Salah tujuan dari mata kuliah Seminar Akuntansi Manajemen ini adalah mengenalkan konsep
akuntansi manajemen kepada mahasiswa untuk menghasilkan informasi biaya yang dibutuhkan pihak
manajemen dalam proses pengambilan keputusan yang tidak hanya bersifat score keeping dan
attention direction tapi juga problem solving. Mahasiswa juga diajak untuk memahami tema global
terkini dengan orientasi customer satisfaction.
Topik-topik yang dibahas dalam mata kuliah seminar ini antara lain:
3. Six Sigma
4. Lean acocunting
7. Transfer pricing
8. Theory of constraints
9. dan lain2
Pertemuan seminar kali ini dilaksanakan agak berbeda dengan pertemuan sebelumnya karena
dilaksanakan di laboratorium komputer. Hari ini mahasiswa diminta untuk mencari jurnal dari
Proquest dengan topik yang sesuai dengan silabi (topik2 diatas). Setelah itu mahasiswa diharuskan
membuat laporan kerja kelompok dengan menyajikan judul jurnal, landasan teori, tujuan penelitian,
metodologi penelitian, hasil penelitian dan analisis, serta kesimpulan. Setiap kelompok wajib
membagi tugas sesuai dengan jumlah anggotanya.
Oleh:
Lisa Lawrentiis., SE., MM
Harry Andrian Simbolon., SE., M.Ak., QIA
Semakin derasnya arus teknologi dan informasi, perusahaan dituntut untuk lebih dapat
mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan tersebut dalam persaingan global. Kelangsungan
hidup suatu perusahaan dapat ditentukan oleh berbagai strategi yang diterapkan oleh perusahaan.
Salah satu strategi yang dapat digunakan perusahaan agar dapat bersaing dalam bisnis global ini
adalah dengan mengurangi biaya, meningkatkan produktivitas, meningkatkan kualitas produk atau
jasa dan meningkatkan kemampuan untuk memberi respon terhadap berbagai kebutuhan pelanggan.
Bervariasinya sumber daya yang diperlukan untuk memproduksi suatu produk, maka perusahaan pun
harus dapat menggunakan sumber daya tersebut dengan lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan
perusahaan lain yang sejenis. Perhitungan biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan untuk
menghasilkan suatu produk pun haruslah akurat, sehingga perusahaan dapat menentukan harga jual
yang kompetitif di pasar global ini.
Manajemen sering kali mengabaikan perhitungan biaya produksi secara akurat yang dapat
mengakibatkan perusahaan tersebut tidak mampu bersaing di pasaran. Oleh karena itu, manajer suatu
perusahaan membutuhkan suatu informasi mengenai biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk
memproduksi suatu produk secara akurat. Pembebanan setiap biaya produksi yang dikeluarkan untuk
satu unit produk dengan suatu metoda dapat membantu manajemen memperoleh informasi mengenai
biaya produksi satu unit produk dengan lebih akurat. Metoda ini didalam akuntansi manajemen
dinamakan sebagai metoda Activity Based Costing (ABC) System.
Metode Activity Based Costing (ABC) System menghitung setiap biaya pada masing-masing aktivitas
dengan dasar alokasi yang berbeda untuk masing-masing aktivitas. Banyak perusahaan-perusahaan di
Indonesia belum mengadopsi metode ini dalam penghitungan biaya produksi yang dikeluarkan untuk
setiap produk. Umumnya metode yang digunakan oleh perusahaan yang berada di Indonesia adalah
pemerataan biaya secara umum untuk masing-masing produk. Padahal masing-masing produk
tersebut kenyataannya tidak menggunakan sumber daya dalam jumlah yang sama.
Metode manajemen biaya yang canggih seperti Activity Based Costing (ABC) banyak diterapkan pada
perusahaan perusahaan dunia. ABC membantu perusahaan mengurangi distorsi yang disebabkan
oleh sistem penentuan harga pokok tradisional, sehingga dengan ABC dapat diperoleh biaya produk
yang lebih akurat. ABC menyediakan pandangan yang jelas bagaimana perusahaan membedakan
produk, jasa dan aktivitas yang memberikan kontribusi dalam jangka panjang. Sistem ABC telah
dikembangkan dan diimplementasikan pada banyak perusahaan seperti Hewlett-Packard, General
Electric, Merck, AT&T, dan American Express.
Activity-Based Costing
Activity-Based Costing (ABC) adalah suatu sistem informasi akuntansi yang mengidentifikasi
berbagai aktivitas yang dikerjakan dalam suatu organisasi dan mengumpulkan biaya dengan dasar dan
sifat yang ada dan perluasan dari aktivitasnya. ABC memfokuskan pada biaya yang melekat pada
produk berdasarkan aktivitas untuk memproduksi, mendistribusikan atau menunjang produk yang
bersangkutan.
Sistem ABC timbul sebagai akibat dari kebutuhan manajemen akan informasi akuntansi yang mampu
mencerminkan konsumsi sumber daya dalam berbagai aktivitas untuk menghasilkan produk secara
akurat. Hal ini didorong oleh:
Persaingan global yang tajam yang memaksa perusahaan untuk cost effective
Advanced manufacturing technology yang menyebabkan proporsi biaya overhead pabrik
dalam product cost menjadi lebih tinggi dari primary cost.
Adanya strategi perusahaan yang menerapkan market driven strategy.
Kelemahan sistem akuntansi biaya tradisional:
Akuntansi biaya tradisional dirancang hanya menyajikan informasi biaya pada tahap produksi
Alokasi biaya overhead pabrik hanya didasarkan pada jam tenaga kerja langsung atau hanya
dengan volume produksi.
Ada diversitas produk, dimana masing-masing produk mengkonsumsi biaya overhead yang
berbeda beda.
Dalam sistem kalkulasi biaya tradisional biaya overhead dialokasikan secara arbitrer kepada harga
pokok produk. Hal ini akan menghasilkan harga pokok produk yang tidak akurat atau terjadinya
distorsi penentuan harga pokok produk per unit sehingga tidak bisa diandalkan dalam mengukur
efisiensi dan produktivitas.
Penentuan harga pokok per unit yang lebih akurat penting bagi manajemen sebagai dasar untuk
pembuatan keputusan. Manajemen dapat dipermudah dalam membuat berbagai keputusan, antara lain:
menentukan harga jual
mempertimbangkan menolak atau menerima suatu pesanan
memantau realisasi biaya
menghitung laba/rugi tiap pesanan
menentukan harga pokok persediaan produk jadi dan produk dalam proses yang akan
disajikan di neraca.
Agar tidak terjadi distorsi penentuan harga pokok per unit, banyak perusahaan yang mengadopsi
penggunaan sistem penentuan harga pokok (costing) berbasis aktivitas (ABC) dengan harapan
manajemen melakukan analisis profitabilitas, mendorong perbaikan proses, mengembangkan ukuran
kinerja yang lebih inovatif, dan dapat berpartisipasi dalam perencanaan strategis.
Perbandingan Sistem Tradisional dan ABC
Metode ABC memandang bahwa biaya overhead dapat dilacak dengan secara memadai pada berbagai
produk secara individual. Biaya yang ditimbulkan oleh cost driver berdasarkan unit adalah biaya yang
dalam metode tradisional disebut sebagai biaya variabel.
Metode ABC memperbaiki keakuratan perhitungan harga pokok produk dengan mengakui bahwa
banyak dari biaya overhead tetap bervariasi dalam proporsi untuk berubah selain berdasarkan volume
produksi. Dengan memahami apa yang menyebabkan biaya-biaya tersebut meningkat dan menurun,
biaya tersebut dapat ditelusuri ke masing-masing produk. Hubungan sebab akibat ini memungkinkan
manajer untuk memperbaiki ketepatan kalkulasi biaya produk yang dapat secara signifikan
memperbaiki pengambilan keputusan (Hansen dan Mowen, 2004: 157-158).
Digambarkan dalam tabel, perbedaan antara penentuan harga pokok produk tradisional dan sistem
ABC, yaitu:
Perbedaan Metode Activity Based Costing dengan Tradisional
Six Sigma adalah suatu alat manajemen baru yang digunakan untuk mengganti Total Quality
Management ( TQM ), sangat terfokus terhadap pengendalian kualitas dengan mendalami sistem
produksi perusahaan secara keseluruhan. Memiliki tujuan untuk, menghilangkan cacat produksi,
memangkas waktu pembuatan produk, dan mehilangkan biaya. Six sigma juga disebut sistem
komprehensive - maksudnya adalah strategi, disiplin ilmu, dan alat - untuk mencapai dan mendukung
kesuksesan bisnis. Six Sigma disebut strategi karena terfokus pada peningkatan kepuasan pelanggan,
disebut disiplin ilmu karena mengikuti model formal,yaitu DMAIC ( Define, Measure, Analyze,
Improve, Control )dan alat karena digunakan bersamaan dengan yang lainnya, seperti Diagram
Pareto(Pareto Chart) dan Histogram. Kesuksesan peningkatan kualitas dan kinerja bisnis, tergantung
dari kemampuan untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah.
Dari berbagai penjelasan tentang six sigma, ada banyak definisi yang dipaparkan namun jika kita
tarik garis kesimpulan ada tiga hal yang mendasar dari definisi six sigma. Kita bahas satu persatu
Alat apa yang kita pakai jika kita ingin tahu lebih berat siapa antara anda dengan saya?betul
timbangan. Jika ingin tahu lebih tinggi?.maka meteran lah jawabannya.
Hal yang sama juga berlaku demikian, jika kita ingin membandingkan dua atau lebih proses yang
berbeda dan ingin mengetahui mana yang lebih bagus kinerjanya? Maka six sigma-lah alat ukurnya.
Tingkat seberapa bagus, dilihat dari seberapa banyak produk/ jasa yang kita hasilkan sesuai dengan
ekspektasi pelanggan, atau dengan kata lain semakin kecil cacat yang dihasilkan oleh proses kita,
maka semakin bagus proses kita.
Secara statistik, six sigma berarti proses kita tidak akan membuat barang cacat lebih dari 3,4 setiap
satu juta produk atau jasa yang diterima oleh pelanggan, semakin sedikit cacat yang anda buat maka
sigma levelnya akan semakin tinggi. Untukbisa melihat lebih detail lagi tentang sigma level, lihat
tabel di bawah ini:
Sigma Cacat dalam Prosentase cacat dalam sejuta kesempatan
1 69% 691,462
2 31% 308,538
3 6.7% 66,807
4 0.62% 6,210
5 0.023% 233
6 0.00034% 3.4
Dalam pemecahan suatu masalah, six sigma menyediakan metodologi yang dikenal dengan DMAIC.
Define adalah memvalidasi masalah, Measure adalah mengukur masalah tersebut, Analyze mencari
sumber atau akar permasalahan, Improve menentukan, memprioritaskan, dan mengimplementasi
solusi dari tiap masalah yang sudah tervalidasi, Control adalah menjaga agar solusi yang sudah
diterapkan tetap berjalan agar permasalahan tidak muncul kembali.
Metodologi dalam six sigma tidak harus menggunakan DMAIC, ketika anda berkeinginan untuk
membuat suatu produk baru kita mengenal DMADV. Kita akan bahas lebih detail dalam artikel-artikel
selanjutnya tentang metodologi ini.
Menggunakan analisa data yang rinci untuk memahami dan meminimalkan variasi pada
proses inti
Infrastruktur yang kuat,untuk menjamin jalannya aktivitas perbaikan dalam organisasi dapat
melaju bebas hambatan
Jika alat ukur yang tepat, metodologi yang terbukti, dan manajemen sistem yang kuat digabungkan
maka organisasi anda akan merasakan dampak perbaikan yang besar.
1. Dukungan dari Top level. Six sigma menawarkan pencapaian yang terukur yang tidak akan
mampu ditolak oleh pemimpin perusahaan, yang dikerjakan oleh seorang super star yg sangat
tahu apa yg harus dilakukan di bidangnya (Black Belt, Project Champion, Executive
Champion).
2. Tim yang hebat. Para Executive Champion, Deployment Champions, Project Champions,
Master Black Belts, Black Belts, dan Green Belts adalah orang-orang yg terlatih dengan baik
untuk mengerjakan proyek Six Sigma.
3. Training yg berbeda dgn yg pernah ada. Anggota proyek Six Sigma adalah mereka yg pernah
ditraining secara khusus dengan biaya antara $15,000-$25,000 per Black Belt, yg akan
dibayar melalui saving yg didapat dari setiap proyek Six Sigma.
4. Alat ukur yg baru, dengan menggunakan DPMO (Defects Per Million Opportunities) yang
berhubungan erat dgn Critical to Quality (CTC) yg diukur berdasarkan persepsi customer, yg
bisa dibandingkan antar departemen atau divisi dalam satu perusahaan.
Prosesnya
Langkah pertama adalah pembuatan keputusan oleh manajemen senior untuk terlibat dalam upaya
tersebut. Karena akan membutuhkan sumber daya yang penting untuk organisasi keputusan ini harus
dibuat oleh eksekutif kepala dan laporan langsung nya. Kemudian diadakan seminar eksekutif,
biasanya satu sampai dua hari, untuk tim eksekutif untuk mempelajari pendekatan dasar dan
mendiskusikan peran pribadi mereka. Salah satu peran penting adalah memilih "Champions", manajer
senior yang akan mengawasi kerja aktual dari enam tim sigma. Perusahaan kemudian menyediakan
kursus khusus untuk juara, biasanya tiga sampai lima hari yang panjang. Selama kursus metode dasar
Six Sigma yang diperkenalkan dan Champions mulai bekerja keras saat para pemimpin tim (sering
disebut sabuk hitam) akan terlibat. Beberapa perusahaan menyebutnya sebagai 'tim perbaikan proses'
dan ' spesialis perbaikan proses ' tapi singkatan ini kurang diperhatikan serta mulai ditinggalkan,
kemudian muncul istilah dalam karate "sabuk hitam" dan menjadi lebih populer .
DMAIC
Metode yang digunakan General Electric dan beberapa organisasi lain untuk meningkatkan proses
( termasuk didalamny proses produksi ) diringkas dengan inisial DMAIC (Define, Measure, Analyze,
Improve, Control).
Menentukan masalah
Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam menentukan masalah adalah :
Spesifik, menjelaskan secara tepat apa yang salah, bagian proses mana yang salah dan apa
salahnya.
Dapat diamati, menjelaskan bukti-bukti nyata suatu masalah. bukti-bukti tersebut dapat
diperoleh baik melalui laporan internal maupun umpan balik pelanggan.
Dapat dikendalikan, masalah harus dapat diselesaikan dalam rentang waktu tertentu. Apabila
masalah terlalu besar maka dapat dipecah-pecah sehingga dapat lebih dikendalikan.
Pengukuran (Measure)
Measure adalah fase mengukur tingkat kinerja saat ini, sebelum mengukur tingkat kinerja biasanya
terlebih dahulu melakukan analisis terhadap sistem pengukuran yang digunakan.
- Cp dan Cpk
- Pp dan Ppk
- Proses Sigma
Analisis (Analyze)
Fase analisis (analyze) merupakan fase mencari dan menentukan akar atau penyebab dari suatu
masalah. Masalah-masalah yang timbul kadang-kadang sangat kompleks sehingga membingungkan
antara mana yang akan dan tidak kita selesaikan.
Pengembangan (Improve)
Pengembangan (Improve) adalah fase meningkatkan proses(x) dan menghilangkan sebab-sebab
cacat. Pada fase pengukuran (measure) telah dinetapkan variabel faktor (x) dan untuk masing-masing
variabel respons(y). Sedangkan pada fase pengembangan i(improve) banyak melibatkan uji
perancangan percobaan ( Design of Experiment ) atau disingkat DoE. DoE merupakan suatu
pengujian dengan mengubah variabel faktor sehingga penyebab perubahan pada variabel respon
diketahui.
Taguchi
Desain Taguchi (Taguchi Design) merupakan perancangan parameter (robust), yaitu metode atau
teknik perancangan produk atau proses terfokus pada minimalisasi variasi dan sensitivitas tingkat
bising(noise).
Pengendalian ( Control )
Pengendalian (Control) adalah fase mengendalikan kinerja proses (x) dan menjamin cacat tidak
muncul kembali. Alat (tool) yang umum digunakan adalah diagram kontrol (Control chart).Fungsi
umum diagram kontrol adalah, sebagai berikut :Membantu mengurangi variabilitas.
Memonitor kinerja setiap saat.
Lean Accounting
Lean Akuntansi adalah tipe akuntansi yang dirancang untuk perusahaan-perusahaan yang telah
menerapkan teknik manufaktur ramping. akuntansi biaya tradisional tidak selalu akurat
mencerminkan positif dan upaya penghematan biaya yang menyediakan sistem ramping. Tapi karena
banyak dari keputusan sebuah perusahaan didasarkan pada angka-angka yang menghasilkan
departemen akuntansi, banyak imbalan ini diabaikan dengan metode akuntansi tradisional. Hanya
beberapa metode akuntansi biaya organisasi yang ramping adalah nilai termasuk streaming,
mengubah teknik penilaian dan memodifikasi persediaan laporan keuangan untuk memasukkan
informasi non-keuangan.
Prinsip-prinsip akuntansi yang ramping adalah untuk mengukur dan memotivasi. Lean akuntansi
dapat mengukur keuntungan positif melalui memulai alternatif ramping dengan cara-cara seperti
menurunkan inventory, mengurangi waktu siklus, atau meningkatkan produksi lantai dan moral
sehingga peningkatan kapasitas secara keseluruhan. Lean akuntansi bekerja untuk memotivasi
perusahaan untuk terus mempromosikan inisiatif bersandar mereka daripada memberikan nomor yang
tidak selalu merupakan refleksi akurat dari profitabilitas perusahaan seperti halnya dengan mencoba
memenuhi kuota mesin efisiensi dengan menghasilkan kelimpahan persediaan un-diperlukan.
Standar akuntansi biaya hanya tidak cocok dengan sistem lean manufacturing. laporan akuntansi biaya
tradisional telah dikembangkan untuk menyajikan pandangan yang akurat perusahaan untuk orang
luar, terutama pemegang saham yang memiliki hak untuk mengetahui nomor keras bagaimana
investasi mereka dalam perusahaan sedang digunakan secara baik. Tujuan mereka tidak untuk
membantu manajer menjalankan operasi mereka lebih baik. Lean konsep akuntansi yang lebih baik
menangkap kinerja operasi pabrik ramping, dan bukan menunjukkan laporan keuangan miring itu
hanya untuk menunjukkan saja.
Dalam lean manufacturing beberapa tindakan-tindakan non-keuangan hanya tidak diambil pada
GAAP (prinsip akuntansi yang berlaku umum) laporan keuangan. Sekarang memang benar bahwa
laba bersih biasanya menurun ketika perusahaan beralih ke manufaktur ramping. Jadi metode
tradisional atau tidak akuntansi Anda akan mencerminkan perubahan itu, tapi penurunan itu tidak
perlu sesuatu untuk mendapatkan terlalu mengkhawatirkan pada penurunan ini lebih sering daripada
tidak sementara. Itu karena sebagai perusahaan bekerja melalui persediaan yang ada, tenaga kerja
ditangguhkan dan bergerak overhead dari sisi aset di neraca untuk bagian biaya laporan laba rugi.
Lean produsen juga melihat persediaan berbeda daripada yang mereka mengikuti metode akuntansi
tradisional. Dalam akuntansi ramping, persediaan bukanlah aset karena semua biaya yang terkait
dengannya. Hanya untuk menyebutkan beberapa biaya ini, Anda memiliki biaya penanganan,
dibutuhkan ruang lantai dan mengurangi arus kas. Memperlakukan persediaan sebagai aset dalam
laporan keuangan tradisional hanya masuk akal jika aset tersebut penjualan jaminan, yang mereka
sering tidak. Bahkan, secara historis ekses dalam persediaan yang bersangkutan belum dijual sama
sekali atau dijual untuk jauh lebih kecil dari nilai pasar karena pelanggan terus-menerus mencari hal
berikutnya atau sesuatu yang lebih baik daripada apa yang telah ditawarkan sebelumnya. Dalam
operasi lean, tujuannya adalah untuk menghasilkan produk hanya cukup untuk memenuhi permintaan
ini berarti mengurangi persediaan sampai ke titik di mana tidak ada persediaan sama sekali dalam
beberapa kasus. Memiliki pembeli dijamin untuk setiap produk yang dibuat diterjemahkan menjadi
ada waktu terbuang, uang, atau sumber daya pada suatu produk yang tidak akan pernah berhasil
melewati pintu gudang Anda.
Bagaimana akuntansi bersandar menebus standar akuntansi di mana metode jatuh pendek?
akuntansi tradisional yang dirancang untuk mendukung produksi massal. Sebagai produsen ramping
tidak harus percaya bahwa produksi massal adalah metode yang paling nilai tambah produksi, banyak
asumsi akuntansi tradisional bertentangan dengan lean manufacturing. Sebagai akuntan publik adalah
hasil yang dicari oleh perusahaan-perusahaan yang telah mengimplementasikan inisiatif ramping dan
sekarang ingin juga menerapkan konsep akuntansi alternatif untuk lebih menangkap kinerja mereka.
Daripada biaya mengkategorikan oleh departemen, CPA ingin menerapkan akuntansi dapat bersandar
untuk mana metode standar akuntansi jatuh pendek dengan merekomendasikan perusahaan mengatur
biaya mereka dengan proses yang disebut "value stream." Nilai streaming mencakup semua entitas
tidak dalam menciptakan nilai bagi pelanggan yang cukup dapat diasosiasikan dengan sebuah produk
atau lini produk. Di antara biaya dalam value stream akan menjadi beban perusahaan menimbulkan
untuk merancang, insinyur, menjual, pasar dan kapal produk serta biaya yang terkait dengan
pelayanan pelanggan, pembelian bahan dan mengumpulkan pembayaran penjualan produk.
Lean akuntansi mungkin dapat menebus standar akuntansi di mana metode jatuh pendek, tetapi itu
tidak berarti bahwa akuntan publik harus mendorong perusahaan bergerak untuk bersandar akuntansi
pelaporan standar untuk menghilangkan sepenuhnya. Bisnis harus melengkapi laporan keuangan
tradisional mereka dengan penambahan informasi akuntansi ramping, informasi yang menangkap
perbaikan bersandar manufaktur membawa serta yang tidak biasanya terwakili dalam metode
akuntansi tradisional. Pembongkaran proses akuntansi tradisional dapat membantu mereka
menerapkan akuntansi bersandar untuk melihat betapa dua jenis akuntansi yang mewakili berbagai
aspek bisnis dan bagaimana penggunaan kedua dapat mewakili sistem pelaporan standar dan
perubahan mendasar dalam operasi bahwa perusahaan sedang mengalami untuk melaksanakan teknik
ramping.
Selain membuat perubahan atas laporan keuangan mereka, perusahaan yang mengadopsi proses
ramping sering juga meliputi data non-keuangan dalam "keuangan mereka" laporan. Misalnya,
Caslavka dari Lansekap Struktur meningkatkan tingkat detail pada "nya potongan penjualan"
pernyataan. Dia menjelaskan alasannya untuk melakukannya dengan mengatakan: "Sebelumnya, kami
melihat ini sebagai satu un-kolam membedah uang Sekarang, kita mengambil melihat kuat di
bagaimana kita menghabiskan dolar dan manfaat yang kita dapatkan.. Sebagai contoh, Laporan
sekarang menunjukkan jumlah penjualan lead yang dihasilkan oleh diskon promosi yang berbeda. "
Seperti halnya pelaksanaan perubahan dalam cara tradisional operasi menerapkan akuntansi yang
bersandar akan memerlukan dedikasi manajemen serta orang-orang akuntan yang akan memiliki
tanggung jawab melakukan pekerjaan mereka dengan cara yang baru. Sebagian besar perusahaan
yang memilih untuk menerapkan akuntansi yang ramping juga akan terus melengkapi laporan
keuangan mereka bersandar dengan laporan akuntansi tradisional, terutama jika perusahaan publik
diselenggarakan dan ada permintaan untuk membebaskan dokumen-dokumen keuangan.
Tentu ini adalah sebuah proses yang tidak akan terjadi semalam. Ketika ditanya, akuntan banyak yang
telah berhasil mengintegrasikan kedua jenis laporan keuangan mengatakan bahwa mereka yang paling
efektif mampu melakukannya melalui membuat laporan keuangan paralel (satu tradisional dan yang
berdasarkan prinsip-prinsip lean).
Menerapkan prinsip-prinsip akuntansi yang ramping tidak harus berarti menciptakan cara yang sama
sekali baru menyeimbangkan buku. Kebanyakan petugas keuangan menemukan informasi biaya yang
mereka butuhkan untuk menyiapkan laporan keuangan ramping sudah tersedia dalam sistem akuntansi
perusahaan. Itu hanya soal memformat ulang data agar sesuai dengan kebutuhan akuntansi ramping.
Sebagai contoh, menurut lembaga Kaizen, "bukan termasuk tenaga kerja dan biaya overhead dalam
harga pokok penjualan, laporan keuangan ramping akan menunjukkan bahan, tenaga kerja dan
overhead sebagai item baris yang terpisah. Dengan demikian perusahaan akan mengakui tenaga kerja
dan biaya overhead ketika menimbulkan mereka bukan yang memiliki mereka mendapatkan
dibungkus ke persediaan pada neraca. "
Ketika menerapkan akuntansi yang bersandar ada juga masalah reputasi akuntan mempertimbangkan.
Tidak semua perusahaan senyum di akuntan yang bekerja di langkah relatif sebagai prinsip-prinsip
akuntansi yang ramping memerlukan. Daniel Szidon, sebuah BPA dan mitra dalam Wipfli LLP di
Wausau, Wisconsin mengatakan, "Ketika CPA bekerja dengan angka, tujuannya adalah untuk
sepenuhnya mengalokasikan biaya ke pusat-pusat biaya yang tepat dan stabil," katanya. Sebaliknya,
bersandar berfokus pada akuntansi biaya dengan cara itu cukup akurat. "Tujuannya bukanlah
sempurna alokasi biaya Itu adalah mengukur, akurat relatif dari mereka.."
Lean akuntansi dan metode akuntansi tradisional konflik dalam beberapa cara. Adalah penting untuk
memahami konflik-konflik dalam rangka untuk memahami informasi apa yang dihasilkan dengan
teknik baik sebenarnya berarti. Di bawah ini Anda akan menemukan daftar singkat dari istilah
akuntansi yang Anda harus akrab dengan jika Anda menerapkan sistem akuntansi ramping:
* Produk biaya - Menentukan biaya sebenarnya dari produk individu dan komponen. sistem
akuntansi tradisional hanya melacak pengeluaran yang mengarah ke bawah atau di atas produk
menilai dalam metode akuntansi yang ramping.
* Aktivitas berbasis biaya - Sebuah teknik yang mencoba untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
mendorong biaya overhead. Proses ini sering bisa sangat kompleks dan membingungkan dalam
pelaksanaan ramping.
* Persediaan analisis biaya - Ingat bahwa metode akuntansi yang konvensional dapat melacak
tingkat persediaan yang baik tetapi biaya dari memegang persediaan hanya termasuk dalam akuntansi
ramping. Biaya ini mencakup ruang, gudang, asuransi, utilitas, dll
* Mikro biaya - biaya Mikro sistem ini sering setup untuk mengumpulkan waktu dan biaya pada
setiap mesin individu dan operasi. Hal ini dapat mengakibatkan kesalahan yang disebabkan oleh
kesulitan untuk menafsirkan dan kegagalan untuk memperbarui data. Sering kali ini non-nilai tambah
kegiatan pengumpulan data hanya tidak perlu dalam akuntansi ramping.
* Non metrik-keuangan - akuntansi tradisional tidak secara efektif mengukur investasi dalam
berbagai tujuan lagi (objektif yang melampaui hanya membuat keuntungan). Lean akuntansi
mempertimbangkan mengambil lebih dari sekadar metrik keuangan organisasi. Masing-masing
kegiatan, proses dan parameter dalam setiap kegiatan atau proses mengharuskan metrik juga
mengandung non-dolar merupakan unit yang lebih baik berdiri perusahaan.
Dalam tiap perusahaan yang bergerak di bidang produksi barang maka sebagian besar mereka akan
menggunakan lean manufacturing. Lean merupakan upaya yang dilakukan oleh suatu perusahaan
untuk mencegah serta menghilangkan pemborosan sehingga bisa meningkatkan nilai tambah produk
untuk konsumen. Konsep lean ini akan tergambar jelas di lapangan pada tingkat rasio nilai tambah
terhadap pemborosan.
Berbicara mengenai pemborosan tentu semua orang ingin menghilangkannya bila ingin menambah
income tiap bulan atau ingin menambah modal mereka. Lean merupakan suatu konsep yang
digunakan untuk menghilangkan pemborosan yang telah dilakukan dalam suatu perusahaan.
Pemborosan yang dilakukan adalah semua hal yang tidak pernah memberikan tambahan nilai poduk
yang dihasilkan.
Bila perusahaan tidak ingin menanggung biaya yang berlebihan maka harus bisa mencari beberapa
hal untuk dihilangkan agar tidak terjadi pemborosan. Kasus yang sering terjadi dalam kehidupan
sehari-hari dan kegiatan operasional suatu perusahaan adalah pemborosan waktu dan tenaga.
Pemborosan lainnya mungkin terjadi karena penggunaan peralatan yang dirasa tidak begitu penting
bagi perusahaan atau saat proses produksi.
Adanya pemborosan tidak mungkin semuanya akan dibebankan kepada konsumen. Bila semua
pemborosan yang dilakukan oleh perusahaan dibebankan kepada konsumennya tentu saja mereka
akan pergi dan tidak mau membeli produk yang dihasilkan perusahaan tersebut.
Mungkin bagi sebagian orang awam akan bingung bagaimana menerapkan konsep lean
manufacturing ini namun bagi mereka yang bekecimpung di dunia manufaktur tidak akan bingung
bagaimana penerapan dari konsep tersebut. Ilmu lean memang dianggap sulit dan mahal karena ilmu
ini mempelajari bagaimana perusahaan harus menekan biaya produksi tanpa mengurangi kualitas
atau mutu dari produk yang dihasilkan.
Katalog 300 KPI (Key Performance Indicators) Super Lengkap untuk Semua Fungsi Produksi,
PPIC, Pabrik, Maintenance dan Lain-lain. Download Sekarang.
Kadang untuk menghilangkan pemborosan perusahaan harus kehilangan sebagian konsumennya, hal
ini karena kesalahan dalam menentukan strategi untuk menghilangkan komponen yang dianggap
menjadi pusat pembengkakan biaya. Padahal pemborosan tersebut dihilangkan tanpa harus
menghilangkan mutu atua kualitas produk yang unggul.
Untuk menggambarkan berbagai macam perencanaan yang dilakukan suatu perusahaan maka tahap
demi tahap harus dilakukan demikian juga dnegan konsep lean manufacturing. Lean manufacturing
ini merupakan upaya yang dilakukan perusahaan untuk meningkatkan efisiensi produksi. Lean
dijadikan sebagai praktek yang mempertimbangkan berbagai pengeluaran yang berkaitan dengan
sumber daya yang dimiliki perusahaan.
Semua itu bertujuan untuk mewujudkan nilai suatu produk yang dihasilkan untuk meningkatkan
omset penjualan. Cara yang dilakukan oleh hampir semua perusahan produksi tersebut adalah untuk
mencegah terjadinya pemborosan anggaran produksi. Dengan menggunakan konsep lean
manufacturing tersebut maka akan mengurangi biaya produksi namun tetap menjaga kualitas barang
yang dihasilkan.
Lean manufacturing memang menjadi bagian yang sangat penting untuk perusahaan sekalipun tidak
semua perusahaan membutuhkan konsep ini. Dalam perkembangannya lean dianggap sebagai
pendekatan sistemik maupun sistematis yang berfungsi untuk identifikasi untuk menghilangkan
semua pemborosan biaya produksi maupun semua aktivitas yang tidak bermanfaat. Dalam konsep ini
maka akan dilakukan cara mengalirkan produk maupun informasi yang menggunakan sistem tarik
dari pelanggan internal maupun pelanggan eksternal untuk mendapatkan keunggulan dan
kesempurnaan produk yang dihasilkan perusahaan.
Perusahaan membutuhkan integritas kerja karyawan bagus, mereka harus menajdi karyawan yang
produktif dan potensial untuk bersaing dengan perusahaan lainnya. Namun ketika perusahaan tidak
memiliki apa yang mereka butuhkan terutama adanya sumber daya manusia yang handal maka
perusahaan akan jatuh dan tergantikan oleh perusahaan lainnya. Integritas karyawan yang rendah akan
membuat biaya tenaga kerja semakin tinggi dan ini harus dihilangkan.
Memiliki karyawan yang kurang disiplim membuat pekerjaan kator menjadi tidak beraturan.
Seharusnya karyawan mendapatkan pelatihan atau training agar mereka memiliki kedisiplinan, etos
kerja yang baik dan menjadi karyawan yang protensial. Ketika karyawan tidakbisa disiplin, inilah
yang menyebabkan pemborosan biaya tenaa kerja.
Buah apa anda memiliki banyak karyawan namun tidak professional, sebaiknya anda buang mereka
semua dan coba rekrut karyawan yang professional dalam jumlah sedikit. Mereka jauh lebih
bermanfaat dibandingkan karyawan banyak namun tidak memilik jiwa professional.
Karyawan yang tidak mampu melaksanakan kerjanya dengan efektif dan efisien
Kurangnya memanfaatan sumber daya yang dimiliki perusahaan untuk menghasilkan produk
berkualitas
Beberapa hal tersebut membuat perusahaan tidak bisa memproduksi barang yang berkualitas dan
akan menyebabkan pemborosan biaya produksi.
Proses ini merupakan cara yang digunakan untuk menentukan apakah perusahaan membutuhkan lean
manufacturing. Semua alur pekerjaan yang berhubungan dengan aktivitas pergudangan akan di
identifikasi terlebih dulu apakah harus dilakukan lean ataukah tidak.
Perusahaan bisa membuat rasio nilai tambah terhadap barang maupun pemborosan yang
diidentifikasi. Simulasi ini dilakukan sebelum perusahaan akan memutuskan tentang lean
manufacturing tersebut.
Beberapa hal diatas kemudian akan dilakukan sebuah implementasi maupun evaluasi oleh
perusahaan. Dengan melakukan evaluasi dan implementasi tersebut kemudian perusahaan bisa
melakukan presentasi kepada tim untuk perbaikan terhadap implementasi yang dilakukan
sebelumnya.
Pemborosan yang paling utama dalam konsep dan manajemen perusahaan adalah pemborosan
biaya. Biaya yang sering membengkak dalam hal ini adalah biaya gaji dan biaya lembur, namun
masih banyak biaya yang perlu diperhatikan dan diminimalkan. Diantara biaya tersebut adalah biaya
air, biaya makan, biaya listrik, perbaikan, biaya bahan baku maupun biaya operasional dan non
operasional lainnya. Selain biaya, nilai tambah juga membutuhkan data dan fakta yang akurat untuk
proses lean manufacturing perusahaan. Pada proses ini maka akan diperhatikan dua nilai tambah
diantaranya adalah nilai tambah terhadap perubahan kecil ( low cost) dan juga nilai tambah terhadap
perubahan besar ( high cost).
Pada beberapa perusahaan yang menerapkan lean manufacturing ini maka mereka akan
menghilangkan semua pemborosan yang dianggap tidak memberikan nilai tambah terhadap produk.
Tentu saja pemborosan tersebut tidak akan dibayar oleh konsumen sehingga harus dihilangkan
untuk meminimalkan biaya.
Misalnya bila anda memiliki usaha jual sepatu, kesalahan saat pengemasan sepatu tentu saja akan
membuat pemborosan terhadap kemasan tersebut. Mau tidak mau kesalahan tersebut harus diperbaiki
dengan cara membongkar kembali sepatu tersebut kemudian mengemasnya lagi dengan kemasan yang
benar. Dalam hal ini kemasan yang tidak terpakai atau kemasan sepatu awal tidak akan dibayar oleh
konsumen, mereka hanya membayar kemasan sepatu pada tahap akhir dimana mereka membelinya.
Dengan kasus diatas maka perusahaan akan menaikkan harga sepatu untuk menutup pemborosan
kemasan sepatu.
Dalam lean manufacturing ada beberapa pemborosan yang harus dipangkas dan dihapus diantaranya
adalah:
Biaya transportasi
Biaya transportasi memang dibutuhkan oleh perusahaan namun biaya ini harus diminimalkan agar
perusahaan tidak merugi. Ada banyak perusahaan yang tidak memikirkan hal ini, padahal biaya
transportasi yang besar bisa ditekan lebih kecil dengan memperhatikan faktor kebutuhan dan
kepraktisan tiap kegiatan operasional perusahaan. Pada tiap perusahaan mungkin biaya transportasi
ini selalu hadir dalam laporan laba rugi namun masing-masing perusahaan memiliki nominal yang
berbeda pada biaya tersebut. Semakin kecil biaya transportasi maka semakin besar laba yang
didapatkan perusahaan, jika biaya transportasi semakin besar maka laba yang didapatkan perusahaan
juga semakin kecil.
Produksi yang berlebihan hal ini justru akan menimbulkan kerugian pada perusahaan. Barang yang
telah diproduksi tidak semuanya di jual di pasaran, sebagai alternative barang tersebut akan disimpan
di gudang. Bila lama disimpan di gudang tentu bisa menimbulkan kerusakan dan tidak laku jual.
Sebagai alternatif terbaik maka perusahaan bisa membuat terlebih dulu perencanaan produksi agar
tidak menimbulkan kelebihan produksi yang berlebihan.
Tidak menutup kemungkinan perusahaan akan menambah produk yang akan dijual di pasaran.
Penambahan produk tersebut sebenarnya justru akan menambah biaya produsi yang lebih besar
dibandingkan ketika memproduksi barang dalam jumlah banyak secara bersamaan. Untuk mencegah
penambahan produk ini maka perusahaan bisa membuat perencanaan produksi sebelum melakukan
proses produksi barang.
Operasional (Motion)
Kegiatan operasional dalam perusahaan atau pabrik kadang tidak semuanya bermanfaat atau
menghasilkan nilai tambah terhadap barang yang diproduksi. Karena ingin meminimalkan biaya maka
segala aktivitas yang kurang atau tidak penting dan tidak menambah nilai barang harus dihapus.
Persediaan ( Inventory)
Terlalu banyak menyimpan persediaan atau melakukan pengadaan inventory di gudang, hal ini akan
mengurangi modal perusahaan. Pengadaan inventory bisa didasarkan pada kebutuhan perusahaan
dalam jangka pendek, menengah atau jangka panjang sesuai dengan kebutuhan pabrik.
Barang cacat
Barang cacat tentu saja harus diganti dengan barang baru karena konsumen tidak akan mau membeli
barang yang cacat. Kecacatan terhadap barang tersebut akan memperbesar biaya produksi karena
akan bertambah produksi suatu barang untuk menggantikan barang yang cacat tersebut. Jika hal ini
terus terjadi tiap prooses produksi maka lama kelamaan perusahaan akan rugi. Biaya produksi
pengganti barang yang cacat terus meningkat sedangkan perusahaan tidak melakukan inovasi
apapun. Cacat barang bisa dihindari dengan melakukan beberapa evaluasi dan pengamatan sehingga
produksi barang akan semakin baik dan tidak mengalami kecacatan lagi.
Ada beberapa alat yang digunakan dalam lean manufacture diantaranya adalah:
b) Kaizen
Kaizen merupakan suatu perbaikan yang dilakukan secara berkelanjutan dan tidak terhenti sampai apa
yang diinginkan tercapai. Perbaikan ini akan berkesinambungan untuk meningkatkan perbaikan
terhadap produk, proses maupun pelayanan yang dilakukan sepanjang waktu. Kaizen akan
mengurangi pemborosan yang tidak penting dari suatu perusahaan untuk meningkatkan pelayanan
kepada konsumen, meningkatkan kualitas suatu produk maupun memingkatkan produktivitas
sumber daya manusia didalamnya.
TQM merupakan suatu pendekatan yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas dari suatu produk
berdasarkan strategi tertentu. TQM ini akan melibatkan banyakpihak dalam perusahaan tersebut,
ketika perusahaan melakukan beberapa tindakan dalam pelaksanaan TQM maka karyawan dan
manager juga harus sejalan dengan keinginan dan tujuan TQM tersebut. Dengan menggunakan
konsep Total Quality Management tersebut maka akan mudah bagi perusahaan untuk terus
meningkatkan kualitas dan kepuasan pelanggannya.
Tidak semua lean manufacturing yang dilakukan oleh beberapa perusahaan membuahkan hasil.
Kadang banyak hambatan yang menyebabkan proses ini menjadi tidak dapat dilaksanakan dengan
baik. Ada beberapa kunci keberhasilan dalam mengembangkan Lean Manufacturing tersebut
diantaranya adalah:
Agar lean manufacturing ini berhasil dengan sempurna maka harus diupayakan persiapan sumber
daya manusia yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. SDM harus mendapatkan motivasi yang terus
menerus untuk menyebarluasakan beberapa orientasi untuk memperbaiki kualitas yang terus-
menerus. Perusahaan bisa merekrut seorang trainer handal untuk meberikan motivasi kepada
karyawan agra pelaksanaan lean manufacturing tersebut berhasil. Dengana danya motivasi yang
terus menerus maka karyawan akan mendapatkan informasi dan pencerahan bahwa lean itu sangat
penting untuk perusahaan dan juga untuk masa depan karyawan yang bersangkutan. Bila perusahaan
berhasil dalam pengembangan ini maka imbasanya juga pada karyawan.
Melibatkan karyawan
Jika tidak ada satu orang pun karyawan yang mau menjalankan beberapa kkonsep dari lean
manufacturing tersebut maka konsep ini tidak akan berhasil. Sebaliknya,lean membutuhkan
karyawan dalam perusahaan tersebut untuk pengambilan keputusan dalam pengembangan suatu
sistem yang berasal dari level atas hingga level terendah. Artinya semua karyawan dalam perusahaan
bersnagkutan harus ikut andil dalam konsep lean manufacturing tersebut. Perusahaan bisa melatih
karyawan dengan pelatihan atau training agar bisa memiliki SDM yang handal dan bermutu.
Dalam proses ini perusahaan juga harus mendesain sistem manufactur yang sangat sederhana dan
bisa diikuti oleh setiap individu didalamnya. Sistem desain tersebut juga harus terus ditingkatkan
agar bisa terwujud lean manufacturing yang baik. Konsep lean manufacturing akan mudah dijalankan
karena adanya kerja sama yang baik dari masing-masing individu dalam perusahaan tersebut. Bila
lean manufacturing berhasil maka dengan mudah perusahaan akan menduduki peringkat atas dari
konsumen. Konsumen akan tetap menggunakan produk tanpa harus mempertimbangkan produk
tersebut dengan produk lainnya yang dianggap lebih bagus. Yang paling penting dalam pencapaian
lean manufacturing ini adalah kelangsungan usaha perusahaan bisa terus terjaga
Di era persaingan global ini, dimana batas-batas negara tidak lagi menjadi penghalang untuk
berkompetisi, hanya perusahaan yang menerapkan Good Corporate Governance (GCG) yang mampu
memenangkan persaingan. GCG merupakan suatu keharusan dalam rangka membangun kondisi
perusahaan yang tangguh dan sustainable. Ia diperlukan untuk menciptakan sistem dan struktur
perusahaan yang kuat sehingga mampu menjadi perusahaan kelas dunia.
Good Corporate Governance pada dasarnya merupakan suatu sistem (input, Proses, output) dan
seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang kepentingan
(stakeholders) terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham, dewan komisaris, dan
dewan direksi demi tercapainya tujuan perusahaan. Good Corporate Gorvernance dimasukkan untuk
mengatur hubungan-hubungan ini dan mencegah terjadinya kesalaha-kesalahan signifikan dalam
strategi perusahaan dan untuk memastikan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat di perebaiki
dengan segera. Penertian ini dikutip dari buku Good Corporate Governance pada badan usaha
manufaktur, perbankan dan jasa keuangan lainnya (2008:36).
Semenjak menjadi perusahaan publik di Indonesia pada tahun 1997 dan mencatatkan saham di
Australia pada tahun 1999, tata kelola perusahaan (Good Corporate Governance, GCG) telah menjadi
salah satu elemen penting bagi Antam di dalam mempertahankan keberlanjutan pertumbuhan dan juga
menjadi perusahaan pertambangan internasional. Lebih jauh, sebagai salah satu BUMN terbesar dan
berpengaruh, Antam memiliki komitmen untuk terlibat dalam pertumbuhan Indonesia dengan
berkontribusi secara signifikan terhadap perekonomian Indonesia dan menjadi contoh bagi perusahaan
lain, terutama BUMN lain, dalam hal implementasi GCG.
Dewan Komisaris, Komite-komite di tingkat Dewan Komisaris, Direksi, dan manajemen senior terus
meningkatkan kapabilitas di dalam proses pengawasan dan pengelolaan perusahaan, sesuai dengan
tugas dan tanggung jawab masing-masing. Semua pihak juga berupaya untuk memperkuat hubungan
kerja satu sama lain. Singkatnya, Antam menyadari pentingnya hubungan kerja yang harmonis serta
kerjasama diantara organ-organ tata kelola, manajemen dan staf untuk mempertahankan dan
meningkatkan praktik GCG di Antam secara berkelanjutan. Untuk mendukung fungsi pengawasan,
Dewan Komisaris telah membentuk lima Komite di tingkat Dewan Komisaris yakni Komite Audit,
Komite Nominasi, Remunerasi dan Pengembangan SDM (NRPSDM), Komite Manajemen Risiko,
Komite GCG dan Komite CSR dan Pasca Tambang.
Penerapan prinsip-prinsip GCG akan meningkatkan citra dan kinerja Perusahaan sertameningkatkan
nilai Perusahaan bagi Pemegang Saham.Tujuan penerapan GCG adalah:
PRINSIP-PRINSIP GCG
Secara umum terdapat lima prinsip dasar dari good corporate governance yaitu:
5. Fairness (kesetaraan da kewajaran), yaitu perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-
hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku. Esensi
dari corporate governance adalah peningkatankinerja perusahaan melalui supervisi atau pemantauan
kinerja manajemen dan adanya akuntabilitas manajemen terhadap pemangku kepentingan lainnya,
berdasarkan kerangka aturan dan peraturan yang berlaku.
Analisis
Perlu adanya prinsip-prinsip Good Corporate Governance ( GCG ) di dalam Perusahaan yang
dikelola, agar dapat menghasilkan kinerja yang baik antara pemegang saham, dewan komisaris, dan
dewan direksi dalam membuat keputusan dan menjalankannya sesuai dengan nilai moral yang telah
ditetapkan demi tercapainya tujuan dari perusahaan tersebut. Seperti contoh Perusahaan diatas:
Semua pihak juga berupaya untuk memperkuat hubungan kerja satu sama lain. Singkatnya, Antam
menyadari pentingnya hubungan kerja yang harmonis serta kerjasama diantara organ-organ tata
kelola, manajemen dan staf untuk mempertahankan dan meningkatkan praktik GCG di Antam secara
berkelanjutan. Maka dari itu Antam adalah salah satu contoh perusahaan yang patut ditiru oleh
perusahaan-perusahaan yang lainnya.
Sejarah perkembangan akuntansi, yang berkembang pesat setelah terjadi revolusi industri,
menyebabkan pelaporan akuntansi lebih banyak digunakan sebagai alat pertanggungjawaban kepada
pemilik modal (kaum kapitalis) sehingga mengakibatkan orientasi perusahaan lebih berpihak kepada
pemilik modal. Dengan keberpihakan perusahaan kepada pemilik modal mengakibatkan perusahaan
melakukan eksploitasi sumber-sumber alam dan masyarakat (sosial) secara tidak terkendali sehingga
mengakibatkan kerusakan lingkungan alam dan pada akhirnya mengganggu kehidupan manusia.
Kapitalisme, yang hanya berorientasi pada laba material, telah merusak keseimbangan kehidupan
dengan cara menstimulasi pengembangan potensi ekonomi yang dimiliki manusia secara berlebihan
yang tidak memberi kontribusi bagi peningkatan kemakmuran mereka tetapi justru menjadikan
mereka mengalami penurunan kondisi sosial [Galtung & Ikeda (1995) dan Rich (1996) dalam
Chwastiak(1999)].
Di dalam akuntansi konvensional (mainstream accounting), pusat perhatian yang dilayani perusahaan
adalah stockholders dan bondholders sedangkan pihak yang lain sering diabaikan. Dewasa ini tuntutan
terhadap perusahaan semakin besar. Perusahaan diharapkan tidak hanya mementingkan kepentingan
manajemen dan pemilik modal (investor dan kreditor) tetapi juga karyawan, konsumen serta
masyarakat. Perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial terhadap pihak-pihak di luar manajemen
dan pemilik modal. Akan tetapi perusahaan kadangkala melalaikannya dengan alasan bahwa mereka
tidak memberikan kontribusi terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Hal ini disebabkan hubungan
perusahaan dengan lingkungannya bersifat non reciprocal yaitu transaksi antara keduanya tidak
menimbulkan prestasi timbal balik.
Tuntutan terhadap perusahaan untuk memberikan informasi yang transparan, organisasi yang
akuntabel serta tata kelola perusahaan yang semakin bagus (good corporate governance) semakin
memaksa perusahaan untuk memberikan informasi mengenai aktivitas sosialnya. Masyarakat
membutuhkan informasi mengenai sejauh mana perusahaan sudah melaksanakan aktivitas sosialnya
sehingga hak masyarakat untuk hidup aman dan tentram, kesejahteraan karyawan, dan keamanan
mengkonsumsi makanan dapat terpenuhi. Oleh karena itu dalam perkembangan sekarang ini
akuntansi konvensional telah banyak dikritik karena tidak dapat mengakomodir kepentingan
masyarakat secara luas, sehingga kemudian muncul konsep akuntansi baru yang disebut sebagai
Social Responsibility Accounting (SRA) atau Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial.
Owen (2005) mengatakan bahwa kasus Enron di Amerika telah menyebabkan perusahaan-perusahaan
lebih memberikan perhatian yang besar terhadap pelaporan sustainabilitas dan pertanggungjawaban
sosial perusahaan. Isu-isu yang berkaitan dengan reputasi, manajemen risiko dan keunggulan
kompetitif nampak menjadi kekuatan yang mendorong perusahaan untuk melakukan pengungkapan
informasi sosial. Dari hasil studi literatur yang dilakukan oleh Finch (2005) menunjukkan bahwa
motivasi perusahaan untuk melakukan pengungkapan sosial lebih banyak dipengaruhi oleh usaha
untuk mengkomunikasikan kepada stakeholder mengenai kinerja manajemen dalam mencapai
manfaat bagi perusahaan dalam jangka panjang.
Standar akuntansi keuangan di Indonesia belum mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan
informasi sosial terutama informasi mengenai tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan,
akibatnya yang terjadi di dalam praktik perusahaan hanya dengan sukarela mengungkapkannya.
Perusahaan akan mempertimbangkan biaya dan manfaat yang akan diperoleh ketika mereka
memutuskan untuk mengungkapkan informasi sosial. Bila manfaat yang akan diperoleh dengan
pengungkapan informasi tersebut lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk
mengungkapkannya maka perusahaan akan dengan sukarela mengungkapkan informasi tersebut.
Belkaoui (1989) menemukan hasil (1) pengungkapan sosial mempunyai hubungan yang positif
dengan kinerja sosial perusahaan yang berarti bahwa perusahaan yang melakukan aktivitas sosial akan
mengungkapkannya dalam laporan sosial, (2) ada hubungan positif antara pengungkapan sosial
dengan visibilitas politis, dimana perusahaan besar yang cenderung diawasi akan lebih banyak
mengungkapkan informasi sosial dibandingkan perusahaan kecil, (3) ada hubungan negatif antara
pengungkapan sosial dengan tingkat financial leverage, hal ini berarti semakin tinggi rasio
utang/modal semakin rendah pengungkapan sosialnya karena semakin tinggi tingkat leverage maka
semakin besar kemungkinan perusahaan akan melanggar perjanjian kredit. Sehingga perusahaan harus
menyajikan laba yang lebih tinggi pada saat sekarang dibandingkan laba di masa depan. Supaya
perusahaan dapat menyajikan laba yang lebih tinggi, maka perusahaan harus mengurangi biaya-biaya
(termasuk biaya- biaya untuk mengungkapkan informasi sosial).
Eipstein & Freedman (1994) menemukan bahwa investor individual tertarik terhadap informasi sosial
yang dilaporkan dalam laporan keuangan. Informasi tersebut berupa keamanan dan kualitas produk
serta aktivitas lingkungan. Selain itu mereka menginginkan informasi mengenai etika, hubungan
dengan karyawan dan masyarakat. Hackston & Milne (1996) menyajikan bukti empiris mengenai
praktik pengungkapan lingkungan dan sosial pada perusahaan-perusahaan di New Zealand serta
menguji beberapa hubungan potensial antara karakteristik perusahaan dengan
pengungkapan sosial dan lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan adanya konsistensi penelitiannya
dengan penelitian yang sudah dilakukan di negara lain. Ukuran perusahaan dan industri berhubungan
dengan jumlah pengungkapan sedangkan profitabilitas tidak. Interaksi antara ukuran perusahaan dan
industri menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan yang lebih kuat antara perusahaan dalam
industri yang high-profile dibandingkan dengan industri yang low-profile.
Selama ini perusahaan dianggap sebagai lembaga yang dapat memberikan banyak keuntungan bagi
masyarakat, di mana menurut pendekatan teori akuntansi tradisional, perusahaan harus
memaksimalkan labanya agar dapat memberikan sumbangan yang maksimum kepada masyarakat
sesuai konsep trickle down kapitalisme. Namun seiring dengan perjalanan waktu, masyarakat semakin
menyadari adanya dampak-dampak sosial yang ditimbulkan oleh perusahaan dalam menjalankan
operasinya untuk mencapai laba yang maksimal, yang semakin besar dan semakin sulit untuk
dikendalikan. Oleh karena itu, masyarakat pun menuntut agar perusahaan senantiasa memperhatikan
dampak-dampak sosial yang ditimbulkannya dan berupaya mengatasinya.
Aksi protes terhadap perusahaan sering dilakukan oleh para karyawan dan buruh dalam rangka
menuntut kebijakan upah dan pemberian fasilitas kesejahteraan lainnya yang dirasakan kurang
mencerminkan keadilan. Aksi yang serupa juga tidak jarang dilakukan oleh pihak masyarakat, baik
masyarakat sebagai konsumen, maupun masyarakat di lingkungan sekitar pabrik. Masyarakat sebagai
konsumen seringkali melakukan protes terhadap hal-hal yang berkaitan dengan mutu produk
sehubungan dengan kesehatan, keselamatan, dan kehalalan suatu produk bagi konsumennya.
Sedangkan protes yang dilakukan masyarakat di sekitar pabrik biasanya berkaitan dengan pencemaran
lingkungan yang disebabkan limbah pabrik.
Pendekatan modern menyebutkan bahwa organisasi sebagai suatu sistem terbuka, yang berarti bahwa
organisasi merupakan bagian (sub sistem) dari lingkungannya, sehingga organisasi dapat dipengaruhi
maupun mempengaruhi lingkungannya (Lubis dan Huseini, 1987). Selanjutnya dalam Lubis dan
Huseini (1987) menyebutkan bahwa ada sembilan segmen lingkungan yang mempengaruhi
perusahaan, yaitu: 1) industri, 2) bahan baku, 3) tenaga kerja, 4) keuangan, 5) pasar, 6) teknologi, 7)
kondisi ekonomi, 8) pemerintah dan 9) kebudayaan.
Pengaruh lingkungan terhadap sebuah organisasi menjadi sangat kental, hal ini terjadi karena adanya
ketergantungan organisasi terhadap sumber-sumber yang terdapat pada lingkungan. Hal ini ditegaskan
oleh Lubis dan Huseini (1987) yang menyebutkan bahwa organisasi mempunyai ketergantungan
ganda terhadap lingkungannya, karena produk dan jasa yang merupatkan output organisasi
dikonsumsi oleh pemakai yang terdapat dalam lingkungannya. Dari pihak lain, organisasi juga
mendapatkan berbagai jenis input dari lingkungannya. Posisi input dan output ini menjadi berbahaya
jika pertukaran input dan output menjadi tidak seimbang.
Menurut Grayson dan Hodges ( 2004), bahwa perusahaan tidak beroperasi di dalam ruang kosong,
melainkan dalam kondisi interaksi yang kompleks dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, situasi politik, pembangunan sosial dan ekonomi, juga risiko-risiko yang mungkin timbul.
Jonker dan Witte (2004) menyebutkan bahwa Organisasi sekarang ini tidak hanya bertanggung jawab
bagaimana menghasilkan kualitas produk dan jasa yang baik, tetapi juga harus dapat memenuhi
kebutuhan para external stakeholders sebagai suatu cara untuk mencegah timbulnya dampak negatif
sosial.
Seperti angin semilir kemudian bertiup kencang, begitulah gambaran hembusan wacana Corporate
Social Responsibility (CSR) seiring dengan kesadaran akan hubungan perusahaan dengan
lingkungannya. Bahkan aktivitas CSR kini ditempatkan diposisi terhormat. Hingga tampaknya
wacana CSR ini akan menjadi tren perusahaan-perusahaan berskala nasional maupun multisnasional.
Tidak sedikit perusahaan-perusahaan raksasa maupun menengah, baik yang multinasional maupun
domestik, kini telah mengklaim bahwa CSR ini telah diimplementasikan dengan baik dalam
perusahaan mereka. Banyak perusahaan telah menggeser paradigma sempit yang menyatakan bahwa
orientasi seluruh kegiatan hanyalah berorientasi profit.
Salah satu definisi CSR yang dikembangkan dan diimplementasikan dalam aktivitas CSR adalah
definisi yang dikemukakan oleh The World Business Council For Sustainable Development
(WBCSD) dalam Wibisono (2007:7), mengemunkakan bahwa:
CSR is the continuing commitment by business to be have ethically and contribute to economic
development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the
local community and society at large, yaitu komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam
pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan
tersebut, berikut komuniti-komuniti setempat (lokal) dan masyarakat secara keseluruhan dalam rangka
meningkatkan kualitas kehidupan. Peningkatan kualitas kehidupan mempunyai arti adanya
kemampuan manusia sebagai individu anggota masyarakat untuk dapat menanggapi keadaan sosial
yang ada dan dapat menikmati serta memanfaatkan lingkungan hidup termasuk perubahan-perubahan
yang ada sekaligus memelihara
Terobosan terbesar dalam kontek CSR ini dilakukan oleh John Elkington melalui konsep 3P (profit,
people, dan planet) yang dituangkan dalam bukunya Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of
Twentieth Century Business yang dirilis pada tahun 1997. Ia berpendapat bahwa jika perusahaan
ingin sustain, maka ia perlu memperhatikan 3P, yakni, bukan cuma profit yang diburu, namun juga
harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people) dan ikut aktif dalam menjaga
kelestarian lingkungan (planet).
Perusahaan sebagai entitas ekonomi, bertujuan untuk mencetak laba yang optimal guna meningkatkan
kekayaan para pemilik saham. Namun itu saja belum cukup, keberlanjutan bisnis perusahaan
(sustainable business) tidak terjamin bila hanya mengandalkan laba yang tinggi semata, tetapi
perusahaan juga harus memiliki komitmen yang tinggi dalam menjalankan program CSR (Darwin,
2006:115). Jadi, jika ditelaah lebih lanjut, ternyata tidak ada pertentangan antara motif perusahaan
untuk meraih laba dan di satu sisi juga turut aktif melaksanakan program-program CSR. Bahkan
program CSR merupakan investasi bagi perusahaan demi pertumbuhan dan keberlanjutan
(sustainability) perusahaan. Artinya, CSR bukan lagi dilihat sebagai sentra biaya (cost center)
melainkan sebagai sentra laba (profit center) di masa mendatang.
Beberapa perusahaan di dunia membuat catatan yang menyatakan bahwa organisasi mereka memiliki
komitmen untuk suistainability development yang kemudian menghasilkan informasi yang
menunjukkan pendapatan dan kinerja dalam pengembangan suistainability tersebut berupa CSR.
Dokumen pelaporan suistainability hadir dalam berbagai bentuk. Laporan singkat ini menghasilkan
agenda global untuk perubahan dalam menentang atau mengurangi tekanan yang terus menerus dalam
lingkungan global. Pelaporan ini mendefinisikan perkembangan suistainability sebagai kemapuan
untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa harus membahayakan kemampuan generasi mendatang
untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam perspektif suistainability harus dipastikan bahwa pola
konsumsi generasi sekarang tidak memberikan dampak negati terhadap generasi selanjutnya. Banyak
organisasi yang selanjutnya menyatakan secara eksplisit bahwa fokus mereka adalah pertimbangan
suistainability yang mempunyai implikasi terhadap profitability jangka pendek dan merupakan hal
pokok dalam keberlangsungan hidup jangka panjang.
Ada tiga komponen utama dalam suistainability yaitu keadaan ekonomi, lingkungan dan masyarakat.
Ketika pertimbangan lingkungan dan masyarakat dilakukan dalam sebuah bisnis, ada dua komponen
terpisah lainnya yang sering teridentifikasi yaitu peertimbangan eco-efficiency dan eco-justice.
Dimana saat perusahaan memilih untuk membuat laporan lingkungannya sendiri maka perusahaan
tersebut akan cenderung hanya fokus pada eco-efficiency. Sedangkan dalam suistainability dua
komponen ini harus terlibat. Eco-efficiency fokus untuk memaksimalkan kegunaan jumlah sumber
daya yang digunakan dan meminimalkan keterlibatan lingkungan dalam menggunakan sumber daya.
Sedangkan eco-justice akan memperlihatkan bagaimana entitas menggunakan sumber daya yang
terbatas untuk memastikan bahwa kelompok tertentu yang dirugikan tidak dilupakan. Hal lain yang
dipertimbangkan adalah kepedulian terhadap keselamatan, pendidikan dan peluang karyawan,
ketaatan atas hak-hak manusia dan kesamaan peluang, keterlibatan orang-orang pribumi serta
dukungan atas kemajuan negara.
Perubahan menuju suistainability memiliki syarat yang cukup mendasar untuk mengubah pola
konsumsi dan produksi telah disampaikan oleh berbagai pihak sebagai kebutuhan global. Dengan
menggunakan perspektif yang berasal dari teori legitimacy kita dapat mengatakan bahwa jika
suistainability menjadi bagian dari harapan utama masyarakat, maka ia akan menjadi sebuah tujuan
bisnis. Bila konsep dari suistainability development berkembang menjadi bagian dari berbagai
harapan komunitas, maka komunitas itu akan mengharapkan berbagai informasi tentang bagaimana
organisasi, perusahaan, dan entitas melaksanakan syarat utama dari suistainabilty. Selain itu
penyediaan informasi tentang keadaan sosial akan meningkatkan kepercayaan berbagai komunitas
yang ada dalam organisasi.
Menyangkut pelaporan (reporting), di Eropa sendiri telah cukup lama mengeluarkan praktik dan
pelaporan CSR. Pada 1975, misalnya, The Accounting Standards Steering Committee of The Institute
of Chartered Accountant di Inggris, mengeluarkan pedoman bagi perusahaan untuk pelaporan
informasi tentang sosial dan lingkungan. Namun, aspek pelaporan sosial baru bergaung di tahun 1990-
an setelah stakeholders kian menuntut agar perusahaan tak hanya membuat laporan keuangan
menyangkut profit, tapi juga laporan yang transparan seputar hubungan perusahaan dengan aspek
sosial dan lingkungan. Seperti halnya definisi CSR yang tak tunggal, dalam membuat laporan pun
masingmasing perusahaan menempuh cara yang beragam. Tujuannya pun berbeda; ada yang untuk
kepentingan internal, ada juga yang eksternal.
Menimbang hal itu, maka berinisiatiflah sejumlah institusi guna menciptakan sistem pelaporan yang
bisa berlaku universal untuk semua perusahaan. Salah satu yang terkenal adalah Global Reporting
Initiative (GRI) yang diluncurkan tahun 1997. GRI membuat sustainability reporting guideline yang
memberi petunjuk pembuatan laporan dengan memperhatikan aspek ekonomi-sosial-lingkungan, atau
yang dikenal dengan aspek triple bottom line. Hanya saja, GRI pun tak bisa mewajibkan perusahaan
membuat laporan. Sebagai pelaporan yang paling banyak dijadikan rujukan dalam CSR reporting saat
ini, GRI memberi pilihan dan fleksibilitas bagi penggunanya.
Perusahaan berhak memilih bentuk pelaporan yang sesuai dengan kebutuhan atau kompleksitas
organisasinya. Kendati sukarela, namun pelaporan CSR ini amatlah bermanfaat untuk masa depan.
Mengingat kalangan mitra dan investor-khususnya internaional-kian melihat aktivitas CSR sebagai
rujukan untuk menilai potensi keberlanjutan (going concern) suatu perusahaan.
Dengan adanya komitmen sustainability, harapan untuk menyediakan infromasi adalah akuntansi. Hal
ini terkait keberadaan akuntansi sebagai alat sebuah entitas dalam menyajikan informasi mengenai
kegiatan operasionalnya. Namun akuntansi yang ada sekarang atau biasa disebut akuntansi
konvensional atau tradisional memiliki kelemahan-kelemahan, antara lain:
Akuntansi keuangan focus pada informasi yang dibutuhkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan
dalam membuat keputusan terhadap alokasi sumber daya yang ada. Sehingga hanya focus kepada
kepentingan keuangan stakeholders dalam entitas.
Sehubungan dengan focus informasi tersebut, salah satu landasan dari akuntansi keuangan adalah
prinsip materialis, yang akan menghalangi informasi pelaporan lingkungan dan masyarakat dan
memberikan kesulitan dalam mengukur biaya sosial dan lingkungan.
Hal penting yang dinyatakan oleh Gray, Owen dan Adams (1996) hal lain yang muncul bahwa
ternyata pelaporan entitas sering mengabaikan liability, khususnya yang tidak dapat diselesaikan
dalam beberapa tahun dengan menggunakan present value. Hal ini cenderung membuat expenditure
yang akan datang sedikit lebih signifikan pada periode saat ini.
Akuntansi keuangan menggunakan asumsi entitas. Dimana syaratnya adalah organisasi diperlakukan
sebagai entitas yang berbeda dari pemiliknya, organisasi lain, dan dari stakeholders yang lain. Jika
transaksi atau kegiatan tidak memberikan dampak secara langsung terhadap entitas, maka kegiatan
atau transaksi ini diabaikan sebagai manfaat akuntansi. Ini berarti pihak luar ditolak oleh pelaporan
entitas sehingga penyajian dan penilaian kinerja tidak dilengkapi oleh perspektif atau pandangan
masyarakat luas.
Expences didefinisikan sebagai cara untuk meniadakan pengeluaran atas berbagai dampak pada
sumber penghasilan yang tidak dapat dikendalikan oleh entitas.
Keterbatasan lain terkait dengan pengukuran. Dimana setiap item yang dicatat dalam akuntansi
keuangan harus dapat diukur dengan alasan yang tepat.
Akuntansi sosial ekonomi merupakan alat yang sangat berguna bagi perusahaan dalam mengungkapan
aktivitas sosialnya di dalam laporan keuangan. Pengungkapan tanggung jawab sosial dalam laporan
keuangan penting karena melalui social reporting disclosure, pemakai laporan keuangan akan dapat
menganalisis sejauh mana perhatian dan tanggung jawab sosial perusahaan dalam menjalankan bisnis.
Diharapkan melalui media ini tingkat tanggung jawab sosial perusahaan dapat mempengaruhi secara
positif perilaku investor. Investor seharusnya tidak hanya melihat aspek keuangan saja, tetapi juga
tanggung jawab sosial perusahaan harus mendapatkan pertimbangan dalam pengambilan keputusan
bisnis.
Akan tetapi sampai saat ini pengungkapan tanggung jawab sosial dalam laporan keuangan masih
bersifat sukalera, dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 1 Paragraf ke sembilan
dinyatakan:
Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan
laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri di mana faktor-faktor
lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai
kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting. PSAK tersebut tidak secara tegas
mengharuskan perusahaan untuk melaporkan tanggung jawab sosial mereka. Pengelompokan,
pengukuran dan pelaporan juga belum diatur, jadi untuk pelaporan tanggung jawab sosial diserahkan
pada masing-masing perusahaan.
Akuntansi Social Economi (ASE) menurut Belkaoui (1984) lahir dari anggapan bahwa akuntansi
sebagai alat manusia dalam kehidupannya harus juga sejalan dengan tujuan sosial hidup manusia.
ASE berfungsi untuk memberikan informasi social report tentang sejauh mana unit organisasi,
Negara dan dunia memberikan kontribusi yang positive dan negative terhadap kualitas hidup manusia.
ASE sebagai suatu penerapan akuntansi di bidang ilmu sosial termasuk bidang sosiologi, politik
ekonomi. Ada juga yang memberikan istilah lain dari ASE yaitu Akuntansi Sosial yang terdiri dari
Akuntansi Mikro Sosial dan Akuntansi Makro Sosial.
a. Menurut Mathews dan Perera akuntansi sosial ekonomi (Rusmanto, 2004: 85) adalah:
To describe a comprehensive form of accounting which takes into account externalities the cost
imposed on the public by private sector organizations as well as the more usual public costs.
b. Menurut Linowes akuntansi sosial ekonomi (Belkaoui, 1998: 339) adalah:
Penerapan akuntansi di bidang ilmu sosial yang meliputi ilmu pengetahuan masyarakat, ilmu
pengetahuan politik dan ilmu pengetahuan ekonomi.
Proses pengurutan, pengukuran, dan pengungkapan pengaruh yang kuat dari pertukaran antara suatu
perusahaan dan lingkungan sosialnya.
d. Menurut Lee D. Parker et. al (1989: 169-170) akuntansi sosial ekonomi adalah:
The construction and maintenance of organizational social information system designed to evaluate an
organizations social impact, assess the effectiveness of its social programs, and report upon the
overall discharge of its social responsibilities.
The process of selecting firm level social perfomance variabels, measures, and measurement
procedures; systematically developing information useful for evaluating the firms social perfomance;
and communicating such information to concerned social groups, both within and outside the firm.
Ekspresi dari tanggung jawab sosial perusahaan, melalui pengungkapan pelaporan aktivitas sosial
perusahaan dapat menunjukkan apa yang telah mereka capai dan penuhi dalam pelaksanaan tanggung
jawab sosial.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa akuntansi sosial ekonomi adalah alat yang
berfungsi untuk mengidentifikasi, mengukur, dan menilai dampak sosial yang ditimbulkan oleh
perusahaan, baik social cost maupun social benefit, dan mengkomunikasikannya kepada stakeholder,
yaitu stockholder, karyawan, masyarakat, pemasok dan pemerintah dalam bentuk pelaporan
pertanggungjawaban sosial.
Gray et. al. mengelompokkan teori yang dipergunakan oleh para peneliti untuk menjelaskan
kecendrungan pengungkapan sosial ke dalam tiga kelompok (Henny dan Murtanto, 2001: 26-27)
yaitu:
a. Decision usefullness studies: pengungkapan sosial dilakukan karena informasi tersebut dibutuhkan
oleh para pemakai laporan keuangan dan ditempatkan pada posisi yang moderatly important.
b. Economy theory studies: sebagai agen dari suatu prinsipal yang mewakili seluruh intrest group
perusahaan, pihak manajemen melakukan pengungkapan sosial sebagai upaya untuk memenuhi
tuntutan publik.
c. Social and political theory studies: pengungkapan sosial dilakukan sebagai reaksi terhadap tekanan-
tekanan dari lingkungannya agar perusahaan merasa eksistensi dan aktifitasnya terlegitimasi.
Menurut Harahap (2003: 351-352) ada beberapa paradigma yang menimbulkan kecendrungan
perusahaan untuk mengungkapkan tanggung jawab sosialnya:
c. Perspektif Ekosistem: dalam perspektif ini perusahaan sadar bahwa kegiatan ekonomi yang
dilakukan akan menimbulkan dampak bagi ekosistem yang berada di sekitarnya.
Pengungkapan kinerja sosial pada laporan tahunan perusahaan seringkali dilakukan secara sukarela
oleh perusahaan. Menurut Henderson dan Peirson, adapun alasan-alasan perusahaan mengungkapan
kinerja sosial secara sukalera (Henny dan Murtanto, 2001: 27) antara lain:
a. Internal decision making: manajemen membutuhkan informasi untuk menentukan efektivitas dari
informasi sosial tertentu dalam mencapai tujuan sosial perusahaan. Data harus tersedia agar biaya dari
pengungkapan tersebut dapat diperbandingkan dengan manfaatnya bagi perusahaan. Walaupun hal ini
sulit diidentifikasi dan diukur namun analisis secara sederhana lebih baik daripada tidak sama sekali.
b. Product differentiation: manajer dari perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial memiliki
insentif untuk membedakan diri dari pesaing yang tidak bertanggung jawab secara sosial kepada
masyarakat.
Menurut Mathews dan Perera (Rusmanto, 2004: 83) terdapat beberapa alasan perusahaan
mencantumkan kegiatan sosial mereka dalam laporan keuangan, antara lain ialah:
b. Sebagai wujud dari kontrak sosial antara perusahaan dan masyarakat, dan
Pengungkapan kinerja akuntansi sosial perusahaan, baik secara internal maupun eksternal, dapat
ditempuh melalui beberapa pendekatan, yaitu:
(1) Audit sosial, yaitu mengukur dan melaporkan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan dari
program-program yang berorientasi sosial dan operasi perusahaan yang reguler. Mulanya, manajer
perusahaan diminta membuat daftar aktivitas dengan konsekuensi sosial. Setelah daftar tersebut
dihasilkan, auditor sosial kemudian menilai dan mengukur dampak-dampak dari kegiatan sosial
perusahaan. Audit sosial dilaksanakan secara rutin oleh kelompok konsultan internal maupun
eksternal, sebagai bagian dari pemeriksaan internal biasa, sehingga manajer mengetahui konsekuensi
sosial dari tndakan mereka.
hubungan perusahaan dengan komunitasnya, dikembangkan salah satunya oleh David Linowes. Ia
membagi laporannya dalam tiga kategori: hubungan dengan manusia, hubungan dengan lingkungan,
dan hubungan dengan produk. Pada setiap kategori, ia membuat daftar mengenai konstribusi sukarela
perusahaan dan kemudian mengurangkannya dengan kerugian yang disebabkan oleh aktivitas
perusahaan itu. Linowes memoneterisasi segala sesuatunya dalam laporan tersebut, sampai pada saldo
akhir, yang disebutnya sebagai tindakan sosio-ekonomi netto untuk tahun tersebut. Dalam laporan
Linowes, seluruh kontribusi dan kerugian harus dihitung secara moneter. Selain Linowes, Ralph Estes
juga mengembangkan suatu model pelaporan mengenai manfaat dan biaya sosial. Ia menghitung
manfaat sosial sebagai seluruh kontribusi kepada masyarakat yang berasal dari operasi perusahaan
(misalnya, lapangan kerja yang disediakan, sumbangan, pajak, perbaikan lingkungan). Sedangkan
biaya sosial, meliputi seluruh biaya operasi perusahaan (bahan baku yang dibeli, utang kerusakan
lingkungan, luka-luka dan penyakit yang berkaitan dengan pekerjaan). Manfaat sosial dikurangkan
dengan biaya social untuk memperoleh manfaat atau biaya netto.
(3) Pengungkapan dalam laporan tahunan. Beberapa perusahaan menerbitkan laporan tahunan kepada
pemegang saham disertai beberapa informasi sosial yang dilakukan. Namun, melalui informasi yang
dicantumkan dalam laporan tahunan tersebut, belum dapat dinilai kinerja sosial perusahaan secara
komprehensif, karena kebanyakan informasi yang diungkapkan dalam laporan tahunan bersifat
sukarela dan selektif. Dalam artian, bisa jadi perusahaan hanya menyoroti kontribusi positifnya dan
mengabaikan dampak negatif yang ditimbulkan dari aktivitas usahanya.
Dalam pelaporan akuntansi sosial, diinformasikan seberapa besar manfaat sosial netto yang diberikan
perusahaan pada masyarakat. Manfaat sosial netto tersebut, diperoleh dari selisih antara kontribusi
suatu perusahaan kepada masyarakat (manfaat sosial) dengan kerugian yang ditimbulkan (biaya
sosial). Namun dalam menentukan manfaat sosial netto tersebut tidaklah semudah menyajikan laporan
keuangan biasa. Masalah yang muncul, terkait (1) bagaimana menentukan apa yang menjadi pos-pos
biaya ataupun manfaat sosial perusahaan, (2) bagaimana mengukur (nilai moneter) biaya dan manfaat
sosial yang ditimbulkan perusahaan
TRANSFER PRICING
Transfer Pricing adalah besaran nilai yang diberikan sebagai imbalan karena adanya perpindahan
suatu barang, jasa atau pengalihan teknologi antar perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa,
dengan tujuan barang atau jasa tersebut untuk di proses lebih lanjut.
Dari pengertian tersebut transfer pricing adalah suatu hal yang wajar dalam dunia usaha, karena awal
timbulnya transfer pricing, dikarenakan adanya proses diferensiasi bisnis dan perlunya integrasi dalam
organisasi yang telah melakukan diferensiasi bisnis tersebut.
Dalam proses diferensiasi bisnis, manajemen melakukan diversifikasi bisnisnya dengan pembentukan
unit-unit organisasi untuk menghadapi berbagai tantangan dilingkungan dunia industri. Pembentukan
unit-unit organisasi dimaksud ditempuh melalui proses divisionalisasi, yang merupakan pembentukan
divisi-divisi yang diberi peran sebagai pusat laba. Semakin luas tingkat diversifikasi yang dilakukan
oleh suatu perusahaan, semakin besar kebutuhan manajemen puncak akan alat untuk
mengintegrasikan berbagai divisi yang telah dibentuk.
Pada dasarnya divisi-divisi yang telah dibentuk tersebut tidak memiliki peran atau wewenang yang
besar untuk memperoleh laba, karena semuanya masih dibawah pengendalian manajemen puncak.
Karenanya, agar divisi yang dibentuk tersebut tidak bercerai berai, manajemen puncak memerlukan
mekanisme integrasi. dan salah satunya adalah dengan mekanisme Transfer pricing . Sehingga
transfer pricing mendekatkan dua atau lebih divisi yang semula melakukan bisnis secara independent.
Transfer pricing sering juga disebut dengan intracompany pricing, intercorporate pricing,
interdivisional atau internal pricing yang merupakan harga yang diperhitungkan untuk keperluan
pengendalian manajemen atas transfer barang dan jasa antar divisi dalam suatu perusahaan. Transfer
pricing biasanya ditetapkan untuk produk-produk antara (intermediate product) yang merupakan
barang-barang dan jasa-jasa yang dipasok okeh divisi penjual kepada divisi pembeli.
Karenanya, secara periodik masing-masing divisi yang terlibat dalam akan menentukan :
Sourching decision : keputusan dalam pemilihan sumber, yaitu menentukan di mana produk harus di
produksi, apakah di produksi di dalam perusahaan atau di beli dari pemasok luar.
Transfer pricing decision; keputusan dalam penentuan tingkat transfer pricing, yaitu menentukan
berapa besaran harga transfer yang disepakati ketika produk barang atau jasa tersebut di di pindah-
tangankan dari divisi penjual ke divisi pembeli.
Mekanisme transfer pricing harus dapat memotivasi para manajer divisi untuk bertindak sebagaimana
fungsi manajer perusahaan yang terpisah. Namun di lain pihak, manajer divisi harus bertindak untuk
kebaikan perusahaan secara keseluruhan. Akan terjadi trade-off, dan sebagaimana biasa pencapaian
tujuan yang satu mengakibatkan distorsi pencapaian tujuan lainnya.
Semula, seperti di terangkan sebelumnya transfer pricing yang merupakan pertukaran barang atau
jasa antar divisi dalam suatu perusahaan untuk di proses lebih lanjut adalah praktik yang biasa dalam
dunia usaha. Namun, sekarang seiring perkembangan zaman praktik transfer pricing memiliki
konotasi negatif sebagai suatu praktik bisnis yang tidak baik, yaitu pengalihan atas penghasilan kena
pajak (taxable income) atau usaha untuk meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayar.
Kekurang-wajaran yang ditimbulkan oleh praktek transfer pricing dapat terjadi atas: harga penjualan;
harga pembelian; alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost); pembebanan bunga atas
pemberian pinjaman oleh pemegang saham (shareholder loan) dll.
Adanya hubungan istimewa merupakan kunci dari dilakukannya praktek transfer pricing dalam
bidang perpajakan. Hubungan istimewa dalam perpajakan ditandai dengan adanya hubungan antara
dua atau lebih Wajib Pajak yang berada di bawah pemilikan atau penguasaan yang sama baik secara
langsung maupun tidak langsung (misalkan adanya hubungan antara Wajib Pajak yang mempunyai
penyertaan 25% atau lebih pada pihak yang lain). Hubungan istimewa juga ditandai dengan adanya
hubungan keluarga baik sedarah ataupun semenda.
Pengertian yang bersifat pejoratif, upaya untuk menghemat beban pajak dengan taktik, antara lain,
menggeser laba ke negara yang tarif pajaknya rendah. Bisa juga dikatakan praktik transfer pricing ini
adalah sebuah bentuk kejahatan korporasi
Bagi organisasi yang terdesentralisasi, keluaran dari sebuah divisi dipakai sebagai masukan bagi divisi
lain. Transaksi antar divisi ini mengakibatkan timbulnya suatu mekanisme transfer pricing. Transfer
pricing didefenisikan sebagai suatu harga jual khusus yang dipakai dalam pertukaran antar divisional
untuk mencatat pendapatan divisi penjual (selling division) dan biaya divisi pembeli (buying divison).
(Henry Simamora, 1999:272). Transfer pricing sering juga disebut dengan intracompany pricing,
intercorporate pricing, interdivisional atau internal pricing yang merupakan harga yang
diperhitungkan untuk keperluan pengendalian manajemen atas transfer barang dan jasa antar anggota
(grup perusahaan). Transfer pricing biasanya ditetapkan untuk produk-produk antara (intermediate
product) yang merupakan barang-barang dan jasa-jasa yang dipasok okeh divisi penjual kepada divisi
pembeli. Bila dicermati secara lebih lanjut, transfer pricing dapat menyimpang secara signifikan dari
harga yang disepakati. Oleh karena itu transfer pricing juga sering dikaitkan dengan suatu rekayasa
harga secara sistematis yang ditujukan untuk mengurangi laba yang nantinya akan mengurangi jumlah
pajak atau bea dari suatu negara.
Dari uraian di atas nampak bahwa pada prinsipnya praktik transfer pricing (dengan harga yang tidak
sama dengan harga pasar) dapat didorong oleh alasan pajak (tax motive) maupun bukan pajak (non-
tax motive). Berbagai studi di luar Indonesia menunjukkan hal tersebut (Carson;1979, Vaitson;1974,
dalam Caves;1996). Motivasi pajak atas praktik transfer pricing dilaksanakan dengan sedapat
mungkin memindahkan penghasilan ke negara dengan beban pajak terendah atau minimal. Salah satu
bentuk pengalihan penghasilan, misalnya dalam bentuk pembayaran royalti karena dengan sangat
langkanya standar harga (tarif) pasar atas royalti sangat sulit bagi administrasi pajak untuk
mengatasinya. Kopits (dalam Caves;1996) menyatakan bahwa paling kurang 13% pembayaran royalti
dari negara bcrkcmhang (ke negara maju) merupakan transformasi royalti menjadi dividen.
Selanjutnya, sehubungan dengan harga barang (bahan) input produksi, Lecras (dalam Caves;1996)
menyatakan bahwa berdasarkan studi tahun 1985 perusahaan multinasional yang beroperasi di
ASEAN memakai dasar selain harga pasar dalam menghitung transfer pricenya. Semakin mudah
tingkat otonomi anggota perusahaan multinasional di mancanegara semakin tinggi pemanfaatan
strategi transfer pricing. Semakin kurang menentu-nya lingkungan tempat operasi anggota perusahaan
tersebut, semakin besar porsi penjualan ekspor ketimbang penjualan domestik dan semakin tinggi
potensi penghasilan, maka motivasi pajak terhadap transfer pricing semakin ekstensif.
Masalah transfer pricing ini juga tidak terlepas dari fenomena bisnis perusahaan besar yang multi unit
yang akan melakukan ekspansi usaha ke luar negeri dengan mengoprasikan usahanya secara
desentralisasi dan mengimplementasikan konsep cpst-reveneu atau konsep corporate profit center.
Idealnya, konsep desentralisasi profit center tersebut merupakan pula alat yang dapat mengukur dan
menilai kinerja yang juga salah satu tujuan manajemen serta motivasi pengelolaan unit-unit
perusahaan multinasional yang bersangkutan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan. Di samping
itu, masalah ketat/tidaknya pengawasan aparat pemerintah yang terkait serta kebutuhan informasi,
merupakan hal vang akan mendorong; pelaksanaan transfer pricing, sehingga secara keselturuhan
beberapa faktor pendorong pemicu munculnya masalah transfer pricing tersebut adalah:
1) Pergeseran menuju desenhralisasi, divisionalisasi, dan penggunaan konsep cnrpu ratc profit
center
3) Pengawasan transfer pricing oleh aparat perpajakan dan bea cukai di beberapa negara.
Secara umum, tujuan penetapan harga transfer adalah untuk mentransmisikan data keuangan di antara
departemen-departemen atau divisi-diisi perusahaan pada waktu mereka saling menggunakan barang
dan jasa satu sama lain (Henry Simamora, 1999:273) Selain tujuan tersebut, transfer pricing terkadang
digunakan untuk mengevaluasi kinerja divisi dan memotivasi manajer divisi penjual dan divisi
pembeli menuju keputusan-keputusan yang serasi dengan tujuan perusahaan secara keseluruhan. A
transfer pricing system should satisfy three objectives: acurate performance evaluation, goal
congruence, and preservation of divisional autonomy (Joshua Ronen and George McKinney,
1970:100-101).
Sedangkan dalam lingkup perusahaan multinasional, transfer pricing digunakan untuk, meminimalkan
pajak dan bea yang mereka keluarkan diseluruh dunia Transfer pricing can effect overall corporate
incame taxes. This is particulary true for multinational corporations (Hansen and Mowen, 1996:496).
Beberapa metode transfer pricing yang sering digunakan oleh perusahaan-perusahaan Multinasional
dan divisionalisasi/departementasi dalam melakukan aktifitas keuangannya adalah:
Perusahaan yang menggunakan metode transfer atas dasar biaya menetapkan harga transfer atas biaya
variabel dan tetap yang bisa dalam 3 pemelihan bentuk yaitu : biaya penuh (full cost), biaya penuh
ditambah mark-up (full cost plus markup) dan gabungan antara biaya variabel dan tetap (variable cost
plus fixed fee).
2. Harga Transfer atas Dasar Harga Pasar (Market Basis Transfer Pricing)
Apabila ada suatu pasar yang sempurna, metode transfer pricing atas dasar harga pasar inilah
merupakan ukuran yang paling memadai karena sifatnya yang independen. Namun keterbatasan
informasi pasar yang terkadang menjadi kendala dalam mengunakan transfer pricing yang
berdasarkan harga pasar.
Dalam ketiadaan harga, beberapa perusahaan memperkenankan divisi-divisi dalam perusahaan yang
berkepentingan dengan transfer pricing untuk menegosiasikan harga transfer yang diinginkan. Harga
transfer negosiasian mencerminkan prespektif kontrolabilitas yang inheren dalam pusat-pusat
pertanggungjawaban karena setiap divisi yang berkepentingan tersebut pada akhirnya yang akan
bertanggung jawab atas harga transfer yang dinegosiasikan.
Berikut ini akan diberikan sebuah ilustrasi untuk memperjelas praktek transferpricing yang biasanya
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Perusahaan induk (parent company) yang
terletak di Belgia memproduksi suatu produk, dengan harga pokok Rp 100. Tarif pajak yang berlaku
di negara tersebut adalah 42%. Untuk menghindari pengenaan pajak dengan tarif yang tinggi,
perusahaan induk memutuskan untuk menjual produk tersebut ke anak perusahaan yang ada di Puerto
Rico dengan harga transfer yang sama dengan harga pokok yaitu Rp 100, sehingga pajak yang
terutang atas transaksi penjualan antara perusahaan induk dan anak perusahaan adalah Rp 0.
Hal ini disebabkan karena harga transfer yang digunakan sama dengan harga pokok produk, sehingga
atas transaksi ini tidak menimbulkan laba yang akan dikenakan pajak. Rekayasa atas harga transfer ini
dibuat untuk menghindari pajak dengan tarif yang tinggi yang berlaku di negara tempat perusahaan
induk berada. Kemudian barang yang sudah dibeli, dijual oleh anak perusahaan di Puerto Rico ke
anak perusahaan lain yang ada di Amerika dengan harga transfer Rp 200. Tarif pajak yang berlaku di
negara Puerto Rico adalah 0%. Transaksi penjualan ini menimbulkan laba sebesar Rp 200. Atas laba
yang timbul, seharusnya terutang pajak. Tetapi karena tarif pajak yang berlaku di negara tersebut 0%,
maka pajak yang terutang atas laba yang dihasilkan adalah sebesar Rp 0. Kemudian barang yang
sudah dibeli oleh anak perusahaan yang ada di Amerika dijual kembali ke perusahaan yang tidak
mempunyai hubungan istimewa di negara yang sama, dengan harga jual Rp 200. Kebijaksanaan
menetapkan harga jual ini dimaksudkan untuk menghindari pajak dengan tarif yang tinggi yang
berlaku di negara yang bersangkutan. Asumsi tarif pajak yang berlaku di negara Amerika 35%.
Selanjutnya dapat dihitung bahwa pajak terutang atas transaksi penjualan ini adalah sebesar Rp 0.
Hal ini disebabkan karena harga jual atas produk tersebut sama dengan harga pokok pembelian
barang, sehingga laba yang timbul atas transaksi ini adalah Rp 0. Kesimpulan yang dapat ditarik dari
transaksi-transaksi di atas, adalah betapa pentingnya mengetahui tarif pajak yang berlaku di suatu
negara, sebelum mengambil keputusan untuk melakukan transaksi penjualan dan pembelian barang.
Tabel di bawah ini akan memperjelas ilustrasi di atas.
Masalah transfer pricing ini perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut dari Pemerintah setempat,
karena terkadang anak perusahaan yang didirikan dalam suatu negara, hanya bersifat sebagai transit
place atau tempat persingahan semata. Suatu survey yang dilakukan oleh Ernst & Young LLp, 1999
menemukan bahwa masalah transfer pricing merupakan masalah utama dalam bidang perpajakan
selama kurun waktu 2 tahun terakhir yang terjadi pada perusahaan-perusahaan multinasional di
seluruh dunia. Oleh karena itu banyak kantor akuntan publik melakukan auditcompliance, untuk
melakukan pemeriksaan atas masalah transfer pricing ini yang memang berpengaruh terhadap jumlah
pajak yang harus dibayarkan. Gambar berikut ini akan memperlihatkan persentase dilakukannya audit
compliance pada perusahaanperusahaan multinasional yang tersebar di berbagai negara besar di
dunia.
Biasanya cegah tangkal yang dilakukan oleh negara-negara dengan adanya transfer pricing adalah
membuat suatu kewenangan, dimana pemerintah diberikan wewenang untuk menentukan kembali
dengan cara me-realokasikan kembali jumlah laba dan biaya-biaya yang timbul di perusahaan
multinasional yang notabene punya beberapa divisi, sehingga laba dan biaya-biaya yang timbul
sebagai hasil transaksi antar divisi tersebut yang ditengarai sebagai suatu praktek transfer pricing yang
bisa meminimalkan pajak terutang dapat di cegah. U.S.- Based multinationals are subject to Internal
Revenue Code Section 482 on the pricing of intercompany transactions. This section gives the IRS the
authority to reaalocate income and deductions among divisions if it believes that such reallocation
will reduce potentiak tax evasion. (Hansen and Mowen, 1996:543). Lebih lanjut ditegaskan bahwa
dalam IRS, apabila terjadi transaksi antar divisi dalam perusahaan multinasional atau terjadi transaksi
dalam perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa, maka harga yang berlaku adalah harga yang
timbul apabila transaksi tersebut dilakukan dengan pihak-pihak di luar perusahaan atau dengan kata
lain, transaksi dilakukan dengan pihak-pihak yang tidak punya hubungan istimewa. That is, the
transfer pricing set should match the price that would be set if the transfer were being made by
unrelated parties, adjusted for diffrences that have a measurable effect on the price. (Hansen and
Mowen, 1996:543).
Teori Kendala atau Theory Of Constraints (TOC) merupakan sebuah filosofi manajemen yang mula-
mula dikembangkan oleh Eliyahu M. Goldratt dan dikenalkan dalam bukunya, The Goal. Dapat
diartikan bahwa TOC adalah suatu pendekatan ke arah peningkatan proses yang berfokus pada
elemen-elemen yang dibatasi untuk meningkatkan output. Hal ini berdasarkan fakta bahwa, seperti
sebuah rantai dengan link yang paling lemah, dalam beberapa system yang kompleks pada waktu
tertentu, sering terdapat satu aspek dalam system yang membatasi kemampuannya untuk mencapai
lebih banyak tujuannya. Usaha yang berfokus pada masalah dapat meningkatkan atau
memaksimumkan kembali inisiatif yang ada. agar system tersebut mencapai kemajuan yang
signifikan, hambatannya perlu untuk diidentifikasi dan keseluruhan system perlu diatur. Sesekali
elemen proses yang dibatasi diperbaiki, link paling lemah yang berikutnya dapat ditujukan dalam
suatu pendekatan iterative.
TOC adalah suatu filosofi manajemen yang membantu sebuah perusahaan dalam meningkatkan
keuntungan dengan memaksimalkan produksinya dan meminimalisasi semua ongkos atau biaya yang
relevan seperti biaya simpan, biaya langsung, biaya tidak langsung, dan biaya modal.
Penerapan TOC lebih terfokus pada pengelolaan operasi yang berkendala sebagai kunci dalam
meningkatkan kinerja sistem produksi, nantinya dapat berpengaruh terhadap profitabilitas secara
keseluruhan.
Menurut Hansen dan Mowen, jenis kendala dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Berdasarkan asalnya
Kendala internal (internal constraint) adalah faktor-faktor yang membatasi perusahaan yang berasal
dari dalam perusahaan, misalnya keterbatasan jam mesin. Kendala internal harus dimanfaatkan secara
optimal untuk meningkatkan throughput semaksimal mungkin tanpa meningkatkan persediaan dan
biaya operasional.
Kendala eksternal (external constraint) adalah faktor-faktor yang membatasi perusahaan yang berasal
dari luar perusahaan, misalnya permintaan pasar atau kuantitas bahan baku yang tersedia dari
pemasok. Kendala eksternal yang berupa volume produk yang dapat dijual, dapat diatasi dengan
menemukan pasar, meningkatkan permintaan pasar ataupun dengan mengembangkan produk baru.
Berdasar sifatnya
Kendala mengikat (binding constraint) adalah kendala yang terdapat pada sumber daya yang telah
dimanfaatkan sepenuhnya.
Kendala tidak mengikat atau kendur (loose constraint) adalah kendala yang terdapat pada sumber
daya yang terbatas yang tidak dimanfaatkan sepenuhnya.
Selain itu Kaplan dan Atkinson menambahkan pengelompokan kendala dalam tiga bagian yaitu:
Kendala sumberdaya (resource constraint). Kendala ini dapat berupa kemampuan factor input
produksi seperti bahan baku, tenaga kerja dan jam mesin.
Kendala pasar (market resource). Kendala yang merupakan tingkat minimal dan maksimal dari
penjualan yang mungkin selama dalam periode perencanaan.
Kendala keseimbangan (balanced constraint). Diidentifikasi sebagai produksi dalam siklus produksi.
Theory of Constraint(TOC) mengakui bahwa kinerja setiap perusahaan dibatasi oleh kendala-
kendalanya, yang kemudian mengembangkan pendekatan kendala untuk mendukung tujuan, yaitu
kemajuan terus-menerus suatu perusahaan (continious improvement). Teori ini memfokuskan diri
pada tiga ukuran yaitu:
Throughput, adalah suatu ukuran dimana suatu perusahaan menghasilkan uang melalui penjualan.
Persediaan, adalah semua dana yang dikeluarkan perusahaan untuk mengubah bahan baku mentah
melalui throughput. Bahan persediaan dalam TOC merupakan semua aktiva yang dimiliki dan
terrsedia secara potensial untuk penjualan.
TOC memiliki argumen bahwa penurunan persediaan akan meningkatkan daya saing perusahaan,
karena dengan menurunkan persediaan, akan diperoleh produk yang lebih baik, harga yang lebih
rendah, dan tanggapan yang lebih cepat terhadap kebutuhan pelanggan
Penerapan TOC dapat membantu manajer dalam meningkatkan laba dan juga penjualan produk atau
jasa yang berkualitas serta pemenuhan permintaan yang tepat waktu sehingga perusahaan mampu
beroperasi secara efisien dan efektif.
Identifikasi konstrain sistem (identifying the constraint). Mengidentifikasi bagian system manakah
yang paling lemah kemudian melihat kelemahanya apakah kelemahan fisik atau kebijakan.
Eksploitasi konstrain (exploiting the constraint). Menentukan cara menghilangkan atau mengelola
constraint dengan biaya yang paling rendah.
Subordinasi sumber lainnya (subordinating the remaining resources). Setelah menemukan konstrain
dan telah diputuskan bagaimana mengelola konstrain tersebut maka harus mengevaluasi apakah
kostrain tersebut masih menjadi kostrain pada performansi system atau tidak. Jika tidak maka akan
menuju ke langkah kelima, tetapi jika yam aka akan menuju ke langkah keempat.
Evaluasi konstrain (Elevating the constraint). Jika langkah ini dilakukan, maka langkah kedua dan
ketiga tidak berhasil menangani konstrain. Maka harus ada perubahan besar dalam sistem, seperti
reorganisasi, perbaikan modal, atau modifikasi substansi system.
Mengulangi proses keseluruhan (repeating the process). Jika langkah ketiga dan keempat telah
berhasil dilakukan maka akan mengulangi lagi dari langkah pertama. Proses ini akan berputar sebagai
siklus. Tetap waspada bahwa suatu solusi dapat menimbulkan konstrain baru perlu dilakukan.
Selain memperhatikan lima tahap penerapan TOC diatas, perlu diperhatikan pula sepuluh prinsip
dasar TOC. Kesepuluh prisnsip dasar tersebut adalah:
Seimbangkan aliran produksi, bukan kapasitas produksi. Diasumsikan perusahaan memiliki kapasitas
tidak seimbang dengan jumlah permintaan pasar (demand) karena keseimbangan kapasitas
menghambat pencapaian tujuan (goal) perusahaan.
Tingkat utilitas non bottleneck tidak ditentukan oleh potensi stasiun kerja tersebut tetapi oleh stasiun
kerja bottleneck atau sumber kritis lainnya. Hanya stasiun kerja yang mengalami bottleneck yang
perlu dijalankan dengan utilitas 100 %.
Aktivitas tidak selalu sama dengan utilitas. Menjalankan non bottleneck dapat mengakibatkan
bertumpuknya work in process (buffer) dalam jumlah yang berlebihan.
Satu jam kehilangan pada bottleneck merupakan satu jam kehilangan sistem keseluruhan.
Penjadwalan (kapasitas & prioritas) dilakukan dengan memperhatikan semua kendala (constraint)
yang ada secara simultan.
Jumlah optimum lokal tidak sama dengan optimum keseluruhan (total). Pengukuran performansi
dilihat sebagai satu kesatuan berdasarkan pemasukan bahan baku dan hasil produk jadi.
Tujuan utama seorang manajer menggunakan JIT dalam perusahaan yaitu untuk mengurangi waktu
yang digunakan produk dalam pabrik. Jika total produksi turun, maka akan terjadi penurunan pula
pada biaya, hal ini dikarenakan lebih sedikitnya persediaan yang harus dibiayai, disimpan, dikelola,
dan diamankan. Dengan JIT, waktu dapat diminimalisasi terhadap throughput produk yaitu total
produksi sampai pada saat barang dikirim. Oleh karena itu, waktu throughput (throughput time)
merupakan jumlah dari waktu proses, waktu tunggu, waktu pemindahan, waktu inspeksi. Yang
merupakan waktu throughput yang mencakup penurunan persediaan dalam proses, akan mengarahkan
pada hal-hal berikut ini:
Pendekatan TOC beranggapan bahwa biaya operasional sulit untuk diubah dalam jangka pendek,
sehingga TOC tidak mengidentifikasikan aktivitas-aktivitas individual dan penggerak biaya. Oleh
karena itu, TOC kurang berguna untuk mengelola biaya dalam jangka panjang. Di lain sisi, activity-
based costing (ABC) mempunyai perspektif jangka panjang yang memfokuskan pada peningkatan
proses dengan mengeliminasi aktivitas-aktivitas yang tidak bernilai tambah dan mengurangi biaya-
biaya yang dikeluarkan oleh aktivitas yang bernilai tambah. Oleh karena itu, ABC lebih berguna
untuk perencanaan profit, pengendalian biaya dan penetapan harga jangka panjang
ABC dan TOC sama-sama digunakan untuk menetapkan profitabilitas produk. Namun keduanya juga
memiliki perbedaan yaitu ABC mengembangkan suatu analisis jangka panjang yang meliputi semua
biaya produk. Sedangkan TOC mengambil pendekatan jangka pendek untuk analisis profitabilitas
karena teori ini hanya berdasarkan pada biaya-biaya yag berkaitan pada bahan. ABC menyediakan
suatu analisis komprehensif dari penggerak biaya (cost driver) dan biaya unit yang akurat, sebagai
suatu dasar untuk pengambilan keputusan strategis mengenai harga dan bauran produk dalam jangka
panjang. Sebaliknya TOC menyediakan suatu metode yang berguna untuk meningkatkan profitabilitas
jangka pendek melalui penyesuaian bauran produk untuk jangka pendek dan melalui perhatian pada
hambatan-hambatan produksi. Keunggulan ABC adalah memusatkan perhatian pada kegiatan
(aktivitas), yaitu apa yang dilakukan oleh tenaga kerja dan peralatan untuk memenuhi kebutuhan
pelanggan. ABC umumnya digunakan oleh perusahaan dengan menggunakan metode manajemen
biaya seperti biaya target (target costing) dan TOC.
TOC memfokuskan pada tiga ukuran kinerja organisasi yaitu: throughput, persediaan dan beban
operasi. Tujuan manajemen dinyatakan dengan meningkatkan throughput, meminimalkan persediaan,
dan menurunkan biaya operasi. TOC adalah metode untuk memaksimalkan laba operasi ketika
dihadapkan dengan beberapa operasi bottleneck dan nonbottleneck. TOC mendefinisikan tiga ukuran
sebagai berikut:
1. Throughput Margin, yaitu pendapatan dikurangi direct material dari barang yang terjual
(komponen direct material dalam cost of good sold). Tingkat di mana suatu organisasi
menghasilkan uang melalui penjualan.
2. Biaya Persediaan, yaitu jumlah biaya bahan baku dalam direct material, work in process, dan
persediaan barang jadi, biaya research and development, dan biaya peralatan dan gedung.
Seluruh uang yang dikeluarkan organisasi dalam mengubah bahan baku menjadi throughput.
3. Operating cost, yaitu semua biaya operasi (selain direct material) yang terjadi untuk
memperolehthroughput margin. Operating cost meliputi gaji dan upah, sewa, penyusunan dan
semacamnya. Seluruh uang yang dikeluarkan organisasi untuk mengubah persedian
menjadi throughput.
TOC pada Instansi Sektor Publik: Studi Kasus di Kantor Pelayanan Pajak
Dalam Standar Operating Procedure (SOP) sudah disebutkan batasan waktu penyelesaian dari semua
aktifitas yang terkait. Batasan waktu ini yang menentukan seberapa cepat sebuah kegiatan pelayanan
kepada masyarakat harus diselesaikan. Secara teori, bila sebuah SOP sudah ditetapkan, maka SOP
tersebut harus dilaksanakan secara nasional.
Namun pada prakteknya, tidak semua kantor dapat melaksanakan apa yang tercantum dalam SOP.
Berbeda dari bottleneck dalam anggaran, dimana bottleneck yang terjadi banyak dalam penyerapan
anggaran, bottleneck yang terjadi dalam kinerja aparat salah satunya berupa keterbatasan kapasitas
aparat dalam melaksanakan tugasnya. Keterbatasan tersebut yang mengakibatkan
terjadinyabottleneck dalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakat. Kendala lain terkait SOP
adalah terkait indeks kinerja utama, dimana dalam IKU tersebut, ditentukan standar jumlah pelayanan
minimum yang sudah ditargetkan untuk dilaksanakan dalam setahun. Standar tersebut berlaku sama
bagi setiap kantor, dalam hal ini sebuah Kantor Pelayanan Pajak.
Bagi kantor dengan jumlah pegawai yang memadai dan jumlah Wajib Pajak yang sudah sesuai dengan
standar kinerja yang seharusnya, mencapai standar yang sudah ditetapkan dalam IKU tersebut
seharusnya bukanlah sebuah masalah. Akan tetapi bagi kantor-kantor dipelosok Indonesia, dengan
jumlah Wajib Pajak jauh lebih banyak, maka mencapai standar pelayanan yang sudah ditetapkan
tersebut bisa menjadi masalah.
Berikut adalah beberapa contoh di DJP khususnya pada sebuah KPP:
Misalkan di dalam sebuah seksi pelayanan disebuah Kantor Pelayanan Pajak hanya memiliki
2 orang petugas pelaksana. Pada tanggal 20 setiap bulan, KPP tersebut harus melayani Wajib
Pajak yang ingin melaporkan SPT. Semaksimal apapun kinerja dari kedua petugas tersebut,
tidak akan sanggup melayani seluruh wajib pajak (atau paling tidak akan keteteran) yang saat
itu ingin melaporkan SPT-nya.
Seorang Account Representative (AR) dalam sebuah seksi Pengawasan dan Konsultasi,
ditarget untuk mengunjungi Wajib Pajak dalam rangka pengawasan dan konsultasi minimal
dua kali dalam seminggu. Bagi AR dengan wilayah kerja yang meliputi pulau-pulau terpencil,
namun memiliki jumlah wajib pajak cukup signifikan, maka kewajiban visit tersebut akan
menjadi cukup sulit dilakukan. Bila dipaksakan untuk melakukan visit, maka tugas-tugas lain
di kantor, yang jumlahnya tidak sedikit, akan menjadi terabaikan, terlebih bila tidak ada
petugas yang dapat menggantikan selama AR tersebut melaksanakan dinas di luar kantor.
Sebuah KPP hanya memiliki 2 Tim Fungsional, asumsi bahwa satu tim fungsional yang terdiri
dari 1 supervisor, 1 ketua tim dan 2 anggota tim, secara kapasitas normal mampu
mengerjakan 50 pemeriksaan dalam setahun. Sedangkan usulan pemeriksaan yang masuk
baik dari dalam KPP maupun dari Luar KPP sebanyak 150 usulan pemeriksaan yang harus
dikerjakan. Jumlah tersebut berada diatas kapasitas maksimal KPP yaitu 100 pemeriksaan
dalam setahun.