Anda di halaman 1dari 9

KEADILAN TUHAN MENURUT ALIRAN ILMU KALAM

(diajukan sebagai Ujian Akhir Semester Ilmu Kalam Semester VI)

Dosen Pembimbing: Ustdz Ryandi, M.ud

Disusun Oleh: Mahyuni, Annisa Aurora Siregar, Rizka Audiya Hasibuan

BAB I: PENDAHULUAN

Ulama-ulama muslim dan para cendikiawan tidak sama dalam memahami


kehendak Tuhan. Apakah keadilan Tuhan ini dapat dikatakan sama dengan
keadilan manusia? Untuk membahas pertanyaan tersebut, maka diperlukan ilmu
Tauhid yang mana ilmu ini termasuk ilmu ushul (dasar), keterkaitan antara
keduanya. Dalam teologi islam, sifat-sifat Tuhan menjadi salah satu pokok
pembahasan yang terpenting diantaranya adalah sifat Maha Adil Tuhan.

Keadilan Tuhan dalam ilmu kalam bergantung pada pandangan-pandangan


dan beberapa pendapat, apakah manusia memiliki kebebasan dalam berkehendak
Atau hanya terpaksa saja. Perbedaan pandangan ini menyebabkan munculnya
makna “keadilan” yang mana telah disepakati makna dari keadilan itu sendiri
ialah tidak berat sebelah dalam memihak.

Konsep keadilan ini banyak dikaji oleh kaum Mu’tazilah yang mana
mereka memiliki dua makna : 1) berkaitan dengan hak dan kewajiban, 2)
berkaitan dengan perbuatan Tuhan yang mengatakan bahwa segala perbuatan
Tuhan itu baik dan suatu yang mustahil jika Tuhan melakukan hal buruk.

Namun pendapat kaum Mu’tazilah ini bertentangan dengan pandangan


kaum Asy’ariyah yang mana mereka mengatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi
Tuhan, karena Tuhan adalah penguasa mutlak yang mana Ia akan berbuat sesuai
dengan kehendak-Nya.
BAB II: PEMBAHASAN

A) Pengertian Keadilan Tuhan

Secara bahasa kata adil berasal dari kata al-adl yang berarti tidak
memberatkan, tidak memihak pada apapun, atau menyampaikan yang satu dengan
yang lain. Istilah lain dari kata al-adl adalah al-qist. Umumnya orang memahami
kata al-adl dengan al-qist itu dengan makna yang sama. Padahal antara satu kata
dengan kata yang lain dalam Al-qur'an tidak bisa saling menggantikan, sehingga
pada dasarnya masing-masing dari kata tersebut memiliki makna tersendiri. Dari
hasil penelusuran, al-adl lebih umum dari al-qist, al-adl merupakan keadilan yang
tidak terlihat, samar-samar, sehungga dampaknya susah di rasakan semua pihak,
kadang sesuatu itu bisa dianggap adil untuk sebagian orang namun tidak bagi
sebagian yang lain, seperti keputusan hakim. Sedangkan al-qist merupakan
perbuatan yang terlihat, dan zhahir, seperti keharusan menegakkan takaran dan
timbangan al-qist yang sempurna, tidak berkurang dan tidak berlebih. (Yusya,
2019: 23-24)

Secara terminologis adil berarti menyamakan sesuatu dengan yang lain,


baik dari nilai ataupun ukuran sehingga sesuatu itu tidak berat sebelah dan tidak
berbeda dengan yang lainnya.

Mahmud Syaltut memberikan penjelasan, beliau berkata: “keadilan


merupakan tiang terpenting bagi kebahagiaan yang dicari manusia, yaitu
ketentraman atas hak-hak mereka, serta berlaku keadilan diantara mereka, atau
dengan kata lain keadilan adalah jalan yang membawa kepada perdamaian sesama
umat manusia.(Yusya, 2019: 24-25)

Aliran kalam yang Menekankan kebebasan manusia cenderung memahami


keadilan Allah dari sudut pandang kepentingan, sedangkan aliran tradisional yang
memberikan tekanan pada ketidakbebasan manusia di tengah kekuasaan dan
kemauan Tuhan cenderung memahami keadilan Allah dari sudut pandang Allah
lah pemilik Alam Semesta.
Di samping faktor-faktor tersebut, perbedaan aliran-aliran kalam dalam
persoalan keadilan Tuhan didasari oleh perbedaan pemahaman dan kekuatan akal
dalam memahami keadilan Tuhan. Salah satunya ada aliran yang berpendapat
bahwa akal memiliki daya yang besar, sehingga kekuasaan Allah tidak lagi
bersifat mutlak se mutlak mutlaknya, namun ada pula aliran yang berpendapat
sebaliknya bahwa kekuasaan Allah tetap bersifat mutlak. (Yusya, 2019: 25-26)

B) Pandangan berbagai aliran tentang Keadilan Tuhan beserta dalil


yang mereka gunakan.

Perbedaan pandangan beberapa aliran dalam berpendapat menyebabkan


perbedaan penerapan makna keadilan yang mana telah disepakati bahwa makna
dari keadilan itu sendiri ialah tidak memihak pada apapun atau tidak berat sebelah
dalam memihak. Keadilan tuhan ini dikaji lebih detail oleh aliran mu’tazilah dan
Asy’ariyah-maturidiyah.

Ulama-ulama muslim dan para cendikiawan tidak sama dalam memahami


kehendak Tuhan. Apakah keadilan Tuhan ini dapat dikatakan sama dengan
keadilan manusia? Untuk membahas pertanyaan tersebut, maka diperlukan ilmu
Tauhid yang mana ilmu ini termasuk ilmu ushul (dasar), keterkaitan antara
keduanya. Dalam teologi islam, sifat-sifat Tuhan menjadi salah satu pokok
pembahasan yang terpenting diantaranya adalah sifat Maha Adil Tuhan.

a. Aliran Mu’tazilah

Adanya kaum mu'tazilah pada abad kedua membawa dimensi baru dalam
teologi islam, mereka mengkaji teologi lebih dalam, bersifat filosofis jika
berbanding dengan aliran lainnya, dan lebih rasional dalam berfikir karena mereka
lebih mengedepankan akal mereka dalam pembahasannya. (Yusya,2019:26)

Kaum Mu’tazilah mempercayai kekuatan akal, kemerdekaan, serta


kebebasan manusia mampu meninjau keadilan Allah SWT dari sudut pandang
perbandingan akal dan kepentingan manusia. Dalam hal ini, seluruh makhluk
yang Allah ciptakan semata-mata hanya untuk kepentingan manusia. Kemudian
Mu'tazilah juga berpendapat bahwa manusia yang memiliki akal yang sempurna
pasti memiliki tujuan di setiap perbuatan nya, baik tujuan itu untuk kepentingan
dirinya sendiri maupun kepentingan orang lain. Allah pun begitu, memiliki tujuan
di segala perbuatan-Nya, namun karena Allah bersifat suci dari sifat berbuat untuk
kepentingan diri-Nya, maka dari itu segala perbuatan Tuhan adalah untuk
kepentingan manusia. Menurut pendapat ini, Mu'tazilah mengatakan bahwa wujud
Alam Semesta ini diciptakan Allah untuk manusia dan karena itu mu'tazilah
cenderung melihat segala sesuatunya dari sudut pandang kepentingan manusia.

Sebagaimana yang diterangkan oleh Abd-Jabbar, pemuka dari kalangan


mu’tazilah, menyatakan: “Keadilan Allah SWT erat sekali kaitannya dengan hak
dan keadilan, maknanya memberikan seseorang akan haknya.” Maka dari itu,
menurut pendapat mereka, Allah tidak dapat bersifat dzhalim terhadap manusia,
baik dalam memberi hukuman, tidak meletakkan beban yang tidak bisa dipikul
manusia, dan harus memasukkan orang orang yang berbuat baik ke dalam surga
serta menghukum orang orang yang berbuat buruk ke dalam neraka, pendapat ini
lah yang disebut dengan As-Shalah Wa Al-Aslah (segala sesuatu yang dilakukan
Tuhan adalah untuk kepentingan manusia). (Yusya,2019:27)

Adapun dalil yang mereka gunakan untuk memperkuat argumen mereka


terdapat dalam QS. Fusshilat: 46, Allah berfirman:

ِ ِ‫ك بِظَ ٰلّ ٍم لِّلْعب‬


‫يد‬ َ ُّ‫ٓاء َف َعلَْي َها ۗ َو َما َرب‬ ِ ِ ِ ِ ٰ ‫َّمن َع ِمل‬
َ َ ‫َأس‬
َ ‫صل ًحا فَلَن ْفسهۦ ۖ َو َم ْن‬ َ ْ

“Barang siapa mengerjakan kebajikan maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan
barang siapa berbuat jahat maka (dosanya) menjadi tanggungan dirinya sendiri.
Dan Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba-(Nya).” (QS. Fussilat
41: 46)

ِ ِ ِ ‫ك حسنةً يض ِٰع ْفها ويْؤ‬ ٍ َ ‫ِإ َّن اللَّه اَل يظْلِم ِم ْث َق‬
‫يما‬ ْ ُ‫ت م ْن لَّ ُدنْه‬
ً ‫َأج ًرا َعظ‬ ُ َ َ ُ َ َ َ ُ َ‫ال َذ َّرة ۖ َوِإ ْن ت‬ ُ َ َ

“Sungguh, Allah tidak akan menzalimi seseorang walaupun sebesar zarrah, dan
jika ada kebajikan (sekecil zarrah), niscaya Allah akan melipatgandakannya dan
memberikan pahala yang besar dari sisi-Nya.” (QS. An-Nisa’ 4: 40)
Dari penjabaran tersebut, jelas sekali konsep keadilan Allah menurut
mu’tazilah merupakan titik tolak dalam pemikirannya terhadap kehendak mutlak
Allah, keharusan adanya tujuan dalam perbuatan-perbuatan Allah, kewajiban
berbuat baik dan terbaik untuk makhluk dan kebebasan bagi manusia, serta
kehendak mutlak Allah itu dibatasi oleh keadilan Tuhan itu sendiri.
(Yusya,2019:28)

b. Aliran Asy-ariyah

Menurut Asy’ariyah, pengertian adil ialah menempatkan sesuatu dengan


tempatnya. Dan Allah menurut pendapat mereka ialah Raja yang bersifat
sewenang-wenang dan berkuasa penuh atas apapun.” Sehingga kita tidak ada hak
mengatakan bahwa Dia tidak adil dan tidak juga ada padanya perbuatan-perbuatan
jahat karena ia berbuat atas kehendak-Nya, bebas dan tidak berbatas.

Jadi, pengertian keadilan Allah menurut Asy'ariyah ialah Allah merupakan


Raja yang berkuasa mutlak, berbuat sesuai dengan kehendak-Nya, menetapkan
hukum sesuai dengan keinginan-Nya, dan tidak berbatas bagi makhluk-Nya.
Apabila Allah membinasakan suatu kaum atau memasukkan suatu golongan ke
dalam neraka bukan berarti Dia tidak adil, melainkan sifat zhalim itu sendiri ialah
berkuasa atas hak kepemilikan orang lain atau tidak menempatkan sesuatu pada
tempatnya. Tegasnya, jika setiap perbuatan Allah terhadap makhluknya berakibat
baik atau buruk, memberi manfaat atau tidak, setiap perintahnya ditaati makhluk
atau tidak, semua hal ini tidak akan mengurangi keadilan-Nya, karena keseluruhan
perbuatan nya itu adalah hak-Nya, dan bagi Allah itu lah bentuk keadilan-Nya
terhadap apa yang Ia ciptakan. Semua perbuatan yang Ia kehendaki tak seorang
pun dapat melarang-Nya atau pun mencela-Nya, sebab Ia berkuasa mutlak atas
segala seuatu yang berjalan di Alam Semesta ini, termasuk perbuatan manusia.
(Yusya,2019:29)

Berdasarkan segala keyakinan yang dijelaskan diatas, maka golongan


Asy’ariyah menyimpulkan bahwa “perbuatan-perbuatan Tuhan tidak memiliki
tujuan yang mendorong Tuhan berbuat sesuatu. Ia bertindak melakukan sesuatu
semata-mata karena kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya, bukan karena untuk
kepentingan makhluk ataupun tujuan lainnya. “

Sehingga madzhab Asy’ariyah ini mengatakan: “Allah tidak meletakkan


suatu kewajiban kepada orang yang tidak mampu memikulnya, artinya Allah
bersifat Maha Adil, akan tetapi bukan berarti Allah tidak bisa melakukannya, bisa
saja, kalau Allah menghendaki pasti Ia bisa, namun Allah tidak melakukan nya,
sebab Ia bersifat Maha Adil. Untuk memperkuat pendapat Asy’ariyah tentang ini,
mereka menggunakan kutipan dalil QS. Ali-Imran: 40 dan QS. Al-Hajj: 18

َ ِ‫ال َك ٰذل‬
ُ‫ك اللَّهُ َي ْف َع ُل َما يَ َشٓاء‬ َ َ‫ق‬

“Demikianlah, Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ali ‘Imran 3: 40)

ُ‫ِإ َّن اللَّهَ َي ْف َع ُل َما يَ َشٓاء‬

“Sungguh, Allah berbuat apa saja yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Hajj 22: 18)

Pada akhirnya, Asy’ariyah menentang paham mu'tazilah yang mengatakan


bahwa Allah wajib berbuat Adil, wajib memasukkan orang yang buruk ke neraka,
dan orang yang baik ke surga, sedangkan Asy’ariyah mengatakan bahwa tidak ada
yang wajib bagi Allah, Allah adalah penguasa mutlak, seandainya Allah
memasukkan semua manusia ke dalam surga meskipun berbuat zhalim, bukan
berarti Allah tidak Adil, sebaiknya andai Allah memasukkan orang orang alim,
shalih, dan patuh terhadap perintah-Nya, ke dalam neraka, maka pernyataan ini
tidak bisa dikatakan bahwa Allah berbuat zhalim, tetapi semua perbuatan yang Ia
lakukan mutlak sesuai dengan kehendak-Nya, dan Ia bisa melakukan apapun yang
Ia inginkan.

C) Kritik

Setelah melihat pandangan kaum mu’tazilah dan kaum asy’ariyah terhadap


konsep keadilan, Allah SWT serta dalil-dalil yang menjadi acuan keduanya,
penulis tidak ingin bersifat subjektif, namun dari sudut pandang ahlussunnah wal
jama’ah kaum mu’tazilah ini dinilai lebih mengedepankan akal daripada Al-
Qur’an dan Sunnah sehingga seringkali tidak memperhatikan bagaimana redaksi
ayat-ayat Al-Qur’an terhadap suatu dalil, sedangkan kaum asy’ariyah selalu
melihat bahwa Al-Qur’an dan Sunnah adalah pedoman pokok sebagai umat
muslim.

Dalam konteks konsep keadilan Allah, pembahasan ini tidak terlepas dari
bahasan qadar dan iradah Allah SWT. Penulis melihat bahwa kaum mu’tazilah
sependapat dengan kaum syi’ah yaitu mengakui akan adanya hubungan sebab-
akibat. Berbeda dengan kaum asy’ariyah, aliran ini berpendapat bahwa segala
sesuatu yang terjadi di dunia ini tiada sebab kecuali Allah SWT. (Saeed, 2020: 4)

Asy’ariyah tidak sependapat dengan kaum mu’tazilah dalam hal menetapkan


keadilan Allah. Menurut mu’tazilah Allah SWT wajib berbuat adil seperti hal nya
memasukkan orang-orang yang berdosa ke dalam neraka. Kaum
asy’ariyahmengatakan bahwa tidak ada satu pun yang wajib bagi Allah, Allah
berkuasa dengan mutlak. Andai kata Allah SWT memasukkan seluruh manusia ke
dalam surga sekalipun seluruhnya melakukan kezhaliman, lantas hal ini bukan
berarti Dia tidak adil, begitupun sebaliknya, seandainya Allah SWT mengadzab
suatu kaum dan membinasakan seluruh manusia yang shalih dan taat beribadah
kepadanya ke dalam neraka, maka hal ini tidak dapat dikaitkan dengan bahwa
Allah berlaku zhalim karena Allah SWT adalah penguasa mutlak sehingga Dia
bisa melakukan apa saja yang dia inginkan.

Menurut asy’ariyah keadilan itu tidak bisa dinilai dari jenisnya karena
terkadang apa yang buruk bagi manusia belum tentu buruk bagi Allah SWT,
seperti dalam QS. Al-Baqoroh: 216, Allah berfirman:

‫ال َو ُه َو ُك ْرهٌ لَّ ُك ْمۖ    َو َع ٰس ٓى َأ ْن تَك َْر ُهوا َشيًْئا َو ُه َو َخ ْي ٌر لَّ ُك ْمۖ    َو َع ٰس ٓى َأ ْن تُ ِحبُّوا َشيًْئا‬
ُ َ‫ب َعلَْي ُك ُم ال ِْقت‬ ِ
َ ‫ُكت‬
‫َو ُه َو َش ٌّر لَّ ُك ْمۗ    َواللَّهُ َي ْعلَ ُم َوَأْنتُ ْم اَل َت ْعلَ ُمو َن‬
"Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu.
Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan
boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah 2: 216)

Dari QS. Al-Baqoroh: 216 ini, penulis melihat bahwa konsep keadilan Allah
SWT sangat berbeda dengan manusia karena memang Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu yang tidak diketahui, serta penulis lebih cenderung pada pendapat
kaum Asy’ariyah.

BAB III: KESIMPULAN

Menurut mu’tazilah keadilan tuhan merupakan titik tolak dalam


pemikirannya terhadap kehendak mutlak Allah, keharusan adanya tujuan dalam
perbuatan-perbuatan Allah, kewajiban berbuat baik dan terbaik untuk makhluk
dan kebebasan bagi manusia, serta kehendak mutlak Allah itu dibatasi oleh
keadilan Tuhan itu sendiri.

Untuk memperkuat argumen mereka Mu’tazilah mengunakan dalil yaitu


QS. Al-Fussilat ayat 46

Asy’ariyah tidak sependapat dengan kaum mu’tazilah dalam hal


menetapkan keadilan Allah. Menurut mu’tazilah Allah SWT wajib berbuat adil
seperti hal nya memasukkan orang-orang yang berdosa ke dalam neraka. Kaum
asy’ariyahmengatakan bahwa tidak ada satu pun yang wajib bagi Allah, Allah
berkuasa dengan mutlak
BAB IV: DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anulkarim dan Terjemahannya

Akhtar rizvi, s. s. (2020). Mizan keadilan tuhan(Mengkaji Doktrin Keadilan


Tuhan). kanada: Al-Ma'arif Publication.

Yusya, M. (2019). Konsep keadilan Tuhan dalam kriteria kaum yang dibinasakan
dan tidak dibinasakan. Jakarta: Insitut PTIQ Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai