dan kesehatan kerja karena tujuan utama dari keselamatan dan kesehatan kerja
adalah pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Dengan menghitung
kecelakaan kerja, kita bisa menghitung lagging indicator berupa Indikator yang
menunjukkan performa K3 di masa lalu.
Di Indonesia, peraturan keselamatan dan kesehatan kerja terkait dengan kecelakaan
diatur dalam 4 peraturan berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
Gambar 1. Ilustrasi
Perhitungan
Sumber : http://www.123rf.com/photo_8182273_helmet-on-the-table.html
OSHA Log 300
Salah satu referensi perhitungan angka kecelakaan yang paling banyak digunakan oleh
praktisi adalah OSHA Log 300 yang dibuat oleh Occupational Safety and Health
Administration Amerika Serikat. OSHA Log 300 ini berupa form/borang untuk mencatat
luka dan penyakit akibat kerja.
Sebuah kecelakaan atau penyakit dikategorikan sebagai kecelakaan atau penyakit
akibat kerja jika sebuah kejadian atau pajanan di tempat kerja menyebabkan
bertambah buruknya kondisi awal sebelum terjadinya kejadian baik kecelakaan
ataupun penyakit akibat kerja. Tempat kerja termasuk pada tempat-tempat di mana 1
atau beberapa pekerja sedang berada karena perintah pekerjaan.
Tingkatan kecelakaan yang diatur dalam OSHA Log 300 adalah:
First Aid
First aid adalah kecelakaan di mana mencakup jenis-jenis kecelakaaan berikut:
Menggunakan obat non resep dengan kekuatan dosis yang tidak diresepkan;
Menggunakan penopang tubuh yang tidak tetap seperti perban, penopang tulang
belakang yang non rigid, elastic bandage
Drilling kuku jari untuk menghilangkan tekanan, atau mengeluarkan cairan dari
luka lepuh
Restricted Work
Restricted work (Larangan bekerja) terjadi sebagai hasil dari kecelakaan atau penyakit
di mana pemberi kerja ataupun petugas medis memberikan rekomendasi untuk
melarang pekerja kembali melakukan pekerjaan rutin mereka yang telah dijadwalkan
sebelum kecelakaan terjadi
Perhitungan restricted work ini wajib dilaporkan ke OSHA dengan memulai perhitungan
sejak 1 hari setelah kecelakaan sampai maksimum 180 hari kerja
Tingkatan kecelakaan yang dijelaskan di atas ini mungkin saja berbeda di setiap
organisasi atau perusahaan mengingat adanya perbedaan resiko, manajemen atau
regulasi yang berlaku.
OSHA Log 300 juga memberikan penjelasan mengenai penghitungan statistik
kecelakaan yang meliputi:
Dari angka di atas dapat disimpulkan bahwa dalam setiap 100 tenaga kerja, 14.08
tenaga kerja telah terlibat dalam luka recordable.
Dari perhitungan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa dari 100 pekerja, terdapat
7.04 pekerja yang mendapatkan kasus lost time.
Contoh perhitungan dari DART Rate : misalnya dari 2 recordable incident terdapat 1
buah kecelakaan yang masuk dalam kategori DART, sehingga perhitungannya sebagai
berikut:
Dari perhitungan di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa dari 100 karyawan,
terdapat 14.08 kecelakaan DART.
Severity rate
Severity rate atau tingkat keparahan kecelakaan adalah perhitungan di mana jumlah
total hari pekerja yang hilang dibagi dengan jumlah kecelakaan yang recordable.
Dari perhitungan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam setiap recordable
incident di perusahaan, rata-rata terdapat 2.5 hari hilang karena kecelakaan atau
penyakit akibat kerja.
Topik yang sedang hangat dibicarakan oleh para praktisi keselamatan kerja adalah budaya K3 (safety
culture). Konsep tersebut menginginkan bahwa semua pekerja dapat menjadi grup yang homogen
dalam menjadikan keselamatan kerja sebagai prioritas utamanya dalam pekerjaan.
Konsep budaya K3 sebenarnya belum jelas didefinisikan oleh para ahli sehingga sulit untuk
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Namun, sebuah konsep yang bernama Kurva Bradley
sudah jamak digunakan oleh praktisi keselamatan kerja untuk membentuk budaya K3 di tempat
kerjanya.
Kurva Bradley adalah sebuah kurva yang menggambarkan peningkatan budaya K3 dalam 4 tahap.
Tulisan lebih lengkap dalam Kurva Bradley bisa dilihat di sini.
Gambar 2. Tahap-tahap meningkatkan efektifitas manusia dalam 7 habits of highly effective people
Sumber : http://www.change-management-coach.com/stephen-covey.html
Bradley kemudian mengadopsi label dalam buku terkenal Stephen Covey tersebut menjadi tahap
peningkatan dalam Budaya K3. Bradley percaya bahwa penggunaan tahap dalam Buku Stephen
Covey akan memiliki korelasi untuk penurunan lagging indicator seperti tingkat kecelakaan yang dapat
dicatat (recordable rate).
Cara mengurangi lemak perut. -56kg dalam 3 minggu. Sebelum tidur, minum 1 gelas
Cara mudah singkirkan lemak perut 56 kg 2 minggu. Sebelum tidur, ambil 1 sdt...
Teknik pelangsing kuno! Turun 2 kg setiap hari, jika sebelum jam 12:00 Anda
Lemak perut akan hilang dalam beberapa hari jika sebelum tidur Anda...
Lipatan lemak perut menghilang dalam 3 hari! Sebelum tidur saya minum
Covey berpendapat bahwa seseorang tidak bisa untuk berkontribusi dalam sebuah kelompok tanpa
sebelumnya mengembangkan kemampuan untuk memiliki fungsi secara independen. Sehingga,
seseorang harus menjadi independen sebelum mampu untuk berkolaborasi dan bekerja sama dengan
personel lain yang juga memiliki fungsi secara independen. Hasil dari penggabungan personel yang
independen akan membentuk sebuah kelompok interdependen. Pada tahap ini, manusia dapat
mengambil keuntungan dari manusia lain tanpa harus bergantung atau menghilangkan peran orang
lain.
Karena Covey membicarakan individu dan Bradley membicarakan kelompok, terdapat sebuah asumsi
dasar dari Bradley bahwa individual dalam grup melalui tahap-tahap ini dalam jangka waktu yang
sama. Asumsi ini didukung dengan asumsi dasar lain yang lebih samar menyatakan bahwa individu
dalam sebuah kelompok melakukan hal tertentu untuk melakukan perkembangan antar tahap.
Namun sebenarnya konsep dari Covey tidak seperti Bradley yang memandang peningkatan antar
tahap sebagai sebuah tujuan. Covey justru memandang tahap-tahap tersebut sebagai sebuah hasil
dari pelaksanaan 7 kebiasaan (seven habits).
Membuat Lagging menjadi Leading
Dalam terminology keselamatan kerja, indikator peningkatan tahap dalam Kurva Bradley
merupakan lagging indicator (Indikator belakang, contoh: tingkat kecelakaan kerja dan fatality rate).
Hal yang mempengaruhi dari lagging indicator ini adalah adopsi dari seven habits.
Covey mendefinisikan pembentukan kebiasaan ini dalam 3 elemen: pengetahuan, keterampilan, dan
kemauan. Ini mengindikasikan bahwa sebuah organisasi yang ingin meningkatkan budaya K3 sesuai
dengan tahap yang dirumuskan oleh Covey harus melakukan: identifikasi kebiasaan yang membuat
usaha keselamatan efektif, memberikan pengetahuan kepada pekerja untuk melakukan kebiasaan itu,
melatih pekerja agar mendapatkan kemampuan untuk melakukan kebiasaan itu. Ketiga elemen ini
bisa menjadi sebuah Key Process Indicators (KPI) dari K3.
Miskonsepsi paling umum dari pemimpin organisasi tentang Kurva Bradley dan pendekatan lain untuk
meningkatkan budaya K3 adalah memandang pembentukan karakteristik tertentu untuk budaya K3.
Jika kita melihat efektifitas sebagai sebuah karakter, Covey mungkin akan setuju. Manusia efektif
adalah seseorang yang dapat dan melakukan pekerjaan dengan baik.
Menjadi proaktif Keselamatan kerja secara historis menggunakan prinsip reaktif, yaitu
menunggu kecelakaan terjadi baru melakukan perbaikan. Prinsip proaktif sangat diperlukan untuk
belajar sebelum terjadinya kecelakaan sehingga kecelakaan bisa dicegah.
Memulai dari apa yang dituju Keselamatan kerja lebih cenderung untuk menghindari
kegagalan daripada mencapai kesuksesan. Baiknya, keselamatan kerja dilihat dari hal yang diinginkan
yaitu mencapai keselamatan bukan dimulai dari sesuatu yang tidak diinginkan yaitu mencegah
kecelakaan.
Meletakkan hal penting sebagai hal utama Banyak hal yang kita lakukan untuk
meningkatkan keselamatan kerja sebenarnya hanya memiliki dampak kecil atau malah tidak
berdampak sama sekali untuk meningkatkan tahap Budaya K3. Merumuskan tingkat prioritas adalah
hal yang sangat penting bagi semua usaha keselamatan kerja.
Mengerti untuk dimengerti Banyak program keselamatan kerja yang tidak memiliki dampak
mengguntungkan bagi pekerja. Ketika suara pekerja benar-benar didengar, kebutuhan dari pekerja
dapat dimengerti dengan baik. Keselamatan kerja dapat memberikan pekerja apa yang mereka
butuhkan daripada apa yang pemimpin pikir mereka butuhkan.
Sinergisasi Interdependensi tanpa sinergi yang baik dapat menjadi berbahaya. Kita tak
hanya membutuhkan saling interaksi, tapi interaksi tersebut harus bermanfaat bagi keuntungan
individu.
Mengasah gergaji Jika kita hanya menggunakan gergaji tanpa mengasahnya, kita akan
semakin cepat lelah karena berusaha semakit sulit dengan hasil potong yang juga semakin berkurang.
Dalam keselamatan kerja, kita harus fokus dalam pengaruh positif dan tak hanya performa harian.
STATISTIK ITU ?
dikemukakan oleh : Suseno Hadi bahwa Secara sempit statistik dapat diartikan sebagai data. Dalam arti yang luas statistik dapat berarti sebagai
alat untuk : menentukan sampel, mengumpulkan data, menyajikan data, menganalisa data dan menginterpretasi data, sehingga menjadi
informasi yang berguna.
JENISNYA
Statistika dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu Statistik Deskriptif dan Statistik Inferensial. Selanjutnya statistik inferensial dibedakan
menjadi Statistk Parametris dan Non-parametrik.
Statistik deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk menggambarkan suatu hasil observasi atau pengamatan. Juga hasil akhirnya
tidak digunakan untuk menarik kesimpulan.
Statistik inferensial adalah statistik yang digunakan untuk menganalisa data/hasil observasi dari sampel, yang hasilnya akan
digeneralisasikan (diinferensikan) untuk populasi dimana sampel tersebut diambil. Selanjutnya yang disebut sebagai Statistik Parametris
terutama digunakan untuk menganalisa data interval/rasio dan diasumsikan distribsinya normal. (bell-shaped). Statistik non-parametrik
digunakan untuk menganalisa data nominal dan ordinal.
STATISTIK DALAM PENILAIAN KINERJA PROGRAM K3
Tujuan dan manfaat statistik dalam penerapan K3 adalah digunakan untuk menilai OHS Performance Programs. Dengan menggunakan statistik
dapat memberikan masukan ke manajemen mengenai tingkat kecelakaan kerja serta berbagai faktor yang dapat digunakan sebagai dasar untuk
mencegah menurunnya kinerja K3.
Konkritnya statistik dapat digunakan untuk :
Mengidentifikasi naik turunnya (trend) dari suatu timbulnya kecelakaan kerja
Mengetahui peningkatan atau berbagai hal yang memperburuk kinerja K3
Membandingkan kinerja antara tempat kerja dan industri yang serupa (T-Safe Score)
Memberikan informasi mengenai prioritas pengalokasian dana K3
Memonitor kinerja organisasi, khususnya mengenai persyaratan untuk penyediaan sistim/tempat kerja yang aman
Jenis-jenis penerapan Statistik dalam Aspek K3
1. Ratio Kekerapan Cidera (Frequency Rate)
Frekwensi Rate digunakan untuk mengidentifikasi jumlah cidera yang menyebabkan tidak bisa bekerja per sejuta orang pekerja. Ada dua data
penting yang harus ada untuk menghitung frekwensi rate, yaitu jumlah jam kerja hilang akibat kecelakaan kerja (Lost Time Injury /LTI) dan
jumlah jam kerja orang yang telah dilakukan (man hours).
Angka LTI diperoleh dari catatan lama mangkirnya tenaga kerja akibat kecelakaan kerja. Sedang jumlah jam kerja orang yang terpapar diperoleh
dari bagian absesnsi atau pembayaran gaji. Bila tidak memungkinkan, angka ini dihitung dengan mengalikan jam kerja normal tenaga kerja
terpapar, hari kerja yang diterapkan dan jumlah tenaga kerja keseluruhan yang beresiko.
Rumus:Frekwensi Rate = (Jumlah cidera dgn hilang waktu kerja x 1,000,000) / Total Person-hours Worked
Contoh:
Organisasi dengan tenaga kerja 500 orang, jumlah jam kerja yang telah dicapai 1,150,000 juta jam kerja orang. Pada saat yang sama cidera yang
menyebabkan hilangnya waktu kerja sebanyak 46. Berapa frekwensi ratenya ?
Frekwensi Rate = 46 x 1,000,000 / 1,150,000 = 40
Nilai frekwensi rate 40 berarti, bahwa pada periode orang kerja tersebut terjadi hilangnya waktu kerja sebesar 40 jam per-sejuta orang kerja.
Angka ini tidak mengindikasikan tingkat keparahan kecelakaan kerja. Angka ini mengindikasikan bahwa pekerja tidak berada di tempat kerja
setelah terjadinya kecelakaan kerja.
Contoh 2
Suatu perusahaan dengan karyawan 1000 tenaga kerja, yang kegiatannya 50 minggu dengan 40 jam perminggu, mengalami 60 kecelakaan dalam
setahun. Akibat kecelakaan tersebut tenaga kerja tidak masuk kerja 5% dari seluruh waktu kerjanya. Berapa frekwensi ratenya ?
Besarnya jam manusia hilang = 1000 x 50 x 40 = 2.000.000
Tidak masuk kerja 5% = 0,05 x 2.000.000 = 100.000
maka total Jam manusia hilang sesungguhnya : 2.000.000-100.000 = 1.900.000
F = 60 x 1.000.000/ 1.900.000 = 31,58
Artinya : dalam setahun terjadi kira-kira 32 kecelakaan pada setiap 1.000.000 jam manusia
2. Ratio Keparahan Cidera (Severity Rate)
Indikator hilangnya hari kerja akibat kecelakaan kerja untuk per sejuta jam kerja orang.
Rumus : Severity Rate = ( Jumlah hari kerja hilang x 1,000,000)/ Total Person-hours Worked
Contoh:
Sebuah tempat kerja telah bekerja 365,000 jam orang, selama setahun telah terjadi 5 kasus kecelakaan kerja yang menyebabkan 175 hari kerja
hilang. Tentukan rate waktu kerja hilang akibat kecelakaan kerja tersebut.
Frekwensi Rate = ( 5 x 1,000,000) / 365,000 = 13,70
Severity Rate = (175 x 1,000,000) / 365,000 = 479
Nilai severity rate 479 mengindikasikan bahwa selama kurun waktu tersebut berarti, pada tahun tersebut telah terjadi hilangnya waktu kerja
sebesar 479 hari per sejuta jam kerja orang.
Contoh 2
Angka-angka untuk menghitung frekwensi kecelakaan diketahui: jumlah hari -hari hilang 1200 sebagai akibat 60 kecelakaan Hitung Beratnya
kecelakaan?
Sr :1.200 x 1000 /1.900.000 = 0.63
Artinya: setiap tahun kira-kira 0,63 hari (sehari) hilang pada setiap 1000 jam manusia
3. Rerata Hilangnya Waktu Kerja (Average Time Lost Rate/ALTR)
Ukuran indicator ini sering disebut juga Duration Rate digunakan untuk mengidikasikan tingkat keparahan suatu kecelakaan. Dengan
penggunaan ALTR yang dikombinasikan denga Frekwensi Rate akan lebih menjelaskan hasil kinerja program K3. ALTR dihitung dengan membagi
jumlah hari yang hilang akibat kecelakaan dengan jumlah jam kerja yang hilang (LTI).
Rumus: Average Time Lost Rate = (Number of LTI x 1,000,000) / Total Person-hours Worked Atau Average Time Lost Rate = ( Frekwensi
Rate) / Severity Rate
Contoh:
Organisasi dengan tenaga kerja 500 orang, jumlah jam kerja yang telah dicapai 1,150,000 juta jam kerja orang dan Lost Time Injury-nya (LTI)
sebesar 46. Misalkan dari laporan Kecelakaan Kerja selama 6 bulan diperoleh informasi sbb:
10 kasus hilang waktu kerja dalam 3 hari sekali = 30
8 kasus hilang waktu kerja dalam 6 hari sekali = 48
12 kasus hilang waktu kerja dalam 14 hari sekali = 168
4 kasus hilang waktu kerja dalam 20 hari sekali = 80
10 kasus hilang waktu kerja dalam 28 hari sekali = 280
2 kasus hilang waktu kerja dalam 42 hari sekali = 84
Total keseluruhan = 690 hari kerja hilang
Dengan demikian,
Rerata Hilangnya Waktu kerja = 690 / 46 = 15
Dari informasi contoh diatas manajemen akan lebih jelas memperoleh informasi bahwa organisasi mempunyai hilang waktu kerja kecelakaan
sebesar 40 tiap sejuta jam kerja orang dengan rata-rata menyebabkan 15 hari tidak masuk kerja. Dengan informasi ini cukup bagi manajemen
untuk membuat keputusan untuk pencegahan lebih lanjut.
4. Incidence Rate
Incidence rate digunakan untuk menginformasikan kita mengenai prosentase jumlah kecelakaan yang terjadi ditempat kerja
Rumus: Incidence Rate = ( Jumlah Kasus x 100) / Jumlah tenaga kerja terpapar
Tahun lalu
10 kasus kecelakaan
10,000 jam orang kerja
Frekwensi Rate = 1,000
Tahun ini -15 kasus kecelakaan
10,000 jam orang kerja
Frekwensi Rate = 1,500
========================
Lokasi B
Tahun lalu 1000 kasus kecelakaan
1000,000 jam orang kerja
Frekwensi Rate = 1,000
Tahun ini 1,100 kasus kecelakaan
1000,000 jam orang kerja
Frekwensi Rate = 1,000
Frekwensi rate untuk lokasi A meningkat 50%, sedang pada B hanya 10%. Apakah ada sesuatu yang salah dari salah satu atau kedua data ini ?
Jawab:
Frekwensi Rate Sekarang Frekwensi Rate Sebelumnya
Safe-T Score =
Frekwensi Rate Sebelumnya
Juta jam kerja orang sekarang
Lokasi A
Safe-T Score = (1,500 1,000)/ akar dari ( 1000/0.01) = 500/ 317 = Safe-T Score = +1,58
Artinya peningkatan 50% jumlah kasus pada lokasi A termasuk peningkatan yang tidak bermakna
Lokasi B
Safe-T Score = 1,100 1,000/ akar dari ( 1000/0.01) = 100/ 317 =Safe-T Score = +3,17
Artinya peningkatan 10% jumlah kasus pada lokasi ini ada perbedaan yang bermakna, artinya ada sesuatu yang salah, yang perlu mendapat
perhatian.
6. Pemantauan Dengan Grafik Statistik (Control Chart Technique)
Fluktuasi kejadian dalam statistik merupakan hal yang biasa, yang menjadi pertanyaan dalam hal ini apakah fluktuasi kejadian tersebut masih
dalam rentang sesuai ketentuan yang ditetapkan ataukah keluar dari rentang yang ditetapkan. Dengan dasar ini kita dapat menggunakan
statistik untuk aplikasi pengendalian suatu aspek K3. Dengan diketahuinya batas-batas rentang (batas atas dan batas bawah) yang ditentukan
dapat memberikan informasi kepada pengelola, bahwa suatu aspek K3 tersebut terkendali atau tidak terkendali. Contoh penggunaan statistik
untuk pengendalian aspek K3 dapat dilihat di lampiran.
Aspek-aspek K3 yang dapat ditetapkan batas-batasnya meliputi:
Hasil pengamatan perilaku tidak selamat, Frekwensi rate, Severity rate, FSI, Dll
Contoh penerapan Chart Control ini dapat dilihat pada lampiran.
Setelah data-data dihitung, kemudian dibuatlah grafik (chart), apabila ditemukan dari salah satu aspek K3 yang melewati batas-batas yang
ditentukan, maka hal ini merupakan informasi untuk pengelola.
7. Safety Sampling (Survey K3)
Yang dimaksud Safety Sampling adalah mendapatkan data dengan cara observasi ke lapangan. Sebelum dilakukan observasi, terlebih dahulu
ditetapkan apa yang mau diobservasi. Setelah itu tulis semua elemen yang akan menjadi obyek obaservasi. Misalnya observasi cara
kerja/perilaku yang tidak selamat, maka sebelumnya kita tentukan jenis aktifitas apa saja yang tergolong unsafe-act Baru setelah ditentukan
maka dilakukanlah observasi dengan turun dilakukan. Setiap hasil observasi/temuan harus dicatat dalam bentuk turus sehingga nantinya
memudahkan membuat prosentase hasil pengamatan.
Untuk mendapatkan hasil pengamatan yang akurat maka masing-masing aspek amatan perlu divalidasi, dengan kata lain dihitung jumlah amatan
minimum sehingga hasil amatan tersebut merupakan hasil yang akurat. Untuk menentukan jumlah amatan yang representatif digunakan rumus
sebagai berikut:
N = 4 (1 P) / Y2 (P)
Keterangan:
N = Jumlah keseluruhan pengamatan yang dibutuhkan
P = Prosentase dari unsafe observation
Y = derajat akurasi yang diinginkan (biasanya 10% atau 5%)
Contoh:
Dari hasil survey awal ditemukan 126 jumlah observasi ditemukan 32 amatan unsafe act, dengan demikian % unsafe act = 32 x 100/126 = 0,254.
Untuk mengetahui jumlah amatan yang sebenarnya untuk hasil yang akurat, maka dimasukkanlah ke dalam rumus sebagai berikut:
N = 4 (1 P) / Y2 (P)
N = 4 (1 0,25) / 0,102 (0,25)
= 3/0,0025 = 1,200 (jumlah observasi yang sebaiknya dilakukan)
III. HAL PENTING UNTUK DIINGAT
Angka-angka Frekwensi Rate, Average Time Lost Rate dan Incidence Rate merupakan tingkat pencapaian yang sifatnya specifik per tempat kerja.
Artinya angka perhitungan dari suatu perusahaan bukan merupakan standard yang dapat dibuat patokan, untuk tempat kerja yang lain. Ini
disebabkan karena jumlah tenaga kerja yang tidak sama dan kondisi yang berlainan.
Angka-angka ini tidak cocok diterapkan untuk jumlah tenaga kerja yang sedikit, karena akan kesulitan mencapai tingkat persejuta jam
kerja orang terpapar.
Rendahnya pencapaian angka ini tidak menggambarkan performa penerapan K3 secara keseluruhan (hanya mempertimbangkan insideninsiden kecelakaan kerja saja). Tapi tidak menekankan upaya-upaya apa saja yang telah dilakukan untuk pencegahan kecelakaan kerja.
Angka ini tidak memperhitungkan jenis-jenis kecelakaan minor (tidak menyebabkan hilangnya hari kerja, termasuk didalamnya near
missess incident). Dengan demikian kecelakaan-kecelakaan ringan seperti, lecet akibat terjatuh, tangan tergores, hampir kejatuhan beban atau
kejadian hampir celaka tidak masuk dalam perhitungan.