Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PEMBAHASAN

A. PERBANDINGAN PEMIKIRAN KEHENDAK MUTLAK DAN KEADILAN TUHAN


Allah mempunyai sifat wajib yaitu iradah atau kehendak yang merupakan sifat

kesempurnaan Allah seperti sifat-sifat lainnya. Sifat iradah juga berfungsi sebagai penentu suatu

pekerjaan dilakukan sekarang atau nanti dalam timbangan posisi yang sama.
Sifat iradah atau Kehendak mutlak Tuhan juga dibatasi bukan hanya oleh Sunnah ini, tetapi

oleh sunnah Alloh secara umum. Kata sunnah Alloh banyak dipakai Muhammad Abduh terutama

dalam Tafsir Al-Manar.1[1]


Adanya perebedaan pendapat aliran-aliran ilmu kalam mengenai kekuatan akal, fungsi

wahyu, dan kebebasan atau kehendak dan perbuatan manusia telah memunculkan pula perbedaan

pendapat tentang kehendak mutlak dan keadilan Tuhan.


Pangkal persoalan kehendak mutlak Tuhan dan keadilan Tuhan adalah keberadaan Tuhan

sebagai pencipta alam semesta. Sebagai pencipta alam, Tuhan haruslah mengatasi segala yang

ada, bahkan harus melampaui segala aspek yang ada itu. Ia adalah eksistensi yang mempunyai

kehendakdan kekuasaan yang tidak terbatas karena tidak ada eksistensi yang lain yang

melampaui dan mengatasi eksistensi-Nya. Ia difahami sebagai eksistensi yang esa dan unik.

Inilah makna umum yang dianut oleh aliran-aliran kalam dalam memahami tentang kekuasaan

dan kehendak mutlak Tuhan.


Faham keadilan Tuhan dalam pemikiran kalam bergantung pada pandangan, apakah manusia

mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat? Ataukah manusia itu hanya terpaksa

saja? Perbedaan pandangan terhadap bebas atau tidaknya manusia ini menyebabkan perbedaan

penerapan makna keadilan yang sama-sama disepakati mengandung arti meletakkan sesuatu

pada tempatnya.
Aliran kalam rasional yang menekankan kebebasan manusia cenderungmemahami keadilan

Tuhan dari sudut kepentingan, sedangkan aliran kalam tradisional yang memberi tekanan pada

1
ketidakbebasan manusia ditengah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan cenderung memahami

keadilan Tuhan dari sudut Tuhan sebagai pemilik alam semesta.

Disamping faktor-faktor diatas, perbedaan aliran-aliran kalam dalam persoalan kehendak

mutlak dan keadilan Tuhan ini didasari pula oleh perbedaan pemahaman terhadap kekuatan akal

dan fungsi wahyu.Bagi aliran yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang besar

kekuasaan Tuhan pada hakikatnya tidak lagi bersifat mutlak semutlak-mutlaknya. 2[2]

Masalah kehendak mutlak dan keadilan Tuhan merupakan bidang kajian penting dalam ilmu

kalam. Kedua masalah ini berkaitan erat dengan paham Jabariyah dan Qadariyah.Paham

Jabariyah menempatkan segala yang maujud ini, termasuk di dalamnya perbuatan manusia,

dalam ketentuan Tuhan secara mutlak.Oleh sebab itu paham ini mengacu pada sikap fatalistik

dan pre-destination.Sedangkan paham Qadariyah lebih menitikberatkan perhatiannya pada

kehendak mutlak manusia ketimbang kemutlakan kekuasaan Tuhan. Menurut paham ini,

kekuasaan Tuhan tidak mutlak semutlak- mutlaknya3[3]. karena manusia memiliki potensi dan

kapasitas untuk melakukan kehendak dan perbuatannya.Oleh karenanya paham ini mengacu

pada sikapfree will dan free act.(bahwa manusia memiliki kebebasandalam melakukan

kemauan dan perbuatannya). Contoh: Tuhan dapat saja menciptakan manusia dalamkeadaan

kaya, kuat, dan pandai. Akan tetapi, Tuhan meletakkan hal tersebutdalam kerangka sunnatullah

dan kebebasan pilihan manusia (ikhtiar).

Pada gilirannya kedua masalah tersebut dikaji lebih detail oleh beberapa aliran ilmu kalam,

yaitu aliran Mutazilah, Asyariyah dan Maturidiyah. Yang disebut terakhir ini sendiri

3
berkembang menjadi dua kelompok besar, yakni Maturidiyah Bukhara dan Maturidiyah

Samarkand.4[4]

B. ALIRAN-ALIRAN DALAM PERSOALAN TEOLOGI ISLAM


Menurut pembahasan perbandingan pemikiran kehendak mutlak dan kehendak Tuhan diatas,

dapat kita peroleh aliran-aliran yang berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan tetap

bersifat mutlak, antara lain:


1. Aliran Mutazilah

Mutazilah berasal dari kata Itazala yang artinya berpisah atau memisahkan diri. Juga

dapat pula diartikan menjauh atau menjauhkan diri. 5[5]Mutazilah merupakan salah satu

contoh dari golongan pertama.Mereka berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan dan kehendak-Nya

tidak mutlak lagi.Tetapi harus melaksanakan kewajiban-kewajiban yang timbul dari peraturan

yang dibuatnya.6[6] Mutazilah sangat berkembang terutama pada pemerintahan Al-Makmun.


7
[7]

Diantara kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan Tuhan ialah, memberi pahala

bagi orang yang menjalankan perintah-Nya dan menyiksa orang yang melanggar-Nya. Semua

kewajiban Tuhan bisa dirangkum dalam satu kewajiban yaitu, Tuhan wajib berbuat baik atau

dalam istilah Mutazilah disebut dengan al-salah wa al-salah (berbuat baik dan terbaik).8[8]

5[5]KAISAR 08, Aliran-Aliran Teologi Islam, (Kediri, Purna Siswa Aliyah, 2008), 149

6[6]Kiswati Tsuroya,Al-Juwaini Peletak Dasar Teologi Rasional Dalam Islam,


(Jakarta,Erlangga,2005),140

7[7] Adeng Muchtar Ghazali, Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik hingga Modern,
(Bandung, Pustaka Setia Bandung, 2005), 94

8[8]Kiswati Tsuroya,Al-Juwaini Peletak Dasar Teologi Rasional Dalam Islam,140


Kaum Mutazilah mendatangkan kegusaran dan antagonisme pada hampir semua

kelompok dari permulaan hingga akhir dalam mencari suatu doktrin keadilan yang koheren dan

rasional.Mereka sepakat dengan para teolog lain tentang doktrin Keesaan dan Keadilan,

merupakan dua doktrin utama kaum Mutazilah9[9].

Soal keadilan mereka tinjau dari sudut pandangan manusia, bagi mereka sebagai yang

diterangkan oleh Abd al-Jabbar, keadilan erat kaitannya dengan hak dan keadilan diartikan

memberikan orang akan haknya . Kata-kata Tuhan Adil mengandung arti bahwa segala

perbuatan-Nya adalah baik, bahwa ia tidak dapat berbuat yang buruk dan bahwa ia tidak dapat

mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. oleh karena itu Tuhan tidak boleh

bersifat Zalim dalam memberi hukuman, tidak dapat menghukum anak orang musyrik lantaran

dosa orang tuanya dan mesti memberi upah kepada orang orang yang patuh pada Nya dan

memberikan hukuman kepada orang orang yang menentang perintah-Nya. Selanjutnya

keadilan juga mengadukan arti berbuat semestinya serta seusai dengan kepentingan manusia.

Dan memberi upah atau hukuman kepada manusia sejajar dengan corak perbuatannya. Menurut

al Nazzam an pemuka pemuka Mu-tazilah lainnya, tidak dapat dikatakan bahwa tuhan

berdaya untuk bersifat zalim, berdusta dan untuk tidak dapat berbuat apa yang terbaik bagi

manusia.

Mutazilah yang berprinsip keadilan Tuhan mengatakan bahwa Tuhan itu adil dan tidak

mungkin berbuat zalim dengan memaksakan kehendak kepada hamba-Nya kemudian

mengharuskan hamba-Nya untuk menanggung akibat perbuatannya.Dengan demikian manusia

mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatannya tanpa ada paksaan sedikitpun dari

Tuhan.Dengan kebebasan itulah, manusia dapat bertanggung jawab atas segala

9[9]Majid Khadduri,Teologi Keadilan Perspektif Islam,(Surabaya,Risalah


Gusti,1999),78
perbuatannya.Tidaklah adil jika Tuhan memberikan pahala atau siksa kepada hamba-Nya tanpa

mengiringinya dengan memberikan kebebasan terlebih dahulu10[10].


Secara lebih jelas, aliran Mutazilah mengatakan bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya

tidak mutlak lagi.Ketidakmutlakan kekuasaan Tuhan itu disebabkan oleh kebebasan yang

diberikan Tuhan terhadap manusia serta adanya hukum alam (sunnatullah) yang menurut Al-

Quran tidak pernah diubah11[11].

Oleh sebab itu, dalam pandangan Mutazilah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan berlaku

dalam jalur hukum-hukum yang tersebar di tengah alam semesta. Itulah sebabnya Mutazilah

mempergunakan ayat 62 surat Al-Ahzab(33). Di samping ayat-ayat yang menjelaskan kebebasan

manusia yang disinggung dalam pembicaraan tentang free will dan predestination,(kebebasan

manusiadan takdir).

Kebebasan manusia, yang memang diberikan Tuhan kepadanya, baru bermakna kalau

Tuhan membatasi kekuasaan dan kehendak mutlaknya.Demikian pula keadilan Tuhan, membuat

Tuhan sendiri terikat pada norma-norma keadilan yang bila dilanggar membuat Tuhan bersifat

tidak adil atau zalim.Dengan demikian, dalam pemahaman Mutazilah Tuhan tidaklah

memperlakukan kehendak dan kekuasaan-Nya secara mutlak, tetapi sudah terbatas.


Sebagian kelompok Mutazilah berpendapat bahwa manusia mampu melakukan

kebalikan dari sesuatu yang dikendaki, tetapi ia hanya melakukan yang dikehendakinya saja. 12

[12]
Ayat-ayat Al-Quran dijadikan sandaran dalam memperkuat pendapat Mutazilah adalah :

10[10]Rosihun Anwar dan Abdul Rozak,Ilmu Kalam,(Bandung,CV Pustaka


Setia,2011),182

11[11]Ibid,182

12[12]Abul Hasan Ismail al-Asyari,Prinsip-prinsip Dasar Aliran Theologi Islam Buku


2,(Bandung,Pustaka Setia,1999),135
ayat 47 surat Al-Anbiya (21)

Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan

seseorang barang sedikitpun. Jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti kami

mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah kami sebagai pembuat perhitungan. (QS. al-

Anbiyaa': 47)

- ayat 54 surat Yasin (36)


Artinya: maka dari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalas, kecuali

dengan apa yang telah kamu kerjakan.

- ayat 46 surat Fushshilat (41)



Artinya: barang siapa yang mengerjakan amal, saleh, maka pahalanya untuk dirinya sendiri dan

barang siapa yang berbuat jahat, maka dosanya atas dirinya sendiri: dan sekali-sekali tidaklah

Tuhanmu menganiaya hamba-hambanya

- ayat 40 surat An-Nisa (4)




Artinya: sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarah, dan jika ada

kebajikan sebesar biji zarah niscahya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari

sisinya pahala yang besar.

- ayat 49 surat kahfi (18)






Artinya: Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan

terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami, kitab apakah

ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat

semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak

menganiaya seorang juapun".

Dari uraian tersebut, dapat diambil pengertian bahwa semua perbuatan yang timbul dari

Tuhan, dalam hubungannya dengan hamba-Nya, ditentukkan oleh kebijaksanaan atas dasar

kemaslahatan.Perbuatan Tuhan tidaklah bertujuan untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi untuk

kepentingan makhluk dan perbuatan-Nya itu selalu baik.Kebaikan itu bermakna bila Tuhan tidak

berbuat zalim dengan membebani manusia yang terpikul dan menyiksa pelaku perbuatan buruk

dengan paksaan tanpa memberi kebebasan terlebih dahulu.


Apabila kita memperhatikan uraian diatas, jelas sekali bahwa keadilan Tuhan menurut

konsep Mutazilah merupakan titik tolak dalam pemikirannya tentang kehendak mutlak

Tuhan.Keadilan Tuhan terletak pada keharusan adanya tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya,

yaitu kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi makluk dan memberi kebebasan kepada manusia.

Adapun kehendak mutlak-Nya dibatasi oleh keadilan Tuhan itu sendiri.


Kelompok muktazilah selain Al-JubbaI bersepakat bahwa manusia bersedia untuk

berbuat dan menghendaki perbuatan. Keinginannya untuk berbuat tidak bersamaan terjadinya

dengan suatu yang dikehendakinya. Karena kehendak itu datang sebelum adanya sesuatu yang

dikehendaki.
1. Al Jubbai beranggapan bahwa manusia menghendaki perbuatan ketika perbuatan itu ada.

Kehendak berbuat ini tidak mendahului perbuatan dan manusia, sebenarnya manusia tidak dapat

disifati sebagai orang yang menghndaki untuk berbuat. Al Jubbai berada di sisi Tuhan.
2. Abu Al-Hudzail berpendapat bahwa kehendak Alloh terjadi bersaam dengan suatu yang

dikehendakinya. Mustahil bila kehendak manusia untuk berbuat itu bersamaan terjadinya dengan

perbuatannya.
Kelompok muktazilah berbeda pendapat mengenai kehendak yang berhubungan dekat

dengan suatu perbuatan, apakah kehendak tersebut terjadi sebelum perbuatan atau bersamaan

dengannya ?
Dalam hal ini, ada dua pendapat, sebagai berikut :
1) Diantara mereka, ada yang beranggapan bahwa kehendak tersebut terjadi sebelum perbuatan,

sebagaimana halnya kehendak untuk melakukan perbuatan yang terjadi sebelumnya.


2) Al Iskafi berpendapat bahwa kehendak seperti itu kadang kadang bisa terjadi bersamaan

dengan perbuatannya.
2. Airan Asyariyah

Asyari adalah seorang pengikut al-Jubbai, pemimpin kelompok Mutazilah setelah Abu

Hudzayl di Basrah13[13]. Allah memiliki sifat-sifat yang dapat diketahui dari perbuatan-

perbuatan-Nya. Dikarenakan perbuatan perbuatan itu menunjukkan bahwa Dia mengetahui,

berkuasa dan berkehendak, sekaligus juga Dia berilmu. 14[14]

Bagi kaum Asyariyah, Tuhan memang tidak terikat kepada apa pun, tidak terikat kepada

janji-janji, kepada norma-norma keadilan dan sebagainya 15[15]. Kaum Asyariyah juga percaya

pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan

13[13]Majid Khadduri,Teologi Keadilan Prespektif Islam, 80

14[14] Adeng Muchtar Ghazali, Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik hingga
Modern, 101

15[15]Harun Nasution, Teologi Islam,(Jakarta,UI-Press,2013),119


yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata adalah kekuasaan dan kehendak

mutlak-Nya dan bukan karena kepentingan manusia atau tujuan yang lain. Mereka mengartikan

keadilan dengan menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yaitu mempunyai

kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan

kehendak-Nya.Dengan demikian, keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai

kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya.Tuhan dapat

memberi pahala kepada hamba-Nya atau memberi siksa dengan sekehendak hati-Nya, dan itu

semua adalah adil bagi Tuhan.Justru tidaklah adil jika Tuhan tidak dapat berbuat sekehendak

hati-Nya karena Dia adalah penguasa mutlak.Sekiranya Tuhan menghendaki semua makhluk-

Nya masuk kedalam surga ataupun neraka, itu adalah adil karena Tuhan berbuat dan membuat

hukum menurut kehendaknya-Nya.


Aliran Asyariyah yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kecil dan

manusia tidak mempunyai kebebasan atas kehendak dan perbuatannya, mengemukakan bahwa

kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan haruslah berlaku semutlak-mutlaknya.Al-Asyari sendiri

menjelaskan bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapapun dan tidak satu dzat lain diatas Tuhan

yang dapat membuat hukum serta menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh

dibuat Tuhan. Lebih jauh dikatakan oleh Asyari, jika memang Tuhan menginginkan, Ia dapat

saja meletakkan beban yang tak terpikul oleh menusia.


Ayat-ayat Al-Quran yang dijadikan sandaran AsyAriyah untuk memperkuat pendapatnya

adalah:
ayat 16 surat Al-Buruj (85)

Artinya: Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya
ayat 99 surat Yunus (10)


Artinya: Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di

muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi

orang-orang yang beriman semuanya?


ayat 13 surat As-Sajadah (32)

Artinya: Dan jika Kami menghendaki niscaya Kami berikan kepada setiap jiwa petunjuk

baginya[32], tetapi telah ditetapkan perkataan (ketetapan) dari-Ku, "Pasti akan Aku penuhi

neraka Jahannam dengan jin dan manusia bersama-sama


ayat 112 surat Al-Anam (6)


Artinya: (dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, setan-setan (dari

jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain

perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia. Jika Tuhan mu menghendaki,

niscahya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-

adakan.

Ayat 253 surat Al-Baqarah (2).

253}

Artinya: Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain.

Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengannya) dan sebagiannya, Allah

meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada Isa putera Maryam beberapa

mukjizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Qudus. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya

tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang

kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka di antara

mereka ada yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah

menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang

dikehendakiNya.
Ayat-ayat tersebut difahami Asyari sebagai pernyataan tentang kekuasaan dan kehendak mutlak

Tuhan.Kehendak Tuhan selalu berlaku.Bila kehendak Tuhan tidak berlaku, itu berarti Tuhan

lupa, lalai dan lemah untuk melaksanakan kehendak-Nya itu, sedangkan sifat lupa, lalai, apalagi

lemah, adalah sifat mustahil bagi Allah SWT. Oleh sebab itu, kehendak Tuhan tersebutlah yang

berlaku, bukan kehendak yang lain. Manusia berkehendak setelah Tuhan sendiri menghendaki

agar manusia berkehendak.Tanpa dikehendaki oleh Tuhan, manusia tidak akan berkehendak apa-

apa. Ini berarti kehendak dan kekuasaan Tuhan berlaku semutlak-mutlaknya dan sepenuh-

penuhnya.Tanpa makna itu, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tidak memiliki apa-apa.
Karena menekankan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, aliran Asyariyah memberi

makna keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap

makhlukya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya.Dengan demikian, ketidakadilan difahami

dalam arti Tuhan tidak dapat berbuat sekehendaknya terhadap makhluk-Nya. Atau dengan kata

lain, bila yang difahami Tuhan tidak lagi berkuasa mutlak terhadap milik-Nya.
Dari uraian diatas dapat diambil pengertian bahwa keadilan Tuhan dalam konsep

Asyariyah terletak pada kehendak mutlak-Nya.


Aliran asyariah sendiri lahir tidak terlepas dari, atau malah dipicu oleh situasi sosial

politik yang berkembang waktu itu. Hal ini dapat di gambarkan sebagai berikut :
Pada masa pemerintahan kholifah almakmun, serangan muktazilah terhadap para fuqaha

dan muhadditsin semakin gencar. Tak seorang pun pakaer fiqih yang populuer dan pakar hadits

yang manshyur luput dari gempuran mereka. Serangan daam bentuk pemikiran, disertai dengan

penyiksaan fisik oleh penguasa dalam bentuk suasana Al-Mihnah (inkuisisi). Akibatnya timbul

kebencian masyarakat terhadap Mutazilah, dan berkembang menjadi permusuhan. Masyarakat

tidak senang dengan hasutan-hasutan mereka untuk melakukan insquisisi atau (mihnah) terdapat

setiap imam dan ahli hadits yang bertakwa.


Keadaan berbalik setelah Al-Mutawakkil naik menduduki tahta kekhalifahan. Beliau

sebagai khalifah menjauhkan pengaruh Mutazilah dari pemerintahan. Sebaliknya dia mendekati

lawan-lawan mereka, dan membebaskan para ulama yang dipenjarakan oleh khalifah terdahulu.

Para fuqaha yang beraliran sunni, serta orang-orang yang menerapkan metode sunni dalam

pengkajian akidah menggantikan kedudukan mereka.


Para ulama yang menguasai metode diskusi Mutazilah tidak lagi berpegang kepada

pendapat-pendapat mereka bahkan berusaha membantah pendapat-pendapat Mutazilah tersebut

dengan bahasa yang tajam. Masyarakat awan simpat kepada kelompok sunni ini. Usaha mereka

didukung oleh para ulama terkemuka, dan juga oleh kalifah.


3. Aliran Maturidiyah
Dalam memahami kehendak mutlak dan keadilan Tuhan, aliran ini terpisah menjadi dua,

yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Pemisahan ini disebabkan perbedaan

keduanya dalam menentukan porsi penggunaan akal dan pemberian batas terhadap kekuasaan

mutlak Tuhan. Karena menganut faham Free Will dan Free Act serta adanya batasan bagi

kekuasaan mutlak Tuhan, kaum Maturidiyah Samarkand mempunyai posisi lebih dekat kepada
Mutazilah, tetapi kekuatan akal dan batasan yang diberikan kepada kekuasaan mutlak Tuhan

lebih kecil daripada yang diberikan aliran Mutazilah.16[16]


Kehendak mutlak Tuhan, menurut Maturidiyah Samarkand, dibatasi oleh keadilan

Tuhan.Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu

untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Oleh

karena itu, Tuhan tidak akan memberi beban yang terlalu berat kepada manusia dan tidak

sewenang-wenang dalam emeberikan hukum karena Tuhan tidak dapat berbuat zalim. Tuhan

akan memberikan upah atau hukuman kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.17[17]
Adapun Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak.

Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang

dapat menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan.Dengan demikian,

dapat diambil pengertian bahwa keadilan Tuhan terletak pada kehendak mutlak-Nya, tak ada satu

dzat pun yang lebih berkuasa daripada-Nya dan tidak ada batasan-batasan bagi-Nya.Tampaknya,

aliran Maturidiyah Samarkand lebih dekat dengan Asyariyah.18[18]


Lebih jauh lagi, Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa ketidakadilan Tuhan haruslah

difahami dalam konteks kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.Secara jelas, Al-Bazdawi

mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk

menciptakan kosmos, Tuhan berbuat sekehendak-Nya sendiri. Ini berarti, bahwa alam tidak

16[16]Rosihun Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung, Pustaka Setia,
2001),186

17[17]Abbas,Nukman.Al- Asyari,(Jakarta:Erlangga.2002).91.

18[18]Ibid.,
diciptakan Tuhan intuk kepentingan manusia atau dengan kata lain, konsep keadilan Tuhan

bukan diletakan untuk kepentingan manusia, tetapi pada Tuhan sebagai pemilik mutlak.19[19]
Menurut Al-Badzawi tidak ada tujuan yang mendorong Tuhan untuk menciptakan

kosmos ini. Tuhan berbuat sekehendak hatin-Nya. Dengan kata lain al-Bazdawi berpendapat

bahwa alam tidak diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia.

Bagi kaum Mutazilah dan kaum maturidiyah kelopak Samarkand persoalan persoalan tersebut

tidaklah timbul, karena bagi mereka perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan tetapi adalah

perbuatan manusia itu sendiri. Jadi, manusia dihukum atas perbuatan yang dikehendakinya

sendiri dan yang dilakukan bukan dengan paksaan, akan tetapi dengan kebebasan yang diberikan

Tuhan kepadanya. Bagi kaum Maturidiyah kelompak Bukhra, karena sefaham dengan kaum

Asyariyah, maka persoalan itu pada dasarnya ada, akan tetapi faham masyiah dan ridha

membebaskan golongan bukhara dari persoalan ini.

BAB 3

19[19]ibid
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Semua aliran teologi dalam Islam, baik Asyariyah, , Mutazilah apalagi Maturidiyah

sama-sama mempergunakan akal dalam menyelesaikan persoalan-persoalan teologi yang timbul

di kalangan umat Islam. Perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu ialah perbedaan dalam

derajat kekuatan yang diberikan kepada akal.Jika Mutazilah berpedapat bahwa akal mempunyai

daya yang kuat, Asyariyah sebaliknya berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang lemah.
Semua aliran juga berpegang kepada wahyu. Dalam hal ini perbedaan yang terdapat

antara lain antara aliran-aliran itu hanyalah perbedaan dalam interprestasi mengenai teks ayat-

ayat Al-Quran dan hadist. Perbedaan dalam interprestasi inilah sebenarnya yang menimbulkan

aliran-aliran yang berlainan itu.Hal ini tidak ubahnya sebagai hal yang terdapat dalam dalam

bidang hukum Islam atau Fiqih. Di sana juga, perbedaan interprestasilah yang melahirkan

mazhab-mahzab seperti yang dikenal sekarang, yaitu mahzab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab

SyafiI dan mazhab Hanbali.


Teolog-teolog yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat memberi

interprestasi yang liberal tentang teks ayat-ayat Al-Quran dan Hadist.Dengan demikin timbullah

Teologi liberal seperti yang terdapat dalam aliran Mutazilah.


Dalam masyarakat Islam, pada umumnya, golongan yang menganut teologi liberal,

tegasnya kaum Mutazilah, dianggap kafir dan keluar dari islam, karena dianggap mereka hanya

percaya pada akal dan tidak percaya kepada wahyu. Sebagaimana uraian diatas, kaum

Mutazilah, sama halnya dengan kaum Asyariyah, juga percaya dan berpegang pada wahyu.

Lain sebab yang membuat kaum Mutazilah dipandang kafir ialah karena yang biasanya dibaca

dan diajarkan di kalangan umat islam pada umumnya adalah buku-buku yang dikarang oleh

teolog-teolog dari aliran Asy-ariyah dan Maturidiyah.Dalam buku-buku inilah, tuduhan

kekafiran kaum Mutazilah bisa dijumpai.Tetapi sebaliknya jika dibaca pula karangan-karangan
kaum Mutazilah, terdapat pula disana tuduhan bahwa kaum Asyariyah adalah kafir pula.

Dengan kata lain, kedua pihan saling mengkafirkan.


Pada hakikatnya semua aliran tersebut, tidaklah keluar dari islam. Dengan demikian tiap orang

islam bebas memilih salah satu dari aliran-aliran teologi tersebut, yaitu aliran mana yang sesuai

dengan jiwa dan pendaptnya. Disinilah kelihatan hikmat ucapan Nabi Muhammad SAW:

Perbedaan paham dikalangan umatku membawa rahmat. Memang rahmat besarlah kalau

kaum terpelajar menjumpai dalam islam aliran-aliran yang sesuai dengan jiwa dan

pembawaannya, dan kalau pula kaum awam memperoleh dalamnya aliran-aliran yang dapat

mengisi kebutuhan rohaninya.

B. SARAN
Demikian isi makalah yang kami sajikan, bila ada kesalahan dalam penulisan mohon

dimaklumi. Dengan segala kerendahan hati kami, kami sebagai pemakalah mengharapkan kritik

dan saran yang membangun dari teman-teman sekalian.


DAFTAR PUSTAKA

Nasution Harun.Teologi Islam.Jakarta:UI-Press.2013

Nasution Harun.Muhammad Abduh dan Teologi Rasional MuTazilah.Jakarta:UI-Press.2006

Anwar Rosihon dan Abdul Rozak.Ilmu Kalam.Bandung:Pustaka Setia.2001

Rozak Abdul dan Rosihon Anwar.Ilmu Kalam.Bandung:Pustaka Setia.2011

Khadduri Majid.Teologi Keadilan Prespektif Islam.Surabaya:Risalah Gusti.1999

KAISAR 08.Aliran-Aliran Teologi Islam.Kediri:Purna Siswa Aliyah.2008

Kiswati Tsuroya.Al-Juwaini Peletak Dasar Teologi Rasional Dalam Islam.Jakarta:Erlangga.2005

Halim,Abdul. Ilmu Kalam.Bandung: Pustaka Setia.2006


Ismail Abul Hasan.Prinsip-prinsip Dasar Aliran Theologi Islam Buku 2.Bandung:Pustaka

Setia.1999

Putra Eka. Restorasi Teologi.Bandung: Nuasa Aulia.2013

Muchtar, Adeng. Perkembangan Ilmu Kalam Dari Klasik Hingga Modern.2005.

Abbas,Nukman.Al- Asyari.Jakarta:Erlangga.2002.

20
[1]Putra Eka. Restorasi Teologi.(Bandung: Nuasa Aulia), 20

[2]Harun
21
Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mutazilah,(Jakarta, UI
Press:2006),70
22
[3]Ibid 75
23
[4]Halim,Abdul. Ilmu Kalam.Bandung:(Bandung:Pustaka Setia.2006)123
Diposkan oleh khanifa kusuma di 19.26
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

20

21

22

23

Anda mungkin juga menyukai