Anda di halaman 1dari 114

Kesuburan Tanah

I. Pengertian dan Cakupan


1.1. Pengertian kesuburan tanah
1.2. Istilah yang berkaitan dengan kesuburan tanah
1.3. Urgensi menjaga kesuburan tanah
1.4. Komponen kesuburan tanah

II. Hubungan Tanah Tanaman


2.1. Tanah sebagai media bertanam
2.2. Bentuk hara dalam tanah
2.3. Kuantitas dan intensitas hara
2.4. Gerakan hara dalam tanah: difusi, aliran masa, pertukaran
2.5. Mekanisme penyerapan hara oleh akar
2.6. Faktor penentu pertumbuhan tanaman
2.7. Kurva pertumbuhan tanaman

III. Hara Makro


3.1. Pengertian hara esensial
3.2. Pengertian hara makro
3.3. Nitrogen (N)
3.4. Fosfor (P)
3.5. Kalium (K)
3.6. Kalsium (Ca)
3.7. Magnesium (Mg)
3.8. Sulfur (S)

IV. Hara Mikro


4.1. Pengertian hara mikro
4.2. Besi (Fe)
4.3. Mangan (Mn)
4.4. Tembaga (Cu
4.5. Seng (Zn)
4.6. Klorida (Cl)
4.7. Boron (B)
4.8. Molibden (Mo)
V. Evaluasi Kesuburan Tanah
5.1. Pengambilan contoh tanah dan tanaman
5.2. Uji kimia tanah
5.3. Uji mikrobia
5.4. Percobaan pemupukan
5.5. Missing element
5.6. Analisis jaringan
5.7. Uji cepat tanaman
5.8. Gejala visual tanaman
5.9. Rekomendasi pemupukan

VI. Pupuk
6.1. Pengertian pupuk
6.2. Kategori pupuk
6.3. Pupuk buatan
6.4. Pupuk organik
6.5. Pupuk hijau
6.6. Pupuk hayati
6.7. Pembuatan kompos
6.8. Peraturan pupuk

VII. Pemupukan
7.0. Pengertian Pemupukan
7.1. Pemupukan lewat akar
7.2. Pemupukan lewat daun
7.3. Serapan hara
7.4. Efisiensi pemupukan
7.5. Keharaan berimbang
7.6. Kebutuhan pupuk

VIII. Pengelolaan Kesuburan Tanah


8.1. Pengelolaan tanah masam
8.2. Pengelolaan tanah gambut
8.3. Pengelolaan tanah sawah
8.4. Pertanian lestari
8.5. Pengelolaan hara terpadu
8.6. Mutu dan kesehatan tanah

Daftar Pustaka

1. Black, C.A. 1967. Soil Plant Relationship. John Wiley and Sons. vii + 618 h.
2. Cooke, C.W. 1975. Fertilizing for Maximum Yield. The English Language Book
Soc. And Crosby Lockwood Staples. London. xx + 297 h.
3. Cosico, W.C. 1985. Organic Fertilizers: Their Nature, Properties & Use. College of
Agriculture. University of Phillipines. Los Banos. 136 h.
4. Engelstad, O.P. (ed.). 1997. Teknologi dan Penggunaan Pupuk. Terjemahan DH.
Goenadi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
5. FAO. 2000. Fertilizer and Their Use. 70 h.
6. Foth, H.D. & B.G. Ellis. 1988. Soil Fertility. John Wiley & Sons. New York. 212 h.
7. IFDC. 1978. Fertilizer Manual. xix + 353 h.
8. IRRI. 1984. Organic Matter and Rice. Los Banos.
9. Jones, U.S. 1979. Fertilizer and Soil Fertility. Reston Pub. Co. Virginia. xii + 368 h.
10. Miller, R.W. & R.L. Donahue. 1990. Soils. An Introduction to Soils and Plant
Growth. Prentice-Hall New Jersey. xiv + 768 h.
11. Radjagukguk, B. & Joetono (Eds.). 1983. Prosiding Seminar Alternatif Pelaksanaan
Pengapuran Tanah Mineral Masam di Indonesia. Bulletin No. 18. Fakultas Pertanian
UGM.
12. RAPA-FAO. 1991. Asian Experience in Integrated Plant Nutrition. Bangkok.
13. Rinsema, W.T. 1983. Pupuk dan Cara Pemupukan. Terjemahan H.M. Saleh.
Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Vii + 232 h.
14. Roesmarkam, A. & NW. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius.
Yogyakarta. ISBN 979-21-0468-2. 224 hal.
15. Russel, E.W. 1978. Soil Condition & Plant Growth. McGraw Hill. New York. 60 h.
16. Sastrohoetomo, A. 1968. Pupuk Buatan dan Penggunaannya. Djambatan. Jakarta. x
+ 60 h.
17. Thompson, L.M. & F.R. Troeh. 1978. Soils & Soil Fertility. McGraw-Hill Pub. xi +
516 h.
18. Tisdale, S.L., W.L. Nelson & J.D. Beaton. 1986. Soil Fertility and Fertilizers.
MacMillan Pub. New York. xiv + 754 h.
I. Pengertian dan Cakupan
1.1. Pengertian kesuburan tanah
1.2. Istilah yang berkaitan dengan kesuburan tanah
1.3. Urgensi menjaga kesuburan tanah
1.4. Komponen kesuburan tanah

1.1. Pengertian Kesuburan Tanah


1. 2.

Kopi (Foto: agrobost organik) Padi (Foto: agrobost organik)


Tanah yang subur lebih disukai untuk usaha pertanian, karena menguntungkan. Sebaliknya
terhadap tanah yang kurang subur dilakukan usaha untuk menyuburkan tanah tersebut
sehingga keuntungan yang diperoleh meningkat.
Kesuburan Tanah adalah kemampuan suatu tanah untuk menghasilkan produk tanaman
yang diinginkan secara optimal, pada lingkungan tempat tanah itu berada. Produk tanaman
tersebut dapat berupa: buah, biji, daun, bunga, umbi, getah, eksudat akar, trubus, batang,
biomassa, naungan atau penampilan.
Tanah memiliki kesuburan yang berbeda-beda tergantung faktor pembentuk tanah yang
merajai di lokasi tersebut, yaitu: Bahan induk, Iklim, Relief, Organisme, atau Waktu. Tanah
merupakan fokus utama dalam pembahasan kesuburan tanah, sedangkan tanaman
merupakan indikator utama mutu kesuburan tanah.

1.2. Istilah yang berkaitan dengan kesuburan tanah


Beberapa istilah penting yang perlu diketahui dalam membahas kesuburan tanah antara
lain: tanah, lahan, produktivitas tanah, evaluasi lahan, kemampuan lahan,hara,
dan pupuk.
Suatu saat pernah ada masyarakat bertani tanpa pupuk, itu terjadi dahulu kala manakala
status kesuburan tanah masih bagus. Pada saat itu tanah memiliki cadangan hara yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan tanaman dalam beberapa musim. Pelonggokan
(akumulasi) hara ke dalam tanah lebih besar dibanding pengambilan oleh panen. Neraca
hara di lahan positif.
Seiring dengan bertambahnya populasi manusia menurut deret ukur sedangkan produksi
pertanian mengikuti deret hitung (ingat teori Malthus), maka terjadi pergeseran.
Cadangan hara dalam tanah mulai menipis, neraca hara turun menjadi defisit. Untuk
mempertahankan produktivitas lahan, manusia memberikan abu sisa pembakaran atau
kotoran binatang.

1.3. Urgensi menjaga kesuburan tanah


Jumlah penduduk Indonesia terus meningkat, sehingga kebutuhan pangan terus bertambah.
Sebaliknya luas lahan produktif relatif tetap atau bahkan menyusut. Lahan-lahan yang
bagus di Jawa dialihfungsikan menjadi pemukiman atau kawasan industri. Peningkatan
produksi dapat dilakukan melalui intensifikasi untuk meningkatkan produktivitas atau
ekstensifikasi untuk mendapatkan lahan baru. Kunci utama dari kedua hal tersebut adalah
bagaimana memelihara atau meningkatkan status kesuburan tanahnya.
Konsep pembangunan berkelanjutan terus digalakkan agar kegiatan pertanian senantiasa
menguntungkan, aman, lestari dan ramah lingkungan. Perlu penyusunan rekomendasi
pemupukan terpadu yang bersifat spesifik lokasi disesuaikan dengan komoditas yang
diusahakan dan lahan tempat usahanya. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi
pemupukan dan mengurangi dampak pencemaran terhadap lingkungan.
Beberapa alasan kenapa harus memupuk:
1. Aplikasi pupuk terhadap hara yang diketahui menjadi faktor pembatas, akan
meningkatkan hasil.
2. Pengusahaan tanaman dengan hasil tinggi (high yielding), membutuhkan tanah yang
subur secara berkesinambungan.
3. Hara yang diserap oleh tanaman harus digantikan.
4. Penggunaan pupuk yang tepat akan meningkatkan keuntungan ekonomi.
Hubungan antara kesuburan tanah dengan keadaan lingkungan dapat digambarkan sebagai
berikut. Hara dapat bergerak menuju badan air permukaan atau air dalam tanah. Hal ini
disebabkan bentang lahan saling berhubungan, lahan pertanian tidak terpisah dari
lingkungan di sekitarnya. Pengelolaan hara yang buruk, misalnya pemupukan yang
berlebihan, pengelolaan rabuk yang sembarangan, akan menimbulkan beaya lingkungan.

1.4. Komponen Kesuburan Tanah


1. Kedalaman efektif perakaran yang memadai [nama lain solum, merupakan daerah
jelajah akar, perlu dikonservasi menghadapi erosi].
2. Struktur tanah yang optimum [mengatur imbangan air-udara dan kemudahan
ditembus akar].
3. Reaksi tanah (pH) yang optimum [mencerminakan ketersediann/kelarutan unsur
hara serta dominansi mikrobia].
4. Hara cukup dan seimbang [macam, jumlah dan nisbah].
5. Penyimpanan dan penyediaan hara dan lengas yang optimum [berkaitan dengan
Kapasitas Pertukaran Kation, buffering capacity, serta retensi lengas].
6. Humus yang cukup [penyimpanan C-organik dalam tanah, berfungsi dalam khelasi,
sebagai sumber materi dan energi bagi mikrobia].
7. Mikrobia bermanfaat [melakukan sinergisme, pelaku aktif daur hara dan materi].
8. Bebas bahan meracun [berupa senyawa toksin dan limbah].
II. Hubungan Tanah Tanaman
2.1. Tanah sebagai media bertanam
2.2. Bentuk hara dalam tanah
2.3. Kuantitas dan intensitas hara
2.4. Gerakan hara dalam tanah: difusi, aliran masa, pertukaran
2.5. Mekanisme penyerapan hara oleh akar
2.6. Faktor penentu pertumbuhan tanaman
2.7. Kurva pertumbuhan tanaman

2.1. Tanah sebagai media bertanam


Soil is the medium wich supports the growth of plants. It provides mechanical supports,
the water and oxygen supply to plant roots as well as the plant nutrients.
Soil is one of the most important national resources of any country. The soil not only
grows a variety of food and fodder crops required for men and animals but also produces
raw materials for various agro-industries viz., sugar and starch factories, textile mills,
canning and food processing units
Soil is a habitat for plant growth bears certain physical, chemical and biological properties,
which determined degree of workability, suitability to the specific crop varieties, physical
and chemical capacities as well as productivity. The physical capacities of a soil are
influenced by the size, proportion, and arrangement on mineral composition of the soil
particles. The physical and biological properties of soil need careful studies because soil is a
natural medium for the plant growth and gives mechanical support to plant.
Pertanian > interaksi : manusia tanaman tanah (lingkungan)
Tanaman > proses: hidup tumbuh berkembang
Indonesia negara agraris > sebagian penduduk menjadi petani atau buruh tani.
Kepemilikan lahan sempit.
Iklim tropika > CH tinggi, kelembaban tingggi, temperatur hangat sepanjang tahun maka
perkembangan tanah intensif.
1. Tanah kurang subur : tanah mineral masam, gambut.
2. Tanah dekat volkan tetap subur (ada tambahan material baru).
2.2. Bentuk hara dalam tanah
Jika tanah digambarkan selaku sistem, maka dapat dipilahkan adanya komponen
masukan dan komponen keluaran. Di dalam tanah unsur hara memiliki berbagai bentuk dan
kelincahan untuk bergerak. Hara dapat mengalami alih rupa dan alih tempat.

Sumber hara dalam tanah


1. Perombakan bahan organik tanah.
2. Pelapukan mineral tanah.
3. Pemupukan.
4. Pembenah organik: rabuk, kompos, biosolid.
5. Penambatan N : legum.
6. Batuan: batuan fosfat, greensand.
7. Buangan industri: kapur, gipsum.
8. Pengendapan udara: N, S.
9. Pengendapan air: sedimen, erosi, banjir.

Pangkalan hara (nutrient pool)


Tanpa melihat darimana asalnya, semua hara akan mengelompok dalam pangkalan yang
tertentu. Unsur hara berinteraksi dengan sifat fisik, kimia dan biologi tanah, kemudian
diserap tanaman atau berpindah antar pangkalan hara dalam tanah. Pangkalan hara dalam
tanah adalah:
1. Larutan tanah: bentuk hara terlarut dalam lengas tanah dan sifatnya tersedia segera
untuk diserap oleh akar bagi tanaman.
2. Bahan organik: selalu mengalami proses perombakan dan oleh karena itu akan
melepaskan hara.
3. Organisme tanah: hara diambil untuk metabolisme atau menjadi komponen
penyusun tubuhnya, sehingga mengalami imobilisasi sementara.
4. Mineral tanah: hara yang berada dalam pangkalan ini memeiliki sifat antara cukup
terlarut sampai sedikit terlarut.
5. Permukaan jerapan: hara dipegang permukaan tanah oleh berbagai mekanisme,
berkisar antara cepat tersedia sampai sangat lambat tersedia.
6. Pertukaran kation: tipe yang sangat penting dari jerapan permukaan tanah.

2.3. Kuantitas dan intensitas hara


Pengertian daya sangga (buffering capacity) adalah:
1. kemampuan tanah untuk mempertahankan kadar hara dalam larutan tanah, atau
2. kapasitas fasa padatan untuk mengisi kembali (replenishment) hara dalam larutan
yang diserap oleh akar tanaman.
Kebanyakan uji tanah dirancang untuk mengukur kapasitas (daya sangga) tersebut.
Hubungan kuantitas dan intensitas hara dinyatakan sebagai:
BC = Q/I
Q = faktor kuantitas (kapasitas), meliputi ion yang terjerap dan mineral yang melarutkan
secara cepat untuk memasok hara diatas kebutuhan satu musim tanam.
I = faktor intensitas, perubahan konsentrasi hara dalam larutan.
Penyerapan oleh tanaman > I (menurunkan konsentrasi dalam larutan).
Q yang tinggi menjaga konsentrasi hara dalam larutan, I neto menjadi kecil.
Q rendah tidak mampu menjaga konsentrasi hara dalam larutan, I neto menjadi besar.

2.4. Gerakan hara dalam tanah


Ion di dalam tanah tanah akan bergerak menuju permukaan akar dengan mekanisme
berikut: root interception, mass flow atau diffusion.
Pemasokan dan pengangkutan hara:
1. intersepsi akar semata-mata berkaitan dengan pemasokan hara (solely a supply
mechanism).
2. aliran massa dan difusi merupakan pemasokan dan pengangkutan hara (mechanisms
of supply and transport).
3. memahami bagaimana hara bergerak, sangat penting untuk memahami dampaknya
bagi lingkungan, juga dalam penyerapan hara.

a. Intersepsi akar
Akar tumbuh menembus tanah, bersinggungan dengan permukaan partikel tanah,
permukaan akar bersinggungan dengan ion hara yang terjerap, kemudian terjadi pertukaran
secara langsung (contact exchange). Meskipun angkanya kecil, tetapi sumbangannya
penting agar hara mencapai akar. Hal ini nampak jelas terutama bagi hara dengan kadar
tinggi dalam tanah misalnya Ca dan Mg, atau hara yang dibutuhkan dalam jumlah kecil bagi
tanaman seperti Zn dan Mn dan hara mikro lainnya.
Intersepsi dipengaruhi oleh semua yang mempengaruhi pertumbuhan akar: tanah yang
kering, tanah mampat, pH tanah yang rendah, keracunan Al dan Mn, kedefisensian hara,
kegaraman, aerasi buruk, penyakit akar, serangga, nematoda, temperatur sangat tinggi atau
sangat rendah. Pertumbuhan tanaman berpengaruh paling besar terhadap proses intersepsi,
meskipun juga berpengaruh terhadap dua mekanisme lainnya.
Hara yang masuk melalui intersepsi tergantung pada kadar hara dalam tanah, volume tanah
yang dijelajahi akar, akar menempati 1 2% volume tanah, pada permukaan tanah akar
lebih rapat.
Proses intersepsi atau pertukaran langsung dapat digambarkan sebagai berikut:
[rambut akar] H dengan K [liat/BO]
+ +

pertukaran => => =>


[rambut akar] K dengan H [liat/BO]
+ +

Hal ini terjadi karena akar juga memiliki KPK yang berumber dari gugus karboksil (seperti
dalam bahan organik): COOH <> COO + H . Besarnya kpk akar pada monokotil 10 30
- +

meq/100 g dengan sifat kation monovalen lebih cepat diserap, sedangkan akar dikotil
memiliki KPK 40 100 meq/100 g dengan sifat kation divalen lebih cepat diserap.

b. Aliran masa (mass flow)


Hara terlarut terbawa bersama aliran air menuju akar tanaman, aliran air dipengaruhi oleh
transpirasi, evaporasi dan perkolasi. Jumlahnya proporsional dengan laju aliran (volume air
yang ditranspirasikan) dan kadar hara dalam larutan tanah.
Aliran masa memasok hampir seluruh hara mobil yang diperlukan tanaman yaitu: NO , 3
-

SO , Cl , and H BO Seringkali memasok hara Ca dan Mg yang berlebihan. Dengan


4
2- -
3 3.

demikian dapat memenuhi kebutuhan Cu, Mn, and Mo, serta memenuhi sebagian kebutuhan
Fe and Zn.
Faktor yang mempengaruhi aliran masa adalah :
1. kadar lengas tanah: tanah yang kering tidak ada gerakan hara,
2. temperatur: temperatur yang rendah mengurangi transpirasi dan evaporasi,
3. ukuran sistem perakaran: mempengaruhi serapan air.
Pengaruh kerapatan akar terhadap pasokan hara oleh aliran masa lebih ringan dibanding
terhadap intersepsi akar dan difusi.

c. Difusi (diffusion)
Ion bergerak dari wilayah yang memiliki kadar hara tinggi ke wilayah yang lebih rendah
kadar haranya. Akar menyerap hara dari larutan tanah. Kadar hara di permukaan akar lebih
rendah dibandingkan kadar hara tersebut larutan tanah di sekitar akar. Ion bergerak menuju
permukaan akar. Mekanisme ini sangat penting bagi hara yang berinteraksi kuat dengan
tanah. Terutama untuk memasok hara P dan K, juga hara mikro Fe dan Zn.
Laju difusi proporsional dengan gradien konsentrasi, koefisien difusi dan wilayah yang
tersedia untuk terjadinya difusi. Persamaan difusi Hukum Fick:
dC/dt = De. A.dC/dX
dC/dt = laju difusi (perubahan konsentrasi antar waktu)
De = koefisien disfusi efektif
A = luas penampang difusi
dC/dX = gradien konsentrasi (perubahan konsentrasi antar jarak)
Koefisien difusi efektif (effective diffusion coefficient)
De=Dw.(1/T).(1/b)
Dw = koefisien difusi dalam air
= kadar air tanah volumetrik
T = faktor kelikuan (tortuosity)
b = daya sangga tanah (soil buffering capacity)
Koefisien difusi dalam air dipengaruhi temperatur, jika dingin difusi lebih lambat. Kadar air
tanah, jika kering difusi lebih lambat, kurang air, wilayah yang dilewati difusi lebih sempit.
Kelikuan (tortuosity), jalur dalam tanah tidak lurus, tetapi melalui sekeliling partikel tanah
yaitu lapisan air yang sangat tipis. Hal ini dipengaruhi oleh tekstur tanah dan kadar airnya.
Jika lebih banyak mineral liat maka jalur difusi lebih panjang. Lapisan air lebih tipis, jalur
difusi lebih panjang. Daya sangga tanah (buffering capacity): hara dapat diambil melalui
jerapan tanah selama bergerak tersebut, hal ini akan menurunkan laju difusi.
Jarak difusi hara sangatlah pendek yaitu: K ~ 0,2 cm, sedangkan P ~ 0,02 cm. Ukuran dan
kerapatan akar sangat mempengaruhi pasokan hara oleh mekanisme difusi. Hal ini harus
menjadi pertimbangan dalam penempatan pupuk.
2.5. Mekanisme penyerapan hara oleh akar
Kebanyakan unsur diserap akar tanaman dalam bentuk anorganik. Setelah mencapai akar,
ion hara diangkut sampai ke bagian daun melalui serangkaian tahapan, yaitu penyerapan
pasif (passive root uptake), penyerapan aktif (active root uptake), alih tempat
(translocation).
a. Struktur akar
Ion harus bergerak melewati atau mengelilingi sejumlah lapisan jaringan akar.
epidermis = lapisan terluar dari sel
korteks = sel besar ukuran tidak beraturan dengan ruang antara sel diantara mereka
endodermis = lapisan sel dengan suberin band, casparian strip, menjadi penghalang
gerakan ion masuk ke stele.
stele = mengandung pembuluh xylem yang mengangkut air dan ion menuju batang.
b. Gerakan pasif
Difusi dan pertukaran ion
epidermis > menembus kortek > ke endodermis
Apoplast (apparent free space)
ruang di antara sel (extracellular within and between cell walls)
KPK akar ada pada dinding sel
c. Gerakan aktif
Harus menembus membran sel
Symplast: Intracellular interconnected cytoplasmic pathway between cells
pengangkutan aktif melewati membran
pengambilan unsur hara secara selektif
d. Pengambilan ion secara aktif
diperlukan energi untuk melewati membran sel
konsentrasi di dalam sel lebih besar dibanding di luar sel
gerakan untuk mengatasi gradien elektrokimia
energi berasal dari metabolisme sel
e. Ion carriers
pengangkutan melewati membran dijembatani oleh karier
karier berada di dalam membran
mengikat ion di bagian luar dari batas > bergerak melewati membran > melepas
ion ke dalam sitoplasma
karier bersifat selektif, masing-masing ion punya karier tersendiri
1. Pengangkutan aktif (active transport)
Memungkinkan tanaman memilih hara yang masuk ke akar, menjaga netralitas muatan di
dalam sel akar, akar melepas H and OH . Pengambilan kation: melepas H , pengambilan
+ - +

anion: melepas OH . Pengambilan kation umumnya >> dibanding pengambilan anion


-

sehingga pH risosfer turun.


Memungkinkan tanaman menimbun hara esensial, tanaman memiliki kemampuan yang
berbeda dalam menimbun hara pada tanah yang memilik kadar hara yang rendah. Sifat
genetik mempengaruhi pengambilan hara, alih tempat, pertumbuhan akar, metabolisme
akar, lingkungan risosofer.
2. Rhizosphere (rhizo = akar)
Wilayah tanah yang bersinggungan langsung dengan akar, jaraknya 1-4 mm. Tempat
kegiatan mikrobia: eksudat organik dari akar merupakan cadangan makanan. Suasana pH
risosfer dan aktivitas mikrobia mempengaruhi ketersediaan hara melalui proses pelarutan
dan khelasi, pH lebih rendah dan adanya asam organik meningkatkan kelarutan. Akar dan
mikrobia di risosfer dapat menghasilkan khelat, akar dan aktivitas mikrobia juga mampu
menurunkan redoks potensial sehingga meningkatkan ketersediaan hara.
Akar tanaman tidak terlihat karena tersembunyi dalam tanah dan sukar untuk diteliti,
sehingga sering diabaikan. Sifatnya tidaklah pasif, tetapi aktif mengangkut hara dan
mengambil secara selektif dengan mengubah suasana tanah di sekitarnya sehingga
meningkatkan ketersediaan hara tersebut.

2.6. Faktor penentu pertumbuhan tanaman


Growth is defined as the progressive development of an organism
Setiap syarat tumbuh dapat membatasi hasil. Aturan minimum dari Liebig berlaku unsur
hara, tetapi dapat pula diterapkan bagi syarat tumbuh yang lainnya. Pertumbuhan tanaman
dibatasi oleh keberadaan hara yang paling terbatas jumlahnya, tanpa memperhatikan
besarnya sediaan hara yang lainnya. Tugas petani adalah mengidentifikasi semua faktor
pembatas hasil, dan menghilangkan atau meminimalkannya sehingga usahanya
menguntungkan.
Faktor penentu pertumbuhan tanaman dapat dipilahkan menjadi 2 bagian yaitu: Genetik
(dakhili=internal) dan Lingkungan (khariji=eksternal).

1. Faktor Genetik
Perbaikan genetik dengan munculnya hibrida, varitas atau galur telah menunjukkan adanya
peningkatan hasil panen pada tanaman jagung, gandum atau komoditas lainnya.

Tabel. Hasil panen jagung di USA pada tahun 1971-1973

Hibrida tahun Panen buruk (kg/ha) Panen baik (kg/ha)

1930 3.709 6.538

1940 4.464 7.544

1950 4.778 7.670

1960 4.902 8.550

1970 5.972 8.990

Tabel. Hasil panen gandum berbagai varitas

Varitas Panen (kg/ha)

1926 (Marquis) 2.028

1935 (Thatcher) 2.230

1958 (Lee) 2.425

1967 (Chris) 2.735

1971 (Era) 3.623

Tanaman dengan hasil panen tinggi (high yielding) mengambil hara lebih banyak
dibandingkan tanaman biasa. Tanaman demikian bersifat menguras hara. Jika ditanam pada
tanah yang memiliki ketersediaan hara terbatas, maka hasil panen akan lebih rendah
dibandingkan tanaman biasa.
Pada masa lampau dilakukan pemilihan varitas tanaman untuk berbagai tingkat kesuburan
tanah yang berbeda. Sekarang hal tersebut tidak dikerjakan lagi, karena pada tanah yang
tidak subur dapat ditambahkan pupuk. Meski demikian tetap dilakukan upaya pemilihan
tanaman misalnya: tahan terhadap pH rendah atau keracunan Al, atau terhadap kondisi
garaman, atau tahan terhadap kekeringan.

2. Faktor lingkungan
Environment is defined as the aggregate of all the external conditions and influences
affecting the life and development of the organism.
Yang termasuk dalam faktor lingkungan adalah : Temperatur, Lengas, Sinar matahari,
Susunan udara, Struktur tanah, Reaksi tanah, Biotik, Penyediaan hara dan Senyawa
penghambat pertumbuhan.
1. Temperatur: Temperatur merupakan ukuran intentitas panas. Kisaran temperatur
secara umum untuk makluk hidup: -35 C +75 C; Tanaman pertanian : 25 40 C.
0 0 0

Temperatur ini mempengaruhi: fotosintesis, respirasi, permeabilitas dinding sel,


penyerapan air dan hara, transpirasi, aktivitas ensim dan koagulasi protein.
2. Lengas tanah : kadarnya dalam tanah sangat bervariasi: Jenuh air (saturated)
kapasitas lapangan (field capacity) layu permanen (wilting point). Fungsi lengas
antara lain sebagai : pelarut, media transportasi, bahan dasar H O.
2

3. Sinar matahari: aspek yang terkait dengan pertumbuhan adalah: proses fotosintesis,
lama penyinaran dan periode tumbuh.
4. Udara: diperlukan untuk respirasi dan sebagai bahan dasar CO dalam proses
2

fotosintesis .

5. Struktur tanah : mempengaruhi ruang tumbuh akar dan imbangan udara-lengas.


6. Reaksi tanah: berkaitan dengan ketersediaan hara, unsur meracun dan kehidupan
mikrobia.
7. Biotik: antagonisme atau sinergisme, jasad pengganggu: hama, penyakit, gulma
8. Penyediaan hara: mineral, tekstur, struktur, pH, bahan organik tanah, pemupukan,
pengolahan tanah. Perakaran tanaman dapat dangkal, dalam, atau menyebar.
9. Senyawa penghambat pertumbuhan: adanya limbah atau bahan beracun.

2.7. Kurva pertumbuhan tanaman


1. Growth Response Curves Liebig (c. 1860, German) (linear)
Y = mX + b, where: Y = yield; m = slope i.e. rate of yield increase, a function of the
environment and nutrient; X = amount of nutrient added; b = minimum yield, one would get
this yield with no nutrient additions.

2. Mitscherlich (c. 1910, German) (Law of Diminishing Returns)

(1) dy/dx = (A-Y)C. if integrate equation (1), then get (2) log (A-Y) = log(A) cX,where:
A = maximum possible yield (theoretical); Y = actual yield.
dy/dx = slope i.e. rate of yield increase, a function of the environment, the nutrient, and
amount of nutrient already present. This value gets smaller as nutrient amount increases.
x = amount of nutrient added; c = constant.
3. Bray (c. 1920, U. Illinois) (soil interactions)

Started with Mitscherlichs basic equation, developed: log (A-Y) = log(A) c1B
cX, where: A = maximum possible yield (theoretical); Y = actual yield.
dy/dx = slope i.e. rate of yield increase. It is a function of the environment, the nutrient,
and amount of nutrient already present. This value gets smaller as nutrient amount
increases.
X = amount of nutrient added; c1 = constant that is for B; c = constant.
B = value explaining behavior of immobile nutrients (e.g. K, P, Ca, Mg). The c1B term
takes into account the reality that nutrients interact with soil and not all nutrients behave
identically.
4. Baule (c. 1920, German mathematician, worked with Mitscherlich) (nutrient
interactions)

Baule developed idea of half-way points. Using the identical relationship as Mitscherlich,
Baule concluded that: Y = A A(1/2) # Baule Units, where:
A = maximum possible yield (theoretical); Y = actual yield.
Baule Unit= the amount of nutrient that when added results in moving Y (yield) one-half
way closer to A (maximum possible yield).

III. Hara Makro


3.1. Pengertian hara esensial
Suatu unsur termasuk sebagai hara esensial jika memenuhi syarat:
1. Terlibat langsung dalam fungsi metabolisme tanaman (involved in plant
metabolic functions).
2. Tanaman tidak akan sempurna siklus hidupnya tanpa adanya unsur tersebut
(plant cannot complete its lifecycle without it).
3. Tidak ada unsur lain yang dapat menggantikan secara sempurna seluruh fungsi
metabolisme yang melibatkan unsur tersebut (no other element can substitute for
all of its metabolic functions).

3.2. Pengertian hara makro


Unsur C, H, O jumlahnya sangat melimpah, C dan O umumnya diambil dari udara
sedangkan H dari air. Proses fotosintesis yang berlangsung di daun menghasilkan gula
dengan mengambil CO2 dari udara. Pernafasan daun dan akar menggunakan oksigen dari
udara (yaitu di stomata dan pori tanah) untuk menghasilkan ATP (energi sel tubuh).
Hara mineral (13) sebagian besar berasal dari tanah, terbagi atas : hara makro: N, P, K, Ca,
Mg, S dinyatakan dalam % (g/100g) dan hara mikro: Fe, Zn, Mn, Cu / B, Cl, Mo / [Ni]
dinyatakan dalam ppm (mg/kg). Kandungan hara yang tertinggi umumnya N dan K. Pada
tanaman yang diberi pupuk dengan cukup mengandung 1-5 % bobot kering. Tembaga dan
Mo memiliki kadar paling kecil, hanya beberapa ppm. 1% = 10.000 ppm.
3.3. Nitrogen
1. Bentuk dan fungsi N
N dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah yang besar, umumnya menjadi faktor
pembatas pada tanah-tanah yang tidak dipupuk. Berupa asam amino, amida dan amin yang
berfungsi sebagai kerangka (building blocks) dan senyawa antara (intermediary
compounds). Berupa protein, khlorofil, asam nukleat: protein/ensim mengatur reaksi
biokimia, N merupakan bagian utuh dari struktur klorofil, warna hijau pucat atau
kekuningan disebabkan kedefisensian N, sebagai bahan dasar DNA dan RNA.
2. Mobilitas N
Unsur N sangat mobil dalam jaringan tanaman, dialihtempatkan dari daun yang tua ke daun
yang muda. Gejala kedefisensian klorosis muncul pada daun dibagian bawah yaitu daun
yang lebih tua. Jika berlebihan N akan merangsang pertumbuhan vegetatif, laju fotosintesis
tinggi, penggunaan CH O juga tinggi, akibatnya menghambat kematangan tanaman,
2

jaringan menjadi sukulen, tanaman rebah, mudah terserang penyakit.

3. Sumber N
Beberapa sumber N adalah : perombakan bahan organik: daur N; penyematan biologis:
simbiotik dan non simbiotik; deposisi atmosfir karena muatan listrik dan kegiatan industri;
pupuk N dan rabuk, kompos dan biosolid.
4. Bentuk N yang diserap tanaman
Bentuk NH (amoniak) diserap oleh daun dari udara atau dilepaskan dari daun ke udara,
3

jumlahnya tergantung konsentrasi di udara. Sebagian besar N diambil akar dalam bentuk
anorganik yaitu NH (ammonium) and NO (nitrat). Jumlahnya tergantung kondisi tanah,
4
+
3
-

nitrat lebih banyak terbentuk jika tanah hangat, lembab dan aerasi baik. Penyerapan
NH lebih banyak terjadi pada pH tanah netral, sedangkan NO pada pH rendah. Senyawa
4
+
3
-

NO umumnya bergerak menuju akar karena aliran masa, senyawa NH bersifat tidak
3
-
4
+

mobil, gerakan disebabkan oleh difusi juga aliran masa.


Senyawa ammonium ini tidak harus direduksi di dalam tubuh tanaman sehingga menghemat
energi, kandungan protein tanaman lebih tinggi (CH O). Keseimbangan kation/anion:
2

mengurangi penyerapan Ca, Mg, K, tetapi meningkatkan penyerapan fosfat, sulfat dan klor.
Suasana pH risosfer: akar melepas H . +

Senyawa nitrat harus direduksi terlebih dahulu di dalam tubuh tanaman sebelum disintesis
menjadi asam amino, NO NH . Keseimbangan kation/anion: meningkatkan penyerapan
3
-
3

Ca, Mg, K, tetapi menurunkan penyerapan fosfat, sulfat, dan klor. Suasana pH risosfer: akar
melepas HCO (OH )
3
- -

Jika kadar NH tinggi dapat bersifat meracun, sedangkan jika kelebihan NO dapat secara
4
+
3
-

aman disimpan dalam vakuola. Preferensi tanaman: kebanyakan tanaman tumbuh baik pada
kondisi campuran, tanaman yang tahan terhadap suasana masam umumnya lebih baik jika
diberi NH , sebaliknya keluarga terung-terungan (Solanaceae) lebih menyukai NO , karena
4
+
3
-

membutuhkan banyak kation lainnya (penyerapan nitrat merangsang penyerapan kation).


5. Transformasi N dalam tanah
Di dalam tanah unsur N dapat mengalami alihrupa sebagai berikut: Mineralisasi,
Immobilisasi, Nitrifikasi, Denitrifikasi, Volatilisasi, Fiksasi N.
6. Mineralization
Pelepasan N organik menjadi N yang tersedia bagi tanaman yaitu: NH , melibatkan 4
+

mikrobia heterotrof yaitu bakteri dan kapang. Bahan organik tanah mengandung N sekitar
5%, sekitar 1-4% dari N organik mengalami mineralisasi setiap tahunnya.
Aminisasi: proteins + H O > asam amino + amina + urea + CO + energi.
2 2

pemecahan protein menjadi unit lebih kecil, yang mengandung gugus NH 2

Ammonifikasi:
R NH + H O > NH + R OH + energi
2 2 3

NH + H O
3 2 > NH + OH 4
+ -

7. Immobilisasi (assimilasi)
Berkebalikan dengan proses mineralisasi. Pengambilan bentuk N anorganik dari tanah
kemudian menyatukan bahan tersebut menjadi bentuk N organik oleh mikrobia, dapat
berupa NH atau NO . Kesetimbangan antara mineralisasi dan immobilisasi ditentukan oleh
4
+
3
-

nisbah C:N .

8. Nitrifikasi
Perubahan NH menjadi NO , sumber NH dapat berupa bahan organik atau pupuk.
4
+
3
-
4
+

Oksidasi biologis: bilangan oksidasi N meningkat dari -3 menjadi + 5, melalui 2 tahapan


proses:
2NH + 3O > 2NO (nitrit) + 2H O + 4H (Nitrosomonas bacteria) dan
4
+
2 2
-
2
+

2NO + O > 2NO ( Nitrobacter bacteria)


2
-
2 3
-

Nitrit bersifat meracun, umumnya tidak sampai mengumpul, karena reaksi nitrit menjadi
nitrat jauh lebih besar dibanding perubahan ammonium menjadi nitrit. Ada dua jenis
bakteri ototrof yang menonjol, mereka mendapatkan energi dari oksidasi N, sedangkan C
diambil dari CO 2

9. Proses nitrifikasi
Meningkatkan potensi pelindian N. Senyawa NO sangat mobil, sangat larut air, tidak dapat 3
-

dipegang oleh koloid tanah. Senyawa NH merupakan kation tertukar, dapat dipegang oleh
4
+

koloid tanah, bersifat mobil dalam tanah pasiran tanah yang memiliki KPK rendah. Untuk
berlangsungnya proses nitrifikasi diperlukan suasana aerasi yang baik, karena yang aktif
bakteri aerobik, oksigen diperlukan sebagai reaktan dalam kedua reaksi yang terlibat. Proses
ini bersifat mengasamkan tanah, 2 mol H dihasilkan per mol NH yag dinitrifikasi, ini dapat
+
4
+

berasal dari pupuk ammonium atau mengandung pembentuk ammonium (urea). Sangat
cepat pada pH tinggi, optimum pada pH 8.5, bakteri memerlukan cukup Ca dan P,
keseimbangan reaksi lebih cocok pada pH tinggi tersebut. Reaksi cepat pada temperatur
hangat dan tanah yang lembab. Penghambatan nitrifikasi: digunakan untuk membatasi
pencucian nitrat, N-Serve (nitrapyrin) karena bersifat meracun bagi Nitrosomonas.

10. Denitrifikasi
Kehilangan N dalam bentuk gas, reaksi NO menjadi
3
-
N dan
2 N O.
2 Bakteri
anaerob:Pseudomonas, Bacillus, menggunakan N sebagai sumber O dalam respirasi, terjadi 2

pada tanah tergenang atau terbatasnya oksigen, sekitar akar atau seresah yang sedang
terombak. Bakteri memerlukan bahan organik, bahan orgaik yang siap dirombak sebagai
sumber energi
4(CH O) + 4NO + 4H > 4CO + 2N O + 6H O
2 3
- +
2 2 2

5(CH O) + 4NO + 4H > 5CO + 2N O + 7H O


2 3
- +
2 2 2

Kehilangan N dari pupuk umumnya 10-30%, pada kondisi: penambahan bahan orgaik dan
kurangnya aerasi, temperatur hangat : antara 50 80 F, pH >5.5, cukup sediaan nitrat,
pertumbuhan tanaman, dapat menyumbang C dan kurangnya oksigen, tanaman dapat juga
membatasi denitrifikasi dengan mengurangi kadar air dalam tanah dan nitrat karena diserap

11. Volatilisasi
Kehilangan berupa gas NH , terutama dari pupuk N di permukaan, juga rabuk di
3

permukaan tanah, kehilangan rabuk juga terjadi saat penanganan dan penyimpanan, dengan
reaksi NH > H + NH Kehilangan NH terutama pada pH tinggi, pH larutan >7 , pada
4
+ +
3 . 3

kesetimbangan reaksi bergerak ke kanan, kehilangan tersebut dapat ditekan dengan cara
pemberian pupuk dibenamkan, atau dengan penyiraman air irigasi, urea bersifat sangat
larut.
Pada tanah masam dan netral: kehilangan urea lebih besar dibanding pupuk NH , 4
+

reaksi awal NH bersifat asam. Hidrolisis Urea meningkatkan pH sekitar butiran:


4
+
CO(NH ) (urea) + H + 2H O > 2NH + HCO -
2 2
+
2 4
+
3

ini memerlukan H dan menaikkan pH, dapat mencapai > 7


+

mendorong reaksi : NH + HCO > NH + H O + CO


4
+
3
-
3 2 2

Pada tanah kapuran (calcareous soils), kehilangan Urea secara potensial tetap
tinggi. Pupuk NH lebih mudah menguap dibanding dalam suasana asam, karena bereaksi
4
+

dengan karbonat, NH + HCO 4


+
3
-
NH + H O + CO , kehilangan ammonium fosfat and
3 2 2

sulfat lebih tinggi dibanding garam ammonium yang terlarut seperti klorida dan nitrat.
Faktor lain yang mendorong volatilisasi antara lain: bentuknya cairan vs. padatan. Aplikasi
permukaan disebar (broadcast surface applications), dibandingkan setempat atau
dicampurkan. Temperatur yang tinggi. Permukaan tanah yang lembab dan evaporasi yang
cepat. KPK yang rendah: retensi NH dan penyanggaan pH. residu tanaman di permukaan,
4
+

penggembalaan dan gumpal tanah, menjaga lengas tanah permukaan, mengurangi kontak
tanah dan gerakan ke dalam tanah
Inhibitor Urease merupakan alat untuk menghambat perombakan urea dan
mengurangi volatilisasi N, contoh: Agrotrain. umumnya kurang efektif dibandingkan
dengan perbaikan cara pemupukan, misalnya concentrated banding. Urease adalah ensim
yang memecah urea, berasal dari tanaman atau tanah (mikrobia). Usaha yang lain dengan
membuat Slow release, urea-based fertilizers Contoh: Ureaform: Urea-formaldehyde, SCU
(Sulfur-coated urea), manfaatnya: pemberian cukup satu kali untuk suatu jangka waktu
tertentu, misalnya 3 6 atau 9 bulan, hemat pada tempat yang memiliki potensi pelindian
atau penguapan yang tinggi, Sering digunakan untuk tanaman hias atau tanaman tahunan.
Ammonia anhidrat, karena bentuknya mudah menguap, maka disuntikkan di bawah
permukaan tanah, standar 15 cm untuk tanah kasar lebih dalam lagi. Kondisi yang cocok
untuk kehilangan: tanah yang kering: lubang bekas injeksi tidak menutup rapat, NH tidak 3

berubah menjadi NH , tanah mineral liat basah: lubang bekas injeksi tidak menutup rapat,
4
+

tekstur kasar: difusi NH , tanah berbongkah: difusi NH , bahan organik rendah: bahan
3 3

organik memegang NH , 3

Tujuan penggunaan Inhibitor nitrifikasi untuk menghambat nitrifikasi, dan mengurangi


pencucian N. Umumnya digunakan pada musim gugur, atau di tanah pasiran. Contoh: bahan
N-Serve, DCD yang berfungsi menghambat perubahan ammonium menjadi nitrit dalam
proses nitrifikasi.

12. Fiksasi N
Meskipun kadar N udara 78%, tetapi ketersediaan N dalam tanah sering menjadi faktor
penghambat. Terdapat 70 juta kg N setiap hektar tanah. N harus diubah menjadi bentuk
2

yang tersedia bagi tanaman. Fiksasi industri: N direduksi dengan energi yang besar (high
2

0
energy inputs), pada temperatur tinggi 1.200 C dan tekanan tinggi 500 atm. dengan reaksi:
3H + N > 2NH . NH (amonia anhidrat) digunakan langsung sebagai pupuk atau sebagai
2 2 3 3

bahan baku pupuk N yang lain.


Berbagai mikrobia dapat menyemat N : Simbiotik atau hidup bebas. Rhizobia dan
2

legum. Hal ini penting bagi dunia pertanian. Bakteri simbiotik membentuk bintil akar,
tanaman inang menerima N yang tersemat sedangkan bakteri menerima fotosintat.
Rhizobia dan legum memiliki hubungan yang bersifat spesifik, legum yang yang berbeda
membutuhkan spesies Rhizobia tertentu yang sesuai. Umumnya dilakukan inokulasi pada
biji yang akan ditanam. Hal ini diperlukan terutama jika lahan baru untuk pertama kali
ditanami legum tersebut atau untuk introduksi suatu strain baru. Strain memiliki
kemampuan menyemat N yang berbeda-beda.
Faktor yang mempengaruhi penyematan N antar alain: Keadaan pH tanah : pH
yang rendah membahayakan Rhizobia dan akar tanaman, adanya keracunan Al dan Mn ,
serta kedefisensian Ca, Mo dan P. Spesies dan strain memiliki tingkat kepekaan yang
berbeda-beda. R. meliloti (alfalfa, sweet clover) sangat peka terhadap pH yang rendah,
strain lain lebih toleran. Kadar Nitrogen tersedia tanah: jika kandungan N tanah tinggi,
maka penyematan akan rendah. Pertumbuhan tanaman dan manajemen: laju fotosintesis
tinggi akan meningkatkan penyematan N, sebaliknya hal yang menurunkan batang atau
hasil juga menurunkan penyematan N misalnya frekuensi dan waktu pemangkasan pada
HMT. Kemampuan penyematan N pada legum tahunan (perennial) : 100-200 kg/ha/th,
sedangkan legum semusim (annual) : 50-100 kg/ha/th

13. Penyematan N lainnya


Azolla Anabaena : paku air dan ganggang hijau biru (cyanobacteria), jumlah N yang
tersemat cukup untuk padi sawah. Cyanobacteria (blue-green algae), hidup bebas, pada
tanah tergenang, permukaan tanah yang lembab. Azospirillum: bakteria yang hidup bebas,
atau bersekutu dengan akar serealia atau rerumputan. Azotobacter:bakteria hidup bebas, di
tanah, air , risosfer, atau permukaan daun. Bentuk hubungan yang lain kurang berhubungan
dengan pertanian, tetapi bermanfaat bagi ekosistem alam atau agroforestry. Pohon legum:
Black locust, mimosa, akasia. Frankia:aktinomisetes simbiotik, Alder.
3.4. FOSFOR
a. Bentuk dan fungsi P di dalam jaringan tanaman
1. P dibutuhkan tanaman dalam jumlah relatif besar, sedikit lebih kecil dibawah N dan
K, setara dengan S, Ca dan Mg
2. Fosfat: unsur P sangat reaktif, di alam ditemukan dalam bentuk gugus fosfat
3. ATP : transfer energi
4. NADP : fotosintesis
5. Asam nukleat: bahan DNA, RNA
6. Lemak fosfat (phospholipids): membran sel dan organ dalam sel

b. Mobilitas P
Unsur fosfor (P) sifatnya mobil dalam tanaman, mudah dipindahkan dari bagian daun yang
tua ke titik tumbuh. Gejala kedefisensian: tanaman kerdil, pertumbuhan akar buruk,
kedewasaan terlambat, warna daun hijau kelam, muncul warna keunguan misalnya pada
jagung. Jika P berlebihan meskipun tidak secara langsung meracuni tanaman, akan
menyebabkan merangsang pertumbuhan organisme perairan, mempercepat eutrofikasi, P
tanah yang berlebih meningkatkan pengangkutan P dalam sedimen, air limpasan.
c. Sumber P
1. perombakan bahan organik: menyumbang 20-80% dari total P dalam tanah
2. rabuk, kompos dan biosolid
3. pelarutan mineral P : mineral primer dan sekunder, mineral primer sangat lambat
tersedia menjadi sumber jangka panjang
4. pengendapan sedimen erosi
5. pupuk P

d. Bentuk P yang diserap tanaman


Kebanyakan P diserap dalam bentuk ion anorganik orthofosfat: HPO atau H PO . 4
2-
2 4
-

Jumlahnya tergantung pH larutan, pada pH 7,2 jumlahnya setara, HPO lebih banyak jika
4
2-

kondisi tanah alkalin, sedangkan H PO lebih banyak jika kondisi tanah masam. Akar juga
2 4

menyerap beberapa fosfat organik: asam nukleat, fitin, kontribusi terhadap keseluruhan hara
P masih kecil.
Penyerapan H PO lebih cepat dibanding HPO , hal ini terkait dengan muatan divalen vs.
2 4

4
2-

monovalen. Keseimbangan kation/anion : penyerapan fosfat meningkatkan penyerapan Ca,


Mg, K, keseimbangan muatan, pengakutan kooperasi; penyerapan fosfat dapat menghambat
penyerapan nitrat dan sulfat, penghambatan kompetisi. pH risosfer: akar melepas
HCO (OH )
3
- -

e. Gerakan P menuju akar


Ion HPO atau H PO terutama bergerak menuju akar karena difusi dan aliran massa:
4
2-
2 4

kadar dalam tanah rendah : sekitar 0,05 ppm


adanya reaksi penjerapan, presipitasi di dalam tanah
ion fosfat bergerak < 1 mm dalam satu musim tanamn
ukuran dan kerapatan sistem perakaran sangat penting dalam proses penyerapan P

f. Transformasi P di dalam tanah


Unsur P di dalam tanah akan mengalami proses alihrupa : mineralisasi, immobilisasi,
penjerapan-pelepasan pada permukaan mineral: mineral liat, oksida Fe dan Al, karbonat,
pengendapan-pelarutan mineral sekunder: Ca, Al, Fe fosfat atau pelapukan mineral tanah
primer: Apatit.

g. Mineralisasi
Kandungan P dalam bahan organik tanah sekitar 1% P organik melepaskan fosfat anorganik
yang tersedia bagi tanaman. Ensim fosfatase yang dihasilkan oleh berbagai mikrobia,
melepas ion orthofosfat. P organik dalam tanah, hampir 50% berupa fosfat inositol, lemak
fosfat (fosfolipid) dan asam nukleat sekitar 10%. Hampir 50% P organik belum dikenali
dengan baik. Fofat Inositol merupakan rangkaian ester fosfat : C H (OH) = inositol, gugus
6 6 6

OH digantikan oleh fosfat, terutama dalam bentuk asam pitat (phytic acid). Inositol
hexaphosphate: memiliki 6 gugus fosfat, merupakan hasil aktivitas mikrobia, sisa
perombakan.

h. Imobilisasi (asimilasi)
Proses ini merupakan kebalikan dari mineralisasi. Pengambilan P anorganik dari tanah
(HPO or H PO ) kemudian diubah menjadi P organik oleh mikrobia. Ada keseimbangan
4
2-
2 4
-

antara proses mineralisasi dengan immobilisasi. Nisbah C:P menentukan laju perombakan
bahan organik (seperti halnya nisbah C/N), mineralisasi P juga ditentukan oleh nsibah C/N.
Nisbah C/P tinggi, mikrobia menggunakan P tersedia dari larta tanah, ketersediaan bagi
tanaman berkurang. Jika kadar P dalam larutan tanah rendah maka pertumbuhan mikrobia
terhambat, perombakan bahan organik juga lambat. Nisbah C/P bahan organik tanah sekitar
100:1. nisbah C:N:P sekitar 120:10:1.3.
jika C:P > 300, P imobilisasi > P mineralization, residue <0.2% P
jika C:P = 200-300, P imobilisasi = P mineralization
jika C:P < 200, P imobilisasi < P mineralization, residue >0.3% P

i. Penyematan P
Penyematan P adalah proses pengambilan P anorganik dari larutan tanah. P hasil
mineralisasi bahan organik, P yang diberikan sebagai pupuk terlarut, atau hasil pelarutan
berbagai sumber dengan mudah mengalami reaksi di dalam tanah :
Adsorpsi: retensi P pada permukaan mineral sesquioksida (Fe2O3 atau Al2O3)
Presipitasi: pembentukan mineral P sekunder
Penyematan P merupakan reaksi bersinambung, tidak ada batas yang tegas antara adsorpsi
dan presipitasi amorf. Jenis penyematan bervariasi sesuai kondisi tanah: terutama pH tanah:
kation terlarut, permukaan mineral; kadar fosfat dan kation: pada kadar rendah terjadi
adsorpsi, pada kadar tinggi terjadi presipitasi.

j. Jerapan (adsorpsi)
Tanah masam: oksida dan hidroksida Al dan Fe, mineral liat; permukaan mineral pada
kondisi masam; kebanyakan dalam bentuk ion H PO Terjadi padapermukaan oksida dan
2
-
4 .

hidroksida. Muatan positif neto pada kondisi masam, lihat pertukaran dan jerapan anion.
Muatan positif menarik anion: fosfat dan lainnya. Fosfat berinteraksi dengan gugus -OH
dan -OH di permukaan: jerapan istimewa (specific adsorpsi), chemisorpsi; mendesak OH
2
+

dan -OH dan mengikat Al dan Fe; menjadi Al-O-fosfat. P labil: fosfat diikat oleh satu ikata
2

Al-O-P; segera terlepas dari permukaan untuk mengisi larutan tanah; juga disebut sebagai
P aktif . P tidak labil: fosfat diikat oleh dua ikatan Al-O-P atau Fe-O-P; P tidak mudah
terlepas dari mineral menuju larutan tanah. Permukaan liat: tepian mineral liat yang pecah;
gugus -OH yang terbuka; serupa dengan pertukaran -OH di permukaan oksida Al dan Fe;
jerapan liat 1:1 (kaolinit) >> liat 2:1 (monmorillonit).
Tanah kapuran: mineral karbonat; permukaan mineral dalam kondisi alkalin, karbonat stabil
terbentuk pada pH 7.8 atau lebih; fosfat menggantikan gugus CO ; ada juga yang terjerap
3
2-

pada permukaan Al(OH) dan Fe(OH) .


3 3

Tanah halus memiliki kapasitas jerapan yang lebih tinggi dibanding tanah kasar, karena luas
permukaannya lebih besar. Tanah masam memiliki kapasitas jerapan lebih besar dibanding
tanah netral atau kapuran. Oksida Al dan Fe memiliki kapasias jerapan lebih besar
dibanding karbonat. Oksida amorf memiliki kapasitas jerapan lebih besar dibandingkan
bentuk kristalin, karena luas permukaan lebih besar dan terjadi sebagai partikel diskrit atau
selaput atau lapisan film pada partikel tanah lainnya. Takaran pupuk lebih tinggi diperlukan
untuk menjaga kecukupan P larutan tanah pada tanah yang memiliki kapasitas retensi yang
besar
Persamaan jerapan digunakan untuk menggambarkan kapasitas jerapan tanah:
(1). persamaan Freundlich. Q=a.c^b . Jumlah P terjerap proporsional dengan kadar P dalam
larutan tanah. a,b adalah konstanta empirik dari setiap jenis tanah. Persamaan ini bagus
untuk kadar P rendah dalam larutan, tetapi tidak menunjukkan kapasitas jerapan maksimum.
(2). persamaan Langmuir. Q=abc/(1+ac) . Untuk menduga jika seluruh tapak jerapan sudah
terisi, tidak akan terjadi lagi jerapan. b = jerapan maksimum, peningkatan P dalam larutan
tidak akan meningkatkan jerapan
Eksistensi suatu jerapan P maksimum memiliki implikasi terhadap gerapan P terlarut. Tanah
dapat menyemat banyak P dan mempertahankan P terlarut sedikit, tetapi kapasitas retensi
tersebut dapat terlampaui misalnya dengan pemberian sinambung dengan rabuk yang
memiliki kadar sangat tinggi (overload).

k. Presipitasi
Pada tanah masam: dirajai kation terlarut Al dan Fe, menyebabkan presipitasi mineral Al-
fosfat dan Fe- fosfat. Pada tanah netral dan kapuran: dirajai kation terlarut Ca,
menyebabkan presipitasi mineral Ca-fosfat. Keadaan pH larutan dan kelarutan Al, Fe dan
Ca fosfat menentukan kadar P dalam larutan tanah, perhatikan stabilitas mineral.
Ketersediaan P maksimum pada pH 6 7, yaitu diantara zona Al dan Fe fosfat dengan Ca
fosfat yang tidak terlarut. Reaksi presipitasi umumnya terjadi sangat lambat.
Pada tanah masam: FePO 2H O + H O <> H PO + H + Fe(OH) , jika kemasaman
4
.
2 2 2 4
- +
3

meningkat (H ), keseimbangan bergerak ke kiri, Fe-fosfat mengendap dan P larutan


+

menurun, jika kemasaman menurun, keseimbangan bergerak ke kanan, Fe-fosfat melarut


dan P larutan meningkat, pada saat akar menyerap H PO , keseimbangan bergerak ke kanan,
2 4
-

Fe-fosfat melarut untuk mengisi P dalam larutan tanah. Fe-fosfat padatan akan
mempertahankan H PO tetap pada aras keseimbangan, hal ini tergantung pH tanah.
2 4

Pada tanah netral dan kapuran: CaHPO 2H O + H <> Ca + H PO + 2H O, jika


4
.
2
+ 2+
2 4
-
2

kemasaman menurun, keseimbangan bergerak ke kiri, Ca-fosfat mengendap dan P larutan


menurun, jika kemasaman meningkat keseimbangan bergerak ke kanan, Ca-fosfat melarut
dan P larutan meningkat, pada saat akar menyerap H PO , keseimbangan bergerak ke kiri,
2 4
-

Ca-fosfat melarut, mengisi P dalam larutan tanah. Ca-fosfat padatan menjaga H PO pada 2 4

aras keseimbangan, hal ini tergantung pH tanah.

l. Ketersediaan dan penyematan P dari pupuk


Faktor kuantitas dan intensitas BC=Q/I, kapasitas penyanggaan dan penyematan saling
berkaitan. P dalam pupuk: sifatnya sangat larut dalam air (very soluble), meningkatkan
kadar P larutan. Faktor intensitas: kadar hara dalam larutan tanah, adalah P yang segera
tersedia. inilah yang mengalami asimilasi oleh organisme, penjerapan oleh pemukaan dan
rekasi presipitasi. Penyematan P mengurangi intensitas (P dalam larutan), tetapi juga
menjadi cadangan untuk mengisi kembali P dalam larutan, yakni sebagai penyangga.
Kapasitas penyanggaan (buffering capacity) adalah kemampuan tanah untuk
mempertahankan kadar hara dalam larutan tanah (ability of soil to maintain nutrient
concentrations in the soil solution) atau kapasitas fasa padatan tanah untuk mengisi hara
dalam larutan tanah yang diserap oleh tanaman (capacity of solid soil phases to replenish
solution nutrients taken up by plant roots). Faktor kuantitas: meliputi P organik, P terjerap
dan P mineral, merupakan fraksi labil dan fraksi tidak labil.
P labil : secara cepat dapat mengisi P dalam larutan, merupakan P terjerap yang
mudah terurai, termasuk P organik yaitu dari fraksi bahan organik yang cepat
terombak
P tidak labil: secara perlahan akan mengisi P larutan atau P labil, meliputi P yang
terjerap kuat, P organik dan P mineral.

m. Manajemen P pupuk
Tujuan untuk mengurangi penyematan P. Pada tanah yang memiliki kapasitas jerapan
tinggi, frekuensi pemberian harus tinggi dengan dosis yang rendah. Pengaruh penempatan
pupuk:
disebar (surface applications): mobilitas P dalam tanah terbatas, P akan bergerak ke
akar dengan sangat lambat.
disebar dan dibenamkan (broadcast and incorporate): P diberikan pada zone
perakaran, P terbuka penuh terhadap permukaan tanah, potensi penyematan P
maksimal.
larikan (band placement): mengurangi kontak tanah dengan pupuk, penyematan
lebih sedikit dibanding jika disebar dan dibenamkan, akar akan menembus zona P.
cara aplikasi terbaik: tergantung hasil uji tanah dan jenis tanah, larikan sangat
penting pada tanah yang memiliki P rendah dengan kapasitas penyematan yang
tinggi, pada tanah yang memilki P tinggi, atau tanah dengan kapasitas penyematan
rendah aplikasi dengan cara disebarkan dan dibenamkan setiap 3-4 tahun cukup
efektif.

3.6. Kalium
a. Bentuk dan fungsi K dalam tanaman
Unsur K dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah yang besar, yakni terbesar kedua setelah
hara N. Pada tanah yang subur kadar K dalam jaringan hampir sama dengan N. K tidak
menjadi komponen struktur dalam senyawa organik, tetapi bentuknya semata ionik,
K berada dalam larutan atau terikat oleh muatan negatif dari permukaan jaringan misalnya:
+

R-COO K . Fungsi utama K adalah mengaktifkan ensim-ensim dan menjaga air sel.
- +

Ensim yang diaktifkan antara lain: sintesis pati, pembuatan ATP, fotosintesis, reduksi nitrat,
translokasi gula ke biji, buah, umbi atau akar. Pengaturan air sel: K mengatur potensial air
+

sel dan osmosis, Na dapat menggantikan fungsi K pada sebagian spesies. Turgor sel:
+ +

ketegaran tanaman, pembukaan dan penutupan stomata. Pengambilan air oleh akar: tarikan
osmotik. K dan ketahanan terhadap cekaman: ketahanan terhadap kekeringan: mengatur
transpirasi dan penyerapan air oleh akar, musim dingin atau beku, ketahanan terhadap
serangan penyakit jamur, ketahanan terhadap serangan serangga, mengurangi kerebahan :
batang lebih kuat.

b. Mobilitas K
Unsur K sangat lincah dalam tubuh tanaman, mudah dipindahkan dari daun tua ke bagian
titik tumbuh. Gejala kedefisensian: klorosis/nekrosis ujung dan tepi daun, dimulai dari daun
tua atau bagian bawah tanaman (jika disebabkan kegaraman, maka gejala tepi terbakar
dimulai pada daun muda), pada legum: muncul becak putih atau nekrosis pada tepi daun,
sering jumbuh dengan bekas gigitan serangga, tanaman rebah, tidak tahan kekeringan,
rentan terhadap serangan penyakit dan serangga.
Jika K berlebihan tidak secara langsung meracuni tanaman. Kadar K dalam tanah yang
tinggi dapat menghambat penyerapan kation yang lain (antagonis) dapat mengakibatkan
kedefisensian Mg dan Ca. K dapat mengatasi gangguan karena kelebihan N yang
merangsang pertumbuhan vegetatif, tanaman menjadi sukulen (basah), mudah rebah dan
rentan terhadap serangan penyakit/serangga, sedangkan K memiliki pengaruh yang
sebaliknya.

c. Sumber K
1. Bahan organik: sebagian besar K mudah terlindi dari seresah tanaman, pelepasan
tersebut tidak berkaitan dengan tingkat perombakan sebagaimana N atau P, hal ini
disebabkan K tidak menjadi komponen dalam struktur senyawa organik.
2. Rabuk, kompos dan biosolid: kebanyakan K dalam bentuk terlarut, sehingga segera
tersedia bagi tanaman
3. K tertukar: sebagai K dalam kompleks pertukaran, pertukaran merupakan reaksi
+

dalam tanah yang paling penting bagi K


4. K tidak tertukar : K pada posisi antar kisi dalam mineral liat 2:1
+
5. Pelarutan mineral K: kebanyakan tanah memiliki kadar K total yang tinggi, K yang
dimiliki tersebut lebih banyak dibanding hara yang lain, sedangkan untuk tanah pasir
secara alami kandungan K memang rendah, sumber K adalah mineral feldspar dan
mika, yang akan tersedia dengan lambat, ini menjadi sumber K dalam jangka
panjang, K tersedia merupakan sebagian kecil saja dari K total
6. Pupuk K

d. Bentuk K yang diserap tanaman


Unsur K diserap dalam bentuk kation (K ). Konsumsi berlebihan: jika K terlarut sangat
+ +

tinggi, tanaman akan menyerap lebih banyak K dibanding yang diperlukan, ini
menyebabkan kelebihan (banyak sekali) K yang terangkut oleh panen, sehingga dapat
menyebabkan ketimpangan hara bagi ternak, yakni kekurangan Ca, Mg, Na.

e. Gerakan K menuju akar


Kadar K dalam larutan tanah umumnya 1-10 ppm, sedangkan rerata untuk tanah pertanian
adalah 4 ppm. K bergerak karena difusi dan aliran masa. K bergerak menuju akar terutama
+

oleh disfusi, pada kebanyakan tanah besarnya mencakup 90%. Jangkauan gerakan K sangat
terbatas, selama satu musim tanam hanya 1-4 mm. Gerakan K karena aliran masa sangat
penting pada tanah yang memiliki K tinggi, demikian juga K yang berasal dari pupuk K
yang diberikan, atau pada tanah dengan KPK yang rendah.

f. Alih rupa K dalam tanah


1. Pertukaran kation: jerapan dan pelepasan dari permukaan liat atau bahan organik
tanah.
2. Penyematan: K berada di antara kisi liat, yaitu pada mineral liat sekunder,
pelepasan K ini sangat lambat karena sukar ditukar kation lain
3. Pelapukan mineral primer: feldspar, mika

g. Ketersediaan K
1. Segera tersedia: K labil, K dalam larutan tanah atau komplek pertukaran, meliputi 1-
2% dari total K dalam tanah.
2. Tersedia lambat : K tidak tertukar, K tersemat, meliputi 1-10% K total dalam tanah.
3. Tidak tersedia: K dalam struktur mineral primer, dengan lambat akan mengisi
pangkalan K tersedia, meliputi 90-98% total K dalam tanah.
h. Pertukaran kation
Reaksi pertukaran kation dirajai oleh kelakuan K dalam tanah. Terjadi keseimbangan yang
cepat antara K tertukar dengan K larutan tanah, K tertukar menjadi penyangga yang akan
mengisi K dalam larutan, perlu diingat kembali konsep faktor kuantitas dan intensitas (BC
= Q/ I ). K dalam larutan tanah dan K tertukar dipengaruhi oleh jenis dan jumlah kation
yang lain serta watak tapak pertukaran tanah. K dipegang lebih lemah dibandingkan kation
+

polivalen lainnya dengan deret kekuatan ikatan : Al > Ca > Mg > K = NH > Na ,
3+ 2+ 2+ +
4
+ +

(ingat Lyotropic series) . Kejenuhan basa dan pH tanah: jerapan K lebih tinggi jika
kejenuhan basa lebih tinggi, K segera menggantikan Ca dan Mg lebih cepat dibandingkan
+ 2+ 2+

Al . Pengapuran meningkatkan jerapan K , pengapuran meningkatkan kejenuhan basa


3+ +

(Ca dan Mg ), peningkatan jerapan K tersebut sejalan dengan adanya peningkatan KPK
2+ 2+ +

yang disebabkan bertambahkanya muatan karena kenaikan pH (ingat variable charge).


Tipe tapak pertukaran K (1).posisi p (planar): permukaan luar dari mineral
+ :
liat,
nonspesifik, (2). posisi e (edge): tepian mineral liat, spesifik untuk K, (3). posisi I (inner):
permukaan dalam mineral liat, sangat spesifik bagi K. K dalam larutan tanah disangga oleh
K pada posisi p .
+

i. K tidak tertukar
K dalam posisi ini tidak segera tersedia, tetapi dalam keseimbangan dengan pangkalan K
labil: K tidak tertukar > lambat > K tertukar > cepat > K larutan tanah.
Penyematan dan pelepasan K: mineral primer mika membentuk mineral sekunder: liat 2:1,
yaitu Illit dan vermikulit. Fixed K: K terikat pada posisi antar kisi, merekatkan kedua
+

kisi, menghilangkan sifat kembang kerut liat tersebut. proses dapat balik dengan lambat :
pelepasan K: Mika > illit > vermikulit, penyematan K: K pupuk bergerak menuju tapak
antar kisi pada liat 2:1, Vermikulit illit. Penyematan Ammonium (NH ) dapat juga terjadi 4
+

untuk mengisi posisi antar kisi tersbut


Faktor yang mempengaruhi penyematan dan pelepasan K: (1). jumlah dan jenis liat, (2).
kehadiran NH dan (3). daur lengas tanah: basah/kering, beku/cair, pengaruhnya bervariasi
4
+

tergantung kadar K tertukar dan jenis liat

j. Pelapukan mineral K
Unsur K terlepas dari pelapukan mika: Mika memiliki kisi silikat 2:1 (pada mineral primer),
akan membentuk mineral liat sekunder 2:1. K-feldspar: pelapukan lebih lambat dibanding
mika, pelepasan K akan terjadi setelah adanya pelarutan mika, pada tanah dengan tingkat
pelapukan sedang (moderately weathered soils) maka kandungan K akan tertinggi
sedangkan pada tanah yang sudah mengalami pelapukan lanjut (highly weathered soils)
kadar K akan rendah.

k. Alih tempat K
Kehilangan K dari tanah setiap tahunnya, lebih besar dibanding N atau P. Erosi:
kehilangannya besar pada tanah yang kaya K. Pelindian (leaching): K lebih mudah terlindi
dibanding P, sedikit pelindian jika KPK tanah tinggi. pelindian dominan pada tanah dengan
KPK rendah, yaitu tanah pasiran masam yang memiliki KPK berasal dari muatan
terubahkan dari bahan organik, atau wilayah tersebut memiliki curah hujan yang tinggi, atau
menggunakan irigasi yang baik

l. K tersedia bagi tanaman


Faktor kuantitas dan intensitas, BC = Q/ I . Faktor intensitas (I): kadar hara larutan tanah,
yaitu hara yang segera tersedia bagi tanaman. Faktor kuantitas (Q): K tertukar, K ini berada
dalam keseimbangan dengan K yang berada dalam larutan, artinya jika K dalam larutan
diserap oleh akar, maka akan segar diisi kembali. BC sebanding dengan KPK: uji tanah
mengukur K tertukar, sejumlah K yang tidak tertukar (nonexchangeable atau fixed) dapat
juga dilepaskan menjadi tersedia selama musim tanam
K pupuk: sangat larut dalam air, meningkatkan kadar K dalam larutan tanah. Tambakan K
tersebut segera akan mengisi tapak pertukaran atau mengalami penyematan. Pada tanah
dengan BC yang tinggi padatan tanah akan mengambil K yang berada dalam larutan tanah,
menyebabkan kadar (intensitas) K dalam larutan mungkin lebih rendah dibandingkan tanah
yang memiliki KPK yang lebih rendah. Meskipun demikian kemampuannya untuk menjaga
stabilitas kadar K dalam larutan jelas lebih lama.
Penyerapan K oleh tanaman dipengaruhi adanya kation lain dalam tanah. Nisbah aktivitas
larutan (solution activity ratios) dapat digunakan untuk menaksir ketersediaan K: Aktivitas
K / (aktivitas Ca + aktivitas Mg ) , perlu mempertimbangkan Al di tanah masam dan
+ 2+ 2+ 3+

Na di tanah garaman
+

m. Manajemen K pupuk
Aplikasi pupuk K: berikan pupuk dalam jumlah yang sedikit tetapi lebih sering (use smaller
but more frequent) pada
tanah dengan daya penyematan yang tinggi atau untuk membatasi konsumsi yang
berlebihan dan hilang karena pelindian.
Penempatan pupuk: (1). aplikasi permukaan K memiliki keterbatasan mobilitas dalam
tanah, K yang diberikan di permukaan tanah akan bergerak menuju akar dengan sangat
lambat, (2). disebarkan dan dibenamkan, menempatkan K pada zona perakaran, penyematan
K akan maksimum pada tanah dengan tektsur halus dan memiliki daya semat yang tinggi,
(3). lingkaran, kontak antara tanah dengan pupuk terbatas, dapat mengurangi penyematan
K, sangat bermanfaat pada tanah yang memiliki kadar K rendah tetapi punya daya semat
yang tinggi.
K yang berada dalam mineral jika mengalami pelapukan akan menyediakan sejumlah K
yang cukup berarti pada beberapa tanah, perlu diperhatikan dalam pemupukan. Pengapuran
dapat meningkatkan kejenuhan basa dan KPK tanah karena sumbangan muatan terubahkan,
dapat meningkatkan K tersedia dan mengurangi pelindian K.

3.6. Kalsium
a. Bentuk dan fungsi Ca dalam tanaman
1. Hara makro sekunder, dibutuhkan dalam jumlah cukup besar, lebih sedikit
dibanding N dan K, serupa jumlahnya dengan P, S, dan Mg.
2. Kebanyakan Ca berada dalam dinding sel dan dinding membran: hara apoplastik,
fungsi utama berada di luar sitoplasma, perannya dalam metabolisme sedikit, menjadi
jembatan divalen yang mengubungkan antar molekul dan bersifat reversible.
3. Komponen struktural membran sel, menjaga stabilitas membran dan integritas sel:
mengatur selektivitas serapan ion, mengatur permeabilitas membran dan mencegah
kebocoran larutan dalam sel.
4. Komponen struktural dinding sel, berupa Ca-pektat di lamela tengah diantara
dinding sel yang saling berdekatan berfungsi menguatkan dinding sel dan ketahanan
terhadap infeksi jamur, atau berada di antara dinding sel dengan membran plasma,
fungsi membran.
5. Diperlukan dalam pemanjangan dan pembelahan sel: membentuk dinding sel dan
membran sel yang baru, ini merupakan fungsi pengaturan sebagaimana fungsi
struktur, dan ikatan yang reversible di dalam membran dan dinding sel
memungkinkan sel untuk tumbuh dan berkembang.

b. Mobilitas Ca
Unsur Ca sangat tidak mobil dalam tanaman, alih tempat terbatas dari daun tua ke bagian
yang sedang tumbuh, dapat menyebabkan kekurangan Ca dalam buah, umbi dan titik
tumbuh akar dan batang, kedefisensian Ca dapat saja terjadi pada tanah yang memiliki
kadar Ca yang tinggi, terutama jika laju transpirasinya rendah. Gejala kedefisensian
pertumbuhan titik tumbuh batang dan akar terhambat, daun pada jagung lengket (sticky),
daun yang baru terbentuk tergulung, gangguan fisiologis pada organ penyimpanan:
blossom end rot pada tomat dan lombok, bitter pit pada apel atau terbakar pada tepi
daun serta, cupping pada daun muda, ujung daun terbakar pada sawi. Kelebihan Ca tidak
secara langsung meracuni tanaman atau organisme lain, tanah yang memiliki Ca tinggi
dapat menghambat serapan hara yag lain, dapat juga menyebabkan kedefisensian K atau Mg

c. Sumber Ca
1. Bahan organik: sebagian besar Ca dapat dengan cepat terlindi dari seresah tanaman,
sebagian yang lain mengalami mineralisasi pada awal tahapan perombakan bahan
tersebut.
2. Rabuk, kompos dan biosolid: sebagian besar Ca adalah larut dalam air, bentuk yang
segera tersedia, dapat dengan mudah hilang sebelum bahan tersebut diberikan di
lapangan.
3. Ca tertukar: Ca merupakan kation yang dapat dipertukarkan, pertukaran kation
2+

merupakan reaksi paling penting bagi unsur Ca dalam tanah.


4. Pelarutan mineral Ca: kehadiran mineral Ca di dalam tanah sangat bervariasi. Pada
tanah yang kasar kadar Ca lebih rendah dibanding tanah yang halus teksturnya, kadar
Ca juga rendah pada tanah yang sudah terlapuk lanjut, kadarnya cukup banyak pada
tanah humida, atau wilayah beriklim temperate, tanah permukaan mungkin memiliki
kadar Ca yang lebih rendah karena sifatnya asam. Kadar Ca rendah pada tanah
kapuran, terbentuk senyawa Ca karbonat, terbentuk Gipsum (CaSO ) pada tanah
4

kering.
5. Kapur dan pupuk: kebanyakan Ca yang diberikan ke dalam tanah adalah senyawa
untuk menetralisir kemasaman tanah, terutama CaCO dan CaMgCO . Gipsum
3 3

digunakan untuk memasok Ca tanpa mempengaruhi pH tanah, Ca juga terkandung


dalam pupuk superfosfat
d. Serapan Ca oleh tanaman
Unsur Ca diserap dalam bentuk kation divalen Ca . Penyerapan Ca terbatas pada ujung
2+ 2+

akar: wilayah perakaran muda yang memiliki dinding sel endodermis belum mengalami
suberisasi. Ca memasuki pembuluh xilem melalui jalur apoplastik. Pengangkutan
menembus membran terbatas, diperlukan pertumbuhan akar terus menerus agar
pengambulan Ca mencukupi kebutuhan. Pengangkutan melalui xilem, Ca terbawa oleh
aliran air transpirasi. mobilitas lewat floem terbatas

e. Gerakan Ca menuju akar


Kation Ca dipasok oleh intersepsi akar dan aliran masa serta difusi, Ca di kebanyakan
2+ 2+

tanah bersifat sangat mobil , kadar dalam larutan tanah 30-300 ppm, kecukupan untuk
tanaman secara umum > 15 ppm, Ca akan mengumpul di sekitar akar, pada tanah yang
memiliki kadar Ca yang tinggi.

f. Transformasi Ca dalam tanah


1. Pertukaran kation: Adsorsi desorpsi dari liat dan bahan organik
2. Presipitasi pelarutan kapur dan mineral sekunder: karbonat dan Ca-fosfat
3. Pelapukan mineral primer

g. Pertukaran kation (cation exchange)


Reaksi pertukaran kation merajai kelakuan Ca dalam tanah. Terjadi keseimbangan yang
cepat antara Ca tertukar dengan Ca larutan. Ca tertukar menyangga Ca dalam larutan. Ikatan
Ca lebih kuat dibanding kation lain dengan urutan: Al > Ca > Mg > K = NH > Na .
2+ 3+ 2+ 2+ + 4+ +

h. Ketersediaan Ca bagi tanaman


Kejenuhan basa dan pH tanah: kejenuhan Ca yang tinggi diperlukan agar hara ini tersedia
2+

bagi tanaman. Angkanya beragam sesuai tipe tapak pertukaran : kejenuhan pada liat 2:1
besarnya >70% , sedangkan pada bagan organik tanah dan liat 1:1 besarnya 40 to 50%.
Pada ph yang rendah Ca kurang tersedia: disebabkan kejenuhan Ca rendah, adanya 2+

Al dalam larutan menghambat penyerapan Ca . Kation yang lain misalnya Mg , K ,


3+ 2+ 2+ +

NH jika kadarnya tinggi akan menghambat penyerapan Ca, sebaliknya anion Nitrat akan
4
+

meningkatkan serapan Ca.


i. Pengangkutan Ca
Kehilangan Ca dapat disebabkan erosi: kehilangan akan lebih tinggi pada tanah yang
memiliki KPK lebih tinggi , atau pelindian: seringkali Ca merajai sebagai kation di dalam
air pelindian dan bergerak menuju saluran drainase, menjadi faktor penting munculnya
pemasaman tanah.

j. Pengelolaan Ca
Umumnya dilakuakan pengapuran, jika pH suatu tanah pada level baik umumnya Ca
mencukup kebutuhan tanaman. Kedefisensian: tanah pasiran dengan KPK rendah yang
terlindi hebat, tanaman yang memerlukan pH rendah untuk tumbuhnya, misalnya kentang
untuk mengatasi scab, tanaman yang memerlukan Ca tinggi . Gangguan fisilogis seringkali
bukan karena masalah kesuburan tanah, tetapi: masalah distribusi atau alihtempat, atau
pasokan untuk jaringan tidak mencukupi karena laju transpirasi rendah, untuk : buah atau
daun muda, sehingga menimbulkan gejala blossom end rotatau tipburn. Managemen air:
dipacu (aggravated) oleh kondisi selang-seling basah dan kering, diperlukan pengambilan
Ca secara sinambung, manajemen irigasi yang lebih baik. Penyemprotan Ca dalam beberapa
hal sangat membantu, harus mencapai jaringan yang terkena gejala, penyemprotan dapat
meningkatkan masa penyimpanan buah yang dipetik.

3.7. Magnesium

a. Bentuk dan fungsi Mg dalam tanaman


Merupakan hara makro sekunder, diperlukan tanaman dalam jumlah relatif banyak, lebih
sedikit dibanding N dan K, serupa jumlahnya dengan P, S dan Ca; umumnya Mg <Ca.
Esensial untuk fotosintesis: menjadi atom pusat dari molekul klorofil, jumlahnya 15- 20%
total Mg dalam tanaman. Komponen struktural pada ribosom: sintesis protein. Aktivasi
ensim: transfer fosfat dan gugus karboksil, yaitu reaksi ATP dan transfer energi, fiksasi
CO oleh RuBP carboxylase.
2

b. Mobilitas Mg
Mg bersifat mobil dalam tanaman: dialih tempatkan dari daun tua ke titik tumbuh. Gejala
kedefisensian yang muncul: dimulai pada daun tua dibagian bawah tanaman; kenampakan
utama berupa klorosis kekuningan diantara tulang daun (interveinal chlorosis), sedangkan
tulang daun tetap hijau, hal ini mirip dengan gejala kedefisensian Fe; pada beberapa
tanaman daun di bagian bawah membentuk a reddish-purple cast; jika lanjut daun
mengalami nekrosis. Kelebihan Mg tidak secara langsung meracuni tanaman atau
organisme, kelebihan Mg dapat disimpan di vakuola, kadar Mg yang tinggi dalam tanah
menghambat penyerapan kation yang lainnya, misalnya menmgakibatkan kedefisensian K
atau Ca.

c. Sumber Mg
1. Bahan organik: kebanyakan Mg segera terlindi dari seresah, sisanya mengalami
mineralisasi pada tahap awal perombakan residu tersebut.
2. Rabuk, kompos dan biosolid: kebanyakan Mg terlarut, segara tersedia. oleh karena
itu denganmudah hilang sebelum diberikan ke lahan
3. Mg tertukar: Mg termasuk kation dapat ditkar, pertukaran kation termasuk reaski
2+

terpenting bagi Mg dalam tanah


4. Pelarutan mineral Mg: yaitu mineral primer atau mineral liat sekunder, tanah kasar
lebih sedikit kandungan Mg dibanding tanah halus, kadar Mg lebih tinggi pada lahan
kering semi arid atau arid.
5. Kapur dan Pupuk : Mg berada dalam senyawa yang dibgunakan untukmentralkan
pH tanah, terutaam dalam bentuk batu kapur dolomit (CaMgCO ), bentuk yang lain
3

misalnya garam Epsom (MgSO ) dan K SO MgSO (Sul-Po-Mag)


4 2 4
.
4

d. Bentuk Mg yang diserap tanaman


Mg diserap tanaman dalambentuk kation divalen Mg 2+

Gerakan Mg menuju akar:


Mg dipasok oleh mass flow dan root interception dan difusi. Root interception Mg jauh
2+

lebih rendah dibanding pada Ca. Kadar dalam larutan tanah 5-50 ppm, pada tanah iklim
sedang (temperate).

e. Transformasi Mg dalam tanah


1. Pertukaran kation: Adsorpsi desorpsi dari liat dan bahan organik
2. Presipitasi dissolusi kapur dan mineral sekunder: gamping dolomiti; mineral liat
kaya Mg ( liat 2:1 , vermiculite)
3. Pelapukan mineral tanah primer: Biotite, hornblende, olivene
f. Pertukaran kation
Reaksi pertukaran kation paling menentukan kelakuan Mg dalam tanah. Keseimbangan
cepat antara tertukar dengan terlarut: Mg tertukar menyangga Mg dalam larutan, ingat
faktor kuantitas dan intensitas. Mg diikat lebih kuat dibanding kationmonovalen: Al >
2+ 3+

Ca > Mg > K = NH > Na


2+ 2+ + 4+ +

g. Ketersediaan Mg bagi tanaman


Kejenuhan Mg dan pH: diperlukan kejenuhan Mg >10% agar mencukupi tanaman,
2+

kejenuhan Mg diperlukan lebih tinggi pada tanah liat 2:1 dibanding, tanah dengan KPK
2+

yang bersumber dari bahan organik atau liat 1:1, Mg kurang tersedia pada pH rendah:
karena kejenuhan Mg lebih rendah, kehadiran Al dalam larutan menghambat penyerapan
2+ 3+

Mg . Kation lain: Jika kadar Ca , K , NH tinggi akan mengganggu penyerapan Mg , Nitrat


2+ 2+ +
4
+ 2+

dibandingkan Ammonium, akan meningkatkan serapan Mg 2+

h. Pengangkutan Mg keluar lahan


1. Erosi: jika KPK lebih tinggi kehilangan akan lebih tinggi
2. Pelindian: Mg merupakan kation dalam air pelindian menuju saluran drainase,
menyumbang pemasaman tanah

i. Manajemen Pupuk Mg
Pengapuran: Mg dengan mudah dapat dikelola dengan pengapuran pada tanah berpH rendah
(dengan kapur dolomit), pengapuran dapat menyebabkan kedefisensian Mg jika kadar Ca
yang tinggi (kalsit) digunakan pada tanah dengan kadar Mg yang rendah]. Kedefisensian:
tanah masam, pasiran dengan KPK rendah dengan pelindian yang hebat, pemupukan K
(KCl and K SO ) dapat meningkatakan kehilangan tersebut, tanah dengan kadar K yang
2 4

tinggi menyebabkan kedefisensian Mg karena menghambat penyerapan Mg. Grass tetany:


kedefisensian Mg pada ternak dapat terjadi meskipun kadar dalam tanaman belum defisensi,
lebih hemat memberi garam Epsom pada pakan ternak dibanding pemupukan lewat tanah

3.8. Sulfur
a. Bentuk dan fungsi S dalam tubuh tanaman
Unsur S diperlukan oleh tanaman dalam jumlah relatif banyak, lebhi sedikit dibanding N
atau K, serupa dengan P, Ca dan Mg.; sebagai penyusun asam amino essensial: sistin,
sistein dan metionin, 90% S dalam tanaman berupa protein, ikatan disulfida, susunan
protein dan aktivitas ensim, pembentukan klorofil; Ferredoksin: protein Fe-S, reaksi redoks:
fotosintesis, penyematan nitrogen, reduksi nitrat dan sulfat; koensim: koensim A dan
vitamin, biotin, thiamine, B1; senyawa volatil: tanaman keluarga Onion dan crucifer
(cabbage).

b. Mobilitas S
Unsur S relatif tidak mobil dalam tanaman: tidak segera dapat dialihtempatkan dari daun
yang tuda ke bagian titik tumbuh, gejala kedefisensian muncul pertama pada bbagian atas
yaitu daun muda. Gejala kedefisensian: kerdil (stunted), pertumbuhan spiral (spindly
growth), seringkali seluruh tanaman menjadi klorosis seragam (uniformly chlorotic),
tanaman Crucifer membentuk warna kemarahan dan ungu, kadar protein rendah,
pengumpulan N bukan protein. Jika kadar S berlebihan tidak secara langsung
mempengaruhi tanaman tersebut atau organisme yang memakannya, tetapi dapat
menyebabkan masalah kegaraman karena S merupakan anion yang dominan pada tanah
salin, pelindian yang hebat dari SO meningkatkan kehilangan kation.
4
=

c. Sumber S
1. Perombakan bahan orgaik tanah, karena 90% S dalam tanah berada dalam bentuk
organik tersebut
2. Rabuk, kompos dan biosolid.
3. Sulfat yang terjerap pada tapak pertukaran anion dari oksida Al dan Fe.
4. Mineral S: pada musim kering sulfida dalam bentuk anaerob.
5. Pengendapan atmosfer dari inudstri, hujan asam.
6. Pupuk S.

d. Bentuk S yang diserap tanaman


1. Penyerapan langsung SO oleh daun: jumlahnya kecil, jika kadar S dalam udara
2

tinggi akan meracuni tanaman.


2. Penyerapan akar etrutama dalam bentuk: sulfat (SO ).
4
=

e. Gerakan S menuju akar


Di dalam tanah sulfat bergerak karena aliran masa dan difusi. Terutama beregrak karena
aliran masa (mass flow), difusi memiliki arti penting pada tanah dengan kadar S yang
rendah. Kadar dalam larutan tanah 5-20 ppm. Aras yang mencukupi kebutuhan tanaman 3-5
ppm dalam tanah

f. Transformasi S dalam tanah


Proses alih rupa antara lain: Mineralisasi immobilisasi, Adsorpsi desorpsi, Presipitasi
dissolusi, Oksidasi reduksi, Volatilisasi.

g. Mineralization imobilisasi
1. Daur S organik serupa dengan N organik.
2. Mineralisasi : melepas S menjadi anorganik, SO tersedia bagi tanaman
4

3. Imobilisasi (assimilation): kebalikan dari mineralisasi, pengambilan S anorganik


dari tanah oleh mikrobia untuk membentuk tubuhnya
4. Keseimbangan antara mineralisasi dan imobilisasi ditentukan oleh nisbah C:S dan
N:S, nisbah C:N:S bahan organik sekitar 120:10:1,4.
5. Dalam bahan organik terkandung 1% S. Dengan susunan bentuk ester dan eter sulfat
sebesar 30-60% melalui ikatan C-O-S, bentuk asam amino sekitar 10-20%, residual S
sebesar 30-40%.
6. Ensim sulfatase : mirip dengan ensim fosfatase, melepas sulfat dari ester sulfat.
7. Pengaruh nisbah C:S : (1) C:S >400 S imobilisasi > S mineralisasi, (2) C:S = 200-
400 S imobilisasi = S mineralisasi, (3) C:S <200 S mineralisasi > S imobilisasi.
h. Adsorpsi desorpsi
1. Senyawa SO yangterjerap merupakan bentuk S dari pangkalan labil bersifat segara
4
2-

tersedia, mengisi kekosongan pada larutan tanah . Uji S tanah umumnya misalnya
ekstraksi dengan Ca-fosfat.mengukur S yang terlarut ditambah S yang terjerap.
Reaksi ini penting pada tanah yang telah terlapuk dengan lanjut. Kekuatan adsorpsi:
H PO > SO > NO .
2 4

4
=
3

2. Faktor yang mempengaruhi kapasitas jerapan: koloid tanah, hidroksida Fe-Al,


kandungan liat tipe 1:1, kemasaman tanah, besarnya muatan tergantung pH,
kapasitas pertukaran anion.
3. Komposisi larutan tanah juga mempengaruhi: kadar SO , keberadaan anion dan
4

kation lainnya, pendesakan oleh fosfat.

i. Presipitasi dissolusi
1. Gypsum (CaSO ) di daerah kering, merupakan bentuk pengendapan bersama antara
4

S dengan
2. Ca-karbonat pada tanah kapuran
3. Sulfida pada kondisi anerob di tanah tergenang: H S mengendap sebagai FeS atau
2

ikatan logam-S yang lainnya, untuk melarutkan diperluakn proses oksidasi.

j. Okidasi reduksi
1.
Bentuk S : beragam dari bilangan oksidasi -2 sampai + 6, yaitu silfida, polisulfida, S
elemen, tiosulfat, sulfit dan sulfat.
2.
Bentuk oksidasi terbanyak sebagai sulfat, sulfat yang diserap tanaman akan
direduksi menjadi S organik.
3.
Proses Oksidasi dan reduksi S dibantu oleh mikrobia
4.
Senyawa S anorganik tereduksi terdapat pada tanah tergenang kondisi anaerob :
(wetlands, swamps, tidal marshes), pada kondisi aerob segera mengalami oksidasi.
5.
Oksidasi S: mikrobia ototrofik dan heterotrofik : Thiobacillus sp. meneybabkan
pemasaman. H S + 2O H SO 2H + SO dijumpai pada daerah tambang (acid
2 2 2 4
+
4
=

mine drainage) terjadi oksidasi senyawa sulfida speerti pyrite (FeS). Dapat juga
digunakan di lahan pertanian untuk mengoksidasi S elemen : 2S + 3O + 2H O 2 2

2H SO 4H + 2SO
2 4
+
4
=

k. Pengangkutan S
1. Erosi: hilangan bersama bahan organik
2. Pelindian: sulfat sangat mobil dalam tanah, sulfat merupakan anion yang dominan
pada air lindian, pelindinan meningkat jika kandungan kation monovalen (K , Na )+ +

besar
3. Hilang karena volatilisasi

l. Volatilisasi
Kehilangan karena menguap: hasil transformasi mikrobia dalam tanah, misalnya dimethyl
sulfide (CH SCH ), atau karbon disulfide, methyl mercaptan, dan dimethyl disulfida.
3 3

Pengaruhnya terhadap kesuburan tanah rendah. Dapat juga menguap melalui daun, hal ini
mempengaruhi mutu pakan.

m. Manajemen pupuk S
Pada tanah pasiran sering kedefisensian S, karena rendahnya bahan organik tanah dan
pelindian yang hebat terhadap SO , kebutuhan tanaman beragam: diperlukan oleh alfalfa,
4

clovers, canola, kubis dan sayuran serupa, hmt Brassicas, bawang merah danbawang putih,
hmt rerumputan atau legum, rumput menyerap S lebih cepat dibanding legum. Sumber
sulfur: S unsur (tidak segera tersedia, harus dioksidasi lebih dahulu menjadi SO , oksidasi
4

berlangsung dalam reaksi masam). Sumber lain ikut dalam superfosfat. SSP (14% S), TSP
(1,5% S).

IV. Hara Mikro


4.1. Pengertian hara mikro
Hara mikro dibutuhkan oleh semua tanaman, berupa kation logam (Cu, Fe, Mn, Zn)
dan anion (B, Cl, Mo). Meskipun kebutuhan tanaman sedikit tetapi kedefisensian unsur ini
dapat menghambat pertumbuhan atau mengurangi hasil sebagaimana hara makro (ingat
konsep faktor pembatas). Keracunan unsur mikro lebih sering terjadi karena kisaran antara
aras kecukupan dan keracunan pada tanaman sangatlah sempit. Kadar hara mikro dalam
tanaman umumnya dinyatakan dalam ppm (mg/kg).
Fungsi umum hara mikro adalah: merupakan komponen struktural dari ensim, baik ensim
untuk pengaktifan atau pengaturan, sebagai pembawa elektron pada reaksi oksidasi reduksi,
sebagai komponen dinsing sel atau pengisi larutan yang berkaitan dengan osmosis dan
keseimbangan muatan.
Daur hara mikro
1. Pangkalan hara mikro dan transformasi: sangat bervariasi, tetapi memiliki proses
dan reaksi yang serupa seperti dalam hara makro
2. Bahan organik, mikrobia dan mineralisasi-imobilisasi
3. Adsorsi dan desorpsi pada permukaan
4. Pelapukan mineral primer
5. Presipitasi dan disolusi mineral sekunder
6. Larutan tanah: khelasi dangat penting untuk kelarutan, pengangkutan dan
ketersediaan bagai tanaman.

4.2. Besi
a. Fe dalam tanaman
1. Unsur Fe diserap akar dalam bentuk Fe atau Fe , Fe umumnya direduksi menjadi
2+ 3+ 3+

Fe sebelum penyerapan, bentuk Fe sangat penting untuk rerumputan.


2+ 3+

2. Reaksi redoks: pembentukan klorofil, penyusun sitokrom, ferredoxin,


leghemoglobin, diperlukan untuk fotosintesis, respirasi dan penyematan N
3. Tidak mudah dipindahkan antar jaringan tanaman, kedefisensian muncul pertama
kali pada titik tumbuh yaitu daun yang muda.
4. Gejala kedefisensian pertumbuhan berhenti, klorosis di antara tulang daun yaitu
pada daun muda, jika parah daun berwarna putih.
5. Keracunan terjadi pada tanah dengan drainase sangat buruk, kondisinya reduiksi
dan banyak Fe + terlarutmisalnya pada tanah sawah.
2

b. Fe dalam tanah
1. Mineral Fe sangat melimpah di kerak bumi, juga dalam tanah dalam bentuk mineral
primer, bagian dari liat, oksida dan hidroksida.
2. Larutan Tanah: kelarutan mineral Fe sangat rendah, mineral amorf Fe(OH) 3

mengatur kadar Fe dalam larutan tanah. Pada tanah dengan drainase baik, kondisinya
teroksidasi kadar Fe > Fe . Sebaliknya pada tanah jenuh air Fe mengalami reduksi
3+ 2+ 3+

menjadi Fe .
2+

3. Kelarutan Fe dan pH tanah, reaksi: Fe(OH) (soil) + 3H > Fe + 3H O, kelarutan


3
+ 3+
2

Fe berkurang 1.000 kali jika pH meningkat 1 unit.


3+

4. Kedefisensian Fe sering dijumpai pada tanah dengan pH tinggi

c. Gerakan Fe menuju akar


1. Fe bergerak karena difusi dan aliran masa
2. Kadar dalam larutan tanah sangat rendah yaitu Fe = 10 -10 M.
3+ -6 -24

3. Total Fe dalam larutan terlalu rendah untuk mencukupi kebutuhan tanaman


4. Khelasi diperlukan, meningkatkan bentuk terlarut dan meningkatkan Fe yang
terbawa difusi dan aliran masa.

d. Khelasi
1. Ikatan kompleks antara ion logam dengan senyawa organik: senyawa organik
disintesis oleh akar, hasil perombakan bahan organik tanah atau sisa tanaman, hasil
metabolisme mikrobia, contoh khelat alami : asam sitrat dan asam oksalat, sedang
khelat buatan : DTPA.
2. Khelat (chelate = claw), ikatan ganda, ion logam sebagai pusat sedang senyawa
organik mengelilinginya.
3. Khelat larut air meningktkan ketersediaan hara mikro Fe, Zn, Mn, Cu, mencegah
dari reaksi presipitasi/adsorpsi.
4. Pada tanah gambut khelasi oleh gugus fungsional justri menurunkan ketersediaan
Cu.

e. Penyerapan khelat Fe
Khelat Fe menembus akar tanaman, Fe dilepaskan pada permukaan akar, khelat bebas
3+

kembali ke larutan tanah (bulk solution), khelat tersebut mengikat ion Fe yang lainnya,
3+

khelasi mengambil ion Fe bebas dari dalam larutan tanah,menyebabkan kadar Fe dalam
larutan menurun yang akan diikuti pelepasan Fe yang semula terjerap atau melarutkan Fe
dari mineral.

f. Pengaruh Tanaman
Tanaman memiliki efisiensi penyerapan Fe yang berbeda-beda (faktor genotip). Adaptasi
akar dalam menyerap Fe: Pemasaman risosfer (melepas H ), melepas agen khelasi
+

(phytosiderophores), melepas agen pereduksi (phenolic compounds), meningkatkan laju


serapan Fe (reduksi Fe lebih cepat), pengangkutan Fe dari akar ke daun lebih baik (sel
3+

pemindah, asam sitrat dan asam organik lainnya)

g. Kedefisensian Fe
1. Klorosis karena pengapuran (kedelai, blueberry), tanah kapuran dengan pH tinggi
(drainase dan aerasi buruk, kadar bikarbonat tingi).
2. Kadar bahan organik rendah (tanah kapuran tererosi), di wilayah ini agen khelasi
sangat sedikit.
3. Interaksi hara: kedefisensian muncul karena kelebihan Cu, Mn, Zn, Mo dan P.
Pemasaman karena penyerapan NH -N di risosfer meningkatkan serapan Fe.
4

h. Pupuk Fe
1. Rabuk dan pupuk organik: menambah khelat
2. Sumber anorganik: pemupukan ke tanah kurang efektif karena Fe menjadi tidak
tersedia, aplikasi pada tanaman (pupuk daun atau injeksi) lebih efektif.
3. Khelat Fe: cukup efektif jika diberikan ke tanah, tapi harganya mahal, umumnya
digunakan untuk komoditas yang bernilai tinggi.

4.3. Mangan
a. Mn dalam tanaman
1. Diserap akar dalam bentuk Mn , atau dalam komplek organik.
2+

2. Berfungsi dalam fotosintesis: memecah air dan evolusi oksigen


3. Reaksi redoks (Mn / Mn ), dekarboksilasi, hidrolisis.
2+ 3+

4. Mn dapat mengganti Mg dalam reaksi fosforilasi


2+

5. Tidak mudah dipindahkan antar jaringan, kedefisensian muncul paad titik tumbuh,
daun yang muda.
6. Gejala kedefisensian muncul klorosis antara tulang daun yan muda serupa dengan
kedefisensian Fe, daun kehilangan warna tidak merata (spot).
7. Keracunan Mn dapat terjadi pada tanah yang sangat masam. Becak hitam atau
coklat (endapan MnO ) dengan cincin pucat, terjadi pada daun tua, disebabkan
2

kedefisensian Fe, Mg, Ca.

b. Mn dalam tanah
1. Berupa mineral primer, liat, oksida dan hidroksida
2. Larutan tanah: kelarutan Mn dikontrol oleh pH tanah, kondisi redoks dan adsorpsi
pada permukaan organik; sejumlah Mn dijerap dalam bentuk tertukar pada
2+

permukaan liat; kebanyakan yang berada dalam larutan tanah berbentuk khelat.
3. Kelarutan Mn: ditentukan oleh kelarutan MnO , lebih terlarut pada pH yang rendah
2

dan potensi redoks rendah, MnO + 4H + 2e > Mn + 2H O, kelarutan menurun


2
+
2
+
2

100 kali jika pH naik 1 unit, kenaikan pH meningkatkan kompleksasi pada


permukaan bahan organik padat

c. Gerakan Mn menuju akar


Mn bergerak karena difusi dan aliran massa. Khelasi meningkatkan Mn yang terlarut,
kebanyakan Mn menembus akar dalam bentuk khelat.

d. Kedefisensian Mn
1. Terjadi pada tanah dengan pH tinggi, tanah kapuran atau tanah dengan daya sangga
rendah dikapur berlebihan.
2. Pada tanah dengan kadar bahan organik tinggi.
3. Interaksi hara: disebabkan kadar Cu, Fe, dan Zn tinggi.
4. Pemasaman karena pupuk NH -N meningkatkan ketersediaan Mn.
4

5. 5. Iklim kering menyebabkan kedefisensian, kondisi oksidasi.

e. Keracunan Mn
Terjadi pada tanah yang sangat masam. Hal ini dapat diatasi dengan pengapuran, untuk
mengurangi Mn yang tersedia

f. Pupuk Mn
1. Rabuk dan pupuk organik, juga meningkatkan khelat.
2. Sumber anorganik Mn-sulfat: sumber yang umum, aplikasi tanah atau daun
seimbang efektivitasnya, diberikan dalam larikan lebih efektif dibanding disebar.
3. Mn khelat: untuk pupuk daun, aplikasi di tanah kurang efektif, karena Fe atau Ca
dapat mengganti Mn dalam khelat tersebut.

4.4. Tembaga
a. Cu dalam tanaman
1. Diserap dalam bentuk Cu atau komplek organik.
2+

2. Reaksi redoks: komponen plastosianin, sitokrom oksidase, ensim oksidase;


diperlukan dalam proses fotosintesis, respirasi, lignifikasi, pembentukan serbuksari,
dan penyerbukan.
3. Tidak mudah dipindahkan antar jaringan, kedefisensian muncul pada titik tumbuh,
daun yang muda.
4. Gejala kedefisensian: warna hijau muda, biru muda, kekuningan pada daun muda;
tepi daun menggulung, ujung daun kering; daun layu; pembentukan dan buah biji
buruk.

b. Cu dalam tanah
1. Meskipun kecil terdapat dalam mineral primer dan sekunder.
2. Larutan tanah: kelarutan Cu ditentukan oleh pH larutan dan proses jerapan pada
permukaan mineral dan organik; di dalam larutan terutama berbentuk khelat
3. Kelarutan Cu dan pH: Tanah-Cu (mineral) + 2H > Cu . Cu terlarut berkurang 100
+ 2+

kali jika pH naik 1 unit. Reaksi hidrolisis Cu: pH <7, Cu dominan, jika pH >7,
2+

CuOH dominan, pH meningkat diikuti peningkatan jerapan Cu.


+

4. Jerapan Cu: Cu dijerap pada liat, oksida Al, Fe, Mn dan permukaan organik;
(jerapan Cu ini paling kuat dibanding hara mikro lainnya); jerapan dalam bentuk
dapat ditukar pada permukaan liat; bahan organik mengurangi atau meningkatkan
ketersediaan Cu: jika bahan organik tidak larut berarti mengurangi cu dari larutan,
tetapi khelatyang larut meningkatan ketersediaan Cu; sebagian besar Cu dapat
disekap (occluded) atau diendapkan dalam struktur liat atau mineral oksida

c. Gerakan Cu menuju akar


Cu bergerak karena difusi. Khelasi meningkatkan Cu terlarut, difusi khelat Cu sangat
penting untuk mencukupi kebutuhan tanaman.
d. Kedefisensian Cu
1. Sering dijumpai pada tanah organik: apasitas jerapan tinggi.
2. Dapat terjadi pada tanah pasiran yang sudah terlindi dan memiliki pH tinggi.
3. Interaksi hara: kadar Fe, Zn, dan P memicu kedefisensian Cu.
4. Tanaman peka: biji-bijian, wortel, bawang merah.

e. Pupuk Cu
1. Rabuk dan pupuk organik: menambah khelat, rabuk dari kandang babi dan biosolid
dapat mengandung Cu sangat tinggi
2. Sumber anorganik: khelat Cu diberikan sebagai pupuk daun atau lewat tanah
efektivitasnya sama.
3. Jika diberikan dalam larikan dapat menyebabkan kerusakan akar.

4.5. Seng
a. Zn dalam tanaman
1.
Diserap dalam bentuk Zn 2+

2.
Aktivitas ensim: struktur, fungsi atau kofaktor regulator; metabolisme karbohidrat,
sintesis protein; zat pengatur tumbuh triptofan, IAA (auksin).
3.
Tidak mudah dipindahkan antar jaringan tanaman, kedefisensian muncul pada titik
tumbuh di daun muda, pada beberapa tanaman gejala muncul pada daun tua
4.
Gejala kedefisensian: pertumbuhan kerdil ruas pendek, roset, kekurangan IAA;
warna hijau muda, kuning atau putih pada daun; daun kecil, sempit dan tebal;
pengguguran daun; buah tidak terbentuk.

b. Zn dalam tanah
1. Unsur Zn ditemukan sedikit pada mineral primer dan sekunder
2. Larutan tanah: kelarutan Zn dikendalikan oleh pH larutan dan jerapan oleh mineral
dan organik; yang larut kebanyakan dalam bentuk khelat.
3. Kelarutan Zn dan pH tanah: tanah-Zn + 2H > Zn ; jika pH naik 1 unit
+ 2+

kelarutanberkurang 100 kali; pH meningkat diikuti peningkatan jerapan.


4. Jerapan Zn: Zn dijerap oleh liat, oksida Al-Fe, bahan organik dan karbonat;
kekuatan jerapan dapat ditukar sampai sangat sukar dilepas; kompleks organik dapat
meningkatan atau menurunkan ketersediaan Zn seperti pada Cu.

c. Gerakan Zn menuju akar


Zn bergerak terutama karena difusi, sebagian kecil oleh aliran masa. Khelasi sanngat
penting agar mencukupi kebutuhan tanaman, meningkatkan jumlah Zn terlarut,
meningkatkan Zn yang bergerak karena difusi dan aliran masa.

d. Kedefisensian Zn
1. Tanah kapuran pH tinggi: wilayah tererosi, tanah permukaan hilang
2. Tanah dengan tekstur sangat halus, karena kapasitas jerapan yang tinggi
3. Kondisi dingin dan basah, kedefisensian awal musim semi
4. Interaksi hara: kelebihan Cu, Fe, Mn, dan P memicu kedefisensian Zn; pemasaman
karena pupuk ammonium meingkatakan ketersediaan Zn.
5. Tanaman peka: seperti jagung dan kedelai.

e. Pupuk Zn
1. Rabuk dan sumber organik: menambah khelat
2. Sumber anorganik: Zn-sulfat (efektif untuk di tanah); pupuk daun (tanaman buah,
pembibitan)
3. Khelat Zn untuk daun atau tanah, semuanya efektif.
4. Pemberian dalam larikan lebih efektif dibandingkan jika ditebar.
4.6. Klorida
a. Cl dalam tanaman
1. Diserap akar dalam bentuk Cl , dapat juga diserap lewat daun
2. Fungsi: berkaitandengan air dalam tanaman; osmotik, turgor daun, counterion K+;
diperlukan dalam evolusi O2 (fotosintesis)
3. Sangat mudah bergerak dalam tanaman
4. Gejala kedefisensian : layu; klorosis daun; pertumbuhan akar terhambat; nekrosis
daun dan berwarna seperti tembaga
5. Kelebihan Cl: penyerapan air berkurang; daun menebal dan menggulung; mutu
buah dan umbi berkurang.

b. Cl dalam tanah
1. Sangat mobil, mudah terlindi
2. Sumber utama garam KCl
3. Merupakan anion utama pada tanah salin, mengumpul di tanah kering, berada
sedikit diatas water table, darinase internal buruk, berasal dari air irgasi
4. Sedikit sekali Cl dalam bahan organik, atau terjerap di permukaan mineral
5. Di daerah pantai banyak masukan dari hembusan angin laut.

c. Ketersediaan Cl
1. Dalam tanah Cl sangat terlarut dan sangat tersedia bagi tanaman
2. Pada tanah yang sangat hebat pelindiannya mungkin muncul kedefisensian
3. Interaksi hara: nitrat dan sulfat dapat menghambat penyerapan Cl
4. Tekanan penyakit: mampu menekan penyakit pada akar dan daun (gandum, padi,
kentang)

d. Gerakan Cl
Unsur Cl bergerak menuju akar bersama aliran masa.

e. Keracunan Cl
Keracunan Cl lebih sering dijumpai dibanding kedefisensian Cl. Unsur ini menekan
pertumbuhan tanaman dengan mekanisme: sumbangan garam yangtinggi dalam tanah, bagi
tanaman yang peka terhadap Cl misalnya: kacang-kacangan, tanaman buah, kapas dan
tembakau.

f. Pupuk Cl
Unsur Cl terdapat dalam rabuk dan sumber organik lainnya meski sedikit. Sumber
anorganik: pupuk KCl, atau gram lainnya.

4.7. Boron
a. Boron dalam tanaman
1. Diserap akar dalam bentuk H BO
3 3

2. Berperanan dalam pengangkutan gula; permeabilitas membran; komponen dinding


sel; pembentukan serbuk sari; pemanjangan, pembelahan dan diferensiasi sel.
3. Kebanyakan B diperlukaan pada jaringan ekstraseluler (dinding sel, lignifikasi,
diferensiasi xilem), serupa dengan watak apoplastik dari Ca.
4. Tidak mudah dipindahkan dalam jaringan tanaman; kedefisensian muncul pada titik
tumbuh atau daun muda.
5. Gejala kedefisensian: titik tumbu (tunas atau akar) berhenti; klorosis daun, daun
termuda mati; ruas memendek, terbentuk roset; batang dan tangkai menebal; bunga
berguguran, pembentukan buah dan biji buruk sekali.
6. Kenampakan karena defisensi B: buah apel seperti gabus, patah batang pada seledri
7. Keracunan B disebabkan kisaran yang sempit antara kedefisensian dan keracunan
hara, berupa klorosis atau nekrosis pada ujung dan tepi daun.

b. Boron dalam tanah


1. Mineral turmalin (borosilikat)
2. Bahan organik: sebagai penyusun BO, ikatan kompleks organik
3. Dijerap oleh liat, oksida Fe dan Al
4. Larutan tanah: pada pH 5-9 dirajai oleh H BO ; kelarutan B dikendalikan oleh
3 3

reaksi adsorpsi-desorpsi permukaan mineral; ketersediaan B dipengaruhi oleh pH


larutan, jumlah liat, oksida dan bahan organik tanah.

c. Ketersediaan B
1. Unsur B sangat tersedia pada tanah masam, sebaliknya terjerap kuat oleh oksida dan
liat pada pH > 6.5.
2. Dapat terlindi pada tanah pasiran yang masam
3. Bahan organik merupakan cadangan utama
4. Tanah yang kering: kebanyakan B diserap secara pasif bersama air, seperti Ca,
didistribusikan ke tanaman melalui sistem transpirasi, pengambilan dan
pengangkutan yang terus menerus dalam xilem sangat penting
5. Interaksi hara: kadar Ca dan K yang tingi dapat memicu kedefisensian B

d. Gerakan B menuju akar


Unsur B bergerak karena aliran masa (kebanyakan) dan difusi (sangat penting jika B dalam
tanah rendah)
e. Keracunan B
Dapat dijumpai pada tanah yang sangat kering, air irigasi yang kadar B nya tinggi; atau
pada tanah masam. Jika Ca rendah menyebabkan kepekaan terhadap B

f. Pupuk B
Rabuk dan bahan organik. Senyawa anorganik: Borax (natrium borat, solubor (pupuk daun
dan tanah).

4.8. Molibdenum
a. Mo dalam tanaman
1. Diserap akar dalam bentuk MoO (molybdate)
4
2-

2. Dibutuhkan dalam jumlah lebih sedikit dibandingkanhara mikro yang lainnya


3. Reaksi redoks : Mo (VI) / Mo (IV)
4. Nitrat reduktase : sintesis N oleh tanaman
5. Nitrogenase: ensim bakteri untuk penyematan N
6. Berperan dalam penyerapan dan pengangkutan Fe
7. Agak mudah dipindahkan dalam jaringan tanaman
8. Gejala kedefisensian: seperti gejala kedefisensian N
9. Keracunan Mo jarang dijumpai. Jika kadarnya sangat tinggi dalam HMT dapat
meracuni ternak.
b. Mo dalam tanah
1. Mineral primer mengandung molybdate
2. Bahan organik
3. Terjerap pada permukaan oksida Fe dan Al, mirip jerapan P (ikatanlebih ringan,
karena dapat didesakoleh fosfat)
4. Mo larutan tanah: kadarnya sangat rendah
5. pH larutan tanah: H MoO , HMoO , MoO . MoO lebih banyak jika pH
2 4
0
4
-
4
2-
4
2-

meningkat.

c. Ketersediaan Mo
1. Jika pH meningkat Mo menjadi tersedia, 1 unit kenaikan pH meningkatkan
ketersediaan Mo 10 kali (berbeda dengan hara mikro lainnya).
2. Kedefisensian dijumpai pada tanah masam, atau tanah dengan oksida Fe-Al
3. Interaksi hara: sulfat tinggi menghambat serapan Mo, nitrat meningkatkan serapan
Mo, ammonium menurunkan serapan Mo.

d. Gerakan Mo menuju akar


Mo bergerak ke akar karena aliran masa (kebanyakan) dan difusi (penting jika Mo tanah
rendah)

e. Keracunan Mo
1. Molybdenosis pada ternak karena tidak seimbang antara Mo dan Cu dalam pakan.
2. Pada tanah netral atau alkalin
3. Ketersediaan Cu rendah, misalnya paad gambut

f. Pupuk Mo
1. Rabuk dan organik lainnya: meski kadarnya kecil tapi sudah mencukupi, karena
memang kebutuhan Mo juga kecil
2. Sumber anorganik : Ammonium dan natrium molybdates, diberikan sebagai pupuk
daun atau pupuk tanah, atau diberikan untuk benih (seed treatmnents)
3. Pengapuran dapat mengatasi kedefisensian Mo
V. Evaluasi Kesuburan Tanah
5.1. Pengambilan contoh tanah dan tanaman
5.2. Uji kimia tanah
5.3. Uji mikrobia
5.4. Percobaan pemupukan
5.5. Missing element
5.6. Analisis jaringan
5.7. Uji cepat tanaman
5.8. Gejala visual tanaman
5.9. Rekomendasi pemupukan

5.1. Pengambilan contoh tanah dan tanaman


Dalam analisis tanah pengambilan contoh tanah merupakan hal penting. Contoh
tanah yang diambil harus mewakili suatu areal tertentu. Contoh tanah yang dianalisis untuk
suatu jenis hara hanya memerlukan beberapa gram saja. Oleh karena itu kesalahan dalam
pengambilan contoh tanah tanah menyebabkan kesalahan dalam evaluasi dan interpretasi.
Pengambilan contoh tanah untuk mengetahui status hara (kesuburan tanah) digunakan
sistem composite sample yaitu percampuran contoh (susunan contoh) yang diambil dari
areal yang dikehendaki. Contoh itu mewakili areal yang relatif agak seragam dalam hal
jenis tanah, tofografi, kemiringan dan bahan induk.
Pengambilan contoh tanah umumnya dengan berjalan sambil mengambil contoh tanah
dengan mengiris tipis sedalam sekitar 25 cm (daerah perakaran). Suatu areal diambil
sebanyak 10 sampai 20 contoh (umumnya diambil dengan jumlah ganjil) misalnya
sebanyak 15 lokasi. Tanah dari 15 lokasi tersebut dikumpulkan dan dicampur sehomogen
mungkin. Dari campuran tanah yang dianggap homogen tersebut diambil contoh untuk
dianalisis. Sebagian tanah yang berasal dari campuran inilah yang digunakan untuk analisis.
Seperti halnya dalam analisis tanah, pengambilan contoh dalam analisis jaringan memiliki
pengaruh yang sangat besar terhadap hasilnya. Penyebaran hara dalam tanaman tidak
merata artinya suatu unsur kadar pada daun tidak sama dengan kadar unsur tersebut dalam
tangkai daun atau pada kayu. Seperti pengambilan contoh tanah pengambilan contoh
tanaman untuk dianalisis perlu mendapat perhatian. Dari berbagai pustaka disebutkan setiap
hara tanaman memerlukan suatu organ tanaman tertentu yang cocok untuk contoh
Kesukaran timbul bila banyak macam hara dan banyak macam tanaman yang perlu
dianalisis. Misalnya analisis yang diperlukan N, P, K, Ca, Mg, Fe, Cu, Mn untuk tanaman
kopi, jagung, kedelai, karet dan seterusnya sehingga memerlukan kecermatan dan kesabaran
dalam mengambil contoh tanaman.
Pada dasarnya pemilihan contoh tanaman adalah:
1. Pertumbuhan organ tersebut telah cukup,
2. Tidak terlalu muda (pucuk) atau terlalu tua,
3. Sebaiknya sebelum fase generatif; mendekati tanaman berbunga.

5.2. Uji Kimia Tanah


Keunggulan uji kimia tanah dibanding analisis jaringan adalah kemampuannya
untuk menentukan status hara dalam tanah sebelum tanaman diusahakan di lapangan.
Langkah yang dikerjakan dalam uji tanah:
1. Pengambilan cuplikan yang mewakili (representative) di lapangan
2. Penetapan kadar hara tersedia dalam cuplikan di laboratorium
3. Penafsiran hasil uji kimia tanah (soil test calibration).
4. Perhitungan kebutuhan hara oleh tanaman (nutrient recommendation).
Dari hasil analisis tanah dapat diharkatkan:
1. Sangat rendah (SR) . Pada keadaan ini umumnya tanaman menderita gejala
kekurangan hara atau disebut penyakit defisiensi. Masing-masing hara menampakkan
geajala tertentu. Produksi tanaman sangat rendah dan apabila dipupuk akan
menunjukkan respon yang baik, artinya produksi secara nyata meningkat sedangkan
gejala defisiensi menghilang.
2. Rendah (R). Pada harkat ini sebagian tanaman tidak menampakkan gejala defisiensi
tetapi produksi rendah. Bila dipupuk dengan pupuk yang mengandung hara ini
produksi naik cukup memadai atau menunjukkan respon terhadap pemupukan.
3. Cukup, sedang, medium (S). Berarti kedaan hara dalam tanah cukup produksi juga
cukup memadai, bila dipupuk dengan pupuk yang mengandung hara ini sedikit
menunjukkan kenaikan produksi atau masih respon terhadap pemupukan.
4. Tinggi (T). Tanaman umumnya menampakkan gejala pertumbuhan normal.
Produksi dalam keadaan optimal. Pemupukan tidak nyata menunjukkan kenaikan
produksi atau tanaman realtif sedikit respon pemupukan.
5. Sangat Tinggi (ST). Apabila kadarnya melampaui ambang batas toleransi, sebagian
tanaman akan menunjukkan gejala penyimpangan pertumbuhan. Penyimpangan
petumbuhan ini umumnya berupa gejala keracunan, yang gejalanya berbeda satu
tanaman dengan lainnya. Tetapi produksi menunjukkan penurunan secara nyata.

Kegunaan analisis (baik tanah maupun analisis tanaman) adalah untuk:


1. Untuk mengetahui status hara dalam tanah maupun tanaman.
2. Kelestarian kesuburan tanah dan produktivitas lahan. Dengan mengetahui kadar
hara dalam tanah dan produksi tanaman dapat dihitung kehilangan hara dari tanah
karena panen
3. Menduga produksi tanaman serta menghitung keuntungan apabila dilakukan
pemupukan.
4. Untuk mengetahui hara yang menjadi faktor pembatas yang harus diperbaiki dan
membuat rekomendasi pemupukan.
5. Penilaian lahan secara ekonomis misalnya harga tanah, pajak dan sebagainya.

Tabel. Kriteria Penilaian Beberapa Sifat Tanah

Sifat tanah SR R S T ST
C (%) < 1,0 1,0-2,0 2,01-3,00 3,01-5,00 > 5,00

N (%) < 0,10 0,10-0,20 0,21-0,50 0,51-0,75 > 0,75

C/N <5 5,0-10,0 11,0-15,0 16,0-25,0 > 25

P O HCl 25% (mg%


2 5 < 10 10-20 21-40 41-60 > 60

P O Bray I (ppm)
2 5 < 10 10-15 16-25 26-35 > 35

P O Olsen (ppm)
2 5 < 10 10-25 26-45 46-60 > 60

K O HCl 25% (me%)


2 < 10 10-20 21-40 41-60 > 60

Kation tertukar

K (me/100 g) < 0,1 0,1-0,2 0,3-0,5 0,6-1,0 > 1,0

Na (me/100 g) < 0,1 0,1-0,3 0,4-0,7 0,8-1,0 > 1,0

Mg (me/100 g) < 0,1 0,4-1,0 1,1-2,0 2,1-8,0 > 8,0

Ca (me/100 g) < 2,0 2,0-5,0 6,0-10 11-20 > 20

KPK (me/100 g) <5 5-16 17-24 25-40 > 40

kejenuhan basa (%) < 20 20-35 36-50 51-70 > 70

Kejenuhan Al (%) < 10 10-20 21-30 31-60 > 60

DHL (mS/cm) < 1,0 1,0-2,0 2,0-3,0 3,0-4,0 > 4,0

sangat agak
masam masam masam netral agak alkalin alkalin

pH H O 2 < 4,5 4,5-5,5 5,5-6,5 6,5-7,5 7,5-8,5 >8,5


About these ads

5.3. Uji mikrobia


Prinsip dasar kegiatan ini adalah:
1. Unsur yang dibutuhkan oleh mikrobia hampir sama dengan tanaman,
2. Pertumbuhan mikrobia sangat cepat (jam-hari),
3. Hemat ruangan.

Azotobacter
Mikrobia ini peka terhadap unsur: P, K dan Ca.
Cara percobaan :
1. Siapkan media tanah yang diberi pati 5%.
2. Perlakuan: kontrol, + K, + P, + PK.
3. Masukkan media ke dalam petridish, atur lengas.
4. Inokulasi dengan Azotobacter, inkubasikan selama 72 jam pada t 30 C.
o

5. Amati pertumbuhan koloni.


6. Tingkat kedefisensian unsur berkorelasi negatif dengan pertumbuhan koloni.

Aspergillus niger
Mikrobia ini peka terhadap unsur: P dan K
Cara percobaan:
1. Larutan hara (minus K) 30 mL + 2,5 g tanah
2. Masukkan dalam labu + inokulan (spora)
3. Inkubasi selama 4 hari, t 30 C.
o

4. Timbang bobot miselia.

5.4. Percobaan pemupukan


Percobaan pemupukan dapat dikerjakan di rumah kaca atau di lapangan. Perlakuan dapat
berupa jenis pupuk, takaran pupuk atau cara pemberian pupuk. Dengan kegiatan ini dapat
diketahui :
1. respon tanaman terhadap pemberian pupuk, dan
2. dosis optimum pemupukan.
Yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini adalah:
1. tanah yang digunakan,
2. perlakuan,
3. tanaman indikator,
4. pemeliharaan,
5. panen.
Tanaman indikator yang digunakan dapat dipilih berdasarkan tujuan kegiatan. Jika kegiatan
diarahkan untuk kesuburan tanah maka dipilih tanaman yang peka terhadap kedefisensian
hara. Namun jika untuk tujuan keharaan (neraca hara misalnya), maka dipilih tanaman yang
penting bagi masyarakat.
5.5. Missing Element
Dikenal juga sebagai omission trial atau minus one test artinya suatu set percobaan dengan
memberikan semua hara yang diperlukan tanaman (basal elements) kecuali unsur yang
diamati. Prinsip dasar yang digunakan dalam metode ini adalah hukum Liebig.
Informasi yang didapat dengan cara ini adalah:
1. mengetahui unsur yang defisensi, dan
2. mengetahui urutan keparahan kedefisensian hara tersebut.
Ini merupakan langkah pertama yang biasanya dikerjakan setelah kegiatan survei
kesesuaian lahan dilakukan.

5.6. Analisis jaringan


Leaf analysis: determines the elemental content of a particular plant part, a laboratory
analysis of collected plant tissue.
Pengukuran kuantitatif status hara suatu tanaman, dilakukan dengan pengambilan cuplikan
tanaman di lapangan diteruskan dengan analisis di lab. Diperlukan untuk konfirmasi suatu
diagnosis visual, dapat mendeteksi kedefisensian pada tahap dini sehingga perbaikan masih
dimungkinkan untuk mencegah kehilangan hasil panen. Digunakan bersama dengan uji
tanah, karena kedefisensian tanaman tidak selalu berhubungan dengan kekurangan hara
dalam tanah. Rekomendasi pemupukan seingkali lebih baik dibuat berdasarkan hasil uji
tanah dibandingkan analisis jaringan.
Langkah yang dikerjakan dalam analisis jaringan meliputi:
1. pengambilan cuplikan di lapangan,
2. penyiapan cuplikan (dikeringkan, dihaluskan),
3. destruksi basah atau kering
4. penetapan kadar hara (gravimetri, titrasi, spektrofotometri, flamfotometri)
5. penafsiran hasil dan pembuatan rekomendasi.
Pengambilan cuplikan yang tepat merupakan langkah yang penting. Aras kecukupan hara
ditentukan berdasarkan letak bagian tanaman yang diambil sebagai cuplikan pada fase
pertumbuhan tertentu, misalnya: (1). daun yang baru saja dewasa dan membuka secara
sempurna (recently matured, fully expanded leaves), atau (2). tangkai daun dari daun yang
baru saja dewasa (petioles from recently matured leaves).
Pengambilan pada fase kebutuhan tanaman sampai dipuncaknya (high nutrient demand),
misalnya: (1). titik puncak fase vegetatif (peak vegetative growth stage), atau (2). fase
generatif (reproductive stage). Penafsiran hasil untuk setiap tanaman bersifat spesifik.
Manfaat analisis jaringan tanaman adalah:
1. untuk mengetahui kadar hara dalam jaringan tanaman, atau
2. untuk menghitung serapan hara oleh tanaman.

Tingkat kecukupan hara dalam jaringan tanaman dapat dibedakan:


1. Aras kritis (critical value, critical level, critical nutrient concentration)
menunjukkan kadar hara dalam jaringan, dibawah kadar ini menampakkan gejala
kedefisensiannya, umumnya pada aras ini hasil panen turun 10%. Jika diberi
tambahan hara, tanaman bersifat sangat responsif, dan gejala kedefisensian akan
menghilang.
2. Kisaran kritis hara (critical nutrient range): sukar untuk ditentukan secara tepat,
merupakan peralihan antara wilayah kedefisensian dengan kecukupan hara, hasil
tanaman berkurang antar 0% sampai 10%. Pemberian hara akan meningkatkan
pertumbuhan dan hasil tanaman.
3. Kisaran kecukupan (sufficiency range, sufficiency level, sufficiency zone): kadar
hara cukup untuk mendukung pertumbuhan dan hasil panen yang maksimum,
pemberian hara dapat meningkatkan kadar hara dalam jaringan tetapi tidak
mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
4. Aras berlebihan atau meracun (excessive or toxic level): kadar hara terlalu tinggi
mengakibatkan penurunan pertumbuhan dan hasil tanaman, jika kadarnya sangat
tinggi dapat meracuni tanaman atau mengakibatkan gangguan ketimpangan hara
(imbalance of nutrients).

5.7. Uji cepat tanaman


Tissue testing: an analysis of extracted cellular, sap normally carried out inthe field, makes
use of special papers,reagents and testing kits.
Deteksi dikerjakan di lahan petani secara cepat dan praktis (rapid, quick-test), sehingga
hasilnya dapat diketahui segera. Sedangakan hasil uji lab. baru diketahui setelah beberapa
minggu. Untuk mengetahui respon dari perlakuan sedang yang diberikan bagi tanaman,
misalnya diberi pupuk dengan cara disebar atau melalui air irigasi.
Chlorophyll meter: digunakan untuk mengukur tingkat kehijauan daun. Ini cara praktis
untuk mengukur kadar N daun secara tidak langsung. Warna hijau ditentukan oleh kadar N
sebagai penyusun klorofil. IRRI yang berpusat telah mengembangkan penggunaan LCC
(leaf colour chart = bagan warna daun) untuk menentukan kebutuhan pupuk N pada
tanaman padi. Analisis getah tanaman: dengan pewarnaan, untuk mengukur kadar nitrat atau
K.
+

Prinsip kerja: bahan + reagen > reaksi warna


1. Jaringan tertentu dipotong-potong, ditambah akuades
2. Getah jaringan diperas
3. Penafsiran hasil: RENDAH CUKUP TINGGI
4. Sebaiknya dikerjakan 6 kali per musim, jika 1 kali ambil pada saat berbunga.
Jumlah ulangan 10-15 per lahan.
Bandingkan hasil antara lahan yang cukup hara dengan yang defisensi.

5.8. Gejala visual tanaman


Pengambilan hara yang kurang mencukupi dalam tubuh tanaman mengakibatkan
munculnya gejala kedefisensian.
Prinsip yang harus dipegang dalam mengenali gejala visual adalah:
1. fungsi dasar unsur hara,
2. dinamika atau mobilitas hara dalam tubuh tanman, dan
3. interaksi hara.
Gejala visual berkaitan dengan fungsi hara, misalnya hara N diperlukan dalam
pembentukan klorofil, maka kekurangan N akan diikuti klorosis daun. Letak munculnya
gejala berkaitan dengan sifat mobilitas hara dalam jaringan tanaman, misalnya unsur N
dengan cepat dapat dipindahkan dari daun yang tua ke titik tumbuh, sehigga dedaunan yang
baru berwarna hijau, sedangkan klorosis muncul pertama kali pada daun yang lebih rendah
pada pohon atau yang lebih tua.
Unsur Ca berfungsi sebagai penyusun lamella tengah (Ca-pektat), jika tanaman
kedefisensian Ca maka pertumbuhan terhambat, kerusakan terlihat pada titik tumbuh karena
pembelahan sel terhenti.
KUNCI DETERMINASI KEDEFISENSIAN HARA

Gejala Unsur

A. Gejala utama berupa klorosis daun

A1. Seluruh lembar daun

A1a. pada bagian bawah tanaman, diikuti nekrosis dan lepas NITROGEN

A1b. seluruh bagian tanaman SULFUR

A2. Daging diantara tulang daun

A2a. daun tua atau dewasa baru MAGNESIUM

A2b. daun muda

A2b1. tak ada gejala lain BESI

A2b2. terdapat bintik kelabu pada daerah klorosis MANGAN

A2b3. ujung daun tetap hijau, klorosis pada urat daun, tepi daun
mengalami nekrosis dengan cepat TEMBAGA

A2b4. daun muda sangat kecil, tanpa lembar daun, ruas menjadi
pendek (roset) SENG

B. Klorosis bukan gejala utama

B1. Gejala muncul pada bagian bawah tanaman

B1a. Seluruh daun hijau tua, diikuti pertumbuhan kerdil, muncul


pigmen ungu terutama pada daun tua FOSFOR

B1b. Tepi daun tua mengalami klorosis dan terbakar, atau bintik
klorosis berkembang cepat menjadi nekrosis tersebar pada lembar
daun tua KALIUM

B2. Gejala muncul pada bagian atas tanaman

B2a. Tunas muda mati, pertumbuhan berkembang menyamping; daun BORON


muda menjadi tebaI, berkulit dan klorosis; terjadi retakan dan lubang
pada cabang baru atau tangkai bunga

B2b. Tepi daun tidak terbentuk, daun memanjang; titik tumbuh


terhenti; jaringan muda berwarna hijau terang atau mengalami klorosis
yang tidak merata; pertumbuhan akar buruk pendek dan tebal KALSIUM

Beberapa faktor penting yang juga perlu diperhatikan adalah: intensitas gejala
(kedefisensian ringan tidak menampakkan gejala), umur tanaman, varitas tanaman, musim,
kedefisensian beberapa hara secara bersamaan, keracunan, populasi dan kesehatan tanaman.
Kelemahan gejala kedefisensian hara:
1. Gejala visual yang serupa dapat disebabkan oleh lebih dari satu hara, misalnya
gejala klorosis antar tulang daun pada daun yang muda merupakan watak
kedefisensian Fe atau Mn.
2. Gejala visual serupa dapat pula disebabkan serangga, penyakit, herbisida atau faktor
lainnya, misalnya gejala kedefisensian B dan bekas dimakan belalang pada legum
hampir sama kenampakannya.
3. Kedefisensian hara pada tanaman mungkin bukan karena kekurangan hara dalam
tanah, tetapi dapat disebabkan keadaan pH, kelebihan hara lain, atau adanya faktor
penghambat pertumbuhan akar.
4. Pada saat menunjukkan gejala visual kedefisensian hara, kehilangan hasil secara
murad telah terjadi.

5.9. Rekomendasi pemupukan


Langkah yang ditempuh dalam menetapkan rekomendasi pemupukan adalah:
1. Menghitung kebutuhan hara untuk suatu target hasil panen,
2. Menghitung penyediaan hara dari tanah,
3. Menghitung efisiensi serapan hara,
4. Menghitung takaran hara,
5. Menentukan waktu aplikasi.
Untuk memudahkan pelaksanaan di lapangan, umumnya dibuat paket pemupukan
berdasarkan tingkat kesuburan tanah. Contoh pembuatan rekomendasi untuk tanah sawah:
Tabel . Tingkat kesuburan tanah sawah
Karakter Kategori kesuburan
tidak subur subur sangat subur
pasiran, pasir
kedalamanan,
kedalaman kedalaman kedalaman liatan,
Tekstur pasiran liatan, liat liat
C-organik (% C) <1 1-1,5 1,5 2,5
KPK (cmolc kg-1) < 10 10-20 > 20
P-Olsen (ppm) <5 5-10 > 10
K tertukar (cmolc kg-1) <0.15 0.150.30 > 0,3
pH setelah tergenang <6.5 6,5-7 6,5 7
Kedefisensian/keracunan
hara mikro ya nihil nihil
Hasil (GY0) (t ha-1) 2.5 4,0 5,0
INS (sediaan asli N) (kg N ha-1) 30 50 70
IPS (sediaan asli P) (kg P ha-1) 10 15 20
IKS (sediaan asli K) (kg K ha-1) 50 75 100

Tabel . Rekomendasi pemupukan untuk sawah dengan irigasi

Tanah / Musim Kemarau Musim Hujan


Target hasil (Y ~ 10 t ha )
max
-1
(Y ~ 7.5 t ha )
max
-1

N P K N P K
(t ha )
-1
(kg ha ) -1
(kg ha ) -1

Tanah tidak subur


4 6080 812 2040 6080 812 2025
5 90110 1525 5060 90120 1525 5060
6 120150 2540 80100 - - -
7 150200 3560 110140 - - -
Tanah subur
4 0 812 1040 0 812 1040
5 5070 1015 1550 5070 1015 1550
6 90110 1218 3060 100120 1218 4060
7 120150 1530 6080 - - -
8 160200 3550 110130 - - -
Tanah sangat subur
4 0 812 1040 0 812 1040
5 0 1015 1550 2030 1015 1550
6 5060 1218 2060 6080 1218 2060
7 80100 1421 2070 - - -
8 120150 1525 6080 - - -
Sumber: Dobermann & Fairhurst (2000).

VI. Pupuk
6.1. Pengertian pupuk
6.2. Kategori pupuk
6.3. Pupuk buatan
6.4. Pupuk organik
6.5. Pupuk hijau
6.6. Pupuk hayati
6.7. Pembuatan kompos
6.8. Peraturan pupuk
6.1. Pengertian Pupuk
Pupuk adalah suatu bahan yang mengandung satu atau lebih unsur hara bagi tanaman.
Bahan tersebut berupa mineral atau organik, dihasilkan oleh kegiatan alam atau diolah oleh
manusia di pabrik. Unsur hara yang diperlukan oleh tanaman adalah: C, H, O (ketersediaan
di alam masih melimpah), N, P, K, Ca, Mg, S (hara makro, kadar dalam tanaman > 100
ppm), Fe, Mn, Cu, Zn, Cl, Mo, B (hara mikro, kadar dalam tanaman < 100 ppm).
Pupuk diberikan agar tanaman (tumbuhan yang diusahakan manusia) dapat tumbuh,
berkembang dan menghasilkan sesuai yang diharapkan. Manusia selalu menuntut lebih
terhadap kemampuan tanaman. Rekayasa genetik dan lingkungan di lakukan agar tanaman
memberikan kinerja yang lebih baik. Dengan bantuan hasil tanaman tersebut, unsur yang
semula berada dalam tanah masuk ke dalam tubuh manusia.
Tumbuhan tidak memerlukan pupuk. Karena tumbuhan mampu mengambil unsur hara yang
tersedia di lingkungan hidupnya. Pada lahan yang tidak terusik manusia, kesuburan tanah
selalu meningkat, karena terjadi pelonggokan materi dan energi di tempat tersebut. Mineral
dari kedalaman yang lebih dalam diangkut ke daun dan digugurkan ke permukaan tanah.
Gas-gas di udara terutama CO2 dijerat dan digunakan sebagai penyusun tubuh tumbuhan.
Tumbuhan selalu hidup bersama dengan lelembut (mikrobia). Serasah tumbuhan menjadi
makanan dan sumber energi bagi lelembut tersebut untuk terus bekerja. Hasil perombakan
digunakan kembali oleh tumbuhan. Interaksi mineral dan bahan organik yang terus menerus
itu, akan diikuti ketersedian hara dan lengas yang makin besar, sehingga memberikan
lingkungan yang terbaik bagi tumbuhan.
Semakin berkurang usikan manusia terhadap suatu lahan, maka lahan tersebut akan
bertambah subur. Sebaliknya, semakin banyak usikan semakin banyak pula masukan yang
harus diberikan agar lahan tetap subur. Semakin intensif lahan dikelola, semakin banyak
pula pupuk yang diperlukan.
Bahan pupuk selain mengandung hara tanaman umumnya mengandung bahan lain, yaitu:
1. Zat pembawa atau karier (carrier). Double superfosfat (DS): zat pembawanya
adalah CaSO dan hara tanamannya fosfor (P).
4

2. Senyawa-senyawa lain berupa kotoran (impurities) atau campuran bahan lain dalam
jumlah relatif sedikit. Misalnya ZA (zwavelzuure amoniak) sering mengandung
kotoran sekitar 3% berupa khlor, asam bebas (H SO ) dan sebagainya.
2 4

3. Bahan mantel (coated) ialah bahan yang melapisi pupuk dengan maksud agar pupuk
mempunyai nilai lebih baik misalnya kelarutannya berkurang, nilai higroskopisnya
menjadi lebih rendah dan mungkin agar lebih menarik. Bahan yang digunakan untuk
selaput berupa aspal, lilin, malam, wax dan sebagainya. Pupuk yang bermantel
harganya lebih mahal dibandingkan tanpa mantel.
4. Filler (pengisi). Pupuk majemuk atau pupuk campur yang kadarnya tinggi sering
diberi filler agar ratio fertilizer nya dapat tepat sesuai dengan yang diinginkan, juga
dengan maksud agar mudah disebar lebih merata
Dalam praktek perlu diketahui istilah-istilah khusus yang sering digunakan dalam pupuk
antara lain ialah:
1. Mutu pupuk atau grade fertilizer artinya angka yang menunjukkan kadar hara
tanaman utama (N,P, dan K) yang dikandung oleh pupuk yang dinyatakan dalam
prosen N total, P O dan K O. Misalnya pupuk Rustika Yellow 15-10-12 berarti kadar
2 5 2

N 15%, P O 10% dan K O 12%.


2 5 2

2. Perbandingan pupuk atau ratio fertilizer ialah perbandingan unsur N,P dan K yang
dinyatakan dalam N total, P O dan K O merupakan penyederhanaan darigrade
2 5 2

ferilizer. Misalnya grade fertilizer 16-12-20 berarti ratio fertilizernya 4:3:5.


3. Mixed ferilizer atau pupuk campuk ialah pupuk yang berasal dari berbagai pupuk
yang kemudian dicampur oleh pemakainya. Misalnya pupuk Urea, TSP dan KCl
dicampur menjadi satu dengan perbandingan tertentu sesuai dengan mutu yang
diinginkan. Hal ini berbeda dengan pupuk majemuk yaitu pupuk yang mempunyai
dua atau lebih hara tanaman dibuat langsung dari pabriknya.

6.2. Kategori pupuk


Pupuk dapat dibedakan berdasarkan bahan asal, senyawa, fasa, cara penggunaan, reaksi
fisiologi, jumlah dan macam hara yang dikandungnya.

Berdasarkan asalnya dibedakan:


1. Pupuk alam ialah pupuk yang terdapat di alam atau dibuat dengan bahan alam tanpa
proses yang berarti. Misalnya: pupuk kompos, pupuk kandang, guano, pupuk hijau
dan pupuk batuan P.
2. Pupuk buatan ialah pupuk yang dibuat oleh pabrik. Misalnya: TSP, urea, rustika
dan nitrophoska. Pupuk ini dibuat oleh pabrik dengan mengubah sumber daya alam
melalui proses fisika dan/atau kimia.

Berdasarkan senyawanya dibedakan:


1. Pupuk organik ialah pupuk yang berupa senyawa organik. Kebanyakan pupuk alam
tergolong pupuk organik: pupuk kandang, kompos, guano. Pupuk alam yang tidak
termasuk pupuk organik misalnya rock phosphat, umumnya berasal dari batuan
sejenis apatit [Ca (PO ) ].
3 4 2

2. Pupuk anorganik atau mineral merupakan pupuk dari senyawa anorganik. Hampir
semua pupuk buatan tergolong pupuk anorganik.

Berdasarkan fasa-nya dibedakan:


1. Padat. Pupuk padat umumnya mempunyai kelarutan yang beragam mulai yang
mudah larut air sampai yang sukar larut.
2. Pupuk cair. Pupuk ini berupa cairan, cara penggunaannya dilarutkan dulu dengan
air, Umumnya pupuk ini disemprotkan ke daun. Karena mengandung banyak hara,
baik makro maupun mikro, harganya relatif mahal.. Pupuk amoniak cair merupakan
pupuk cair yang kadar N nya sangat tinggi sekitar 83%, penggunaannya dapat lewat
tanah (injeksikan).

Berdasarkan cara penggunaannya dibedakan:


1. Pupuk daun ialah pupuk yang cara pemupukan dilarutkan dalam air dan
disemprotkan pada permukaan daun.
2. Pupuk akar atau pupuk tanah ialah pupuk yang diberikan ke dalam tanah disekitar
akar agar diserap oleh akar tanaman.

Berdasarkan reaksi fisiologisnya dibedakan:


1. Pupuk yang mempunyai reaksi fisiologis masam artinya bila pupuk tersebut
diberikan ke dalam tanah ada kecenderungan tanah menjadi lebih masam (pH
menjadi lebih rendah). Misalnya: Za dan Urea.
2. Pupuk yang mempunyai reaksi fisiologis basis ialah pupuk yang bila diberikan ke
dalam tanah menyebabkan pH tanah cenderung naik misalnya: pupuk chili salpeter,
calnitro, kalsium sianida.
Berdasarkan jumlah hara yang dikandungnya dibedakan:
1. Pupuk yang hanya mengandung satu hara tanaman saja. Misalnya: urea hanya
mengandung hara N, TSP hanya dipentingkan P saja (sebetulnya juga mengandung
Ca).
2. Pupuk majemuk ialah pupuk yang mengandung dua atau lebih dua hara tanaman.
Contoh: NPK, amophoska, nitrophoska dan rustika.

Berdasarkan macam hara tanaman dibedakan:


1. Pupuk makro ialah pupuk yang mengandung hanya hara makro saja: NPK,
nitrophoska, gandasil.
2. Pupuk mikro ialah pupuk yang hanya mengandung hara mikro saja misalnya:
mikrovet, mikroplek, metalik.
3. Campuran makro dan mikro misalnya pupuk gandasil, bayfolan, rustika. Sering juga
ke dalam pupuk campur makro dan mikro ditambahkan juga zat pengatur tumbuh
(hormon tumbuh).

6.3. Pupuk Buatan


Pupuk buatan yang dibuat oleh pabrik jumlah dan macamnya sangat banyak. Untuk pupuk
majemuk sering diberi nama dagang sesuai dengan selera pabriknya.

Pupuk Nitrogen (N)


Pupuk nitrogen mengandung hara tanaman N. Bentuk senyawa N umumnya berupa nitrat,
amonium, amin, sianida. Contoh: Kalium nitrat (KNO ), amonium fosfat [(NH ) PO ], urea
3 4 3 4

(NH CONH ) dan kalsium sianida (CaCN ). Bentuk pupuk N ini berupa kristal, prill, pellet,
2 2 2

tablet maupun cair.

Amonium sulfat [(NH ) SO ]


4 2 4

Pupuk ini dikenal dengan nama zwavelzuure amoniak (ZA) dan sampai sekarangpun masih
banyak beredar di masyarakat. Umumnya berupa krital putih dan hampir seluruhnya larut
air. Kadang-kadang pupuk tersebut diberi warna (misalnya pink). Kadar N sekitar 20-21%
yang diperdagangan umumnya mempunyai kemurnian selitar 97%. Kadar asam bebasnya
maksimum 0.4%. Sifat pupuk ini: larut air, dapat dijerap oleh koloid tanah, reaksi fisiologis
masam, mempunyai daya mengusir Ca dari kompleks jerapan, mudah menggumpal, tetapi
dapat dihancurkan kembali, asam bebasnya kalau terlalu tinggi meracun tanaman.

Anhidrous amonia (NH ) 3

Pupuk ini dianggap yang paling tinggi kadar N-nya. Disimpan dalam bentuk cair.
Penggunaannya dengan injeksi ke dalam tanah atau dilarutkan dalam air kemudian
dipompa. Di Indonesia belum digunakan walaupun pabrik sudah membuat untuk keperluan
lain. Pupuk dapat juga dilarutkan dalam air pengairan, akan tetapi ada risiko kehilangan N
yang terbawa air pengairan dan karena penguapan terutama pada tanah atau air yang
mempunyai reaksi alkalis. Jumlah N yang hilang tergantung tekstur tanah, reaksi, cara
pemberiannya, dalamnya injeksi ke dalam tanah. Dari berbagai percobaan menunjukkan
bahwa sekitar 1-8 % tersemat pada lapisan permukaan tanah dan 2-31 % pada lapisan
bagian bawah. Sering pemberian amonia cair dicampur dengan sulfur (S) karena sulfur larut
dalam amonia.

Amonium khlorida (NH Cl) 4

Kadar N dalam amonium khlorida (ACl) sekitar 26%. Dari beberapa peneliti untuk sebagian
tanaman sering menunjukkan bahwa pupuk ACl lebih baik dibanding amonium sulfat (ZA)
terutama untuk tanaman yang memerlukan unsur Cl. Ada dugaan bahwa ZA bila diberikan
ke dalam tanah akan meninggalkan sulfat (SO ) dan ion ini kemudian ditanah sawah
4
=

direduksi menjadi H S, senyawa ini bersifat racun terhadap tanaman. Proses selanjutnya H S
2 2

bereaksi dengan feri atau mangan menjadi FeS atau Fe S dan MnS. tuk tanaman yang
2

diharapkan kadar proteinnya tinggi sebaiknya digunakan pupuk ZA karena senyawa protein
mengandung unsur S sehingga pemberian S berperanan dalam pembentukan protein.
Tanaman berbeda-beda tanggapannya terhadap kedua pupuk tersebut. Tapi umumnya sisa
Cl kurang disenangi dibanding SO , demukian juga reaksi fisiologis ACl lebih asam dari
4
=

pupuk ZA.

Amonium nitrat (NH NO ) 4 3

Kadar N dalam pupuk amonium nitrat sekitar 32-33,5%. Kalau dicampur dengan kapur
disebut amonium lime( ANL).
Pupuk fosfor (P)
Kecuali untuk nitrogen, kadar unsur dalam pupuk dinyatakan dalam bentuk oksidanya. P
dalam pupuk dinyatakan dalam bentuk P O . Pupuk TSP mengandung P sebesar 44% P O .
2 5 2 5

Untuk mengetahui kadar P (bukan P O ) maka harus dikalikan dengan suatu bilangan
2 5

konversi:
Prosentase P = 0.43 X prosentase P O 2 5

Prosentase P O = 2.29 X prosentase P


2 5

Angka 0.43 berasal dari berat molekul P O dibagi berat 2P. Berat atom P=31 dan O=16,
2 5

sehingga 144:62 = 2.29 atau sebaliknya 62:144 = 0.43. Kadar yang ditunjukkan umumnya P
yang larut dalam asam sitrat 2%; jadi bukan P yang larut air.

Enkel superfosfat [ES = Ca(H PO ) + CaSO ] 2 4 2 4

Sejak zaman Belanda ES sudah populer digunakan sebagai pupuk P. Sering disebut single
superphosphate. Pupuk ini dibuat dengan menggunakan bahan baku batuan fosfat (apatit)
dan diasamkan dengan asam sulfat untuk mengubah P yang tidak tersedia menjadi tersedia
untuk tanaman. Reaksi singkat pembuatan ES:
Ca (PO ) CaF + 7H SO > 3Ca(H PO ) + 7CaSO + 2HF
3 4 2 2 4 2 4 4

Disamping mengandung dihodrofosfat juga mengandung gipsum. Kadar P O = 18-24%, 2 5

kapur (CaO) = 24-28% . Bentuk pupuk ini berupa tepung berwarna putih kelabu. Sedikit
larut dalam air reaksi, fisiologis netral atau agak masam. Syarat yang harus dipenuhi kadar
(F O + Al O ) kurang dari 3%. Apabila terlalu banyak mengandung kedua oksida tersebut
2 3 2 3

yang bersifat meracun tanaman, kedua oksida juga dapat bereaksi dengan fosfat menjadi
tidak tersedia bagi tanaman (terjadi fiksasi P oleh Fe dan Al). Dalam penyimpanan sering
mengalami kerusakan fisik tetapi tidak mengalami perubahan khimianya. Dalam
pemakaiannya dianjurkan sebagai pupuk dasar yaitu pemupukan sebelum ada tanaman agar
pada saat tanaman mulai tumbuh P sudah dapat diserap oleh akar tanaman.
Pupuk ES masih mengandung gips (CaSO ) cukup tinggi dan untuk beberbagai jenis tanah
4

sering menyebabkan struktur tanah menjadi menggumpal seperti padas dan kedap terhadap
air. Hal ini yang sering dianggap sifat merugikan dari pupuk ES.

Doubelsuperfosfat (DS)
Berbeda dengan ES, pupuk ini dianggap tidak mengandung gipsum, dalam pembuatannya
digunakan asam fosfat yang berfungsi sebagai pengasam dan untuk meningkatkan kadar P.
Garis besar reaksi pembuatannya sebagai berikut:
(Ca PO ) CaF + 4H PO + 3H 0 > 3Ca(H PO ) + HF
3 4 2 3 4 2 2 4 2

Kadar P O + 38%. Pupuk ini telah lama digunakan di Indonesia baik oleh petani maupun di
2 5

perkebunan besar. Sifatnya berupa tepung kasar berwarna putih kotor. Asam
H PO diperoleh dari:
3 4 Ca (PO ) CaF + 3H SO > 2H3PO + CaSO + HF. Asam fosfat
3 4 3 2 4 4 4

dipisahkan dari larutannya.


Pupuk ini berwarna abu-abu coklat muda; sebagian P larut air; reaksi fisiologis: sedikit
asam. Bahaya meracun sulfat relatif kecil dan sulfidanya yang berasal dari reduksi sulfat
juga rendah. Bekerjanya lambat dan kemungkinan pelindian juga rendah. Bila diberikan
pada tanah yang bayak mengandung Fe dan Al bebas akan terjadi sematan P oleh kedua
3+ 3+

unsur tersebut. Karena lambat bekerjanya pupuk ini diberikan sebagai pupuk dasar.

Tripel superfosfat (TSP)


Rumus kimianya Ca(H PO ). Sifat umum pupuk Tripel superfosfat (TSP) sama dengan
2 4

dengan pupuk DS. Kadar P O pupuk ini sekitar 44-46% walaupun secara teoritis dapat
2 5

mencapai 56 %. Pembuatan pupuk TSP dengan menggunakan sistemwet proses. Dalam


proses ini batuan alam (rockphosphate) fluor apatit diasamkam dengan asam fosfat hasil
proses sebelumnya (seperti pembuatan pupuk DS). Reaksi dasarnya sebagai berikut:
Ca (PO ) CaF + H PO > Ca(H PO ) + Ca(OH) + HF
3 4 2 3 4 2 4 2 2

Pupuk kalium
Jenis pupuk yang khusus mengandung kalium relatif sedikit jumlahnya. Umumnya sudah
dicampur dengan pupuk atau unsur lain menjadi pupuk majemuk. Sehingga menjadi pupuk
yang mengandung kalium, nitrogen dan atau fosfor (dua atau lebih hara tanaman).
Kadar pupuk K dinyatakan sebagai % K O. Konversi kadar K O menjadi K adalah sebagai
2 2

berikut: % K O = 1.2 X % K, dan % K = 0.83 X % K O


2 2

Muriate (KCl)
Dianggap pupuk yang kadar hara K nya tinggi. Nama muriate berasal dari asam murit
adalah sama dengan asam khlorida. Kadar K O teoritis dapat mencapai 60-62%; tetapi 2

dalam kenyataan pupuk muriate yang diperdagangkan hanya sekitar 50%. Bentuknya
berupa butiran kecil-kecil atau berupa tepung dengan warna putih sampai kemerah-
merahan. Dalam praktek lebih banyak digunakan jika dibandingkan dengan pupuk-pupuk K
yang lain karena harganya relatif murah.
Pupuk ini kurang disenangi karena kadar Cl nya yang tinggi terutama untuk pemupukan
tanaman yang peka terhadap kualitas maupun produksi. Banyak digunakan untuk
perkebunan karet dan tebu, tetapi sekarang sebagian beralih ke pupuk KNO . Pemupukan
3

KNO selain memupuk K juga berarti memupuk N.


3

Kalium sulfat (zwavelzuure kali = ZK)


Rumus kimia: K SO . Pupuk ini banyak digunakan baik untuk perkebunan maupun petani
2 4

kecil. Harganya lebih mahal jika dibandingkan dengan pupuk muriate. Kadar K O sekitar
2

48-50%. relatif mengandung Cl sedikit lebih kurang hanya 2.5%. Pupuk ZK dapat dibuat
dari garam komplek K SO .2MgSO . Garam komplek ini dilarutkan dalam air kemudian
2 4 4

diberi KCl Reaksinya:


K SO .2MgSO + KCl > 3 K SO + 2 MgCl .
2 4 4 2 4 2

K SO akan mengendap dan untuk memisahkannya maka MgCl didekantir. Pupuk ini sejak
2 4 2

lama banyak digunakan di Indonesia. Untuk tanaman sera misalnya rami, sosella dan kapas
pemupukan K mmengakibatkan kualiats seratnya lebih tinggi. Atau dibuat dari garam KCl
yang diasamkan dengan asam sulfat. Reaksinya sebagai berikut:
2 KCl + H SO > K SO + HCl
2 4 2 4

Reaksi pencampuran dilakukan dalam bejana besi panas yang selalu diaduk agar bercampur
sempurna. Gas HCl yang keluar didinginkan dan dilarutkan dalam air.

Kalium-magnesium sulfat
Rumus kimianya : K SO .2MgSO . Kadar K O berkisar antara 22-23% dan kadarMgO antara
2 4 4 2

18-129%. Dibuat dari garam komplek K SO . 2MgSO . Seperti pupuk ZK kadar Cl rendah
2 4 4

ialah kurang dari 3%. Kadar S= 18%. Perkebunan di sekitar Sumatra Utara dulu banyak
menggunakan pupuk ini.

Kalium nitrat (Niter)


Selain mengandung unsur K juga mengandung unsur N. Kadar K O cukup tinggi 44% dan
2

kadar N sekitar 13%. Pupuk ini kurang penting dan tidak banyak digunakan. Tanaman yang
banyak menggunkan pupuk ini ialah tanaman tembakau, kapas. Niter merupakan pupuk
majemuk dengan grade fertilizer 13-0-44.

Pupuk Majemuk (compound fertilizer)


Pupuk majemuk mengandung dua atau lebih hara tanaman (makro maupun mikro). Banyak
sekali pupuk majemuk yang beredar di masyarakat baik untuk pertanian, perkebunan,
pertamanan, hidrofonik atau khusus untuk tanaman anggrek. Pupuk tersebut mempunyai
nama dagang yang berbeda-beda tergantung pabrik pembuatnya. Pupuk yang ditujukan
untuk komoditas bernilai ekonomi tinggi umumnya mengandung banyak hara tanaman
terutama N, P dan K. Untuk tanaman sayuran dan hidrofonik banyak menggunakan hara
kedua N, P, K, Ca, Mg dan S. Sedangkan untuk tanaman hias dan anggrek disamping
mengandung seluruh hara makro juga mengandung seluruh hara mikro dengan grade
fertilizer yang beraneka. Bahkan ditambah lagi dengan zat pengatur pertumbuhan tanaman
(hormon).
Nitrogen umumnya berasal dari nitrat (NO ), amonium (NH ), amida (-NH ) dan protein,
3
-
4
+
2

baik secara tunggal maupun gabungan. Umumnya pupuk ini larut air. Sumber P berupa
monohidrofosfat (HPO ) dan dihidrofosfat (H PO ). P ini tidak sempurna larut air, tetapi
4
=
2 4
-

larut seluruhnya dalam asam sitrat. K berasal dari garam nitrat, khlorida atau sulfat kalium.
Pupuk majemuk cair bersifat larut air, penggunaannya disemprotkan pada organ tanaman.
Tersedianya beraneka pupuk majemuk tentu untuk memudahkan petani tanpa harus
membuat campuran sendiri. Pupuk majemuk dibuat disesuaikan dengan jenis tanaman atau
tujuan penggunaannya. Pupuk yang digunakan untuk kedelai berbeda dengan untuk rumput
atau padi. Demikian juga untuk tanaman kapas atau tembakau. Untuk tanaman kopi yang
belum menghasilkan digunakan pupuk yang berbeda dengan tanaman kopi yang sudah
produksi.
Untuk tanaman hias yang bernilai tinggi (misalnya anggrek) digunakan pupuk cair atau
pupuk padat slow release. Kandungan haranya lengkap berupa mineral yang air larut dan
juga sering senyawa organik protein dan hormon tumbuh serta unsur yang dapat berperanan
untuk mengintensifkan warna bunga.

6.4. Pupuk organik


Penggunaan pupuk di dunia terus meningkat sesuai dengan pertambahan luas areal
pertanian, pertambahan penduduk, kenaikan tingkat intensifikasi serta makin beragamnya
penggunaan pupuk sebagai usaha peningkatan hasil pertanian. Para ahli lingkungan hidup
khawatir dengan pemakaian pupuk mineral yang berasal dari pabrik ini akan menambah
tingkat polusi tanah yang akhirnya berpengaruh juga terhadap kesehatan manusia.
Berdasarkan hal tersebut makin berkembang alasan untuk mengurangi penggunaan pupuk
mineral dan agar pembuatan pabrik-pabrik pupuk di dunia dikurangi atau dihentikan sama
sekali agar manusia bisa terhindar dari malapetaka polusi. Upaya pembudidayaan tanaman
dengan pertanian organik merupakan usaha untuk dapat mendapatkan bahan makanan tanpa
penggunaan pupuk anorganik. Dengan sitem ini diharapkan tanaman dapat hidup tanpa ada
masukan dari luar sehingga dalam kehidupan tanaman terdapat suatu siklus hidup yang
tertutup.
Banyak sifat baik pupuk organik terhadap kesuburan tanah antara lain ialah:
1. Bahan organik dalam proses mineralisasi akan melepaskan hara tanaman dengan
lengkap (N, P, K, Ca, Mg, S, serta hara mikro) dalam jumlah tidak tentu dan relatif
kecil.
2. Dapat memperbaiki struktur tanah, menyebabkan tanah menjadi ringan untuk diolah
dan mudah ditembus akar.
3. Tanah lebih mudah diolah untuk tanah-tanah berat.
4. Meningkatkan daya menahan air (water holding capacity). Sehingga kamampuan
tanah untuk menyediakan air menjadi lebih banyak. Kelengasan air tanah lebih
terjaga.
5. Permeabilitas tanah menjadi lebih baik. Menurunkan permeabilitas pada tanah
bertekstur kasar (pasiran), sebaliknya meningkatkan permeabilitas pada tanah
bertekstur sangat lembut ( liatan).
6. Meningkatkan KPK (Kapasitas Pertukaran Kation ) sehingga kemampuan mengikat
kation menjadi lebih tinggi, akibatnya apabila dipupuk dengan dosis tinggi hara
tanaman tidak mudah tercuci.
7. Memperbaiki kehidupan biologi tanah (baik hewan tingkat tinggi maupun tingkat
rendah ) menjadi lebih baik karena ketersediaan makan lebih terjamin.
8. Dapat meningkatkan daya sangga (buffering capasity) terhadap goncangan
perubahan drastis sifat tanah.
9. Mengandung mikrobia dalam jumlah cukup yang berperanan dalam proses
dekomposisi bahan organik.
Sedangkan sifat yang kurang baik dari pupuk organik adalah:
1. Bahan organik yang mempunyai C/N masih tinggi berarti masih mentah. Kompos
yang belum matang (C/N tinggi) dianggap merugikan, karena bila diberikan langsung
ke dalam tanah maka bahan organik diserang oleh mikrobia (bakteri maupun fungi)
untuk memperoleh enersi. Sehingga populasi mikrobia yang tinggi memerlukan juga
hara tanaman untuk tumbuhan dan kembang biak. Hara yang seharusnya digunakan
oleh tanaman berubah digunakan oleh mikrobia. Dengan kata lain mikrobia bersaing
dengan tanaman untuk memperebutkan hara yang ada. Hara menjadi tidak tersedia
(unavailable) karena berubah dari senyawa anorganik menjadi senyawa organik
jaringan mikrobia, hal ini disebut immobilisasi hara. Terjadinya immobilisasi hara
tanaman bahkan sering menimbulkan adanya gejala defisiensi. Makin banyak bahan
organik mentah diberikan ke dalam tanah makin tinggi populasi yang menyerangnya,
makin banyak hara yang mengalami immobilisasi. Walaupun demikian nantinya bila
mikrobia mati akan mengalami dekomposisi hara yang immobil tersebut berubah
menjadi tersedia lagi. Jadi immobilasasi merupakan pengikatan hara tersedia menjadi
tidak tersedia dalam jangka waktu relatif tidak terlalu lama.
2. Bahan organik yang berasal dari sampah kota atau limbah industri sering
mengandung mikrobia patogen dan logam berat yang berpengaruh buruk bagi
tanaman, hewan dan manusia.

Sisa tanaman hasil pertanian


Limbah sisa hasil pertanian cukup banyak terutama terdiri dari daun-daun, kulit biji (kopi,
coklat, sabut kelapa) dari perkebunan, jerami padi jagung, daun dari halaman/ pekarangan
dan sebagainya. Bahan organik yang baru dikumpulkan umumnya masih segar dan
mempunyai kisaran nisbah C/N sedang ( 35) untuk legum dan sangat tinggi (> 60) untuk
kayu dan non legum. Sebelum digunakan bahan-bahan ini harus dikomposkan lebih dulu
agar nisbah C/N nya turun menjadi 15.

Pupuk kandang
Pupuk kandang merupakan pupuk yang penting di Indonesia. Selain jumlah ternak lebih
tinggi sehingga volume bahan ini besar, secara kualitatif relatif lebih kaya hara dan
mikrobia dibandingkan limbah pertanian. Yang yang dimaksud pupuk kandang ialah
campuran kotoran hewan/ ternak dan urine.
Tabel Rata-rata hara dari pupuk kandang sapi
Uraian Nilai
Ukuran hewan ( kg) 500
Pupuk segar (ton/tahun) 11,86
Kadar air ( %) 85
Kandungan hara (kg/ton ton)
Nitrogen (N) 10.0
Fosfor (P) 2.0
Kalium (K) 8.0
Kalsium (K) 5.0
Magnesium (Mg) 2.0
Sulfur (S) 1.5
Ferrum (Fe) 0.1
Boron (B) 0.01
Cuprum (Cu) 0.01
Mangan (Mn) 0.03
Zinc (Zn) 0.04

Pupuk kandang dibagi menjadi dua macam: a) pupuk padat dan b) pupuk cair. Susunan hara
pupuk kandang sangat bervariasi tergantung macamnya dan jenis hewan ternaknya.
Nilai pupuk kandang dipengaruhi oleh:

1. makanan hewan yang bersangkutan, fungsi hewan tersebut sebagai pembantu pekerjaan
atau dibutuhkan dagingnya saja,
2. jenis atau macam hewan, dan jumlah dan jenis bahan yang digunakan sebagai alas
kandang.

6.5. Pupuk Hijau


Pupuk hijau merupakan pupuk yang berasal dari sisa tanaman legum. Karena kemampuan
tanaman legum mengikat N udara dengan bantuan bakteri penambat N menyebabkan kadar
N dalam tanaman relatif tinggi. Akibatnya pupuk hijau dapat diberikan dekat waktu
penanaman tanpa harus mengalami proses pengomposan lebih dulu sebagaimana sisa-sisa
tanaman pada umumnya.
Beberapa contoh pupuk hijau, antara lain:
1. Crotalaria juncea. Dulu jenis legum ini diharuskan ditanam pada perkebunan
tembakau Vorstenland pergiliran tanaman. Memasukkan tanaman legum ini jelas
akan berpengaruh baik terhadap sifat-sifat tanah baik tanaman tembakau itu sendiri
maupun tanaman sesudahnya. Produksi 150-250 kw/ hektar. Kandungan N 2.84%
dari bahan kering. Kadar bahan kering 16.0% dari bahan basah.
2. Crotalaria anagyroides. Produksi hijauan daun dan tangkai 284 kw/ hektar. Kadar
N= 2.31% dari bahan kering, kadar bahan kering sekitar 13.24%; umur tanaman 6-
10 bulan.
3. Crotalaria usaramensis. Produksi hijauan tergolong tinggi sekitar 350 kw/ hektar;
umur tanaman 4-5 bulan.
4. Tephrosia vogelii, thephrosia candida.
5. Sesbania sesban, janti turen (Jawa).
6. Sesbania esculatta, produksi 120 kwt/ hektar.
7. Phaseolus tunatus, kratok (Jawa). Produksi 120-180 kw/ hektar . Mengandung N
3.85 % dari bahan kering; kadar bahan kering 19.3% terhadap bahan basah.
8. Glycine soya, kedele produksi 65.27 kw/ hektar tangkai dan daun mengandung
0.57% N dari bahan basah. Selain produksi daun dan tangkai kedele mempunyai
produksi biji kedele dengan sekitar 1.1 ton per hektar.
9. Vigna sisnensis, kacang tunggak, kacang dadapan.
10. Mimosa invisa, produksi 300 kw/ hektar.; umur 6-8 bulan.
11. Centrosoma pubescens, produksi 400 kw/ hektar; umur 10 bula.
12. Calopogonium mucunoides, umumnya digunakan untuk makanan ternak.
13. Pueraria thumbergiana.

6.6. Pupuk Hayati


Pupuk hayati adalah mikrobia yang diberikan ke dalam tanah untuk meningkatkan
pengambilan hara oleh tanaman dari dalam tanah atau udara. Umumnya digunakan
mikrobia yang mampu hidup bersama (simbiosis) dengan tanaman inangnya. Keuntungan
diperoleh oleh kedua pihak, tanaman inang mendapatkan tambahan unsur hara yang
diperlukan, sedangkan mikrobia mendapatkan bahan organik untuk aktivitas dan
pertumbuhannya.
Mikrobia yang digunakan sebagai pupuk hayati (biofertilizer) dapat diberikan langsung ke
dalam tanah, disertakan dalam pupuk organik atau disalutkan pada benih yang akan
ditanam. Penggunaan yang menonjol dewasa ini adalah mikrobia penambat N, dan mikrobia
untuk meningkatkan ketersedian P dalam tanah.
Bacaan lanjut:
BIO P 2000 Z.
Pupuk Hayati Bio P 2000 Z adalah pupuk hayati cair, hasil dari teknologi bio
perforasi dibuat dari sekumpulan bakteri yang dapat bekerja sama dengan tanaman
dalam penyerapan unsur hara. Pada saat ini kandungan bakteri di alam baik di tanah
maupun di tanaman sangat berkurang. Padahal bakteri tersebut secara alami dapat
membantu proses pengelolaan tanah dan proses pertumbuhan tanaman.

6.7. Pembuatan kompos


Kompos merupakan hasil perombakan bahan organik oleh mikrobia dengan hasil akhir
berupa kompos yang memiliki nisbah C/N yang rendah. Bahan yang ideal untuk
dikomposkan memiliki nisbah C/N sekitar 30, sedangkan kompos yang dihasilkan memiliki
nisbah C/N < 20. Bahan organik yang memiliki nisbah C/N jauh lebih tinggi di atas 30 akan
terombak dalam waktu yang lama, sebaliknya jika nisbah tersebut terlalu rendah akan
terjadi kehilangan N karena menguap selama proses perombakan berlangsung. Kompos
yang dihasilkan dengan fermentasi menggunakan teknologi mikrobia efektif dikenal dengan
nama bokashi. Dengan cara ini proses pembuatan kompos dapat berlangsung lebih singkat
dibandingkan cara konvensional.
Pengomposan pada dasarnya merupakan upaya mengaktifkan kegiatan mikrobia agar
mampu mempercepat proses dekomposisi bahan organik. Yang dimaksud mikrobia disini
bakteri, fungi dan jasad renik lainnya. Bahan organik disini merupakan bahan untuk baku
kompos ialah jerami, sampah kota, limbah pertanian, kotoran hewan/ ternak dan
sebagainya. Cara pembuatan kompos bermacam-macam tergantung: keadaan tempat
pembuatan, budaya orang, mutu yang diinginkan, jumlah kompos yang dibutuhkan, macam
bahan yang tersedia dan selera si pembuat.
Yang perlu diperhatikan dalam proses pengomposan ialah:
1. Kelembaban timbunan bahan kompos. Kegiatan dan kehidupan mikrobia sangat
dipengaruhi oleh kelembaban yang cukup, tidak terlalu kering maupun basah atau
tergenang.
2. Aerasi timbunan. Aerasi berhubungan erat dengan kelengasan. Apabila terlalu
anaerob mikrobia yang hidup hanya mikrobia anaerob saja, mikrobia aerob mati atau
terhambat pertumbuhannya. Sedangkan bila terlalu aerob udara bebas masuk ke
dalam timbunan bahan yang dikomposkan umumnya menyebabkan hilangnya
nitrogen relatif banyak karena menguap berupa NH3.
3. Temperatur harus dijaga tidak terlampau tinggi (maksimum 60 C). Selama
0

pengomposan selalu timbul panas sehingga bahan organik yang dikomposkan


temparaturnya naik; bahkan sering temperatur mencampai 60 C. Pada temperatur
0

tersebut mikrobia mati atau sedikit sekali yang hidup. Untuk menurunkan temperatur
umumnya dilakukan pembalikan timbunan bakal kompos.
4. Suasana. Proses pengomposan kebanyakan menghasilkan asam-asam organik,
sehingga menyebabkan pH turun. Pembalikan timbunan mempunyai dampak
netralisasi kemasaman.
5. Netralisasi kemasaman sering dilakukan dengan menambah bahan pengapuran
misalnya kapur, dolomit atau abu. Pemberian abu tidak hanya menetralisasi tetapi
juga menambah hara Ca, K dan Mg dalam kompos yang dibuat.
6. Kadang-kadang untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas kompos, timbunan
diberi pupuk yang mengandung hara terutama P. Perkembangan mikrobia yang cepat
memerlukan hara lain termasuk P. Sebetulnya P disediakan untuk mikrobia sehingga
perkembangannya dan kegiatannya menjadi lebih cepat. Pemberian hara ini juga
meningkatkan kualitas kompos yang dihasilkan karena kadar P dalam kompos lebih
tinggi dari biasa, karena residu P sukar tercuci dan tidak menguap.

Cara praktis pembuatan bokashi jerami pupuk kandang


Pembuatan kompos sebaiknya dikerjakan:
1. dalam bangunan yang memiliki lantai rata, keras dan bebas dari genangan air, serta
adanya atap yang melindungi dari terik matahari dan hujan,
2. dekat dengan sumber bahan organik: jerami, pupuk kandang, sampah, sekam, dedak
dll.,
3. dekat dengan sumber air, dan
4. transportasi mudah.
Alat yang diperlukan: Garuk atau cangkul, Pemotong rumput atau sabit, Gembor, Ember,
Cetakan kayu dan Karung atau plastik

Bahan
1. Jerami dicacah halus 3- 5 cm (500 kg)
2. Pupuk kandang (500 kg)
3. EM-4 (500 mL)
4. Gula pasir (250 g)

Cara pembuatan:
1. Larutan EM-4. Masukkan 20 mL EM-4 + 10 g gula pasir + air bersih 1.000 mL ke
dalam jerigen tertutup rapat, digojok merata dan difermentasikan selama 24 jam.
2. Jerami + pupuk kandang dicampur merata di atas lantai.
3. Tambahkan larutan EM-4 ke kemudian diaduk merata sehingga kadar lengas dalam
adukan tersebut sekitar 30%. Ambil segenggam bakal kompos tersebut, jika diperas
air mulai menetes.
4. Buat gundukan setinggi 60 cm, tutupi dengan karung goni.
5. Setiap 2 hari gundukan tersebut diperiksa, jika temperatur > 50 C gundukan harus
o

dibongkar dan dianginkan. Setelah dingin buat gundukan kembali, tutup dengan
karung goni. Jika terlalu kering tambahkan larutan EM-4.
6. Setelah 3 minggu gundukan dibongkar. Kompos diayak dengan saringan kasa 2 cm.
Bahan yang tidak lolos saring dikomposkan kembali.

Penggunaan bokashi
Takaran penggunaan secara umum 2 kg/m . Begitu sampai di lahan kompos harus segera
2

dicampur merata dengan tanah. Kompos yang tidak segera digunakan dapat disimpan.
Kompos terlebih dahulu dikering anginkan, kemudian dimasukkan dalam karung plastik
yang kedap air dan berwarna gelap. Karung tersebut disimpan ditempat yang kering,
terlindung dari hujan dan cahaya matahari langsung.

VII. Pemupukan
7.0. Pengertian Pemupukan
7.1. Pemupukan lewat akar
7.2. Pemupukan lewat daun
7.3. Serapan hara
7.4. Efisiensi pemupukan
7.5. Keharaan berimbang
7.6. Kebutuhan pupuk

7.0. Pengertian Pemupukan


Pemupukan menurut pengertian khusus ialah pemberian bahan yang dimaksudkan untuk
menyediakan hara bagi tanaman. Umumnya pupuk diberikan dalam bentuk padat atau cair
melalui tanah dan diserap oleh akar tanaman. Namun pupuk dapat juga diberikan lewat
permukaan tanaman, terutama daun.
Pemberian bahan yang dimaksudkan untuk memperbaiki suasana tanah, baik fisik, kimia
atau biologis disebut pembenahan tanah (amandement) yang berarti perbaikan (reparation)
atau penggantian (restitution). Bahan-bahan tersebut termasuk mulsa (pengawet lengas
tanah, penyangga temperatur), pembenah tanah (soil conditioner, untuk memperbaiki
struktur tanah), kapur pertanian (untuk menaikkan pH tanah yang terlalu rendah, atau untuk
mengatasi keracunan Al dan Fe), tepung belerang (untuk menurunkan pH tanah yang
semula tinggi) dan gipsum (untuk menurunkan kegaraman tanah). Rabuk kandang dan
hijauan legum diberikan ke dalam tanah dengan maksud sebagai pupuk maupun pembenah
tanah.
Pemupukan merupakan salah satu usaha pengelolaan kesuburan tanah. Dengan
mengandalkan sediaan hara dari tanah asli saja, tanpa penambahan hara, produk pertanian
akan semakin merosot. Hal ini disebabkan ketimpangan antara pasokan hara dan kebutuhan
tanaman. Hara dalam tanah secara berangsur-angsur akan berkurang karena terangkut
bersama hasil panen, pelindian, air limpasan permukaan, erosi atau penguapan. Pengelolaan
hara terpadu antara pemberian pupuk dan pembenah akan meningkatkan efektivitas
penyediaan hara, serta menjaga mutu tanah agar tetap berfungsi secara lestari.
Tujuan utama pemupukan adalah menjamin ketersediaan hara secara optimum untuk
mendukung pertumbuhan tanaman sehingga diperoleh peningkatan hasil panen.
Penggunaan pupuk yang efisien pada dasarnya adalah memberikan pupuk bentuk dan
jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tanaman, dengan cara yang tepat dan pada saat yang
tepat sesuai dengan kebutuhan dan tingkat pertumbuhan tanaman tersebut. Tanaman dapat
menggunakan pupuk hanya pada perakaran aktif, tetapi sukar menyerap hara dari lapisan
tanah yang kering atau mampat. Efisiensi pemupukan dapat ditaksir berdasarkan kenaikan
bobot kering atau serapan hara terhadap satuan hara yang ditambahkan dalam pupuk
tersebut.
Faktor yang berpengaruh terhadap pemupukan:
1. Tanah: kondisi fisik (kelerengan, kedalaman mempan perakaran, retensi lengas dan
aerasi), kondisi kimiawi (retensi hara tersedia, reaksi tanah, bahan organik tanah,
sematan hara, status dan imbangan hara), kondisi biologis (pathogen, gulma).
2. Tanaman: jenis, umur dan hasil panen yang diharapkan.
3. Pupuk: sifat, mutu, ketersediaan dan harga.
4. Iklim: temperatur, curah hujan, panjang penyinaran dan angin.

7.1. Pemupukan lewat akar


1. Penyebaran (broadcasting)
Dengan cara ini pupuk ditebarkan pada permukaan tanah, misalnya pada lahan sawah.
Pemupukan dilakukan sebelum tanam (waktu pembajakan/ penggaruan/ pengolahan tanah)
sebagai pupuk dasar, atau sesudah tanam sebagai pupuk susulan, kemudian diinjak-injak
agar pupuk terbenam ke dalam tanah.
Dapat dibedakan:
1. Top dressing: pupuk ditebarkan merata ke seluruh permukaan tanah atau menurut
alur yang tersedia. Untuk lahan yang sudah ditanami, jika permukaan tanaman basah
atau lembab cara ini harus ditunda, karena dapat menyebabkan plasmolisis daun.
Kerusakan akan meningkat pada dosis yang lebih besar, terutama pupuk N dan K.
2. Side dressing: pupuk ditebarkan di samping alur benih atau tanaman.
Metoda broadcasting cocok dilakukan untuk lahan sawah atau tanaman dengan jarak tanam
yang rapat, perakaran merata pada tanah bagian atas (top soil) dan pupuk diberikan dalam
jumlah yang besar. cara ini mudah dilakukan, hemat beaya dan tenaga, pemberian pupuk
agak berlebih tidak berdampak buruk bagi tanaman.
Namun kerugian yang harus ditanggung adalah kontak pupuk dengan tanah besar, sehingga
penyematan hara khususnya P oleh tanah akan lebih besar, pada tanah alkalis dan kering
sebagian N akan hilang menguap dalam bentuk ammonia (NH ), juga pertumbuhan gulma
3

akan ikut terpacu.


2. Penempatan (placement)
Dengan cara ini pupuk ditempatkan secara khusus ke dalam lubang atau alur yang sudah
dipersiapkan lebih dahulu. Pupuk dapat diberikan pada saat penyiapan atau saat penanaman,
terutama untuk tanaman semusim.
Pupuk diberikan dengan cara plow sole placement (bersamaan dengan pengolahan tanah,
pupuk dijatuhkan melalui lubang di belakang mata bajak), row placement(pupuk
dibenamkan ke dalam tanah menurut alur bekas bajakan kemudian akan tertutup oleh
pembalikan tanah pada alur berikutnya) atau combine drilling (pupuk dibenamkan bersama
benih ke dalam alur yang sudah dibuat sebelumnya, posisi pupuk dapat di bawah benih
disamping, atau keduanya).
Untuk lahan yang sudah ditanami dipergunakan cara side band placement (pupuk
ditempatkan pada alur disamping barisan tanaman), spot/ point placement (pupuk
ditempatkan pada suatu titik atau lubang di kanan atau kiri tanaman), atau circular band /
ring placement (pupuk dibenamkan ke dalam alir melingkar di sekeliing tanaman sejauh
tajuk daun terluar).
Untuk tanaman tahunan pupuk dapat diberikan ke dasar lubang tanam, dapat pula dicampur
terlebih dahulu dengan tanah bagian atas yang akan digunakan untuk menimbun lubang.
Metode placement cocok digunakan untuk tanah yang kurang subur, lahan kering, jarak
tanam renggang, perakaran sedikit, tanaman tahunan, jumlah pupuk sedikit, pupuk tablet,
dan terutama pupuk P dan K. Keuntungan yang diperoleh dengan metode ini adalah kontak
pupuk dengan tanah dapat dikurangi, sehingga penyematan hara dapat ditekan, pengambilan
hara oleh tanaman lebih mudah, terutama bagi tanaman yang perakarannya
terbatas, residual effect dari pupuk lebih besar, serta kehilangan hara dapat dikurangi.

3. Fertigation (fertilizing-irrigation)
Dengan cara ini kita melakukan pengairan sekaligus memupuk tanaman. Pengairan dapat
secara sederhana yakni air saluran yang dimasukkan ke lahan, atau irigasi modern
menggunakan tangki bertekanan. Pupuk yang digunakan dapat berupa cairan atau pupuk
padat yang dilarutkan dalam air. pupuk yang sering digunakan adalah ammonia, asam fosfat
dan KCl. Cara ini biasanya diterapkan untuk usaha yang komersial terutama di wilayah
padang pasir atau perbukitan.

4. Injection
Pupuk ammonia (gas) bertekanan disuntikkan pada kedalaman 10-20 dibawah permukaan
tanah, pupuk tanpa tekanan disuntikkan dekat dengan permukan tanah. Umumnya
diterapkan pada skala usaha yang besar dan hamparan yang luas.

7.2. Pemupukan lewat daun


Cara ini dikenal dengan nama foliar application. Pupuk terlarut disemprotkan pada
permukaan tanaman terutama daun. Cara ini dilakukan untuk melengkapi pemberian pupuk
melalui tanah untuk mengatasi dengan segera gejala kedefisensian yang muncul, terutama
hara mikro dan hara yang immobil dalam tubuh tanaman. Hara masuk ke dalam tubuh
tanaman melalui mulut stomata secara difusi atau osmosis.
Hal-hal penting yang harus diperhatikan adalah:
1. larutan harus encer (< 0,5 %);
2. tegangan muka larutan harus rendah sehingga kontak dengan permukaan daun lebih
besar, biasanya ditambahkan zat perekat;
3. kadar biuret pada urea harus < 2%;
4. kondisi lingkungan cuaca harus memungkinkan.

7.3. Serapan hara


Serapan hara adalah jumlah hara yang masuk ke dalam jaringan tanaman. Hal ini diperoleh
berdasarkan hasil analisis jaringan tanaman.
SERAPAN = kadar hara (%) x bobot kering (g)
Misalnya padi sawah memiliki kandungan K dalam jerami 1% dari bobot kering panen
sejumlah: 2 ton/ha. Maka besarnya pengangkutan K dalam jerami = 0,01 x 2.000 kg/ha =
20 kg K/ha.
Manfaat dari angka serapan hara antara lain :
1. Mengetahui efisiensi pemupukan
2. Mengetahui agihan hara dalam tubuh tanaman
3. Mengetahui pengangkutan hara dalam tanaman
4. Mengetahui neraca hara di suatu lahan.
5. Pertimbangan dalam membuat rekomendasi pemupukan.

Tabel serapan hara secara umum.

Unsur Biji Daun/batang

N (kg/ton) 20 20

P (kg/ton) 5 20

K (kg/ton) 4 2
Kadar hara secara umum dalam tanaman.

Sumber: Growth and Mineral Nutrition of Field Crops. 3ed. 2011. hal 103

7.4. Efisiensi pemupukan


Efisiensi merupakan nisbah antara hara yang dapat diserap tanaman dengan hara yang
diberikan. Makin banyak hara yang dapat diserap dari pupuk yang diberikan tersebut, maka
nilai efisiensi penyerapan semakin tinggi.
Eh = (Sp-Sk).100/Hp
Eh = efisiensi serapan hara
Sp = serapan hara pada tanaman yang dipupuk
Sk = serapan hara pada tanaman yang tidak dipupuk
Hp = kadar hara dalam pupuk yang diberikan
Nilai efisiensi serapan hara secara umum adalah untuk N = 40-60% , P = 15-20% dan K =
40-60%. Hara yang tidak dapat diserap oleh tanaman dapat disebabkan hilang karena
terlindi, menguap, terbawa air limpasan dan erosi, tersemat, diambil oleh mikrobia, atau
mengendap di dalam tanah.
Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensi penyerapan antara lain: pupuk
diberikan secara tepat (dosis, bentuk, waktu, cara). Penggunaan pupuk anorganik bersama-
sama dengan pupuk organik dilaporkan mampu meningkatkan efisiensi serapan hara. Pupuk
yang dibuat lepas terkendali (controlled released fertilizer) atau lepas lambat (slow released
fertilizer) dimaksudkan untuk melepas hara sesuai dengan kebutuhan tanaman.

7.5. Keharaan berimbang


Ketimpangan hara (nutrient imbalances) muncul akibat pola tanam monokultur dan
pemupukan yang tidak berimbang. Sebagian besar lahan padi sawah hanya diberi Urea dan
TSP (sekarang yang tersedia SP36, atau SP27). Ada sebagian yang memberikan N dalam
bentuk Urea dan ZA ([NH ] SO ). Kondisi demikian telah menyebabkan pengambilan hara
4 2 4

selain N, P, Ca dan S (karena ada dalam bahan pupuk yang diberikan petani) menjadi jauh
lebih besar dibandingkan yang dapat disediakan oleh tanah. Ini dikenal dengan istilah
penambangan hara (nutrient mining) di lahan sawah. Berdasarkan hukum Liebig, hara yang
terbatas jumlahnya akan menjadi faktor pembatas pertumbuhan dan hasil panen yang akan
diperoleh. Hal ini ditunjukkan oleh produktivitas padi sawah (hasil dalam ton per hektar)
yang terus menurun terutama di Jawa pada dekade terakhir ini.
Pemerintah menggalakkan penggunaan pupuk berimbang dengan meningkatan produksi
pupuk NPK. Jadi petani tidak hanya memberikan hara N dan P, tetapi juga sekaligus K. Di
masa depan yang diperlukan adalah pupuk spesifik atau tematik. Artinya pupuk yang
lengkap kandungan haranya (hara makro dan hara mikro) yang telah disesuaikan dengan
jenis tanaman dan lokasi usaha taninya. Untuk membuat pupuk yang tematik sifatnya,
diperlukan database yang cukup tentang kadar dan serapan hara oleh setiap jenis tanaman
yang diusahakan, sifat tanah dan lingkungan yang mempengaruhi cadangan dan efisiensi
penyerapan hara.
Penggunaan pupuk organik, bentuk padat atau cair, telah dilaporkan mampu meningkatkan
hasil panen per hektar. Hal ini disebabkan di dalam pupuk organik tersebut terkandung hara
yang selama ini menjadi faktor pembatas dalam lahan tersebut. Pupuk organik telah menjadi
kebutuhan mutlak bagi pengusaha hortikultura. Sejumlah pengusaha yang menyewa lahan
untuk tanaman mereka akan diuntungkan jika mendapatkan lahan yang masih cukup tinggi
kandungan bahan organiknya.

7.6. Kebutuhan pupuk


Berikut ini diberikan beberapa contoh perhitungan untuk menentukan kebutuhan pupuk.
Suatu lahan padi sawah membutuhkan 35 kg P O / hektar, sedangkan dari uji tanah
2 5

didapatkan kadar P tersedia 20 P O /hektar. Jika efisiensi serapan fosfat dari pupuk
2 5

TSP (45% P O ) yang diberikan sebesar 25%, maka jumlah pupuk yang diperlukan
2 5

adalah:
kebutuhan P2O5 = (25-20).100/25 = 60 kg P O kg/ha
2 5

kebutuhan TSP = 100.60/45 = 133 kg TSP/ha


Jika dosis pupuk Urea sebesar 250 kg/ha untuk tanaman jagung dalam satu musim
dengan jarak antar baris 70 cm dan dalam barisan 20 cm. Hitung berapa berat Urea
yang harus diberikan untuk setiap tanaman ?
Perhitungan berdasarkan populasi tanaman
Untuk luas 1 hektar, dosis pupuk = 250 kg = 250.000 g
Untuk luas 1 m2, dosis pupuk = 250.000 g / 10.000 m2 = 25 g/m2
Luas 1 tanaman = 0,7 x 0,2 m2 = 0,14 m2 > Populasi = 1/ 0,14 tanaman/m2
Dosis untuk 1 tanaman = 25 g / (1 /0,14 tanaman/m2) = 3,5 g/ tanaman.
Suatu percobaan di rumah kaca menggunakan 10 L tanah untuk setiap pot. Dosis
pupuk KCl untuk jagung adalah 100 kg KCl/ha dalam satu musim tanam. hitung
berapa berat pupuk yang harus ditimbang untuk setiap pot ?
Perhitungan berdasarkan volume tanah
Untuk 1 hektar, dosis = 100 kg = 100.000 g
Volume 1 hektar = 10.000 m2 x 0,2 m = 2.000 m3
Volume 1 pot = 10 L = 0,01 m3
Dosis per pot = (0,01 m3 /2.000 m3 ) x 100.000 g = 0,5 g / pot

VIII. Pengelolaan Kesuburan Tanah


8.1. Pengelolaan tanah masam
8.2. Pengelolaan tanah gambut
8.3. Pengelolaan tanah sawah
8.4. Pertanian lestari
8.5. Pengelolaan hara terpadu
8.6. Mutu dan kesehatan tanah
8.1. Pengelolan tanah masam
SOIL ACIDITY AND LIM ING

Liming an acid soil is the first step in creating favorable soil conditions for productive plant
growth. Crops vary in their ability to tolerate an acidic (low pH) soil. In addition, evidence
has shown that soil acidity may influence other crop management problems such as
herbicide activity. Soil pH is a good indicator of the need for liming, but a buffer pH
measurement is necessary to determine the quantity of soil acidity to be neutralized in order
to change the soil pH. The general goal of liming agricultural soils continues to be a soil pH
of 6.0 to 7.0.
Raising soil pH requires a quantity of agricultural liming material that is determined by the
amount of acidity in the soil and the quality of the liming material. Soil acidity is measured
by soil testing; the quality of agricultural liming material is determined by its purity and
particle size distribution.
Acid soils
In the context of agricultural problem soils, acid soils are soils in which acidity dominates
the problems related to agricultural land use. They are characterized by a pH which is
strongly (5.5-4.5) to extremely acid (<4.5), a low cation-exchange capacity and a low base
saturation.
Acid soils occur in the tropics and subtropics as well as in moderate climates. Their
formation depends on specific conditions of climate, topography, vegetation, parent material
and time for soil formation. Acrisols and Ferralsols are most common in old land surfaces
in humid tropical climates. Acid sulphate soils occur in the tropics, in low-lying coastal
land formerly occupied by mangrove swamps. Podzols are typical soils of the northern
coniferous forests but may occur in the tropics, too.
The types of acid soils vary considerably due to different factors in soil formation,
especially differences in climate, parent material and vegetation. Acid soils place major
difficulties for agricultural use but can be very productive if lime and nutrients are
constantly applied and appropriate soil management is practised.
Special management implications are caused by the occurrence of aluminium toxicity. In
general soils with pH (H2O) <5 and >60% Al saturation of the cation exchange capacity
(CEC) may suffer from Al toxicity. High concentrations of Al affect root growth, uptake
and translocation of nutrients (especially immobilization of phosphorus in the roots), cell
division, respiration, nitrogen mobilization and glucose phosphorylation of plants.
Therefore, in the context of agricultural problem soils, it is necessary to make a distinction
between acid soils with Al toxicity and soils without Al toxicity because of the differing
management implications for these soils.

Strongly acid soils with aluminium toxicity (pH < 5)


Strong soil acidity considerably effects physical, chemical and biological properties of
soils. The low calcium concentrations in the soil solution of acid soils restrict biological
activity and soil structure stability. The major production constraint on strongly acid
mineral soils is, however, the possible occurrence of high aluminium concentrations in the
soil solution which are toxic to plants. Especially many tropical soils which are extremely
weathered contain high amounts of exchangeable aluminium due to advanced soil formation
processes.
The first effects of aluminium toxicity to be observed are a shortening and thickening of the
roots. Roots become brown in colour and branching is reduced. The symptoms of
aluminium toxicity are similar to phosphorus or calcium deficiency. If aluminium toxicity
further progresses various plant metabolic processes are affected such as uptake and
translocation of nutrients (especially immobilization of phosphorus in the roots), cell
division, respiration, nitrogen mobilization and glucose phosphorylation of plants.
The tolerable aluminium concentration varies from plant species to plant species. But there
are few crops such as tea which may accumulate greater amounts of aluminium without
negative effects on plant growth. Tolerance of plants may depend on different factors such
as differences in root morphology, ability to increase the pH of the root zone, mechanisms
to reduce translocation of aluminium from the roots to the shoots, accumulation of
aluminium in the shoots without affecting plant metabolism and mechanisms for not
inhibiting nutrient uptake (Ca, Mg, P) despite the presence of aluminium.
Lime application is a common means for increasing soil pH and consequently reducing the
amount of aluminium in the soil solution. However, in many tropical areas lime is in short
supply. Therefore the breeding of aluminium tolerant crop varieties is of specific
importance for tropical agriculture. There are tolerant varieties of various crops available.
Especially varieties of upland rice, cassava, mango, cashew, citrus, pineapple and cowpeas
may be suitable for arable production on these soils. Also various grasses (Brachiaria
decumbens, Paspalum plicatulum, Pueraria lobata, Melinis minutiflora, Hyparrhenia rufa)
and legumes (Stylosanthes ssp., Desmodium ssp, Centrosema ssp.) can be productively used
on these soils.
Moderately acid soils without aluminium toxicity (pH >5 and <6.5)
In moderately acid soils there are no principal differences with regard to the pH demands of
crops if aluminium toxicity is excluded. Even crops which are known to demand more
neutral soil conditions such as sugar beet, barley and wheat may give reasonable yields on
moderate acid soils if appropriate nutrient and water supply and favourable rooting
conditions are ensured. The negative effects of soil acidity on physical and chemical soil
conditions can be partly compensated by a high organic matter content. The lower the soil
pH, the higher should be the organic matter content of the soil. A high organic matter
content helps to achieve favourable tillage conditions, good aggregate stability and soil
aeration. Consequently appropriate attention has to be given to increase the organic matter
content in moderate acid soils. This can be achieved, for instant, by mulching or no-tillage
systems.

8.2. Pengelolaan tanah gambut


In the context of agricultural problem soils, Histosols are soils in which the organic matter
content dominates the problems related to agricultural land use. They are characterized by a
layer of organic matter (>30%) of more than 40 cm either extending down from the surface
or taken cumulatively within the upper 80 cm of the soil (histic horizon).
Histosols have specific characteristics (low bulk density, colloidal nature and specific
thermal properties) which differ substantially from those of mineral soils. Variations in
these characteristics depend on the flora which has formed the Histosol. The floristic
composition and evolving decomposition products (humus substances as humid and
fulvic acids) determines the organic matter which forms the Histosol. Histosols are formed
because the production of organic debris exceeds its decay; the accumulated dead plant
material is only slightly decomposed due to varying combinations of waterlogging (and
resulting anaerobic conditions), low temperatures and severe acidity.
The occurrence of Histosols depends on a permanent plant cover and a shallow water table.
Natural drainage is very poor and the occurrence of water lenses within the peat is fairly
common. Histosols occur mainly in areas of high atmospheric humidity, low
evapotranspiration and consequently wet soils or form in wet depressions and flat sites
where run-off water accumulates and prevents the rapid decomposition of the plant litter.
Histosols occupy some 270 million hectares worldwide, mainly in boreal and temperate
regions. Some 225 million hectares are situated in the boreal and temperate regions of
North America, Europe and Asia. An estimated 40 million hectares occur in the tropics and
subtropics, of which almost 25 million are in the coastal lowlands of Southeast Asia.
Histosols are used for various forms of extensive forestry and/or grazing or lie idle. If
carefully reclaimed and managed, Histosols can be very productive under capital-intensive
forms of arable cropping and horticulture.
Histosols have a high pore volume (low bulk density) which causes considerable problems
for the reclamation. The removal of water through drainage is necessarily associated with
shrinkage and compaction of the loose organic matter and subsequent considerable
subsidence of the land surface. The low bearing capacity hampers also the construction of
roads, buildings, and water works.
After removal of the plant cover the low thermal conductivity of the organic material allows
very high temperatures to build up in the upper few centimetres of Histosols exposed to
direct solar radiation. This causes irreversible transformation of colloids and makes the
organic material crumble to a dry powder which is very susceptible to wind erosion. The
lower parts of the solum, in contrary, heat up slowly which can be unfavourable for plant
development in colder environments.
The fertility of Histosols is normally low when the natural vegetation is abruptly replaced
with agricultural crops. The cycling of plant nutrients is interrupted and leads to chemical
exhaustion, particularly where annual crops are grown on oligotrophic material. Especially
micro-nutrients (as boron, copper and zinc) may be deficient. Controlled burning is often
(particularly in subsistence agriculture) used as a means to liberate nutrients. However,
burning has to be considered as an inappropriate practice for sustainable agriculture because
in the long run soil structure is seriously damaged and most of the nutrients are lost to the
atmosphere or leached out of the rooting zone.
The specific characteristics (low bulk density, colloidal nature and specific thermal
properties) of Histosols require careful soil management for their sustainable agricultural
use in order to deal with the degrading effects of rapid decomposition, mineralization and
compaction of organic material after drainage; and irreversible shrinkage resulting in
adverse water retention characteristics and increased sensitivity to wind erosion.

8.3. Pengelolaan tanah sawah


Importance of rice
Agriculture contributed 22% to GDP in 1990. Rice is an important commodity and is
subsidized by the government through inputs and price support. As a result, the country
attained self-sufficiency in 1984. Indonesia used to import 25% of the rice in the world
market in the 1960s and early 1970s, but exported small amounts in the late 1980s. Rice
production increased at the rate of 4.6% annually from 1969 to 1988, but this rate has
declined recently, and the country has slipped back into import dependence. In 1995
Indonesia imported 3.2 million t of rice to cope with the short-fall in domestic production
due to natural disasters.
Rice is the staple food of the people. In rice- growing areas, it is a major source of income
for the farmers. With diversification programs, however, other commodities included in the
farming systems supplement the income from rice. Rice area increased by 33% between
1969 and 1990. But in Java many ricelands are being converted into nonagricultural use
such as housing and industry. There is, however, potential of expansion of rice area in the
coastal wetlands in the outer islands.

Rice environment
Rice is grown in a wide range of environments: irrigated lowland, rainfed lowland, tidal
swamp, and upland. About 72% of the rice area is irrigated, 7% rainfed lowland, 10% flood-
prone, and 11% upland. About 70% of the irrigated rice area can be planted to two crops of
rice a year; in the other rice ecosystems, only one rice crop can be grown. Dryland crops,
however, usually follow the rice crop in rainfed lowland areas. The average cropping
intensity is about 140%. On Java, however, cropping intensity is more than 200%,
especially in irrigated and favorable rainfed ecosystems.
Most irrigated lowland rice areas are located in floodplains. However, they can also be
found on mountainsides wherever there is water. Rainfed lands are on both floodplains and
undulating landscapes. Uplands are mostly on undulating landscape. Most of the flood-
prone areas are coastal swamps affected by the rise and fall of tides.
The use of modern rice varieties has increased markedly. Current estimates are that over
85% of riceland is planted to modern varieties. Production of other food crops such as
maize, soybean, peanut, and mungbean has been increasing at about the same rate as rice.
The area covered by these crops has increased at an even higher rate than rice, averaging
about 4.3% annually.

Production constraints
Long-term sustainability is a primary concern, particularly in the uplands. Weather,
topography, and poor soils are the chief production constraints.
1. Weather. Rainfed lowland, and upland rice ecosystems are most prone to drought
stress. However, some irrigated lowlands are also prone to drought, especially in the
dry season when irrigation water is in short supply. Others, especially those in low-
lying areas, as well as the tidal swamps are subject to flooding.\
2. Topography. Erosion is a serious problem in upland rice areas because on steep
slopes the fields are neither bunded nor terraced. That is causing serious
sedimentation problems in lowland irrigation systems. Alley cropping as well as
terracing are being introduced in some areas, but these cultural practices have not as
yet been widely adopted by farmers.
3. Soils. In irrigated and favorable rainfed lowlands, the relatively heavy application of
fertilizers plus the fairly high yields make nutrient imbalance a serious problem. In
the upland ecosystem, where soils are more weathered and leached, acidity, Al
toxicity, P and other nutrient deficiencies combine to reduce yields. Soil acidity is
serious in tidal swamps because of acid sulfate soils. That is accompanied by Fe
toxicity, as well as some deficiencies of P and micronutrients.

8.4. Pertanian lestari


Sustainable Agriculture
Some terms defy definition. Sustainable agriculture has become one of them. In such a
quickly changing world, can anything be sustainable? What do we want to sustain? How
can we implement such a nebulous goal? Is it too late? With the contradictions and
questions have come a hard look at our present food production system and thoughtful
evaluations of its future. If nothing else, the term sustainable agriculture has provided
talking points, a sense of direction, and an urgency, that has sparked much excitement and
innovative thinking in the agricultural world.
The word sustain, from the Latin sustinere (sus-, from below and tenere, to hold), to keep
in existence or maintain, implies long-term support or permanence. As it pertains to
agriculture, sustainable describes farming systems that are capable of maintaining their
productivity and usefulness to society indefinitely. Such systems must be resource-
conserving, socially supportive, commercially competitive, and environmentally sound.
The term sustainable agriculture means an integrated system of plant and animal production
practices having a site-specific application that will, over the long term:
satisfy human food and fiber needs
enhance environmental quality and the natural resource base upon which the
agricultural economy depends
make the most efficient use of nonrenewable resources and on-farm resources and
integrate, where appropriate, natural
biological cycles and controls
sustain the economic viability of farm operations
enhance the quality of life for farmers and society as a whole.

Concept Themes
Sustainable agriculture integrates three main goalsenvironmental health, economic
profitability, and social and economic equity. A variety of philosophies, policies and
practices have contributed to these goals. People in many different capacities, from farmers
to consumers, have shared this vision and contributed to it. Despite the diversity of people
and perspectives, the following themes commonly weave through definitions of sustainable
agriculture.
Sustainability rests on the principle that we must meet the needs of the present without
compromising the ability of future generations to meet their own needs.
Therefore, stewardship of both natural and human resources is of prime importance.
Stewardship of human resources includes consideration of social responsibilities such as
working and living conditions of laborers, the needs of rural communities, and consumer
health and safety both in the present and the future. Stewardship of land and natural
resources involves maintaining or enhancing this vital resource base for the long term.
A systems perspective is essential to understanding sustainability. The system is envisioned
in its broadest sense, from the individual farm, to the local ecosystem, andto communities
affected by this farming system both locally and globally. An emphasis on the system
allows a larger and more thorough view of the consequences of farming practices on both
human communities and the environment. A systems approach gives us the tools to explore
the interconnections between farming and other aspects of our environment.
A systems approach also implies interdisciplinary efforts in research and education. This
requires not only the input of researchers from various disciplines, but also farmers,
farmworkers, consumers, policymakers and others.
Making the transition to sustainable agriculture is a process. For farmers, the transition to
sustainable agriculture normally requires a series of small, realistic steps. Family economics
and personal goals influence how fast or how far participants can go in the transition. It is
important to realize that each small decision can make a difference and contribute to
advancing the entire system further on the sustainable agriculture continuum. The key to
moving forward is the will to take the next step.
Finally, it is important to point out that reaching toward the goal of sustainable agriculture
is the responsibility of all participants in the system, including farmers, laborers,
policymakers, researchers, retailers, and consumers. Each group has its own part to play, its
own unique contribution to make to strengthen the sustainable agriculture community.
The remainder of this document considers specific strategies for realizing these broad
themes or goals. The strategies are grouped according to three separate though related areas
of concern: Farming and Natural Resources, Plant and Animal Production Practices, and the
Economic, Social and Political Context. They represent a range of potential ideas for
individuals committed to interpreting the vision of sustainable agriculture within their own
circumstances.

Plant Production Practices


Sustainable production practices involve a variety of approaches. Specific strategies must
take into account topography, soil characteristics, climate, pests, local availability of inputs
and the individual growers goals. Despite the site-specific and individual nature of
sustainable agriculture, several general principles can be applied to help growers select
appropriate management practices:
Selection of species and varieties that are well suited to the site and to conditions on
the farm;
Diversification of crops (including livestock) and cultural practices to enhance the
biological and economic stability of the farm;
Management of the soil to enhance and protect soil quality;
Efficient and humane use of inputs; and
Consideration of farmers goals and lifestyle choices.
Selection of site, species and variety.
Preventive strategies, adopted early, can reduce inputs and help establish a sustainable
production system. When possible, pest-resistant crops should be selected which are
tolerant of existing soil or site conditions. When site selection is an option, factors such as
soil type and depth, previous crop history, and location (e.g. climate, topography) should be
taken into account before planting.

Diversity
Diversified farms are usually more economically and ecologically resilient. While
monoculture farming has advantages in terms of efficiency and ease of management, the
loss of the crop in any one year could put a farm out of business and/or seriously disrupt the
stability of a community dependent on that crop. By growing a variety of crops, farmers
spread economic risk and are less susceptible to the radical price fluctuations associated
with changes in supply and demand.
Properly managed, diversity can also buffer a farm in a biological sense. For example, in
annual cropping systems, crop rotation can be used to suppress weeds, pathogens and insect
pests. Also, cover crops can have stabilizing effects on the agroecosystem by holding soil
and nutrients in place, conserving soil moisture with mowed or standing dead mulches, and
by increasing the water infiltration rate and soil water holding capacity. Cover crops in
orchards and vineyards can buffer the system against pest infestations by increasing
beneficial arthropod populations and can therefore reduce the need for chemical inputs.
Using a variety of cover crops is also important in order to protect against the failure of a
particular species to grow and to attract and sustain a wide range of beneficial arthropods.
Optimum diversity may be obtained by integrating both crops and livestock in the same
farming operation. This was the common practice for centuries until the mid-1900s when
technology, government policy and economics compelled farms to become more
specialized. Mixed crop and livestock operations have several advantages. First, growing
row crops only on more level land and pasture or forages on steeper slopes will reduce soil
erosion. Second, pasture and forage crops in rotation enhance soil quality and reduce
erosion; livestock manure, in turn, contributes to soil fertility. Third, livestock can buffer the
negative impacts of low rainfall periods by consuming crop residue that in plant only
systems would have been considered crop failures. Finally, feeding and marketing are
flexible in animal production systems. This can help cushion farmers against trade and price
fluctuations and, in conjunction with cropping operations, make more efficient use of farm
labor.

Soil management
A common philosophy among sustainable agriculture practitioners is that a healthy soil is
a key component of sustainability; that is, a healthy soil will produce healthy crop plants
that have optimum vigor and are less susceptible to pests. While many crops have key pests
that attack even the healthiest of plants, proper soil, water and nutrient management can
help prevent some pest problems brought on by crop stress or nutrient imbalance.
Furthermore, crop management systems that impair soil quality often result in greater inputs
of water, nutrients, pesticides, and/or energy for tillage to maintain yields.
In sustainable systems, the soil is viewed as a fragile and living medium that must be
protected and nurtured to ensure its long-term productivity and stability. Methods to protect
and enhance the productivity of the soil include using cover crops, compost and/or manures,
reducing tillage, avoiding traffic on wet soils, and maintaining soil cover with plants and/or
mulches. Conditions in most California soils (warm, irrigated, and tilled) do not favor the
buildup of organic matter. Regular additions of organic matter or the use of cover crops can
increase soil aggregate stability, soil tilth, and diversity of soil microbial life.

Efficient use of inputs


Many inputs and practices used by conventional farmers are also used in sustainable
agriculture. Sustainable farmers, however, maximize reliance on natural, renewable, and on-
farm inputs. Equally important are the environmental, social, and economic impacts of a
particular strategy. Converting to sustainable practices does not mean simple input
substitution. Frequently, it substitutes enhanced management and scientific knowledge for
conventional inputs, especially chemical inputs that harm the environment on farms and in
rural communities. The goal is to develop efficient, biological systems which do not need
high levels of material inputs.
Growers frequently ask if synthetic chemicals are appropriate in a sustainable farming
system. Sustainable approaches are those that are the least toxic and least energy intensive,
and yet maintain productivity and profitability. Preventive strategies and other alternatives
should be employed before using chemical inputs from any source. However, there may be
situations where the use of synthetic chemicals would be more sustainable than a strictly
nonchemical approach or an approach using toxic organic chemicals. For example, one
grape grower switched from tillage to a few applications of a broad spectrum contact
herbicide in the vine row. This approach may use less energy and may compact the soil less
than numerous passes with a cultivator or mower.

8.5. Pengelolaan hara terpadu


INTEGRATED PLANT NUTRIENT MANAGEMENT SYSTEM (IPNMS)
Definition
Integrated plant nutrient management system (IPNMS) pertains to the combined use of
organic and inorganic fertilizers in proper proportion accompanied by sound cultural
management practices in crop production. Such cultural practices include the use of
appropriate varieties, good water management, pest control (including weeds) and crop
rotation (Rice Production Manual, 1991). According to Singh (1994), the basic concept of
IPNMS is to limit the unfavorable exploitation of soil fertility and plant nutrients.
The maintenance and improvement of soil fertility and plant nutrition at an optimum level
to sustain the desired crop productivity through optimization of the benefits from all
possible sources of plant nutrients in an integrated manner is the main concern of IPNMS.
The combination of organic and inorganic fertilizer seem to be more practical than the use
of organic fertilizer alone. The importance of IPNMS is recognized mainly because of the
growing consumption of inorganic fertilizers and the unavailability of nutrients at low cost.
Another reason is that, many researches revealed that neither inorganic fertilizers nor
organic sources alone can achieve a sustainable productivity of soils as well as crops under
highly intensive cropping systems (Singh, et. al., 1994).
There are many factors that should be considered in the adoption of IPNMS and should
include the farmers socio-economic and cultural conditions. There are varying approaches
in the utilization of organic materials in different localities. In Central Luzon, one common
practice of the farmer is the dumping and burning of rice hull in the field prior to planting.
This burned rice hull is the farmers way of controlling pest especially weeds and diseases
(Aganon, et. al, 1999).
IPNMS also considers the water resource in the area. In upland farming where water is
usually limiting, the application of organic matter is encouraged to increase the soil water
holding capacity and provide more available water to the plants.

History
In the mid-1960s, when projections of global starvation were common, no one questioned
the role of mineral fertilizer in increasing food production, particularly in the food-deficit
countries. On the contrary, fertilizer use was an integral part of the Green Revolution
technological package of improved varieties of rice and wheat, irrigation, and fertilizer that
helped many densely populated countries to achieve food self-sufficiency in the short span
of 20 to 25 years.
In the early 1990s, however, fertilizer became the target of criticism, mainly because of
heavy use in the developed countries, where it was suspected of having an adverse impact
on the environment through nitrate leaching, eutrophication, greenhouse gas emissions and
heavy metal uptakes by plants. Consequently, fertilizer use per se was mistakenly identified
as harmful to the environment. But, if for any reason fertilizer use were discontinued today,
world food output would drop by an estimated 40 per cent with all its disastrous
consequences. While fertilizer misuse can contribute to environmental contamination, it is
often an indispensable source of the nutrients required for plant growth and food
production.
Unless all the soil nutrients removed with the harvested crops are replaced in proper
amounts from both organic and inorganic sources, crop production cannot be sustained: soil
fertility will decline. If in the past, the emphasis was on increased use of fertilizer; the
current approach should focus on educating farmers to optimize use of organic, inorganic,
and biological fertilizer in an integrated way. Plant nutrition in future will require the
judicious and integrated management of all sources of nutrients for sustainable agriculture.

Need for change


To promote this integrated approach in a more systematic and scientific manner, FAO
pioneered the development of new technologies such as Integrated Pest Management (IPM)
and IPNS. The basic concept underlying IPNS is the maintenance and possible increase of
soil fertility for sustaining increased crop productivity through the optimization of all
possible sources, organic and inorganic, of plant nutrients required for crop growth and
quality in an integrated manner appropriate to each cropping system and farming situation
within the given ecological, social and economic boundaries.
Integrated nutrient management differs from conventional nutrient management in that it
more explicitly considers nutrients from different sources, notably organic materials,
nutrients carried over from previous cropping seasons, the dynamics and transformation of
nutrients in soil, interaction between nutrients, and the availability of nutrients in space (the
rooting zone) and time (the growing season), in relation to the nutrient demand by the crop.
In addition, it integrates the objectives of production with ecology and environment, that is,
optimum crop nutrition, optimum functioning of the biosphere (soil health), and minimum
nutrient losses or other adverse effects on the environment.
Integrated Nutrient Management (INM) has to be considered an integral part of any
sustainable agricultural system. Attempts made in several countries of South and South-East
Asia to complement the use of mineral with organic sources of plant nutrients have
generated useful, though limited, information on the complementary and synergistic effects
of these materials on the yield of crops. Because organic sources of nitrogen are also
improving soil structure and soil bioactivity which are not directly improved by mineral
sources of N, the productivity of the crop for each kg of N may be better with organic
sources of N than with only mineral sources of N. If the objective of IPNS is the balanced
and effective use of various sources of plant nutrients than the strategy should be the
mobilization of all available, accessible and affordable plant nutrient sources in order to
optimize the environmentally benign productivity of the whole cropping system and to
increase the monetary return to the farmer.
Thus, there is need for more information on (i) integrated nutrient recommendations for
cropping systems as a whole taking into account the complementary and the synergistic
effects of combined use of both mineral and organic/ biological sources for sustained crop
production, (ii) recommendations for different agro-ecological situations taking into account
available organic/ biological resources, (iii) and finally, transfer of this technology for the
benefit of small farmers through the national agricultural extension services.

Components and technology of IPNS


Soil sources
Soils supply all the 16 essential plant nutrients. Nutrients are mostly found in organic and/or
fixed mineral form. Plants can meet much of their nutritional requirement from this source,
if managed properly, mainly through mineralization of soil organic matter. But due to
continuous and intensive cultivation, the nutrient supplying capacity of soils has decreased
considerably.
Therefore, under any intensive agriculture system, special emphasis should be given to
raising Soil Organic Matter (SOM) to maintain soil nutrient and to reduce soil degradation.
To enhance soil nutrient supply it is necessary to adopt appropriate soil management
practices, such as improvement of soil physical conditions and addition of appropriate
quantities of nutrients including micronutrients through mineral fertilizer, organic and
biological sources.

Mineral fertilizers
Various types and grades of fertilizer are available throughout Asia supplying major
nutrients such as N, P and K. The fertilizer use levels differ widely between various
countries and nutrient use is mostly imbalanced, favouring lopsided use of nitrogen.
Balanced fertilization is known to improve fertilizer use efficiency (FUE) and at the same
time profitability for the farmer. Using ever higher rates of nitrogen (urea mostly) alone
with improved better varieties, the resulting higher yields also remove ever larger amounts
of soil nutrients if not replenished and the FUE declines further resulting in stagnating and
even declining yields. This leads to the paradox situation where statistics report the
continuing increase in fertilizer use but the expected crop production increases are not
taking place.
Apart from N, P and K, sulphur (S) and micronutrients such as zinc (Zn), iron (Fe)
manganese (Mn) and boron (B) have also gained in importance in recent years. The
secondary nutrient sulphur (S) has become deficient over wide areas especially since the
intensive use of high analysis fertilizer, urea, instead of sulphate of ammonia and TSP or
DAP instead of single superphosphate or NPK compounds. The major effect of these and
several other factors is the gradual decline in crop yields and fertilizer use efficiency.

Organic fertilizer sources


The sustainability of highly intensive cropping systems and the associated heavy mineral
fertilizer use without organic manures is widely questioned. This has brought the almost
forgotten farmyard manures (FYM) and composts back to the forefront. Regular
applications of such organic manures not only supply all the various secondary and
micronutrients, though in small quantities, but also improve the physical and biological
properties of the soil.
Furthermore, return to the farm is the best way to take care of the large amounts of animal
waste produced in the commercial dairy, pig and poultry farms, instead of dumping and
degrading the environment.

Farmyard manure
Farmyard manure (FYM) traditionally does not receive the attention it deserves, as most
farmers store their most valuable asset, their cattle/ buffalo manure not in a systematic, but
in a rather haphazard way. Storage of FYM in rural households in the region is in heaps
exposed to sun, wind and rain, which accounts for substantial nutrient losses. FYM
preparation needs improvement, adhering to strict and prompt coverage for shading and
prevention of drying out by hot wind or washing out of nutrients with heavy rains (pollution
hazard). In the Indian subcontinent the widespread practice of using dried cattle and buffalo
dung for burning (cooking) as firewood substitute should be discouraged and for the farmer
affordable alternatives provided to the farmers e.g. use of biogas.

Compost
Unlike FYM, compost is not a by-product of common farm activities, but has to be
specially prepared for its own sake. The quality of the ripe compost after undergoing a
heating process reaching at least 60oC to destroy harmful pathogens and weed seeds will
depend on the raw material used and the attention given to proper composting by the
farmer. The C:N ratio needs to be lowered to 20-15 and good quality compost should have
no more than 30 per cent moisture, as no farmer wants to carry excess water to the field.
Practically all 16 known plant nutrients are contained in compost, but unfortunately, only in
very small quantities. Composting is a labour and time-consuming process, which takes 3-6
months. To speed up the process in several countries, rapid composting technologies have
been developed. With the use of Trichoderma harzianium (Philippines), a fungal activator,
decomposition of rice straw and other organic material with high C:N ratio, combined with
animal manure is enhanced to 25 days.
In Thailand, the Department of Land Development of the Ministry of Agriculture uses a
mixture of bacterial and fungal microorganisms to inoculate raw rice straw compost for
rapid decomposition. More than 100,000 packages of compost activator or inoculants are
prepared per year for free distribution to farmers. Each package of 150 g is sufficient for
rapid composting of one ton straw or other organic material together with 200 kg of animal
manure plus 2 kg of urea. Commercially prepared composts marketed as organic fertilizer
are available in most countries in the region and used mainly for high quality vegetable
production and horticultural use.

Crop residues
Other freely available sources of organic matter that are available on-farm in large
quantities are wheat and rice straws, maize stalks, and stovers of legumes and various
pulses. Most of the crop residues are not collected for composting and nutrient recycling,
but are used as animal feed (straws/stovers), burnt or left in the field for natural
decomposition (fallen leaves and stubble). Crop residues in the long run also increase the
OM content in the soil. Mulching with fresh straw or leaves is another good agronomic
practice for conserving moisture, reducing soil erosion and for recycling of nutrients, if the
partly decomposed mulching material is ploughed under for the following crop. Direct
seeding of maize or soybean into mulch cover would be another good agronomic practice.
Burning of straw which is still widely practised by farmers as the fastest and least labour
requiring method of disposal should be discouraged or, if possible, banned as in most
developed countries, mainly because of its air polluting effect.

Green manure
Green manure crops such as Sesbania aculeata ploughed into the soil after 45-60 days, as
practiced by Indian, Nepali and Pakistani farmers may contribute about 30-40 kg per
hectare nitrogen for the following crop. However, it seems to be increasingly difficult to
find a niche in the traditional farming calendar and cropping system to successfully grow a
green manure crop, which occupies the land for several months and needs water and
fertilizer, except N- just to plough it back into the soil.
Wherever possible and feasible the growing of grain legumes such as groundnuts, soybeans,
chickpeas, cowpeas or mungbean as cash crops, which maintain soil fertility and provide
farmers with extra income and fodder from crop residues should be encouraged.
Leguminous green manures, when incorporated, certainly add the nutrients present in their
biomass including the bulk of nitrogen they have captured (fixed) from the air, but other
nutrients have to be absorbed from the soil.
Green manuring apart from making net nitrogen addition, basically recycles other nutrients
back in the soil. Furthermore, effective nitrogen fixation requires an adequate phosphorus
status in soils which is usually lacking. It is a common misconception that using green
manures to provide nitrogen would be less damaging to the environment than using mineral
fertilizer, but far from it, the opposite is often the case. When the legume plants die at the
end of the growing season or after harvest and there is no crop growth in the field to take up
all the nitrate which is released from the rapidly decaying rhizobium nodules and plant
residue, there is a great danger of nitrate leaching, especially under hot, humid and high
rainfall climatic condition in the tropics.

Biogas slurries
Biogas plants in rural areas produce digested slurry as an end product, which could be
applied directly in cultivated fields. Such slurry contains about 1.5-2.0 per cent nitrogen, 1.0
per cent phosphorus and a little over 1 per cent potassium. It is also a valuable source of
micronutrients. Moreover, due to the heated digestion processes, biogas slurry is virtually
free from weed seeds and pathogens.

Industrial waste materials


Most industrial waste materials as are valuable resources and should be properly managed
and utilized. The large number of sugar cane processing factories in the region produce
substantial quantities of organic by-products such as bagasse, pith and press-mud. Even
though some of the bagasse and cane residues are used for cardboard production, most of
them are burnt as fuel in the sugar industry. So far only a small portion is mixed with press-
mud, composted and recycled as organic fertilizer.
Agro-industries, such as fruit and vegetable processing, cotton ginneries, oil mills,
breweries and distilleries, also produce large quantities of organic waste materials which
need to be properly managed and utilized for nutrient recycling instead of dumping and
polluting the environment. An excellent example for organic waste recycling is the practice
of Malaysias oil palm industry to effectively utilize the vast quantities of palm oil milling
effluent

City refuse (garbage, sewage sludge)


Increasing population and even faster growth of urban population will consequently lead to
increasing amounts of urban waste, which would create enormous disposal problems if not
properly recycled as a source of crop nutrients. Processed, composted solid organic wastes
and sewage sludge provide both organic matter and valuable plant nutrients to crops. The
transport from urban composting plants to the farming areas constitutes a major part of the
cost of processed organic wastes for farmers.
Marketing studies and advertising campaigns, attractive comparative prices together with a
subsidy scheme to encourage the large-scale acceptance by farmers of urban compost
should be considered. Subsidies, grants and credit should concentrate on transport and
handling cost of such bulky products, which could nevertheless result in considerable
savings in mineral fertilizer, for the farmers. As a rule of thumb the price per kg of nutrient
in composted city refuse for the farmer should be at par or not considerably higher than the
cost per kg nutrient in commonly used mineral fertilizer. The other not so easily quantifiable
benefits of using organic fertilizer materials, such as increasing SOM, better water holding
capacity, and better soil health, are to be accounted for by the cost of extra labour for
spreading and incorporation in the field.

Enriched city compost


City compost produced at mechanical composting plants throughout the Asia and the
Pacific region (India, Nepal, Pakistan, Philippines, Indonesia, and Thailand) is generally
low in plant nutrients and therefore its acceptability by farmers has been limited. To
improve the quality and nutrient content of city compost, low-grade rock phosphate and
phosphate solubilising azotobacter spp. and the nitrogen fixing bacteria, such as azotobactor
spp. or pseudomonas spp., are being used as inoculants.
Microbial inoculation and application of 1 to 5 per cent rock phosphate increased the
nitrogen content of city compost by 24 to 30 per cent and more favourable C:N ratios have
been obtained. Available P2O5 content of compost was increased by 60 to 114 per cent
where rock phosphate was applied and inoculated with aspergillus awamori. Preparation of
compost from enriched city garbage or otherwise is promising, provided that financial
support from government is available.
However, heavy metals in sewage sludge when continuously applied in excessive quantities
to farmland as organic manure could lead to problems. Monitoring for Cd, Zn, Pb, As, and
Cu contents in compost is recommended.

Biofertilizers
Biofertilizers have an important role to play in rainfed areas in improving the nutrient
content of crops. Although rhizobium is the most researched and well known among the
biofertilizers, there are a number of microbial inoculants with potential practical application
in IPNS. Such inoculates could contribute to increasing crop productivity through increased
biological nitrogen fixation (BNF), increased availability or uptake of nutrients through
phosphate solubilization, or increased absorption, stimulation of plant growth (hormones),
or by rapid decomposition of organic residues (rapid composting technology).

Rhizobium inoculants
The nitrogen fixed by rhizobia benefits legume crop production in two ways: (i) by meeting
most of the legume crops nitrogen needs and (ii) by enriching the soil for the benefit of
subsequent crops. Rhizobium inoculation should be considered in all legume green manure
crops to gain maximum benefit from nitrogen fixation in the shortest possible time.
Azospirillum, azotobacter and pseudomonas inoculations on upland grain crops are still in
their infancy and field trial results are inconclusive, although good responses to
azospirillum and azotobacter inoculation of wheat, rice and sugar cane have been recorded.
Further research is needed to find agronomic practices that may help the inoculated bacteria
to multiply profusely in the rhizosphere.

Biofertilizers for flooded rice: Azolla and BGA


Most important biofertilizers for wetland rice are the water fern azolla and the blue green
algae (BGA), also known as floating nitrogen fertilizer factories. Both can grow alongside
paddy. Azolla can also be used for green manuring which could contribute from 20 to 60 kg
per hectare N. Phosphorus is a key element and its deficiency results in poor growth and
reduced N fixation (addition of 1 kg P results in fixation of 5 to 10 kg N). Azolla is
considered an efficient scavenger for potassium and serves as a source of K for rice crops.
Azolla biofertilizer technology is labour intensive. Irrigation water, phosphate fertilizer and
pest control measures are necessary inputs. Nitrogen fixed by azolla or BGA becomes
available to the rice crop only after its decomposition. Numerous field experiments
indicated that only up to one third of the fixed N is absorbed by the following rice crop,
while two-thirds remained in the soil as residual N or is lost to the atmosphere.

Phosphate solubilizing microorganisms


A number of microorganisms known to have the ability to solubilize and transform
inorganic P from normally insoluble sources through excretion of various organic acids
have been isolated. These are bacteria of the bacillus and pseudomonas spp and fungi, such
as aspergillus, penicillium and trichoderma spp. In addition to P-solubilization these
microorganisms can also mineralize locked up organic P into soluble, plant available forms.
As these reactions take place in the rhizosphere and the microorganisms bring more P into
solution than they can absorb for their own growth, the surplus is available for plants to
absorb. The effectiveness of these microorganisms depends on the availability of sufficient
energy source, carbon in the soil, P concentration, particle size of rock phosphate as well as
temperature and moisture.

Constraints to biofertilizer use


It is difficult to predict the performance biofertilizers, which is influenced by many factors,
only some of which could be attributed to farm management. Essentially, the survival/
multiplication rate of the introduced strains needs to be improved. There are several
constraints to the use of biofertilizer. For example, inoculum transportation and storage
should be ideal. There would be a rapid decline in number of cultured bacteria if transported
and stored at 45oC and above. Poor survival is also related to high temperature in the soil
during summer months.
Growth and survival of rhizobium and other free-living N2-fixing bacteria is also
influenced by competition and antagonism from other organisms, soil salinity, water
logging and pesticides application. So far biofertilizer use is below potential, but could
increase if GMO technologies presently being explored become successful. Intensive
extension activities through widespread field demonstration programmes and wide publicity
through mass media could help in creating awareness among farmers on the benefits of
biofertilizer use.

8.6. Mutu dan kesehatan tanah


What is Soil Quality?
Soil Quality is how well soil does what we want it to do. More specifically, soil quality is
the capacity of a specific kind of soil to function, within natural or managed ecosystem
boundaries, to sustain plant and animal productivity, maintain or enhance water and air
quality, and support human health and habitation.
People have different ideas of what a quality soil is. For example:
1. for people active in production agriculture, it may mean highly productive land,
sustaining or enhancing productivity, maximizing profits, or maintaining the soil
resource for future generations;
2. for consumers, it may mean plentiful, healthful, and inexpensive food for present
and future generations;
3. for naturalists, it may mean soil in harmony with the landscape and its surroundings;
4. for the environmentalist, it may mean soil functioning at its potential in an
ecosystem with respect to maintenance or enhancement of biodiversity, water quality,
nutrient cycling, and biomass production.

What does soil do?


Healthy soil gives us clean air and water, bountiful crops and forests, productive rangeland,
diverse wildlife, and beautiful landscapes. Soil does all this by performing five essential
functions:
1. Regulating water. Soil helps control where rain, snowmelt, and irrigation water
goes. Water and dissolved solutes flow over the land or into and through the soil.
2. Sustaining plant and animal life. The diversity and productivity of living things
depends on soil.
3. Filtering potential pollutants. The minerals and microbes in soil are responsible for
filtering, buffering, degrading, immobilizing, and detoxifying organic and inorganic
materials, including industrial and municipal by-products and atmospheric deposits.
4. Cycling nutrients. Carbon, nitrogen, phosphorus, and many other nutrients are
stored, transformed, and cycled through soil.
5. Supporting structures. Buildings need stable soil for support, and archeological
treasures associated with human habitation are protected in soils.

Soil has both inherent and dynamic quality


Inherent soil quality is a soils natural ability to function. For example, sandy soil drains
faster than clayey soil. Deep soil has more room for roots than soils with bedrock near the
surface. These characteristics do not change easily.
Dynamic soil quality is how soil changes depending on how it is managed. Management
choices affect the amount of soil organic matter, soil structure, soil depth, water and nutrient
holding capacity. One goal of soil quality research is to learn how to manage soil in a way
that improves soil function. Soils respond differently to management depending on the
inherent properties of the soil and the surrounding landscape.

Soil quality is linked to sustainability


Understanding soil quality means assessing and managing soil so that it functions optimally
now and is not degraded for future use. By monitoring changes in soil quality, a land
manager can determine if a set of practices are sustainable.

Assessing soil quality


Soil quality is an assessment of how well soil performs all of its functions. It cannot be
determined by measuring only crop yield, water quality, or any other single outcome. The
quality of a soil is an assessment of how it performs all of its functions now and how those
functions are being preserved for future use.
Table. Indicators of soil quality:

Indicators can be assessed by qualitative or quantitative techniques. After measurements are


collected, they can be evaluated by looking for patterns and comparing results to
measurements taken at a different time or field.
Soil quality cannot be measured directly, so we evaluate indicators. Indicators are
measurable properties of soil or plants that provide clues about how well the soil can
function. Indicators can be physical, chemical, and biological characteristics. Useful
indicators :
1. are easy to measure
2. measure changes in soil functions
3. encompass chemical, biological, and physical properties
4. are accessible to many users and applicable to field conditions
5. are sensitive to variations in climate and management.

Soil quality is not an end in itself


The ultimate purpose of researching and assessing soil quality is not to achieve high
aggregate stability, biological activity, or some other soil property. The purpose is to protect
and improve long-term agricultural productivity, water quality, and habitats of all organisms
including people. We use soil characteristics as indicators of soil quality, but in the end, soil
quality must be identified by how it performs its functions.

Managing for soil quality


Each combination of soil type and land use calls for a different set of practices to enhance
soil quality. Yet, several principles apply in most situations.
1. Add organic matter. Regular additions of organic matter are linked to many aspects
of soil quality. Organic matter may come from crop residues at the surface, roots of
cover crops, animal manure, green manure, compost, and other sources. Organic
matter, and the organisms that eat it, can improve water holding capacity, nutrient
availability, and can help protect against erosion.
2. Avoid excessive tillage. Tillage has positive effects, but it also triggers excessive
organic matter degradation, disrupts soil structure, and can cause compaction. For
more information about conservation tillage.
3. Carefully manage fertilizer and pesticide use. In this century, pesticides and
chemical fertilizers have revolutionized U.S. agriculture. In addition to their desired
effects, they can harm non-target organisms and pollute water and air if they are
mismanaged. Manure and other organic matter also can become pollutants when
misapplied or over-applied. On the positive side, fertilizer can increase plant growth
and the amount of organic matter returned to the soil.
4. Increase ground cover. Bare soil is susceptible to wind and water erosion, and to
drying and crusting. Ground cover protects soil, provides habitats for larger soil
organisms, such as insects and earthworms, and can improve water availability.
Cover crops, perennials, and surface residue increase the amount of time that the soil
surface is covered each year.
5. Increase plant diversity. Diversity is beneficial for several reasons. Each crop
contributes a unique root structure and type of residue to the soil. A diversity of soil
organisms can help control pest populations, and a diversity of cultural practices can
reduce weed and disease pressures. Diversity across the landscape and over time can
be increased by using buffer strips, small fields, contour strip cropping, crop
rotations, and by varying tillage practices. Changing vegetation across the landscape
or over time increases plant diversity, and the types of insects, microorganisms, and
wildlife that live on your farm.

Anda mungkin juga menyukai