahkan segala sesuatu yang
tak lagi ideal.
Kasus yang menimpa Zainuddin masih seringkali dijumpai dalam
masyarakat kita, strata sosial seringkali diukur dari harta dan jabatan, si miskin
dan si kaya tak sepantasnya menjalin sebuah ikatan, akhir cerita dari Nurhayati
dan suaminya menjadi bukti bahwa kebahagiaan yang diukur melalui perpektif
materi tidak akan berumur lama, sedangkan ditengah puing-puing kehancuran
hati, Zainuddin bangkit dengan dengan penuh keteguhan sambil melanjutkan
hidup dengan semangat untuk berkarya dan berbagi kepada sesama di sela-sela
kesuksesan yang akhirnya berhasil ia raih. Itu karena darah Bugis-Minang masih
mengalir dalam tubuhnya, sehingga ia senantiasa menegakkan nilai-nilai yang
diwarisi kedua orang tuanya, apalagi ajaran Islam adalah ruh yang menggerakkan
kesadarannya untuk tidak berputus asa. Inilah jejak kehidupan seorang manusia
yang tak pernah lepas dari organ spiritual, kultural dan sosialnya.

2.5 Kajian Stratifikasi Sosial dalam sebuah Film


Dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, struktur sosial masih sangat
dipengaruhi oleh sistem adat istiadat, umumnya adat istiadat yang diberpegangi
bukan sebagai tembok sosial yang membatasi relasi antar kelompok masyarakat,
melainkan untuk menjaga nilai-nilai dalam masyarakat adat, aturan-aturan adat
yang sangat ketat umumnya berlaku dalam hal pernikahan, karena menyangkut
silsilah keturunan yang akan mempengaruhi struktur sosial masyarakat, sehingga
adat bertujuan memproteksi adanya pergeseran tatanan nilai dalam masyarakat.
Berbeda dalam kasus Zainuddin, adat justru digunakan sebagai alat untuk
meneguhkan paradigma materialistik, dimana stratifikasi sosial dipandang melalui
kacamata harta dan strata kebangsawanan, bukanlagi pada hal yang lebih subtansi,
yakni pada keteguhan, visi hidup, sikap beragama dan moralitas. Bagaimanapun
tak ada adat istiadat yang bertujuan merendahkan martabat kemanusiaan, oleh
sebabnya ia dibuat sebagai sebuah tatanan nilai yang akan menciptakan sikap
saling menghargai, melindungi, dan memanusiakan. Seringkali adat berusaha
dibenturkan dengan keyakinan agama, padahal keduanya bisa berjalan harmonis
jika kita melihatnya sebagai sebuah suprastuktur sosial yang akan menjadi sumber
spirit, moralitas serta laku hidup dalam sebuah tatanan masyarakat.
Masyarakat Minang dikenal sebagai masyarakat yang taat pada ajaran
agama Islam, sehingga arus Islamisasi tidak serta merta menggusur tradisi yang
telah berabad-abad dipelihara oleh masyarakat, justru Islam begitu ramah dengan
lokalitas tradisi dan budaya masyarakat setempat, sehingga ajaran Islam justru
semakin memperkuat adat istiadat masyarakat dan sebaliknya tradisi masyarakat
semakin menegaskan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Agama dan adat
tersebut berkolaborasi untuk menciptakan sebuah masyarakat yang humanis yang
jauh dari sifat-sifat individualis dan materialistis.
Beberapa film yang mengkisahkan tentang stratifikasi sosial, baik karya
Indonesia maupun karya luar negeri. Berbagai versi ditontonkan dan banyak pula
tanggapan dari masyarakat. Berbeda dengan novel/film tenggelamnya kapan Van
Der Wijck yang menitik beratkan pada stratifikasi sosial berkenaan dengan

perbedaan adat, ada pula film yang menampilkan perbedaan kelas sosial dari
sudut pandang yang lain seperti perbedaan kekayaan, perbedaan kedudukan sosial.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Stratifikasi sosial dalam sebuah suku kerap kali menjadi masalah dalam
kehidupan. Ada yang menganggap itu kuno namun di sisi lain ada yang
mempertahankan aturan atau hukum-hukum yang berlaku di dalamnya. Salah
satunya dalam hal pernikahan. Ketika kita melihat realita yang terjadi sekarang,
jauh lebih baik dari film Tenggelamnya Kapal Vander Wijck karena pada
dasarnya hubungan tidak menekankan kepada etnis akan tetapi lebih
mengedepankan kasih sayang dan perasaan karena yang sifatnya demokrasi
dalam bingkai kebersamaan sosial masyarakat. Banyak film ataupun novel baik
secara tersirat atau tersurat menampilkan masalah stratifikasi sosial, semuanya
itu dikembalikan lagi kepada para penontonnya bagaimana mengambil hikmah
dari film-film tersebut.

3.2 Saran
Pada era globalisasi modern ini kejadian yang terjadi dalam film
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck tidak terjadi lagi, dimana dalam setiap
urusan atau perjodohan sekalipun sebaiknya tidak mempermasalahkan stratifikasi
sosial walaupun itu adalah adat istiadat dari leluhur sekalipun.

DAFTAR PUSTAKA

Hamka, Buya. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Jakarta: Bulan Bintang. 1962
Dahrendorf, Ralf. Konflik dan Konflik Kelas dalam Masyarakat Industri. Jakarta:
CV Rajawali. 1986.
Sanderson, Stephen K. 2000. Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap
Realitas Sosial. Jakarta: Rajawali Press. Edisi II.

Anda mungkin juga menyukai