VI. Pupuk
6.1. Pengertian pupuk
6.2. Kategori pupuk
6.3. Pupuk buatan
6.4. Pupuk organik
6.5. Pupuk hijau
6.6. Pupuk hayati
6.7. Pembuatan kompos
6.8. Peraturan pupuk
VII. Pemupukan
7.0. Pengertian Pemupukan
7.1. Pemupukan lewat akar
7.2. Pemupukan lewat daun
7.3. Serapan hara
7.4. Efisiensi pemupukan
7.5. Keharaan berimbang
7.6. Kebutuhan pupuk
Daftar Pustaka
1. Black, C.A. 1967. Soil Plant Relationship. John Wiley and Sons. vii + 618 h.
2. Cooke, C.W. 1975. Fertilizing for Maximum Yield. The English Language Book
Soc. And Crosby Lockwood Staples. London. xx + 297 h.
3. Cosico, W.C. 1985. Organic Fertilizers: Their Nature, Properties & Use. College of
Agriculture. University of Phillipines. Los Banos. 136 h.
4. Engelstad, O.P. (ed.). 1997. Teknologi dan Penggunaan Pupuk. Terjemahan DH.
Goenadi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
5. FAO. 2000. Fertilizer and Their Use. 70 h.
6. Foth, H.D. & B.G. Ellis. 1988. Soil Fertility. John Wiley & Sons. New York. 212 h.
7. IFDC. 1978. Fertilizer Manual. xix + 353 h.
8. IRRI. 1984. Organic Matter and Rice. Los Banos.
9. Jones, U.S. 1979. Fertilizer and Soil Fertility. Reston Pub. Co. Virginia. xii + 368 h.
10. Miller, R.W. & R.L. Donahue. 1990. Soils. An Introduction to Soils and Plant
Growth. Prentice-Hall New Jersey. xiv + 768 h.
11. Radjagukguk, B. & Joetono (Eds.). 1983. Prosiding Seminar Alternatif Pelaksanaan
Pengapuran Tanah Mineral Masam di Indonesia. Bulletin No. 18. Fakultas Pertanian
UGM.
12. RAPA-FAO. 1991. Asian Experience in Integrated Plant Nutrition. Bangkok.
13. Rinsema, W.T. 1983. Pupuk dan Cara Pemupukan. Terjemahan H.M. Saleh.
Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Vii + 232 h.
14. Roesmarkam, A. & NW. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius.
Yogyakarta. ISBN 979-21-0468-2. 224 hal.
15. Russel, E.W. 1978. Soil Condition & Plant Growth. McGraw Hill. New York. 60 h.
16. Sastrohoetomo, A. 1968. Pupuk Buatan dan Penggunaannya. Djambatan. Jakarta. x
+ 60 h.
17. Thompson, L.M. & F.R. Troeh. 1978. Soils & Soil Fertility. McGraw-Hill Pub. xi +
516 h.
18. Tisdale, S.L., W.L. Nelson & J.D. Beaton. 1986. Soil Fertility and Fertilizers.
MacMillan Pub. New York. xiv + 754 h.
I. Pengertian dan Cakupan
1.1. Pengertian kesuburan tanah
1.2. Istilah yang berkaitan dengan kesuburan tanah
1.3. Urgensi menjaga kesuburan tanah
1.4. Komponen kesuburan tanah
a. Intersepsi akar
Akar tumbuh menembus tanah, bersinggungan dengan permukaan partikel tanah,
permukaan akar bersinggungan dengan ion hara yang terjerap, kemudian terjadi pertukaran
secara langsung (contact exchange). Meskipun angkanya kecil, tetapi sumbangannya
penting agar hara mencapai akar. Hal ini nampak jelas terutama bagi hara dengan kadar
tinggi dalam tanah misalnya Ca dan Mg, atau hara yang dibutuhkan dalam jumlah kecil bagi
tanaman seperti Zn dan Mn dan hara mikro lainnya.
Intersepsi dipengaruhi oleh semua yang mempengaruhi pertumbuhan akar: tanah yang
kering, tanah mampat, pH tanah yang rendah, keracunan Al dan Mn, kedefisensian hara,
kegaraman, aerasi buruk, penyakit akar, serangga, nematoda, temperatur sangat tinggi atau
sangat rendah. Pertumbuhan tanaman berpengaruh paling besar terhadap proses intersepsi,
meskipun juga berpengaruh terhadap dua mekanisme lainnya.
Hara yang masuk melalui intersepsi tergantung pada kadar hara dalam tanah, volume tanah
yang dijelajahi akar, akar menempati 1 2% volume tanah, pada permukaan tanah akar
lebih rapat.
Proses intersepsi atau pertukaran langsung dapat digambarkan sebagai berikut:
[rambut akar] H dengan K [liat/BO]
+ +
Hal ini terjadi karena akar juga memiliki KPK yang berumber dari gugus karboksil (seperti
dalam bahan organik): COOH <> COO + H . Besarnya kpk akar pada monokotil 10 30
- +
meq/100 g dengan sifat kation monovalen lebih cepat diserap, sedangkan akar dikotil
memiliki KPK 40 100 meq/100 g dengan sifat kation divalen lebih cepat diserap.
demikian dapat memenuhi kebutuhan Cu, Mn, and Mo, serta memenuhi sebagian kebutuhan
Fe and Zn.
Faktor yang mempengaruhi aliran masa adalah :
1. kadar lengas tanah: tanah yang kering tidak ada gerakan hara,
2. temperatur: temperatur yang rendah mengurangi transpirasi dan evaporasi,
3. ukuran sistem perakaran: mempengaruhi serapan air.
Pengaruh kerapatan akar terhadap pasokan hara oleh aliran masa lebih ringan dibanding
terhadap intersepsi akar dan difusi.
c. Difusi (diffusion)
Ion bergerak dari wilayah yang memiliki kadar hara tinggi ke wilayah yang lebih rendah
kadar haranya. Akar menyerap hara dari larutan tanah. Kadar hara di permukaan akar lebih
rendah dibandingkan kadar hara tersebut larutan tanah di sekitar akar. Ion bergerak menuju
permukaan akar. Mekanisme ini sangat penting bagi hara yang berinteraksi kuat dengan
tanah. Terutama untuk memasok hara P dan K, juga hara mikro Fe dan Zn.
Laju difusi proporsional dengan gradien konsentrasi, koefisien difusi dan wilayah yang
tersedia untuk terjadinya difusi. Persamaan difusi Hukum Fick:
dC/dt = De. A.dC/dX
dC/dt = laju difusi (perubahan konsentrasi antar waktu)
De = koefisien disfusi efektif
A = luas penampang difusi
dC/dX = gradien konsentrasi (perubahan konsentrasi antar jarak)
Koefisien difusi efektif (effective diffusion coefficient)
De=Dw.(1/T).(1/b)
Dw = koefisien difusi dalam air
= kadar air tanah volumetrik
T = faktor kelikuan (tortuosity)
b = daya sangga tanah (soil buffering capacity)
Koefisien difusi dalam air dipengaruhi temperatur, jika dingin difusi lebih lambat. Kadar air
tanah, jika kering difusi lebih lambat, kurang air, wilayah yang dilewati difusi lebih sempit.
Kelikuan (tortuosity), jalur dalam tanah tidak lurus, tetapi melalui sekeliling partikel tanah
yaitu lapisan air yang sangat tipis. Hal ini dipengaruhi oleh tekstur tanah dan kadar airnya.
Jika lebih banyak mineral liat maka jalur difusi lebih panjang. Lapisan air lebih tipis, jalur
difusi lebih panjang. Daya sangga tanah (buffering capacity): hara dapat diambil melalui
jerapan tanah selama bergerak tersebut, hal ini akan menurunkan laju difusi.
Jarak difusi hara sangatlah pendek yaitu: K ~ 0,2 cm, sedangkan P ~ 0,02 cm. Ukuran dan
kerapatan akar sangat mempengaruhi pasokan hara oleh mekanisme difusi. Hal ini harus
menjadi pertimbangan dalam penempatan pupuk.
2.5. Mekanisme penyerapan hara oleh akar
Kebanyakan unsur diserap akar tanaman dalam bentuk anorganik. Setelah mencapai akar,
ion hara diangkut sampai ke bagian daun melalui serangkaian tahapan, yaitu penyerapan
pasif (passive root uptake), penyerapan aktif (active root uptake), alih tempat
(translocation).
a. Struktur akar
Ion harus bergerak melewati atau mengelilingi sejumlah lapisan jaringan akar.
epidermis = lapisan terluar dari sel
korteks = sel besar ukuran tidak beraturan dengan ruang antara sel diantara mereka
endodermis = lapisan sel dengan suberin band, casparian strip, menjadi penghalang
gerakan ion masuk ke stele.
stele = mengandung pembuluh xylem yang mengangkut air dan ion menuju batang.
b. Gerakan pasif
Difusi dan pertukaran ion
epidermis > menembus kortek > ke endodermis
Apoplast (apparent free space)
ruang di antara sel (extracellular within and between cell walls)
KPK akar ada pada dinding sel
c. Gerakan aktif
Harus menembus membran sel
Symplast: Intracellular interconnected cytoplasmic pathway between cells
pengangkutan aktif melewati membran
pengambilan unsur hara secara selektif
d. Pengambilan ion secara aktif
diperlukan energi untuk melewati membran sel
konsentrasi di dalam sel lebih besar dibanding di luar sel
gerakan untuk mengatasi gradien elektrokimia
energi berasal dari metabolisme sel
e. Ion carriers
pengangkutan melewati membran dijembatani oleh karier
karier berada di dalam membran
mengikat ion di bagian luar dari batas > bergerak melewati membran > melepas
ion ke dalam sitoplasma
karier bersifat selektif, masing-masing ion punya karier tersendiri
1. Pengangkutan aktif (active transport)
Memungkinkan tanaman memilih hara yang masuk ke akar, menjaga netralitas muatan di
dalam sel akar, akar melepas H and OH . Pengambilan kation: melepas H , pengambilan
+ - +
1. Faktor Genetik
Perbaikan genetik dengan munculnya hibrida, varitas atau galur telah menunjukkan adanya
peningkatan hasil panen pada tanaman jagung, gandum atau komoditas lainnya.
Tanaman dengan hasil panen tinggi (high yielding) mengambil hara lebih banyak
dibandingkan tanaman biasa. Tanaman demikian bersifat menguras hara. Jika ditanam pada
tanah yang memiliki ketersediaan hara terbatas, maka hasil panen akan lebih rendah
dibandingkan tanaman biasa.
Pada masa lampau dilakukan pemilihan varitas tanaman untuk berbagai tingkat kesuburan
tanah yang berbeda. Sekarang hal tersebut tidak dikerjakan lagi, karena pada tanah yang
tidak subur dapat ditambahkan pupuk. Meski demikian tetap dilakukan upaya pemilihan
tanaman misalnya: tahan terhadap pH rendah atau keracunan Al, atau terhadap kondisi
garaman, atau tahan terhadap kekeringan.
2. Faktor lingkungan
Environment is defined as the aggregate of all the external conditions and influences
affecting the life and development of the organism.
Yang termasuk dalam faktor lingkungan adalah : Temperatur, Lengas, Sinar matahari,
Susunan udara, Struktur tanah, Reaksi tanah, Biotik, Penyediaan hara dan Senyawa
penghambat pertumbuhan.
1. Temperatur: Temperatur merupakan ukuran intentitas panas. Kisaran temperatur
secara umum untuk makluk hidup: -35 C +75 C; Tanaman pertanian : 25 40 C.
0 0 0
3. Sinar matahari: aspek yang terkait dengan pertumbuhan adalah: proses fotosintesis,
lama penyinaran dan periode tumbuh.
4. Udara: diperlukan untuk respirasi dan sebagai bahan dasar CO dalam proses
2
fotosintesis .
(1) dy/dx = (A-Y)C. if integrate equation (1), then get (2) log (A-Y) = log(A) cX,where:
A = maximum possible yield (theoretical); Y = actual yield.
dy/dx = slope i.e. rate of yield increase, a function of the environment, the nutrient, and
amount of nutrient already present. This value gets smaller as nutrient amount increases.
x = amount of nutrient added; c = constant.
3. Bray (c. 1920, U. Illinois) (soil interactions)
Started with Mitscherlichs basic equation, developed: log (A-Y) = log(A) c1B
cX, where: A = maximum possible yield (theoretical); Y = actual yield.
dy/dx = slope i.e. rate of yield increase. It is a function of the environment, the nutrient,
and amount of nutrient already present. This value gets smaller as nutrient amount
increases.
X = amount of nutrient added; c1 = constant that is for B; c = constant.
B = value explaining behavior of immobile nutrients (e.g. K, P, Ca, Mg). The c1B term
takes into account the reality that nutrients interact with soil and not all nutrients behave
identically.
4. Baule (c. 1920, German mathematician, worked with Mitscherlich) (nutrient
interactions)
Baule developed idea of half-way points. Using the identical relationship as Mitscherlich,
Baule concluded that: Y = A A(1/2) # Baule Units, where:
A = maximum possible yield (theoretical); Y = actual yield.
Baule Unit= the amount of nutrient that when added results in moving Y (yield) one-half
way closer to A (maximum possible yield).
3. Sumber N
Beberapa sumber N adalah : perombakan bahan organik: daur N; penyematan biologis:
simbiotik dan non simbiotik; deposisi atmosfir karena muatan listrik dan kegiatan industri;
pupuk N dan rabuk, kompos dan biosolid.
4. Bentuk N yang diserap tanaman
Bentuk NH (amoniak) diserap oleh daun dari udara atau dilepaskan dari daun ke udara,
3
jumlahnya tergantung konsentrasi di udara. Sebagian besar N diambil akar dalam bentuk
anorganik yaitu NH (ammonium) and NO (nitrat). Jumlahnya tergantung kondisi tanah,
4
+
3
-
nitrat lebih banyak terbentuk jika tanah hangat, lembab dan aerasi baik. Penyerapan
NH lebih banyak terjadi pada pH tanah netral, sedangkan NO pada pH rendah. Senyawa
4
+
3
-
NO umumnya bergerak menuju akar karena aliran masa, senyawa NH bersifat tidak
3
-
4
+
mengurangi penyerapan Ca, Mg, K, tetapi meningkatkan penyerapan fosfat, sulfat dan klor.
Suasana pH risosfer: akar melepas H . +
Senyawa nitrat harus direduksi terlebih dahulu di dalam tubuh tanaman sebelum disintesis
menjadi asam amino, NO NH . Keseimbangan kation/anion: meningkatkan penyerapan
3
-
3
Ca, Mg, K, tetapi menurunkan penyerapan fosfat, sulfat, dan klor. Suasana pH risosfer: akar
melepas HCO (OH )
3
- -
Jika kadar NH tinggi dapat bersifat meracun, sedangkan jika kelebihan NO dapat secara
4
+
3
-
aman disimpan dalam vakuola. Preferensi tanaman: kebanyakan tanaman tumbuh baik pada
kondisi campuran, tanaman yang tahan terhadap suasana masam umumnya lebih baik jika
diberi NH , sebaliknya keluarga terung-terungan (Solanaceae) lebih menyukai NO , karena
4
+
3
-
mikrobia heterotrof yaitu bakteri dan kapang. Bahan organik tanah mengandung N sekitar
5%, sekitar 1-4% dari N organik mengalami mineralisasi setiap tahunnya.
Aminisasi: proteins + H O > asam amino + amina + urea + CO + energi.
2 2
Ammonifikasi:
R NH + H O > NH + R OH + energi
2 2 3
NH + H O
3 2 > NH + OH 4
+ -
7. Immobilisasi (assimilasi)
Berkebalikan dengan proses mineralisasi. Pengambilan bentuk N anorganik dari tanah
kemudian menyatukan bahan tersebut menjadi bentuk N organik oleh mikrobia, dapat
berupa NH atau NO . Kesetimbangan antara mineralisasi dan immobilisasi ditentukan oleh
4
+
3
-
nisbah C:N .
8. Nitrifikasi
Perubahan NH menjadi NO , sumber NH dapat berupa bahan organik atau pupuk.
4
+
3
-
4
+
Nitrit bersifat meracun, umumnya tidak sampai mengumpul, karena reaksi nitrit menjadi
nitrat jauh lebih besar dibanding perubahan ammonium menjadi nitrit. Ada dua jenis
bakteri ototrof yang menonjol, mereka mendapatkan energi dari oksidasi N, sedangkan C
diambil dari CO 2
9. Proses nitrifikasi
Meningkatkan potensi pelindian N. Senyawa NO sangat mobil, sangat larut air, tidak dapat 3
-
dipegang oleh koloid tanah. Senyawa NH merupakan kation tertukar, dapat dipegang oleh
4
+
koloid tanah, bersifat mobil dalam tanah pasiran tanah yang memiliki KPK rendah. Untuk
berlangsungnya proses nitrifikasi diperlukan suasana aerasi yang baik, karena yang aktif
bakteri aerobik, oksigen diperlukan sebagai reaktan dalam kedua reaksi yang terlibat. Proses
ini bersifat mengasamkan tanah, 2 mol H dihasilkan per mol NH yag dinitrifikasi, ini dapat
+
4
+
berasal dari pupuk ammonium atau mengandung pembentuk ammonium (urea). Sangat
cepat pada pH tinggi, optimum pada pH 8.5, bakteri memerlukan cukup Ca dan P,
keseimbangan reaksi lebih cocok pada pH tinggi tersebut. Reaksi cepat pada temperatur
hangat dan tanah yang lembab. Penghambatan nitrifikasi: digunakan untuk membatasi
pencucian nitrat, N-Serve (nitrapyrin) karena bersifat meracun bagi Nitrosomonas.
10. Denitrifikasi
Kehilangan N dalam bentuk gas, reaksi NO menjadi
3
-
N dan
2 N O.
2 Bakteri
anaerob:Pseudomonas, Bacillus, menggunakan N sebagai sumber O dalam respirasi, terjadi 2
pada tanah tergenang atau terbatasnya oksigen, sekitar akar atau seresah yang sedang
terombak. Bakteri memerlukan bahan organik, bahan orgaik yang siap dirombak sebagai
sumber energi
4(CH O) + 4NO + 4H > 4CO + 2N O + 6H O
2 3
- +
2 2 2
Kehilangan N dari pupuk umumnya 10-30%, pada kondisi: penambahan bahan orgaik dan
kurangnya aerasi, temperatur hangat : antara 50 80 F, pH >5.5, cukup sediaan nitrat,
pertumbuhan tanaman, dapat menyumbang C dan kurangnya oksigen, tanaman dapat juga
membatasi denitrifikasi dengan mengurangi kadar air dalam tanah dan nitrat karena diserap
11. Volatilisasi
Kehilangan berupa gas NH , terutama dari pupuk N di permukaan, juga rabuk di
3
permukaan tanah, kehilangan rabuk juga terjadi saat penanganan dan penyimpanan, dengan
reaksi NH > H + NH Kehilangan NH terutama pada pH tinggi, pH larutan >7 , pada
4
+ +
3 . 3
kesetimbangan reaksi bergerak ke kanan, kehilangan tersebut dapat ditekan dengan cara
pemberian pupuk dibenamkan, atau dengan penyiraman air irigasi, urea bersifat sangat
larut.
Pada tanah masam dan netral: kehilangan urea lebih besar dibanding pupuk NH , 4
+
Pada tanah kapuran (calcareous soils), kehilangan Urea secara potensial tetap
tinggi. Pupuk NH lebih mudah menguap dibanding dalam suasana asam, karena bereaksi
4
+
sulfat lebih tinggi dibanding garam ammonium yang terlarut seperti klorida dan nitrat.
Faktor lain yang mendorong volatilisasi antara lain: bentuknya cairan vs. padatan. Aplikasi
permukaan disebar (broadcast surface applications), dibandingkan setempat atau
dicampurkan. Temperatur yang tinggi. Permukaan tanah yang lembab dan evaporasi yang
cepat. KPK yang rendah: retensi NH dan penyanggaan pH. residu tanaman di permukaan,
4
+
penggembalaan dan gumpal tanah, menjaga lengas tanah permukaan, mengurangi kontak
tanah dan gerakan ke dalam tanah
Inhibitor Urease merupakan alat untuk menghambat perombakan urea dan
mengurangi volatilisasi N, contoh: Agrotrain. umumnya kurang efektif dibandingkan
dengan perbaikan cara pemupukan, misalnya concentrated banding. Urease adalah ensim
yang memecah urea, berasal dari tanaman atau tanah (mikrobia). Usaha yang lain dengan
membuat Slow release, urea-based fertilizers Contoh: Ureaform: Urea-formaldehyde, SCU
(Sulfur-coated urea), manfaatnya: pemberian cukup satu kali untuk suatu jangka waktu
tertentu, misalnya 3 6 atau 9 bulan, hemat pada tempat yang memiliki potensi pelindian
atau penguapan yang tinggi, Sering digunakan untuk tanaman hias atau tanaman tahunan.
Ammonia anhidrat, karena bentuknya mudah menguap, maka disuntikkan di bawah
permukaan tanah, standar 15 cm untuk tanah kasar lebih dalam lagi. Kondisi yang cocok
untuk kehilangan: tanah yang kering: lubang bekas injeksi tidak menutup rapat, NH tidak 3
berubah menjadi NH , tanah mineral liat basah: lubang bekas injeksi tidak menutup rapat,
4
+
tekstur kasar: difusi NH , tanah berbongkah: difusi NH , bahan organik rendah: bahan
3 3
organik memegang NH , 3
12. Fiksasi N
Meskipun kadar N udara 78%, tetapi ketersediaan N dalam tanah sering menjadi faktor
penghambat. Terdapat 70 juta kg N setiap hektar tanah. N harus diubah menjadi bentuk
2
yang tersedia bagi tanaman. Fiksasi industri: N direduksi dengan energi yang besar (high
2
0
energy inputs), pada temperatur tinggi 1.200 C dan tekanan tinggi 500 atm. dengan reaksi:
3H + N > 2NH . NH (amonia anhidrat) digunakan langsung sebagai pupuk atau sebagai
2 2 3 3
legum. Hal ini penting bagi dunia pertanian. Bakteri simbiotik membentuk bintil akar,
tanaman inang menerima N yang tersemat sedangkan bakteri menerima fotosintat.
Rhizobia dan legum memiliki hubungan yang bersifat spesifik, legum yang yang berbeda
membutuhkan spesies Rhizobia tertentu yang sesuai. Umumnya dilakukan inokulasi pada
biji yang akan ditanam. Hal ini diperlukan terutama jika lahan baru untuk pertama kali
ditanami legum tersebut atau untuk introduksi suatu strain baru. Strain memiliki
kemampuan menyemat N yang berbeda-beda.
Faktor yang mempengaruhi penyematan N antar alain: Keadaan pH tanah : pH
yang rendah membahayakan Rhizobia dan akar tanaman, adanya keracunan Al dan Mn ,
serta kedefisensian Ca, Mo dan P. Spesies dan strain memiliki tingkat kepekaan yang
berbeda-beda. R. meliloti (alfalfa, sweet clover) sangat peka terhadap pH yang rendah,
strain lain lebih toleran. Kadar Nitrogen tersedia tanah: jika kandungan N tanah tinggi,
maka penyematan akan rendah. Pertumbuhan tanaman dan manajemen: laju fotosintesis
tinggi akan meningkatkan penyematan N, sebaliknya hal yang menurunkan batang atau
hasil juga menurunkan penyematan N misalnya frekuensi dan waktu pemangkasan pada
HMT. Kemampuan penyematan N pada legum tahunan (perennial) : 100-200 kg/ha/th,
sedangkan legum semusim (annual) : 50-100 kg/ha/th
b. Mobilitas P
Unsur fosfor (P) sifatnya mobil dalam tanaman, mudah dipindahkan dari bagian daun yang
tua ke titik tumbuh. Gejala kedefisensian: tanaman kerdil, pertumbuhan akar buruk,
kedewasaan terlambat, warna daun hijau kelam, muncul warna keunguan misalnya pada
jagung. Jika P berlebihan meskipun tidak secara langsung meracuni tanaman, akan
menyebabkan merangsang pertumbuhan organisme perairan, mempercepat eutrofikasi, P
tanah yang berlebih meningkatkan pengangkutan P dalam sedimen, air limpasan.
c. Sumber P
1. perombakan bahan organik: menyumbang 20-80% dari total P dalam tanah
2. rabuk, kompos dan biosolid
3. pelarutan mineral P : mineral primer dan sekunder, mineral primer sangat lambat
tersedia menjadi sumber jangka panjang
4. pengendapan sedimen erosi
5. pupuk P
Jumlahnya tergantung pH larutan, pada pH 7,2 jumlahnya setara, HPO lebih banyak jika
4
2-
kondisi tanah alkalin, sedangkan H PO lebih banyak jika kondisi tanah masam. Akar juga
2 4
menyerap beberapa fosfat organik: asam nukleat, fitin, kontribusi terhadap keseluruhan hara
P masih kecil.
Penyerapan H PO lebih cepat dibanding HPO , hal ini terkait dengan muatan divalen vs.
2 4
4
2-
g. Mineralisasi
Kandungan P dalam bahan organik tanah sekitar 1% P organik melepaskan fosfat anorganik
yang tersedia bagi tanaman. Ensim fosfatase yang dihasilkan oleh berbagai mikrobia,
melepas ion orthofosfat. P organik dalam tanah, hampir 50% berupa fosfat inositol, lemak
fosfat (fosfolipid) dan asam nukleat sekitar 10%. Hampir 50% P organik belum dikenali
dengan baik. Fofat Inositol merupakan rangkaian ester fosfat : C H (OH) = inositol, gugus
6 6 6
OH digantikan oleh fosfat, terutama dalam bentuk asam pitat (phytic acid). Inositol
hexaphosphate: memiliki 6 gugus fosfat, merupakan hasil aktivitas mikrobia, sisa
perombakan.
h. Imobilisasi (asimilasi)
Proses ini merupakan kebalikan dari mineralisasi. Pengambilan P anorganik dari tanah
(HPO or H PO ) kemudian diubah menjadi P organik oleh mikrobia. Ada keseimbangan
4
2-
2 4
-
antara proses mineralisasi dengan immobilisasi. Nisbah C:P menentukan laju perombakan
bahan organik (seperti halnya nisbah C/N), mineralisasi P juga ditentukan oleh nsibah C/N.
Nisbah C/P tinggi, mikrobia menggunakan P tersedia dari larta tanah, ketersediaan bagi
tanaman berkurang. Jika kadar P dalam larutan tanah rendah maka pertumbuhan mikrobia
terhambat, perombakan bahan organik juga lambat. Nisbah C/P bahan organik tanah sekitar
100:1. nisbah C:N:P sekitar 120:10:1.3.
jika C:P > 300, P imobilisasi > P mineralization, residue <0.2% P
jika C:P = 200-300, P imobilisasi = P mineralization
jika C:P < 200, P imobilisasi < P mineralization, residue >0.3% P
i. Penyematan P
Penyematan P adalah proses pengambilan P anorganik dari larutan tanah. P hasil
mineralisasi bahan organik, P yang diberikan sebagai pupuk terlarut, atau hasil pelarutan
berbagai sumber dengan mudah mengalami reaksi di dalam tanah :
Adsorpsi: retensi P pada permukaan mineral sesquioksida (Fe2O3 atau Al2O3)
Presipitasi: pembentukan mineral P sekunder
Penyematan P merupakan reaksi bersinambung, tidak ada batas yang tegas antara adsorpsi
dan presipitasi amorf. Jenis penyematan bervariasi sesuai kondisi tanah: terutama pH tanah:
kation terlarut, permukaan mineral; kadar fosfat dan kation: pada kadar rendah terjadi
adsorpsi, pada kadar tinggi terjadi presipitasi.
j. Jerapan (adsorpsi)
Tanah masam: oksida dan hidroksida Al dan Fe, mineral liat; permukaan mineral pada
kondisi masam; kebanyakan dalam bentuk ion H PO Terjadi padapermukaan oksida dan
2
-
4 .
hidroksida. Muatan positif neto pada kondisi masam, lihat pertukaran dan jerapan anion.
Muatan positif menarik anion: fosfat dan lainnya. Fosfat berinteraksi dengan gugus -OH
dan -OH di permukaan: jerapan istimewa (specific adsorpsi), chemisorpsi; mendesak OH
2
+
dan -OH dan mengikat Al dan Fe; menjadi Al-O-fosfat. P labil: fosfat diikat oleh satu ikata
2
Al-O-P; segera terlepas dari permukaan untuk mengisi larutan tanah; juga disebut sebagai
P aktif . P tidak labil: fosfat diikat oleh dua ikatan Al-O-P atau Fe-O-P; P tidak mudah
terlepas dari mineral menuju larutan tanah. Permukaan liat: tepian mineral liat yang pecah;
gugus -OH yang terbuka; serupa dengan pertukaran -OH di permukaan oksida Al dan Fe;
jerapan liat 1:1 (kaolinit) >> liat 2:1 (monmorillonit).
Tanah kapuran: mineral karbonat; permukaan mineral dalam kondisi alkalin, karbonat stabil
terbentuk pada pH 7.8 atau lebih; fosfat menggantikan gugus CO ; ada juga yang terjerap
3
2-
Tanah halus memiliki kapasitas jerapan yang lebih tinggi dibanding tanah kasar, karena luas
permukaannya lebih besar. Tanah masam memiliki kapasitas jerapan lebih besar dibanding
tanah netral atau kapuran. Oksida Al dan Fe memiliki kapasias jerapan lebih besar
dibanding karbonat. Oksida amorf memiliki kapasitas jerapan lebih besar dibandingkan
bentuk kristalin, karena luas permukaan lebih besar dan terjadi sebagai partikel diskrit atau
selaput atau lapisan film pada partikel tanah lainnya. Takaran pupuk lebih tinggi diperlukan
untuk menjaga kecukupan P larutan tanah pada tanah yang memiliki kapasitas retensi yang
besar
Persamaan jerapan digunakan untuk menggambarkan kapasitas jerapan tanah:
(1). persamaan Freundlich. Q=a.c^b . Jumlah P terjerap proporsional dengan kadar P dalam
larutan tanah. a,b adalah konstanta empirik dari setiap jenis tanah. Persamaan ini bagus
untuk kadar P rendah dalam larutan, tetapi tidak menunjukkan kapasitas jerapan maksimum.
(2). persamaan Langmuir. Q=abc/(1+ac) . Untuk menduga jika seluruh tapak jerapan sudah
terisi, tidak akan terjadi lagi jerapan. b = jerapan maksimum, peningkatan P dalam larutan
tidak akan meningkatkan jerapan
Eksistensi suatu jerapan P maksimum memiliki implikasi terhadap gerapan P terlarut. Tanah
dapat menyemat banyak P dan mempertahankan P terlarut sedikit, tetapi kapasitas retensi
tersebut dapat terlampaui misalnya dengan pemberian sinambung dengan rabuk yang
memiliki kadar sangat tinggi (overload).
k. Presipitasi
Pada tanah masam: dirajai kation terlarut Al dan Fe, menyebabkan presipitasi mineral Al-
fosfat dan Fe- fosfat. Pada tanah netral dan kapuran: dirajai kation terlarut Ca,
menyebabkan presipitasi mineral Ca-fosfat. Keadaan pH larutan dan kelarutan Al, Fe dan
Ca fosfat menentukan kadar P dalam larutan tanah, perhatikan stabilitas mineral.
Ketersediaan P maksimum pada pH 6 7, yaitu diantara zona Al dan Fe fosfat dengan Ca
fosfat yang tidak terlarut. Reaksi presipitasi umumnya terjadi sangat lambat.
Pada tanah masam: FePO 2H O + H O <> H PO + H + Fe(OH) , jika kemasaman
4
.
2 2 2 4
- +
3
Fe-fosfat melarut untuk mengisi P dalam larutan tanah. Fe-fosfat padatan akan
mempertahankan H PO tetap pada aras keseimbangan, hal ini tergantung pH tanah.
2 4
Ca-fosfat melarut, mengisi P dalam larutan tanah. Ca-fosfat padatan menjaga H PO pada 2 4
m. Manajemen P pupuk
Tujuan untuk mengurangi penyematan P. Pada tanah yang memiliki kapasitas jerapan
tinggi, frekuensi pemberian harus tinggi dengan dosis yang rendah. Pengaruh penempatan
pupuk:
disebar (surface applications): mobilitas P dalam tanah terbatas, P akan bergerak ke
akar dengan sangat lambat.
disebar dan dibenamkan (broadcast and incorporate): P diberikan pada zone
perakaran, P terbuka penuh terhadap permukaan tanah, potensi penyematan P
maksimal.
larikan (band placement): mengurangi kontak tanah dengan pupuk, penyematan
lebih sedikit dibanding jika disebar dan dibenamkan, akar akan menembus zona P.
cara aplikasi terbaik: tergantung hasil uji tanah dan jenis tanah, larikan sangat
penting pada tanah yang memiliki P rendah dengan kapasitas penyematan yang
tinggi, pada tanah yang memilki P tinggi, atau tanah dengan kapasitas penyematan
rendah aplikasi dengan cara disebarkan dan dibenamkan setiap 3-4 tahun cukup
efektif.
3.6. Kalium
a. Bentuk dan fungsi K dalam tanaman
Unsur K dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah yang besar, yakni terbesar kedua setelah
hara N. Pada tanah yang subur kadar K dalam jaringan hampir sama dengan N. K tidak
menjadi komponen struktur dalam senyawa organik, tetapi bentuknya semata ionik,
K berada dalam larutan atau terikat oleh muatan negatif dari permukaan jaringan misalnya:
+
R-COO K . Fungsi utama K adalah mengaktifkan ensim-ensim dan menjaga air sel.
- +
Ensim yang diaktifkan antara lain: sintesis pati, pembuatan ATP, fotosintesis, reduksi nitrat,
translokasi gula ke biji, buah, umbi atau akar. Pengaturan air sel: K mengatur potensial air
+
sel dan osmosis, Na dapat menggantikan fungsi K pada sebagian spesies. Turgor sel:
+ +
ketegaran tanaman, pembukaan dan penutupan stomata. Pengambilan air oleh akar: tarikan
osmotik. K dan ketahanan terhadap cekaman: ketahanan terhadap kekeringan: mengatur
transpirasi dan penyerapan air oleh akar, musim dingin atau beku, ketahanan terhadap
serangan penyakit jamur, ketahanan terhadap serangan serangga, mengurangi kerebahan :
batang lebih kuat.
b. Mobilitas K
Unsur K sangat lincah dalam tubuh tanaman, mudah dipindahkan dari daun tua ke bagian
titik tumbuh. Gejala kedefisensian: klorosis/nekrosis ujung dan tepi daun, dimulai dari daun
tua atau bagian bawah tanaman (jika disebabkan kegaraman, maka gejala tepi terbakar
dimulai pada daun muda), pada legum: muncul becak putih atau nekrosis pada tepi daun,
sering jumbuh dengan bekas gigitan serangga, tanaman rebah, tidak tahan kekeringan,
rentan terhadap serangan penyakit dan serangga.
Jika K berlebihan tidak secara langsung meracuni tanaman. Kadar K dalam tanah yang
tinggi dapat menghambat penyerapan kation yang lain (antagonis) dapat mengakibatkan
kedefisensian Mg dan Ca. K dapat mengatasi gangguan karena kelebihan N yang
merangsang pertumbuhan vegetatif, tanaman menjadi sukulen (basah), mudah rebah dan
rentan terhadap serangan penyakit/serangga, sedangkan K memiliki pengaruh yang
sebaliknya.
c. Sumber K
1. Bahan organik: sebagian besar K mudah terlindi dari seresah tanaman, pelepasan
tersebut tidak berkaitan dengan tingkat perombakan sebagaimana N atau P, hal ini
disebabkan K tidak menjadi komponen dalam struktur senyawa organik.
2. Rabuk, kompos dan biosolid: kebanyakan K dalam bentuk terlarut, sehingga segera
tersedia bagi tanaman
3. K tertukar: sebagai K dalam kompleks pertukaran, pertukaran merupakan reaksi
+
tinggi, tanaman akan menyerap lebih banyak K dibanding yang diperlukan, ini
menyebabkan kelebihan (banyak sekali) K yang terangkut oleh panen, sehingga dapat
menyebabkan ketimpangan hara bagi ternak, yakni kekurangan Ca, Mg, Na.
oleh disfusi, pada kebanyakan tanah besarnya mencakup 90%. Jangkauan gerakan K sangat
terbatas, selama satu musim tanam hanya 1-4 mm. Gerakan K karena aliran masa sangat
penting pada tanah yang memiliki K tinggi, demikian juga K yang berasal dari pupuk K
yang diberikan, atau pada tanah dengan KPK yang rendah.
g. Ketersediaan K
1. Segera tersedia: K labil, K dalam larutan tanah atau komplek pertukaran, meliputi 1-
2% dari total K dalam tanah.
2. Tersedia lambat : K tidak tertukar, K tersemat, meliputi 1-10% K total dalam tanah.
3. Tidak tersedia: K dalam struktur mineral primer, dengan lambat akan mengisi
pangkalan K tersedia, meliputi 90-98% total K dalam tanah.
h. Pertukaran kation
Reaksi pertukaran kation dirajai oleh kelakuan K dalam tanah. Terjadi keseimbangan yang
cepat antara K tertukar dengan K larutan tanah, K tertukar menjadi penyangga yang akan
mengisi K dalam larutan, perlu diingat kembali konsep faktor kuantitas dan intensitas (BC
= Q/ I ). K dalam larutan tanah dan K tertukar dipengaruhi oleh jenis dan jumlah kation
yang lain serta watak tapak pertukaran tanah. K dipegang lebih lemah dibandingkan kation
+
polivalen lainnya dengan deret kekuatan ikatan : Al > Ca > Mg > K = NH > Na ,
3+ 2+ 2+ +
4
+ +
(ingat Lyotropic series) . Kejenuhan basa dan pH tanah: jerapan K lebih tinggi jika
kejenuhan basa lebih tinggi, K segera menggantikan Ca dan Mg lebih cepat dibandingkan
+ 2+ 2+
(Ca dan Mg ), peningkatan jerapan K tersebut sejalan dengan adanya peningkatan KPK
2+ 2+ +
i. K tidak tertukar
K dalam posisi ini tidak segera tersedia, tetapi dalam keseimbangan dengan pangkalan K
labil: K tidak tertukar > lambat > K tertukar > cepat > K larutan tanah.
Penyematan dan pelepasan K: mineral primer mika membentuk mineral sekunder: liat 2:1,
yaitu Illit dan vermikulit. Fixed K: K terikat pada posisi antar kisi, merekatkan kedua
+
kisi, menghilangkan sifat kembang kerut liat tersebut. proses dapat balik dengan lambat :
pelepasan K: Mika > illit > vermikulit, penyematan K: K pupuk bergerak menuju tapak
antar kisi pada liat 2:1, Vermikulit illit. Penyematan Ammonium (NH ) dapat juga terjadi 4
+
j. Pelapukan mineral K
Unsur K terlepas dari pelapukan mika: Mika memiliki kisi silikat 2:1 (pada mineral primer),
akan membentuk mineral liat sekunder 2:1. K-feldspar: pelapukan lebih lambat dibanding
mika, pelepasan K akan terjadi setelah adanya pelarutan mika, pada tanah dengan tingkat
pelapukan sedang (moderately weathered soils) maka kandungan K akan tertinggi
sedangkan pada tanah yang sudah mengalami pelapukan lanjut (highly weathered soils)
kadar K akan rendah.
k. Alih tempat K
Kehilangan K dari tanah setiap tahunnya, lebih besar dibanding N atau P. Erosi:
kehilangannya besar pada tanah yang kaya K. Pelindian (leaching): K lebih mudah terlindi
dibanding P, sedikit pelindian jika KPK tanah tinggi. pelindian dominan pada tanah dengan
KPK rendah, yaitu tanah pasiran masam yang memiliki KPK berasal dari muatan
terubahkan dari bahan organik, atau wilayah tersebut memiliki curah hujan yang tinggi, atau
menggunakan irigasi yang baik
Na di tanah garaman
+
m. Manajemen K pupuk
Aplikasi pupuk K: berikan pupuk dalam jumlah yang sedikit tetapi lebih sering (use smaller
but more frequent) pada
tanah dengan daya penyematan yang tinggi atau untuk membatasi konsumsi yang
berlebihan dan hilang karena pelindian.
Penempatan pupuk: (1). aplikasi permukaan K memiliki keterbatasan mobilitas dalam
tanah, K yang diberikan di permukaan tanah akan bergerak menuju akar dengan sangat
lambat, (2). disebarkan dan dibenamkan, menempatkan K pada zona perakaran, penyematan
K akan maksimum pada tanah dengan tektsur halus dan memiliki daya semat yang tinggi,
(3). lingkaran, kontak antara tanah dengan pupuk terbatas, dapat mengurangi penyematan
K, sangat bermanfaat pada tanah yang memiliki kadar K rendah tetapi punya daya semat
yang tinggi.
K yang berada dalam mineral jika mengalami pelapukan akan menyediakan sejumlah K
yang cukup berarti pada beberapa tanah, perlu diperhatikan dalam pemupukan. Pengapuran
dapat meningkatkan kejenuhan basa dan KPK tanah karena sumbangan muatan terubahkan,
dapat meningkatkan K tersedia dan mengurangi pelindian K.
3.6. Kalsium
a. Bentuk dan fungsi Ca dalam tanaman
1. Hara makro sekunder, dibutuhkan dalam jumlah cukup besar, lebih sedikit
dibanding N dan K, serupa jumlahnya dengan P, S, dan Mg.
2. Kebanyakan Ca berada dalam dinding sel dan dinding membran: hara apoplastik,
fungsi utama berada di luar sitoplasma, perannya dalam metabolisme sedikit, menjadi
jembatan divalen yang mengubungkan antar molekul dan bersifat reversible.
3. Komponen struktural membran sel, menjaga stabilitas membran dan integritas sel:
mengatur selektivitas serapan ion, mengatur permeabilitas membran dan mencegah
kebocoran larutan dalam sel.
4. Komponen struktural dinding sel, berupa Ca-pektat di lamela tengah diantara
dinding sel yang saling berdekatan berfungsi menguatkan dinding sel dan ketahanan
terhadap infeksi jamur, atau berada di antara dinding sel dengan membran plasma,
fungsi membran.
5. Diperlukan dalam pemanjangan dan pembelahan sel: membentuk dinding sel dan
membran sel yang baru, ini merupakan fungsi pengaturan sebagaimana fungsi
struktur, dan ikatan yang reversible di dalam membran dan dinding sel
memungkinkan sel untuk tumbuh dan berkembang.
b. Mobilitas Ca
Unsur Ca sangat tidak mobil dalam tanaman, alih tempat terbatas dari daun tua ke bagian
yang sedang tumbuh, dapat menyebabkan kekurangan Ca dalam buah, umbi dan titik
tumbuh akar dan batang, kedefisensian Ca dapat saja terjadi pada tanah yang memiliki
kadar Ca yang tinggi, terutama jika laju transpirasinya rendah. Gejala kedefisensian
pertumbuhan titik tumbuh batang dan akar terhambat, daun pada jagung lengket (sticky),
daun yang baru terbentuk tergulung, gangguan fisiologis pada organ penyimpanan:
blossom end rot pada tomat dan lombok, bitter pit pada apel atau terbakar pada tepi
daun serta, cupping pada daun muda, ujung daun terbakar pada sawi. Kelebihan Ca tidak
secara langsung meracuni tanaman atau organisme lain, tanah yang memiliki Ca tinggi
dapat menghambat serapan hara yag lain, dapat juga menyebabkan kedefisensian K atau Mg
c. Sumber Ca
1. Bahan organik: sebagian besar Ca dapat dengan cepat terlindi dari seresah tanaman,
sebagian yang lain mengalami mineralisasi pada awal tahapan perombakan bahan
tersebut.
2. Rabuk, kompos dan biosolid: sebagian besar Ca adalah larut dalam air, bentuk yang
segera tersedia, dapat dengan mudah hilang sebelum bahan tersebut diberikan di
lapangan.
3. Ca tertukar: Ca merupakan kation yang dapat dipertukarkan, pertukaran kation
2+
kering.
5. Kapur dan pupuk: kebanyakan Ca yang diberikan ke dalam tanah adalah senyawa
untuk menetralisir kemasaman tanah, terutama CaCO dan CaMgCO . Gipsum
3 3
akar: wilayah perakaran muda yang memiliki dinding sel endodermis belum mengalami
suberisasi. Ca memasuki pembuluh xilem melalui jalur apoplastik. Pengangkutan
menembus membran terbatas, diperlukan pertumbuhan akar terus menerus agar
pengambulan Ca mencukupi kebutuhan. Pengangkutan melalui xilem, Ca terbawa oleh
aliran air transpirasi. mobilitas lewat floem terbatas
tanah bersifat sangat mobil , kadar dalam larutan tanah 30-300 ppm, kecukupan untuk
tanaman secara umum > 15 ppm, Ca akan mengumpul di sekitar akar, pada tanah yang
memiliki kadar Ca yang tinggi.
bagi tanaman. Angkanya beragam sesuai tipe tapak pertukaran : kejenuhan pada liat 2:1
besarnya >70% , sedangkan pada bagan organik tanah dan liat 1:1 besarnya 40 to 50%.
Pada ph yang rendah Ca kurang tersedia: disebabkan kejenuhan Ca rendah, adanya 2+
NH jika kadarnya tinggi akan menghambat penyerapan Ca, sebaliknya anion Nitrat akan
4
+
j. Pengelolaan Ca
Umumnya dilakuakan pengapuran, jika pH suatu tanah pada level baik umumnya Ca
mencukup kebutuhan tanaman. Kedefisensian: tanah pasiran dengan KPK rendah yang
terlindi hebat, tanaman yang memerlukan pH rendah untuk tumbuhnya, misalnya kentang
untuk mengatasi scab, tanaman yang memerlukan Ca tinggi . Gangguan fisilogis seringkali
bukan karena masalah kesuburan tanah, tetapi: masalah distribusi atau alihtempat, atau
pasokan untuk jaringan tidak mencukupi karena laju transpirasi rendah, untuk : buah atau
daun muda, sehingga menimbulkan gejala blossom end rotatau tipburn. Managemen air:
dipacu (aggravated) oleh kondisi selang-seling basah dan kering, diperlukan pengambilan
Ca secara sinambung, manajemen irigasi yang lebih baik. Penyemprotan Ca dalam beberapa
hal sangat membantu, harus mencapai jaringan yang terkena gejala, penyemprotan dapat
meningkatkan masa penyimpanan buah yang dipetik.
3.7. Magnesium
b. Mobilitas Mg
Mg bersifat mobil dalam tanaman: dialih tempatkan dari daun tua ke titik tumbuh. Gejala
kedefisensian yang muncul: dimulai pada daun tua dibagian bawah tanaman; kenampakan
utama berupa klorosis kekuningan diantara tulang daun (interveinal chlorosis), sedangkan
tulang daun tetap hijau, hal ini mirip dengan gejala kedefisensian Fe; pada beberapa
tanaman daun di bagian bawah membentuk a reddish-purple cast; jika lanjut daun
mengalami nekrosis. Kelebihan Mg tidak secara langsung meracuni tanaman atau
organisme, kelebihan Mg dapat disimpan di vakuola, kadar Mg yang tinggi dalam tanah
menghambat penyerapan kation yang lainnya, misalnya menmgakibatkan kedefisensian K
atau Ca.
c. Sumber Mg
1. Bahan organik: kebanyakan Mg segera terlindi dari seresah, sisanya mengalami
mineralisasi pada tahap awal perombakan residu tersebut.
2. Rabuk, kompos dan biosolid: kebanyakan Mg terlarut, segara tersedia. oleh karena
itu denganmudah hilang sebelum diberikan ke lahan
3. Mg tertukar: Mg termasuk kation dapat ditkar, pertukaran kation termasuk reaski
2+
lebih rendah dibanding pada Ca. Kadar dalam larutan tanah 5-50 ppm, pada tanah iklim
sedang (temperate).
kejenuhan Mg diperlukan lebih tinggi pada tanah liat 2:1 dibanding, tanah dengan KPK
2+
yang bersumber dari bahan organik atau liat 1:1, Mg kurang tersedia pada pH rendah:
karena kejenuhan Mg lebih rendah, kehadiran Al dalam larutan menghambat penyerapan
2+ 3+
i. Manajemen Pupuk Mg
Pengapuran: Mg dengan mudah dapat dikelola dengan pengapuran pada tanah berpH rendah
(dengan kapur dolomit), pengapuran dapat menyebabkan kedefisensian Mg jika kadar Ca
yang tinggi (kalsit) digunakan pada tanah dengan kadar Mg yang rendah]. Kedefisensian:
tanah masam, pasiran dengan KPK rendah dengan pelindian yang hebat, pemupukan K
(KCl and K SO ) dapat meningkatakan kehilangan tersebut, tanah dengan kadar K yang
2 4
3.8. Sulfur
a. Bentuk dan fungsi S dalam tubuh tanaman
Unsur S diperlukan oleh tanaman dalam jumlah relatif banyak, lebhi sedikit dibanding N
atau K, serupa dengan P, Ca dan Mg.; sebagai penyusun asam amino essensial: sistin,
sistein dan metionin, 90% S dalam tanaman berupa protein, ikatan disulfida, susunan
protein dan aktivitas ensim, pembentukan klorofil; Ferredoksin: protein Fe-S, reaksi redoks:
fotosintesis, penyematan nitrogen, reduksi nitrat dan sulfat; koensim: koensim A dan
vitamin, biotin, thiamine, B1; senyawa volatil: tanaman keluarga Onion dan crucifer
(cabbage).
b. Mobilitas S
Unsur S relatif tidak mobil dalam tanaman: tidak segera dapat dialihtempatkan dari daun
yang tuda ke bagian titik tumbuh, gejala kedefisensian muncul pertama pada bbagian atas
yaitu daun muda. Gejala kedefisensian: kerdil (stunted), pertumbuhan spiral (spindly
growth), seringkali seluruh tanaman menjadi klorosis seragam (uniformly chlorotic),
tanaman Crucifer membentuk warna kemarahan dan ungu, kadar protein rendah,
pengumpulan N bukan protein. Jika kadar S berlebihan tidak secara langsung
mempengaruhi tanaman tersebut atau organisme yang memakannya, tetapi dapat
menyebabkan masalah kegaraman karena S merupakan anion yang dominan pada tanah
salin, pelindian yang hebat dari SO meningkatkan kehilangan kation.
4
=
c. Sumber S
1. Perombakan bahan orgaik tanah, karena 90% S dalam tanah berada dalam bentuk
organik tersebut
2. Rabuk, kompos dan biosolid.
3. Sulfat yang terjerap pada tapak pertukaran anion dari oksida Al dan Fe.
4. Mineral S: pada musim kering sulfida dalam bentuk anaerob.
5. Pengendapan atmosfer dari inudstri, hujan asam.
6. Pupuk S.
g. Mineralization imobilisasi
1. Daur S organik serupa dengan N organik.
2. Mineralisasi : melepas S menjadi anorganik, SO tersedia bagi tanaman
4
tersedia, mengisi kekosongan pada larutan tanah . Uji S tanah umumnya misalnya
ekstraksi dengan Ca-fosfat.mengukur S yang terlarut ditambah S yang terjerap.
Reaksi ini penting pada tanah yang telah terlapuk dengan lanjut. Kekuatan adsorpsi:
H PO > SO > NO .
2 4
4
=
3
i. Presipitasi dissolusi
1. Gypsum (CaSO ) di daerah kering, merupakan bentuk pengendapan bersama antara
4
S dengan
2. Ca-karbonat pada tanah kapuran
3. Sulfida pada kondisi anerob di tanah tergenang: H S mengendap sebagai FeS atau
2
j. Okidasi reduksi
1.
Bentuk S : beragam dari bilangan oksidasi -2 sampai + 6, yaitu silfida, polisulfida, S
elemen, tiosulfat, sulfit dan sulfat.
2.
Bentuk oksidasi terbanyak sebagai sulfat, sulfat yang diserap tanaman akan
direduksi menjadi S organik.
3.
Proses Oksidasi dan reduksi S dibantu oleh mikrobia
4.
Senyawa S anorganik tereduksi terdapat pada tanah tergenang kondisi anaerob :
(wetlands, swamps, tidal marshes), pada kondisi aerob segera mengalami oksidasi.
5.
Oksidasi S: mikrobia ototrofik dan heterotrofik : Thiobacillus sp. meneybabkan
pemasaman. H S + 2O H SO 2H + SO dijumpai pada daerah tambang (acid
2 2 2 4
+
4
=
mine drainage) terjadi oksidasi senyawa sulfida speerti pyrite (FeS). Dapat juga
digunakan di lahan pertanian untuk mengoksidasi S elemen : 2S + 3O + 2H O 2 2
2H SO 4H + 2SO
2 4
+
4
=
k. Pengangkutan S
1. Erosi: hilangan bersama bahan organik
2. Pelindian: sulfat sangat mobil dalam tanah, sulfat merupakan anion yang dominan
pada air lindian, pelindinan meningkat jika kandungan kation monovalen (K , Na )+ +
besar
3. Hilang karena volatilisasi
l. Volatilisasi
Kehilangan karena menguap: hasil transformasi mikrobia dalam tanah, misalnya dimethyl
sulfide (CH SCH ), atau karbon disulfide, methyl mercaptan, dan dimethyl disulfida.
3 3
Pengaruhnya terhadap kesuburan tanah rendah. Dapat juga menguap melalui daun, hal ini
mempengaruhi mutu pakan.
m. Manajemen pupuk S
Pada tanah pasiran sering kedefisensian S, karena rendahnya bahan organik tanah dan
pelindian yang hebat terhadap SO , kebutuhan tanaman beragam: diperlukan oleh alfalfa,
4
clovers, canola, kubis dan sayuran serupa, hmt Brassicas, bawang merah danbawang putih,
hmt rerumputan atau legum, rumput menyerap S lebih cepat dibanding legum. Sumber
sulfur: S unsur (tidak segera tersedia, harus dioksidasi lebih dahulu menjadi SO , oksidasi
4
berlangsung dalam reaksi masam). Sumber lain ikut dalam superfosfat. SSP (14% S), TSP
(1,5% S).
4.2. Besi
a. Fe dalam tanaman
1. Unsur Fe diserap akar dalam bentuk Fe atau Fe , Fe umumnya direduksi menjadi
2+ 3+ 3+
b. Fe dalam tanah
1. Mineral Fe sangat melimpah di kerak bumi, juga dalam tanah dalam bentuk mineral
primer, bagian dari liat, oksida dan hidroksida.
2. Larutan Tanah: kelarutan mineral Fe sangat rendah, mineral amorf Fe(OH) 3
mengatur kadar Fe dalam larutan tanah. Pada tanah dengan drainase baik, kondisinya
teroksidasi kadar Fe > Fe . Sebaliknya pada tanah jenuh air Fe mengalami reduksi
3+ 2+ 3+
menjadi Fe .
2+
d. Khelasi
1. Ikatan kompleks antara ion logam dengan senyawa organik: senyawa organik
disintesis oleh akar, hasil perombakan bahan organik tanah atau sisa tanaman, hasil
metabolisme mikrobia, contoh khelat alami : asam sitrat dan asam oksalat, sedang
khelat buatan : DTPA.
2. Khelat (chelate = claw), ikatan ganda, ion logam sebagai pusat sedang senyawa
organik mengelilinginya.
3. Khelat larut air meningktkan ketersediaan hara mikro Fe, Zn, Mn, Cu, mencegah
dari reaksi presipitasi/adsorpsi.
4. Pada tanah gambut khelasi oleh gugus fungsional justri menurunkan ketersediaan
Cu.
e. Penyerapan khelat Fe
Khelat Fe menembus akar tanaman, Fe dilepaskan pada permukaan akar, khelat bebas
3+
kembali ke larutan tanah (bulk solution), khelat tersebut mengikat ion Fe yang lainnya,
3+
khelasi mengambil ion Fe bebas dari dalam larutan tanah,menyebabkan kadar Fe dalam
larutan menurun yang akan diikuti pelepasan Fe yang semula terjerap atau melarutkan Fe
dari mineral.
f. Pengaruh Tanaman
Tanaman memiliki efisiensi penyerapan Fe yang berbeda-beda (faktor genotip). Adaptasi
akar dalam menyerap Fe: Pemasaman risosfer (melepas H ), melepas agen khelasi
+
g. Kedefisensian Fe
1. Klorosis karena pengapuran (kedelai, blueberry), tanah kapuran dengan pH tinggi
(drainase dan aerasi buruk, kadar bikarbonat tingi).
2. Kadar bahan organik rendah (tanah kapuran tererosi), di wilayah ini agen khelasi
sangat sedikit.
3. Interaksi hara: kedefisensian muncul karena kelebihan Cu, Mn, Zn, Mo dan P.
Pemasaman karena penyerapan NH -N di risosfer meningkatkan serapan Fe.
4
h. Pupuk Fe
1. Rabuk dan pupuk organik: menambah khelat
2. Sumber anorganik: pemupukan ke tanah kurang efektif karena Fe menjadi tidak
tersedia, aplikasi pada tanaman (pupuk daun atau injeksi) lebih efektif.
3. Khelat Fe: cukup efektif jika diberikan ke tanah, tapi harganya mahal, umumnya
digunakan untuk komoditas yang bernilai tinggi.
4.3. Mangan
a. Mn dalam tanaman
1. Diserap akar dalam bentuk Mn , atau dalam komplek organik.
2+
5. Tidak mudah dipindahkan antar jaringan, kedefisensian muncul paad titik tumbuh,
daun yang muda.
6. Gejala kedefisensian muncul klorosis antara tulang daun yan muda serupa dengan
kedefisensian Fe, daun kehilangan warna tidak merata (spot).
7. Keracunan Mn dapat terjadi pada tanah yang sangat masam. Becak hitam atau
coklat (endapan MnO ) dengan cincin pucat, terjadi pada daun tua, disebabkan
2
b. Mn dalam tanah
1. Berupa mineral primer, liat, oksida dan hidroksida
2. Larutan tanah: kelarutan Mn dikontrol oleh pH tanah, kondisi redoks dan adsorpsi
pada permukaan organik; sejumlah Mn dijerap dalam bentuk tertukar pada
2+
permukaan liat; kebanyakan yang berada dalam larutan tanah berbentuk khelat.
3. Kelarutan Mn: ditentukan oleh kelarutan MnO , lebih terlarut pada pH yang rendah
2
d. Kedefisensian Mn
1. Terjadi pada tanah dengan pH tinggi, tanah kapuran atau tanah dengan daya sangga
rendah dikapur berlebihan.
2. Pada tanah dengan kadar bahan organik tinggi.
3. Interaksi hara: disebabkan kadar Cu, Fe, dan Zn tinggi.
4. Pemasaman karena pupuk NH -N meningkatkan ketersediaan Mn.
4
e. Keracunan Mn
Terjadi pada tanah yang sangat masam. Hal ini dapat diatasi dengan pengapuran, untuk
mengurangi Mn yang tersedia
f. Pupuk Mn
1. Rabuk dan pupuk organik, juga meningkatkan khelat.
2. Sumber anorganik Mn-sulfat: sumber yang umum, aplikasi tanah atau daun
seimbang efektivitasnya, diberikan dalam larikan lebih efektif dibanding disebar.
3. Mn khelat: untuk pupuk daun, aplikasi di tanah kurang efektif, karena Fe atau Ca
dapat mengganti Mn dalam khelat tersebut.
4.4. Tembaga
a. Cu dalam tanaman
1. Diserap dalam bentuk Cu atau komplek organik.
2+
b. Cu dalam tanah
1. Meskipun kecil terdapat dalam mineral primer dan sekunder.
2. Larutan tanah: kelarutan Cu ditentukan oleh pH larutan dan proses jerapan pada
permukaan mineral dan organik; di dalam larutan terutama berbentuk khelat
3. Kelarutan Cu dan pH: Tanah-Cu (mineral) + 2H > Cu . Cu terlarut berkurang 100
+ 2+
kali jika pH naik 1 unit. Reaksi hidrolisis Cu: pH <7, Cu dominan, jika pH >7,
2+
4. Jerapan Cu: Cu dijerap pada liat, oksida Al, Fe, Mn dan permukaan organik;
(jerapan Cu ini paling kuat dibanding hara mikro lainnya); jerapan dalam bentuk
dapat ditukar pada permukaan liat; bahan organik mengurangi atau meningkatkan
ketersediaan Cu: jika bahan organik tidak larut berarti mengurangi cu dari larutan,
tetapi khelatyang larut meningkatan ketersediaan Cu; sebagian besar Cu dapat
disekap (occluded) atau diendapkan dalam struktur liat atau mineral oksida
e. Pupuk Cu
1. Rabuk dan pupuk organik: menambah khelat, rabuk dari kandang babi dan biosolid
dapat mengandung Cu sangat tinggi
2. Sumber anorganik: khelat Cu diberikan sebagai pupuk daun atau lewat tanah
efektivitasnya sama.
3. Jika diberikan dalam larikan dapat menyebabkan kerusakan akar.
4.5. Seng
a. Zn dalam tanaman
1.
Diserap dalam bentuk Zn 2+
2.
Aktivitas ensim: struktur, fungsi atau kofaktor regulator; metabolisme karbohidrat,
sintesis protein; zat pengatur tumbuh triptofan, IAA (auksin).
3.
Tidak mudah dipindahkan antar jaringan tanaman, kedefisensian muncul pada titik
tumbuh di daun muda, pada beberapa tanaman gejala muncul pada daun tua
4.
Gejala kedefisensian: pertumbuhan kerdil ruas pendek, roset, kekurangan IAA;
warna hijau muda, kuning atau putih pada daun; daun kecil, sempit dan tebal;
pengguguran daun; buah tidak terbentuk.
b. Zn dalam tanah
1. Unsur Zn ditemukan sedikit pada mineral primer dan sekunder
2. Larutan tanah: kelarutan Zn dikendalikan oleh pH larutan dan jerapan oleh mineral
dan organik; yang larut kebanyakan dalam bentuk khelat.
3. Kelarutan Zn dan pH tanah: tanah-Zn + 2H > Zn ; jika pH naik 1 unit
+ 2+
d. Kedefisensian Zn
1. Tanah kapuran pH tinggi: wilayah tererosi, tanah permukaan hilang
2. Tanah dengan tekstur sangat halus, karena kapasitas jerapan yang tinggi
3. Kondisi dingin dan basah, kedefisensian awal musim semi
4. Interaksi hara: kelebihan Cu, Fe, Mn, dan P memicu kedefisensian Zn; pemasaman
karena pupuk ammonium meingkatakan ketersediaan Zn.
5. Tanaman peka: seperti jagung dan kedelai.
e. Pupuk Zn
1. Rabuk dan sumber organik: menambah khelat
2. Sumber anorganik: Zn-sulfat (efektif untuk di tanah); pupuk daun (tanaman buah,
pembibitan)
3. Khelat Zn untuk daun atau tanah, semuanya efektif.
4. Pemberian dalam larikan lebih efektif dibandingkan jika ditebar.
4.6. Klorida
a. Cl dalam tanaman
1. Diserap akar dalam bentuk Cl , dapat juga diserap lewat daun
2. Fungsi: berkaitandengan air dalam tanaman; osmotik, turgor daun, counterion K+;
diperlukan dalam evolusi O2 (fotosintesis)
3. Sangat mudah bergerak dalam tanaman
4. Gejala kedefisensian : layu; klorosis daun; pertumbuhan akar terhambat; nekrosis
daun dan berwarna seperti tembaga
5. Kelebihan Cl: penyerapan air berkurang; daun menebal dan menggulung; mutu
buah dan umbi berkurang.
b. Cl dalam tanah
1. Sangat mobil, mudah terlindi
2. Sumber utama garam KCl
3. Merupakan anion utama pada tanah salin, mengumpul di tanah kering, berada
sedikit diatas water table, darinase internal buruk, berasal dari air irgasi
4. Sedikit sekali Cl dalam bahan organik, atau terjerap di permukaan mineral
5. Di daerah pantai banyak masukan dari hembusan angin laut.
c. Ketersediaan Cl
1. Dalam tanah Cl sangat terlarut dan sangat tersedia bagi tanaman
2. Pada tanah yang sangat hebat pelindiannya mungkin muncul kedefisensian
3. Interaksi hara: nitrat dan sulfat dapat menghambat penyerapan Cl
4. Tekanan penyakit: mampu menekan penyakit pada akar dan daun (gandum, padi,
kentang)
d. Gerakan Cl
Unsur Cl bergerak menuju akar bersama aliran masa.
e. Keracunan Cl
Keracunan Cl lebih sering dijumpai dibanding kedefisensian Cl. Unsur ini menekan
pertumbuhan tanaman dengan mekanisme: sumbangan garam yangtinggi dalam tanah, bagi
tanaman yang peka terhadap Cl misalnya: kacang-kacangan, tanaman buah, kapas dan
tembakau.
f. Pupuk Cl
Unsur Cl terdapat dalam rabuk dan sumber organik lainnya meski sedikit. Sumber
anorganik: pupuk KCl, atau gram lainnya.
4.7. Boron
a. Boron dalam tanaman
1. Diserap akar dalam bentuk H BO
3 3
c. Ketersediaan B
1. Unsur B sangat tersedia pada tanah masam, sebaliknya terjerap kuat oleh oksida dan
liat pada pH > 6.5.
2. Dapat terlindi pada tanah pasiran yang masam
3. Bahan organik merupakan cadangan utama
4. Tanah yang kering: kebanyakan B diserap secara pasif bersama air, seperti Ca,
didistribusikan ke tanaman melalui sistem transpirasi, pengambilan dan
pengangkutan yang terus menerus dalam xilem sangat penting
5. Interaksi hara: kadar Ca dan K yang tingi dapat memicu kedefisensian B
f. Pupuk B
Rabuk dan bahan organik. Senyawa anorganik: Borax (natrium borat, solubor (pupuk daun
dan tanah).
4.8. Molibdenum
a. Mo dalam tanaman
1. Diserap akar dalam bentuk MoO (molybdate)
4
2-
meningkat.
c. Ketersediaan Mo
1. Jika pH meningkat Mo menjadi tersedia, 1 unit kenaikan pH meningkatkan
ketersediaan Mo 10 kali (berbeda dengan hara mikro lainnya).
2. Kedefisensian dijumpai pada tanah masam, atau tanah dengan oksida Fe-Al
3. Interaksi hara: sulfat tinggi menghambat serapan Mo, nitrat meningkatkan serapan
Mo, ammonium menurunkan serapan Mo.
e. Keracunan Mo
1. Molybdenosis pada ternak karena tidak seimbang antara Mo dan Cu dalam pakan.
2. Pada tanah netral atau alkalin
3. Ketersediaan Cu rendah, misalnya paad gambut
f. Pupuk Mo
1. Rabuk dan organik lainnya: meski kadarnya kecil tapi sudah mencukupi, karena
memang kebutuhan Mo juga kecil
2. Sumber anorganik : Ammonium dan natrium molybdates, diberikan sebagai pupuk
daun atau pupuk tanah, atau diberikan untuk benih (seed treatmnents)
3. Pengapuran dapat mengatasi kedefisensian Mo
V. Evaluasi Kesuburan Tanah
5.1. Pengambilan contoh tanah dan tanaman
5.2. Uji kimia tanah
5.3. Uji mikrobia
5.4. Percobaan pemupukan
5.5. Missing element
5.6. Analisis jaringan
5.7. Uji cepat tanaman
5.8. Gejala visual tanaman
5.9. Rekomendasi pemupukan
Sifat tanah SR R S T ST
C (%) < 1,0 1,0-2,0 2,01-3,00 3,01-5,00 > 5,00
P O Bray I (ppm)
2 5 < 10 10-15 16-25 26-35 > 35
P O Olsen (ppm)
2 5 < 10 10-25 26-45 46-60 > 60
Kation tertukar
sangat agak
masam masam masam netral agak alkalin alkalin
Azotobacter
Mikrobia ini peka terhadap unsur: P, K dan Ca.
Cara percobaan :
1. Siapkan media tanah yang diberi pati 5%.
2. Perlakuan: kontrol, + K, + P, + PK.
3. Masukkan media ke dalam petridish, atur lengas.
4. Inokulasi dengan Azotobacter, inkubasikan selama 72 jam pada t 30 C.
o
Aspergillus niger
Mikrobia ini peka terhadap unsur: P dan K
Cara percobaan:
1. Larutan hara (minus K) 30 mL + 2,5 g tanah
2. Masukkan dalam labu + inokulan (spora)
3. Inkubasi selama 4 hari, t 30 C.
o
Gejala Unsur
A1a. pada bagian bawah tanaman, diikuti nekrosis dan lepas NITROGEN
A2b3. ujung daun tetap hijau, klorosis pada urat daun, tepi daun
mengalami nekrosis dengan cepat TEMBAGA
A2b4. daun muda sangat kecil, tanpa lembar daun, ruas menjadi
pendek (roset) SENG
B1b. Tepi daun tua mengalami klorosis dan terbakar, atau bintik
klorosis berkembang cepat menjadi nekrosis tersebar pada lembar
daun tua KALIUM
Beberapa faktor penting yang juga perlu diperhatikan adalah: intensitas gejala
(kedefisensian ringan tidak menampakkan gejala), umur tanaman, varitas tanaman, musim,
kedefisensian beberapa hara secara bersamaan, keracunan, populasi dan kesehatan tanaman.
Kelemahan gejala kedefisensian hara:
1. Gejala visual yang serupa dapat disebabkan oleh lebih dari satu hara, misalnya
gejala klorosis antar tulang daun pada daun yang muda merupakan watak
kedefisensian Fe atau Mn.
2. Gejala visual serupa dapat pula disebabkan serangga, penyakit, herbisida atau faktor
lainnya, misalnya gejala kedefisensian B dan bekas dimakan belalang pada legum
hampir sama kenampakannya.
3. Kedefisensian hara pada tanaman mungkin bukan karena kekurangan hara dalam
tanah, tetapi dapat disebabkan keadaan pH, kelebihan hara lain, atau adanya faktor
penghambat pertumbuhan akar.
4. Pada saat menunjukkan gejala visual kedefisensian hara, kehilangan hasil secara
murad telah terjadi.
N P K N P K
(t ha )
-1
(kg ha ) -1
(kg ha ) -1
VI. Pupuk
6.1. Pengertian pupuk
6.2. Kategori pupuk
6.3. Pupuk buatan
6.4. Pupuk organik
6.5. Pupuk hijau
6.6. Pupuk hayati
6.7. Pembuatan kompos
6.8. Peraturan pupuk
6.1. Pengertian Pupuk
Pupuk adalah suatu bahan yang mengandung satu atau lebih unsur hara bagi tanaman.
Bahan tersebut berupa mineral atau organik, dihasilkan oleh kegiatan alam atau diolah oleh
manusia di pabrik. Unsur hara yang diperlukan oleh tanaman adalah: C, H, O (ketersediaan
di alam masih melimpah), N, P, K, Ca, Mg, S (hara makro, kadar dalam tanaman > 100
ppm), Fe, Mn, Cu, Zn, Cl, Mo, B (hara mikro, kadar dalam tanaman < 100 ppm).
Pupuk diberikan agar tanaman (tumbuhan yang diusahakan manusia) dapat tumbuh,
berkembang dan menghasilkan sesuai yang diharapkan. Manusia selalu menuntut lebih
terhadap kemampuan tanaman. Rekayasa genetik dan lingkungan di lakukan agar tanaman
memberikan kinerja yang lebih baik. Dengan bantuan hasil tanaman tersebut, unsur yang
semula berada dalam tanah masuk ke dalam tubuh manusia.
Tumbuhan tidak memerlukan pupuk. Karena tumbuhan mampu mengambil unsur hara yang
tersedia di lingkungan hidupnya. Pada lahan yang tidak terusik manusia, kesuburan tanah
selalu meningkat, karena terjadi pelonggokan materi dan energi di tempat tersebut. Mineral
dari kedalaman yang lebih dalam diangkut ke daun dan digugurkan ke permukaan tanah.
Gas-gas di udara terutama CO2 dijerat dan digunakan sebagai penyusun tubuh tumbuhan.
Tumbuhan selalu hidup bersama dengan lelembut (mikrobia). Serasah tumbuhan menjadi
makanan dan sumber energi bagi lelembut tersebut untuk terus bekerja. Hasil perombakan
digunakan kembali oleh tumbuhan. Interaksi mineral dan bahan organik yang terus menerus
itu, akan diikuti ketersedian hara dan lengas yang makin besar, sehingga memberikan
lingkungan yang terbaik bagi tumbuhan.
Semakin berkurang usikan manusia terhadap suatu lahan, maka lahan tersebut akan
bertambah subur. Sebaliknya, semakin banyak usikan semakin banyak pula masukan yang
harus diberikan agar lahan tetap subur. Semakin intensif lahan dikelola, semakin banyak
pula pupuk yang diperlukan.
Bahan pupuk selain mengandung hara tanaman umumnya mengandung bahan lain, yaitu:
1. Zat pembawa atau karier (carrier). Double superfosfat (DS): zat pembawanya
adalah CaSO dan hara tanamannya fosfor (P).
4
2. Senyawa-senyawa lain berupa kotoran (impurities) atau campuran bahan lain dalam
jumlah relatif sedikit. Misalnya ZA (zwavelzuure amoniak) sering mengandung
kotoran sekitar 3% berupa khlor, asam bebas (H SO ) dan sebagainya.
2 4
3. Bahan mantel (coated) ialah bahan yang melapisi pupuk dengan maksud agar pupuk
mempunyai nilai lebih baik misalnya kelarutannya berkurang, nilai higroskopisnya
menjadi lebih rendah dan mungkin agar lebih menarik. Bahan yang digunakan untuk
selaput berupa aspal, lilin, malam, wax dan sebagainya. Pupuk yang bermantel
harganya lebih mahal dibandingkan tanpa mantel.
4. Filler (pengisi). Pupuk majemuk atau pupuk campur yang kadarnya tinggi sering
diberi filler agar ratio fertilizer nya dapat tepat sesuai dengan yang diinginkan, juga
dengan maksud agar mudah disebar lebih merata
Dalam praktek perlu diketahui istilah-istilah khusus yang sering digunakan dalam pupuk
antara lain ialah:
1. Mutu pupuk atau grade fertilizer artinya angka yang menunjukkan kadar hara
tanaman utama (N,P, dan K) yang dikandung oleh pupuk yang dinyatakan dalam
prosen N total, P O dan K O. Misalnya pupuk Rustika Yellow 15-10-12 berarti kadar
2 5 2
2. Perbandingan pupuk atau ratio fertilizer ialah perbandingan unsur N,P dan K yang
dinyatakan dalam N total, P O dan K O merupakan penyederhanaan darigrade
2 5 2
2. Pupuk anorganik atau mineral merupakan pupuk dari senyawa anorganik. Hampir
semua pupuk buatan tergolong pupuk anorganik.
(NH CONH ) dan kalsium sianida (CaCN ). Bentuk pupuk N ini berupa kristal, prill, pellet,
2 2 2
Pupuk ini dikenal dengan nama zwavelzuure amoniak (ZA) dan sampai sekarangpun masih
banyak beredar di masyarakat. Umumnya berupa krital putih dan hampir seluruhnya larut
air. Kadang-kadang pupuk tersebut diberi warna (misalnya pink). Kadar N sekitar 20-21%
yang diperdagangan umumnya mempunyai kemurnian selitar 97%. Kadar asam bebasnya
maksimum 0.4%. Sifat pupuk ini: larut air, dapat dijerap oleh koloid tanah, reaksi fisiologis
masam, mempunyai daya mengusir Ca dari kompleks jerapan, mudah menggumpal, tetapi
dapat dihancurkan kembali, asam bebasnya kalau terlalu tinggi meracun tanaman.
Pupuk ini dianggap yang paling tinggi kadar N-nya. Disimpan dalam bentuk cair.
Penggunaannya dengan injeksi ke dalam tanah atau dilarutkan dalam air kemudian
dipompa. Di Indonesia belum digunakan walaupun pabrik sudah membuat untuk keperluan
lain. Pupuk dapat juga dilarutkan dalam air pengairan, akan tetapi ada risiko kehilangan N
yang terbawa air pengairan dan karena penguapan terutama pada tanah atau air yang
mempunyai reaksi alkalis. Jumlah N yang hilang tergantung tekstur tanah, reaksi, cara
pemberiannya, dalamnya injeksi ke dalam tanah. Dari berbagai percobaan menunjukkan
bahwa sekitar 1-8 % tersemat pada lapisan permukaan tanah dan 2-31 % pada lapisan
bagian bawah. Sering pemberian amonia cair dicampur dengan sulfur (S) karena sulfur larut
dalam amonia.
Kadar N dalam amonium khlorida (ACl) sekitar 26%. Dari beberapa peneliti untuk sebagian
tanaman sering menunjukkan bahwa pupuk ACl lebih baik dibanding amonium sulfat (ZA)
terutama untuk tanaman yang memerlukan unsur Cl. Ada dugaan bahwa ZA bila diberikan
ke dalam tanah akan meninggalkan sulfat (SO ) dan ion ini kemudian ditanah sawah
4
=
direduksi menjadi H S, senyawa ini bersifat racun terhadap tanaman. Proses selanjutnya H S
2 2
bereaksi dengan feri atau mangan menjadi FeS atau Fe S dan MnS. tuk tanaman yang
2
diharapkan kadar proteinnya tinggi sebaiknya digunakan pupuk ZA karena senyawa protein
mengandung unsur S sehingga pemberian S berperanan dalam pembentukan protein.
Tanaman berbeda-beda tanggapannya terhadap kedua pupuk tersebut. Tapi umumnya sisa
Cl kurang disenangi dibanding SO , demukian juga reaksi fisiologis ACl lebih asam dari
4
=
pupuk ZA.
Kadar N dalam pupuk amonium nitrat sekitar 32-33,5%. Kalau dicampur dengan kapur
disebut amonium lime( ANL).
Pupuk fosfor (P)
Kecuali untuk nitrogen, kadar unsur dalam pupuk dinyatakan dalam bentuk oksidanya. P
dalam pupuk dinyatakan dalam bentuk P O . Pupuk TSP mengandung P sebesar 44% P O .
2 5 2 5
Untuk mengetahui kadar P (bukan P O ) maka harus dikalikan dengan suatu bilangan
2 5
konversi:
Prosentase P = 0.43 X prosentase P O 2 5
Angka 0.43 berasal dari berat molekul P O dibagi berat 2P. Berat atom P=31 dan O=16,
2 5
sehingga 144:62 = 2.29 atau sebaliknya 62:144 = 0.43. Kadar yang ditunjukkan umumnya P
yang larut dalam asam sitrat 2%; jadi bukan P yang larut air.
Sejak zaman Belanda ES sudah populer digunakan sebagai pupuk P. Sering disebut single
superphosphate. Pupuk ini dibuat dengan menggunakan bahan baku batuan fosfat (apatit)
dan diasamkan dengan asam sulfat untuk mengubah P yang tidak tersedia menjadi tersedia
untuk tanaman. Reaksi singkat pembuatan ES:
Ca (PO ) CaF + 7H SO > 3Ca(H PO ) + 7CaSO + 2HF
3 4 2 2 4 2 4 4
kapur (CaO) = 24-28% . Bentuk pupuk ini berupa tepung berwarna putih kelabu. Sedikit
larut dalam air reaksi, fisiologis netral atau agak masam. Syarat yang harus dipenuhi kadar
(F O + Al O ) kurang dari 3%. Apabila terlalu banyak mengandung kedua oksida tersebut
2 3 2 3
yang bersifat meracun tanaman, kedua oksida juga dapat bereaksi dengan fosfat menjadi
tidak tersedia bagi tanaman (terjadi fiksasi P oleh Fe dan Al). Dalam penyimpanan sering
mengalami kerusakan fisik tetapi tidak mengalami perubahan khimianya. Dalam
pemakaiannya dianjurkan sebagai pupuk dasar yaitu pemupukan sebelum ada tanaman agar
pada saat tanaman mulai tumbuh P sudah dapat diserap oleh akar tanaman.
Pupuk ES masih mengandung gips (CaSO ) cukup tinggi dan untuk beberbagai jenis tanah
4
sering menyebabkan struktur tanah menjadi menggumpal seperti padas dan kedap terhadap
air. Hal ini yang sering dianggap sifat merugikan dari pupuk ES.
Doubelsuperfosfat (DS)
Berbeda dengan ES, pupuk ini dianggap tidak mengandung gipsum, dalam pembuatannya
digunakan asam fosfat yang berfungsi sebagai pengasam dan untuk meningkatkan kadar P.
Garis besar reaksi pembuatannya sebagai berikut:
(Ca PO ) CaF + 4H PO + 3H 0 > 3Ca(H PO ) + HF
3 4 2 3 4 2 2 4 2
Kadar P O + 38%. Pupuk ini telah lama digunakan di Indonesia baik oleh petani maupun di
2 5
perkebunan besar. Sifatnya berupa tepung kasar berwarna putih kotor. Asam
H PO diperoleh dari:
3 4 Ca (PO ) CaF + 3H SO > 2H3PO + CaSO + HF. Asam fosfat
3 4 3 2 4 4 4
unsur tersebut. Karena lambat bekerjanya pupuk ini diberikan sebagai pupuk dasar.
dengan pupuk DS. Kadar P O pupuk ini sekitar 44-46% walaupun secara teoritis dapat
2 5
Pupuk kalium
Jenis pupuk yang khusus mengandung kalium relatif sedikit jumlahnya. Umumnya sudah
dicampur dengan pupuk atau unsur lain menjadi pupuk majemuk. Sehingga menjadi pupuk
yang mengandung kalium, nitrogen dan atau fosfor (dua atau lebih hara tanaman).
Kadar pupuk K dinyatakan sebagai % K O. Konversi kadar K O menjadi K adalah sebagai
2 2
Muriate (KCl)
Dianggap pupuk yang kadar hara K nya tinggi. Nama muriate berasal dari asam murit
adalah sama dengan asam khlorida. Kadar K O teoritis dapat mencapai 60-62%; tetapi 2
dalam kenyataan pupuk muriate yang diperdagangkan hanya sekitar 50%. Bentuknya
berupa butiran kecil-kecil atau berupa tepung dengan warna putih sampai kemerah-
merahan. Dalam praktek lebih banyak digunakan jika dibandingkan dengan pupuk-pupuk K
yang lain karena harganya relatif murah.
Pupuk ini kurang disenangi karena kadar Cl nya yang tinggi terutama untuk pemupukan
tanaman yang peka terhadap kualitas maupun produksi. Banyak digunakan untuk
perkebunan karet dan tebu, tetapi sekarang sebagian beralih ke pupuk KNO . Pemupukan
3
kecil. Harganya lebih mahal jika dibandingkan dengan pupuk muriate. Kadar K O sekitar
2
48-50%. relatif mengandung Cl sedikit lebih kurang hanya 2.5%. Pupuk ZK dapat dibuat
dari garam komplek K SO .2MgSO . Garam komplek ini dilarutkan dalam air kemudian
2 4 4
K SO akan mengendap dan untuk memisahkannya maka MgCl didekantir. Pupuk ini sejak
2 4 2
lama banyak digunakan di Indonesia. Untuk tanaman sera misalnya rami, sosella dan kapas
pemupukan K mmengakibatkan kualiats seratnya lebih tinggi. Atau dibuat dari garam KCl
yang diasamkan dengan asam sulfat. Reaksinya sebagai berikut:
2 KCl + H SO > K SO + HCl
2 4 2 4
Reaksi pencampuran dilakukan dalam bejana besi panas yang selalu diaduk agar bercampur
sempurna. Gas HCl yang keluar didinginkan dan dilarutkan dalam air.
Kalium-magnesium sulfat
Rumus kimianya : K SO .2MgSO . Kadar K O berkisar antara 22-23% dan kadarMgO antara
2 4 4 2
18-129%. Dibuat dari garam komplek K SO . 2MgSO . Seperti pupuk ZK kadar Cl rendah
2 4 4
ialah kurang dari 3%. Kadar S= 18%. Perkebunan di sekitar Sumatra Utara dulu banyak
menggunakan pupuk ini.
kadar N sekitar 13%. Pupuk ini kurang penting dan tidak banyak digunakan. Tanaman yang
banyak menggunkan pupuk ini ialah tanaman tembakau, kapas. Niter merupakan pupuk
majemuk dengan grade fertilizer 13-0-44.
baik secara tunggal maupun gabungan. Umumnya pupuk ini larut air. Sumber P berupa
monohidrofosfat (HPO ) dan dihidrofosfat (H PO ). P ini tidak sempurna larut air, tetapi
4
=
2 4
-
larut seluruhnya dalam asam sitrat. K berasal dari garam nitrat, khlorida atau sulfat kalium.
Pupuk majemuk cair bersifat larut air, penggunaannya disemprotkan pada organ tanaman.
Tersedianya beraneka pupuk majemuk tentu untuk memudahkan petani tanpa harus
membuat campuran sendiri. Pupuk majemuk dibuat disesuaikan dengan jenis tanaman atau
tujuan penggunaannya. Pupuk yang digunakan untuk kedelai berbeda dengan untuk rumput
atau padi. Demikian juga untuk tanaman kapas atau tembakau. Untuk tanaman kopi yang
belum menghasilkan digunakan pupuk yang berbeda dengan tanaman kopi yang sudah
produksi.
Untuk tanaman hias yang bernilai tinggi (misalnya anggrek) digunakan pupuk cair atau
pupuk padat slow release. Kandungan haranya lengkap berupa mineral yang air larut dan
juga sering senyawa organik protein dan hormon tumbuh serta unsur yang dapat berperanan
untuk mengintensifkan warna bunga.
Pupuk kandang
Pupuk kandang merupakan pupuk yang penting di Indonesia. Selain jumlah ternak lebih
tinggi sehingga volume bahan ini besar, secara kualitatif relatif lebih kaya hara dan
mikrobia dibandingkan limbah pertanian. Yang yang dimaksud pupuk kandang ialah
campuran kotoran hewan/ ternak dan urine.
Tabel Rata-rata hara dari pupuk kandang sapi
Uraian Nilai
Ukuran hewan ( kg) 500
Pupuk segar (ton/tahun) 11,86
Kadar air ( %) 85
Kandungan hara (kg/ton ton)
Nitrogen (N) 10.0
Fosfor (P) 2.0
Kalium (K) 8.0
Kalsium (K) 5.0
Magnesium (Mg) 2.0
Sulfur (S) 1.5
Ferrum (Fe) 0.1
Boron (B) 0.01
Cuprum (Cu) 0.01
Mangan (Mn) 0.03
Zinc (Zn) 0.04
Pupuk kandang dibagi menjadi dua macam: a) pupuk padat dan b) pupuk cair. Susunan hara
pupuk kandang sangat bervariasi tergantung macamnya dan jenis hewan ternaknya.
Nilai pupuk kandang dipengaruhi oleh:
1. makanan hewan yang bersangkutan, fungsi hewan tersebut sebagai pembantu pekerjaan
atau dibutuhkan dagingnya saja,
2. jenis atau macam hewan, dan jumlah dan jenis bahan yang digunakan sebagai alas
kandang.
tersebut mikrobia mati atau sedikit sekali yang hidup. Untuk menurunkan temperatur
umumnya dilakukan pembalikan timbunan bakal kompos.
4. Suasana. Proses pengomposan kebanyakan menghasilkan asam-asam organik,
sehingga menyebabkan pH turun. Pembalikan timbunan mempunyai dampak
netralisasi kemasaman.
5. Netralisasi kemasaman sering dilakukan dengan menambah bahan pengapuran
misalnya kapur, dolomit atau abu. Pemberian abu tidak hanya menetralisasi tetapi
juga menambah hara Ca, K dan Mg dalam kompos yang dibuat.
6. Kadang-kadang untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas kompos, timbunan
diberi pupuk yang mengandung hara terutama P. Perkembangan mikrobia yang cepat
memerlukan hara lain termasuk P. Sebetulnya P disediakan untuk mikrobia sehingga
perkembangannya dan kegiatannya menjadi lebih cepat. Pemberian hara ini juga
meningkatkan kualitas kompos yang dihasilkan karena kadar P dalam kompos lebih
tinggi dari biasa, karena residu P sukar tercuci dan tidak menguap.
Bahan
1. Jerami dicacah halus 3- 5 cm (500 kg)
2. Pupuk kandang (500 kg)
3. EM-4 (500 mL)
4. Gula pasir (250 g)
Cara pembuatan:
1. Larutan EM-4. Masukkan 20 mL EM-4 + 10 g gula pasir + air bersih 1.000 mL ke
dalam jerigen tertutup rapat, digojok merata dan difermentasikan selama 24 jam.
2. Jerami + pupuk kandang dicampur merata di atas lantai.
3. Tambahkan larutan EM-4 ke kemudian diaduk merata sehingga kadar lengas dalam
adukan tersebut sekitar 30%. Ambil segenggam bakal kompos tersebut, jika diperas
air mulai menetes.
4. Buat gundukan setinggi 60 cm, tutupi dengan karung goni.
5. Setiap 2 hari gundukan tersebut diperiksa, jika temperatur > 50 C gundukan harus
o
dibongkar dan dianginkan. Setelah dingin buat gundukan kembali, tutup dengan
karung goni. Jika terlalu kering tambahkan larutan EM-4.
6. Setelah 3 minggu gundukan dibongkar. Kompos diayak dengan saringan kasa 2 cm.
Bahan yang tidak lolos saring dikomposkan kembali.
Penggunaan bokashi
Takaran penggunaan secara umum 2 kg/m . Begitu sampai di lahan kompos harus segera
2
dicampur merata dengan tanah. Kompos yang tidak segera digunakan dapat disimpan.
Kompos terlebih dahulu dikering anginkan, kemudian dimasukkan dalam karung plastik
yang kedap air dan berwarna gelap. Karung tersebut disimpan ditempat yang kering,
terlindung dari hujan dan cahaya matahari langsung.
VII. Pemupukan
7.0. Pengertian Pemupukan
7.1. Pemupukan lewat akar
7.2. Pemupukan lewat daun
7.3. Serapan hara
7.4. Efisiensi pemupukan
7.5. Keharaan berimbang
7.6. Kebutuhan pupuk
3. Fertigation (fertilizing-irrigation)
Dengan cara ini kita melakukan pengairan sekaligus memupuk tanaman. Pengairan dapat
secara sederhana yakni air saluran yang dimasukkan ke lahan, atau irigasi modern
menggunakan tangki bertekanan. Pupuk yang digunakan dapat berupa cairan atau pupuk
padat yang dilarutkan dalam air. pupuk yang sering digunakan adalah ammonia, asam fosfat
dan KCl. Cara ini biasanya diterapkan untuk usaha yang komersial terutama di wilayah
padang pasir atau perbukitan.
4. Injection
Pupuk ammonia (gas) bertekanan disuntikkan pada kedalaman 10-20 dibawah permukaan
tanah, pupuk tanpa tekanan disuntikkan dekat dengan permukan tanah. Umumnya
diterapkan pada skala usaha yang besar dan hamparan yang luas.
N (kg/ton) 20 20
P (kg/ton) 5 20
K (kg/ton) 4 2
Kadar hara secara umum dalam tanaman.
Sumber: Growth and Mineral Nutrition of Field Crops. 3ed. 2011. hal 103
selain N, P, Ca dan S (karena ada dalam bahan pupuk yang diberikan petani) menjadi jauh
lebih besar dibandingkan yang dapat disediakan oleh tanah. Ini dikenal dengan istilah
penambangan hara (nutrient mining) di lahan sawah. Berdasarkan hukum Liebig, hara yang
terbatas jumlahnya akan menjadi faktor pembatas pertumbuhan dan hasil panen yang akan
diperoleh. Hal ini ditunjukkan oleh produktivitas padi sawah (hasil dalam ton per hektar)
yang terus menurun terutama di Jawa pada dekade terakhir ini.
Pemerintah menggalakkan penggunaan pupuk berimbang dengan meningkatan produksi
pupuk NPK. Jadi petani tidak hanya memberikan hara N dan P, tetapi juga sekaligus K. Di
masa depan yang diperlukan adalah pupuk spesifik atau tematik. Artinya pupuk yang
lengkap kandungan haranya (hara makro dan hara mikro) yang telah disesuaikan dengan
jenis tanaman dan lokasi usaha taninya. Untuk membuat pupuk yang tematik sifatnya,
diperlukan database yang cukup tentang kadar dan serapan hara oleh setiap jenis tanaman
yang diusahakan, sifat tanah dan lingkungan yang mempengaruhi cadangan dan efisiensi
penyerapan hara.
Penggunaan pupuk organik, bentuk padat atau cair, telah dilaporkan mampu meningkatkan
hasil panen per hektar. Hal ini disebabkan di dalam pupuk organik tersebut terkandung hara
yang selama ini menjadi faktor pembatas dalam lahan tersebut. Pupuk organik telah menjadi
kebutuhan mutlak bagi pengusaha hortikultura. Sejumlah pengusaha yang menyewa lahan
untuk tanaman mereka akan diuntungkan jika mendapatkan lahan yang masih cukup tinggi
kandungan bahan organiknya.
didapatkan kadar P tersedia 20 P O /hektar. Jika efisiensi serapan fosfat dari pupuk
2 5
TSP (45% P O ) yang diberikan sebesar 25%, maka jumlah pupuk yang diperlukan
2 5
adalah:
kebutuhan P2O5 = (25-20).100/25 = 60 kg P O kg/ha
2 5
Liming an acid soil is the first step in creating favorable soil conditions for productive plant
growth. Crops vary in their ability to tolerate an acidic (low pH) soil. In addition, evidence
has shown that soil acidity may influence other crop management problems such as
herbicide activity. Soil pH is a good indicator of the need for liming, but a buffer pH
measurement is necessary to determine the quantity of soil acidity to be neutralized in order
to change the soil pH. The general goal of liming agricultural soils continues to be a soil pH
of 6.0 to 7.0.
Raising soil pH requires a quantity of agricultural liming material that is determined by the
amount of acidity in the soil and the quality of the liming material. Soil acidity is measured
by soil testing; the quality of agricultural liming material is determined by its purity and
particle size distribution.
Acid soils
In the context of agricultural problem soils, acid soils are soils in which acidity dominates
the problems related to agricultural land use. They are characterized by a pH which is
strongly (5.5-4.5) to extremely acid (<4.5), a low cation-exchange capacity and a low base
saturation.
Acid soils occur in the tropics and subtropics as well as in moderate climates. Their
formation depends on specific conditions of climate, topography, vegetation, parent material
and time for soil formation. Acrisols and Ferralsols are most common in old land surfaces
in humid tropical climates. Acid sulphate soils occur in the tropics, in low-lying coastal
land formerly occupied by mangrove swamps. Podzols are typical soils of the northern
coniferous forests but may occur in the tropics, too.
The types of acid soils vary considerably due to different factors in soil formation,
especially differences in climate, parent material and vegetation. Acid soils place major
difficulties for agricultural use but can be very productive if lime and nutrients are
constantly applied and appropriate soil management is practised.
Special management implications are caused by the occurrence of aluminium toxicity. In
general soils with pH (H2O) <5 and >60% Al saturation of the cation exchange capacity
(CEC) may suffer from Al toxicity. High concentrations of Al affect root growth, uptake
and translocation of nutrients (especially immobilization of phosphorus in the roots), cell
division, respiration, nitrogen mobilization and glucose phosphorylation of plants.
Therefore, in the context of agricultural problem soils, it is necessary to make a distinction
between acid soils with Al toxicity and soils without Al toxicity because of the differing
management implications for these soils.
Rice environment
Rice is grown in a wide range of environments: irrigated lowland, rainfed lowland, tidal
swamp, and upland. About 72% of the rice area is irrigated, 7% rainfed lowland, 10% flood-
prone, and 11% upland. About 70% of the irrigated rice area can be planted to two crops of
rice a year; in the other rice ecosystems, only one rice crop can be grown. Dryland crops,
however, usually follow the rice crop in rainfed lowland areas. The average cropping
intensity is about 140%. On Java, however, cropping intensity is more than 200%,
especially in irrigated and favorable rainfed ecosystems.
Most irrigated lowland rice areas are located in floodplains. However, they can also be
found on mountainsides wherever there is water. Rainfed lands are on both floodplains and
undulating landscapes. Uplands are mostly on undulating landscape. Most of the flood-
prone areas are coastal swamps affected by the rise and fall of tides.
The use of modern rice varieties has increased markedly. Current estimates are that over
85% of riceland is planted to modern varieties. Production of other food crops such as
maize, soybean, peanut, and mungbean has been increasing at about the same rate as rice.
The area covered by these crops has increased at an even higher rate than rice, averaging
about 4.3% annually.
Production constraints
Long-term sustainability is a primary concern, particularly in the uplands. Weather,
topography, and poor soils are the chief production constraints.
1. Weather. Rainfed lowland, and upland rice ecosystems are most prone to drought
stress. However, some irrigated lowlands are also prone to drought, especially in the
dry season when irrigation water is in short supply. Others, especially those in low-
lying areas, as well as the tidal swamps are subject to flooding.\
2. Topography. Erosion is a serious problem in upland rice areas because on steep
slopes the fields are neither bunded nor terraced. That is causing serious
sedimentation problems in lowland irrigation systems. Alley cropping as well as
terracing are being introduced in some areas, but these cultural practices have not as
yet been widely adopted by farmers.
3. Soils. In irrigated and favorable rainfed lowlands, the relatively heavy application of
fertilizers plus the fairly high yields make nutrient imbalance a serious problem. In
the upland ecosystem, where soils are more weathered and leached, acidity, Al
toxicity, P and other nutrient deficiencies combine to reduce yields. Soil acidity is
serious in tidal swamps because of acid sulfate soils. That is accompanied by Fe
toxicity, as well as some deficiencies of P and micronutrients.
Concept Themes
Sustainable agriculture integrates three main goalsenvironmental health, economic
profitability, and social and economic equity. A variety of philosophies, policies and
practices have contributed to these goals. People in many different capacities, from farmers
to consumers, have shared this vision and contributed to it. Despite the diversity of people
and perspectives, the following themes commonly weave through definitions of sustainable
agriculture.
Sustainability rests on the principle that we must meet the needs of the present without
compromising the ability of future generations to meet their own needs.
Therefore, stewardship of both natural and human resources is of prime importance.
Stewardship of human resources includes consideration of social responsibilities such as
working and living conditions of laborers, the needs of rural communities, and consumer
health and safety both in the present and the future. Stewardship of land and natural
resources involves maintaining or enhancing this vital resource base for the long term.
A systems perspective is essential to understanding sustainability. The system is envisioned
in its broadest sense, from the individual farm, to the local ecosystem, andto communities
affected by this farming system both locally and globally. An emphasis on the system
allows a larger and more thorough view of the consequences of farming practices on both
human communities and the environment. A systems approach gives us the tools to explore
the interconnections between farming and other aspects of our environment.
A systems approach also implies interdisciplinary efforts in research and education. This
requires not only the input of researchers from various disciplines, but also farmers,
farmworkers, consumers, policymakers and others.
Making the transition to sustainable agriculture is a process. For farmers, the transition to
sustainable agriculture normally requires a series of small, realistic steps. Family economics
and personal goals influence how fast or how far participants can go in the transition. It is
important to realize that each small decision can make a difference and contribute to
advancing the entire system further on the sustainable agriculture continuum. The key to
moving forward is the will to take the next step.
Finally, it is important to point out that reaching toward the goal of sustainable agriculture
is the responsibility of all participants in the system, including farmers, laborers,
policymakers, researchers, retailers, and consumers. Each group has its own part to play, its
own unique contribution to make to strengthen the sustainable agriculture community.
The remainder of this document considers specific strategies for realizing these broad
themes or goals. The strategies are grouped according to three separate though related areas
of concern: Farming and Natural Resources, Plant and Animal Production Practices, and the
Economic, Social and Political Context. They represent a range of potential ideas for
individuals committed to interpreting the vision of sustainable agriculture within their own
circumstances.
Diversity
Diversified farms are usually more economically and ecologically resilient. While
monoculture farming has advantages in terms of efficiency and ease of management, the
loss of the crop in any one year could put a farm out of business and/or seriously disrupt the
stability of a community dependent on that crop. By growing a variety of crops, farmers
spread economic risk and are less susceptible to the radical price fluctuations associated
with changes in supply and demand.
Properly managed, diversity can also buffer a farm in a biological sense. For example, in
annual cropping systems, crop rotation can be used to suppress weeds, pathogens and insect
pests. Also, cover crops can have stabilizing effects on the agroecosystem by holding soil
and nutrients in place, conserving soil moisture with mowed or standing dead mulches, and
by increasing the water infiltration rate and soil water holding capacity. Cover crops in
orchards and vineyards can buffer the system against pest infestations by increasing
beneficial arthropod populations and can therefore reduce the need for chemical inputs.
Using a variety of cover crops is also important in order to protect against the failure of a
particular species to grow and to attract and sustain a wide range of beneficial arthropods.
Optimum diversity may be obtained by integrating both crops and livestock in the same
farming operation. This was the common practice for centuries until the mid-1900s when
technology, government policy and economics compelled farms to become more
specialized. Mixed crop and livestock operations have several advantages. First, growing
row crops only on more level land and pasture or forages on steeper slopes will reduce soil
erosion. Second, pasture and forage crops in rotation enhance soil quality and reduce
erosion; livestock manure, in turn, contributes to soil fertility. Third, livestock can buffer the
negative impacts of low rainfall periods by consuming crop residue that in plant only
systems would have been considered crop failures. Finally, feeding and marketing are
flexible in animal production systems. This can help cushion farmers against trade and price
fluctuations and, in conjunction with cropping operations, make more efficient use of farm
labor.
Soil management
A common philosophy among sustainable agriculture practitioners is that a healthy soil is
a key component of sustainability; that is, a healthy soil will produce healthy crop plants
that have optimum vigor and are less susceptible to pests. While many crops have key pests
that attack even the healthiest of plants, proper soil, water and nutrient management can
help prevent some pest problems brought on by crop stress or nutrient imbalance.
Furthermore, crop management systems that impair soil quality often result in greater inputs
of water, nutrients, pesticides, and/or energy for tillage to maintain yields.
In sustainable systems, the soil is viewed as a fragile and living medium that must be
protected and nurtured to ensure its long-term productivity and stability. Methods to protect
and enhance the productivity of the soil include using cover crops, compost and/or manures,
reducing tillage, avoiding traffic on wet soils, and maintaining soil cover with plants and/or
mulches. Conditions in most California soils (warm, irrigated, and tilled) do not favor the
buildup of organic matter. Regular additions of organic matter or the use of cover crops can
increase soil aggregate stability, soil tilth, and diversity of soil microbial life.
History
In the mid-1960s, when projections of global starvation were common, no one questioned
the role of mineral fertilizer in increasing food production, particularly in the food-deficit
countries. On the contrary, fertilizer use was an integral part of the Green Revolution
technological package of improved varieties of rice and wheat, irrigation, and fertilizer that
helped many densely populated countries to achieve food self-sufficiency in the short span
of 20 to 25 years.
In the early 1990s, however, fertilizer became the target of criticism, mainly because of
heavy use in the developed countries, where it was suspected of having an adverse impact
on the environment through nitrate leaching, eutrophication, greenhouse gas emissions and
heavy metal uptakes by plants. Consequently, fertilizer use per se was mistakenly identified
as harmful to the environment. But, if for any reason fertilizer use were discontinued today,
world food output would drop by an estimated 40 per cent with all its disastrous
consequences. While fertilizer misuse can contribute to environmental contamination, it is
often an indispensable source of the nutrients required for plant growth and food
production.
Unless all the soil nutrients removed with the harvested crops are replaced in proper
amounts from both organic and inorganic sources, crop production cannot be sustained: soil
fertility will decline. If in the past, the emphasis was on increased use of fertilizer; the
current approach should focus on educating farmers to optimize use of organic, inorganic,
and biological fertilizer in an integrated way. Plant nutrition in future will require the
judicious and integrated management of all sources of nutrients for sustainable agriculture.
Mineral fertilizers
Various types and grades of fertilizer are available throughout Asia supplying major
nutrients such as N, P and K. The fertilizer use levels differ widely between various
countries and nutrient use is mostly imbalanced, favouring lopsided use of nitrogen.
Balanced fertilization is known to improve fertilizer use efficiency (FUE) and at the same
time profitability for the farmer. Using ever higher rates of nitrogen (urea mostly) alone
with improved better varieties, the resulting higher yields also remove ever larger amounts
of soil nutrients if not replenished and the FUE declines further resulting in stagnating and
even declining yields. This leads to the paradox situation where statistics report the
continuing increase in fertilizer use but the expected crop production increases are not
taking place.
Apart from N, P and K, sulphur (S) and micronutrients such as zinc (Zn), iron (Fe)
manganese (Mn) and boron (B) have also gained in importance in recent years. The
secondary nutrient sulphur (S) has become deficient over wide areas especially since the
intensive use of high analysis fertilizer, urea, instead of sulphate of ammonia and TSP or
DAP instead of single superphosphate or NPK compounds. The major effect of these and
several other factors is the gradual decline in crop yields and fertilizer use efficiency.
Farmyard manure
Farmyard manure (FYM) traditionally does not receive the attention it deserves, as most
farmers store their most valuable asset, their cattle/ buffalo manure not in a systematic, but
in a rather haphazard way. Storage of FYM in rural households in the region is in heaps
exposed to sun, wind and rain, which accounts for substantial nutrient losses. FYM
preparation needs improvement, adhering to strict and prompt coverage for shading and
prevention of drying out by hot wind or washing out of nutrients with heavy rains (pollution
hazard). In the Indian subcontinent the widespread practice of using dried cattle and buffalo
dung for burning (cooking) as firewood substitute should be discouraged and for the farmer
affordable alternatives provided to the farmers e.g. use of biogas.
Compost
Unlike FYM, compost is not a by-product of common farm activities, but has to be
specially prepared for its own sake. The quality of the ripe compost after undergoing a
heating process reaching at least 60oC to destroy harmful pathogens and weed seeds will
depend on the raw material used and the attention given to proper composting by the
farmer. The C:N ratio needs to be lowered to 20-15 and good quality compost should have
no more than 30 per cent moisture, as no farmer wants to carry excess water to the field.
Practically all 16 known plant nutrients are contained in compost, but unfortunately, only in
very small quantities. Composting is a labour and time-consuming process, which takes 3-6
months. To speed up the process in several countries, rapid composting technologies have
been developed. With the use of Trichoderma harzianium (Philippines), a fungal activator,
decomposition of rice straw and other organic material with high C:N ratio, combined with
animal manure is enhanced to 25 days.
In Thailand, the Department of Land Development of the Ministry of Agriculture uses a
mixture of bacterial and fungal microorganisms to inoculate raw rice straw compost for
rapid decomposition. More than 100,000 packages of compost activator or inoculants are
prepared per year for free distribution to farmers. Each package of 150 g is sufficient for
rapid composting of one ton straw or other organic material together with 200 kg of animal
manure plus 2 kg of urea. Commercially prepared composts marketed as organic fertilizer
are available in most countries in the region and used mainly for high quality vegetable
production and horticultural use.
Crop residues
Other freely available sources of organic matter that are available on-farm in large
quantities are wheat and rice straws, maize stalks, and stovers of legumes and various
pulses. Most of the crop residues are not collected for composting and nutrient recycling,
but are used as animal feed (straws/stovers), burnt or left in the field for natural
decomposition (fallen leaves and stubble). Crop residues in the long run also increase the
OM content in the soil. Mulching with fresh straw or leaves is another good agronomic
practice for conserving moisture, reducing soil erosion and for recycling of nutrients, if the
partly decomposed mulching material is ploughed under for the following crop. Direct
seeding of maize or soybean into mulch cover would be another good agronomic practice.
Burning of straw which is still widely practised by farmers as the fastest and least labour
requiring method of disposal should be discouraged or, if possible, banned as in most
developed countries, mainly because of its air polluting effect.
Green manure
Green manure crops such as Sesbania aculeata ploughed into the soil after 45-60 days, as
practiced by Indian, Nepali and Pakistani farmers may contribute about 30-40 kg per
hectare nitrogen for the following crop. However, it seems to be increasingly difficult to
find a niche in the traditional farming calendar and cropping system to successfully grow a
green manure crop, which occupies the land for several months and needs water and
fertilizer, except N- just to plough it back into the soil.
Wherever possible and feasible the growing of grain legumes such as groundnuts, soybeans,
chickpeas, cowpeas or mungbean as cash crops, which maintain soil fertility and provide
farmers with extra income and fodder from crop residues should be encouraged.
Leguminous green manures, when incorporated, certainly add the nutrients present in their
biomass including the bulk of nitrogen they have captured (fixed) from the air, but other
nutrients have to be absorbed from the soil.
Green manuring apart from making net nitrogen addition, basically recycles other nutrients
back in the soil. Furthermore, effective nitrogen fixation requires an adequate phosphorus
status in soils which is usually lacking. It is a common misconception that using green
manures to provide nitrogen would be less damaging to the environment than using mineral
fertilizer, but far from it, the opposite is often the case. When the legume plants die at the
end of the growing season or after harvest and there is no crop growth in the field to take up
all the nitrate which is released from the rapidly decaying rhizobium nodules and plant
residue, there is a great danger of nitrate leaching, especially under hot, humid and high
rainfall climatic condition in the tropics.
Biogas slurries
Biogas plants in rural areas produce digested slurry as an end product, which could be
applied directly in cultivated fields. Such slurry contains about 1.5-2.0 per cent nitrogen, 1.0
per cent phosphorus and a little over 1 per cent potassium. It is also a valuable source of
micronutrients. Moreover, due to the heated digestion processes, biogas slurry is virtually
free from weed seeds and pathogens.
Biofertilizers
Biofertilizers have an important role to play in rainfed areas in improving the nutrient
content of crops. Although rhizobium is the most researched and well known among the
biofertilizers, there are a number of microbial inoculants with potential practical application
in IPNS. Such inoculates could contribute to increasing crop productivity through increased
biological nitrogen fixation (BNF), increased availability or uptake of nutrients through
phosphate solubilization, or increased absorption, stimulation of plant growth (hormones),
or by rapid decomposition of organic residues (rapid composting technology).
Rhizobium inoculants
The nitrogen fixed by rhizobia benefits legume crop production in two ways: (i) by meeting
most of the legume crops nitrogen needs and (ii) by enriching the soil for the benefit of
subsequent crops. Rhizobium inoculation should be considered in all legume green manure
crops to gain maximum benefit from nitrogen fixation in the shortest possible time.
Azospirillum, azotobacter and pseudomonas inoculations on upland grain crops are still in
their infancy and field trial results are inconclusive, although good responses to
azospirillum and azotobacter inoculation of wheat, rice and sugar cane have been recorded.
Further research is needed to find agronomic practices that may help the inoculated bacteria
to multiply profusely in the rhizosphere.