Anda di halaman 1dari 17

Politik Agraria

Konflik Pembangunan Apartemen Uttara di Karangwuni, Sleman

Kelompok 9
Anugerah Krisnovandi 12/335561/SP/25265
Azizah Noor Laily 12/328754/SP/25129
Rahmat Fajri Rinanda 12/328622/SP/25007
Katrin Dian Lestari 12/328707/SP/25082
Oktiviani Primardianti 12/335686/SP/25349
Ridho Nurwantoro 12/335610/SP/25291
Riska Agustin 12/335487/SP/25246
Umar Abdul Aziz 12/332991/SP/25217

Jurusan Politik dan Pemerintahan


FISIPOL UGM
2014
Prolog

Pada suatu sore, beberapa dari kami tengah berada di Jalan Kaliurang Km 5 menuju
ke kos masing-masing. Namun, seperti biasanya, Jalan Kaliurang Km 5 selalu saja padat
merayap karena volume kendaraan yang besar, jalan yang sempit, maraknya parkir liar,
kendaraan yang keluar masuk dari toko-toko, dan lain-lain. Kemacetan tentunya semakin
parah pada jam-jam berangkat dan pulang kerja. Kemacetan telah membuat kami terjebak
di Jalan Kaliurang Km 5. Belum usai dengan kemacetan tersebut, tiba-tiba hujan deras
menyambar. Kami sesegera mungkin ke bahu jalan untuk menggunakan mantel hujan kami
yang disimpan di bagasi. Kemudian, kami kembali ke jalan dan kembali menikmati padatnya
Jalan Kaliurang Km 5. Tak disangka, 15 menit kemudian Jalan Kaliurang Km 5 langsung
digenangi air 30-50 cm. Bahkan, kami mendapati beberapa wilayah di Caturtunggal
ternyata mengalami banjir yang lebih parah. Ketinggian airnya bahkan ada yang mencapai
0,5 meter.

Kami memandang sebuah kantor marketing apartemen di Jalan Kaliurang 5,3 yang
kabarnya akan membangun apartemen 19 lantai. Apartemen tersebut bernama Apartemen
Uttara The Icon. Tak diayal, kami heran sambil mengusap dada kami yang semakin sesak.
Kami menyaksikan dan merasakan sendiri keresahan dari ibu-ibu warga Karangwuni,
Caturtunggal, yang baru saja kemarin melakukan aksi ke jalan untuk menolak pembangunan
Apartemen Uttara tersebut. Bagaimana tidak? Saat ini saja lingkungan di sekitar Jalan
Kaliurang sudah sangat padat dan rawan banjir, bagaimana nanti kalau Apartemen Uttara
sudah beroperasi?
Konflik Pembangunan Apartemen Uttara di Karangwuni, Sleman
Latar Belakang

Prolog di atas kiranya dapat menjadi pengantar dalam tulisan kali ini. Akhir-akhir ini
warga Karangwuni sangat resah dengan adanya pembangunan Apartemen Uttara di Jalan
Kaliurang KM 5,3. Daerah Caturtunggal yang terkenal sebagai wilayah kos-kosan
mahasiswa yang ekonomis kini dibangun apartemen mewah 19 lantai. Warga Caturtunggal
sangat menyesalkan pembangunan apartemen yang tidak dilakukan melalui komunikasi dan
persetujuan warga terlebih dahulu. Amdal yang digunakan oleh manajemen apartemen juga
dianggap warga terlalu memudahkan masalah dan tidak melihat kekompleksan permasalahan
yang ada di wilayah Karangwuni, Caturtunggal. Warga sangat sangsi akan niat baik dari
manajemen apartemen. Warga setempat sangat tidak dihiraukan atau seolah dianggap tidak
ada oleh manajemen apartemen.

Bukan hanya manajemen apartemen saja yang menjadi sorotan, pemerintah Kabupaten
Sleman tak lepas menjadi sorotan publik. Warga Caturtunggal mencurigai terbitnya IPT (Izin
Peralihan Tanah) yang sim-salabim. IPT apartemen diperoleh dengan sangat singkat tanpa
melalui prosedur-prosedur untuk memperoleh IPT pada umumnya. Bahkan, pada hal lebih
mendasar lagi, izin-izin yang dikeluarkan oleh Pemkab Sleman patut dipertanyakan karena
selama ini tidak ada Perda Sleman yang mengatur sama sekali tentang apartemen. Pemkab
Sleman pun dianggap tidak cekatan dan tidak serius dalam mengakomodasi aspirasi warga
mengenai penolakan pembangunan apartemen.

Pada beberapa kesempatan, berbagai media telah meminta klarifikasi dari Pemkab
Sleman dan manajemen apartemen mengenai permasalahan ini. Namun, keduanya justru
pura-pura tidak tahu ataupun tutup mulut. Hal ini membuat keresahan dan kekesalan warga
semakin memuncak. Keresahan tersebut mereka ekspresikan dengan melakukan aksi
penolakan pembangunan Apartemen Uttara ke berbagai pihak, mulai dari manajemen
apartemen, kepolisian daerah, pemerintah kabupaten, dan pihak yang terkait. Warga sadar
bahwa penolakan mereka tidak akan berhasil dengan hanya menunggu kebaikan dari
Pemkab, perusahaan, atau wakil-wakil mereka di parlemen.
Konflik terhadap pembangunan apartemen ini menjadi semakin tajam. Tarik menarik
antar pihak membuat masing-masing aktor tetap pada kepentingannya. Konflik ini tentunya
sangat penting untuk kita kaji lebih dalam lagi. Apalagi, jika kita mengingat kasus konflik
pembangunan Apartemen Uttara, kasus ini bukanlah kasus satu-satunya di Sleman. Ada pula
kasus pembangunan apartemen di Condong Catur, Jalan Kaliurang Km 7, dan apartemen-
apartemen lainnya. Pemilihan kasus Apartemen Uttara ini menggunakan logika critical cases
karena penolakan warga atas pembangunannya adalah yang paling menonjol dibandingkan
pada kasus lain. Penelitian atas kasus konflik Apartemen Uttara ini diharapkan dapat
membantu dalam menjelaskan berbagai konflik pembangunan apartemen lain di Kabupaten
Sleman. Tulisan ini juga akan mengulas lebih mendalam tentang konflik yang sebenarnya
terjadi. Siapa sajakah aktor yang terlibat beserta kepentingan yang mereka bawa, serta
bagaimana perlawanan komunal yang dilakukan oleh masyarakat Karangwuni dalam
memperjuangkan kepentingan mereka.

Konflik Agraria

Konflik agraria adalah suatu proses interaksi yang melibatkan dua orang aktor (lebih)
atau kelompok yang saling bertentangan guna memperjuangkan kepentingan mereka atas
objek yang sama, yaitu tanah, apa yang ada di dalam tanah itu, maupun udara yang ada di
atas tanah itu1. Perebutan atas sumber daya ini biasanya memakan waktu yang tidak singkat,
penyelesaiiannya pun harus melalui perdebatan yang alot dan tarik menarik kepetingan.
Bahkan tidak jarang konflik yang terjadi jadinya juga melibatkan pemerintah di dalamnya.

Pada dasarnya, sumber konflik agraria adalah adanya ketidakadilan ataupun


ketimpangan dalam pemanfaatan sumber-sumber agraria. Menurut Wiradi Gunawan, di
Indonesia sendiri ada tiga macam ketimpangan yang dapat memicu hal tersebut, salah
satunya adalah ketimpangan dalam hal peruntukan tanah2. Ketimpangan ini berkaitan erat
dengan berubahnya fungsi lahan-lahan yang ada. Yang paling sering memicu konflik adalah
alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian. Untuk kasus yang akan dibahas di dalam

1
Hoult dala Gu awa Wiradi Refor a Agraria: Perjala a ya g Belu Berakhir hal. 85
2
Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Jakarta: Pustaka Pelajar hal. 87
tulisan ini adalah permasalahan alih fungsi lahan di sekitar pemukiman warga menjadi
sebuah apartemen.

Masifnya pembangunan yang terjadi di Kabupaten Sleman sangat terlihat dengan


maraknya pembangunan hotel, kondotel, ataupun apartemen. Hal tersebut berimplikasi
semakin sedikitnya ketersediaan lahan kosong yang ada. Lahan-lahan pertanian semakin
sempit dan harus tumbuh berdesak-desakan dengan bangunan-bangunan kokoh yang ada di
antaranya. Lahan semakin sempit sedangkan pembangunan terus berjalan, mau tidak mau
membuat para investor nekat melakukan pembangunan di tengah-tengah pemukiman warga.

Deskripsi Singkat Apartemen Uttara3

Apartemen Uttara terletak di Jalan Kaliurang Km 5,3 pada awalnya merupakan tanah
pribadi miliki Edhi Suharso, seorang perupa kawakan yang menciptakan patung pancoran.
Apartemen yang memiliki tagline The Icon ini direncanakan akan memiliki 19 lantai
dengan sky pool pada puncak bangunan. Ada dua tipe ruangan yang ditawarkan, yaitu
ruangan menghadap hiruk pikuk kota (city view) dan yang menghadap ke asrinya gunung
merapi (mountain view). Sampai pada akhir bulan Juni 2014, penjualan apartemen sudah
melebihi angka 30% dari total ruang apartemen. Harga paling murah dari sebuah ruangan
apartemen ini adalah Rp 750.000.000,00. Pembangunan apartemen ini dimulai Desember
2014 dan diperkirakan selesai 24 bulan kemudian. Guna menambah kesan mewah, pihak
developer berencana mendirikan cafe sekelas Starbucks di bagian hall utama apartemen.
Jika ditelisik, desain gedung ini dirancang oleh arsitektur kenamaan Singapura. Untuk
masalah ekologi, pihak developer mengklaim bahwa pembangunan dan pengoperasionalan
apartemen ini tidak akan menghabiskan persediaan stok air tanah warga Karangwuni. Pihak
developer mengatakan bahwa air yang mereka gunakan adalah air di mata air pada kedalaman
60 meter, sedangkan pasokan air tanah warga Karangwuni adalah sumber air di kedalaman
10 meter. Dengan demikian, pihak developer mengklaim Apartemen Uttara telah
menyelesaikan isu-isu yang tadinya mengganjal pembangunan seperti masalah perizinian,
IMB, dan isu-isu ekologis. Korporasi Uttara menyimpulkan bahwa akan memperoleh izin

3
Diperoleh berdasarkan hasil wawancara kepada pihak marketing Apartemen Uttara pada Sabtu, 21 Juni
2014.
penggunaan tanah dikarenakan konsep apartemen yang digagas menjunjung nilai budaya,
eco-friendly, dan bernilai estetika.

Apartemen Uttara vs Masyarakat Karangwuni4


Konflik agraria yang terjadi terkait pembangunan Apartemen Uttara terdiri atas dua
pihak, yaitu pihak yang pro terhadap pembangunan dan pihak yang kontra terhadap
pembangunan. Berikut pemetaan kedua aktor tersebut berdasarkan hasil observasi kami di
lapangan:
Aktor Pro Pembangunan Aktor Kontra Pembangunan
PT Bukit Alam Permata Warga RT 01, RW 01, RT 03
Ibu Windu selaku pemilik apartemen Karangwuni
(wakil menteri Pendidikan dan Budaya; BEM KM UGM
dan dosen arsitektur UGM) KAMMI Kamda Sleman
Kepala Dukuh Karangwuni DPRD Komisi A Sleman
Lurah Karangwuni Ketua DPRD Sleman
Bupati Sleman LBH
Polda dan Polres Sleman

Rencana pembangunan apartemen ini nyatanya memicu aksi protes dari masyarakat
yang menolak pembangunan apartemen tersebut. Mengapa masyarakat Karangwuni
melakukan aksi tersebut? Berikut adalah hal-hal yang dipermasalahkan oleh masyarakat
Karangwuni dengan adanya Apartemen Uttara:

Ketersediaan air
Pembangunan apartemen pasti membutuhkan ketersediaan air bagi penghuninya.
Pihak Apartemen Uttara mengatakan bahwa mereka akan menggunakan air yang bersumber
dari mata air pada kedalaman 60 m di bawah bangunan apartemen. Sedangkan, mata air yang
digunakan masyarakat Karangwuni adalah pada kedalaman 10 m. Pihak apartemen

4
Diperoleh berdasarkan hasil wawancara kepada Ibu Indri selaku masyarakat RT 01 Karangwuni dan
koordinator aksi penolakan Apartemen Uttara pada Senin, 16 Juni 2014.
mengatakan bahwa mereka tidak akan menggunakan mata air masyarakat yang berada di
kedalaman 10 m dan hanya menggunakan mata air di kedalaman 60 m.
Di sisi lain, konsep yang digunakan oleh Apartemen Uttara adalah memaksimalkan
lahan. Konsep ini menjelaskan bahwa Apartemen Uttara dibangun semaksimal mungkin ke
atas (19 lantai ke atas) dan dibangun semaksimal mungkin ke bawah (3 lantai ke bawah untuk
basement). Dari konsep ini kita dapat melihat bahwa Apartemen Uttara tidak dapat
memaksimalkan lahannya untuk lahan resapan. Kemudian, bagaimana mungkin mata air
Apartemen Uttara di kedalaman 60 m mendapatkan cukup air jika tidak ada lahan resapan?
Logika air adalah mengalir dari permukaan yang tinggi ke permukaan yang lebih
rendah. Jika kita menggunakan logika ini, maka mata air masyarakat di kedalaman 10 m akan
mengalir ke mata air Apartemen Uttara di kedalaman 60 m. Tentunya hal ini akan
mengurangi ketersediaan air bagi masyarakat Karangwuni. Apalagi letak Apartemen Uttara
sangatlah berdekatan dengan pemukiman warga. Di sekitar lokasi Apartemen Uttara juga
sudah sangat banyak ruko, kos-kost, dll yang menggali air dibawah. Secara konsep geologi,
tidak mungkin bahwa lokasi apartemen yang sangat dekat pemukiman tidak akan
mengganggu persediaan airwarga.
Pembuangan limbah
Pembangunan apartemen dengan hampir 300 kamar ini tentunya akan menghasilkan
berbagai limbah, baik limbah dapur sampai limbah cucian. Padahal, Apartemen Uttara berada
di tengah pemukiman warga Karangwuni. Limbah ini mau tidak mau pasti akan
mempengaruhi lingkungan warga Karangwuni. Dari pihak apartemen pun tidak ada
kepastian mengenai mau dibuang ke mana limbah-limbah tersebut.
Banjir yang semakin parah
Maraknya pembangunan yang dilakukan di sekitar jalan raya ringroad membuat lahan
resapan air semakin berkurang. Hal ini mengakibatkan banjir di pemukiman warga
Karangwuni karena air hujan di jalan raya ringroad pasti akan mengalir ke selatan. Warga
Karangwuni kemudian meninggikan pondasi rumah mereka, sehingga harapannya dapat
terhindar dari banjir. Namun, dengan adanya Apartemen Uttara, masyarakat Karangwuni
menjadi khawatir kembali apabila banjir yang terjadi akan semakin parah. Terlebih lagi,
konsep pembangunan Apartemen Uttara tidak menyediakan lahan resapan air.
Kemacetan
Jalan Kaliurang sekarng sudah sangat padat. Setiap jam berangkat atau pulang kerja,
Jalan Kaliurang tidak lepas dari kemacetan. Hal ini akan diperparah jika Apartemen Uttara
benar-benar dibangun. Dapat dibayangkan akan ada berapa ratus mobil di dalam 3 lantai
basement Apartemen Uttara. Terlebih lagi, Apartemen Uttara dibangun persis di pinggir
Jalan Kaliurang. Tentunya, keberadaan Apartemen Uttara ini akan menambah kemacetan di
Jalan Kaliurang. Tidak dapat dibayangkan semacet apa jalan Kaliurang nanti setelah
pembangunan Apartemen Uttara ini.
Hilangnya norma masyarakat dan muncul budaya hedon
Masyarakat Yogyakarta, khususnya Karangwuni, masih menjaga norma
kekeluargaan dan kegotongroyongan. Namun, dengan dibangunnya Apartemen Uttara, akan
muncul individu-individu lain yang tidak mengenal norma-norma ini. Para penghuni
apartemen biasanya cenderung bersifat individual dan perilakunya pun tidak dapat dikontrol.

Kronologis dan Aksi yang Dilakukan Oleh Masyarakat Karangwuni5

Pada 25 Oktober 2013, PT Bukit Alam Permata melakukan sosialisasi I kepada warga
sekitar warga Karangwuni, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta (tidak spesifik hanya
mengundang warga RT01/RW01 saja) di Balai RW Padukuhan Karangwuni. Namun, warga
yang diundang justru warga yang lokasinya berjauhan dari lokasi Apartemen Uttara.
Undangan menjelaskan bahwa pertemuan akan membahas mengenai sosialisasi
pembangunan rumah kos-kosan eksklusif di bekas rumah Bapak Edhi Sunarso6 (tempat
lokasi rencana pembangunan tersebut), bukan pembangunan sebuah apartemen &
kondotel. Jadi sejak awal memang PT. Bukit Alam Permata tidak bersikap transparan dan
mengaburkan intensi pendirian usaha yang sebenarnya.

Untuk merespon pembangunan apartemen ini, ketua RT01/RW01 mengumpulkan


warga dan mengadakan pertemuan internal di salah satu rumah warga pada 1 November

5
Data diperoleh langsung dari website resmi masyarakat Karangwuni
(www.tolakapartemenuttara.tumblr.com)
6
Pak Edhi Sunarso adalah pemilik tanah yang akan dibangun apartemen Uttara. Ia terpaksa menjual
rumahnya kepada PT. Bukit Alam Permata karena sempat terlilit hutang.
2013. Hasil dari pertemuan tersebut adalah bahwa warga Ring-1 yang terdekat dengan lokasi
rencana pembangunan tidak setuju berdirinya bangunan masif apartemen dan kondotel.
Mereka menganggap bahwa pembangunan tersebut tidak ada segi positif bagi lingkungan
hidup dan lingkungan sosial. Hasil pertemuan ini kemudian dikemukakan saat pertemuan
antara pihak PT Bukit Alam Permata dengan beberapa perwakilan warga pada 5 November
2013.

Warga yang menolak pembangunan apartemen ini mengajukan petisi kepada


pemerintah daerah pada 20 November 2013. Petisi ini tidak hanya dilayangkan pada pihak
kabupaten namun hingga pada provinsi juga. Di tingkat kabupaten petisi dilayangan kepada
Bupati Sleman, Wakil Bupati Sleman, Ketua DPRD Sleman, Kepala Dinas Pengendalian
Pertanahan Daerah Kab Sleman, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kab Sleman, Kepala Dinas
Kimpraswil Kab Sleman, Kepala. Sedangkan, di level provinsi petisi dilayangkan pada
Gubernur DIY, Wakil Gubernur DIY, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Prov DIY, Kepala
Bidang Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum Prov DIY, Kepala Bidang Sumber Daya Air
Dinas Pekerjaan Umum Prov DIY,Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi Informatika Prov
DIY, serta Ketua Ombudsman Yogyakarta.

Salah satu yang menjadi pemicu masalah pembangunan Apartemen Uttara ini adalah
isu lingkungan yang digagas oleh warga. Sehubungan dengan ini, pada 8 Januari 2014, warga
mengajukan surat protes ke Badan Lingkungan Hidup Yogyakarta. Hal ni dilakukan setelah
ada plang AMDAL tanggal 5 Januari 2014. Warga menghawatirkan jika pembangunan
apartemen ini akan mengurangi tanah resapan di daerah tersebut.

Hal lain, yaitu diadakannya audiensi oleh warga RT01/RW01 Karangwuni-Sleman i


dengan Komisi DPRD Sleman pada 16 Januari 2014. Akibat dari aksi ini adalah Komisi A
DPRD Sleman melayangkan rekomendasi kepada Pemkab Sleman untuk menghentikan
sementara proses perizinan Apartemen Uttara. Hal yang ditinjau kembali adalah persoalan
IPT yang telah dikeluarkan, dikarenakan tidak ada perda khusus tentang pembanguna
Apartemen. Warga juga mengajukan surat protes kepada GKR Hemas sebagai tokoh
perempuan Yogyakarta mengenai permasalahan Apartemen Uttara pada 3 Februari 2014.
Pada 2 April 2014, sudah terlihat pembangunan marketing lounge Apartemen Uttara.
Keberanian Apartemen Uttara ini dikecam oleh warga. Kecaman warga disebabkan oleh
tidak adanya surat ijin gangguan yang seharusnya diperoleh pihak apartemen dari RT
setempat. RT setempat juga tidak diberitahu apa-apa perihal masalah ini. Keesokan harinya,
warga Karangwuni, Caturtunggal-Sleman mendatangi kantor bupati Sleman dengan
membawa surat pengantar. Namun, bupati tidak bersedia menemui warga dan warga hanya
disambut oleh staf bupati.

Sehari sebelum Pemilu legislatif, warga Karangwuni diundang datang ke rapat


koordinasi yang difasilitasi oleh lurah Caturtunggal. Inti pertemuan ini adalah masyarakat
diminta untuk tidak melayangkan surat-surat kaleng kepada pejabat instansi sebelum
berkoordinasi dengan pejabat tingkat padukuhan.

Sebenarnya aksi-aksi turun ke lapangan dengan berdemo juga dilakukan oleh warga.
Misalkan seperti aksi demo yang dilakukan hari Selasa (29/4/2014) oleh warga Desa
Karangwuni di depan kompleks pembangunan Apartemen Uttara. Bisa dipetakan jika
sebenarnya ada 5 aktor yang saling terlibat dalam perlawanan terhadap pembangunan, yaitu
masyarakat Karangwuni (Warga RT 01, RW 01, RT 03), mahasiswa yaitu BEM KM UGM,
DPRD (komisi A dan ketua DPRD) dan BLH. Dan jika dilihat model strategi aksi warga
sebenarnya tidak hanya protes langsung berupa demo, namun juga audiensi baik kepada
DPRD, LSM maupun kepada pihak perusahaan terkait, selain itu juga pengiriman petisi ke
lembaga pemerintah daerah berikut dinas-dinas terkait baik di level kabupaten maupun
provinsi.

Kriminalisasi Massa Aksi

Aksi warga menolak pembangunan apartemen berbuntut penangkapan oleh polisi.


Kepolisian Resort (Polres) Sleman, DI Yogyakarta, menetapkan satu tersangka yang berasal
dari warga Karangwuni, Caturtunggal, Depok. Warga Karangwuni tersebut berinisial RAS
(30 tahun). Ia ditetapkan tersangka karena dinilai merusak alat promosi Apartemen Uttara di
Jalan Kaliurang KM 5,5 Depok. Pemeriksaan RAS dilakukan kepolisian setelah 3 hari RAS
beserta massa aksi yang lain melakukan aksi di depan Apartemen Uttara. Polres Sleman
bahkan mengatakan mereka akan memeriksa 4 orang lagi yang statusnya masih menjadi saksi
namun berpotensi untuk ikut menjadi tersangka. Pihak massa aksi mengatakan bahwa
tindakan yang dilakukan RAS beserta rekan-rekannya didasari kekesalan warga terhadap
tidak adanya tindakan Pol PP yang mentertibkan kegiatan pemasaran Apartemen Uttara yang
sama sekali belum mendapatkan izin dari warga sekitar. Atas tindakannya tersebut RAS akan
dikenakan pasal pengenai perusakan dengan tuntutan penjara 5,5 tahun.

Persoalan penahanan massa aksi ini memang bisa saja menjadi persoalan lain, namun hal ini
mengindikasikan semakin tegangnya hubungan antara Management apartemen dan warga
sekitar. Kalaupun dari pihak Apartemen memiliki itikad baik, seharusnya pelaporan ini
tidaklah diperlukan. Apalagi tindakan RAS ini dilakukan karena Apartemen dan Pemda
selalu beralasan bahwa pembangunan Apartemen tidak dapat dihentikan karena pemasaran
telah dilakukan dan telah terjual 30% dan terus bertambah di setiap waktunya. Hal inilah
yang mebuat warga sangat marah dan menjadikan spanduk pemasaran sebagai sasaran.

Respon Pemerintah

Dalam kasus pembangunan Apartemen Uttara, bupati Sleman selaku jajaran eksekutif
bertidak sebagai fasilitator antara PT. Bukit Alam Permata dengan masyarakat Padukuhan
Karangwuni. Pada tanggal 11 Juni 2014, bupati Sleman berusaha menengahi konflik kedua
belah pihak. Bupati mengundang LBH yang mewakili warga atas nama Rita Dharani dalam
acara pembahasan koordinasi aduan warga terhadap pembangunan apartemen.
Dasar hukum dalam mendirikan bangunan sangat banyak dijelaskan di Keputusan
Bupati Sleman No 53/Kep.KDH/A/2003 yang merupakan petunjuk pelaksanaan dari
Peraturan Daerah Kabupaten Sleman No 19 Tahun 2001. Perda dan Perbup telah menyatakan
bahwasanya bupati merupakan sentral pemberian izin terhadap penggunaan tanah di
Kabupaten Sleman. Hal ini sejalan dengan Perda No 19 Tahun 2001 Bab II tentang Izin
Peruntukkan Penggunaan Tanah Pasal 2 yang berbunyi : 7
Setiap orang pribadi dan atau badan yang menggunakan tanah untuk kegiatan
pembangunan fisik dan atau untuk keperluan lain yang berdampak pada struktur ekonomi,

7
Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 19 Tahun 2001 tentang Izin Peruntukan Penggunaan Tanah.
sosial budaya dan lingkungan wajib memperoleh izin peruntukan penggunaan tanah dari
Bupati.
Bukti yuridis lain yang dapat ditemui terkait dengan perizinan yang bupati-sentris
adalah sebagaimana yang tertera di Peraturan Bupati Tahun 2003 Pasal 4 Poin D yang
menyatakan bahwa tanah atau teritori yang telah ditetapkan secara khusus oleh bupati tak
perlu lagi memperoleh izin lokasi. Di sisi lain, DPRD Komisi A, menolak adanya
pembangunan apartemen disebabkan oleh belum adanya Perda yang mengatur tentang
pembangunan apartemen. Sebagai bukti penolakan, DPRD Komisi A telah melayangkan
surat kepada bupati karena telah memberikan Izin Pengguunaan Tanah (IPT).
Izin untuk mendirikan bangunan banyak disebut dalam Peraturan Bupati Tahun 2003
yang merupakan petunjuk pelaksanaan dari Peraturan Daerah No 19 Tahun 2001, namun
tidak secara spesifik menyebutkan apartemen sebagai jenis peruntukkan tanah yang wajib
memiliki izin. Tertera di Pasal 9 Peraturan Bupati Tahun 2003 jika pada Poin A dan D sebagai
berikut :8
a. Permukiman:
1. Perumahan dengan ketentuan = 4 (empat) unit dalam 1 (satu) lokasi,
2. Pondokan dengan ketentuan = 10 (sepuluh) kamar tidur,
3. Rumah sewa dengan ketentuan = 4 (empat) unit dalam 1 (satu) lokasi.
d. Perhotelan dan sejenisnya dengan ketentuan untuk semua keluasan.
Alasan diberikannya izin pembangunan terhadap korporasi Uttara dikarenakan
kecamatan Depok ditetapkan sebagai zona pembangunan ekonomi, sehingga pemerintah
memprioritaskan pembangunan gedung di bidang perdagangan dan jasa. Lebih detail, hal
tersebut tertera dalam pasal 26 E, Peraturan Bupati Tahun 2003, sebagai berikut:9
Wilayah aglomerasi meliputi seluruh wilayah Kecamatan Depok, sebagian wilayah
Kecamatan Gamping, Kecamatan Godean, Kecamatan Mlati, Kecamatan Ngaglik,
Kecamatan Ngemplak, Kecamatan Berbah, Kecamatan Kalasan dan Kecamatan Sleman,
dominasi peruntukan penggunaan tanah untuk:
1. kegiatan pendidikan tinggi,

8
Ibid.
9
Ibid.
2. kegiatan pengembangan jasa wisata,
3. kegiatan perdagangan dan jasa,
4. kegiatan industri kecil,
5. kegiatan pengembangan perumahan dan permukiman, dengan koefisien dasar
bangunan sebesar-besarnya 60 % (enam puluh persen).
Dari pemaparan di atas, sebenarnya dapat disimpulkan bahwasannya dari segi yuridis,
masalah utama terletak pada detail jenis peruntukkan tanah yang wajib memiliki izin, yang
di dalamnya secara jelas tidak menyebutkan apartemen baik dari segi Peraturan Daerah No
19 Tahun 2001 maupun Peraturan Bupati Tahun 2003 yang merupakan petunjuk pelaksanaan
dari perda terkait. Sifat Perda juga cenderung bupati-sentris yang memberikan kewenangan
besar kepada bupati untuk memberikan perizinan penggunaan tanah terutama yang mampu
mendongkrak sektor-sektor sosial, budaya, dan ekonomi.
Dinas Pengendalian Pertanahan Daerah (DPPD) Sleman juga megungkapkan bahwa
PT. Bukit Alam Permata sudah memenuhi aspek legal formal karena mereka telah memenuhi
syarat sesuai Perda 19/001 dan Perbup 11/2007. Menurut DPPD Sleman, Pemkab tidak
memilki alasan untuk menolak izin yang diajukan PT. Bukit Alam Permata. Kepala Kantor
Perizinan Sleman memberikan tanggapan bahwa sebenarnya pembangunan tidak
membutuhkan persetujuan dari warga sekitar, namun yang dibutuhkan adalah adanya
sosialisasi kepada warga.10
Di sisi lain, DPRD Komisi A menolak dengan alasan daerah Karangwuni merupakan
salah satu daerah konservasi. DPRD Komisi A menyarankan adanya daerah kawasan khusus
pembangunan. DPRD juga menanyakan perihal belum adanya izin mengenai aturan tata
ruang. Perda yang menjadi acuan pemberian izin Apartemen Uttara juga dipertanyakan oleh
komisi A karena Perda 11/2007 tidak sesuai dengan izin yang diajukan. Seharusnya ada
Perda baru yang dibuat dan itu setara dengan Perda 12/2012 tentang RT/RW. Seperti yang
terlontar di sebuah artikel di Koran lokal Tribun Jogja tanggal 13 Mei 2014, Sleman belum

10
http://dprd.slemankab.go.id/2014/05/dewan-tunda-revisi-opd/ yang diakses pada tanggal 23 juni 2014.
mempunyai peraturan daerah yang mangatur jelas mengenai pembangunan apartemen, dan
hal ini kemudian memicu konflik yang terjadi antara pihak apartemen dan masyarakat.11

Melalui penjabaran kami di atas, menurut analisis kami, pihak pemerintah dalam
menanggapi konflik antara PT. Bumi Alam Permata dan padukuhan Karangwuni tersebut
tidak berpendapat tunggal. Selain itu, dapat dilihat bahwa ada banyak kepentingan yang
terwakilkan oleh pemerintah, terlihat dari bupati dan DPPD yang pro terhadap pembangunan
dan pihak DPRD komisi A yang menolak pembangunan. Bupati sebenarnya sudah
melakukan agenda koordinasi dalam penyelesaian konflik, dengan bertindak sebagai
fasilitator antara kedua belah pihak. Namun, di satu sisi bupati terlihat lebih mewakili
kepentingan pihak pengusaha. Keberpihakan bupati ini terlihat dari pemberian IPT yang
dijadikan landasan oleh PT. Bumi Alam Permata dalam membangun apartemen.

Pemberian izin IPT seharusnya ditinjau ulang karena belum terdapat alasan yang kuat
mengenai perizinan tersebut. Hal itu diperkuat dengan tidak adanya Perda mengenai
pembangunan apartemen yang digunakan untuk landasan pemberian IPT dan yang digunakan
oleh bupati hanya sebatas Perda 11/2007. Dari berbagai pandangan pemerintah itu terlihat
bahwa di tubuh pemerintah tersebut tidak ada satu suara. Hal ini menjadi salah satu
penghambat penyelesaian yang seharusnya cepat diambil oleh pemerintah. Masyarakat juga
geram dengan lambatnya penyelesian, akibatnya timbullah gerakan yang diinisiasi oleh
masyarakat Karangwuni untuk menolak pembangunan Apartemen Uttara dan mendesak
segera dicabutnya izin IPT.

Bupati Sleman seharusnya sadar dan bertindak cepat, bahwa pembangunan


Apartemen Uttara tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Karena Kabupaten Sleman belum
memiliki Perda mengenai pembangunan Apartemen dan RTRW yang jelas mengenai pusat
pembangunan hunian bagi masyarakat kelas atas. Bupati Sleman beserta jajarannya tidaklah
pantas meloloskan begitu saja izin-izin yang terkait Apartemen Uttara dengan alasan syarat
telah terpenuhi, warga yang protes hanya sedikit, sudah terlanjur dipasarkan, dll. Sebagai
pemilik peran paling strategis di sini, Bupati Sleman harus tegas. Bupati Sleman harus

11
Ibid
mencontoh sikap Walikota Surabaya ketika mendengar kabar pembangunan Pasar Turi tidak
sesuai dengan izin yang dikeluarkan, Walikota langsung turun ke lapangan dan memaksa
pengembang untuk membongkar bangunan sesuai desain awal yang disetujui. Pada kasus
Apartemen Uttara ini, kalaulah memang izin pihak pengembang kepada warga awalnya
adalah kos eksklusif. Maka hal itu harus dipenuhi dan dikembalikan ke awal lagi. Jangan
sampai pihak pengembang melanjutkan pembangunan apartemen tanpa warga sekitar
memberikan persetujuan.

LBH, Aktivis, masyarakat dan pihak-pihak lain yang menentang pembangunan


Apartemen Uttara ini juga harus lebih luas dalam mengawasi dan mengawal pembangunan
apartemen. Misal jika memang terjadi indikasi kuat pemberian izin yang tidak sesuai dengan
syarat, namun dari dinas-dinas terkait tetap memberikanya. Maka hal tersebut dapat dicatat,
dikumpulkan bukti-buktinya untuk kemudian di laporkan dan di blow up ke media. Kita harus
mencurigai adanya permainan dan praktek KKN dalam perizinan Apartemen Uttara ini.
Bagaimana mungkin kita harus percaya birokrat yang berkata bahwa Apartemen tidak
membutuhkan izin dari warga, padahal untuk membangun toko usaha kecil saja harus ada
izin gangguan dari warga sekitar.

Kesimpulan

Masyarakat Karangwuni awalnya menggunakan jalur formal dalam perjuangannya.


Namun, jalur formal dirasa tidak efektif karena tidak ada respon positif dari pemerintah.
Akhirnya, masyarakat Karangwuni memutuskan untuk menggunakan jalur informal, yaitu
demo. Aksi demo ini memang sepertinya belum banyak mengubah pendirian dan sikap dari
Bupati Sleman yang sejak awal sangat pro terhadap pembangunan Apartemen. Namun aksi
demo ini cukup menarik perhatian bagi DPRD Sleman. Hal itu dapat dilihat dari sikap resmi
Komisi A Sleman yang mengajukan Moratorium pembangunan Apartemen. Hal ini berarti
warga Karangwuni sudah menyadari bahwa negara bukanlah aktor tunggal. Sehingga masih
ada celah bagi warga untuk melakukan negosiasi dan lobi terhadap beberapa pejabat daerah
yang pro terhadap aspirasi mereka. Namun, tentu saja pegajuan Moratorium ini tentunya
tetap harus dikawal agar dapat berjalan sebagaima mestinya. Perjuangan penolakan
pembangunan Apartemen ini dengan adanya support dari aktivis mahasiswa, adanya
penahanan massa aksi, sikap DPRD, Pemda, dan Managemen Apartemen, telah membuat
konflik ini telah memasuki babak-babak baru dengan spektrum dan fokus konflik yang lebih
luas. Perjuangan reforma agraria dengan penolakan Apartemen Uttara ini harus terus dijaga
nafas dan geraknya, agar pembangunan dan penggunaan lahan di Sleman tidak dilakukan
sewenang-wenang oleh pemilik modal dan pemerintah daerah.
Daftar Pustaka

Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Jakarta:
Pustaka Pelajar

http://dprd.slemankab.go.id/2014/05/dewan-tunda-revisi-opd/ yang diakses pada tanggal 23


juni 2014.

http://tolakapartemenuttara.tumblr.com (website resmi masyarakat Karangwuni) yang


diakses pada 23 juni 2014

Wawancara kepada Ibu Indri selaku masyarakat RT 01 Karangwuni dan koordinator aksi
penolakan Apartemen Uttara pada Senin, 16 Juni 2014.

Wawancara kepada pihak marketing Apartemen Uttara pada Sabtu, 21 Juni 2014.

http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-tengah-diy-nasional/14/06/17/n7bafo-
demo-tolak-apartemen-warga-karangwuni-jadi-tersangka, yang diakses pada tanggal 23 juni
2014.

http://www.harianjogja.com/baca/2014/05/13/warga-tolak-apartemen-dprd-minta-izin-
apartemen-uttara-ditangguhkan-507489, yang diakses pada tanggal 23 juni 2014.

http://news.detik.com/read/2014/04/29/192430/2569164/1536/ibu-ibu-warga-karangwuni-
sleman-demo-tolak-berdirinya-apartemen, yang diakses pada tanggal 23 juni 2014.

Anda mungkin juga menyukai