Rabcewicz da Golser (1974) untuk menginterpretasi suatu data hasil pengukuran sangat baik jika
mempertimbangkan data yang diamati. Menurut Cording (1974) dalam banyak kasus, penggunaan satu
kriteria tidak cukup untuk mengevaluasi kestabilan lubang bukaan bawah tanah.
Kriteria menurut Bieniawski (1984) berikut ini dapat digunakan untuk menetukan suatu perpindahan
yang menunjukan kestabilaan atau ketidakstabilan.
1. Besar perpindahan
Kondisi batuan mengalami ketidakstabilan apabila perpindahan yang diamati lebih besar
dibandingkan perpidahan yang diperkirakan dari teori elastic, misalnya solusi finite element. Cording
(1974), perpindahan sepanjang bidang lemah mulai terjadi ketika perpindahan yang teramati 1 sampai 3
kali lebih besar dari perpindahan elastiknya, dalam keadaan normal perpindahan tersebut berkisar antara 2
sampai 8 mm. Cording juga mengatakan bahwa perpindahan massa batuan didaerah geser atau bidang
diskontinu yang tidak tersangga dengan sempurna perpindahan meningkat melebihi perhitungan
perpindahan elastik sebesar 5 sampai 10 kali yang besarnya berkisar 12 sampai 75 mm, maka prosedur
penggalian dan penyanggaan harus dimodifikasi untuk menghindari pergerakan yang lebih besar.
2. Laju perpindahan
Cara terbaik untuk mengevaluasi laju perpindahan adalah membandingkan laju yang diamati pada kondisi
yang sama. Kecepatan atau laju perpindahan merupakan waktu yang diperlukan untuk melakukan
perpindahan selama waktu tertentu. Dengan cara sederhana kecepatan perpindahan dapat dihitung dengan
rumus :
d ad o
v= 24 (1)
t at o
Keterangan :
Menurut Cording (1974) dan Zhenxiang (1984) bahwa kecepatan perpindahan dapat dijadikan salah
satu indicator dalam menilai kestabilan lubang bukaan bawah tanah. identifikasi perpindahan massa
batuan akibat pengaruh waktu dapat diketahui dari hasil pengukuran ketika proses penggalian dihentikan,
walaupun permuka kerja tidak mengalami kemajuan dinding lubang tetap akan mengalami perpindahan
(Panet and Semecsol, 1993). Untuk menentukan kriteria kestabilan yang harus dilakukan adalah membuat
grafik-grafik hasil pengukuran dan pemantauan seperti :
- Grafik hubungan perpindahan dengan waktu pengukuran
- Grafik hubungan perpindahan dengan jarak titik pantau ke permuka kerja
dari grafik tersebut dapat dianalisis data kuantitatif besar serta kecepatan perpindahan dari grafik
hubungan perpindahan terhadap waktu maka kriteria kestabilan lubang bukaan yang dipantau dapat
diketahui.
Menurut Cording (1974) lubang bukaan bawah tanah pada jenis batuan tufa vulkanik yang
penggaliannya telah berhenti beberapa bulan dapat mengalami perpindahan dengan kecepatan < 0.01
mm/hari. Pengamatan dilakukan pada dinding lubang bukaan yang telah disangga dengan baik, lebar
lubang 30 m dan letaknya jauh dibawah permukaan.
Studi kasus di stasiun Dupont (lebar 23m tinggi 15.5m dan croqn terletak 21m dari permukaan
tanah), Cording menyatakan bahwa pada saat permuka kerja maju sejauh 1 x lebar terowongn maka
dinding lubang mengalami perpindahan dengan kecepatan makin kecil, yakni 0.02 mm/hari. Jika
kecepatan perpindahan sebesar 3-4 kali dari angka diatas maka dinding lubang bukaan memerlukan
tambahan penyangga.
Tabel 1.1 kriteria kestabilan lubang bukaan bawah tanah menurut Cording (1974)
Zhenxiang (1984) melakukan hal serupa dengan melakukan pengamatan kecepatan perpindahan
pada terowongan di Xiaken dan Lingqian (Cina). Kedua terowongan tersebut mempunyai lebar sekitar 6
m dengan tebal overburden 20 24 m. penyanggaan setelah penggalian menggunakan shotcrete setebal 5
cm pada dinding lubang, kemudian dikombinasi dengan baut batuan 2m setiap spasi 1m. dari hasil
pengamatan didapatkan apabila kecepatan perpindahan 0.2 mm/hari dikategorikan stabil, bila kecepatan
perpindahan mencapai > 3 mm/hari maka dikategorikan berbahaya. Perpindahan dinding dengan dengan
kecepatan 0.2 3 mm/hari dikategorikan belum cukup aman dan kecepatan tersebut perlu diperkecil
dengan menambahkan sistem penyangga. Bila kecepatan perpindahan turun 1 mm/hari merupakan
indicator dinding lubang bukaan sedang mencapai tahap awal menujuh kondisi stabil. Kriteria kestabilan
menurut Zhenxiang berdasarkan kecepatan perpindahan dirangkum dalam tabel 1.2.
Tabel 1.2 kriteria kestabilanlubang bukaan bawah tanah menurut Zhenxiang (1984)
c) Kriteria perpindahan menurut Ghosh dan Ghose (1995) menggunakan kecepatan konvergensi
(convergency velocity) sebagai indicator kestabilan lubang bukaan ditambang bawah tanah. kondisi
lubang bukaan dinyatakan stabil apabila laju perpindahan hasil pengukuran lebih kecil dari kecepatan
kritis hasil perhitungan. Sebaliknya kondisi lubang bukaan tidak stabil jika mengalami laju
perpindahan lebih besar dari kecepatan kritis sehingga membutuhkan penyangga tambahan. Jadi
kecepatan kritis dianggap sebagai peringatan awal bahwa lubang bukaan memasuki kondisi tidak
stabil. Kecepatan konvergensi maksimum merupakan batas atas dari ketidakstabilan lubang bukaan
dimana atap akan segera runtuh apabila laju konvergen hasil pengukuran telah melebihi nilai
tersebut.
Nilai kecepatan kritis dan kecepatan konvergensi maksimum diperoleh dari nilai RMR (Bieniawski,
1984) dengan persamaan berikut :
0.66 6
100R
v r =2.25 B ( 1000 ) ( 100 )
0.36 3.3
100R
v rmax =3.3 B 0.55
( 1000 ) ( 100 )
Keterangan :
Kecepatan kritis dapat dianggap sebagai peringatan pertama ketidakmantapan lubang bukaan, apabila
kecepatan konvergensi mencapai nilai diatas nilai kritis maka atap perlu disangga untuk mencegah
keruntuhan. Jika kecepatan konvergensi lebih kecil dari nilai kecepatan kritis maka atap dianggap dalam
kondisi aman.
Pemantauan Perpindahan Metode Surveying
Metode pemantauan perpindahan yang diterapkan dalam penelitian ini menggunakan surveying
dengan alat total station tanpa reflector. Perpindahan yang terjadi dihitung dari perbedaan koordinat dan
elevasi setiap data yang di dapat saat pengukuran. Sedangkan arah perpindahan dapat dihitung
menggunakan cara trigonometri.
Data koordinat (xyz) hasil pengukuran langsung diperoleh dari alat total station yang digunakan,
kemudian dilakukan perhitungan untuk memperoleh besar perpindahan dan arah perpindahan pada titik
objek yang diamati. Perpindahan pada sumbu X adalah selisih dari data koordinat pada sumbu X awal
dengan data koordinat sumbu X akhir, begitu pula menghitung perpindahan pada sumbu Y dan sumbu Z.
X =X n X 1
Y =Y nY 1
Z=Z n Z 1
Resultan perpindahan pada ketiga sumbu XYZ dapat dihitung dengan rumus :
R= X 2+ Y 2 +Z 2
Rotasi sumbu koordinat dimaksudkan untuk merefleksikan suatu titik pada kondisi sebenarnya terhadap
kondisi yang ditentukan yaitu searah terowongan. Pada dasarnya posisi titik tersebut hanya mengalami
perubahan sistem koordinat yang dirotasikan sebesar sudut dan tidak mengalami perpidahan. Gambar
1.2 berikut menampilkan rotasi koordinat pada sumbu Z dengan sudut sebesar .
Posisi awal titik B mempunyai koordinat (X Y Z) yang kemudian dirotasi pada sumbu Z sebesar , maka
koordinat titik B akan menjadi (X Y Z). dari gambar tersebut dapat ditulis rumus sebagai berikut :
X ' = Xcos+Ysin
'
Y =YcosXsin
[ ][
X'
Y
' =
cos sin X
sin cos Y
=
][ ] [
Xcos+ Ysin
X sin+ Ycos ]
Data Pengamatan Pemantauan Total Station
Untuk menentukan besar dan arah perpindahan pada penampang melintang terowongan maka dilakukan
rotasi sistem koordinat dimana koordinat awal X, Y, Z di transformasi menjadi X, Y, Z, dimana Y
searah dengan sumbu penampang terowongan dan Z adalah arah vertikal. Berikut transformasi koordinat
pada lokasi CBT XC10 STH dan CBT XC10 NTH:
Perpindahan yang diperhitungkan dalam bentuk 2 dimensi adalah komponen X yang mewakili
perpindahan horizontal dan komponen Z yang mewakili perpindahan vertikal. Dalam tabel berikut
menunjukan perpindahan yang terjadi pada setiap titik di CBT XC 10 STH dan XC10 NTH.
Perpindahan (mm)
No Posisi titik
X Y Z Rkum
CBT XC10 STH (m) (m) (m) (m)
A1 Dinding kiri -0.0047 0.0107 -0.0075 0.0660
B1 Atap pojok -0.0034 0.0017 -0.0077 0.0694
C1 kiri 0.0025 -0.0036 -0.0033 0.0531
D1 Atap tengah 0.0002 -0.0017 -0.0033 0.0770
E1 Atap pojok 0.0029 -0.0049 -0.0011 0.0785
F1 kanan 0.0027 0.0028 -0.0016 0.0494
Dinding
G1 kanan 0.0068 0.0092 -0.0040 0.0609
CBT XC10 NTH
Dinding
A2 kanan -0.0008 0.0011 -0.0027 0.0484
Atap pojok
B2 kanan 0.0010 0.0021 -0.0024 0.0697
C2 Atap tengah -0.0021 0.0088 -0.0135 0.0779
Atap pojok
D2 kiri -0.0100 0.0006 0.0021 0.0856
E2 Dinding kiri -0.0024 0.0017 -0.0014 0.1350
4. Kecepatan perpindahan
Dengan menggunakan persamaan (1) maka kecepatan atau laju perpindahan dapat dilihat pada tabel
berikut :
70.0
60.0
50.0 Titik G
Titik F
40.0
Resultan Perpindahan Kumulatif (mm) Titik E
30.0 Titik D
20.0 Titik C
Titik B
10.0
Titik A
0.0
-1.0 4.0 9.0 14.0
Waktu (Hari)
160
140
120
100
Titik A
80
Resultan Perpindahan Kumulatif (mm) Titik B
60 Titik C
40 Titik D
Titik E
20
0
0.0 5.0 10.0 15.0
Waktu (Hari)
60.0
50.0
40.0
Perpindhan (mm) 30.0
20.0
10.0
0.0
0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 14.0
Waktu (day)
Penentuan sistem penyanggaan suatu lubang bukaan sangat dibutuhkan, untuk itu diperlukan data
mengenai properties dari rockbolt, weldmesh dan shotcrete yang digunakan. Untuk penggunaan rockbolt,
PT. CSD menggunakan rockbolt dengan jenis splitset. Karakteristik dari perkuatan batuan dapat dilihat
pada tabel dibawah ini :
PROPERTIES SPLITSET
WELDMESH PROPERTIES
YIELD SHEAR
DIMENSI ( mm ) TYPE
STRENGH STRENGTH
PANJANG LEBAR
245.166
3200 2400 GALVANIS 245.166 Mpa
Mpa
25 kgf/mm 25 kgf/mm
UN 245.166
3200 2400 245.166 Mpa
GALVANIS Mpa
25 kgf/mm 25 kgf/mm
5400 2100 GALVANIS 650 Mpa 651 Mpa
65 kgf/mm 66 kgf/mm
6. Karakterisasi massa batuan
Pengambilan dan pengolahan data baik dari lapangan maupun dari uji laboratorium untuk lokasi Cibitung
Cross Cut 10 South dan XC 10 North dengan metode penambangan Underhand Cut and Fill akan dibahas
dalam bab ini, kedalaman dari permukaan tanah 188 m. Parameter yang diperlukan untuk penentuan
klasifikasi massa batuan dilokasi ini menggunakan klasifikasi massa batuan RMR, dengan beberapa
parameter sebagai berikut : kuat tekan uniaksial (Uniaxial Compressive Strength), Rock Quality Design
(RQD), spasi bidang diskontinu, kondisi bidang diskontinu, kondisi air tanah dan orientasi bidang
diskontinu.
Nilai kuat tekan batuan sangat mempengaruhi kemampuan batuan dalam menahan beban. Semakin tinggi
nilai kuat tekan menunjukan kemampuan batuan semakin tinggi dalam menahan beban yang diberikan
terhadapnya. Nilai kuat tekan batuan untuk input parameter klasifikasi RMR diperoleh dari estimasi kuat
tekan uniaksial (Uniaxial Compressive Strength) di lapangan maupun di laboratorium pada setiap sampel.
Estimasi lapangan untuk nilai kuat tekan batuan berdasarkan pada tabel V.1 (Hoek, Kaisar & Bawden,
1995).
Pemeri PLI
Kela an UCS (Mp Perkiraan Kekuatan Contoh Batuan di
s* Kelas (Mpa) a) Lapangan Contoh Batuan**
R6 Sangat > 250 0.1 Batuan dapat pecah dengan pukulan fresh basalt, chert,
Paling diabaase, gneiss, granite,
Keras palu geologi berulang quartzite
amphibolite, sandstone, basalt,
gabro, gneiss, granodiorite,
Sangat 100- membutuhkan beberapa kali pukulan limestone,
R5 Keras 250 4-10 dengan palu geologi untuk pecah marble, rhyolite,tuf
spesimen membutuhkan lebih dari
satu limestone, marble, phyllite,
R4 Keras 50-100 2-4 pukulan palu geologi untuk pecah sandstone, schist, shale
tidak dapat di kerok atau dikuliti
dengan pisau claystone,coal, concrete, schist,
lipat, spesimen dapat pecah dengan shale,
R3 Sedang 25-50 1-2 satu pukulan palu geologi siltstone
dapat digores dengan pisau lipat
dengan lekukan
yang dangkal dibuat oleh pukulan
kuat dengan unjung lancip palu
R2 Lemah 5-25 *** geologi chalk, rocksalt, potash
hancur dibawah pukulan keras
dengan ujung lancip
Sangat palu geologi, dapat digores dengan sangat lapuk atau jenis batuan
R1 Lemah 1-5 *** pisau lipat alterasi
Sangat
Paling dapat digores atau ditekan dengan
R0 Lemah 0.25-1 *** kuku ibu jari mencungkil lempung
* kelas sesuai dengan ISRM (1981)
semua jenis batuan mempunyai rentang yang luas dari kuat tekan uniaksial yang mencerminkan
heterogenitas dalam komposisi dan
anisotropi dalam struktur. Batuan yang kuat ditandai dengan kain kristal juga saling bertautan dan
** void sedikit
point load indeks tes pada batuan dengan kuat tekan batuan < 25 Mpa mungkin menghasilkan
*** hasil yang tidak bagus.
Nilai RQD diperoleh dari hasil pengukuran lapangan dengan menggunakan tongkat ukur yang memiliki
panjang 200 cm. Metode pengukuran ditunjukan pada gambar dibawah ini. Untuk lokasi XC 10 STH,
nilai RQD yang diperoleh sebesar 50.4% dan pada lokasi XC 10 NTH, nilai RQD yang diperoleh saat
pengkuran berkisar 66.7%.
Gambar cara menghitung RQD batuan
Kondisi rekahan yang diamati meliputi : kemenerusan, pemisahan, kekasaran, material pengisi dan
pelapukan.
- Kemenerusan : kemenerusan dari bidang-bidang diskontinu di sill drive XC10 sth dan sill drive
XC10 nth umumnya berkisar 1-5 m
- Pemisahan : pemisahan rata-rata dari bidang-bidang diskontinu adalah 0.1-1 mm, umumnya diisi
oleh material clay, chlorite
- Kekasaran : tingkat kekasaran bidang-bidang diskontinu di setiap lokasi rata-rata agak kasar
- Material pengisi : material pengisi umumnya berupa clay, chlorite
- Pelapukan : tingkat pelapukan batuan pada lokasi penelitian umumnya tergolong sedikit lapuk.
Berdasarkan hasil scanline yang dilakukan pada XC 10 STH dan XC 10 NTH, diketahui bahwa untuk
lokasi XC 10 STH terdapat tiga keluarga kekar dan beberapa kekar acak, sedangkan pada XC 10 NTH
terdapat dua keluarga kekar. Spasi kekar pada masing-masing keluarga kekar cukup beragam yang mana
untuk lokasi XC 10 STH spasi antar kekar berkisar 0.1 36 cm sedangkan XC 10 NTH berkisar antara
0.2 49 cm.
Arah umum dari keluarga kekar yang ada pada setiap lokasi didapat dengan mengambil arah yang
paling dominan dari kekarkekar yang diamati. Dari nilai yang ada nantinya akan digunakan untuk
mengoreksi nilai dari RMR dasar yang didapat. Pada XC 10 STH memiliki arah penggalian N155E dan
arah kekar yang paling dominan adalah N185E sehingga dapat dikategorikan penggalian lubang bukaan
sejajar dengan bidang diskontinu yang berarti hal tersebut tidak menguntungkan. Sedangkan untuk lokasi
XC 10 NTH, memiliki arah penggalian N315E dana rah kekar yang paling dominan adalah N275E yang
sejajar dengan arah penggalian.
Perhitungan klasifikasi massa batuan (sistem RMR) di peroleh dengan menghitung nilai dari setiap
parameter RMR yang telah dijelaskan sebelumnya. Setiap parameter memiliki bobot yang harus
dijumlahkan untuk mengetahui kelas dari massa batuan. Pada tabel berikut dapat dilihat kondisi massa
batuan untuk setiap lokasi penelitian berdasarkan sistem RMR.
Ratin
Parameter Besaran/Kondisi g
lebih dari sekali pukulan dengan
Kuat tekan batuan (Mpa)
palu 7
RQD 50.4% 13
Spasi bidang diskontinu 0.2-0.6 m 10
Kondisi rekahan : Kemenerusan 4
Pemisahan 5.53
Kekasaran 3.13
Material Pengisi 2.13
Tingkat Pelapukan 4.73
Kondisi Air Tanah Basah 7
Orientasi kekar terhadap penggalian sejajar arah kemajuan, dip 45-90 -12
RMR = F1+F2+F3+F4+F5+F6 fair 44.5
Untuk nilai RMR Hangingwall dan footwall diperoleh dari peta kontur nilai Q system PT. CSD yang di
konversi untuk memperoleh nilai RMR. Nilai Q system berkisar 1.0 4.0. Berikut konversi nilai Q untuk
memperoleh nilai RMR (Bieniawski, 1984).
RMR = 9 ln Q + 44
Q RMR
Min 1 44
Mean 2.5 52.25
Max 4 56.48
Tabel nilai RMR
Tgl Lokasi RMR
CBT
16/10/20 XC10
16 NTH 45
CBT
19/10/20 XC10
16 STH 42
CBT
21/10/20 XC10
16 NTH 43
CBT
26/10/20 XC10
16 STH 44.5
CBT
28/10/20 XC10
16 STH 42
CBT
2/11/201 XC10
6 NTH 45
4/11/201 CBT 41
XC10
6 STH
CBT
9/11/201 XC10
6 STH 41
CBT
9/11/201 XC10
6 NTH 43
Penentuan Stand up time dari masing-masing lokasi penelitian menggunakan grafik hubungan nilai RMR
dan grafik span terhadap stand up time (Bieniawsky, 1989 & 1993). Berdasarkan hasil dari grafik pada
gambar dibawah, nilai stand up time dari CBT XC 10 STH kurang lebih 1 hari dan CBT XC 10 NTH
lebih dari 1 hari.
Gambar Grafik hubungan antara span, stand up time dan RMR (After Bieniawski, 1989 & 1993)
Nilai tinggi runtuh dan beban batuan per luas pada masing-masing lokasi penelitian dapat dilihat pada
tabel dibawah ini :