Anda di halaman 1dari 6

Dampak limbah batik terhadap kehidupan tidak saja menimbulkan penyakit bagi manusia, tetapi

juga banyak hewan air yang mati. Kita semua tahu, warga Pekalongan yang biasa memanfaatkan
Kali Banger dan Asem Binatur untuk keperluan mandi dan mencuci, mengeluh bahwa air sungai
tersebut tidak dapat digunakan untuk keperluan tersebut. Pasalnya, setiap musim kemarau tiba, air
sungai berbau menyengat tajam. Kali Banger dan Asem Binatur merupakan dua di antara sungai-
sungai di Pekalongan yang biasa digunakan untuk membuang limbah industri batik. Warga di
sekitar Kali Banger mengungkapkan bahwa Kali Banger yang biasanya berair relatif jernih, sejak
awal musim kemarau berubah menjadi hitam seiring dengan debit air yang menyusut tajam. Di
samping warna hitam yang terlihat, baunya juga sangat menyengat. Limbah dari industri batik
banyak yang dibuang ke sungai dan tidak mengalir ke laut akibat tidak ada gelontoran air dari hulu.
Kondisi ini semakin parah di saat tidak ada hujan yang mengguyur karena limbah industri batik
yang ada mengendap.

Selain sungai, pembuangan limbah cair industri batik ada pula yang disalurkan lewat selokan yang
berujung ke saluran sanitasi pemukiman yang lebih besar (prasarana sanitasi pengumpulan limbah
pemukiman). Karena itu, pada gilirannya, limbah cair tersebut akan tercampur dengan limbah cair
rumah tangga dan akan mengumpul di tempat itu. Kekhawatiran bahwa limbah cair akan
merembes ke tanah di sekitar pemukiman dapat merusak air sumur.

Menghadapi problem pencemaran ini, Pemerintah Kota/Kab Pekalongan belum mampu berbuat
banyak. Menurut Abdurrahman Nuh (Anggota DPRD Kabupaten Pekalongan), APBD 2005
Kabupaten Pekalongan untuk sektor lingkungan hidup hanya sebesar 1,6% dari total APBD
Kabupaten Pekalongan sejumlah 456 milyar. Jumlah sekecil itu, lebih banyak dialokasikan untuk
biaya administrasi, gaji pegawai dan kegiatan-kegiatan lain yang tidak berhubungan langsung
dengan penanganan pencemaran limbah batik. Di dalam APBD tersebut, hanya sekitar
500.000.000 saja yang langsung berhubungan dengan penanganan pencemaran limbah batik.
Jumlah tersebut jelas tidak memadai untuk bisa menyelesaikan persoalan limbah batik yang
mayoritas diderita oleh warga di banyak desa di Pekalongan. Untuk membangun satu buah
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) saja dibutuhkan tidak kurang lebih dana sebanyak 1 milyar.
IPAL bersama pernah dibangun Pemda Kodya Pekalongan pada tahun 1996/1997 yang berlokasi
di Kelurahan Jenggot Kecamatan Pekalongan Barat. Namun, IPAL bersama ini tidak lagi berfungsi,
karena sejumlah peralatannya hilang dicuri orang.

Di sisi yang lain, para pengrajin batik baik yang berskala rumah tangga (kecil) maupun yang
berskala menengah dan besar, pada umumnya masih belum/tidak mau melengkapi dengan
instalasi pemprosesan limbah buangan kimia cair tersebut. Alasan yang diajukan oleh industriawan
batik ini adalah karena untuk membangun, mengoperasikan dan memelihara instalasi penanganan
limbah ini diperlukan biaya yang sangat mahal yang tidak akan mungkin dapat dibiayai dan diatasi
oleh perusahaan sendiri. Pernah muncul gagasan pentingnya membangun fasilitas penanganan
limbah yang dapat dimanfaatkan secara bersama-sama (secara kolektif) oleh para industriawan
batik. Tetapi, problemnya adalah, untuk bisa melakukan itu mereka perlu merelokasi usaha
batiknya ke lokasi yang dekat dengan bangunan yang dimaksud. Ternyata para pembatik enggan
untuk memindahkan usahanya, dengan alasan bahwa kepindahan lokasi ini berimplikasi terhadap
pindahnya operasi industri ke lokasi yang jauh dari domisili mereka maupun asal tenaga kerja yang
mereka perlukan.

Lebih ironis lagi, Pemerintah Kota/Kab Pekalongan tidak melakukan kontrol ketat terhadap
keberadaan industri-insdustri di Pekalongan. Data menunjukkan, sebanyak 90% perusahaan
pencucian jeans dan rumah industri batik tradisional di Pekalongan tidak memiliki izin. Limbah yang
dihasilkan rumah industri itu pun tergolong paling mendominasi jika dibanding jenis industri lainnya.
Setiap hari, sebagian dari 50 perusahaan pencucian jeans dan ratusan rumah industri batik di
Pekalongan melakukan pencucian dan membuang limbah ke sungai-sungai, terutama di daerah
kota dan selatan Pekalongan. Akibatnya, aroma tidak sedap dari sungai menyengat dan air yang
mengalir juga berwarna-warni.

Padahal, jika Pekalongan telah mengambil Kota Batik sebagai identitas, maka pemerintah
Pekalongan seharusnya membuat berbagai kebijakan yang menyangkut berbagai dampak industri
batik, baik positif, lebih-lebih negatif. Enak di slogan, tidak enak menangani limbahnya. [Ditulis
kembali oleh MB dan AZ dari berbagai sumber dan obrolan warga Desa Karangjompo, Tirto,
Kabupaten Pekalongan]

Seberapa besar sebenarnya bahaya pencemaran limbah


tekstil bagi kehidupan kita? Kepala Kantor Bappedal
Kabupaten Pekalongan Imam Utoyo SH MM mengatakan,
berdasarkan penelitian di Bappedal, limbah cair yang
tidak diolah dan berkualitas di bawah baku mutu yang
telah ditetapkan akan merusak lingkungan.

Selain itu, juga bisa menimbulkan berbagai penyakit yang


mengancam jiwa. Baku mutu yang harus dipenuhi dari
limbah cair, menurut dia, adalah BOD (bilogical Oxygent
demand) kurang dari (-) 85 mg/liter, COD (Chemical
Oxygen Demand) (-250mg/liter), TSS (Total Solid
Suspend) (-60 mg/liter), Total Phenol (-1 mg/liter), Total
Chrom (-2mg/liter), minyak dan lemak(-5mg/liter), serta
kandungan Ph 6-9.

Meski bahaya pencemaran terhadap limbah begitu jelas


dan sudah mendapatkan reaksi masyarakat, tidak berarti
semua pengusaha mau membuat limbah. Sebab pola
pikir masyarakat tentang pentingnya mengolah limbah
belum terbentuk. Menurut catatan Bappedal, dari sekitar
420 perusahaan tekstil, baik jins, printing, batik maupun
jenis produk tekstil yang seharusnya sudah membuat
instalasi pengolah air limbah (IPAL), ternyata hanya
beberapa gelintir perusahaan besar yang telah punya
IPAL memadai. Sisanya adalah perusahaan home
industry yang belum punya IPAL sendiri.

Jika tiap satu home industry saja bisa menghasilkan


limbah cair hingga puluhan m3, tiap hari Kota Santri bisa
menghasilkan limbah cair ribuan m3. Meski pembuatan
IPAL adalah tanggung jawab pengusaha, Imam mengakui
tak mudah bagi para pengusaha untuk bisa membuat
IPAL. Sebab pembuatan IPAL mebutuhkan biaya tidak
sedikit. Untuk tiap m3 pembangunan instalasi
membutuhkan biaya Rp 1-3 juta. Untuk biaya operasional
pengolahan dibutuhkan Rp 90-100 ribu/m3. Biaya
tersebut belum termasuk pemeliharaan IPAL.

Mahalnya pembuatan IPAL memang sering dikeluhkan


dan menjadi alasan pengusaha untuk tidak mengolah
limbah. Dalam dialog antara pengusaha dan Pemkab di
Aula Kecamatan Buaran belum lama ini terekam,
mahalnya IPAL memang menjadi kendala besar dalam
pengolahan limbah.

Wakil Bupati Dra Hj Siti Qomariyah MA mengatakan, tidak


sedikit pengusaha yang mengaku keberatan dan memilih
menutup usahanya jika diwajibkan membuat IPAL.

IPAL Terpadu

Untuk mengatasi pencemaran akibat limbah tekstil dan


batik yang selama ini terjadi, Pemkab berencana
membangun IPAL terpadu yang diperkirakan menelan
biaya Rp 4 M.

Pembangunan IPAL di tanah seluas 5000 m2 yang dapat


mengolah limbah hingga 1500 m3/hari itu akan
bertempat di Kecamatan Buaran yang merupakan
sentra home industry batik atau printing akan dimulai
tahun depan.

Pembangunan IPAL terpadu untuk meringankan beban


biaya bagi para pengusaha memang bukanlah yang
pertama dilakukan Pemkab. Sebelumnya, telah dibangun
IPAL di Pakis Putih Kedungwuni untuk mengatasi
pencemaran limbah pencucian jins.

Namun IPAL yang dibangun sekitar 1997 dengan biaya


bantuan dari APBD I Jateng itu tidak digunakan secara
optimal. Padahal Bupati Drs Amat Antono pada 19 Juni
2001 telah menyerahkan kepada paguyuban pengusaha
jins Kabupaten Pekalongan untuk mengelola limbah itu.
Namun hingga saat ini IPAL yang diharapkan bisa
mengurangi limbah jins di Kedungwuni dan sekitarnya
tetap saja mangkrak. (58s)

Tidak sama halnya dengan industry tekstil yang ada di Desa Babalan kidul Industri ini
merupakan salah satu penopang perekonomian daerah tersebut. membantu
meningkatkan perekonomian masyarakat setempat. Namun akibat adanya proses
produksi, industri akan menghasilkan keluaran produk yang berupa limbah. Limbah
apapun seharusnya tidak menjadi masalah jika dikelola dengan baik. Karena tidak
dikelola maka limbah tersebut cepat atau lambat tentu akan menimbulkan masalah
lingkungan. Limbah yang dihasilkan dari proses pewarnaan jeans ini berbentuk padat,
cair dan gas. Limbah cair berupa cairan pekat hasil pewarnaan, pembilasan, dan
pengeringan dari jeans . Sementara ini limbah cair ditampung dalam bak tampung
dengan kapasitas rata-rata hanya muat untuk satu hari produksi dan tidak ada
pengolahan dalam bak-bak tersebut. Jika air limbah sudah melebihi kapasitas bak
tampung maka air limbah ini akan meluber dan dialirkan ke tanah pekarangan di sekitar
tempat usaha untuk diresapkan atau dialirkan ke got atau saluran air sekitar rumah.
Masyarakat Desa Babalan Kidul menyadari bahwa limbah pewarnaan jeans
menimbulkan permasalahan lingkungan apabila limbah tidak dikelola seperti
munculnya bau, lingkungan yang menjadi kotor, bahkan jika dibiarkan limbah bisa
masuk ke sumur warga yang ada di sekitar industri. Warga sebenarnya tidak
mempermasalahkan keberadaan industri pewarnaan jeans asal ada pengelolaan
terhadap limbah industri pewarnaan jeans tersebut.
Di Laporan Kegiatan Industri tersebut oleh masyarakat desa, karena masyarakat merasa
limbah industri pewarnaan jeans yang telah mencemari air sumur milik warga di sekitar
lokasi industri dan mencemari sawah milik warga. Warga desa tidak dapat mengunakan
secara langsung sumur yang mereka pakai untuk keperluan sehari-hari baik untuk
makan, minum, dan MCK karena air sumur telah berwarna. Warga merasa sebelum ada
industri warna air sumur mereka jernih, sesudah industri mulai beroperasi beberapa
lama air sumur warga yang mulai berwarna.

Menurut Undang-Undang Republik UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) mengatakan bahwa bahan berbahaya
dan beracun beserta limbahnya perlu dilindungi dan dikelola dengan baik. Wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia harus bebas dari buangan limbah bahan berbahaya
dan beracun dari luar wilayah Indonesia. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air menyatakan bahwa sungai merupakan salah satu bentuk alur air permukaan
yang harus dikelola secara menyeluruh, terpadu berwawasan lingkungan hidup
dengan mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian sungai harus dilindungi dan dijaga
kelestariannya, ditingkatkan fungsi dan kemanfaatannya, dan dikendalikan dampak
negatif terhadap lingkungannya.

Limbah industri batik di Kota Pekalongan terdiri dari limbah cair dan
padat. (KLH Kota Pekalongan, 2010) Limbah cair tersebut antara lain berasal dari
zat warna cair yang digunakan untuk membatik. Sedangkan limbah padat berasal
dari potongan kain dan bahan baku pembuatan batik yang lain. Kurangnya
perhatian masyarakat dan para pengusaha batik dalam pengelolaan limbah, pada
akhirnya menyebabkan lingkungan sekitar, terutama sungai menjadi tercemar.
Berdasarkan penelitian kondisi air Sungai Pekalongan oleh Badan Lingkungan Hidup
(BLH) Kota Pekalongan pada Tabel 1.5, kondisi air sungai per 9 april 2012 di Sungai
Pekalongan kadar BOD yang standarnya adalah 2 Mg/l tetapi di lapangan mencapai
5 Mg/l (pada kelas 1 dan Pk1) dan COD yang standarnya adalah 10 Mg/l tetapi di
lapangan mencapai 58,43 Mg/l (pada kelas 1 dan Pk1). Ini sudah melewati ambang batas
yang seharusnya sehingga dapat digolongkan pencemaran yang terjadi di Sungai
Pekalongan tergolong cukup tinggi.

Pencemaran yang terjadi di Sungai Pekalongan tergolong cukup tinggi


karena perkembangan industri dan perdagangan di Kota Pekalongan. Walaupun sudah
dibuat IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) ternyata belum mampu mengatasi
tingkat pencemaran pada Sungai Pekalongan. Terbukti bahwa BOD, COD, DO yang
terkandung di Sungai Pekalongan berada di atas ambang mutu batas baku yang telah
ditentukan oleh KLH Kota Pekalongan. Pengamatan di lapangan dapat dilihat bahwa
secara fisik air telah terjadi perubahan warna dan berbau. Warna air yang dulunya
jernih telah berubah menjadi kecoklatan, kemerahan, kehitaman bahkan berwarna
hitam pekat. Hal ini mengindikasikan terjadinya pencemaran Sungai Pekalongan
akibat limbah cair dari kegiatan industri yang larut dalam air. Timbulnya bau pada air
lingkungan dapat pula dipakai sebagai salah satu tanda terjadinya pencemaran air.
Bau yang keluar dari dalam air dapat langsung berasal dari buangan air limbah
produksi batik dan dapat pula berasal dari buangan aktivitas masyarakat di sekitar sungai.

Anda mungkin juga menyukai