Berat ringannya endemik dapat pula dilihat adanya ekskresi yodium dalam urin dengan
kriteria epidemiologi untuk memperkirakan gizi dasar tentang yodium pada median urin pada
konsentrasi yodium urin di anak sekolah dengan ketentuan sebagai berikut:
Tabel 2.5 Kriteria Epidemiologi Dalam Menaksir Yodium Berdasarkan Nilai Tengah
c. TSH Neonatus
Saat ini menentukan status tiroid dapat digunakan uji diagnostik dengan menggunakan
kadar TSH. Hal ini berdasarkan konsep bahwa sintesis TSH di hipofisis dan sekresinya ke
sirkulasi perifer berada di bawah kontrol positif hipotalamus melalui TSH serta mekanisme
umpan balik negative hormone tiroid. Untuk menentukan kriteria epidemiologi dari status
GAKY dapat digunakan indikator sebagai berikut:
GAKY dahulu disebut sebagai gondok endemik, hal ini dikarenakan seringkali penyebab
GAKY selalu dikaitkan dengan kurang mengkonsumsi makanan yang mengandung unsur
yodium. Dalam kenyataan sesungguhnya gondok endemik dapat pula disebabkan oleh etiologi
yang lain, seperti adanya bahan goitrogenik, sebab genetik, sebab nutrisional dan justru excess
yodium dan kurang yodium.
Angka kejadian GAKY lebih sering ditemukan di daerah pengunungan, hal ini
dikarenakan komponen tanahnya yang sedikit mengandung yodium. Kandungan yodium yang
rendah di pegunungan disebabkan terjadinya pengikisan yodium oleh salju atau air hujan,
sehingga hal tersebut menyebabkan pula kandungan yodium dalam makanan juga sangat rendah.
Air tanah, air dari sumber mata air, atau air dari sungai di daerah pegunungan tidak mengandung
yodium yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh manusia, demikian pula halnya dengan
ternak serta tanaman yang tumbuh di pegunungan hampir tidak mengandung yodium sama
sekali. Karena sebab itulah, maka angka kejadian GAKY lebih sering ditemukan di daerah
pegunungan dibandingkan dengan daerah pantai.
Namun saat ini, terjadi perubahan pola daerah endemik GAKY. Berdasarkan hasil studi
epidemiologi GAKY menunjukkan bahwa menetap dan berkembangnya kasus-kasus baru
didaerah gondok endemik tidak hanya di daerah pegunungan saja, akan tetapi sudah mulai
tampak di daerah pesisir pantai (Bachtiar, 2009). Hal tersebut adalah sesuatu yang sangat ironis
jika dilihat daari potensi sumber daya alam pesisir. Sumber daya pesisir merupakan sumber daya
yang memiiki kandungan gizi cukup tinggi terutama kandungan iodin, misalnya pada ikan dan
rumput laut.
Perubahan pola daerah endemik GAKY berikutnya adalah dengan ditemukannya angka
GAKY di daerah yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan tinggi zat goitrogenik
(penilaian BP2 GAKY) pada anak di Wonosobo (2012). Goitrogenik adalah zat yang dapat
menghambat pengambilan zat iodium oleh kelejar gondok, sehingga konsentrasi iodium dalam
kelenjar menjadi rendah. Selain itu, zat goitrogenik dapat menghambat perubahan iodium dari
bentuk anorganik ke bentuk organik sehingga pembentukan hormon tiroksin terhambat (Linder,
1992).
Hasil studi penelitian mengenal pergeseran/perubahan pola daerah endemik GAKY yang
mulai tampak di Indonesia, diantaranya sebagai berikut:
Data selanjutnya mengenai kejadian GAKY di pesisir yakni di Desa Bangsalrejo, Pati
yang merupakan salah satu wilayah dengan ladang garam di Indonesia. Daerah Pati juga
memiliki banyak pabrik pengolahan garam, daerah pesisir, tempat penghasil garam. Akan
tetapi ironis sekali meskipun dikenal sebagai tempat gudang garam, masih ditemukan
warganya yang terkena GAKY. Penyebabnya adalah karena warganya menggunakan garam
yang berasal langsungf dari tempatnya atau yang dikenal dengan garam rosok. Warga
menganggap garam rosok lebih baik dan lebih alami ketimbang garam beryodium yang
memakai obat. Hal ini terbukti dari pemantauan garam beryodium yang dilakukan di sekolah
dasar (SD). Dari pemantauan tersebut, ditemukan hanya 30% warga yang menggunakan
garam beryodium (Kasriyatun, 2012).
Penelitian kejadian GAKY di pesisir lainnya yaitu oleh Thaha (2001), yang meneliti
analisis faktor resiki coastal goiter di Provinsi Maluku, yakni melihat perbedaan
endemisitas di beberapa wilayah Kepulauan Banda dan Seram, dengan menggunakan analisi
EYU (Ekskresi Yodium Urin). Hasilnya jelas dapat dilihat perbedaan daerah endemik dan
non-endemik antara gugus pulau Seram Barat dan Pulau Banda dengan Seram Utara.
Proporsi EYU di atas 50 ug/l di Gugus Seram Utara yang non- endemik adalah 83,4%
sebaliknya pada Seram Barat dan Pulau Banda yang endemik berturut-turut 38% dan 65%.
Gugus Pulau Buru yang non- endemik menunjukkan fenomena yang tetap sullit dijelaskan
dengan proporsinya 31%. Lebih rendahnya EYU pada kelompok kasus menunjukkan bahwa
defisiensi (kekurangan) yodium adalah faktor resiko coastal goiter di daerah penelitian
sebagaimana pada umumnya terjadinya goiter di belahan bumi yang lain. Faktor resiko
lainnya yaitu rendahnya kadar yodium dalam tanah produktif. Data ini juga sekaligus
menunjukkan bahwa ekses yodida (kelebihan yodium) bukan merupakan faktor resiko
terjadinya coastal goiter di daerah ini. Pertanyaannya adalah bagaiman defisiensi yodium
bisa terjadi pada kelompok kasus yang lebih dari satu kali sehari mengkonsumsi ikan dan
makanan laut lainnya yang dianggap kaya kandungan yodium? Jawaban atas pertanyaan ini
harus didahului dengan jawaban atas pertanyaan, apakah benar makanan-makanan tersebut
kaya kandungan yodium? Kenyataan bahwan konsumsi garam beryodium sejak dulu sangat
rendah serta rendahnya prevalensi coastal goiter pada tahun 1982 mengisyaratkan bahwa
sumber utama konsumsi yodium saat ini terjadi defisinsi yodium yang berat, patut diduga
telah terjadi penurunan kandungan yodium pada ikan dan makanan laut lainnya. Dugaan ini
sejalan dengan laporan bahwa kandungan yodium Laut Cina Selatan sangat rendah yang juga
mencatat masih ditemukannya defisiensi yodium pada penduduk Hongkong yang sehari-hari
mengkonsumsi ikan. Jawaban lain dari penelitian ini adalah rendahnya kadar yodium dalam
tanah pada daerah endemik disbanding dengan daerah non- endemik. Karena sampel tanah
yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari daerah pertanian yang produktiof maka
makanan yang dihasilkan dari tanah pertanian dan dikonsumsi di daerah ini juga akan
memiliki kandungan yodium yang rendah. Selanjutnya yang menjadi faktor membedakan
sehingga satu gugus pulau menjadi endemik sedangkan gugus pulau lainnya non- endemik
adalah faktor lingkungan yang mempunyai pengaruh bermakna terhadap menetapnya dan
berkembangnya kasus-kasus baru di berbagai daerah endemik. Faktor lingkungan yang
terpenting adalah agen-agen gotrogenik. Analisis skor frekuensi makanan yang dikonsumsi
di daerah penelitian menunjukkan bahwa zat gotrogenik paling potensial adalah tiosianat.
Tiosianat menjadi pengham,bat terhadap transport aktif yodium ke dalam kelenjar toroid
hanya efektif bila konsentrasi yodium di dalam darah normal atau lebih rendah.
Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa tidak satupun sampel garam yang diambil
dari rumah setiap responden dan tempat penjualan/pedagang keliling mengandung yodium.
Oleh karena garam beryodium merupakan masukan yodium yang tetap dibutuhkan di daerah
yang mengkonsumsi ikan sekalipun, maka faktor ini tidak dapat diabaikan sebagai
pendukung terjadinya goiter, di Seram Barat. Oleh karena itu, jelas seperti yang telah
dikatakan oleh penelitian-penelitian sebelumnya, bahwa pengaruh faktor goitrogen seperti
tiosianat akan bermakna hanya apabila di daerah tersebut konsumsi yodium rendah.
Sulchan (2007), menjelskan dalam penelitiannya yang telah dilakukan di daerah Jawa
Tengah, terdapat perubahan pola keparahan (severity) pada tiap daerah yaitu dataran tinggi,
dataran rendah dan pesisir pantai (pada populasi anak sekolah). Hal ini dapat dijelaskan
dalam grafik 2.1 dan table 2.7.
Grafik 2.1 Prevalensi Gondok Pada Anak Sekolah di Area yang Berbeda
Dalam grafik di atas dapat dijelaskan bahwa perubahan prevalensi pada dataran
tinggi (Gunung Wungkal) relatif konstan 48,3% pada tahun 1995 dan mengalami penurunan
menjadi 36,3% pada 1998, serta meningkat pada 2003 menjadi 36,8%. Prevalensi ini
dikategorikan menjadi severe endemic area. Dan tren ini juga diikuti oleh meningkatnya
grafik pada dataran rendah dan daerah pesisir
3.16.2. Status Iodium
Dari hasil tes cepat sampel garam RT di 12.000 BS yang mencakup seluruh kabupaten/kota.
Sebanyak 289.660 sampel garam RT dapat dikumpulkan. Metoda tes cepat dilakukan
dengan cara meneteskan larutan RTK pada sampel garam yang digunakan RT. Rumah
tangga dinyatakan mengonsumsi garam yang mengandung cukup iodium (30 ppm KIO3), bila
hasil tes menunjukkan warna biru/ungu tua; mengonsumsi garam yang mengandung kurang
iodium bila hasil tes menunjukkan warna biru/ungu muda; dan dinyatakan mengonsumsi
garam tidak mengandung iodium bila hasil tes tidak menunjukkan perubahan warna.
Tabel 3.16.1 menunjukkan secara nasional 77,1 persen RT yang mengonsumsi garam dengan
kandungan cukup iodium, 14,8 persen RT mengonsumsi garam dengan kandungan
kurang iodium dan 8,1 persen RT mengonsumsi garam yang tidak mengandung iodium.
Provinsi dengan proporsi RT yang mengonsumsi garam dengan kandungan cukup iodium
tertinggi adalah Bangka Belitung (98,1%) dan terendah adalah Aceh (45,7%). Secara nasional
angka ini masih belum mencapai target Universal Salt Iodization (USI) atau garam
beriodium untuk semua, yaitu minimal 90 persen RT yang mengonsumsi garam
dengan kandungan cukup iodium (WHO/UNICEF ICCIDD, 2010).
Tabel 3.16.1
Proporsi rumah tangga yang mengonsumsi garam berdasarkan kandungan
iodium sesuai hasil tes cepat menurut provinsi, Indonesia 2013
Iodium dalam
Provinsi
garam
Cukup Kurang
Tidak ada
80,0 62,3
60,0
40,0
20,0
0,0
Aceh
Bali NTT NTB Maluku Sumbar Sulsel Jabar Sulbar Jatim
2007
2013
Gambar 3.16.3
Kecenderungan rumah tangga yang mengonsumsi garam dengan kandungan cukup
iodium berdasarkan hasil tes cepat menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013
Tabel 3.16.2
Proporsi rumah tangga yang mengonsumsi garam yang mengandung cukup
iodium berdasarkan hasil tes cepat menurut karakteristik, Indonesia 2007 dan
2013
2013
Karakteristik 2007
Pendidikan 74,0
Tidak sekolah 50,9
Tamat SD/MI 59,5 76,8
Tamat SMP/MTs 68,8 82,0
Tamat SMA/MA 75,1
Tamat Diploma/PT 80,8 85,1
Pekerjaan
Tidak bekerja 60,7 88,1
Pegawai 79,2
Wiraswasta 75,7
Petani/nelayan/buruh 56,9 77,9
Lainnya 56,5
Tempat tinggal 86,9
Perkotaan 70,4
Perdesaan 56,3 83,3
Indonesia 62,3 75,4
78,6
82,0
72,3
77,1
Nilai rata-rata dan simpang baku kadar iodium dalam garam RT berdasarkan hasil metoda
titrasi tahun 2013 adalah 34,1+ 25,1 ppm kalium iodat (KIO3), sedangkan tahun 2007
adalah 38,9 +
28,3 ppm kalium iodat. Dari nilai rata-rata ini menunjukkan hampir tidak ada perbaikan
kualitas
garam beriodium dari tahun 2007 sampai tahun 2013. Akan tetapi jika diperhatikan
berdasarkan empat klasifikasi proporsi RT berdasarkan kadar iodium: tidak beriodium,
kurang, cukup, dan lebih, maka terlihat terjadi pergeseran kearah yang lebih baik.
Tabel 3.16.3
Kecenderungan proporsi kadar iodium (ppm KIO3) dalam garam rumah
tangga hasil metoda titrasi, Indonesia 2007 dan 2013
Gambar 3.16.4 menyajikan kecenderungan nilai median EIU (g/L) dari sampel urin
sesaat menurut karakteristik penduduk. Nilai median EIU pada anak umur 6-12 tahun adalah
215 g/L, dengan EIU perkotaan (237 g/L) lebih tinggi dari perdesaan (201 g/L). Nilai
median EIU pada WUS adalah 187 g/L, pada ibu hamil 163 g/L dan ibu menyusui 164
g/L, dengan masing- masing lebih tinggi di perkotaan. Nilai median EIU terendah ditemukan
pada ibu menyusui dan yang tertinggi adalah pada anak umur 6-12 tahun.
300
250 23 21
7 20 5 20 19
Median EIU (g/L)
15 16 15 164
150 1 3 9
100
50
0
Anak 6-12 tahun WUS 15 -49 tahun Ibu Hamil
Ibu Menyusui
Gambar 3.16.4
Kecenderungan nilai median ekskresi iodium dalam urin (g/L) pada anak, WUS, Ibu
hamil, ibu menyusui, Indonesia 2007 dan 2013
Gambar 3.16.5 menunjukkan proporsi nilai EIU anak umur 612 tahun, WUS, ibu hamil dan
ibu menyusui menurut kategori EIU tahun 2013: risiko kekurangan (<100 g/L), cukup
(100-199
g/L), lebih dari cukup (200-299 g/L) dan risiko kelebihan (300 g/L). Pada anak umur 6
12 tahun, persentase risiko kekurangan dan risiko kelebihan iodium tahun 2013 cenderung
lebih tinggi dibandingkan tahun 2007.
50,0
14,9 6
20,
0
10,0
Gambar 3.16.5
Proporsi ekskresi iodium dalam urin anak umur 6-12 tahun, wanita usia subur, ibu
hamil dan ibu menyusui menurut kategori EIU, Indonesia 2013
Secara nasional, nilai median kadar iodium sumber air minum adalah 15,0 g/L dan nilai
medium perkotaan (17,0 g/L), lebih tinggi dari perdesaan (13,0 g/L).
Kadar iodium sumber air minum RT di perkotaan dan perdesaan pada tahun 2013 dapat
dilihat pada Tabel 3.16.4. Kadar iodium sumber air minum RT sebagian besar rendah atau
tidak mengandung iodium (92,1%) dan proporsi di perdesaan lebih tinggi. Secara nasional,
proporsi air minum RT yang mempunyai kandungan cukup iodium masih sangat rendah
(6,0%) dengan proporsi di perkotaan (7,4%), lebih tinggi daripada di perdesaan (4,6%).
Tabel 3.16.4
Proporsi kadar iodium dalam sumber air minum RT menurut karakteristik, Indonesia
2013