Anda di halaman 1dari 57

Bagian Farmakologi Klinik Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

CHF FC II-III + HT Stage II + CKD Stage V

Oleh:

Dorothy Karya Yogi


Dewi Puspita Ayu

Pembimbing:

dr. Andi Irwan Irawan Asfar, Sp.FK

Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada


Lab/SMF Farmakologi Klinik RSUD A. Wahab Sjahranie
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
SAMARINDA
2012
BAB I
LAPORAN KASUS

Presentasi Kasus
Farmakologi Klinik Tanggal: 06 April
2012
RSUD AWS FK Unmul

I. Identitas Pasien : Tanggal pemeriksaan : 06 April 2012


Nama : Ny. S P/L Dokter yg memeriksa : dr. jaga IRD
Usia : 58 tahun
Agama : Islam
Status : Menikah
Alamat : Jl. Ulin Rt.26
Pekerjaan : Pegawai Swasta
No RM : 475315

II. Anamnesis (Subjektif)

Keluhan Utama :

Sesak Napas

Riwayat Penyakit Sekarang :

Sesak napas dirasakan sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien

sebelumnya sudah sering mengalami sesak napas. Sesak napas ini muncul

sewaktu-waktu dan hanya di pengaruhi oleh aktivitas ringan. Pasien mengaku ia

selalu menggunakan bantal 4 tumpuk untuk mengatasi sesak sewaktu tidur.

Selain sesak, pasien juga mengalami bengkak pada tubuhnya sejak 1

minggu sebelum masuk rumah sakit. Bengkak diawali pada kaki, tangan, perut

dan merasa bagian payudara pun ikut bengkak sejak 4 hari yang lalu. Pasien juga

mengalami nyeri dada kiri yang menjalar sampai ke punggung. Nyeri dada ini

muncul sewaktu-waktu, tidak setiap saat.

Riwayat Penyakit Dahulu :


1. Riwayat penyakit jantung : riwayat masuk rumah sakit dan dirawat di

rumah sakit sebanyak 5 kali dengan keluhan yang serupa dan didiagnosa

oleh dokter spesialis menderita penyakit jantung.


2. Riwayat penyakit ginjal : sudah menjalani hemodialisa sebanyak 3 kali

dan transfuse 2 kantong.


3. Riwayat hipertensi : terdapat riwayat hipertensi.
4. Riwayat diabetes mellitus : tidak terdapat.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Pada keluarga pasien, tidak terdapat keluhan serupa dengan pasien.

III. Pemeriksaan Fisik (Objektif)


Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Vital sign : TD : 200/110 mmHg RR: 28 x/menit
N : 90x kuat angkat regular T: 360C
Kepala dan leher : Anemis (+/+), Ikterik (-), sianosis (-), dispneu (-)
Thoraks : Pulmo: ronkhi +/+, wheezing -/-
+/+ -/-
+/+ -/-
Cor : S1 S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: Cembung, asites (+), bising usus (+) kesan normal, nyeri tekan

epigastrium (-)
Ekstremitas : Akral hangat, edema +/+ , sianosis -/-
+/+ +/+
IV. Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium (03 - 04 - 2012)


Pemeriksaan yang Hasil yang didapat Nilai normal
dilakukan
Pemeriksaan Darah
HB 8.2 g/dl 11.0-16.0 g/dl
Leukosit 5.0 x 103 uL 4.0-10.0 x 103 uL
RBC 3.02 x 106 uL 3.50-5.50 x 106 uL
Hct 25% 37.0-54.0 %
GDS 113 mg/dl 60-150 mg/dl
Ureum 116.1 mg/dl 10-40 mg/dl
Creatinin 3.6 mg/dl 0.5-1.5 mg/dl
Na 135 mmol/L 135-155 mmol/L
K 4.8 mmol/L 3.6-5.5 mmol/L
Cl 110 mmol/L 95-108 mmol/L
Pemeriksaan Urin
Berat Jenis 1.020 1.003-1.30
Hemoglobin/darah + -
Warna Kuning
Kejernihan Keruh Jernih
pH 5.0 4.8-7.8
Protein +2 -
Leukosit Banyak <10/lpb
Eritrosit 2-3/lpb 0-1/lpb
Bakteri +3 -

2. Laboratorium (04 - 04 -2012)


Pemeriksaan yang Hasil yang didapat Nilai normal
dilakukan
Pemeriksaan Darah
GDS 76 mg/dl 60-150 mg/dl
SGOT 33 UI P<25/W<31
SGPT 10 UI P<41/W<32
Ureum 134.7 mg/dl 10-40 mg/dl
Creatinin 7.3 mg/dl 0.5-1.5 mg/dl
Bilirubin total 0.3 mg/dl 0-1.0 mg/dl
Bilirubin indirect 0.2 mg/dl 0-0.75 mg/dl
Bilirubin direct 0.1 mg/dl 0-0.25 mg/dl
Kolesterol 176 mg/dl 150-220 mg/dl

3. Pemeriksaan EKG
- 14 Agustus 2011
V. Diagnosis (Assesment)
CHF FC II-III + HT Stage II + CKD Stage V

VI. Terapi ( yang diberikan )


1. IVFD RL 12 tpm
2. Nifedipin 10 mg SL saat di IGD
3. O2 4L/Menit
4. Co.Sp.JP dan Sp. PD
VII. Terapi ( Plan )
1. Nifedipin
2. Amlodipin
3. Captopril
4. Furosemid
5. Spirolonakton
6. Bisoprolol
7. CaCO3
8. Allupurinol
9. Asam folat

VIII. Perawatan di ruangan (Seruni)

Tanggal Subjektif & Objektif Assesment & Planning


04 April 2012 S: Sesak (+), nyeri dada (+), A: CHF FC II-III + HT Stage
bengkak pada tangan dan II + CKD Stage V
kaki, nyeri ulu hati, BAK P: - IVFD NaCl 12 tpm
(+) sedikit sakit - Amlodipin 1x10 mg tab
O: KU: Sedang; CM; TD - Captopril 3x25 mg tab
160/100 mmHg; N 80 x/i; - Furosemid 3x1 inj
- Spirola 1x100 mg tab
RR 36x/i.
- Bisoprolol 1x2.5 mg tab
Ronki -/- Wheezing -/-
- CaCO3 3x1 tab
-/-
- Allopurinol 1x100 mg
-/-
tab
Edema Tungkai +/+ , Asites - Asam folat 3x1 tab
(+) - Diet rendah garam
protein
- Cek Ur, Cr
05 April 2012 S: Sesak (+), nyeri dada (-), A: CHF FC II-III + HT Stage
bengkak pada tangan dan II + CKD Stage V
kaki P: - venplon
O: KU: Sedang; CM; TD - Amlodipin 1x10 mg tab
170/100 mmHg; N 80 x/i; - Captopril 2x50 mg tab
- Furosemid 3x1 inj
RR 34 x/i; Ronki -/-
- Spirola 1x100 mg tab
Wheezing -/- - Bisoprolol 1x2.5 mg tab
-/- - CaCO3 3x1 tab
-/- - Allopurinol 1x100 mg
tab
- Asam folat 3x1 tab
- Diet rendah garam
protein
- Cek Ur, Cr

IX. Masalah yang akan dibahas


1. Penggunaan obat-obatan pada kasus ini berdasarkan diagnosis
2. Rasionalisasi pengobatan pada kasus ini
3. Interaksi dan efek samping obat-obat yang digunakan
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Gagal Jantung Kronik (CHF = Chronic Heart Failure)


Definisi
Gagal jantung adalah keadaan dimana darah yang dipompakan dari
jantung tidak mencukupi kebutuhan tubuh. Secara singkat, gagal jantung
merupakan gangguan kemampuan jantung untuk memompakan darah dari vena
menuju arteri. Gagal jantung juga dapat dikatakan sebagai gangguan proses
biokimia dan biofisika jantung yang mengakibatkan rusaknya kontraktibilitas dan
relaksasi miokard. Hal ini mengakibatkan percepatan kematian sel otot jantung
sehingga meyebabkan kecacatan dan kematian dini8.
Gagal jantung juga dapat didefinisikan sebagai sindroma klinis penyakit
jantung berupa pengurangan curah jantung, peningkatan tekanan vena dan disertai
oleh ketidaknormalan molekuler yang meyebabkan perburukan progresif dan
kegagalan kerja jantung dan kematian dini sel miokard8.

Etiologi dan Patofisiologi


Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering dari segala jenis
penyakit jantung kongestif maupun didapat. Mekanisme fisiologis yang
menyebabkan gagal jantung mencakup keadaan-keadaan yang meningkatkan
beban awal, beban akhir atau menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-
keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi aorta dan cacat
septum ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi
stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun
pada imfark miokardium dan kardiomiopati8.
Faktor-faktor yang dapat memicu perkembangan gagal jantung melalui
penekanana sirkulasi yang mendadak dapat berupa: aritmia, infeksi sistemik dan
infeksi paru-paru dan emboli paru-paru. Penanganan yang efektif terhadap gagal
jantung membutuhkan pengenalan dan penanganan tidak saja terhadap mekanisme
fisiologis dan penyakit yang mendasarinya, tetapi juga terhadap faktor-faktor yang
memicu terjadinya gagal jantung8.
Karena morbiditas, mortalitas dan biaya pelayanan kesehatan yang tinggi,
maka faktor resiko yang menyebabkan gagal jantung perlu diidetifikasi dan
ditangani sedini mungkin. Penyakit yang menyebabkan gagal jantung adalah
penyakit jantung koroner, hipertensi, gangguan katup jantung, dan kardiomiopati8.
Evaluation of the Cause of Heart Failure: The History

History to include inquiry regarding:


Hypertension
Diabetes
Dyslipidemia
Valvular heart disease
Coronary or peripheral vascular disease
Myopathy
Rheumatic fever
Mediastinal irradiation
History or symptoms of sleep-disordered breathing
Exposure to cardiotoxic agents
Current and past alcohol consumption
Smoking
Collagen vascular disease
Exposure to sexually transmitted diseases
Thyroid disorder
Pheochromocytoma
Obesity
Family history to include inquiry regarding:
Predisposition to atherosclerotic disease (Hx of MIs, strokes, PAD)
Sudden cardiac death
Myopathy
Conduction system disease (need for pacemaker)
Tachyarrhythmias
Cardiomyopathy (unexplained HF)
Skeletal myopathies
HF indicates heart failure; Hx, history; MI, myocardial infarction; and PAD, peripheral arterial disease

Klasifikasi

Gagal jantung diklasifikasikan berdasarkan jenis dan tingkat kelainan


untuk mencapai tujuan terapi. Pengklasifikasian juga diperlukan untuk membantu
memantau respon pengobatan. Berbagai klasifikasi gagal jantung ditentukan
berdasarkan patofisiologi, gejala, dan kapasitas aktivitas8.
1. Forward and Backward Heart Failure (Gagal jantung efek ke depan dan ke
belakang)
Klasifikasi ini digunakan untuk memahami perubahan hemodinamik yang
muncul segera setelah suatu patofisiologi yang spesifik.
a) Forward heart failure (Gagal jantung efek ke depan)
Gagal jantung jenis ini terjadi akibat pengosongan penampungan vena
yang tidak mencukupi. Penyebab umum dari gagal jantung kiri dengan
efek forward adalah:
- Stenosis aorta (hambatan pengosongan akibat obstruksi mekanis)
- Miokarditis (menyebabkan fase sistolik yang memendek akibat
kerusakan otot jantung)
- Infark miokard luas
b) Backward heart failure (Gagal jantung efek ke belakang)
Gagal jantung jenis ini terjadi akibat pengurangan pengosongan darah
menuju arteri paru dan aorta. Peyebab dari gagal jantung dengan efek
backward adalah:
- Stenosis mitral (mengakibatkan penurunan aliran balik vena
menuju ventrikel kiri)
- Kardiomiopati hipertropik (mengakibatkan penurunan pengisiian
saat diastolic
2. Gagal Jantung Sistolik, Gagal Jantung Diastolik
Klasifikasi ini lebih mudah dipahami dibandingkan dengan klasifikasi
sebelumnya, yaitu:
a) Gagal jantung sistolik
Gagal jantung sistolik terjadi akibat terganggunya kemampuan jantung
untuk mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Hal ini disebabkan oleh adanya
penekanan kontraktilitas miokard. Gagal jantung sistolik akut terlihat pada
miokarditis akibat virus, keracunan alkohol, dan anemia, sedangkan gagal
jantung sistolik kronis dapat terjadi setelah kardiomiopati atau infark
miokard.
b) Gagal jantung diastolik
Gagal jantung diastolik terjadi akibat dari pengisian jantung yang
terganggu. Hal ini biasa tampak pada wanita lanjut usia. Empat
mekanisme patologi yang dihasilkan pada gagal jantung jenis ini telah
diketahui.
- Penyakit struktural
- Kerusakan katup jantung
- Abnormalitas anatomi seperti hipertropi konsentrik
- Efusi pericardial
- Abnormalitas fisiologis
- Peningkatan volume sistolik akhir
- Pengurangan waktu pengisian sebagaimana tampak pada takikardia
- Abnormalitas non-miosit
- Peningkatan jaringan ikat
- Perikarditis konstriktif
- Abnormalitas miosit
3. Gagal Jantung Kiri dan Kanan
Klasifikasi ini terutama bermanfaat pada pasien dengan penyakit jantung
valvular dan kongenital:
a) Gagal jantung kiri
Gagal jantung kiri lebih banyak terjadi pada praktek klinik. Gagal jantung
kiri biasa terjadi pada pasien dengan kardiomiopati dilatasi. Hal ini terjadi
akibat akumulasi darah sebelum darah sebelum masuk ventrikel kiri. Yang
mengakibatkan peningkatan tekanan atrium kiri dan vena paru sehingga
terjadi akumulasi cairan diparu. Pasien dengan gagal jantung kiri ini sering
mengalami kesulitan bernapas.
b) Gagal jantung kanan
Gagal jantung kanan lebih jarang terjadi dan hanya terjadi pada pasien
dengan penyakit jantung bawaan dan kor pulmonal. Gagal jantung kanan
terjadi akibat akumulasi darah sebelum masuk ke ventrikel kanan. Hal ini
menyebabkan peningkatan tekanan atrium kanan dari vena sistemik
sehingga terjadi akumulasi cairan pada jaringan lunak tubuh. Pasien
dengan gagal jantung kanan sering mengalami edema.
4. Low-Output Heart Failure, High-Output Heart Failure
Klasifikasi ini berdasarkan pada volume hemodinamik dan curah jantung.
Perbedaan antara gagal jantung curah rendah dan tinggi dapat dilihat dari
karakteristik detak jantung atau dengan kata lain detak jantung yang ringan
menandakan curah rendah dan detak jantung yang tidak beraturan
menandakan gagal jantung curah tinggi. Sebagian besar gagal jantung adalah
gagal jantung curah rendah. Gagal jantung curah tinggi jarang terjadi dan jika
terjadi berhubungan dengan:
- Defisiensi nutrisi seperti beri-beri atau anemia
- Hipertiroidisme
- Tumor vaskular yang besar
5. Klasifikasi Kapasitas Fungsional dan Penilaian Objektif
a. Klasifikasi gagal jantung menurut New York Heart Association (NYHA)
Klasifikasi gagal jantung menurut NYHA
Kelas I: Asimtomatik
Tidak ada pembatasan aktifitas fisik akibat penyakit jantung kelas ini, hanya dapat
diduga jika terdapat riwayat penyakit jantung yang dipastikan melalui pemeriksaan
misalnya kardiomegali.
Kelas II: Ringan
Terdapat sedikit pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas yang lebih berat menyebabkan
nafas tersengal, misalnya berjalan menaiki tangga. Pasien pada kelas ini dapat
menjalani gaya hidup dan pekerjaan yang hampir mirip dengan keadaan normal.
Kelas III: Sedang
Terdapat pembatasan aktivitas yang lebih jelas sehingga dapat mengganggu
pekerjaan.
Kelas IV: Berat
Tidak mampu menjalani aktivitas fisik tanpa disertai gejala. Pasien kesulitan bernapas
pada saat beristirahat dan kebanyakan jarang keluar rumah.
b. Klasifikasi gagal jantung menurut American Heart Association/American
Collage of Cardiology (AHA/ACC)
Klasifikasi ini menekankan pada evolusi dan perkembangan gagal jantung
kronik.
Klasifikasi Gagal Jantung
A Pasien mempunyai resiko tinggi mengalami gagal jantung karena
menderita penyakit yang merupakan penyebab terjadinya gagal jantung.
Pasien seperti ini tidak mempunyai abnormalitas struktur jantung maupun
fungsi perikardia, miokard, atau katup jantung dan tidak pernah
memperlihatkan gejala gagal jantung.
Pasien dengan penyakit jantung dengan abnormalitas struktur yang
B merupakan penyebab terjadinya gagal jantung namun tidak pernah
menunjukkan gejala gagal jantung.
Pasien yang pernah atau sedang mengalami gejala gagal jantung akibat
C adanya abnormalitas struktur jantung.
Pasien dengan abnormalitas struktur jantung yang parah dan menunjukkan
D gejala gagal jantung pada saat beristirahat meskipun diberikan terapi
medik secara maksimal sehingga memerlukan penanganan yang khusus.

Gejala
Sindroma klinis gagal jantung merupakan efek terakhir dari berbagai
penyakit jantung. Pasien yang sudah mengalami gagal jantung biasanya akan
mengalami satu atau lebih gejala-gejala berikut8:
Nyeri. Jika otot tidak mendapatkan cukup darah (suatu keadaan yang
disebut iskemi), maka oksigen yang tidak memadai dan hasil
metabolisme yang berlebihan menyebabkan kram atau kejang. Angina
merupakan perasaan sesak di dada atau perasaan dada diremas-remas,
yang timbul jika otot jantung tidak mendapatkan darah yang cukup.
Jenis dan beratnya nyeri atau ketidaknyamanan ini bervariasi pada
setiap orang. Beberapa orang myang mengalami kekurangan aliran
darah bisa tidak merasakan nyeri sama sekali (suatu keadaan yang
disebut silent ischemia).
Dispnea: Sulit bernafas (sesak nafas) merupakan gejala utama dari
gagal jantung. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan kerja jantung
untuk membuat paru-paru terbendung berventilasi.
Dispnea nocturnal paroksismal (sesak nafas malam hari): Episode sulit
bernafas (sesak nafas) yang terjadi pada saat tidur sehingga
menyebabkan pasien terbangun secara tiba-tiba.
Orthopnea: Merupakan gejala sulit bernafas yang memburuk pada saat
pasien berbaring. Hal ini terjadi karena tingginya elevasi posisi kaki
akan meningkatkan aliran darah vena kembali ke kanan.
Kelelahan atau kepenatan. Hal ini terjadi karena penurunan curah
jantung dalam waktu lama. Jika jantung tidak efektif memompa, maka
aliran darah ke otot selama melakukan aktivitas akan berkurang,
menyebabkan penderita merasa lemah dan lelah. Gejala ini seringkali
bersifat ringan. Untuk mengatasinya, penderita biasanya mengurangi
aktivitasnya secara bertahap atau mengira gejala ini sebagai bagian
dari penuaan.
Palpitasi (jantung berdebar-debar)
Pusing & pingsan. Penurunan aliran darah karena denyut atau irama
jantung yang abnormal atau karena kemampuan memompa yang
buruk, bisa menyebabkan pusing dan pingsan.
Edema tungkai : Hal ini terjadi karena adanya akumulasi cairan pada
kaki akibat gaya berat gravitasi.

Penegakkan Diagnosis

a. Anamnesis
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik: pada kondisi gagal jantung yang tidak berat, hasil
pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat merupakan gejala yang tidak khas karena
dapat pula merupakan gejala penyakit lain selain gagal jantung, sehingga perlu
dilakukan pemeriksaan yang lengkap jika pasien datang dengan keluhan gejala
gagal jantung. Tanda-tanda fisik berikut ini dapat terjadi pada pasien gagal
jantung:
- Takikardia: tanda ini bukan merupakan gejala yang khs bagi gagal jantung.
- Detak nadi: detak nadi yang lambat terjadi pada gagal jantung dengan
curah jantung rendah dan detak nadi yang tidak beraturan terjadi pada
gagal jantung dengan curah jantung tinggi.
- Peningkatan tekanan vena jugularis: gejala ini merupakan gejala yang
sangat khas pada gagal jantung karena jika tekanan vena jugularis normal
maka bisa dipastikan penyakit yang muncul bukan penyakit gagal jantung.
Namun hal ini tidak berlaku bagi pasien yang sedang mengkonsumsi
diuretik
Diagnosis gagal jantung berdasarkan criteria Framingham harus
mendapatkan/ menemukan minimal dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor
dengan dua kriteria minor.
Mayor Minor
Paroxysmal nocturnal dispnea Edema ektremitas
Distensi vena-vena leher Batuk malam
Peningkatan vena jugularis Sesak pada aktivitas
Ronki Hepatomegali
Kardiomegali Efusi pleura
Edema paru akut Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal
Gallop bunyi jantung III Takikardia (>120 denyut per menit)
Refluks hepatojugular positif
Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari
terapi

c. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan laboratorium rutin
Pasien dengan gagal jantung onset baru dan yang sudah kronis dan juga
dekompensasi akut harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap, elektrolit,
ureum, kreatinin, fungsi hati, dan juga urinalisis. Pada beberapa pasien
juga harus dilakukan pemeriksaan penyaring diabetes mellitus (kadar gula
darah puasa dan 2 jam PP), dislipidemia (profil lipid), dan kelainan tiroid
(kadar TSH).
- Elektrokardiogram (EKG)
EKG rutin 12 lead direkomendasikan untuk semua pasien gagal jantung.
Adapun peranan EKG disini adalh untuk menilai irama jantung, melihat
adanya hipertrofi ventrikel kiri, melihat riwayat infark miokard
sebelumnya (ada atau tidaknya gelombang Q patologis), dan juga menilai
lebar QRS sebagai kandidat terapi resinkronisasi. EKG yang normal pada
umumnya mengeksklusikan disfungsi sistolik.
- Foto Thoraks
Foto thoraks memberi informasi tentang bentuk dan ukuran jantung,
gambaran vaskularisasi pulmonal, dan juga dapat mengidentifikasi
penyebab non-kardial dari gejala-gejala pasien. Meskipun pasien dengan
gagal jantung akut mempunyai bukti adanya hipertensi pulmonal, edema
interstisial, dan/atau edema pulmonal, mayoritas pasien dengan gagal
jantung kronis tidak. Tidak adanya temuan- temuan ini pada pasien dengan
gagal jantung kronis menggambarkan peningkatan kapasitas drainage dari
sistem limfatik untuk membuang cairan interstisail dan pulmonal.
- Echocardiogram
Pencitraan jantung noninvasif adalah penting untuk diagnosis, evaluasi,
dan penatalaksanaan dari gagal jantung. Test yang paling berguna adalah
echocardiogram 2-D/Doppler, yang dapat memberi gambaran
semikuantitatif dari ukuran dan fungsi ventrikel kiri begitu juga ada
tidaknya abnormalitas katup dan/atau gerakan dinding regional (indikatif
untuk MI sebelumnya). Indeks penting untuk menilai fungsi dari ventrikel
kiri adalah ejection fraction (perbandingan stroke volume terhadap end-
diastolic volume). Oleh karena EF mudah untuk dinilai dengan
menggunakan test noninvasive, hal ini telah diterima luas di kalangan
klinisi. Namun EF juga memiliki beberapa keterbatasan sebagai ukuran
kontraktilitas, karena juga dipengaruhi oleh perubahan pada afterload
dan/atau preload. Sebagai contoh, LVEF akan meningkat pada regurgitasi
mitral oleh karena ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang tekanan nya
rendah. Meskipun demikian, dengan pengecualian kasus di atas, ketika EF
normal (50%), fungsi sistolik biasanya adekuat, dan jika EF menurun
(<30-40%), kontraktilitas biasanya juga menurun.
- Biomarker
Kadar natriuretic peptides di sirkulasi berguna sebagai pemeriksaan
tambahnn untuk mendiagnosis pasien dengan gagal jantung. Baik B-type
natriuretic peptide (BNP) dan N-terminal pro-BNP, yang dilepas pada saat
kegagalan jantung terjadi, adalah marker yang sensitif adanya gagal
jantung dengan EF yang menurun; marker ini juga meningkat pada pasien
dengan EF yang normal, meskipun kadarnya lebih rendah.

Tatalaksana
Menurut Mansjoer (2001) prinsip penatalaksanaan Congestive Heart Failure
adalah9:
- Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian Oksigen dan
menurunkan konsumsi O2 melalui istirahat/pembatasan aktivitas.
- Memperbaiki kontraktilitas otot jantung 1) Mengatasi keadaan
reversibel termasuk tirotoksikosis, miksedema dan aritmia. 2) Digitalisasi,
digoksin, condilamid.
- Menurunkan beban jantung
a. Menurunkan beban awal dengan:
1. Diit rendah garam
2. Furosemid ditambah kalium
3. Vasodilator: menghambat Angiotensin-converting
enzyme (ACE), Isosorbid dinitrat (ISDN), nitrogliserin, nitroprusid.
Menurunkan beban akhir dengan dilator arteriol

2.2 Hipertensi
Definisi
Hipertensi adalah keadaan dimana tekanan darah sistolik 140 mmHg atau
lebih atau tekanan darah diastolik 90 mmHg atau lebih.3
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu:
Hipertensi essensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui
penyebabnya, atau disebut juga hipertensi idiopatik. Faktor-faktor yang
mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan
saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi Na,
peningkatan Na dan Ca intraseluler, dan faktor-faktor yang meningkatkan
resiko, seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia10.
Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus.
Penyebab spesifiknya diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit
ginjal dan hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan10.

Klasifikasi Hipertensi
Klasifikasi tekanan darah dewasa yang berumur diatas 18 tahun ke atas,
yang didasarkan pada tekanan darah rata-rata pengukuran 2 kali atau lebih dan
tekanan darah pada waktu kontrol sebagai berikut10:
Tabel 2. Klasifikasi Tekanan Darah yang Berumur 18 Tahun Keatas
Klasifikasi tekanan darah TDS (mmHg) TDD (mmHg)
Normal <120 <80
Prehipertensi 120-139 80-89
Stage 1 hipertensi 140-159 90-99
Stage 2 hipertensi 160 100
Keterangan: TDS = Tekanan Darah Sistole
TDD = Tekanan Darah Diastol
Sumber: (The Seventh Report of Joint National Committee on Prevention,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure)3

Gejala Hipertensi
Hipertensi dikenal juga sebagai sebagai silent killer atau pembunuh
terselubung yang tidak menimbulkan gejala atau asimptomatik. Pada umumnya,
sebagian besar penderita tidak mengetahui bahwa dirinya menderita tekanan darah
tinggi. Oleh karena itu sering ditemukan secara kebetulan pada waktu penderita
datang ke dokter untuk memeriksakan penyakit lain. Kenaikan tekanan darah
tidak atau jarang menimbulkan gejala-gejala spesifik. Pengaruh patologik
hipertensi sering tidak menunjukkan tanda-tanda selama beberapa tahun setelah
terjadi hipertensi. Gangguan hanya dapat dikenali dengan pengukuran tensi dan
ada kalanya melalui pemeriksaan tambahan terhadap ginjal dan pembuluh darah10.
Adapun beberapa faktor yang dapat meningkatkan tekanan darah secara
reversibel, antara lain:
1) Garam
Garam merupakan hal yang sangat penting pada mekanisme timbulnya
hipertensi. Ion natrium mengakibatkan retensi air, sehingga volume darah
bertambah dan menyebabkan daya tahan pembuluh meningkat. Juga
memperkuat efek vasokonstriksi noradrenalin.11
2) Drop (liquorice)
Sejenis gula-gula yang dibuat dari succus liquiritiae mengandung asam
glizirinat dengan khasiat retensi air, yang dapat meningkatkan tekanan
darah bila dimakan dalam jumlah besar.11
4. Stres (ketegangan emosional)
Hubungan antara stres dan hipertensi ditilik melalui aktivitas saraf
simpatik, yang diketahui dapat meningkatkan tekanan darah secara
intermiten. Stress yang berkepanjangan mengakibatkan tekanan darah
tetap tinggi. Tekanan darah meningkat juga pada waktu ketegangan fisik11.
5. Merokok
Merokok dapat meningkatkan tekanan darah, meskipun pada beberapa
penelitian didapatkan kelompok perokok dengan tekanan darah lebih
rendah dibandingkan dengan kelompok yang tidak merokok . Nikotin
dalam rokok berkhasiat vasokontriksi dan meningkatkan tekanan darah.
Merokok meningkatkan efek buruk hipertensi terhadap sistem pembuluh11.
6. Pil antihamil
Mengandung hormon wanita estrogen, yang juga bersifat retensi garam air.
Wanita yang peka sebaiknya menerapkan suatu cara pembatasan kelahiran
lain11.
7. Hormon pada pria dan kortikosteroid
Hormon pria dan kortikosteroid juga berkhasiat retensi air. Setelah
penggunaan hormon ini dihentikan pada umumnya tekanan darah menurun
dan menjadi normal kembali.11

8. Kehamilan
Kenaikan tekanan darah yang dapat terjadi selama kehamilan. Mekanisme
hipertensi ini serupa dengan proses di ginjal, bila uterus direnggangkan
terlampau banyak (oleh ginjal) dan menerima kurang darah, maka
dilepaskannya zat-zat yang meningkatkan tekanan darah.11

Patofisiologi
Tekanan darah ditentukan oleh 2 faktor utama yaitu curah jantung dan
resistensi vaskular perifer. Curah jantung adalah hasil kali antara frekuensi denyut
jantung dengan isi sekuncup (stroke volume), sedangkan isi sekuncup ditentukan
oleh aliran balik vena dan kekuatan kontraksi miokard. Resistensi perifer
ditentukan oleh tonus otot polos pembuluh darah, elastisitas dinding pembuluh
darah dan viskositas darah. Semua parameter diatas dipengaruhi beberapa faktor
antara lain system saraf simpatis dan parasimpatis, sistem renin-angiotensin-
aldosteron (SRAA) dan factor local berupa bahan-bahan vasoaktif yang
diproduksi oleh sel endotel pembuluh darah.12
Sistem saraf simpatis bersifat presif yaitu cenderung meningkatkan
tekanan darah dengan meningkatkan frekuensi denyut jantung, memperkuat
kontraktilitas miokard, dan meningkatkan resistensi pembuluh darah. Sistem
parasimpatis bersifat depresif, yaitu menurunkan takanan darah karena
menurunkan frekuensi denyut jantung. SRAA juga bersifat presif berdasarkan
efek vasokontriksi angiotensin II dan perangsangan aldosteron yang menyebabkan
retensi air dan natrium diginjal sehingga meningkatkan volume darah12

Mekanisme Pengaturan Tekanan Darah

Terapi Hipertensi
1. Terapi non obat (non farmakologi)
Terapi non farmakologi adalah terapi yang dilakukan dengan cara pola
hidup sehat untuk menurunkan tekanan darah, mencegah peningkatan
tekanan darah dan mengurangi resiko kardiovaskuler secara keseluruhan,
meliputi:
a) Penurunan berat badan jika gemuk.
b) Membatasi atau mengurangi natrium menjadi 2,3 gram atau < 6 gram
NaCl sehari.
c) Latihan olah raga secara teratur.
d) Membatasi konsumsi alkohol (maksimum 20-30 ml etanol per hari).
e)
Berhenti merokok dan mengurangi makanan kolesterol, agar dapat
menurunkan resiko kardiovaskuler yang berkaitan1
Gambar. Skema Dalam Penanganan Hipertensi

2. Terapi obat-obatan (farmakologi)


Selain tindakan umum seperti terapi diatas, pada hipertensi lebih
berat perlu ditambahkan obat-obat hipertensi untuk menormalkan tekanan
darah.12
Tujuan terapi hipertensi adalah untuk mencegah terjadinya
morbiditas dan mortalitas akibat tekanan darah tinggi. Tekanan darah harus
diturunkan serendah mungkin yang tidak menggangu fungsi ginjal, otak,
jantung, maupun kualitas hidup. Terapi dengan hipertensi harus selalu
dimulai dengan dosis rendah agar darah jangan menurun terlalu drastis
atau mendadak. Kemudian, setiap 1-2 minggu dosis berangsur-angsur
dinaikan sampai tercapai efek yang diinginkan (metode: starts low, go
slow). Begitu pula penghentian terapi harus secara berangsur pula.11,12
Antihipertensi hanya menghilangkan gejala tekanan darah tinggi
dan tidak penyebabnya. Maka, obat pada hakikatnya harus diminum
seumur hidup, tetapi setelah beberapa waktu dosis pemeliharaan pada
umumnya dapat diturunkan.12
Pemberian antihipertensi pada penderita usia lanjut harus hati-hati
karena pada mereka ini terdapat : penurunan reflek baroreseptor sehingga
mereka lebih mudah mengalami hipotensi artostatik, gangguan
autoregulasi otak sehingga iskemia serebral mudah terjadi dengan hanya
sedikit penurunan tekanan darah sistemik, penurunan fungsi ginjal dan hati
sehingga terjadi akumulasi obat, pengurangan volume intravaskuler
sehingga lebih sensitivitas terhadap hipokalemia sehingga mudah terjadi
aritmia dan kelemahan otot.12
Obat-obat yang digunakan untuk pengobatan hipertensi
digolongkan berdasarkan pengetahuan patologisnya. Macam-macam obat
antihipertensi, yaitu:
a. Diuretik
b. 1-Blokers (Antagonis Adrenoreseptor)
c. -Blokers (Penghambat Adrenoresptor)
d. Calsium Channel Bloker
e. Inhibitor (ACEi)
f. Angiotensin II Antagonists
g. Direct Vasodilator14

Terapi Farmakologis
Amlodipine12,14,15
Amlodipin merupakan golongan antihipertensi calsium chanel blocker
yang biasa digunakan dalam pengontrolan tekanan darah tinggi dengan proses
relaksasi pembuluh darah serta memperlebar pembuluh darah. Secara umum akan
menghambat influks kalsium pada sel otot polos pembuluh darah dan miokard.
Relaksasi ini terutama di arteriol.
1. Sediaan dan Dosis: Tablet 5mg dan 10 mg. Dosis awal 5mg/hari, dapat
ditingkatkan maksimal 10mg.13,14
2. Farmakodinamik:
Mekanisme kerjanya memberi efek langsung pada nodus AV dan SA
minimal, sehingga menurunkan resistensi perifer tanpa penurunan fungsi
jantung yang berarti.14
3. Farmakokinetik12,14
A : terjadi perlahan, karena sediaanya lepas lambat
D : bioavailabilitasnya lebih tinggi dibanding obat lain di golongannya.
M : dihati, mengalami first pass metabolism, pada 24 jam pemakaian
kadarnya baru mencapai 2/3 kadar puncak.
E : hanya sedikit dalam bentuk utuh melalui ginjal, T1/2 panjang (cukup 1
kali perhari)
4. Indikasi, kontraindikasi, Efek samping obat13,14
I : Hipertensi dengan kadar renin rendah (usia tua),
K : penyakit jantung koroner, stenosis aorta berat, angina pektoris tak stabil,
IMA, gangguan hati berat.
ES : hipotensi, mual, nyeri perut, kelainan kulit, gangguan muskulskeletal,
gangguan saluran kemih, sakit kepala, mengantuk, somnolen, gangguan
sensorik, sensasi panas, kemerahan pada wajah, gynekomastia, disfungsi
seksual, dan keringat berlebihan.

Bisoprolol12,14
Anti hipertensi yg memblok adrenergik reseptor 1 pada jaringan jantung
Efek: memperlambat denyut jantung sinus dan menurunkan tek. darah
i. Dosis dan sediaan: Film-co tab.2,5, 5 mg Dosis: Hipertensi Dewasa Awal 5
mg/hr dapat ditingkatkan 20 mg/hr Org tua Awal: 2.5-5 mg/hr dapat
ditingkatkan 2,5-5 mg/hr. Maksimal 20 mg/hr
ii. Farmakokinetik. A: baik diserap dari GIT. D: protein binding 25-33%. M: di
hepar. E: melalui urine T1/2 9-12 jam (meningkat pd gagal ginjal)
iii. Indikasi: Hipertensi
iv. Perhatian: Gangguan ginjal dan hati, bronkospasme, DM
v. Efek samping obat: Frequent: Hipotensi-pusing, mual, sakit kepala, akral
dingin, lemas, konstipasi atau diare. Occasional: Insomnia, Flatulence, sering
kencing, impotensi atau penurunan libido. Jarang Rash, nyeri sendi dan otot,
hilang nafsu makan.
vi. Interaksi obat: Adenosin: bradikardi 1 adrenergik reseptor: membatasi
potensi dosis pertama. Amiodarone: meningkatkan efek bradikardi bisoprolol.
Antidiabetic: mengurangi efek hipoglikemi. Barbiturat: membatasi
metabolisme bisoprolol. Cimetidin: meningkatkan level plasma bloker
Clonidin: rebound hipertensi. Cocaine: Vasokonstriksi koroner Digoxin.
digitoxin: bradikardia potensiasi, perpanjangan waktu konduksi
atriventricular. Dypiridamol: additive bradikardi. NSAID: menurunkan efek
antihipertensi.

ISDN14,15
Kerja nitrat melalui pengurangan kebutuhan oksigen miokard sekunder
terhadap venodilatasi dan dilatasi arterial-arteriolar, mengarah pada pengurangan
tekanan dinding dan berkurangnya volume ventrikuler dan tekanan.
1. Farmakokinetik: secara sublingual mulai kerjanya dalam 3 menit dan
bertahan sampai 2 jam, secara spray masing-masing 1 menit dan 1 jam,
sedangkan oral masing-masing 20 menit dan 4 jam. Resorpsinya baik.
T1/2nya 30-60 menit. Di dalam hati dirombak menjadi metabolit aktif.
2. Dosis: pada serangan akut atau profilaksis, sublingual tablet 5 mg, bila
perlu diulang sesudah beberapa menit. Interval: oral 3 dd 20 mg dc atau
tablet/kapsul retard maksimum 1-2 dd 80 mg.
3. Indikasi: untuk gangguan penyakit arteri koroner , angina pectoris, gagal
jantung kongestif, infark jantung
4. Efek samping: mencakup hipotensi postural yang berhubungan dengan
gejala system syaraf pusat, reflex takikardi, sakit kepala, dan wajah
memerah, mual pada waktu tertentu.

Aspirin12,15
Asam asetilsalisilat atau aspirin selain mempunyai efek antipiretik juga
digunakan untuk mencegah trombus koroner berdasarkan efek penghambatan
agregasi trombosit.
1. Farmakokinetik: Diabsorpsi sempurna melalui saluran cerna. puncak
konsentrasi plasma 3-4 jam, waktu paruh 3-4 jam, metabolisme sudah
terjadi dimukosa usus kemudian juga dihati. Metabolitnya diekskresi
melalui urin.
2. Dosis: sebagai antiagregasi dosis yang dianjurkan 80-160 mg / hari.
Sediaan yang ada yaitu tablet 80 mg, 100 mg dan 160 mg.
3. Indikasi: untuk pengobatan dan pencegahan angina pectoris dan infark
jantung
4. Efek samping: ulserasi peptik, gangguan gastrointestinal, meningkatnya
waktu perdarahan, hipotrombinemia, reaksi hipersensitivitas, pusing,
tinitus.

Fondaparinux12,15
Merupakan low molecular wight heparin ( LMWH ) yang dibuat dengan
melakukan depolimerisasi rantai polisakarida heparin yang hanya menghambat
faktor Xa.
1. Farmakokinetik: Tidak diabsorpsi secara oral, oleh karena itu diberikan
secara IV atau SC. masa paruh lebih panjang daripada heparin standar.
2. Dosis: 2,5 mg, 1-2 kali hari secara sub kutan selama 5-9 hari
3. Indikasi: pencegahan tromboemboli
4. Efek samping: anemia, trombositopenia, perdarahan, purpura, edema, tes
faal hati abnormal

Clopidogrel 12,15
Clopidogrel merupakan golongan thienopyridine yang bekerja dengan
menghambat reseptor P2Y12 pada trombosit sehingga tidak terjadi aktivasi fibrin
dan agregasi trombosit.
1. Farmakokinetik: waktu paruh singkat.
2. Dosis: loading dose 300 mg lalu dilanjutkan 75 mg/ hari
3. Indikasi: pengobatan infark miokard, pencegahan stroke dan kematian
kardiovaskuler.
4. Efek samping: Mual, muntah dan diare, perdarahan .

Alprazolam12,15
Potensiasi inhibisi GABA sebagai mediatornya. Efek farmakodinamiknya
tidak hanya bekerja sentral, tetapi juga perifer pada susunan saraf kolinergik,
adrenergik, dan triptaminergik.
1. Farmakokinetik: kadar tertinggi dicapai setelah 8 jam pemberian oral dan
tetap bertahan tinggi sampai 24 jam. Ekskresi melalui ginjal lambat
2. Dosis: dewasa 0,25-0,5 mg 3x/hari. Dapat ditingkatkan dengan interval 3-
4 hari hingga maksimal 4mg dosis terbagi. 0,25 mg 2-3 x/hari untuk pasien
lanjut usia dan gangguan fungsi hati berat.
3. Indikasi: Sebagai sedasi, menghilangkan rasa cemas, dan keadaan
psikosomatik yang disertai cemas.
4. Efek samping: depresi susunan saraf pusat (mengantuk, ataksia), rash,
mual, nyeri kepala, agranulositosis.

Analsik112,15
1. Komposisi : methampyrone 500 mg, diazepam 2 mg
2. Dosis : 1 kaplet, 3x1/hari
3. Indikasi : sakit keala psikis, nyeri saraf, nyeri pinggang, reumatik,
kolik empedu, dan ginjal, nyeri otot dan sendi.
4. Kontra Indikasi: Psikosis berta, kecenderungan perdarahan, porfiria
hipersensitif golongan pirazolon.
5. Efek samping : Mengantuk, pusing, amnesia, gangguan penglihatan,
hipotensi, ketergantungan agranulositosis, reaksi alergi.
Berinteraksi dengan obat-obatan depressan SSP, alkohol,
klorpromazin, dan simetidin.

2.3 Penyakit Ginjal Kronik / Chronic Kidney Desease (CKD)


Penyakit ginjal kronis adalah masalah kesehatan di seluruh dunia. Penyakit
ini ditandai sering kali berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit
kardiovaskuler dan gagal ginjal kronis. Gagal ginjal merupakan suatu keadaan
klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel. Penyakit
ginjal kronik dapat menimbulkan uremia, suatu sindrom klinik dan laboratorik
yang terjadi pada semua organ 1,4.
The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the
National Kidney Foundation (NKF) mendefinisikan penyakit ginjal kronik
sebagai kerusakan ginjal (struktural atau fungsional) atau penurunan glomerular
filtration rate (GFR) kurang dari 60 ml/menit/1,72 m2 selama 3 bulan atau lebih.
Apapun etiologi yang mendasari, akan selalu terjadi massa renal dengan skerosis
ireversibel dan kehilangan nefron, mengakibatkan penurunan GFR secara
progresif 1.
Pada tahun 2002, K/DOQI mengklasifikasikan penyakit ginjal kronik
sebagai berikut :
1. Derajat 1 : Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau (>90
mL/min/1.73m2)
2. Derajat 2 : Reduksi minimal GFR (60-89 mL/min/1.73 m2)
3. Derajat 3 : Reduksi moderat GFR (30-59 mL/min/1.73 m2)
4. Derajat 4 : Reduksi berat GFR (15-29 mL/min/1.73 m2)
5. Derajat 5 : Gagal ginjal (GFR < 15 mL/min/1.73 m2 atau dialisis)
Pada derajat 1 dan 2, nilai GFR saja tidak cukup untuk memastikan
diagnosis. Pemeriksaan lain yang menandakan kerusakan ginjal harus dilakukan,
seperti komposisi abnormal darah dan urin serta abnormalitas dalam pemeriksaan
radiologi. Pasien dengan gagal ginjal derajat 1 sampai 3 umumnya asimtomatis,
manifestasi klinik umumnya baru akan muncul pada derajat 4 dan 5 1.
Tabel. Klasifikasi derajat penurunan faal ginjal berdasarkan laju filtrasi
glomerulus (LFG)
Derajat Primer (LFG) Sekunder = Kreatinin (mg%)
A Normal Normal
B 50-80 % Normal Normal - 2,4
C 20-50 % Normal 2,5 4,9
D 10-20 % Normal 5,0 7,9
E 510 % Normal 8,0 12,0
F < 5 % Normal Lebih dari 12,0

Hubungan antara penurunan LFG dan gambaran klinik sebagai berikut :


1. Penurunan cadangan faal ginjal (LFG = 40-75%)
Pada tahap ini biasanya tanpa keluhan, karena faal ekskresi dan regulasi
masih dipertahankan normal. Masalah ini sesuai dengan konsep intac
nephron hypothesis. Kelompok pasien ini sering ditemukan pada
pemeriksaan lab rutin secara tidak sengaja 4.
2. Insufisiensi ginjal (LFG = 20-50 %)
Pasien GGK pada tahap ini masih dapat melakukan aktivitas normal
walaupun sudah memperlihatkan keluhan-keluhan yang berhubungan
dengan retensi azotemia. Pada pemeriksaan hanya ditemukan hipertensi,
anemia (penurunan HCT) dan hhiperurikemia. Pasien pada tahhap ini
mudah terjun ke sindrom acute on chronic renal failure artinya gambaran
klinik gagal ginjal akut (GGA) pada seorang pasien gagal ginjal kronik
(GGK), dengan trigger yang memperburuk faal ginjal (LFG). Sindrom ini
sering berhubungan dengan faktor-faktor yang memperburuk faal ginjal
(LFG) 4.
Sindrom acute on chronic renal failure :
- Oliguria
- Tanda-tanda overhidrasi (edema paru, bendungan hepar, kardiomegali)
- Edema perifer (ekstremitas dan otak)
- Asidosis, hiperkalemia
- Anemia
- Hipertensi berat
Klinik sering dikacaukan dengan penyakit jantung hipertensif.
3. Gagal ginjal (LFG = 5-25 %)
Gambaran klinik di laboratorium makin nyata : anemia, hipertensi,
overhidrasi atau dehidrasi, kelainan lab, seperti penurunan HCT,
hiperurisemia, kenaikan ureum dan kreatinin serum, hiperfosfatemia,
hiponatremia, kalium serum biasanya masih normal 4.
4. Sindrom azotemia (LFG = kurang dari 5 %)
Sindrom azotemia dengan gambaran klinik sangat komplek dan
melibatkan banyak organ (multi organ) 3.

2.2.1 Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan
negara lain 4.

2.2.2 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang
terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai
upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan
growth ,factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan
progresifitas tersebut. Beberapa hal yang juga dianggap, berperan terhadap
terjadinya progresifitas Penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya
sklerosis dan fibroisis glomerulus maupun tubulointerstitial 4.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau
malah meningkat. Kernudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan
fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan
keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti,
nokturia, badan lemah, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai
pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang
nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisms fosfor
dan kalsium, pruritus. mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah
terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih infeksi saluran napas, maupun infeksi
saluran cema. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau
hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natriurn dan kalium.
Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan
pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy)
antara lain dialisis atau tansplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan
Sampai pada stadium gagal ginjal 4.
2.2.3 Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi: a). Sesuai dengan
penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu
traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES),
dan lain sebagainya. b). Sindrom uremia (azotemia), yang terdiri dari lemah,
letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (vohinie
overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang
sampai koma. c). Gejala koniplikasinya antara lain, hipertensi, anemia,
osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan
elektrolit (sodium, kalium, khlorida) 3.
1. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer sering ditemukan pada pasien gagal ginjal
kronik. Anemia sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg %
atau penjernihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit. Dalam penentuan
hematokrit akan lebih penting dari pada penentuan jumlah hemoglobin
(Hb) karena :
- Penurunan hematokrit akan terlihat lebih dulu daripada jumlah Hb
- Hematokrit dapat dipakai untuk menuntun selama transfusi darah
Anmia pada GGK bersifat kompleks, mungkin berhubungan dengan
anemia normokrom normositer, anemia hemolisis, anemia akibat
defisiensi besi.
Beberapa hipotesa mekanisme anemia adalah sebagai berikut :
- Azotemia-related anemia
Faktor utama kontribusi anemia terkait azotemia yaitu defisiensi
eritropoietin oleh sel peritubuler sebagai respon hipokia lokal
akibat pengurangan parenkim ginjal fungsional (mass of
functional paenchyma).
- Penurunan masa hidup eritrosit
- Defisiensi Fe
- Defisiensi vitamin B12 dan asam folat menyebabkan anemia hipokrom makrositer
- Perdarahan saluran cerna dan uterus 3.
2. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien.
3. Kelainan mata
Gangguan dapat berupa penurunan visus. Gangguan visus cepat hilang
setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang
adekuat, seperti hemodialisa. Retinopati dapat disebabkan oleh hipertensi
maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien GGK 4.
4. Kelainan sistem kardiopulmonum
4.1 Kardiovaskuler
Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis,
penyebaran kalsifikasi di sistem vaskuler,, sering dijjumpai pada
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal, dapat
meyebabkan gagal faal jantung. Umumnya gagal jantung yang
terdapat gagal ginjal sangat resisten terhadap obat konvensional
dan dinamakan gagal jantung refrakter 4.
4.2 Hipertensi
Patogenesis hipertensi ginjal sangat komplek, melibatkan peranan
keseimbangan natrium, aktivitas renin-angiotensin-aldosteron,
penurunan zat dipresor dari medula ginjal, akitivitas sistem saraf
simpatis, dan faktor hemodinamik lain seperti cardiac output dan
hipoklasemia. Retensi natrium dan sekresi renin menyebabkan
kenaikan volume plasma dan volume cairan ekstraseluler. Ekspansi
volume plasma akan mempertinggi tekanan pengisian jantung
(cardiac filling pressure) dan cardiac output. Kenaikan COP
mempertinggi tonus arteriol dan meningkatkan tahanan perifer.
Kenaikan tonus vaskuler arteriol akan menimbulkan mekanisme
umpan balik sehingga terjadi penurunan COP sampai mendekati
batas normal kenaikan tekanan darah (hipertensi) masih
dipertahankan. Pada gagal ginjal, sistem buffer tekanan darah yang
diatur oleh sinus karotikus tidak lagi berfungsi secara adekuat
karena telah terjadi perubahan mangenai volume dan tonus
pembuluh darah arteriol 4.
4.3 Kalsifikasi pembuluh darah perifer
Kalsifikasi sering ditemukan pada pasien gagal gginjal terminal
terutama yang menjalani hemodialisa intermitten. Kalsifikasi yang
berat dapat menyebabkan gangren ekstremitas 3.
4.4 Paru uremic (edema paru)
Gambaran radiologis paru azotemia sangat khas dan dinamakan
butterflyy attau bat-wing distribution. Mekanisme diduga
berhubungan dengan kenaikan permeabilitas kapiler paru akibat
toksin azotemia. Pada azotemia merupakan indikasi mutlak untuk
melakukan dialisis 4.

Gambar. Sindrom azotemia

2.2.4 Pemeriksaan Penunjang


Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.
b) Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureurn dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum Baja tidak bisa dipergunakan
untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c) Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asarn urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper
atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
d) Kelainan urinalisis meliputi, proteiuria, hematuri, leukosuria, cast,
isostenuria 4.
Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi: a). Foto polos abdomen,
bisa tampak batu radio-opak. b). Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena
kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran
terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan. c). Pielografi antegrad atau retrograde dilakukan sesuai dengan
indikasi. d). Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista,
massa, kalsifikasi. e). Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan
bila ada indikasi 4.
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran
ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak
bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui
etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah
diberikan. Biopsi ginjal kontraindikasi dilakukan pada keadaan dimana ukuran
ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang
tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gaga) napas, dan
obesitas 4.

2.2.4 Penatalaksanaan
Tujuan terapi konservatif pada gagal ginjal kronik, yaitu :
1. Mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif
2. Meringankan keluhan akibat akumulasi toksin azotemia
3. Mempertahnkan dan memperbaiki metabolisme secara optimum
4. Memlihara keseimbangan cairan dan elektrolit 7.
Gambar. Algoritma program terapi gagal ginjal kronik

Terapi Konservatif
Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
gangguan keseimbangan negatif nitrogen. DRP bertujuan : mempertahankan
keadaan nutrisi optimal, mengurangi akumalasi toksin azotemia, mencegah
perburukan faal ginjal akibat glomerulosklerosis 3.
Terapi Farmakologis
Terapi Farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus.
Pemakaian obat antihipertenasi, di samping bermanfaat untuk memperkecil
risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat pemburukan
kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi
glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian tekanan darah
mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein,
dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Di
samping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat
proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa, proteinuria merupakan faktor
risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal, dengan kata lain derajat proteinuria
berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik 4.
Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat Enzim Converting
Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ACE inhibitor), melalui berbagai
studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal. Hal ini
terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.
1. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal
yang penting, karena 40-45 % kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan
oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan
terapi penyakit kardiovaskular adalah, pengendalian diabetes, pengendalian
hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian
hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi
terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan 4.
2. Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.
3. Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada
penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoitin. Hal-hal
lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah, defisiensi besi,
kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup
eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat,
penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun
kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g% atau
hematokrit < 30%, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum/
serum iron, kapasitas ikat besi Total Iron Binding Capacity, feritin serum),
mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis
dan lain sebagainya. Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab
utamanya, di samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoitin
(EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi
harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam
mekanisme kerjanya. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus
dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang
cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan
kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran
hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 12g/dl 3,4.
4. Osteodistrofi Renal
Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang
sering terjadi. Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara
mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol (1.25(OH)2D3).
Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian
pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorbsi fosfat di saluran cema.
Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperan
dalam mengatasi hiperfosfatemia 4.
5. Mengatasi Hiperfosfatemia
a) Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan
diet pada pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi kalori.
rendah protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar
terkandung dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telur.
Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang
terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya malnutrisi 4.
b) Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah
garam kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam
ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorbsi fosfat yang berasal
dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium
karbonat (CaCO3) dan calcium acetate 4.
c) Pemberian bahan kalsium mimetik (calcium mimetic agent). Akhir-akhir
ini dipertimbangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor Ca
pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini
disebut juga calcium mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai
efektivitas yang sangat baik serta efek sarnping yang minimal 4.
Pembatasan Cairan dan Elektrolit
Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu
dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edema dan komplikasi
kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air
yang keluar, baik melalui urin maupun insensible water loss. Dengan berasumsi
bahwa air yang keluar melalui insensible water loss antara 500 -800 ml/hari
(sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500-800
ml ditarnbah jumlah urin 4,7.
Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium.
Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan
aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang
mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran)
harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt. Pembatasan
natriurn dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah
garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan
derajat edema yang terjadi 4.
Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy)
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/ mnt. Terapi pengganti tersebut dapat
berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal 4.

2.4 Tinjauan Tentang Farmakologis

1. Ringer Laktat (RL)

Ringer laktat (RL) merupakan cairan yang dapat diberikan pada kebutuhan
volume dalam jumlah besar. Keunggulan terpenting dari larutan RL adalah
komposisi elektrolit dan konsentrasinya yang sangat serupa dengan yang
dikandung cairan ekstraseluler. Natrium merupakan kation utama dari plasma
darah dan menentukan tekanan osmotik. Klorida merupakan anion utama di
plasma darah. Kalium merupakan kation terpenting di intraseluler dan berfungsi
untuk konduksi saraf dan otot. Elektrolit-elektrolit ini dibutuhkan untuk
menggantikan kehilangan cairan pada dehidrasi dan syok hipovolemik termasuk
syok perdarahan. Larutan RL tidak mengandung glukosa, sehingga bila akan
dipakai sebagai cairan rumatan, dapat ditambahkan glukosa yang berguna untuk
mencegah terjadinya ketosis 5.
Komposisi dan sediaan: Kemasan larutan kristaloid RL yang beredar di pasaran
memiliki komposisi elektrolit Na+(130 mEq/L), Cl- (109 mEq/L), Ca+ (3 mEq/L),
K+ dan laktat (28 mEq/L). Osmolaritasnya sebesar 273 mOsm/L. Sediaan yang
tersedia adalah 500 ml dan 1.000 ml 5,2.
Indikasi: mengembalikan keseimbangan elektrolit pada keadaan dehidrasi dan
syok hipovolemik 2.
Kontraindikasi: hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, asidosis laktat
2
.
Efek samping: edema jaringan pada penggunaan dengan volume yang besar,
biasanya pada paru-paru. RL juga dapat menyebabkan hiperkloremia dan asidosis
metabolik, karena akan menyebabkan penumpukan asam laktat yang tinggi akibat
metabolisme anaerob 6.

2. NaCl 0,9% 2
Kandungan: sodium chloride 0,9%
Indikasi: Pengganti cairan plasma isotonik yang hilang, pengganti cairan pada
kondisi alkalosis hipokloremia.
Kontraindikasi: Hipernatremia, asidosis, hipokalemia.
Perhatian: Gagal jantung kongestif, gangguan fungsi ginjal, hipoproteinemia,
edema perifer atau paru, hipertensi, toxemia pada kehamilan, anak, lanjut usia.
Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit.
Efek samping: Demam, iritasi atau infeksi pada tempat injeksi, trombosis
atau flebitis yang meluas dari tempat injeksi, ekstravasasi.
Kemasan: Larutan infus NaCl 0,9% x 500 mL.
Dosis: Dosis bersifat individual. Dosis lazim: 1000 mL/70 kg berat badan/hari
dengan kecepatan infus sampai dengan 7,7 mL/kg berat badan/jam.

3. Spirolonakton 2,6
Merupakan penghambat aldosteron berupa steroida. Mulai kerjanya
setelah 2-3 hari dan bertahan sampai beberapa hari setelah pengobatan. Daya
diuretisnya agak lemah, maka khusus digunakan terkombinasikan dengan
antidiuretik lainnya. Akhir-akhir ini ditemukan bahwa spironolakton pada gagal
jantung berat berdaya mengurangi resiko kematian sampai 30%.
Farmakokinetik : A : bioavailibility 70%, D : Vd 0,05 l/kg Ikatan protein plasma
> 98% M : menjadi cantreonat yang aktif dan metabolit lain di hepar.
Indikasi : Hipertensi, edema.
Efek samping obat : Hiperkalemi (pada fungsi ginjal terganggu), Hiponatremi,
dehidrasi, hiperkalsiuri, eskresi magnesium berkurang, asidosis hiperkloremik
pada sirosis hepatis, dekompensata, Libido , impoten, ginekomasti, gangguan
menstruasi (efek anti androgen), Gangguan GIT, Sakit kepala, mengantuk,
kebingungan, jarang: ataksia, urtikaria
Bentuk dan sediaan: Tablet 25 mg, 100 mg, PO 100-200 mg/hari, Anak 3
mg/kg/hari.
Interaksi obat: efek diuretik bila bersamaan dengan asam asetilsalisilat,
bahaya hiperkalemi bersama kaptopril litium-clearence renal, Mengurangi
reaksi jaringan thd noradrenalin, konsentrasi digoksin karena hambatan sekresi
tubuler pada ginjal, efek carbenoxolon. (Ganiswarna, S.G., dkk. 1995)

4. Bisoprolol 2,6
Anti hipertensi yg memblok adrenerguk reseptor 1 pada jaringan jantung
Efek: memperlambat denyut jantung sinus dan menurunkan tekanan darah.
Dosis dan sediaan: Film-co tab.2,5, 5 mg Dosis: Hipertensi Dewasa Awal 5
mg/hr dapat ditingkatkan 20 mg/hr Org tua Awal 2.5-5 mg/hr dapat ditingkatkan
2,5-5 mg/hr Max. 20 mg/hr .
Farmakokinetik. A: baik diserap dari GIT D: protein binding 25-33% M: di
hepar E: melalui urine T1/2 9-12 jam (meningkat pd gagal ginjal).
Indikasi: Hipertensi.
Perhatian: Gangguan ginjal dan hati, bronkospasme, DM.
Efek samping obat: Sering: hipotensi-pusing, mual, sakit kepala, akral dingin,
lemas, konstipasi atau diare. Jarang: insomnia, Flatulence, sering kencing,
impotensi atau penurunan libido Jarang Rash, nyeri sendi dan otot, hilang nafsu
makan.
Interaksi obat: Adenosin: bradikardi 1 adrenergik reseptor: membatasi potensi
dosis pertama Amiodarone: meningkatkan efek bradikardi bisoprolol
Antidiabetik: mengurangi efek hipoglikemi Barbiturat: membatasi metabolisme
bisoprolol Cimetidin: meningkatkan level plasma bloker Clonidin: rebound
hipertensi Cocaine: Vasokonstriksi koroner Digoxin, digitoxin: bradikardia
potensiasi, perpanjangan waktu konduksi atriventricular Dypiridamol: additive
bradikardi NSAID: menurunkan efek antihipertensi (Ganiswarna, S.G., dkk.
1995).

2,6
5. Furosemid
Merupakan diuretik kuat yang menghambat reabsorbsi NaCl ansa Henle
asendens.
Farmakokinetik
Diuretik kuat diabsorbsi dan dieliminasi melalui sekresi ginjal dan filtrasi
glomerulus. Respon kerja obatnya bervariasi antara 2 3 jam. Furosemide bekerja
pada bagian luminal tubulus yang responnya berhubungan positif dengan
sekresinya di urin. Gangguan kerja obat ini biasanya jika diberikan bersama
indometasin dan probenesid sehingga clearancenya terhambat.
Ketersediaan oral 61 %, eksresi melalui urin 66 %, berikatan dalam
plasma 99 %, waktu paruh 1 jam. Konsentrasi toksik 25 mg/L.
Farmakodinamik
Obat ini menghambat sistem transpor pasangan Na+/K+/2Cl- di membran luminal
bagian tebal ansa henle asendens. Penghambatan ini, menurunkan reabsorbsi NaCl
dan mengurangi potensial positif lumen. Hilangnya potensial positif menyebabkan
peningkatan ekskresi Mg2+ dan Ca2+ sehingga terjadi hipomagnesium sedangkan
hipokalsemia tidak terjadi karena adanya reabsorbsi kembali kalsium di tubulus
kontortus distal.
Indikasi: Furosemide dapat mengurangi kongesti paru dan menurunkan tekanan
ventrikel kiri pada CHF, sirosis hepar, sindrom nefrotik, hiperkalemia, gagal ginjal
akut toksik bromida, fluorida, dan yodida. Terapi tunggal atau kombinasi untuk
hipertensi ringan s/d sedang. Terapi cepat edema paru akut biasanya melalui
parenteral. Edema pada eklampsi dan kehamilan.
Dosis: oral = edema dewasa: awal 20 80 mg dosis tunggal ulangi 6 8 jam jika
diperlukan. Dapat ditingkatkan 20 40 mg tiap 6 8 jam. Edema akut: dosis
maksimal 600 mg/hari. Anak: awal 1 2 mg/kgBB dapat ditingkatkan dalam 6 8
jam. Dosis maksimal 6 mg/kgBB. Maintenance: turunkan hingga dosis minimal
efektif. Hipertensi dewasa: 40 mg 2x/hari. Parenteral: Edema dewasa: 20 40 mg
IV/IM (IV diberikan perlahan 1 2 menit). Setelah 2 jam tingkatkan sebanyak 20
mg. Edema paru 40 mg IV, dapat diulang 1 jam kemudian. Dosis maksimal 80
mg. Anak: 1 mg/kgBB IM/IV dapat ditingkatkan 2 jam kemudian. Dosis
maksimal 6 mg/kgBB.
Kontraindikasi: hipersensitif sulfonamid, anuria, koma hepatica, hipokalemia,
awal kehamilan, dalam terapi litium.
Perhatian: defisiensi elektrolit, hamil, laktasi, geriatric, gangguan fungsi ginjal,
gangguan hepar, hipertrofi prostat, gangguan miksi, pengguna digitalis.
Efek samping: gangguan GI, hipersensitivitas, reaksi SSP, reaksi kulit,
hiperglikemia, glikosuria, hiperurisemia, reaksi hematologik, vertigo, sakit kepala.
Interaksi obat: induksi kerja antihipertensi d-tubokurarin, Toksik aminoglikosida,
sefalosporin, litium, salisilat, glikosida jantung, penurunan aktivitas diuretik jika
dengan probenesid, meningkatkan hipotensi ortostatik dengan alkohol, narkotik,
barbiturat, meningkatkan sensitifitas digitalis. Furosemide menurunkan
metabolism propanolol sehingga efeknya meningkat. Jika dengan NSAID
menyebabkan penurunan diuretik, natriuretik dan respon antihipertensinya.
Toksisitas
a. Alkalosis metabolik hipokalemia: furosemide meningkatkan sekresi
ion kalium dan hidrogen.
b. Ototoksik: bersifat reversibel, kembali normal jika obat dihentikan.
Biasanya terjadi dengan penderita gangguan fungsi ginjal dan
pengguna antibiotic aminoglikosida.
c. Hiperurisemia: hipovolemia menyebabkan reabsorbsi asam urat pada
tubulus proksimal. Hal ini bisa dihindari dengan menggunakan dosis
rendah furosemide.
d. Hipomagnesemia: terjadi jika penggunaan kronik diuretik kuat. Hal ini
dapat diatasi dengan pemberian magnesium oral.
e. Alergi: hal ini segera menghilang setelah pemakaian obat dihentikan.
Sediaan: Tab 40 mg 10 x 10, Tab 20, 40, 80 mg. Larutan 8, 10 mg/ml. Amp 10
mg/ml x 2 ml x 5.
Keadaan khusus: tipe C: pada manusia belum ada penelitian atau tidak
ditemukan ancaman terhadap janin tetapi pada hewan coba ada gangguan.

6. Amlodipin 2,6
Farmakodinamik: Bekerja dengan menghambat influk ca mengakibatkan
vasodilatasi dan penurunan kontraksi jantung.
Farmakokinetik:
A: lambat diabsorbsi di GI
D: protein binding 93%
M: di hepar
E: melalui urine
T 30-50 jam
Indikasi: Hipertensi Chronic, angina pectoris, Renal impairement.
Dosis : Dws awal 5 mg/hr single dose. Max 10 mg/hr Lansia 2,5 mg/hr.
Efek samping: Edema perifer, sakit kepala, flushing, palpitasi, mual,
bradikardia, & hipotensi.
Cara Pemakaian: diberikan secara oral.
7. Asam Folat 2,6

Asam folat (asam pteroilmonoglutamat, PmGA) terdiri atas bagian-


bagian pteridin, asam paraaminobenzoat dan asam glutamat. PmGA bersama-
sama dengan konjugat yang mengandung lebih dari satu asam glutamat,
membentuk suatu kelompok zat yang dikenal sebagai folat. Folat terdapat
dalam hampir setiap jenis makanan dengan kadar tertinggi dalam hati, ragi dan
daun hijau yang segar. Folat mudah rusak dengan pengolahan (pemasakan)
makanan. PmGA merupakan prekursor inaktif dari beberapa koenzim yang
berfungsi pada transfer unit karbon tunggal. Berbagai reaksi penting yang
menggunakan unit karbon adalah : (1) sintesis purin melalui pembentukan
asam inosiat; (2) sintesis nukleotida pirimidin melalui metilasi asam
deoksiuridilat menjadi asam timidilat; (3) interkonversi beberapa asam amino
misalnya antara serin dengan glisin, histidin dengan asam glutamat,
homosistein dengan metionin. Kebutuhann tubuh akan folat rata-rata 50g
sehari, dalam bentuk PmGA, tetapi jumlah ini dipengaruhi oleh kecepatan
metabolisme dan laju malih sel (cell turn-over) setiap harinya.

Komposisi dan sediaan: Asam folat tersedia dalam bentuk tablet yang
mengandung 0,4; 0,8 dan 1 mg asam pteroilglutamat dan dalam larutan injeksi
asam folat 5 mg/mL. Selain itu, asam folat terdapat dalam berbagai sediaan
multivitamin atau digabung dengan antianemia lainnya. Asam folat injeksi
biasanya hanya digunakan sebagai antidotum pada intoksikasi antifolat
(antikanker).

Indikasi: penggunaan folat yang rasional adalah pada pencegahan dan


pengobatan defisiensi folat.

Kontraindikasi: -

Efek samping: jarang terjadi dan berupa reaksi alergi, juga gangguan
lambung-usus dan sukar tidur.
8. Kalsium Karbonat 2,6
Formula kimia kalsium karbonat adalah CaCO3. Umumnya secara medis
digunakan sebagai antasida. Kalsium karbonat akan bereaksi dengan air dan
tersaturasi dengan karbondioksida untuk membentuk kalsium bikarbonat
CaCO3 + CO2 + H2O Ca(HCO3)2

Indikasi : hiperfosfatemia pada gagal ginjal kronis, diare.


Dosis : 2,5 gr/hari hingga 17 gr/hari dengan dosis terpisah
Sediaan : tablet 600 dan 1000 mg. 1 mg dapat menetralkan 21 mEq asam.
Efek samping : konstipasi, flatus, hiperkalsemia, alkalosis metabolik,
kalsifikasi jaringan, hipersekresi gaster.
Kontraindikasi : Pasien dengan riwayat kalkuli renal, hiperkalsemia, dan
hipopospatemia.
Interaksi obat : Penggunaan Ca karbonat dengan tiazid diuretik atau vitamin
D dapat menyebabkan milk alkali syndrome. hiperkalsemia. Penurunan
absorbsi terjadi jika digunakan bersama kortikoseroid, tetrasiklin, quinolon,
atenolol, Zn, dan kalsium channel blocker. Penggunaan bersama digitalis
dapat memicu intoksikasi digitalis.

9. Captopril 2,6
Merupakan golongan ACE inhibitor yang menekan sistem angiotensi-
aldosteron dan menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II,
menurunkan kadar angiotensin II, meningkatkan aktivitas renin, dan
menurunkan sekresi aldosteron, serta menurunkan tahanan perifer.
Farmakokinetik : golongan obat ini cepat diabsorbsi di GIT. Untuk proses
distribusinya total protein binding 25-30%, dimetabolisme di hepar dan akan
dieksresikan melalui urine dengan waktu paruh < 3 jam.
Indikasi : Hipertensi, CHF, Post MI, impaired liver function, Diabetic
nephropathy, dan prevention of kidney failure.
Kontraindikasi : angioedema, laktasi, hamil, stenosis aorta dan hipersensitif.
Dosis : Dosis: Awal 12,5-25 mg/2-3x/hr dapat ditingkatkan 50 mg/2-3x/hr
Maintenance 25-150 mg/2-3x/hr.
Efek Samping : batuk kering, stomatitis, ruam, pruritus, demam, anemia,
iritasi GIT, hipotensi, angioedema, takikardia, proteinuria, peningkatan ureum
dan kreatinin.

10. Nifedipin 2,6


Sebagai agen antiangina dan antihipertensi yang menghambat
pergerakan ion kalsium melewati membran sel, menekan kontraksi jantung
dan otot polos vaskuler. Efek: meningkatkan denyut jantung dan cardiac
output, menurunkan resistensi vaskuler dan tekanan darah.
Farmakokinetik : Di absorpsi lengkap di saluran cerna dengan kadar protein
binding 92-98%. Obat ini akan dimetabolisme di hepar dan akan di
ekskresikan melalui urine dengan waktu paruh 2-5 jam.
Indikasi : Hipertensi esensial dan angina stabil.
Kontraindikasi : hipertemsi parah dan diabetes mellitus.
Dosis : Dosis: untuk Angina, per oral Dewasa, org tua, 10 mg 3 kali sehari,
ditingkatkan 7- 14 hari interval. Maintenace 10 mg 3 kali sehari sampai 30 mg
4 kali sehari per oral (extended release). Awal 30-60 mg/hr. Maintenance
sampai 20 mg/hari. Untuk Hipertensi essensial, PO (extended release)
Dewasa, org tua Awal 30-60 mg/hr. Maintenance sampai 20 mg/hari
Efek Samping : edema perifer, sakit kepala, pusing, mual, gemetar, kram otot,
nyeri, mengantuk, palpitasi, kongesti nasal, batuk, sesak, dan whezzing.

11. Allopurinol 2,6


Allupurinol bekerja dengan menghambat xantin oksidase, enzim yang
mengubah hipoxantin menjadi xantin dan selanjutnya menjadi asam urat.
Allopurinol termasuk dalam golongan NSAID yang berguna untuk mengobati
penyakit pirai karena menurunkan kadar asam urat. Selain itu juga dapat
digunakan untuk gangguan fungsi ginjal.
Farmakokinetik : Allupurinol memiliki masa paruh yang pendek 1-2 jam
sehingga cukup diberikan satu kali sehari.
Indikasi : Obat ini terutama berguna mengobati penyakit pirai kronik dengan
insufisiensi ginjal atau adanya batu urat pada ginjal juga berguna mengobati
penyakit pirai sekunder akibat penyakit lain seperti polisitemia vera,leukimia
dan psoriasis.
Kontraindikasi : Hamil, laktasi, dan serangan gout akut.
Dosis : untuk penyakit pirai ringan 200-400 mg sehari, 400-600 mg untuk
penyakit yang lebih berat. Untuk pasien gangguan fungsi ginjal dosis cukup
100-200 mg sehari. Dosis untuk hiperurisemia sekunder 100-200 mg sehari.
Untuk anak 6-10 tahun 300 mg sehari dan anak dibawah 6 tahun 150 mg
sehari.
Efek Samping : Reaksi kulit dan obat harus dihentikan sebelum reaksi
menjadi lebih berat. Allupurinol dapat meningkatkan frekuensi serangan
sehingga pada awal terapi penggunaan bersama kolkisin juga diperlukan
sampai kadar asam urat dalam serum mencapai normal atau berkurang hingga
6 mg/dL
BAB III
PEMBAHASAN DAN DISKUSI

Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang pada pasien ini, maka pasien didiagnosa CHF FC II-III + HT Stage II +
CKD Stage V.
Diagnosa

Teori Kasus
1. Dinyatakan CHF bila terdapat 2 1. CHF FC II-IV
kriteria mayor; atau 1 kriteria mayor
dan 2 kriteria minor harus ada pada Gejala-gejala:
saat yang bersamaan.
Ronki
Kriteria mayor: Edema paru akut
Edema ekstremitas
Paroxysmal nocturnal dispnea
Sesak pada aktivitas
Distensi vena-vena leher
Tekanan darah tinggi
Peningkatan vena jugularis
Riwayat nyeri dada sebelah kiri
Ronki
Kardiomegali
2. TD pasien 170/100 mmHg (stage
Edema paru akut
II)
Gallop bunyi jantung III
Refluks hepatojugular positif 3. Dinyatakan CKD
Penurunan berat badan > 4,5 kg
dalam 5 hari terapi Gejala-gejala :

Kriteria minor: Ada riwayat hipertensi


Kelainan hemopoesis berupa anemia
Edema ektremitas Menderita gagal jantung
Batuk malam Terdapat edema pulmo yang ditandai
Sesak pada aktivitas dengan suara nafas ronki.
Hepatomegali
Efusi pleura Didiagnosis CKD grade V karena
Kapasitas vital berkurang 1/3 dari
pasien terjadi kerusakan ginjal dengan
normal GFR 8,62%, tampak edema
Takikardia (>120 denyut per ekstremitas dan anemia
menit)

2. Didiagnosis Hipertensi bila pasien:


Stage 1 (TDS 140-159 mmHg atau
TDD 90-99 mmHg).
Stage 2 (TDS 160 mmHg atau
TDD 100 mmHg)

3. Dinyatakan CKD apabila :


Ada penyakit yang mendasari :
hipertensi, diabetes, hiperurisemi,
dan batu traktus urinarius.
Sindrom uremia (azotemia)
Kelainan saluran cerna
Penurunan visus
Kelainan system kardiopulmonal.
Peningkatan kadar ureum dan
kreatinin.

Didiagnosis CKD grade V bila pasien:


Kerusakan ginjal (struktural atau
fungsional) atau penurunan
glomerular filtration rate (GFR)
kurang dari 60 ml/menit/1,72 m2
selama 3 bulan atau lebih

Terapi Farmakologis
Untuk menetapkan rasional tidaknya terapi yang diberikan, harus
memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Obat yang diberikan harus tepat indikasi sesuai dengan standar
medis/panduan klinis atau sesuai dengan penyakit yang dihadapinya. Contoh
penggunaan obat tidak rasional: penggunaan antibiotik untuk diare yang non
spesifik, penggunaan antibiotik untuk infeksi virus saluran nafas akut.
2. Tepat obat, obat berdasarkan efektifitasnya, keamanannya dan dosis
3. Tepat pasien, tidak ada kontra indikasi dan kemungkinan efek yang tidak
diinginkan, misal pasien yang mempunyai gangguan iritasi lambung tidak
diberikan analgesik yang mempunyai efek samping mengiritasi lambung
4. Tepat penggunaan obat artinya pasien mendapat informasi yang relevan,
penting dan jelas mengenai kondisinya dan obat yang diberikan (Aturan
minum, sesudah atau sebelum makan, dll)
5. Tepat monitoring, artinya efek obat yang diketahui dan tidak diketahui
dipantau dengan baik.
Dengan demikian, kerasionalan dalam pemberian terapi dapat dirangkum
secara keseluruhan menjadi 4T 1W + EARMU, yaitu Tepat Indikasi, Tepat Dosis,
Tepat Pemakaian, Tepat Pasien dan Waspada efek samping + Efektif Aman
Rasional Murah dan Mudah didapat.

1. Ringer Laktat
Pada pasien ini, salah satu terapi cairan yang diberikan yaitu ringer laktat.
Biasanya cairan ini diberikan sebagai cairan pengganti sesuai dengan sifatnya
yang isotonis, dimana partikel yang terlarut sama dengan CIS, dapat melewati
membran semi permeabel. Tonositas 275-295 mOsm/kg. Dengan tekanan
onkotiknya yang rendah, cairan ini dapat dengan cepat terdistribusi ke seluruh
cairan ekstraseluler. Pada pasien ini diberikan 10-12 tetes/ menit (1 tetes=0,05
ml). Berarti cairan infus akan habis dalam waktu + 14-17 jam. Penentuan
kecepatan pemberian ini dilihat dari keadaan pasien. Pada saat masuk kondisi
pasien dalam keadaan stabil walaupun pasien merasakan sesak dan nyeri dada.
Oleh karena itu tatalaksana cairan yang diberikan Ringer laktat hanya diberikan
dengan 12 tetes/menit untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-
batas fisiologis disebabkan pasien ini sudah memiliki edema pada paru dan
tungkai. Namun melihat adanya peningkatan kadar ureum dan kreatinin yang
menunjukkan adanya gangguan ginjal seharusnya tidak digunakan karena
merupakan kontraindikasi pemakaian Larutan RL.
No Teori kasus rasional
Ya tidak
1 Indikasi: sebagai terapi rumatan,
mengembalikan tetapi tetap melihat pada
keseimbangan elektrolit pada keadaan edema.
keadaan dehidrasi dan syok
hipovolemik
2 Kontraindikasi: Pada pasien ini terdapat
hipernatremia, kelainan kelainan ginjal yang
ginjal, kerusakan sel hati, ditandai dengan
asidosis laktat. peningkatan kadar ureum
dan kreatinin.
3 Dosis: diberikan 10-12 tpm yang
sesuai dengan kondisi akan habis dalam waktu
penderita 13-17 jam
4 Efek samping:
edema jaringan pada
penggunaan dengan volume -
yang besar, biasanya pada
paru-paru hiperkloremia dan
asidosis metabolic

2. NaCl 0,9%
Pada pasien ini diberikan terapi cairan berupa NaCl 0,9% pada keesokan
harinya setelah diperiksa oleh dokter spesialisnya. Larutan ini diberikan dalam 12
tetes/menit yang dihabiskan dalam 13 jam.
no Teori kasus rasional
Ya tidak
1 Indikasi: Pasien menggunakannya
mengembalikan sesuai dengan indikasi
keseimbangan elektrolit pada
dehidrasi
2 Dosis: Diberikan 12 tpm yang
sesuai dengan kondisi akan habis dalam waktu
penderita 13 jam
3 Efek samping:
panas, infeksi pada tempat
penyuntikan, trombosis vena -
atau phlebitis yang meluas,
dan ekstravasasi
4 Kontraindikasi: Tidak ditemukan
hipernatremia, asidosis, keadaan hipernatremia,
hipokalemia asidosis, hipokalemia

3. Lasix (Furosemid)
Pada pasien ini diberikan furosemid yang merupakan golongan diuretik
kuat yang menghambat reabsorbsi NaCl ansa Henle asendens. Diuretik kuat
diabsorbsi dan dieliminasi melalui sekresi ginjal dan filtrasi glomerulus.
Furosemide bekerja pada bagian luminal tubulus yang responnya
berhubungan positif dengan sekresinya di urin. Pada pasien ini didapatkan
edema paru dan edema tungkai sehingga diharapkan dengan pemberian
Furosemid dapat meningkatkan fungsi diuresis dari ginjal.
No Teori Kasus rasional
Ya tidak
1 Indikasi: Sebagai terapi cepat
mengurangi kongesti paru untuk keadaan edema
dan menurunkan tekanan paru dan edema tungkai
ventrikel kiri pada CHF,
sirosis hepar, sindrom
nefrotik, hiperkalemia, gagal
ginjal akut toksik bromida,
fluorida, dan yodida. Terapi
tunggal atau kombinasi
untuk hipertensi ringan s/d
sedang. Terapi cepat edema
paru akut biasanya melalui
parenteral. Edema pada
eklampsi dan kehamilan.
2 Dosis: Diberikan injeksi
Parenteral: Edema dewasa: furosemid dengan dosis 3
20 40 mg IV/IM (IV x 20 mg.
diberikan perlahan 1 2
menit). Setelah 2 jam
tingkatkan sebanyak 20 mg.
Edema paru 40 mg IV, dapat
diulang 1 jam kemudian.
Dosis maksimal 80 mg.
3 Kontraindikasi:
hipersensitif sulfonamid,
anuria, koma hepatica,
-
hipokalemia, awal
kehamilan, dalam terapi
litium
4 Efek samping: -
Gangguan GIT,
hipersensitivitas, reaksi SSP,
reaksi kulit, hiperglikemia,
glikosuria, hiperurisemia,
reaksi hematologik, vertigo,
sakit kepala
5 IO: Pada pasien ini diberikan
Induksi kerja antihipertensi obat lain berupa NSAID.
d-tubokurarin, Toksik Dimana dapat
aminoglikosida, sefalosporin, menurunkan diuretik,
litium, salisilat, glikosida natriuretik dan respon
jantung, penurunan aktivitas antihipertensinya.
diuretik jika dengan
probenesid, meningkatkan
hipotensi ortostatik dengan
alkohol, narkotik, barbiturat,
meningkatkan sensitifitas
digitalis. Furosemide
menurunkan metabolisme
propanolol sehingga efeknya
meningkat. Jika dengan
NSAID menyebabkan
penurunan diuretik,
natriuretik dan respon
antihipertensinya.

6 Cara Pemakaian: Pada pasien ini diberikan


Dapat digunakan oral dan secara parenteral
parenteral

4. Spironolakton

Merupakan penghambat aldosteron berupa steroida. Mulai kerjanya


setelah 2-3 hari dan bertahan sampai beberapa hari setelah pengobatan. Daya
diuretisnya agak lemah, maka khusus digunakan terkombinasikan dengan diuretik
lainnya. Dalam kasus ini, pasien selain diberikan Spironolakton juga diberikan
Lasix (Furosemid) untuk memaksimalkan efeknya.
No Teori Kasus Rasional
Ya Tidak
1 Indikasi: Edema
Hipertensi , Edema

2 Dosis: Diberikan spironolakton


Tablet 25 mg, 100 mg, PO 100 mg 1x1 tab
100-200 mg/hari, untuk
hipertensi dosis awal 25
mg/hari. Anak 3 mg/kg/hari.
3 Interaksi obat: Terdapat obat yang akan
efek diuretik bila meninbulkan interaksi.
bersamaan dengan asam Karena pada pasien ini
asetilsalisilat, bahaya digunakan juga obat
hiperkalemi bersama captopril.
kaptopril litium-clearence
renal, Mengurangi reaksi
jaringan thd noradrenalin,
konsentrasi digoksin karena
hambatan sekresi tubuler
pada ginjal, efek
carbenoxolon.
4 Efek samping obat: Tidak terdapat efek
Hiperkalemi (pada fungsi samping obat.
ginjal terganggu),
Hiponatremi, dehidrasi,
hiperkalsiuri, eskresi
magnesium berkurang,
asidosis hiperkloremik pada
sirosis hepatis,
dekompensata, Libido ,
impoten, ginekomasti,
gangguan menstruasi (efek
anti androgen), Gangguan
GIT, Sakit kepala,
mengantuk, kebingungan,
jarang : ataksia, urtikaria
5 Cara Pemakaian: Pada pasien ini diberikan
dapat digunakan secara oral. secara oral pada pagi hari

5. Bisoprolol
Pada pasien ini diberikan bisoprolol yaitu Anti hipertensi yg memblok
adrenerguk reseptor 1 pada jaringan jantung Efek: memperlambat denyut jantung
sinus dan menurunkan tek. Darah.
No Teori Kasus rasional
Ya tidak
1 Indikasi: Pasien CHF dan
Hipertensi dan CHF hipertensi.
2 Dosis dan sediaan: Diberikan bisoprolol 2,5
Film-co tab.2,5, 5 mg Dosis: mg 1x1 tab
Hipertensi Dewasa Awal 5
mg/hr dapat ditingkatkan 20
mg/hr Org tua Awal 2.5-5
mg/hr dapat ditingkatkan
2,5-5 mg/hr Max. 20 mg/hr.
3 Interaksi obat: Terdapat pemakaian obat
Adenosin: bradikardi 1 NSAID sehingga akan
adrenergik reseptor: terjadi interaksi obat yang
membatasi potensi dosis akan menurunkan efek
pertama Amiodarone:
meningkatkan efek bradikardi dari antihipertensinya.
bisoprolol Antidiabetic:
mengurangi efek hipoglikemi
Barbiturat: membatasi
metabolisme bisoprolol
Cimetidin: meningkatkan
level plasma bloker
Clonidin: rebound hipertensi
Cocaine: Vasokonstriksi
koroner Digoxin, digitoxin:
bradikardia potensiasi,
perpanjangan waktu konduksi
atriventricular Dypiridamol:
additive bradikardi NSAID:
menurunkan efek
antihipertensi
4 Efek samping obat:
Frequent: Hipotensi-pusing,
mual, sakit kepala, akral
dingin, lemas, konstipasi
atau diare Occasional:
-
Insomnia, Flatulence, sering
kencing, impotensi atau
penurunan libido Jarang
Rash, nyeri sendi dan otot,
hilang nafsu makan.
5 Cara Pemakaian: Pada pasien ini diberikan
dapat digunakan secara oral. secara oral pada malam
hari
6. Amlodipin
Pada pasien ini diberikan obat golongan Calsium Canal Bloker.
Obat ini bekerja dengan menghambat influk ca dan mengakibatkan
vasodilatasi dan penurunan kontraksi jantung.

No Teori Kasus Rasional


Ya Tidak
1 Indikasi: Hipertensi Pada kasus ini adalah
Chronic, angina pectoris, pasien dengan hipertensi.
Renal impairement.

2 Dosis : Dws awal 5 mg/hr Diberikan amlodipin 10 mg


single dose. Max 10 mg/hr 1x1
Lansia 2,5 mg/hr
3 Efek samping: Edema perifer, Terjadi edema pada kedua
sakit kepala, flushing, palpitasi, ekstremitas.
mual, bradikardia, & hipotensi
4 Cara Pemakaian: diberikan Pada pasien ini diberikan
secara oral. secara oral

7. CaCO3
Formula kimia kalsium karbonat adalah CaCO 3. Umumnya secara medis
digunakan sebagai antasida. Kalsium karbonat akan bereaksi dengan air dan
tersaturasi dengan karbondioksida untuk membentuk kalsium bikarbonat.

No Teori Kasus Rasional


Ya Tidak
1 Indikasi: hiperfosfatemia pada Tidak ada informasi
gagal ginjal kronis, diare mengenai hiperfosfatemia,
namun pasien terdiagnosa
CKD stage V.
2 Dosis : 2,5 gr/hari hingga 17 Pasien diberikan tab 3 x 1
gr/hari dengan dosis terpisah

3 Efek samping: konstipasi, Tidak ada efek samping


flatus, hiperkalsemia, alkalosis dari pemberian CaCO3
metabolik, kalsifikasi jaringan,
hipersekresi gaster

4 Cara Pemakaian: dapat Pada pasien ini diberikan


digunakan IV dan IM secara IV.

8. Asam Folat
No Teori Kasus Rasional
Ya Tidak
1 Indikasi: penggunaan folat Pasien tampak anemis dan
yang rasional adalah pada kadar Hb dari pasien yaitu
pencegahan dan pengobatan 8. Kurang dari nilai normal
defisiensi folat.
2 Dosis : 400-800 mcg/hr Pasien diberikan tab 3 x 1
3 Efek samping: jarang terjadi Tidak ada efek samping
dan berupa reaksi alergi, juga yang dikeluhkan sesuai
gangguan lambung-usus dan keterangan.
sukar tidur.
4 Cara Pemakaian: Oral dan IV Diberikan secara oral.

9. Nifedipin
Pada pasien ini diberikan Nifedipin, sebagai agen antiangina dan
antihipertensi yang menghambat pergerakan ion kalsium melewati membran sel,
menekan kontraksi jantung dan otot polos vaskuler. Efek: meningkatkan denyut
jantung dan cardiac output, menurunkan resistensi vaskuler dan tekanan darah.

No Teori Kasus Rasional


Ya Tidak
1 Indikasi: sangat bermanfaat Saat masuk, tekanan darah
untuk mengatasi hipertensi pasien 200/110, lalu
darurat. dan untuk diberikan nifedipin 10 mg
mempercepat absorpsi secara 10 mg.
sebaiknya dikunyah lalu
ditelan. Jika diberi secara
sublingual maka tidak akan
mempercepat efek maksimal
2 Dosis : 30-60 mg/hari Hanya diberikan sekali saat
masuk IGD yaitu 10 mg.
3 Efek samping: jarang terjadi Tidak ada efek samping
dan berupa reaksi alergi, juga yang dikeluhkan sesuai
gangguan lambung-usus dan keterangan.
sukar tidur.
4 Cara Pemakaian: Oral dan IV Diberikan secara oral.

10. Allopurinol
Allupurinol bekerja dengan menghambat xantin oksidase, enzim yang
mengubah hipoxantin menjadi xantin dan selanjutnya menjadi asam urat.
Allopurinol termasuk dalam golongan NSAID yang berguna untuk mengobati
penyakit pirai karena menurunkan kadar asam urat. Selain itu juga dapat
digunakan untuk gangguan fungsi ginjal.

No Teori Kasus Rasional


Ya Tidak
1 Indikasi: Obat ini terutama Pada pasien ini
berguna mengobati penyakit mendapatkan terapi
pirai kronik dengan insufisiensi allopurinol.
ginjal atau adanya batu urat
pada ginjal juga berguna
mengobati penyakit pirai
sekunder akibat penyakit lain
seperti polisitemia
vera,leukimia dan psoriasis.
Dapat juga digunakan pada
pasien dengan gangguan ginjal.
2 Dosis : untuk penyakit pirai Pada pasien diberikan
ringan 200-400 mg sehari, 400- allopurinol dengan dosis 1x
600 mg untuk penyakit yang 100 mg tab.
lebih berat. Untuk pasien
gangguan fungsi ginjal dosis
cukup 100-200 mg sehari.
Dosis untuk hiperurisemia
sekunder 100-200 mg sehari.
Untuk anak 6-10 tahun 300 mg
sehari dan anak dibawah 6
tahun 150 mg sehari.
3 Efek samping: Reaksi kulit, Tidak ada efek samping
reaksi alergi berupa demam, yang dikeluhkan sesuai
menggigil, leukositosis, dan keterangan.
pruritus.
4 Cara Pemakaian: Oral Diberikan secara oral.
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan
a. Penggunaan RL dilihat dari Indikasi (rasional), dosis (rasional),
Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping
(tidak rasional) karena akan terjadi gangguan fungsi ginjal.
b. Pemberian NaCl 0.9% dilihat dari indikasi (rasional), dosis (rasional),
Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping
(rasional).
c. Penggunaan Furosemid dilihat dari Indikasi (rasional), dosis (rasional),
Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping
(tidak rasional) karena dibarengi dengan obat NSAID.
d. Penggunaan Spironolakton dilihat dari Indikasi (rasional), dosis
(rasional), Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek
samping (tidak rasional) karena dibarengi dengan pemakaian obat
captopril..
e. Penggunaan Bisoprolol dilihat dari Indikasi (rasional), dosis (rasional),
Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping
(tidak rasional) karena dibarengi dengan pemakaian obat NSAID.
f. Penggunaan Amlodipin dilihat dari Indikasi (rasional), dosis (rasional),
Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping
(rasional).
g. Penggunaan CaCO3 dilihat dari Indikasi (rasional), dosis (rasional),
Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping
(rasional).
h. Penggunaan Asam folat dilihat dari Indikasi (rasional), dosis (rasional),
Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping
(rasional).
i. Penggunaan Nifedipin dilihat dari Indikasi (tidak rasional) karena
pemberiannya secara sublingual, dosis (rasional), Pemakaian
(rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping (rasional).
j. Penggunaan Allupurinol dilihat dari Indikasi (rasional), dosis
(rasional), Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek
samping (rasional).

2. Saran
Untuk kepentingan medikolegal, salah satu hal penting yang memegang
peranan penting adalah pengarsipan data rekam medis termasuk pencatatan
setiap tindakan yang diberikan pada pasien, serta melaksanakan semua terapi
yang dituliskan oleh dokter penganggung jawab pasien sehingga kesembuhan
pasien dapat tercapai secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Author : Pradeep Arora. http://emedicine.medscape.com/article/238798-


overview (19 agustus 2011-08-23 MedScape Reference).
2. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Edisi 9. Jakarta. PT. Infomaster Lisensi
dari CMP Medica. 2009/2010.
3. Sukandar, E. 2006. Nefrologi Klinik. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah (PII)
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RSUD Hasan Sadikin.
4. Suwitra, K. 2007. Penyakit Ginjal Kronik. Jakarta. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
5. Tjay,Tan Hoan., Rahadja, Kirana. 2002. Obat-obat Penting, Khasiat,
Penggunaan, dan Efek-efek Sampingnya. Jakarta: PT alex Media computindo.
6. Ganiswarna, S.G., dkk. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian
Farmakologi FKUI.
7. Siregar, P. 2007. Gangguan Keseimbangan Asam Basa Metabolik. Jakarta.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
8. McFadden Jr. ER. In : Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL,
Longo DL, Jameson JL, (Eds.). 2001. Harrisons. Principles of Internal
Medicine. Volume 2. 15Th Edition. USA: McGraw-Hill. p.1456-1462
9. Mansjoer A, Dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta Penerbit Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2001: 518
10. Trisnohadi, H. Hipertensi Essensial. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiadi S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II edisi IV.
Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006:
1606-1608
11. Tjay,Tan Hoan., Rahadja, Kirana. 2002. Obat-obat Penting, Khasiat,
Penggunaan, dan Efek-efek Sampingnya. Jakarta: PT alex Media computindo
12. Ganiswarna, S.G., dkk. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi
FKUI. 2007
13. Katzung B.G (Editor). Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi IV. EGC : Jakarta.
1998.
14. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Edisi 9. Jakarta. PT. Infomaster Lisensi
dari CMP Medica. 2009/2010
15. Sweetman, S. C. 2005. Martindale The Complete Drug Reference 34th Edition.
USA: Pharmaceutical Press

Anda mungkin juga menyukai