Sejarah Dan Perkembangan Teater PM Toh
Sejarah Dan Perkembangan Teater PM Toh
Berdasarkan data yang bersumber dari tokoh budayawan Aceh menerangkan bahwa
kesenian teater tradisional yang dimiliki Aceh antara lain seperti; Dangdeuria (Kabupaten Aceh
Selatan) Peh Tem (Kabupaten Pidie), Drama Aceh, Gelanggang Labu, Biola Aceh, (Kabupaten
Aceh Utara) Toed, Didong (Kabupaten Aceh Tengah).
Informasi yang dihimpun dari seorang pelaku kesenian juga akademisi teater yaitu
Sulaiman Juned (Padangpanjang, 2003), menerangkan bahwa dari kesemua bentuk kesenian di
atas memiliki gambaran ciri-ciri sebagai berikut:
(1). DangDeuria Dangdeuria adalah kesenian teater tutur, kesenian ini memiliki ciri-ciri
hampir menyerupai dengan kaba dari Minang Kabau, yang membedakannya ada
pada syair cerita, irama pengucapan, dan bahasa.
(2). Peh Tem memiliki ciri-ciri yang sama dengan dangdeuria, cerita yang dibawa sama
dengan kisah Dangdeuria, yaitu bersumber dari kitab dan hikayat Tengku Malem
Diwa dan Hasan Meutua, akan tetapi bahasa yang di gunakan adalah bahasa
Aceh,
(3). Toeed adalah kesenian tutur yang berasal dari Aceh Tengah, ciri pertujukannya
dituturkan oleh satu orang, cerita yang dibawakan berkisah cerita legenda
masyarakat Gayo Aceh Tengah, dan kisah panorama alam Aceh Tengah, bahasa
yang digunakan adalah bahasa Gayo,
(4). Drama Aceh, dan Gelanggang Labu, bentuk teknisnya sama-sama dimainkan secara
berkelompok, bahasa yang digunakan menggunakan bahasa Aceh, ilustrasi
peceritaan hampir mirip dengan teater bangsawan dari Provinsi Riau, dan
pemainnya diperkirakan berjumlah lebih dari sepuluh orang,
(5). Biola Aceh,, Biola Aceh adalah sandiwara yang menggunakan alat musik biola.
Pemainnya berjumlah tiga orang, diantaranya seorang laki-laki berperan menjadi
pemeran wanita, sedangkan pemain biola berfungsi sebagai pemain, pemusik juga
sebutan PM TOH. Hingga kini, setiap ia mempertunjukkan PM TOH, ia selalu menirukan bunyi
klakson dari sebuah bus lintas Sumatera yang bernama PM TOH tersebut. Oleh karena Adnan
dijuluki oleh masyarakat sebagai PM TOH.
Tengku Haji Adnan sendiri mempelajari hikayat dari seseorang bernama Muhammad,
seorang ulama yang lumpuh di kecamatan Manggeng, Aceh Selatan [sekarang Aceh Barat Daya]
[3], pada pertengahan 1940-an. Mak lape, begitu ulama tersebut disapa, sudah dikenal sebagai
penutur hikayat yang handal. Pada masa kejayaannya, Mak lape mempopulerkan sebuah hikayat
yang bernama hikayat Dangdeuria. Hikayat Dangdeuria ini adalah sebuah legenda yang
menceritakan kisah sebuah dinasti kerajaan yang lokasinya tidak jelas atau antah berantah.
Hikayat Dangdeuria ini merupakan cerita hikayat yang sangat terkenal dan digemari oleh
masyarakat Aceh[4].
Adnan menghabiskan waktu sepuluh tahun untuk menguasai satu cerita hikayat, termasuk
hikayat Dangdeuria dan hikayat lainnya yang muncul setelah itu, seperti hikayat Malem Diwa.
Kesulitan menguasai cerita tersebut karena isi hikayat yang begitu panjang. la mengikuti kemana
pun Mak Lape berpentas. Adnan menirukan cara Mak Lape melagukan hikayat itu, lalu
mempelajari sejarah hikayat serta mulai menghafal struktur cerita. Setelah ia merasa yakin
dengan kemampuan menghafal dan melantunkan hikayat, Adnan pun mencoba memberanikan
diri untuk tampil di depan umum, khususnya di daerah asalnya Aceh Barat Daya ( Manggeng,
Blang Pidie, Lama Inong, Susoh ). Ia mendapatkan tanggapan yang baik dari masyarakat, karena
itu secara rutin ia mengadakan pertunjukan.
Tengku Adnan mulai memasukkan beberapa properti baru yang tidak sama dengan Mak
Lape, tapi hal ini membuat hubungan mereka menjadi memburuk. Dalam setiap pertunjukannya,
Mak Lape menggunakan pedang 'on teubee'[5] yang terbuat dari pelepah kelapa yang sesekali
dipukul ke sebuah bantal berbalut tikar pandan. Alat tersebut disamping sebagai perangkat juga
sebagai tanda interval sebuah episode[6]. Selain itu, Mak Lape juga menggunakan sending
bambu jenis bansi yang sering ditiup saat istirahat (biasanya ditiup setelah satu jam membawa
hikayat), dan sebuah rapa-i yang sesekali ditabuh mengiringi irama rapa-i dabus serta untuk
membasahi kerongkongannya ia cukup dengan menyediakan sebuah kelapa muda ( u teubok ).
Semuanya itu Mak lape gunakan sebagai sarana untuk bercerita. Lain halnya dengan Tengku
Haji Adnan. Adnan ingin menggunakan peranti apa saja yang memungkinkan pertunjukannya
menjadi lebih hidup. Oleh karena itu dalam setiap pertunjukan Adnan selalu membawa dua peti
berisi properti, termasuk hidung palsunya.
Sama halnya dengan seorang dalang dalam pertunjukan teater boneka, tukang cerita atau
penutur PM TOH dapat bertindak sebagai narator, juga merangkap sebagai tokoh dalam cerita.
Uniknya, pencerita dapat menjadi tokoh apa saja dengan jenis kelamin berbeda pula. Ketika
pencerita hendak berubah dari tokoh satu ke tokoh lainnya, penutur tersebut juga mengubah
suara dan kostum yang dikenakannya. Misalnya, dari seorang ibu yang berpakaian sederhana
hendak berubah menjadi anak sekolah, pencerita yang mengenakan kerudung lalu mengganti
kerudungnya dengan topi sekolah. Si pencerita menggunakan simbol-simbol dalam setiap
perubahan karakter tokoh yang dimainkan secara sederhana.
Selain itu, dalam setiap pertunjukan, seorang dalang atau penutur juga memiliki fungsi
sosial sekaligus sebagai komunikator (menyampaikan pesan-pesan yang bersifat membangun),
sebagai inovator (harus berorientasi pada masa kini dan masa depan sehingga karya-karyanya
memiliki relevansi zaman, sekaligus juga memberikan motivasi timbulnya proses perubahan
sosial), dan sebagai emansipator[7]. Rasa imajinasi serta kreativitas bagi seorang penutur atau
dalang tidaklah cukup, karena ia juga harus menguasai bekal dasar yaitu penguasaan cerita serta
memiliki kepiawaian unggul seorang penyaji. Selain itu ia juga harus memahami bidang lain
seperti masalah keagamaan, falsafah hidup, pendidikan, kebatinan, kesusastraan, ketatanegaraan,
teknologi, dan sebagainya[8].
Pemain PM TOH dalam memainkan sebuah cerita memiliki gaya duduk tersendiri. Gaya
duduk tersebut ialah dengan menutup telapak kaki kiri ke arah lobang dubur, sementara itu kaki
kanan diletakkan dengan lutut berdiri. Hal ini dilakukan selain untuk menghindari kepenatan
semalam suntuk dalam membawakan cerita, juga untuk memudahkan si penutur cerita dalam
memainkan berbagai gerak dalam lakon dan beraksi dengan keutrip jarou (gemericik jari
tangan).
Selain memiliki gaya duduk, seorang penutur PM TOH juga memiliki kemerduan suara.
Itulah kelebihan yang dimiliki oleh Mak Lape dan Tengku Adnan. Mereka memiliki keahlian
dalam memainkan irama. Ada sekitar dua belas irama yang mereka kuasai, antara lain irama
sendu syandu mendayu-dayu, irama ratapan rintihan, irama provokasi, irama membentak, irama
memaki, irama menjerit hingga meniru berbagai macam suara yang ada dalam cerita. Oleh
karena itu mereka berdua dijuluki oleh oleh masyarakat sebagai penutur lisan seribu suara'.
Selain memiliki kesamaan dalam paduan suara, mereka juga memiliki kelebihan yang berbedabeda. Mak lape, misalnya, memiliki kelebihan dalam berdialog menggunakan bahasa Jamee
( Minang ) dan Melayu (Indonesia) hingga dialog bahasa Cina yang kocak serta memiliki
kemampuan memainkan mimik wajah. Sedangkan Tengku Adnan memiliki kelebihan dalam
meniup seruling bansi, mampu melucu dengan memanfaatkan kedua lobang hidungnya dalam
menirukan berbagai macam irama (termasuk irama klakson bus PM TOH), menguasai ilmu
agama ( oleh sebab itu, Adnan sering memasukkan beberapa ayat suci Al-qur'an atau hadits ke
dalam cerita), memainkan properti serta Adnan lah yang mempopulerkan hikayat Dangdeuria
keseantero Aceh.
Mereka adalah orang-orang yang berjasa dalam melestarikan kebudayaan Aceh hingga
melahirkan empat generasi muda yang melanjutakannya. Namun hanya dua generasi yang
mengembangkan kebudayaan Aceh tersebut adalah Muda Belia (putra dari Mak Lape) dan Agus
Nur Amal (belajar pada Tengku Adnan), yaitu pada tahun 1990-an[9].