Anda di halaman 1dari 127

Buku Daras Ilmu Pendidikan Islam

PENGERTIAN, RUANG LINGKUP, DAN TUJUAN SERTA KEGUNAAN


ILMU PENDIDIKAN ISLAM

Ilmu Pendidikan Islam tidak mungkin terlepas dari obyek yang menjadi
sasarannya, yaitu manusia, secara filosofis Ilmu Pendidikan Islam harus
mengikutsertakan obyek utamanya, yaitu manusia dalam pandangan Islam.
Sebagai petunjuk Ilahi, Islam mengandung implikasi kependidikan (paedagogis)
yang mampu membimbing dan mengarahkan manusia menjadi seorang mukmin,
muslim, muhsin, dan muttaqin melalui proses tahap demi tahap.

Manusia selain diciptakan sebagai makhluk Allah yang paling mulia, ia juga
diciptakan sebagai khalifah di muka bumi dan berfungsi sebagai makhluk
paedagogik, yaitu makhluk Allah yang dilahirkan dengan membawa potensi yang
dapat dididik dan mendidik. Apabila potensi itu tidak dikembangkan, niscaya ia
kurang bermakna dalam kehidupan. Oleh karena itu, perlu dikembangkan dan
pengembangan itu senantiasa dilakukan dalam usaha dan kegiatan pendidikan
(proses pendidikan).
Pendidikan Islam berarti pembentukan pribadi Muslim, yang berisi
pengamalan sepenuhnya akan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi, pribadi
Muslim itu tidak akan tercapai atau terbina kecuali dengan pengajaran dan
pendidikan Islam. Untuk mengetahui lebih jelas tentang definisi ilmu pendidikan
Islam, ruang lingkup, tujuan dan kegunaannya, berikut akan dipaparkan
pembahasannya satu persatu.

A. Pengertian Ilmu Pendidikan Islam

Secara definitif, ilmu sebagaimana dikemukakan oleh Al-Jurjani dalam


bukunya Al-Tarifat, adalah sebagai berikut:

1. Ilmu merupakan kesimpulan yang pasti yang sesuai dengan keadaan


sesuatu.

2. Ilmu adalah menetapnya ide (gambaran) tentang sesuatu dalam jiwa atau
akal seseorang.

3. Ilmu adalah sampainya jiwa kepada hakekat sesuatu.1


Kata ilmu berasal dari kata dasar Alima - Yalamu yang berarti
mengerti atau memberi tanda (mengetahui). Sehingga ilmu dapat juga dikatakan
sebagai kesimpulan sesuatu yang didapatkan seseorang melalui panca indera, baik
dengan melihat, mendengar, mengucap, menyentuh, mencium, merasa, dan
sebagainya.

Selanjutnya istilah pendidikan menurut tinjauan psikologi pada umumnya


berasal dari kata didik dengan memberinya awalan pe dan akhiran an,
mengandung arti perbuatan (hal, cara, dan sebagainya). Istilah pendidikan ini
semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu paedagogie yang berarti bimbingan
yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris dengan Education yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam
bahasa Arab istilah ini sering diterjemahkan dengan Tarbiyah yang berarti
pendidikan.

Dalam perkembangan istilah pendidikan berarti bimbingan atau


pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang
dewasa agar ia menjadi dewasa. Perkembangan selanjutnya pendidikan berarti
segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk
memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.2

Istilah pendidikan dalam konteks Islam lebih banyak dikenal dengan


term Al-Tarbiyah, Al-Talim, dan Al-Tadib. Setiap term tersebut mempunyai
makna yang berbeda karena perbedaan teks dan konteks kalimatnya, walaupun
dalam hal-hal tertentu term-term tersebut mempunyai kesamaan makna.

Kata pendidikan yang umum digunakan sekarang dalam bahasa Arabnya


adalah Tarbiyah dengan kata kerja rabba. Sedangkan pendidikan Islam
bahasa Arabnya adalah Tarbiyah Islamiyah. Dalam ayat Al-Quran kata ini
digunakan dalam susunan sebagai berikut:

Artinya: ..Ya Tuhan, sayangilah keduanya (ibu bapakku) sebagaimana mereka


telah mengasuhku (mendidikku) sejak kecil. (QS. Al-Isra: 24)

Dalam bentuk kata benda, kata rabba ini digunakan juga untuk Tuhan,
mungkin karena Tuhan juga bersifat mendidik, mengasuh, memelihara, bahkan
mencipta.

Kata lain yang mengandung arti pendidikan adalah Tadib seperti


dalam sabda Rasulullah:
Artinya: Tuhan telah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku.3

Kata Talim berasal dari kata kerja allama yang berarti pengajaran.
Pendidikan dan pengajaran dalam bahasa Arabnya adalah Tarbiyah wa Talim.
Dari segi bahasa, perbedaan arti dari kedua kata itu cukup jelas, namun yang lebih
banyak digunakan dalam Al-Quran, Hadis, atau pemakaian sehari-hari adalah
kata Talim daripada kata Tarbiyah. Firman Allah:

Artinya: Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama semuanya.. (QS. Al-


Baqarah: 31)

Firman Allah:

Artinya: Berkata (Sulaiman): Wahai manusia, telah diajarkan kepada kami


pengertian bunyi burung. (QS. Al-Naml: 16)

Kata allama pada kedua ayat di atas mengandung pengertian sekadar


memberi tahu atau memberi pengetahuan, tidak mengandung pembinaan
kepribadian.

Lain halnya dengan kata rabba, addaba dan sejenisnya. Di dalam kata
tersebut jelas mengandung pengertian pembinaan, pimpinan, pemeliharaan, dan
sebagainya.4

Kemudian di sini juga akan diungkapkan pengertian pendidikan Islam


menurut beberapa ahli, di antaranya:

1. Muhammad Athiyah Al-Abrasy memberikan pengertian bahwa Pendidikan


Islam adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan
bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya,
teratur pikirannya, halus perasaannya, cakap dalam pekerjaannya dan manis
tutur katanya.

2. Ahmad D. Marimba memberikan pengertian bahwa Pendidikan Islam adalah


bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam
menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran
Islam.5
Dengan memperhatikan kedua definisi di atas, maka berarti pendidikan
Islam adalah suatu proses edukatif yang mengarah kepada pembentukan akhlak
atau kepribadian.

Islam adalah agama wahyu yang berlandaskan kepada Al-Quran dan


Hadis yang disampaikan kepada umat Islam melalui Rasulullah SAW. Oleh karena
itu, pendidikan Islam tidak boleh dilepaskan begitu saja dari ajaran Islam yang
tertuang dalam kedua sumber tersebut yang merupakan pedoman otentik dalam
penggalian khazanah keilmuan apapun.

berdasarkan uraian-uraian tersebut, dapat diberikan pengertian bahwa ilmu


pendidikan Islam adalah ilmu yang mempelajari tentang teori-teori atau usaha
membimbing dan membina jasmani dan rohani anak didik oleh orang dewasa
sesuai dengan ajaran Islam yang bersumber pada Al-Quran dan Hadis.

B. Ruang Lingkup Ilmu Pendidikan Islam

1. Anak Didik

Pendidikan ibarat uang logam, selalu memiliki dua sisi yang bisa
dibedakan, tetapi tidak bisa dipisahkan. Satu sisi ada yang bertugas sebagai
pendidik, di sisi lain ada yang bertugas sebagai peserta/anak didik. Proses
pendidikan berarti terjadinya aktivitas antara pemberi dan penerima.

Anak didik merupakan salah satu dari dua sisi tersebut yang memiliki
tugas menerima konsep pendidikan agar dirinya terbentuk sebagai insan muslim
yang kenal dan tahu akan Tuhan dan agamanya, memiliki akhlak Al-Quran,
bersikap, bersifat, dan bertindak sesuai dengan kaidah Al-Quran, berpikir dan
berbuat demi kepentingan umat serta selalu turut ambil bagian dalam kegiatan
pembangunan manusia seutuhnya.

Dalam membicarakan anak didik, ada dua hal penting yang harus
diperhatikan oleh pendidik, yaitu:

1. Hakikat Anak Didik

Membicarakan anak didik sesungguhnya kita membicarakan hakikat


manusia yang memerlukan bimbingan. Para ahli psikologi mempunyai pandangan
yang berbeda terhadap manusia. Aliran psikoanalis beranggapaan bahwa tingkah
laku manusia pada dasarnya digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam yang
mengontrol kekuatan psikologis yang sejak semula ada dalam diri individu.
Aliran humanistik mengatakan bahwa manusia senantiasa dalam proses
untuk wujud (becoming) namun tak pernah selesai dan tidak pernah sempurna.
Tingkah laku manusia digerakkan oleh rasa tanggung jawab sosial dan kebutuhan
untuk mencapai sesuatu. Sementara aliran behaviorisme beranggapan bahwa
tingkah laku manusia merupakan reaksi dari rangsangan yang datang dari luar
dirinya. Manusia dapat dipengaruhi oleh lingkungan karena proses interaksi terus
menerus antar individu dengan lingkungannya.

Islam menempatkan manusia sebagai makhluk yang termulia dari semua


makhluk Tuhan lainnya dan memberikan kepadanya amanah sebagai khalifah di
jagad raya ini. Firman Allah:

Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:


Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi
. (QS. Al-Baqarah: 30)

2. Kebutuhan Anak Didik

Al-Qussy membagi kebutuhan manusia ke dalam dua kebutuhan pokok,


yaitu: a) kebutuhan primer, yaitu kebutuhan jasmani seperti makan, minum, seks,
dan sebagainya. b) kebutuhan sekunder, yaitu kebutuhan rohaniah. Selanjutnya ia
membagi kebutuhan rohaniah kepada 6 (enam) macam, yaitu kebutuhan kasih
sayang, rasa aman, rasa harga diri, rasa bebas, sukses dan kebutuhan akan suatu
kekuatan pembimbing atau pengendalian diri manusia seperti pengetahuan.

Kemudian Law Head, membagi kebutuhan manusia kepada: kebutuhan


jasmani dan rohani, seperti istirahat, rekreasi, dan lain-lain, kebutuhan sosial serta
kebutuhan agama.6

Di kalangan ahli pendidikan timbul suatu problem tentang apakah benar


anak itu dapat dibimbing melalui jalur pendidikan? Maka seiring dengan itu
terdapat tiga aliran yaitu: 1) Aliran Nativisme, yang berpendapat bahwa sejak lahir
anak telah mempunyai pembawaaan yang kuat, sehingga tidak dapat menerima
pengaruh dari luar (lingkungan). Baik buruknya seorang anak sangat ditentukan
oleh pembawaan yang dimilikinya. Aliran ini dikemukakan oleh Schopenhauer
dari Jerman. 2) Aliran Empirisme, yang dipelopori oleh John Locke yang
mengemukakan pendapatnya dengan teori tabula rasa. Ia mengatakan bahwa
pendidikan sangat mampu memberikan pengaruh yang kuat terhadap
perkembangan anak. Baik buruknya seorang anak tergantung kepada pendidikan
yang ia terima dari lingkungan sekitarnya. 3) Aliran Konvergensi, yang dianggap
sebagai perpaduan dari kedua aliran sebelumnya. Aliran ini dipelopori oleh
William Stern, yang berpendapat bahwa perkembangan jiwa anak dipengaruhi
oleh pembawaan yang dimilikinya di samping lingkungan yang ada di sekitarnya,
atau dengan kata lain, bahwa perkembangan anak itu tergantung pada pembawaan
dan pendidikan.7

Dari ketiga aliran tersebut di atas, aliran konvergensi dinilai memiliki


persamaan dengan konsep ajaran Islam. Menurut konsep ajaran Islam, bahwa
setiap anak mempunyai pembawaan (kecenderungan) untuk beragama yang
dikenal dengan istilah fitrah. Namun fitrah (potensi dasar) tersebut dapat
berkembang ke arah yang lebih positif apabila memperoleh pendidikan/bimbingan
yang baik dari lingkungan sekitarnya dan sebaliknya, fitrah (potensi dasar)
tersebut dapat berkembang ke arah yang lebih negatif apabila memperoleh
pendidikan/bimbingan yang buruk dari lingkungan sekitarnya.

2. Pendidik

Dalam konteks pendidikan Islam, pendidik sering disebut dengan


murabbi, muallim, dan muaddib. Ketiga term tersebut mempunyai semantis
masing-masing sesuai dengan penggunaannya dalam konteks pendidikan Islam.
Di samping itu istilah pendidik juga disebut dengan istilah/panggilan Al-Ustadz
dan Al-Syaikh.

Sebagaimana teori Barat, pendidik dalam Islam adalah orang-orang yang


bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik dengan mengupayakan
perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi afektif, potensi kognitif,
maupun potensi psikomotorik.8

Pendidik berarti juga orang dewasa yang bertanggung jawab memberikan


pertolongan pada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar
mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dalam memenuhi tugasnya
sebagai hamba Allah dan khalifah Allah SWT serta mampu mewujudkan dirinya
sebagai makhluk sosial (Zoon Politicon) dan sebagai makhluk individu yang
mandiri.
Pendidik yang utama dan pertama adalah orang tua (ayah dan ibu).
Mereka bertanggung jawab penuh atas perkembangan anak-anaknya sejak dalam
kandungan sampai mereka beranjak dewasa. Oleh karena itu kesuksesan anak
dalam mewujudkan dirinya sebagai khalifah Allah juga merupakan kesuksesan
orang tua sebagai pendidiknya. Allah SWT berfirman:

Artinya: ..Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. (QS. Al-
Tahrim: 6)

3. Kurikulum

Secara etimologi kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu Curir


yang artinya pelari dan Curere yang berarti tempat berpacu. Jadi istilah
kurikulum ternyata berasal dari dunia olah raga pada zaman Romawi Kuno di
Yunani, yang mengandung pengertian suatu jarak yang harus ditempuh oleh
pelari dari garis start sampai garis finish.9

Dalam bahasa Arab, kata kurikulum agaknya dapat diterjemahkan dengan


istilah manhaj yang berarti jalan yang terang yang dilalui oleh manusia pada
berbagai bidang kehidupan.

Secara terminologi, istilah kurikulum digunakan dalam dunia pendidikan,


dengan pengertian sejumlah pengetahuan atau mata pelajaran yang harus
ditempuh atau diselesaikan siswa guna mencapai satu tingkatan atau ijazah.

Pengertian kurikulum dalam bidang pendidikan terdapat banyak rumusan


dari para ahli, yaitu:

1. William B. Ragan mengatakan bahwa kurikulum adalah seluruh usaha sekolah


untuk merangsang anak belajar, baik di kelas maupun di luar kelas.

2. Addamardasy Sarham dan Munir Kamil mendefinisikan kurikulum sebagai


sejumlah pengalaman pendidikan, budaya, sosial, olah raga, dan seni yang
disediakan oleh sekolah bagi muridnya, baik di dalam maupun di luar sekolah
dengan maksud membantunya untuk berkembang dalam segala segi dan untuk
mengubah tingkah laku mereka ke arah yang sesuai dengan tujuan-tujuan
pendidikan.
4. Metode

Metode berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata Metha dan
Hodos. Metha berarti melalui atau melewati. Sementara Hodos berarti
jalan atau cara. Oleh karena itu, metode berarti jalan/cara yang harus dilalui untuk
mencapai tujuan tertentu, dalam bahasa Arab disebut dengan Thariqah.

Dalam konsep pendidikan, kata metode sering digandengkan dengan kata


mengajar atau yang lebih dikenal dengan istilah metodologi pengajaran.
Mengajar berarti menyajikan atau menyampaikan sesuatu (sejumlah bahan
pelajaran) kepada anak didik10. Jadi metode pengajaran adalah suatu cara yang
harus dilalui untuk menyajikan bahan pelajaran agar tercapai tujuan pengajaran.11

Metode pengajaran yang umum dikenal dalam dunia pendidikan terdiri


dari : metode ceramah, metode diskusi, metode eksperimen, metode demonstrasi,
metode pemberian tugas, metode sosiodrama, metode drill, metode kerja
kelompok, metode tanya jawab, metode simulasi, metode karya wisata, dan
sebagainya.

5. Evaluasi

Evaluasi berasal dari kata to evaluate yang berarti menilai. Kata nilai
menurut filosofi pengertiannya ialah idea of worth. Menurut Edwin dan Gerald
Brown, evaluasi (penilaian dalam pendidikan) berarti seperangkat tindakan atau
proses untuk menentukan nilai sesuatu yang berkaitan dengan dunia
pendidikan.12 Penilaian dalam pendidikan Islam bertujuan agar keputusan-
keputusan yang berkaitan dengan pendidikan Islam benar-benar sesuai dengan
nilai-nilai yang Islami, sehingga tujuan pendidikan Islam yang dicanangkan dapat
tercapai. Penilaian dan pengukuran dalam pendidikan Islam akan objektif bila
didasarkan pada Al-Quran dan Hadis.

6. Lingkungan

Dalam arti yang luas lingkungan mencakup iklim, geografis, tempat


tinggal, adat istiadat, pengetahuan, pendidikan dan alam.13 Dengan kata lain
lingkungan adalah segala sesuatu yang tampak dan terdapat dalam kehidupan
yang senantiasa berkembang.14 Lingkungan adalah seluruh yang ada, baik
manusia, maupun benda buatan manusia, atau alam yang bergerak atau tidak,
kejadian-kejadian, atau hal-hal yang mempunyai hubungan dengan seseorang.
Sejauh mana seseorang berhubungan dengan lingkungannya, sejauh itu pula
keterbukaan/peluang masuknya pengaruh pendidikan kepadanya.

7. Alat Pendidikan

Untuk mencapai tujuan, pendidikan memerlukan berbagai alat yang


dikenal dengan istilah media pendidikan, audio visual, alat peraga, sarana dan
prasarana pendidikan, dan sebagainya. Media pendidikan meliputi segala sesuatu
yang dapat membantu proses pencapaian tujuan pendidikan.15 Oleh karena
pendidikan Islam mengutamakan pengajaran ilmu dan pembentukan akhlak, maka
media untuk mencapai ilmu adalah media pendidikan ilmu, sedangkan media
untuk pembentukan akhlak adalah pergaulan.

C. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam

1. Dasar Pendidikan Islam

Dasar adalah landasan untuk berdirinya sesuatu. Fungsi dasar adalah


memberikan arah kepada tujuan yang akan dicapai dan sekaligus sebagai landasan
untuk berdirinya sesuatu.16

Dasar pendidikan di suatu negara disesuaikan dengan dasar filsafat


negaranya. Oleh karena itu, pendidikan Islam di Indonesia selain berdasarkan
kepada dasar-dasar yang berlaku secara umum yaitu Al-Quran, As-Sunnah, dan
ijtihad harus pula berdasarkan filasafat hidup bangsa Indonesia dan perundang-
undangan yang secara langsung maupun tidak langsung dapat dijadikan pegangan
dalam melaksanakan pendidikan agama di sekolah-sekolah ataupun di lembaga-
lembaga pendidikan formal di Indonesia. Dasar-dasar tersebut adalah sebagai
berikut:

(1). Dasar Ideal


Dasar ideal adalah dasar dari falsafah negara yaitu Pancasila, dengan sila
pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini mengandung pengertian bahwa
seluruh bangsa Indonesia harus percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa atau
tegasnya harus beragama.

Proses pendidikan untuk mencetak manusia-manusia yang bertaqwa


kepada Tuhan Yang Maha Esa diperlukan adanya pendidikan agama yang
dilaksanakan di lembaga-lembaga pendidikan formal, nonformal, dan informal.

(2). Dasar Struktural

Dasar struktural adalah UUD 1945, dalam Bab XI pasal 29 ayat 1 dan 2
yang berbunyi:

1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk


agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaannya itu.

(3). Dasar Operasional

Dasar operasioanal adalah dasar yang mengatur secara langsung


pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah. Setelah Dekrit Presiden 5 Juli
1959 pendidikan agama mulai dimasukkan ke dalam sekolah-sekolah di
Indonesia. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang bersidang
tahun 1960 mengeluarkan ketetapan N0. II/MPRS/1960 yang dalam Bab II pasal 2
ayat (2) menyatakan: Pendidikan agama menjadi pelajaran di sekolah-sekolah
mulai dari Sekolah Dasar sampai universitas negeri, dengan pengertian bahwa
murid-murid berhak untuk tidak ikut serta jika wali murid atau murid yang sudah
dewasa menyatakan keberatan.17

Ketetapan MPRS tanggal 5 Juli 1966 No. XXVII/MPRS/1966 pasal 1


yang berbunyi: Mengubah diktum ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 Bab II
pasal 2 ayat (2) dengan menghapus kata dengan pengertian bahwa murid-murid
berhak untuk tidak ikut serta jika wali murid atau murid yang sudah dewasa
menyatakan keberatan. Sehingga kalimatnya berbunyi: Menetapkan pendidikan
agama menjadi pelajaran di sekolah-sekolah dari Sekolah Dasar sampai
Universitas.
2. Tujuan Pendidikan Islam

Tujuan adalah suatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha dan
kegiatan selesai. Oleh karena itu, pendidikan sebagai usaha dan kegiatan yang
berproses melalui tahap-tahap dan tingkatan-tingkatan, maka tujuannya pun harus
bertahap dan bertingkat.

Kalau melihat kembali pengertian pendidikan Islam maka akan tergambar


dengan jelas sesuatu yang diharapkan dapat terwujud setelah orang mengalami
pendidikan Islam secara keseluruhan, yaitu terwujudnya pribadi-pribadi insan
kamil/manusia seutuhnya; sehat jasmani dan rohani, dapat hidup dan berkembang
secara wajar dan normal dan bertaqwa kepada Allah SWT.

Berikut ini akan dijelaskan berbagai tujuan ideal pendidikan, antara lain:

(1) Tujuan Umum

Tujuan umum ialah tujuan yang akan dicapai dari semua kegiatan, baik
dengan pengajaran atau dengan cara lain. Sementara cara atau alat yang paling
efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikan adalah pengajaran.

Tujuan umum pendidikan Islam harus dikaitkan pula dengan tujuan


pendidikan nasional negara tempat pendidikan Islam itu dilaksanakan dan harus
dikaitkan pula dengan tujuan institusional lembaga yang menyelenggarakan
pendidikan tersebut.

(2) Tujuan Akhir

Pendidikan Islam itu berlangsung sepanjang usia (long life education)


maka tujuan akhirnya harus tercapai sewaktu hidup di dunia ini berakhir. Tujuan
akhir pendidikan Islam itu dapat dipahami dari Firman Allah SWT:

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah


dengan sebenar-benarnya taqwa, dan janganlah kamu mati kecuali
dalam keadaan muslim (menurut ajaran Islam). (QS. Ali Imran: 102)
(3). Tujuan Sementara

Tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik
diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum
pendidikan formal.

(4) Tujuan Operasional

Tujuan operasional adalah tujuan praktis yang akan dicapai dengan


sejumlah kegiatan pendidikan tertentu. Satu unit kegiatan pendidikan dengan
bahan-bahan yang sudah dipersiapkan dan diperkirakan akan mencapai tujuan
tertentu disebut tujuan operasional. Dalam pendidikan formal tujuan operasional
ini disebut juga dengan tujuan instruksional yang selanjutnya dikembangkan
menjadi tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus.18

Selain tujuan-tujuan tersebut di atas, para filosof juga mempunyai


rumusan yang berbeda tentang tujuan pendidikan:

1. Aristoteles, mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mempersiapkan akal


untuk memperoleh ilmu pengetahuan sebagaimana bumi disiapkan untuk
tumbuh-tumbuhan dan hewan.

2. Immanuel Kant, mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk


mengangkat manusia kepada kesempurnaan yang mungkin dicapai.

3. Herbert Spencer (filosof Inggris) mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah


mempersiapkan manusia supaya dapat hidup dengan kehidupan yang
sempurna.19

Perbedaan rumusan mereka tentang tujuan pendidikan disebabkan berbedanya


pandangan hidup masing-masing filosof tersebut. Berikut ini akan diuraikan
contoh tentang perbedaan tujuan pada beberapa bangsa/negara yang disesuaikan
dengan falsafah masing-masing.

(1) Sparta

Tujuan pendidikan di Sparta adalah mempersiapkan laki-laki yang kuat


jasmaninya dalam peperangan dan fasih pembicaraannya.
(2) Athena

Tujuan pendidikan di Athena adalah mempersiapkan individu-individu


supaya menjadi individu yang utuh (The excellence man of man). Maksudnya
ialah supaya seseorang itu mampu berdikari sendiri dan harmonis dalam
tingkah lakunya dan seimbang pula antara kekuatan jasmani dan rohaninya
serta baik akhlaknya, perkataannya, dan perbuatannya.

(3) Jepang Modern

Tujuan pendidikan di Jepang adalah menghasilkan pegawai-pegawai yang


ikhlas dan setia kepada kerajaan dan mempergunakan ilmu pengetahuan yang
diperolehnya untuk kepentingan kerajaan.20

Pendidikan Islam juga mempunyai tujuan tersendiri sesuai dengan falsafah


dan pandangan hidup yang digariskan Al-Quran. Ibnu Khaldun mengatakan
bahwa tujuan pendidikan Islam mempunyai dua tujuan, yaitu:

1. Tujuan keagamaan, maksudnya adalah beramal untuk akhirat, sehingga ia


menemui Tuhannya dan telah menunaikan hak-hak Allah yang diwajibkan
atasnya.

2. Tujuan ilmiah yang bersifat keduniaan, yaitu apa yang diungkapkan oleh
pendidikan modern dengan tujuan kemanfaatan atau persiapan untuk
kehidupan.

Al-Ghazali berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam yang paling utama


adalah beribadah dan taqarrub kepada Allah dan kesempurnaan insani yang
tujuannya kebahagiaan dunia dan akhirat.21

Selain dari pandangan tersebut, terdapat para cendikiawan muslim dan


ahli-ahli pendidikan Islam lain yang membuat rumusan mereka masing-masing
tentang tujuan pendidikan Islam, antara lain:

(1) Prof. Soleh Abdul Azis dan Dr. Abdul Azis Abdul Majid mengatakan bahwa
tujuan pendidikan Islam ialah untuk mendapatkan keridhaan Allah dan
mengusahakan penghidupan.

(2) Mustafa Amin mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam ialah


mempersiapkan amalan seseorang untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.

(3) Abdullah Fayad mengatakan bahwa pendidikan Islam mengarah kepada dua
tujuan:

a. Persiapan untuk kehidupan akhirat


b. Membentuk seseorang dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk
menunjang kesuksesannya hidup di dunia. Sesuai dengan Firman Allah:

Artinya: Dan carilah apa yang dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)


kampung akhirat dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dari
(kenikmatan) duniawi. (QS. Al-Qashas: 77)

Namun selanjutnya, karena pendidikan Islam yang dimaksud di sini adalah


pendidikan Islam yang berlaku di Indonesia, maka haruslah berorientasi kepada
tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional dirumuskan dengan
mendasarkan kepada pandangan hidup bangsa yaitu Pancasila. Sehingga
diharapkan lembaga pendidikan Islam di Indonesia dapat melahirkan manusia
muslim yang Pancasilais. Tujuan pendidikan di Indonesia telah digariskan dalam
UU No. 12 tahun 1945 dan UU No. 4 tahun 1950. Dalam pasal 3 dari Undang-
undang tersebut dirumuskan tujuan pendidikan sebagai berikut:

Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila


yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.22

Sejalan dengan perkembangan sejarah dan perubahan sosial, maka


rumusan tujuan pendidikan yang tercantum dalam UU No. 12 tahun 1945 dan UU
No. 4 tahun 1950 mengalami perubahan untuk lebih disempurnakan. Di dalam
UU No. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional tujuan pendidikan
dinyatakan sebagai berikut: Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur,
memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian mantap dan mandiri serta bertanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan.23

Selanjutnya dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20


tahun 2003 tujuan pendidikan dinyatakan bahwa: Pendidikan nasional bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.24
Di dalam rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut jelas bahwa dalam
rangka pembinaan manusia seutuhnya, unsur iman dan taqwa menjadi sesuatu
yang mutlak diperlukan.

Adapun tujuan akhir pendidikan Islam pada hakikatnya adalah realisasi


dari ajaran Islam itu sendiri yang membawa misi bagi kesejahteraan umat manusia
sebagai hamba Allah, lahir dan bathin, di dunia dan akhirat.

D. Kegunaan Ilmu Pendidikan Islam

Setelah memperhatikan dasar-dasar dan tujuan pendidikan Islam


sebagaimana yang telah disebutkan, maka berikut ini akan diungkapkan kegunaan
ilmu pendidikan Islam:

1. Untuk mengembangkan potensi yang ada pada anak didik Muslim sebagai
makhluk yang dapat dididik.

2. Untuk mewariskan nilai-nilai budaya Islam kepada anak didik sebagai generasi
penerus/calon pemimpin umat.

3. Karena ilmu pendidikan Islam berlandaskan Al-Quran dan Hadis yang


keduanya menggunakan bahasa Arab, dengan demikian dapat melatih dan
mempraktikkan bahasa tersebut kepada anak didik Muslim.

4. Untuk memberikan pengertian kepada anak didik bahwa dirinya bukan hanya
sebagai seorang Muslim yang berpedoman kepada Al-Quran dan Hadis, tetapi
ia juga seorang warga negara Indonesia yang memiliki falsafah hidup bangsa
yaitu Pancasila dan UUD 1945.

E. Kesimpulan

Ilmu Pendidikan Islam adalah ilmu yang mempelajari teori-teori atau


usaha membimbing dan membina jasmani dan rohani anak didik yang dilakukan
oleh orang dewasa sesuai dengan ajaran Islam yang bersumber kepada Al-Quran
dan Hadis.

Ruang lingkup ilmu pendidikan Islam meliputi: anak didik, pendidik,


lingkungan, kurikulum, metode, alat pendidikan, evaluasi, serta dasar-dasar dan
tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan Islam adalah terwujudnya pribadi-pribadi insan
kamil/manusia seutuhnya; sehat jasmani dan rohani, dapat hidup dan berkembang
secara wajar dan normal dan bertaqwa kepada Allah SWT.

Kegunaan ilmu pendidikan Islam di antaranya adalah untuk


mengembangkan potensi yang ada pada anak didik sebagai generasi penerus
bangsa, untuk memperluas pengetahuan kebahasaan, khususnya bahasa Arab,
sebagai bahasa Al-Quran dan Hadis, juga untuk memberikan pengertian kepada
anak didik bahwa di samping ia sebagai muslim yang memiliki pedoman hidup
Al-Quran dan Hadis, ia juga sebagai warga negara Indonesia yang memiliki
falsafah hidup bangsa, yaitu Pancasila dan UUD 1945.

(Endnotes)

1 Tim Dosen Sunan Ampel Malang, Dasar-dasar Kependidikan Islam, (Surabaya:


Karya Aditama, 1996), Cet. I, h. 16
2 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), Cet. I, h.1
3 Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992),
Cet. Ke-2, h. 25-26
4 Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, h. 27
5 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, h. 3-4
6 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, h. 48-55
7 Zuhairini, et.al., Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya: PT Usaha
Nasioanal, 1983), Cet. Ke-8, h. 29-30
8 Muhaimin dan Abdul Majid, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian dan
Kerangka Dasar Operasionalnya, (Bandung: PT Trigenda Karya, 1993), Cet. I,
h. 4
9 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, h. 61
10 Bandingkan dengan: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Edisi Ke-2, Cet. Ke-5, h.14
11 Ibid, h. 77-78
12 Ibid., h. 97
13 Bandingkan dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op. Cit., h. 595
14 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), Cet.
Ke-2, h. 63
15 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, h. 80
16 Bandingkan dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit., h. 211
17 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, h. 18-20
18 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, h. 29-32
19 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, h. 25
20 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, h. 24
21 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, h. 25-26
22 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, h. 31
23 Undang-undang RI No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
(Bandung: Fokus Media, 2003), h. 75
24 Undang-undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
(Bandung: Fokus Media, 2003), h. 7

BAB II
DASAR-DASAR
ILMU PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan Islam merupakan pengembangan pikiran, penataan perilaku,
pengaturan emosional, hubungan peranan manusia dengan dunia ini, serta
bagaimana manusia mampu memanfaatkan dunia sehingga mampu meraih tujuan
kehidupan sekaligus mengupayakan perwujudannya. Seluruh ide tersebut telah
tergambar secara utuh dalam dalam suatu konsep dasar yang kokoh. Islam pun
telah menawarkan konsep akidah yang wajib diimani agar dalam diri manusia
tertanam perasaan yang mendorongnya pada perilaku normatif yang mengacu
pada syariat Islam. Perilaku yang dimaksud adalah penghambaan manusia
berdasarkan pemahaman atas tujuan penciptaan manusia itu.

Aspek keimanan dan keyakinan menjadi landasan aqidah yang mengakar


dan integral serta menjadi motivator yang menggugah manusia untuk
berpandangan ke depan serta optimis, sungguh-sungguh dan kesadaran. Sudah
barang tentu kesemuanya ini berdasarkan pada suatu sumber pokok yaitu Al-
Quran dan Hadis.1

Pada Bab ini, akan dipaparkan pengertian dan dasar-dasar pendidikan


Islam.

A. Pengertian Dasar Ilmu Pendidikan Islam

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata dasar berarti: 1. alas;


fundamen 2. pokok atau pangkal suatu pendapat (ajaran, aturan); asas 3. lapisan
yang paling bawah.2 Oleh karena itu, dasar adalah landasan untuk berdirinya
sesuatu. Fungsi dasar adalah memberikan arah kepada tujuan yang akan dicapai
dan sekaligus sebagai landasan untuk berdirinya sesuatu.

Kata ilmu secara etimologi berasal dari bahasa Arab ilmu yang
berarti idrak al-syai (pengetahuan terhadap sesuatu). Orang yang tahu disebut
alim, sedangkan orang yang mencari tahu (ilmu) disebut Mutaallim. Jadi
ilmu berarti pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem
menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan
gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.3

Istilah pendidikan berasal dari kata didik yang telah mendapat prefiks
pe dan sufiks an mengandung arti proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan pelatihan.4
Sedangkan kata Islam berasal dari bahasa Arab yang berarti selamat
(jalannya orang-orang yang diberi petunjuk). Al-Jurjani mendefinisikan Islam
sebagai rasa ketundukan dan kepatuhan terhadap semua ajaran yang dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW.5 Islam adalah agama yang paling benar di sisi Allah,
yang berlandaskan Al-Quran dan Hadis.

Dengan demikian, dasar pendidikan Islam berarti landasan yang


digunakan dalam melakukan proses pendewasaan anak didik; baik pada aspek
kognitif, afektif, dan psikomotoriknya sesuai dengan ajaran Al-Quran dan Hadis.

B. Dasar Ilmu Pendidikan Islam

1. Dasar Ideal

Berbicara tentang dasar ilmu pendidikan Islam berarti juga berbicara


tentang kitab suci Al-Quran dan Sunnah Rasul. Karena semua aspek kehidupan
yang terkandung di dalam ajaran Islam berasaskan kepada kedua sumber pokok,
yaitu Al-Quran dan Hadis. Kedua dasar ini kemudian dikembangkan sesuai
dengan pemahaman para ulama, baik dalam bentuk qiyas syari, ijma yang
diakui, ijtihad, dan tafsir yang benar dalam bentuk hasil pemikiran yang
menyeluruh dan terpadu; tentang jagat raya, manusia, masyarakat dan bangsa,
pengetahuan kemanusiaan, dan akhlak dengan merujuk kepada sumber asal (Al-
Quran dan Hadis) sebagai sumber utama.6

Alasan bahwa pendidikan Islam bersumber pada Al-Quran dan Hadis


adalah berdasarkan firman Allah:

Artinya: ...Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. al-
Maaidah: 44)

Artinya: ...Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka
sesungguhnya ia akan bahagia sebenar-benar bahagia. (QS. Al-
Ahzab: 71)

Ayat pertama tegas mengatakan bahwa dasar hukum yang dapat dijadikan
sebagai sumber rujukan dalam mengambil segala kebijakan, termasuk bidang
pendidikan adalah Al-Quran. Sementara ayat kedua menjelaskan bahwa percaya
dan mematuhi Allah tidaklah cukup tanpa beriman dan mematuhi Rasul-Nya
sebagai penjelas dari segala ajaran yang diwahyukan Allah. Oleh karena itu,
apabila seseorang mematuhi Allah dan Sunah Rasul-Nya, maka ia akan
memperoleh kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.

Sebaliknya, apabila manusia tidak mengatur seluruh aspek kehidupannya


dengan berlandaskan kepada kitab Allah dan Sunnah Rasul, maka kehidupan
mereka akan menjadi sempit (sengsara) dan dikuasai oleh setan. Sebagaimana
dijelaskan dalam firman-Nya:

Artinya: Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka adalah
baginya kehidupan yang sempit. (QS Thaha: 124)

Said Ismail Ali, sebagaimana dikutip oleh Hasan Langgulung


menyebutkan bahwa dasar ideal pendidikan Islam terdiri dari enam macam, yaitu:
Al-Quran, Hadis, kata-kata sahabat, kemaslahatan umat, nilai-nilai dan adat
kebiasaan masyarakat, serta hasil pemikiran para intelektual muslim.7 Berikut ini
akan dijelaskan dasar-dasar yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:

a. Al-Quran

Bagi setiap umat yang memeluk Islam sebagai agamanya dianugerahkan


oleh Allah sebuah kitab suci Al-Quran yang komprehensif menjelaskan pokok-
pokok ajaran yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu,
sudah barang tentu dasar pendidikan sebagai bagian dari aspek kehidupan
manusia adalah bersumber kepada Al-Quran.

Nabi Muhammad SAW sebagai pendidik pertama pada masa awal


pertumbuhan Islam telah menjadikan Al-Quran sebagai dasar pendidikan Islam di
samping Sunnah beliau sendiri.8 Kedudukan Al-Quran sebagai sumber pokok
pendidikan Islam dapat dipahami dari ayat lain, di samping ayat yang telah
disebutkan sebelumnya, yaitu firman Allah:

Artinya: Dan Kami tidak menurunkan kepadamu (Al-Quran) ini melainkan


agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka perselisihan itu dan
menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS. Al-Nahl:
64)
Sehubungan dengan masalah ini, Muhammad Fadhil Al-Jamali
menyatakan sebagai berikut: Pada hakikatnya Al-Quran itu merupakan
perbendaharaan yang besar untuk kebudayaan manusia, terutama bidang
kerohanian. Al-Quran pada umumnya merupakan kitab pendidikan
kemasyarakatan, moral (akhlak), dan spiritual (kerohanian).

Begitu pula halnya, Al-Nadwi, sebagaimana dikutip Ramayulis,


mempertegas dengan menyatakan bahwa: Pendidikan dan pengajaran umat Islam
itu haruslah bersumber kepada aqidah Islamiyah. Sekiranya pendidikan umat
Islam itu tidak didasarkan kepada aqidah yang bersumberkan Al-Quran dan
Hadis, maka pendidikan itu bukanlah pendidikan Islam, tetapi pendidikan asing.9

Islam memiliki objek keyakinan yang jelas karena disajikan secara


memuaskan lewat Al-Quran yang dengannya manusia akan menyaksikan realitas
sebagai bahan perenungan serta mengantarkan manusia pada pengetahuan tentang
kekuasaan dan keesaan Allah sesuai dengan tabiat psikologis dan fitrah
keagamaan manusia. Jika seseorang merenungkan firman Allah, maka ia akan
menemukan bahwa Al-Quran menjadikan dirinya sebagai bahan renungan
sehingga ia mampu melihat bagaimana Allah menciptakan dirinya dari segumpal
darah, mengajarinya membaca, menulis, atau mendayagunakan alam semesta dan
dapat dididik.

Kelebihan Al-Quran di antaranya, terletak pada metode yang


menakjubkan dan unik sehingga dalam konsep pendidikan yang terkandung di
dalamnya, Al-Quran mampu menciptakan individu yang beriman dan senantiasa
mengesakan Allah serta mengimani hari akhir.

Al-Quran mengawali konsep pendidikannya dari hal yang sifatnya


konkret, seperti hujan, angin, tumbuh-tumbuhan, guntur atau kilat menuju hal
yang abstrak, seperti keberadaan, kebesaran, kekuasaan dan berbagai sifat
kesempurnaan Allah.10

b. Sunnah

Setelah Al-Quran, pendidikan Islam menjadikan Sunnah Rasulullah SAW


sebagai dasar dan sumber kurikulumnya. Secara harfiah, Sunnah berarti jalan,
metode dan program. Sedangkan secara istilah, sunah adalah sejumlah perkara
yang dijelaskan melalui sanad yang sahih, baik itu berupa perkataan, perbuatan,
peninggalan, sifat, pengakuan, larangan, hal yang disukai, dan dibenci,
peperangan, tindak tanduk dan seluruh aktivitas kehidupan Nabi SAW. Pada
hakikatnya, keberadaan Sunnah ditujukan untuk mewujudkan dua sasaran, yaitu:

1. Menjelaskan apa yang terdapat dalam Al-Quran. Tujuan ini diisyaratkan Allah
dalam firman-Nya:

Artinya: Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran agar kamu menerangkan


kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkannya. (QS. Al-Nahl: 44)

2. Menjelaskan syariat dan pola perilaku, sebagaimana ditegaskan dalam firman


Allah:

Artinya: Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di
antara mereka, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya (Al-
Quran), menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab
dan hikmah. (QS. Al-Jumuah:2)

Dalam dunia pendidikan Sunnah mempunyai dua manfaat pokok;


pertama, Sunnah mampu menjelaskan konsep dan kesempurnaan pendidikan
Islam sesuai dengan konsep Al-Quran serta lebih memerinci penjelasan dalam
Al-Quran. Kedua, Sunnah dapat menjadi contoh yang tepat dalam penentuan
metode pendidikan. Misalnya, kita dapat menjadikan kehidupan Rasulullah SAW
dengan para sahabat maupun anak-anaknya sebagai sarana penanaman keimanan.

Oleh Robert L. Gullick dalam bukunya Muhammad The Educational


sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rahmat, mengatakan:

Muhammad betul-betul seorang pendidik yang membimbing manusia


menuju kemerdekaan dan kebahagiaan yang lebih besar serta melahirkan
ketertiban dan kestabilan yang mendorong perkembangan budaya Islam
suatu revolusi, sesuatu yang memiliki tempo yang tidak tertandingi dan
gairah yang menantang. Dari sudut pragmatis, seorang yang mengangkat
prilaku manusia adalah seorang pangeran di antara pendidik.11

Rasulullah adalah sosok pendidik yang agung dan pemilik metode


pendidikan yang unik. Beliau sangat memperhatikan manusia sesuai dengan
kebutuhan, karakteristik dan kemampuan akalnya, terutama jika beliau berbicara
dengan anak-anak.

c. Perkataan Para Sahabat (Qaul al-Shahabah)

Pada masa Khulafa al-Rasyidin, sumber pendidikan dalam Islam sudah


mengalami perkembangan. Selain Al-Quran dan Sunnah juga perkataan, sikap,
dan perbuatan para sahabat. Perkataan mereka dapat dipegangi karena Allah
sendiri dalam Al-Quran memberi pernyataan:

Artinya: Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di


antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka
pun ridha kepada Allah dan Allah menjadikan bagi mereka surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. (QS. Al-Taubah: 100)

Di antara perkataan sahabat yang dapat dijadikan sebagai dasar


pendidikan Islam adalah sebagai berikut:

1. Perkataan Abu Bakar setelah dibaiat menjadi khalifah, ia mengucapkan pidato


sebagai berikut:

Hai manusia saya telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal


aku bukanlah orang yang terbaik di antara kamu. Jika aku menjalankan
tugasku dengan baik, ikutilah aku. Tapi jika aku berbuat salah, betulkanlah
aku, orang yang kamu pandang kuat, aku pandang lemah sehingga aku dapat
mengambil hak darinya, sedangkan orang yang kamu pandang lemah, aku
pandang kuat sehingga aku dapat mengembalikan haknya. Hendaklah kamu
taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi jika aku
tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya, kamu tidak perlu taat kepadaku.

Menurut pandangan Nazmi Luqa, ungkapan Abu Bakar ini mengandung


arti bahwa manusia harus mempunyai prinsip yang sama di hadapan
Khaliknya. Selama baik dan lurus, ia harus diikuti, tetapi sebaliknya jika ia
tidak baik dan lurus, manusia harus bertanggung jawab memutuskannya.

2. Umar bin Khattab terkenal dengan sifat jujur, adil, dan cakap serta berjiwa
demokratis yang dapat dijadikan panutan masyarakat. Sifat-sifat Umar
disaksikan dan dirasakan sendiri oleh masyarakat pada masa itu. Sifat-sifat
seperti ini sangat perlu dimiliki oleh seseorang pendidik karena di dalamnya
terkandung nilai-nilai paedagogis yang tinggi dan teladan yang baik yang
harus ditiru.

Muhammad Salih Samak, sebagaimana dikutip Ramayulis, menyatakan


bahwa contoh teladan yang baik dan cara guru memperbaiki pelajarannya, serta
kepercayaan yang penuh terhadap tugas, kerja, akhlak, dan agama adalah kesan
yang baik untuk sampai kepada mutlamat pendidikan agama.12

d. Ijtihad

Setelah jatuhnya kekhalifahan Ali bin Abi Thalib berakhirlah masa


pemerintahan Khulafa al-Rasyidin dan digantikan oleh Dinasti Umayyah. Pada
masa ini Islam telah meluas sampai ke Afrika Utara bahkan ke Spanyol. Perluasan
daerah kekuasaan ini diikuti oleh ulama dan guru atau pendidik. Akibatnya terjadi
pula perluasan pusat-pusat pendidikan yang tersebar di kota-kota besar.

Karena Al-Quran dan Hadis banyak mengandung arti umum, maka para
ahli hukum Islam, menggunakan ijtihad untuk menetapkan hukum tersebut.
Ijtihad ini terasa sekali kebutuhannya setelah wafatnya Nabi SAW dan
beranjaknya Islam mulai ke luar tanah Arab.

Para fuqaha mengartikan ijtihad dengan berfikir menggunakan seluruh


ilmu yang dimiliki oleh ilmuan syariah Islam, dalam hal-hal yang belum
ditegaskan hukumnya oleh Al-Quran dan Hadis dengan syarat-syarat tertentu.
Ijtihad dapat dilakukan dengan Ijma, Qiyas, Istihsan, dan lain-lain.

Ijtihad di bidang pendidikan ternyata semakin perlu sebab ajaran Islam


yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadis bersifat pokok-pokok dan prinsipnya
saja. Bila ternyata ada yang agak terinci, maka rinciannya itu merupakan contoh
Islam dalam menerapkan prinsip itu. Sejak diturunkan ajaran Islam sampai
wafatnya Nabi Muhammad SAW, Islam telah tumbuh dan berkembang melalui
ijtihad yang dituntut oleh perubahan situasi dan kondisi sosial yang tumbuh dan
berkembang pula.13

e. Kemasyarakatan
Masyarakat mempunyai andil yang sangat besar terhadap pendidikan
anak-anak. Masyarakat merupakan penyuruh kebaikan dan pelarang
kemungkaran, dan masyarakat pun dapat melakukan pembinaan melalui
pengisolasian, pemboikotan, pemutus hubungan kemasyarakatan. Atas izin Allah,
Rasulullah SAW menjadikan masyarakat sebagai sarana membina umat Islam
yang tidak mau terlibat dalam peperangan. Beliau menyuruh para sahabat untuk
memutuskan hubungan dengan beberapa orang (tiga orang) yang tidak mau
terlibat dalam kegiatan keprajuritan. Pembinaan melalui tekanan masyarakat yang
tujuannya jelas untuk kebaikan, merupakan sarana yang paling efektif.14

Pendidikan kemasyarakatan dapat dilakukan melalui kerja sama yang utuh


karena bagaimanapun masyarakat muslim adalah masyarakat yang satu padu, atau
dengan kata lain pendidikan kemasyarakatan bertumpu pada landasan afeksi
kemasyarakatan, khususnya rasa saling mencintai.

2. Dasar Operasional

Dasar operasional adalah dasar yang mengatur secara langsung


pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah. Setelah Dekrit Presiden 5 Juli
1959 pendidikan agama mulai dimasukkan kedalam sekolah di
Indonesia.15 Dasar-dasar operasional juga mempunyai bermacam-macam bentuk
yang akan diuraikan sebagai berikut:

a. Dasar Historis

Sejarah dianggap sebagai salah satu faktor budaya yang paling penting
yang telah dan tetap mempengaruhi filsafat pendidikan, baik dalam tujuan
maupun sistemnya pada masyarakat manapun juga. Kepribadian nasional,
misalnya yang menjadi dasar filsafat pendidikan di berbagai masyarakat haruslah
berlaku jauh ke masa lampau, walaupun sistem-sistemnya adalah hasil dari
pemerintahan revolusioner, yang didirikannya dengan sengaja untuk
mengembangkan dan memperbaiki pola-pola warisan budaya dari umat dan
rakyat.

Kandell sebagaimana dikutip Hasan Langgulung, berkata, bahwa


pendidikan perbandingan (yang menitikberatkan pada identitas nasional dalam
sistem pendidikan) dan sejarah pendidikan: Berusaha menyingkap kekuatan-
kekuatan dan faktor-faktor yang berdiri di belakang sistem-sistem pendidikan di
setiap masyarakat. Oleh sebab itu: Dapatlah dianggap pendidikan perbandingan
itu sebagai kelanjutan sejarah pendidikan sampai hari ini.16

b. Dasar Sosial

Banyak aspek sosial yang mempengaruhi pendidikan, baik dari segi


konsep, teori, dan pelaksanaannya. Dimensi-dimensi sosial yang biasanya
tercakup dalam aspek sosial ini adalah fungsi-fungsi sosial yang dimainkan oleh
pendidikan seperti pewarisan budaya yang dominan pada kawasan-kawasan
tertentu di suatu lembaga pendidikan, seperti sekolah, faktor-faktor organisasi dari
segi birokrasi, dan sistem pendidikan sendiri.

Dalam usaha kita untuk menganalisa masalah pendidikan dari segi sosial
kita dapat mengajukan soal-soal kepada empat aspek sosial pendidikan itu
sekaligus atau kita pusatkan pada salah satu aspek saja tetapi tidak mengabaikan
aspek-aspek yang lain, misalnya sejauhmana penerapan nilai-nilai Islam itu
berkesan dalam menumbuhkan sifat-sifat keberanian, patriotisme, kejujuran, dan
lain-lain memperkuat pertahanan masyarakat.17

c. Dasar Ekonomi

Ekonomi dan pendidikan selalu bergandengan sejak zaman dahulu kala.


Ahli-ahli ekonomi sejak dahulu, begitu pula pencipta-pencipta sains telah
mengakui pentingnya peranan yang dimainkan oleh pendidikan dalam
pertumbuhan pengetahuan manusia belakangan ini untuk perkembangan ekonomi.
Namun baru belakangan ini suatu disiplin ilmu yang khusus untuk itu diciptakan.

Dalam bidang ekonomi, yang sangat releven dengan pendidikan biasanya


adalah hal-hal yang berkenaan dengan investmen dan hasilnya. Artinya kalau
modal ditanam sekian, berapa banyak nanti keuntungan yang diharapkan dari
itu.18

Kalau dalam pendidikan Islam telah meletakkan dasar-dasar yang menjadi


tapak tempat berdirinya pendidikan Islam itu, maka juga dalam ekonomi Islam
telah meletakkan dasar-dasar pokok tempat ekonomi Islam itu berdiri.

d. Dasar Politik dan Administrasi

Membicarakan soal politik dan administrasi dalam pendidikan sama


halnya membicarakan soal ideologi. Sebab tujuan politik adalah mencapai tujuan
ideologi di dalam negara dan masyarakat. Dengan kata lain, setiap politik
memperjuangkan suatu ideologi tertentu untuk dilaksanakan di masyarakat.
Sedangkan administrasi adalah salah satu alat, mungkin alat yang paling ampuh
untuk mencapai tujuan politik tersebut.

Sepanjang sejarah Islam antara politik, administrasi, dan ideologi selalu


sejalan dan saling membantu satu sama lain menuju tujuan bersama. Sudah tentu
dalam perjalanannya selama 14 abad itu banyak masalah yang dilaluinya dan
sempat diselesaikannya dan ada yang tidak dapat diselesaikannya.

e. Dasar Psikologis

Seperti yang kita ketahui bahwa salah satu fungsi pendidikan adalah
pemindahan nilai-nilai, ilmu dan keterampilan dari generasi tua ke generasi muda
untuk melanjutkan dan memelihara identitas masyarakat tersebut. Dalam
pemindahan nilai-nilai, ilmu, dan keterampilan inilah psikologi memegang
peranan yang sangat penting.

Istilah pemindahan yang digunakan para penulis lain, melibatkan dua


aspek dalam psikologi yang dapat perhatian besar dan mendorong begitu banyak
penyelidikan. Kedua aspek itu adalah mengajar (teaching) dan belajar (learning).
Dahulu orang beranggapan bahwa sebenarnya ada satu aspek saja yaitu mengajar.
Belakangan ini kajian-kajian psikologi menunjukkan bahwa sebenarnya belajarlah
yang lebih penting. Mengajar hanyalah salah satu cara memantapkan proses
belajar itu.

Jadi, hubungan psikologi dengan pendidikan adalah bagaimana budaya,


keterampilan, dan nilai-nilai masyarakat dipindahkan, dalam istilah psikologinya
dipelajari (learned), dari generasi tua ke generasi muda supaya identitas
masyarakat terpelihara.

f. Dasar Filosofis

Filsafat pendidikan merupakan titik permulaan dalam proses pendidikan,


juga menjadi tulang punggung kemana bagian-bagian yang lain dalam pendidikan
itu bergantung dari segi tujuan-tujuan pendidikan, kurikulum, metode mengajar,
penilaian, administrasi, alat-alat mengajar, dan lain-lain lagi aspek pendidikan
yang bergantung pada filsafat pendidikan yang memberinya arah, menunjuk jalan
yang akan dilaluinya dan meletakkan dasar-dasar dan prinsip-prinsip tempat
tegaknya.

Dasar dan tujuan filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya identik dengan
dasar dan tujuan ajaran Islam, atau tepatnya tujuan Islam itu sendiri. Keduanya
berasal dari sumber yang sama, yaitu Al-Quran dan Hadis. Dari kedua sumber ini
kemudian timbul pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah keislaman
dalam berbagai aspek, termasuk filsafat pendidikan. Dengan demikian, hasil
pemikiran para ulama seperti qiyas syari dan ijma sebagai sumber sekunder.19

Ajaran yang termuat dalam wahyu merupakan dasar dari pemikiran


filsafat pendidikan Islam. Hal ini menunjukkan filsafat pendidikan Islam yang
berisi teori umum mengenai pendidikan Islam, dibina atas dasar konsep ajaran
Islam yang termuat dalam Al-Quran dan Hadis. Keabsahan kedua sumber itu
untuk dijadikan dasar pemikiran filsafat pendidikan Islam bukan tanpa alasan
yang rasional. Pemikiran filsafat pendidikan Islam yang didasarkan atas ajaran
wahyu tersebut pada hakikatnya sejalan dengan yang dikehendaki oleh berfikir
falsafi, yaitu mendasar, menyeluruh tentang kebenaran yang ditawarkannya.

Adanya ketentuan-ketentuan dasar ketentuan wahyu yang dijadikan


landasan pemikiran filsafat pendidikan Islam itu sendiri sehingga filsafat
pendidikan Islam berbeda dengan filsafat pendidikan lainnya (umum). Filsafat
pendidikan Islam dalam kaitannya dengan pendidikan berdasarkan lima prinsip
utama, yaitu: pandangan terhadap alam, pandangan terhadap manusia, pandangan
terhadap masyarakat, pandangan terhadap pengetahuan manusia, dan pandangan
terhadap akhlak.

C. Kesimpulan

Al-Quran dan Hadis merupakan sumber utama pendidikan Islam. Al-


Quran mengawali konsep pendidikannya dari hal yang bersifat konkret menuju
hal yang abstrak. Sementara itu Sunnah mempunyai dua sasaran dan dua manfaat
pokok. Perkataan, sikap, dan perbuatan para sahabat juga merupakan dasar dan
sumber pendidikan Islam. Untuk menetapkan hukum-hukum yang belum
ditegaskan Al-Quran dan Hadis, para ulama menggunakan ijtihad untuk
menetapkan hukum-hukum tersebut. Masyarakat mempunyai andil yang sangat
besar terhadap pendidikan anak-anak.
(Endnotes)

1 Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan


Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), Cet. I, h. 34
2 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pusataka, 1995), Edisi ke-2, Cet. IV, h. 211
3 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.
370-371
4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.
232
5 Al-Syarif Ali bin Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Tarifat, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1988), Cet. II, h. 23
6 Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996), Cet. II, h. 37
7 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung:
al-Maarif, 1980), h. 35
8 Ramayulis, Ilmu Pendidkan Islam, (Jakarta:Kalam Mulia, 1994), cet. I, h. 13
9 Ramayulis, Ilmu Pendidkan Islam, h. 14
10 Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan
Masyarakat, h. 29-30
11 Jalaludin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1991), h. 115
12 Ramayulis, Ilmu Pendidkan Islam, h. 15-16
13 Ramayulis, Ilmu Pendidkan Islam, h. 17-18
14 Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan
Masyarakat, h. 178
15 Ramayulis, Ilmu Pendidkan Islam, h. 20
16 Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna,
1992), h. 16
17 Ramayulis, Ilmu Pendidkan Islam, h. 388
18 Ramayulis, Ilmu Pendidkan Islam, h. 20
19 Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996), Cet. II, h. 18
BAB III
TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

Dalam aktivitas yang kita lakukan tentunya tidak terlepas dari maksud-
maksud yang ingin kita capai. Dalam mencapai maksud-maksud tersebut ada yang
ingin kita capai dalam jangka panjang maupun jangka pendek dan tentunya tidak
keluar dari konsep yang telah ditentukan. Tujuan pendidikan Islam merupakan
salah satu unsur dari pendidikan Islam, di mana pendidikan Islam itu menciptakan
manusia yang sesuai dengan konsep Islam yaitu Al-Quran dan Hadis.

Dalam Al-Quran dan Hadis manusia ditentukan untuk menjadi khalifah


yang telah dilengkapi dengan akal atau pikiran untuk membawa risalah bagi
seluruh alam di bawah bimbingan Allah SWT. Pengelolaaan alam yang baik dan
penyampaian risalah yang benar akan menciptakan keselarasan, kedamaian, dan
kebahagiaan bagi individu dan masyarakat. Dengan akal saja tanpa mendapat
pendidikan yang baik manusia tidak akan mampu melaksanakan tugasnya dengan
baik, karena pendidikan yang sesuai dengan konsep Islam adalah pendidikan yang
mampu menciptakan manusia-manusia yang berakhlak Islami yang akan
berpengaruh bagi masyarakat luas.

A. Pengertian Tujuan Pendidikan Islam

Tujuan merupakan suatu yang diharapkan setelah suatu usaha selesai.


Tujuan dapat pula diartikan segala apa-apa yang hendak dicapai dalam aktivitas
yang didukung dengan segala sarana dan prasarana yang baik, baik materi,
kurikulum, dan sebagainya.

Pendidikan merupakan aktivitas perubahan dari tidak bisa menjadi bisa.


Pendidikan dapat diartikan pula sebagai upaya penanaman nilai-nilai spiritual dan
materi yang dilakukan oleh orang dewasa secara sadar dan bertanggung jawab
pada anak-anak.

Islam merupakan suatu ajaran yang menjadi prinsip dan sebagai


penyempurna yang akan mengarahkan jalan hidup manusia berdasarkan Al-
Quran dan Hadis.

Berdasarkan definisi di atas, maka tujuan pendidikan Islam adalah segala


sesuatu yang hendak dicapai dalam usaha penanaman nilai materi dan spiritual
secara sadar dan bertanggung jawab berdasarkan Al-Quran dan Hadis.

B. Konsep Pendidikan Islam

Bila kita bicara tentang pendidikan Islam, tentunya tidak terlepas dari apa
yang menjadi konsep atau landasan itu sendiri yakni Al-Quran dan Hadis.
Sebelum kita memasuki konsep pendidikan Islam agar lebih lengkap kita juga
memperhatikan nuansa pendidikan sendiri.

Pendidikan memainkan peran yang penting dalam upaya pembentukan


sumber daya manusia. Pendidikan yang ada di negara kita mengalami berbagai
problem dan kendala kualitatif dan kuantitatif. Skala kualitatif artinya betapa
besarnya persoalan pendidikan yang kadar kehadirannya semakin sungsang,
sedangkan skala kuantitatif artinya masalah yang dihadapi menyangkut hampir
seluruh aspek kehidupan manusia. Pemahaman terhadap nuansa pendidikan dalam
visi problematika ada berbagai indikasi yang tertuang dalam berbagai pendekatan
yakni:

1. Pendekatan suprastruktur yang memperhatikan kedudukan pendidikan agama


dalam dunia eksistensi meliputi:

a. Akselerasi sosial di mana percepatan budaya dan informasi sangat


berpengaruh

b. Budaya materialis dan individualis

c. Lingkungan pergaulan dan orientasi makna hidup

2. Pendekatan infrastruktur yang memperlihatkan kemampuan yang ada dalam


pendidikan itu sendiri meliputi:
a. Praktik pengajaran yang optimal

b. Sarana pendidikan yang memadai

c. Penggalian pendidikan yang belum maksimal1

Usaha untuk mendekatkan makna pendidikan yang lebih mengena hingga


dapat mencapai apa yang menjadi tujuan di lingkungan masyarakat merupakan
bagian yang penting. Pendidikan agama tidak dapat ditafsirkan hanya dengan
shalat dan puasa, tetapi moral dan nilai kehidupan serta wawasan yang luas juga
menjadi bagian yang esensi.

Memasuki konsep pendidikan Islam, pendidikan Islam merupakan upaya


manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat, dengan jalan taqwa
dan melengkapinya dengan perangkat akal atau pikiran dan semua indera yang
kita miliki dengan berpedoman pada Al-Quran dan Hadis. Perangkat-perangkat
itu dibina melalui pendidikan. Pendidikan sebagai upaya mencerdaskan manusia
agar mampu menguasai materi pendidikan dalam hal ini pengetahuan dan
keterampilan yang diimbangi dengan nilai moral Islam. Konsep utama pendidikan
Islam adalah Al-Quran dan Hadis di samping qiyas, nilai kebaikan, adat dan
ijtihad atau pendapat para pakar pendidikan. Konsep pendidikan Islam mencakup
kehidupan manusia seutuhnya yang tidak hanya memperhatikan segi akidah saja,
tetapi lebih luas dari itu, yakni;

1. Pendidikan Islam mencakup semua dimensi manusia sebagaimana ditentukan


oleh Islam

2. Pendidikan Islam menjangkau dunia dan akhirat secara seimbang

3. Pendidikan Islam memperhatikan manusia dalam segala gerak kehidupan

4. Pendidikan Islam berlanjut sepanjang hayat

5. Kurikulum pendidikan Islam akan menghasilkan manusia yang mengerti akan


hak dan kewajibannya di dunia dan akhirat.

Berdasarkan uraian di atas maka sudah tergambar apa yang menjadi tujuan
pendidikan Islam yaitu untuk membina manusia agar menjadi hamba Allah yang
saleh dalam seluruh aspek kehidupan, baik perkataan, perbuatan, pikiran, dan
perasaan.

C. Macam-macam Tujuan Pendidikan Islam


Tujuan merupakan sasaran yang hendak dicapai dan sekaligus merupakan
pedoman yang memberikan arah bagi segala aktivitas yang dilakukan. Para filosof
mempunyai rumusan yang berbeda-beda tentang tujuan pendidikan,
yakni:

1. Aristoteles, mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mempersiapkan akal


untuk memperoleh ilmu pengetahuan sebagaimana bumi disiapkan untuk
tumbuh-tumbuhan dan hewan.

2. Immanuel Kant, mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk


mengangkat manusia kepada kesempurnaan yang mungkin dicapai.

3. Herbert Spencer (filosof Inggris) mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah


mempersiapkan manusia supaya dapat hidup dengan kehidupan yang
sempurna

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa rumusan tujuan pendidikan


disesuaikan dengan rumusan filsafat hidup bangsa. Pandangan hiduplah yang
menjadi dasar, sedangkan pendidikan hanya berupa alat untuk memelihara
kelanjutan hidupnya sebagai individu dan masyarakat. Oleh karena itu, para
filosof menggunakan cara demikian agar filsafat-filsafat mereka menentukan
tujuan dalam sistem pendidikan dan metode-metodenya.

Tujuan pendidikan Islam juga disesuaikan dengan filsafat dan pandangan


hidup yang digariskan Al-Quran dan Hadis. Ibnu Khaldun membagi tujuan
pendidikan menjadi dua bagian yakni:

1. Tujuan keagamaan yakni beramal untuk akhirat sehingga ia menemukan


Tuhannya dan telah menunaikan hak-hak Allah yang diwajibkan kepadanya

2. Tujuan ilmiah yakni bersifat keduniaan yaitu apa yang diungkapkan oleh
pendidikan modern dengan tujuan kemanfaatan atau persiapan untuk hidup.

Selanjutnya Abdullah Al-Fayad juga membagi tujuan pendidikan menjadi


dua macam:

1. Persiapan untuk hidup di akhirat

2. Membentuk perorangan dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk


menunjang kesuksesan hidup di dunia.2

Selanjutnya Al-Ghazali mengatakan pula tentang tujuan pendidikan yakni


bahwa pendidikan Islam pada umumnya ditandai dengan watak religius dan
moralitas, yang nampak dengan jelas pada sasaran dan jalan-jalannya serta tidak
mengabaikan persoalan dunia. Pada filsafat-filsafatnya tentang pendidikan. Di
sana jelaslah bahwa sesungguhnya ia hampir mendekati batas akhir yaitu
kesempurnaan manusia yang tujuannya adalah mendekatkan diri kepada Allah dan
kesempurnaan manusia yang ujungnya adalah kebahagiaan dunia dan akhirat.

Al-Ghazali memandang dunia sebagai sarana dalam mencapai kehidupan


akhirat, sebagaimana disebutkan di atas bahwa pandangan yang diuraikan itu
dipengaruhi oleh nilai agama dan tasawuf yang mana isinya mendekatkan diri
kepada Allah. Maka tujuan pendidikan menurutnya adalah kesempurnaan manusia
di dunia dan akhirat. Dan manusia pun mampu mencapai kesempurnaan sebab
manusia itu mendapatkan keutamaan melalui ilmu. Keutamaan inilah yang
membuat manusia itu bahagia di dunia dan pendekatannya kepada Allah yang
menyebabkan dia bahagia di akhirat.3

Adapun tujuan pendidikan menurut Zakiah Daradjat adalah:

1. Mengetahui dan melaksanakan dengan baik ibadah yang ditetapkan dalam Al-
Quran dan Hadis

2. Memperoleh bekal pengetahuan, keterampilan, sikap dan perbuatan yang


diperlukan untuk mendapatkan rizki dari Allah untuk diri dan keluarganya.
Firman Allah:

Artinya: Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah
di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya
kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitan. (QS. Al-Mulk: 15)

3. Mengetahui dan mempunyai keterampilan untuk melaksanakan peran di


masyarakat.4

Selanjutnya beliau juga membagi tujuan pendidikan menjadi bermacam-


macam yaitu:

1. Tujuan Umum

Tujuan pendidikan Islam secara umum adalah menjadikan manusia sebagai


khalifah Allah yang dicapai melalui proses pengajaran, pengalaman, pembinaan,
pemahaman, penghayatan, dan keyakinan akan kebenaran yang disampaikan
sesuai dengan tujuan institusional lembaga yang menyelenggarakan pendidikan
itu yang meliputi aspek kemanusiaan juga dengan tingkah laku dan sebagainya

2. Tujuan Akhir

Tujuan akhir pendidikan Islam adalah hingga berakhir pula kehidupan seorang
hamba. Tujuan akhir berlaku seumur hidup untuk menumbuhkan, memupuk,
memelihara dan mempertahankan yang telah dicapai karena seseorang itu tidak
terlepas dari kendala yang akan berpengaruh pada keimanannya. Tujuan akhir
dapat dipahami dari ayat berikut:

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah


dengan sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kamu mati kecuali
dalam keadaan muslim. (QS. Ali Imran: 102)

3. Tujuan Sementara

Tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak diberi sejumlah
pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum yang
disesuaikan dengan tingkat pendidikan dan sejenisnya. Pada tujuan sementara
bentuk insan kamil belum nyata namun dalam bentuk sederhana telah nampak.

4. Tujuan Operasional

Tujuan operasional adalah tujuan praktis yang hendak dicapai dengan sejumlah
kegiatan pendidikan dengan bahan-bahan yang telah disiapkan. Dalam tujuan
operasional yang formal disebut juga dengan tujuan instruksional yang
selanjutnya dikembangkan menjadi tujuan instruksional umum dan tujuan
instruksional khusus. Dalam tujuan ini lebih ditekankan pada keterampilan dan
penguasaan secara lahiriyah saja.5

Tujuan-tujuan pendidikan yang tersebut di atas dirumuskan dalam Al-


Quran pada surat ke-3 ayat 14 dan surat ke-20 ayat 77 dan pada ayat-ayat
lainnya.

Setelah diperhatikan rumusan tujuan yang telah digariskan oleh Al-Quran,


Hadis dan para ahli pendidikan Islam, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan
pendidikan Islam mengandung implikasi abadi dan positif. Abadi karena tujuan
akhir tersebut menembus dimensi ruang dan waktu, sedang positif karena
senantiasa membentuk perkembangan potensi bawaan manusia sebagai makhluk
jasmani dan rohani ciptaan Tuhan.
D. Tujuan Pendidikan Islam dan Kaitannya dengan Tujuan Pendidikan
Nasional

Tujuan pendidikan Islam di Indonesia harus berorientasi kepada tujuan


umum sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, tetapi juga harus
berorientasi pada tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional
dirumuskan berdasarkan pandangan hidup bangsa yaitu Pancasila. Dengan
demikian lembaga pendidikan Islam diharapkan dapat melahirkan manusia
Muslim Pancasila. Tujuan pendidikan nasional dengan tujuan pendidikan Islam
mempunyai persamaan jika diletakkan secara proporsional yaitu menciptakan
insan kamil yang bertaqwa.

Tujuan pendidikan Islam dan tujuan pendidikan nasional tidak dapat


dipisahkan. Hal ini dapat diketahui dari dua segi, pertama dari konsep
penyusunan sistem pendidikan nasional sendiri, kedua dari konsep hakikat
pendidikan Islam dalam kehidupan beragama. Penyusunan suatu sistem
pendidikan nasional mementingkan masalah eksistensi manusia pada umumnya
dan bangsa Indonesia khususnya yang tertuang dalam proklamasi kemerdekaan.
Semua itu merupakan cita-cita dan dasar hidup bangsa yang harus dilaksanakan
dan diwujudkan agar tercipta keselarasan, keseimbangan, kebersamaan dalam
hidup bermasyarakat, nilai budaya dan ideologi dan ini menjadi inspirasi dan
kriteria dasar dalam membangun sistem pendidikan nasional yang selaras, baik
secara kualitatif maupun kuantitatif.

Dilihat dari segi hakikat pendidikan agama Islam yang telah menyebar
hampir ke seluruh nusantara yakni sekolah pemerintah berdasarkan agama dan
sekolah swasta berdasarkan kebangsaan. Lembaga inilah yang menjadi modal
pendidikan nasional. Masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam maka
pendidikan yang dilaksanakan oleh umat Islam yang berorientasi untuk
kepentingan nasional menjadi bagian pendidikan nasional. Ini dinyatakan oleh
Komisi Pembaharu Pendidikan Nasional.

Kaitannya antara pendidikan Islam ada pada UU No. 12 tahun 1954 dan UU
No. 4 tahun 1950 dan menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk
manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air. Juga dalam GBHN
dinyatakan bahwa pendidikan nasional berdasarkan Pancasila yakni meningkatkan
kualitas manusia yang beriman dan bertaqwa, berbudi luhur, berkepribadian,
disiplin, bekerja keras, tangguh, dan mandiri serta sehat.

Selain terdapat pada UUD dan GBHN dinyatakan pula dalam hasil rumusan
bahwa pendidikan nasional adalah usaha sadar untuk membangun manusia
Indonesia seutuhnya, manusia yang berketuhanan, berpengetahuan dan berbudaya.
Dan eksistensinya sebagai komponen pendidikan nasional dituangkan dalam
pokok pendidikan dan pengajaran tahun 1950 sampai sekarang.6

Bagian-bagian tertentu dalam tujuan pendidikan nasional adalah:

1. Tujuan Institusional, yaitu tujuan yang hendak dicapai disesuaikan dengan


tingkat, jenis, dan jenjangnya.

2. Tujuan Kurikuler, yaitu tujuan berdasarkan pada kurikulum atau kegiatan-


kegiatan mata pelajaran sesuai dengan target dalam suatu jenjang sekolah

3. Tujuan Instruksional Umum, yakni rumusan tujuan pengkhususan dari tujuan


kurikuler agar lebih khusus dan operasional

4. Tujuan Instruksional Khusus, yakni rumusan tujuan yang lebih khusus, lebih
rinci dan bersifat operasional.

Aspek tujuan pendidikan Islam menurut para ahli, antara lain menurut
Sudirman, bahwa rumusan tujuan pendidikan haruslah bersifat komprehensif,
mengandung aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Sedangkan menurut
Benyamin S. Bloom adalah:

1. Kognitif yakni meliputi kemampuan atau penguasaan dan kemampuan dalam


menggunakan

2. Afektif yang meliputi perubahan dari sikap, mental, perasaan, dan kesadaran

3. Psikomotorik yakni meliputi perubahan dari segi bentuk dan tindakan motorik.

Dalam pendidikan Islam dan proses belajar mengajar atau hasil belajar
selalu inheren dengan keislaman yang melandasi aktivitas belajar yaitu Al-Quran
dan Hadis serta terbuka untuk unsur-unsur luar secara adaptif. Perubahan yang
dikehendaki Islam yaitu perubahan yang dapat menjembatani individu dengan
masyarakat dan Khaliqnya.7

E. Kesimpulan
Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk insan kamil dengan pola yang
sebenar-benarnya yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang optimal
yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan dan membawa kemaslahatan, baik
bagi dirinya maupun bagi masyarakat. Dasar pendidikan Islam meliputi Al-
Quran, Hadis, Qiyas, nilai-nilai kebaikan, adat, dan pendapat para pakar atau
ijtihad.

Pendidikan Islam di Indonesia sangat memperhatikan dan sesuai dengan


falsafah dan pandangan hidup bangsa, di samping keberadaannya sebagai salah
satu komponen pendidikan nasional juga sebagai awal berdirinya pendidikan di
Indonesia karena masyarakatnya yang mayoritas beragama Islam. Kesesuaiannya
dan eksistensinya diakui dalam UUD 1945 dan GBHN.

(Endnotes)

1 Hasan Chalizah, Kajian Perbandingan Pendidikan, (Jakarta: PT Al-Ikhlas, t.th.),


Cet. I, h. 187

2 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), cet. I, h. 23-
35

3 Fathiah Hasan Sulaiman, Al-Ghazali dan Plato dalam Aspek Pendidikan,


(Surabaya: PT Bina Ilmu, 1996), h. 16-17

4 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 29-32

5 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, h. 29-32

6 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), Cet. V, h.


208-211

7 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, h. 35


BAB IV
PENDIDIK MENURUT PERSPEKTIF
PENDIDIKAN ISLAM

Dalam konteks pendidikan Islam, pendidik sering disebut dengan murabbi,


muallim, dan muaddib yang ketiga istilah tersebut mempunyai penggunaan
tersendiri dalam konteks Islam. Al-Ghazali menggunakan istilah pendidik dengan
berbagai kata seperti al-muallim (guru), al-mudarris (pengajar), al-muaddib
(pendidik) dan al-waalid (orang tua). Oleh karena itu, pembahasan dalam bab ini
meliputi semua isltilah pendidik tersebut, yakni pendidik dalam arti umum yang
bertugas dan bertanggung jawab atas pendidikan dan pengajaran.

Pendidik dalam arti umum tersebut adalah perintis pembangunan di segala


bidang kehidupan dalam masyarakat, tetapi ia merupakan pahlawan tak dikenal
atau tak mau dikenal masyarakat. Untuk memenuhi peranan tanggung jawabnya
yang besar dan mulia itu, perlulah seorang pendidik berusaha memiliki sifat-sifat
yang baik dan menyadari kode etik guru serta kedudukannya.

A. Pengertian Pendidik

Pendidik menurut perspektif pendidikan Islam adalah orang-orang yang


bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik dengan mengupayakan
perkembangan seluruh potensi kognitif, potensi afektif, dan potensi
psikomotorik.1

Pendidik ada juga yang mengartikan orang dewasa yang bertanggung jawab
memberi pertolongan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohani
agar mencapai tingkat kedewasaannya, mampu memenuhi tugasnya sebagai
hamba dan khalifah Allah, dan mampu bersikap mandiri sebagai makhluk sosial
dan makhluk individu.2

Pendidik yang utama dan pertama adalah orang tua anak didik sendiri karena
merekalah yang bertanggung jawab penuh atas kemajuan perkembangan anak
kandungnya dan juga sukses anaknya merupakan sukses orang tua juga.3 Firman
Allah SWT:

Artinya: Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka(QS. Al-


Tahrim: 6)

Akan tetapi karena perkembangan masa semakin maju dan kompleks, maka
tuntunan orang tua semakin banyak terhadap perkembangan anaknya, dan mereka
tidak mungkin lagi untuk sanggup menjalankan tugas mendidik itu. Oleh karena
itu, anaknya diserahkan kepada lembaga sekolah. Sehingga pendidik di sini
mempunyai arti mereka yang memberi pelajaran kepada anak didik, yang
memegang suatu mata pelajaran tertentu di sebuah sekolah.4

Penyerahan orang tua kepada lembaga sekolah bukan berarti bahwa orang tua
lepas tanggung jawabnya sebagai pendidik pertama dan yang paling utama, tetapi
orang tua masih mempunyai saham dalam membina dan mendidik anak
kandungnya untuk mencapai apa yang diharapkan dan untuk mencapai tingkat
kedewasaan.

B. Kedudukan Pendidik

Salah satu hal yang menarik dalam ajaran Islam adalah penghargaan Islam
yang tinggi terhadap pendidik (guru). Begitu tingginya penghargaan itu sehingga
sampai menempatkan kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan nabi dan
rasul.5

Pemberian penghargaan yang demikian tinggi ini karena seorang guru selalu
berhubungan dan terkait dengan ilmu pengetahuan, sedangkan Islam sangat
menghormati ilmu dan orang yang berilmu. Sebagaimana yang diartikan dari
beberapa pengertian hadis yang dikutip dari buku Asma Hasan Fahmi sebagai
berikut:

- Tinta ulama lebih berharga daripada darah syuhada


- Orang yang berpengetahuan melebihi orang yang beribadah, yang
berpuasa dan yang menghabiskan waktu malamnya untuk mengerjakan
shalat, bahkan melebihi orang yang berperang di jalan Allah
Al-Ghazali menjelaskan kedudukan tinggi yang dimiliki oleh orang
yang berpengetahuan dengan ucapannya: Orang alim yang bersedia
mengamalkan ilmu pengetahuannya adalah orang besar di semua kerajaan,
dia seperti matahari yang menerangi jalan, ia mempunyai cahaya dalam
dirinya, seperti minyak wangi yang mengharumi orang lain karena ia
memang wangi.
Asma Hasan Fahmi mengutip dalam Ihya Al-Ghazali yang
mengatakan: Barang siapa yang memilih pekerjaan mengajar, maka
sesungguhnya ia telah memilih pekerjaan yang besar dan penting.
Pendidik adalah bapak rohani (spiritual father) bagi anak didik yang
diberikan santapan jiwa dengan ilmu pengetahuan, pembina akhlak yang
mulia, dan berusaha meluruskannya.6

Imam Syauki dalam ungkapan syairnya tentang betapa tingginya


penghargaan terhadap kedudukan orang yang berilmu pengetahuan adalah sebagai
berikut: Berdirilah dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang guru
itu hampir saja merupakan seorang rasul.7

Al-Ghazali menukilkan dari pendapat ulama yang mengatakan bahwa


Pendidikan merupakan pelita segala zaman, orang yang hidup semasa dengannya
akan memperoleh pancaran nur keilmiahannya, dan andaikan dunia tanpa
pendidik niscaya manusia seperti binatang, sebab pendidikan merupakan upaya
mengeluarkan manusia dari sifat kebinatangan kepada sifat
insaniyah.8 Penyebab utama orang Islam menghargai guru karena ada
pandangan yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu semuanya bersumber
dari Tuhan. Firman Allah:

Artinya: Tidak ada pengetahuan yang kami miliki kecuali yang engkau
ajarkan kepada kami(QS. Al-Baqarah: 2)

Ilmu itu datang dari Tuhan, berarti Tuhan adalah guru yang pertama.
Pandangan tinggi dan menembus langit ini tidak boleh tidak telah melahirkan
sikap pada orang-orang Islam bahwa ilmu itu tidak bisa dipisahkan dari guru,
maka guru mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Islam. Sehingga dari
pandangan inilah melahirkan hubungan guru dan murid yang dalam Islam tidak
berdasarkan untung rugi, baik dari segi ekonomi sehingga muncul pendapat haram
mengambil upah (gaji) dari pekerjaan mengajar atau mendidik.

Profesi pendidik atau pengajar menurut Al-Ghazali dalam kitab Ihya


Ulumuddin beliau menyebutkan: Apabila ilmu pengetahuan itu lebih utama dari
segala hal, maka mempelajarinya adalah mencari yang lebih utama itu, maka
mengajarkannya adalah memberikan faidah bagi keutamaan itu.

Secara murni, mendidik dan mengajar adalah pekerjaan yang sangat mulia.
Akan tetapi masyarakat modern dewasa ini lebih sering memandang pendidik
sebagai petugas semata yang mendapatkan gaji dari negara atau institusi swasta
serta tugasnya relatif dilimitasi dengan dinding sekolah. Inilah salah satu dampak
dari komersial materialisme dan modernisasi sehingga melahirkan dampak
terciptanya jarak (sosiopsikis) antara pengajar (guru) dengan pelajar.

Sesungguhnya, seiring dengan sinyalemen Al-Ghazali tersebut, tugas


mengajar/mendidik menduduki posisi atau status terhormat dan mulia. Dengan
kehormatan dan kemuliaan itu membawa konsekwensi logis bahwa
pendidik/pengajar lebih dari petugas gajian. Dia sebagai figur teladan yang mesti
ditiru, dan diharapkan dalam memperlakukan anak didiknya tidak seperti
memperlakukan domba atau ternak yang perlu digembalakan atau didisiplinkan.

Mohammad Athiyah Al-Abrasy memberikan komentar terhadap sinyalemen


Al-Ghazali ini, antara lain: Di antara prinsip-prinsip pendidikan Islam yang paling
mengagumkan adalah pengagungan ilmu pengetahuan, pengagungan ulama,
sarjana-sarjana muslim dan guru-guru. Ilmu itu mulia dan guru adalah orang yang
mulia bagi Islam dan kaum muslimin. Oleh karena itu, bagaimana caranya
mengusahakan guru dan murid itu ikhlas dalam pelajaran dan penelitian, sehingga
kita bisa dapati orang-orang pintar, ulama, sarjana, dan orang-orang terpelajar.
Namun kalau pengagungan itu terlalu berlebihan, maka mungkin akan membawa
kepada berkurang dan lemahnya jiwa kritis di kalangan mereka antara yang satu
dengan yang lain.

Ali Syaifuddin HA menyatakan, Pekerjaan guru adalah pekerjaan yang


paling mulia sesuai dengan falsafah hidupnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai
sikap pengabdian, yaitu memberi pelayanan jasa pada masyarakat dan manusia.9
Seorang pendidik/guru adalah orang yang menempati status mulia di daratan
bumi karena ia mendidik akal, hati, jiwa, dan roh manusia. Sedangkan jiwa
manusia adalah unsur yang terpenting dan mulia pada bagian tubuh manusia.
Amien Daien Indrakusuma menyatakan: Tugas guru itu adalah tugas yang luhur
dan mulia, tugas mendidik tunas-tunas bangsa adalah tugas terhormat dan tugas
yang patut dijunjung tinggi dan disini pulalah letak kebahagiaan seorang guru.

C. Kode Etik Pendidik/Guru

Al-Ghazali menyatakan: Seorang guru yang memegang sebuah vak mata


pelajaran sebaiknya jangan menjelek-jelekkan mata pelajaran lain di hadapan
murid-muridnya. Gagasan Al-Ghazali itu relevan dengan apa yang dilaksanakan
pada dunia pendidikan Indonesia dewasa ini yaitu penyelenggaraan Mata Kuliah
Dasar Umum (MKDU) di perguruan tinggi.

Pandangan beliau ini dalam dunia pendidikan sekarang dikembangkan


menjadi kode etik pendidikan dalam arti yang luas, misalnya hubungan guru
dengan soal-soal kenegaraan dan hubungan guru dengan jabatan. Ini sesuai
dengan apa yang dikemukakan oleh Siti Maichati: Bahwa seorang guru tidak
boleh melamar suatu pekerjaan, suatu kontrak sekali yang ditandatangani harus
dipenuhi hingga selesai. Guru tidak boleh mencampuri urusan guru lain kecuali
jika diminta pertolongannya. Soal rahasia yang disampaikan oleh anak didiknya
harus merupakan rahasia antara keduanya kecuali disampaikan kepada orang lain
yang berwajib dengan izin dari yang bersangkutan. Guru tidak boleh mengkritik
rekan sejawatnya kecuali dengan jujur, tertulis, resmi, dan sebagainya.

Sedangkan pengertian etik atau adab adalah ilmu yang mempelajari segala
hal kebaikan (dan keburukan) di dalam hidup manusia umumnya, terutama gerak-
gerik pikiran dan rasa yang merupakan pertimbangan dan perasaan hingga
mengenai tujuannya atau perbuatannya.10

Etika (ethica) berasal dari kata ethos yang berarti watak, sedangkan adab
berarti keluhuran budi, sehingga menimbulkan kehalusan dan kesusilaan, baik
yang bersifat lahir maupun batin.

Sebagai suatu ilmu, etika harus bersistem dan bermetode, dalam pada itu
selalu diutamakan objektivitas dan eksperimen. Sebagai ilmu kemanusiaan, etika
dalam mempelajari soal-soal kebaikan dengan sendirinya atau mau tidak mau
mendapat pengaruh besar dari ilmu ketuhanan (theologi) dan selalu berhubungan
dengan ilmu pendidikan dan kehakiman.

Sedangkan pengertian etik/adab dihubungkan dengan adat istiadat, adab


berarti kebiasaan, sedangkan adat istiadat adalah kebiasaan yang dianggap baik
oleh khalayak dan dengan sengaja diperbaiki dan sebagai peraturan umum diakui
kekuatan ikatannya untuk dan oleh rakyat di suatu daerah atau tempat.11

Sedangkan bila dihubungkan dengan pendidikan, adab diartikan ketertiban


(tata) dalam hidup manusia, lahir dan batin, hingga hidup manusia itu berbeda
dengan hidup makhluk-makhluk lainnya. Sehingga kode etik guru diartikan
sebagai usaha pendidikan untuk mencapai cita-cita luhur bangsa dan negara
Indonesia sebagaimana yang termaktub di dalam pembukaan UUD 1945, mutlak
diperlukan sarana yang teratur dan tertib untuk dijadikan pedoman yang
merupakan tanggung jawab bersama.

Jadi, kode etik pendidik adalah norma-norma yang mengatur hubungan


kemanusiaan antara pendidik dan anak didik, koleganya serta dengan
atasannya.12

Suatu jabatan yang melayani orang lain selalu memerlukan kode etik.
Demikian juga jabatan pendidik. Bentuk kode etik suatu lembaga pendidikan
tidak harus sama, tetapi secara intrinsik mempunyai kesamaan isi yang berlaku
umum. Pelanggaran terhadap kode etik akan mengurangi nilai dan kewibawaan
identitas pendidik.13

Kode etik guru yang telah digariskan Al-Ghazali ratusan tahun yang silam
masih mempunyai relevansi dengan teori-teori pendidikan modern, bahkan dasar-
dasar yang telah diletakkannya kini dikembangkannya secara luas dan mendalam
sekali.

Al-Ghazali merumuskan kode etik pendidik/guru dalam 17 bagian, yaitu:

1. Menerima segala problem anak didik dengan hati lapang dan sikap terbuka
dan tabah.

2. Bersikap penyantun dan penyayang (QS. 3:159)

3. Menjaga kewibawaan dan kehormatannya dalam bertindak.

4. Menghindari dan menghilangkan sifat angkuh terhadap sesama (QS. 53:32)

5. Bersikap merendah ketika menyatu dengan sekelompok masyarakat (QS.


15:88)
6. Menghilangkan aktivitas yang tidak berguna dan sia-sia.

7. Bersifat lemah lembut menghadapi anak didik yang rendah tingkat IQ-nya
serta membinanya hingga tahap maksimal.

8. Meninggalkan sifat marah

9. Memperbaiki sikap anak didiknya dan bersikap lemah lembut terhadap anak
didik yang kurang lancar dalam berbicara.

10. Meninggalkan sifat yang menakutkan anak didik yang belum mengerti atau
mengetahui

11. Berusaha memperhatikan pertanyaan-pertanyaan anak didik walaupun


pertanyan itu tidak bermutu.

12. Menerima kebenaran dari anak didiknya yang membantah apa yang
disampaikannya

13. Mencegah anak didik untuk mempelajari ilmu yang membahayakan (QS.
2:195)

14. Menjadikan kebenaran sebagai acuan proses pendidikan walaupun kebenaran


itu datangnya dari anak didik

15. Menanamkan sifat ikhlas pada anak didik, serta terus menerus mencari
informasi guna disampaikan kepada anak didik yang akhirnya mencapai pada
tingkat taqarrub kepada Allah (QS. 98:5)

16. Mencegah anak didik untuk mempelajar ilmu yang hukumnya fardu kifayah
sebelum mempelajari ilmu yang hukumnya fardu ain

17. Mengaktualisasikan informasi yang akan diajarkan kepada anak didik (QS.
2:44 dan 61:2-3)

Membahas mengenai kode etik pendidik akan selalu berkembang dan


bertambah seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan pendidikan yang
disesuaikan dengan sasaran dan tujuannya. Sehingga kode etik guru merupakan
norma-norma yang akan selalu berkembang. Setiap ahli pendidikan
mengemukakan pendapatnya berbeda-beda sesuai dengan batasan dan pandangan
mereka terhadap tuntunan pendidikan yang dikaitkan dengan unsur terpenting
dalam pendidikan yaitu seorang pendidik. Maka dapat disimpulkan bahwa kode
etik pendidik/guru ini dapat diklasifikasikan dalam beberapa bagian, antara lain:

a. Kode etik pendidik terhadap murid


b. Kode etik pendidik terhadap sesama guru atau rekan sejawat

c. Kode etik pendidik terhadap atasannya

d. Kode etik pendidik terhadap pegawai tata usaha

e. Kode etik pendidik terhadap orang tua murid

f. Kode etik pendidik terhadap masyarakat

D. Kesimpulan

Pendidik menurut perspektif pendidikan Islam adalah orang-orang dewasa


yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik dengan
mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik yang meliputi potensi
kognitif, potensi afektif, dan potensi psikomotorik untuk mencapai kedewasaan
jasmani dan rohani serta dapat berdiri sendiri memenuhi kewajiban sebagai hamba
Allah, makhluk sosial, dan makhluk individu.

Banyak sekali ungkapan yang mengemukakan tentang betapa tinggi


kedudukan seorang pendidik menurut perspektif Islam, antara lain:

- Pendidik mempunyai kedudukan mulia, setingkat di bawah para nabi dan rasul

- Pendidik adalah bapak rohani (spiritual father) karena ia mendidik jiwa, akal,
dan roh manusia.

Kode etik adalah segala norma kebaikan (dan keburukan) yang mengatur
hubungan kemanusiaan antara pendidik dengan murid, dengan sesama guru atau
rekan sejawat, dengan atasannya, dengan pegawai tata usaha, dengan orang tua
murid, dan dengan masyarakat.

Apabila semua hubungan yang diatur di dalam kode etik ini dijalankan
dengan baik, maka akan mempermudah tercapainya tujuan pendidikan. Dalam
pelaksanaannya, sangat dibutuhkan kerja sama semua pihak yang terkait dalam
pendidikan, tidak hanya membebankan kepada satu unsur saja, seperti hanya
kepada seorang pendidik, tetapi perlu mendapat dukungan dari pihak-pihak lain.
(Endnotes)

1 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung:


Remaja Rosdakarya, 1992), Cet. I, h. 74-75
2 Surya Subrata, Beberapa Aspek Dasar Kependidikan, (Jakarta: Bina Aksara,
1983), Cet. I, h. 26
3 Muhaimin dan Abdul Majid, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda
Karya, 1990), h. 168
4 Muhaimin dan Abdul Majid, Pemikiran Pendidikan Islam, h. 75
5 Muhaimin dan Abdul Majid, Pemikiran Pendidikan Islam, h. 76
6 Muhaimin dan Abdul Majid, Pemikiran Pendidikan Islam, h. 168
7 Muhammad Athiyah Al-Abrasy, Dasar-darsar Pendidikan Islam, Terjemahan
Bustami Abdul Gani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 135-136
8 Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Terjemahan Ismail Yakub, (Semarang:
Faizan, 1979), Cet. VI, h. 65-70
9 Team Dosen IKIP Malang, 1981
10 Tim Didaktik Metodik Kurikulum IKIP Surabaya, Pengantar Didaktik Metodik
Kurikulum PBM, (PT Raja Grafindo Persada, 1993), Cet. V, h. 15
11 Tim Didaktik Metodik Kurikulum IKIP Surabaya, Pengantar Didaktik Metodik
Kurikulum PBM, h. 16
12 Tim Didaktik Metodik Kurikulum IKIP Surabaya, Pengantar Didaktik Metodik
Kurikulum PBM, h. 17
13 Wasty Soemanto dan Hendyat Soetopo, Dasar dan Teori Pendidikan,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1982), h. 147
BAB V
PESERTA DIDIK
DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Dalam dunia pendidikan tentunya tidak lepas dari pembicaraan masalah


proses berlangsungnya belajar mengajar, baik itu secara langsung ataupun tidak
langsung. Pada intinya dalam proses belajar mengajar terdapat dua komponen
pendidikan yang sangat esensial eksistensinya, yaitu pendidik dan peserta didik.

Dikatakan esensial eksistensi keduanya karena sangat berpengaruh


terhadap tujuan-tujuan pendidikan yang dituangkan dalam undang-undang.
Sebuah lembaga pendidikan dikatakan berhasil tidak hanya dilihat dari banyaknya
peserta didik yang dihasilkan, namun ada yang sangat urgen dari hal tersebut yaitu
mampukah sebuah lembaga pendidikan menciptakan lulusannya yang berkualitas
dan purnadimensial.

Peserta didik merupakan raw material (bahan mentah) dalam proses


transformasi pendidikan. Karena ia akan dididik sedemikian rupa sehingga
menjadi manusia yang mempunyai intelektualitas tinggi dan akhlak yang mulia.
Mungkin di satu pihak peserta didik sebagai objek pendidikan, namun di lain
pihak peserta didik bisa dikatakan sebagai subjek pendidikan.

Pada bab ini akan dibahas mengenai peserta didik dalam pendidikan Islam
yang meliputi pembahasan tentang pengertian peserta didik, kedudukan peserta
didik, kode etik peserta didik, kriteria peserta didik dalam pendidikan Islam, dan
pendekatan-pendekatan peserta didik.

A. Pengertian Peserta Didik1

Dalam ilmu pendidikan banyak sekali pengertian tentang peserta didik


yang dikeluarkan oleh para pakar pendidikan. Namun perlu digarisbawahi pada
setiap pendapat para pakar tersebut dengan tanpa menyalahinya, bahwa dari sudut
mana ia memberikan pengertian tentang peserta didik itu.

Al-Ghazali memberikan pengertian tentang peserta didik sebagai anak


yang sedang mengalami perkembangan jasmani dan rohani sejak awal terciptanya
dan merupakan objek utama dari pendidikan. Pendapat Al-Ghazali ini lebih
menekankan peserta didik dari sudut keagamaan, karena ia (Al-Ghazali)
memberikan argumennya melalui kata fitrah yang berarti suci dan menurut hadis
Nabi Manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya orang tuanya yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.

Al-Ghazali juga mengatakan peserta didik sebagai objek utama


pendidikan. Jika peserta didik dikatakan sebagai objek pendidikan, maka tak
ubahnya peserta didik bagaikan sebuah wadah kosong yang bisa diisi apa saja
oleh orang (pendidik) dengan tanpa mengeluarkan apa-apa yang ada di dalam
ciduk tersebut. Hal ini bisa menjadikan anak didik pasif, tidak memberikan
pikirannya, argumen dan daya nalarnya, peserta didik menerima begitu saja setiap
yang diberikan oleh pendidiknya, tidak aktif dan pendidik cenderung bersikap
otoriter. Keadaan semacam ini biasanya terjadi di lembaga pendidikan yang masih
tradisional, terpencil dan jauh dari suasana perkotaan. Namun ada juga sisi
positifnya dari pendapat Al-Ghazali yaitu peserta didik lebih menghormati para
pendidiknya.

Selain definisi yang dikemukakan Al-Ghazali, ada juga yang


mendefinisikan peserta didik sebagai mitra pendidik. Seseorang yang memandang
peserta didik sebagai mitra pendidik ini lebih menekankan peserta didik dari sudut
psikologis. Dengan alasan kalau peserta didik dianggap sebagai mitra pendidik,
maka terjadi hubungan pendekatan yang lebih harmonis antara pendidik dan
peserta didik. Ada sisi baiknya pendapat yang mengatakan demikian di antaranya
peserta didik lebih bebas mengeluarkan pendapatnya, daya nalarnya dan
pemikirannya sekalipun itu bertentangan dengan yang dikemukakan pendidiknya.
Dalam hal ini peserta didik ditempatkan sebagai subjek pendidikan karena anak
didik cenderung bersikap aktif. Salah satu kelemahan pendapat tersebut adalah
peserta didik cenderung kurang atau bahkan tidak menghormati dan patuh kepada
pendidiknya dan kode etik yang ada pada dirinya.

Jika demikian halnya, maka ada baiknya kita mengambil benang merah
dari definisi tentang peserta didik yang penuh dengan fenomena. Secara universal,
baik itu Islam atau non Islam, pengertian peserta didik adalah seseorang dalam
artian umum, baik dewasa ataupun belum dewasa yang sedang menjalankan
proses pendidikan, baik formal, informal, maupun nonformal sehingga
menghasilkan sesuatu yang yang tidak ada pada diri peserta didik menjadi ada,
baik itu berupa ilmu pengetahuan, etika maupun keterampilan yang hasilnya
teraplikasi dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Itulah beberapa pengertian yang dapat dijabarkan, yang pada intinya


peserta didik adalah orang yang sedang menjalankan proses belajar. Namun
perbedaan yang diberikan oleh para pakar adalah perbedaan redaksional dan sudut
pandang saja.

B. Kedudukan Peserta Didik

Berbicara tentang kedudukan peserta didik sangat erat kaitannya dengan


pengertian peserta didik yang telah dijelaskan sebelumnya. Banyak sekali
pendapat yang mengemukakan kedudukan peserta didik, namun pada hakikatnya
adalah sama dan tidaklah bertentangan satu dengan lainnya. Akan tetapi tentunya
setiap pendapat sudah pasti memiliki kelebihan dan kelemahan yang dapat saling
melengkapi.

Al-Ghazali mengatakan bahwa kedudukan peserta didik adalah sebagai


objek pendidikan. Ada benarnya pendapat Al-Ghazali tersebut karena peserta
didik adalah orang yang dikenai, diajarkan, dididik, dan dibina oleh pendidik.
Kelemahan dari pendapat tersebut adalah peserta didik menjadi pasif, tidak
mengeluarkan pendapatnya dan terlalu mengkultuskan pendidiknya. Sisi positif
dari pendapat Al-Ghazali tersebut adalah peserta didik lebih menghormati
pendidiknya dan pendidikannya lebih terarah sebagaimana yang diharapkan oleh
pendidik.

Ada juga yang mengatakan bahwa kedudukan peserta didik dalam


pendidikan Islam adalah sebagai mitra pendidik.2 Tujuan yang ingin dicapai dari
pendapat demikian agar peserta didik dapat mengembangkan intelektualnya.
Peserta didik bebas berpendapat sekalipun pendapatnya itu bertentangan dengan
pendidiknya, dan penalaran peserta didik lebih aktif. Pendapat seperti ini banyak
sekali dipakai pada pendidikan Barat di mana peserta didik dan pendidiknya
seperti teman belaka. Kelemahan yang terdapat dalam sistem pendidikan seperti
ini, di antaranya peserta didik kurang menghormati pendidiknya dan pendidikan
yang ada pada peserta didik kurang terarah sebagaimana yang dikehendaki oleh
pendidiknya.

Selain dari dua pendapat di atas, ada juga pendapat yang menyatakan
kedudukan peserta didik sebagai orang/murid untuk menuangkan ilmu dari
pendidiknya. Pendapat demikian itu telah keluar dari tujuan-tujuan pendidikan
Islam. Dengan alasan apabila peserta didik dikatakan sebagai murid untuk
menuangkan ilmu dari pendidiknya, berarti tugas pendidik hanyalah mengajar,
tidak mendidik peserta didiknya.

Sedangkan yang terakhir adalah pendapat yang menyatakan bahwa peserta


didik adalah orang yang sedang belajar. Pendapat seperti ini bisa saja diterima
karena memang pada dasarnya peserta didik adalah orang yang sedang belajar.
Akan tetapi perlu diketahui bahwa seseorang yang sedang belajar belum tentu ia
sedang dididik, maka dari itu agar lebih sempurna pendapat ini ditambahkan yaitu
peserta didik berkedudukan sebagai orang yang sedang belajar dan mendapatkan
pendidikan.

C. Kode Etik Peserta Didik

Peserta didik dalam suatu satuan pendidikan mempunyai kewajiban-


kewajiban dan juga hak-hak yang harus diperhatikan. Kewajiban dan hak peserta
didik sering disebut juga dengan istilah kode etik peserta didik. Al-Ghazali
menekankan kode etik peserta didik dari segi tasawuf, karena memang ia seorang
sufi. Ia lebih memperhatikan sikap peserta didik kepada pendidik. Kode etik
peserta didik yang diajarkan oleh Al-Ghazali antara lain: 1) Jangan berbicara di
hadapan guru, 2) Jangan bicara jika tidak diajak bicara oleh guru, 3) Jangan
bertanya jika belum minta izin terlebih dahulu. 4) Jangan bertanya kepada guru di
tengah jalan, tapi sabarlah nanti setelah sampai di rumah. 5) Jangan berunding
dengan teman di tempat duduknya atau bicara dengan guru sambil tertawa.
Namun, pendapat Al-Ghazali tentang kode etik peserta didik di zaman sekarang
banyak diabaikan padahal pendapat yang diberikan Al-Ghazali sangat sesuai
dengan ajaran Islam.

Adapun di negara kita masalah kode etik peserta didik telah diatur dalam
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada bab
V pasal 12 ayat 2 disebutkan setiap peserta didik berkewajiban menjaga norma-
norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan
pendidikan.

D. Kriteria Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam

Peserta didik dalam pendidikan Islam sebenarnya memiliki kriteria-kriteria


yang sedikit berbeda dengan peserta didik umum. Kriteria peserta didik dalam
pendidikan Islam mungkin sangat erat dengan kode etik peserta didik itu sendiri.
Adapun kriteria yang akan disebutkan nanti bukan berarti kewajiban yang
memang harus ada secara paksa, melainkan secara universal. Kriteria tersebut
adalah norma yang diajarkan dalam agama Islam. Kriteria itu antara lain: 1)
Peserta didik dalam pendidikan Islam tidak mengenal usia, dalam arti setiap
individu muslim berkewajiban untuk menuntut ilmu dari ia dilahirkan sampai ia
meninggal (life long education). 2) Peserta didik dalam pendidikan Islam selalu
menghormati sopan santun dan tata krama yang baik terhadap pendidik dan dalam
pergaulan sehari-hari. 3) Peserta didik dalam pendidikan Islam menanggapi suatu
persoalan tidak hanya mencari solusinya dengan satu disiplin ilmu, melainkan dari
berbagai aspek keilmuan. 4) Peserta didik dalam pendidikan Islam dalam
mengambil suatu keputusan ataupun untuk mengeluarkan pendapatnya tidak boleh
bertentangan dengan aqidah, Al-Quran dan Hadis.

Pendidikan Islam haruslah menyajikan materi pendidikan yang menyatu


dengan jiwa dan akal peserta didik sehingga dapat mewujudkan nilai etis atau
kesucian, yang merupakan nilai dasar bagi seluruh aktivitas manusia, sekaligus
harus mampu melahirkan keterampilan dalam materi yang diterimanya. Hal ini
menjadi suatu kewajiban karena merupakan tujuan pendidikan menurut konsep
Al-Quran dan Hadis.

E. Pendekatan-pendekatan Peserta Didik

Pendekatan-pendekatan yang terdapat dalam usaha mempengaruhi peserta


didik dalam proses pendidikan terdapat tiga pendekatan, yaitu: pendekatan sosial
(social approach), pendekatan psikologi (psychology approach), dan pendekatan
edukatif (paedagogis approach). Pendekatan sosial yaitu menempatkan anak didik
sebagai anggota masyarakat yang sedang disiapkan untuk menjadi anggota
masyarakat yang baik. Pendekatan psikologis yaitu menempatkan anak didik
sebagai suatu organisme yang sedang tumbuh dan berkembang. Pendekatan
edukatif yaitu menempatkan anak didik sebagai unsur yang sangat penting dalam
rangka proses pendidikan.

F. Kesimpulan

1. Peserta didik adalah seseorang dalam arti umum, baik dewasa ataupun belum
dewasa yang sedang menjalankan proses pendidikan, baik formal, informal,
maupun nonformal sehingga menghasilkan sesuatu yang tidak ada pada
dirinya menjadi ada, baik itu berupa ilmu pengetahuan, etika maupun
keterampilan yang hasilnya teraplikasi dalam kehidupan beragama,
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

2. Kedudukan peserta didik ada yang mengatakan sebagai objek pendidikan, ada
juga yang mengatakan sebagai subjek pendidikan, yang masing-masing
mempunyai kelebihan dan kekurangan.

3. Peserta didik dalam menjalankan tugasnya di dalam pendidikan mempunyai


kode etik atau peraturan tentang peserta didik yang isinya mencakup tentang
kewajiban-kewajiban dan hak-hak peserta didik.

4. Pendekatan-pendekatan terhadap anak didik meliputi pendekatan sosial,


pendekatan psikologis dan pendekatan paedagogis.

Endnote

1Dalam pendidikan Islam, istilah lain untuk peserta didik adalah al-shabiy, murid,
al-mutaalim, thalib al-ilmi, tilmiz, thifl. Abuddin Nata dan Fauzan, Pendidikan
Dalam Perspektif Hadits (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h, 249; Abuddin
Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Gaya Muda Pratama, 2005), h. 131;
Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 74
2Mitra lebih identik dengan subyek atau pelaku pendidikan. Lihat; Samsul Nizar,
Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis (Jakarta:
Ciputat Press, 2002), h. 47

BAB VI
ALAT PENDIDIKAN ISLAM

Berhasil atau tidaknya proses pendidikan itu dipengaruhi oleh berbagai


faktor yang mendukung. Karena itu pendidikan Islam memerlukan landasan,
tujuan, lingkungan, dan tidak kalah pentingnya alat-alat pendidikan yang dapat
membantu terwujudnya tujuan pendidikan.

Pada bab ini akan dibicarakan salah satu faktor pendukung pendidikan,
yaitu alat pendidikan. Tinjauan tentang alat pendidikan ini meliputi pengertian alat
pendidikan, fungsi alat pendidikan, jenis-jenis alat pendidikan, dan penggunaan
alat pendidikan.

A. Pengertian Alat Pendidikan

Alat pendidikan adalah segala sesuatu yang dapat menunjang kelancaran


proses pelaksanaan pendidikan. Pengertian ini mengarah pada alat sebagai sarana.
Kata alat memang identik dengan benda, tetapi alat pendidikan tidak hanya terdiri
dari benda-benda konkret saja, tetapi juga benda abstrak seperti nasihat,
bimbingan, hukuman, hadiah, dan sebagainya.

Menurut Sutari Imam Barnadib, alat pendidikan yaitu tindakan atau


perbuatan atau situasi atau benda yang dengan sengaja diadakan untuk mencapai
suatu tujuan pendidikan.1 Pengertian ini mengarah pada alat sebagai metode dan
alat sebagai sarana.

Sedangkan menurut Roestiyah NK alat pendidikan adalah metode dan


teknik yang digunakan dalam rangka meningkatkan efektivitas komunikasi dan
interaksi edukatif antara guru dan murid dalam proses pendidikan. Pengertian ini
mengarah pada alat sebagai metode.
B. Jenis-jenis Alat Pendidikan

Banyak sekali alat-alat yang digunakan sebagai alat pendidikan. Namun


secara garis besar alat pendidikan dibagi ke dalam dua bagian, yaitu alat
pendidikan yang bersifat konkret dan alat pendidikan yang bersifat abstrak.
Contoh alat pendidikan yang bersifat konkret adalah manusia, alam dan benda-
benda, sedangkan contoh alat pendidikan yang bersifat abstrak adalah hal-hal
yang ada pada manusia seperti pengetahuan, pengalaman, kebiasaan, nasihat,
bimbingan, hukuman, hadiah, dan sebagainya.

Berikut ini dijelaskan alat-alat pendidikan tersebut:

1. Manusia, terdiri dari pendidik dan anak didik

Pendidik dan anak didik adalah alat pendidikan yang bertanggung jawab
khusus dalam hal pemilihan alat-alat2. Dalam diri pendidik dan anak didik
terdapat alat pendidikan yang bersifat abstrak, antara lain:

a. Pengetahuan, contohnya seorang murid yang mempelajari Al Quran harus


memiliki pengetahuan bahasa Arab. Maka pengetahuan bahasa Arab sebagai
alat pendidikan dalam mempelajari Al-Quran.

b. Pengalaman, pengalaman dijadikan sebagai alat pendidikan ini sesuai dengan


pepatah Belajarlah dari pengalamanmu.

c. Keterampilan, murid yang mempelajari Al-Quran harus memiliki keterampilan


membaca dan menulis untuk memperlancar proses belajar mengajar.

d. Kebiasaan, contoh dalam pelajaran Fiqh perlu ditanamkan kebiasaan pada


murid dalam praktik shalat agar kebiasaan tersebut memudahkan murid untuk
cepat mengerti.

e. Tingkah laku perbuatan/teladan, anak didik itu mudah meniru dan mengikuti
semua tingkah laku, baik perbuatan ataupun cara bicara karena itu pendidik
harus memberikan contoh yang baik. Dalam hal ini Rasulullah juga
memberikan teladan yang baik kepada umatnya. Firman Allah:
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang
baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah
dan keselamatan hari kiamat dan banyak menyebut (mengingat) Allah.
(QS. Al-Ahzab: 21)

f. Anjuran atau perintah, dengan anjuran/perintah ini diharapkan anak didik


mendengar apa yang harus dikerjakan. Contoh ayat Al-Quran yang berupa
perintah/anjuran adalah:

Artinya: Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketaqwaan (QS.
Al-Maidah: 2)

g. Larangan, dengan larangan ini diharapkan anak didik mendengar apa yang
harus ditinggalkan. Contoh ayat Al-Quran yang berupa larangan adalah:

Artinya: Dan janganlah kamu tolong menolong dalam dosa dan permusuhan
(QS. Al-Maidah: 2)

h. Hukuman adalah konsekwensi dari pelanggaran terhadap perintah atau larangan

Alat pendidikan yang bersifat abstrak di atas dibedakan menjadi tiga,


yaitu:

1. Alat-alat pendidikan yang sesuai dengan taraf perkembangan anak dan taraf
sukarnya alat tersebut diterima oleh peserta didik, seperti pengetahuan,
kebiasaan, dan keterampilan.

2. Alat-alat langsung atau alat-alat positif yaitu alat-alat yang bersifat


menganjurkan sejalan dengan maksud usaha, seperti anjuran, perintah, dan
suri tauladan.

3. Alat-alat tidak langsung atau alat-alat negatif yaitu alat-alat yang bersifat
pencegahan dan pembasmian hal-hal yang bertentangan dengan tujuan, antara
lain larangan, hukuman, peringatan, dan sejenisnya.

2. Alam

Alam semesta ciptaan Tuhan juga dapat dijadikan sebagai alat pendidikan,
baik alam nyata maupun alam tidak nyata. Contoh alam nyata yang dapat
dijadikan sebagai alat pendidikan adalah perubahan siang dan malam, peristiwa-
peristiwa alam (hujan, kilat, panas). Semua itu alat pendidikan yang langsung
dapat kita rasakan dan kita lihat.

Sedangkan contoh alam tidak nyata yang dijadikan sebagai alat pendidikan
yaitu seorang guru yang mengajarkan ilmu ghaib kepada muridnya sehingga ia
dapat berkomunikasi dengan makhluk halus seperti jin dan jin tersebut dapat
dimanfaatkan oleh manusia untuk melakukan hal di luar kemampuan manusia.

Selain itu dalam Al-Quran surat Al-Ghasiyah ayat 17-21 juga dijelaskan
bahwa alam ini diciptakan sebagai peringatan. Di antara peringatan itu adalah agar
manusia memperhatikan bagaimana unta diciptakan, langit ditinggikan, gunung
ditegakkan, dan bumi dihamparkan sehingga manusia dapat mengambil pelajaran
dari peringatan tersebut.

3. Benda-benda

Dalam hal ini benda-benda yang dapat dijadikan sebagi alat pendidikan
lebih mengacu pada jenis konkret. Benda konkret ini terbagi dua, yaitu:

1. Benda-benda tradisional

Maksud benda tradisional ini adalah benda-benda yang tidak memerlukan


teknologi modern dalam pembuatan dan penggunaannya. Contohnya papan
tulis, buku-buku cetak, gambar, lukisan, peta, dan lain sebagainya.

2. Benda-benda modern

Contoh benda modern yang dijadikan sebagai alat pendidikan adalah


gambar yang diproyeksikan dengan alat seperti foto, film, slide, televisi, video,
dan lain-lain. Sedangkan contoh alat untuk didengar adalah audio tape
recorder, radio, piringan hitam, CD Audio, dan lain-lain.

C. Fungsi Alat Pendidikan

Secara garis besar fungsi alat pendidikan dibedakan menjadi tiga bagian,
yaitu:

1. Sebagai Perlengkapan

Sebagai perlengkapan, alat pendidikan membantu mempermudah


pelaksanaan proses pendidikan, karena itu jangan sampai alat tersebut justru
menghambat berlangsungnya proses pendidikan ini. Contoh, untuk
menyeberangi sungai kita dapat memakai perahu, ban, jembatan dan sebagainya,
maka kita harus memilih alat yang efisien dan sesuai dengan situasi dan kondisi.
Dalam pendidikan kita mengambil contoh yaitu ketika mata kuliah muhadasah,
tersedia alat-alat seperti spidol, papan tulis, kaset, tape, CD audio, ruang kelas
dan ruang laboratorium bahasa. Alat tersebut harus disesuaikan dengan jenis
mata kuliah, maka dari itu kita memilih tape, kaset, dan laboratorium bahasa.

2. Sebagai pembantu untuk mempermudah usaha mencapai tujuan

Kami contohkan, ketika seorang murid mempelajari Al-Quran, maka


murid tersebut harus mempunyai modal berupa keterampilan berbahasa Arab
untuk membantu dan mempermudah dirinya dalam mempelajari Al-Quran
tersebut.

3. Alat sebagai tujuan

Contoh seorang belajar bahasa Arab dengan tujuan mengetahui isi Al-
Quran yang sesungguhnya.

D. Penggunaan Alat Pendidikan

Setelah alat tersebut tersedia kita harus mengetahui bagaimana


penggunaan alat tersebut karena penggunaan alat pendidikan tergantung pada
banyak faktor. Kemampuan menyesuaikan alat yang digunakan dengan faktor
yang mendukung merupakan penentu berhasil atau tidaknya suatu pendidikan
mencapai tujuannya.3

Penggunaan alat pendidikan harus disesuaikan dengan beberapa hal,


antara lain:

1. Kematangan anak dalam menggunakan alat pendidikan.

Dalam masalah ini peran pendidik sangat besar yaitu untuk membantu dalam
pemilihan alat agar alat tersebut berfungsi sebagai penunjang efektivitas
belajar bukan sebagai penghambat. Selain itu pemilihan alat pendidikan juga
harus disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan siswa.

2. Ruangan dan waktu

a. Ruangan adalah lingkungan yang ada di sekitar anak didik, contoh kelas. Jika
seorang mengajar mengunakan metode diskusi maka ruangan kelas harus
disesuaikan dengan metode itu.
b. Waktu

Jika seseorang mengajar pada waktu siang hari lalu digunakan metode
ceramah. Apakah metode dan waktunya sudah sesuai?

Menurut Zakiah Daradjat, pemilihan alat pendidikan harus disesuaikan


antara lain:4

1. Pentingnya alat itu untuk mencapai tujuan atau kesesuaian alat itu dengan
pengajaran

2. Alat itu harus disesuaikan dengan kemampuan siswa

3. Harus diperhatikan keadaan sekolah dan kondisi sekolah dalam pengadaan alat-
alat pendidikan

4. Memperhatikan waktu yang tersedia untuk mempersiapkan alat dan


penggunaannya di kelas

5. Harga atau biaya alat itu hendaknya sesuai dengan efektivitas alat

E. Kesimpulan

Pada dasarnya alat pendidikan itu adalah segala sesuatu yang digunakan
untuk membantu kelancaran proses pendidikan, baik alat sebagai metode maupun
alat sebagai sarana.

Jenis-jenis alat pendidikan secara garis besar dapat dibedakan antara lain:
manusia terdiri dari pendidik dan anak didik, alam terdiri dari alam nyata dan
tidak nyata, serta benda terdiri dari benda tradisional dan benda modern.

Fungsi alat pendidikan yaitu sebagai perlengkapan, pembantu pencapaian


tujuan, dan sebagai tujuan. Sedangkan penggunaan alat pendidikan disesuaikan
dengan kematangan anak didik dalam penggunaan alat tersebut dan masalah
ruangan dan waktu.

(Endnotes)

1 Jalaluddin dan Said Usman, Filasafat Pendidikan Islam dan Sistem Pendidikan
Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), Cet. II, h. 56

2 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT


Al-Maarif, 1989), Cet VIII, h. 55

3 Jalaluddin dan Usman Said, Filasafat Pendidikan Islam dan Sistem


Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), Cet. II, h. 57
4 Zakiah Daradajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992),
Cet. II, h. 82

BAB VII
KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM

Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan


dalam suatu sistem pendidikan karena kurikulum merupakan alat untuk mencapai
tujuan pendidikan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran pada
semua jenis dan jenjang pendidikan.

Tujuan pendidikan di suatu negara ditentukan oleh falsafah dan pandangan


hidup negara tersebut yang mengakibatkan berbeda pula tujuan yang hendak
dicapai dalam pendidikan dan sekaligus akan berpengaruh pula terhadap
kurikulum di lembaga-lembaga pendidikan yang ada di negara tersebut. Begitu
pula perubahan politik pemerintahan suatu negara mempengaruhi bidang
pendidikan yang sering membawa akibat terjadinya perubahan kurikulum yang
berlaku. Oleh karena itu, kurikulum senantiasa bersifat dinamis guna lebih
menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi.

Di Indonesia kurikulum merupakan produk baru dunia pendidikan.


Sebelumnya lebih banyak digunakan rencana pengajaran dan selanjutnya
digunakan Prosedur Pengembangan Sistem Intruksional (PPSI). Kurikulum di
Indonesia digunakan dan terus dibakukan dengan alasan mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, psikologi anak, dan tuntutan kebutuhan anak,
masyarakat dan zaman.

Ada lima dasar yang dijadikan pertimbangan untuk melakukan


penyusunan maupun perubahan kurikulum, yaitu:

1. Falsafah negara

2. Perkembangan IPTEK dan kebudayaan

3. Tuntutan masyarakat terhadap hasil pendidikan

4. Ketenagaan dan praktik pendidikan

5. Kondisi sosiopsikologi anak didik

Untuk lebih mengetahui hal ihwal kurikulum, baik dari segi asal-usul
kurikulum sampai dengan perkembangannya, baik dalam pendidikan umum
maupun pendidikan Islam, penulis akan menjabarkannya berikut ini.
A. Pengertian Kurikulum

Di dalam kamus Websters Third New International, istilah kurikulum


awal mulanya digunakan dalam dunia olahraga pada zaman Yunani Kuno.
Kurikulum dalam bahasa Yunani berasal dari kata curir artinya pelari, curere
artinya tempat berpacu. Jadi secara etimologi kurikulum diartikan jarak yang
harus ditempuh oleh pelari.1

Pengertian kurikulum dalam dunia pendidikan terdapat banyak rumusan


dari para ahli. Crow dan Crow merumuskan bahwa kurikulum adalah rancangan
pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematis
yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan
tertentu.2

Pendapat ini sangat sesuai dengan rencana pelajaran yang kita kenal pada
sekolah-sekolah di negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia.
Pendidik di negara-negara tersebut membatasi kurikulum pada dinding sekolah
yang di dalamnya diajarkan suatu deretan mata pelajaran di mana murid-murid
diwajibkan belajar dan menghafal dengan tekun.

Selanjutnya sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan


kemajuan dunia pendidikan, definisi kurikulum tersebut dipandang sudah
ketinggalan zaman. Di kalangan pendidik modern timbul konsepsi baru dalam
tentang definisi kurikulum, antara lain:

1. Harold B. Alberty dan Elsie J. Alberty dalam bukunya Reorganizing The


High School Curriculum mengartikan kurikulum dengan aktivitas/kegiatan
yang dilakukan murid sesuai dengan peraturan-peraturan sekolah.3

2. Menurut Saylor dan Alexander, sebagaimana dikutip S. Nasution, kurikulum


bukan hanya sekadar memuat sejumlah mata pelajaran, tetapi termasuk di
dalamnya segala usaha sekolah untuk mencapai tujuan yang diinginkan, baik
usaha tersebut dilakukan di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah.4

3. Zakiah Daradjat menyatakan kurikulum adalah suatu program pendidikan yang


direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan
pendidikan tertentu.5
4. Hasan Langgulung dalam bukunya Manusia dan Pendidikan menyatakan
bahwa kurikulum adalah sejumlah pengalaman pendidikan, kebudayaan, sosial,
olahraga, dan kesenian yang disediakan oleh sekolah bagi murid-murid di
dalam dan di luar kelas dengan maksud menolongnya untuk berkembang
secara menyeluruh dalam segala segi dan mengubah tingkah laku mereka
sesuai dengan tujuan-tujuan pendidikan.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kurikulum tidak


hanya berisi mata pelajaran dan kegiatan di dalam sekolah, tetapi juga mencakup
berbagai aspek di luar sekolah yang berisi materi yang ditujukan untuk
pengembangan potensi anak didik guna kepentingan hidupnya di masyarakat.

Pada dasarnya kurikulum mencakup empat aspek, yaitu:

1. Tujuan pendidikan yang akan dicapai kurikulum itu

2. Pengetahuan atau materi pelajaran

3. Metode, cara-cara mengajar dan bimbingan yang diikuti oleh murid-murid


untuk mendorong mereka ke arah yang dikehendaki oleh tujuan yang dirancang.

4. Metode dan cara penilaian yang digunakan dalam mengukur hasil proses
pendidikan yang dirancang dalam kurikulum.6

B. Kurikulum Menurut Pendidikan Islam

Adapun pengertian kurikulum dalam pendidikan Islam, jika kita kembali


kepada kamus-kamus Bahasa Arab, maka kita dapati kata-kata manhaj yang
bermakna jalan terang yang dilalui oleh pendidik/guru latih dengan orang-orang
yang terdidik atau dilatihnya untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan,
dan sikap mereka.

Pengertian yang sempit tersebut bukan hanya berlaku di dunia Islam,


tetapi juga berlaku pada sebagian negeri-negeri Timur, Afrika, dan Barat yang
bukan Islam. Mengapa demikian? Karena kurikulum pada sebagian besar dunia
Islam pada periode akhir dalam sejarahnya belum berkenalan dengan konsep
pendidikan modern. Baru pada abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 para
pendidik modern mulai mengecam konsep, metode, dan alat-alat pendidikan yang
berlaku di masjid-masjid, universitas-universitas Islam yang mulai muncul dalam
dunia Islam pada pertengahan abad ke-19.
Kecaman-kecaman para pendidik modern telah menarik perhatian para
pendidik dan perencana kurikulum dalam dunia Islam dan telah mendorong para
pendidik untuk melengkapi kekurangan-kekurangan mereka dengan mengikuti
semangat pendidikan modern di dunia Barat.

Kecaman tersebut juga telah mengubah definisi mereka mengenai


kurikulum, yaitu bahwa kurikulum tidak hanya meliputi mata pelajaran dan
pengalaman yang tersusun yang berlaku di dalam kelas, tetapi meliputi semua
kegiatan kebudayaan, kesenian, olah raga dan sosial yang dikerjakan oleh murid-
murid di luar jadwal waktu dan di luar kelas di bawah bimbingan sekolah.7

Adapun tujuan pendidikan yang akan dicapai oleh kurikulum dalam


pendidikan Islam adalah sama dengan tujuan pendidikan Islam itu sendiri, yaitu
membentuk akhlak yang mulia dalam kaitannya dengan hakikat penciptaan
manusia. Dalam hal ini, maka pengertian kurikulum pendidikan Islam berisi
materi pendidikan seumur hidup, sebagai realisasi tuntunan Nabi yang berbunyi:
Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat.8

Kurikulum dalam pendidikan Islam mempunyai ciri-ciri khusus, yaitu:

1. Menonjolkan tujuan agama dan akhlakul karimah, baik dalam tujuan


pengajaran, materi, dan pelaksanaannya

2. Kandungan materi pendidikan mencakup aspek jasmaniah, intelektual,


psikologi, maupun spiritual

3. Adanya keseimbangan antara ilmu syariat dengan ilmu akliyat

4. Tidak melupakan bahan maupun apresiasi seni, tetapi juga tidak merusak
perkembangan akhlakul karimah

5. Mempertimbangkan perkembangan dan kondisi peserta didik.9

C. Dasar, Prinsip, dan Fungsi Kurikulum

1. Dasar Kurikulum

Dasar kurikulum adalah kekuatan-kekuatan utama yang mempengaruhi


dan membentuk materi, susunan, atau organisasi kurikulum. Dasar kurikulum
disebut juga sumber kurikulum atau determinasi kurikulum (penentu).

Herman H. Horne membagi dasar kurikulum menjadi 3 macam, yaitu:


a. Dasar psikologis, yang digunakan untuk mengetahui kemampuan yang
diperoleh dari pelajar dan kebutuhan anak didik (the ability and needs of
children)

b. Dasar sosiologi, yang digunakan untuk mengetahui tuntutan yang sah dari
masyarakat (the legitimate demands of society)

c. Dasar filosofis, yang digunakan untuk mengetahui keadaan alam semesta


tempat kita hidup (the kind of universe in which we live)

Pendapat Herman di atas sesungguhnya belum menjamin bahwa suatu


kurikulum dapat dijadikan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, karena belum
memasukkan nilai-nilai yang wajib diresapi oleh anak sejalan dengan tujuan yang
ditetapkan.10 Nilai-nilai yang wajib diresapi oleh anak menurut Al-Syaibani
adalah nilai agama Islam yang berdasarkan Al-Quran dan Hadis. Oleh karena itu,
Al-Syaibani menetapkan 4 dasar dalam kurikulum pendidikan Islam, yaitu:

1. Dasar Agama

Sistem pendidikan Islam harus meletakkan dasar falsafah, tujuan dan


kurikulum pendidikan Islam yang pada dasarnya berdasarkan Al-Quran dan
Hadis. Karena kedua kitab tersebut merupakan nilai kebenaran yang universal,
abadi dan bersifat futuristik. Nabi SAW
bersabda:

Artinya: Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kamu dua perkara, yang
jika kamu berpegang teguh dengan keduanya, kamu tidak akan tersesat,
yakni kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. (HR. Hakim)

Di samping kedua sumber tersebut, masih ada sumber lain, yaitu dasar yang
bersumber pada dalil ijtihadi.11 Dalil ijtihadi dapat berupa ijma (konsensus para
ulama), qiyas (analogi), istihsan, istishab, masalihul mursalah, madzhab sahabi,
sadzuz dzariah, syaruman qablana, dan uruf.12

2. Dasar Falsafah
Falsafah pendidikan Islam tidak tergolong kepada falsafah manapun
buatan manusia, baik yang tradisionil maupun yang progresif, tetapi ia
mempunyai ciri khas sendiri yaitu memperoleh wujudnya dari Tuhan Yang
Mulia, bimbingan nabi dan pemikiran Islam yang betul sepanjang masa. Namun
perbedaan falsafah Islam dengan falsafah lain tidaklah bertentangan dengan
adanya persamaan antar falsafah-falsafah buatan manusia yang tradisionil
maupun yang progresif. Di antara persamaan-persamaannya yaitu:

a. Dengan falsafah idealisme yaitu kepercayaan terhadap nilai-nilai spiritual dan


idealis yang ada akhirnya kembali kepada wahyu penciptaan yang maha
tinggi dan mulia

b. Dengan falsafah realisme natural yaitu kepercayaan bahwa alam nyata ini
adalah alam yang sebenarnya yang berdiri sendiri lepas dari akal yang
mengamatinya

c. Dengan falsafah humanisme intelektual bahwa ia meninggikan tujuan, akal


dan ilmu-ilmu kemanusiaan

d. Dengan falsafah realisme klasik bahwa ia mengakui wahyu Tuhan dan ilham
sebagai dua sumber antara sumber-sumber dasar bagi pengetahuan,
menghormati pemikiran dan penafsiran akal dengan mengakui peranan utama
akal yaitu mencari kebenaran.

e. Dengan falsafah naturalisme romantik yaitu memberontak kejumudan dan


menaruh perhatian terhadap kehidupan aktual dan kontekstual dan
menghormati keinginan dan kebutuhan individu.

f. Dengan falsafah pragmatis bahwa ia mempercayai pentingnya membuka


rahasia segala bidang kemanfaatan pada benda-benda yang memberi
kebahagiaan bagi manusia.

3. Dasar Psikologis

Dasar psikologis berkaitan dengan ciri-ciri perkembangan pelajar, tahap


kematangan bakat-bakat jasmani, intelektual, bahasa, emosi dan sosial,
kebutuhan, minat, faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan, proses
belajar, dan pengamatan mereka terhadap sesuatu.

4. Dasar Sosial
Dasar utama kurikulum pendidikan Islam tergambar pada dasar sosial yang
antara lain mengandung ciri-ciri masyarakat Islam yang berlaku pada proses
pendidikan dan kebudayaan masyarakat yang bersifat umum atau khusus. Tugas
kurikulum sendiri menurut dasar sosial adalah turut serta dalam proses
pemasyarakatan bagi para pelajar agar para pelajar dapat menyesuaikan diri
dengan masyarakat Islam tempat mereka hidup. Dan juga yang menjadi tugas
pendidikan Islam adalah menyiapkan murid-murid memikul tanggung jawab
dan peranan-peranan sosial yang diharapkan dari mereka dalam masyarakat
Islam.13

Empat dasar di atas dilengkapi oleh S. Nasution yaitu dasar organisatoris.


Dasar ini mengenai penyajian bahan pelajaran. Organisasi kurikulum dasar ini
berpijak dari ilmu jiwa asosiasi yang menganggap keseluruhan adalah jumlah
bagian-bagiannya sehingga menjadikan kurikulum merupakan mata pelajaran
yang terpisah-pisah.

2. Prinsip-prinsip Kurikulum

Adapun prinsip-prinsip kurikulum dalam pendidikan Islam tidaklah beda


dengan prinsip kurikulum pendidikan umum, yaitu:

a. Prinsip yang Berorientasi pada Tujuan

Al-umuru bimaqasidiha merupakan adagium ushuliyah yang berimplikasi


pengusulan agar seluruh aktivitas kurikulum terarah sehingga tujuan
pendidikan yang tersusun sebelumnya tercapai.14

b. Prinsip Relevansi

Secara umum prinsip relevansi pendidikan dapat diartikan sebagai


kesesuaian atau keserasian pendidikan dengan tuntunan vertikal dalam
mengemban nilai-nilai. Masalah relevansi pendidikan dengan kehidupan dapat
ditinjau dari 3 segi, yaitu:

1. Relevansi pendidikan dengan lingkungan hidup murid

2. Relevansi pendidikan dengan perkembangan kehidupan masa sekarang dan


masa yang akan datang

3. Relevansi pendidikan dengan tuntutan dunia pekerjaan

c. Prinsip Efektivitas
Efektivitas dalam suatu kegiatan berkenaan dengan sejauh mana sesuatu
yang direncanakan dapat terlaksana dalam dunia pendidikan. Efektivitas ini
dapat ditinjau dari dua segi, yaitu efektivitas mengajar guru dan efektivitas
belajar murid.

d. Prinsip Efisiensi

Efisiensi suatu usaha pada dasarnya merupakan perbandingan antara hasil


yang dicapai (output) dengan usaha yang telah dilakukan (input) sehingga
hasilnya memadai dan memenuhi harapan.

e. Prinsip Kesinambungan

Kesinambungan di sini maksudnya adalah adanya saling hubungan atau jalin


menjalin antara berbagai tingkat dan jenis program pendidikan.

f. Prinsip Fleksibilitas

Yang dimaksud fleksibiltas adalah tidak kaku artinya ada semacam ruang gerak
yang memberikan sedikit kebebasan dalam bertindak.

g. Prinsip Integritas

Implikasinya adalah pengupayaan kurikulum tersebut agar menghasilkan


manusia seutuhnya, manusia yang mampu mengintegrasikan antara zikir dan
fikir serta manusia yang dapat menyelenggarakan struktur kehidupan dunia dan
akhirat.

h. Prinsip Kontinuitas

Implikasinya adalah bagaimana susunan kurikulum yang terdiri dari bagian


yang berkesinambungan dengan kegiatan-kegiatan kurikulum lainnya, baik
secara vertikal maupun horizontal.

i. Prinsip Objektivitas

Implikasinya adalah kurikulum tersebut dilakukan melalui tuntutan kebenaran


ilmiah yang objektif dengan mengesampingkan pengaruh emosi dan irrasional.

j. Prinsip Demokrasi

Implikasinya adalah pelaksanaan kurikulum harus dilaksanakan secara


demokratis, artinya saling memahami keadaan dan situasi tiap-tiap subjek dan
objek kurikulum.15

k. Prinsip Analisis Kegiatan


Prinsip ini mengandung tuntutan agar kurikulum dikonstruksikan melalui
proses analisis isi bahan pelajaran serta analisis tingkah laku yang sesuai
dengan isi materi pelajaran.

l. Prinsip Individualisasi

Prinsip ini memperhatikan perbedaan pembawaan dan lingkungan pada


umumnya yang meliputi seluruh aspek pribadi anak didik, seperti perbedaan
jasmani, watak, intelegensi, bakat, serta kelebihan dan kekurangannya.16

m. Prinsip Pendidikan Seumur Hidup

Prinsip ini diterapkan dalam kurikulum mengingat keutuhan potensi subyek.


Manusia sebagai subyek yang berkembang dan perlunya keutuhan wawasan
manusia yang sadar akan nilai (yang menghayati dan yakin akan cita-cita dan
tujuan hidupnya).

2. Fungsi Kurikulum

Adapun fungsi kurikulum dalam pendidikan Islam ada 4 fungsi, yaitu:

a. Alat untuk mencapai tujuan dan untuk menempuh harapan manusia sesuai
dengan tujuan yang dicita-citakan.

b. Pedoman dan program yang harus dilakukan oleh subjek dan objek pendidikan

c. Fungsi kesinambungan untuk persiapan pada jenjang sekolah berikutnya dan


penyiapan tenaga kerja bagi yang tidak melanjutkan

d. Standar dalam penilaian kriteria keberhasilan suatu proses pendidikan atau


sebagai batasan dari program kegiatan yang akan dijalankan pada catur wulan,
semester, maupun pada tingkat pendidikan tertentu.

D. Bentuk-bentuk Kurikulum

Bentuk kurikulum sendiri dalam pengertian falsafah adalah bentuk


pengetahuan. Pada awalnya merupakan kerangka bagian dari dasar-dasar
pembentukan kurikulum pendidikan Islam, yang meliputi tuntutan untuk
mematuhi hukum-hukum Allah. Muhammad Fadhil Al-Jamaly memberi rumusan
tersebut sebagai berikut:

1. Larangan mempersekutukan Allah


2. Berbuat baik kepada kedua orang tua

3. Memelihara, mendidik, dan membimbing anak sebagai tanggung jawab


terhadap amanah Allah

4. Menjauhi perbuatan keji dalam bentuk sikap lahir dan batin.

5. Menjauhi permusuhan dan tindakan makar

6. Menyantuni anak yatim dan memelihara hartanya

7. Tidak melakukan perbuatan di luar kemampuan

8. Berlaku jujur dan adil

9. Menepati janji dan menunaikan perintah Allah

10. Berpegang teguh kepada ketentuan hukum Allah

Kerangka tersebut kemudian dikembangkan dalam bentuk materi yang


sejalan dengan tujuan pendidikan Islam, yaitu pendidikan akhlak dan juga harus
memenuhi kriteria-kriteria pencapaiannya, yaitu adanya signifikansi, berhubungan
dengan kebutuhan sosial, disesuaikan dengan minat dan perkembangan manusia,
serta mengikuti disiplin ilmu yang telah disepakati. Untuk itu, ada syarat yang
perlu diajukan dalam perumusan isi/bentuk kurikulum, yaitu:

1. Materi yang tersusun tidak menyalahi fitrah manusia

2. Adanya relevansi dengan tujuan pendidikan Islam, yaitu dalam rangka ibadah
kepada Allah SWT

3. Disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan usia anak didik

4. Perlunya membawa anak didik kepada objek empiris, sehingga anak


mempunyai keterampilan yang dibutuhkan dalam masyarakat

5. Adanya penyusunan kurikulum yang integral, terorganisasi dan terlepas dari


kontradiksi antar materi satu dengan materi yang lain.

6. Materi yang disusun harus memiliki relevansi dengan masalah-masalah yang


hangat

7. Adanya metode sehingga mampu mencapai materi pelajaran

8. Materi yang diajarkan tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga praktis

9. Materi yang disusun mempunyai fungsi pragmatis tersendiri17


Setelah syarat-syarat tersebut dipenuhi, disusunlah bentuk/isi kurikulum
pendidikan Islam. Para ahli berbeda-beda dalam pembagian bentuk/isi kurikulum.
Berikut adalah pendapat-pendapat mereka:

1. Menurut Ibnu Sina, ilmu dibagi berdasarkan tujuan, manfaat, serta sifatnya
masing-masing. Berdasarkan sifatnya ilmu dibagi atas ilmu yang bersifat
sementara dan ilmu yang bersifat abadi. Dilihat dari tujuannya ilmu dibagi atas
ilmu teoritis dan ilmu praktis, dan yang tergolong ilmu teoritis adalah IPA,
matematika, metafisika, dan fisika. Sedangkan ekonomi, politik, dan syariah
digolongkan ke dalam ilmu praktis.

2. Al-Farabi mengklasifikasikan ilmu menjadi 6 kelompok, yaitu bahasa, logika,


matematika, ilmu pengetahuan alam, metafisika, dan ilmu sosial.

3. Ibnu Khaldun membagi ilmu menjadi 3 kategori, yaitu ilmu naqliyah yaitu ilmu
yang diambil dari Al-Quran dan Hadis, ilmu aqliyah yaitu ilmu yang diambil
dari daya fikir manusia, dan ilmu lisan, seperti ilmu nahwu, bayan dan adab.

4. Al-Ghazali membagi ilmu menjadi 4 jenis dengan mempertimbangkan jenis dan


kebutuhan ilmu itu sendiri, yaitu ilmu-ilmu Al-Quran, ilmu bahasa, ilmu
fardhu kifayah dan ilmu-ilmu cabang filsafat.

5. Muhammad Fadhil Al-Jamaly menyarankan agar kurikulum pendidikan Islam


berisi materi yang dikehendaki Al-Quran, seperti ilmu agama, sejarah, falak,
dan sebagainya.

Walaupun berbeda-beda pembagiannya, tetapi pada akhirnya mereka


sepakat bahwa bentuk/isi kurikulum terbagi atas 2 macam, yaitu perennial
(naqliyah) dan acquired (aqliyah). Perennial diterima melalui wahyu, sedangkan
acquired diperoleh melalui imajinasi dan pengalaman indera. Adapun rinciannya
sebagai berikut:

1. Kelompok Perennial, terdiri dari:

a. Al-Quran meliputi qiraat, hifz, tafsir, sunnah, siroh, tauhid, fiqh, ushul fiqh,
bahasa Al-Quran, baik fonologi, sintaksis, maupun semantik.

b. Mata pelajaran bantu, meliputi metafisis alam, perbandingan agama, dan


kultur Islam.

2. Kelompok Acquired, terdiri dari:

a. Seni, meliputi seni arsitektur, bahasa dan sebagainya.


b. Seni intelek, meliputi pengetahuan sosial, ekonomi, politik, sejarah, dan
sebagainya.

c. Ilmu murni, meliputi ilmu filsafat sains, matematika, statistik, kimia, biologi,
dan sebagainya.

d. Ilmu terapan, meliputi engineering dan teknologi, ilmu kedokteran, dan


sebagainya.

e. Ilmu praktik, meliputi ilmu perdagangan, administrasi, perpustakaan,


komunikasi, dan sebagainya.18

Tampaknya secara prinsipil, kurikulum pendidikan Islam tak lepas dari


dasar dan tujuan falsafah pendidikan Islam itu sendiri. Beberapa bagian materi
dapat saja dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman dan lingkungan hidup
manusia, tetapi keterkaitannya dengan hakikat kejadian manusia sebagai khalifah
dan pengabdi Allah yang setia tidak dapat dilepaskan sama sekali.

E. Model-model Konsep Kurikulum Pendidikan Islam

Dari sekian banyak pendapat para ahli mengenai model-model konsep


kurikulum dapat dimodifikasikan sebagai berikut:

1. Kurikulum sebagai model subyek akademik. Model kurikulum ini sangat


mengutamakan pengetahuan sehingga pendidikan diarahkan lebih bersifat
intelektual. Model subyek akademik ini mengalami perkembangan menjadi 3
struktur disiplin, yaitu:

a. Aliran yang melanjutkan disiplin struktur. Aliran ini menonjolkan proses


penelitian ilmiah, baik masalah sosial, nilai-nilai maupun kebijaksanaan
tokoh-tokoh pemerintah.

b. Pelajaran terpadu. Dalam memahami masalah yang kompleks, aliran ini


menggunakan beberapa disiplin ilmu yang terpadu. Oleh karena itu,
pendekatannya adalah interdisipliner.

c. Pendidikan fundamental. Aliran ini mementingkan isi dan materi, di samping


cara-cara dan proses berfikir.

2. Kurikulum sebagai model humanistik (aktualisasi diri). Model ini berfungsi


menyediakan pengalaman yang berharga bagi anak didik dan membantu
kelancaran perkembangan pribadi anak didik. Jadi kurikulum model humanistik
menjadikan manusia sebagai unsur sentral untuk menciptakan unsur kreativitas,
spontanitas, kemandirian, kebebasan, aktivitas, pertumbuhan dari dalam,
termasuk keutuhan anak sebagai keseluruhan, minat, dan motivasi intrinsik.

3. Kurikulum sebagai model rekonstruksi sosial.

Kurikulum model ini pada dasarnya menghendaki adanya proses belajar yang
menghasilkan perubahan secara relatif tetap dalam perilaku, yaitu dalam
berfikir, merasa, dan melakukan.

F. Kesimpulan

1. Kurikulum adalah seluruh usaha sekolah atau sejumlah pengalaman yang


diberikan oleh sekolah kepada peserta didik, baik di dalam maupun di luar
kelas. Dalam pendidikan Islam kurikulum memiliki dasar agama dan akhlakul
karimah yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis.

2. Dasar kurikulum meliputi dasar agama, filosofis, psikologis, sosial, dan


organisatoris.

3. Prinsip kurikulum meliputi prinsip yang berorientasi pada tujuan, relevansi,


efektivitas, efisiensi, kesinambungan, fleksibilitas, integritas, kontinuitas,
objektivitas, demokrasi, analisis kegiatan, individualisasi, dan rinsip pendidikan
seumur hidup.

4. Fungsi kurikulum meliputi kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan,


sebagai pedoman proses pendidikan, sebagai kesinambungan antara jenjang
sekolah dan sebagai standar untuk menentukan berhasil atau tidaknya suatu
proses pendidikan.

5. Pembagian materi/isi kurikulum meliputi perennial (naqliyah) dan acquired


(aqliyah).

6. Model-model konsep kurikulum meliputi:

a. Kurikulum sebagai model subyek akademik

b. Kurikulum sebagai model humanistik

c. Kurikulum sebagai model rekonstruksi sosial


(Endnotes)

1 Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah,


(Bandung: Sinar Baru, 1991), Cet. II, h. 4
2 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997), Cet. I, h. 123
3 Zuhairini, dkk., Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya: Usaha
Nasional, 1983), h. 58
4 S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran
5 Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia,
t.th.), Cet. III, h. 122
6 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1993),
Cet. III, h. 145
7 Omar Mohammad al-Taumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1979), Cet. I, h. 478-484
8 Jalaludin Usman dan Usman Said, Falsafah Pendidikan Islam, Konsep
dan Perkembangannya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. II, h.
44-45
9 Omar Mohammad al-Taumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, h. 489-
512
10 Muhaimin dan Abdul Majid, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda
Karya, 1993), Cet. I, h. 186
11 Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu,
1987), Cet. VII, h. 175
12 Tim DEPAG RI, Ushul Fiqh, (Jakarta: Dirjen PKAI, 1986), h. 56
13 Omar Mohammad al-Taumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, h. 526-
532
14 Muhaimin dan Abdul Majid, Pemikiran Pendidikan Islam, h. 193
15 Sudirman dkk., Ilmu Pendidikan, (Bandung: Remaja Karya, 1989), Cet. II, h.
114
16 Ali Syaifullah, Pengembangan Kurikulum, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982),
h. 52-69
17 Muhaimin dan Abdul Majid, Pemikiran Pendidikan Islam, h. 211-212
18 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, h. 21

BAB VIII
PENDEKATAN DAN METODE
PENDIDIKAN ISLAM
Setelah mempelajari kurikulum pendidikan Islam perlu diketahui cara
dalam menerapkan pendidikan itu sendiri. Pendidikan Islam bersumber dari Al-
Quran dan Hadis. Untuk dapat merealisasikan nilai-nilai ajaran Islam secara
maksimal perlu adanya pendekatan dan metode yang efektif.

Penyampaian materi yang diberikan oleh seorang guru dapat berakibat


buruk bagi anak didik jika dalam pelaksanaan pengajaran atau pendidikan
digunakan metode yang keliru. Agar poses pendidikan Islam dapat sejalan dengan
kemajuan masyarakat dan dapat memberikan fleksibilitas terhadap perkembangan
nilai-nilai dalam ruang lingkup konfigurasinya perlu ada pendekatan dan metode
karena keduanya dapat mempengaruhi kelancaran proses belajar mengajar. Jika
pendekatan dan metode yang digunakan baik dan sesuai dengan kemampuan anak
didik, tujuan yang diharapkan akan tercapai.

A. Pendekatan Pendidikan Islam

Dalam menganalisa sasaran pendidikan Islam secara ilmiah diperlukan


pendekatan yang sejalan dengan karakteristik sasaran yang hendak dideskripsikan.
Dalam pendidikan Islam terdapat lima macam pendekatan, yaitu:

1. Pendekatan Filosofis

Berdasarkan pendekatan ini, ilmu pendidikan Islam diartikan sebagai studi


tentang proses kependidikan yang didasari oleh nilai-nilai ajaran Islam menurut
konsepsi filosofis yang bersumber pada kitab suci Al-Quran dan sunnah Nabi
Muhammad SAW.

Pendekatan filosofis yang esensial ini adalah lahirnya sikap dan


pandangan dasar yang meyakini bahwa Islam sebagai agama wahyu yang
mengandung konsep-konsep, wawasan, ide-ide dasar yang memberi inspirasi
terhadap pemikiran umat manusia dalam menyelesaikan permasalahan hidupnya.

2. Pendekatan Sistem

Watak ilmu pendidikan Islam adalah sistematik dan konsisten menuju ke


arah tujuan yang hendak dicapai. Maka pendidikan Islam memerlukan pendidikan
yang sistematis dan aspiratif terhadap kebutuhan umat.
Selain dengan pendekatan sistem, orientasi pendidikan Islam memiliki
karakteristik yang bersifat goal oriented yang secara operasional dapat
dikembangkan ke dalam model sebagai berikut:

a. Secara sistematis, manusia didik dipandang sebagai makhluk yang integralistik


total yng terbentuk dari unsur rohaniah dan jasmaniah yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain.

b. Secara paedagogis, pendidikan Islam diletakkan pada strategi pengembangan


seluruh kemampuan dasar integralistik bertujuan membentuk pribadi muslim
yang paripurna dalam dimensi rohaniah dan jasmaniahnya untuk menghayati
dan mengamalkan ajaran Islam yang berorientasi pada kesejahteraan hidup
dunia dan akhirat secara simultan.

c. Institusionalisasi (pelembagaan), pendidikan Islam diwujudkan dalam struktur


yang hirarkis berjenjang sejalan dengan tingkat perkembangan jiwa anak didik
menuju optimalisasi belajarnya yang mendalam dan meluas.

d. Secara kurikuler, pendidikan Islam mengarahkan seluruh input instrumental


(guru, metode, kurikulum, dan fasilitas) dan input environmental (tradisi,
kebudayaan, lingkungan masyarakat, lingkungan alam) menjadi suatu bentuk
program kegiatan kependidikan menuju kepada realisasi cita-cita Islam.

3. Pendekatan Paedagogis

Pendekatan ini berpandangan bahwa anak didik adalah makhluk Tuhan


yang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan jasmani dan rohani
yang memerlukan bimbingan dan pengarahan melalui proses pendidikan.

Ilmu pendidikan Islam dilihat dari segi psikologi dan pedagogis mencakup
lima faktor, yaitu:

1. Pendidik

2. Anak didik

3. Alat pendidikan

4. Lingkungan

5. Cita-cita dan tujuan


Untuk melaksanakan kelima faktor pendidikan tersebut diperlukan model
tertentu yang akomodatif terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Model tersebut dapat diabstraksikan sebagai berikut:

1. Secara paedagogis, peserta didik dipandang sebagai makhluk termulia yang


harus dididik dan belajar agar tetap menjadi manusia yang mulia di hadapan
Allah yaitu manusia muslim yang paling bertaqwa kepada-Nya.

2. Secara epistemologi, peserta didik adalah hamba Allah yang diberi kemampuan
belajar berkat naluri ingin tahu (curiosity) yang dengan pengetahuannya
manusia dapat mengenal Tuhannya.

3. Secara kurikuler, proses kependidikan Islam mengandung materi pelajaran yang


berorientasi kepada kebutuhan manusia peserta didik selaku hamba Allah yang
harus beribadah kepada-Nya, dengan kelengkapan ilmu agama dan pengetahuan
umum yang integral menjadi satu acuan yang menjadi tempat kembalinya
permasalahan hidupnya yang cenderung untuk berkembang terus sampai
meninggal dunia.

4. Pendekatan Keagamaan (Spiritual)

Pendekatan ini memandang bahwa ajaran yang bersumberkan Al-Quran


dan Hadis menjadi sumber inspirasi dan motivasi pendidikan Islam. Secara
prinsip Allah SWT telah memberi petunjuk bahwa manusia diciptakan sebagai
makhluk yang memiliki struktur dan postur psikis dan fisik yang paling sempurna
yang dapat berkembang ke arah pola kehidupan yang bertaqwa kepada pencipta-
Nya.

Model yang ideal bagi proses pendidikan Islam dengan nilai-nilai religius
Islam tersebut dapat dideskripsikan secara prinsipil sebagai berikut:

1. Pandangan religius, tiap manusia adalah makhluk berketuhanan yang mampu


mengembangkan dirinya menjadi manusia yang bertaqwa dan taat kepada Allah
sesuai dengan fitrahnya manusia menjadi hamba Allah yang mengabdi dan
berserah diri kepada-Nya.

2 Proses kependidikan, diarahkan kepada terbentuknya manusia muslim yang


dedikatif kepada Allah dan bersikap menyerahkan diri secara total kepada-Nya.
Dirinya dan keseluruhan hidupnya adalah milik Allah semata.
3. Kurikulum pendidikan Islam harus diisi dengan materi pelajaran yang
mengandung nilai spiritual yang komunikatif kepada pencipta alam serta
mendorong minat anak didik untuk mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan sehari-hari.

4. Strategi operasionalisasi adalah meletakkan anak didik berada dalam proses


pendidikan Islam sepanjang hayat dari lahir sampai meninggal dunia. Dalam
kehidupan itulah dijumpai makna edukatif bagi pengembangan hidup
keagamaan, sedangkan pendidikan formal untuk merentangkan makna
kehidupannya selaku hamba Allah yang taat.

5. Pendekatan Historis

Berbagai pandangan ulama dan ilmuwan Islam untuk menganalisa


pendidikan Islam menunjukkan bahwa pada prinsipnya pendidikan Islam
berproses dalam lima aspek, yaitu:

1. Ideal

Proses pendidikan Islam sesuai dengan cita-cita ajaran Islam

2. Institusional

Tujuan atau cita-cita akan lebih mudah dicapai melalui proses kependidikan
jika ditransformasikan melalui institusi (lembaga) kependidikan untuk
mencapai tujuan pendidikan.

3. Struktur

Struktur (bentuk) kelembagaan kependidikan yang berjenjang (bertingkat)


untuk mencapai tujuan pendidikan secara bertahap sesuai tingkat perkembangan
anak didik.

4. Material

Tujuan akhir dan sementara pendidikan Islam menentukan corak materi


pelajaran yang efektif dan efisien, yang diajarkan dengan karakteristik dan
idealitas nilai-nilai yang terkandung dalam tujuan. Berdasarkan pengamatan
sejarah pendidikan Islam bahwa pada masa keemasan peradaban dan
pembaharuan pemikiran umat Islam terbukti di kalangan umat Islam telah
dikembangkan prinsip-prinsip modernisasi, yaitu:

a. Para pemuka umat Islam telah berusaha melakukan reorientasi pemikiran ke


arah pemurnian ajaran Islam sesuai dengan sumbernya yang pokok yaitu Al-
Quran dan Hadis.

b. Ijtihad tetap terbuka dan diajarkan oleh para pembaharu umat Islam sejak
masa Jamaluddin Al-Afghani sampai sekarang dengan modifikasi pemikiran
yang berorientasi kepada kebutuhan modernisasi kehidupan umat sejalan
dengan dinamika kemajuan IPTEK.

c. Para ilmuwan dan ulama sejak zaman keemasan telah berusaha


mengintegrasikan agama dan ilmu pengetahuan.

d. Membangkitkan semangat mempelajari dan meneliti bidang-bidang


keilmuan Islam dengan latar belakang iman.

e. Dari segi pendekatan sosiokultural, umat Islam pada masa kejayaan telah
mampu mengembangkan 60 cabang ilmu pengetahuan sebagai disiplin ilmu.
Pada masa itu ada pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum.1

B. Metode Pendidikan Islam

1. Pengertian Metode Pendidikan Islam

Metode berasal dari bahasa Yunani yaitu metha dan hodos. Metha
berarti melalui atau melewati dan hodos berarti jalan atau cara. Metode berarti
jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tertentu.

Untuk lebih memahami metode itu sendiri seyogiyanya harus diketahui


beberapa istilah lain yang berkaitan dengan metode yaitu strategi dan teknik.
Strategi adalah langkah-langkah yang disusun untuk mencapai tujuan, sedangkan
teknik terbagi dua yaitu teknik langsung dan teknik tidak langsung.

Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa metode pembelajaran adalah


suatu teknik penyampaian bahan pelajaran oleh guru kepada murid agar murid
dapat memahami pelajaran dengan mudah dan efektif.

Menurut Al-Nahlawi dalam Al-Quran dan Hadis dapat ditemukan berbagai


metode pendidikan yang sangat mendidik jiwa dan membangkitkan semangat.
Menurut Al-Nahlawi, metode untuk menanamkan rasa iman adalah:
1 Metode hiwar (percakapan qurani dan nabawi)

2. Metode kisah qurani dan nabawi

3. Metode amsal (perumpamaan qurani dan nabawi)

4. Metode keteladanan

5. Metode pembiasaan

6. Metode ibrah dan mauidzoh

7. Metode targhib dan tarhib.2

Dalam dunia pendidikan dikenal empat metode ilmu pendidikan, yaitu:

1. Metode empiris-positivistis yang berkembang di Inggris dan AS

2. Metode hermeneutik Metode ini berusaha memahami kenyataan pendidikan


yang konkret dan historis untuk menjelaskan makna struktur dari kegiatan
pendidikan.

3. Metode deskriptif fenomenologis. Metode ini mencoba menguraikan kenyataan


pendidikan dan mengklasifikasikannya tanpa membawa perubahan dalam
praktik. Metode ini berpangkal pada pengalaman luar dan menguraikan ciri-
cirinya.

4. Metode filosofis kritis. Metode ini mengkritik semua metode yang ada.

Selain dari empat metode yang lengkap meliputi segala aspek ilmu
pendidikan, ada metode lain yang hanya membicarakan sebagian dari ilmu
pendidikan Islam, seperti syarat-syarat pendidikan, norma-norma pendidikan, dan
lain-lain yang disebut metode kombinasi.3

Dalam sejarah pendidikan Islam dapat diketahui bahwa para pendidik


muslim dalam beberapa situasi dan kondisi yang berbeda telah menerapkan
berbagai metode pendidikan. Ulama-ulama muslim yang mengemukakan
pendapat tentang metode pendidikan di antaranya:

1. Al-Ghazali

- Lebih cenderung berfaham empirisme. Karena itu beliau sangat menekankan


pengaruh pendidik terhadap anak didik.

- Dalam proses pendidikan dimulai dengan hafalan diteruskan dengan


pemahaman
- Pendidikan yang diinginkan adalah pendidikan yang diarahkan pada
pembentukan akhlak mulia.

2. Ibnu Khaldun

- Hendaknya tidak memberikan pelajaran yang sulit kepada anak didik

- Anak didik diajarkan pelajaran yang sederhana yang dapat dipahami akal
pikiran kemudian secara bertahap diajarkan pelajaran yang lebih sukar
dengan menggunakan alat peraga tertentu.

3. Ibnu Sina

- Lebih menekankan pendidikan moral

- Metode yang diperlukan adalah metode pembiasaan, perintah dan larangan,


pemberian motivasi, hadiah dan hukuman.

4. Muhammad Abduh

- Menekankan kemampuan rasio dengan memahami ajaran Islam dari


sumbernya (Al-Quran dan Hadis) sebagai pengganti metode hafalan.4

2. Jenis-jenis Metode Pembelajaran

1. Metode Ceramah

Metode ceramah adalah cara penyajian yang dilakukan guru


dengan penjelasan secara langsung kepada siswa.

Kelebihannya:

a. Mudah dilakukan oleh guru

b. Materi yang banyak dapat dijelaskan oleh guru dalam waktu singkat

c. Guru dapat menjelaskan dengan menekankan materi-materi yang


penting.

d. Guru dengan mudah menguasai kelas.

e. Organisasi kelas dapat diatur menjadi lebih sederhana

Kekurangannya:

a. Akan menimbulkan kebiasaan buruk terhadap siswa karena siswa


tidak dibiasakan mencari dan mengolah informasi dan hanya ingin
dibina sebagai penerima informasi.
b. Informasi yang disampaikan mudah usang

c. Hal-hal yang disampaikan guru hanya terbatas pada materi yang


diingat guru saat itu

d. Tidak semua murid mampu menerimanya dengan baik apabila


dihubungkan dengan pendengaran.

e. Tidak semua siswa memiliki daya tangkap yang tajam

f. Kurang memberikan rangsangan terhadap kreativitas siswa dalam


mengemukakan pendapat

g. Dapat menimbulkan verbalisme

2. Metode Tanya Jawab

Metode ini merupakan metode tertua yang banyak digunakan dalam


proses pendidikan, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, maupun
sekolah. Metode tanya jawab adalah cara penyajian pelajaran dalam bentuk
pertanyaan yang harus dijawab baik oleh guru maupun oleh siswa.

Kelebihannya:

1. Dapat menarik dan memusatkan perhatian siswa

2. Merangsang siswa untuk lebih melatih mengembangkan daya


pikir/daya ingatnya

3. Mengembangkan keberanian dan keterampilan siswa dalam


menjawab dan mengemukakan pendapat

4. Dapat mengetahui daya pikir siswa dalam mengemukakan pokok-


pokok pikiran dalam menjawab dan kemampuan siswa dalam
penguasaan materi

5. Sebagai pendorong dan pembuka jalan bagi siswa dalam penelusuran


berbagai sumber belajar.

Kekurangannya:

1. Tidak mudah membuat pertanyaan yang mudah dipahami siswa

2. Siswa sering merasa takut bila guru kurang bisa menciptakan suasana

3. Guru masih mendominasi proses belajar mengajar


4. Waktu yang digunakan menjadi kurang efisien bila jumlah siswa
terlalu banyak

5. Waktu sering terbuang bila siswa tidak dapat menjawab pertanyaan

3. Metode Demonstrasi

Metode demonstrasi adalah cara penyajian bahan pelajaran dengan


memperagakan kepada siswa suatu proses, situasi atau benda tertentu yang
sedang dipelajari siswa.

Kelebihannya:

1. Pengajaran menjadi lebih jelas dan konkret

2. Siswa lebih mudah memahami materi pelajaran

3. Proses pengajaran akan lebih menarik

4. Siswa dirangsang untuk aktif mengamati dan menyesuaikan materi


antara teori dengan kenyataan.

Kekurangannya:

1. Guru harus memiliki keterampilan khusus

2. Fasilitas dan biaya tidak selalu tersedia dengan baik

3. Memerlukan kesiapan dan perencanaan yang matang serta waktu


yang lama

4. Metode Karya Wisata

Metode karya wisata adalah cara penyajian pelajaran dengan


membawa siswa mempelajari sumber-sumber mata pelajaran di kelas.

Kelebihannya:

1. Metode ini merupakan aplikasi prinsip pengajaran yang disebut asas


aktivitas dalam belajar

2. Lebih merangsang siswa untuk lebih banyak belajar dan dapat


mengembangkan kemandirian siswa

3. Membiasakan siswa mencari dan mengolah sendiri informasi dan


komunikasi
4. Dapat membawa efek instruksional dan efek pengiring untuk tugas di
dalam dan di luar kelas

5. Membina tanggung jawab dan disiplin siswa serta dapat


mengembangkan kreativitas siswa.

Kekurangannya:

1. Siswa sulit dikontrol, khusus tugas kelompok tidak jarang yang aktif
mengerjakan dan menyelesaikan tugas hanya anggota tertentu.

2. Tidak mudah memberikan tugas yang sesuai dengan perbedaan


individual siswa

3. Dapat menimbulkan kebosanan siswa jika tugas yang diberikan tidak


bervariasi

4. Sering menjadi keluhan dan beban siswa jika pemberian tugas sering
tidak disertai penilaian.

5. Metode Pemecahan Masalah

Metode pemecahan masalah adalah cara penyajian bahan pelajaran


dengan menjadikan masalah sebagai titik tolak pembahasan untuk dianalisis
dalam usaha mencari pemecahan atau jawaban siswa.

Kelebihannya:

1. Pendidikan di sekolah lebih relevan

2. Membiasakan para siswa menghadapi dan memecahkan masalah


secara terampil, baik permasalahan pribadi, keluarga, masyarakat, dan
sebagainya

3. Merangsang pengembangan kemampuan berpikir siswa secara kreatif


dan menyeluruh.

Kekurangannya:

1. Kemampuan dan keterampilan seorang guru dalam menentukan suatu


masalah sesuai dengan tingkat berpikir siswa sangat diperlukan

2. Memerlukan waktu yang sangat banyak dan sering mengambil waktu


pelajaran lain.
3. Merupakan kesulitan tersendiri bagi siswa karena dalam pemecahan
suatu masalah memerlukan berbagai sumber belajar.

6. Metode Diskusi

Metode diskusi adalah cara penyajian bahan pelajaran di mana


siswa dihadapkan pada suatu permasalahan berupa pertanyaan atau yang
bersifat problematik untuk dibahas dan dipecahkan bersama.

Kelebihannya:

1. Merangsang kreativitas siswa dalam bentuk ide-ide, gagasan,


prakarsa, dan terobosan baru dalam pemecahan masalah

2. Membiasakan siswa bertukar pikiran dengan temannya atau orang lain

3. Dapat dibina sikap demokrasi pada siswa

4. Cakrawala berpikir menjadi lebih luas

5. Hasil diskusi adalah hasil pemikiran bersama dan


dipertanggungjawabkan bersama yang melibatkan banyak orang.

Kekurangannya:

1. Menentukan suatu masalah yang sesuai dan menarik bagi siswa bukan
hal yang mudah

2. Sering terpaksa memperpanjang waktu dari yang direncanakan

3. Kadang-kadang pembahasan menjadi lebih luas dan mengembang


sehingga masalah pokok menjadi kabur

4. Perbedaan pendapat yang emosional dan tidak terkontrol dapat


menyinggung perasaan.

6. Metode Simulasi

Metode ini pada hakikatnya diangkat dari situasi kehidupan.


Simulasi berasal dari kata simulate yang berarti berpura-pura atau berbuat
seolah-olah, atau simulation yang berarti tiruan atu perbuatan yang hanya
berpura-pura saja.

Kelebihannya:
1. Dapat memupuk daya cipta siswa

2. Merangsang siswa menjadi biasa dan terampil dalam menanggapi dan


bertindak secara spontan

3. Memperkaya pengetahuan, sikap, keterampilan, dan pengalaman tidak


langsung dalam menghadapi berbagai situasi sosial yang problematik

4. Siswa belajar menghargai dan menerima pendapat orang lain.

Kekurangannya:

1. Pengalaman yang diperoleh melalui simulasi tidak selalu tepat dan


sempurna

2. Pelaksanaan simulasi sering menjadi kaku dan tidak jarang hanya


dijadikan sebagai alat hiburan

3. Menuntut hubungan yang akrab, fleksibel, dan demokratis

7. Metode Eksperimen

Metode eksperimen adalah cara penyampaian bahan pelajaran


dengan melakukan percobaan dengan mengalami dan membuktikan sesuatu
yang sedang dipelajari.

Kelebihannya:

1. Dapat membuat siswa lebih percaya atas kebenaran dan kesimpulan


berdasarkan percobaan sendiri

2. Mengembangkan sikap eksploratif tentang sains dan teknologi

3. Didukung oleh asas-asas didaktik modern.

Kekurangannya:

1. Memerlukan berbagai fasilitas yang tidak mudah diperoleh

2. Tidak semua materi pelajaran dapat dieksperimenkan

3. Menuntut penguasaan pengembangan materi, fasilitas, peralatan dan


bahan mutakhir

4. Lebih sesuai menyajikan bidang-bidang sains dan teknologi.

8. Metode Penemuan (Discovery-Inquiry)


Metode penemuan adalah cara penyajian bahan pelajaran yang
melibatkan siswa dalam proses mental dalam rangka penemuannya.

Kelebihannya:

1. Pengajaran menjadi student centered

2. Proses belajar meliputi semua aspek menuju kepada pembentukan


manusia seutuhnya.

Kekurangannya:

1. Pemecahan masalah bersifat mekanistis, formalitas, dan


membosankan

2. Menuntut bimbingan guru yang lebih baik dalam penyelidikan yang


dilakukan siswa

3. Kebebasan yang diberikan kepada siswa tidak dapat menjamin


keaktifan dan ketekunan siswa.

9. Metode Proyek atau Unit

Metode proyek atau unit adalah penyajian bahan pelajaran yang


bertitik tolak dari suatu masalah, kemudian dibahas dari berbagai segi yang
berhubungan sehingga pemecahannya secara keseluruhan dan bermakna.

Kelebihannya:

1. Dapat merombak pola pikir siswa yang sempit menjadi luas dan
menyeluruh

2. Siswa dibina dengan kebiasaan menerapkan pengetahuan, sikap, dan


keterampilan dengan terpadu

3. Bahwa pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang lebih diperlukan


dalam menghadapi dan memecahkan masalah-masalah kehidupan
praktis sehari-hari.

Kekurangannya:

1. Baik secara vertikal maupun horizontal, kurikulum nasional belum


menunjang pelaksanaan metode ini

2. Organisasi bahan pelajaran, perencanaan, dan pelaksanaan metode ini


memerlukan keahlian khusus
3. Spesialisasi setiap mata pelajaran sangat diperlukan dalam pemecahan
masalah-masalah kehidupan.5

Di samping metode-metode di atas, ada cara atau metode lain yang


digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan Islam, yaitu:

1. Metode Diakronis

Suatu metode ajaran Islam yang mengandung aspek sejarah. Metode


ini disebut juga metode sosio-historis yang membuat anak didik
memahami ajaran Islam berdasarkan sejarah. Metode ini didasarkan pada
firman Allah dalam surat Al-Araf ayat 176.

2. Metode Sinkronis Analitik

Suatu metode pendidikan Islam yang sangat berguna bagi


perkembangan keimanan dan mental intelek. Metode ini didasarkan pada
firman Allah dalam surat Al-Taubah ayat 122.

3. Metode Empiris

Metode ini merupakan latihan anak dalam mempelajari proses


realisasi, aktualisasi dan internalisasi norma-norma dan kaidah Islam
melalui suatu proses aplikasi yang menimbulkan suatu interaksi sosial
dengan dalil. Metode ini didasarkan pada firman Allah dalam surat Ali
Imran ayat 104

4. Metode Problem Solving

Metode ini merupakan pelatihan anak didik yang dihadapkan pada


berbagai masalah suatu cabang ilmu pengetahuan. Metode ini didasarkan
pada firman Allah dalam surat Fushshilat ayat 53.

5. Metode Induktif

Metode yang dilakukan pendidik dengan cara mengajarkan materi


yang khusus kepada yang umum.

6. Metode Deduktif

Metode yang digunakan pendidik dalam mengajarkan ajaran Islam


melalui cara menampilkan kaidah yang umum kemudian menjabarkan
dengan berbagai contoh masalah sehingga terurai.6

C. Tujuan, Fungsi, dan Tugas Utama Metode Pendidikan Islam


Tujuan penggunaan metode adalah agar menjadikan proses dan hasil belajar
mengajar ajaran Islam lebih berdaya guna dan berhasil guna serta menimbulkan
kesadaran pada anak didik untuk mengamalkan ajaran Islam dan sebagai teknik
motivasi untuk membangkitkan gairah belajar anak didik secara mantap. Uraian
ini menunjukkan bahwa fungsi metode pendidikan adalah mengarahkan
keberhasilan belajar, memberi kemudahan bagi anak didik untuk belajar
berdasarkan minat, serta mendorong usaha kerjasama dalam kegiatan belajar
mengajar antara pendidik dan anak didik.

Tugas utama dari metode pendidikan Islam adalah mengadakan aplikasi


prinsip-prinsip psikologis dan paedagogis sebagai kegiatan antar hubungan
pendidikan yang terealisasi melalui penyampaian keterangan dan pengetahuan
agar siswa memahami, mengetahui, menghayati, dan meyakini materi yang
diberikan serta dapat meningkatkan pola pikir. Selain itu tugas utama metode
pendidikan Islam adalah membuat perubahan dalam sikap dan minat serta
penemuan nilai dan norma yang berhubungan dengan pelajaran dan perubahan
dalam pribadi dan bagaimana faktor-faktor tersebut diharapkan menjadi
pendorong ke arah perbuatan nyata.

Al-Syaibani mengemukakan dasar-dasar penyusunan metode pendidikan


Islam. Ada empat hal yang menjadi pertimbangan penggunaan metode pendidikan
Islam, yaitu:

1. Dasar agama, yang bersumber dari Al-Quran, Hadis, perbuatan sahabat dan
ulama salaf

2. Dasar biologis, meliputi kebutuhan jasmani dan tingkat perkembangan usia


anak

3. Dasar psikologis, meliputi motivasi, kebutuhan emosi, minat, sikap, keinginan,


kesediaan bakat dan intelektual anak didik.

4. Dasar sosial, meliputi pertimbangan kebutuhan sosial di lingkungan anak didik.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Al-Syaibani


mengungkapkan bahwa metode pendidikan Islam mencakup empat tujuan pokok,
yaitu:

1. Menolong anak didik mengembangkan kemampuan individualnya

2. Membiasakan anak didik membentuk sikap yang baik

3. Membantu anak didik bersikap efektif dan efisien


4. Membimbing aktivitas anak didik.7

D. Kesimpulan

Dalam dunia pendidikan terdapat berbagai pendekatan dan metode yang


dapat digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Di antara pendekatan
yang dapat digunakan adalah pendekatan filosofis, sistem, paedagogis,
keagamaan, dan historis. Di antara metode yang dapat digunakan adalah metode
ceramah, tanya jawab, diskusi, demonstrasi, eksperimen, dan lain-lain.

(Endnotes)

1 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet. IV, h. 116-
134
2 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1992), Cet. II, h. 135
3 M. Said, Ilmu Pendidikan, (Bandung: PT Alumni, 1989), h. 11-13
4 Abdur Rahman Al-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan
Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 205
5 Sudirman, Ilmu Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1992), h. 113
6 Muhaimin dan Abdul Majid, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: PT
Trigandakarya, 1993), h. 250
7 Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1996), h. 54-55 cari Syaibani
BAB IX
LINGKUNGAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Berbicara mengenai pendidikan tidak mungkin terlepas dari suatu proses


yang panjang. Oleh karena itu, mencapai tujuan pendidikan tidak secepat
membalikkan telapak tangan. Merupakan fitrah pada diri manusia di mana dalam
dirinya berpeluang untuk dapat menerima dan menyerap segala hal, baik atau
buruk yang ada di sekitarnya. Karena itu Islam dalam hal ini memfilter keadaan
tersebut berdasarkan Al-Quran dan Hadis yang merupakan dasar pokok
pendidikan Islam.

Pendidikan dalam Islam meliputi dasar dan tujuan, peserta didik,


pendidik, kurikulum, metode, lingkungan, alat, evaluasi, dan kegunaan ilmu
pendidikan Islam, yang kesemuanya ini sangat berperan dalam menentukan
berhasil atau tidaknya pendidikan. Salah satu bagian yang penting tersebut adalah
lingkungan, sebab pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak sangat dipengaruhi
oleh faktor lingkungannya, yang terkadang dapat memberi implikasi positif dan
negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, sikap, akhlak, dan
perasaan agamanya.

A. Pengertian Lingkungan Pendidikan

Dalam arti luas lingkungan mencakup iklim, geografis, tempat tinggal,


adat istiadat, pengetahuan, pendidikan, dan alam. Dengan kata lain, lingkungan
adalah segala sesuatu yang ada dan terdapat dalam alam kehidupan yang
senantiasa berkembang. Lingkungan adalah seluruh yang ada, baik manusia
maupun benda buatan manusia, atau alam yang bergerak atau tidak bergerak, atau
kejadian-kejadian yang mempunyai hubungan dengan seseorang.1

Menurut Mohammmad Al-Toumy Al-Syaibani, lingkungan adalah ruang


lingkup yang berinteraksi dengan insan yang menjadi medan dan aneka bentuk
kegiatannya. Keadaan sekitar benda-benda, seperti air, udara, bumi, langit,
matahari, dan sebagainya, juga masyarakat yang mencakup insan pribadi,
kelompok, institusi, sistem, undang-undang, adat kebiasaan, dan sebagainya.2

Seorang psikolog, Sartain menegaskan tentang pengertian lingkungan


sebagai berikut: The world environment is to say that it includes all the
conditions inside and outside the organism that influence in any way our
behavior, growth, development, or life process-except the genes, and even genes
can be considered to provide environment for other genes the composition of
our environment, let us devide it into two main parts the internal environment and
external environment.3

Berdasarkan pengertian di atas, yang dimaksud dengan lingkungan dapat


dibagi kepada dua bagian, yaitu:

1 Lingkungan dalam, meliputi gizi, vitamin, suhu, intelegensi, kondisi psikologis,


seperti sikap, minat, motivasi, dan lain-lain

2. Lingkungan luar, terdiri dari:

a. Lingkungan alam, seperti iklim, suhu, geografis, siang, malam

b. Lingkungan sosial, berupa individu, masyarakat, organisasi, dan lain-lain.

Jadi, yang dimaksud dengan lingkungan pendidikan adalah segala sesuatu


yang terdapat di sekitar anak didik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan anak didik.

B. Lingkungan Pendidikan Islam

Dalam pengertian yang luas, lingkungan pendidikan Islam terbagi dua,


yaitu:

1. Lingkungan pendidikan di dalam sekolah

2. Lingkungan pendidikan di luar sekolah, meliputi keluarga, masyarakat, dan


negara serta individu.
Namun pembahasan ini akan dimulai dari lingkungan keluarga karena
keluarga adalah pendidikan yang pertama dan utama sebelum anak mengenal
lingkungan pendidikan yang lain.

1. Keluarga

Keluarga merupakan suatu unit sosial terkecil dalam kehidupan manusia


sebagai makhluk sosial. Pengertian keluarga dalam Islam adalah suatu sistem
kehidupan masyarakat terkecil yang dibatasi oleh adanya keturunan (nasab) atau
disebut ummah akibat adanya kesamaan agama.

Keluarga merupakan unit pertama dalam masyarakat. Di situlah


terbentuknya tahap awal proses sosialisasi dan perkembangan individu. Setiap
orang tua memikul tanggung jawab memelihara dan melindungi anaknya, baik
dari segi biologis agar anak-anak dapat tumbuh secara wajar maupun dari segi
psikologis. Untuk memenuhi kebutuhan biologis anak yang masih bayi itu, secara
alamiah diciptakan Allah air susu ibu dalam kandungan. Inilah proses sosialisasi
anak yang pertama kali dalam keluarga, yang dalam hal ini sosialisasi dengan ibu.
ASI (Air Susu Ibu) juga merupakan manifestasi tanggung jawab ibu yang
diberikan kepada anaknya. Firman Allah SWT:

Artinya: Para ibu hendaknya menyusukan anak-anaknya selama dua tahun


penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan (QS. Al-
Baqarah: 223)

Sedangkan sebagai pendidik mereka memikul tanggung jawab


membimbing, membantu, dan mengarahkan perkembangan anak agar mencapai
kedewasaan sebagaimana dicita-citakan. Diharapkan setelah anak melampaui
pendidikan keluarga yang panjang, ia mampu berdiri sendiri dalam arti dapat
hidup layak bersama orang lain dan mampu bertanggung jawab atas perbuatannya
pada diri sendiri, masyarakat, dan kepada Tuhan.

Keluarga juga merupakan masyarakat alamiah yang pergaulan di antara


anggotanya bersifat khas. Dalam lingkungan ini terletak dasar-dasar pendidikan.
Di sini pendidikan berlangsung dengan sendirinya tanpa harus diumumkan
terlebih dahulu agar diketahui dan diikuti oleh anggota keluarga.

Pada umunya para pendidik Muslim menjadikan Luqmanul Hakim


sebagai contoh dalam pendidikan, di mana nasihatnya kepada anaknya terdapat
dalam Surat Luqman ayat 13-19. Allah mengatakan Luqman dikaruniai hikmah
dan kebijaksanaan. Ayat-ayat tersebut mencerminkan:
1. Pembinaan iman dan tauhid

2. Pembinaan akhlak

3. Pembinaan agama

4. Pembinaan kepribadian dan sosial

Untuk mencapai tujuan pendidikan keluarga, orang tua harus melatih akal
anak seperti berdiskusi kecil-kecilan di rumah. Di samping itu, orang tua harus
mendidik anak dengan pendidikan kalbu/agama. Ada dua arah mengenai
kegunaan pendidikan rumah tangga, pertama penanaman nilai/pandangan hidup
yang kelak mewarnai perkembangan jasmani dan akalnya, kedua penanaman
sikap yang kelak menjadi basis dalam menghargai guru dan teman di sekolah.4

Keluarga bahagia dan sejahtera yang dijiwai oleh pancaran sinar tauhid
tidak tercipta dengan sendirinya, tetapi harus melalui proses sosialisasi dengan
beberapa metode yang dilakukan orang tua, yaitu:

1. Pembiasaan

2. Keteladanan

3. Perintah dan larangan

4. Latihan dan praktikum

5. Ganjaran

6. Hukuman5

Pertumbuhan kecerdasan anak sampai umur enam tahun terkait dengan


alat inderanya, atau biasa yang disebut berpikir inderawi, artinya anak belum
mampu memahami hal yang abstrak. Karena itu pendidikan dan pembinaan iman
dan taqwa belum dapat menggunakan kata-kata (verbal), tetapi diperlukan teladan,
pembiasaan dan latihan secara alamiah. Misalnya si anak biasa mendengar orang
tuanya membaca Al-Quran, dan berdoa kepada Allah, mengucap kalimat
thayyibah, dan di bulan Ramadhan melakukan sahur bersama, buka puasa
bersama, shalat tarawih dan witir, tadarus, dan merayakan hari kemenangan/Idul
Fitri. Anak memperoleh nilai-nilai keimanan yang sangat penting dan diserapnya
masuk ke dalam perkembangan kepribadiannya.

Kemudian timbul permasalahan, bagaimana anak yang telah mengenal


lingkungan luar, televisi dan lainnya, sehingga terkadang teladan dari orang tua
dan Nabi tidak begitu dipedulikan? Di sinilah pentingnya pendidikan keluarga.
Jika pondasi pendidikan dari orang tua itu kuat, maka pengaruh-pengaruh tersebut
dapat dikatakan bagai suatu hal yang mampir dalam kehidupan anak karena orang
tua selalu mengarahkan dan menunjukkan kepeduliannya kepada anak. Dalam
suatu keluarga seharusnya kedua orang tua itu seiman agar pendidikan yang
diarahkan kepada anak tetap pada satu tujuan. Kita pun tidak boleh lupa bahwa
untuk mencapai keluarga yang harmonis unsur utama dalam pendidikan keluarga
yaitu adanya rasa kasih sayang dan kewibawaan dari orang tua.

2. Sekolah

Kegiatan pendidikan pada mulanya dilaksanakan dalam lingkungan


keluarga dengan menempatkan peran ayah dan ibu sebagai pendidik utama.
Semakin dewasa anak semakin banyak hal yang dibutuhkannya untuk dapat hidup
di masyarakat secara layak dan wajar. Karenanya untuk dapat mencapai hal
tersebut, anak selain membutuhkan pendidikan keluarga juga membutuhkan
lingkungan lain, seperti pendidikan sekolah.

Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang melaksanakan pembinaan


pendidikan dan pengajaran dengan sengaja, teratur dan terencana. Guru-guru yang
melaksanakan tugas pembinaan, pendidikan dan pengajaran tersebut adalah orang-
orang yang telah memiliki pengetahuan tentang anak didik, dan kemampuan
untuk melaksanakan tugas pendidikan.6 Sekolah juga merupakan organisasi kerja
atau sebagai wadah kerjasama sekelompok orang untuk mencapai suatu tujuan.
Sebagai organisasi atau wadah tentunya ia merupakan alat, bukan tujuan.7

Dari definisi di atas jelas bahwa sekolah itu adalah suatu lembaga atau
organisasi yang melakukan kegiatan pendidikan berdasarkan kurikulum tertentu
yang melibatkan sejumlah murid dan guru yang harus bekerja sama untuk suatu
tujuan.

Eksistensi sekolah sebagai lembaga pendidikan formal sudah dikenal


sejak zaman Yunani Kuno. Plato adalah orang pertama yang meninggalkan catatan
tertulis mengenai ruang kelas dan sekolah. Sekolah pertama orang Athena sangat
sederhana. Sekolah itu berupa tambahan dari suatu program pendidikan yang
dititikberatkan pada latihan kemiliteran, atletik, musik, dan puisi. Pengajaran
membaca, menulis, dan berhitung hanya pelajaran sampingan saja. Pendidikan di
Athena itu bersifat tutorial. Ketika Athena menjadi lebih demokratis, jumlah
murid yang semakin bertambah, maka secara berangsur-angsur hubungan tutorial
itu diganti dengan pengajaran kelompok.

Adapun pertumbuhan dan perkembangan pendidikan sekolah dalam Islam


meliputi:

1. Sekolah Zaman Rasulullah SAW

Kondisi aktivitas persekolahan baru mengalami perubahan yang berarti


ketika Islam lahir. Bagi bangsa Arab, masjid merupakan sekolah pertama yang
bersifat umum dan sistematis. Di masjid anak-anak dan orang dewasa menuntut
ilmu. Masjid juga digunakan oleh kaum fakir miskin untuk berlindung dari
dinginnya udara sambil belajar agama. Terkadang masjid digunakan untuk latihan
perang. Dengan demikian masjid tetap difungsikan untuk dua kepentingan yang
saling menunjang hingga pada masa khalifah Umar bin Khatttab yang
membangun tempat-tempat khusus untuk anak-anak menuntut ilmu, di sudut-
sudut masjid. Sejak zaman itulah pendidikan anak mulai tertata. Hari Jumat
merupakan hari libur mingguan sebagai waktu menyiapkan shalat Jumat, di mana
usulan itu berasal dari Umar bin Khattab. Masjid menjadi pusat pengajian yang di
dalamnya terdapat kelompok-kelompok studi yang setara dengan SMA sekarang.

2. Sekolah Periode Abbasiyah Akhir

Setelah kekhalifahan Abbasiyah berpindah dari satu periode ke periode


selanjutnya, banyak negara kecil yang berhasil melepaskan diri dari kekhalifahan.
Mereka mulai membangun tempat-tempat pengajian ilmu atau madrasah dengan
sistem internal dan setiap lokal madrasah memuat sepuluh orang siswa. Sekolah
terlihat dalam bentuk kubah-kubah yang menyembul dari kebun-kebun milik
masyarakat. Di kota-kota terdapat madrasah seperti madrasah Al-Zhariyah yang
didirikan oleh Raja Zhahir, dan madrasah Al-Nuriyah yang didirikan oleh
Nuruddin Zanki. Sistem pengajaran di madrasah tetap memiliki otonomi sendiri,
baik dalam sistem kurikulum, referensi, metode, dan lain-lain. Hubungan
madrasah dengan pemerintah hanya menyangkut masalah pendanaan.

3. Sekolah Zaman Modern

Terselenggaranya sekolah-sekolah modern seperti yang kita lihat sekarang


lebih disebabkan oleh adanya perubahan sistem kehidupan politik. Artinya negara
merasa perlu mengurus rakyat dan memandang dirinya bertanggung jawab
terhadap seluruh masalah pangan, kekayaan, kecenderungan politik yang semua
itu berkaitan dengan perwujudan kemerdekaan, kemuliaan dari para pejabat
negara, serta kehormatan negara di mata negara lain. Seluruh persoalan tersebut
ditumpukan pada pendidikan. Itulah alasan sosial dan politik yang memotivasi
pemerintah untuk memegang kendali pendidikan, termasuk dalam penyiapan
kurikulum, bangunan sekolah, maupun tenaga pengajarnya.

Seperti telah disebutkan, bahwa dalam perkembangan dunia pendidikan


Islam, khalifah sangat menaruh perhatian terhadap keberadaan madrasah, seperti
yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz.
Sepintas lalu sistem Islam dan non Islam tidak berbeda. Namun jika ditinjau lebih
jauh, akan ditemukan metode dan aplikasi yang berbeda. Islam memberikan
kebebasan penyelenggaraan pendidikan Islam secara penuh kepada pengelola dan
rakyat pun percaya atas pengelolaan wakil-wakil mereka karena memiliki aturan
dan tujuan yang sama. Sekolah-sekolah Islam tetap berpegang teguh pada tujuan
fundamental, yaitu merealisasikan pendidikan Islam demi tercapainya ketaatan
kepada Allah dan melahirkan kemanfaatan sosial, ekonomi, keamanan, maupun
demokrasi.8

Adapun pemindahan lembaga pendidikan dari masjid ke madrasah


disebabkan semakin banyak penuntut ilmu dan semakin berkembangnya ilmu
pengetahuan agama dan umum. Hal ini terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah akhir
dan orang yang berjasa dalam mendirikan madrasah adalah perdana menteri
Nizham Al-Mulk.

Sampai sekarang madrasah berkembang ke seluruh negara Islam. Sekolah


sebagai jalur pendidikan formal diselenggarakan atas syarat-syarat, tujuan, dan
alat-alat tertentu yang pelaksanaannya berpedoman pada:

1. Kurikulum harus bersifat dinamis terhadap perkembangan masyarakat

2. Alat-alat dan media fisik dan nonfisik seperti bahan bacaan Al-Quran dan
Hadis, alat audio visual, mushalla, dan lain-lain

3. Administrasi dan supervisi serta organisasi yang mantap

4. Sistem dan metodologi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.9

3. Masyarakat
Masyarakat merupakan lingkungan dan lembaga pendidikan ketiga setelah
keluarga dan sekolah. Pendidikan masyarakat sudah dimulai sejak anak-anak
lepas dari asuhan keluarga dan sekolah. Pendidikan masyarakat dilaksanakan
dengan sengaja, tetapi tidak begitu terikat dengan peraturan dan syarat tertentu.10

Di masyarakat terdapat lembaga-lembaga pendidikan, seperti masjid,


asrama, perkumpulan olahraga, KNPI, Karang Taruna, organisasi kesenian, dan
sebagainya yang tidak terikat dengan peraturan dan syarat tertentu. Kesemuanya
itu membantu pendidikan dalam membentuk sikap, keagamaan, kesusilaan, dan
menambah ilmu. Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam akan diterangkan
beberapa lembaga dan organisasi yang ada di masyarakat.

1. Masjid

Setelah Nabi hijrah dari Mekkah ke Madinah, aktivitas pertama yang


dilakukan Nabi adalah membangun masjid yang dapat menghimpun kaum
muslimin. Sebagai lingkungan pendidikan Islam, masjid mempunyai fungsi:

a. Fungsi Edukatif.

Masjid berfungsi sebagai tempat pembinaan angkatan perang dan gerakan


kemerdekaan, pembebasan umat dari penyembahan berhala, juga tempat
manusia dididik supaya memegang teguh keutamaan, cinta kepada ilmu
pengetahuan, mempunyai kesadaran sosial, serta menyadari hak dan kewajiban
mereka dalam negara Islam.

b Fungsi Sosial.

Ketika perang menerpa kaum muslimin, masjid digunakan sebagai tempat


berlindung, sebagaimana pernah terjadi pada perang Salib pertama dan kedua
yang ketika itu kaum muslimin melawan penjajah yang bercokol satu abad
lebih. Revolusi Aljazair pun berbasis di pondok-pondok dan sekolah-sekolah
Islam yang berada di masjid. Demikian pula gerakan Islam di Pakistan,
Afganistan, dan sebagainya.11

2. Asrama

Dalam waktu tertentu hubungan anak dengan keluarga dapat terputus.


Terputus ini mungkin dapat diartikan seorang anak yang salah satu orang tuanya
meninggal, sehingga secara lahir terputuslah hubungannya, walaupun secara batin
dan hubungan darah tetap ada selamanya. Asrama bukan hanya sebagai tempat
penempatan anak yang terputus, namun orang tua bisa bekerja sama dengan
pengurus asrama untuk penitipan anak.

Jenis-jenis asrama yang dikenal adalah asrama yatim piatu, asrama


tampung karena orang tua tidak mampu atau orang tua menitipkan pendidikan
anak kepadanya, asrama yang didirikan dalam sekolah, dan asrama untuk
menunjang tercapainya tujuan pendidikan suatu jabatan.

3. Negara

Negara merupakan alat masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk


mengatur hubungan manusia dalam masyarakat. Karena itu, sebagai organisasi,
negara dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan
kekuasaan serta dapat menetapkan tujuan bersama.12

Bagi kita umat Islam yang berlandaskan Al-Quran dan Sunnah


diperintahkan untuk mentaati syariat Allah yang dibawa Rasul dan juga mentaati
Ulil Amri (QS. Al-Nisa ayat 59). Allah memerintahkan kepada kita untuk
membentuk pemerintahan (khilafah). Pembentukan pemerintahan ini
diperintahkan dengan cara pemilihan. Karena itu dalam pemilihan pemerintahan
ini umat Islam diminta hati-hati jangan sampai memilih orang-orang anti Tuhan.

Setiap negara mempunyai pandangan hidup berbeda yang dapat


mempengaruhi semua aspek kehidupan bernegara, termasuk pendidikan.
Pendidikan sebagai upaya sadar untuk membina manusia tidak bisa terlepas dari
pandangan hidup manusia Indonesia, yaitu Pancasila.

Sebelum Indonesia merdeka, peluang pendidikan modern bagi umat Islam


sangatlah sempit karena sikap dan kebijaksanaan kolonial yang amat diskriminatif
terhadap umat Islam (pribumi). Setelah Indonesia merdeka, pemerintah RI sangat
memperhatikan masalah pendidikan dengan dibentuknya Kementerian
Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Dalam hal ini dipilih Ki Hajar
Dewantara sebagai menterinya.

Berkaitan dengan pasal 31 UUD 1945, mengenai pengelolaan pendidikan


agama yang diberikan di sekolah-sekolah umum dikeluarkan Surat Keputusan
Bersama antara Menteri P dan K dan Menteri Agama. Hal ini diatur secara khusus
dalam UU No. 4 tahun 1950 pada bab XII pasal 20 dan dalam SKB No. 1432
tanggal 20 Januari 1951 yang isi pokoknya bahwa tiap-tiap sekolah rendah,
sekolah lanjutan umum dan sekolah kejuruan diberikan pendidikan agama dan
siswa yang berbeda agama dibolehkan meninggalkan jam pelajaran tersebut. Ada
satu hal penting bahwa pada masa Orde Lama ini dengan pengejawantahan
Manipol Usdek, murid berhak tidak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali
murid atau murid dewasa menyatakan keberatannya.

Untuk mengubah mental masyarakat yang sudah terindroktrinasi Manipol


Usdek Orde Lama, pemerintah mengeluarkan TAP MPRS No. XXVII/1966 Bab
II Pasal 3 yang intinya mempertinggi mental, moral, budi pekerti dan memperkuat
keyakinan beragama.

Dalam TAP MPRS No. IV/MPR/1973 (GBHN) dirumuskan tentang


hakikat pendidikan, yaitu usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup. Oleh
kareana itu, agar pendidikan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat sesuai dengan
kemampuan masing-masing individu maka pendidikan merupakan tanggung
jawab keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah.13 Hal ini jelas sekali
bahwa tanggung jawab pendidikan bukan hanya diserahkan kepada negara, tetapi
keluarga, sekolah, dan masyarakat harus bekerja sama dengan negara untuk
mencapai tujuan pendidikan.

Sebagai usaha untuk menghilangkan dualisme sistem pendidikan yaitu di


satu pihak Departemen Agama mengelola semua jenis pendidikan agama maupun
umum, dan di lain pihak Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan
melaksanakan sistem pendidikan nasional, maka dikeluarkan UU No. 2 tahun
1989 tentang sistem pendidikan nasional yang isinya antara lain semua masalah
kurikulum pendidikan di bawah koordinasi Depdikbud sebagai wadah formal
terintegrasinya pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional, dan hal ini
ditindaklanjuti dengan PP No. 28/1990.14

4. Individu/Pribadi

Menurut Anton M. Maeliono, kata pribadi diartikan keadaan manusia


orang perorang atau keseluruhan sifat-sifat yang merupakan watak perorangan.
Sedangkan kepribadian adalah sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang
atau suatu bangsa yang membedakan dirinya dari orang atau bangsa lain. William
Stern, seorang pakar psikologi menyatakan bahwa kepribadian merupakan
gambaran totalitas yang penuh arti dalam diri seseorang yang ditunjukkan pada
satu tujuan tertentu secara bebas. Selanjutnya dalam Oxford Dictionary dan
Webster Dictionary diterangkan kepribadian sebagai individuality jika berkaitan
dengan ciri khas seseorang, disebut personality jika dihubungkan dengan seluruh
sikap lahir dan batin, disebut mentality jika dihubungkan dengan kemampuan
intelektual, dan disebut identity jika dihubungkan dengan sifat mempertahankan
jati diri.

Dalam kaitannya dengan kepribadian, hal-hal yang berkaitan erat adalah


karakter dan temperamen. Karakter menjurus ke arah tabiat-tabiat benar atau
salah, sedangkan temperamen erat hubungannya dengan perimbangan zat-zat cair
dalam tubuh, yaitu orang bersifat pemarah jika cairan empedu kuning lebih
banyak, penggembira jika darahnya lebih banyak, tenang jika lendirnya lebih
banyak, dan pemurung jika empedu hitamnya lebih banyak. Pembentukan
kepribadian merupakan suatu proses yang apabila perkembangannya berlangsung
baik, maka akan menghasilkan kepribadian yang harmonis. Dalam Al-Quran
dinyatakan bahwa orang muslim harus memiliki kepribadian yang harmonis.
Allah berfirman:

Artinya: Dan demikianlah Kami jadikan kamu suatu umat yang seimbang, adil
dan harmonis, supaya kamu menjadi pengawas bagi manusia dan rasul
menjadi pengawas atas kamu. (QS. Al-Baqarah: 143)

Pembentukan yang harmonis ini dapat ditempuh dengan tiga tahap.


Pertama, pembiasaan, pembentukan pengertian, sikap dan minat, dan
pembentukan kerohanian yang luhur.15 Kedua, mengasah pikiran untuk
ditanamkan pengertian ikhlas dan sabar agar terbentuk sikap untuk menjauhi
perbuatan yang bertentangan dengan sabar dan ikhlas. Ketiga adalah pembentukan
kerohanian yang luhur dengan alat utamanya adalah budi dan tenaga-tenaga
kejiwaan sebagai alat tambahan. Pikiran dengan disinari budi akan dapat
mengenal Allah dan akan menghasilkan segala yang dilakukannya berdasarkan
kesadaran dan tanggung jawab dan akan memberikan manfaat serta pelaksanaan
amalan-amalannya lebih sadar dan khusyu.

Dapat disimpulkan bahwa kepribadian merupakan ciri khas seseorang dan


dapat dibentuk melalui bimbingan dari luar. Jadi kepribadian seseorang sangat
menentukan pendidikannya dengan segala sifat yang dimiliki, namun juga
kepribadian itu dapat dibimbing oleh pihak luar.
C. Pengaruh Lingkungan Pendidikan Terhadap

Anak Didik

Seperti diketahui bahwa faktor lingkungan dapat mempengaruhi


pendidikan, baik yang berimplikasi positif maupun negatif terhadap pertumbuhan,
perkembangan, sikap, akhlak, dan perasaan agama seorang anak.

Dalam lingkungan keluarga, para ahli psikologi mengungkapkan bahwa


perkembangan kepribadian anak sudah dimulai sejak dalam kandungan, yaitu
janin mendapat pengaruh sikap dan perasaan ibu terhadapnya melalui saraf-saraf
pada rahim ibu. Maka sikap positif ibu terhadap janin dan ketentraman batinnya
mengakibatkan saraf bekerja lancar karena tidak ada kegoncangan jiwa sehingga
perkembangan kepribadian anak yang akan lahir cukup baik dan positif.
Selanjutnya ibu memberikan pendidikan berupaya kasih sayang dengan ASI
selama dua tahun.

Pendidikan dalam keluarga sebagian besar dapat kita lihat dilaksanakan


melalui pembiasaan dan teladan dari orang tua, lebih-lebih bagi anak usia 0-6
tahun yang belum dapat memahami hal-hal yang abstrak. Al-Ghazali berkata
bahwa pengaruh pembiasaan terhadap pendidikan anak sangat besar. Dapat kita
lihat orang yang mengetahui hukum shalat itu wajib, namun tidak dibiasakan
shalat oleh orang tuanya, dia akan malas melaksanakan kewajiban shalat itu.
Setelah anak berusia enam tahun ke atas, lalu memasuki masa remaja dan masa
dewasa, barulah pendidikan diberikan melalui pengertian dan penghayatan.

Demikianlah pengaruh pendidikan keluarga dalam pembentukan sikap,


akhlak, dan agama seorang anak. Allah SWT berfirman:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu


dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. (QS.
Al-Tahrim: 6)

Setelah anak memasuki lingkungan sekolah maka mulailah anak


menerima pengetahuan yang bersifat sistematis dan konseptual berupa sejumlah
mata pelajaran. Di sini anak mulai berinteraksi dengan orang lain, yaitu teman-
teman sebayanya dan guru. Karena itu guru harus memiliki kepribadian, agama,
akhlak, sikap, penampilan, pakaian, dan cara bicara yang baik terhadap anak
didik. Di sekolah anak terkadang mencari figur guru idola yang menurut dia dapat
diteladani. Dengan mulainya anak berinteraksi diharapkan dia dapat hidup layak
dan wajar dengan teman-temanya karena nantinya anak akan menjadi anggota
masyarakat. Sekolah juga memberikan suatu harapan yang dapat tergambar oleh
masyarakat, yaitu dengan mendapat ijazah untuk melanjutkan ke jenjang
pendidikan selanjutnya ataupun untuk mencari pekerjaan.

Perlunya penghayatan dan pengamalan dari pengetahuan yang diperoleh


di sekolah dirasakan sangat urgen agar anak didik tidak menjadi orang yang pintar
dalam teori, tetapi mengabaikan pengetahuan praktikal. Di sinilah pengaruh
pendidikan masyarakat, di mana anak didik memperoleh pengetahuan praktikal
yang sedikit sekali didapatkan di sekolah. Anak mempelajari pengetahuan agama
dan bahasa Indonesia sehingga dapat menyusun sebuah pidato. Pidato ini
dipraktikkan di muhadharah masjid atau asrama, yang sebelumnya dia melihat
bagaimana cara menampilkan pidato dari seorang ustadz atau tokoh masyarakat.
Jadi cara dia pidato, baik itu dari segi isi, penyampaian, dan sikap dia di hadapan
hadirin dapat dikatakan dia sedang belajar berpidato sehingga pidato tersebut
dapat dilihat baik atau tidak, perlu perbaikan atau tidak.

Di masyarakat anak didik belajar berinteraksi dengan orang-orang yang


lebih luas. Karenanya jika anak bergaul dengan masyarakat yang tidak bermoral
secara tidak langsung anak menerima pendidikan yang berakibat negatif. Sebagai
contoh lingkungan anak muda yang suka membentuk geng, bersaing dengan geng
lain, bahkan sampai ada yang menyediakan minuman terlarang, ekstasi, dan lain-
lain. Kalau sudah memasuki suatu geng secara langsung atau tidak sengaja,
terpaksa atau kehendak sendiri, anak otomatis belajar atau setidaknya terpengaruh
pada perbuatan negatif tadi. Adapun mengenai pengaruh negara dalam
pendidikan, pengaruhnya lebih kepada sistem pendidikan. Namun pada akhirnya
sistem pendidikan itu pun akan mempengaruhi proses pendidikan anak didik.
Negara Uni Sovyet yang berideologi komunis, tentunya memasukkan nilai-nilai
komunis dan negara Indonesia yang berideologi Pancasila sistem pendidikannya
tidak bertentangan dengan agama Islam. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya
UU No. 2/1989 dilanjuti dengan PP No.28/1990 tentang sistem pendidikan
nasional yang berkaitan dengan semua kurikulum pendidikan di bawah koordinasi
Depdikbud sebagai wadah integrasi pendidikan Islam dengan sistem pendidikan
nasional.

Terdapat dua cara dalam menghubungkan mata pelajaran agama dengan


mata pelajaran lain. Pertama, cara okasional yaitu menghubungkan satu pelajaran
dengan pelajaran lain atau mencari korelasi. Misalnya ketika guru membicarakan
pelajaran Fiqih tentang hukum makanan dan minuman guru dapat
menghubungkannnya dengan pendidikan kesehatan. Kedua, cara sistematis yaitu
bahan-bahan pelajaran dihubungkan lebih dahulu menurut rencana tertentu
sehingga bahan-bahan itu merupakan satu kesatuan yang terpadu, dan cara ini
meliputi konsentrasi sistematis sebagian dan konsentrasi sistematis total.

Ada satu hal yang juga sangat penting yang mempengaruhi pendidikan,
yaitu individu itu sendiri. Sebagai subjek pendidikan, anak harus mempunyai
keinginan yang kuat untuk belajar dan berhasil. Anak harus dapat semaksimal
mungkin mengembangkan bakat-bakat yang baik yang dapat menunjang
keberhasilan belajar dan berusaha menghilangkan sifat yang dapat menghambat
keberhasilan belajar. Dalam hal ini orang-orang yang ada di sekitarnya seperti
orang tua dan guru serta lainnya harus mampu membimbing pribadi anak untuk
kesuksesan belajarnya.

D. Lingkungan yang Paling Dominan/Besar Pengaruhnya Terhadap


Anak Didik

Menganalisis masalah ini tentunya tidak terlepas atau tergantung umur


anak didik dan lamanya di mana ia belajar. Untuk anak yang belum mengenal
lingkungan luar, tentunya pengaruh pendidikan keluarga lebih besar. Pada masa
ini anak menjadikan ayah dan ibunya menjadi tokoh yang paling dekat, di
samping anggota keluarga lainnya. Adapun setelah anak mengenal lingkungan
sekolah, masyarakat, dan yang lebih luas lagi yaitu negara, pengaruh yang lebih
besar akan masuk kepadanya jika dirasakan lingkungan mana yang lebih intensif
dan sesuai dengan nilai-nilai yang sudah dia dapati dari keluarga.

Kalau kita analisis lebih jauh lagi melalui pengertian pendidik berdasarkan
lingkungan pendidikan, bahwa setiap orang, lembaga, perkumpulan/organisasi
hendaknya mendidik anak seoptimal dan sebaik mungkin. Seperti kita ketahui
bahwa pendidikan itu berlangsung seumur hidup, karenanya usaha pendidikan
harus dilakukan bersama-sama antara keluarga, sekolah, masyarakat, negara, dan
individu itu sendiri.

E. Kesimpulan

Lingkungan pendidikan ialah segala sesuatu yang terdapat di sekitar anak


didik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak didik dan
dapat memberikan implikasi positif dan negatif terhadap sikap, akhlak, dan
perasaan agamanya.

Lingkungan pendidikan terbagi dua, yaitu lingkungan pendidikan di


dalam sekolah dan lingkungan pendidikan di luar sekolah yang meliputi keluarga,
masyarakat, negara dan individu/diri sendiri. Adapun pengaruh lingkungan yang
dominan dalam diri anak didik tergantung dari umur anak didik dan lamanya di
mana anak didik belajar.

(Endnotes)

1 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), Cet. I, h. 146
2 Mohammad Al-Toumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, terjemahan
Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Cet. I, h.
3 M. Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1996), Cet. I, h. 40
4 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah,
(Jakarta: CV Ruhama, 1995), Cet. I, h. 157
5 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, h. 155-156
6 Zakiah Daradjat, Op. Cit., h. 77
7 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, h. 157
8 Sejarah pertumbuhan dan perkembangan pendidikan sekolah dalam Islam
ini adalah hasil ringkasan dari Abdurrahman Al-Nahlawi, Pendidikan Islam di
Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Cet. II, h.
148-151
9 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, h. 159
10 Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu
sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu
identitas bersama. Lihat M. Munandar Sulaiman, Ilmu Sosial Dasar, (Bandung;
Eresco, 1992), Cet. VI, h. 63
11 Abdurrahman Al-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan
Masyarakat, h. 136-137
12 Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991), Cet. II, h.
162
13 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1995), Cet I, h. 82
14 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, h. 86
15 Ahmad D. Marimba, Filsafat dalam Pendidikan Islam, (Bandung: PT Al-
Maarif, 1995), Cet. VIII, h. 76

BAB X
TANGGUNG JAWAB DALAM KELEMBAGAAN PENDIDIKAN ISLAM

Maju atau tidaknya peradaban suatu bangsa tidak terlepas dari sejauh
mana keberhasilan yang dicapai oleh bangsa itu dalam bidang pendidikan. Karena
pada dasarnya semua aspek kehidupan ini harus ditempuh dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Rasululah SAW bersabda:

Artinya: Barang siapa yang menghendaki (kebahagiaan) dunia, maka harus


dengan ilmu, barang siapa yang menghendaki (kebahagiaan) akhirat,
maka harus dengan ilmu, dan barang siapa yang menghendaki
(kebahagiaan) keduanya, maka harus dengan ilmu.

Dari hadis tersebut jelas bahwa untuk mencapai suatu kebahagiaan harus
dengan ilmu pengetahuan karena dengan bekal ilmu pengetahuan manusia dapat
memecahkan segala persoalan hidup, dapat berbuat yang terbaik untuk dirinya dan
orang lain serta dapat beribadah dengan benar dan khusyuk.

Berbicara tentang pendidikan, itu berarti kita tidak bisa melepaskan diri
dari persoalan tanggung jawab individu, masyarakat luas, dan negara. Karena
pada dasarnya semua manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok
mempunyai tanggung jawab terhadap pendidikan.

Di Indonesia tanggung jawab pendidikan dilaksanakan dalam berbagai


lembaga, baik formal, informal maupun nonformal. Di tengah masyarakat kita
sekarang ini banyak sekali ditemukan lembaga pendidikan yang diselenggarakan
oleh masyarakat atau lebih dikenal dengan istilah lembaga pendidikan swasta.
Lembaga-lembaga yang dikelolanya pun bervariasi, di samping yang bersifat
umum ada juga yang berciri khas agama.

Secara historis munculnya lembaga pendidikan Islam di Indonesia dapat


dikatakan sebagai reaksi terhadap dominasi pendidikan kolonial Belanda yang
sekuler. Sehingga lahirlah berbagai lembaga pendidikan Islam, seperti pesantren,
madrasah, dan majlis taklim atau masjid yang digunakan sebagai lembaga
pendidikan umat. Lembaga pendidikan Islam mempunyai tujuan yang sangat
tinggi, yaitu ingin menghasilkan manusia yang unggul secara intelektual, kaya
dalam amal, serta anggun dalam moral dan bijaksana dalam perbuatan.

A. Pengertian Tanggung Jawab


Tanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu pengadilan yang muncul
dari hati sanubari seseorang untuk memikul suatu beban yang diberikan
kepadanya. Tanggung jawab dapat pula diartikan sebagai beban moral yang harus
dipikul oleh seseorang terhadap sesuatu (kepercayaan) yang dibebankan
kepadanya. Tanggung jawab pendidikan berarti beban yang harus dipikul oleh
seseorang yang berkompeten dalam dunia pendidikan.

B. Tanggung Jawab dalam Pendidikan Islam

Sebelum melihat lebih jauh tentang bentuk-bentuk tanggung jawab yang


kemudian dibebankan ke berbagai lembaga pendidikan, baik yang bersifat formal,
informal maupun nonformal, ada baiknya dilihat terlebih dahulu siapa saja yang
bertanggung jawab dalam pendidikan tersebut.

Langeveld seorang ahli filsafat Antropologi menyatakan bahwa yang


bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan adalah:

1. Lembaga keluarga yang mempunyai wewenang bersifat kodrati

2. Lembaga negara yang mempunyai wewenang berdasarkan undang-undang

3. Lembaga agama yang mempunyai wewenang berasal dari Tuhan

Kemudian Ki Hajar Dewantara memfokuskan penyelenggaraan


pendidikan pada trisentral, yaitu:

1. Alam keluarga yang membentuk pendidikan keluarga

2. Alam perguruan yang membentuk lembaga pendidikan sekolah

3. Alam pemuda yang membentuk lembaga pendidikan masyarakat.

Menurut Sidi Gizalba, yang berkewajiban menyelenggarakan lembaga


pendidikan adalah:

1. Rumah tangga, yaitu sebagai lembaga pendidikan primer untuk fase bayi dan
fase anak-anak sampai usia sekolah. Pendidiknya adalah orang tua, sanak
kerabat atau teman.

2. Sekolah, yaitu lembaga pendidikan sekunder yang bertanggung jawab


mendidik anak, mulai masuk jam sekolah sampai jam keluar sekolah.
Pendidiknya adalah guru.
3. Kesatuan sosial, yaitu pendidikan tertier yang merupakan pendidikan terakhir,
tetapi bersifat permanen. Pendidiknya adalah kebudayaan, adat istiadat, dan
suasana masyarakat setempat.1

Kalau diperhatikan pendapat-pendapat di atas, secara umum dapat


diterima, namun apabila ditelaah menurut konsep Islam kiranya pendapat-
pendapat tersebut kurang pas karena menurut pendapat-pendapat di atas yang
mempunyai tanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan hanya yang
bersifat kelompok saja, sedangkan Islam mewajibkan tiap individu untuk
bertanggung jawab dan sekaligus membekali dirinya dengan ilmu pengetahuan.

Selain mewajibkan menuntut ilmu, Islam juga mengajarkan kepada


umatnya untuk melaksanakan amar maruf nahi munkar (tindakan proaktif dan
reaktif) terhadap lingkungan. Konsep ini mencakup semua lembaga pendidikan,
baik lembaga keluarga, sekolah, pemerintah, maupun lingkungan sosial. Hal ini
sejalan dengan landasan negara RI yaitu UUD 1945 yang mengatur hak mendapat
pengajaran.

Jika dipertegas lebih jauh, maka tanggung jawab yang paling dominan
dalam pendidikan adalah sebagai berikut:

1. Keluarga (Ibu dan Bapak)

Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anaknya.


Tanggung jawab pendidikan yang diemban oleh orang tua merupakan fitrah yang
telah dikodratkan oleh Allah SWT. Bapak dan ibulah sebagai orang pertama yang
paling dominan memberikan warna terhadap perkembangan seorang anak. Oleh
karena peran keluarga sangat penting, maka Islam memandang keluarga bukan
hanya sebagai persekutuan kecil yang hanya mampu melaksanakan tugas memberi
makan dan minum bagi anak-anaknya (sekedar membesarkan fisiknya), tetapi
Islam memandang keluarga sebagai suatu lembaga hidup yang bertanggung jawab
dalam mendidik dan membimbing perkembangan anak dan dapat memberikan
peluang kepada seseorang untuk selamat atau celaka di dunia dan akhirat. Oleh
karena peran keluarga yang sangat besar itulah Allah SWT memerintahkan Nabi
Muhammad SAW untuk berdakwah kepada keluarganya terlebih dahulu sebelum
berdakwah kepada masyarakat luas. Firman Allah
SWT:
Artinya: Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.
(QS. Al-Syuara: 214)

Demikian pula Islam memerintahkan orang tua untuk menjadi pemimpin


dan sekaligus sebagai kepala keluarga yang wajib memelihara keluarganya dari
ancaman api neraka. Sebagaimana firman-Nya:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu


dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. (QS.
Al-Tahrim: 6)

Secara umum kewajiban orang tua kepada anaknya adalah sebagai berikut:

1. Mendoakan anaknya

2. Memelihara anak dari ancaman api neraka

3. Menyerukan salat kepadanya

4. Menciptakan kedamaian dalam rumah tangga

5. Mencintai dan menyayangi anaknya

6. Memberi nafkah yang halal

7. Mendidik anak agar berbakti kepada ibu bapak.

Sedangkan dasar-dasar pendidikan yang diberikan orang tua kepada


anaknya adalah:

1. Dasar pendidikan budi pekerti

2. Dasar pendidikan sosial

3. Dasar pendidikan intelektual

4. Dasar pendidikan kebiasaan

5. Dasar pendidikan kewarganegaraan

2. Sekolah

Guru adalah pendidik profesional, karenanya secara implisit ia merelakan


dirinya menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang dipikul
orang tua.
Di negara-negara Timur sejak dulu guru sangat dihormati oleh masyarakat.
Orang India dahulu menganggap guru sebagai orang sakti. Di Jepang guru disebut
sensei artinya yang lebih dahulu lahir, atau yang lebih tua. Di Inggris guru
dikatakan teacher dan di Jerman disebut Der Lehler, keduanya berarti
pengajar. Akan tetapi, kata guru sebenarnya bukan saja mengandung arti pengajar,
melainkan juga pendidik, baik di dalam maupun di luar sekolah. Ia harus menjadi
penyuluh masyarakat.

Islam sangat menghargai guru/ulama sebagai orang yang berilmu


pengetahuan. Firman Allah:

Artinya: Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara


kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-
Mujadalah: 11)

Untuk menjadi seorang guru yang dapat mempengaruhi anak didik ke arah
kebahagiaan dunia dan akhirat sesungguhnya tidaklah ringan, artinya perlu syarat-
syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah:

1. Taqwa kepada Allah SWT

2. Berilmu pengetahuan

3. Sehat jasmani dan rohani

4. Berkelakuan baik

3. Lingkungan Sosial (Masyarakat dan Tokohnya)

Manusia adalah makhluk sosial, dalam istilah Aristoteles disebut Zoon


Politicon, artinya antara satu individu dengan individu lainnya saling
berhubungan/berinteraksi dan saling membutuhkan. Dengan demikian maka
masyarakat pun turut serta memikul tanggung jawab pendidikan. Masyarakat
mempunyai pengaruh yang besar terhadap pendidikan anak, terutama para
pemimpin atau tokoh masyarakat atau para penguasa yang ada di dalamnya.
Karena bagaimana pun kondisinya, setiap masyarakat menginginkan generasi
setelahnya menjadi generasi yang lebih kuat, baik dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi, moral, kebudayaan, kepribadian, ekonomi, dan yang terpenting adalah
kuat iman dan taqwanya kepada Allah SWT.

Prof. Dr. Oemar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibani mengemukakan:2

Di antara ulama-ulama mutakhir yang telah menyentuh persoalan


tanggung jawab adalah Abbas Mahmud Al-Aqqad yang menganggap rasa
tanggung jawab sebagai salah satu ciri pokok bagi manusia pada
pengertian Al-Quran dan Islam sehingga dapat ditafsirkan manusia
sebagai makhluk yang bertanggung jawab.

Jadi, jelaslah bahwa dalam Islam tanggung jawab itu bersifat individu dan
bersifat sosial. Untuk mengaplikasikan tanggung jawab terhadap pendidikan itu,
maka dibentuklah lembaga pendidikan, baik yang bersifat tradisional maupun
yang modern.

Lembaga disebut juga institusi atau pranata, sedangkan lembaga sosial


adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola-pola tingkah
laku, peranan-peranan dan relasi-relasi yang terarah dalam mengikat individu
yang memiliki otoritas formal dan sanksi hukum guna tercapainya kebutuhan-
kebutuhan dasar.3

Secara konsep, lembaga sosial tersebut terdiri atas tiga bagian, yaitu:

1. Assosiasi, misalnya universitas

2. Organisasi khusus, misalnya penjara dan rumah sakit

3. Pola tingkah laku yang telah menjadi kebiasaan atau pola hubungan sosial yang
mempunyai tujuan tertentu.4

Dalam Islam pola tingkah laku yang telah mengkristalkan pada jiwa setiap
individu muslim mempunyai dua bagian, yaitu pertama, lembaga yang tidak dapat
berubah, dan kedua, lembaga yang dapat berubah. Lembaga yang tidak dapat
berubah antara lain:

1. Rukun Iman, yaitu lembaga kepercayaan manusia.

2. Ikrar Syahadatain, yaitu lembaga yang merupakan pernyataan atas


kepercayaan manusia.

3. Thaharah, yaitu lembaga pensucian manusia dari kotoran lahir dan batin

4. Shalat, sebagai lembaga yang dapat membentuk pribadi yang terhindar dari
perbuatan keji dan munkar.
5. Zakat, yaitu lembaga kepedulian umat dan pemerataan kekayaan (harta).

6. Puasa, sebagai lembaga untuk menempa jiwa.

7. Haji, sebagai lembaga pemersatu ukhuwah umat.

8. Ihsan, lembaga yang melengkapi, meningkatkan, serta menyempurnakan amal


dan ibadah manusia.

9. Ikhlas, yaitu lembaga pendidikan rasa dan budi sehingga tercapai kenikmatan
beribadah

10. Taqwa, yaitu lembaga yang menghubungkan antara hamba dengan Tuhan serta
sebagai pembeda derajat manusia.

Adapun lembaga yang dapat berubah, anatara lain:

1. Ijtihad, sebagai lembaga berpikir untuk menetapkan rumusan hukum suatu


masalah

2. Fiqih, sebagai tindak lanjut ijtihad

3. Akhlak

4. Lembaga Ekonomi

5. Lembaga Pergaulan Sosial

6. Lembaga Politik

7. Lembaga Seni

8. Lembaga Negara

9. Lembaga Iptek

10. Lembaga Pendidikan

Lembaga-lembaga yang dapat berubah merupakan pengejawantahan dari


lembaga yang tidak dapat berubah. Lembaga-lembaga yang tidak dapat berubah
akan tetap abadi jika diadakan suatu proses pelembagaan nilai kepada
masyarakat. Dari itu dapat dikatakan bahwa lembaga pendidikan Islam adalah
suatu bentuk organisasi yang diadakan untuk mengembangkan lembaga-
lembaga Islam. Dalam merealisasikan tugasnya setiap lembaga pendidikan
Islam harus berpijak pada prinsip-prinsip dasar yang telah disepakati, yaitu
antara lain:

1. Prinsip pembebasan manusia dari api neraka (QS. 66:6)

2. Prinsip pembinaan umat manusia yang bertaqwa (QS. 2:20)


3. Prinsip pembentukan pribadi yang beriman dan berilmu pengetahuan (QS.
58:11)

4. Prinsip amar maruf nahi munkar

5. Prinsip pengembangan daya pikir, cipta, karya, dan karsa.

Adapun wujud lembaga pendidikan banyak sekali antara lain:

1. Keluarga

Sudah tidak diragukan lagi bahwa keluarga adalah lingkungan pendidikan


pertama dan utama yang dialami seorang anak. Bahkan pendidikan yang
diberikan oleh orang tua telah dimulai sejak dini, yaitu sejak mulai masa
pinangan sampai pada proses pernikahan, kehamilan, dan seterusnya. Di dalam
keluargalah awal mula seseorang ditempa dan dibina oleh orang tuanya.

2. Masjid (surau, langgar, mushalla)

Fungsi masjid tidak hanya sebagai tempat shalat, tetapi lebih dari itu
masjid dapat dijadikan tempat beribadah secara luas, seperti sebagai lembaga
pendidikan dan pusat informasi umat. Fenomena fungsi masjid yang sangat luas
sudah dimulai dari zaman Rasulullah.

Masjid merupakan lembaga pendidikan yang sangat potensial untuk


membina umat menuju masyarakat yang Islami serta berpengetahuan. Hal ini
sebagai implikasi dari fungsi masjid itu sendiri yang merupakan lembaga
pengembangan dari pendidikan keluarga. Namun sangat disayangkan fungsi
masjid sekarang ini telah mengalami penyempitan, tidak seperti pada zaman
Rasulullah dulu. Hal ini dikarenakan lembaga-lembaga sosial keagamaan
semakin memadat.

3. Pondok Pesantren

Berawal dari berdirinya kerajaan Bani Umayyah, pada saat itu ilmu
pengetahuan sangat berkembang pesat dan umat Islam semikin haus dengan
ilmu pengetahuan, maka selain masjid sebagai tempat belajar, juga mulai
muncul berbagai lembaga lainnya, di antaranya adalah kuttab sebagai wadah
untuk mengajar tulis dan baca kepada umat. Namun dalam perkembangannya
kuttab juga menjadi pusat informasi dan studi umat.

Di Indonesia, kuttab lebih dikenal dengan istilah pondok pesantren, yaitu


suatu lembaga pendidikan Islam yang di dalamnya ada seorang kiyai yang
mengajar dan mendidik para santri. Pondok pesantren di Indonesia mempunyai
ciri-ciri khusus, yaitu adanya kiyai, santri, masjid, dan pondokan atau asrama
yang digunakan sebagai tempat tinggal para santri, serta pelajaran kitab-kitab
klasik.

Terbentuknya lembaga pondok pesantren mempunyai tujuan:

a. Tujuan Umum

Membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian


Islam yang dengan ilmu agama dan pengamalannya ia sanggup menjadi
mubaligh Islam dalam masyarakat sekitar.

b. Tujuan Khusus

Mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu


agama yang diajarkan oleh kiyai yang bersangkutan serta mengamalkannya
dalam masyarakat.

Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua memiliki metode-


metode pengajaran yang bersifat nonklasikal, yaitu model sistem pendidikan
dengan metode pengajaran wetonan yaitu kiyai membacakan kitab sedang
santrinya menyimak dan mendengarkan bacaan kiyai dan metode sorogan yaitu
santri yang membaca kitab, kiyai mendengar dan meluruskan bacaan santri.

4. Madrasah

Madrasah diambil dari kata darasa yang berarti belajar. Kata madrasah
sendiri adalah isim makan (nama tempat) yakni tempat untuk belajar. Madrasah
sebagai lembaga pendidikan Islam muncul dari penduduk Naisabur, tetapi
tersiarnya melalui Perdana Menteri Bani Saljuq yang bernama Nizham Al-Mulk
yang mendirikan madrasah Nizhamiyah pada tahun 1065 M.

Latar belakang berdirinya madrasah adalah:5

1. Sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam

2. Usaha penyempurnaan sistem pesantren ke arah suatu sistem pendidikan


yang lebih valid

3. Adanya sikap mental pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri
yang terpukau pada Barat akan sistem pendidikan mereka.

4. Sebagai usaha menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang


dilakukan pesantren dan sistem pendidikan modern dari hasil akulturasi.
Sebagaimana kita ketahui bahwa madrasah sebagai lembaga pendidikan
sangat besar pengaruhnya bagi pembinaan umat. Oleh karena itu, kita berharap
agar madrasah tetap eksis.

Selain 4 lembaga tersebut ada beberapa jenis lembaga pendidikan lainnya,


yaitu:

1. Pengajian dan penerapan Islam (majlis taklim)

2. Kursus-kursus keislaman

3. Badan-badan pembinaan rohani (biro konsultasi agama dan biro konsultasi


pernikahan)

4. Badan-badan konsultasi keislaman

5. Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ)6

C. Kesimpulan

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa:

1. Tanggung jawab pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara orang tua,
masyarakat, dan pemerintah

2. Lembaga-lembaga pendidikan yang bercorak Islam ada yang bersifat permanen


(modern) dan ada yang bersifat temporer (tradisional)

3. Setiap lembaga pendidikan Islam pada intinya ingin membina generasi penerus
yang kokoh dalam iman, kuat dalam kepribadian, ekonomi dan moral, serta
tangguh dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.

(Endnotes)

1 Sidi Gizalba, Pendidikan Umat Islam, (Jakarta: t.p, 1970), h. 34


2 Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979),
h.381-390
3 Hendro Puspito, Sosiologi Agama, (Jakarta: Kanisius, 1988), h.76
4 Tim Depag RI, Islam Untuk Disiplin Ilmu Sosiologi, (Jakarta: PTU, 1988),
h.108
5 Tim Depag RI, Islam Untuk Disiplin Ilmu Pendidikan, (Jakarta: P3AI-
PTU, 1985), h. 109
6 Hamdani Ali, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1987), h.
203-204

BAB XI
EVALUASI DALAM PENDIDIKAN ISLAM

A. PENDAHULUAN

Pada umumnya evaluasi merupakan suatu kegiatan atau proses untuk


mengukur dan selanjutnya menilai, sampai dimanakah tujuan yang telah
dirumuskan sudah dapat dilaksanakan. Apabila tujuan yang telah dirumuskan itu
direncanakan untuk dicapai secara bertahap, maka dengan evaluasi yang
berkesinambungan akan dapat dipantau, tahapan manakah yang sudah dapat
diselesaikan, tahap manakah yang berjalan dengan mulus, dan mana pula tahapan
yang mengalami kendala dalam pelaksanaannya. Sehingga, dengan evaluasi
terbuka kemungkinan bagi evaluator untuk mengukur seberapa jauh atau seberapa
besar kemajuan atau perkembangan program yang dilaksanakan dalam rangka
pencapaian tujuan yang telah dirumuskan.1

Sedangkan evaluasi pendidikan pada prinsipnya bertujuan untuk


mengumpulkan informasi yang dapat dipergunakan sebagai dasar untuk
mengadakan pengecekan yang sistematis terhadap hasil pendidikan yang telah
dicapai untuk kemudian dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya.

Sementara itu, evaluasi dalam pendidikan Islam merupakan suatu cara


atau teknik penilaian terhadap tingkah laku peserta didik berdasarkan standar
perhitungan yang bersifat komprehensif dari seluruh aspek-aspek kehidupan
mental-psikologis dan spiritual-religius peserta didik. Karena sosok pribadi yang
diinginkan oleh pendidikan Islam bukan hanya pribadi yang bersifat religius,
tetapi juga memiliki ilmu dan keterampilan yang sanggup beramal dan berbakti
kepada Tuhan dan masyarakat.

Berikut ini diuraikan tentang pengertian evaluasi dalam pendidikan Islam,


dasar teori evaluasi pendidikan Islam, prinsip evaluasi pendidikan Islam, fungsi
evaluasi dan teknik evaluasi pendidikan Islam.

B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Evaluasi Pendidikan Islam

Secara etimologi, evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation; dalam


bahasa Arab al-taqdir; dalam bahasa Indonesia berarti penilaian. Istilah ini pada
mulanya populer di kalangan para filosof. Plato, salah seorang di antara para
filosof, dianggap banyak para pemikir pendidikan dewasa ini adalah orang yang
pertama sekali mengemukakan dan membidani lahirnya istilah evaluasi. Pada
perkembangannya istilah evaluasi mulai dipakai dalam berbagai disiplin ilmu tak
terkecuali ilmu pendidikan.2

Sedangkan dari segi istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Edwind


Wandt dan Gerald W. Brown dalam Essensial of Educational Evaluation
mengatakan bahwa evaluasi evaluation refer to the act or process to determining
the value of something.3 Bila pernyataan ini dihubungkan dengan evaluasi
pendidikan, maka dapat diartikan dengan suatu tindakan atau kegiatan yang
dilakukan untuk menentukan nilai dari segala sesuatu dalam dunia pendidikan.
Atau, keputusan-keputusan yang diambil dalam proses pendidikan secara umum;
baik mengenai perencanaan, pengelolaan, proses dan tindak lanjut pendidikan atau
yang menyangkut perorangan, kelompok, maupun kelembagaan.4

Oleh karena itu, yang dimaksud dengan evaluasi dalam pendidikan Islam
adalah pengambilan sejumlah keputusan yang berkaitan dengan pendidikan Islam
guna melihat sejauh mana keberhasilan pendidikan yang selaras dengan nilai-nilai
Islam sebagai tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri.

2. Dasar Teori Evaluasi Pendidikan Islam

Al-Quran sebagai dasar segala disiplin ilmu termasuk Ilmu Pendidikan


Islam, secara implisit sebenarnya telah memberikan deskripsi tentang evaluasi
pendidikan dalam Islam. Hal ini dapat ditemukan dari berbagai sistem evaluasi
yang ditetapkan Allah di antaranya:

a. Evaluasi untuk mengoreksi balasan amal perbuatan manusia


sebagaimana yang tersirat dalam ayat yang berbunyi:

Artinya: Barangsiapa mengerjakan kebaikan sebesar atompun, niscaya


akan melihat (balasan) nya, dan barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan sebesar atompun niscaya akan melihat (balasan) nya. (QS. Al-
Zalzalah: 7-8)

b. Nabi Sulaiman As pernah mengevaluasi kejujuran seekor burung Hud-


hud yang memberitahukan tentang adanya kerajaan diperintah oleh
seorang wanita cantik, yang dikisahkan dalam ayat:

Artinya: Sulaiman berkata: Akan kami cermati (evaluasi) apakah kamu


benar ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta. (QS. An-Naml:
27)

c. Sebagai contoh ujian (tes) yang berat kepada Nabi Ibrahim As, Allah
memerintahkan beliau unuk menyembelih anaknya Ismail yang amat
dicintainya. Tujuannya untuk mengetahui kadar keimanan dan ketaqwaan
serta ketaatannya kepada Allah. Seperti disebutkan di dalam firman-Nya:

Artinya: Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan


anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami
panggillah dia: Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan
mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu
ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan
yang besar. (QS. As-Shaffat: 103-107)

3. Prinsip Evaluasi Pendidikan Islam

Ada beberapa hal yang menjadi prinsip dasar evaluasi dalam pendidikan
Islam. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut;

1; Prinsip kesinambungan/Berkelanjutan. Maksudnya, evaluasi tidak hanya


dilakukan sekali dalam satu jenjang pendidikan, setahun, caturwulan atau
perbulan. Akan tetapi harus dilakukan setiap saat dan setiap waktu.
Misalnya, evaluasi dilakukan pada saat membuka pelajaran, menyajikan
pelajaran, menutup pelajaran, dan sebagainya. Sehingga, dengan evaluasi
secara kontiniu ini perkembangan anak didik dapat terkontrol dengan baik.

2; Prinsip Keseluruhan/Universal/Komprehensif. Maksudnya, evaluasi


hendaknya dilakukan untuk semua ranah (domain) atau semua aspek
sasaran pendidikan. Yaitu, aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.

3; Prinsip Obyektivitas. Maksudnya, evaluasi hasil belajar dapat dinyatakan


sebagai evaluasi yang baik apabila dapat terlepas dari faktor-faktor yang
sifatnya subyektif.

4; Prinsip Keikhlasan. Dengan segala hal, keikhlasan pendidik harus


tercermin di segala aktivitasnya dalam mendidik. Termasuk di antaranya
dalam mengevaluasi pendidikan. Guru/pendidik yang ikhlas dalam
mengevaluasi terlihat dari sikapnya yang transparan dan obyektif.
Pendidik tidak hanya mampu menunjukkan kesalahan-kesalahan siswa,
tetapi juga mampu menunjukkan jalan keluarnya, sehingga siswa tidak
merasa bahwa ia dipersulit oleh guru. Keikhlasan dalam mengevaluasi
mengandung tiga unsur; Pertama, penilaian tidak didasarkan kepada kesan
baik atau prasangka buruk. Kedua, memiliki sifat serba guna, berguna
untuk mengetahui tingkat pengusahaan bahan, untuk mengadakan
perbaikan cara belajar, perbaikan cara mengajar, cara membuat tes, dan
sebagainya. Ketiga, bersifat perseorangan. Kemajuan siswa dalam
penguasaan pengetahuan dan sikap keagamaan dalam hubunganya dalam
pencapaian tujuan kurikulum, haruslah dengan mempertimbangkan situasi
dan kondisi masing-masing anak didik. 5
4. Fungsi Evaluasi

Sebagai salah satu komponen penting dalam pelaksanaan pendidikan


Islam, evaluasi berfungsi sebagai berikut;

1; Untuk mengetahui sejauhmana efektifitas cara belajar dan mengajar yang


telah dilakukan benar-benar tepat atau tidak, baik yang berkenaan dengan
sikap pendidik/guru maupun anak didik/murid.

2; Untuk mengetahui hasil prestasi belajar siswa guna menetapkan keputusan


apakah bahan pelajaran perlu diulang atau dapat dilanjutkan

3; Untuk mengetahui atau mengumpulkan informasi tentang taraf


perkembangan dan kemajuan yang diperoleh murid dalam rangka
mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kurikulum pendidikan
Islam.6

4; Sebagai bahan laporan bagi orang tua murid tentang hasil belajar siswa.
Laporan ini dapat berbentuk buku raport, piagam, sertifikat, ijazah, dan
lain-lain.

5; Untuk membandingkan hasil pembelajaran yang diperoleh sebelumnya


dengan pembelajaran yang dilakukan sesudah itu, guna meningkatkan
pendidikan.

Senada dengan itu, menurut Anas Sudijono, secara umum evaluasi sebagai
tindakan atau proses setidak-tidaknya memiliki tiga macam fungsi pokok, yaitu
(1) mengukur kemajuan, (2) menunjang penyusunan rencana, dan (3)
memperbaiki atau melakukan penyempurnaan kembali. Adapun secara khususnya,
menurut Anas Sudijono, fungsi evaluasi dalam dunia pendidikan dapat ditilik dari
tiga segi, yaitu; (1) segi psikologis, (2) segi didaktik, dan (3) segi administrasi.7

Sementara itu Ramayulis menyatakan bahwa fungsi evaluasi pendidikan,


termasuk pendidikan Islam, adalah sebagai berikut:

1; Untuk mengetahui murid yang mana yang terpandai dan terbodoh di


kelasnya.

2; Untuk mengetahui apakah bahan yang telah diajarkan sudah dimiliki oleh
murid atau belum.

3; Untuk mendorong kompetisi yang sehat antar siswa.


4; Untuk mengetahui kemajuan dan perkembangan anak didik setelah
mengikuti proses belajar mengajar.

5; Untuk mengetahui tepat atau tidaknya guru dalam memilih bahan, metode,
dan berbagai penyesuaian dalam kelas.8

5. Teknik Evaluasi Pendidikan Islam

a. Gambaran Singkat Teknik Evaluasi Pendidikan Islam pada Masa


Pertumbuhan Islam (Masa Rasulullah dan Para Sahabat)

Sistem evaluasi yang disebut dalam al-Quran adalah bersifat makro dan
universal, yaitu dengan menggunakan teknik testing mental (mental test) atau
psikotes. Sedangkan dalam sunnah Nabi Muhammad SAW sistem evaluasi yang
bersifat makro adalah untuk mengetahui kemajuan belajar manusia termasuk Nabi
Muhammad SAW sendiri. Sebagaimana kisah kedatangan Malaikat Jibril menguji
Nabi Muhammad SAW dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut
pengetahuan beliau tentang rukun Islam, dan setiap jawaban Nabi Muhammad
SAW selalu dibenarkan oleh Jibril. Peristiwa lainnya adalah seringkali Jibril
datang kepada Nabi Muhammad SAW untuk menguji sejauhmana hafalannya
terhadap ayat-ayat al-Quran.

Sedangkan Nabi Muhammad SAW sendiri dalam melaksanakan kegiatan


dakwah dan pengajaran juga sering kali mengadakan evaluasi terhadap hasil
belajar para sahabatnya dengan sistem pertanyaan atau tanya jawab serta
musyawarah. Tujuan dari pengevaluasian ini adalah untuk mengetahui mana di
antara para sahabat beliau yang cerdas, yang patuh, dan yang saleh atau mana
yang kreatif dan aktif-responsif kepada pemecahanan problem-problem yang
dihadapi bersama Nabi Muhammad SAW pada suatu keadaan mendesak.9

Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, tali kepemimpinan beralih ke


tangan Khulafaur Rasyidin dan Bani Umaiyah. Pada masa ini telah dikenal
tingkatan-tingkatan pengajaran. Tingkat pertama ialah al-Kutab, yaitu tempat
anak-anak belajar menulis dan membaca/mengafal al-Quran serta belajar pokok-
pokok agama Islam. Setelah menyelesaikan pendidikan pada tahap ini, mereka
meneruskan pelajaran ke mesjid yang terdiri dari tingkat menengah dan tingkat
tinggi. Adapun ilmu-ilmu yang diajarkan pada tingkat menengah dan tingkat
tinggi terdiri dari: al-Quran dan tafsir, hadis serta fikih.
Pada masa Nabi Muhammad SAW, khalifah-khalifah Rasyidin, dan Bani
Umaiyah tujuan pendidikan hanya terfokus pada satu sasaran, yaitu keagamaan.
Sehingga yang menjadi obyek evaluasi sistem pendidikan pada masa lampau
berkisar pada aspek kognitif berupa pengembangan pengetahuan agama termasuk
di dalamnya fungsi perasaan dan sikap. Adapun bentuk evaluasi berupa pengujian
penghafalan serta sistem tanya jawab berupa lisan.

b. Teknik Evaluasi Pendidikan Islam

Ditinjau dari segi fungsi yang dimiliki oleh tes sebagai alat pengukur
perkembangan belajar peserta didik, tes dapat dibedakan menjadi enam golongan;
yaitu:

1; Penilaian Formatif, yaitu penilaian untuk mengetahui hasil belajar peserta


didik setelah menyelesaikan program dalam satuan bahan pelajaran pada
suatu bidang studi tertentu. Tujuan dari penilaian formatif ini adalah untuk
mengetahui hingga sejauhmana penguasaan murid tentang bahan
pendidikan agama yang diajarkan dalam satu program satuan pelajaran,
serta sesuai tindakannya dengan tujuan. Aspek-aspek yang dinilai
meliputi: hasil kemajuan belajar murid yaitu pengetahuan, keterampilan,
dan sikap terhadap bahan pelajaran agama yang disajikan.

2; Penilaian Sumatif, yaitu penilaian yang dilakukan terhadap hasil belajar


murid yang telah selesai mengikuti pelajaran dalam satu catur wulan,
semester, atau akhir tahun. Tujuannya adalah untuk mengetahui taraf hasil
belajar yang dicapai oleh murid selama satu cawu, semester pada suatu
unit pendidikan tertentu. Aspek yang dinilai mempunyai kesamaan dengan
penilaian formatif.

3; Penilaian Seleksi/Penempatan, yaitu penilaian tentang pribadi anak untuk


kepentingan penempatan di dalam situasi belajar-mengajar yang sesuai
dengan anak didik tersebut. Tujuannya untuk menempatkan anak didik
pada tempat yang sebenarnya, berdasarkan bakat, minat, kemampuan dan
keadaan diri anak sehingga anak tidak mengalami hambatan dalam
mengikuti pelajaran yang disajikan guru. Adapun aspek-aspek yang dinilai
meliputi: keadaan fisik dan psikis, bakat, kemampuan, pengetahuan,
keterampilan, sikap dan aspek lainnya yang dianggap perlu bagi
kepentingan pendidikan anak.
4; Penilaian Diagnostik, yaitu penilaian terhadap hasil penganalisaan tentang
keadaan anak didik baik berupa kesulitan atau hambatan dalam situasi
belajar mengajar, maupun untuk mengatasi hambatan yang dialami anak
didik waktu mengikuti kegiatan belajar mengajar. Adapun aspek-aspek
yang dinilai meliputi hasil belajar murid, dan latar belakang
kehidupannya.10

5; Penilaian Awal/Tes Awal, yang sering dikenal dengan istilah pre-test. Tes
jenis ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh manakah
materi atau bahan pelajaran yang akan diajarkan telah dapat dikuasai oleh
para peserta didik.

6; Penilaian Akhir/Tes Akhir.Tes ini sering dikenal istilah post-test. Tes akhir
dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui apakah semua materi
pelajaran yang tergolong penting sudah dapat dikuasai dengan sebaik-
baiknya oleh para peserta didik.

Secara garis besarnya, penilaian/evaluasi pendidikan dapat dilakukan


dengan dua cara, yaitu; (1) Teknik Test, yaitu penilaian yang menggunakan test
yang telah ditentukan terlebih dahulu. Metode tes ini bertujuan untuk mengukur
dan memberikan penilaian terhadap hasil belajar yang dicapai oleh murid
meliputi; kesanggupan mental, achivement (test penguasaan hasil belajar),
keterampilan, koordinasi, motorik dan bakat, baik secara individu maupun
kelompok. (2) Teknik Non Test, yaitu penilaian yang tidak menggunakan soal-soal
tes dan bertujuan untuk mengetahui sikap dan sifat kepribadian murid yang
berhubungan dengan kiat belajar atau pendidikan. Objek penilaian non test ini
meliputi; perbuatan, ucapan, kegiatan, pengalaman, keadaan tingkah laku, riwayat
hidup, dan lainnya baik bersifat individu maupun kelompok.11

Dalam evaluasi pendidikan agama, penguraiannya dibatasi hanya tentang


teknik tes, khususnya achevement test yang dipergunakan untuk menilai hasil-
hasil belajar murid setelah diajar oleh guru baik berupa penguasaan bahan,
perkembangan kecerdasan, perkembangan keterampilan dan perubahan sikap. Tes
hasil belajar ini dapat pula dibagi dua;

1; Test Essay/Test Uraian, yaitu tes yang disusun sedemikian rupa sehingga
jawabannya terdiri dari beberapa kalimat. Untuk menjawab pertanyaan
sangat memerlukan waktu yang banyak, dan murid boleh menjawab
sepuas-puasnya dan seluas-luasnya.
Beberapa pedoman dalam menggunakan test essay:

a. Mengadakan perbandingan, misalnya; Bandingkan antara sistem


pemerintahan di zaman Khulafa al-Rasyidin dan sistem pemerintahan
di zaman Khalifah Abbasiyah dan Khalifah Umaiyah!

b. Penilaian terhadap suatu pendapat, misalnya, manakah?

c. Hubungan sebab akibat misalnya, apakah yang menyebabkan?

d. Menjelaskan makna suatu ungkapan, misalnya, apakah yang


dimaksud dengan...?

e. Merangkum, misalnya perintah rangkumkanlah!

f. Kemampuan menganalisa sesuatu misalnya, uraikanlah!

1; Test Objektif

Suatu tes disebut objektif apabila; (a) hanya satu jawaban yang benar
untuk setiap setiap alternatif jawaban, (b) dalam menskor tidak ada
perbedaan walau diperiksa oleh lebih dari satu orang, (c) dalam menjawab
testee tinggal hanya melakukan pilihan sesuai dengan petunjuk, dan (d)
norma pilihan sudah ditentukan terlebih dahulu.

Sebagai salah satu jenis tes hasil belajar, tes objektif dapat dibedakan
menjadi lima golongan, yaitu;

a. Tes Obyektif bentuk Benar-Salah (True-False Test), yaitu tes yang


terdiri dari pernyataan-pernyataan yang mengandung salah satu dari
dua kemungkinan jawaban, salah atau benar misalnya; (1). Mendirikan
shalat adalah rukun Islam keempat (B-S); (2). Menyakini adanya daya
penyembuhan pada azimat-azimat termasuk syirik (B-S).

b. Tes Obyektif Bentuk Menjodohkan (Matching Test). Tes obyektif


bentuk matching sering dikenal dengan istilah tes menjodohkan, tes
mencari pasangan, tes menyesuaikan, tes mencocokkan dan tes
memperbandingkan. Dalam tes obyektif bentuk matching ini
disediakan dua kelompok bahan dan testee harus mencari pasangan-
pasangan yang sesuai antara yang terdapat pada kelompok pertama
dengan yang terdapat pada kelompok kedua, sesuai dengan petunjuk
yang diberikan dalam tes tersebut.
c. Tes Obyektif Bentuk Melengkapi (Completion Test). Tes obyektif
bentuk completion sering dikenal dengan istilah tes melengkapi atau
menyempurnakan.

d. Tes Bentuk Isian (Fill in Test). Tes ini biasanya berupa cerita atau
karangan. Kata-kata penting dalam cerita atau karangan itu beberapa
diantaranya dikosongkan (tidak dinyatakan), sedangkan tugas testee
adalah mengisi bagian-bagian yang telah dikosongkan itu.

e. Multiple Choice (tes pilihan berganda).

Pada jenis test ini testee diminta memilih jawaban yang benar dari
beberapa jawaban yang telah ada. Biasanya terdiri dari tiga sampai
lima pilihan jawaban yang tersedia, yang benar hanya satu. Multiple
choice ada tiga bentuk:

1. Menjawab pertanyaan, misalnya; Siapa yang diserahi


menyusui Nabi Muhammad SAW? (A). Siti Aisyah, (B). Siti
Khadijah, (C). Halimatussadiyah, (D). Ummu Salamah.

2. The best answer test. Pada test ini testee diminta memilih
jawaban yang paling tepat dari jawaban yang tersedia yang
kesemuanya mengandung kebenaran.

3. Menyelesaikan pertanyaan, misalnya; Sujud sahwi yaitu:


a....... b....... c...... d.......

4. Matching test (tes menjodohkan). Pada test ini, testee


diminta mencari jodoh (jawaban) yang cocok terhadap satu
lajur pertanyaan pada lajur jaawaban. Jumlah jawaban harus
lebih banyak dari pernyataan/pertanyaan. Misalnya; Carilah
pasangan (jodoh) pernyataan sebelah kiri dengan alternatif
jawaban sebelah kanan dengan menulis nomor jawaban pada
titik yang telah disediakan.

5. Complation test (tes menyempurnakan). Pada test ini testee


diminta menyempurnakan suatu kalimat, atau ungkapan
dnegan jalkan mengisi sepatah atau beberapa patah kata.
Misalnya; Isilah titik-titik dengan jawaban yang benar; Ketika
Nabi Muhammad SAW di......turunlah wahyu pertama.
6. Rearrangment test (tes mengatur kembali). Yaitu berupa tes
penyusunan pengertian yang belum teratur dan testee
diharapkan dapat mengatur dengan rapi dan benar. Contoh; 17
diangkat Muhammad Rasul Ramadhan menjadi adalah
hari.

Di samping itu, juga ada beberapa model tes yang dapat dilakukan oleh
seorang pendidik. Pertama, Tes bahasa, yaitu test yang dapat dijawab dengan
bahasa, baik lisan maupun tulisan. Tes bahasa ini terdiri dari: (1) Tes lisan. Pada
tes ini murid mendapat peratanyaan secara lisan yang harus dijawab secara lisan
pula. Jumlah peserta dalam suatu saat boleh lebh dari satu, dengan pertanyaan
diajukan dengan bergiliran. (2) Tes tulisan. Tes tulisan biasanya berbentuk
karangan. Testee diminta mengarang dengan pembatasan berupa; judul karangan,
dan jumlah maksimum halaman. Dalam pendidikan agama, juga baik sekali untuk
melatih murid mengarang berupa membuat khutbah jumat, menguraikan sejarah
Nabi Muhammad SAW, peristiwa isra miraj, peristiwa qurban, dan lian
sebagainya.

Kedua, Tes perbuatan, yaitu tes yang dipergunakan untuk menilai berbagai
macam perintah yang harus dilaksanakan seperti; mengapani mayat, berwudhu,
shalat, cara melaksanakan thawaf dan sebagainya.12

C. KESIMPULAN

Evaluasi dalam pendidikan Islam adalah keputusan-keputusan (penilaian-


penilaian) yang diambil dalam proses pendidikan secara umum; baik mengenai
perencanaan, pengelolaan, proses dan tindak lanjut pendidikan atau yang
menyangkut perorangan, kelompok maupun kelembagaan.

Secara historis, evaluasi dalam pendidikan Islam telah dipraktekkan sejak


zaman Rasulullah Muhammad SAW walaupun dalam format yang sangat
sederhana, berupa tanya jawab terhadap suatu materi yang telah diajarkan, serta
pengujian berupa penguasaan hafalan. Dalam perkembangannya teknik evaluasi
pendidikan Islam banyak mengalami kemajuan, berupa perkembangan bahasa
istilah yang digunakan, format tekniknya, serta tujuan yang akan dicapai melalui
teknik evaluasi tersebut.
Namun satu hal yang perlu diingat, bahwa dalam menyusun evaluasi
pendidikan haruslah memenuhi syarat-syarat seperti; validitas, raliabilitas,
objektivitas dan praktis.

End Note:

1Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo


Persada, 2001), h. 8-9

2 Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia,


2001), cet. Ke-3, h. 317

3 Edwin Wendt dan Geral W. Brown, Essensial of Educational Evaluation, (New


York: Rinchart and Winston, 1957), h. 1

4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan


Tinggi, Penilaian dalam Pendidikan, Materi Dasar Pendidikan Akta IV,
1993/1994, h. 1

5 Departemen Agama Republik Indonesia, Proyek Pengembangan Sistem


Pendidikan Agama, Pedoman Guru Agama Sekolah Lanjutan Atas, (Jakarta:
Depag RI., 1974/1975).

6 Ngalim Purwanto, Evaluasi Pengajaran, (Bandung: Remaja Karya, 1965), h. 2

7Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, h. 7-10

8 Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, h. 319

9 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), cet. Ke-5, h.
243

10Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, h. 324

11Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, h. 283

12Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, h. 283-309

Anda mungkin juga menyukai