Anda di halaman 1dari 13

BAB 2

DASAR TEORI

Diantara berbagai macam kegiatan proyek, salah satunya adalah kegiatan proyek
konstruksi. Proyek konstruksi adalah suatu kegiatan sementara yang berlangsung dalam
jangka waktu terbatas, dengan alokasi sumber daya tertentu dan dimaksudkan untuk
menghasilkan produk yang kriteria mutunya telah digariskan dengan jelas (Suharto, 1999).
Dalam rangkaian kegiatan tersebut terjadi suatu proses mengolah sumber daya
proyek menjadi suatu hasil kegiatan yang berupa bangunan. Sumber daya tersebut
terhimpun dalam suatu organisasi untuk menyelesaikan proyek tepat waktu, tepat anggaran
dan sesuai dengn standar kualitas yang dispesifikasikan oleh perencana/owner. Sumber
daya yang dimaksud adalah tenaga kerja, peralatan konstruksi, material permanen dan
sementara, suplai dan fasilitas, uang dan teknologi/metode dan waktu. Pemegang peranan
utama pada proses konstruksi adalah kontraktor dan subkontraktor. Pihak lain yang terlibat
adalah arsitek/engineer sebagai supervisor, supplier material dan peralatan, konsultan,
owner serta penyedia jasa pengangkutan.

2.1 Keselamatan dan Kesehatan Kerja


Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05.PRT/M/2014, Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Konstruksi yang selanjutnya disingkat menjadi K3 Konstruksi adalah
segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja
melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja pada pekerjaan
konstruksi.
Sedangkan menurut ILO dan WHO, Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah
upaya pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan para pekerja baik secara fisik,
mental dan sosial. Akan tetapi secara umum Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah
ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang cara penerapan dalam usaha mencegah
kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

2.2 Motivasi Pelaksanaan K3


Yang menjadi motivasi pelaksanaan K3 dibidang jasa usaha konstruksi antara lain
(Syah M.S, 2004) :
a) Terjadinya kecelakaan di tempat kerja atau kecelakaan kerja yang membawa korban
manusia (pekerja dan yang terkait) dan harta benda berupa peralatan, material dan
bangunan;

6
b) Adanya kesadaran atas nilai luhur martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan
dalam kebersamaan dan kesejahteraan hidup yang menuntut peningkatan
perlindungan dalam bekerja dan di tempat kerja;
c) Ada dan berlakunya Peraturan dan Undang-undang yang mengatur dan mewajibkan
pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3);
d) Kewajiban moral seluruh lapisan dunia usaha dan masyarakat. Sebab, Indonesia
termasuk Negara dan bangsa yang menjunjung hak-hak asasi manusia dan telah
mendatangani Konsensi Internasional tentang K3;
e) Keinginan dari masyarakat jasa konstruksi dan dunia usaha umumnya. Untuk
menciptkan dan melaksanakan kegiatan atau proyek dengan lebih baik, yaitu lancar,
benar, nyaman dan terhindar dari kejadian kecelakaan.

2.3 Kecelakaan Kerja


Kecelakaan Kerja menurut (Heinrich, 1980), merupakan suatu kejadian yang bersifat
kebetulan, tidak direncanakan dan tidak diharapkan dimana terjadi aksi dan reaksi antara
objek, bahan atau material dengan manusia sehingga menimbulkan cedera. Dengan
demikian upaya pencegahan kecelakaan kerja memberikan dampak secara langsung
terhadap keberhasilan peningkatan keselamatan kerja. Kecelakaan dapat terjadi dalam tiga
bentuk, yaitu :
Incident, merupakan kejadian yang dapat menimbulkan kecelakaan atau memiliki
potensi mengarah kepada suatu kecelakaan;
Near miss accident, merupakan kejadian yang tidak menghasilkan sakit, cedera atau
kerusakan tetapi memiliki potensi untuk menyebabkan hal tersebut;
Accident, merupakan kejadian yang tidak diinginkan yang menyebaabkan kematian,
sakit, cedera, kerusakan atau kerugian lainnya.

Ada tiga aspek penting dalam pemahaman accident, yaitu :


- Dampak yang ditimbulkan kecelakaan tidak hanya cidera, tetapi juga kesakitan,
seperti gangguan mental, saraf ataupun gangguan sistematik akibat pajanan;
- Terdapat perbedaan antara definisi injury (cidera pada pekerja) dan accident
(kecelakaan). Injury disebabkan oleh accident, tetapi tidak semua accident
menyebabkan injury;
- Apabila ada kejadian yang mengakibatkan kerusakan property atau fasilitas,
serta ganggguan proses kerja, tetapi tidak menyebabkan injury, maka kejadian
tersebut tetap dikategorikan sebagai incident.

7
Industri konstruksi sangat rawan terhadap kecelakaan kerja. Hal ini disebabkan
karena sifat-sifat khusus konstruksi yang tidak sama dengan industri lainnya yaitu (DK3N,
2000) :
a) Jenis pekerjaan/kegiatan pada industri konstruksi pada setiap proyek sangat
berlainan (tidak standar), sangat dipengaruhi oleh bentuk/jenis bangunan, lokasi,
kondisi dan situasi lingkungan kerja serta metode pelaksanaannya;
b) Pada setiap pekerjaan konstruksi terdapat berbagai macam jenis kegiatan yang
seringkali dilaksanakan secara simultan atau bersamaan dengan tujuan untuk
mencapai target waktu yang tepat sesuai dengan kontrak yang telah disepakati
bersama antara pemilik dan pelaksana proyek;
c) Masih banyaknya kegiatan konstruksi yang menggunakan tangan (manual), yang
mungkin tidak dapat dihindari;
d) Teknologi yang menunjang kegiatan konstruksi selalu berkembang dan bervariasi
mengikuti laju perkembangan kegiatan konstruksi dan tergantung dari jenis-jenis
pekerjaanya;
e) Banyaknya pihak-pihak yang terkait atau ikut ambil bagian atau berperaan aktif untuk
terlaksananya kegiatan konstruksi;
f) Banyaknya tenaga kerja informal yang terlibat pada kegiatan konstruksi dengan turn
over yang tinggi sehingga membutuhkan sistem penanganan yang khusus;
g) Tingkat pengetahuan (knowledge) dari pekerja konstruksi yang beragam atau tidak
merata, baik untuk pengetahuan teknis praktis maupun tingkat manajerial khususnya
dalam pengetahuan peraturan/perundangan yang berlaku.

2.4 Keselamatan Kerja


Keselamatan kerja adalah faktor yang sangat penting agar suatu proyek dapat
berjalan dengan lancar. Dengan situasi yang aman dan selamat, para pekerja akan bekerja
secara maksimal dan semangat. Keselamatan kerja adalah kondisi keselamatan yang
bebas dari resiko kecelakaan dan kerusakan di tempat kerja yang mencangkup tentang
kondisi bangunan, kondisi mesin, peralatan keselamatan dan kondisi pekerja (Simanjuntak,
1994).
Kesalamatan kerja sangat bergantung pada jenis, bentuk dan lingkungan dimana
pekerjaan itu dilaksanakan. Unsur-unsur penunjang keselamatan kerja adalah sebagai
berikut :
a) Adanya unsur-unsur keamanan dan kesehatan kerja;
b) Adanya kesadaran dalam menjaga keamanan dan kesehatan kerja;
c) Teliti dalam bekerja;

8
d) Melaksanakan prosedur kerja dengan memperhatikan keamanan dan kesehatan
kerja.
Faktor keselamatan kerja menjadi penting karena sangat terkait dengan kinerja
karyawan terhadap kinerja perusahaan. Semakin tersedianya fasilitas keselamatan kerja,
semakin sedikit kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja seperti penyataan Jackson
(1999) bahwa keselamatan adalah merujuk pada perlindungan terhadap kesejahteraan fisik
seseorang terhadap cedera yang terkait dengan pekerjaan.

2.5 Kesehatan Kerja


Selain faktor keselamatan, yang juga harus diperhatikan oleh manusia pada
umumnya dan para pekerja konstruksi khususnya adalah faktor kesehatan. Menurut
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1948 menyebutkan bahwa pengertian kesehatan
adalah sebagai suatu keadaan fisik, mental dan sosial kesejahteraan dan bukan hanya
ketiadaan penyakit atau kelemahan.
Didalam Undang-Undang Pokok Kesehatan RI No. 9 Tahun 1960 pada Bab I pasal 2
menjelaskan Kesehatan kerja adalah suatu kondisi kesehatan yang bertujuan agar
masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya, baik jasmani, rohani
maupun sosial, dengan usaha pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit atau
gangguan kesehatan yang disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerja maupun
penyakit umum.

2.6 Manajemen Resiko pada Proyek Konstruksi


Manajemen resiko adalah suatu sistem pengelolaan resiko yang digunakan didalam
suatu organisasi atau perusahaan yang pada dasarnya merupakan suatu proses atau
rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terus menerus (continue), untuk mengendalikan
kemungkinan timbulnya resiko yang membawa konsekuensi merugikan organisasi atau
perusahaan yang bersangkutan (Saptodewo & Soedarsono, 2000).

Adapun cara memperkecil resiko adalah sebagai berikut :


Eliminasi, apabila suatu pekerjaan yang dianggap berbahaya namun masih bisa
dihindari untuk dikerjakan;
Substitusi, jika ada resiko kecelakan dari suatu pekerjaan maka dapat dikerjakan
dengan mengganti metode kerja yang lebih aman;
Isolasi, bahaya yang ada dapat dipisahkan dari pekerja sehingga tidak
mempengaruhi pekerjaan;

9
Safe guards, dapat ditambahkan dengan modifikasi tools atau equipment dengan
memasang pengaman pada mesin atau pasang alat bantu;
Safety prosedure , dengan mematuhi safety procedure agar mengurangi
kemungkinan terjadinya kecelakaan;
Privacy protection equipment ( APD ), adalah perlindungan paling akhir resiko tidak
mungkin dihindari.

2.6.1 Fungsi Identifikasi Resiko


Tahapan dalam manajemen resiko meliputi perencanaan, penilaian (identifikasi dan
anaslisa), penanganan serta pengawasan resiko. Rancangan manajemen resiko proyek
secara formal dilakukan sebelum proyek dilaksanankan (Gray dan Larson, 2000). Penilaian
resiko merupakan tahapan awal dalam program manajemen resiko serta merupakan
tahapan paling penting karena mempengaruhi keseluruhan program dalam manajemen
resiko. Identifikasi resiko berfungsi untuk mendapatkan area-area dan proses-proses teknis
yang memiliki resiko yang potensial untuk selanjutnya dianalisa.

2.6.2 Teknik Identifikasi Bahaya


Menurut John Ridley dalam bukunya Kesehatan dan Keselamatan Kerja,
pengidentifikasian bahaya sebelum bahaya tersebut menyebabkan kecelakaan adalah inti
seluruh kegiatan pencegahan kecelakaan. Akan tetapi, pengidentifikasian bahaya bukanlah
ilmu pasti tetapi merupakan kegiatan subjektif dimana ukuran bahaya yang terindetifikasi
akan berbeda diantara orang satu dengan orang lainnya yang tergantung pada pengalaman
masing-masing, sikap dalam menghadapi resiko, familieritas terhadap proses bersangkutan
dan sebagiannya. Dengan mengulangi atau menjalankan sejumlah teknik
pengidentifikasian, jumlah bahaya residual akan dapat dikurangi karena tidak mungkin
menghilangkan seluruh bahaya tersebut.
Temuan pada setiap inspeksi harus dicatat sehingga dapat dijadikan acuan ketika
memutuskan tindakan korektif yang diperlukan dan untuk membandingkannya dengan
inspeksi sebelumnya.
Banyak teknik identifikasi yang salah satunya dapat dipilih sebagai yang mungkin
paling efektif di organisasi tertentu atau yang dapat menyediakan informasi yang dibutuhkan
dalam proses tertentu. Teknik-teknik tersebut meliputi (Ridley, 2004) :

1) Survei keselamatan kerja


Kadang dinamakan inspeksi keselamatan kerja;
Inspeksi umum terhadap seluruh area kerja;

10
Cenderung kurang rinci dibandingkan tenik-teknik lainnya;
Memberikan gambaran yang menyeluruh tentang keadaan pencegahan kecelakaan
di seluruh area kerja tertentu.

2) Patroli keselamatan kerja


Inspeksi terbatas pada rute yang ditentukan terlebih dahulu;
Perlu merencanakan rute berikutnya untuk memastikan cakupan menyeluruh atas
area kerja;
Mempersingkat waktu setiap inspeksi.

3) Pengambilan sampel keselamatan kerja


Melihat pada satu aspek kesehatan atau keselamatan kerja saja;
Fokuskanlah perhatian untuk melakukan identifikasi lebih rinci;
Perlu merencanakan serangkaian pengambilan sampel untuk mencakup seluruh
aspek kesehatan dan keselamatan kerja.

4) Audit keselamatan kerja


Inspeksi tempat kerja dengan teliti;
Lakukanlah pencarian untuk mengindetifikasi semua jenis bahaya;
Jumlah setiap jenis bahaya yang terindetifikasi harus dicatat;
Dapat dikembangkan menjadi sistem peringkat untuk mengukur derajat kesehatan
dan keselamatan kerja di perusahaan;
Audit ulang perlu dilakukan untuk menilai perbaikan-perbaikan apa saja yang telah
dilakukan.

5) Pemeriksaan lingkungan
Dilakukan berdasarkan pengukuran kosentrasi zat-zat kimia di atmosfir;
Dapat mengindetifikasi kemungkinan bahaya terhadap kesehatan di tempat kerja;
Mencatat pembacaan secara berturut-turut dapat menunjukkan peningkatan atau
kebalikannya;
Instrument elektronik memang mahal namun memberikan pembacaan cepat yang
akurat dan dapat digunakan terus menerus untuk jangka panjang.

6) Laporan kecelakaan
Dibuat setelah kecelakaan;

11
Kecelakaan kecil perlu dicatat dan juga kerugian berupa kehilangan waktu;
Informasi yang diperoleh dari laporan kecelakaan;
Laporan harus dapat mengindikasikan tindakan pencegahan yang diperlukan.

7) Laporan kecelakaan nyaris terjadi


Laporan insiden-insiden yang dalam keadaan yang sedikit berbeda dapat
menyebabkan kecelakaan;
Memerlukan budaya keselamatan kerja yang tepat agar efektif.

8) Masukan dari para karyawan


Secara formal dapat diperoleh melalui komite keselamatan kerja;
Membutuhkan budaya tidak saling menyalahkan untuk memberanikan pekerja
melaporkan masalah;
Para pekerja sering lebih mengetahui dan dapat menyampaikan apa yang perlu
dilakukan;
Perlu umpan balik kepekerja dalam bentuk tindakan untuk mempertahankan
kredibilitas manajeman.

2.7 Teori Domino


Teori domino merupakan teori yang mengurutkan terjadinya kecelakaan, teori ini
diperkenalkan oleh H.W.Heinrich pada tahun 1931 dalam bukunya Industrial Accident
Prevention, A Scientific Approach. Menurut Heinrich, 88% kecelakaan disebabkan oleh
perbuatan suatu tindakan tidak aman dari manusia (unsafe act), sedangkan sisanya
disebabkan oleh hal-hal yang tidak berkaitan dengan kesalahan manusia, yaitu 10%
disebabkan oleh kekeliruan, kesalahan yang dilakukan oleh manusia. Menurutnya, tindakan
dan kondisi yang tidak aman akan terjadi bila manusia berbuat suatu kekeliruan.
Pada Gambar 2.1 terlihat kartu domino disusun berurutan sesuai dengan faktor-
faktor penyebab kecelakaan yang dimaksud oleh Heinrich. Bila kartu pertama atau kartu
ketiga roboh ke kanan maka semua kartu dikanannya akan roboh. Dengan kata lain bila
terdapat suatu kesalahan manusia, maka akan tercipta tindakan dan kondisi yang tidak
aman, dan kecelakaan serta kerugian akan timbul. Heinrich mengatakan rantai kartu
tersebut diputus pada kartu ketiga maka kecelakaan dapat terhindari.

12
Gambar 2.1 Teori Domino
Dalam teorinya, Heinrich mengemukakan lima faktor yang secara berurutan saling
berkaitan yang terakhir pada suatu cedera atau kerugian. Kelima faktor tersebut ialah :
1) Faktor keturunan dan lingkungan (Ancesry or Social Environment);
2) Kesalahan manusia (Worker Fault);
3) Tindakan tidak aman atau kondisi tidak aman (Unsafe Act or Unsafe Condition);
4) Kecelakaan (Accidnet);
5) Cedera (Injury/Loss).
Menurut Heinrich, cara yang paling mudah untuk mencegah terjadinya suatu
kecelakaan atau cedera adalah dengan mencabut atau menghilangkan kartu domino yang
ketiga yaitu Unsafe Act.

Teori domino didasarkan atas teorema sebagai berikut :


1) Jejas di industri disebabkan oleh kecelakaan;
2) Kecelakaan disebabkan langsung oleh tindakan tidak aman dan terpapar terhadap
kondisi tidak aman;
3) Tindakan dan kondisi tidak aman disebabkan oleh kesalahan orang;
4) Kesalahan orang disebabkan oleh lingkungan dan/atau keturunan;
5) Kesalahan manajerial.

Pada teorema kelima sesuah kesalahan seseorang terdapat kesalahan fungsi


manajerial, dimana akibat dari kesalahan tersebut terjadi dikarenakan tidak mambuat
kebijakan K3 yang tepat. Berdasarkan teorema kelima mengenai penyebab kecelakaan
didasarkan juga oleh fungsi manajerial, maka dikeluarkannya Peraturan Menteri Tenaga
Kerja No.5 tahun 1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(SMK3)

2.8 Penanda dan Isyarat Keselamatan Kerja


Penggunaan papan penanda keselamatan yang benar di tempat kerja dapat :
Menggalakkan instruksi-instruksi dan aturan-aturan keselamatan kerja;
Memberikan informasi atas resiko dan tindakan pencegahan yang harus diambil.

13
2.8.1 Warna dasar penanda keselamatan kerja
Terdapat empat warna yang masing-masing memiliki makna berbeda, seperti pada
Tabel 2.1 :

Tabel 2.1 Keterangan Warna Penanda Keselamatan Kerja

Warna Makna Keterangan


Tindakan yang diperlihatkan
Penanda larangan
TIDAK boleh dilakukan
Mematikan, mengevakuasi,
mengoperasikan alat-alat
Merah Penanda berbahaya
darurat, menghentikan
tindakan
Identifikasi peralatan dan
Peralatan pemadam api
lokasinya
Berhati-hati, ambillah
Kuning Penanda peringatan tindakan pencegahan,
lakukan dengan hati-hati
Instruksi HARUS diikuti
Biru Penanda perintah peralatan yang ditunjukkan
harus dikenakan
Penanda informasi Rute keluar darurat, lokasi
Hijau
keselamatan pos P3K
Sumber : Ridley, 2004

Penanda-penanda yang dinyatakan dengan warna-warna tersebut terdiri dari desain dan
bentuk tertentu seperti :
1) Penanda larangan :
Berbentuk lingkaran;
Piktogram hitam diatas dasar putih;
Garis lingkar dan diagonal berwarna merah.
Contoh penanda larangan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Penanda Larangan

2) Penanda pemadam kebakaran :

14
Persegi panjang atau bujursangkar;
Piktogram putih diatas dasar merah.
Contoh penanda pemadam kebakaran pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Penanda Pemadam Kebakaran

3) Penanda peringatan :
Berbentuk segitiga;
Piktogram hitam diatas dasar kuning;
Pinggiran berwarna hitam.
Contoh penanda peringatan pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Penanda Peringatan


4) Penanda perintah :
Berbentuk lingkaran;
Piktogram putih diatas dasar biru.
Contoh penanda perintah pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Penanda Perintah

5) Penanda informasi keselamataan kerja :


Persegi panjang atau bujursangkar;
Piktogram putih diatas dasar hijau.
Contoh penanda informasi keselamtan kerja pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Penanda Informasi Keselamatan Kerja

15
2.8.2 Isyarat-isyarat keselamatan kerja
Berikut ini adalah beberapa isyarat yang digunakan dalam penanganan
pengangkatan dan operasi-operasi lain dimana operator lapangan tidak dapat melihat apa
yang sisi bagian lain yang dikerjakannya. Dalam operasi semacam itu maka :
Seharusnya hanya satu orang (kernet) yang memberikan instruksi kepada operator;
Baik kernet maupun operator, keduanya harus mempunyai pengertian yang sama
mengenai isyarat;
Kernet harus jelas terlihat oleh operator setiap saat (atau melakukan kontak
langsung melalui telepon/radio).
Tipikal isyarat tangan ditunjukkan pada Gambar 2.7, Gambar 2.8, Gambar 2.9 dan Gambar
2.10.

Gambar 2.7 Isyarat Berhenti

Gambar 2.8 Isyarat (1)

Gambar 2.9 Isyarat (2)

16
Gambar 2.10 Isyarat (3)

Penanda dan isyarat keselamatan kerja berguna untuk menginformasikan dan


membuat pelaksanaan kerja lebih aman, tapi penanda dan isyarat tersebut akan lebih efektif
jika para pekerja mengetahui maknanya dan menggunakannya dalam pekerjaan.

2.9 Alat Pelindung Diri


Setiap pekerjaan pasti mengandung resiko yang dapat mengganggu keselamatan
diri para pekerja dan lingkungannya. Untuk meminimalisir kemungkinan resiko tersebut
diperlukan sistem serta perangkat pencegahan dan perlindungan dalam bekerja, salah
satunya adalah Alat Pelindung Diri.
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor
Per.08/Men/VII/2010 tentang Alat Pelindung Diri menjelaskan bahwa Alat Pelindung Diri
selanjutnya disingkat APD adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi
seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya
ditempat kerja. Di dalam Peraturan ini juga disebutkan bahwa Pengusaha wajib
menyediakan APD bagi pekerja/buruh di tempat kerja. Kewajiban menggunakan APD itu
sendiri telah disepakati oleh Pemerintah melalui Departement Tenaga Kerja Republik
Indonesia. APD yang dimaksud dalam Peraturan ini meliputi :
a) Pelindung kepala;
b) Pelindung mata dan muka;
c) Pelindung telinga;
d) Pelindung pernafasan beserta perlengkapannya;
e) Pelindung tangan;
f) Pelindung kaki.
Adapun penjelasan rinci mengenai APD diatas terdapat pada Lampiran 12.

17
Syarat-syarat Alat Pelindung Diri antara lain :
a) APD haruslah memiliki sifat perlindungan terhadap bahaya apapun, berdasarkan
kesesuaian bahan yang digunakan dengan potensi bahaya;
b) APD haruslah seringan mungkin sehingga tidak menimbulkan rasa tidak nyaman;
c) APD harus dibuat dari bahan yang awet dan tahan lama;
d) Penggunaan APD harus memperhatikan mobilitas pekerja sehingga tidak
menganggu aktivitas pekerjaan.

Secara teknis APD tidaklah secara sempurna dapat melindungi tubuh tetapi akan
dapat meminimalisasi tingkat keparahan kecelakaan atau keluhan/penyakit yang terjadi.
Dengan kata lain, meskipun telah menggunakan APD upaya pencegahan kecelakaan kerja
secara teknis, teknologis yang paling utama. APD dipakai apabila usaha rekayasa
(engineering) dan cara kerja yang aman (work practice) telah maksimum. Dalam
penggunaan APD masih memiliki beberapa kelemahan seperti :
Kemampuan perlindungan yang tidak sempurna;
Tenaga kerja tidak merasa aman dan komunikasi terganggu.

18

Anda mungkin juga menyukai