Anda di halaman 1dari 9

BUDDHISME DAN TOLERANSI BERAGAMA

Oleh: PMd. Haris, S.Ag

A. Pendahuluan

Berita mengenai kekerasan, kekejaman dan konflik melalui surat kabar, majalah dan televisi yang
bernuansa agama sering terdengar. Bahkan tidak menutup kemungkinan seseorang menyaksikan
dan mengalami sendiri kejadian tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Melihat keadaan seperti itu
kehidupan toleransi beragama seakan menjadi hal yang mahal dalam kehidupan, sehingga dewasa
ini seruan akan kehidupan bertoleransi menjadi hal yang mendasar. Berdasarkan pernyataan
tersebut, prinsip toleransi perlu ditanamkan dalam diri setiap individu agar segala bentuk
penindasan dan diskriminasi terhadap kelompok maupun individu agama tidak terjadi. Kehidupan
toleransi pada dasarnya menghormati martabat manusia sebagai makhluk yang dapat menentukan
dan mengambil sikap hidup sendiri sesuai dengan agama yang dianut.

Toleransi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai dua kelompok yang berbeda
kebudayaan yang bermakna Sifat atau sikap toleran, (Tim penyusun, 2007: 1204). Sedangkan
menurut Mukti toleransi adalah kesediaan untuk menerima kehadiran orang yang berkeyakinan lain,
menghormati keyakinan yang lain, walaupun bertentangan dengan keyakinan sendiri dan tidak
memaksakan suatu agama atau kepercayaan kepada orang lain, (Mukti, 2003: 150). Sedangkan
kata agama dalam buku Ensiklopedia Buddha Dhamma Keyakinan Umat Buddha lebih dikenal
dengn sebutan Sasana atau Dhamma, yang secara harafiah berarti Kebenaran, (Ing, 2008: 6).
Hal tersebut mengandung arti bahwa ajaran yang menghantarkan seseorang yang melaksanakan-
Nya untuk dapat hidup berbahagia di dunia, sehingga dapat mencapai tujuan akhir Nibbana.
Berdasarkan kutipan tersebut, bahwa toleransi beragama dapat memberikan kesejahteraan bagi
umat beragama, dan tidak hanya untuk kepentingan satu agama Buddha namun untuk semua umat
beragama, sehingga umat beragama merasa hidup dalam ketenangan dan keharmonisan serta
dapat hidup bahagia dan sejahtera secara berdampingan.

Proses kehidupan bertoleransi dapat dilihat dari adanya partisipasi seluruh umat beragama, karena
toleransi menjunjung tinggi kebebasan dan kesamaan yang menyeluruh, yaitu tidak ada
diskriminasi. Toleransi sebagai pandangan hidup manusia menuntut manusia untuk menerapkan
perilaku hormat menghormati pada setiap tindakan dan aktivitasnya, sehingga akan tercipta suatu
masyarakat yang memiliki kultur toleransi. Masyarakat yang penuh dengan sikap toleransi adalah
masyarakat yang mempunyai perilaku hidup, baik dalam keseharian dan tindakan yang dilandasi
oleh unsur-unsur hidup bertoleransi. Penerapan sikap dan unsur-unsur toleransi pada setiap
tindakan sehari-hari meliputi: menghargai dan memahami keanekaragaman, menghormati
kebebasan, pelaksanaan musyawarah, dan mengakui persamaan.

B. Unsur-Unsur Toleransi Beragama

Tegaknya toleransi sebagai sebuah tatanan kehidupan sosial yang penuh dengan sikap hidup
bertoleransi, yaitu sikap hidup berdampingan yang rukun dan harmonis diantara banyak agama
sangat bergantung kepada unsur penopang toleransi beragama itu sendiri. Suatu tatanan kehidupan
dikatakan penuh dengan toleransi hidup beragama apabila dalam mekanisme kemasyarakatan yang
pluralisme mewujudkan unsur-unsur sikap hidup yang saling hormat menghormati antara sesama
pemeluk agama. Menurut pandangan Abdillah (dalam Rosyada, dkk, 2003: 122) unsur-unsur
toleransi terdiri dari persamaan, kebebasan, dan pluralisme. Sementara itu, Inu Kencana merinci
unsur toleransi dari beberapa unsur yang telah dirinci salah satunya yaitu, musyawarah (Rosyada
dkk, 2003: 122).

Pengekangan dan pembatasan terhadap kebebasan seseorang akan menimbulkan pemberontakan


dan perlawanan, karena orang tersebut merasa dirugikan dan tertekan. Selama seseorang dalam
kondisi tertekan, hidupnya akan terbebani dan menyebabkan ketidakberdayaan sehingga tidak
dapat berkembang. Berkenaan dengan kehidupan toleransi yang menjunjung nilai kebebasan,
Widjaya (dalam Rosyada, dkk, 2003: 124), menyatakan bahwa: Kehidupan toleransi dalam suatu
negara ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut: dinikmati dan dilaksanakan hak serta kewajiban
politik oleh masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip dasar Hak Asasi Manusia yang menjamin
adanya kebebasan, kemerdekaan, dan rasa merdeka.

Maju dan tidaknya seseorang, sangat tergantung dari bagaimana orang tersebut memanfaatkan dan
memaksimalkan pikirannya serta usahanya untuk mengembangkan pikiran tersebut. Hal itu telah
dijelaskan dalam Dhammapada, Khuddhaka Nikya sebagai berikut: Pikiran mendahului semua
kondisi batin, pikiran adalah pemimpin, segalanya diciptakan oleh pikiran. Apabila dengan pikiran
yang jahat seseorang berbicara atau berbuat dengan jasmani, maka penderitaan akan mengikuti si
pelaku karenanya, seperti roda kereta yang mengikuti jejak kaki lembu jantan yang
menariknya, (Widya, 2004: 3).

Menurut ajaran Buddha seperti pada kutipan tersebut, bahwa pikiran sangat berperan sekali bagi
tindakan seseorang, karena pikiran berperan sebagai pelopor, pemimpin, dan pembentuk dari
segala tindakan seseorang. Sehingga dalam Buddhisme kebebasan berpikir dihormati untuk
menyelidiki realita kehidupan dari samsra dan pada akhirnya akan membawa pada pemahaman
yang terang atau sempurna. Hal tersebut juga terlihat pada seberapa besar pikiran dalam
menentukan suatu tindakan.

Buddha telah mengajarkan nilai penting dari kebebasan berpikir, yaitu dengan cara melenyapkan
belenggu dari pemikiran (Piyadassi, 2003: 429). Manusia yang terikat oleh ideologi, pemikiran, serta
pandangan yang dipaksakan kepadanya menyebabkan manusia tersebut tidak akan maju dan
berkembang. Pemikiran manusia tersebut hanya akan terbatas pada ideologi, pemikiran, dan
pandangan yang telah diperolehnya. Kebebasan seseorang untuk terbebas dari segala macam
pemaksaan ataupun pengaruh dari pihak lain perlu dilindungi.

Buddha juga menganjurkan kepada para siswanya untuk tidak begitu saja percaya kepada sesuatu
yang belum terbukti kebenarannya. Pernyataaan tersebut jelas sekali memberikan kebebasan
kepada seseorang untuk menentukan pilihannya sendiri, dan telah dijelaskan oleh Buddha
dalam Anguttara Nikya I, kepada suku Klma sebagai berikut: Wahai, suku kalama. Jangan
begitu saja mengikuti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kata orang, koleksi kitab suci, penalaran
logis, penalaran lewat kesimpulan, perenungan tentang alasan, penerimaan pandangan setelah
memikirkannya, pembicara yang kelihatannya meyakinkan, atau karena kalian berpikir, Pertapa itu
adalah guru kami. Tetapi setelah kalian mengetahui sendiri, hal-hal ini adalah tidak bermanfaat, hal-
hal ini dapat dicela; hal-hal ini dihindari oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dilaksanakan dan
dipraktekkan, akan menyebabkan kerugian dan penderitaan, maka kalian harus
meninggalkannya, (Anggawati dan Cintiawati, 2003: 141).

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa kebebasan untuk memilih agama dan menentukan sikap
sesuai dengan kehendak sendiri tanpa paksaaan yang didasari adanya suatu penyelidikan terlebih
dahulu terhadap kebenaran. Manusia memiliki kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dengan
cara mereka sendiri, dengan demikian menjadikan manusia memiliki kemandirian, yang pada
akhirnya akan menghasilkan suatu yang terbaik bagi dirinya maupun orang lain.

Toleransi mengasumsikan bahwa semua orang tanpa terkecuali memiliki derajat dan hak yang
sama, sehingga diperlakukan sama pula dalam kelompoknya. Berkenaan dengan masalah tersebut
(Suseno, 1987: 132) menjelaskan pada hakikatnya semua orang sama nilainya sebagai manusia,
maka tuntutan paling dasariah keadilan ialah perlakuan yang sama terhadap semua orang.

C. Kesadaran Kemajemukan

Kemajemukan merupakan realitas yang tidak dapat dihindari, karena kehidupan manusia selalu
dihadapkan pada berbagai fenomena yang berhubungan dengan kemajemukan tersebut. Setiap
orang harus memiliki kesadaran akan kemajemukan, karena kemajemukan sering menjadi pemicu
konflik agama bahkan konflik antar bangsa. Menurut, (Ala, dkk, 2005: 185) ada tiga kecenderungan
yang sering dihadapi dalam masyarakat majemuk yakni, (1) mengidap potensi konflik yang kronis di
dalam hubungan antar kelompok, (2) pelaku konflik melihat sebagai all out war (perang habis-
habisan), dan (3) proses integrasi sosial lebih banyak terjadi melalui dominasi atas suatu kelompok
oleh kelompok lain.

Kesadaran akan kemajemukan diistilahkan pluralisme, yang berarti kesediaan menerima


kemajemukan untuk kemudian terlibat secara aktif dalam mempertahankan kemajemukan tersebut
sebagai sesuatu yang harus diterima, (Ala. Dkk, 2005: 232). Pluralisme tidak hanya sekedar
pangakuan secara pasif terhadap kenyataan masyarakat yang majemuk, tetapi menghendaki
tanggapan yang positif terhadap kemajemukan itu sendiri secara aktif. Secara harafiah pluralisme
berarti jamak, beberapa, berbagai hal, kepelbagaian atau banyak beragam, (Elmirsanah, dkk, 2002:
7). Sesuatu yang dikatakan plural senantiasa terdiri dari banyak hal, beberapa jenis, serta memiliki
pelbagai sudut pandang serta latar belakang. Pluralisme SARA adalah kenyataan yang terdiri atas
beberapa, pelbagai, banyak atau lebih dari satu Suku, Agama, Ras, dan antar golongan.

Pluralisme merupakan sikap keterbukaan yang akan melahirkan kemampuan untuk menahan diri
dan tidak secepatnya menjatuhkan penilaian dan pilihan. Sikap toleransi beragama penting untuk
dimiliki dan dikembangkan dalam masyarakat dengan menunjukkan sikap saling menghargai dan
menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain. Menurut Nurcholish, sikap penuh pengertian
kepada orang lain itu diperlukan dalam masyarakat yang majemuk (Rosyada, dkk, 2003: 249).
Kemajemukan merupakan kenyataan kehidupan dalam masyarakat, jadi tidak ada masyarakat yang
tunggal dan sama dalam segala segi. Pada kenyataannya, intoleransi saat ini masih dilakukan atas
nama agama (Dhammananda, 2004: 255). Sikap seperti itu tidak menyadari akan keragaman suatu
agama yang merupakan sikap memalukan dan tercela.

Keyakinan suatu agama adalah masalah pribadi bagi seseorang yang tidak dapat dicampuri oleh
siapapun. Menyadari kenyataan demikian di dalam masyarakat, maka umat Buddha memupuk sikap
menghormati kemerdekaan setiap orang untuk beribadat sesuai dengan agama dan
kepercayaannya (Tim Penyusun, 2003: 33). Keyakinan terhadap suatu agama tidak perlu
dipaksakan, setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih dan menentukan sikapnya sendiri.
Menurut Buddha, keyakinan bukanlah suatu persoalan untuk dipermasalahkan, yang penting
seseorang mau melakukan kebaikan untuk mengatasi penderitaan.
Sikap Buddha yang penuh dengan toleransi terhadap kepercayaan lain terdapat dalam Upli
Sutta, Majjhima Nikya III (Anggawati dan Cintiawati, 2006: 1004) Buddha menyarankan kepada
perumah tangga Upli agar jangan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan untuk berpindah
keyakinan dari keyakinan satu ke keyakinan yang lain. Buddha menyarankan: Selidikilah dengan
seksama, perumah tangga. Sungguh bagus bila orang-orang terkenal seperti engkau menyelidiki
dengan seksama. Saran tersebut menunjukkan bahwa mereka yang memeluk agama Buddha
harus tetap menghargai agama lain. Umat Buddha tidak merasa keberatan dengan kehadiran
agama-agama lain yang memberi jalan untuk menyelamatkan kehidupan atau mengakhiri
penderitaan manusia.

Kesadaran akan kemajemukan tidak hanya karena didasari oleh perasaan suka atau tidak suka,
melainkan sudah menjadi sebuah kewajiban bagi setiap penganut agama Buddha terhadap
penganut agama lain. Umat Buddha harus meneladani Raja Asoka sebagai pemeluk agama Buddha
yang telah menunjukkan kesadaran akan berharganya agama lain, yaitu dengan tidak menghina
dan menjelek-jelekannya. Oleh karena itu, umat Buddha harus selalu berpedoman kepada ajaran
Buddha dan tidak meninggalkan cara hidup yang penuh toleransi, sebagaimana yang tertera
dalam nilai moral beragama dari Raja Asoka, yaitu: Jangan membanggakan agamanya sendiri,
jangan mencela ajaran agama orang lain tanpa alasan yang jelas. Dan jika memang ada alasan
untuk mengkritik, haruslah dilakukan secara lembut. Tetapi tetap saja lebih baik untuk menghargai
ajaran agama lain oleh karena alasan tadi. Dengan melakukan hal ini, akan memberi keuntungan
bagi agama orang itu sendiri dan begitu pula bagi ajaran agama orang lain, dan berbuat yang
sebaliknya bakal merugikan agama orang itu dan agama orang lainnya. Siapapun yang
membanggakan ajaran agamanya sendiri, oleh karena keyakinan yang fanatik, dan menghina yang
lain dengan pemikiran saya mengagungkan agama saya hanya akan merugikan agamanya sendiri.
Oleh sebab itu, kerukunanlah yang dianjurkan, dengan pengertian bahwa semua orang hendaknya
mendengarkan ajaran-ajaran agamanya dan bersedia juga mendengarkan ajaran-ajaran yang
dianut orang lain, (Dhammika, 2006: 25-26).

Penjelasan lain dalam Sutta Pitaka, Majjhima Nikaya II yang berisi tentang bagaimana cara yang
benar mempraktikkan Dhamma, yang dijelaskan oleh Buddha dengan perumpamaan penangkap
ular dan perumpamaan tentang rakit. Beberapa manusia yang salah mempelajari Dhamma, yaitu
belajar Dhamma tidak memeriksa arti dari ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan, dan tidak
merenungkannya. Sebaliknya, justru mempelajari Dhamma hanya untuk mengkritik orang lain dan
untuk memenangkan perdebatan, sehingga Dhamma itu tidak memberikan manfaat karena
ditangkap secara salah, sehingga ajaran itu menimbulkan kerugian dan penderitaan bagi mereka
untuk waktu yang lama. Sesuai dalam Alagaddupama Sutta yang berarti
bahwa Dhamma diibaratkan sebagai rakit, yang artinya bahwa Dhamma Sang Buddha atau ajaran
Buddha senantiasa dilakukan dalam kehidupan keseharian agar dapat hidup bahagia melalui
pelaksanaan penghormatan terhadap hak beragama, dan menghindari pelanggaran terhadap hak
beragama sehingga melalui Alagaddupama Sutta sebagai pedoman hidup dalam menjalankan
ajaran moral dalam hidup beragama untuk terciptanya toleransi beragama.

D. Pandangan Buddhis terhadap Toleransi

Buddha sangat terbuka terhadap pengetahuan yang dimiliki, ia tidak pernah berkeinginan untuk
merahasiakan ajaran yang telah diperolehnya. Semua ajarannya akan disampaikan dengan jelas
dan sempurna tanpa ada rahasia, Buddha tidak pernah berpendapat ajaranku yang ini tidak akan
kuajarkan kepada orang lain atau cukup sebegini sajalah ajaranku yang akan kuajarkan pada orang
lain, jika berpendapat seperti itu akan masuk kategori guru yang tidak terbuka (Nrada, 1998: 25).
Hal ini membuktikan bahwa Buddha dalam bersikap ketika menyampaikan ajaran kepada umat
manusia sangat bertoleransi, yaitu setiap orang bebas untuk memperoleh ajarannya dan bebas
untuk menyelidiki dengan penuh kebijaksanaan sebelum orang itu memeluk atau menganut ajaran
Buddha.

Perspektif toleransi dalam agama Buddha berarti, bahwa setiap orang memiliki persamaan hak dan
harus diperlakukan sama dalam hidupnya demi kesejahteraan bersama. Atas dasar nilai cinta kasih
dan pengertian yang benar, maka seseorang tidak akan mengutamakan kepentingan pribadi,
sebaliknya mereka akan mengasihi dan melayani sesama dengan mengabaikan ras, kelas, warna
kulit, dan kepercayaan, (Piyadassi, 2003: 431).

1) Kesamaan Manusia

Menurut Agaa Sutta, Dgha Nikya, Buddha menjelaskan fenomena lahirnya suatu kontrak sosial
yang berdasarkan persamaan individu dan kedudukan yang sama sebagai berikut: Manusia pada
awal mulanya dilahirkan tanpa perbedaan kedudukan maupun jenis kelamin. Akan tetapi, kehidupan
yang damai mulai terusik ketika keserakahan muncul pada diri masing-masing individu. Bentuk-
bentuk kejahatan mulai muncul seperti pencurian, penipuan, dan penindasan terhadap sesama.
Kemudian atas dasar persetujuan banyak orang, dipilih seseorang yang bertugas untuk mengadili
pelaku kejahatan, sebagai imbalannya untuk membalas jasanya diberi sebagian padi kepadanya,
(Walshe, 1995: 426-427).

2) Implementasi Toleransi yang Penuh Kebijaksanaan

Menurut Brahmajla Sutta, Dgha Nikya Buddha memberikan teladan bagaimana agar dalam
kehidupan bersama dapat tercipta suasana yang kondusif dan disertai dengan kebijaksanaan,
sebagai berikut: Buddha mengingatkan bahwa jika terdapat perasaan tidak senang, tidak akan kita
dapat menilai sejauh mana ucapan seseorang itu benar atau salah, baik atau buruk. Demikian pula
halnya jika sampai terbius oleh pujian. Pandangan yang objektif hanya dapat diperoleh jika pikiran
jernih tidak terganggu oleh luapan emosi. Lebih jauh dalam, Brahmajala Sutta Sang Buddha
menjelaskan: Para bhikkhu, bila orang mengucapkan kata-kata yang menyalahkan saya, Dhamma
dan Sangha, janganlah karena hal itu kamu membenci, dendam atau memusuhinya. Bila karena hal
tersebut kalian marah atau tersinggung, maka hal itu akan menghalangi jalan pembebasan diri
kalian, dan mengakibatkan kalian marah dan tidak senang, apakah kalian dapat merenungkan
ucapan mereka itu baik atau buruk?. Tidak demikian, Bhante. Tetapi bilamana ada orang
mengucapkan kata-kata yang menyalahkan saya, Dhamma dan Sangha maka kalian harus
menyatakan mana yang salah dan menunjukkan kesalahannya, dengan mengatakan bahwa
berdasarkan hal ini atau itu, ini tidak benar, atau itu bukan begitu, hal demikian tidak ada pada kami,
dan bukan kami, (Walshe, 1995: 2-3).

Dari uraian sutta di atas sangatlah jelas bahwa Sang Buddha tidak mengharapkan seseorang untuk
marah, membenci walaupun orang itu telah mencela atau mengatakan sesuatu yang belum tentu
benar pada kita. Namun kita berusaha untuk menjelaskan yang sebenarnya. Melalui penjelasan
yang benar yang tidak menyakiti perasaan pendengarnya. Selain itu sikap seseorang yang
mementingkan diri sendiri dan merasa dirinya paling benar adalah orang yang tidak memiliki sifat
toleransi. Untuk menghindari masalah-masalah seperti itu, dapat dilakukan dengan membersihkan
diri dari berbagai kekotoran batin yaitu sifat egoisme dan sebaliknya mengembangkan cinta kasih
dan kasih sayang untuk menjalin solidaritas persaudaraan dan kebersamaan yang solid antar
sesama umat beragama dengan berpedoman pada Sabda Buddha dalam Dhammapada syair
5: Dalam dunia ini, kebencian tidak pernah dapat dilenyapkan dengan kebencian, kebencian hanya
dapat dilenyapkan dengan cinta kasih (kasih sayang) dan saling memaafkan. Ini adalah kebenaran
abadi, (Widya, 2004: 3). Kebencian akan berakhir kalau kebencian itu kita tinggalkan dan abaikan
dengan demikian suasana hidup nyaman yang penuh dengan hormat menghormati serta penuh
toleransi yang sedang diperjuangkan oleh semua umat beragama hingga sekarang ini
mendambakan adanya kebebasan, kebersamaan, dan solidaritas persaudaraan dari semua umat
yang seagama dan bahkan antar agama akan terwujud.

E. Kebebasan Berpikir dan Berlatih

Pada hakikatnya setiap orang selalu mendambakan kebebasan dalam kehidupannya. Seseorang
tidak ada yang rela apabila dikuasai, ditindas, maupun diperintah untuk melakukan sesuatu dengan
paksaan dan kekerasan yang tidak berdasarkan keinginannya sendiri. Menurut (Mukti, 2003: 145),
sekalipun memiliki semangat misioner, agama Buddha sangat menghargai kebebasan setiap
manusia untuk memilih dan menentukan sikapnya sendiri dalam meyakini suatu agama. Menurut
kutipan ini, bahwa ajaran agama tidak untuk dipaksakan kepada setiap orang, karena ajaran
tersebut merupakan suatu kebenaran yang perlu dibuktikan. Masing-masing agama memiliki kadar
kebenaran tertentu yang sama-sama bertujuan mulia.

Manusia harus dapat menempatkan diri dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga tidak melakukan
tindakan yang dapat menghambat kebebasan seseorang dan berakibat pada terjadinya
kesenjangan sosial. Sebaliknya kebebasan tersebut akan dapat terwujud menurut Buddha sebagai
berikut: Tanpa keserakahan, kebencian, dan kebodohan, orang dapat mengendalikan dirinya
dengan baik dan pikirannnya terarah, batinnya dipenuhi oleh perasaan kasih sayang, belas kasih,
simpati dan keseimbangan yang ditujukan ke segala arah tanpa batas, bebas dari perasaan
bermusuhan dan perasaan tertekan, tidak bernoda, bersih dan hidupnya tenteram, (Woodward,
2000: 117-119).

Buddha meskipun telah menemukan suatu ajaran kebenaran, tetapi tidak memaksakannya kepada
orang lain untuk menerima dan mengakui kebenarannya. Berkenaan dengan permasalahan tersebut
Buddha menjelaskan dalam Dhammapada, Kuddhaka Nikya(Norman, 2004: 41) dengan
peryataan: You Must show energy. The Tathgatas are (only) teachers. Those who have entered (on
The Path), meditative, will be released from Mras fetter. Orang lain tidak dapat menentukan nasib
seseorang, sehingga Buddha mengharapkan para pengikutnya untuk berlatih sendiri jalan yang
telah ditemukannya.

Prinsip penghormatan terhadap martabat manusia pada dasarnya telah Buddha ajarkan kepada
para pengikutnya melalui contoh tindakan nyata ataupun melalui kesempatan saat menyampaikan
khotbah. Melalui metode yang dimiliki, Buddha mengungkapkan konsep serta hakikat toleransi
secara bijaksana sehingga hal itu mampu diterima dan dipraktikkan oleh para pengikutnya dalam
upaya menyebarkan Dhamma demi kebahagiaan semua makhluk.

1). Asumsi filosofis

Asumsi ini menekankan bahwa semua manusia dilahirkan dengan kebebasan dan tanggung jawab
sepenuhnya atas diri sendiri. Bukan sebagai hasil ciptaan dari sang pencipta seperti yang
kebanyakan dikonsepkan oleh orang-orang. Manusia merupakan subjek yang tidak mendapat
campur tangan dari pihak lain (non deterministik) dalam hukum sebab
akibat (paticcasamuppada) dan yang paling penting bahwa nasib mereka ditentukan oleh mereka
sendiri. Penjelasan mengenai hal tersebut dapat dilihat
dalam Brahmaviharapharana, (Dhammadhro, 2005: 39-40) yang menyebutkan bahwa semua
makhluk memiliki karmanya sendiri (kammassaka), mewarisi karmanya sendiri (kammadayada),
lahir dari karmanya sendiri (kammayoni), berhubungan dengan karmanya sendiri (kammabandhu),
terlindung oleh karmanya sendiri (kammapatisarana), apapun karma yang diperbuatnya (yam
kammam karissanti) baik atau buruk (kalyanam va papakam va) itulah yang akan
diwarisinya (tassadayada bhavissanti), (Anggawati dan Cintiawati, 2002: 329-330). Ini menunjukkan
bahwa pada hakikatnya setiap manusia mempunyai ikatan yang tak terpisahkan dengan apa yang
telah diperbuat, dengan apa yang akan diterima sebagai konsekuensi dari apa yang telah
diperbuatnya, dan sama sekali murni tanpa adanya peranan atau campur tangan dari pihak lain di
luar dirinya. Hal senada juga telah Buddha ungkapkan dalam makna petikan syair tersebut
menjelaskan tentang peran diri sendiri bagi manusia dalam menjalani hidupnya yang memandang
manusia sebagai makhluk yang independen dengan segala potensinya.

2). Asumsi etis

Asumsi etis lebih sesuai dengan pandangan sosial, di mana setiap makhluk mendambakan
kebahagiaan dan hendaknya kebahagiaan tersebut diperoleh tanpa harus menyakiti makhluk lain.
Pernyataan tersebut adalah yang selayaknya menjadi prinsip dalam kehidupan sehari-hari sehingga
akan menjadi jaminan bagi semua makhluk untuk terbebas dari rasa takut dalam hidupnya.

Dua asumsi tersebut merupakan gambaran analisis Buddhis terhadap konsep toleransi yang lebih
mendalam dibandingkan dengan konsep-konsep toleransi yang dikemukakan oleh beberapa
pemikir. Selain itu, dalam Buddhisme konsep penghormatan terhadap hak tidak hanya ditekankan
kepada manusia saja tetapi ditujukan hingga kepada semua bentuk kehidupan terkecil. Sejak zaman
kehidupan Buddha praktik penghormatan terhadap toleransi telah dilakukan oleh Buddha dan juga
para pengikutnya. Ajaran Buddha mengajarkan tentang cinta kasih (metta), tanpa
kekerasan (ahimsa/avihimsa), kemurahan hati (dana) dan penghormatan (garava) merupakan
contoh nyata bahwa prinsip-prinsip etika sosial Buddhis sangat ditekankan. Praktik cinta
kasih (metta) akan memungkinkan bagi terciptanya kondisi kerukunan dalam kaitannya dengan
hubungan antarpersonal maupun dalam konteks kehidupan yang lebih luas. Kerukunan itu tidak lain
tercipta karena adanya prinsip saling mengasihi satu sama lain sehingga masing-masing individu
akan merasa dihargai martabatnya. Setiap manusia menghendaki kehidupan yang damai dan
tenang tanpa diwarnai oleh kekerasan dalam setiap aspek hidup serta lingkungannya. Dengan
menerapkan prinsip anti kekerasan maka secara tidak langsung telah memberikan kontribusi yang
besar bagi tegak dan terpeliharanya toleransi beragama.

Untuk selanjutnya, secara universal praktik memberi (berdana) dikenal sebagai salah satu keluhuran
manusia yang paling mendasar, sesuatu yang membuktikan kedalaman sifat manusiawi dalam
artian motif ini timbul karena dorongan kasih sayang universal (karun)bagi semua
makhluk. Dengan berdana berarti orang telah berupaya untuk ikut membahagiakan pihak lain
sekalipun apa yang diberikan adalah tidak dalam skala besar dalam artian hanya sesuai dengan
kemampuan. Membahagiakan orang lain sama prinsipnya dengan membantu orang atau makhluk
lain agar terpenuhi hak-hak dasar mereka untuk menuju hidup sejahtera. Yang terakhir yaitu
penerapan prinsip penghormatan (garava) kepada orang lain. Sikap saling menghormati adalah
bagian dari nilai yang terkandung dalam upaya mewujudkan kehidupan toleransi. Dengan kata lain,
di dalam menjalankan hak dan kewajibannya setiap orang hendaknya berpedoman serta melihat
hakikat yang nyata bahwa pada intinya setiap orang mempunyai martabat yang sama. Dengan
demikian tak ada alasan untuk merendahkan orang lain atau tidak menghormati mereka sedikit pun.
F. Kesimpulan

Prinsip toleransi beragama perlu ditanamkan dalam diri setiap individu agar segala bentuk
penindasan dan diskriminasi terhadap kelompok maupun individu agama tidak terjadi. Kehidupan
toleransi pada dasarnya menghormati martabat manusia sebagai makhluk yang dapat menentukan
dan mengambil sikap hidup sendiri sesuai dengan agama yang dianut. Prinsip toleransi ini sebagai
pandangan hidup manusia serta menuntut manusia untuk menerapkan perilaku hormat
menghormati pada setiap tindakan dan aktivitasnya dengan memahami nilai-nilai kemajemukan
yang merupakan realitas yang tidak dapat dihindari, karena kehidupan manusia selalu dihadapkan
pada berbagai fenomena yang berhubungan dengan kemajemukan tersebut. Setiap orang harus
memiliki kesadaran akan kemajemukan, karena kemajemukan sering menjadi pemicu konflik agama
bahkan konflik antar bangsa. Selain itu Pluralisme merupakan sikap keterbukaan yang akan
melahirkan kemampuan untuk menahan diri dan tidak secepatnya menjatuhkan penilaian dan
pilihan. Sikap toleransi beragama penting untuk dimiliki dan dikembangkan dalam masyarakat
dengan menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang
lain.

Perspektif toleransi dalam agama Buddha berarti, bahwa setiap orang memiliki persamaan hak dan
harus diperlakukan sama dalam hidupnya demi kesejahteraan bersama. Atas dasar nilai cinta kasih
dan pengertian yang benar, dengan berdasar pada Kesamaan Manusia dengan berpikir semua
manusia adalah sama dengan selalu menjunjung Implementasi Toleransi yang Penuh
Kebijaksanaan, melalui contoh tindakan nyata sesuai Asumsi Filosofis bahwa semua manusia
dilahirkan dengan kebebasan dan tanggung jawab sepenuhnya atas diri sendiri serta Asumsi Etis
di mana setiap makhluk mendambakan kebahagiaan dan hendaknya kebahagiaan tersebut
diperoleh tanpa harus menyakiti makhluk lain. Pernyataan tersebut adalah yang selayaknya menjadi
prinsip dalam kehidupan sehari-hari sehingga akan menjadi jaminan bagi semua makhluk untuk
terbebas dari rasa takut dalam hidupnya.

Meskipun demikian, kebebasan tersebut harus diarahkan pada kebebasan positif serta tidak
melanggar norma-norma dalam masyarakat yang dapat memberikan keuntungan baik bagi diri
sendiri maupun orang lain termasuk kebebasan beragama agar tercipta kedamaian dan
keharmonisan. Oleh karena itu setiap orang dalam berbagai posisinya dituntut untuk menghargai
kebebasan masing-masing orang walaupun orang lain itu berbeda agama.

DAFTAR PUSTAKA

Ala, Abd. 2005. Nilai-Nilai Pluralisme dalam Islam. Bandung: Nuansa.

Anggawati dan Cintiawati. 2003. Petikan Anguttara Nikaya I Kitab Suci Agama Buddha. Klaten:
Vihara Bodhivamsa.

Anggawati dan Cintiawati. 2002. Petikan Anguttara Nikaya II Kitab Suci Agama Buddha. Klaten:
Vihara Bodhivamsa.

___________. 2005. Majjhima Nikaya Kitab Suci Agama Buddha II . Klaten: Vihara Bodhivamsa.

___________. 2006. Majjhima Nikaya Kitab Suci Agama Buddha III . Klaten: Vihara Bodhivamsa.

Dhammadhro, Bhikkhu. 2005. Paritta Suci. Jakarta. Yayasan Sagha Theravda Indonesia.
Dhammananda, Sri. 2004. Keyakinan Umat Buddha. Terjemahan oleh Ida Kurniati. 2005. Jakarta:
Yayasan Penerbit Karaniya.

Dhammika. S. 2006. Seri Literatur dan Wacana Buddhis Maklumat Raja Asoka. Yogyakarta:
Vidyasena Production.

Elmirzanah, Syafaatun, dkk. 2002. Pluralisme, Konflik dan Perdamaian. Yogyakarta: The Asia
Foundation.

Ing. 2008. Ensiklopedia Buddha Dhamma Keyakinan Umat Buddha (Menjadi Buddhis Sejati).
Jakarta: CV. Santusita.

Mukti, Krishnanda Wijaya. 2003. Wacana Buddha Dharma. Jakarta: Yayasan Dharma
Pembangunan.

Nrada. 1998. Sang Buddha dan Ajaran-AjaranNya. Jakarta: Yayasan Dhammadpa rma.

Norman, K. R. (Transld.). 2004. The Word of the Doctrine (Dhammapada). Oxford: The Pali Text
Society.

Piyadassi. 2003. Spektrum Ajaran Buddha. Jakarta: Yayasan Pendidikan Buddhis Tri Ratna.

Rosyada, Dede. dkk. 2003. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN
Syarif Hidyatullah.

Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta:
Kanisius.

Tim Penyusun. 2003. Materi Kuliah Agama Buddha Untuk Perguruan Tinggi Agama Buddha (Kitab
Suci Vinaya Pitaka). Jakarta: Dewi Kayana Abadi.

___________. 2003. Kapita Selekta Agama Buddha. Jakarta: Dewi Kayana Abadi.

___________. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Walshe Maurice. 1995. Khotbah-Khotbah Panjang Sang Buddha Digha Nikaya. Terjemahan oleh
Team Giri Manggala Publication dan Team DhammaCitta Press. 2009. Tanpa Kota: DhammaCitta

Widya Surya.2004. Dhammapada. Jakarta: Yayasan Abdi Dhamma Indonesia

Woodward, F. L. (Transld.). 2000. The Book of the Gradual Sayings I (Anguttara Nikya). Oxford:
The Pali Text Society.

Anda mungkin juga menyukai