Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR COLLUM FEMUR

1. Definisi Fraktur Collum Femur

Fraktur adalah putusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang


rawan yang disebabkan oleh kekerasan (E. Oerswari, 1989:144). Fraktur
femur adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat
disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu
seperti degenerasi tulang/osteoporosis (Long, 1985). Sedangkan fraktur
kolum femur merupakan fraktur intrakapsular yang terjadi pada bagian
proksimal femur, yang termasuk kolum femur adalah mulai dari bagian distal
permukaan kaput femoris sampai dengan bagian proksimal dari
intertrokanter.

2. Etiologi Fraktur Collum Femur


Fraktur collum femur sering terjadi pada usia di atas 60 tahun dan
lebih sering pada wanita yang disebabkan oleh kerapuhan tulang akibat
kombinasi proses penuaan dan osteoporosis pasca menopause. Fraktur
collum femur dapat disebabkan oleh trauma langsung, yaitu misalnya
penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter mayor
langsung terbentur dengan benda keras (jalanan) ataupun disebabkan oleh
trauma tidak langsung, yaitu karena gerakan exorotasi yang mendadak dari
tungkai bawah.
Penyebab fraktur secara umum dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Cedera traumatik

Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba tiba dan
berlebihan, yang dapat berupa benturan, pemukulan, penghancuran,
penekukan atau terjatuh dengan posisi miring, pemuntiran, atau
penarikan.

Cedera traumatik pada tulang dapat dibedakan dalam hal berikut, yakni:
1) Cedera langsung, berarti pukulan langsung terhadap tulang
sehingga tulang patah secara spontan. Pemukulan biasanya
menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit
diatasnya.
2) Cedera tidak langsung, berarti pukulan langsung berada jauh dari
lokasi benturan.
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini, kerusakan tulang terjadi akibat proses penyakit akibat
berbagai keadaan berikut, yakni:
1) Tumor tulang (jinak atau ganas), dimana berupa pertumbuhan
jaringan baru yang tidak terkendali dan progresif.
2) Infeksi, misalnya osteomielitis, yang dapat terjadi sebagai akibat
infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang
progresif,
3) Rakhitis, merupakan suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh
defisiensi vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet,
biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang
dapat disebabkan kegagalan absorbsi vitamin D atau oleh karena
asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
c. Secara spontan, dimana disebabkan oleh stress atau tegangan atau
tekanan pada tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio
dan orang yang bertugas di bidang kemiliteran.

3. Klasifikasi Fraktur Collum Femur


a) Fraktur collum femur sendiri dibagi dalam dua tipe, yaitu:

1. Fraktur intrakapsuler

2. Fraktur extrakapsuler
Intrakapsuler

Ekstrakapsuler

Fraktur intrakapsuler dan ekstrakapsuler

b) Berdasarkan arah sudut garis patah dibagi menurut Pauwel :

Tipe I : garis fraktur membentuk sudut 30 dengan bidang horizontal pada


posisi tegak
Tipe II : garis fraktur membentuk sudut 30-50 dengan bidang horizontal
pada posisi tegak

Tipe III: garis fraktur membentuk sudut >50 dengan bidang horizontal

Klasifikasi Pauwels untuk Fraktur Kolum Femur


Klasifikasi ini berdasarkan atas sudut yang dibentuk oleh garis fraktur dan
bidang horizontal pada posisi tegak.

c) Dislokasi atau tidak fragment ( menurut Gardens) adalah sebagai berikut :

Grade I : Fraktur inkomplit ( abduksi dan terimpaksi)

Grade II : Fraktur lengkap tanpa pergeseran

Grade III : Fraktur lengkap dengan pergeseran sebagian (varus


malaligment)

Grade IV : Fraktur dengan pergeseran seluruh fragmen tanpa ada bagian


segmen yang bersinggungan.
Klasifikasi Gardens untuk Fraktur Kolum Femur

4. Manifestasi Klinis Fraktur Collum Femur


Tanda dan gejala yang terdapat pada pasien dengan fraktur femur, yakni:
1) Deformitas
Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari
tempatnya. Perubahan keseimbangan dan kontur terjadi, seperti:
a. rotasi pemendekan tulang;
b. penekanan tulang.
2) Bengkak (edema)
Bengkak muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravasasi darah dalam
jaringan yang berdekatan dengan fraktur.
3) Ekimosis dari perdarahan subculaneous
4) Spasme otot (spasme involunters dekat fraktur)
5) Tenderness
6) Nyeri
Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot, perpindahan tulang dari
tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
7) Kehilangan sensasi
8) Pergerakan abnormal
9) Syok hipovolemik
10) Krepitasi (Black, 1993:199).

Pada penderita muda ditemukan riwayat mengalami kecelakaan berat


namun pada penderita usia tua biasanya hanya dengan trauma ringan sudah
dapat menyebabkan fraktur collum femur. Penderita tidak dapat berdiri karena
rasa sakit sekali pada pada panggul. Posisi panggul dalam keadaan fleksi dan
eksorotasi. Didapatkan juga adanya pemendekakan dari tungkai yang cedera.
Tungkai dalam posisi abduksi dan fleksi serta eksorotasi.pada palpasi sering
ditemukan adanya hematom di panggul. Pada tipe impacted, biasanya
penderita masih dapat berjalan disertai rasa sakit yang tidak begitu hebat.
Posisi tungkai tetap dalam keadaan posisi netral.
Pada pemeriksaan fisik, fraktur kolum femur dengan pergeseran akan
menyebabkan deformitas yaitu terjadi pemendekan serta rotasi eksternal
sedangkan pada fraktur tanpa pergeseran deformitas tidak jelas terlihat. Tanpa
memperhatikan jumlah pergeseran fraktur yang terjadi, kebanyakan pasien
akan mengeluhkan nyeri bila mendapat pembebanan, nyeri tekan di inguinal
dan nyeri bila pinggul digerakkan.

5. Pemeriksaan Penunjang Fraktur Collum Femur

Proyeksi AP dan lateral serta kadang juga dibutuhkan axial. Pada proyeksi
AP kadang tidak jelas ditemukan adanya fraktur pada kasus yang impacted,
untuk ini diperlukan pemerikasaan tambahan proyeksi axial.

Pergeseran dinilai melalui bentuk bayangan tulang yang abnormal dan


tingkat ketidakcocokan garis trabekular pada kaput femoris dan ujung leher
femur. Penilaian ini penting karena fraktur yang terimpaksi atau tidak bergeser
( stadium I dan II Garden ) dapat membaik setelah fiksasi internal, sementara
fraktur yang bergeser sering mengalami non union dan nekrosis avaskular.

6. Penatalaksanaan Fraktur Collum Femur

Impacted Fraktur

Pada fraktur intrakapsuler terdapat perbedaan pada daerah collum femur


dibanding fraktur tulang di tempat lain. Pada collum femur-periosteumnya
sangat tipis sehingga daya osteogenesinya sangat kecil, sehingga seluruh
penyambungan fraktur collum femur tergantung pada pembentukan calus
endosteal. Lagipula aliran pembuluh darah yang melewati collum femur pada
fraktur collum femur terjadi kerusakan. Lebih-lebih lagi terjadinya
haemarthrosis akan menyebabkan aliran darah sekitar fraktur tertekan
alirannya. Sehingga apabila terjadi fraktur intrakapsuler dengan dislokasi akan
terjadi avaskular nekrosis.

Penanggulangan Impacted Fraktur


Pada fraktur collum femur yang benar-benar impacted dan stabil,
penderita masih dapat berjalan selama beberapa hari. Gejalanya ringan, sakit
sedikit pada daerah panggul. Kalau impactednya cukup kuat penderita dirawat
3-4 minggu kemudian diperbolehkan berobat jalan dengan memakai tongkat
selama 8 minggu. Kalau pada x-ray foto impactednya kurang kuat ditakutkan
terjadi disimpacted, penderita dianjurkan untuk operasi dipasang internal
fixation. Operasi yang dikerjakan untuk impacted fraktur biasanya dengan
multi pin teknik percutaneus.

Penanggulangan dislokasi fraktur collum femur

Penderita segera dirawat dirumah sakit, tungkai yang sakit dilakukan


pemasangan tarikan kulit (skin traction) dengan buck-extension. Dalam waktu
24-48 jam dilakukan tindakan reposisi, yang dilanjutkan dengan pemasangan
internal fixation. Reposisi yang dilakukan dicoba dulu dengan reposisi tertutup
dengan salah satu cara yaitu: menurut leadbetter. Penderita terlentang dimeja
operasi. Asisten memfiksir pelvis. Lutut dan coxae dibuat fleksi 90 untuk
mengendurkan kapsul dan otot-otot sekitar panggul. Dengan sedikit adduksi
paha ditarik ke atas, kemudian dengan pelan-pelan dilakukan gerakan
endorotasi panggul 45. Kemudian sendi panggul dilakukan gerakan memutar
dengan melakukan gerakan abduksi dan ekstensi. Setelah itu dilakuakn test.

Palm heel test: tumit kaki yang cedera diletakkan diatas telapak tangan.
Bila posisi kaki tetap dalam kedudukan abduksi dan endorotasi berarti
reposisi berhasil baik. Setelah reposisi berhasil dilakukan tindakan
pemasangan internal fiksasi dengan teknik multi pin percutaneus. Kalau
reposisi pertama gagal dapat diulangi sampai 3 kali, dilakukan open
reduksi. Dilakukan reposisi terbuka setelah tereposisi dilakukan internal
fiksasi. Macam-macam alat internal fiksasi diantaranya: knowless pin,
cancellous screw, dan plate.

Pada fraktur collum femur penderita tua (>60 tahun) penanggulangannya


agak berlainan. Bila penderita tidak bersedia dioperasi atau dilakukan prinsip
penanggulangan, tidak dilakukan tindakan internal fiksasi, caranya penderita
dirawat, dilakukan skin traksi 3 minggu sampai rasa sakitnya hilang. Kemudian
penderita dilatih berjalan dengan menggunakan tongkat (cruth). Kalau
penderita bersedia dilakukan operasi, yaitu menggunakan tindakan operasi
arthroplasty dengan pemasangan prothese austine moore.
7. Pengkajian Fraktur Collum Femur
Pengkajian yang perlu dilakukan pada klien dengan fraktur femur
diantaranya adalah:

1. Identitas pasien

Identitas ini meliputi nama, usia, TTL, jenis kelamin, alamat, pekerjaan,
suku bangsa, dan pendidikan.

2. Keluhan utama

Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
memperberat dan faktor yang memperingan/ mengurangi nyeri
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien,
bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa
sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap
klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga
nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana
yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain

4. Riwayat kesehatan masa lalu

Pada riwayat kesehatan masa lalu, perlu ditanyakan apakah pasien pernah
menderita penyakit infeksi tulang ataupun osteoporosis. Hal ini
merupakan informasi yang penting dalam penanganan fraktur femur pada
klien

5. Riwayat kesehatan keluarga

Hal ini mencakup riwayat ekonomi keluarga, riwayat sosial keluarga,


sistem dukungan keluarga, dan pengambilan keputusan dalam keluarga.

6. Riwayat Psikososial

Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan


peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat
7. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakadekuatan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan
apakah klien melakukan olahraga atau tidak
b) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola
nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak
adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari
yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
c) Pola Eliminasi
Untuk kasus multiple fraktur, misalnya fraktur humerus dan fraktur
tibia tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu
perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada
pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji
ada kesulitan atau tidak.
d) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga
hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu
juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat
tidur.
e) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien, seperti memenuhi kebutuhan sehari hari menjadi
berkurang. Misalnya makan, mandi, berjalan sehingga kebutuhan klien
perlu banyak dibantu oleh orang lain.
f) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap, klien biasanya merasa rendah
diri terhadap perubahan dalam penampilan, klien mengalami emosi
yang tidak stabil.
g) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan gangguan citra diri.
h) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu
juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga,
timbul rasa nyeri akibat fraktur.
i) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak
serta rasa nyeri yang dialami klien.
j) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif
k) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa
disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.

8. Pemeriksaan Fisik

Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk


mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal
ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan
dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit
tetapi lebih mendalam.
a. Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda, seperti:
2) Kesadaran penderita:
Composmentis: berorientasi segera dengan orientasi sempurna
Apatis : terlihat mengantuk tetapi mudah dibangunkan dan
pemeriksaan penglihatan , pendengaran dan perabaan normal
Sopor: dapat dibangunkan bila dirangsang dengan kasar dan terus
menerus
Koma: tidak ada respon terhadap rangsangan
Somnolen: dapat dibangunkan bila dirangsang dapat disuruh dan
menjawab pertanyaan, bila rangsangan berhenti penderita tidur
lagi.
b. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan
pada kasus fraktur biasanya akut, spasme otot, dan hilang rasa.
c. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
d. Neurosensori, seperti kesemutan, kelemahan, dan deformitas.
e. Sirkulasi, seperti hipertensi (kadang terlihat sebagai respon
nyeri/ansietas), hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah),
penurunan nadi pada bagian distal yang cidera, capilary refil
melambat, pucat pada bagian yang terkena, dan masa hematoma
pada sisi cedera.
f. Keadaan Lokal
Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah sebagai berikut :
1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain sebagai berikut :
a) Sikatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi).
b) Fistula warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
c) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang
tidak biasa (abnormal)
d) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
e) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki
mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini
merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik
pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban
kulit. Capillary refill time Normal (3 5) detik
b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian
c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal)
d) Otot: tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau
tidak, dan ukurannya.
Kekuatan otot : otot tidak dapat berkontraksi (1), kontraksi
sedikit dan ada tekanan waktu jatuh (2), mampu menahan
gravitasi tapi dengan sentuhan jatuh(3), kekuatan otot kurang
(4), kekuatan otot utuh (5). ( Carpenito, 1999)
3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri
pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi
dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari
titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini
menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif. ( Arif
Muttaqin, 2008 )

9. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan
menggunakan sinar rontgen ( Sinar X ). Untuk mendapatkan
gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka
diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan
tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk
memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu
disadari bahwa permintaan Sinar - X harus atas dasar indikasi
kegunaan. Pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan
permintaan. Hal yang harus dibaca pada Sinar X mungkin dapat di
perlukan teknik khusus, seperti hal hal sebagai berikut. ( Arif Muttaqin,
2008 )
1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur
yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan
kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur
saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami
kerusakan akibat trauma.
3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak
karena ruda paksa.
4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang
rusak.

b. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang. Enzim otot seperti
Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino
Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang
3) Hematokrit dan leukosit akan meningkat ( Arif Muttaqin, 2008 )
c. Pemeriksaan lain-lain
1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi.
3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi
pada tulang.
6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
( Arif Muttaqin, 2008 )

Anda mungkin juga menyukai