BAB I: PENDAHULUAN
Konsep keadilan ini banyak dikaji oleh kaum Mu’tazilah yang mana
mereka memiliki dua makna : 1) berkaitan dengan hak dan kewajiban, 2)
berkaitan dengan perbuatan Tuhan yang mengatakan bahwa segala perbuatan
Tuhan itu baik dan suatu yang mustahil jika Tuhan melakukan hal buruk.
Secara bahasa kata adil berasal dari kata al-adl yang berarti tidak
memberatkan, tidak memihak pada apapun, atau menyampaikan yang satu dengan
yang lain. Istilah lain dari kata al-adl adalah al-qist. Umumnya orang memahami
kata al-adl dengan al-qist itu dengan makna yang sama. Padahal antara satu kata
dengan kata yang lain dalam Al-qur'an tidak bisa saling menggantikan, sehingga
pada dasarnya masing-masing dari kata tersebut memiliki makna tersendiri. Dari
hasil penelusuran, al-adl lebih umum dari al-qist, al-adl merupakan keadilan yang
tidak terlihat, samar-samar, sehungga dampaknya susah di rasakan semua pihak,
kadang sesuatu itu bisa dianggap adil untuk sebagian orang namun tidak bagi
sebagian yang lain, seperti keputusan hakim. Sedangkan al-qist merupakan
perbuatan yang terlihat, dan zhahir, seperti keharusan menegakkan takaran dan
timbangan al-qist yang sempurna, tidak berkurang dan tidak berlebih. (Yusya,
2019: 23-24)
a. Aliran Mu’tazilah
Adanya kaum mu'tazilah pada abad kedua membawa dimensi baru dalam
teologi islam, mereka mengkaji teologi lebih dalam, bersifat filosofis jika
berbanding dengan aliran lainnya, dan lebih rasional dalam berfikir karena mereka
lebih mengedepankan akal mereka dalam pembahasannya. (Yusya,2019:26)
“Barang siapa mengerjakan kebajikan maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan
barang siapa berbuat jahat maka (dosanya) menjadi tanggungan dirinya sendiri.
Dan Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba-(Nya).” (QS. Fussilat
41: 46)
ِ ِ ِ ك حسنةً يض ِٰع ْفها ويْؤ ٍ َ ِإ َّن اللَّه اَل يظْلِم ِم ْث َق
يما ْ ُت م ْن لَّ ُدنْه
ً َأج ًرا َعظ ُ َ َ ُ َ َ َ ُ َال َذ َّرة ۖ َوِإ ْن ت ُ َ َ
“Sungguh, Allah tidak akan menzalimi seseorang walaupun sebesar zarrah, dan
jika ada kebajikan (sekecil zarrah), niscaya Allah akan melipatgandakannya dan
memberikan pahala yang besar dari sisi-Nya.” (QS. An-Nisa’ 4: 40)
Dari penjabaran tersebut, jelas sekali konsep keadilan Allah menurut
mu’tazilah merupakan titik tolak dalam pemikirannya terhadap kehendak mutlak
Allah, keharusan adanya tujuan dalam perbuatan-perbuatan Allah, kewajiban
berbuat baik dan terbaik untuk makhluk dan kebebasan bagi manusia, serta
kehendak mutlak Allah itu dibatasi oleh keadilan Tuhan itu sendiri.
(Yusya,2019:28)
b. Aliran Asy-ariyah
َ ِال َك ٰذل
ُك اللَّهُ َي ْف َع ُل َما يَ َشٓاء َ َق
“Demikianlah, Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ali ‘Imran 3: 40)
“Sungguh, Allah berbuat apa saja yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Hajj 22: 18)
C) Kritik
Dalam konteks konsep keadilan Allah, pembahasan ini tidak terlepas dari
bahasan qadar dan iradah Allah SWT. Penulis melihat bahwa kaum mu’tazilah
sependapat dengan kaum syi’ah yaitu mengakui akan adanya hubungan sebab-
akibat. Berbeda dengan kaum asy’ariyah, aliran ini berpendapat bahwa segala
sesuatu yang terjadi di dunia ini tiada sebab kecuali Allah SWT. (Saeed, 2020: 4)
Menurut asy’ariyah keadilan itu tidak bisa dinilai dari jenisnya karena
terkadang apa yang buruk bagi manusia belum tentu buruk bagi Allah SWT,
seperti dalam QS. Al-Baqoroh: 216, Allah berfirman:
ال َو ُه َو ُك ْرهٌ لَّ ُك ْمۖ َو َع ٰس ٓى َأ ْن تَك َْر ُهوا َشيًْئا َو ُه َو َخ ْي ٌر لَّ ُك ْمۖ َو َع ٰس ٓى َأ ْن تُ ِحبُّوا َشيًْئا
ُ َب َعلَْي ُك ُم ال ِْقت ِ
َ ُكت
َو ُه َو َش ٌّر لَّ ُك ْمۗ َواللَّهُ َي ْعلَ ُم َوَأْنتُ ْم اَل َت ْعلَ ُمو َن
"Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu.
Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan
boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah 2: 216)
Dari QS. Al-Baqoroh: 216 ini, penulis melihat bahwa konsep keadilan Allah
SWT sangat berbeda dengan manusia karena memang Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu yang tidak diketahui, serta penulis lebih cenderung pada pendapat
kaum Asy’ariyah.
Yusya, M. (2019). Konsep keadilan Tuhan dalam kriteria kaum yang dibinasakan
dan tidak dibinasakan. Jakarta: Insitut PTIQ Jakarta.